Lewat (Satu) Mata Luasnya dunia, terik Matahari cerah menyinari alam semesta, terang biru beratapkan langit, aku memandang Dunia hanya dengan sebelah mata. Bukan ku menghina dunia, tapi dunia tak mampu kuraih dengan satu mata yang Tuhan telah beri aku cobaan kegelapan di sebelah mata kanan ku. Sesekali kulihat burung, indah daun menari-nari. Mata kiri yang tak mampu kukedipkan ketika debu menyambar hanya sebatas kegelapan dengan sedikit penerangan ketika Matahari mulai menunjukkan cahayanya pada sisi mataku. Namaku Salma. Sungguh derita yang kualami menyentuh hati yang sakit terasa ditusuk seolah tajamnya pisau menembus perasaan yang serba takut dan tak ingin terlihat sepasang bola mata memandang. Aku mengalami buta di mata sebelah kiriku sejak aku lahir. Kondisi yang rapuh, hampir tak mampu membuatku berdiri tegar, kedua orangtua hanya pasrah melihat sang buah hati hanya dapat melihat dunia dengan mata kanannya saja. Tak seperti manusia pada umumnya yang lahir normal setelah terkurung sembilan bulan lamanya di dalam rahim sang bunda penengah jalan menuju Surga. Aku lahir tidak normal dalam keadaan prematur dengan kondisi yang lemah dan mudah sakitsakitan. Sesekali tubuh tak mampu bergerak ketika penyakit semakin ganas menggerogoti titik – titik organ penyambung nyawa. Tak bisa mengeluh, hanya menangis,melihat tawa getir cemooh teman sebaya, melihat tangisan orang tua yang melihat kesedihan buah hatinya, namun hanya sang Ilahi adalah penolongku. Sendiri aku bertahan memerangi kesunyian, tak satupun pasangan badan yang mau berbagi denganku merasakan penderitaan, penghinaan jauh lebih berharga daripada harus menderita. “Hai bajak laut minggir. Kamu menghalangi jalanku. Pasang saja mata kananmu di tengah supaya bisa melihat jelas.hahaha.” Tawa hinaan Irwan, teman sekolahku yang paling benci dan jijik jika berdekatan denganku. “Dasar anak Dajjal,awas tanda kiamat tuh.”
Ditambahkan oleh Angelin, kekasih Irwan yang juga paling suka mengucap kalimat hinaan yang dekat di mata dan dekat di hatiku. Kehadiran dua kekasih dari keturunan
ningrat yang benar-benar membuatku serasa di dalam penjara yang berpenghuni khusus bagi hukuman manusia terhina di dunia. Sungguh pemandangan yang tak layak aku alami. Tapi jika memang ini nasib dan takdirku, apalah daya aku bisa melawan kuasa Tuhan.
###
Secangkir Cappucino dan kue Black Forest tak kunjung membuat emosionalku akan masalah menurun. Pahit dan manis adalah dua rasa yang bertentangan didalam satu medium yang disebut indra perasa. Canda tawa sekumpulan remaja melingkari meja berbentuk bujur, tak memperdulikan suasana cafe yang berisi sekumpulan para pelepas lelah, penegak gengsi, penyusun kebersamaan. Puluhan tujuan berkumpul memenuhi satu wilayah kecil yang di sebut dengan tempat nongkrong para kaum elit menengah. Arogansi telah menjadi bagian dari hidupku. Darah mendidih tak kunjung mereda sebelum aku bisa membuktikan pada orang - orang yang menghinaku, bahwa aku adalah wanita buta di satu mata yang sukses sebagai inspirator bagi semua orang. Sudah cukup melihat para kaum elit yang memandang status dan diskriminasi fisik manusia. Lingkungan memuakkan hanya semakin membuatku semakin bodoh tak berguna. Hanya bekal dari Tuhan yang membuatku bertahan hidup, dan mampu meraih kesuksesan. Yaitu “pikiran”. Orang cerdas dan sukses bersumber otak yang tak pernah berhenti untuk diasah ketajaman berfikirnya. “Maaf, apa anda mau memesan lagi bu ? Karena 15 menit lagi kami sudah tutup order,” tanya salah satu pelayan cafe saat menghampiriku. “Tidak ada. Saya minta bil pembayarannya saja,” jawabku. “Baik, segera kami kirim.” Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Suasana berbeda 1800 dengan siang hari yang ramai dan macet berkumpul ratusan kendaraan yang berebut jalan dan tersendat.
###
18 Tahun Silam
“Salma, sedang apa kamu di sini nak ? Ayo masuk kelas ibu. Kan sudah waktunya jam pelajaran Bahasa Indonesia.” Ibu Guru Amarwati, guru muda yang bijaksana dan cantik. Dambaan para guru lelaki bujang yang terpesona dengan keanggunan dan paras cantiknya.Belum lagi ditambah tutur katanya yang halus dan santun, menggugah gairah para kaum Adam untuk bisa menikahinya. “Iya bu, Salma segera masuk kelas.” Ruang kelas bagaikan ruang eksekusi yang dikelilingi para algojo pembantai yang siap membantai fisik dan mental.Tak satupun siswa yang mau duduk bersebelahan denganku. Mereka lebih baik menyendiri, bersebelahan dengan hampa. Aku hanyalah debu kotor bagi mereka yang tak pantas untuk didekati. “Cari tempat duduk lain sana, jangan dekat-dekat. Nanti aku bisa ketularan,” ucap Vindy dengan nada kasarnya. “Vindy, beri tempat duduk untuk Salma. Bukankah kamu duduk sendirian,” ujar Bu guru Amarwati saat mengetahui aku belum mendapat bangku. “Iya bu,” jawabnya dengan nada berat hati. Aku tahu kalau Vindy sangat keberatan jika aku duduk di sebelahnya. Bahkan ketika aku baru duduk Vindy lebih memilih untuk menjauhkan jarak duduknya denganku. “Vin, kalau jijik mending duduk di sebelahku saja. Lebih aman, gak bakal ketularan penyakit,” ujar Sinta saat mengajak Vindy untuk duduk di sebelahnya. Tak punya teman, hidup dibawah garis kemiskinan dan cacat fisik, lengkap sudah penderitaanku. Tak ada harapan bagiku untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain. Nampaknya pendidikan moral dan agama di sekolah ini sudah gagal untuk menciptakan siswanya yang berakhlak mulia. Sekolah hanyalah sekolah, sekolah hanyalah tempat, sekolah hanyalah status, tapi sekolah bukanlah pencipta generasi yang bermutu dalam sifat, berpikir dan berperilaku. Jika kemiskinan dan cacat fisik ini tidak melekat dalam diriku, mungkin aku tidak perlu mengalami hal yang tak seharusnya aku terima saat ini. Alam semesta tak berpihak padaku, dewi fortuna hanya berpihak pada yang normal dan bermateri. Ratu adil tak pernah ada, yang ada hanyalah setan yang memanaskan jiwa untuk membuahkan dendam di hati.
Hukum ketertarikan hanyalah teori. Manusia adalah manusia, alam adalah tempat manusia berdiri, bukan penyambung hati. Memang dunia yang ironis. Tapi aku merasakan Tuhan selalu ada di sisiku.Meski aku tak ingin mempercayainya, tapi nampaknya Tuhan selalu meyakinkanku bahwa dirinya ada. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, waktu istirahat. Banyak murid berlari menuju kantin, tak sedikit yang menuju ruang Mushollah, mengunjungi perpustakaan dan sisanya berlari ke belakang sekolah untuk membeli makanan kecil di jalanan dekat sungai. Belum aku beranjak dari bangku untuk menuju keluar ruangan, seorang siswa mendatangiku dengan tergesa-gesa. “Salma, kamu dipanggil kepala sekolah di kantornya,” kata Indri, siswi satu kelas yang netral dalam berteman. “Ada apa ya ndri ?” “Aku nggak tahu, tapi kamu di tunggu sekarang.” “Iya terimakasih ya Ndri sudah menyampaikan.” “Sama-sama,” ucapnya sambil meninggalkan ruang kelas. Sekilas aku berpikir, ada apa Kepala Sekolah memanggilku. Apakah aku berbuat sesuatu yang salah ? ataukah aku akan dihukum berat akibat sering tidak masuk sekolah karena sakit. Apa yang sebenarnya membuat gerangan memanggilku keruangannya. Apapun itu, harus aku jalani sendiri. Semoga ada kabar baik yang selalu menyertai.
Ruang Kepala Sekolah Ketukan pintu : tok..tok...tok..tok..tok “Bapak manggil saya ?” “Iya Salma. Masuklah,” jawab Kepala Sekolah. “Ada apa ya pak ?” aku bertanya dengan degup jantung yang berdegup keras seperti pergerakan mesin panas yang begitu cepat.
Rasa penasaran yang tak terbendung. Tubuh terbujur kaku, tak mampu berkata apaapa kecuali mendengarkan apa yang akan dikatakannya nanti. “Saya lihat kamu sudah tiga bulan ini tidak membayar SPP sekolah. Pihak sekolah tidak lagi bisa memberimu dispensasi lagi untuk masalah pelunasan. Tapi kami bersepakat untuk memberimu kesempatan untuk melunasi uang SPP sampai bulan depan.” Jelas Kepala Sekolah dengan panjang lebar. Lemas sudah tubuhku mendengarkan peernyataan dari Kepala Sekolah. Keluhan pun tak mampu untuk mengobati lesu dari tumpukan maslaah yang terus berdatangan. Tak mampu untuk berkata-kata,tapi hanya mampu memohon, berharap belas kasih pihak untuk keringanan dan kesempatan berikutnya. “Saya mengerti bahwa saya sudah tiga bulan ini belum membayar iuran sekolah. Tapi saya mohon pak, tolong beri saya kesempatan sampai dua bulan lagi. Karena orang tua saya masih belum punya biaya untuk menutupi kekosongan pembayaran uang sekolah yang sudah menumpuk tiga bulan,” keluhku sambil memohon. “Saya sudah berbicara dengan pihak komite sekolah. Bahkan mereka menuntut untuk memberikan denda buat kamu yng selalu terlambat untuk bayar iuran sekolah. Tapi bapak sudah berusaha sebisa mungkin agar kamu diringankan dari denda dan diberi kesempatan hingga bulan depan dan pihak sekolah menyetujui bapak, asalkan kamu bisa memenuhinya. Tapi jika tidak, secara terpaksa kami harus mengeluarkanmu dari sekolah dengan alasan tak mampu membayar biaya sekolah.” Serasa tubuh tersambar petir, jantung berdegup kencang seolah tersengat listrik betegangan mencapai 1000 watt. Tubuh semakin kaku, tak mampu berkata apa-apa. Tak kuasa untuk menahan tangis, hancur sudah hidupku setelah lengkap dipenuhi penderitaan. Aku berjalan perlahan, pikiran kosong mengikuti langkah kaki tak berarah. Kelancaran arus berjalan menjadi perlahan karena hambatan pada langkah kakiku tak mampu bergerak cepat. Sesekali langkah tubuhku menabarak siswa lain dan teriakan olokan selalu melintas di telingaku beriringan kepedihan dan pikiran menumpuk di kepala.