Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2013 Meningkatkan Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa untuk Mendukung Penerapan Undang-Undang Keantariksaan.
Prosiding ini berisi makalah-makalah yang telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2013 yang dilaksanakan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) dan Pusat Sains Antariksa (PUSSAINSA), Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan, LAPAN pada tanggal 25 November 2013 di Auditorium LAPAN Bandung dan prosiding dicetak Agustus 2014.
Editor : 1. Prof. Dr. Chunaeni Latief 2. Prof. Dr. Suryadi Siregar 3. Dr. Didi Satiadi 4. Dr. Laras Tursilowati 5. Dr. Liliek Slamet, M.Si 6. Dr. Buldan Muslim, M.Si 7. Dr. Teguh Harjana 8. Dra. Sinta Berliana S., M.Sc 9. Drs. Waluyo Eko Cahyono, M.IL 10. Drs. Suratno, M.Sc 11. Drs. Jiyo, M.Si 12. Drs. Budiyanto 13. Anwar Santoso, M.Si 14. Suaydhi, S.Si, M.Sc 15. Fitri Nuraeni, M.Si 16. Novita Ambarsari, S.Si, M.T Layout desain : Edy Maryadi, S.T dan Dwiko Unggul Prabowo, S.T Dipublikasikan oleh : Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) dan Pusat Sains Antariksa (PUSSAINSA) Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung 40173 Telepon : 022-6037445, Fax : 022-6037443 Website : www.bdg.lapan.go.id ISBN : 978-979-1458-78-8
ii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr Wb Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga kegiatan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2013 dengan tema Meningkatkan Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa untuk Mendukung Penerapan UndangUndang Keantariksaan dapat terselenggara dengan baik pada tanggal 25 November 2013 di Auditorium LAPAN Bandung, Jl. Dr. Djunjunan No.133. Seminar nasional ini dilaksanakan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) dan Pusat Sains Antariksa (PUSSAINSA) LAPAN Bandung yang dihadiri oleh pakar iklim, lingkungan, polusi udara, GRK, serta para pakar sains antariksa dari berbagai instansi pemerintah, universitas, dan swasta. Pembicara utama seminar ini menghadirkan Kepala BMKG, Dr. Andi Eka Sakya, sedangkan pembicara tamu serta pemakalah berasal dari instansi lainnya yaitu lembaga penelitian dan universitas dari beberapa daerah di kota-kota di Jawa maupun di luar Jawa. Pemakalah yang mendaftarkan untuk mengikuti penyajian seminar dalam bentuk oral maupun poster adalah sebanyak 46 dari bidang sains dan teknologi atmosfer dan 37 dari bidang sains antariksa. Setelah melewati proses seleksi terpilih makalah yang layak untuk dipresentasikan dalam bentuk oral maupun poster adalah sebanyak 40 makalah dari bidang sains dan teknologi atmosfer dan 37 dari bidang sains antariksa. Keseluruhan makalah telah melalui proses review dan perbaikan sehingga layak untuk diterbitkan pada prosiding ini. Makalah yang telah diperbaiki dan layak terbit dikumpulkan pada tanggal 26 April 2014 dan telah dilakukan editing oleh tim editor untuk disesuaikan dengan format makalah untuk prosiding. Dari keseluruhan makalah yang diterima dan telah dipresentasikan pada kegiatan SNSAA 2013, akhirnya sebanyak 44 makalah yang diterbitkan dalam prosiding ini. Kami selaku tim editor memohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan penerbitan prosiding ini. Alhamdulillah pada 15 Agustus 2014 Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2013 dapat diselesaikan. Akhir kata, terima kasih kepada seluruh Panitia dan semua pihak yang telah membantu terbitnya prosiding ini dan semoga prosiding ini bermanfaat bagi pembaca semua. Amiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Bandung, 15 Agustus 2014
Tim Editor
iii
LAPORAN KETUA PANITIA SNSAA 2013
Assalamu’alaikum Wr Wb Yang terhormat Kepala LAPAN Yang terhormat Kepala BMKG Yang terhormat Deputi Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Yang terhormat para narasumber dan pejabat struktural Yang terhormat para peserta seminar dan tamu undangan Kami ucapkan selamat datang di acara Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2013 yang bertemakan Meningkatkan Peran Sains dan Teknologi AtmosferAntariksa untuk Mendukung Penerapan Undang-Undang Keantariksaan. Seminar ini bertujuan untuk memasyarakatkan hasil penelitian sains dan teknologi pemantauan atmosfer terkait dengan variabilitas musim, perubahan iklim, gas rumah kaca, kualitas udara dan pemodelannya dalam mendukung pembangunan nasional berkelanjutan serta untuk memasyarakatkan hasil penelitian sains dan keantariksaan Indonesia untuk mitigasi dampak cuaca antariksa. Seminar yang dihadiri oleh 150 orang peserta ini secara umum terbagi menjadi dua sesi presentasi, yaitu presentasi para narasumber dan presentasi pemakalah. Presentasi pemakalah dibagi menjadi dua kategori yaitu oral dan poster. Narasumber utama pada seminar ini adalah Kepala BMKG, Dr. Andi Eka Sakya, Kepala LAPAN Prof. Thomas Jamaludin, dan Kepala Pusat Pengkajian Informasi Kedirgantaraan Drs. Husni Nasution. Adapun presentasi pemakalah oral disampaikan oleh 8 pemakalah, dan presentasi pemakalah poster disampaikan oleh 60 pemakalah. Makalah yang dipresentasikan telah melewati seleksi abstrak makalah. Dari total 83 abstrak yang masuk, telah diseleksi oleh tim seleksi makalah sehingga diputuskan 77 makalah yang dapat dipresentasikan dalam seminar ini. Makalah-makalah yang dipresentasikan telah melalui proses editing dan koreksi hingga dinyatakan layak untuk dimasukkan dalam prosiding seminar. Selain para narasumber dan pemakalah, seminar ini juga dihadiri oleh para tamu undangan yang berasal dari beberapa Bappeda dan BLH di Indonesia, BMKG, LAPAN, Pusarpedal, IPB, ITB, UPI, dan Akademi Meteorologi dan Geofisika. Akhirnya kami panitia seminar mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu terlaksananya seminar ini, dan kami mohon maaf apabila ada kekurangan. Kami ucapkan selamat mengikuti seminar, semoga bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr Wb. Bandung, 25 November 2013 Ketua Panitia SNSAA 2013 Siti Maryam, S.T dan Noersomadi, M.Si iv
DAFTAR PANITIA No. 1
2
Nama Jabatan Pengarah dan Penanggung Jawab
Team Pemakalah/ Editor Prosiding
-
Personil Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Kepala Pusat Sains dan Teknologi - Atmosfer Kepala Pusat Sains Antariksa Dr. Buldan Muslim, Msi ( Penyelia) Drs. Suratno, MSc. Drs. Jiyo, Msi Dr. Teguh Harjana Drs. Budiyanto Anwar Santoso, MSi
-
Suaydhi, S.Si, M.Sc (Penyelia) Dra. Sinta Berliana S, M Sc. Lilik Slamet Msi Dr. Laras Tursilowati Dr. Didi Satiyadi Drs. Waluyo Eko Cahyono M.IL
-
Instansi Luar : - Prof.Dr. Suryadi Siregar - Prof.Dr. Chunaeni Latief - Noersomadi, MSi - Siti Maryam, ST
3
Ketua
4
Sekretaris
- Novita Ambarsari, MT - Fitri Nuraeni, M.Si
5
Keuangan
6
Sekertariat/ Sie.Acara
- Yenni Hartini - Dra. Sumaryati, MSi - Soni Aulia Rahayu, SSi - Dyah Aries Tanti, AMd - Edy Maryadi,ST - Dwiko Unggul Prabowo, ST - Visca Wellianita, MSi - Yusuf Dirgantara, ST v
- Djoko Trianas, AMd 7 8
Sie Humas, Publikasi & Dokumentasi Sie. Perlengkapan
9
Sie Konsumsi
10
Moderator
11
MC
- Sudirman, SH, MAP - Jaja Sudrajat - Rudy Komarudin - Yadi Haryadi - Sucipto, SAb - Nur Rahmayanti, SE - Tirnawati - Endang Susanti - Yuliana Nurul Fitrah, AMd - E.Sungging Mumpuni, MSi - Lely Qodrita Avia, SSi - Novita Ambarsari, MT - Visca Wellyanita, MSi
vi
JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL SAINS ATMOSFER ANTARIKSA (SNSAA) 2013 Waktu 08.00-09.00 09.00-09.10 09.10-09.30
09.30-09.50
Acara Registrasi Pembukaan Keynote Speaker : “‘Hasil Sains Atmosfer dan Antariksa setelah 50 tahun LAPAN Berdiri’ Keynote Speaker
Pelaksana Panitia SNSAA 2013 Kepala Lapan Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kerirgantaraan – LAPAN Prof.DR.T.Djamaludin
Kepala BMKG : Dr. Andi Eka Sakya 09.50-10.10 Keynote Speaker Kepala Pusat Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan : Drs. Husni Nasution Sesi Presentasi Oral 1 ; Sains Antariksa ; Moderator : E.Sungging Mumpuni, MSi 10.10-10.30 Kesiagaan akan Potensi Bahaya DR.Budi Dermawan - ITB Objek Alami Antariksa 10.30 -10.50 Interpretasi Struktur Bawah Subarsyah, ST – P3GL Permukaan Berdasarkan Kelurusan Anomali Magnetik, Perairan Wetar, NTT. 10.50-11.10 Analisis Spasial Kemunculan Asnawi, M.Si- LAPAN Sintilasi Ionosfer Kuat Periode Ekuinoks Maret-April 2013 Antara Indonesia-Australia 11.10-11.30 Jaringan Pengamatan dan Basis DR.Teguh Harjana- LAPAN Data Cuaca Antariksa 11.30-11.50 Diskusi Moderator 11.50-13.00 Sesi Poster & ISOMA Sesi Presentasi Oral 2 ; Sains dan Teknologi Atmosfer ; Moderator : Leli Qodrita Avia, 13.00-13.20
Aplikasi Satelit dan Pengamatan Sheila Dewi / Dr. Edvin Aldrian - BMKG Insitu Untuk Deteksi Aerosol dan Dispersi Kabut Asap Kebakaran Hutan di Propinsi Riau.
13.20-13.40
Analisa Neraca Energi Pada Citra Satelit Untuk Identifikasi Unsur Iklim dan GRK. Penerapan Undang-Undang Keantariksaan Melalui Standarisasi Komposisi Atmosfer Pemanfaatan Model Atmosfer untuk Pengkajian Variabilitas dan Perubahan Iklim di Indonesia.
13.40-14.00
14.00-14.20
Idung Risdiyanto M.Si - IPB
Drs. Saipul Hamdi, M. Sc - LAPAN
Drs. Bambang Siswanto M,Si - LAPAN
vii
14.20-14.40 14.40-14.50 14.00-15.00
Diskusi Penutupan Pembagian Sertifikat
Moderator MC Panitia SNSAA2013
viii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
iii
Laporan Ketua Panitia
iv
Daftar Panitia
v
Jadwal Acara
vii
ATMOSFER KAJIAN KETERKAITAN TBO-ENSO DAN PENGARUHNYA TERHADAP 1 BENUA MARITIM INDONESIA Andi Syahid Muttaqin dan Haries Satyawardhana PENGARUH KONSENTRASI ION NH4+ DAN Ca2+ TERHADAP NETRALISASI 13 HUJAN ASAM DI DAERAH CIPEDES, KEBON KALAPA, SOREANG DAN CIKADUT Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti PERUBAHAN REJIM HIDRO-KLIMAT MUSIMAN PADA ALIRAN SUNGAI 20 CISANGKUY BANDUNG SELATAN Dadang Subarna PENGEMBANGAN MODEL SISTEM IKLIM UNTUK PEMBELAJARAN PARA 27 SISWA Dadang Subarna SIMULASI MODEL POLUTAN UDARA MENGGUNAKAN WRF CHEMISTRY
37
Danang Eko Nuryanto dan Utoyo Ajie Linarka ANALISIS KONDISI PENCEMAR UDARA (SO2 DAN NO2) DI KOTA 46 SURABAYA Dessy Gusnita PENGARUH PROSES PENGELASAN TERHADAP OZON
54
Didik Eko Prasetyo ANALISIS KORELASI CURAH HUJAN DENGAN OUTGOING LONGWAVE 59 RADIATION (OLR) BERDASARKAN TIPE CURAH HUJAN Iis Sofiati PERUBAHAN HUJAN
IKLIM
DITINJAU DARI DISTRIBUSI FREKUENSI CURAH 68
Juniarti Visa
ix
PENGARUH SKEMA KONVEKSI REGCM4.3 DALAM SIMULASI PRESIPITASI 75 DAN TEMPERATUR DI CORDEX ASIA SELATAN Kadarsah dan M. Mubashar Ahmad Dogar ANALISIS TEMPORAL DAN SPASIAL EVOLUSI IOD DAN PENGARUHNYA 87 TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Krismianto PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT
94
Martono ANALISIS PROFIL OZON MIXING RATIO DAN SUHU DI SUMATERA 101 BERBASIS DATA MLS DAN INSITU Ninong Komala, Novita Ambarsari, dan Dian Yudha Risdianto VARIABILITAS METIL KLORIDA (CH3Cl) DI ATMOSFER INDONESIA 112 BERBASIS PENGUKURAN SATELIT MLS-AURA Novita Ambarsari, Ninong Komala, Dyah Aries Tanti, dan Emanuel Adetya AWAL MUSIM DI PULAU BESAR INDONESIA BERDASARKAN PARAMETER 122 ATMOSFER CCAM RESOLUSI 60 KM DAN 17 KM Nurzaman Adikusumah, Ina Juaeni, dan Bambang Siswanto PENGARUH SUHU PERMUKAAN TERHADAP CURAH HUJAN PULAU BESAR 133 INDONESIA DALAM TIGA PULUH TAHUN TERAKHIR Nurzaman Adikusumah ANALISIS DIURNAL PARAMETER METEOROLOGI DI STASIUN 140 KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR MENGGUNAKAN PORTABLE WEATHER STATION (PWS) Radyan Putra Pradana dan Kadarsah ESTIMASI TOTAL PRECIPITABLE MENGGUNAKAN DATA MTSAT
WATER
DI WILAYAH
INDONESIA 150
Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung RESTORASI DATA RADIASI MATAHARI MENGGUNAKAN METODE CURVE 157 FITTING INTERPOLASI POLINOM ORDE 4 (KASUS PENGAMATAN DI UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG) Saipul Hamdi APLIKASI SATELIT DAN PENGAMATAN IN-SITU UNTUK DETEKSI 167 AEROSOL DAN DISPERSI KABUT ASAP KEBAKARAN BIOMASSA DI PROPINSI RIAU Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas ESTIMASI KEBUTUHAN LAMA PAPARAN RADIASI ULTRAVIOLET DI 177
x
BANDUNG Sumaryati PENGARUH MJO TERHADAP PERILAKU HUJAN HARIAN DI ATAS 185 KOTOTABANG Syafrijon DISTRIBUSI ASAM (NON SEA SALT SO42-; NO3- DAN Cl-) DAN BASA (NH4+; 190 SEA SALT Ca2+; DAN NON SEA SALT Ca2+) DI INDONESIA Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati ANALISIS MULTIVARIAT KONSENTRASI NO, CO DENGAN OZON DI LIMA 206 KOTA BESAR DI INDONESIA Sri Winarni dan W. Eko Cahyono PEMBENTUKAN AWAN DAN HUJAN DI PEGUNUNGAN SUMATERA BARAT
212
Wendi Harjupa KOMPOSISI CO, CH4 DAN H2O DI LAPISAN TROPOSFER TROPIS DI 218 INDONESIA PADA SAAT TERJADINYA EL NINO DAN LA NINA Wiwiek Setyawati dan Tuti Budiwati PEMETAAN SPASIAL PENGARUH PROGRAM CAR FREE DAY DI JALAN 231 DAGO TERHADAP KONSENTRASI NOX DAN PM10 DI UDARA AMBIEN Zeneth Ayesha Thobarony dan Driejana ANTARIKSA PENGEMBANGAN MODEL KERAPATAN SPASIAL
239
Abdul Rachman GELOMBANG MORETON DAN SEMBURAN RADIO YANG TERKAIT DENGAN FLARE TANGGAL 24 OKTOBER 2013
247
Agustinus Gunawan Admiranto ANALISIS DAN DESAIN SITUS FTP SAINS ANTARIKSA MENGGUNAKAN UML (UNIFIED MODELLING LANGUAGE)
254
Alhadi Saputra ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN IONOSFER TERHADAP AKURASI PENENTUAN POSISI MENGGUNAKAN GPS FREKUENSI TUNGGAL PADA SAAT AKTIVITAS MATAHARI MAKSIMUM Dessi Marlia PENGAMATAN TEC DAN SINTILASI DENGAN MENGGUNAKAN GPSSCINDA
264
277
xi
Dwiko Unggul Prabowo dan Effendy ANALISIS WEBSITE LAPAN BANDUNG MENGGUNAKAN GOOGLE ANALYTIC DALAM RANGKA MENINGKATKAN TRAFFIC WEB
284
Elyyani SISTEM OTENTIKASI SINGLE SIGN ON UNTUK TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG
293
Elyyani , Rizal Suryana ANALISIS PULSA MAGNET PC5 TERKAIT DINAMIKA SABUK RADIASI ELEKTRON
300
Harry Bangkit, L. M. Musafar K, Habirun, Mira Juangsih, Moh. Andi Aris MODEL EMPIRIK HARI TENANG GEOMAGNET DI REGIONAL INDONESIA Mamat Ruhimat, M Andi Aris, Clara Y Yatini VARIASI KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO FM DI PAMENGPEUK PADA FREKUENSI 104,9 MHz Mumen Tarigan KAJIAN RADAR PASIF UNTUK PENGAMATAN IONOSFER Mumen Tarigan, Buldan Muslim dan Syahril ANALISIS DATA KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO VHF DI PAMENGPEUK DENGAN PERGESERAN SUDUT ANTENA UNTUK PENENTUAN POSISI PEMANCAR
308
317
325
333
Peberlin Sitompul, Mumen Tarigan, Timbul Manik, Sutan Syahril KOMPUTASI AWAN SEBAGAI SOLUSI DALAM PENGHEMATAN BIAYA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG Rizal Suryana METODE PENENTUAN INDEKS IONOSFER DI ATAS PONTIANAK
341
351
Slamet Syamsudin ANALISIS KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK DAN MANADO
360
Sri Ekawati , Wahyu Srigutomo dan Jiyo METODA ANALISIS TWEEK DARI PENERIMA VLF PONTIANAK SECARA OTOMATIS
367
Timbul Manik dan Hiroyo Ohya RANCANGAN PEMBANGUNAN SISTEM PENYIMPANAN DATA PENELITIAN
377 xii
BERBASIS KOMPUTASI AWAN MENGGUNAKAN OWNCLOUD Yoga Andrian, Rizal Suryana VARIASI DIURNAL MAGNET-BUMI SAAT GERHANA MATAHARI CINCIN 26 JANUARI 2009
385
Yosi Setiawan, I Putu Dedy Pratama
xiii
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
KAJIAN KETERKAITAN TBO-ENSO DAN PENGARUHNYA TERHADAP BENUA MARITIM INDONESIA Andi Syahid Muttaqin1) dan Haries Satyawardhana2) 1) Institut Teknologi Bandung, email:
[email protected] 2) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Bandung, email:
[email protected]
Abstract Indonesian Maritime Continent (MC) is located between the Asian and Australian monsoon regions, where both monsoon region have a biennial pattern called Tropospheric Biennial Oscillation (TBO). In additionto that, MC is also influenced by southern oscillation observed in the Pacific Ocean (ENSO, El-Nino Southern Oscillation). It is interesting to study further the relationship between ENSO and TBO, and its impact on MC. TBO conceptual model is used for the basis of the analysis and the data used in this study are outgoing longwave radiation (OLR), zonal wind at 850 and 200 mb layers, and sea surface temperature (SST) from NCEP-NCAR reanalysis. The results show that the transition process of TBO during ENSO years, there is a maximum convective movement that originating from the Indian region, moving through maritime continent, Australia, then to the Western Pacific, and ending in Eastern Pacific. While the process of transition in normal years (TBO during normal years), the convective propagation process is not so obvious but TBO pattern is still observed in MC and Australia. It is found that the TBO pattern is more visible in the December-January-February (DJF) than in the June-JulyAugust-September (JJAS) period, with the difference OLR values are 12 Wm-2 and 3 Wm-2 , respectively. Hence the TBO is a phenomenon that is independent to ENSO and more influence on MC in the DJF period. Keywords: TBO, ENSO, monsoon Abstrak Benua Maritim Indonesia (BMI) berada di antara wilayah monsun Asia dan Australia. Kedua wilayah tersebut memiliki pola dua-tahunan yang disebut sebagai Tropospheric Biennial Oscillation (TBO). Selain itu, BMI juga mendapat pengaruh dari osilasi selatan yang terjadi di Samudera Pasifik yang dikenal dengan nama ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Hubungan antara TBO dan ENSO, serta dampaknya terhadap BMI menarik untuk dikaji lebih lanjut. Model konseptual TBO digunakan sebagai dasar analisis dan data yang digunakan dalam studi ini adalah radiasi gelombang panjang (OLR), angin zonal pada lapisan 850 dan 200 mb, dan suhu muka laut (SST) yang didapat dari reanalisis NCEP-NCAR. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa pada proses transisi TBO pada tahun-tahun ENSO, ada pergerakan konvektif maksimum yang bermula di atas wilayah India yang bergerak melewati BMI, Australia, kemudian ke arah Pasifik Barat, hingga ke Pasifik Timur. Sedangkan proses transisi pada tahun normal, proses penjalaran konvektif tidak begitu jelas terlihat namun pola TBO masih teramati di BMI dan Australia. Pola TBO pada wilayah BMI lebih terlihat pada periode DJF daripada periode JJAS dengan selisih nilai OLR masing-masing sebesar 12 Wm-2 dan 3 Wm-2. Hal ini menjelaskan bahwa TBO merupakan fenomena yang tidak terikat dengan ENSO. Kata kunci: TBO, ENSO, monsun 1
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Tropospheric Biennial Oscillation (TBO) adalah kecenderungan monsun kuat (lemah) diikuti oleh monsun lemah (kuat) dengan transisi yang terjadi pada musim sebelum terjadinya monsun yang melibatkan proses atmosfer-darat-laut pada wilayah IndoPasifik (Meehl 1997; Meehl dan Arblaster 2002). Mekanisme yang menggambarkan proses TBO telah diusulkan oleh beberapa peneliti (Nicholls, 1978; Meehl, 1987; Meehl, 1993; Goswami, 1995; Chang dan Li, 2000; Meehl dan Arblaster, 2002). Meehl dan Arblaster (2002) menggambarkan proses TBO secara lebih komprehensif dibandingkan dengan kajian sebelumnya. Model konseptual Meehl dan Arblaster (2002) menggambarkan proses transisi TBO yang bermula dari monsun lemah menuju monsun kuat Australia. Namun, model tersebut belum menggambarkan evolusi proses transisi TBO secara utuh. Kajian ini akan berfokus pada proses evolusi TBO yang bermula dari monsun kuat menuju monsun lemah Australia, sehingga dapat melengkapi gambaran proses transisi TBO dan pengaruhnya terhadap Benua Maritim secara lebih lengkap (Meehl dan Arblaster, 2002). Kajian ini bertujuan memahami mekanisme interaksi kopel atmosfer-daratan-lautan yang membentuk TBO dalam konteks monsun Asia-Australia, meninjau proses transisi TBO yang terjadi antara monsun kuat menuju monsun lemah Australia, melengkapi model konseptual Meehl dan Arblaster (2002), serta meninjau pengaruh proses transisi TBO terhadap BMI.
2. TINJAUAN PUSTAKA Meehl (1987) pertama kali mengidentifikasi sinyal kuasi-dua tahunan dalam data hujan India dan mengidentifikasi puncak spektra data hujan tersebut pada kisaran 2.5 hingga 3 tahun. Penelitian selanjutnya mengungkapkan adanya karakteristik TBO yang terjadi di daerah tropis, baik melalui observasi (Yasunari, 1991; Ropelewski dkk., 1992; Yang dkk., 1996) maupun melalui pemodelan (Goswami, 1998; Chang dan Li, 2000; Li dkk., 2002). Dalam kaitannya dengan sistem monsun, Meehl (1997) menginterpretasikan TBO sebagai kecenderungan monsun untuk menguat dan melemah secara bergiliran, atau dengan kata lain, monsun yang relatif kuat (lemah) akan diikuti oleh monsun yang relatif lemah (kuat). Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk memahami pembentukan TBO (Nicholls, 1978; Meehl, 1987; Meehl, 1993; Goswami, 1995; Chang dan Li, 2000; Meehl dan Arblaster, 2002). 2
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Model konseptual TBO yang dibangun oleh Meehl dan Arblaster (2002) menggambarkan secara komprehensif pengaruh masing-masing komponen pembentuk TBO, berupa pengaruh lautan (Meehl, 1993; dan Meehl dan Arblaster, 2002), pengaruh daratan (Meehl, 1994), pengaruh kopel atmosfer-daratan-lautan (Meehl, 1994), serta mengaplikasikan model konseptual tersebut terhadap (hujan) monsun India, dan monsun Asia-Australia (Meehl dan Arblaster, 2002). Untuk memperhitungkan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan proses transisi TBO, mereka membangun suatu model konseptual berupa rangkaian periode musiman (DJF, MAM, JJAS, SON, dan DJF+1) berdasarkan interaksi kopel antara atmosfer-daratan-lautan yang menggambarkan hubungan antara Sirkulasi Walker Timur (EWC, Eastern Walker Cell) dan Sirkulasi Walker Barat (WWC, Western Walker Cell).
3. DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data angin zonal (850 dan 200 hPa), suhu permukaan (daratan dan lautan), dan radiasi gelombang panjang (OLR) dari National Center for Environmental Prediction-National Center for Atmospheric Research (NCEP/NCAR) Reanalysis (Kalnay dkk., 1996) untuk periode Desember 1979 – November 1999. Pola TBO secara spasiotemporal akan lebih terlihat dengan menggunakan daerah kajian yang meliputi wilayah India, BMI, Australia dan Pasifik. Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan adalah: 1. Meninjau pola TBO dalam monsun Asia yang diwakili oleh monsun India dan monsun Australia, serta mengkaji hubungan antara kedua monsun tersebut. a. Menghitung indeks monsun Australia (AUSMI) berdasarkan metode yang diusulkan oleh Kajikawa dkk. (2010) dan juga menghitung indeks monsun Asia (India, ISMI) berdasarkan metode Wang dan Fan (1999) serta melihat pola TBO dalam kedua indeks monsun tersebut berdasarkan kriteria Meehl dan Arblaster (2002): monsun kuat bila Ii-1 < Ii > Ii+1, dan monsun lemah bila Ii-1 > Ii < Ii+1, dimana Ii merupakan nilai indeks monsun pada tahun ke-i. b. Membangun rangkaian evolusi musiman beberapa parameter (angin zonal, suhu permukaan, dan OLR) untuk memahami pola transisi TBO yang diimplementasikan dalam rangkaian musiman: (1) DJF (AUSMI lemah); (2) MAM (transisi menuju JJAS); (3) JJAS (ISMI kuat); (4) SON (transisi menuju DJF+1); (5) DJF+1 (AUSMI kuat); (6) MAM+1 (transisi menuju JJAS+1); (7) JJAS+1 (ISMI lemah); dan (8) 3
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
SON+1 (transisi menuju DJF). Dengan demikian, masing-masing musim diwakili oleh tahun-tahun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Pengelompokkan tahun-tahun yang mewakili evolusi musiman TBO Musim DJF MAM JJAS SON DJF+1 MAM+1 JJAS+1 SON+1
1982 1980 1980 1980 1980 1982 1982 1982
1987 1983 1983 1986 1986 1985 1985 1987
1989 1986 1986 1988 1988 1987 1987 1989
1991 1988 1988 1990 1990 1989 1989 1991
Tahun 1993 1990 1990 1992 1992 1991 1991 1993
1997 1992 1992 1996 1996 1993 1993 1997
Keterangan AUSMI 1994 1994 1998 1998 1995 1995
1996 1998 1996 1998
ISMI Kuat AUSMI
1997 1997
ISMI
2. Meninjau pengaruh ENSO terhadap TBO dengan melihat indeks suhu muka laut di wilayah Nino3.4 (Trenberth, 1997) untuk masing-masing musim, seperti yang ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Penentuan kondisi ENSO pada masing-masing musim dalam proses transisi TBO berdasarkan indeks Nino3.4 (Trenberth 1997) Musim
Tahun 1982 1987 1989 1991 1993 1997 DJF (EN) (EN) (N) (EN) (N) (EN) 1980 1983 1986 1988 1990 1992 1994 1996 MAM (EN) (EN) (N) (N) (N) (EN) (N) (N) 1980 1983 1986 1988 1990 1992 1994 1996 JJAS (N) (N) (N) (LN) (N) (EN) (EN) (N) 1980 1986 1988 1990 1992 1996 1998 SON (N) (EN) (LN) (N) (N) (N) (LN) 1980 1986 1988 1990 1992 1996 1998 DJF+1 (N) (EN) (LN) (N) (N) (N) (LN) 1982 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 MAM+1 (N) (LN) (EN) (LN) (EN) (EN) (N) (EN) 1982 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 JJAS+1 (EN) (N) (EN) (N) (EN) (EN) (N) (EN) 1982 1987 1989 1991 1993 1997 SON+1 (EN) (EN) (N) (EN) (N) (EN) Keterangan: EN menunjukkan kondisi El Nino, N untuk normal, LN untuk La Nina.
1998 (EN) 1998 (LN)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Rekonstruksi Model Konseptual TBO (Monsun Australia Lemah menuju monsun Australia Kuat) Model konseptual Meehl dan Arblaster (2002) akan direkonstruksi menggunakan beberapa parameter yang diasumsikan mewakili proses interaksi kopel atmosfer-darat-laut. 4
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Parameter yang digunakan antara lain angin zonal (850 dan 200 hPa) yang diharapkan dapat menggambarkan sirkulasi timur-barat skala-besar, suhu permukaan (darat dan laut) yang diasumsikan mewakili dinamika yang terjadi di permukaan baik di darat maupun laut, serta menggunakan parameter radiasi gelombang panjang (OLR) yang diasumsikan dapat menggambarkan pergerakan konvektif maksimum. Rekonstruksi model konseptual didasarkan pada pola TBO yang dihasilkan melalui analisis deret-waktu dari indeks monsun India (ISMI) dan Australia (AUSMI). Terdapat dua rangkaian evolusi musiman yang akan dibangun. Pertama, yang akan digunakan sebagai konfirmasi model konseptual yang telah ada, akan disusun suatu rangakaian evolusi musiman yang bermula dari DJF pada saat monsun Australia lemah menuju DJF pada saat monsun Australia kuat (DJF; MAM; JJAS; SON; DJF+1). Kedua, yang dilakukan sebagai analisis siklus TBO lanjutan yang diharapkan dapat melengkapi proses transisi TBO yang telah dibangun oleh Meehl dan Arblaster (2002) dan juga untuk memahami proses TBO secara lebih menyeluruh, akan dimulai dari DJF pada saat monsun Australia kuat menuju DJF pada saat monsun Australia lemah (DJF+1; MAM+1; JJAS+1; SON+1; DJF+2). Hasil yang didapat dari proses rekonstruksi sebagai konfirmasi model konseptual ditunjukkan pada Gambar 1 sedangkan proses TBO sebagai siklus lanjutannya ditunjukkan pada Gambar 2.
5
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1. Hasil rekonstruksi evolusi musiman dalam proses TBO berdasarkan model konseptual Meehl dan Arblaster (2002)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Hasil evolusi musiman yang ditunjukkan pada Gambar 1 kemudian dibandingkan dengan model konseptual TBO. Perbandingan ini mengungkapkan beberapa bukti bahwa parameter angin zonal dan OLR dapat menggambarkan Sirkulasi Walker Barat-Timur dan penjalaran pusat konvektif yang sesuai dengan model konseptual. Selain itu, parameter suhu permukaan laut dapat menggambarkan transisi suhu muka laut baik di daerah HindiaPasifik dan parameter suhu permukaan darat dapat menggambarkan penguatan monsun Asia Selatan pada bulan JJAS disebabkan oleh suhu permukaan daratan (wilayah India) yang lebih hangat pada musim dingin (DJF) yang mengawali monsun tersebut. Ketiga parameter tersebut di atas (angin zonal, suhu permukaan, OLR) dapat menggambarkan proses evolusi musiman TBO dengan baik. Namun, di antara ketiga parameter tersebut, parameter OLR dianggap lebih sesuai dengan model konseptual. Berdasarkan hasil konfirmasi ini, ketiga parameter yang digunakan di atas dapat digunakan pula untuk menganalisis proses transisi TBO sebagai pelengkap dari proses evolusi musiman TBO yang telah digambarkan oleh Meehl dan Arblaster (2002).
4. 2 Analisis Proses Transisi TBO (Monsun Kuat menuju Lemah Australia) Proses transisi dari DJF pada saat monsun Australia kuat menuju DJF, pada saat monsun Australia lemah ditunjukkan pada Gambar 2. Pada musim DJF saat monsun Australia kuat, yang ditunjukkan oleh distribusi pusat konvektif yang cukup besar di atas wilayah Australia utara, angin zonal (850 dan 200 hPa) memperlihatkan adanya pertemuan Sirkulasi Walker Barat dan Timur. Pertemuan ini membentuk konvergensi di dekat permukaan dan divergensi di lapisan 200 hPa dan memperkuat monsun yang terjadi. Selain itu, sebagai konsekuensi interaksi antara atmosfer-laut, angin zonal dekat permukaan akan berinteraksi dengan perpindahan massa air laut dan menyebabkan pengangkatan massa air dengan suhu yang lebih dingin dari laut yang lebih dalam (upwelling) yang terlihat di Pasifik Timur dan Hindia Tengah serta mengakibatkan penumpukkan massa air hangat di atas wilayah Australia Utara yang memberikan suplai kelembaban yang cukup untuk memperkuat pembentukan awan konvektif. Selain itu, pelemahan monsun Asia Selatan juga tergambarkan oleh OLR yang tinggi di atas wilayah India. Konsep pelemahan monsun yang disebabkan oleh suhu daratan pada saat musim dingin sebelum terjadinya monsun juga teridentifikasi. Berdasarkan analisis parameter OLR pada Gambar 2, terlihat adanya penjalaran pusat konvektif yang bermula dari wilayah Australia, bergerak menuju Pasifik Barat, kemudian berpindah ke Pasifik Tengah, hingga menuju Pasifik Timur. Hal ini diduga disebabkan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
karena adanya pengaruh ENSO terhadap TBO. Sehingga, untuk melihat pengaruh ENSO terhadap TBO, maka dilakukan analisis TBO pada saat kondisi normal, dengan cara menghilangkan tahun-tahun TBO dengan ENSO kuat.
4.3 Keterkaitan TBO dan ENSO TBO dan ENSO merupakan variasi interannual yang mempengaruhi wilayah monsun Asia-Australia dan juga mempengaruhi wilayah Pasifik Tropis (Chang dan Li, 2000). Chang dan Li (2000) memandang kedua osilasi tersebut sebagai satu sistem yang sama sedangkan peneliti lain melihatnya sebagai dua sistem yang terpisah dimana TBO dipengaruhi dan diatur oleh monsun, dan ENSO diatur oleh kopel atmosfer-lautan dari Pasifik tropis bagian timur. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat kedua osilasi tersebut berdampak pada wilayah Asia-Australia. Oleh karena itu, pada bagian ini, akan dilihat proses transisi TBO dimana pengaruh ENSO akan dihilangkan dengan cara mengeliminasi tahun-tahun TBO yang bersamaan dengan kejadian El Nino dan La Nina kuat. Berdasarkan indeks Nino3.4 untuk periode waktu yang sama dengan kajian ini, ditinjau kondisi ENSO pada masing-masing musim untuk TBO kuat, lemah, dan transisi yang ditunjukkan pada Tabel 2. Kemudian, untuk mengetahui pengaruh ENSO, maka dipilihlah musim-musim yang mengalami kondisi normal (untuk mengetahui proses transisi TBO tanpa pengaruh ENSO). Setelah itu, dilakukan kembali analisis komposit
masing-masing musim yang
menggambarkan evolusi TBO pada kondisi normal yang ditunjukkan pada Gambar 3. Proses analisis kemudian difokuskan pada parameter OLR karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, parameter ini dianggap lebih menggambarkan model konseptual TBO. Analisis proses transisi TBO tanpa mengikutsertakan proses ENSO di dalamnya (TBO pada kondisi normal) memberikan gambaran bahwa tidak terlihat adanya pusat konvektif yang menjalar ke wilayah Pasifik Barat, Tengah, hingga Timur seperti yang telah terobservasi sebelumnya (TBO yang masih dipengaruhi ENSO). Hal ini terutama terlihat ketika evolusi musiman OLR bergerak dari DJF pada saat monsun Australia kuat menuju DJF pada saat monsun Australia lemah. Namun, pola TBO tetap terlihat untuk wilayah monsun Australia dimana nilai anomali OLR besar (kecil) yang merepresentasikan munsun lemah (kuat) Australia diikuti oleh OLR kecil (besar) yang merepresentasikan monsun kuat (lemah) pada tahun setelahnya. Sedangkan untuk wilayah monsun India, pola TBO terlihat tidak sekuat pola TBO yang terlihat di wilayah monsun Australia. Hal ini memberikan
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
gambaran bahwa pola TBO tetap terjadi walaupun tanpa pengaruh ENSO dimana pola tersebut masih kuat teramati untuk wilayah monsun Australia namun pola TBO teramati lemah untuk wilayah monsun Asia Selatan (India).
5. KESIMPULAN Hasil analisis rekonstruksi model konseptual mengungkapkan bahwa parameter angin zonal dan OLR dapat menggambarkan sirkulasi Walker Barat-Timur dan penjalaran pusat konvektif yang sesuai dengan model konseptual TBO. Parameter suhu permukaan dapat menggambarkan transisi suhu muka laut di daerah Hindia-Pasifik selama proses TBO dan dapat pula mendukung konsep penguatan-pelemahan monsun yang disebabkan karena pengaruh suhu daratan di wilayah Asia Selatan (India). Proses transisi TBO dengan memasukkan kondisi ENSO, yang berawal dari monsun kuat menuju monsun lemah Australia mengungkapkan bahwa pergerakan konvektif maksimum yang bermula di atas wilayah India yang bergerak melewati BMI, Australia, kemudian ke arah Pasifik Barat, hingga ke Pasifik Timur. Hal ini berarti, jika pada musim DJF suatu tahun monsun Australia lemah, maka dua musim setelahnya (JJAS), Benua Maritim Indonesia akan didominasi oleh awan konvektif hingga monsun Australia pada tahun selanjutnya (DJF+1) terjadi. Namun, jika pada DJF suatu tahun monsun Australia kuat, maka satu musim setelahnya (MAM) hingga MAM pada tahun selanjutnya (MAM+1), Benua Maritim cenderung mengalami OLR yang cukup besar sepanjang tahun (tidak dilewati oleh pusat konvektif).
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2. Evolusi musiman proses TBO sebagai pelengkap model konseptual Meehl dan Arblaster (2002)
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b)
Gambar 3. Evolusi musiman OLR (TBO pada tahun-tahun normal): (a) monsun lemah menuju kuat Australia, dan (b) monsun kuat menuju lemah Australia
DAFTAR PUSTAKA Chang, C.P., dan Li, T., A theory for the tropical tropospheric biennial oscillation, Journal of Atmospheric Sciences, 57, 2209 – 2224, 2000. Goswami, B.N., A multiscale interaction model for the origin if the tropospheric TBO, Journal of Climate, 8, 524 – 534, 1995. Goswami, B.N., Interannual variations of Indian summer monsoon in a GCM: external conditions versus internal feedbacks, Journal of Climate, 11, 501 – 522, 1998. Kajikawa, Y., Wang, B., dan Yang, J., A multi-time scale Australian monsoon index, Int. J. Climatology, 30, 1114 – 1120, 2010. Kalnay, E., dan Coauthors., The NCEP/NCAR 40-Year reanalysis project, Bull. Amer. Meteor. Soc., 77 : 437 – 471, 1996.
11
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Meehl, G.A., The annual cycle and interannual variability in the tropical Pacific and Indian Ocean regions, Mon. Wea. Rev., 115, 27 – 50, 1987. Meehl, G.A., A coupled air-sea biennial mechanism in the tropical Indian and Pacific regions: role of the ocean, J. Climate, 6, 31 – 41, 1993. Meehl, G.A., dan Arblaster, J.M., The tropospheric biennial oscillation and AsianAustralian monsoon rainfall, J. of Climate, 15, 722 – 744, 2002. Nicholls, N., Air-sea interaction and the quasi-biennial oscillation, Mon. Wea. Rev., 106, 1505 – 1508, 1978. Ropelewski, C.F., Halpert, M.S., dan Wang, X., Observed tropospheric biennial variability and its relationship to Southern Oscillation, J. Climate, 5, 594 – 614, 1992. Trenberth, K.E. , The definition of El Nino, Bull. Amer. Met., 78(12), 2771 – 2777, 1997. Wang, B., dan Fan, Z., Choice of South Asian Summer Monsoon Indices, Bull. Amer. Met., 80(4), 629 – 638, 1999. Yang, S., Lau, K.M., dan Rao, M.S., Precursory signals associated with the interannual variability of the Asian summer monsoon, J. Climate, 9, 949 – 964, 1996. Yasunari, T., The monsoon year – a new concept of the climate year in the tropics, Bull. Amer. Meteorol. Soc., 72, 1331 – 1338, 1991.
12
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGARUH KONSENTRASI ION NH4+ DAN Ca2+ TERHADAP NETRALISASI HUJAN ASAM DI DAERAH CIPEDES, KEBON KALAPA, SOREANG DAN CIKADUT Asri Indrawati, Dyah Aries Tanti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
[email protected];
[email protected]
Abstract
Neutralization of acid rain is influenced by cation ion concentration contained in rain water, especially NH4 + and Ca2 + ions. From neutralization factor calculations, it was found that neutralization of rainwater acidity in Cipedes area affected by NH4+ ions by neutralization factor values from 0.3 to 1.4, whereas for the area Kb. Kalapa, Soreang and Cikadut, more influenced by Ca2+ ions with a range of values of the neutralization factor from 0.1 to 3.4. This indicated also by the new pH value which takes into account the concentration of NH4+ ions in rainwater pH calculation. Keywords : neutralization factor, rainwater, pH, NH4+, Ca2+
Abstrak Netralisasi hujan asam di pengaruhi oleh konsentrasi ion kation yang terkandung dalam air hujan, terutama ion NH4+ dan ion Ca2+. Dari perhitungan faktor netralisasi, didapatkan bahwa netralisasi keasaman air hujan di daerah Cipedes dipengaruhi oleh ion NH4+ dengan nilai faktor netralisasi sebesar 0,3 – 1,4. Untuk daerah Kebon Kalapa, Soreang dan Cikadut, lebih banyak dipengaruhi oleh ion Ca2+ dengan rentang nilai faktor netralisasi sebesar 0,1 – 3,4. Hal ini ditunjukkan pula oleh nilai pH baru (pH kalkulasi) yang memperhitungkan konsentrasi ion NH4+ dalam perhitungan pH air hujan. Kata Kunci : faktor netralisasi, air hujan, pH, NH4+, Ca2+ 1. PENDAHULUAN Sumber basa di atmosfer mempunyai pengaruh dalam penetralan keasaman air hujan. Sumber basa yang utama adalah NH3 dan CaCO3 (Wang, et al 2002). Amonia dalam bentuk gas (NH3) berhubungan erat dengan kehadiran amonium (NH4+) di atmosfer, yang pada gilirannya amonium ini bertindak sebagai senyawa penetral di atmosfer dan juga berkontribusi terhadap masalah pengasaman atmosfer (Wameck, 1999).
Kalsium,
Magnesium dan Natrium dalam air hujan berasal dari garam-garam lautan dan dari tanah (Carroll, 1962). Wang (Wang et al., 2002 dalam GAO et al 2010) mengungkapkan bahwa ion Ca2+ yang terkandung dalam aerosol tanah di kawasan Asia Timur memiliki pengaruh netralisasi yang kuat pada pH curah hujan dan dapat menaikkan pH rata-rata tahunan (0,8 – 2,5) di Cina Utara dan Korea.
13
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Perhitungan faktor netralisasi digunakan untuk melihat pengaruh kation terhadap netralisasi keasaman air hujan. Dilakukan pula perhitungan nilai pH baru dengan memperhitungkan konsentrasi H+ dan konsentrasi ion NH4+ untuk mengetahui seberapa besar pengaruh netralisasinya terhadap nilai keasaman air hujan. Perhitungan faktor netralisasi dan pH
baru digunakan untuk melihat sumber basa mana yang paling
mempengaruhi nilai keasaman air hujan di suatu daerah (Possanzini et al, 1988 dan GAO et al 2010). Tujuan dari penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh NH4+ dan Ca2+ pada penetralan keasaman air hujan untuk daerah Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut, yang
nantinya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya mengenai penetralan
keasaman air hujan dan dapat juga digunakan untuk mendeteksi apakah terjadi perubahan kondisi lingkungan pada daerah tersebut.
2. DATA DAN METODE Data yang digunakan yaitu data konsentrasi kation dan anion air hujan daerah Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut – Bandung kurun waktu 2007 – 2011. Dengan menggunakan data rata-rata bulanan konsentrasi ion NH4+ dan Ca2+ untuk setiap daerah dari tahun 2007 -2011 dilakukan perhitungan faktor netralisasi (NFs) dengan menggunakan persamaan berikut (Possanzini et al 1988). (1) Dimana Xi adalah konsentrasi kation yang diinginkan, dalam penelitian ini adalah NH4+ dan Ca2+. Semua ion dinyatakan dalam µeq/l. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai pH baru (pH kalkulasi) dengan memperhitungkan nilai konsentrasi H+ dan NH4+ dengan menggunakan persamaan berikut (Wang et al 2002 dalam GAO et al, 2010). pH =-log ([H +] + [NH4 +])
(2)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengaruh Nilai Faktor Netralisasi NH4+ dan Ca2+. Secara teoritis penurunan pH dalam air hujan terutama disebabkan oleh larutnya polutan SO42- dan NOx, sedangkan peningkatan pH disebabkan oleh terlarutnya kalsium (Ca2+) dan amonia (NH3) dalam air hujan (Sari dkk, 2007). Peningkatan pH yang terjadi
14
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
pada air hujan mengindikasikan telah terjadinya proses netralisasi keasaman air hujan oleh sumber basa utama yang ada di atmosfer, yaitu kalsium dan amonia (Wameck, 1999). Untuk melihat hubungan antara konsentrasi NH4+ dan Ca2+ yang terlarut di dalam air hujan terhadap proses penetralan keasaman air hujan tersebut dilakukan perhitungan faktor netralisasi (NFs) masing-masing untuk NH4+ dan Ca2+ di setiap daerah. Faktor netralisasi digunakan untuk mengevaluasi penetralisir keasaman air hujan oleh lapisan kerak dan amonia. Semakin tinggi nilai faktor netralisasi, menunjukkan bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat terhadap keasaman air hujan (Possanzini et al 1988). Hasil yang diperoleh pada perhitungan faktor netralisasi untuk masing-masing daerah memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2007 - 2011daerah Cipedes penetralan keasaman air hujan lebih dipengaruhi oleh NH4+ dengan rentang nilai antara 0,3 – 1,4. Sedangkan untuk daerah Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut terjadi perubahan pengaruh penetralan. Pada tahun 2007 – 2008 penetralan keasaman air hujan dipengaruhi oleh ion NH4+, namun pada tahun 2009 – 2011 penetralan keasaman air hujan lebih banyak dipengaruhi oleh Ca2+ yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut. Hal tersebut sejalan dengan berubahnya kondisi lingkungan di daerah Kebon Kalapa, Soreang dan Cikadut. Di daerah Soreang terjadi perubahan penggunaan lahan dimana lahan persawahan berubah menjadi pemukiman penduduk. Kemudian bukit-bukit yang ditumbuhi pepohonan sekarang telah habis terkikis karena digunakan sebagai penambangan pasir. Keadaan ini membuat NH4+ yang teremisikan dari penggunaan pupuk berkurang dengan semakin sedikitnya lahan pertanian, digantikan dengan teremisikannya Ca2+ ke udara yang berasal dari penambangan pasir. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang (Wang et al, 2002 dalam GAO 2010) di daerah Cina Utara dan Republik Korea, konsentrasi Ca2+ dan nilai pH dalam air hujan jauh lebih tinggi dibandingkan Cina Selatan dan Jepang. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya Ca2+ yang terdapat dalam aerosol tanah, sehingga kemampuan netralisasi oleh NH4+ tidak menonjol di daerah tersebut.
15
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
Gambar 1. Nilai faktor netralisasi antara ion NH4+ dan ion Ca2+ daerah Cipedes (a), Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).
16
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3.2 Nilai pH air hujan dan pH kalkulasi.
(a)
Gambar 2. Perbandingan pH air hujan dengan pH kalkulasi daerah Cipedes (a), Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).
Pada amonium, tingginya nilai faktor netralisasi tidak langsung menunjukkan bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap keasaman air hujan. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh amonia terhadap netralisasi pH air hujan, maka dilakukan analisis perhitungan pH 17
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
kalkulasi antara ion amonium dengan nilai pH hujan. Perhitungan pH kalkulasi tidak hanya memperhitungkan nilai H+ tapi juga memasukkan konsentrasi ion NH4+ ke dalam perhitungan nilai pH. Ion amonium di produksi oleh amonia dalam kombinasi dengan H+. Jika tidak ada amonia di atmosfer, maka konsentrasi H+ harus meningkat, sehingga perlu dimasukkannya konsentrasi NH4+ dalam perhitungan nilai pH (GAO, et al., 2010).
Dari hasil perhitungan pH kalkulasi yang dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini didapatkan bahwa amonia tidak secara signifikan mempengaruhi penetralan keasaman air hujan di daerah Cipedes. Tingkat signifikasi yang diperoleh hanya 40% saja. Kondisi ini menandakan bahwa keberadaan kation lain seperti Natrium dan Magnesium selain Amonium
yang terlarut dalam air hujan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penetralan keasaman air hujan daerah Cipedes.
4. KESIMPULAN Ion amonium dan ion kalsium mempunyai pengaruh yang besar terhadap penetralan keasaman air hujan yang ditunjukkan dengan nilai faktor netralisasi yang cukup besar, yaitu daerah Cipedes dengan rentang 0,3 – 1,4 untuk NH4+; 0,04 – 0,9 untuk Ca2+. Kb. Kalapa dengan rentang 0,005 – 3,4 untuk NH4+; 0,18 – 2,9 untuk Ca2+. Soreang dengan rentang 0,01 – 0,9 untuk NH4+; 0,09 – 0,9 untuk Ca2+. Cikadut dengan rentang 0,01 – 0,8 untuk NH4+; 0,1 – 2,0 untuk Ca2+. Dari perhitungan pH kalkulasi diperoleh bahwa penetralan di daerah Cipedes tidak hanya dipengaruhi oleh amonium, namun juga dipengaruhi oleh kation lain seperti Natrium dan Magnesium.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih untuk Laboratorium Kimia Lapan Bidang Komposisi Atmosfer untuk data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini, serta Ir. Tuti Budiwati, M.Eng atas bimbingannya.
DAFTAR RUJUKAN Carroll Dorothy., Rainwater as a Chemical Agent of Geologic Process – A Review. Geological Survey Water-Supply Paper 1535-G, 1962.
18
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
GAO chao, et al., Ammonium Variational Trends and the Ammonia Neutralization Effect on Acid Rain over East Asia.
ATMOSPHERIC AND OCEANIC SCIENCE
LETTERS, VOL. 3, NO. 2, 120−126, 2010. Possanzini, M., P. Buttini, and V. D. Palo., Characterization of a rural area in terms of dry and wet deposition, Sci. Total Environ.,74,111-120, 1988. Sari, R. Puripuspita, Siti Badriyah R., Hermawan R., Hujan Asam Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kabupaten dan Kota Bogor. Media Konservasi Vol XII, No 2, 77 – 79, 2007. Wang, Z., H. Akimoto, and I. Uno., Neutralization of soil aerosol and its impact on the distribution of acid rain over east Asia: Observations and model results, J. Geophys. Res, 107, D19, 4389, doi: 10.1029/2001JD001040, 2002. Warneck, P., Chemistry of the Natural Atmosphere. International Geophysical Series 71, Academic Press Inc., San Diego, 1999.
19
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PERUBAHAN REJIM HIDRO-KLIMAT MUSIMAN PADA ALIRAN SUNGAI CISANGKUY BANDUNG SELATAN Dadang Subarna Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Email:
[email protected]
Abstract Obsevation of the temporal hydro-climate variablity in the watershed show a random. The research of seasonal hydro-climate regime alteration about transformation of seasonal hydro-climate regime was conducted in Cisangkuy watershed southern Bandung. The research was based on daily data observation of Cisangkuy river streamflows 20012012 years which is divided to become the rainy (DJF), dry (JJA) and transition (MAM, SON) season between both. Method applied is determination and fitting the probability density function (PDF) of seasonal streamflow with Kolmogorov-Smirnov statistic test. Found that the daily mean of DJF, MAM, JJA, SON each are 19 m3/s, 23 m3/s, 8.9 m3/s , 115 m3/s with seasonal probability density function each are Lognormal PDF (μ= 2.8, σ= 0.6), Normal PDF (μ =23, σ=10), Exponential PDF (= 0.11), Exponential PDF(= 0.09). The parameters estimated to build the PDF and their accuracy are examined by Kolmogorov-Smirnov method. The result of this reseach indicates that the streamflow regime already happened the interseasonal alteration of Cisangkuy river significantly during time period observation of the years 2001-2012, causing changes the characteristics hydro-climate interseason at the watershed. Implication of the alteration of this regime will change the precision of suspect periodic flooding and estimation of design flood debit. Key words: Regime alteration, PDF, interseasonal, hydroclimate, watershed. Abstrak Variablitas temporal hidro-klimat hasil pengamatan dalam suatu daerah tangkapan air menunjukkan sifat random. Penelitian tentang perubahan rejim hidro-klimat musiman telah dilakukan di daerah aliran sungai Cisangkuy, Bandung Selatan. Penelitian didasarkan pada data pengamatan aliran sungai Cisangkuy harian dari tahun 2001-2012 yang dibagi menjadi musim penghujan, musim kemarau dan musim transisi antar keduanya. Metode yang digunakan adalah penentuan PDF musiman dengan uji statistik KolmogorovSmirnov. Ditemukan bahwa rata-rata debit harian DJF, MAM, JJA, SON masing-masing adalah 19 m3/s, 23 m3/s, 8,9 m3/s, 11,5 m3/s dengan probabilitas musiman masing-masing PDF Lognormal (μ=2,8, σ=0,6), PDF Normal (μ=23, σ=10), PDF Eksponential (=0,11), PDF Eksponential (=0,09). Parameter-parameter ini merupakan estimasi untuk membangun PDF dan keakuratannya diuji dengan metode Kolmogorov-Smirnov. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan rejim aliran sungai Cisangkuy yang sangat signifikan antar musiman selama periode waktu pengamatan tahun 2001-2012, sehingga berubah karakteristik hidro-klimat antar musim pada daerah tangkapan air tersebut. Implikasi perubahan rejim ini akan mempengaruhi ketepatan dugaan banjir periodik dan estimasi debit rancangan. Kata Kunci: Perubahan rejim, fungsi densitas probabilitas, antar musiman, hidroklimat, daerah aliran sungai.
20
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Karakteristik probabilitas dari variabilitas streamflow di dalam daerah aliran sungai memiliki implikasi sosial dan ilmiah yang penting karena memiliki dampak penting pada proses-proses biogeokimia dalam sungai (Ceola, 2012). Karakteristik probabilitas ini juga berimplikasi pada eksploitasi manusia terhadap air sungai dan jasa ekologis dari tepi sungai dan lingkungan sungai. Streamflows di daerah aliran sungai seluruhnya yang tertutup merupakan hasil dari banyak proses-proses ecohydrological dan iklim yang terkait, seperti infiltrasi dari curah hujan, evapotranspirasi dan aliran dari proses skala bentang alam yang terkait dengan meteorologi, kondisi fisis permukaan dan vegetasi. Kondisi
permukaan vegetatif secara fisis menghasilkan produksi aliran dan
dinamika transport
yang terjadi di daerah cekungan yang tidak dikanalisasi dan
terkanalisasi (Eng dan Milly, 2007; Magruder et al., 2009). Fluktuasi intrinsik streamflows, yang kini dikenali sebagai unsur kunci sistem sungai alami, mencerminkan sifat yang stokastik di semua proses yang mendasarinya seperti salah satunya data stokastik curah hujan (Ceola, 2012).. Memahami perubahan musiman sampai antar tahunan hidroklimat di suatu daerah tangkapan air
sangat membantu dalam pengembangan
pendekatan
proaktif
untuk
pengelolaan air . Oleh karena itu kemampuan bersama antar para ahli untuk bekerja sama dalam memprediksi hidroklimat dan mengelola air sangat relevan dalam manajemen pasokan dan permintaan air secara efektif. Para pihak terkait (Stakeholders) seperti ahli iklim, ahli hidrologi, badan pembuat prakiraan, pemanfaatan air, operator irigasi dan badan pengelola air, bersama-sama harus memahami tantangan dan kesempatan dalam pengembangan prediksi hidroklimat yang relevan untuk pengelolaan sumberdaya air. Beberapa pertanyaan yang muncul adalah : apa sumber kunci dari ketidakpastian yang menjadi tantangan prediksi hidroklimat pada skala harian, musiman dan antar tahunan, bagaimana cara terbaik untuk mereduksi
ketidakpastian dan meningkatkan prediksi
hidroklimat regional, apa yang menjadi tantangan dalam menggunakan informasi aliran sungai probabilistik dalam model pengelolaan sumberdaya air secara operational dan piranti pendukung keputusan, dan apa batasan dalam aplikasi prediksi aliran yang real time dan bagaimana menjembatani gap antara badan prediksi
yang
menghasilkan informasi
(lembaga riset, badan riset) dan prediksi kebutuhan konsumen (pengelola
sumberdaya air, badan operasional) untuk meningkatkan aplikasi dalam pengelolaan air. Pada makalah ini, sebagian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dicoba dijawab dengan melakukan kajian perubahan rejim musiman yang akan membantu pembuatan keputusan 21
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dalam pengelolaan sumberdaya air. Bulan-bulan apa saja di daerah tangkapan air Cisangkuy yang menunjukkan surplus dan bulan-bulan apa saja yang akan mengalami defisit. Pengetahuan
ini penting untuk meningkatkan
mitigasi terhadap implikasi
perubahan rejim yang bisa mengubah ketepatan dugaan banjir periodik atau estimasi debit rancangan dan penggunaan air sungai.
2. DATA DAN METODE Data streamflow rata-rata harian didapat dari Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Jawa Barat dari tahun 2001-2012. Data diambil dari pengukuran stasiun hidrologi di sungai Cisangkuy, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 .
Gambar 2.1 Peta daerah aliran sungai Cisangkuy dan lokasi pengamatan hidrologi 2.1. Distribusi Lognormal Distribusi lognormal dalam bentuk sederhana adalah fungsi densitas dari sebuah variabel acak yang logaritmanya mengikuti hukum distribusi normal. Adapun definisi dari distribusi lognormal dengan µ adalah rata-rata dan σ adalah varian dapat diungkapkan dalam bentuk rumus matematikanya adalah sebagai berikut :
(1) dimana x adalah variabel acak dan f(x) adalah fungsi distribusi densitas.
2.2. Distribusi Normal Distribusi normal berupa kurva berbentuk lonceng setangkup yang melebar tak berhingga pada kedua arah positif dan negatifnya. Penggunaanya sama dengan penggunaan
22
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
kurva distribusi lainnya. Frekuensi relatif suatu variabel yang mengambil nilai antara dua titik pada sumbu datar. Tidak semua distribusi berbentuk lonceng setangkup merupakan distribusi normal. Distribusi normal ini biasa disebut juga dengan distribusi Gauss dan dirumuskan dalam bentuk matematika sebagai berikut:
(2) 2.3. Distribusi Exponential Distribusi eksponensial memiliki standar deviasi sama dengan rata-rata. Distribusi ini termasuk ke dalam distribusi kontinu. Ciri dari distribusi ini adalah kurvanya mempunyai ekor di sebelah kanan dan nilai x dimulai dari 0 sampai tak hingga. Bentuk matematikanya adalah sebagai berikut:
(3) 2.4. Uji Statistik Kolmogorov-Smirnov Uji Kolmogorov-Smirnov termasuk dalam uji nonparametrik untuk kasus satu sampel. Uji statistik ini digunakan untuk menguji asumsi normalitas data. Tes dalam uji ini adalah tes goodness of fit yaitu tes tersebut untuk mengukur tingkat kesesuian antara distribusi serangkaian data observasi dengan distribusi teoritis tertentu. (4) F1,n dan F2,n’ adalah fungsi teoritis dan observasi. Hipotesis null ditolak pada level jika:
(5)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemahaman fisis pengaruh iklim terhadap sumberdaya air di daerah tangkapan air sangat bermanfaat untuk menganalisis pengaruh musiman pada aliran sungai. Daerah tangkapan air Cisangkuy termasuk pada zona iklim lembab sesuai dengan klasifikasi iklim Koeppen (Elmhurst College, 2013). Daerah itu dicirikan dengan musim penghujan pada bulan Desember, Januari dan Februari yang mencapai curah hujan maksimum dan bulan Juni,Juli dan Agustus musim kering dengan curah hujan minimum. Bulan-bulan lain,
23
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Maret,April dan Mei serta September, Oktober dan November adalah bulan-bulan transisi antara keduanya. Pola-pola fluktuasi ini sangat mempengaruhi pola aliran sungai di daerah tersebut, seperti tampak pada Gambar 1.
Gamba 1. Data streamflow yang dibagi menjadi bulan-bulan basah (DJF), bulan-bulan kering (JJA) dan bulan-bulan transisi antara keduanya (SON) dan (MAM).
Pola distribusi untuk ke empat plot pada Gambar 1 ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Estimasi fungsi distribusi probabilistik untuk masing-masing musim.
24
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 1. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk masing-masing musim.
Hasil
pengujian
dengan
menggunakan
metode
uji
Kolmogorov-Smirnov
ditunjukkan pada Tabel 1. Uji Kolmogorov-Smirnov biasa digunakan untuk memutuskan jika sampel data berasal dari populasi dengan distribusi tertentu. Uji ini membandingkan serangkaian data pada sampel terhadap distribusi tertentu dengan serangkaian nilai dengan rata-rata dan standar deviasi yang sama. Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan uji yang lebih kuat daripada uji chi-square ketika asumsi-asumsinya terpenuhi. Uji KolmogorovSmirnov juga tidak memerlukan asumsi bahwa populasi data terdistribusi secara normal. Hipotesis null pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut: H0: data mengikuti distribusi yang ditetapkan H1 : data tidak mengikuti distribusi yang ditetapkan Teori pengambilan keputusan: Terima H0 dan tolak H1 bila P-Value lebih besar dari α atau tolak H0 dan terima H1 bila P-Value lebih kecil dari α. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov dan keputusan berdasarkan hipotesis null DJF
JJA
SON
MAM
D
0,041<0,05
0,092>0,05
0,148>0,05
0,060>0,05
P-value
0.547>0.05
0,003 <0.05
<0,0001 <0,05
0,139>0,05
Level α
0.05
0.05
0.05
0.05
Keputusan
Terima H0
Tolak H0
Tolak H0
Terima H0
25
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4. KESIMPULAN Rata-rata debit harian DJF, MAM, JJA, SON masing-masing adalah 19 m3/s, 23 m3/s, 8,9 m3/s, 11,5. Fungsi probabilitas musiman untuk DJF, MAM, JJA, SON adalah PDF Lognormal (µ=2,8, σ=0,6), PDF Normal (μ=23, σ=10), PDF Eksponential (=0,11), PDF Eksponential (=0,09). Hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk DJF dan MAM adalah Ho diterima dan H1 ditolak serta untuk JJA dan SON adalah Ho ditolak dan H1 diterima. Telah terjadi perubahan rejim aliran sungai Cisangkuy yang sangat signifikan antar musiman selama periode waktu pengamatan tahun 2001-2012. Implikasi perubahan rejim ini akan mempengaruhi ketepatan dugaan banjir periodik dan estimasi debit rancangan.
DAFTAR RUJUKAN Ceola, S., Hydrologic Drivers and Controls of Stream Ecological Processes, Doctoral Thesis, École Polytechnique Federale De Lausanne 2012. Botter, G.,et al., Natural streamflow regime alterations: Damming of the Piave river basin (Italy), Water Resources Research, Vol. 46, W06522, doi:10.1029/2009WR008523, 2010. Eng, K. And Milly, P. Relating low-flow characteristics to the base flow recession time constant at partial record stream gauges. Water Resources Research, 43(1). 2007. Magruder, I., Woessner, W., and
Running, S. Ecohydrologic process modeling of
mountain block groundwater recharge. GroundWater, 47(6):774–785. 2009. Elmhurst College, http://www.elmhurst.edu/., Köppen Climate Classification, diakses November 2013
26
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGEMBANGAN MODEL SISTEM IKLIM UNTUK PEMBELAJARAN PARA SISWA Dadang Subarna Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Email:
[email protected]
Abstract. To disseminate understanding on the climate system and its elements to students in a climate model a tool was needed to developed for climate system teaching. The Teaching of earth system science provides a temporal perspective that broadly integrates scientific understanding of the connections and interactions among the atmosphere, hydrosphere, biosphere, cryosphere, solid earth, and space. The climate system and their elements which are viewed as complex system are modelled by (SD) system dynamics method. System dynamics is a methodology for studying and managing complex systems that change over time. The method uses computer modeling i.e Stella or Powersim to focus our attention on the information feedback loops that give rise to the dynamic behavior. The result, in this paper, is a prototype of global energy balance model to help the student to understand the earth climate system model to simulate variations in global temperature, then they can use the model to make predictions about future climates. Key words: Climate System, Climate Model, Teaching, Stella or Powersim Abstrak Untuk menyebarluaskan pemahaman tentang sistem iklim dan elemen-elemennya bagi para siswa dalam sebuah model iklim maka perlu dikembangkan piranti pembelajaran tentang sistem iklim. Pembelajaran sains kebumian sebagai sebuah sains sistem tentang kebumian menyediakan perpektif pemodelan temporal yang mengintegrasikan secara luas tentang pemahaman sains kompleks berbagai hubungan dan interaksi antara atmosfer, hidrosfer, biosfer, kreosfer, litosfer dan ruang angkasa. Sistem iklim dan elemenelemennya yang dipandang sebagai sistem kompleks dimodelkan dengan metode sistem dinamik (SD). Sistem dinamik adalah suatu metodologi untuk mempelajari dan mengelola sistem kompleks yang berubah terhadap waktu. Metode ini menggunakan pemodelan komputer seperti Stella atau Powersim untuk memfokuskan perhatian pada putaran umpan balik informasi yang menghasilkan perlaku dinamik. Hasilnya adalah pengembangan prototipe model kesetimbangan energi global untuk membantu para siswa memahami sistem ikllim bumi dalam mensimulasikan variasi temperatur global dan mampu mengunakan model untuk prediksi iklim masa mendatang. Kata Kunci: Sistem Iklim, Model Iklim, Pembelajaran, Stella atau Powesim
1. PENDAHULUAN Perubahan iklim sedang terjadi yang sangat mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia dan memiliki resiko yang signifikan pada rentang yang luas bagi sistem kehidupan manusia dan alami (NRC, 2012). Setiap ton tambahan gas rumah kaca
27
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
diemisikan ke atmosfer mempunyai konsekuensi terhadap perubahan lebih lanjut dan beresiko lebih besar. Mengembangkan pendidikan tentang perubahan iklim harus dimulai dengan suatu gambaran yang jelas tentang bagaimana para siswa saat ini memahami persoalan, kualitas buku pelajaran dan bahan-bahan kurikulum yang tersedia untuk mengajar tentang perubahan iklim, dan bagaimana perubahan iklim diajarkan di dalam kelas dan di luar kelas. Boyes (2011) dari Universitas Liverpool menggambarkan penelitian tentang mental model yang harus dipahami para siswa bahwa di seluruh dunia telah menghadapi pemanasan global dan iklim berubah,
Marcinkowski
(2011) dari
Florida Institute
Teknologi membahas literasi iklim dan ilmu mendidik, dan NOAA (National Ocenaic dan Atmospheric Administration) tahun 2012 membahas tentang sifat ilmu alam dan kualitas bahan-bahan yang tersedia untuk mengajar para siswa. Membangun suatu model iklim yang sederhana untuk mengajarkan tentang apa dan bagaimana perubahan iklim terjadi diajar di sekolah mulai berkembang di negara-negara maju (NRC, 2012). Bagaimana cara terbaik untuk mengajarkan perubahan iklim di kelaskelas. Faktor-faktor apa yang menghalangi proses pengajaran perubahan iklim di sekolahsekolah dan inovasi-inovasi apa tentang pendidikan adalah topik-topik dalam (NRC, 2012).
iklim dan perubahannya dalam kurikulum
workshop
tentang pendidikan perubahan iklim
Perubahan iklim adalah suatu topik yang kompleks, Boyes
(2011)
menerangkan bahwa radiasi benda-hitam, absorpsi oleh atmosfer pada frekuensi tertentu, ilmu pengetahuan atmosfer dan pola cuaca , tidak disebut
stokastik pada prediksi
fluktuasi iklim, sehingga hal ini menjadi persoalan yang sulit. Para guru yang baik terbiasa membuat gagasan-gagasan sulit yang dapat diakses oleh para siswa dengan penyederhanaan bahan kompleks dan menggunakan model-model untuk menerangkannya. Para guru juga memahami pentingnya pemahaman siswa pada gagasan, keyakinan, dan kesalahpahaman yang sebelumnya terjadi. Penelitian tentang pemahaman siswa terhadap isu perubahan iklim
menunjukkan bahwa para siswa
mempunyai banyak kesalahpahaman (Shepardson et al., 2011). Sebagai contoh, banyak para siswa mengacaukan pemanasan global dengan deplesi ozon dan percaya bahwa semua polutan berkontribusi pada semua permasalahan lingkungan. Banyak siswa juga tidak memahami bagaimana pemanasan global diterjemahkan ke dalam fluktuasi iklim dan mengapa hal tersebut tidak membuat setiap tempat naik menjadi lebih hangat (Boyes, 2011). Oleh karena negara maju begitu antusias mewariskan generasi penerusnya dengan memberikan pemahaman yang tepat tentang persoalan perubahan iklim, maka negara 28
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
berkembang juga harusnya tidak ketinggalan dalam merintis pembuatan model-model sederhana dengan bahasa pemrograman yang mudah dan murah diakses oleh kalangan siswa. Makalah ini dibuat untuk memperkenalkan bahasa pemrograman Stella atau Powersim untuk digunakan dalam pembelajaran
perubahan iklim bagi para siswa.
Sehingga tujuan makalah ini adalah untuk mengembangkan model sistem iklim berbasis sistem dinamik (SD) dengan menggunakan piranti Stella atau Powersim.
2. DATA DAN METODE Sistim dinamik (SD) telah digunakan secara luas di dalam studi lingkungan dan sistem energi. Pada makalah ini diuraikan tentang aplikasi permasalahan perubahan iklim global berubah. Aplikasi yang dipilih untuk menggambarkan kemampuan metode di dalam pemahaman masalah interdisiplin yang kompleks. Informasi di dalam Gambar 1 digunakan untuk menciptakan suatu Global Energy Balance Model (GEBM) untuk sistim iklim. Laju perubahan suhu permukaan bergantung pada intensitas radiasi surya di puncak atmosfer
(TOA), pantulan permukaan dan
atmosfer, absorpsi atmsofer terhadap radiasi surya, dan ketebalan lapisan tercampur. Laju perubahan suhu permukaan juga bergantung pada suhu permukaan, emisivitas atmosfer, suhu atmosfer, fluks panas laten dan sensibel dari permukaan, dan ketebalan lapisan tercampur. Model diasumsikan bahwa emisivitas atmosfer dapat berubah dengan kenaikan konsentrasi karbon dioksida atau kandungan uap air di atmosfer. Ketika semua umpan balik dijalankan maka model diasumsikan bahwa pantulan permukaan dan kandungan uap air di atmosfer bergantung pada suhu permukaan dan fluks panas laten dan sensibel dari permukaan dikendalikan oleh nilai perbedaan suhu antara permukaan dan atmosfer. Asumsi ini berarti pula umpan balik dari albedo es, uap air, dan fluks panas laten dan sensibel.
29
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1. Global Energy Balance Model (GEBM) untuk sistim iklim yang digunakan untuk membangun model kesetimbangan radiasi.
Umpan balik iklim dapat meningkatkan (umpan balik positif) atau penyangga (umpan balik negatif) perubahan iklim. Salah satu umpan balik yang terkenal adalah umpan balik
uap air. Idenya adalah ketika permukaan bumi menghangat karena
peningkatan gas rumah kaca atau radiasi surya maka lebih banyak uap air yang menguap ke dalam atmosfer. Karena uap air adalah suatu gas rumah kaca yang kuat maka peningkatan uap air akan meningkatkan atau memperkuat dalam suhu permukaan. Bagan sebab-akibat (causal memberikan
penjelasan
perubahan-perubahan awal
loop)
pada Gambar 2 dapat
secara singkat tentang proses-proses yang secara fisis
bertanggung jawab untuk umpan balik uap air.
Gambar 2. Hubungan causal loop antar elemen pada sistem pada model kesetimbangan energi .
30
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Loop paling atas memberi penjelasan bahwa uap air atmosfer naik maka akan meningkatkan emisivitas atmosfer sehingga menghasilkan suatu fluks yang mengarah ke bawah yang lebih besar dari radiasi
merah infra (IR) yang akan meningkatkan laju
pemanasan permukaan. Loop paling bawah memberikan gambaran bahwa bila uap air atmosfer naik maka akan meningkatkan absorbtivity atmosfer sehingga menghasilkan suhu rata-rata atmosfer yang lebih besar dan fluks yang mengarah ke bawah lebih besar dari radiasi IR yang juga akan meningkatkan laju pemanasan permukaan. Hubungan sebabakibat ini dapat dirangkai dalam bahasa pemrograman Stella seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dan berikut persamaan yang menghubungkan antar elemen pada Gambar 4.
Gambar 3. Hubungan antar variabel pada piranti Stella dan persamaannya pada Gambar 4.
31
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 4. Persamaan yang menghubungkan antar elemen pada GEBM
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Masalah pemahaman efek gas rumah kaca yang antropogenik terhadap perubahan iklim perlu diberikan kepada para siswa dengan lebih mudah. Para pengajar diharapkan mampu menerangkan padad kondisi beragam.
kemampuan dan latar belakang para siswa yang
Mata pelajaran dan metode pembelajaran memerlukan peningkatan
relatif inovatif
dan harus disesuaikan
ketertarikan yang berkembang
dengan
sasaran
terus pada piranti
satuan pelajaran.
yang
Saat ini,
e-pembelajaran berbasis komputer
dengan strategi pembelajaran yang inovatif. Salah satu yang sekarang berkembang adalah aplikasi berbasis web untuk proses-proses iklim. Terdapat banyak pilihan dengan antar muka yang sangat mudah atau agak rumit untuk memfasilitasi pembelajaran dan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas sistem iklim. Sebagai contoh dalam Java dan beberapa tahap yang diperlukan untuk memodelkan iklim dengan bantuan Matlab
atau
Stella
(http://www.carleton.edu/departments/geol/DaveSTELLA
/climate/climate_modeling_1.htm. Perangkat yang lebih kompleks yang digunakan para
32
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
siswa untuk pembelajaran sistem iklim tersedia di web (EdGCM, 2007: The Project, http://edgcm.columbia.edu/ ). Pembelajaran dengan metode pedagogik inovatif dapat memberikan keuntungan untuk para pelajar dibandingkan dengan mengingat sejumlah persamaan. Beberapa dukungan pedagogik seperti blackboards, textbook, transparansi dan
video telah dilengkapi dengan piranti pembelajaran
berbasis komputer sangat
membantu. Seperti untuk memahami peningkatan efek umpan balik gas rumah kaca CO2 dengan berbagai konsentrasi dan beberapa variabel kontrol yang dimasukan ditunjukkan pada Gambar 5 sampai Gambar 10. Untuk variabel kontrol pada Gambar 5 dengan konsentrasi CO2 sebesar 320 ppm didapat pola suhu permukaan dan suhu atmosfer seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 5. Beberapa variabel untuk simulasi sistem iklim dengan model GEBM.
Gambar 6. Pola dinamik temperatur permukaan dan temperatur atmosfer pada saat input kontrol CO2 sebesar 320 ppm.
Para siswa dapat menyusun sendiri model dari yang sederhana sampai dengan hubungan yang kompleks antar elemen yang ingin diketahui efeknya pada elemen lain berdasarkan konsep model yang dibangun. Dengan menggunakan beberapa parameter dan beberapa variabel input kontrol maka para siswa dapat melakukan simulasi beberapa dinamika output dan memahami hubungan sebab akibat dari beberapa elemen yang terkait
33
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dalam sistem iklim. Dengan menggunakan beberapa variabel input kontrol pada Gambar 7 dan CO2 sebesar 422 ppm dan 800 ppm didapat pola suhu permukaan dan atmosfer pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 7. Beberapa variabel input kontrol untuk mengetahui pola dinamik temperatur.
Gambar 8. Pola dinamik temperatur permukaan dan temperatur atmosfer pada saat input kontrol CO2 sebesar 422 ppm.
34
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 9. Pola dinamik temperatur permukaan dan temperatur atmosfer pada saat input kontrol CO2 sebesar 800 ppm. Bisa juga dicoba oleh para siswa beberapa kombinasi simulasi seperti dengan konsentrasi CO2 sebesar 800 ppm dan H20 sebesar 1,2 maka akan dihasilka pola suhu permukaan dan atmsosfer seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Pola dinamik temperatur permukaan dan temperatur atmosfer pada saat input kontrol CO2 sebesar 800 ppm dan H20 sebesar 1,2.
4. KESIMPULAN Sistem iklim dan elemen-elemennya yang dipandang sebagai sistem kompleks dimodelkan dengan metode sistem dinamik (SD). Para siswa dapat menyusun sendiri percobaan membangun model iklim mulai dari yang senderhana sampai yang kompleks. Simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi parameter dan variabel imput
35
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
kontrol untuk mengetahui efeknya pada output. Beberapa simulasi dengan merubah input kontrol CO2 dari 320, 422 sampai 800 ppm menunjukkan perubahan pada pola dinamika temperatur permukaan dan atmosfer global. Model ini perlu dilakukan validasi dan verifikasi dengan data observasi dengan waktu simulasi yang disesuaikan.
DAFTAR RUJUKAN Boyes, E., Stanisstreet, M., Skamp, K., Rodriguez, M., et al.. Student mental models of global warming and climate change: What does research tell us? Presentation at the Workshop on Climate Change Education in Formal Settings, K-14. Climate Change Education Roundtable, Board on Science Education, Division of Behavioral and Social Sciences and Education, Washington, DC. 2011 EdGCM,: The Project, http://edgcm.columbia.edu/ ). 2007. Diakses oktober 2012 Carleton College, 2011. Http://www.carleton.edu/departments/geol/DaveSTELLA/climate /climate_modeling_1.htm . Diakses November 2011. Kiehl, J. T. and Trenberth, K. E., Earth's Annual Global Mean Energy Budget. Bull. Amer. Meteor. Soc., 78, 197-208. 1997 NRC [National Reseacrh Council] Climate Change Education in Formal Settings, K-14: A Workshop Summary. The National Academies Press, NW Washington, DC. 2012 Marcinkowski, T.. Climate literacy results. Presentation at the Workshop on Climate Change Education in Formal Settings, K-14. Climate Change Education Roundtable, Board on Science Education, Division of Behavioral and Social Sciences and Education, Washington, DC. 2011. NOAA [National Oceanic and Atmospheric Administration]. The ocean literacy: The essential
principles
of
ocean
sciences
K-12.
Washington,
DC.
Available:
http://oceanliteracy.wp2.coexploration.org/?page_id=47 [Diakses Januari 2012]. Shepardson, D.P., Choi, S., Niyogi, D., and Charusombat, U. Seventh grade students’ mental models of the greenhouse effect. Environmental Education Research, 17(1), 117. 2011.
36
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
SIMULASI MODEL POLUTAN UDARA MENGGUNAKAN WRF CHEMISTRY Danang Eko Nuryanto dan Utoyo Ajie Linarka Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG danang.eko@ bmkg.go.id
[email protected]
Abstract The preliminary air pollutants model simulations have been done for time period from 1 – 4 July 2012 using the Weather Research and Forecast Model Chemistry version 3.5 (WRF-Chem 3.5). It was simulated with the input data from the Global Forecast System (GFS) and downscaled into 30 km and 5 km resolution. This study was conducted to test the model simulation and to find out how the ability of the model WRF-Chem 3.5 describing the air pollutant at finer resolution. From simulation result we can find that 5 km resolution is more realistic and detail than 30 km resolution. Although finer resolution was spatially more realistic and detail, the correlation for PM10 was higher at 30 km than 5 km, which is 0.043 and -0.035 respectively. CO correlation was significant at 5 km than 30 km, 0.043 and -0.035 respectively. Verification showed that the model output underestimate relative to observation. Biases and RMSE at 30 km and 5 km was not significantly changed for both CO and PM10 constituents, ~77 ppb and ~25 ppb for CO with ~15 µg/m-3 and ~9 µg/m-3 for PM10. Keywords: WRF/Chem, Pollutant, downscaling Abstrak Telah dilakukan simulasi awal model polutan udara tanggal 1 - 4 Juli 2012 menggunakan model Weather Research and Forecast Chemistry version 3.5 (WRF-Chem 3.5) dengan data input dari Global Forecast System (GFS) yang dijalankan dengan resolusi 30 km dan 5 km. Penelitian ini dilakukan untuk mengujicoba model WRF-Chem 3.5 dan mengetahui kemampuan model WRF-Chem 3.5 dalam menggambarkan polutan udara pada resolusi tinggi. Dari hasil simulasi diperoleh fakta bahwa resolusi 5 km memberikan pola yang lebih realistis dan detail dibandingkan dengan resolusi 30 km. Meskipun domain resolusi tinggi lebih realistis dan detail secara spasial, namun korelasi unsur PM10 menunjukkan resolusi 30 km lebih tinggi dibandingkan dengan 5 km, berturut-turut -0.488 dan 0.088. Sementara unsur CO lebih signifikan pada resolusi 5 km dibanding 30 km, yaitu 0.043 dan -0.035. Verifikasi menunjukkan bahwa nilai luaran model masih berada dibawah observasi (underestimate). Nilai bias dan RMSE pada resolusi 30 km dan 5 km tidak mengalami banyak perubahan untuk unsur CO dan PM10, yaitu berturut-turut ~77 ppb dan ~25 ppb serta ~15 µg/m-3 dan ~9 µg/m-3. Kata Kunci : WRF/Chem, Polutan, downscaling
37
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Pemodelan kualitas udara adalah suatu metode standar yang dipergunakan untuk membuat simulasi maupun prediksi yang telah dikembangkan di berbagai negara maju di dunia. Banyak model prakiraan untuk aplikasi kualitas udara yang telah dikembangkan oleh para ahli dengan pendekatan perhitungan yang cukup bervariasi, baik untuk skala global maupun regional. Informasi mengenai kualitas udara yang reliable (dapat diandalkan) dan akurat sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan di berbagai sektor kehidupan. Masih minimnya penggunaan model kualitas udara di Indonesia ditambah masih terbatasnya pengamatan menjadikan model sebagai pilihan alternatif untuk dikembangkan. WRF-Chem adalah model WRF yang ditambah dengan modul Chemistry (Kimia). Model tersebut dapat mensimulasikan emisi, transportasi, pencampuran, dan transformasi kimia jejak gas dan aerosol bersamaan dengan proses meteorologi (Peckam, et. al., 2013). Perbedaan WRF-Chem 3.5 dengan WRF adalah terdapat penambahan modul kimiawi (chemistry) pada data input yang digunakan oleh WRF-Chem. Data input tambahan ini disediakan oleh WRF Pre-Processing System (WPS), bagian dust erosion atau dalam proses real.exe (yaitu pembakaran biomassa, emisi biogenik, emisi background GOCART dll) atau dalam proses eksekusi wrf.exe (yaitu emisi anthropogenik, syarat batas, emisi vulkanik dll) [Peckam, et. al., 2013]. Pada studi sebelumnya model WRF-Chem mempunyai kemampuan lebih baik dibanding dengan model MM5-Chem (Grell, et. al., 2005). Sedangkan Fast et. al. (2006) melakukan simulasi variasi skala urban hingga regional model WRF-Chem yang dibandingkan dengan data pengukuran kualitas udara di Texas selama tahun 2000. Kemudian Zhang et. al. (2009) melakukan perbandingan simulasi model WRF-Chem dengan data pengukuran kualitas udara kota Meksiko. Pada kota yang sama de Foy et. al. (2009) dengan model MM5 dan WRF melakukan simulasi dan analisis trayektori partikel. Sementara itu untuk wilayah Asia Selatan pertama kali dilakukan oleh Kumar et. al. (2012) yaitu melakukan simulasi tahunan ozon troposper menggunakan WRF-Chem yang kemudian di bandingkan dengan data observasi. Karena sangat kompleksnya parameter dalam model WRF-Chem 3.5, maka pilihan parameter yang tepat akan mempengaruhi hasil. Mengingat belum adanya referensi parameter yang tepat sebagai inputan model WRF-Chem 3.5 di wilayah tropis, dalam studi ini dilakukan konfigurasi default artinya tanpa ada perubahan yang berarti. Dalam studi 38
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
kali ini dilakukan uji coba model WRF-Chem 3.5 untuk mengetahui kemampuan model dalam menggambarkan model polutan udara dan perbandingan luaran model dengan data pengamatan.
2. DATA DAN METODE Pada studi ini digunakan WRF-Chem 3.5 yang dikembangkan bersama-sama oleh beberapa institusi penelitian, diprakarsai oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), National Center for Atmospheric Research (NCAR) dan Department of Energy's Pacific Northwest National Laboratory (DOE/PNNL). Wilayah studi yang dipilih adalah wilayah Sumatera Barat karena pada wilayah tersebut terdapat Stasiun Pengamatan Atmosper Global – Global Atmospheric Watch (GAW) Kototabang. Domain model didefinisikan pada proyeksi Mercator yang terpusat pada 106.9o BT dan 6o LU sebagai domain pertama (d01) dengan resolusi 30 km serta 100.32o BT dan 0.2o LU sebagai domain kedua (d02) dengan resolusi 5 km (Gambar 1). Keduanya mempunyai titik grid sebanyak 121 grid arah barat-timur dan 91 grid arah utara-selatan. Pada simulasi ini menggunakan data emisi global dengan mekanisme kimiawi dari Regional Acid Deposition Model, version 2 (RADM2) dan modul aerosol dari Goddard Chemistry Aerosol Radiation and Transport (GOCART). Sedangkan data emisi PM10 dan CO untuk data pembanding diambil dari Stasiun GAW Kototabang. Simulasi dilakukan tanggal 1 – 4 Juli 2012 menggunakan data Global Forecast System (GFS) dengan waktu inisial data 00 UTC.
Gambar 1. Domain penelitian dengan resolusi (a) 30 km pada d01 dan (b) 5 km pada d02.
39
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Simulasi Model WRF-Chem 3.5 Simulasi dilakukan menggunakan dua resolusi domain, yaitu 30 km dan 5 km. Pada resolusi 30 km, variasi warna yang lebih sedikit menunjukkan bahwa distribusi PM10 homogen dan belum menggambarkan dinamika di permukaan (Gambar 2a) sedangkan distribusi PM10 pada resolusi 5 km terlihat lebih realistis karena variasinya lebih banyak (Gambar 2b). Hal yang sama juga terjadi pada hasil simulasi CO, dimana luaran dari resolusi 5 km terlihat lebih sesuai dengan kondisi geografisnya dibandingkan dengan luaran resolusi 30 km (Gambar 3). Pada resolusi 30 km bentuk sebaran CO pada daratan cenderung memanjang mengikuti pola Pulau Sumatera sementara resolusi 5 km membentuk pola-pola tak beraturan yang lebih realistis. Adanya penumpukan konsentrasi CO di sekitar pantai barat Sumatera (ditunjukkan oleh warna coklat pada Gambar 3) menggambarkan bahwa model dengan resolusi 5 km memiliki sensitivitas lebih baik terhadap topografi di wilayah tersebut. Hal ini menjadi alasan mengapa downscaling perlu dilakukan dalam menjalankan model dinamis untuk skala regional. (a)
(b)
Gambar 2. Rata-rata PM10 dalam µg/m-3 model WRF-Chem tanggal 1 – 4 Juli 2012 resolusi (a) 30 km dan (b) 5 km.
40
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b)
Gambar 3. Rata-rata CO dalam ppb model WRF-Chem tanggal 1 – 4 Juli 2012 resolusi (a) 30 km dan (b) 5 km.
Gambar 4. Perbandingan konsentrasi PM10 dalam µg/m3 model WRF-Chem tanggal 1 – 4 Juli 2012 resolusi 30 km dan 5 km dengan data pengamatan Stasiun GAW Kototabang.
41
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 5. Perbandingan konsentrasi CO dalam ppb model WRF-Chem tanggal 1 – 4 Juli 2012 resolusi 30 km dan 5 km dengan data pengamatan Stasiun GAW Kototabang.
Data pengukuran konsentrasi PM10 dan CO diperoleh dari stasiun observasi GAW di Kototabang. Selama tanggal 1-4 Juli 2012 diketahui bahwa konsentrasi PM10 observasi berada dalam orde puluhan sedangkan luaran model dalam orde satuan (Gambar 4). Hal yang sama terjadi pada konsentrasi CO dimana observasi yang tercatat secara dominan berada pada orde ratusan sedangkan luaran model pada orde puluhan (Gambar 5). Secara umum dapat dikatakan bahwa luaran model relatif lebih rendah (underestimate) dibanding observasi. Hal ini dikarenakan belum maksimalnya pemodelan WRF-Chem di wilayah Indonesia sebagai wilayah tropis masih perlu dilakukan eksperimen dengan penggunaan parameterisasi yang lain. PM10 obervasi memiliki kecenderungan lebih fluktuatif dibandingkan dengan luaran model dan hal ini terjadi pada kedua resolusi luaran model. Dilihat dari pola kecenderungannya, CO observasi maupun luaran model sama-sama berfluktuasi selama periode penelitian. Nilai bias yang diperoleh masih cukup besar yaitu sekitar 77 ppb dengan RMSE sekitar 25 ppb untuk CO dan bias 15 µg/m3 dengan RMSE sekitar 9 µg/m3 untuk PM10. Sementara itu nilai korelasinya menunjukkan bahwa model dengan resolusi lebih tinggi memberikan nilai yang lebih signifikan untuk CO, yaitu 0.043 untuk resolusi 5 km dan 0.035 untuk resolusi 30 km. Namun sebaliknya untuk PM10 menunjukkan korelasi 0.088 untuk resolusi 5 km dan -0.488 untuk resolusi 30 km (Tabel 1).
42
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 1. Perbandingan Model WRF-Chem dengan data pengamatan PARAMETER Resolusi
PM10 5 km
CO
30 km
5 km
30 km
R
0.088
-0.489
0.043
-0.035
RMSE
9.725
9.861
25.760
25.802
-15.333
-15.036
-77.231
-77.430
BIAS
Nilai korelasi negatif pada resolusi 30 km menunjukkan bahwa baik nilai PM10 dan CO hasil keluaran model WRF-Chem cenderung bertolak belakang dengan hasil pengamatan. Artinya jika nilai pengamatan tinggi maka nilai keluaran model cenderung rendah, demikian sebaliknya. Untuk nilai RMSE juga cenderung lebih tinggi pada model WRF-Chem resolusi 30 km dibandingkan dengan 5 km. Hal ini terkait dengan resolusi rendah kurang dapat merepresentasikan kondisi local yang cenderung lebih kompleks. Seperti terlihat pada Tabel 1 diatas, peningkatan resolusi dari 30 km menjadi 5 km justru berakibat pada menurunnya nilai korelasi, terutama pada unsur PM10. Meskipun, pada resolusi 5 km hubungan antara luaran model dan observasi menjadi positif. Hal ini menarik, karena umumnya proses downscaling dilakukan agar simulasi model melibatkan unsur topografi yang semakin mendekati kenyataan sehingga diharapkan luaran model pun semakin akurat. Mengingat bahwa domain model sudah dikonfigurasi sedemikian rupa agar terhindar dari permasalahan efek batas (Giorgi dan Mearns 1999; Denis, et. al., 2002; Diaconescu, et. al., 2007) dan verifikasi model WRF untuk parameter cuaca menunjukkan hasil yang relatif baik untuk wilayah Indonesia (Kudsy, et. al., 2012), penurunan nilai korelasi berasal dari konfigurasi modul kimiawi yang belum optimal. Hal ini menjadi catatan penting untuk melakukan simulasi selanjutnya di kemudian hari. Secara umum hasil model masih jauh dari observasi dimana korelasi masih terlalu kecil dan koreksi masih terlalu besar, sehingga masih jauh dari sempurna. Untuk itu perlu ditingkatkan lagi penelitian serupa untuk mendapatkan hasil keluaran model yang lebih mendekati observasi untuk dapat diterapkan dalam masyarakat.
4. KESIMPULAN Telah dilakukan simulasi awal model polutan udara tanggal 1 - 4 Juli 2012 menggunakan model WRF-Chem 3.5 dengan data input GFS yang dijalankan dengan resolusi 30 km dan 5 km. Dilakukan perbandingan data keluaran model CO dan PM10
43
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dengan hasil observasi yang diambil dari Stasiun GAW Bukit Kototabang tanggal 1 – 4 Juli 2012. Dari hasil simulasi diperoleh fakta bahwa resolusi 5 km memberikan pola yang lebih realistis dan detail dibandingkan dengan resolusi 30 km. Meskipun domain resolusi tinggi lebih realistis dan detail secara spasial, namun korelasi unsur PM10 menunjukkan resolusi 30 km lebih tinggi dibandingkan dengan 5 km, berturut-turut -0.488 dan 0.088. Sementara unsur CO lebih signifikan pada resolusi 5 km dibanding 30 km, yaitu 0.043 dan -0.035. Nilai bias dan RMSE pada resolusi 30 km dan 5 km tidak mengalami banyak perubahan untuk unsur CO dan PM10, yaitu berturut-turut ~77 ppb dan ~25 ppb serta ~15 µg/m-3 dan ~9 µg/m-3. Dengan demikian perbandingan dua luaran model: Karbon Monoksida (CO) dan Particulate Matter 10µ (PM10) dengan hasil observasi yang diambil dari Stasiun GAW Bukit Kototabang tanggal 1 – 4 Juli 2012 menunjukkan bahwa hasil simulasi masih sangat lemah dan underestimate. Berdasarkan hasil verifikasi dengan data observasi, peningkatan resolusi diiringi dengan perbaikan nilai korelasi meskipun tidak terjadi perubahan signifikan pada nilai RMSE. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa simulasi model dinamis perlu dilakukan pada resolusi tinggi sehingga lebih realistis dalam merepresentasikan kondisi lokal. Sehingga eksperimen lanjutan perlu dilakukan untuk memperoleh konfigurasi modul chemistry paling optimal di wilayah Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis haturkan kepada panitia dan reviewer acara Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2013 yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam acara tersebut.
DAFTAR RUJUKAN de Foy, B., Zavala, M., Bei, N., and Molina, L. T., Evaluation of WRF mesoscale simulations and particle trajectory analysis for the MILAGRO field campaign, Atmospheric Chemistry and Physics, 9, 4419-4438, 2009. Denis, B., Laprise, R., Caya, D., Coˆte´, J., Downscaling ability of one-way nested regional climate models: the Big-Brother Experiment, Climate Dynamics, 18:627–646, doi:10.1007/s00382-001-0201-0, 2002. Diaconescu, P.E., Laprise, R., Sushama, L., The impact of lateral boundary data errors on the simulated climate of a nested regional climate model, Climate Dynamics, 28:333– 350, Doi:10.1007/s00382-006-0189-6, 2007.
44
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Fast, J. D., Gustafson Jr., W. I., Easter, R. C., Zaveri, R. A., Barnard, J. C., Chapman, E. G., Grell, G. A. and Peckham, S. E., Evolution of ozone, particulates, and aerosol direct radiative forcing in the vicinity of Houston using a fully coupled meteorologychemistryaerosol
model,
Journal
of
Geophysical
Research,
111,
D21305,
doi:10.1029/2005JD006721, 2006. Giorgi, F., and Mearns, L. O., Introduction to special section: regional climate modeling revisited, Journal of Geophysical Research, 104, 6335–6352, 1999. Grell, G. A., S. E. Peckham, R. Schmitz, S. A. McKeen, G. Frost, W. C. Skamarock and B. Eder., Fully coupled online chemistry within the WRF model, Atmospheric Environment, 39, 6957-6975, 2005. Kudsy, M., Ridwan, Renggono, F., dan Sunarto, F., The Use of WRF Model To Support Cloud Seeding Operation: A Study in theCitarum Catchment Area, Proceedings of the 10th WMO Scientific Conference on Weather Modification, Bali, Indonesia, 4-7 October 2011, 2012. Kumar, R., Naja, M., Pfister, G. G., Barth, M. C., Wiedinmyer, C. and Brasseur, G. P., Simulations over South Asia using the weather research and forecasting model with chemistry (WRF-Chem): chemistry evaluation and initial results, Geoscientific Model Development Discussions, 5, 1–66, 2012. Peckam, S. E., Grell, G. A., McKeen, S. A., Ahmadov, R., Barth, M., Pfister, G., Wiedinmyer, C., Fast, J. D., Gustafson, W. I., Ghan, S. J., Zaveri, R., Easter, R. C., Barnard, J., Chapman, E., Hewson, M., Schmitz, R., Salzmann, M. and Freitas, S. R, WRF/Chem Version 3.5 User’s Guide, 18 July 2013. Zang, Y., Dubey, M. K., Olsen, S. C., Zheng, J. and Zhang, R., Comparisons of WRF/Chem simulations in Mexico City with ground-based RAMA measurements during the 2006-MILAGRO, Atmospheric Chemistry and Physics, 9, 3777–3798, 2009.
45
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS KONDISI PENCEMAR UDARA (SO2 DAN NO2) DI KOTA SURABAYA Dessy Gusnita Bidang Komposisi Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN Email:
[email protected]
Abstracts Source of the air pollution could come from various activities including industry, transport, and domestic. Various activities were the biggest contribution from the air pollutant that was emitted to free air. The impact of air pollution caused the occurrence of the decline in the quality of air, that had a negative impact on the health of humankind. As a media requirement for the foundation of humankind, air quality must get serious attention, this also became the policy of the Development of Indonesian Health 2010 where the control program of air pollution was one of the ten supreme programs. Surabaya as the biggest city at this time carried out monitoring air pollution. This paper only analysed 2 pollutant parameters NO2 and SO2, as the indicator of motor vehicles emissions for the period of the year 2010-2011 were connected with ISPU (the Standar Index of Air Pollution). From results of the analysis of the study of the data of the air pollutant, was known that the ISPU condition in the Surabaya city during 2011 better compared with 2010. This was marked by the nonexistence of the Day un Healthy during 2011. While the Day was unhealthy during 2010 happened in June to the ISPU value of 102 and 109 and in July the ISPU value of 102. In other words the existence of the monitoring program of the air pollutant in the Surabaya city could increase the quality of air in this city. Keywords: ISPU, NO2, SO2, air pollution Abstrak Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, serta domestik. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Dampak dari pencemaran udara menyebabkan terjadinya penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari sepuluh program unggulan. Surabaya sebagai kota terbesar kedua saat ini bahkan telah melakukan pemantauan kualitas lingkungan melalui penghitungan data ISPU pencemar udara. Makalah ini hanya menganalisis 2 parameter pencemar NO2 dan SO2, sebagai indikator emisi dari kendaraan bermotor selama periode tahun 2010-2011 dikaitkan dengan ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara). Berdasarkan analisis kajian data polutan udara, diketahui bahwa kondisi ISPU di kota Surabaya selama tahun 2011 lebih baik dibandingkan tahun 2010. Hal ini ditandai dengan tidak adanya hari tidak sehat pada tahun 2011. Sementara hari tidak sehat pada tahun 2010 terjadi pada bulan Juni dengan nilai ISPU sebesar 102 dan 109 dan bulan Juli nilai ISPU sebesar 102. Adanya program pengendalian pencemar udara di kota Surabaya dapat meningkatkan kualitas udara di kota tersebut. Kata kunci: ISPU, NO2, SO2, pencemar udara
46
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Di seluruh dunia, pencemaran udara merupakan permasalahan yang menjadi perhatian bagi semua kalangan. Studi epidemilogis di seluruh dunia menyatakan bahwa pencemaran udara yang disebabkan polutan gas dan senyawa partikulat berbahaya sangat berpotensi merusak kesehatan manusia (penyakit jantung, pernafasan serta penyebab penyakit paru-paru yang mematikan (Dockery,
Koken). Pencemaran udara menjadi
persoalan yang serius dan mendapatkan perhatian saat ini. Telah banyak sistem program monitoring di seluruh dunia khususnya kota-kota besar
di negara berkembang untuk
memantau peningkatan polusi udara (Salam, 2003). Modernisasi dan industrialisasi di negara berkembang telah meningkatkan penggunaan bahan bakar fosil dan derivatnya. Kondisi tersebut menghadapkan negara berkembang pada tantangan besar untuk senantiasa mengontrol polusi di atmosfer khususnya di kota-kota besar. Jumlah kendaraan bermotor di seluruh dunia mencapai 700 juta selama tahun 2000. Bahan bakar bensin maupun solar yang digunakan oleh kendaraan tersebut diketahui dapat mengemisikan sejumlah polutan berbahaya, contohnya NOx (Azad, 1998). Program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari sepuluh program unggulan yang menjadi kebijakan dalam Pembangunan Kesehatan Indonesia 2010. Salah satu cara mengetahui kualitas udara perkotaan adalah dengan melihat nilai ISPU yang diperoleh dari pemantauan kualitas udara di beberapa lokasi penting. Indeks Standar Pencemar Udara atau ISPU adalah angka yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya. Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, telah melakukan pemantauan yang cukup intensif dan baik dibidang penanggulangan polusi udara. Hal ini ditandai dengan beroperasinya stasiun pengamatan/pemantauan kualitas udara di beberapa lokasi penting. Pemasangan jaringan pemantauan kualitas udara ambien tersebut sebagai perwujudan kesepakatan antara menteri-menteri Lingkungan Hidup se-ASEAN dan merupakan salah satu cara pemantauan kualitas udara ambien di daerah perkotaan/urban. Pada makalah ini akan dianalisis kondisi polutan gas SO2 dan NO2 sebagai indikator polutan yang umumnya diemisikan oleh kendaraan bermotor. Kedua parameter ini merupakan bagian dari 5 parameter pencemar udara yang di monitoring oleh BLH Surabaya melalui jaringan pemantauan kualitas udara ambien yang dilakukan berdasarkan tingkat konsentrasi pencemar, penyebaran pencemar dan inventarisasi emisi.
47
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2. TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan jaringan penetapan jumlah jaringan ditentukan oleh jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan keragamannya serta kebijakan-kebijakan yang berlaku. Berdasarkan survey lokasi bersama Tim BAPEDAL Pusat, Tim Pemerintah Austria, Tim Pemerintah Kota Surabaya, Tim BAPEDAL Propinsi JawaTimur pada tanggal 10-13 Maret 1999. Di kota Surabaya, terdapat 5 titik jaringan pemantauan kualitas udara (Air Quality Monitoring System). Adapun pemantauan serta lokasi pemantauan peralatan AQMS tersebut di tunjukkan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Penempatan Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien STASIUN
Lokasi pemantauan
Wilayah
Peruntukan lahan
SUF 1
Halaman Taman Prestasi Jl. Ketabang Kali Surabaya
Pusat Pusat Kota, Pemukiman, Perkantoran
SUF 2
Halaman Kantor Kelurahan Perak Timur
Jl. Selangor Surabaya Utara
Perkantoran, dekat daerah Industri, pergudangan
SUF 3
Halaman Kantor Pembantu Walikota Surabaya Barat
Jl.Sukomanunggal Surabaya Barat
Pemukiman, daerah pinggir kota
SUF 4
Halaman Kecamatan Gayungan
Jl. Gayungan Surabaya Selatan
Pemukiman - dekat Tol SurabayaGempol
SUF5
Halaman Convention Hall
Jl. Arief rahman Hakim
Pemukiman, kampus, Perkantoran
Sedangkan Tabel nilai ISPU dan kategori kondisi lingkungan didasarkan pada kesehatan manusia disajikan pada Tabel 2.2. Berdasarkan Tabel 2.2. tersebut dapat ditentukan jumlah hari sehat ataupun hari tidak sehat yang terjadi di suatu kota (Kep Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997)
48
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 2.2 Nilai ISPU dan kalkulasi jumlah hari ISPU kalkulasi dengan jumlah hari Batas nilai ISPU Number of days with PSI calculation of Range of PSI values Tidak ada 0 no value available BAIK 3 0 - 50 GOOD SEDANG 27 51 - 100 MODERATE TIDAK SEHAT 1 101 - 199 UNHEALTHY SANGAT TIDAK SEHAT 0 200 - 299 VERY UNHEALTHY BERBAHAYA 0 300 - 500 DANGEROUS
3. DATA DAN METODE Pada makalah ini akan dilakukan analisa pola konsentrasi polutan gas SO2 dan NO2 serta hubungannya nilai ISPU (Indek Standar Pencemar Udara). Data yang digunakan data polusi udara (data sekunder) dari BLH Surabaya tahun 2010-2011. Metode yang digunakan adalah: 1.
Melakukan penghitungan ISPU dengan perumusan sebagai berikut:
......... (1) I
= ISPU terhitung
Xa = Ambien batas atas
Ia = ISPU batas atas
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran
Xb = Ambien batas bawah
Ib = ISPU batas bawah
(Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak LingkunganNo. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997) 2. Analisa data polutan SO2 dan NO2, berdasarkan bulan kejadian penurunan kualitas udara.
4. HASIL & PEMBAHASAN Perhitungan ISPU dan hasil analisis pola konsentrasi polutan SO2 dan NO2 diolah menggunakan software excel, begitu pula dengan perhitungan ISPU. Informasi selengkapnya hasil analisa data yang telah dilakukan disajikan pada Gambar 1- Gambar 6
49
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
berikut ini. Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa pada bulan Juni 2010 terdapat 1 hari tidak sehat di Surabaya, dan 1 hari tidak sehat pada bulan Juli, karena nilai ISPU pada hari tersebut sudah melampaui nilai 100 (kategori hari tidak sehat ISPU > 100).
Gambar 1. Nilai ISPU di Surabaya tahun 2010 Gambar 2 menunjukkan bahwa di Surabaya berdasarkan nilai ISPU tahun 2011 tidak terjadi hari tidak sehat. Jika dianalisa konsentrasi SO2 dan NO2 selama periode bulan Juni-Juli 2010, diketahui bahwa konsentrasi maksimum SO2 dan NO2 masing-masing sebesar 18 9µg/m3 dan 111 µg/m3. Namun jika dilihat dari konsentrasi udara ambien bulan Juni-Juli diketahui bahwa saat terjadi hari tidak sehat, kondisi polutan SO2 dan NO2 tahun 2010 tidak menunjukkan konsentrasi yang tinggi, sehingga disimpulkan bahwa SO2 dan NO2 bukan sebagai kritikal komponen, sehingga perlu dianalisa lebih lanjut parameter lainnya khususnya PM10.
Gambar 2. Nilai ISPU di Surabaya tahun 2011 Untuk melihat nilai konsentrasi polutan SO2 saat terjadinya hari tidak sehat pada tahun 2010, maka dilakukan analisa konsentrasi polutan SO2 selama bulan Juni- Juli tahun 2010. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah polutan SO2 yang merupakan kritikal
50
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
komponen yang menyebabkan memburuknya ISPU pada bulan Juni-Juli 2010 di Surabaya. Berdasarkan hasil analisa dari Gambar 3 diketahui bahwa nilai maksimum rata-rata SO2 sebesar 200 µg/m3, sedangkan nilai rata-rata konsentrasi SO2 masih berada dibawah nilai konsentrasi minimum yaitu 10 ug/m3.
Gambar 3. Konsentrasi SO2 di Surabaya tahun 2010 Gambar 4 selanjutnya menunjukkan hasil analisa konsentrasi SO2 selama tahun 2011 di kota Surabaya selama bulan Juni-Juli. Berdasarkan Gambar 4 diperoleh hasil bahwa konsentrasi SO2 selama bulan Juni-Juli memiliki konsentrasi maksimum mencapai 1050 µg/m3, konsentrasi minimum 180 µg/m3. Dari hasil tersebut menunjukkan nilai konsentrasi maksimum SO2 pada bulan Juni-Juli 2011 lebih tinggi dibandingkan konsentrasi SO2 maksimum pada tahun 2010. Padahal pada tahun 2010 terjadi hari tidak sehat selama 2 hari pada bulan Juni-Juli, sementara di tahun 2011 kota Surabaya terbebas dari hari tidak sehat. Hal ini memberi kesimpulan bahwa polutan SO2 bukan sebagai kritikal komponen penyebab memburuknya ISPU pada Juni-Juli 2010, diduga ada parameter lainnya dari 5 parameter pencemar yang dipantau yang menyebabkan menurunnya kualitas udara di Surabaya.
Gambar 4. Konsentrasi SO2 di Surabaya tahun 2011
51
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Selanjutnya dilakukan analisa konsentrasi polutan NO2 untuk bulan Juni-Juli tahun 2010 dan tahun 2011. Gambar 5 menunjukkan konsentrasi NO2 bulan Juni-Juli tahun 2010, hasil analisa diketahui bahwa konsentrasi maksimum NO2 mencapai 100 µg/m3, sedangkan konsentrasi NO2 rata-rata masih sangat rendah yaitu 5 µg/m3. Polutan NO2 cenderung mengalami penurunan konsentrasi selama 2 bulan. Hal ini pun menunjukkan bahwa NO2 bukan sebagai parameter kritis dalam menentukan kualitas udara di kota Surabaya. Hal ini dikarenan pada waktu di kota Surabaya sedang mengalami hari tidak sehat (bulan Juni dan Juli), di saat yang sama konsentrasi rata-rata polutan NO2 tidak menunjukkan konsentrasi yang tinggi. Maka NO2 bukan merupakan parameter kritis yang menurunkan kualitas udara di kota Surabaya dan perlu dikaji parameter polutan lainnya, misalnya PM10.
Gambar 5. Konsentrasi NO2 di Surabaya tahun 2010 Gambar 6 menyajikan konsentrasi NO2 selama bulan Juni-Juli tahun 2011. Pada tahun 2011 tidak terjadi hari tidak sehat atau kualitas udara di kota Surabaya umumnya sedang. Namun rata-rata konsentrasi NO2 selama bulan Juni-Juli cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan konsentrasi NO2 tersebut belum melebihi nilai ambang batas yang ditentukan. Konsentrasi maksimum NO2 sebesar 100 µg/m3, sedangkan konsentrasi minimum NO2 sekitar 5 µg/m3.
52
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 6. Konsentrasi NO2 di Surabaya tahun 2011 5. KESIMPULAN Nilai ISPU di kota Surabaya selama tahun 2011 lebih baik dibandingkan tahun 2010. Hal ini ditandai dengan tidak adanya hari tidak sehat pada tahun 2011. Hari tidak sehat pada tahun 2010 terjadi pada bulan Juni dengan nilai ISPU sebesar 102 dan 109 dan bulan Juli nilai ISPU sebesar 102. Namun kajian polutan SO2 dan NO2 tidak menunjukkan hasil yang linier dengan kondisi ISPU. Secara umum program pengendalian pencemar udara di kota Surabaya dapat meningkatkan kualitas udara di kota tersebut. Perlu pengkajian lebih lanjut parameter kritis penyebab menurunnya kualitas udara di kota Surabaya
pada bulan Juni-Juli 2010 berdasarkan 5 parameter pencemar udara yang
dipantau.
DAFTAR RUJUKAN D. W. Dockery, C. A. Pope, X. Xu, J. D. Splender, , An Association between Air Pollution and Mortality in Six US cities, New England, Journal of Medicine, 329, 1753-1759, 1993. K. Azad and T. Kitada, Characteristics of the Air Pollution in the City of Dhaka, Bangladesh in Winter, J. Atmospheric Environment, 32, 1991-2005, 1998. P. J. Koken, W. T. Piver, F. Ye, A. Elixhauser, L. M.Olsen and C. J. Portier, Temperature, Air Pollution and Hospitalization for Cardiovascular Diseases among Elderly People in Denver, J. Environmental Health Perspectives, 111, 1312-1317, 2003. Salam, H. Bauer, K. Kassin, S. M. Ullah and H. Puxbaum, Aerosol Chemical Characteristicsof A Mega-City In southeast Asia (Dhaka, Bangladesh), J. Atmospheric Environment, 37, 2517-2528. 2003.
53
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGARUH PROSES PENGELASAN TERHADAP OZON Didik Eko Prasetyo Balai Pengamatan Dirgantara Watukosek, LAPAN Jl. Raya Watukosek Po. Box 04 Gempol Pasuruan, Jawa Timur
[email protected]
Abstract In the modern industrial era, the use of welding is very important and necessary. On the other hand we are confronted by environmental awareness, especially ozone. Ozone occurs through the action of ultraviolet light from oxygen and air. On welding jobs, going ultraviolet light, which strongly depends on the current intensity. Where there is UV light, ozone occurs there also. Ozone is unstable at high temperatures. The influence of welding on ozone emissions, among others, on: How welding Process (electric welding or welding carbide), material used (aluminum, Al2Si, CrNi etc.), and the generated gas (Ar, He). Keywords: ozone, emissions, concentrations of ozone, UV Abstrak Pada era industri modern, penggunaan las sangatlah penting dan dibutuhkan. Disisi lain kita dihadapkan oleh kesadaran lingkungan terutama ozon. Ozon terjadi melalui pancaran sinar ultraviolet dari oksigen udara. Pada pekerjaan las, terjadi sinar ultraviolet, yang mana intensitasnya tergantung pada kuat arusnya. Dimana ada sinar UV, disana pula terjadi ozon. Ozon pada temperatur tinggi tidaklah stabil. Adapun pengaruh las terhadap emisi ozon antara lain pada : cara proses las (las listrik atau las karbit), bahan yang digunakan (aluminium, Al2Si, CrNi dan lain-lain), dan Gas yang ditimbulkan (Ar, He). Kata Kunci : ozon, emisi, konsentrasi ozon, UV.
1. PENDAHULUAN Ozon terbentuk dari reaksi photo-kimia oksigen O2 dan udara kotor, terutama NOx, CO dan Methana CH4 yang terkena sinar ultraviolet. Karena pembentukan Ozon juga bergantung pada temperature dan sinar matahari, perlu diperhatikan bahwa kemungkinan pengaruh pemanasan global (global warming) dan peningkatan sinar Ultraviolet melalui kerusakan lapisan ozon di stratosfer Pada proses teknik pengelasan logam, terjadi atau timbul gas yang bersifat merusak, yaitu Ozon. Ozon (O3) terbentuk melalui sinar ultraviolet (UV) dari Oksigen dan udara. Pada proses Pengelasan dengan menggunakan listrik, timbul pancaran ultraviolet, yang mana intensitasnya tergantung pada kuat arus yang digunakan. Ketika dimana terjadi pancaran ultraviolet yang secara intensif, maka akan terjadi Ozon.
54
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Ozon pada temperatur tinggi berada pada kondisi tidak stabil, dibandingkan dengan gas yang lain. Oleh sebab ketidak-stabilan Ozon ini, kita harus lebih memperhatikan perbedaan antara emisi dan jumlah konsentrasi ozon di tempat kerja.
2. TINJAUAN PUSTAKA Atmosfer mengandung campuran gas-gas yang menyelubungi seluruh permukaan bumi. Campuran gas-gas ini menyatakan komposisi dari atmosfer bumi. Bagian bawah dari atmosfer bumi dibatasi oleh daratan, samudera, sungai, danau, es, dan permukaan salju. Udara adalah campuran berbagai unsur dan senyawa kimia sehingga udara menjadi beragam. Keberagaman terjadi biasanya karena kandungan uap air dan susunan masingmasing bagian dari sisa udara atau disebut dengan udara kering. Gas yang jumlahnya tetap, yaitu nitrogen, oksigen, hidrogen, helium, dan gas yang jumlahnya kecil, seperti argon, neon, krypton, dan xenon. Gas yang jumlahnya berubah, yaitu uap air, karbon dioksida, dan ozon. Ketiga gas ini penting di dalam pertukaran energi antara atmosfer, bumi, dan matahari, dan antara bagian-bagian di atmosfer sendiri (Bayong, 2008). Nitrogen bereaksi lambat, tetapi merupakan bagian penting dari kehidupan, sehingga keseimbangan nitrogen di udara,, di laut dan di dalam bumi sangat dipengaruhi oleh makhluk hidup. Karbon dioksida yang berlimpah dari sinar matahari membuat karbohidrat dengan hasil sampingan oksigen (fotosintesis). Gas nitrogen merupakan gas yang paling banyak terdapat dalam lapisan udara atau atmosfer bumi. Salah satu sumbernya yaitu berasal dari pembakaran sisa-sisa pertanian dan akibat letusan gunung api. Gas lain yang cukup banyak dalam lapisan udara atau atmosfer adalah oksigen. Oksigen antara lain berasal dari hasil proses fotosintesis pada tumbuhan yang berdaun hijau. Pada proses fotosintesis, tumbuhan menyerap gas karbon dioksida dari udara dan mengeluarkan oksigen. Gas karbon dioksida secara alami berasal dari pernapasan mahkluk hidup, yaitu hewan dan manusia. Serta secara buatan gas karbon dioksida berasal dari asap pembakaran industri, asap kendaraan bermotor, kebakaran hutan, dan lain-lain. Selain keempat gas tersebut ada beberapa gas lain yang terdapat di dalam atmosfer, yaitu di antaranya ozon. Walaupun ozon ini jumlahnya sangat sedikit namun sangat berguna bagi kehidupan di bumi, karena ozon yang dapat menyerap sinar ultra violet yang dipancarkan sinar matahari sehingga jumlahnya sudah sangat berkurang ketika sampai di permukaan bumi. Apabila radiasi ultra violet ini tidak terserap oleh ozon, maka akan menimbulkan malapetaka bagi kehidupan mahkluk hidup yang terdapat di bumi. 55
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3. METODE PENELITIAN Ozon terbentuk dari reaksi photo-kimia Oksigen O2 dan udara kotor, terutama NOx, CO dan Methana CH4 yang terkena sinar Ultraviolet. Karena pembentukan Ozon juga bergantung pada temperature dan sinar matahari, perlu diperhatikan bahwa kemungkinan pengaruh pemanasan global (global warming) dan peningkatan sinar Ultraviolet melalui kerusakan lapisan ozon di stratosfer Pada proses teknik pengelasan logam, terjadi atau timbul gas yang bersifat merusak, terutama dalam hal ini Ozon.Terjadinya Ozon (O3) melalui sinar ultraviolet (UV) dari oksigen dan udara. Pada proses pengelasan dengan menggunakan listrik , timbul pancaran ultraviolet, yang mana intensitasnya tergantung pada kuat arus yang digunakan. Ketika dimana terjadi pancaran ultraviolet yang secara intensif, bisa dipastikan akan terjadi Ozon. Ozon pada temperatur tinggi berada pada kondisi tidak stabil, dibanding gas yang lain. Oleh sebab ketidak-stabilan Ozon ini, kita harus lebih memperhatikan perbedaan antara emisi dan imisi (jumlah konsentrasi ozon di tempat kerja).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut adalah klasifikasi data proses pengelasan dalam kaitannya jumlah Ozon yang terbentuk: 1. Pengelasan MIG (Metall-Inertgas) dengan bahan Aluminium-Alloy : ~ 50 ml/min 2. Pengelasan MIG (Metall-Inertgas) dengan bahan Magnesium, Al-Mg Alloy: ~ 15ml/min 3. Pengelasan Sinergi-Impuls dengan bahan besi baja: ~ 10-15 ml/min 4. Pengelasan MAG (Metall-Aktivgas) dengan bahan besi baja: ~10-15 ml/min 5. Pengelasan MAG (Metall-Aktivgas) dengan bahan anti karat (Cr-Ni-Mo): ~8 ml/min 6. Pengelasan WIG (Wolfram-Inergas) dengan bahan besi baja: ~4-5 ml/min 7. Pengelasan WIG (Wolfram-Inergas) dengan bahan Aluminium: ~1-2 ml/min
56
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Sumber: Annelie Beyer [2002], " Ozon beim Schweissen und bei verwandten Verfahren"
Dalam penelitian melalui berbagai percobaan menghasilkan bahwa Grade (tingkat) konsentrasi ozon 1 ppm yang didapat sepadan dengan emisi minimal 3 ml/min.Dari data diatas, disimpulkan bahwa hampir semua jenis pengelasan mempunyai resiko, yaitu melewati konsentrasi ozon 1 ppm, kecuali pengelasan WIG dengan bahan aluminium. Resiko yang bisa diminimalisir adalah menjaga seminimal mungkin kontak dengan asap las, yang dapat terhirup oleh kita. Alternatif yang baik adalah sebisa mungkin menggunakan cara otomatis /robot untuk pengelasan.
5. KESIMPULAN Pada hampir semua metode pengelasan, dengan berbagai kombinasi cara dan bahan yang dipakai, konsentrasi Ozon yang terukur di sekitar tempat pengelasan masih dibawah nilai 0,1 ml/m3. Nilai Konsentrasi Ozon berlebih didapatkan pada pengelasan MIG dengan bahan yang digunakan aluminium, terutama AlSi. Disarankan, pada proses pengelasan, dilengkapi pula dengan alat penghisap asap dari proses las yang dilakukan, selain itu dari sisi manusianya, sangat dianjurkan untuk menggunakan penutup / filter pada alat pernafasan kita. Pada pengelasan otomatis (oleh robot), tetap disarankan menggunakan pelindung asap pada yang mengoperasikannya.
57
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada kantor dan seluruh staf Balai Pengamatan Dirgantara Watukosek - LAPAN atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan. DAFTAR PUSTAKA AHRE (ALBERTA Human Resources and Employment) – WHS Bulletin (Workplace Health & Safety Bulletin): “A Welder’s Guide to the Hazards of Welding Gases and Fumes,
Chemical
Hazards
–
CH032”,
March
2000;
http://www.gov.ab.ca/LAB/facts/ohs/ch032.html “Appendix 6430-T2, Assessment of and Protection from Welding Arc Radiant Hazards” – Rev. November 6, 1996; Jefferson Lab EH&S Manual – Rev. 4.5 – 26 May 2999 http://www.jlab.org/ehs/manual/EHSbook-433.html AGA Gas Division, Sweden: “ The problem of ozone in TIG welding”, A report from AGA Gas Division research unit, Report GM 116e, 1977 AGA Gas Division, Sweden: “ The problem of ozone in MIG welding of aluminium”, Research report GIF-0050 from AGA Gas Division research unit, by Smårs, E. 1980 AGA 12/89 „Wichtige Daten und Fakten zum
Thema Ozon beim
Schutzgasschweißen Brehme, H., Farwer, A., Sroka, U. in: gas aktuell 40, Messer Griesheim „Rechnergestützte Ozon-Messungen beim Schutzgasschweißen“ Brehme H., Farwer A., Sroka U.: “Computer-aided ozone measurements during shielded arc welding”, focus on gas 8. Annelie Beyer. : ” Ozon beim Schweissen und bei Verwandten Verfahren”, 2002
58
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS KORELASI CURAH HUJAN DENGAN OUTGOING LONGWAVE RADIATION (OLR) BERDASARKAN TIPE CURAH HUJAN Iis Sofiati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN Jl. Dr.Junjunan 133, Bandung 40173 email:
[email protected]
Abstract One of the factors that influence weather in the formation of clouds and rain in an area is the solar radiation as the energy of the atmospheric circulation. Based on different types of rainfall in parts of Indonesia and variations of Outgoing Longwave Radiation (OLR) received on the earth surface, then the purpose of this study was to analyze the correlation of rainfall and OLR in several cities in Indonesia. With daily rainfall data over a period of 12 years from 1988 to 1999 and daily OLR data with the same period, the results of analysis showed that for type A which rainfall maximum occurs in December-January-February and a minimum in June-July to August, the monthly pattern of OLR to be the opposite. Correlation coefficients for the type A produced a pretty good value, with a maximum of 0.77. As for the type B rainfall, OLR monthly and rainfall pattern did not show a uniform pattern with maximum correlation coefficients of 0.42. While for type C where the rainfall maximum occurs in JuneJuly-August and the minimum occurred in December-January-February, the monthly pattern generated OLR showed the opposite pattern, and the value of the correlation coefficient for Type C is 0.24. Based on the pattern of monthly rainfall and OLR showed the opposite pattern, and the best correlation coefficient value is generated for type A. Keywords: Rainfall, Outgoing Longwave Radiation (OLR), type of rainfall. Abstrak Salah satu faktor yang mempengaruhi cuaca dalam proses pembentukan awan dan hujan di suatu daerah adalah radiasi matahari sebagai energi sirkulasi atmosfer. Berdasarkan adanya beberapa tipe curah hujan yang berbeda di wilayah Indonesia dan variasi Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang diterima di permukaan, maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis korelasi curah hujan dengan OLR di beberapa kota di Indonesia. Dengan data curah hujan harian selama periode 12 tahun yaitu 1988-1999 dan data OLR harian dengan periode yang sama. Hasil analisa diperoleh bahwa untuk curah hujan tipe A, curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari dan minimum pada bulan Juni-JuliAgustus, dan pola bulanan OLR terjadi sebaliknya. Koefisien korelasi untuk tipe A menghasilkan nilai yang cukup baik, dengan maksimum sebesar 0.77. Sedangkan untuk curah hujan tipe B, pola bulanan curah hujan dan OLR tidak menunjukkan pola yang beraturan, dengan koefisien korelasi maksimumnya adalah 0.42. Sedangkan untuk curah hujan tipe C dimana maksimum curah hujan terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus dan minimum terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari, pola bulanan OLR yang dihasilkan menunjukkan pola kebalikannya, dan nilai koefisien korelasi untuk tipe C adalah 0.24. Berdasarkan pola curah hujan dan OLR rata-rata bulanan menunjukkan pola kebalikan, dan nilai koefisien korelasi terbaik dihasilkan untuk curah hujan tipe A. Kata kunci: Curah hujan, Outgoing Longwave Radiation (OLR), tipe curah hujan.
59
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Curah hujan merupakan hal yang penting untuk memahami iklim Indonesia dan variasinya baik dalam skala global maupun lokal. Hal ini diperlukan untuk membedakan variasi curah hujan suatu daerah dengan daerah lain. Penelitian tentang curah hujan sudah banyak sekali dilakukan baik oleh peneliti dalam maupun luar negeri, diantaranya (Yasunari 1981, Matsumoto 1995, Bayong dan Zadrach 1996, Hamada 2002, Aldrian dan Susanto 2003, Aldrian et al., 2007, Kubota et al., 2011). Pada dekade terakhir, data Outgoing Longwave Radiation (OLR) telah banyak digunakan dalam menyimpulkan siklus tahunan konveksi dan curah hujan di Pasifik tropis dan Samudera Hindia (Horel, 1982; Meehl, 1987; Murakami dan Xie 1986, Murakami dan Wang, 1993; Murakami dan Matsumoto, 1994). Penelian yang sama untuk Amerika tropis (Horel et al., 1989), dan hutan tropis dunia (Heddinghaus dan Krueger 1981, Wolter dan Hastenrath 1989, Mitchell dan Wallace 1992). Penelitian ini melanjutkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Hamada (2002), Aldrian dan Susanto (2003) tentang identifikasi tiga daerah dominan curah hujan di Indonesia dan kaitannya dengan Sea Surface Temperature (SST) serta Bayong dan Zadrach (1996) tentang dampak El Niño pada musim hujan di wilayah Indonesia. Pada penelitian ini akan dianalisis hubungan antara pola curah hujan di Indonesia dengan OLR yang merupakan salah satu indikator dari aktivitas konvektif.
2. DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan harian untuk perioda selama 12 tahun (1988-1999) dan data OLR lima harian (pentad) selama 12 tahun, 1988-1999. Stasiun pengamatan yang dipilih mewakili setiap daerah curah hujan yang berbeda, yaitu Ambon (3o42’LS-128o5’BT), Banda Aceh (5o31’LU-95o26’BT),
Biak
(1o11’LS-136o7’BT), Bulaksumur (7°46’LS-110°22’BT), Dili - Timor Leste (8o34’LS125o34’BT), Jakarta (6o10’LS-106o49’BT), Pontianak (0o5’LS-109o22’BT), Samarinda (0o30’LS-117o8’BT), Sicincin (3o4’LS-104o2’BT), Surabaya (7o13’LS-112o43’BT), dan Ujung Pandang (5o14’LS-119o41’BT). Tahapan metode penelitian diawali dengan mengelompokkan lokasi stasiun pengamatan curah hujan berdasarkan tipe curah hujan, kemudian menentukan OLR untuk lokasi tertentu sesuai dengan stasiun curah hujan. Software fortran 77 digunakan untuk mengolah data curah hujan harian dan OLR lima harian menjadi data bulanan, kemudian dianalisis korelasinya.
60
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan tiga daerah curah hujan yang berbeda di wilayah Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003), pada penelitian ini dianalisis pola curah hujan rata-rata bulanan untuk daerah dengan curah hujan tipe A seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Pola curah hujan rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe A di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili.
Berdasarkan hasil terlihat bahwa pola curah hujan rata-rata bulanan di Kota Jakarta, Bulaksumur, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili menunjukkan pola yang hampir sama (Bulaksumur tidak ditampilkan, karena keterbatasan halaman), dimana musim basah terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari dan musim kering terjadi pada bulan Juni-JuliAgustus. Di kota Jakarta, Bulaksumur, dan Surabaya intensitas curah hujan rata-rata maksimum sekitar 400 mm/bulan. Intensitas curah hujan untuk Ujung Pandang dan Dili adalah berturut-turut 700 mm/bulan dan 200 mm/bulan.
Gambar 2. Pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe A di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili.
Gambar 2 menunjukkan pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe A di stasiun pengamatan Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili. Distribusi pola yang hampir sama terjadi di keempat kota tersebut, dimana OLR maksimum terjadi rata-rata pada bulan Juli-Agustus dengan nilai OLR sebesar (230-260) watt/m2. Out going Longwave Radiation minimum rata-rata terjadi pada bulan Januari-Desember dengan nilai OLR sekitar (180-210) watt/m2. Out going Longwave Radiation yang terjadi di kota Dili bernilai lebih
61
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
besar dibandingkan dengan kota lain dengan nilai maksimum 260 watt/m2 dan nilai minimumnya 210 watt/m2. Untuk kota Jakarta OLR minimum sekitar 180 watt/m2 dan maksimumnya sekitar 240 watt/m2. Kota Surabaya memiliki OLR minimum sekitar 195 watt/m2 dan maksimumnya sekitar 250 watt/m2, kemudian untuk kota Ujung Pandang OLR minimum sekitar 195 watt/m2 dan maksimumnya sekitar 230 watt/m2, sementara untuk kota Ujung Pandang OLR minimum sekitar 200 watt/m2 dan maksimumnya sekitar 230 watt/m2. OLR maksimum yang terjadi di kota Ujung Pandang adalah yang paling kecil dibandingkan dengan kota lainnya, sedangkan OLR minimum yang terjadi di kota Jakarta adalah yang paling kecil. Analisa selanjutnya menganalisis hubungan antara curah hujan dengan OLR dan menghitung nilai koefisien korelasi untuk setiap stasiun pengamatan. Gambar 3 menunjukkan korelasi antara curah hujan dengan OLR untuk daerah dengan curah hujan tipe A di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili.
Gambar 3. Korelasi antara curah hujan dan OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe A di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Dili.
Terlihat bahwa antara curah hujan dengan OLR berkorelasi negatif disetiap stasiun pengamatan, artinya ketika curah hujan bernilai besar, OLR bernilai kecil dan sebaliknya. Nilai koefisien korelasi rata-rata bernilai cukup baik, untuk Jakarta sebesar 0,75; Surabaya 0,76; Ujung Pandang 0,77; dan Dili 0,71.
Gambar 4. Pola curah hujan rata-rata bulanan untuk daerah tipe B di Banda Aceh, Sicincin, Pontianak, dan Biak. 62
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 4 menunjukkan pola curah hujan rata-rata bulanan untuk tipe B di lima stasiun pengamatan Banda Aceh, Sicincin, Pontianak, dan Biak (Samarinda tidak ditampilkan, karena keterbatasan halaman). Kecenderungan pola curah hujan rata-rata bulanan untuk tipe B tidak memperlihatkan pola yang sama, intensitas curah hujan maksimum dan minimum tidak terlihat dengan jelas. Karakteristik yang hampir sama terjadi di semua kota yang memiliki tipe curah hujan B, dimana hujan selalu terjadi sepanjang tahun, tidak seperti pola curah hujan tipe A. Di kota Banda Aceh curah hujan rata-rata bulanan sekitar 200 mm/bulan, untuk kota Sicincin 500 mm/bulan, kota Pontianak sekitar 350 mm/bulan, Samarinda sekitar 250 mm/bulan dan kota Biak 250 mm/bulan. Kota Sicincin memiliki intensitas curah hujan rata-rata bulanan yang paling tinggi, hal tersebut diduga karena posisi geografis kota Sicincin yang berdekatan dengan daerah Bukit Barisan yang lebih memungkinkan sering terjadinya hujan orografis. Menurut penelitian sebelumnya (Aldrian dan Susanto, 2003) daerah yang mempunyai curah hujan tipe B mempunyai dua puncak curah hujan, yaitu sekitar bulan Maret sampai Mei dan Oktober sampai November. Pada penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang sama dengan hasil penelitian sebelumnya, curah hujan rata-rata bulanan untuk tipe B tidak memperlihatkan pola yang beraturan. Di semua kota yang memiliki curah hujan tipe B, terjadi karakteristik yang dominan yaitu hujan selalu terjadi sepanjang tahun, atau dengan kata lain tidak terlihat adanya perbedaan musim secara jelas.
Gambar 5. Pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe B di Banda Aceh, Sicincin, Pontianak, dan Biak.
Pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah dengan curah hujan tipe B ditunjukkan pada Gambar 5. Berdasrkan hasil terlihat bahwa pola OLR rata-rata bulanan pada daerah dengan curah hujan tipe B tidak mempunyai pola yang beraturan seperti pola OLR pada daerah dengan curah hujan tipe A. Dengan demikian pola OLR rata-rata bulanan di suatu daerah akan diikuti dengan pola curah hujan rata-rata bulanannya. Pada kenyataannya kota Banda
63
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Aceh mempunyai pola OLR rata-rata bulanan yang sedikit berbeda dengan kota lainnya, dimana OLR maksimum terjadi pada bulan Desember sampai Februari dan minimum pada bulan Agustus sampai September. Kota lain seperti Sicincin, Pontianak dan Biak mempunyai pola sebaliknya, dimana OLR maksimum terjadi pada bulan Agustus sampai September dan minimum pada bulan Desember sampai Februari. Berdasarkan analisis tersebut maka tipe curah hujan di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi lokal, baik secara geografis maupun topografi dari daerah tersebut. Hasil ini memperkuat pernyataan hasil sebelumnya oleh Aldrian dan Susanto (2003) dan Hamada (2002). Pola OLR rata-rata bulanan di daerah lokasi penelitian dengan curah hujan tipe B adalah tidak beraturan, sehingga berpengaruh terhadap pola curah hujannya. Hal ini juga dibahas dalam penelitian sebelumnya oleh Murakami dan Matsumoto (1994) yang belum bisa mengidentifikasi secara jelas batasan nilai OLR untuk menentukan daerah monsoon, yang terletak di wilayah antara monsoon Asia dan monsoon Australia. Analisis koefisien korelsi dilakukan untuk mempertajam hasil. Hasil analisis korelasi antara curah hujan dengan OLR di daerah curah hujan tipe B seperti ditunjukkan oleh Gambar 6. Berdasarkan hasil terlihat bahwa korelasi curah hujan dengan OLR di kota Sicincin, Pontianak, dan Biak berkorelasi negatif dengan nilai koefisien korelasinya berturutturut sebesar 0,40; 0,15; dan 0,27, sedangkan untuk kota Banda Aceh koefisien korelasinya sebesar 0,12.
Gambar 6. Korelasi antara curah hujan dan OLR rata-rata bulanan untuk daerah curah hujan tipe B di Banda Aceh, Sicincin, Pontianak, dan Biak.
Pola curah hujan rata-rata bulanan untuk tipe C diperlihatkan pada Gambar 7 dengan kota Ambon yang dipilih mewakili daerah curah hujan tipe C tersebut. Berdasarkan hasil terlihat adanya pola kebalikan dari pola curah hujan tipe A seperti yang terlihat pada Gambar 7 (kiri), dimana musim basah terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus dengan kisaran intensitas curah hujan sebesar 600 mm/bulan dan nilai standar deviasi yang cukup tinggi sekitar 450 mm/bulan. Musim kering terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari dengan intensitas 64
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
curah hujan sekitar 50 mm/bulan. Pola OLR rata-rata bulanan untuk daerah tipe C menggambarkan pola kebalikan dari pola curah hujannya, dimana OLR maksimum terjadi pada Desember-Januari-Februari sekitar 250 watt/m2, dan minimumnya terjadi pada JuniJuli-Agustus sekitar 210 watt/m2.
Gambar 7. Pola curah hujan rata-rata bulanan (kiri), OLR (tengah), dan korelasinya (kanan) skala bulanan untuk daerah curah hujan tipe C di Ambon.
Gambar 7 (kanan) memperlihatkan korelasi antara curah hujan dengan OLR di daerah curah hujan tipe C, dan nilai koefisien korelasinya adalah 0,24. Berdasarkan hasil keseluruhan diperlihatkan bahwa korelasi antara curah hujan dengan OLR yang terjadi di daerah curah hujan tipe A dan tipe C, berpola kebalikan (ketika curah hujan bernilai besar, OLR bernilai kecil), sedangkan di daerah curah hujan tipe B tidak terlihat adanya pola yang beraturan. Nilai koefisien korelasi antara curah hujan dengan OLR terbaik adalah untuk daerah dengan curah hujan tipe A.
4. KESIMPULAN Pada daerah dengan curah hujan tipe A dimana curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari dan minimum pada bulan Juni-Juli-Agustus, pola bulanan OLR terjadi sebaliknya. Koefisien korelasi untuk tipe A menghasilkan nilai yang cukup baik, dengan nilai terbesar 0,77. Sedangkan untuk curah hujan tipe B, pola bulanan curah hujan dan OLR tidak menunjukkan pola yang beraturan, dengan koefisien korelasi terbesar adalah 0,42. Sedangkan untuk curah hujan tipe C dimana maksimum curah hujan terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus dan minimum terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari, pola bulanan OLR yang dihasilkan menunjukkan pola kebalikannya, dan nilai koefisien korelasi untuk tipe C adalah 0,24. Berdasarkan pola curah hujan dan OLR rata-rata bulanan menunjukkan pola yang kebalikan, dan nilai koefisien korelasi terbaik yang dihasilkan adalah untuk curah hujan
65
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
tipe A. Dengan demikian korelasi antara curah hujan dengan OLR yang paling baik di daerah curah hujan tipe A.
DAFTAR RUJUKAN Aldrian E., and Susanto, R. D., Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, International Journal of Climatology, Vol.23, No. 12, 1435-1452, 2003. Aldrian, E., L.D. Gates, and F.H.Widodo., Seasonal variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations and in the reanalyses: The role of ENSO. Theor. Appl. Climatol., 87. 41–59, 2007. Bayong, T.H.K. and L.D. Zadrach., The Impact of El Niño on season in
Indonesian
monsoon region. Proceeding of International workshop on the climate system of monsoon Asia, Kyoto International Community House, Kyoto, Japan, p. 263-266, 1996. Hamada, J.I., M.D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P.A. Winarso, and T. Sribimawati., Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO, J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285-310, 2002. Heddinghaus, T.R. and A.F. Krueger., Annual and interannual variations in outgoing long wave radiation over the tropics. Mon. Wea. Rev., 109, 1208-1218, 1981. Horel, John.D., On the annual cycle of the tropical Pacific atmosphere and ocean. Mon. Wea. Rev., 110, 1863-1878, 1982. Horel, J. D., Hahmann, A. N., and Geisler, J. E., An investigation of the annual cycle of convective activity over the tropical Americas. J. Climate, 2, 1388-1403, 1989. Kubota H., Shirooka R., Hamada Jun-Ichi, Syamsudin F., Interannual Rainfall Variability over the Eastern Maritime Continent, Journal of the Meteorological Society of Japan. Ser. II, Special Issue: MAHASRI - Monsoon Asian Hydro-Atmosphere Scientific Research and Prodiction Initiative - Vol. 89A, p. 111-122, 2011 Matsumoto, J., Rainfall climatology over Asian monsoon region. Toward Global Planning of sustainable Use of the Earth, p. 419-422, 1995. Meehl, G.A., The Annual cycle and interannual variability in the tropical Pacific and Indian Ocean regions. Mon. Wea. Rev., 115, 27-50., 1987. Mitchell, T.P. and J.M. Wallace., Annual cycle in equatorial convection and sea surface temperature. J. Climate, 5, 1140-1156, 1992.
66
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Murakami, T., L.X Chen, and A. Xie., Relationship among seasonal cycles, low-frequency oscillations, and transient disturbances as revealed from outgoing long wave radiation data. Mon. Wea. Rev., 113, 1456-1465, 1986. ---------, and B. Wang., Annual variations of the equatorial east-west circulation over the Indian and Pacific Oceans. J. Climate, 6, 932-952, 1993. ---------, and J. Matsumoto., Summer monsoon over the Asian continent and western north Pacific. Journal Meteorology Society Japan, 72, 719-745, 1994. Wolter, K. and S. Hastenrath., Annual cycle and long term trends of circulation and climate variability over the tropical oceans. J. Climate, 2, 1329-1351, 1989 Yasunari, T., Temporal and Spatial Variations of Monthly Rainfall in Java- Indonesia, Southeast Asian Studies, 19, 170-180, 1981.
67
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PERUBAHAN IKLIM DITINJAU DARI DISTRIBUSI FREKUENSI CURAH HUJAN Juniarti Visa Bidang Pemodelan Atmosfer - Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung, 40173 Email :
[email protected]
Abstract This study was conducted to analyze climate change in Bandung by using monthly rainfall data f1-1970, period 3: 1971-2000. The purpose of the study is to examine climate change in Bandung. Results obtained for the frequency distribution in the period 1911-1940 has intensity rainfall that often arises is the interval between the rainfall intensity (0-113) mm by 92 times, then to the interval between the rainfall (114-224) mm by 76 times. As for the period 1941-1970, has as much as 67 times the highest frequency for the interval between the rainfall intensity (0-63) mm, and for the interval between the rainfall intensity (64-127) mm by 72 times. Furthermore the period 1971-2000 had the highest frequency as much as 78 times for the interval between the rainfall intensity (0-63) mm, and the interval between the rainfall intensity (64-127) mm has a frequency of about 72 times. Then found that the dry season is longer than in the wet season. Rainfall intensity in period 3: 1971-2000 is higher than the period 1 and period 2, with rainfall intensity above 250/mm in Mart, April, November and December. During the period 1911-2000 rainfall in Bandung have up trend. Of opportunities rainfall by comparing the average climatological rainfall (30 years) and standard deviation can be identified that climate change is already happening in Bandung. Keyword: rainfall, frequency, probability Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perubahan iklim di Bandung dengan menggunakan data curah hujan bulanan selama periode 1911-2000, yang dibagi dalam 3 periode. Periode 1 : 1911-1940, periode 2: 1941-1970, periode 3: 1971-2000. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perubahan iklim di Bandung. Hasil yang di peroleh untuk distribusi frekuensi pada periode 1911-1940 mempunyai intensitas curah hujan yang sering muncul adalah intensitas curah hujan antara (0-113) mm sebanyak 92 kali, kemudian untuk intensitas curah hujan antara (114-223) mm sebanyak 76 kali. Sedangkan untuk periode 2: 1941-1970, memiliki frekuensi tertingi sebanyak 67 kali untuk intensitas curah hujan antara (0-63) mm, dan untuk intensitas curah hujan antara (64127) mm sebanyak 47 kali. Selanjutnya periode 3: 1971-2000 memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 78 kali untuk intensitas curah hujan antara (0-63) mm, dan intensitas curah hujan antara (64-127) mm mempunyai frekuensi sebanyak 72 kali. Kemudian diperoleh bahwa musim kering lebih panjang dari pada musim basah. Intensitas curah hujan pada periode 3: 1971-2000 lebih tinggi dibandingkan periode 1, dan periode 2, dengan intensitas curah hujan diatas 250/mm/bln pada bulan Mart, April, November dan Desember. Selama periode 1911-2000 curah hujan di Bandung mempunyai kecendrungan (trend) naik. Dari peluang curah hujan yang terjadi dengan membandingkan antara ratarata curah hujan klimatologis (30 tahun) dan standar deviasi dapat diidentifikasi bahwa sudah terjadi perubahan iklim di Bandung. Kata kunci: curah hujan, distribusi frekuensi, peluang.
1. PENDAHULUAN Secara geografis posisi wilayah Indonesia sangatlah strategis dan bersifat khusus, berada di wilayah tropis yang kaya akan radiasi matahari dengan lama siang dan malam
68
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
sepanjang tahun hampir selalu sama, sehingga jumlah radiasi matahari sepanjang hari relatif hampir konstan. Indonesia terletak diantara dua benua Asia dan Australia, diantara dua samudra India dan Pasifik, dan diantara dua Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan. Disamping itu dengan kondisi permukaan yang sekitar 70 % didominasi oleh laut, terdiri atas, lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil. Sementara itu sebaran pulaunya yang banyak dikelilingi oleh
laut dangkal atau dikenal dengan benua maritim merupakan potensi
penguapan yang cukup besar untuk mempermudah pembentukan awan hujan dan umumnya permukaan daratan bergunung gunung, disebut sebagai maritim continent Ramage (1971). Kondisi ini mengakibatkan tidak terdapat iklim yang seragam di seluruh wilayah Indonesia, keragaman iklim ini terjadi karena perbedaan letak geografis, kondisi topografis yang kompleks (Hamada, 2003). Keadaan ini tercermin dari adanya perbedaan tipe curah hujan yaitu monsunal, equatorial dan lokal (Tjasyono, 1999). Perubahan iklim merupakan perubahan baik pola maupun intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan yang biasanya terhadap rata-rata 30 tahun. Perubahan iklim dapat berupa perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi rata-ratanya. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati ada tidaknya perubahan iklim di kota Bandung, khususnya perubahan curah hujan di kota Bandung, berdasarkan analisis statistik terhadap hasil observasi curah hujan bulanan, yaitu curah hujan bulanan tahun 1911-2000.
2. DATA DAN METODOLOGI Dalam penelitian ini menggunakan data curah hujan bulanan untuk daerah Bandung periode 1911-2007 yang diperoleh dari BMKG - Jakarta. Data dibagi dalam tiga periode klimatologis. Periode 1:
1911-1940,
periode 2: 1941-1970 dan periode 3: 1976-2000.
Menggunakan metoda statistik untuk menentukan distribusi frekuensi dan distribusi peluang. Untuk mencari distribusi frekuensi dan peluang terlebih dahulu ditentukan : 1. Rentang (r) = nilai maksimum – nilai minimum 2. Banyak kelas (k) = 1 + 3.322log(n), dimana n adalah jumlah data 3. Panjang klas (p) = r / k. 4. Peluang (P) = f klas / f total
69
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3. HASIL DAN PEMBAHASAN. 300 264
Ch (mm)
250 200
263
1911-1942
274 267
1943-1975 1976-2007
150 100 50 0 Jan Feb Mart April Mei Jun Jul
Agt Sept Okt Nov Des
Waktu (bulan)
Gambar 1. Pola curah hujan periode 1911-2007 di Bandung.
Gambar 1, memperlihatkan kondisi pola klimatologis curah hujan rata-rata selama 30 tahun, yang terdiri dari periode 1: 1911-1940, periode 2: 1941-1970, dan periode 3: 19712000. Berdasarkan dari tiga periode tersebut terdapat pola curah hujan yang sama, tetapi mempunyai intensitas curah hujan yang berbeda-beda. Periode 1: 1911-1940 diperoleh intensitas curah hujan tertinggi pada bulan November sebesar 224 mm/bln, dan intensitas terrendah pada bulan Agustus sebesar 28 mm/bln. Pada periode 1 ini diperoleh juga intensitas curah hujan di bawah 100 mm/bln terjadi untuk bulan Juli, Agustus dan september. Sedangkan untuk periode 2: 1941-1970 intensitas curah hujan dibawah 100 mm/bln terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Sedangkan untuk intensitas curah hujan tertinggi terjadi bulan Mart sebesar 238 mm/bln. Selanjutnya periode 3: 1971-2000 terjadi intensitas curah hujan diatas 250 mm/bulan pada bulan Maret, April, November dan Desember dan intensitas curah hujan tertinggi sebesar 274 mm/bulan terjadi pada bulan November. Untuk intensitas curah hujan terrendah, dibawah 100 mm/bln terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Dari ketiga periode tersebut diperoleh bahwa musim kering terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September yang mempunyai intensitas curah hujan dibawah 100 mm/bln. Jadi pada musim basah intensitas curah hujan semakin tinggi dan pada musim kering intensitas curah hujan semakin rendah.
70
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
100
92
90 76
Frekuensi
80
1911-1940
70 60 50 40 30 20 10 0 0-113
114-223 224-341 342-455 456-569 570-683 684-797 798-911 912-1025
Interval Ch (mm/bln)
Gambar 2. Frekuensi curah hujan periode 1: 1911-1940 di Bandung
Pada gambar 2 menjelaskan frekuensi curah hujan tahun 1911-1940 dimana sumbu X adalah interval curah hujan dan sumbu Y adalah frekuensi curah hujan. Untuk memperoleh interval curah hujan dengan menentukan panjang kelas (r/k) dengan perumasan yang terdapat pada data dan metodologi. Dari gambar 2, yang menunjukkan frekuensi tertinggi curah hujan di Bandung pada periode 1: tahun 1911-1940 terjadi sebanyak 92 kali untuk intensitas curah hujan antara (0-113) mm/bulan. Sedangkan untuk intensitas curah hujan (114-227) mm/bulan terdapat nilai frekuensi 76 kali. Selanjutnya untuk periode 2: tahun 1941-1970 seperti yang terlihat pada gambar 3 menjelaskan bahwa frekuensi curah hujan yang sering muncul dengan intensitas curah hujan (0-63) mm/bln sebanyak 67 kali. 80 70
67
Frekuensi
60 1941-1970
47
50 40 30 20 10 0 0-63
64-127
128-191
192-255
256-319
320-383
384-447
448-511
Interval Ch (mm/bln)
Gambar 3. Frekuensi curah hujan periode 2: 1941-1970 di Bandung
Sedangkan untuk intensitas curah hujan (64-127) mm/bln mempunyai frekuensi sebanyak 47 kali. Hal yang sama terdapat pada gambar 4 bahwa frekuensi periode 3: tahun
71
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1971-2000 memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 78 kali dengan intensitas curah hujan (063) mm/bln 90 80
78 72
1071-2000
70
Frekuensi
61 60 49
50
51
40 30
23 18
20
7
10
1 0 0-63
64-127 128-191 192-255 256-319 320-383 384-447 448-511 512-575
Interval Ch (mm/bln)
Gambar 4. Frekuensi curah hujan periode 3: 1976-2007 di Bandung
Dari gambar 4 yang menjelaskan frekuensi curah hujan pada periode 3: 1971-2000 memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 78 kali dengan intensitas curah hujan (0-63) mm/bulan, kemudian untuk intensitas curah hujan (64-127) mm/bulan memiliki frekuensi sebanyak 72 kali. Untuk menentukan apakah sudah terjadi perubahan iklim melalui distribusi frekuensi dan peluang curah hujan maka gambar 5 menjelaskan bahwa antara periode 1: 1911-1940, periode 2: 1941-1970 dan periode 3: 1971-2000 sudah terjadi perubahan peluang curah hujan. Pada peluang 5 % merupakan kondisi ekstrim untuk periode1: 1911-1940 dengan intensitas curah hujan antara (128-191) dan (192-255) mm/bulan. Untuk periode 2: 1941-1970 kondisi ekstrim terjadi pada peluang 5% untuk intensitas curah hujan antara (320-383) mm/bln, periode 3: 1971-2000 kondisi ekstrim terjadi pada peluang 5% untuk intensitas curah hujan antara (383-447). Perubahan iklim dapat diidentifikasi dengan membandingkan kurva distribusi peluang seperti diperlihatkan pada gambar 6 sehingga diketahui perubahan dalam waktu 30 tahun pada nilai rata-rata (mean) dan standard deviasi. Berdasarkan pengertian ini, perubahan yang terjadi dalam waktu 30 tahun itu sendiri dikatakan sebagai variabilitas iklim, dan untuk melakukan identifikasi perubahan iklim saat ini diperlukan data pengamatan (historis) yang lebih panjang kurang lebih 60 tahun ke belakang (Meehl dalam Paulus Londo, 2010)
72
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
45 40 1911-1940
Peluang (%)
35
1941-1970
30
1071-2000
25 20 15 10 5 0 0-63
64-127
128-191
192-255
256-319
320-383
384-447
448-511
512-575
Interval Ch (mm/bln)
Gambar 5. Perubahan peluang curah hujan 1911-2000 di Bandung 200 176
180
Curah hujan (mm)
160
Rata-rata
158
Stdev
148
140 120
103
100
93
94
1941-1970
1071-2000
80 60 40 20 0 1911-1940
Waktu(tahun)
Gambar 6. Identifikasi perubahan iklim secara statistik di Bandung
Pada gambar 6 ini terlihat jelas perbedaan nilai rata-rata dan standard deviasi untuk setiap periode yaitu periode 1, periode 2 dan periode 3. Intensitas curah hujan pada periode 2 tahun 1941-1970 dibandingkan dengan periode 1: tahun 1911-1940 yang memiliki perbedaan sebesar 9.46%. Sedangkan perbandingan antara periode 3 tahun 1971-2000 dan periode 1 perbedaan intensitas curah hujan sebesar 16.89%. Juga intensitas curah hujan di Bandung selama periode penelitian cendrung(trend) meningkat seperti yang diperlihat pada gambar 6 ini. Kemudian dengan membandingkan distribusi frekuensi dan distribusi peluang (gambar 5) dapat dikatakan sudah terjadi perubahan iklim di Bandung dengan menggunakan parameter curah hujan.
73
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data curah hujan bulanan di Bandung periode 1911-2000 dengan menggunakan distribusi frekuensi diketahui pada periode 1: 1911-1940, memiliki frekuensi teringgi pada intensitas curah hujan antara (0-113) mm/bulan. Dan periode 2: 19411970 mempunyai frekuensi tertinggi pada intensitas curah hujan antara (0-63) mm/bulan. Sedangkan untuk periode 3: 1971-2000 memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 78 kali untuk intensitas curah hujan pada antara (0-63) mm/bulan. Bandung sudah mengalami perubahan iklim, dengan melakukan analisis curah hujan di Bandung periode 1911-2000 dengan intensitas curah hujan sebesar 9.46 % antara periode 2 dan periode 1, kemudian antara periode 3 dengan periode 1 intensitas curah hujan sebesar 16.89 %.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Didi Satiadi yang telah bersedia memberikan masukan dan partisipasinya dalam penulisan makalh ini.
DAFTAR RUJUKAN Meehl, G.A., F. Zwiers, J. Evans, T. Knutson, L. Mearns, and P. Whetton., Trends in extreme weather and climate events : Issues related to modeling extremes in projections of future clmate change, Bull. Amer. Met. Soc., 81(3), 413-416, 2000 Paullus Londo., Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok, 2010 Kementrian Lingkungan Hidup, http://www. menlh.go.id Ramage., Monsoon Meteorology, Academic Press. Inc, International Geophisics. Series, Vol 15. 1971 Tjasyono, B., Klimatologi Umum, Penerbit ITB Bandung, 1999.
74
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGARUH SKEMA KONVEKSI REGCM4.3 DALAM SIMULASI PRESIPITASI DAN TEMPERATUR DI CORDEX ASIA SELATAN Kadarsah1 dan M. Mubashar Ahmad Dogar2 1 Puslitbang –BMKG 2 King Abdullah University of Science and Technology (KAUST)
[email protected]
Abstract Long term simulations (1998-2002) of the precipitation and temperature using RegCM4.3 have been performed with boundary forcings from the European Centre for Medium-Range Weather Forecasts 15 years (ERA15) and the impacts of change in convective scheme over Coordinated Regional Downscaling Experiment (CORDEX )South Asia were also described. Five numerical experiments (Emanuel over land & Grell over Ocean (Reg-EL-GO),Grell (Reg-G), Emanuel (Reg-E), Tiedtke (Reg-T) and modified Tiedtke (cmtcape=20, Reg-mT) were conducted to simulate precipitation and temperature over South Asia. The model’s performance in simulating precipitation and temperature over the South Asia were evaluated against five years (1998-2002) of the Climate Research Unit (CRU) datasets. The Reg-mT and Reg-EL-GO scheme were the best performing of the precipitation and temperature during JJAS (1998-2002), respectively. The use of Reg-mT scheme also showed an increased of the model ability in simulating precipitation than Tiedtke scheme but not too significant. It was found that all the convection schemes could simulate the annual cycle over sea quite well but the Reg-EL-GO and Reg-G scheme were the best and the worst performing in reproducing the annual cycle over land, respectively. Keywords: convective scheme, precipitation simulation, RegCM4.3, Abstrak Simulasi jangka panjang presipitasi dan temperatur (1998-2002) telah dilakukan menggunakan RegCM4.3 dengan data dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts 15 years (ERA15) serta ditampilkan pengaruh perubahan skema konveksi di Coordinated Regional Downscaling Experiment (CORDEX) Asia Selatan. Lima eksperimen skema konveksi: Emanuel over land & Grell over Ocean (Reg-EL-GO),Grell (Reg-G), Emanuel (Reg-E), Tiedtke (Reg-T) dan modified Tiedtke (cmtcape=20, Reg-mT) dijalankan untuk simulasi presipitasi dan temperatur di Asia Selatan. Kemampuan model dalam simulasi presipitasi dan temperatur dievaluasi selama lima tahun (1998-2002) menggunakan data Climate Research Unit (CRU). Skema Reg-mT dan Reg-EL-GO merupakan skema yang paling baik dalam simulasi presipitasi (Reg-mT) dan temperatur (Reg-ELGO) selama JJAS (1998-2002). Penggunaan skema Reg-mT menunjukkan peningkatan kemampuan model dalam simulasi presipitasi dibanding skema Reg-T tetapi tidak terlalu signifikan. Semua skema konveksi mengsimulasikan siklus presipitasi tahunan di atas laut dengan baik tetapi saat mengsimulasikannya di daratan skema terbaik dan terburuk masing-masing dipegang oleh skema Reg-EL-GO and Reg-G. Kata Kunci : simulasi presipitasi, skema konveksi, RegCM4.3
1. PENDAHULUAN Studi tentang penggunaan model iklim regional dalam berbagai sektor kehidupan telah banyak dilakukan. Tetapi model iklim tersebut harus terus dikembangkan untuk meningkatkan akurasi dan kemampuannya dalam memprediksi iklim. Hal lain yang
75
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
menghambat proses ini adalah karena atmosfer di atas Benua Maritim Indonesia memiliki dinamika dengan tingkat nonlinearitas yang sangat tinggi sebagai akibat dari sangat beragamnya topografi, vegetasi, serta pengaruh monsun dan interaksi laut-atmosfer di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia di samping interaksi darat – atmosfer - laut di Benua Maritim Indonesia. Eksperimen-eksperiman awal penerapan sejumlah model numerik iklim di Indonesia , baik yang berbasis model sirkulasi global (GCM) maupun model iklim regional (RCM, LAM,REMO) telah dilakukan salah satunya oleh Aldrian (Aldrian,.E, et.al, 2003, 2004, 2005) dan Kadarsah (Kadarsah,2006, 2010). Hasil penelitian model-model tersebut menunjukkan ketidakakuratan khususnya pada parameter presipitasi. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian dan atau perbaikan terhadap sejumlah parameterisasi dan mekanisme fisis/dinamis sebelum digunakan sebagai piranti untuk prakiraan, simulasi dan aplikasi sektoral. Beberapa model yang telah disesuaikan diantaranya adalah untuk skenario deforestasi di Kalimantan (Seizarwati, W., 2009), analisis topografi (Kadarsah dan Jose Rizal, 2012) dan analisis diurnal di Benua Maritim Indonesia (Kadarsah, dkk., 2012). Studi lainnya dilakukan oleh Qian (Qian, 2008, 2010) dan Moron (Moron ,V., et.al, 2010). Sedangkan studi yang fokus terhadap skema konveksi dilakukan oleh Gianotti (Gianotti RL, et.al. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh lima skema konveksi RegCM4.3 pada presipitasi dan temperatur di Coordinated Regional Downscaling Experiment (CORDEX) Asia Selatan. Wilayah Indonesia yang termasuk CORDEX Asia Selatan adalah Sumatera seperti ditunjukkan Gambar 1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui skema konveksi yang sesuai di CORDEX Asia Selatan pada umumnya dan Sumatera pada khususnya. Pembentukan CORDEX Asia Selatan yang merupakan bagian dari program kerja oleh World Climate Research Programme (WCRP). CORDEX merupakan kelompok kerja yang memfokuskan pada penelitian downscaling model regional. Kelompok kerja ini di koordinir oleh WCRP yang merupakan badan bentukan World Meteorological Organization (WMO).
76
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b)
Gambar 1.(a) Wilayah CORDEX Asia Selatan dan (b) domain penelitian yang mencakup Wilayah CORDEX Asia Selatan dan Sumatera bagian utara
2. DESKRIPSI MODEL Model RegCM adalah model dan secara khusus didesain untuk digunakan oleh berbagai macam komunitas peneliti di negara-negara maju sebagaimana juga sudah mulai digunakan di negara-negara berkembang. Model didesain untuk komunitas umum, open source, mudah digunakan, dengan kode yang portabel yang dapat diaplikasikan di berbagai negara di dunia. Komunitas RegCM4 dikelola oleh Regional Climate Research Network atau RegCNET. Komunitas model ini dikoordinir oleh para ilmuwan dari bagian Earth
System
Physics
dari
Abdus
Salam
International
Centre
for
Theoretical
Physics http://users.ictp.it/RegCNET/). Para peneliti dalam jejaring ini (terakhir kurang lebih >750 partisipan) dapat berkomunikasi melalui email-list (milis) dan melalui workshop ilmiah regular, dan mereka berperan dalam evaluasi dan perkembangan berkelanjutan dari model ini. Sejak kemunculan RegCM3, dikembangkan oleh Pal (Pal.,et.al, 2007), model telah mengalami perubahan yang substansial baik pada kode-kode software maupun pada penampilan fisik dari model ini, dan hal ini kemudian mengarah pada pengembangan versi keempat dari model, RegCM4, yang dirilis oleh ICTP pada Juni 2010 sebagai versi prototipe (RegCM4.0) dan pada April 2011 sebagai versi lengkapnya (RegCM4.1). Model RegCM4 merupakan model yang merupakan singkatan dari REGional Climate Model version 4 (RegCM4). RegCM awalnya dikembangkan di National Center for Atmospheric Research (NCAR) dan banyak diterapkan untuk kajian studi dari regional iklim dan prakiraan musim diseluruh
dunia.
RegCM
tersedia
di
jaringan
internet
dengan
alamat,
http://www.ictp.trieste.it/~pubregcm/RegCM4. Generasi pertama dari NCAR RegCM telah dibangun di NCAR-Pennsylvania State University (PSU) Mesoscale Model version 4 (MM4) pada akhir 1980-an. Komponen dinamis yang terdapat didalam model RegCM berasal dari 77
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
MM4. Inti dinamis dari RegCM adalah serupa dengan versi hidrostatik dari Mesoscale Model versi 5 (MM5). Ide mengenai model area terbatas (LAMs-Limited Area Models) yang dapat digunakan untuk kajian regional awalnya diusulkan oleh Dickinson (Diskinson., et.al 1989) dan Giorgi (Giorgio, 1990). Ide ini berdasarkan pada konsep nesting satu arah (one-way nesting). Generasi pertama NCAR RegCM dibangun pada Model Mesoscale NCARPennsylvania State University versi 4 (MM4) di akhir tahun 1980-an. Komponen dinamis dari model berasal dari MM4, yang kompresibel, membatasi perbedaan model dengan keseimbangan hidrostatis dan coordinated vertikal-σ. Kemudian, skema integrasi waktu eksplisit-split ditambahkan dengan suatu algoritma untuk mengurangi difusi horisontal karena adanya gradien topografi yang curam. Sebagai hasilnya, inti dinamis dari RegCM mirip dengan versi hidrostatis dari Model Mesoscale versi 5 (MM5). Perkembangan RegCM ditunjukkan oleh Tabel 1, sedangkan detail lengkap dari RegCM4.3 yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan Tabel 2.
Tabel 1.Perkembangan model RegCM
SKEMA
RegCM1
RegCM2
RegCM3
RegCM4
Dickinson et
Giorgi et al.
Team RegCM3
Team RegCM4
al.(1989) Giorgi
(1993a,b)
and Bates (1989) Dinamik
MM4
MM5 (hydrostatic)
MM5
MM5 Hydrostatic
Anthes et al.
Grell et al. (1994)
(hydrostatic)
(Grell et al. [1994].
(1987)
Grell et al. (1994)
Transfer
CCM1
CCM2
CCM3
CCM3
Radiasi
Kiehl et al.(1987)
Briegleb (1992)
Kiehl et al.(1996)
Kiehl et al.(1996)
PBL
Local
Non-local,counter-
Non-
Non-local,counter-
Deardorff (1972)
gradient
local,counter-
gradient
Holtslag et al.
gradient
Holtslag et al. (1990)
(1990)
Holtslag et al. (1990)
Permukaan BATS 1a
BATS 1e
SUB-BATS
BATS 1e
tanah
Dickinson et al.
Dickinson et al.
Girogi et al.
Dickinson et al.
(1986)
(1993)
(2003a)
(1993)
78
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
CLM Oleson et al. [2008] Konveksi
Anthes-Kuo
Grell (1993)
Anthes (1977)
Anthes (1977)
presipitasi
Anthes (1977)
Anthes-Kuo
MIT Emanuel
MIT Emanuel (1991)
(1991)
Grell (1993)
Grell (1993) Persamaan
Implicit
Explicit
SUBEX
SUBEX
presipitasi
Giorgi and Bates
Hsie et al. (1984)
Pal et al. (2000)
Pal et al. [2000]
Not Available
Solmon et al.
Solmon et al. (2006)
and
(2006)
Zakey et al. (2006)
kimia
Zakey et al.
(1989) Aerosol
Not Available
(2006)
Tabel 2. Deskripsi RegCM4.3 Model Aspek Dinamik
Pilihan Skema Hidrostatik, koordinat vertikal-σ (Giorgi et al. 1993a)
Transfer Radiasi
Modified CCM3 (Kiehl et al. 1996)
PBL
Modifikasi Holtslag (Holtslag et al. 1990) UW-PBL (Bretherton et al. 2004)
Konveksi kumulus
Simplified Kuo (Anthes et al. 1987) Grell (Grell 1993) MIT (Emanuel & Zivkovic-Rothman 1999) Tiedtke (Tiedtke 1989)
Persamaan
SUBEX (Pal et al. 2000)
presipitasi Permukaan tanah
BATS (Dickinson et al. 1993) Sub-grid BATS (Giorgi et al. 2003) CLM (Steiner et al. 2009)
Fluks laut
BATS (Dickinson et al. 1993) Zeng (Zeng et al. 1998)
79
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Diurnal sea surface temperature (Zeng & Beljaars 2005) Aerosol interaktif
Karbon dan organik , SO4 (Solmon et al. 2006) Debu (Zakey et al. 2006) Garam laut (Zakey et al. 2008)
Danau Interaktif
Difusi/konveksi 1D (Hostetler et al. 1993)
Pita Tropikal
Coppola et al. (2012)
Kopel Laut
MIT (Artale et al. 2010) ROMS (Ratnam et al. 2009)
3. DATA DAN METODE Metodologi penelitian in terbagi menjadi tiga tahap utama. Pertama menjalankan RegCM4.3 dengan 5 skema konveksi berbeda tahun 1998-2002, kedua, membandingkan keluaran model dengan observasi Climate Research Unit (CRU) dan ERA-Interim wind dengan menggunakan Climate Data Operator (CDO) serta Grid Analysis and Display System (GrADS). Selanjutnya tahap terakhir atau tahap ketiga merupakan tahap analisis dan pembahasan. Ringkasan data dan skema konveksi yang digunakan ditampilkan Tabel 3. Tabel 3. Data dan skema konveksi RegCM4.3 Resolusi
50 km
Inisial dan kondisi
ERAIN15 (97-2004)
boundary SST
OI WK-OISST
Skema konveksi
Emanuel over land & Grell over Ocean (RegEL-GO) Grell (Reg-G) Emanuel (Reg-E) Tiedtke (Reg-T) Modifikasi Tiedtke (cmtcape=20) (Reg-mT)
Validasi
CRU-presipitasi dan temperature ERA-Interim angin
80
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat akurasi simulasi model dilakukan dengan membandingkan dengan data observasi dengan periode dan resolusi spasial yang sesuai. Data observasi yang digunakan adalah dari CRU selama 1998-2002. Hasil keluaran model dibandingkan dengan CRU (Gambar 2) dan perbedaannya yang semakin rendah (keluaran berbagai skema konveksi RegCM4.3 dikurangi CRU, dan disebut dengan bias presipitasi yang ditunjukkan Gambar 3) menunjukkan
bahwa
skema Reg-mT
merupakan
skema
yang paling
baik saat
mensimulasikan presipitasi khususnya di Sumatera bagian utara dengan bias presipitasi sebesar 1 mm/hari.
Gambar 2. Simulasi presipitasi JJAS (1998-2002) CRU dan keluaran RegCM4.3 dengan skema Reg_EL-GO, Reg-T dan Reg-mT
81
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3. Perbedaan presipitasi keluaran RegCM4.3 dengan skema Reg_EL-GO, Reg-G, Reg-E dan Reg-mT selama JJAS (1998-2002)
Gambar 4. Simulasi temperatur JJAS (1998-2002) CRU dan keluaran RegCM4.3 dengan skema Reg_EL-GO, Reg-T dan Reg-mT
82
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 5. Perbedaan temperatur keluaran RegCM4.3 dengan skema Reg_EL-GO, Reg-G, Reg-E dan Reg-mT selama JJAS (1998-2002)
Perbandingan bias presipitasi antara skema Reg-mT dengan Reg-T dilakukan untuk melihat peningkatan kinerja skema Reg-mT dibanding Reg-T (Gambar 2). Hasilnya, terjadi peningkatan kinerja model tetapi tidak terlalu signifikan (bias presipitasi tidak lebih kecil dari 1 mm/hari). Sedangkan skema Reg-EL-GO merupakan skema paling baik saat mensimulasikan temperatur selama JJAS (1998-2002) seperti yang ditunjukkan Gambar 4 dan 5. Hal tersebut ditunjukkan dengan bias temperatur yang relatif lebih rendah dibanding skema yang lain. Analisis Selanjutnya dilakukan dengan melihat kemampuan model dalam menirukan pola presipitasi tahunan di daratan dan lautan. Analisis presipitasi yang hanya terjadi di daratan (Gambar 6) menunjukkan bahwa skema Reg-EL-GO merupakan skema berkinerja terbaik ( mendekati pola CRU) dan skema Grell merupakan skema terburuk ( menjauhi pola CRU) dibanding skema lainnya saat mengsimulasikan siklus tahunan presipitasi. Saat mengsimulasikan siklus tahunan presipitasi yang hanya terjadi dilautan semua skema menunjukkan kinerja yang tidak terlalu jauh berbeda dengan CRU (Gambar 7). Artinya semua skema mampu menirukan pola presipitasi tahunan yang ditampilkan CRU.
83
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 6. Siklus tahunan presipitasi CRU dan skema-skema konveksi saat JJAS (mm/hari) selama tahun 1998-2002 di daratan dengan domain 5-26N dan 70-90E
Gambar 7. Siklus tahunan presipitasi CRU dan skema-skema konveksi saat JJAS (mm/hari) selama tahun 1998-2002 di lautan dengan domain 5-26N dan 70-90E
5. KESIMPULAN Wilayah Indonesia yang termasuk wilayah kajian yang dalam CORDEX Asia Selatan adalah Sumatera sehingga penelitian tentang pengaruh skema konveksi di CORDEX Asia Selatan terhadap presipitasi dan temperatur sangat penting untuk dilakukan. Lima skema konveksi RegCM4.3 yang diterapkan pada domain CORDEX Asia Selatan untuk simulasi presipitasi dan temperatur menunjukkan bahwa skema konveksi Reg-mT dan Reg-EL-GO merupakan skema yang paling baik dalam simulasi presipitasi (Reg-mT) dan temperatur (Reg-EL-GO) selama JJAS (1998-2002). Penggunaan skema Reg-mT menunjukkan peningkatan kemampuan model dalam simulasi presipitasi dibanding skema Reg-T tetapi tidak terlalu signifikan. Semua skema konveksi mengsimulasikan siklus presipitasi tahunan di atas laut dengan baik tetapi saat mengsimulasikannya di daratan skema terbaik dan terburuk masing-masing dipegang oleh skema Reg-EL-GO and Reg-G.
84
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih pada Filipo Giorgio , Laura Mariotti, Raju dan Bhatla dari ICTP yang telah memberi bantuan saran dan rujukan ilmiah sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN Aldrian, E., D. Sein, D. Jacob, L. D. Gates, and R. Podzun., Modelling Indonesian rainfall with a coupled regional model. Clim. Dyn., 25, 1–17, 2005. Aldrian, E., L. D. Gates, D. Jacob, and R. Podzun., Long-term simulation of Indonesian rainfall with the MPI regional model. Clim. Dyn., 22, 795–814, 2004. Aldrian, E., and R. D. Susanto., Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperatur. Int. J. Climatol., 23, 1435– 1452, 2003. Dickinson RE, Errico RM, Giorgi F, Bates GT., A regional climate model for the western United States. Clim Change 15: 383–422, 1989. Gianotti RL, Zhang D, Eltahir EAB., Assessment of the regional climate model version 3 over the maritime continent using different cumulus parameterization and land surface schemes. J Clim 25(2):638–656, 2012. Giorgi F., Simulation of regional climate using a limited area model nested in a general circulation model. J Clim 3: 941–963, 1990. Kadarsah, Danang Eko Nuryanto, Dodo Gunawan., Analysis of Diurnal Variation in the Maritime Continent Indonesia by Using RegCM4.Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-37 Himpunan Ahli Geofisika Indonesia,Unconventional & Renewable Energy. 10-13 September. ISBN: 978-979-98933-4-5, 2012. Kadarsah,Jose Rizal., Analisis Pengaruh Topografi Terhadap Curah Hujan Indonesia Menggunakan RegCM4.Prosiding Scientific Jurnal Club Tahun 2012. Hal.9-23. ISSN.978-979-1241-46-5, 2012. Kadarsah., Analisis Penyebaran Asap Kebakaran Hutan Periode El Nino/La Nina Dengan Menggunakan Model Regional-REMO, Tesis Program Magister, Program Studi Sains Atmosfer – Institut Teknologi Bandung, 2006. Kadarsah., Simulasi Iklim Indonesia Menggunakan RegCM3 (translate: Simulation of Indonesia Climate by Using RegCM3),Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,Vol.6.No.2, Juni 2010
85
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Moron, V. and J.-H. Qian., Local versus regional-scale characteristics of monsoon onset and post-onset rainfall over Indonesia. Climate Dyn. 34, 281–299, 2010. Pal,J, and Coauthors., Regional climate modeling for the developing world: The ICTP RegCM3 and RegCNET. Bull.Amer. Meteor. Soc., 88, 1395–1409, 2007. Qian JH., Why precipitation is mostly concentrated over islands in the maritime continent. J Atmos Sci 65: 1428–1441, 2008. Qian JH, Robertson AW, Moron V., Interactions among ENSO, the monsoons, and diurnal cycle in rainfall variability over Java, Indonesia. J Atmos Sci 67: 3509–3524, 2010. Seizarwati, Wulan., Simulasi Pengaruh Deforestasi dan Reforestasi Terhadap Perubahan Parameter Iklim
Menggunakan Regional Model (REMO) (Studi Kasus: Pulau
Kalimantan). Tugas Akhir, Program Studi Meteorologi – Institut Teknologi Bandung, 2009.
86
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS TEMPORAL DAN SPASIAL EVOLUSI IOD DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Krismianto Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN Jl. Dr. Djundjunan no. 133, Bandung 40173 email :
[email protected]
Abstract In general, the pattern of rainfall in Indonesia is already known but the variability of each year can vary due to many atmospheric phenomena that affect it. One of the most atmospheric phenomena that affect the variability of rainfall in Indonesia is the IOD (Indian Ocean Dipole). This study aims to determine the mechanism of evolution of the IOD and its influence on rainfall in Indonesia. Active phase of IOD is determined by looking at the value of DMI (Dipole Mode Index) anomalous for at least 2 months or more in a row. DMI is obtained from the difference of SST (sea surface temperature) between western and eastern region in equatorial part of the Indian Ocean. The results showed that the IOD evolution begins from JJ ( June-July ) and peaked at SON (September, October , and November). The next step, look for the influence of IOD on rainfall anomalies in the Indonesian region for each phase. The results show that for almost of all Indonesian region, if negative IOD then rainfall is surplus and if positive IOD then rainfall is deficit. Getting closer to the peak phase, the surplus or deficit rainfall is greater . Keywords : evolution, IOD, rainfall, Indonesia
Abstrak Secara umum pola curah hujan di Indonesia sudah diketahui namun tiap tahun variabilitasnya bisa berbeda-beda karena banyak fenomena atmosfer yang mempengaruhinya. Salah satu fenomena atmosfer yang paling berpengaruh terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia adalah IOD (Indian Ocean Dipole). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme evolusi dari IOD dan pengaruhnya terhadap curah hujan di Indonesia. Fase IOD aktif ditentukan dengan melihat anomali nilai DMI (Dipole Mode Index) -nya selama minimal 2 bulan atau lebih secara berturut-turut. DMI diperoleh dari selisih SPL (suhu permukaan laut) wilayah barat dan timur dari Samudera Hindia bagian equator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa evolusi IOD berawal dari bulan JJ (Juni-Juli) dan mencapai puncaknya pada bulan SON (September, Oktober, dan Nopember). Selanjutnya untuk masing-masing fase IOD tersebut dilihat pengaruhnya terhadap anomali curah hujan di wilayah Indonesia. Hasilnya adalah jika terjadi fase IOD negatif maka terjadi surplus curah hujan dan jika terjadi IOD positif maka terjadi defisit curah hujan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Semakin mendekati fase puncaknya, surplus maupun difisit curah hujannya semakin besar. Kata kunci : evolusi, IOD, curah hujan, Indonesia
87
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Variabilitas curah hujan di Indonesia sangat tinggi karena dipengaruhi oleh berbagai fenomena atmosfer global. Salah satu fenomena atmosfer global yang sangat berpengaruh terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia adalah IOD (Indian Ocean Dipole) yang merupakan fenomena mirip dengan ENSO (El-Nino Southern Oscillation) namun terjadinya di Samudera Hindia daerah equator. Terkait dengan hal tersebut, maka mekanisme evolusi dari kapan IOD mulai terbentuk hingga kapan mencapai puncaknya serta bagaimana pengaruhnya pertahapan evolusi tersebut terhadap anomali curah hujan di Indonesia sangat penting untuk dipahami. Sama halnya dengan ENSO yang memiliki nilai anomali positif (La Nina) dan anomali negatif (El Nino), IOD juga memiliki nilai anomali negatif (IOD negatif) dan anomali positif (IOD positif). Saji et al. (1999) menganalisis IOD menggunakan indeks sederhana berupa dipole anomali SPL (suhu permukaan laut) yang didefinisikan sebagai perbedaan anomali SPL Samudera Hindia di equator bagian barat dengan Samudera Hindia di equator bagian timur. Hasil perhitungan perbedaan nilai antara anomali SPL di bagian barat dan sebelah timur Samudera Hindia bagian equator tersebut dikenal sebagai DMI (Dipole Mode Index). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pertahapan evolusi dari IOD baik secara temporal maupun spasial. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dampak dari IOD terhadap anomali curah hujan di wilayah Indonesia. Dalam penelitian ini digunakan hipotesis bahwa mekanisme dari evolusi IOD dapat digambarkan dengan baik menggunakan data-data DMI pada tahun-tahun yang bebas dari ENSO aktif. Diasumsikan bahwa pada tahun-tahun IOD aktif yang bebas ENSO, anomali curah hujan di wilayah Indonesia hanya dipengaruhi oleh IOD saja.
2. DATA DAN METODOLOGI Dalam penelitian ini, akan digunakan data SPL HadISST (Hadley Centre Sea Ice and Sea Surface Temperature data set), data angin zonal (u) dan meridional (v) NCEP/NCAR (The National Centers for Atmospheric Prediction / The National Center for Atmospheric Research), dan data curah hujan GPCC (Global Precipitation Climatology Centre) dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2000. Data SPL HadlSST digunakan untuk membuat DMI dan melihat kondisi SPL-nya pada saat IOD positif maupun IOD negatif. Data angin zonal dan meridional NCEP/NCAR digunakan untuk melihat streamline anomali pergerakan arah anginnya pada saat IOD negatif maupun IOD positif. Data
88
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
curah hujan digunakan untuk melihat pengaruh IOD positif maupun IOD negatif terhadap anomali curah hujan di Indonesia. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data pada tahun-tahun IOD aktif kuat saat ENSO normal (Tabel 1). Pada tahun-tahun tersebut dianggap anomali curah hujan di Indonesia hanya dipengaruhi oleh IOD saja.
Tabel 1. Tahun-tahun IOD aktif kuat saat ENSO normal (Meyers et al., 2006) Tipe IOD
Tahun
Negatif
1968,1974,1980, 1985, dan 1992
Positif
1961,1967, dan 1983
Untuk mengetahui evolusi dari IOD maka DMI harus dihitung terlebih dahulu untuk tahun-tahun yang sudah ditentukan sebelumnya. DMI dibuat berdasarkan formulasi dari Saji et al. (2009) yang merupakan perhitungan perbedaan nilai anomali antara SPL di wilayah barat dan wilayah timur dari Samudera Hindia bagian equator. DMI = SPL ((500 E - 700 E, 100 S - 100 N) - SPL (900 E - 1100 E, 100 S - Equator) DMI yang diperoleh kemudian dirata-ratakan perdua bulan karena penentuan IOD aktif disyaratkan memiliki nilai anomali minimal 2 bulan berturut-turut seperti yang telah ditentukan oleh Meyers et.al. (2006). Setelah diperoleh data DMI-nya kemudian dianalisis secara time series untuk melihat evolusi dari IOD. Hasil analisis time series tersebut kemudian digunakan untuk memilih bulan-bulan yang signifikan dalam tahapan evolusi IOD. Selanjutnya dilakukan analisis spasial pada saat fase IOD mencapai puncaknya untuk melihat pengaruh IOD terhadap anomali curah hujan di Indonesia.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis komposit menunjukkan bahwa IOD mulai berevolusi pada bulan JJ (Juni-Juli). Hal tersebut ditunjukkan dengan mulai berubahnya nilai DMI menjauhi nilai normalnya baik itu pada saat IOD negatif maupun pada saat IOD positif. Evolusi IOD mulai mencapai puncaknya pada bulan SO (September-Oktober) dan dilanjutkan bulan berikutnya, yaitu pada bulan ON (Oktober-November). Tahapan evolusi berikutnya yaitu pada bulan ND (November-Desember), nilai DMI-nya baik itu pada saat IOD negatif maupun IOD positif mulai menju ke nilai normalnya.
89
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b) DM I
Ano mali DM I
Normal
Gambar 1. Evolusi anomali DMI terhadap nilai normalnya (a) dan Evolusi DMI (b). Ketika terjadi IOD negatif maka angin akan bergerak dari wilayah Samudera Hindia bagian equator ke arah wilayah Indonesia sedangkan ketika terjadi IOD positif maka akan terjadi hal yang sebaliknya, yaitu angin akan bergerak dari wilayah Indonesia menuju ke arah Samudera Hindia bagian equator.
Gambar 2. Anomali pergerakan arah angin pada saat IOD (-) dan (+) mencapai puncaknya.
Perbedaan pergerakan arah angin tersebut diakibatkan oleh perbedaan nilai SPL bagian barat dan timur dari Samudera Hindia bagian equator dimana wilayah dengan SPL
90
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
yang lebih rendah akan memiliki tekanan udara yang lebih tinggi dan angin akan selalu bergerak dari wilayah bertekanan lebih tinggi ke arah wilayah yang bertekanan lebih rendah. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia surplus curah hujan ketika terjadi IOD negatif terutama untuk wilayah Indonesia bagian selatan, bahkan surplus curah hujannya ada yang mencapai lebih dari 50 % seperti yang terlihat di Pulau Jawa. Hal tersebut menunjukkan bahwa anomali SPL di perairan Samudra Hindia sangat berpengaruh terhadap anomali curah hujan di Indonesia. Pada bulan JJ, terlihat bahwa curah hujan terutama di wilayah Indonesia bagian selatan mulai mengalami surplus dan kejadian tersebut terus berlanjut hingga ke bulan JA, AS, dan SO dengan nilai surplus curah hujan yang lebih besar. Pada bulan ON terlihat surplus curah hujannya sudah mulai berkurang hingga akhirnya pada bulan ND terlihat bahwa kondisi curah hujan di wilayah Indonesia sudah mendekati normal. Meskipun hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami surplus curah hujan, namun masih terdapat beberapa wilayah yang curah hujannya tidak terpengaruh oleh IOD negatif, terutama di wilayah Indonesia bagian Utara dan Papua.
Gambar 3. Anomali curah hujan pertahapan pada saat IOD (-).
91
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia defisit curah hujan ketika terjadi IOD positif, bahkan defisit curah hujannya ada yang mencapai lebih dari 50 %. Meskipun hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami defisit curah hujan yang tinggi, namun masih terdapat beberapa wilayah terutama di Papua yang justru malah mengalami surplus curah hujan bahkan melebihi 50 %. Pada bulan JJ, terlihat bahwa curah hujan di hampir seluruh wilayah Indonesia mulai mengalami defisit dan kejadian tersebut terus berlanjut hingga ke bulan JA, AS, dan SO dengan nilai defisit curah hujan yang lebih besar. Pada bulan ON terlihat defisit curah hujannya sudah mulai berkurang hingga akhirnya pada bulan ND terlihat bahwa kondisi curah hujan di wilayah Indonesia sudah mendekati normal.
Gambar 4. Anomali curah hujan pertahapan pada saat IOD (+).
4. KESIMPULAN DMI memiliki evolusi dimana evolusi tersebut dimulai pada bulan JJ dan mencapai puncaknya pada bulan SON serta kemudian mulai melemah menuju ke arah nilai normal pada bulan ND.
Jika DMI bernilai lebih rendah dari nilai DMI normalnya maka terjadi
fase IOD negatif dan sebaliknya jika lebih tinggi maka terjadi fase IOD positif. Ketika terjadi fase IOD negatif maka akan berdampak pada peningkatan curah hujan di sebagian wilayah
92
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Indonesia sedangkan pada saat fase IOD positif akan berdampak pada penurunan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN Meyers, G., McIntosh, P., Pigot, L., Pook, M., The years of El Niño, La Niña, and interactions with the Tropical Indian Ocean. J. Ametsoc, 20, 2872 – 2880, 2006. Saji, N. H., B. N. Goswami, P. N. Vinayachandran, and T.Yamagata., A dipole mode in the tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360 – 363, 1999.
93
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN
[email protected]
Abstract. Perubahan iklim akibat pemanasan global merupakan tantangan serius yang dihadapi dunia pada saat ini. Dampak paling besar akibat perubahan iklim terjadi di negara-negara pesisir dan negara kepulauan termasuk Indonesia. Salah satu dampak perubahan iklim adalah kenaikan suhu bumi. Suhu permukaan laut merupakan parameter laut yang mempunyai peranan penting terhadap kondisi cuaca dan iklim. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemanasan global terhadap suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian barat, Laut China Selatan, Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan Jawa. Data yang digunakan adalah suhu permukaan laut bulanan dari tahun 1983-2004 dengan resolusi spasial 1O x 1O. Dalam penelitian ini digunakan metode single moving average. Dari hasil analisis diketahui bahwa suhu permukaan laut tahunan paling rendah 27,77 OC terdapat di perairan selatan Jawa dan tertinggi 28,82 OC di Samudera Pasifik barat. Secara umum, perubahan iklim telah menyebabkan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian barat, Laut China Selatan, Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan Jawa mengalami kenaikan. Keywords: suhu permukaan laut, perubahan iklim, single moving average Abstrak Climate change due to global warming became a serious challenge facing the world present. The greatest impact of climate change occur in coastal countries and states island, including Indonesia. One of the impacts of climate change was global temperature rise. Sea surface temperature was ocean parameters that has an important role on weather and climate conditions. This research was conducted to understand the effect of global warming on sea surface temperature in the western Pacific Ocean, the South China Sea, the eastern Indian Ocean and the waters south of Java. The data used are sea surface temperature monthly from 1983-2004 with a spatial resolution of 1O x 1O. In this research used single moving average method. From the results of analysis showed that the annual sea surface temperatures the lowest occur in the waters south of Java and the highest in the western Pacific Ocean. In general, climate change has caused sea surface temperatures in the western Pacific Ocean, South China Sea and the eastern Indian Ocean waters south of Java has increased. Keywords: sea surface temperature, climate change, single moving average
1. PENDAHULUAN Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. Yang dimaksud dengan perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur iklim khususnya temperatur udara dan curah hujan. Sistem iklim bumi sangat komplek dan
94
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
terdiri atas lima komponen yaitu atmosfer, litosfer, hidrosfer, kriosfer dan biosfer (Prawirowardoyo, 1996 ; Santoso and Forner, 2006). Pemanasan global disebabkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca terutama yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer di berbagai belahan dunia akan menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Akibatnya temperatur rata-rata di seluruh permukaan bumi menjadi meningkat. Meningkatnya temperatur rata-rata di permukaan bumi akan menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya seperti meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara (Meiviana dkk, 2004). Perubahan iklim global akibat pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi (Susandi, 2008). Ketika suhu udara bumi menghangat, maka suhu permukaan laut juga akan menghangat. Suhu permukaan laut merupakan parameter laut yang mempunyai peranan penting dalam interaksi antara atmosfer dan laut terutama dalam pertukaran energi. Oleh karena itu penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap suhu permukaan laut perlu dilakukan.
2. TINJAUAN PUSTAKA Perubahan iklim sebagai implikasi akibat pemanasan global. Pemanasan global disebabkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca terutama yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Secara alamiah gas-gas rumah kaca berfungsi menyerap radiasi matahari di atmosfer sehingga temperatur permukaan bumi menjadi lebih hangat dan layak untuk dihuni oleh manusia (Buchdahl dkk, 2002). Jika di atmosfer tidak ada gas-gas rumah kaca, maka temperatur permukaan bumi akan menjadi 33 OC lebih dingin daripada temperatur sekarang. Dalam rangka usaha memenuhi kebutuhan hidup, manusia melakukan berbagai aktivitas. Berbagai aktifitas manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batu bara) dan perubahan tata guna lahan (penebangan pohon, penggundulan hutan dan pembakaran hutan) yang berlangsung secara terus menerus dan dalam periode waktu yang lama menyebabkan gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer terus meningkat (Canadell dkk, 2004). Sejak awal revolusi industri yang dimulai sekitar tahun 1850 jumlah gas-gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer mulai meningkat (Buchdahl dkk, 2002). Karbondioksida merupakan kontributor utama penyebab pemanasan global (Telerr dkk, 1997; Susandi, 2006). Meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer di berbagai belahan dunia akan menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Akibatnya temperatur 95
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
rata-rata di seluruh permukaan bumi menjadi meningkat seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1.
Gambar 1. Anomali temperatur global dari tahun 18502006 (Sumber: IPCC, 2007) 3. DATA DAN METODE Data yang digunakan adalah suhu permukaan laut rata-rata bulanan di wilayah Samudera Pasifik bagian barat antara 0O – 20O LU dan 128O BT – 152O BT, Laut China Selatan antara 3O LU – 9O LU dan 104O BT – 113O BT, Samudera Hindia bagian timur antara 10O LS – 10O LU dan 82O BT – 95O BT dan perairan selatan Jawa antara 15O LS – 10O LS dan 96O BT – 122O BT dari tahun 1983-2004. Data ini mempunyai resolusi spasial 1O x 1O. Dalam penelitian ini digunakan metode single moving averages seperti diperlihatkan pada persamaan 1. Selanjutnya dihitung regresi linier untuk menentukan terjadinya tren kenaikan atau tren penurunan suhu permukaan laut dalam rentang waktu tersebut.
Dimana : SMA
: Single Moving Averages
Pm
: data periode m
N
: periode waktu moving averages
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi suhu permukaan laut rata-rata bulanan dan rata-rata musiman di perairan Samudera Pasifik bagian barat, perairan Laut China Selatan, perairan Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan Jawa dalam rentang waktu tahun 1983-2004 diperlihatkan pada Gambar 2 dan Gambar 3 Secara umum, keempat perairan tersebut mempunyai variasi bulanan dan musiman suhu permukaan laut yang berbeda-beda. Kondisi seperti ini
96
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
menyebabkan keempat perairan tersebut mempunyai dinamika dan karakteristik yang berbeda-beda juga. Variasi rata-rata bulanan suhu permukaan di Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera Hindia bagian timur relatif kecil yaitu antara 28 OC – 29,5 OC, sebaliknya variasi rata-rata bulanan di Laut China Selatan dan perairan selatan Jawa relatif besar yaitu antara 26 O
C – 29 OC. Dalam variasi musiman terdapat perbedaan antara Laut China Selatan dengan
perairan selatan Jawa. Di Laut China Selatan terdapat tiga musim dengan suhu permukaan tinggi yaitu musim peralihan pertama, musim peralihan kedua dan musim timur serta satu musim dengan suhu permukaan rendah yaitu musim barat. Sementara itu, di perairan selatan Jawa terdapat dua musim dengan suhu permukaan tinggi yaitu musim barat dan musim peralihan pertama serta dua musim dengan suhu permukaan rendah yaitu musim timur dan musim peralihan kedua. Di sebelah utara ekuator bagian barat Samudera Pasifik suhu permukaan maksimum terjadi pada Juni yaitu sekitar 29,46 OC dan minimum terjadi pada bulan Februari yaitu sekitar 27,69 OC. Di Laut China Selatan suhu permukaan maksimum terjadi pada Mei yaitu sekitar 29,95 OC dan minimum terjadi pada bulan Januari yaitu sekitar 26,73 OC. Di bagian timur Samudera Hindia suhu permukaan maksimum terjadi pada April yaitu sekitar 29,61 OC dan minimum terjadi pada bulan Agustus yaitu sekitar 28,35 OC. Di perairan selatan Jawa suhu permukaan maksimum terjadi pada April yaitu sekitar 28,96 OC dan minimum terjadi pada bulan Agustus yaitu sekitar 26,34 OC.
a)
b)
c)
d)
Gambar 2. Variasi bulanan suhu permukaan laut, a) Samudera Pasifik Barat, b) Laut China Selatan, c) Samudera Hindia timur, d) perairan selatan Jawa 97
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Dari hasil pengolahan data dalam rentang waktu tahun 1983-2004 diketahui bahwa suhu permukaan di perairan Samudera Pasifik bagian barat, perairan Laut China Selatan, perairan Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan Jawa mengalami tren kenaikan dengan nilai yang berbeda-beda seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Tren kenaikan terbesar terjadi di Samudera Pasifik bagian barat yaitu sebesar 0,021 OC pertahun dan terendah terjadi di perairan selatan Jawa yaitu sebesar 0,008 OC.
Gambar 3. Variasi musiman suhu permukaan laut
a)
b)
c)
d)
Gambar 4. Tren kenaikan suhu permukaan laut, a) Samudera Pasifik Barat, b) Laut China Selatan, c) Samudera Hindia timur dan d) perairan selatan Jawa Berdasarkan hasil pengolahan data suhu permukaan dalam rentang waktu tahun 19832004 menunjukkan bahwa suhu permukaan di perairan Samudera Pasifik bagian barat, 98
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
perairan Laut China Selatan, perairan Samudera Hindia bagian timur dan perairan selatan Jawa mempunyai pola variasi bulanan dan musiman yang berbeda-beda. Variasi bulanan dan musiman di perairan Samudera Pasifik bagian barat dan perairan Samudera Hindia bagian timur relatif kecil, sedangkan di perairan Laut China Selatan dan perairan selatan Jawa relatif besar. Variasi bulanan dan musiman di perairan Samudera Pasifik bagian barat dan perairan Samudera Hindia bagian timur relatif kecil berkaitan dengan dinamika arus permukaan di kedua samudera tersebut. Di Samudera Pasifik tropis terdapat arus ekuator utara yang sepanjang tahun bergerak dari timur ke barat akibat tekanan dari angin pasat timur laut. Massa air permukaan yang hangat akan didorong ke arah barat secara terus menerus sehingga massa air di bagian barat Samudera Pasifik mempunyai variasi suhu yang kecil. Di Samudera Hindia tropis terdapat arus balik ekuator yang sepanjang tahun bergerak dari barat ke timur. Massa air permukaan yang hangat akan didorong ke arah timur secara terus menerus sehingga massa air di bagian timur Samudera Hindia mempunyai variasi suhu yang kecil. Sementara itu, variasi bulanan dan musiman yang relatif besar di Laut China Selatan dan terutama di perairan selatan Jawa berkaitan dengan pergerakan posisi matahari dan asal massa air permukaan. Pada saat musim barat posisi matahari berada di selatan ekuator sehingga massa air permukaan di perairan selatan Jawa mendapat radiasi yang maksimal sehingga suhu permukaan tinggi. Sebaliknya, pada saat musim timur posisi matahari berada di utara ekuator sehingga massa air permukaan di perairan selatan Jawa mendapat radiasi yang minimal sehingga suhu permukaan rendah. Suhu permukaan yang relatif rendah juga diperkuat oleh upwelling dan massa air dari daerah lintang tinggi yang relatif lebih dingin. Sementara itu, suhu permukaan di Laut China Selatan juga dipengaruhi posisi matahari serta massa air yang berasal dari perairan dalam Indonesia dan Samudera Pasifik barat.
5. KESIMPULAN Dari hasil analisis skala waktu bulanan dan musiman dapat disimpulkan bahwa keempat wilayah tersbut mempunyai pola sebaran suhu permukaan laut yang berbeda-beda. Selain dipengaruhi oleh posisi matahari, pola sebaran suhu permukaan laut di Laut China Selatan dan selatan Jawa juga dipengaruhi oleh sistem monsun Asia dan monsun Australia sehingga variasi bulanan dan musiman suhu permukaan di Laut China Selatan dan di perairan selatan Jawa cukup besar. Rata-rata suhu permukaan laut paling tinggi di bagian barat Samudera Pasifik dan paling rendah terdapat di perairan selatan Jawa. Perubahan iklim
99
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu permukaan laut. Tren kenaikan paling besar terjadi Samudera Pasifik bagian barat dan paling kecil terjadi di perairan selatan Jawa.
DAFTAR RUJUKAN Buchdahl, J., Twigg, R., dan Cresswel, L., Global Warming “ Fact Sheet Series for Key Stage 2 & 3”, Atmosphere, Climate & Environment Information Programme, Manchester, United of Kingdom, 2002. Canadell, J,P., Ciais, P., Cox, P., dan Heimann, M., Quantifying, Unerstanding and Managing The Carbon Cycle In The Next Decades, Kluwer Academic Publishers, 2004. Meiviana, A., Sulistiowati, D.R., Soejachmoen, M.H., Bumi Makin Panas “Ancaman Perubahan Iklim Di Indonesia”, Kementerian Lingkungan Hidup, JICA dan Pelangi, 2004. Prawirowardoyo, S., Meteorologi, Institut Teknologi Bandung, 1996. Santoso, H dan Forner, C., Climate Change Projections for Indonesia, Southeast Asia Kickoff Meeting on The Project Tropical Forests and Climate Change Adaptation, Bogor, 2006. Susandi, A., Bencana Perubahan Iklim Global dan Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia, Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, ITB, 2006. Susandi, A., Herlianti, I., Tamamadin, M., Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin, Program Studi Meteorologi, ITB, 2008. Teller, E., Wood, L., dan Hyde, R., Global Warming and Ice Ages : Prospects for PhysicsBased Modulation of Global Change, The 22nd International Seminar on Planetary, Emergencies, Italy, 1997.
100
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS PROFIL OZON MIXING RATIO DAN SUHU DI SUMATERA BERBASIS DATA MLS DAN INSITU Ninong Komala, Novita Ambarsari, dan Dian Yudha Risdianto Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
[email protected]
Abstract Research analysis of ozone mixing ratio profiles and the temperature in Sumatra is an activity to support "Space Based Observation" research. This research has the objective to investigate the characteristics of the ozone mixing ratio profiles and the temperature in Sumatra as well as its association with the rise in surface temperature and its comparison with in-situ results profiles of ozone mixing ratio and temperature. Research carried out by performing a data inventory of ozone mixing ratio profiles and temperature for Sumatra from Microwave Limb Sounders ( MLS ) data on the Aura satellite, then analyzing the pattern of annual, seasonal and perform statistical analyzes the relationship between ozone mixing ratio with temperature at some height and compare it with in-situ result. In this study ozone mixing ratio and temperature profiles based on MLS data is compared with the results of ozone mixing ratio and temperature of Kototabang by using ozonesonde. In this study we have been obtained characteristics of ozone mixing ratio profiles and temperature in Sumatra based on MLS data, also gained influence of ozone mixing ratio to temperature in Sumatra from MLS with in-situ results of Kototabang at some height. The linkage between ozone mixing ratio and temperature with the highest correlation is obtained at a height of 100 hPa with a correlation coefficient of 0.77 and at a height of 1 hPa with a correlation coefficient of 0.98 . Keywords: Ozone, temperature, MLS, Sumatera Island Abstrak Penelitian analisis profil ozon mixing ratio dan suhu di Pulau Sumatera merupakan kegiatan yang dilakukan dalam menunjang penelitian “Space Based Observation”. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui karakteristik profil ozon mixing ratio dan suhu di Pulau Sumatera serta keterkaitannya dengan kenaikan suhu permukaan serta perbandingannya dengan hasil penelitian profil ozon mixing ratio dan suhu secara insitu. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan inventori data profil ozon mixing ratio dan suhu untuk wilayah Sumatera dari data Microwave Limb Sounders (MLS) pada satelit AURA, kemudian menganalisis pola tahunan, musiman serta melakukan analisis statistik keterkaitan antara ozon mixing ratio dengan suhu pada beberapa ketinggian dan membandingkannya dengan hasil penelitian insitu. Dalam penelitian ini profil ozon mixing ratio dan suhu berbasis data MLS dibandingkan dengan hasil penelitian ozon mixing ratio dan suhu di Kototabang dengan menggunakan ozonesonde. Dari penelitian ini diperoleh karakteristik profil ozon mixing ratio dan suhu di Sumatera berbasis data MLS, juga diperoleh pengaruh ozon mixing ratio terhadap suhu berupa keterkaitan ozon mixing ratio dan suhu di Sumatera dari MLS dengan hasil insitu Kototabang pada beberapa ketinggian. Keterkaitan antara ozon mixing ratio dan suhu dengan korelasi tertinggi diperoleh pada ketinggian 100 hPa dengan koefisien korelasi 0,77 dan pada ketinggian 1 hPa dengan koefisien korelasi 0,98. Kata kunci : Ozon, suhu, MLS, Pulau Sumatera
101
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN
Adanya keterbatasan data hasil pengukuran insitu, maka data satelit mengenai komposisi atmosfer berperanan penting untuk menunjang kelengkapan data yang dibutuhkan untuk penelitian. Data hasil pengukuran profil vertikal komponen kimia atmosfer secara global (Ozon, HCl, ClO, HOCl, BrO, dll) dan
suhu atmosfer yang diperoleh dari
Microwavewave Limb Sounder (MLS) dapat membantu kebutuhan data dengan cakupan yang lebih luas dan dapat memenuhi kebutuhan peneliti. Data tersebut dapat menginformasikan kondisi ozon suhu di Sumatera serta keterkaitannya dengan hasil penelitian insitu. Ozon merupakan salah satu komponen atmosfer yang berperan sangat penting. Ozon di troposfer berperan sebagai oksidator dalam proses fotokimia yang mengoksidasi senyawasenyawa kimia yang diemisikan oleh permukaan bumi. Ozon di stratosfer menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak dari matahari sehingga menghangatkan atmosfer bagian tengah (stratosfer) dimana ozon terkonsentrasi paling besar. Ozon di stratosfer juga melindungi bumi dari bahaya sinar ultraviolet B yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Oleh karena itu, profil vertikal ozon mixing ratio menjadi sangat penting untuk dipelajari [Brasseur, et.al, 2001]. Pulau Sumatera terletak pada koordinat antara 95 BT - 105 BT dan 6 LU - 6 LS. Secara geografis Pulau Sumatera terletak di bagian Barat gugusan kepulauan Indonesia yang berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah Utara, di Selatan dengan Samudera Hindia di sebelah Barat dan di Timur
Selat
Sunda,
dengan Selat Malaka dan Selat Karimata.
Luas wilayah Pulau Sumatera adalah 443.065,8 km2 yang terbagi menjadi 10 propinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung. Menurut Aldrian dan Susanto (2003) terdapat dua karakteristik iklim di Pulau Sumatera. Sumatera Bagian Selatan memiliki curah hujan monsunal atau satu puncak musim hujan yang terjadi di bulan Desember, Januari, dan Februari seperti halnya di Pulau Jawa. Sementara Sumatera bagian tengah serta Utara memiliki curah hujan dengan pola ekuatorial yaitu tipe curah hujan berbentuk bimodial (dua puncak hujan) yang terjadi pada sekitar bulan Maret dan Oktober (saat terjadi equinoks matahari). Whitten, et.al (2000) menyatakan bahwa iklim Sumatera dicirikan dengan hujan yang berlimpah dan terdistribusi merata sepanjang tahun dengan perbedaan yang tidak mencolok antara musim kemarau dengan musim penghujan dibandingkan dengan Pulau Jawa dan Indonesia bagian Timur. Suhu di Pulau
102
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Sumatera bervariasi namun fluktuasi tahunannya sangat kecil. Perbedaan suhu lebih dipengaruhi oleh ketinggian. Suhu memiliki peranan penting dalam sains atmosfer. Suhu merupakan kunci utama dalam kesetimbangan radiatif di atmosfer. Suhu pada tekanan tertentu menentukan kerapatan dan dinamika di seluruh skala, suhu juga menentukan kecepatan reaksi kimia dan proses transfer radiatif di atmosfer [Schwartz, 2010 dalam Ambarsari dan Komala, 2010]. Profil suhu vertikal di atmosfer bumi secara global berkaitan dengan radiasi, konveksi, dan proses pemanasan dinamika antara permukaan bumi dengan sistem atmosfer [Ramaswamy, et.al, 2006 dalam Ambarsari dan Komala, 2010]. Nilai maksimum profil vertikal suhu ini berkaitan dengan adanya tiga ‘hot spot” yang membentuk profil maksimum suhu, yaitu di termosfer, stratopause, dan troposfer [http://www-paoc.mit.edu/labweb/notes/chap3.pdf, 2009 dalam Ambarsari dan Komala, 2010]. Suhu maksimum di termosfer disebabkan radiasi UV dengan panjang gelombang pendek diserap oleh molekul oksigen yang kemudian dipancarkan kembali sebagai radiasi infra merah yang memanaskan wilayah ini [Ramaswamy et.al, 2006]. Stratopause menjadi wilayah lain di atmosfer yang suhunya tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya molekul ozon yang bersifat gas rumah kaca sehingga menyerap radiasi UV dengan panjang gelombang menengah yang kemudian dipancarkan sebagai radiasi infra merah. Hal yang sama terjadi di troposfer. Adanya gas rumah kaca terutama uap air dengan jumlah yang cukup besar di troposfer yang juga memancarkan gelombang IR menjadikan
wilayah
troposfer
lebih
tinggi
suhunya
[http://www.srh.noaa.gov/jetstream//atmos/layers.htm, 2010 dalam Ambarsari dan Komala, 2010]. Menurunnya suhu di tropopause atau sering disebut dengan istilah lapse rate disebabkan berkurangnya densitas gas-gas di lapisan ini seiring dengan meningkatnya ketinggian atau berkurangnya tekanan sehingga lapisan udara menjadi lebih tipis dan suhu pun menurun. Begitu juga dengan lapisan mesosfer. Semakin berkurangnya molekul oksigen, ozon dan komponen lain yang dapat memancarkan energi panas di lapisan ini menjadikan suhu di mesosfer menurun [http://www.srh.noaa.gov/jetstream//atmos/layers.htm, 2010 dalam Ambarsari dan Komala, 2010]. Penelitian ini bertujuan pertama untuk mengetahui karakteristik profil ozon mixing ratio dan suhu di Pulau Sumatera didasarkan pada data hasil observasi instrumen MLS satelit AURA. Kedua, menganalisis keterkaitan
ozon mixing ratio
dengan kenaikan suhu
103
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
permukaan dan membandingkan hasil penelitian profil ozon mixing ratio dengan suhu hasil penelitian insitu.
3. DATA DAN METODE Data profil ozon mixing ratio dan suhu dari tahun 2006-2010 hasil observasi sensor MLS (Microwave Limb Sounder) diunduh dari website http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daacbin/G3/gui.cgi?instance_id=mls. Data yang diperoleh merupakan data harian. Data diolah menjadi variasi bulanan, musiman, dan perbandingan profil ozon mixing ratio , dan suhu di Sumatera untuk diketahui karakteristiknya. Microwave Limb Sounder (MLS) merupakan bagian dari Earth Observing System (EOS) juga merupakan satu dari empat instrument yang ditempatkan pada satelit AURA milik NASA. Inventori dilakukan untuk data profil ozon mixing ratio dan suhu dari Microwave Limb Sounders (MLS) pada satelit AURA untuk wilayah Pulau Sumatera periode 2006 sampai dengan 2010. Kemudian dilakukan pengolahan data profil ozon mixing ratio dan suhu untuk mengetahui pola konsentrasi di tiap level ketinggian di atmosfer agar dapat diperoleh variasi berdasarkan ketinggian (tekanan atmosfer) dan profil vertikal suhu atmosfer. Selanjutnya diilakukan analisis korelasi antara suhu dengan ozon mixing ratio di Sumatera pada beberapa level ketinggian. untuk memperoleh koefisien korelasi yang akan menjelaskan pengaruh ozon mixing ratio terhadap kenaikan suhu. Data insitu berupa profil ozon mixing ratio dan suhu diperoleh dari hasil peluncuran ozonesonde di Kototabang tahun 2007 dan 2008 pada bulan Januari.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil ozon mixing ratio dan suhu wilayah Sumatera dari MLS Berdasarkan data time series profil ozon mixing ratio terhadap ketinggian untuk Sumatera dari tahun 2006 sampai 2010 memperlihatkan distribusi ozon mixing ratio yang dominan pada tekanan 10 hpa dengan konsentrasi mencapai 10 ppm (Gambar 1a). Konsentrasi ozon di stratosfer terlihat sangat tinggi pada bulan-bulan Januari hingga Mei kemudian berkurang pada bulan Juni-Juli dan meningkat kembali pada bulan Agustus hingga Desember. Puncak profil ozon mixing ratio terjadi pada tekanan 10 hPa dengan range konsentrasi 9 hingga 10 ppmv. Rata-rata bulanan konsentrasi ozon menunjukkan nilai maksimum saat bulan Maret 2006-2010 pada tekanan 10 hPa dengan konsentrasi sebesar
104
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
10,27 ppm sedangkan konsentrasi ozon rata-rata bulanan minimum saat bulan Juli 2006-2010 pada tekanan 215 hPa dengan konsentrasi hanya 0,0097 ppmv. Variasi musiman profil ozon Sumatera (Gambar 1b) menunjukkan puncak ozon pada tekanan 10 hPa maksimum pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) 2006-2010 dengan konsentrasi 10,05 ppm. Ozon stratosfer paling minimum terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) 2006-2010 dengan konsentrasi 9,55 ppm saat bulan JJA/kemarau.
Gambar 1. Profil bulanan ozon mixing ratio pulau Sumatera rata-rata 2006 sampai dengan 2010 (a) yang memperlihatkan distribusi ozon yang dominan pada tekanan 10 hpa dengan konsentrasi mencapai 10 ppm dan profil musimannya (b).
Gambar 2. Profil bulanan suhu pulau Sumatera rata-rata 2006 sampai dengan 2010 (a) yang memperlihatkan distribusi yang dominan pada tekanan 1 hpa dengan suhu mencapai 270 K dan pada tekanan 100 hPa dengan suhu 191 K dan profil musimannya (b).
105
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Time series profil suhu terhadap ketinggian untuk Sumatera dari data MLS tahun 2006 sampai 2010 memperlihatkan distribusi suhu yang dominan pada tekanan 1 hpa dengan suhu mencapai 270 K dan pada tekanan 100 hPa dengan suhu 191 K (Gambar 2a). Rata-rata bulanan suhu menunjukkan nilai maksimum saat bulan Februari 2006-2010 pada tekanan 1 hPa dengan suhu 273,4 K, sedangkan suhu rata-rata bulanan minimum pada bulan April 2006-2010 pada tekanan 100 hPa dengan suhu 191 K. Variasi musiman profil suhu Sumatera (Gambar 2b) menunjukkan puncak suhu pada tekanan 10 hPa maksimum pada bulan Maret-April-Mei (MAM) 2006-2010 dengan suhu 231,53 K. Puncak suhu minimum terjadi pada bulan Maret-April-Mei (MAM) 2006-2010 dengan suhu 192,04 K pada 100 hPa.
Keterkaitan ozon dan suhu Sumatera dari data MLS Keterkaitan ozon dan suhu di Sumatera pada beberapa ketinggian persamaan dan koefisisen korelasinya ditampilkan pada Tabel 1. Keterkaitan profil ozon mixing ratio dan suhu Sumatera dari data MLS dilakukan dengan menganalisis keterkaitan ozon mixing ratio dan suhu pada beberapa ketinggian (tekanan) yaitu pada tekanan 1000 hPa, 681 hPa, 464 hPa, 215 hPa, 100 hpa, 10 hpa dan 1 hPa. Tabel 1. keterkaitan ozon dan t pada beberapa ketinggian
Gambar 3. Keterkaitan ozon dan suhu di Sumatera dari data MLS, pada ketinggian 100 hPa dan 1 hPa.
106
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Keterkaitan ozon dan suhu Sumatera dari MLS pada ketinggian 100 hPa mempunyai persamaan y= 37.211 x +190,24 dengan koefisien determinasi R2 = 0.5993 dan koefisien korelasi 0.77. Pada ketinggian 1 hPa persamaan yang diperoleh adalah y= 274.436 x + 352.8 dengan koefisien determinasi R2 = 0.9593 dan mempunyai koefisien korelasi negatif yaitu 0.98.
Data insitu profil ozon mixing ratio dan suhu Data insitu yang digunakan adalah data profil ozon dan suhu Kototabang hasil pengukuran pada bulan Januari 2007 dan Januari 2008. Data ini digunakan untuk komparasi data insitu dengan data profil ozon dan suhu bulan Januari dari MLS untuk wilayah Sumatera.
Gambar 4. Data insitu profil ozon (a) dan suhu (b) Kototabang pada Januari 2007 dan profil ozon (c) dan suhu (d) pada Januari 2008.
Komparasi profil ozon dan suhu Profil ozon mixing ratio dan suhu Kototabang bulan Januari diverifikasi dengan profil bulan Januari ozon mixing ratio dan suhu Sumatera dari MLS rata-rata 2006-2010.
107
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 5. Profil ozon mixing ratio dari MLS untuk Sumatera pada bulan Januari dan Kototabang pada bulan Januari 2007 dan 2008 (a). Profil suhu dari MLS untuk Sumatera pada bulan Januari dan Kototabang pada bulan Januari 2007 dan 2008 (b).
Pada Gambar 5a, ditampilkan profil ozon mixing ratio dari MLS untuk Sumatera pada bulan Januari rata-rata tahun 2006 sampai dengan 2010 dan profil ozon mixing ratio dari hasil pengukuran insitu di Kototabang rata-rata bulan Januari 2007 dan 2008. Karakter yang sama diperoleh pada level 1000 hPa. Peak ozon yang diperoleh dari data MLS dan dari insitu sama-sama dicapai pada ketinggian 10 hPa tetapi dengan nilai yang berbeda. Peak ozon untuk Sumatera dari MLS pada bulan Januari adalah 9.7 ppm, sedangkan peak ozon untuk Kototabang Januari 2007 diperoleh 10.38 ppm, dan Januari 2008 diperoleh 9.89 ppm. Pada Gambar 5b, ditampilkan profil suhu dari MLS untuk Sumatera pada bulan Januari rata-rata tahun 2006 sampai dengan 2010 dan profil suhu dari hasil pengukuran insitu di Kototabang rata-rata bulan Januari 2007 dan 2008. Suhu minimum yang diperoleh dari data MLS dan dari insitu sama-sama dicapai pada ketinggian 100 hPa tetapi dengan nilai yang berbeda. Suhu minimum untuk Sumatera dari MLS pada bulan Januari adalah 226,45 K sedangkan suhu minimum untuk Kototabang Januari 2007 adalah 226,11 K dan dan Januari 2008 diperoleh 224,24 K. Ketinggian hasil pengukuran insitu dengan menggunakan balun hanya bisa mencapai ketinggian ~ 6 hPa, untuk level yang lebih tinggi dari 6 hPa tidak bisa dibandingkan.
Verifikasi profil ozon dan suhu Kototabang dengan profil dari data MLS Verifikasi profil ozon mixing ratio dan suhu dari penelitian insitu Kototabang bulan Januari dengan profil dari data MLS Sumatera bulan Januari dilakukan dengan menganalisis
108
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
keterkaitan ozon dan suhu pada tekanan 1000 hPa, 681 hPa, 464 hPa, 215 hPa, 100 hpa dan 10 hpa. Hasil yang diperoleh menujukkan keterkaitan yang kuat antara hasil dari data dari MLS dengan dari data insitu.
Gambar 6. Verifikasi ozon dari MLS pada bulan Januari dan Kototabang pada bulan Januari 2007 (a) dan Januari 2008 (b).
Verifikasi ozon mixing ratio dari MLS pada bulan Januari dengan ozon mixing ratio dari hasil penelitian insitu Januari 2007 ditampilkan pada Gambar 6a. Berdasarkan Gambar 6a, diperoleh persamaan y = 1,068 x + 0,034 dengan koefisien determinasi R2 = 1 dan koefisien korelasi 0,9999. Sedangkan verifikasi ozon mixing ratio dari MLS pada bulan Januari dengan ozon mixing ratio dari hasil penelitian insitu Januari 2008 ditampilkan pada Gambar 6b, diperoleh persamaan y = 1,0185 x -0,0002 dengan koefisien determinasi R2 = 1 dan koefisien korelasi 0,9999.
Gambar 7. Verifikasi suhu dari MLS pada bulan Januari dan Kototabang pada bulan Januari 2007 (a) dan Januari 2008 (b).
109
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Verifikasi suhu dari MLS pada bulan Januari dengan suhu dari hasil penelitian insitu Kototabang Januari 2007 ditampilkan pada Gambar 7a. Persamaan yang diperoleh adalah y = 0.9009 x + 22.737 dengan koefisien determinasi R2 = 0.9950 dan koefisien korelasi 0.9950. Sedangkan verifikasi suhu dari MLS pada bulan Januari dengan suhu dari hasil penelitian insitu Januari 2008 ditampilkan pada Gambar 7b, dengan persamaan regresi y = 0,9166 x + 16,936 dan koefisien determinasi R2 = 0,9948 serta koefisien korelasi 0,9999.
5. KESIMPULAN Konsentrasi ozon secara umum di stratosfer menunjukkan range konsentrasi antara 8 ppm -11 ppm. Profil musiman suhu di Sumatera menunjukkan pola yang hampir sama. Maksimum di stratopause berkisar 260 K hingga 270 K sedangkan di troposfer sekitar 250 K. Keterkaitan ozon dan suhu Sumatera dari MLS pada ketinggian 100 hPa mempunyai koefisien korelasi 0.77. Pada ketinggian 1 hPa mempunyai koefisien korelasi negatif yaitu 0.98
yang berarti konsentrasi ozon menurun dengan meningkatnya suhu pada tekanan
tersebut yang mengindikasikan pengaruh suhu terhadap reaksi penguraian ozon. Verifikasi ozon mixing ratio dan suhu dari MLS rata-rata bulan Januari dengan ozon mixing ratio dan suhu dari hasil penelitian insitu Kototabang Januari 2007 dan 2008 memberikan hasil yang baik dengan nilai koefisien korelasi 0,99 untuk ozon mixing ratio dan suhu.
DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E dan Susanto R. D., Indetification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature, Int.J.Climatology 23:1435-1452, 2003. Ambarsari, N dan Komala, N,. Profil Vertikal Ozon, ClO, dan Temperatur di Bandung dan Watukosek Berbasis Observasi Sensor MLS Satelit AURA. Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer I, 16 Juni 2010, Pusfatsatklim LAPAN Bandung, 2010. Brasseur Guy P.., Muller Jean-Francois., Tie XueXi., dan Horowitz Larry., Tropospheric Ozone and Climate: Past, Present, and Future, Present and Future of Modeling Global Environmental Change: Toward Integrated Modeling, TERRAPUB. Page 63-75, 2001. Chapter
3.
The
Vertikal
structure
of
the
atmosphere.
http://wwwpaoc.mit.edu/labweb/notes/chap3.pdf Layers of the Atmosphere, http://www.srh.noaa.gov/jetstream//atmos/layers.htm MLS instrument, http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php, tanggal akses 28 Februari 2013. 110
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
NASA.,
Educational
Resources,
The
Ozone
layer,
at
http://www.nasa.gov/About/Education/Ozone/, 2001. V. Ramaswamy et.al., Chapter 1. Temperatur Trends in The Lower Atmosphere, The US. Climate Change Science Program, 2006. Waters J.W, Froideuvaux L, Harwood R.S., The Earth Observing System Microwave Limb Sounder (EOS MLS) on The Aura Satellite, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 44, No. 5, 2006. Whitten, T., Sengli J.D., Jazanul A., Nazaruddin H., The Ecology of Sumatera. Singapura. Periplus Edition Ltd, 2000.
111
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
VARIABILITAS METIL KLORIDA (CH3Cl) DI ATMOSFER INDONESIA BERBASIS PENGUKURAN SATELIT MLSAURA Novita Ambarsari, Ninong Komala, Dyah Aries Tanti, dan Emanuel Adetya Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Email :
[email protected]
Abstract Research on the variability of methyl chloride (CH3Cl) in the atmosphere Indonesia based on satellite measurements with instruments AURA Microwave Limb Sounder (MLS) has been done. Methyl chloride (CH3Cl) are widely used as a refrigerant is chlorine containing organic compounds that contribute to the most dominant 16% of the total amount of chlorine in the troposphere that is estimated to affect atmospheric concentrations of ozone in Indonesia. From the results of this research note that the time series average concentration in CH3Cl (methyl chloride) in Indonesia showed a maximum concentration of CH3Cl found at altitudes between 12 and 15 km with a monthly variation showed high concentration likely in the months of January to June with a value of about 0,6 to 0,7 ppbv. Whereas CH3 Cl showed low concentrations in June and September with a range of about 0,5 to 0,6 ppbv and increased again in October to December. Seasonal variation of CH3Cl shows the maximum profile in DJF 2005-2010 with concentrations reaching 0,7 ppbv and SON minimum in 20052010 with concentrations less than 0,6 ppbv. Another result was a dominant presence in the troposphere CH3Cl did not significantly influence the concentration of ozone in the atmosphere Indonesia. Keywords: Methyl chloride, MLS, AURA Abstrak Penelitian mengenai variabilitas metil klorida (CH3Cl) di atmosfer Indonesia berdasarkan hasil pengukuran satelit AURA dengan instrumen Microwave Limb Sounder (MLS) telah dilakukan. Metil klorida (CH3Cl) yang banyak digunakan sebagai pendingin merupakan senyawa organik yang mengandung klorin paling dominan yang berkontribusi sebesar 16 % terhadap jumlah klorin total di troposfer sehingga diperkirakan mempengaruhi konsentrasi ozon di atmosfer Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa time series rata-rata bulan konsentrasi CH3Cl (metil klorida) di Indonesia menunjukkan konsentrasi CH3Cl maksimum terdapat pada ketinggian antara 12 hingga 15 km dengan variasi bulanan menunjukkan konsentrasi cenderung tinggi pada bulan-bulan Januari hingga Juni dengan nilai sekitar 0,6 hingga 0,7 ppbv. Sedangkan CH3Cl menunjukkan konsentrasi yang rendah pada bulan Juni hingga September dengan rentang sekitar 0,5 hingga 0,6 ppbv dan kembali meningkat pada bulan Oktober hingga Desember. Variasi musiman CH3Cl menunjukkan profil maksimum pada bulan DJF 2005-2010 dengan konsentrasi mencapai 0,7 ppbv dan minimum pada bulan SON tahun 2005-2010 dengan konsentrasi kurang dari 0,6 ppbv. Hasil lainnya adalah keberadaan CH3Cl yang dominan di troposfer ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konsentrasi ozon di atmosfer Indonesia. Kata Kunci : Metil klorida, MLS, AURA
112
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
PENDAHULUAN Penipisan 25% ozon stratosfer diketahui disebabkan oleh berbagai reaksi kimia
katalitik yang melibatkan atom Cl dan Br yang dilepaskan dari metil klorida (CH3Cl) dan metil bromida (CH3Br) [Redeker and Cicerone, 2004]. Metil klorida (CH3Cl) merupakan senyawa organik yang mengandung klorin paling dominan yang berkontribusi sebesar 16 % terhadap jumlah klorin total di troposfer. Metil klorida memiliki sumber alam dan proses penguraian yang juga secara alami. Pembakaran bahan bakar minyak, lautan, dan aktivitas antropogenik menjadi sumber metil klorida di atmosfer. Metil klorida terbentuk dari hasil reaksi fotokimia material organik terlarut pada air dengan kadar garam yang tinggi/ air laut. Penguraian metil klorida di troposfer yang utama melalui reaksi oksidasi dengan radikal OH, transport ke stratosfer, bereaksi dengan radikal klorin, dan diserap oleh tanah [UNEP, 2010]. Pengetahuan yang masih terbatas mengenai variabilitas metil klorida (CH3Cl) di atmosfer Indonesia menjadi latar belakang utama dari penelitian ini. Profil vertikal metil klorida di atmosfer dapat menunjukkan distribusi konsentrasi CH3Cl untuk setiap satuan ketinggian atmosfer (km atau hPa). Metil klorida juga berperan sebagai oksidator di troposfer sehingga pemahaman mengenai perilaku metil klorida di atmosfer tidak hanya akan meningkatkan pengetahuan mengenai reaksi fotokimia tetapi juga membantu menjelaskan mengenai proses transport di atmosfer [Kaspers et.all, 2004]. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan variabilitas dan profil vertikal CH3Cl dalam variasi bulanan, musiman, tahunan, trend konsentrasi CH3Cl serta kaitannya dengan konsentrasi ozon di stratosfer Indonesia.
2.
TINJAUAN PUSTAKA Metil klorida (CH3Cl) merupakan sumber klorin terbesar di stratosfer dan senyawa
halokarbon dengan jumlah terbanyak di troposfer dengan rasio campuran mencapai 550 part pertriliun (ppt). Metil klorida merupakan reservoir utama gas klorin di atmosfer yang menghasilkan klorin hingga 5 teragram (Tg) [Khalil dan Rasmusen, 1999]. Gas-gas yang mengandung klorin berperan dalam proses katalisis penguraian ozon di stratosfer, walaupun ada di atmosfer dalam konsentrasi yang sangat kecil. Kloroforokarbon buatan manusia dan senyawa yang mirip lainnya menyebabkan penipisan ozon di kutub Selatan akibat penambahan jumlah klorin terhadap jumlah klorin alami yang ada di atmosfer. Telah banyak pengetahuan mengenai kloroflorokarbon dari berbagai penelitian di dunia, tetapi pengetahuan mengenai metil klorida di atmosfer relative masih sedikit [Khalil dan Rasmusen, 1999].
113
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Sumber utama metil klorida di troposfer adalah pembakaran biomassa, emisi dari laut, emisi langsung dari vegetasi, dan emisi tidak langsung dari penguraian serasah daun. Serasah daun adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di hutan atau kebun. Halogen radikal yang ditemukan di atmosfer secara signifikan berasal dari gas-gas metil halida yang diproduksi dari permukaan Bumi secara alami maupun antropogenik [Williams et.al, 2007]. Waktu hidup metil klorida di atmosfer diperkirakan sekitar 1,3 tahun [Aydin et.al, 2004]. Sekitar 285 Gg CH3Cl di troposfer mengalami transport ke stratosfer dan terurai akibat reaksi fotodisosiasi dan oksidasi oleh OH. Walaupun laut menjadi sumber emisi CH3Cl, tetapi laut juga menjadi objek sink untuk CH3Cl [Aydin et.al, 2004]. Metil klorida sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai objek penelitian untuk mengetahui proses dinamika atmosfer pada skala yang luas [Santee et.all, 2013].
3.
DATA DAN METODE Data profil vertikal (rasio campuran) CH3Cl di atmosfer Indonesia yang digunakan
pada penelitian ini merupakan data hasil pengukuran instrumen Microwave Limb Sounder (MLS) yang ditempatkan pada satelit AURA yang merupakan bagian Earth Observing System (EOS) yang dilakukan oleh NASA Amerika. Prinsip pengukuran instrumen ini adalah dengan mengukur emisi termal dari pita spektrum yang luas terpusat pada 118, 190, 240, 640 and 2250 GHz yang diukur sepanjang waktu (24 jam sehari) dengan 7 penerima gelombang mikro. MLS mengukur profil vertikal ozon dan komponen atmosfer lainnya dengan lebih akurat hingga ke lapisan stratosfer bawah. MLS/AURA memiliki resolusi vertikal mendekati 3 km di stratosfer dengan resolusi horisontal 200 km [http://mls.jpl.nasa.gov/index-eosmls.php, 2013]. MLS menyediakan data-data hasil pengukuran di siang hari dan malam hari secara global untuk profil vertikal beberapa komponen kimia atmosfer (O3, HCl, ClO, HOCl, BrO, OH, H2O, HO2, HNO3, N2O, CO, HCN, CH3CN, CH3Cl, vulkanik SO2), awan es, dan temperatur atmosfer. MLS EOS AURA merupakan pengembangan dari UARS MLS dengan resolusi spasial yang lebih baik dan cakupan yang lebih luas termasuk pengukuran profil vertikal dan kemampuan untuk mendeteksi senyawa-senyawa kimia baru yang belum pernah dideteksi oleh instrument-instrumen sebelumnya (OH, HO2, dan BrO) [Ahmad, et.al, 2006]. Data rasio campuran CH3Cl yang diperoleh merupakan data pengukuran harian dalam format Hierarchical Data Format (HDF) yang diekstrak dan dirata-ratakan untuk seluruh lintang dan bujur lokasi Indonesia (95 BT – 145 BT dan 6 LU – 11 LS) untuk didapatkan
114
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
satu profil vertikal rata-rata CH3Cl di Indonesia. Rentang data yang digunakan yaitu dari tahun 2005 hingga 2010. Data kemudian diolah menjadi variasi bulanan, musiman, tahunan, diagram time series terhadap ketinggian, serta kaitannya terhadap profil vertikal ozon di atmosfer.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi bulanan profil vertikal CH3Cl di Indonesia di tunjukkan pada Gambar 1. Profil
vertikal CH3Cl mencapai maksimum pada tekanan 146,78 hPa atau pada ketinggian 13,6 km di atas permukaan laut yaitu pada lapisan troposfer atas dengan konsentrasi antara 0,55 hingga 0,66 ppbv. Variasi rata-rata bulanan profil vertikal CH3Cl tahun 2005-2010, nilai konsentrasi maksimum terjadi pada bulan Februari pada tekanan 146,78 hPa dengan konsentrasi CH3Cl sebesar 0,66 ppbv.
Gambar 1. Profil Vertikal Rata-rata Bulanan CH3 Cl di Indonesia tahun 2005-2010.
Karakteristik profil vertikal CH3Cl menunjukkan konsentrasi di troposfer sekitar 0,55 ppbv kemudian meningkat menjadi lebih dari 0,5 ppbv pada lapisan troposfer atas, kemudian konsentrasinya terus menurun seiring dengan meningkatnya ketinggian dan mencapai konsentrasi minimum pada tekanan lebih kecil dari 1 hpa atau di lapisan stratosfer atas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Khalil dan Rasmusen bahwa rasio campuran metil klorida terbanyak ada di troposfer atas dengan konsentrasi mencapai 550 pptv atau 0,55 ppbv [Khalil dan Rasmusen, 1999].
115
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Variasi musiman CH3Cl (Gambar 2) menunjukkan bahwa pada puncak profil vertikal CH3Cl pada tekanan 146,78 hPa pada bulan DJF 2005-2010 adalah konsentrasi tertinggi hingga mencapai 0,66 ppbv dan minimum terjadi pada bulan JJA tahun 2005-2010 dengan konsentrasi hanya kurang dari 0,582 ppbv. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya tingkat konveksi pada musim hujan (Desember-Januari-Februari) yang menyebabkan emisi CH3Cl dari permukaan dalam jumlah besar terbawa hingga ke troposfer atas dan stratosfer bawah.
Gambar 2. Profil Vertikal Rata-rata Musiman (DJF = Desember-Januari-Februari, MAM = Maret-April-Mei, JJA = Juni-Juli-Agustus, SON = September-OktoberNopember) CH3Cl di Indonesia tahun 2005-2010.
Pada saat musim kemarau terjadi (Juni-Juli-Agustus) kekuatan konveksi melemah sehingga hanya sedikit konsentrasi CH3Cl dari permukaan yang mengalami transport hingga troposfer atas dan stratosfer bawah [Santee et.all, 2013]. CH3Cl dihasilkan di permukaan tetapi dapat mengalami transport hingga ke lapisan atmosfer pertengahan yaitu toposfer dan stratosfer melalui proses dinamika atmosfer yang cepat (konveksi) dan lambat (skala luas) [Santee et.all, 2013]. Time series rata-rata bulan konsentrasi CH3Cl pada Gambar 3 menunjukkan konsentrasi CH3Cl maksimum terdapat pada ketinggian antara 12 hingga 15 km dengan variasi bulanan menunjukkan konsentrasi cenderung tinggi pada bulan-bulan Januari hingga Juni dengan nilai sekitar 0,6 hingga 0,7 ppbv. CH3Cl menunjukkan konsentrasi yang cenderung lebih rendah pada bulan Juni hingga September dengan rentang sekitar 0,5 hingga
116
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
0,6 ppbv. dan kembali meningkat pada bulan Oktober hingga Desember sesuai dengan pola profil vertikal bulanan pada Gambar 3 sebelumnya.
Gambar 3. Time Series terhadap Ketinggian Pola Distribusi Vertikal Konsentrasi CH3Cl
Time series variasi bulanan CH3Cl di Indonesia tahun 2005-2010 pada tekanan 146,78 hPa ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat adanya pola yang sama seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 bahwa konsentrasi CH3Cl tinggi pada bulan-bulan DesemberJanuari-Februari kemudian mengalami penurunan pada bulan Maret lalu meningkat kembali pada bulan April-Mei. Pada bulan Juni mengalami penurunan hingga nilai minimum pada bulan September dan kemudian meningkat kembali di bulan Oktober dan Nopember. Hal ini diprediksi disebabkan emisi biogenik CH3Cl di bulan Juni hingga September menurun karena terjadi puncak musim kemarau menyebabkan kondisi atmosfer yang sangat kering dengan suhu yang lebih panas menjadi hambatan untuk tumbuhan bisa tumbuh dengan baik.
117
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 4. Variasi Bulanan CH3Cl di Indonesia tahun 2005-2010 pada tekanan 146,78 hPa (ketinggian = 13,6 km)
Variasi tahunan konsentrasi CH3Cl pada tekanan 146,78 hPa ditunjukkan pada Gambar 5. Berdasarkan gambar terlihat adanya pola yang mirip setiap tahunnya yang menunjukkan adanya variasi tahunan yang kuat pada konsentrasi CH3Cl di troposfer atas.
Gambar 5. Variasi Tahunan Konsentrasi CH3Cl Indonesia pada 146,78 hPa
Setiap tahunnya, konsentrasi CH3Cl mencapai puncak pada bulan-bulan Januari atau Februari dan mencapai nilai terendah pada bulan-bulan Juli, Agustus, atau September. Proses penguraian CH3Cl di troposfer atas dan stratosfer bawah lebih banyak disebabkan oleh reaksi fotolisis molekul metil klorida dengan energi ultraviolet yang mengakibatkan penguraian CH3Cl sebanyak 30-40 % dari jumlah total, juga reaksi dengan molekul OH. CH3Cl sebagai penyumbang klorin terbesar di stratosfer, maka peningkatan
118
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
konsentrasinya di stratosfer dipercaya berkontribusi terhadap penguraian molekul ozon di stratosfer. Profil vertikal CH3Cl dibandingkan dengan profil vertikal ozon ditampilkan pada Gambar 6. Tampak pada gambar bahwa puncak konsentrasi CH3Cl terjadi pada tekanan 146,78 hPa sedangkan puncak konsentrasi ozon terjadi pada tekanan 10 hPa sehingga tidak terdapat korelasi langsung antara CH3Cl dengan ozon.
Gambar 6. Perbandingan antara Profil Vertikal musiman CH3Cl Dengan Profil Vertikal Ozon 2005-2010
Hal ini juga terlihat pada Gambar 7 yang menunjukkan grafik korelasi CH3Cl terhadap ozon dihasilkan nilai R2 yang sangat kecil yaitu 0,202 yang menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan diantara kedua senyawa tersebut. Kemungkinan disebabkan CH3Cl tidak bereaksi langsung menguraikan ozon, tetapi terurai terlebih dulu menjadi atom klorin. Akan tetapi, perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaruh konsentrasi CH3Cl di stratosfer terhadap jumlah total klorin di stratosfer dan korelasi total klorin yang dihasilkan terhadap konsentrasi ozon stratosfer.
119
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 7. Korelasi Ozon dan CH3Cl pada tekanan 146,78 hPa
5.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa profil vertikal CH3Cl di atmosfer
Indonesia mengalami puncak konsentrasi pada tekanan 146,78 hPa atau ketinggian 13,6 km dpl. Rentang konsentrasi CH3Cl di atmosfer berkisar antara 0,55 ppbv di troposfer hingga mendekati 0,7 ppbv di stratosfer bawah kemudian terus menurun seiring dengan meningkatnya ketinggian. Variasi bulanan menunjukkan konsentrasi CH3Cl tinggi pada bulan-bulan Nopember hingga Februari dan minimum pada bulan-bulan Juni hingga September. Variasi musiman menunjukkan konsentrasi CH3Cl maksimum pada musim hujan (DJF) dan minimum pada musim kemarau (JJA). Variasi tahunan menunjukkan pola yang mirip setiap tahunnya dengan puncak maksimum konsentrasi CH3Cl pada bulan Januari atau Februari dan nilai terendah pada bulan Juli, Agustus, atau September. Konsentrasi CH3Cl tidak berkorelasi langsung dengan konsentrasi ozon di stratosfer melainkan sebagai kontributor utama penyumbang klorin di stratosfer yang berperan dalam reaksi katalitik penguraian ozon.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, S. P., Waters, J. W., Johnson, J. E., Gerasimov, I. V., Leptoukh, G. G., & Kempler, S. J., Atmospheric composition data products from the EOS Aura MLS. Proc. Amer. Meteorological Soc. Eighth Conf. on Atmospheric Chemistry,Atlanta, Georgia, 1-8, 2006.
120
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Aydin M., Saltzman E.S., De Bruyn W.J., Montzka S.A., Butler J.H., and Battle M., Atmospheric Variability of Methyl Chloride During the Last 300 Years from An Antarctic Ice Core and Firn Air, Geophysical Research Letters, 31, 1-4, 2004. Kaspers K.A., Van De Wal R.S.W., de Gouw J.A., Hofstede C.M., Van Den Broeke M.R., Reijmer C.H., Van Der Veen C., Neubert R.E., Meijer H.A.J., Brenninkmeijer C.A.M., Karlof L., and Winther J.G., Seasonal Cycles of Nonmethane Hydrocarbons and Methyl Chloride as Derived from Firn Air from Dronning Maud Land, Antartica, Journal of Geophysical Research, 109, 1-11, 2004. Khalil M.A.K., and Rasmussen R.A., Atmospheric Methyl Chloride, Atmospheric Environment., 33, 1305-1321, 1999. MLS instrument, http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php. tanggal akses 10 Oktober 2013 Redeker K.R., and Cicerone R.J, Environmental Controls Over Methyl Halide Emissions from Rice Paddies, Global Biogechemical, 18, 1-20, 2004. Santee M.L., Livesey N.J., Manney G.L., Lambert A., and Read W.G., Methyl Chloride from the Aura Microwave Limb Sounder: First Global Climatology and Assessment of Variability in the Upper Troposphere and Stratosphere, American Geophysical Union, 2013. UNEP, ODS and Related Chemicals, Ozone Report UNEP, 2010. Williams B.M., Aydin Murat., Tatum Cheryl., and Saltzman E.S., A 2000 Year Atmospheric Hystory of Methyl Chloride from a South Pole Ice Core : Evidence for ClimateControlled Variability, Geophysical Research Letters, 34, 2007. .
121
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
AWAL MUSIM DI PULAU BESAR INDONESIA BERDASARKAN PARAMETER ATMOSFER CCAM RESOLUSI 60 KM DAN 17 KM Nurzaman Adikusumah, Ina Juaeni, Bambang Siswanto Pusat Sains Teknologi Atmosfer LAPAN
[email protected]
Abstract. Atmospheric model resolutions have a very complex relation with the result parameters. Understanding of the higher-resolution models (small grid) can result in a more appropriate parameter to the observation is a positive initial perception because representation of mainland is more detailed in models, but the impact to the atmospheric parameters can be different. Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) in Indonesian territory resolution of 60 km with C48 and a resolution of 17 km with C160 has been executed a one-year simulation to determine the nature and initial studies major patterns of it’s climatology and to investigable the land on the model representation. Further studies will be carried out on start of the season on the results of the model to study of the season for major islands of Indonesia such as Java and Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua. Australian wind influence in Java and Bali looks pretty well illustrated by comparing the model wind patterns in July and January. Keywords: CCAM, Beginning of the season, a large Indonesian island.
Abstrak Resolusi model atmosfer memiliki kaitan yang sangat kompleks dengan parameter yang dihasilkannya. Pemahaman bahwa semakin tinggi resolusi model (grid kecil) dapat menghasilkan parameter yang lebih sesuai dengan observasi merupakan persepsi awal yang positif mengingat perwakilan daratan pada model lebih rinci, namun pengaruhnya kepada parameter atmosfer dapat berbeda. Model Atmosfer “conformal cubic” CCAM di wilayah Indonesia dengan resolusi 60 km dengan C48 dan resolusi 17 km dengan C160 telah dijalankan selama satu tahun untuk mengetahui sifat simulasinya dan kajian awal pola utama klimatologisnya dan untuk melihat bagaimana perwakilan daratan pada model. Selanjutnya akan dilakukan kajian awal musim pada hasil model untuk mempelajari logika musim untuk beberapa pulau besar Indonesia seperti Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pengaruh angin Australia di Jawa dan Bali terlihat cukup baik digambarkan model dengan membandingkan pola angin pada bulan Juli dan Januari. Kata Kunci: CCAM, Awal musim, pulau besar Indonesia
1. PENDAHULUAN Model atmosfer sangat memerlukan perwakilan permukaan yang baik untuk menghasilkan pembangunan hasil yang sesuai atau mendekati keadaan sebenarnya, namun keterbatasan
model
yang
perlu
mengkomputasi
seluruh
perumusan
fisis
dan 122
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
meteorologisnya memerlukan pengelompokkan wilayah daratan dalam kotak grid, sehingga parameter yang ditangkap model adalah perwakilan grid area permukaan bumi. Peningkatan resolusi grid dilakukan para pemodel atmosfer dengan banyak penyesuaian dalam perumusan kompleks atmosfer dan interaksi ssesama gridnya. CCAM (Conformal Cubic Atmospheric Model) merupakan model atmosfer global dengan resolusi yang variabel dengan resolusi tinggi diarea yang diinginkan dan tidak dibutuhkan adanya pembatasan wilayah yang disimulasikan. Sistem simulasi ini memiliki kelebihan dalam mensimulasi area dengan resolusi tinggi untuk wilayah kecil yang akan menjadi objek penelitian. Namun, dalam pengkajian wilayah cukup luas seperti Indonesia membutuhkan resolusi tinggi diseluruh batas wilayahnya yang memerlukan beberapa alternatif dan tehnik dalam menjalankan model maupun dalam memilih jenis pendukung dan inisialisasinya. Pada penelitian ini model dijalankan dengan dua sistem inisialisai untuk mendapat hasil parameter dengan resolusi grid 60 km dan 17 km untuk wilayah Indonesia. Perbedaan ini memberikan kemampuan model mewakili garis pantai kepulauan Indonesia dan mewakili rinciannya. Hujan disetiap pulau besar Indonesia tidaklah homogen, namun disini akan dilihat rata-rata disetiap pulaunya unruk mengetahui pola musim selama tahun pengamatan. Asumsi peningkatan resolusi mengubah interaksi variabel atmosfer tiap gridnya lebih rinci sehingga interaksi fisi dan meteorologis yang dinumerisasi menjadi lebih rinci. Sistem komples model menyebabkan perubahan kecil dimanapun gridnya dapat menyebabkan ketidak stabilan ataupun hasil yang tidak sesuai harapan, namun seiring peningkatan yang diikuti penyesuaian parameterisasinya dapat meningkatkan hasil model agar sesuai atau mendekati keadaan sebenarnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA CCAM dengan C48 dijalankan dengan inisialisasi ncep untuk mendapat perwakilan global dengan grid 200 km, kemudian menjalankan tahap resolusi lebih tinggi diwilayah Indonesia dengan grid 60 km. Kemudian dengan C160 dengan inisialisasi yang sama dijalankan untuk mendapat perwakilan global dengan grid 60 km, lalu menjalankan tahap resolusi tinggi untuk wilayah Indonesia dengan grid 17 km. Pembagian wilayah ikim Indonesia tidaklah sesuai untuk setiap pulaunya namun untuk melihat hubungan antara perwakilan daratan terhadap parameter atmosfer akan diamati sifat pengaruhnya. Pembagian wilayah pulau besar seperti Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi dan
Papua
tidak
mengikuti garis
pantai
hanya
untuk 123
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
menyederhanakan perhitungan sehingga untuk wilayah tertentu areanya meliputi darat dan laut.Lihat gambar 1.
Gambar 1. Pulau besar Indonesia dan pembagian area kajian Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
3. DATA DAN METODE Resolusi CCAM C48 untuk global 200 km dan di ‘downscale’ untuk wilayah Indonesia dengan resolusi 60 km. Sementara dengan CCAM C160, resolusi global 60 km dan Indonesia 17 km. Model CCAM dijalankan secara berurutan yaitu dengan area global seluruh dunia kemudian diturunkan skalanya diwilayah Indonesia. Untuk C48 secara global digunakan schmidt=1, res=2.0 dan area Indonesia Scmidt=0.3, res=0.5. Untuk C160 secara global digunakan schmidt=0.3, res=0.5 dan area Indonesia Scmidt=0.267, res=0.15. Data yang digunakan selama setahun untuk tahun 2000. Kajian dilakukan secara visual deret waktunya selama setahun pada puncak musim musim hujan dan puncak musim kemarau. Area dibagi dalam kotak sesuai pulaunya. Garis pantai untuk kedua model diperlihatkan pada Gambar 2 dibawah ini. Pada resolusi CCAM c160 terlihat lebih mengikuti garis pantai pulau sesungguhnya sementara untuk CCAM c48 terlihat penyederhanaan dari garis pantai pulaunya.
124
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2. Garis pantai CCAM c48 resolusi 60 km gambar atas dan c160 resolusi 17 km gambar bawah.
Pola presipitasi untuk kedua model diperlihatkan pada Gambar 3. Pada resolusi CCAM c160 terlihat lebih rinci sementara untuk CCAM c48 terlihat lebih sederhana.
125
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3. Presipitasi CCAM c48 resolusi 60 km gambar atas dan c160 resolusi 17 km gambar bawah.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Jawa dan Bali mengalami musim hujan bila angin zonal berhembus dari barat ketimur sehingga di bulan DJF angin zonalnya positif dan pada usim kemarau bulan JJA angin zonalnya negatif. Perwakilan angin menunjukkan pola yang serupa untuk C48 maupun C160 lihat gambar 4 dan 5 Walaupun dengan fluktuasi yang berbeda disetiap harinya. Awal musim hujan terlihat di bulan Desember dan awal musim kemarau di bulan Mei untuk CCAM C48.
126
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 4. Deret waktu hujan dan angin zonal Jawa dan Bali tahun 2000 CCAM C48
Sementara untuk C160 gambar 5 angin dari barat ke timur (angin zonal positif) sekitar bulan Nopember merupakan awal musim hujan, dan awal kemarau diakhir Mei yang ditandai angin zonal negatif (angin dari timur ke barat).
Gambar 5. Deret waktu hujan dan angin zonal Jawa dan Bali tahun 2000 CCAM C160 Hasil kedua model memperlihatkan pola yang baik untuk angin zonal walaupun rincian fluktuasi harian berbeda yaitu untuk C160 gambar 5 terlihat lebih kasar dibanding hariannya C48 gambar 4. Pola hujan dan angin zonal Sumatra tersimulasi lebih jelas pada C48 (gambar 6) dibanding pad C160 (gambar 7). Saat bulan Agustus pengaruh angin zonal positif dengan banyak hujan.
127
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 6. Deret waktu hujan dan angin zonal Sumatra tahun 2000 CCAM C48
Gambar 7. Deret waktu hujan dan angin zonal Sumatra tahun 2000 CCAM C160
Kalimantan sangat dipengaruhi pola angin dan hujan equatorial dan posisi yang diapit Sumatra di timur dan pulau Sulawesi di barat mennyebabkan fluktuasi angin sepanjang tahun tidak banyak berubah (lihat gambar 8 dan 9). Pada bulan Nopember (gambar 8) terlihat hujan yang meningkat untuk kemudian menurun di akhir bulan Desember. Pola angin selama Nopember dan Desember pun terlihat menguatnya angin zonal positif (ke timur).
128
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 8. Deret waktu hujan dan angin zonal Kalimantan tahun 2000 CCAM C48
Simulasi hujan dan angin Kalimantan menggunakan C160 memperlihatkan pola yang lebih dipengaruhi topografi pulau ini yang relatif datar sehingga pengaruh angin sepanjang tahunnya sangat terlihat lebh kuat dibanding pada C48 (Gambar 9).
Gambar 9. Deret waktu hujan dan angin zonal Kalimantan tahun 2000 CCAM C160
Sulawesi juga memiliki pola angin yang mencerminkan adanya pengaruh musim panas di belahan bumi utara sehingga benua Asia yang panas di bulan JJA menyebabkan angin zonal diwilayah ini negatif (ke barat). Hujan wilayah ini terlihat sepanjang tahun dengan terendah di bulan oktober.(lihat gambar 10 dan 11).
129
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 10. Deret waktu hujan dan angin zonal Sulawesi tahun 2000 CCAM C48
Simulasi angin Sulawesi memperlihatkan pola yang serupa dengan pola zonal negatif di bulan JJA, faktor peningkatan topografi dari C48 ke C160 tidak banyak mempengaruhi pola angin. Hujan di Sulawesi untuk hasil kedua model C48 dan C160 telihat sepanjang tahun, sehingga pola hujan secara umum bersifat equatorial. Kedua model mensimulasi Sulawesi dengan gambaran serupa dengan rincian fluktuasi yang berbeda terutam untuk angin yang memperlihatkan keserupaan yang tinggi. (lihat gambar 10 dan 11)
Gambar 11. Deret waktu hujan dan angin zonal Sulawesi tahun 2000 CCAM C160
Pola hujan dan angin Papua memperlihatkan kesesuaian antara kedua tipe hasil model (gambar 12 dan 13) yang mencerminkan adanya pengaruh musim panas di belahan
130
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
bumi utara sehingga benua Asia yang panas di bulan JJA menyebabkan angin zonal diwilayah ini negatif (ke barat). Pola ini sesuai dengan pola hujan yang juga rendah selama selang bulan itu. Angin zonal positif di akhir tahun diikuti dengan naiknya curah hujan berati asal hujan merupakan dari tarikan angi zonal dari barat.
Gambar 12. Deret waktu hujan dan angin zonal Papua tahun 2000 CCAM C48 Simulasi hujan dan angin Papua memperlihatkan pola yang serupa dengan pola zonal negatif di bulan JJA, sehingga faktor peningkatan topografi dari C48 ke C160 tidak banyak mempengaruhi pola hujan dan angin wilayah ini. Hujan di Papua dari hasil kedua model C48 dan C160 telihat sepanjang tahun dengan hujan cukup tinggi di bulan Desember. Hujan ternendah tercatat pada bulan Juli untuk C48 dan pada bulan September untuk C160.
Gambar 13. Deret waktu hujan dan angin zonal Papua tahun 2000 CCAM C160
131
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
5. KESIMPULAN Secara umum Jawa, Bali dan Sumatra untuk kedua hasil model CCAM C48 dan C160 memiliki pola angin yang serupa, yaitu saat angin zonal negatif bertepatan dengan musim kemarau pada bulan JJA dan sebaliknya musim hujan pada bulan DJF. Hujan dan Angin di Kalimantan digambarkan oleh kedua hasil model dengan pola fluktuatif yang tetap sepanjang tahun. Sulawesi dan Papua digambarkan kedua model memiliki pola yang serupa untuk bulan JJA angin zonal negatif dan hujan rendah, sementara pada bulan DJF angin zonal positif dan hujan tinggi. Model CCAM dengan inisialisasi C48 dan C160 memperlihatkan gambaran yang berbeda untuk pulau besar Indonesia dengan sifat meteorologis yang lebih kuat untuk Jawa-Bali dan Sumatra.
DAFTAR RUJUKAN Katzfey,J.J., J. McGregor, K. Nguyen and M. Thatcher., Dynamical downscaling techniques: Impacts on regional climate change signals, 18th worldimacs/Modsim Congress, Cairns, Australia, 2009 Thatcher, Marcus., Manual CCAM regional climate modeling, CSIRO, Australia, 2013.
132
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGARUH SUHU PERMUKAAN TERHADAP CURAH HUJAN PULAU BESAR INDONESIA DALAM TIGA PULUH TAHUN TERAKHIR Nurzaman Adikusumah Pusat SainsTeknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
[email protected]
Abstract Correlation heat the Earth's surface and the nature of rainfall is a major concern in climate change triggered global warming. Rainfall patterns will be the main topic of study for a large Indonesian to be analyzes the effect on surface temperature change. Changes in rainfall patterns can be differentiated in many species, in addition to the shift of seasons, nature swift, dramatic nature (abruptly) and long duration. Surface temperature changes can occur due to the nature of the surface has changed over the last thirty years such as land use change from forest and agricultural roads and housing. In this study will be seen changing rainfall patterns for the major islands in Indonesia such as Java and Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua. Java and Bali are a lot of changes in land use is exhibited significantly in the last 30 years of observations showed that changing nature of rain. The changing nature of rainfall generally decreases when the temperature increases except in Borneo and Sulawesi. Keywords: surface temperature, rainfall, large islands of Indonesia.
Abstrak Korelasi panas permukaan bumi dan sifat curah hujan menjadi perhatian utama dalam perubahan iklim yang dipicu pemanasan global. Pola curah hujan akan menjadi topik kajian utama untuk wilayah pulau besar Indonesia untuk dianalisa pengaruhnya pada perubahan suhu permukaan. Perubahan pola hujan dapat dibedakan dalam banyak jenis, selain adanya pergeseran musim, sifat derasnya, sifat dramatisnya (ketibatibaanya) dan lama berlangsungnya. Perubahan suhu permukaan dapat terjadi karena sifat permukaan yang berubah selama tigapuluh tahun terakhir seperti perubahan tataguna lahan dari hutan dan pertanian menjadi jalan dan perumahan. Pada kajian ini akan dilihat perubahan pola hujan untuk pulau besar Indonesia seperti Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Jawa dan Bali yang banyak berubah tataguna lahannya secara signfikan pada pengamatan 30 tahun terakhir memperlihatkan sifat hujan yang menurun saat suhu berrubah. Perubahan sifat hujan umumnya menurun saat suhu meningkat kecuali di Kalimantan dan Sulawesi. Kata kunci: Suhu permukaan, curah hujan, pulau besar Indonesia
1. PENDAHULUAN Proses hujan diawali dengan evaporasi dari permukaan sebagai reaksi panas permukaan bumi yang mengakibatkan proses tersebut. Peningkatan suhu permukaan
133
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dapat mempengaruhi meningkatnya proses evaporasi yang selanjutnya melalui proses konveksi membentuk awan. Peningkatan suhu permukaan menjadikan bertambahnya tutupan awan ataupun penebalannya sehingga potensi hujan pun meningkat. Perubahan tataguna permukaan di Indonesia telah banyak berubah dalam 30 tahun terakhir sebagai dampak meningkatnya pembangunan infrastruktur yang diperlukan karena peningkatan pembangunan sebagi pendukung meningkatnya jumlah dan aktivitas penduduk. Interaksi antara bentangan tembok dan jalanan aspal memberi radiasi panas yang meningkatkan suhu dibanding dengan bentangan hutan dengan vegetasi tingginya serta bentangan tanaman pertanian sehingga sifat evaporasi dan pembentukan awan hujannya pun meningkat. Selain itu pola sirkulasi angin skala lokal dan regional pun sangat terpengaruh oleh perubahan komposisi permukaan diatas. Perubahan ini berdampak kepada peningkatan suhu permukaan selama 30 tahun dari 1982 sampai 2013 yang berbeda-beda untuk setiap pulau besar di Indonesia bergantung pada perubahan tataguna permukaannya.
2. TINJAUAN PUSTAKA Interaksi antara bentangan dengan tutupan berupa tembok dan jalanan memberi radiasi panas yang meningkatkan suhu dibanding dengan bentangan hutan dengan vegetasi tingginya serta bentangan tanaman pertanian sehingga sifat evaporasi dan pembentukan awan hujannya pun meningkat (Trenbeth 2005). Pulau-pulau besar di Indonesia memiliki perubahan permukaan yang signifikan selama 30 tahun terakhir. Jawa dan Bali memiliki perkembangan infrastruktur yang paling tinggi dibanding wilayah lainnya seiring meningkatnya penduduk yang terkonsentrasi Jawa. Sebagai pusat kegiatan negara dan ibu kota maka pulau Jawa menjadi tujuan mencari sumber kehidupan yang lebih baik. Sumatra mengalami perubahan permukaan dari hutan menjadi perkebunan yang berbeda sifat evaporasinya. Sementara Kalimantan, Sulawesi dan Papua memiliki kondisi permukaan yang berubah oleh penambangan yang sangat luas pula akibat perkembangan industri tambang nasional maupun internasional. Setiap wilayah daratan di Indonesia dengan kondisi garis pantai, topografi dan lingkungan yang berbeda memiliki sifat interaksi darat atmosfer dan laut yang berbeda. Jawa yang berada diselatan khatulistiwa memiliki interaksi kuat dengan angin dari Australia di bagian selatannya. Sumatra memanjang melintasi ekuator dengan bagian selatan berhadapan dengan Samudra India. Kalimantan memiliki wilayah yang 134
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
berinteraksi kuat dengan benua Asia. Sulawesi selain berinteraksi dengan benua Asia mendapat aliran laut dari Pasifik dehingga fenomena Pasifik dapat berinteraksi kuat ke wilayahnya. Papua berhadapan langsung dengan Pasifik di bagian barat lautnya sehingga fenomena laut di Pasifik berinteraksi langsung pada kondisi atmosfer.
3. DATA DAN METODE Pulau-pulau besar Indonesia memiliki beban permukaan yang berbeda sesuai dengan kepadatan penduduk dan sifat perubahan kondisi permukaannya. Untuk melihat sifat interaksi terhadap kondisi hujan maka wilayah pulau dibagi sesuai area kotak tidak mengikuti garis pantai untuk menyederhanakan perhitungan seperti pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Pembagian wilayah kajian Jawa dan Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Data hujan dan suhu yang dipakai pada penelitian ini berasal dari GHCN (Global Hystorical Climate Network) NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) berupa hasil reanalisis, hujan bulanan dengan resolusi 0,5 derajat (~60 km), sementara suhu 2,5 derajat (300 k). Deret waktu kedua data diamati pada puncak musim hujan yaitu bulan Januari setiap tahunnya. Selang data yang diamati selama 30 tahun untuk memenuhi sifat klimatologis yang menjadi standar pemahaman meteorologi untuk mencakup keterwakilan timbulnya sebagian besar fenomena dia atmosfer dan kondisi normal.
135
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu spasial untuk bulan Januari tahun 1982 dan tahun 2013 secara visual memperlihatkan pola yang serupa yaitu suhu rendah di barat laut sementara pola panas di tenggara. Pola dingin (ungu pada gambar 2) pada tahun 2013 berubah dibanding tahun 1982 seperti terlihat di Kalimantan. Sementara pola panas berupa warna merah pada gambar 2 meningkat di selatan Nusa Tenggara Barat.
Gambar 2. Pola suhu dan presipitasi bulan Januari tahun 1982 dan 2013
Pola hujan selama 30 tahun terlihat sangat beragam perubahannya Jawa dan Bali terlihat secara umum mengalami pengurangan intensitas terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sumatra memiliki pola umum yang serupa namun intensitas yang menurun terutama di bagian selatan dan utara. Kalimantan memiliki peningkatan intensitas hujan untuk wilayah utara dan tengah. Sulawesi termasuk wilayah yang mengalami peningkatan intensitas hujan di sebagian besar wilayahnya. Papua mengalami sedikit penurunan intensitas di sebagian kecil wilayahnya. Secara spasial pengaruh kawasan cukup besar tehadap pola suhu dan hujan mengingat setiap pulau memiliki pengaruh yang sangat spesifik, namun dari kedua gambar spasial memperlihatkan hubungan yang berbeda antara suhu dan hujan seperti Kalimantan yang cenderung suhunya menurun namun hujannya meningkat. Sulawesi suhunya meningkat hujannya secara umum meningkat. Jawa, Bali dan Sumatra dengan suhu yang serupa hujannya menurun. Papua secara umum tidak banyak berubah baik suhu maupun hujannya. Deret waktu selama 30 tahun dari 1982 sampai 2013 untuk bulan Januari memperlihatkan sifat fluktuatif yang sangat beragam untuk setiap pulau. Khusus untuk 136
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Jawa terlihat polanya yang berlawanan untuk tahun tertentu seperti tahun 1983, 1985, sementara tahun lainnya sangat beragam. Tahun 1990 dan 1999 terlihat kenaikan suhu diiringi oleh kenaikan hujannya, namun setelah tahun 2000 kenaikan suhu diikuti penurunan hujannya. Indeks korelasi antara suhu dan hujan Jawa -0.04
R= - 0,04
Gambar 3. Suhu dan presipitasi pulau Jawa dari tahun 1982 -2013 Sumatra memiliki interaksi fluktuasi yang positif yaitu saat suhu naik umumnya hujannya telihat naik dan sebaliknya kecuali pada tahun 2010. Indeks korelasi antara suhu dan hujan Sumatra 0,3 menunjukkan bahwa untuk wilayah ini kenaikan suhu meningkatkan curah hujannya.
R= 0,3
Gambar 4. Suhu dan presipitasi Sumatra dari tahun 1982 – 2013 Indeks korelasi antara suhu dan hujan Kalimantan 0,08 menunjukkan sifat positif antara kenaikan suhu dan kenaikan hujannya walaupun nilainya kecil. Pada tahun 1993 suhu wilayah ini pada titik terendahnya namun hujannya yang rendah tidak ekstrim.
137
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
R= 0,08
Gambar 5. Suhu dan presipitasi Kalimantan 1982 -2013 Indeks korelasi antara suhu dan hujan Sulawesi 0,5 menunjukkan sifat positif antara kenaikan suhu dan kenaikan hujannya walaupun nilainya kecil. Seperti Kalimantan pada tahun 1993 suhu wilayah ini pada titik terendahnya namun hujannya naik.
R= 0,5
Gambar 6. Suhu dan presipitasi Sulawesi 1982 -2013
Indeks korelasi antara suhu dan hujan Papua -0,07, nilai negatif menunjukkan sifat berlawanan antara fluktuasi suhu dan hujannya walaupun nilainya kecil. Pada tahun 1993 suhu wilayah ini pun pada titik terendahnya namun hujannya naik.
R= - 0,07
Gambar 7. Suhu dan presipitasi Papua 1982 – 2013
138
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Pulau-pulau besar Indonesia memiliki loaksi yang sangat spesifik dalam lingkungan geografis seperti pulau Jawa dan Sumatera yang berhadapan dengan Samudra India sementara Kalimantan, Sulawesi dan Nusa tenggara diapit lautan yang lebih terbatas. Demikian pula dengan Papua yang berhadapan dengan Samudera Pasifik. Perbedaan ini memberikan efek meteorologis yang berbeda secara klimatologisnya. Perubahan iklim di pulau besar Indonesia terjadi akibat lingkungan yang berubah seperti rusaknya hutan dan pergeseran ruang terbuka oleh tutupan perumahan akibat bertambahnya penduduk. Namun wilayah dengan korelasi yang tidak terlalu besar menandakan efek regional lebih kuat dibanding dampak perubahan kondisi permukaannya. Perbedaan korelasi antara Suhu dan Presipitasi untuk beberapa pulau besar secara rinci dapat dilihat dalam tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Korelasi Suhu dan Presipitasi pulau besar Indonesia tahun1982-2013 NO 1 2 3 4 5 5
Daerah pengamatan Pulau Jawa Pulau Sumatera Pulau Kalimantan Pulau Sulawesi Pulau Papua
Korelasi -0,04 0,3 0,08 0,5 -0,07
KESIMPULAN Secara spasial selama 30 tahun Jawa, Bali dan Sumatra memperlihatkan pola
yang serupa yaitu suhu tidak terlalu berubah namun hujannya rata-rata menurun, sementara Kalimantan suhu menurun hujan meningkat. Sulawesi suhu meningkat hujannya meningkat, dan Papua suhu maupun hujannya tidak banyak berubah. Korelasi antara suhu dan hujan selama 30 tahun untuk bulan Januari memperlihatkan angka yang bervariasi yaitu Jawa = -0,04 , Sumatra = 0,3 , Kalimantan = 0,08, Sulawesi = 0,5 , dan Papua = -0,07. Korelasi negatif memperlihatkan faktor geografis meteorologis lebih dominan dibanding lingkungan, sementara untuk korelasi positif sebaliknya kondisi lingkungan lebih dominan dari pengaruh meteorologis geografis.
DAFTAR RUJUKAN Kevin E. Trenbeth and Denis J. Shea (2005), Relationships between precipitaion and surface temperature, NCAR, Boulder, Colorado, USA, July 2005.
139
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS DIURNAL PARAMETER METEOROLOGI DI STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR MENGGUNAKAN PORTABLE WEATHER STATION (PWS) Radyan Putra Pradana dan Kadarsah Puslitbang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran 10720. Jakarta. Email:
[email protected]
Abstract Analysis of diurnal meteorological parameters at Darmaga Bogor Climate Station has been done using two Portable Weather Station (PWS). The each from two PWS placed vertically divided by two levels altitude 1,5 and 2 meters at the same location. PWS placement refers to the standards of the World Meteorological Organization (WMO). PWS measure of meteorological parameters such as temperature, humidity, pressure, precipitation, wind direction and wind speed. The research was done by comparing the results of measurements between PWS I and PWS II. The result show that the 0,5 meter difference level height between PWS I and PWS II does not affect the difference fluctuations and diurnal patterns of each meteorological parameters. Meanwhile, the results of these measurements compared with observational data from Darmaga Bogor Climate Stations. For the result, the temperature correlation in PWS I is 0,67; and for the PWS II correlation is 0,68. For moisture parameter in PWS I the correlation is 0,65; and for the PWS II the correlation is 0,66. For air pressure parameter in PWS I the correlation is 0,71; and for the PWS II the correlation is 0,73. For air pressure parameter in PWS I the correlation is 0,71; and for the PWS II the correlation is 0,73. For precipitation parameter in PWS I the correlation is 0,98; and for the PWS II the correlation is 0,99. For wind direction parameter in PWS I the correlation is -0,02; and for the PWS II the correlation is -0,05. For wind speed parameter in PWS I the correlation is 0,08; and for the PWS II the correlation is -0,06. Keywords : analysis of diurnal, meteorological parameters, Portable Weather Station (PWS), Abstrak Analisis parameter meteorologi diurnal di Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor telah dilakukan menggunakan dua alat Portable Weather Station (PWS). Masingmasing dari dua PWS ditempatkan secara vertikal dibagi dua tingkat ketinggian 1,5 dan 2 meter di lokasi yang sama. Penempatan PWS mengacu pada standar World Meteorological Organization (WMO). PWS mengukur parameter meteorologi seperti suhu, kelembaban, tekanan, curah hujan, arah angin dan kecepatan angin. Penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran antara PWS I dan II PWS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 0,5 meter perbedaan tingkat ketinggian antara PWS I dan PWS II tidak mempengaruhi fluktuasi perbedaan dan pola diurnal setiap parameter meteorologi. Hasil pengukuran juga dibandingkan dengan data pengamatan dari Stasiun Iklim Darmaga Bogor. Hasilnya, pada PWS I terdapat korelasi temperatur sebesar 0,67; sedangkan untuk PWS II sebesar 0,68. Untuk parameter kelembapan pada PWS I terdapat korelasi sebesar 0,65 sedangkan untuk PWS II terdapat korelasi sebesar 0,66. Untuk parameter tekanan pada PWS I terdapat korelasi sebesar 0,71 sedangkan untuk PWS II terdapat korelasi sebesar 0,73. Untuk parameter curah hujan pada PWS I terdapat korelasi sebesar 0,98 sedangkan untuk PWS II terdapat korelasi sebesar 0,99. Untuk parameter arah angin pada PWS I terdapat korelasi sebesar -0,02 sedangkan 140
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
untuk PWS II terdapat korelasi sebesar -0,05. Untuk parameter kecepatan angin pada PWS I terdapat korelasi sebesar 0,08 sedangkan untuk PWS II terdapat korelasi sebesar -0,06. Kata Kunci: analisis diurnal, parameter meteorologi, Portable Weather Station (PWS)
1. PENDAHULUAN 1.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Darmaga terletak di wilayah Bogor Barat dengan luas wilayah 2.437.636 Ha. Sebagian besar tanah yaitu 972 Ha digunakan untuk sawah, 1145 Ha lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49,79 Ha lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20,30 Ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Darmaga mempunyai batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Curah hujan di Kecamatan Darmaga 1000 – 1500 mm/tahun, dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut. Jarak Kecamatan Darmaga dari ibukota Kabupaten Bogor adalah 12 km, dari ibukota Propinsi Jawa Barat 180 km, dan dari ibukota negara Indonesia 60 km. Kecamatan Darmaga terdiri dari 10 desa, 24 dusun, 72 RW, 309 RT, dan 20.371 KK (Kepala Keluarga). Analisis diurnal parameter meteorologi (Glickman, 2000) disuatu lokasi amat penting dilakukan untuk memahami kondisi iklim di lokasi tersebut. Pemahaman analisis diurnal misalnya temperatur akan memperlihatkan variasi temperatur minimum dan maksimal.
Informasi ini sangat bermanfaat dalam kajian iklim mikro. Lokasi
pengamatan penelitian ini ditunjukkan Gambar 1. Penempatan ini harus memperhatikan kondisi sekitarnya (Oke, 2006)
141
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1. Lokasi Pengamatan di Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
1.2. Deskripsi PWS Pengamatan kondisi atmosfer menggunakan PWS Vaisala tipe WXT520 di Bogor dilakukan di Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi mikro khususnya di sekitar Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. PWS Vaisala tipe WXT520 merupakan alat pengukur parameter cuaca yang terdiri dari enam sensor (Pradana, 2013) (Gambar 2). Sensor yang terdiri dari : 1). Kecepatan Angin dan Arah Angin 2). Presipitasi 3). Tekanan terdapat modul
Atmosfer di dalam
4). Suhu dan Kelembapan terdapat di dalam
Gambar 2. Sensor-sensor PWS Vaisala WXT520 (Pradana, 2013)
142
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2. DATA DAN METODE Pengamatan parameter meteorologi dilakukan selama bulan September 2013, dengan data rata-rata jaman selama 28 hari dengan menempatkan PWS I dan PWS II dalam satu lokasi dengan masing-masing tinggi pengukuran 1,5 m dan 2 meter di atas permukaan tanah (Gambar 3). Hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan data observasi dan di analisis untuk mengetahui variasi diurnal di lokasi pengamatan. Penempatan PWS II ditempatkan setinggi 2 meter sebagai standar pengukuran yang dilakukan
menurut
ketentuan
World
Meteorological
Organization
(WMO).
Penempatan PWS I setinggi 1,5 meter (perbedaannya 0,5 meter) dilakukan untuk mengetahui apakah perbedaan ketinggian sebesar 0,5 meter menimbulkan perbedaan yang signifikan.
PWS II PWS I
Gambar 3. Penempatan PWS I dan II
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perbandingan pengamatan pola diurnal PWS I dan PWS II dengan data observasi menunjukkan bahwa temperatur observasi Stasiun Darmaga Bogor selalu lebih rendah dari kedua PWS dengan perbedaan mencapai 2 0C (Gambar 4). Tetapi, mulai pukul 16.00 WIB temperatur PWS selalu lebih rendah dibanding temperatur observasi. Hal ini terjadi karena temperatur yang terukur di Stasiun Klimatologi Darmaga merupakan temperatur dalam sangkar meteorologi sehingga temperatur yang terukur merupakan temperatur yang stabil dan relatif lebih lama mengalami perubahan dibanding temperatur di luar sangkar meteorologi. Sedangkan temperatur di luar sangkar meteorologi lebih labil dan mudah sekali berubah oleh perubahan radiasi matahari. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan bahwa perbedaan ketinggian sebesar 143
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
0,5 meter antara PWS I dan PWS II tidak signifikan. Perbedaan yang terukur antara PWS I dan PWS II antara 0-0,54 0C. Hal lain yang teramati adalah perubahan radiasi matahari yang terjadi pada pukul 16.00 WIB.
Waktu pembalikan nilai temperatur antara PWS dengan observasi
Gambar 4. Perbedaan temperatur PWS I (Temperature 1) dan II (Temperature II) sebesar = 0 0
s/d 0,54 C. Sedangkan perbedaan temperatur PWS I / PWS II dengan temperatur observasi sebesar 1 s/d 2 0C.
Radiasi matahari pada pukul 16.00 WIB sudah mulai berkurang dan radiasi netto yang terjadi di lokasi tersebut sudah mulai negatif sehingga mengakibatkan kondisi temperatur di luar sangkar selalu lebih rendah. Temperatur di dalam sangkar meteorologi selalu lebih tinggi akibat temperatur di sangkar meteorologi lebih stabil dan tidak terpengaruhi radiasi matahari secara langsung. Analisis ini penting untuk kajian panas sensibel (Kanda,et al, 2002) di suatu lokasi misalnya dengan membandingkan kondisi kota dan desa. Perbedaan temperatur kecil antara PWS I dan PWS II (0-0,54 0C) terjadi akibat perbedaan tinggi vertikal yang relatif rendah sebesar 0,5 m. Faktor lain yang berpengaruh adalah penempatan PWS I dan II yang berada dalam lapisan Planetary Boundary Layer (PBL). Akibatnya, kondisi atmosfer di lapisan tersebut seperti kecepatan aliran, temperatur, kelembaban, turbulensi mengalami pencampuran vertikal yang kuat sehingga relatif seragam. Hal ini pula yang menyebabkan arah angin relatif sama yang berasal dari utara. Yang membedakan adalah kecepatan angin yang terjadi pada PWS II yang lebih tinggi dibanding PWS I. Hal tersebut dapat dipahami mengingat kecepatan angin akan meningkat sejalan dengan kenaikan.
144
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 5. Perubahan Kelembapan dari waktu ke waktu di Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor berdasarkan pengukuran dua PWS yang dipasang pada level ketinggian yang berbeda.
Parameter lain yang teramati adalah kelembapan (Gambar 5). Perbedaan kelembapan antara kedua PWS bervariasi dengan rentang 2-5 %. Perbedaan ini terlihat semakin besar saat siang hari 07.00 - 17.00 WIB. Perbedaan kelembapan yang sangat besar saat siang hari terjadi karena kandungan uap air lebih bervariasi saat siang hari dibanding saat malam hari sehingga kelembapan yang terukur juga akan lebih bervariasi. Parameter lain yang terukur adalah tekanan (Gambar 6). Tekanan yang terukur pada PWS I selalu lebih tinggi dibanding tekanan pada PWS II perbedaan ini sangat kecil sekali maksimal sebesar 1 mb. Parameter lainnya adalah arah angin (Gambar 7) dan kecepatan angin (Gambar 8).
Arah angin yang terukur pada PWS I dan PWS II
menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan, serta memiliki kondisi yang relatif sama. Perbedaan terlihat jelas ketika pengukuran dilakukan pada kecepatan angin. Kecepatan angin yang terukur pada PWS II selalu lebih tinggi dibanding PWS I hal ini dapat dipahami mengingat PWS II ditempatkan lebih tinggi dibanding PWS I dan umumnya kecepatan angin akan meningkat sesuai dengan ketinggian. Perbedaan kecepatan dapat mencapai 10 m/s.
145
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 6. Perubahan tekanan udara di Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor berdasarkan pengukuran dua PWS yang dipasang pada level perbedaan ketinggian sebesar 0,5 meter
Gambar 7. Arah angin pada PWS I dan PWS II relatif sama
Gambar 8. Perbedaan kecepatan angin PWS I dan PWS II sebesar = 0 s/d 10 m/s 146
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Sebagai bahan pembanding maka ditampilkan plot temperatur (Gambar 9) dan kelembapan (Gambar 10) yang dibandingkan dengan data observasi selama satu bulan pengamatan. Plot temperatur pada Gambar 9, terlihat bahwa pola kedua PWS sangat sesuai dengan observasi dan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan penempatan ketinggian sebesar 0,5 meter tidak menunjukkan perbedaan yang signikan selama pengamatan bulan September 2013. Hasil yang sama terjadi pada parameter kelembapan. Kedua PWS selama sebulan pengamatan menunjukkan pola yang sesuai dengan pola observasi sedangkan diantara kedua PWS tidak mengalami perbedaan yang signifikan sehingga plot keduanya hampir berhimpitan.
Gambar 9. Plot temperatur PWS I, PWS II dan data observasi selama bulan September 2013
Gambar 10. Plot kelembapan PWS I, PWS II dan data observasi selama bulan September 2013
Analisis lebih jelas terlihat pada Tabel 1 yang merangkum semua parameter meteorologi yang terukur selama sebulan pengamatan dengan RMSE, korelasi dan standar deviasinya jika dibandingkan dengan data observasi. Semua parameter yang terukur pada PWS I dan II memiliki korelasi yang kuat (0.65-0.99) kecuali arah dan kecepatan angin. Rendahnya nilai korelasi kecepatan dan arah angin terjadi karena arah dan kecepatan angi lebih bersifat variatif dan fluktuatif.
147
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 11. Plot Intensitas curah hujan PWS I dan PWS II
Korelasi yang kuat pada masing-masing PWS I dan PWS II sebesar 0,98 dan 0,99 serta kemiripan pola menunjukkan bahwa PWS I dan PWS II dapat digunakan untuk pengukuran lapangan. Perbedaan yang terjadi antara PWS I dan II dengan data observasi diakibatkan posisi penempatan alat dan turbulensi yang terjadi dekat sensor curah hujan.
Tabel 1. RMSE, Korelasi dan Standar Deviasi Parameter Meteorologi PWS I dan PWS II dengan data observasi Stasiun Darmaga Bogor. TEMPERATU
KELEMBAPA
R
N
PWS I
PWS II
PWS I
PWS II
TEKANAN
CURAH HUJAN
PW
PWS
PWS
PWS
SI
II
I
II
ARAH ANGIN
PWS I
KECEPATA N ANGIN
PWS
PWS
PWS
II
I
II
RMSE
2.61
2.61
14.38
14.08
1.32
1.37
4.14
6.55
155.31
153.98
2.08
1.69
Korelasi
0.67
0.68
0.65
0.66
0.71
0.73
0.98
0.99
-0.02
-0.05
0.08
-0.06
Stdev
3.20
3.24
15.65
15.76
1.64
1.63
32.09
31.19
66.33
67.50
0.68
0.40
4. KESIMPULAN Berdasarkan observasi dan analisis data yang telah dilakukan melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: Perbedaan ketinggian 0,5 meter antara PWS I dan PWS II tidak mempengaruhi fluktuasi pola diurnal parameter meteorologi, pola diurnal disuatu lokasi sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan sekitar tempat observasi, perbedaan
148
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
antara PWS dengan observasi terbesar terjadi pada parameter arah dan kecepatan angin hal tersebut terjadi karena arah dan kecepatan angin lebih bersifat variatif dan fluktuatif, studi tentang analisis diurnal sangat penting untuk memahami perilaku iklim mikro di suatu lokasi misalnya perubahan radiasi netto yang terjadi dilokasi pengukuran serta penggunaan PWS yang sangat bermanfaat untuk menganalisis kondisi iklim mikro di suatu tempat.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini tidak dapat dilakukan tanpa bantuan DIPA Penelitian Klimatologi dan Kualitas Udara 2013 PUSLITBANG BMKG, terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan dan bantuan yang diberikan : Dr. Ir. Dodo Gunawan, DEA, Ratna Satyaningsih, Jose Rizal dan Kepala Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor beserta seluruh jajaran staf.
DAFTAR RUJUKAN Glickman, Todd, ed. Glossary of Meteorology. American Meteorological Society: Boston, Massachusetts, 2000. Oke, T.R., Initial Guidance to Obtain Representative Meteorological Observations at Urban Sites. World Meteorological Organization, Instruments and Observing Methods, IOM Report No. 81, WMO/TD-No. 1250, 2006. Pradana, R. P., Kadarsah., Analisis Diurnal Parameter Cuaca Mikro Di Perkebunan Kelapa Sawit PT. EMAL Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Sains Atmosfer LAPAN, 2013. Bandung (Proses Penerbitan). Kanda, M., R. Moriwaki, M. Roth & T.R. Oke, Area-averaged sensible heat flux and a new method to determine zero-plane displacement length over an urban surface using scintillometry. Boundary-Layer Meteorology, 105, 177-193. 2002.
149
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ESTIMASI TOTAL PRECIPITABLE WATER DI WILAYAH INDONESIA MENGGUNAKAN DATA MTSAT Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
[email protected]
Abstract Atmospheric data is one of basic requirement for any research and development in the field of meteorology and climatology. One of atmospheric data needed to describe the level of dryness or wetness of an area isa Total Precipitable Water (TPW). TPW is defined as amount of water that is collected in an air column if all the water vapor of the column is condensed and falls as rain. TPW can also serve as an indication of potential rain in anarea. This research aims to estimate the value of TPW over Indonesian region using MTSAT data, and verify the results with that from MODIS data. The area of research is Indonesian region with data period from June to August 2013. TPW is estimated based on the method that utilizes the split window of IR1 and IR2 channels data, and also parameters of absorption coefficient and effective atmospheric temperature. Based on this research, TPW estimated value from MTSAT data can produce good results. This can be seen from value of correlation coefficient (r) between TPW of MTSAT and MODIS i.e. 0.77. Visually, value of TPW from MTSAT also showed a similar pattern to that from MODIS data. However, this estimation method is valid only on the pixels with cloud -free conditions (clear sky). Keywords : Total Precipitable Water, MTSAT, MODIS, IR1 and IR2 Channels
Abstrak Data atmosfer merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap penelitian dan pengembangan bidang meteorologi dan klimatologi. Salah satu data atmosfer yang diperlukan untuk menggambarkan tingkat kekeringan atau kebasahan suatu daerah dapat diketahui dari nilai Total Precipitable Water (TPW). TPW didefinisikan sebagai banyaknya air yang terkumpul dalam suatu kolom udara jika semua kandungan uap air dalam kolom tersebut terkondensasidan jatuh sebagai hujan. Dalam hal ini TPW dapat berperan sebagai indikasi potensi hujan di suatu daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi nilai TPW di atas wilayah Indonesia menggunakan data satelit MTSAT, serta memverifikasi hasilnya dengan data TPW MODIS. Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia dengan periode data bulan Juni – Agustus 2013. TPW diestimasi berdasarkan metode split window measurement yang memanfaatkan data kanal IR1 dan IR2 serta parameter koefisien absorpsi dan temperatur efektif atmosfer. Hasil penelitian menunjukkan estimasi nilai TPW dari data MTSAT dapat memberikan hasil yang cukup baik. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi (r) antara TPW dari data MTSAT dan MODIS sebesar 0,77. Secara visual, nilai TPW yang dihasilkan MTSAT memperlihatkan pola yang hampir sama dengan TPW dari data MODIS. Meskipun demikian, metode estimasi ini valid hanya pada piksel dengan kondisi bebas awan (clear sky). Kata Kunci: Total Precipitable Water, MTSAT, MODIS, Kanal IR1 danIR2
150
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
PENDAHULUAN Data atmosfer merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap penelitian dan
pengembangan bidang meteorologi dan klimatologi. Data ini juga memegang peranan penting dalam proses pembangunan di Indonesia terutama yang berkaitan dengan pertanian, perkebunan, lingkungan, penelitian serta mitigasi bencana. Teknologi yang saat ini berkembang dalam hal pengamatan data atmosfer adalah dengan memanfaatkan penginderaan jauh melalui citra satelit. Data atmosfer dapat diperoleh melalui pengukuran langsung (in-situ), juga melalui ekstraksi data satelit penginderaan jauh. Wilayah cakupan yang luas dan mudah untuk diakses menjadi keuntungan yang utama dari penggunaan data satelit. Meskipun demikian, data satelit juga memiliki beberapa kekurangan, terutama dalam hal tingkat akurasi produk serta diperlukannya penguasaan teknik pengolahan data yang baik untuk memperoleh parameter yang diinginkan. Salah satu data atmosfer yang diperlukan untuk menggambarkan tingkat kekeringan atau kebasahan suatu daerah dapat diketahui dari nilai Total Precipitable Water (TPW). TPW didefinisikan sebagai banyaknya air yang terkumpul dalam suatu kolom udara jika semua kandungan uap air dalam kolom tersebut dipresipitasikan sebagai hujan (Viswanadham, 1981). Dalam hal ini TPW dapat berperan sebagai indikasi potensi hujan di suatu daerah (Parwatiet al, 2005). Terdapat hubungan linier yang positif antara TPW dengan peluang terjadinya hujan. Meskipun demikian, tidak seluruh daerah dengan nilai TPW yang sama akan mempunyai nilai peluang hujan yang sama (Antoyo, 1999). Selain dari nilai TPW, jumlah air yang dapat diturunkan sebagai hujan juga dipengaruhi oleh kondisi atmosfer lainnya seperti stabilitas atmosfer, perbedaan tekanan antara dua lapisan udara, serta musim. Pengukuran TPW secara in-situ memerlukan data radiosonde atau peralatan lain yang dapat menghasilkan parameter atmosfer vertikal seperti tekanan (P), suhu (T) dan kelembapan udara (RH). Sebagai besaran yang menyatakan kandungan uap air di atmosfer, TPW dihitung berdasarkan integral dari kelembapan spesifik pada satu lapisan/kolom udara yang dinyatakan dalam perbedaan tekanan atau ketinggian. Estimasi nilai TPW menggunakan data satelit juga telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan data kanal Infra Merah termal (sekitar 11 dan 12 µm) pada satelit geostasioner yang biasa disebut dengan metode split-window measurement. Jumlah kandungan uap air dalam suatu kolom udara penting untuk diketahui karena dapat memprediksi besarnya curah hujan di suatu daerah.Dengan berbagai 151
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
kelebihan serta kemudahan akses data yang diperoleh, data satelit bisa menjadi alternatif untuk mendapatkan data parameter atmosfer termasuk TPW. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi nilai TPW di atas wilayah Indonesia menggunakan data satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT – resolusi 5 km), serta memverifikasi
hasilnya
dengan
data
TPW
Moderate-Resolution
Imaging
Spectroradiometer (MODIS – resolusi 1 km).Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperolehnya metode penentuan nilai estimasi TPW berbasis satelit MTSAT yang akurat dan valid.
2.
METODOLOGI Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia dengan periode data bulan
Juni – Agustus 2013. Data MTSAT diperoleh dari sistem penerima data satelit di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN, Bandung. Sebagai pembanding, digunakan data MODIS satelit Terra dan Aqua yang diperoleh dari stasiun bumi LAPAN Pare-Pare. Produk TPW MODIS merupakan hasil running program IMAPP level dua, dengan kode algoritma MOD07 (Terra) atau MYD07 (Aqua). TPW diestimasi berdasarkan metode split window measurement yang memanfaatkan data kanal IR1 dan IR2 data MTSAT serta parameter koefisien absorpsi dan temperatur efektif atmosfer. Persamaan TPW yang digunakan (Lee dan Park, 2007; Chester et al, 1987) adalah sebagai berikut:
(2-1)
Dimana, T*11dan T*12merupakan suhu kecerahan (brightness temperature) masingmasing pada kanal 11 µm (IR1) dan 12 µm (IR2), ∆α dan ∆k merupakan koefisien absorpsi, θadalah sudut zenith satelit, dan Tair adalah temperatur efektif atmosfer. Parameter ∆α, ∆k, dan Tair ditentukan berdasarkan metode kuadrat terkecil hasil perbandingan nilai TPW MTSAT dengan TPW dari data MODIS.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan parameter koefisien absorpsi (∆α dan ∆k) dan temperatur
efektif atmosfer (Tair) untuk data MTSAT wilayah Indonesia tersaji pada Tabel 1. Dalam perhitungan, nilai awal (default) yang digunakan merupakan parameter untuk data MTSAT-1R yang berlaku untuk kawasan Asia Timur (Lee dan Park, 2007). 152
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Berdasarkan perhitungan, nilai TPW memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan nilai ∆α dan ∆k, sehingga ketika nilai parameter tersebut berubah, walaupun kecil tetapi dapat berpengaruh besar terhadap perubahan nilai TPW. Nilai TPW tidak terlalu sensitif terhadap parameter Tair, akan tetapi parameter ini berpengaruh terhadap batas minimum TPW yang dihasilkan.
Tabel 1. Parameter koefisien absorpsi dan temperatur efektif atmosfer hasil perhitungan Parameter
Nilai Awal (default)
Hasil Perhitungan
Deviasi (%)
∆α
0.022
0.0296
4.4
∆k
-0.022
-0.0298
15.9
Tair
260.12
257.50
1.5
Contoh hasil pengolahan nilai TPW dari data MTSAT dan TPW pembanding dari data MODIS disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Berdasarkan gambar, terlihat bahwa pola TPW yang dihasilkan oleh MTSAT dan MODIS memiliki cukup banyak kesamaan. Hasil ini menunjukkan bahwa persamaan TPW yang dihasilkan data MTSAT dapat mengestimasi nilai TPW di wilayah Indonesia dengan cukup baik. Meskipun demikian, masih terdapat perbedaan antara MTSAT dan MODIS, dimana di beberapa wilayah nilai TPW tidak terdeteksi oleh MTSAT. Metode penurunan TPW menggunakan data satelit, baik oleh MTSAT maupun MODIS, memiliki keterbatasan ketika atmosfer tertutup oleh awan. Metode ini hanya valid pada saat kondisi atmosfer cerah (clear sky). Hal ini bisa dimengerti mengingat nilai TPW merupakan total kandungan uap air dalam satu kolom udara dari permukaan sampai titik tertinggi di atmosfer. Sehingga, ketika tertutup oleh awan, nilai TPW yang dihasilkan akan menjadi tidak valid.
153
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1. Total Precipitable Water hasil pengolahan data MTSAT(kiri), dan MODIS Aqua (kanan), data tanggal 2 Juni 2013 pukul 06.00 UTC
Gambar 2. Total Precipitable Water hasil pengolahan data MTSAT(kiri), dan MODIS Aqua (kanan), data tanggal 24 Agustus 2013 pukul 06.00 UTC
Hasil perbandingan nilai-nilai TPW dari data MTSAT dengan data MODIS juga disajikan dalam bentuk grafik 1:1(Gambar 3). Grafik ini didasarkan pada nilai titik pada sampel yang diambil secara acak di wilayah kajian penelitian. Terlihat bahwa sebagian nilai-nilai yang diberikan MTSAT masih berada di sekitar garis lurus, meskipun tidak seluruhnya. Hal ini menandakan adanya kesamaan antara TPW hasil pengolahan data MTSAT dengan TPW dari data MODIS. Berdasarkan perhitungan statistik, hubungan antara keduanya menghasilkan nilai koefisen korelasi (r) sebesar 0.77. Angka ini menunjukkan adanya hubungan secara linier yang cukup baik antara TPW MTSAT dengan TPW MODIS.
154
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3. Grafik perbandingan 1:1 nilai TPWdari data MTSATdengan TPWdari data MODIS Terra dan Aqua periode Juni – Agustus 2013.
Perhitungan TPW dengan metode split window measurement memberikan hasil yang cukup baik untuk digunakan di wilayah Indonesia. Meskipun demikian, masih terdapat perbedaan antara TPW hasil pengolahan MTSAT dengan TPW dari data MODIS. Nilai TPW yang diberikan MTSAT terkadang hanya menghasilkan satu nilai tertentu untuk rentang nilai TPW yang berbeda pada MODIS. Hal ini disebabkan karena kecilnya variasi nilai rasio suhu kecerahan kanal IR1 dan IR2 yang digunakan didalam persamaan (2-1), sehingga variasi nilai TPW yang dihasilkan juga terbatas. Panjang periode data juga berpengaruh terhadap hasil perbandingan yang diperoleh. Dalam hal ini perlu dilakukan pengolahan data untuk periode lain, misalnya yang mewakili musim hujan (Desember – Februari). Akan tetapi, akan ada keterbatasan karena periode musim hujan cenderung menghasilkan data dengan tutupan awan yang tinggi. Metode perhitungan pada penelitian ini merupakan cara sederhana yang bertujuan untuk mengestimasi nilai TPW dengan cepat dan mudah. Oleh karena itu, masih diperlukan evaluasi dan pengembangan metode agar hasil yang dicapai lebih optimal. Verifikasi dan validasi nilai TPW seharusnya dilakukan menggunakan perbandingan data yang berasal dari observasi permukaan, salah satunya dengan radiosonde. Li et al (2003) telah membandingkan nilai TPW dari data MODIS dengan TPW hasil observasi radiosonde. Hasilnya menunjukkan bahwa data TPW MODIS memberikan nilai yang lebih tinggi (over-estimated) dibandingkan radiosonde, dengan selisih perbedaan antara 14 –20%, dan standar deviasi 1.6 – 2.2 mm.
155
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4.
KESIMPULAN Estimasi nilai TPW dari data MTSAT di wilayah Indonesia dapat memberikan
hasil yang cukup baik. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi (r) antara TPW dari data MTSAT dan MODIS sebesar 0,77 berdasarkan data Juni – Agustus 2013. Secara visual, nilai TPW yang dihasilkan MTSAT memperlihatkan pola yang hampir sama dengan TPW dari data MODIS. Meskipun demikian, metode estimasi ini valid hanya pada piksel dengan kondisi bebas awan (clear sky).
DAFTAR RUJUKAN Antoyo, S., Penggunaan Informasi Air mampu Curah (Precipitable Water) dan Tinggi Lapisan Basah dalam Penentuan Awal Musim Hujan dan Awal Musim Kemarau. IPB. Bogor, 1999. Chester, D., Robinson, W. D.,Uccellini, L. W., Optimized retrievals of precipitable water from the VAS “split-window”. J. Climate Appl. Meteor., 26, 1059-1066, 1987. Lee, K. M. dan Park, J.H., Retrieval of Total Precipitable Water from the Split-Window Technique in the East Asian Region. EUMETSAT Meteorological Satellite Conference: 64, 2007. Li, Z., Muller, J. P.,Cross,P., Comparison of precipitable water vapor derived from radiosonde,
GPS,
and
Moderate-Resolution
Imaging
Spectroradiometer
measurements. J. Geophys. Res., 108(D20), 4651, 2003 Parwati, S., Agus, H., Totok, S., Hasnaeni., Verifikasi Air Mampu Curah Dari Data Modis Untuk Mendukung Informasi Cuaca Spasial Di Lahan Pertanian Pulau Jawa. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Surabaya, 2005. Viswanadham, Y., The Relationship between Total Precipitable Water and Surface Dew Point. J. Appl. Meteor., 20, 3–8. 1981
156
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
RESTORASI DATA RADIASI MATAHARI MENGGUNAKAN METODE CURVE FITTING INTERPOLASI POLINOM ORDE 4 (KASUS PENGAMATAN DI UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG) Saipul Hamdi Peneliti Ilmu Pengetahuan Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN email :
[email protected]
Abstract The 4 polinomial interpolation curve fitting method has been used for restoration of wide deviation of insolation data measured at Kampus of Universitas Bina Darma Palembang caused by technical error. Maximum insolation data on August 2011 and April 2013 is being used as main object in this paper and result in good coefficient of regression as 0.99. It is also been calculated characteristics of maximum solar energy on the surface at August 2011 and April 2013 corrected by this methode. Wide difference correction value between sets of these data is caused by difference entry of set of restoration data. This methode is can be applicated to minimize of cloud covering effects in order to developing global solar radiation model. th
Keywords : interpolation, curve fitting, solar radiation, cloud covering.
Abstrak Metode pencocokan kurva menggunakan interpolasi polinom orde 4 digunakan untuk mengisi kembali (restorasi) data-data insolasi di Kampus Universitas Bina Darma Palembang yang memiliki simpangan besar akibat gangguan teknis dalam pelaksanaan pengukurannya. Data insolasi maksimum bulan Agustus 2011 dan April 2013 digunakan sebagai obyek utama di dalam tulisan ini dan memberikan hasil yang sangat baik dengan koefisien regresi sebesar 0,99. Selain itu, dihitung juga karakter energi matahari maksimum matahari di permukaan pada bulan Agustus 2011 dan April 2013 yang dikoreksi menggunakan metode ini, dan diperoleh nilai koreksi sebesar masingmasing 1% dan 11%. Perbedaan yang besar antara kedua set data tersebut disebabkan karena perbedaan jumlah data yang direstorasi di dalam kumpulan data tersebut. Metode ini dapat diterapkan untuk meminimalisir pengaruh penutupan awan dalam membangun model radiasi matahari global. Kata kunci : interpolasi, pencocokan kurva, radiasi matahari, penutupan awan. 1. PENDAHULUAN Perputaran bumi pada porosnya selama 24 jam menyebabkan terjadi siklus insolasi (=insolation, incoming solar radiation) di dalam 24 jam tersebut. Insolasi akan ada di dalam setengah siklus 24 jam dan mengikuti bentuk sinusoid dan dihubungkan
157
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dengan posisi zenith matahari ( ). Pada saat matahari terbit (berada di ufuk) maka matahari membentuk sudut zenith
=90⁰ terhadap garis normal vertikal sehingga
insolasi bernilai nol. Pada saat matahari mencapai titik kulminasinya maka sudut zenith matahari bernilai 0⁰ sehingga insolasi mencapai nilai maksimumnya. Keadaan ini diilustrasikan pada Gambar 1. Jika sinar matahari yang akan memasuki atmosfer bumi disebut sebagai konstanta matahari (solar constant=1,368 kW/m2) maka insolasi merupakan sebuah besaran yang nilainya sebanding dengan cos
(insolasi k ◦ cos
◦
1,368 dan k adalah konstanta pelemahan).
Gambar 1. Ilustrasi posisi matahari yang dikaitkan dengan sudut zenith matahari .
Pengukuran insolasi dilakukan menggunakan sensor matahari (pyranometer) yang mengubah foton-foton sinar matahari menjadi pulsa-pulsa elektris, kemudian diterjemahkan oleh converter menjadi besaran yang memiliki satuan intensitas (watt/m2). Selanjutnya, keluaran intensitas ini dicatatkan pada recorder. Pyranometer harus ditempatkan pada posisi yang terhindar dari bayangan benda-benda di sekelilingnya yang dapat mengganggu penerimaan foton cahaya matahari. Jika pyranometer tertutup bayangan maka pembacaan intensitas matahari menjadi tidak tepat. Penempatan sensor piyranometer yang salah dapat menyebabkan bayangan sesuatu benda (misalnya tiang) selalu menutupi sensor pada sudut zenith matahari tertentu dan kejadiannya berulang setiap hari. Pengaruh bayangan tersebut akan terlihat pada karakter data yang dihasilkan. Pada waktu-waktu tertentu, besaran insolasi akan menurun berulang dari hari ke hari secara konsisten dan berurutan. Hal ini disebut sebagai kesalahan teknis dan menghasilkan sekumpulan data penelitian yang tidak menggambarkan fenomena alam yang sesungguhnya. Data-data seperti ini bagi sebagian orang hampir sama dengan sampah, namun sebetulnya masih bisa
158
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dipergunakan melalui proses rekonstruksi untuk meminimalisir pengaruh bayangan benda yang menutupi sensor tersebut. Sekumpulan data yang telah diolah ini tentu saja belum mewakili keadaan yang sebenarnya, namun sangat bermanfaat dalam proses pemodelan yang membutuhkan banyak data dengan deviasi yang kecil. Hal ini terjadi dalam pengukuran insolasi di Palembang menggunakan sensor matahari yang terintegrasi dengan weather station. Dalam periode pengukuran sejak bulan Oktober 2010, hampir selalu ditemukan pola harian yang menunjukkan terjadinya penurunan intensitas dan energi radiasi matahari pada waktu-waktu yang sama. Pola ini selalu berulang dari hari ke hari, yang menimbulkan sebuah praduga tentang posisi peletakan sensor matahari yang tidak tepat, sehingga tertutup oleh bayangan benda lain secara berulang dari hari ke hari. Dengan melakukan pengamatan secara langsung pada beberapa waktu, praduga tersebut dapat dibuktikan meskipun pengukuran telah dilakukan selama beberapa bulan. Di dalam tulisan ini akan dijelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan restorasi data dengan mengambil 2 kumpulan data yang sesuai, disertai dengan contoh hasil restorasinya.
2. TINJAUAN PUSTAKA Curve fitting atau pencocokan kurva adalah sebuah metode yang mencocokkan titik-titik data dengan sebuah kurva fungsi matematis yang tujuannya adalah untuk melihat seberapa dekat titik-titik data tersebut bisa didekati dengan persamaan matematis. Tingkat kecocokan tersebut dilihat dari besaran R2. Pencocokan kurva dapat dibedakan atas 2 metode yaitu (i) metode regresi dan (ii) metode interpolasi. Interpolasi adalah sebuah metode yang menghasilkan titik-titik data baru dalam suatu jangkauan dari suatu set data-data diskrit yang diketahui (Wikipedia). Di dalam metode interpolasi, data diketahui memiliki ketelitian yang sangat tinggi sehingga kurva pencocokannya dibuat melalui setiap titik. Dua persamaan polinom yang banyak digunakan di dalam perhitungan statistika adalah polinom kuadratis dan polinom kubis. Persamaan polinom kuadratis merupakan fungsi numeris berderajat 2, dan polinom kubis adalah fungsi numeris berderajat 3. Di dalam tulisan ini akan digunakan fungsi (= persamaan matematis) polinom berderajat 4. Persamaan polinom ini merupakan persamaan aljabar yang hanya mengandung jumlah dari variabel x berpangkat bilangan bulat (integer). Fungsi matematis umum persamaan polinom berderajat n adalah sebagai berikut : (1.1) 159
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Salah satu kesulitan menggunakan polinom berderajat n adalah menentukan derajat interpolasi n karena sangat berkaitan erat dengan jumlah data. Jika n = 1000 maka polinom yang dibangun merupakan polinom berderajat 1000. Polinom berderajat tinggi (n > 5) dapat menampakkan ciri erratic dan sangat rentan dengan ketidakstabilan numeris. Polinom berorde tinggi juga seringkali menginterpolasi titik di luar jangkauan titik data yang tepat karena adanya overshoot. Saat ini, banyak spreadsheet yang dilengkapi dengan fitur interpolasi polinom berderajat rendah. MS Excel misalnya, merupakan spreadsheet yang sangat umum digunakan dan telah dikembangkan menjadi sebuah perangkat lunak yang dapat dipergunakan secara virtual oleh semua cabang ilmu sain dan teknologi (Gebeily and Yushau, 2007). MS Excel dapat digunakan untuk melakukan interpolasi polinom hingga derajat 6, dilengkapi dengan besaran R2. Dengan menggunakan metode ini diharapkan akan memberikan gambaran bahwa untuk menentukan nilai taksiran antara dari sejumlah data, bila fungsi yang sebenarnya tidak diketahui atau bahkan jumlah data pasti juga belum diketahui (Adi, 1998).
3. DATA DAN METODE Di dalam tulisan ini digunakan 2 set data insolasi yang diperoleh dari pengamatan insolasi di Kampus Universitas Bina Darma Palembang, yaitu data [a] bulan Agustus 2011 dan [b] bulan April 2013. Kedua set data diperoleh dari data harian yang dikelompokkan (klasifikasi) berdasarkan waktu pengamatan yang sama (misalnya 09:00, 09:05, 09:10, 09:15, …), kemudian dipilih nilai-nilai maksimumnya pada waktu yang sama tersebut untuk menggambarkan karakter insolasi maksimum bulanan. Hasil ini telah dibandingkan juga dengan nilai rata-rata pada kelompok waktu yang sama, dan keduanya menghasilkan pola yang serupa. Setelah itu, data-data yang memiliki deviasi yang terlalu besar yang disebabkan oleh bayangan suatu benda ditiadakan karena memiliki tingkat kepercayaan yang rendah. Data-data yang tersisa kemudian dibuatkan garis
kecenderungannya
(trendline)
dan
ditentukan
persamaan
matematisnya
menggunakan perangkat lunak. Persamaan matematis ini digunakan untuk ‘mengisi’ kembali (restorasi) data-data yang telah ditiadakan tersebut. Gambar 2 adalah grafik data yang digunakan untuk tujuan pembuatan tulisan ini. Gambar 2 diperoleh dengan cara memasukkan seluruh data pengamatan selama satu bulan ke dalam grafik.
Pada kedua grafik tersebut, daerah yang ditandai dengan
lingkaran merupakan bagian yang mengalami gangguan teknis akibat tertutupnya sensor 160
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
pyranometer oleh bayangan antena parabola provider telekomunikasi selular sehingga pembacaan insolasi selalu mengalami penurunan pada interval waktu yang sama, dan terjadi secara berulang. Pada gambar kiri, gangguan teknis terjadi sekitar pukul 9 dan 12 siang, sedangkan pada bulan Agustus 2011 gangguan teknis terjadi sekitar pukul 10 dan 12 siang. Untuk tujuan penulisan ini maka ditentukan dulu karakteristik insolasi maksimum bulanan yaitu dengan cara memilih insolasi maksimum tiap-tiap jam pengamatan. Hal ini ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 2. Data insolasi di Kampus Universitas Bina Darma Palembang bulan Agustus 2011 (kiri) dan April 2013 (kanan).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang akan dilakukan restorasi ditunjukkan pada gambar 4.1. Pada bagian [a] gambar 4.1 terlihat bahwa terjadi penurunan insolasi hingga 50% di sekitar titik puncaknya, dan penurunan insolasi yang sedikit lebih kecil terjadi di sekitar pukul 9 pagi. Pada bagian [b] atau bulan April 2013 penurunan insolasi di sekitar titik puncaknya terjadi pada lebih banyak data dengan besar penurunan lebih dari 50 %. Jika kumpulan data ini langsung digunakan tanpa dilakukan koreksi terlebih dahulu maka akan menghasilkan kesimpulan yang kurang benar. Untuk itu perlu dilakukan restorasi data untuk mengembalikan nilai-nilai yang tidak sesuai ini menjadi nilai yang dapat diterima dengan mengacu pada nilai standar yang diketahui. Nilai standar dapat diperkirakan dari bentuk grafik normal, yaitu grafik insolasi yang tidak dipengaruhi oleh penutupan awan atau pada saat kondisi langit cerah (clear day).
161
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3. Data insolasi maksimum hasil pengamatan bulan [a] Agustus 2011 dan [b] April 2013 di Kampus Universitas Bina Darma Palembang. Langkah selanjutnya adalah “meniadakan” data-data yang dianggap tidak mewakili keadaan yang sebenarnya karena kesalahan teknis. Dalam hal ini, insolasi yang dianggap tidak mewakili keadaan sebenarnya adalah insolasi yang menurun secara cepat hingga ke nilai yang sangat rendah dan terjadi berulang-ulang. Pada gambar 4 bagian [a] dan [b] ditunjukkan grafik yang nilai-nilai gangguannya telah ditiadakan. Bagian yang ditandai dengan lingkaran berwarna merah adalah insolasi yang ditiadakan karena dianggap tidak mewakili keadaan sebenarnya disebabkan oleh gangguan teknis berupa penutupan bayangan menara/antena pada saat pengamatan, dan nilai-nilai insolasi inilah yang akan dikembalikan lagi menggunakan metode curve fitting interpolasi polinom orde 4.
Gambar 4. Lingkaran berwarna merah adalah data-data pengamatan insolasi yang ditiadakan. Gambar [a] adalah data bulan Agustus 2011 dan gambar [b] adalah data bulan April 2013.
Dari karakter harian insolasi, diketahui bahwa karakter ini memiliki pola yang serupa dengan grafik sinusoid. Untuk itu dilakukan konversi sumbu-X (waktu
162
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
pengamatan) yang pada mulanya berupa waktu pengamatan (06:00, 06:05, 06:10 … , 18:00) kemudian diubah menjadi numeris dengan menyetarakan pukul 06:00 bernilai 1 dan seterusnya hingga pukul 18:00. Setelah itu dilakukan penggambaran grafik menggunakan spreadsheet dan ditentukan trendline-nya menggunakan polinom. Dari beberapa simulasi, diperoleh hasil bahwa polinom orde 4 adalah yang paling sederhana dan mengikuti pola karakter yang berbentuk sinusoid. Gambar 5 adalah trendline dan persamaan matematis polinom orde-4 untuk kedua set data yang digunakan, dan trendline ditunjukkan dengan grafik berwarna merah. Grafik juga dilengkapi dengan persamaan matematis polinom orde-4 yang akan dipergunakan untuk mengisi kembali nilai-nilai insolasi yang telah ditiadakan (Gambar 5).
Gambar 5. Garis merah adalah trendline mengikuti persamaan matematis parabolis orde-4. Persamaan matematis tersebut akan digunakan untuk merestorasi data-data yang telah ditiadakan. Gambar [a] untuk data bulan Agustus 2011 dan [b] untuk April 2013.
Setelah dilakukan penghitungan kembali nilai-nilai yang telah ditiadakan maka diperoleh Gambar 6 yang merupakan hasil interpolasi polinom orde-4. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai-nilai insolasi yang menurun dengan cepat akibat penutupan sensor oleh bayangan menara/antena pada saat pengukuran telah dikoreksi menjadi insolasi yang seolah-olah tidak terjadi gangguan teknis. Diketahui juga bahwa nilai R2 untuk grafik [a] adalah 0,9886 dan grafik [b] adalah 0,9856.
163
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 6. Grafik insolasi yang telah dikoreksi menggunakan persamaan interpolasi orde-4, [a] data bulan Agustus 2011, dan [b] data bulan April 2013.
Teknik interpolasi ini merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghilangkan pengaruh-pangaruh alam yang sifatnya lokal dan sesaat, misalnya penutupan awan. Awan merupakan salah satu faktor alam yang sulit untuk dihindari dan memiliki dinamika yang sangat tinggi. Penutupan oleh awan akan menyebabkan penurunan insolasi secara cepat dan bisa terjadi untuk jangka waktu yang agak lama. Awan dapat ada untuk jangka waktu yang panjang, ataupun sesaat ketika awan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Awan yang besar (permukaan horizontalnya luas) menyebabkan efek penutupan yang lebih lama dibandingkan dengan awan yang permukaan horizontalnya kecil. Awan mengandung uap air jenuh yang berbentuk tetes air dan akan turun sebagai hujan jika ukurannya cukup besar sehingga tidak mampu menahan gaya gravitasi bumi. Uap air jenuh akan menahan sebagian energi sinar matahari sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat tiba di permukaan bumi (AGU, 1995). Selain dapat digunakan untuk merestorasi data insolasi, metode ini juga dapat digunakan untuk menghitung kembali energi radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi. Penutupan awan menyebabkan tertahannya sinar matahari mencapai permukaan bumi sehingga mengurangi energi matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Di dalam pemodelan sirkulasi global ataupun pemodelan iklim, sangat lah penting untuk mengetahui karakter energi matahari yang tiba di permukaan bumi untuk mengetahui pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya penutupan awan. Dengan metode yang dijelaskan di dalam tulisan ini maka dapat dilakukan pendekatan matematis untuk menghitung energi matahari yang seharusnya diterima oleh bumi ketika langit cerah tak berawan. Selanjutnya, dapat diketahui juga besarnya pengurangan energi matahari di permukaan bumi yang disebabkan oleh penutupan awan.
164
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 1 adalah statistika hasil penggunaan interpolasi orde-4 untuk menghitung energi matahari maksimum yang diterima oleh bumi berdasarkan data pengukuran di Kampus Universitas Bina Darma Palembang. Kolom [11 digunakan untuk menjelaskan entry-entry data, dan kolom [2] diperuntukkan bagi data pengamatan bulan Agustus 2011, sedangkan kolom [3] diperuntukkan bagi data pengamatan bulan April 2013. Dari kolom [2] diketahui bahwa penggunaan interpolasi polinom orde-4 pada kumpulan data ini menghasilkan koreksi terhadap energi matahari yang diterima oleh bumi sebesar 1,03 % . Dari kolom [3] juga diketahui bahwa koreksi energi matahari yang diterima oleh bumi sebesar 11% (62,1 Ly) diperoleh dengan penggunaan metode ini.
Tabel 1. Contoh penggunaan interpolasi orde-4 untuk menghitung energi radiasi matahari tingkat permukaan di Kampus Universitas Bina Darma Palembang Identitas Data
201108
201304
(kolom - 1)
(kolom - 2)
(kolom - 3)
Hasil interpolasi
552,4 Langley
624,3 Langley
Data asli
537,2 Langley
562,2 Langley
Selisih
15,2 Langley
62,1 Langley
%
1,03 %
11 % 2
1 Langley = 41840 Joule/m .detik 5. KESIMPULAN Metode pencocokan kurva yang diaplikasikan pada data insolasi maksimum di Kampus Universitas Bina Darma Palembang memberikan hasil yang cukup baik. Penerapan metode ini pada energi radiasi matahari di permukaan bumi pada bulan Agustus 2011 dan April 2013 memberikan nilai koreksi sebesar masing-masing 1,03% dan 11% untuk karakteristik energi maksimum bulanan, dan besarnya nilai koreksi ini bergantung pada banyaknya jumlah data yang direstorasi. Metode ini dapat juga diaplikasikan untuk meminimalisir pengaruh penutupan awan terhadap insolasi atau energi radiasi matahari tingkat permukaan untuk memperoleh karakteristik penyinaran matahari pada saat langit cerah, dan berguna juga dalam membangun model radiasi matahari global. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Bina Darma Palembang atas bantuannya dalam pengoperasian peralatan.
165
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
DAFTAR RUJUKAN Adi, W.P., Pencocokan Kurva Dengan Metode Interpolasi Newton Untuk Mendapatkan Nilai Taksiran Antara Dari Sejumlah Data. (Undergraduate Thesis, Duta Wacana Christian University, 1998). Diunduh dari http://sinta.ukdw.ac.id tanggal 18 Oktober 2013 pukul 16:00 WIB. AGU (American Geophysical Union)., Water Vapour in The Climate System. Special report December, ISBN 0-87590-865-9, 1995. Gebeily, M. El. And B. Yushau., Numerical Methods with MS Excel, The Montana Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, Vol. 4, NO. 1. Pp. 84-92, 2007. Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Interpolasi_(matematika)) diunduh pada tanggal 18 Oktober 2013 pukul 15:00 WIB.
166
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
APLIKASI SATELIT DAN PENGAMATAN IN-SITU UNTUK DETEKSI AEROSOL DAN DISPERSI KABUT ASAP KEBAKARAN BIOMASSA DI PROPINSI RIAU Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
[email protected]
Abstract Biomass burning, which occur in many provinces in Indonesia especially in Riau, increases during some dry periods along with the high and rapid deforestation and people demand of land clearing for plantation purposes. The deliberate smoke haze out of those fires has been an agent of disturbance for years and left profound impact to the environment such as decreasing of air quality condition and the associated transboundary haze pollution issue. When biomass burns, certain aerosol pollutant is emitted to the atmosphere. The present study aims to investigate the impact of biomass burning to aerosol loading and to study the trajectory of smoke haze pollution from biomass burning occurs in Riau on June 2013 using the application of satellite remote sensing and in situ aerosol observation. Hotspot parameter as an indication of biomass burning was derived from Terra satellite and Aqua MODIS originate from NASA and were collected by Agency for Meteorology Climatology and Geophysics (BMKG). The aerosol optical depth (AOD) was obtained from the Aerosol Robotic Network (AERONET) Sun-Photometer from the Singapore site. Hysplit Trajectory Model has also been applied to study the dispersion of smoke haze pollution. The research shows that AOD value increases along with the increasing of hotspot numbers on certain days. Dispersion of smoke haze from biomass burns using Hysplit Model shows that the pollutants move to east and up to north east to Singapore. Keywords: Aerosol Optical Depth, forest fire, Hysplit Model, hotspot Abstrak Kebakaran biomassa yang terjadi di beberapa propinsi di Indonesia terutama di Riau meningkat selama musim kering seiring dengan meningkatnya laju deforestasi dan tingginya kebutuhan masyarakat akan pembukaan lahan baru. Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran biomassa telah menjadi penyebab gangguan selama bertahun-tahun dan terbukti berdampak pada lingkungan seperti penurunan kondisi kualitas udara dan dituding menjadi penyebab polusi kabut asap antar lintas batas negara. Ketika biomassa terbakar, polutan aerosol dilepaskan ke atmosfer. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak kebakaran biomassa terhadap muatan aerosol di atmosfer dan untuk mempelajari trajektori sebaran kabut asap di Riau pada bulan Juni 2013 menggunakan aplikasi berbasis satelit remote sensing dan pengamatan aerosol secara in-situ. Parameter titik api sebagai salah satu indikasi terjadinya kebakaran biomassa diperoleh dari satelit Terra dan Aqua MODIS milik NASA yang dikumpulkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Parameter ketebalan optik aerosol (AOD; Aerosol Optical Depth) diperoleh dari Aerosol Robotic Network (AERONET) Sun-Photometer untuk lokasi pengamatan di Singapura. Model trajektori Hysplit juga digunakan dalam penelitian ini untuk melihat dispersi polusi kabut asap. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa nilai AOD meningkat pada hari-hari dimana terjadi kebakaran biomassa. Dispersi sebaran kabut asap kebakaran biomassa menggunakan
167
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Model Hysplit menunjukkan polutan bergerak ke arah Timur sampai dengan Timur Laut menuju Singapura. Kata Kunci : Ketebalan optik aerosol (AOD), kebakaran biomassa, model Hysplit, titik api
1. PENDAHULUAN Pada kurun waktu 15 tahun terakhir, kebakaran hutan dan biomassa lainnya mendapat perhatian khusus baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Kebakaran hutan mengancam lingkungan dan ekonomi. Kebakaran hutan semakin parah jika bersamaan dengan fenomena bencana El Nino (ENSO) pada tahun 1997/1998. Kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 telah memusnahkan lahan biomassa seluas kurang lebih 25 juta hektar di seluruh dunia dan 9,8 juta hektar di Indonesia (Tacconi, 2003). Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati (Tacconi, 2003). Permasalahan kebakaran hutan dan lahan di berbagai propinsi di Indonesia terutama di Riau mulai marak seiring dengan meningkatnya laju penebangan hutan serta tingginya tekanan penduduk akan pemenuhan kebutuhan hidup dari kawasan hutan. Di Indonesia sendiri, pembersihan lahan dengan cara pembakaran dianggap merupakan cara yang paling murah, mudah, dan efisien. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan di propinsi Riau terjadi hampir tiap tahunnya dan meningkat terutama di musim-musim kemarau (bulan April hingga September). Pada bulan Juni 2013, melalui pantauan satelit Terra dan Aqua MODIS milik NASA, BMKG mencatat
telah
terjadi
sekitar
lebih
dari
3400
titik
api
di
Riau
(http://satelit.bmkg.go.id/satelit/image/HOTSPOT/2013/06). Banyaknya jumlah titik api sebagai indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan memberikan dampak luar biasa bagi lingkungan, sosial ekonomi, hingga permasalahan polusi udara lintas batas negara (transboundary haze pollution). Kebakaran hutan dan lahan besarbesaran yang melanda beberapa negara seperti Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand pada tahun 1997-1998 telah mengakibatkan lebih dari 9 juta hektar lahan terbakar, dari luas tersebut 6,6 juta hektar diantaranya adalah biomassa. Kerusakan ini menyebabkan kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial lebih dari 9 juta USD (Tacconi, 2003). Kejadian serupa terjadi lagi, peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang luar
168
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
biasa pada tahun 2013 di Riau kian menjadi permasalahan serius karena lagi-lagi menyebabkan polusi udara lintas batas negara. Ketika proses pembakaran biomassa terjadi, polutan-polutan pencemar berupa gas-gas rumah kaca, senyawa hidrokarbon, dan campuran aerosol berupa black carbon, senyawa organik, sulfat dan nitrat terlepas ke udara. Menurut Yokelson, et al. (2007), pada kumpulan asap yang besar akibat kebakaran biomassa diidentifikasi adanya konsentrasi PM10 yang sangat tinggi. Hal ini didukung oleh penelitian Holben, et al. (1996) yang menyatakan bahwa pembakaran biomassa pada biomassa tropis menghasilkan polusi aerosol karbon yang tinggi terutama di musim-musim kering pada bulan Agustus dan September. Penelitian serupa oleh Artaxo, et al. (1994) yang mengukur kenaikan konsentrasi partikulat halus (diameter < 2.0 µm) saat musim kering sebagai akibat dari kebakaran biomassa dan memungkinkan terjadinya transport polutan. Aerosol adalah cairan atau partikel padatan yang tersuspensi di udara. Peningkatan aerosol atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alamiah akan mempengaruhi budget radiasi matahari, yaitu mempengaruhi intensitas radiasi matahari yang diterima permukaan bumi. Pengaruh langsung dari aerosol ada dua, yaitu efek penghamburan dan absorpsi dari radiasi matahari. Pengaruh tidak langsung dari aerosol yaitu mendorong pembentukan inti kondensasi pembentukan awan (Budiwati, et al., 2001). Pengaruh aerosol atmosfer pada radiasi matahari sangat bergantung pada ukuran penyebaran, bentuk, konsentrasi, dan sifatsifat optiknya (Budiwati et al., 2001). Ketebalan optik aerosol atau biasa disebut dengan istilah aerosol optical depth (AOD) atau aerosol optical thickness merupakan salah satu parameter penting untuk mempelajari keberadaan aerosol di atmosfer dan dampaknya terhadap kualitas udara, kesehatan dan lingkungan, serta untuk indikator kebakaran biomassa. Berdasarkan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa kebakaran hutan, perlu dilakukan upaya deteksi dini untuk mencegah kerugian yang semakin luas. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam hal ini telah menerapkan beberapa kebijakan terkait deteksi bencana kebakaran hutan. Selain upaya deteksi dini kebakaran hutan, BMKG bersama-sama dengan pemerintah membentuk Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Asap Kebakaran Hutan. Tugas Satgas diantaranya adalah membentuk Pos Koordinasi (POSKO) yang bertujuan untuk memantau secara terus menerus kondisi titik api yang terdapat di propinsi Riau dan juga berkoordinasi dengan seluruh instansi pemerintah diantaranya BNPB, Kementerian Kehutanan, Kepolisian RI, Kementerian Lingkungan Hidup, BPPT, unsur TNI baik darat, laut, dan udara serta pemerintah propinsi Riau.
169
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Pada tulisan ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan BMKG dalam penanganan kabut asap di propinsi Riau berbasis satelit dan pemodelan serta pengamatan insitu aerosol menggunakan alat Sun-Photometer.
2. DATA DAN METODE Salah satu kebijakan BMKG dalam penanganan kabut asap kebakaran hutan adalah layanan informasi titik api, sebaran polutan kabut asap kebakaran hutan, dan konsentrasi polutan yang dilepaskan. Pada tulisan ini, data yang digunakan berupa data jumlah titik api dan ketebalan optik aerosol (AOD). Jumlah titik api diperoleh dari pantauan satelit Terra dan Aqua MODIS milik NASA yang dikumpulkan dan dikelola oleh BMKG. Inventarisasi jumlah titik api dilakukan untuk daerah propinsi Riau pada bulan Juni 2013. Data AOD diperoleh dari hasil pengamatan dengan menggunakan alat Sun-Photometer yang ditempatkan di National University of Singapore, Singapura dengan koordinat 1o30’ LS dan 103o77’ BT pada ketinggian 79 meter di atas permukaan laut (Salinas, et al., 2013). Lokasi pengamatan AOD dengan alat Sun-Photometer yang ada di Singapura merupakan satu dari kurang lebih 250 lokasi yang termasuk dalam Aerosol Robotic Network (AERONET). AERONET merupakan jaringan global ground-based remote sensing aerosol yang didirikan oleh NASA. Tujuan dari program ini antara lain adalah untuk mengkarakterisasi sifat-sifat optik aerosol, memvalidasi data aerosol yang berasal dari satelit dan model, serta melakukan sinergi antara pengamatan ground-based dengan pengamatan satelit (Holben, et al., 1998). Instrumen Sun-Photometer CIMEL Electronique CE-318A mengukur intensitas radiasi matahari pada delapan panjang gelombang yaitu pada 340, 380, 440, 500, 675, 870, 1020, dan 1640 nm. Instrumen ini mengukur radiasi sinar matahari pada tiap panjang gelombang setiap 30 menit yang kemudian hasilnya digunakan untuk menghitung nilai AOD. Produk utama dari pengukuran dengan Sun-Photometer adalah parameter AOD. Hysplit Trajectory Model digunakan untuk mengetahui sebaran polutan kabut asap kebakaran hutan. Citra satelit Terra dan Aqua MODIS digunakan untuk memperkuat trajektori sebaran kabut asap dan pembanding.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menerapkan kebijakan untuk Dalam deteksi dini dan penanganan kabut asap kebakaran hutan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
170
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
a. Fire Danger Rating System (FDRS) yang dikembangkan oleh JICA, Kanada, Kementerian Kehutanan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). b. Monitoring PM 10 dengan Beta Attenuation Monitoring (BAM) di delapan ibukota propinsi yang rentan kebakaran hutan (Pekanbaru, Palangkaraya, Pontianak, Jambi, Palembang, Medan, Balikpapan, Banjarmasin). c. Jaringan monitoring Gas Rumah Kaca di 15 daerah. d. Sistem peringatan dini iklim untuk monitoring kekeringan. e. Deteksi titik api (hotspot) dengan MODIS. f. Trajektori sebaran asap dengan Hysplit Model. g. Program AERONET untuk aerosol monitoring (Jambi, Palangkaraya, Pontianak). h. Program CATCOS (Capacity Building and Twinning for Climate Observing Systems) untuk pengukuran aerosol di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, Sumatera Barat. Terkait dengan kasus kebakaran hutan di propinsi Riau pada bulan Juni 2013 dilakukan analisis polutan aerosol dan trajektori sebaran polutan kabut asap. Hasil pengumpulan data sebaran titik api dan nilai AOD di Singapura serta peta sebaran titik api di propinsi Riau masing-masing ditampilkan dalam Gambar 1 dan Gambar 2.
Grafik Hotspot dan AOD Juni 2013 1600
2,5000
1400
Hotspot
1000
1,5000
800 1,0000
600 400
AOD (500 nm)
2,0000
1200
0,5000
200 0
0,0000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Hotspot
AOD (500 nm)
Linear (AOD (500 nm))
Gambar 1. Grafik titik api terhadap nilai AOD
171
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2. Peta sebaran titik api di propinsi Riau pada 19 Juni 2013
Berdasarkan hasil pengumpulan data di propinsi Riau pada Juni 2013 diketahui terdapat total sekitar 3487 titik api terpantau dari satelit Aqua dan Terra MODIS dengan kejadian paling banyak pada tanggal 19 Juni 2013 dengan jumlah titik api mencapai 1393 titik (Gambar 2). Pada Gambar 1 terlihat bahwa kenaikan jumlah titik api diikuti oleh naiknya nilai AOD. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Artaxo, et al. (1994) bahwa terjadi kenaikan konsentrasi partikulat halus (diameter < 2.0 µm) saat musim kering sebagai akibat dari kebakaran biomassa. Pada akhir Juni 2013 terhitung tanggal 26 hingga 30, jumlah titik api di propinsi Riau mengalami penurunan. Turunnya jumlah titik api di penghujung bulan sebagai dampak dari upaya pemadaman dan penanggulangan yang dilakukan oleh gabungan pemerintah dan TNI. Namun demikian, pada tanggal tersebut nilai AOD masih tinggi dan diatas 1,00 walaupun jumlah titik api berkurang. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pengukuran AOD dilakukan di Singapura. Tingginya nilai AOD menunjukkan tingginya konsentrasi aerosol sebagai akumulasi pencemaran aerosol yang terjadi di Riau selama sebulan.
172
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Grafik AOD Juni 2013 3 2,5 2
AOD_1640 AOD_1020
1,5
AOD_870
1
AOD_675
0,5
AOD_500 AOD_440
0
AOD_380 AOD_340
Gambar 3. Grafik AOD pada berbagai panjang gelombang
Nilai AOD pada Juni 2013 bervariasi mulai dari 0,054 hingga 2,467 dalam variasi panjang gelombang 340-1640 nm yang diperlihatkan dalam Gambar 3. Pada Gambar 3 terlihat bahwa pada pertengahan dan akhir Juni terjadi kenaikan nilai AOD yang cukup tinggi hingga mencapai 2. Menurut Holben, et al. (1998), nilai AOD sebesar 1 menunjukkan bahwa atmosfer sudah terpolusi. AOD merupakan proporsi dari konsentrasi aerosol yang terdapat di atmosfer sehingga dengan kata lain telah terjadi polusi aerosol yang cukup tinggi di wilayah Singapura. Kenaikan nilai AOD pada tanggal 19, 26 dan 30 Juni 2013 merupakan implikasi dari terjadinya kebakaran hutan di propinsi Riau yang juga ditunjukkan oleh tren kenaikan AOD. Pada akhir Juni, AOD mencapai 2,466 untuk wilayah Singapura. Hal ini mungkin dikarenakan adanya akumulasi aerosol yang diemisikan oleh asap kebakaran hutan selama sebulan penuh dimana menurut penelitian Kunii et al. (2002) disebutkan bahwa angin monsun barat daya mendorong terjadinya transport cross-equatorial asap yang berasal dari Indonesia ke negara tetangga sehingga menyebabkan polusi asap regional dengan konsentrasi aerosol yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh trajektori sebaran polutan kabut asap dan citra satelit. Salah satu kebijakan BMKG yang telah dioperasionalkan dalam hal penanganan kabut asap kebakaran hutan adalah melakukan pemodelan trajektori dispersi kabut asap. Hasil running pemodelan trajektori tiga dimensi dengan Hypslit Model menunjukkan bahwa sebaran kabut asap kebakaran hutan di Riau pada Juni 2013 mengarah ke Timur dan Timur Laut menuju wilayah Singapura yang ditunjukkan oleh Gambar 4. Pada Gambar 5 diperlihatkan sebaran kabut asap kebakaran hutan pada 19 Juni 2013 yang diperoleh dari citra satelit Aqua MODIS (a) dan Terra (b). Baik hasil pemodelan maupun citra satelit menunjukkan bahwa sebaran kabut asap mengarah ke wilayah Singapura.
173
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b)
Gambar 4. (a) Trajektori sebaran kabut asap pada 19 Juni 2013 (b) Trajektori sebaran kabut asap pada Juni 2013
(a)
(b)
Gambar 5. (a) Sebaran kabut asap pada 19 Juni 2013 dari citra satelit Aqua Modis (b) Sebaran kabut asap pada 19 Juni 2013 dari citra satelit Terra
4. KESIMPULAN Terjadi peningkatan nilai ketebalan optik aerosol (AOD) pada bulan Juni seiring dengan peningkatan jumlah titik api di propinsi Riau dengan nilai 0,054- 2,467 dalam variasi panjang gelombang 340-1640 nm. Peningkatan AOD yang cukup jelas terlihat mulai tanggal 19 Juni hingga 30 Juni 2013 dengan nilai AOD mencapai 2,467 sebagai akumulasi dari aerosol yang diemisikan asap kebakaran hutan di propinsi Riau. Trajektori sebaran kabut asap kebakaran hutan dengan Hysplit Model menunjukkan polutan kabut asap di Riau bergerak menuju ke arah Timur dan Timur Laut menuju wilayah Singapura. Citra satelit Terra dan Aqua MODIS memperkuat data observasi dan trajektori yang dilakukan.
174
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG – Dr. Edvin Aldrian, APU; Project Manager AERONET NASA–Dr. Brent Holben; serta rekan-rekan BMKG antara lain Dr. Ardhasena Sopaheluwakan dan Mizani Ahmad, ST.
DAFTAR RUJUKAN Artaxo, P., Gerab, F., Yamasoe, M.A., and Martins J.V., Fine Mode Aerosol Composition at Three Long-term Atmospheric Monitoring Sites in the Amazon Basin. Journal of Geophysical Research: Atmospheres, Vol 99, 22857-22868, 1994. Budiwati, T., Sumaryati, dan Sofiati, I., Karakteristik Ketebalan Optik Aerosol di Bandung. Kontribusi Fisika Indonesia Vol. 12 No. 4, 2001. Holben, B.N., Eck, T.F., Slutsker, I., Tanre, D., Buis, J.P., Setzer, A., Vermote, E., Reagan, J.A., Kaufman, Y., Nakajima, T., Lavenu, F., Jankowiak, I., and Smirnov, A., AERONET - A Federated Instrument Network and Data Archive for Aerosol Characterization. Remote Sensing Environment. 66, 1-16, 1998. Holben, B.N., Tanré, D., Smirnov, A., Eck, T.F., Slutsker, I., Abuhassan, N., Newcomb, W.W., Schafer, J.S., Chatenet, B., Lavenu, F., Kaufman, Y.J., Castle, J., Setzer, A., Markham, B., Clark, D., Frouin, R., Halthore, R., Karneli, A., O'Neill, N.T., Pietras, C., Pinker, R.T., Voss, K., Zibordi, G., An Emerging Ground-based Aerosol Climatology: Aerosol Optical Depth from AERONET, 1996. Kunii, O., Kanagawa, S., Yajima, I., Hisamatsu, Y., Yamamura, S., Amagai, T., Ismail, I.T., The 1997 Haze Disaster in Indonesia: Its Air Quality and Health Effects. Archives of Environment Health. 57, 16–22, 2002. Salinas, S.V., Chew, B.B., Miettinen, J., Campbell, J.R., Welton, E.J., Reid, J.S., Yu, L.E., Liew, S.C., Physical and Optical Characteristics of the October 2010 Haze Event over Singapore: A Photometric and Lidar Analysis. Journal of Atmospheric Research 122 (2013) 555–570, 2013. Tacconi, Luca, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan Implikasi Kebijakan. CIFOR Occasional Paper No.3. CIFOR. Bogor, 2003. Yokelson, R.J., Karl, T., Artaxo, P., Blake, D.R.., Christian, T.J., Griffith, D.W.T., Guenther, A., Hao, W.M., The Tropical Forest and Fire Emissions Experiment:
175
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Overview
and
Airborne
Fire
Emission
Factor
Measurements.
Atmospheric
Chemistry Physics Vol 7, 5175-5196, 2007. http://satelit.bmkg.go.id/satelit/image/HOTSPOT/2013/06/. (diakses pada tanggal 2 Juli 2013).
176
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ESTIMASI KEBUTUHAN LAMA PAPARAN RADIASI ULTRAVIOLET DI BANDUNG Sumaryati Bidang Komposisi Atmosfer – LAPAN
[email protected]
Abstract Ultraviolet-B (UV-B) radiation has positive and negatif impacts in human health. The positive impact is support to form vitamin D in the body, however if the excessive exposure can lead to health problems such as skin cancer and cataracts. Therefore need to measure how long the exposure duration of UV-B radiation that is safe for health. The exposure duration of ultraviolet radiation required depends on ultraviolet radiation intensity that represented by ultraviolet index. This study estimated ultraviolet-B exposure duration in Bandung to fulfill the human health based on monitoring of ultraviolet index using AWS (automatic weather station). The analysis showed that ultraviolet exposure duration of 10 minutes to 2 hours is enough to meet the human health needs. Exposure duration of 10 minutes is enough when ultraviolet index is maximum that ultraviolet index reached above 16, ie when the sun is around the noon in January to March with clear conditions. Exposure duration reaches until 1 hour when the UV index only about 2, which occurred in the early morning and late afternoon. Key words: ultraviolet index, intensity, exposure, Bandung Abstrak Radiasi ultraviolet-B (UV-B) memiliki dampak positif dan negatif terhadap kesehatan manusia. Dampak positif UV-B adalah membantu pembentukan vitamin D dalam tubuh, dan dampak negatifnya adalah ketika paparan berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker kulit dan katarak. Oleh karena itu perlu menakar seberapa besar paparan radiasi UV-B yang aman bagi kesehatan. Lama paparan radiasi UV-B yang dibutuhkan tergantung intensitasnya yang dinyatakan dengan indeks ultraviolet. Kajian ini memperkirakan kebutuhan paparan radiasi UV-B di Bandung untuk memenuhi kebutuhan kesehatan berdasarkan monitoring indeks ultraviolet dengan AWS. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama paparan radiasi ultraviolet 10 menit sampai 2 jam cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehatan. Lama paparan cukup 10 menit ketika indeks ultraviolet maksimum dengan nilai mencapai di atas 16, yaitu pada saat matahari berada di sekitar titik kulminasi sekitar jam 12.00 waktu matahari pada bulan Januari – Maret dengan kondisi tidak berawan. Lama paparan bisa mencapai 2 jam ketika indeks ultraviolet kurang dari 4, yang terjadi pada pagi dan sore hari Kata kunci: indeks ultraviolet, intensitas, paparan, Bandung
1.
PENDAHULUAN Radiasi ultraviolet-B bermanfaat bagi kesehatan manusia karena membantu dalam
pembentukan vitamin D dalam tubuh. Peran vitamin D sangat penting bagi tubuh antara lain untuk membentuk struktur tulang dan gigi yang kuat, meningkatkan absorbsi kalsium di saluran pencernaan, memperkuat sistem kekebalan dan mencegah berbagai jenis kanker.
177
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Defisiensi vitamin D dalam tubuh dapat menyebabkan tubuh mengalami berbagai gangguan penyakit, antara lain osteoporosis (kepadatan tulang), osteopenia (kepadatan mineral tulang), diabetes, hipertensi, dan berbagai penyakit jantung serta proteksi terhadap kanker (Holick, 2008) Paparan radiasi ultraviolet-B yang berlebihan dapat merusak sel, sehingga menimbulkan penyakit seperti katarak mata, luka bakar, penuaan dini, dan kanker kulit. Adanya kejadian penipisan lapisan ozon yang menyebabkan radiasi UV-B semakin besar yang sampai ke permukaan bumi, menambah kekuatiran akan dampak negatif dari paparan radiasi UV-B. Oleh karena itu muncul kesan bahwa paparan radiasi ultraviolet matahari berbahaya. Kebutuhan paparan radiasi ultraviolet dipengaruhi oleh letak geografi, jenis kulit, pelindung tubuh serta konsumsi makanan yang menjadi dasar pembentukan vitamin D itu sendiri (Stalgis-Bilinski, 2011). Untuk kulit berwarna relatif lebih tahan terhadap paparan radiasi ultraviolet, tetapi dampak terhadap penyakit katarak tetap menjadi masalah (Wang, 2012). Pada makalah ini akan diperkirakan kebutuhan paparan radiasi ultraviolet di Bandung dengan mempertimbangkan ras dan budaya masyarakat, serta variasi indeks ultraviolet.
2.
TINJAUAN PUSTAKA Besarnya kebutuhan radiasi UV-B tergantung pada jenis kulit, perlindungan yang
digunakan, intensitas dan lama paparan. Jenis kulit menurut sensivitasnya terhadap radiasi matahari, dibagi menjadi enam kategori yang disebut skala Fitzpatrick (Table 1). Intensitas radiasi dipengaruhi oleh posisi lintang dan waktu. Intrensitas radiasi menurut waktu mengalami siklus pada periode tertentu (Sumaryati, 2012). Periode harian terkait dengan perputaran bumi yang menghasilkan siang dan malam. Siklus tahunan terkait dengan sudut deklinasi serta jarak bumi dan matahari pada posisi perihelion dan aphelion. Selain itu aktifitas matahari dalam periode sebelas tahunan juga berpengaruh terhadap radiasi yang sampai ke permukaan bumi.
178
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 1. Jenis kulit berdasarkan sensivitasnya terhadap radiasi ultraviolet-B Jenis
Keterangan
kulit Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Tipe 5 Tipe 6
Sangat sensitif sekali dan selalu terbakar oleh paparan radiasi matahari. Contohnya kulit yang dimiliki kulit putih tanpa ada unsur warna coklat dengan muka ber bintik-bintik dan berambut merah. Sangat sensitif dan mudah terbakar oleh radiasi matahari. Misalnya kulit dengan unsur warna coklat sedikit yang dimiliki oleh ras Kaukasia Sensitif terhadap radiasi matahari dan kadang-kadang terbakar, kulit putih agak kecoklatan. Contohnya ras Kaukasia yang bekulit agak hitam Agak sensitif dan kadang-kadang sedikit terbakar oleh radiasi matahari, warna kulit coklat muda sampai sedang, misalnya jenis kulit putih Mediterranian dan ras Hispan Kurang sensitif dan jarang terbakar oleh radiasi matahari. Kulit coklat. Contoh: Beberapa Hispanik, dan beberapa kulit hitam Tidak sensitif dan tidak pernah terbakar oleh radiasi matahari, pigmen hitam penuh. Contoh: ras kulit hitam gelap. Sumber: http://www.arpansa.gov.au/pubs/RadiationProtection/FitzpatrickSkinType.pdf
Gambar 1. Kebutuhan paparan radiasi ultraviolet jenis kulit 2 dengan berbagai perlindungan tubuh (Sumber: McKenzie, et al., 2009)
179
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Kebutuhan paparan radiasi ultraviolet untuk kulit tipe 2 dengan berbagai perlindungan dan intensitas radiasi ultraviolet yang dinyatakan dalam indeks ultraviolet ditunjukkan pada Gambar 1. Indeks ultraviolet merupakan besaran yang tidak berdimensi yang menyatakan seberapa besar tingkat bahaya paparan radiasi ultraviolet yang telah ditetapkan oleh WHO, WMO, UNEP, dan ICNIRP tahun 2002. Berdasarkan jenis kulit dari skala Fitzpatrick di atas, masyarakat Bandung mendekati tipe 4 dan mayoritas bagian tubuh yang terpapar oleh radiasi matahari adalah bagian tangan dan muka. Standar jenis kulit tipe 2 ini, maka dibutuhkan waktu lebih lama lagi.
3.
DATA DAN METODOLOGI
•
Radiasi ultraviolet-B yang dinyatakan sebagai indeks ultraviolet diamati dengan AWS (Automatic weather station) di Bandung pada koordinat 10735’ BT, 653,73’LS, dari tahun 2007 – 2012, dengan selang waktu pengamatan 15 menit
•
Untuk menentukan lama paparan digunakan standar untuk jenis kulit 2 dengan bagian tubuh yang terpapar adalah muka dan tangan. Lama paparan untuk setiap nilai indeks ultraviolet didekati dengan nilai standar dari hasil penelitian McKenzie et al. (2009) yang disajikan pada Gambar 2.1
•
Analisis indeks ultraviolet ketika intensitas radiasi matahari harian maksimum dan minimum jika tidak ada awan dan perkiraan kebutuhan lama paparan.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian (McKenzie, et al., 2009) pada Gambar 1, perkiraan kebutuhan
paparan radiasi ultraviolet dengan paparan pada bagian tubuh meliputi tangan dan wajah sesuai dengan kondisi masyarakat di Bandung untuk indeks ultraviolet dari 1 – 15 disajikan pada Tabel 2. Monitoring indeks ultraviolet maksimum harian dari tahun 2007 – 2011 di Bandung pada posisi 10735’ BT , 653,73’LS disajikan pada Gambar 2. Nilai indeks ultraviolet dibatasi hanya sampai 16. Indeks ultraviolet di atas 16 sangat jarang, dan menurut UNEP indeks ultraviolet di atas 11 termasuk ekstrim bahaya.
180
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 2. Perkiraan lama paparan tipe kulit II untuk nilai indeks ultraviolet bersumber dari McKenzie et al. (2009) Indeks
Lama paparan
Indeks
Lama paparan
Indeks
Lama paparan
UV
(mnt)
UV
(mnt)
UV
(mnt)
1
110
6
19
11
9
2
80
7
14
12
8
3
42
8
12
13
7
4
30
9
11
14
6,5
5
21
10
10
15
6
Gambar 2. Indeks ultraviolet maksimum harian di Bandung
Pengaruh awan sangat kuat dalam mengurangi intensitas radiasi ultraviolet yang sampai ke permukaan bumi di Bandung (Sumaryati, 2011). Potensi intensitas radiasi harian maksimum yang sampai ke permukaan bumi di Bandung terjadi sekitar bulan Januari – Maret pada tahun 2012 dan minimum sekitar bulan Juni-Juli. Hal itu dikarenakan faktor jarak antara bumi dan matahari, aktifitas matahari dan sudut deklinasi matahari (Sumaryati, 2012). Potensi radiasi maksimum di Bandung terjadi pada musim hujan dengan kondisi awan relatif tebal. Sebaliknya, ketika kondisi radiasi minimum di Bandung terjadi pada musim kemarau dengan kondisi langit relatif lebih cerah di Bandung ketika potensi radiasi maksimum. Indeks ultraviolet maksimum harian untuk kondisi tidak berawan sulit terjadi di Bandung. Gambar 3.a menunjukkan indeks ultraviolet maksimum dengan penutupan awan kecil yang terjadi pada tanggal 16 maret 2012. Gambar 3.b contoh indeks ultraviolet pada saat intensitas radiasi matahari harian di Bandung minimum dan sinar matahari tidak 181
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
terhalang awan, yang terjadi pada tanggal 3 Agustus 2009. Maksimum harian indeks ultraviolet pada saat potensi intensitas radiasi matahari maksimum pada bulan sekitar Januari – Maret bisa mencapai lebih dari 16. Ketika potensi intensitas radiasi matahari minimum dan pada bulan sekitar Juni-Juli dan kondisi langit cerah nilai indeks ultraviolet hanya sekitar 10. Perbedaan indeks ultraviolet harian maksimum dan minimum karena faktor sudut deklinasi dan posisi matahari bumi cukup signifikan. Saat intensitas harian minimum terjadi ketika matahari berada pada sekitar garis balik utara bertepatan dengan posisi matahari bumi aphelion, yang terjadi sekitar bulan Juni – Juli, nilai indeks ultraviolet maksimum hanya 11 (Gambar 3.a). Potensi radiasi maksimum terjadi ketika matahari berada di atas Bandung sekitar Desember – Februari beretpatan dengan posisi bumi matahari perihelion, perkiraan indeks ultraviolet maksimum mencapai nilai 17. Berdasarkan kebutuhan lama paparan untuk kulit tipe 2 dengan bagian tubuh yang terpapar adalah muka dan tangan (Tabel 2), perkiraan kebutuhan lama paparan saat intensitas radiasi harian minimum dan maksimum disajikan dalam Gambar 3 yang ditunjukkan dengan garis merah. Perkiraan kebutuhan lama paparan ini untuk jenis kulit II dan bagian yang terpapar adalah muka dan tangan dan dengan asumsi langit cerah tidak disajikan pada Gambar 3.b. Perkiraan kebutuhan lama paparan sebagaimana digambarkan pada Gambar 3 untuk jenis kulit tipe 2 dan bagian tubuh yang kena radiasi ultraviolet adalah muka dan tangan, serta langit cerah tidak berawan. Kondisi realnya, langit sering berawan, terutama pada musim hujan ketika indeks ultraviolet berpotensi mencapai nilai 17. Tipe kulit mayoritas masyarakat Bandung bukan tipe 2, tetapi mendekati tipe 4 yang relatif membutuhkan lebih lama paparan radiasi ultraviolet. Tidak sepenuhnya muka dan tangan terpapar oleh radiasi ultraviolet, karena masih memakai pelindung seperti
penutup kepala dan tabir surya yang juga
menjadikan kebutuhan paparan lebih lama.
182
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
A
B
Gambar 3. Indeks ultraviolet harian dan perkiraan kebutuhan lama paparan kondisi tidak berawan (a) saat indeks ultraviolet harian minimum (b) saat indeks ultraviolet harian potensi maksimum
Pada saat indeks ultraviolet maksimum yang terjadi sekitar jam 12.00 waktu matahari, dengan nilai 17 diperkirakan jika paparan mengenai muka dan tangan sekitar 5 menit cukup memenuhi kebutuhan kesehatan tubuh. Hal umum yang terjadi, paparan tidak penuh menganai muka dan tangan, karena matahari tepat di atas, oleh karena itu kebutuhan paparan radiasi lebih lama lagi bisa mencapai 10 menit. Pada waktu pagi dan sore hari dan pada kondisi intensitas menurun sampai nilai nol. Perkiraan kebutuhan untuk nilai indeks ultraviolet kurang dari 5 pada saat intensitas radiasi harian minimum dan sinar matahari tidak terhalang awan berdasarkan Tabel 2, maka perkiraan kebutuhan lama paparan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, diketahui untuk memenuhi kebutuhan paparan radiasi ultraviolet sampai seratus prosen untuk kulit tipe 2 dengan paparan muka dan tangan dibutuhkan waktu sekitar 75 menit. Oleh karena itu untuk kulit tipe 4 diperkirakan kebutuhan paparan sekitar 2,2 jam setelah matahari terbit atau menjelang terbenam.
Tabel 3. Perkiraan kebutuhan lama paparan radiasi ultraviolet
jam
IUV
Perkiraan
Prosentase
prosentase akumulasi
kebutuhan lama
pemenuhan dalam
pemenuhan
paparan (menit)
paparan 15 menit
kebutuhan
7:00
0,7
140
10,7
10,7
7:15
0,9
120
12,5
23,2
7:30
1,2
100
15,0
38,2
183
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
5.
7:45
1,5
88
17,0
55,3
8:00
2,0
70
21,4
76,7
8:15
2,4
60
25,0
101,7
8:30
3,0
45
33,3
135,0
8:45
3,6
37
40,5
175,6
9:00
4,1
27
55,6
231,1
KESIMPULAN Berdasarkan monitoring indeks ultraviolet dengan AWS di Bandung, diperkirakan
kebutuhan paparan hanya sekitar 10 menit ketika intensitasnya maksimum yang terjadi sekitar jam 12.00 waktu matahari pada Januari – Maret.
Setelah matahari terbit atau
menjelang matahari terbenam, terutama pada bulan sekitar Juli kebutuhan lama paparan mencapai 2 jam.
Daftar Rujukan Fitzpatrick Skin Type, Australian Radiation Protection and Nuclear Savety Agency, http://www.arpansa.gov.au/pubs/RadiationProtection/FitzpatrickSkinType.pdf, download November 2013 Holick M,F, Sunlight, UV-radiation, vitamin D and skin cancer: how much sunlight do we need? Advances in Experimental Medicine and Biology 624:1-15, doi: 10,1007/978-0387-77574-6_1, 2008; McKenzie, R,L,; Liley, J,B,; Björn, L,O, UV Radiation: Balancing Risks and Benefits, Photochemistry and Photobiology 85, pp 88–98, 2009, Sumaryati, S, Hamdi, dan Suparno, Korelasi Radiasi Global, Radiasi Ultraviolet dan Indeks Ultraviolet, Prosiding SNSAA 2011 Sumaryati, Radiasi Ultraviolet dan Indeks ultraviolet di Bandung, Prosiding Simposium Fisika nasional XXV, HFI, 2012 Stalgis-Bilinski K,L, J, Boyages, E,Salisbury, C, R, Dunstan, S, Henderson and P, L Talbot, 2011, Burning daylight: balancing vitamin D requirements with sensible sun exposure, Medical Journal of Australia 2011; 194 (7): 345-348, Wang Y, J, Yu, Q, Gao, L, Hu, N, Gao, H, Gong, dan Y, Liu,,The Relationship between the Disability Prevalence of Cataracts and Ambient Erythemal Ultraviolet Radiation in China, DOI: 10,1371 journal, 2012 37
184
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGARUH MJO TERHADAP PERILAKU HUJAN HARIAN DI ATAS KOTOTABANG Syafrijon Loka Pengamatan Atmosfer Kototabang- LAPAN
[email protected]
Abstract MJO (Madden Julian Oscillation) can be characterized as an eastward moving of cloud and rainfall near the equator that typically recurs every 30 to 60 days. The objective of this study is to investigate the effect of MJO to the diurnal rain characteristic at Kototabang. The rainfall data which were taken from ORG (optical rain gauge) observation during CPEAI campaign were categorized by four times period (early morning, morning, afternoon and night). The results showed the occurrence of rain in the inactive of MJO were dominant in the afternoon. The occurrence of rain in the active phase of MJO were dominant in the afternoon and night time. The amount of rain in afternoon and night time during the inactive phase was less than amount precipitation in the active phase at the same time period. Keywords: inactive MJO, active MJO, CPEA-I, TBB, ORG. Abstrak Fenomena MJO (Madden Julian Oscillation) ditandai dengan pergerakan kumpulan awan dan hujan di wilayah equator yang bergerak dari samudra India menuju bagian timur Indonesia yang berulang setiap 30 – 60 hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh MJO terhadap perilaku hujan harian di atas Kototabang. Data curah hujan dari pengamatan ORG (optical rain gauge) di Kototabang pada periode CPEA-I dikelompokan menjadi empat kelompok waktu (dini hari, pagi, siang dan malam). Didapatkan bahwa pada masa MJO tidak aktif hujan lebih dominan terjadi pada sore hari, sedangkan pada masa MJO aktif hujan lebih banyak terjadi pada sore dan malam hari. Ditemukan juga curah hujan yang terjadi pada masa MJO tidak aktif lebih sedikit dari curah hujan pada MJO aktif pada empat waktu yang di amati. Kata Kunci : MJO aktif, MJO tidak aktif, CPEA-I, TBB, ORG. 1. PENDAHULUAN Fenomena MJO (Madden Julian Oscillation) ditandai dengan pergerakan kumpulan awan dan hujan di wilayah equator yang bergerak dari samudra India menuju bagian timur Indonesia yang berulang setiap 30 – 60 hari (Madden dan Julian, 1971). Kepulauan Indonesia adalah tempat yang paling sering terjadi konveksi (Ramage, C.S., 1968). Nitta, Ts dan S. Sekine (1994) dengan menggunakan data satelit telah menemukan bahwa aktifitas konveksi di Indonesia didominasi oleh siklus harian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh MJO terhadap perilaku hujan harian di daerah Kototabang.
185
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Dengan menggunakan data suhu puncak awan pada saat observasi CPEA-I (Proses kopel di daerah equator), Shibagaki et. al. 2006b menemukan bahwa masa tidak aktif MJO terjadi pada tanggal 10 – 22 April 2004 dan masa aktif MJO adalah terjadi pada 23 April – 08 Mei 2004.
2. DATA DAN METODE Data utama yang di gunakan pada penelitan ini adalah data curah hujan hasil pengamatan ORG (Optical raingauge) pada periode CPEA-I (10 April – 08 Mei, 2004). Data diolah secara statistik untuk mengetahui probabilitas kejadian hujan dan jumlah curah hujan dengan membagi waktu terjadinya hujan menjadi empat kelompok waktu, yaitu dini hari (00.00 - 05.59 am), pagi (06.00 – 11.59 am), siang (12.00 – 17.59 pm) dan malam hari (18.00 pm – 23.59 pm). Selain itu data juga ORG juga di olah secara statistik untuk melihat perilaku hujan pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Probabilitas kejadian hujan pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif pada periode observasi CPEA-I (10 April – 8 Mei, 2004).
Probabilitas kejadian hujan pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif seperti terihat pada Gambar 1 menunjukan bahwa pada saat MJO tidak aktif hujan lebih sering terjadi pada saat malam hari. namun tidak terjadi pada dini hari. Pada gambar yang sama juga memperlihatkan bahwa saat MJO aktif hujan terjadi disemua waktu pengamatan. Hal ini dapat di artikan bahwa pada saat MJO tidak aktif sirkulasi harian sangat berperan dalam
186
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
terjadinya hujan, dimana proses pemanasan maatahari menghasilkan konveksi pada siang hari dan menghasilkan hujan. Selain itu hujan terlihat lebih dominan terjadi pada sore dan malam hari. Kejadian hujan yang berlansung di semua waktu pengamatan dimungkinkan terjadi oleh pengaruh awan-awan besar yang masuk dari samudera India. Dimana awan-awan tersebut mempengaruhi sirkulasi lokal sehingga proses terbentuknya awan oleh konveksi atau pemanasan matahari tidak terjadi.
Gambar 2. Total curah hujan pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif pada periode observasi CPEA-I (10 April – 8 Mei, 2004).
Gambar 2 diatas memperlihatkan jumlah curah hujan yang terjadi pada saat MJO tidak aktif dan MJO aktif. Jumlah curah hujan terbanyak terjadi pada saat MJO aktif yaitu pada waktu malam hari. Hal ini menunjukan bahwa curah hujan dipengaruhi oleh tingkat uap air yang tinggi, dimana pada saat MJO aktif uap air yang telah dikonversi ke awan bergerak dari samudera India menuju daratan pulau Sumatera dan berubah menjadi hujan ketika kumpulan awan-awan besar sampai di daratan Sumatera (Shibagaki et. al. 2006) Pada saat MJO tidak aktif curah hujan tidak terlalu tinggi baik itu pada siang ataupun malam hari. Hal ini menandakan bahwa uap air yang terjadi oleh sirkulasi lokal tidak terlalu tinggi.
187
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b)
Gambar 3. Curah hujan jam-jam-an pada hari a) MJO tidak aktif, b) MJO aktif
Curah hujan jam-jam-an selama satu hari yaitu pada saat MJO tidak aktif (11 April 2004) dan MJO aktif (29 April 2004) terlihat pada Gambar 3 diatas. Pada tanggal 11 April hujan terjadi pada siang hari dengan intensitas tinggi dan waktu yang singkat. Terlihat hujan terjadi pada jam 12 siang dengan intensitas curah hujan adalah 7 mm/jam dan dan pada jam 13 siang hujan terjadi dengan intensitas 3 mm/jam. Terlihat proses konveksi terjadi pada saat MJO tidak aktif, yaitu hujan terjadi pada saat siang hari dimana pada saat proses pemanasan oleh matahari berlansung. Pada saat MJO aktif yaitu pada tanggal 29 April 2004 hujan terjadi pada dini hari, pagi dan siang dengan intensitas yang rendah. Hal ini dimungkinkan terjadi oleh hujan stratiform dengan skala besar yang terjadi oleh awan-awan besar yang memasuki daratan Sumatera.
4. KESIMPULAN Dari hasil analisa yang telah dilakukan maka didapatkan beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Waktu terjadinya hujan pada saat MJO tidak aktif didominasi pada siang hari (12.00 – 17.59 pm). Hal ini terjadi karena pengaruh sirkulasi lokal yang menyebabkan terjadinya hujan konvekfif. 2. Waktu hujan pada saat MJO aktif terjadi pada semua waktu pengamatan, yaitu hujan terjadi pada saat dini hari, pagi, siang dan malam hari. Hal ini terjadi karena uap air dan hujan di bawa dari samudera dimana saat itu awan-awan besar memasuki daratan. 3. Hujan yang terjadi pada saat MJO tidak aktif berlansung dalam waktu sebentar (2 jam) dengan internsitas tinggi (10 mm). 4. Hujan yang terjadi pada saat MJO aktif berlansung dalam waktu yang lama (7 jam) dengan intensitas rendah (7 mm).
188
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada LAPAN dan semua teman atas dukungannya dalam menyelesaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dr. T. Shimomai karena telah menyediakan data ORG.
DAFTAR RUJUKAN Madden, R. A., and P. R. Julian., Detection of a 40-50 day oscillation in the zonal wind in the tropical Pacific, J. Atmos. Sci., 28, 702-708, 1971. Nitta, Ts., and S. Sekine., Diurnal variation of convective activity over the tropical western Pacific, J. Meteor. Soc. Japan, 72, 627–641, 1994. Ramage, C.S., Role of a tropical ‘‘maritime continent’’ in the atmospheric circulation, Mon. Wea. Rev., 96, 365–369, 1968. Shibagaki, Y., T. Kozu, T. Shimomai, S. Mori, F. Murata, Y. Fujiyoshi, H. Hashiguchi, and S. Fukao., Evolution of a Super Cloud Cluster and the Associated Wind Fields Observed over the Indonesian Maritime Continent during the first CPEA Campaign, J. Meteor. Soc.Japan, this issue, 2006.
189
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
DISTRIBUSI ASAM (NON SEA SALT SO42-; NO3- DAN Cl-) DAN BASA (NH4+; SEA SALT Ca2+; DAN NON SEA SALT Ca2+) DI INDONESIA Tuti Budiwati* dan Wiwiek Setyawati Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer -LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung *Tel/Fax: 022-6037445/022-6037443; e-mail:
[email protected]
Abstract Other than SO2, NOx and HCl that act as precursors to determine rainwater acidity, there are also neutralizing agents such as ammonium, calsium and magnesium. Potential of sulphate and nitrate formations in urban and rural areas close to the volcanoes in Indonesia was relatively high because of the precursors existence: gaseous SO2 and HCl. On the contrary, Cl concentration was relatively high in Eastern Indonesia indicating high contribution of sea source. Wet deposition data used in the analisys were obtained from monitoring data carried out by BMKG (Agency for Meteorology, Climatology and Geophysics), LAPAN (Indonesian National Institute of Aeronautics and Sapce) and PUSARPEDAL (Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan) in 2000-2008 in some Indonesian cities i.e. Banjarbaru, Pontianak, Kupang, Mataram (NTB), Mataram, Medan, Kototabang, Lampung, Palembang, Jakarta, Bogor, Serpong and Bandung. Monthly average of rainwater acidity indicated by pH in Indonesia was 5.05, maximum 7.75 and minimum 2.89. Rainwater pH frequency distribution with value less or equal than 5.6 was 80.16% with highest frequency was found within range of 4.6-5.0 (28%) and within 5.1-5.5 (27%). Acid agent was more dominant than neutralizing agent therefore rainwater pH was acid. Human activities influenced acid deposition as indicated by SO2 influence to non seasalt (nss) SO42and NO2 to NO3- that concentrated in Java and Sumatera. In Sumatera and Kalimantan forest fires had lead to acid rain. Keywords: acid, base, acid rain, Indonesia, pH Abstrak Selain SO2, NOx dan HCl sebagai prekursor dalam menentukan keasaman air hujan terdapat pula unsur penetralnya yaitu amonium, kalsium dan magnesium. Potensi pembentukan sulfat dan nitrat di daerah urban dan rural dekat gunung berapi di Indonesia cukup tinggi dengan adanya prekursor gas-gas SO2 dan HCl. Sebaliknya, Cl ternyata tinggi di daerah Indonesia timur menandakan kontribusi dari sumber laut yang besar. Data deposisi basah yang digunakan dalam analisis adalah data monitoring oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), LAPAN (Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional) dan PUSARPEDAL (Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan) tahun 2000-2008 di beberapa kota Indonesia seperti Banjarbaru, Pontianak, Kupang, Mataram (NTB), Mataram, Medan, Kototabang, Lampung, Palembang, Jakarta, Bogor, Serpong dan Bandung. Berdasarkan data rata-rata bulanan tersebut di Indonesia keasaman air hujan dalam nilai pH rata-rata adalah 5,05 dengan nilai maksimum 7,75 dan minimum 2,89. Distribusi pH air hujan ≤5,6 adalah 80,16% dengan terbanyak di kisaran 4,6-5,0 sebanyak 28% dan 5,1-5,5 sebanyak 27%. Dan unsur asam lebih mendominasi dibandingkan basa sehingga pH air hujan lebih asam. Aktivitas manusia mempengaruhi deposisi asam terlihat adanya pengaruh SO2 terhadap non seasalt (nss) SO42- dan NO2 terhadap NO3- yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Berbeda dengan Kalimantan dan Sumatera masalah kebakaran hutan berdampak pada deposisi asam. 190
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Kata Kunci: asam, basa, hujan asam, Indonesia, pH 1. PENDAHULUAN Dampak pencemaran udara terjadi dalam beberapa tingkat. Pada skala mikro/lokal, pencemaran udara hanya mempengaruhi kualitas udara setempat, dalam lingkup yang relatif terbatas, misalnya pencemaran udara oleh debu. Selain itu terdapat pula pencemaran udara dalam skala meso atau regional, yang dampaknya dapat mempengaruhi areal yang lebih luas contohnya hujan (Stern et al., 1984). Pencemar-pencemar tersebut relatif stabil di atmosfer dan dapat berpindah bersamaan dengan massa udara untuk jarak jauh (Milukaite et al., 2000). Dampak dari emisi gas yang berasal dari kota dan industri di kota Bandung akan mempengaruhi komponen kimia air hujan dalam skala meso yaitu wilayah di sekitarnya. Polutan akan tinggal beberapa waktu di udara dan kemudian musnah terdeposisi, baik deposisi kering maupun deposisi basah. Selama polutan berada di udara menyebabkan kualitas udara ambien menurun, yang berakibat langsung pada kesehatan manusia. Problem polusi udara yang menyebar secara lokal dalam jam, urban/ meso dalam hari, regional dalam bulan, daratan dalam tahun dan global dalam dekade (Stern et al., 1984). Hasil emisi transportasi dan industri di perkotaan dan pembakaran biomasa seperti CO2, CO, NH3, NOx, CH4, CH3Cl, hidrokarbon lainnya dan aerosol ke udara akan mempengaruhi kadar keasaman air hujan. Aerosol dan gas-gas yang terlarut dalam udara dapat dibersihkan dari atmosfer melalui proses pembersihan secara kering (dry deposition) atau basah (wet deposition). Unsur chlorida (Cl-) dengan sodium (Na+) adalah senyawa garam NaCl yang berasal dari laut. Calsium adalah unsur kapur dalam CaCO3 (calsium carbonat) yang banyak terkandung dalam laut berupa terumbu karang atau di daratan tepatnya dari pegunungan kapur. Mg2+, Na+ dan K+ merupakan komponen yang berasal dari sumber laut juga partikel debu tanah. Mg2+ adalah komponen yang berasal dari laut bila pengamatan dilakukan dekat laut dan berasal dari kerak bumi bila jauh dari laut (Hu et al., 2003). Sedangkan emisi alkali (partikel debu dan gas NH3) akan mempengaruhi keasaman air hujan secara signifikan, dengan menetralkan beberapa faktor asam (Mouli et al., 2005). Adanya ozon di atmosfer berperanan pula sebagai oksidator SO2 dan NO2 untuk membentuk asam sulfat dan nitrat. Proses deposisi basah adalah proses pencucian yang mana polutan (gas-gas dan partikel) diserap dalam awan dan oleh elemen hujan (butir-butir air, partikel-partikel es) dan jatuh (diendapkan) di permukaan oleh hujan, salju (Draaijers et al., 1998; Seinfeld and Pandis,
191
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1998). Angin akan menyebarkan awan atau polutan ke segala arah. Hujan asam telah terjadi di Indonesia sejak tahun 1995 untuk Jakarta, Surabaya, Cisarua–Bogor dan Bandung (Budiwati et al., 2007). Daerah remote atau back ground Kototabang untuk Indonesia ternyata juga telah terkena hujan asam (Ministry of Environment-Indonesia (KLH), 2007).
2. DATA DAN METODE Data deposisi basah terdiri dari pH, anion (nssSO42-, NO3-, Cl-), dan kation (NH4+, Ca2+, Na+, nssCa2+) hasil pemantauan BMKG, LAPAN dan PUSARPEDAL dari 2000-2008 berupa rata-rata bulanan dibuat kecenderungannya. Wilayah penelitian distribusi asam adalah Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan analisis distribusi pH dengan statistik berupa distribusi frekuensi untuk mengetahui kejadian hujan asam di Indonesia. Selain itu dihitung pula secara teori non sea salt (nss) SO42- and non sea salt (nss) Ca2+ (ADORC, 2002; Budiwati et al., 2012). Mengingat adanya pengaruh musim terhadap curah hujan dan mempengaruhi pencucian atmosfer oleh air hujan, maka dilakukan analisis nssSO42-, NO3 -, Cl- dan NH4+, non sea salt (nss) Ca2+, ss (sea salt) Ca2+ berdasarkan musim. Sea salt Ca2+ adalah total Ca2+ dikurangi non sea salt (nss) Ca2+. Musim dibagi dalam empat musim yaitu musim hujan Desember Januari Februari (DJF), musim peralihan hujan ke kemarau Maret April Mei (MAM), musim kemarau Juni Juli Agustus (JJA) dan musim peralihan kemarau ke hujan September Oktober Nopember (SON) (Mc. Gregor, and Nieuwolt, 1998).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Distribusi pH air hujan di Indonesia Frekuensi hujan dengan nilai pH 5,2 dan 5,3 adalah terbanyak yaitu 47 kali di seluruh Indonesia dari total data 751 (Gambar 1 kiri). Hujan dengan pH dalam kisaran 4,6-5,0 dan 5,1-5,5 ternyata sering terjadi di wilayah Indonesia yaitu masing-masing sebanyak 28% dapat dilihat pada Gambar 1 (kanan). Kejadian hujan asam yaitu derajat keasaman (pH) di bawah 5,6 (tidak termasuk pH 5,6) adalah 76%. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia sering kali mengalami hujan asam dalam kurun waktu 2000-2008.
192
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
50
30
28
28
45
25
Frekuensi (%)
40
Frekuensi
35 30 25 20 15 10
20
18
14
15 10 6
5
5 2
5 0
0 2,5
3
3,5
4
4,5
5
5,5
6
6,5
7
7,5
8
pH
<-4,0
4,1-4,5 4,6-5,0 5,1-5,5 5,6-6,0 6,1-6,5
6,6>
pH
Gambar 1. Frekuensi pH air hujan di Indonesia 2000-2008 3. 1.1 Asam Non Sea Salt (nss) SO42-; NO3- dan ClDistribusi rata-rata konsentrasi nssSO42- air hujan terlihat tinggi di Sumatera dan Jawa umumnya untuk semua musim (Gambar 2). Konsentrasi tinggi di Jawa Barat yaitu pada musim kemarau JJA dan peralihan SON dengan kisaran 27,82-90,38
mol/L. Kondisi
2-
nssSO4 air hujan di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan juga Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan kisaran 9,95-27,82
mol/L cukup tinggi dibandingkan Kalimantan dan wilayah
Indonesia Timur pada bulan-bulan tersebut. Kecuali pada musim hujan DJF dan peralihan MAM konsentrasi nssSO42- relatif lebih rendah. Dari daratan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan akan memberikan (NH4)2SO4 aerosol pada bulan-bulan JJA dan SON pada deposisi nssSO42- air hujan yang tinggi di musim tersebut. Juga peristiwa letusan gunung berapi yang aktif di sepanjang pantai barat daratan Sumatera, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara yaitu daratan yang menghadap laut Hindia sampai Maluku dan Papua akan memberikan sumbangan SO2 maupun sulfat aerosol ke atmosfer. Pulau Kalimantan dengan hanya satu gunung berapi yaitu gunung Kinibalu di Kalimantan Utara (Volcanoes MAP, 2008) tidak mempunyai potensi menyumbangkan SO2 dari gunung berapi dibandingkan peristiwa kebakaran hutan di wilayah ini (Herlianto, 2006). Sedangkan kota-kota besar di Jawa dan Sumatera akan menyumbangkan SO2 dari pembakaran bahan bakar yang selanjutnya berdampak pada terbentuknya deposisi nssSO42air hujan.
193
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2. Distribusi rata-rata non sea salt (nss) SO42- air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM, musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di
120
nss-SO42-
nss-SO42- dan SO2
SO2(DU)
100 80 60 40 20 0
0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000
SO2 (DU)
140
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
Konsentrasi SO42- (mmol/L)
Indonesia
2004
2005
2006
2007
2008
Waktu
Gambar 3. Tren rata-rata bulanan non sea salt SO42- (nssSO42-) dan SO2 di Indonesia tahun 2004 sampai 2008 (sumber data total kolom SO2 dari sensor SCHIAMACHY-satelit ENVISAT)
Dari data rata-rata harian dari sensor SCHIAMACHY-satelit ENVISAT dibuat ratarata bulanan dan dikaji variasi bulanan dan trennya (Gambar 3). Profil SO2 dan deposisi
194
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
basah nssSO42- mempunyai kemiripan, kecuali tahun 2005 terdapat pergeseran puncak antara keduanya. Perbedaan tersebut diduga adanya pengaruh lokal dari sumber polutan yang berdampak pada deposisi basah. Adapun profil deposisi basah nssSO42- dengan nilai maksimum pada bulan kemarau JJA dan SON dan minimum pada bulan basah (hujan). Tahun 2004 dan 2006 terjadi kebakaran hutan yang cukup besar di Sumatera dari Juni sampai Oktober (Budiwati, 2007; Ministry of Environment-Indonesia (KLH), 2007). Kebakaran ini terjadi setiap tahun terutama saat musim kemarau dan dampaknya terlihat pada deposisi SO42- air hujan yang tinggi di musim kemarau. Disamping ion SO42- maka ion NO3 - adalah unsur asam yang penting pula terkait dengan penggunaan bahan bakar yang berdampak pada terbentuknya gas HNO3 atau NOx (NO2 dan NO). Pembentukan deposisi NO3 - dari reaksi NH3 dengan HNO3 yang mana merupakan hasil oksidasi terhadap NO2, sangat dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban udara. Temperatur dan kelembaban udara mempengaruhi kesetimbangan konsentrasi NH4NO3 (Stelson and Seinfeld, 1982).
Gambar 4. Distribusi rata-rata NO3- air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM, musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di Indonesia
Pada musim kering tidak terjadi pengambilan NH3 oleh butir-butir awan yang dapat menaikkan kecepatan oksidasi SO2 oleh O3 menjadi SO42-. Sehingga sebagian besar NH3 bereaksi dengan gas HNO3 membentuk NH4NO3. Dan gas HNO3 dengan aerosol kasar akan 195
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
membentuk NO3-. Sebagian kecil lagi akan bereaksi dengan aerosol asam (antara lain mengandung H2SO4) membentuk (NH4)2SO4. Sebaliknya aerosol atau partikulat tinggi di musim kemarau karena terdapat pembentukan NH4NO3 dan NO3 - oleh NH3 dan HNO3 (Kelly, 1987; Hu et al., 2003). Korelasi yang kuat terlihat pada korelasi antara NH3 dan NO3 - pada musim kemarau (Budiwati dan Rachmawati, 2008). Konsentrasi ion NO3 - tinggi pada musim kemarau JJA dan SON terkonsentrasi di Sumatera Selatan dan Jawa Barat dengan kisaran 40,28-111,35 Konsentrasi NO3 - dengan kisaran 22,52-40,28
mol/L (Gambar 3).
mol/L terdapat di Sumatera Utara dan Nusa
Tenggara Barat pada musim JJA dan pada musim SON terjadi penurunan nilai konsentrasi NO3- di Nusa Tenggara Barat, yang mana kisaran 22,52-40,28
mol/L hanya terdapat di
Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Deposisi NO3- air hujan erat kaitannya dengan gas NO2 (Gambar 4). Dari data rata-rata harian total kolom NO2 dalam satuan mol/cm2 dari sensor AURAOMI dibuat variasi bulanan dan trennya (Gambar 5). Konsentrasi NO2 akan mempengaruhi deposisi basah NO3 - di Indonesia. Dari Gambar 4 terlihat profil NO2 dan deposisi basah NO3 sangat mirip sekali polanya yaitu puncaknya maksimum pada musim kemarau. Tahun 2005 terdapat pergeseran puncak antara keduanya, diduga perbedaan tersebut karena adanya pengaruh lokal dari sumber polutan yang berdampak pada deposisi basah NO3-. Ada indikasi bahwa NH4NO3 aerosol berperanan dalam mempengaruhi konsentrasi deposisi basah NO3-. Tren rata-rata bulanan NO3- air hujan memperlihatkan nilai maksimum pada musim kemarau dan minimum pada musim penghujan (Gambar 6). Dari Gambar 6 terlihat rata-rata bulanan NO3 - air hujan menunjukkan kenaikan yang kecil sekali yaitu 0,0013
mol/L selama
9 tahun dari 2000 sampai 2008. Pada 2002 dan 2004, konsentrasi rata-rata bulanan NO3- air hujan meningkat mulai Juni sampai Nopember dan ini ada kaitannya dengan musim kemarau panjang tahun 2002 karena El Nino moderat (Tabel El Nino dan La Nina, 2008) dan kebakaran hutan tahun 2004. Konsentrasi NO3- air hujan rata-rata berturut-turut adalah 31,99 mol/L dan 51,36 ratanya 26,70
mol/L untuk tahun 2002 dan 2004 lebih tinggi dari konsentrasi rata-
mol/L.
196
80 60 40 20 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
0
2
Tot Column NO2
100
mol/cm )
120
Total kolom NO2 (x10
3 2,9 2,8 2,7 2,6 2,5 2,4 2,3 2,2 2,1 2
NO3- (umol/L)
-
Ion NO3 (mmol/L)
140
15
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2004
2005
2006
2007
2008
Waktu
Gambar 5. Tren rata-rata bulanan deposisi basah NO3- dan total kolom NO2 (mol/cm2) di Indonesia Oktober tahun 2004 sampai 2008 (sumber data total kolom NO2 dari sensor AURA-OMI milik NASA)
Konsentrasi ( m mol/L)
150
NO3y = 0,0013x + 26,626 R2 = 4E-06
120 90 60 30
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Waktu
Gambar 6. Tren rata-rata bulanan NO3 - air hujan dari tahun 2000-2008 di Indonesia Unsur asam lainnya selain sulfat dan nitrat yang berperanan dalam menentukan keasaman air hujan adalah chlorida yang banyak di Indonesia dari sumber alam gunung berapi dan laut. Distribusi rata-rata Cl- air hujan dari Gambar 7 pada musim DJF konsentrasi tertinggi 57,23-68,88
mol/L di Nusa Tenggara Barat diduga ada kaitannya dengan letusan
gunung Batur di Bali pada 1999 sampai 2000 dan gunung Batu Tara di Pulau Lembata-Laut Flores pada 17 Januari 2007 sampai 1 Januari 2008 (kontinu) (GVP, 2009). Konsentrasi yang tinggi dalam kisaran 45,59-57,23
mol/L terdapat di Sumatera Utara dan Nusa Tenggara
Timur, hal ini tentunya terkait dengan gunung Peuet Sague di Aceh yang meletus pada Desember tahun 2000 (GVP, 2009). Pada musim kemarau pengaruh penguapan laut akan memberikan sumbangan ion Clke atmosfer dan dampaknya dapat dilihat distribusi rata-rata Cl- air hujan di daerah pantai seperti Jakarta, Banjarbaru mempunyai konsentrasi 33,94-45,49
mol/L dan Mataram di 197
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Lombok-NTB dengan konsentrasi tertinggi mencapai kisaran 68,88-80,52 Konsentrasi 33,94-45,49
mol/L.
mol/L ditemukan pula di Sumatera Barat dan Selatan. Diduga
gunung berapi seperti Merapi, Talang, Kaba, Kerinci, Sumbing, Dempo, Gunung Besar dan Krakatau berpotensi menyumbangkan ion Cl- ke atmosfer. Pada Agustus 2000 terjadi letusan gunung Kaba di Sumatera Selatan juga gunung Merapi, Talang dan Kerinci di Sumatera Barat akan melepaskan gas HCl yang berdampak pada kenaikan konsentrasi Cl-. Konsentrasi Cl- juga tinggi di Kalimantan Barat diduga dampak dari meningkatnya gas-gas hasil pembakaran biomass kebakaran hutan seperti CH3Cl disamping CO2, CO, NH3, NOx, CH4, hidrokarbon lainnya dan aerosol ke udara.
Gambar 7. Distribusi rata-rata Cl- air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM, musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di Indonesia Pada Nopember 2007 gunung Talang meletus dan berdampak pada konsentrasi Cl45,59-57,23
mol/L yang tinggi di Sumatera Barat pada musim SON. Pada musim SON
pengaruh laut masih terlihat di Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat dalam kisaran konsentrasi Cl- adalah 33,94-45,49 kisaran 68,88-80,52
mol/L dan Nusa Tenggara Timur yang tinggi dalam
mol/L.
198
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Konsentrasi ( m mol/L)
80 70 60
Cl-
y = -0,0452x + 30,969 R2 = 0,0125
50 40 30 20 10 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Waktu
Gambar 8. Tren rata-rata bulanan Cl- air hujan dari tahun 2000-2008 di Indonesia Tren rata-rata bulanan Cl- air hujan berfluktuasi dengan nilai maksimum pada musim kemarau tapi juga tampak puncak konsentrasi terkadang pada musim hujan seperti terlihat pada Gambar 8. Selama kurun waktu 9 tahun dari 2000 sampai 2008 terdapat penurunan sebesar 0,0452
mol/L per bulan. Dalam kurun waktu tersebut ada 2000 sampai 2001
berflutuasi mendatar, dan menurun dratis diawal tahun 2002, tetapi bulan Juli naik secara ektrim dengan konsentrasi rata-rata bulanan sebesar 67,60 konsentrasi Cl- naik kecil sekali 0,241
mol/L. Tahun 2002 sampai 2004
mol/L per bulan, sedangkan tahun 2003 ke tahun
2004 terjadi kenaikan konsentrasi Cl- cukup tinggi yaitu 0,464
mol/L per bulan. Selanjutnya
tahun 2005 konsentrasi Cl- mulai menurun sampai 2008 dengan nilai 0,207 meskipun terdapat lonjakan konsentrasi maksimum sampai 73,54
mol/L per bulan,
mol/L pada September
-
2005. Peningkatan konsentrasi Cl yang ektrim tentunya tidak terlepas dari sumber gas HCl dari gunung berapi dan ion Cl- dari penguapan laut pada musim kemarau yang secara alam terjadi di Indonesia. 3. 1.2 Basa NH4+; ss-Ca2+ dan nss-Ca2+ Unsur basa yang berperanan sebagai penetral keasaman air hujan salah satunya adalah amonium (NH4+), yang banyak berada di atmosfer Indonesia dalam bentuk (NH4)2SO4 dan NH4NO3 aerosol atau terbentuk dari gas NH3 dari hewan atau pemupukan. Distribusi rata-rata NH4+ dalam empat musim selama 2000 sampai 2008 diperlihatkan dalam Gambar 9. Konsentrasi NH4+ tinggi terutama di musim kemarau JJA dan terdapat di Sumatera Utara sebesar 31,74-45,97 88,65
mol/L; Kalimantan Selatan 45,97-60,2
mol/L; dan tertinggi 74,42-
mol/L di Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Pada musim kemarau deposisi NH4+ air
hujan tinggi disebabkan oleh sumber aerosol (NH4)2SO4 dan NH4NO3 kecuali faktor lokal
199
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
yang menghasilkan gas NH3 di daerah pertanian dan peternakan. Produksi aerosol diperoleh dari pembakaran biomass atau kebakaran hutan dan partikel-partikel tanah.
Gambar 9. Distribusi rata-rata NH4+ air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM, musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di Indonesia Dari Gambar 10 diperlihatkan tren rata-rata bulanan NH4+ air hujan dari tahun 20002008 di Indonesia dengan kenaikan yang cukup signifikan yaitu 0,150
mol/L per bulan.
Tahun 2003, konsentrasi NH4+ air hujan turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan rata-rata tahunan yaitu 11,53
mol/L. Selanjutnya tahun 2004 konsentrasi NH4+ air hujan
rata-rata tahunan naik tajam menjadi 39,42
mol/L. Pola profil NH4+ air hujan adalah
maksimum di musim kemarau dan minimum di bulan-bulan DJF. Profil ini mirip dengan profil partikel-partikel SPM (suspended particulat matter) di permukaan (Budiwati et al., 2001; Sofiati et al., 2003).
200
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Konsentrasi ( m mol/L)
120
NH4+
y = 0,1502x + 27,208 R2 = 0,0506
100 80 60 40 20
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Waktu
Gambar 10. Tren rata-rata bulanan NH4+ air hujan dari tahun 2000-2008 di Indonesia Distribusi rata-rata nssCa2+ air hujan berdasarkan musim hujan DJF, peralihan MAM, musim kemarau JJA dan musim peralihan SON di Indonesia diperlihatkan pada Gambar 11. Konsentrasi nss-Ca2+ tinggi untuk Kalimantan Barat dan Jawa Barat, diduga berasal dari debu-debu tanah dalam Ca sulfat dan Ca nitrat aerosol di musim kemarau. Pada musim peralihan SON disamping Sumatera Selatan dengan nilai 28,76-43,06 dengan kisaran 14,47-71,65
mol/L, Jawa Barat
mol/L dan Jakarta dengan nilai 71,65-85,95
mol/L ternyata
Nusa Tenggara Timur juga mempunyai konsentrasi tertinggi yaitu 43,06-57,36
mol/L.
Wilayah Nusa Tenggara tentunya terkait dengan kondisi tanah kapur di daerah ini. Maka potensi debu-debu calsium akan memberikan kontribusi nssCa2+ pada deposisi basah. Dari Gambar 12 tren konsentrasi Ca2+ bukan berasal dari laut atau non sea salt Ca2+ (nssCa2+) dan ssCa2+ terlihat menurun dari 2000 sampai 2008 meskipun kecil yaitu 0,025 mol/L per bulan dan 0,0026
mol/L per bulan berturutan. Jadi ion Ca2+ terdiri dari non sea
salt Ca2+ (nssCa2+) dan sea salt Ca2+ (ssCa2+). Unsur Ca2+ adalah komponen terbesar dari kerak bumi (Kulshrestha et al., 2003) yaitu dapat dilihat dari nilai konsentrasi non sea salt Ca2+ (nssCa2+) bukan dari laut yang nilainya dalam kisaran 0-110,01 2+
dibandingkan dengan ssCa
2+
yaitu Ca
yang
mol/L besar sekali
berasal dari laut dalam kisaran 0,00-2,04
mol/L. Profil ion nssCa2+ berfluktuasi sekali berbeda dengan profil ssCa2+ yang menunjukkan nilai maksimum pada musim kemarau. Pada musim kemarau panjang saat ElNino 2002, kemarau 2004 dan kemarau panjang 2006, laut memberikan kontribusi yang signifikan pada konsentrasi ssCa2+.
201
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 11. Distribusi rata-rata nssCa2+ air hujan pada musim hujan DJF, peralihan MAM, musim kemarau JJA dan musim peralihan SON dari tahun 2000-2008 di Indonesia
100
2,0
ss-Ca2+
80
y (nss-Ca2+ )= -0,025x + 23,17 R² = 0,001
60
2,5
1,5 1,0
40
Waktu
2008
2007
2006
2005
2004
0,0 2003
0 2002
0,5
2001
20
ss-Ca2+ (umol/L)
y(ss-Ca2+ ) = 0,002x + 0,322 R² = 0,066
nss-Ca2+
2000
nss-Ca2+ (umol/L)
120
Gambar
12. Tren rata-rata bulanan nssCa2+ (biru) dan ssCa2+ (merah) air hujan dari tahun 2000-2008 di Indonesia
4. KESIMPULAN Keasaman air hujan di Indonesia menunjukkan nilai pH rata-rata adalah 5,05, nilai maksimum 7,75 dan minimum 2,89 selama 2000-2008. Nilai pH terburuk terjadi pada tahun 2000 dengan rata-rata 4,13 dalam kisaran 2,94-5,31. Distribusi pH air hujan ≤5,6 adalah
202
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
80,16% dengan terbanyak di kisaran 4,6-5,0 sebanyak 28% dan 5,1-5,5 sebanyak 27%. Unsur asam lebih mendominasi dibandingkan basa sehingga pH air hujan lebih asam. Kimia air hujan didominasi oleh ion Cl- merupakan cerminan pengaruh laut yang meliputi 2/3 bagian Indonesia. Pada musim kemarau ion amonium terlihat tinggi disebabkan oleh aerosol. Pulau Jawa, aktivitas manusia mempengaruhi deposisi asam terlihat adanya korelasi SO2 terhadap SO42- yang signifikan dan NO2 yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, khususnya pemakaian bahan bakar minyak. Sedangkan Kalimantan dan Sumatera mempunyai masalah kebakaran hutan yang berdampak pada deposisi asam. Secara kualitatif terlihat adanya korelasi SO2 dan NO2 dengan deposisi asam, hal ini menunjukkan adanya proses pencucian gas-gas dan aerosol di atmosfer. Sumber polutan yang ada di wilayah barat tidak menyebar ke timur karena angin barat lebih lemah dan sebaliknya akan disebarkan ke barat. Wilayah timur potensi alam gunung berapi menyebabkan terbentuknya deposisi asam di wilayah ini. Adanya peningkatan konsentrasi NO2 dan NO3 kecil dari 2000-2008 menunjukkan adanya kenaikan transportasi yang kecil pula. Hanya konsentrasi NO3- tinggi pada 2004 disebabkan kontribusi aerosol pada musim kemarau.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih ditujukan kepada PUSARPEDAL yang telah memberikan data deposisi basah untuk makalah saya ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada LAPANBandung atas fasilitas peralatan di Bandung.
Daftar Rujukan ADORC., Manual Quality Assurance/Quality Control (QA/QC), Program for Wet Deposition Monitoring in East Asia by ADORC Acid Deposition and Oxidant Research Center – Japan, 2002. Budiwati, T., Sumaryati, dan Sofiati, I., Karakteristik Ketebalan Optik Aerosol di Bandung, Kontribusi Fisika Indonesia, ISSN 0854-6878, Vol. 12, No. 4, hal. 120-126, 2001. Budiwati, T., Peningkatan Ozon Troposfer Dan Ozon Precursor (CO) Pada saat Kebakaran Hutan Tahun 2004. Buku Ilmiah LAPAN, Polusi Udara, Model dan Aplikasinya, ISBN: 978-979-1458-09-2, Nopember, 2007. Budiwati, T., dan Rachmawati, E., Potensi Pembentukan Aerosol Sulfat (SO42-) dan Nitrat (NO3-) oleh SO2 dan HNO3 di Daerah Rural SERPONG-TANGERANG, Prosiding Workshop Aplikasi Sains Atmosfer, LAPAN Bandung, ISBN: 978-979-1458-25-2, 1-2 Desember, 2008. 203
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Budiwati, T., Setyawati, W., Rachmawati, E., dan Indrawati, A., Perbandingan Sulfat dan Amonium Terhadap Nitrat Dalam Deposisi Basah, Fisika, Dinamika Dan Kimia Atmosfer Berbasis Data Satelit Dan Insitu, ISBN: 978-979-1458-58-0, 138-150, 2012. Draaijers, G., Erisman J., Lovblad G., Spranger T., and Vel E., et al., Quality and uncertainty aspects of forest deposition estimation using throughfall, stemflow and precipitation measurements, TNO Institute of Environmental Sciences, Energy Research and Process Innovation. TNO-MEP Report 98/003, 1998. Giovanni-NASA, 2009, (http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni/) GVP.,
Global
Volcanism
Program
(GVP),
downloaded,
February
18,
2009,
http://www.volcano.si.edu, 2009. Herlianto, D., Prakarsa Rakyat, Litbang Media Group, aji @ mediacorpradio.com. Kompas Cyber Media, September 11, 2006, Api yang Terus Menyala, Kompas, Jumat 24/6/2006, Kebakaran hutan di Riau, 2006. Hu, G.P., Balasubramanian, R., and Wu, C.D., Chemical characteristics of rainwater at Singapore, Atmospheric Environment, No. 51, hal 747 – 755, 2003. Kelly, N.A., The photochemical formation and fate of nitric acid in the metropolitan Detroit area: ambient, captive-air irradiation and modeling results, Atmospheric Environment, Vol. 21, No. 10, hal 2163 – 2177, 1987. Kulshrestha, U.C., Kulshrestha, M.J., Sekar, R., Sastry, G.S.R., and Vairamani, M., Chemical characteristics of rainwater at an urban site of south-central India, Atmospheric Environment, No. 37, hal 3019 – 3026, 2003. Mc. Gregor, G.R. and Nieuwolt, S., Tropical Climatology: An Introduction To The Climates Of The Low Latitudes, second edition, John Wiley & Sons, pp. 125-133, 1998. Milukaite, A., Mikelinskiene A., and Giedraitis B., Acidification of the world: Natural and Anthropogenic, Acid Rain 2000, Proceeding from the 6 th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, Vol. I, 1553-1558, 2000. Ministry of Environment-Indonesia (KLH)., State of Environment Report in Indonesia 2006, pp. 336-349, 2007. Mouli, P.C., Mohan, S.V., and Reddy, S.J., Rainwater chemistry at a regional representative urban site: influence of terrestrial sources on ionic composition, Atmospheric Environment, No. 39, hal 999 – 1008, 2005. NASA., http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=omi, 2009.
204
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Seinfeld, J.H., and Pandis, S.N., Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to Climate Change”, John Wiley and Sons. INC., New York, hal.1030-1033, 1998. Stelson, A.W., and Seinfeld, J.H., Relative humidity and temperature dependence of the ammonium nitrate dissociation constant, Atmospheric Environment, Vol.18, 983-992, 1982 Stern, A.C., Boubel, R.W., Turner D.B., and Fox L.N., Fundamentals of Air Pollution, second edition, Academic Press INC, Orlando-Florida, 35-45, 1984. Setyawati, W., dan Budiwati, T., Distribusi Spasial dan Temporal Sulfurdioksida di Atmosfer Indonesia terkait Letusan Gunung berapi Hasil Pemantauan satelit SCIAMACHY, Lingkungan Tropis Edisi Khusus, Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Lingkungan Indonesia (IATPI), Agustus 2008 (ISSN no. 1978-2713), 2008. Setyawati, W., dan Budiwati, T., Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Peningkatan Aerosol di Atmosfer Indonesia 2005-2008, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan VI-2009, Jurusan Teknik Lingkungan-ITS, Surabaya, 10 Agustus 2009, ISBN (978-60295595-0-7), 2009. Sofiati, I., Budiwati, T., dan Mulyani, H.W., Keasaman Air Hujan Di Daerah Tipe Curah Hujan-A Studi Kasus Kota Surabaya, Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, ISSN 14113082, Vol. 4, No. 2, hal. 29-37, 2003. Tabel El Nino dan La Nina., http://www.msc-c.ec.gc.ca/education/elnino/comparing/enso1950_2002_e.html). 2008
205
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS MULTIVARIAT KONSENTRASI NO, CO DENGAN OZON DI LIMA KOTA BESAR DI INDONESIA 1)
Sri Winarni 1) dan W. Eko Cahyono2) Jurusan Statistika, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Jatinangor Km 21, Sumedang 2) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung Email :
[email protected]
Abstract In urban areas various reactions are carried out in which the formation of O3 depends on the ratio of nitrogen oxides (NO ), while the effect of CO cycles is such that it slowly oxidizes nitrogen monoxide (NO) to nitrogen dioxide (NO2) and thus indirectly affects the concentration of ozone. Carbon monoxide molecules are entering the cycle of oxidation, and nitrogen monoxide (NO) is oxidized to nitrogen dioxide (NO2). The aim of this study is to apply multivariate statistical methods in determining ozone (O3) concentrations at the ground level of the troposphere as the function of pollution parameters, NO and CO. We analyzed the concentrations of CO and NO on the surface O3 concentrations in Jakarta, Bandung, Semarang, Pekanbaru and Palangkaraya in 2001 to 2007. The measurement results show that for Jakarta city an increase of 1 mg/m3 CO showed a decrease of 25.66 for O3. whereas the increase in NO has no effect on O3. In Palangkaraya in this case the value of NO remains therefore could not be included in the analysis. The concentration of CO has no effect on O3 and NO effect on O3 in Semarang, Bandung and Pekanbaru Keywords : NO, CO, O3, Multivariate Analysis
Abstrak Di daerah perkotaan berbagai reaksi terjadi di mana pembentukan O3 tergantung pada rasio nitrogen oksida (NO ), sedangkan efek dari siklus CO sedemikian rupa sehingga perlahan-lahan mengoksidasi nitrogen monoksida (NO) untuk nitrogen dioksida (NO2) dengan demikian secara tidak langsung mempengaruhi konsentrasi ozon. Molekul karbon monoksida memasuki siklus oksidasi, dan nitrogen monoksida (NO) dioksidasi menjadi nitrogen dioksida (NO2). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan metode statistik multivariat dalam mengetahui konsentrasi ozon (O3) pada tingkat dasar troposfer sebagai fungsi parameter polusi, NO dan CO. Telah dilakukan analisis konsentrasi CO dan NO terhadap konsentrasi O3 permukaan di Jakarta, Bandung, Semarang, Pekanbaru dan Palangkaraya pada tahun 2001 sampai 2007. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa untuk kota Jakarta peningkatan 1 mg/m3 CO menunjukan penurunan O3 sebesar 25.66. sedangkan peningkatan NO tidak berpengaruh terhadap O3. Di Palangkaraya dalam hal ini nilai NO tetap oleh karena itu tidak dapat dimasukkan dalam analisis. Konsentrasi CO tidak berpengaruh terhadap O3 dan NO berpengaruh terhadap O3 di Semarang, Bandung dan Pekanbaru Kata Kunci : NO, CO, O3, Analisis Multivariat
206
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
PENDAHULUAN Pemakaian bahan bakar minyak di sektor transportasi dan industri meningkat dari
tahun ke tahun seiring dengan laju pertumbuhan pembangunan terutama laju pertumbuhan kendaraan bermotor di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Efek negatif dari meningkatnya pemakaian BBM ini adalah bertambahnya zat-zat pencemar udara yang beracun dan berbahaya. Zat-zat pencemar udara seperti partikulat (PM10), senyawa organik (HC), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan ozon (O3) meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta mengganggu ekosistem. Asap kendaraan merupakan sumber utama bagi karbon monoksida di berbagai perkotaan. Data mengungkapkan bahwa 60% pencemaran udara di Jakarta disebabkan karena benda bergerak atau transportasi umum yang berbahan bakar solar terutama berasal dari Metromini. Formasi CO merupakan fungsi dari rasio kebutuhan udara dan bahan bakar dalam proses pembakaran di dalam ruang bakar mesin diesel. Percampuran yang baik antara udara dan bahan bakar terutama yang terjadi pada mesin-mesin yang menggunakan Turbocharge merupakan salah satu strategi untuk meminimalkan emisi CO. Karbon monoksida yang meningkat di berbagai perkotaan dapat mengakibatkan turunnya berat janin dan meningkatkan jumlah kematian bayi serta kerusakan otak. Karena itu strategi penurunan kadar karbon monoksida akan tergantung pada pengendalian emisi seperti pengggunaan bahan katalis yang mengubah bahan karbon monoksida menjadi karbon dioksida dan penggunaan bahan bakar terbarukan yang rendah polusi bagi kendaraan bermotor. Sudrajad, 2005). Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung dari kondisi mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan faktor lain yang semuanya ini membuat pola emisi menjadi rumit. Jenis bahan bakar pencemar yang dikeluarkan oleh mesin dengan bahan bakar bensin maupun bahan bakar solar sebenarnya sama saja, hanya berbeda proporsinya karena perbedaan cara operasi mesin. Secara visual selalu terlihat asap dari knalpot kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar, yang umumnya tidak terlihat pada kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin. Lalu lintas kendaraan bermotor, juga dapat meningkatkan kadar partikular debu yang berasal dari permukaan jalan, komponen ban dan rem. Setelah berada di udara, beberapa senyawa yang terkandung dalam gas buang kendaraan bermotor dapat berubah karena terjadinya suatu reaksi, misalnya dengan sinar matahari dan uap air, atau juga antara senyawa-senyawa tersebut satu sama lain. (Tugaswati, 2008)
207
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Proses reaksi tersebut ada yang berlangsung cepat dan terjadi saat itu juga di lingkungan jalan raya, dan adapula yang berlangsung dengan lambat. Reaksi kimia di atmosfer kadangkala berlangsung dalam sua tu rantai reaksi yang panjang dan rumit, dan menghasilkan produk akhir yang dapat lebih aktif atau lebih lemah dibandingkan senyawa aslinya. Sebagai contoh, adanya reaksi di udara yang mengubah nitrogen monoksida (NO) yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor menjadi nitrogen dioksida (NO2 ) yang lebih reaktif. (Tugaswati, 2008) Sumber pokok oksidasi adalah oksigen (O2) yang berada di atmosfer, tetapi yang berperan aktif adalah oksidator yang lebih reaktif di atmosfer seperti OH, O3, radikal hidroperoksil (HO2), Organic peroksil (RO2), H2O2 dan NO3. Meskipun jumlahnya lebih kecil dari oksigen tetapi senyawa tersebut lebih reaktif. Oksidator paling reaktif adalah OH, pengoksidasi utama senyawa CH4, NMHC, dan polutan utama seperti senyawa CO, NOx (NO + NO2), dan SO2. Jadi OH menentukan umur senyawa dan melimpahnya polutan di atmosfer. Oksidator reaktif berikutnya adalah O3 dan NO3. Radikal HO2 dan RO2 mengoksidasi NO dan NO2 dalam reaksi terbatas pada pembentukan ozon (Liu et al, 1987)
2.
DATA DAN METODE Metode yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari 3 tahap.
Inventaris data CO, NO dan O3 dari KLH pada tahun 2001-2007 di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya Pemrosesan data dengan perangkat lunak Statistica Analisis hasil untuk mengetahui besaran pengaruh CO, NO terhadap O3 dengan analisis multivariat. Selanjutnya dilakukan analisis konsentrasi CO dan NO terhadap konsentrasi O3 permukaan di Jakarta, Bandung, Semarang, Pekanbaru dan Palangkaraya pada tahun 2001 sampai 2007 dengan
menggunakan instrumen HORIBA_APMA360 dan konsentrasi ozon
permukaan diukur menggunakan instrumen UV Photometric O3 Analyzer.
208
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Jakarta Hasil analisis regresi : Predictor
Coef
SE Coef
t
P-value
Constant
104.18
13.01
8.01 0.000
CO
-25.66
12.05
-2.13 0.039
NO
-0.20
0.35
-0.56 0.579
Dengan R2 = 25.7% Dilihat dari nilai P-value di atas bahwa nilai P-value dari CO sebesar 0.039 (kurang dari alpha=5%) artinya bahwa CO berpengaruh terhadap O. Sedangkan Nilai P-value dari NO sebesar 0.579 (lebih besar dari alpha=5%) artinya NO tidak berpengaruh terhadap O3. Model regresi : tetap maka peningkatan
. Artinya bahwa jika dianggap NO 1 mg/m3 CO akan menurunkan O3 sebesar 25.66. sedangkan
peningkatan NO tidak berpengaruh terhadap O3. Nilai R2 = 25.7% artinya bahwa 25.7% keragaman dari O3 dapat dijelaskan oleh CO dan NO. Nilai ini cukup kecil ( kurang dari 75%) artinya bahwa ada variabel lain yang berpengaruh terhadap O3 tetapi tidak dimasukkan kedalam model.
Hasil Analisis Palangkaraya Hasil analisis regresi : Predictor
Coef
Constant
57.81
6.45
8.95 0.000
-14.16
15.44
-0.92 0.364
CO
SE Coef
t
P-value
2
Dengan R = 1.9%. Dalam hal ini nilai NO konstan sehingga tidak dapat dimasukkan dalam analisis. CO tidak berpengaruh terhadap O3, dengan model regresi :
Hasil Analisis Semarang Hasil analisis regresi : Predictor
Coef
SE Coef
t
P-value
Constant
20.837
2.568
8.11 0.000
CO
-0.275
1.183
-0.23 0.817
NO
0.021
0.058
0.37 0.716
209
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Dengan R2 = 0.3%, CO dan NO tidak berpengaruh terhadap O3
Hasil Analisis Bandung Hasil analisis regresi : Predictor
Coef
SE Coef
t
P-value
Constant
1.135
0.188
6.04 0.000
CO
0.00
0.00
-0.81 0.417
NO
-202.41
35.32
-5.73 0.000
Dengan R2 = 10.8%, NO berpengaruh terhadap O3
Hasil Analisis Pekanbaru Hasil analisis regresi : Predictor
Coef
SE Coef
t
P-value
Constant
1.840
2.817
0.65 0.517
CO
-0.015
1.113
-0.01 0.989
NO
0.091
0.029
3.13 0.003
Dengan R2 = 30.2%, NO berpengaruh terhadap O3 Pada analisis regresi dengan metode OLS (Ordinary Least Squares/ Metode Kuadrat Terkecil). yang dilakukan pada penelitian ini membutuhkan beberapa asumsi yang harus dipenuhi. Diantaranya residual berdistribusi normal, bersifat independen dan memiliki ragam yang homogen. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan secara periodik, hal ini memungkinkan data bersifat dependen. Data sekarang dipengaruhi oleh data sebelumnya. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah analisis regresi dengan autoregresif. Dengan demikian disarankan ada penelitian lanjutan dengan menggunakan analisis tersebut. Di daerah perkotaan berbagai reaksi terjadi di mana pembentukan O3 tergantung pada rasio nitrogen oksida (NO ), sedangkan efek dari siklus CO sedemikian rupa sehingga perlahan-lahan mengoksidasi nitrogen monoksida (NO) untuk nitrogen dioksida (NO2) dengan demikian secara tidak langsung mempengaruhi konsentrasi ozon. Molekul karbon monoksida memasuki siklus oksidasi, dan nitrogen monoksida (NO) dioksidasi menjadi nitrogen dioksida (NO2). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan metode statistik multivariat dalam mengetahui konsentrasi ozon (O3) pada tingkat dasar troposfer sebagai fungsi parameter polusi, NO dan CO. (Bauer, 2002).
210
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Konsentrasi ozon pada tingkat dasar troposfer sebagai fungsi polusi dan parameter meteorologi. PM10, SO2, NO, NO2, CO, O3, CH4, NMHC, suhu, curah hujan, kelembaban, tekanan, arah angin, kecepatan angin dan radiasi matahari diukur per jam untuk jangka waktu satu tahun untuk memprediksi konsentrasi O3 dari 1 jam .(Andri, 2013)
4.
KESIMPULAN Setelah dilakukan analisis konsentrasi CO dan NO terhadap konsentrasi O3 permukaan
di Jakarta, Bandung, Semarang, Pekanbaru dan Palangkaraya pada tahun 2001 sampai 2007 dengan menggunakan instrumen HORIBA_APMA360 dan konsentrasi ozon permukaan diukur menggunakan instrumen UV Photometric O3
Analyzer, hasil pengukuran
menunjukkan bahwa untuk kota Jakarta peningkatan 1 mg/m3 CO akan menurunkan O3 sebesar 25.66. sedangkan peningkatan NO tidak berpengaruh terhadap O3, untuk Palangkaraya dalam hal ini nilai NO konstan sehingga tidak dapat dimasukkan dalam analisis, CO tidak berpengaruh terhadap O3 dan untuk Semarang, Bandung dan Pekanbaru NO berpengaruh terhadap O3.
DAFTAR RUJUKAN Andri, E.K., Radanovi,T., Topalovi, I., Markovi, B. and SakaI, N., Temporal Variations in Concentrations of Ozone, Nitrogen Dioxide, and Carbon Monoxide at Osijek, Croatia. Hindawi Publishing Corporation Advances in Meteorology, 2013. Bauer, S.E. and Langmann, B., Analysis of a summer smog epi- sode in the BerlinBrandenburg region with a nested atmosphere—chemistry model,, Atmospheric Chemistry and Physics, vol. 2, no. 4, pp. 259–270, 2002. Liu, SC., Cox . RA, Philips LF dan Poppe D., The Changing Atmosphere, published by John Wiley and Sons Ltd, 1987. Sudrajad, A. Pencemaran Udara, Suatu Pendahuluan. Inovasi. Edisi Vol.5/XVII/November 2005. Tugaswati, A.T., Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dan Dampaknya terhadap Kesehatan. http://www.kpbb.org/makalah_ind/, 2008.
211
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PEMBENTUKAN AWAN DAN HUJAN DI PEGUNUNGAN SUMATERA BARAT Wendi Harjupa Loka Pengamatan Atmosfer Kototabang-LAPAN
[email protected]
Abstract One of the most striking ways in which topography influences the weather is in its strong local control of the rainfall distribution. The most obvious examples are the rainfall maximum on the upwind side and consistent with prevailing wind, on the other hand, another side of mountain called as rain-shadow reveive less rain. The objective of this study is to deeply understand the development of orographic cloud and precipitation in the mountainous area of West Sumatra. Mainly data were used in this study were TBB (temperature blackbody) data. The results showed that the cloud developed as convective cloud and generated isolated precipitation in the barrier of mountainous area. Winds were flowing to eastward at night time (19.00 pm) as they observed by radiosonde at Padang and Kototabang. At the same time precipitation detected at the surface by rain gauge. The intensity of clouds was decreasing when the precipitation detected at the surface. Keywords: Topography, rainfall, TBB, Padang, Kototabang. Abstrak Pengaruh topografi yang paling berperan penting terhadap cuaca adalah pengaturan pembagian curah hujan. Contoh paling nyata adalah curah hujan maksimum di sisi arah angin bertiup, di lain pihak sisi lain gunung disebut dengan daerah bayangan hujan menerima hujan lebih sedikit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk lebih mengungkap pembentukan awan dan hujan orografi di daerah pegunungan Sumatera Barat. Data utama yang digunakan pada penelitian ini adalah data temperatur awan (TBB). Temperatur awan menunjukan awan terbentuk menjadi awan konvektif dan menghasilkan hujan yang terisolasi di daerah lereng bukit. Arah angin yang di deteksi oleh pengamatan radiosonde di Padang dan Kototabang bergerak menuju barat pada malam hari (19.00 pm). Di waktu yang sama hujan terpantau di permukaan oleh raingauge. Intensitas awan berkurang ketika hujan terpantau di permukaan. Kata Kunci : Topografi, curah hujan, TBB, Padang, Kototabang.
1. PENDAHULUAN Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau terbesar di antara gugusan pulau yang di miliki Indonesia terletak di bagian barat Indonesia dan berhadapan lansung dengan Samudera India. Jajaran pegunungan yang membentang dari utara ke selatan membelah pulau Sumatera menjadi dua bagian seperti terlihat pada Gambar 1a. Sumatera Barat yang terletak di tengahtengah pulau Sumatera seperti terlihat pada Gambar 1b merupakan salah satu daerah yang dilewati oleh jajaran pegunungan. Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa sirkulasi lokal yang disebabkan oleh topografi Sumatera berperan penting dalam
212
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
pembentukan konveksi (Mori et al. 2004; Sasaki et al. 2004; Wu et al. 2003). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pegunungan terhadap pembentukan awan dan hujan di daerah pegunungan Sumatera Barat.
(a)
(b)
Gambar 1. a) Pulau Sumatra b) Lokasi penelitian (Perbedaan ketinggian setiap perbedaan warna garis adalah 500 m).
Pengaruh topografi yang sangat jelas adalah tingkat hujan yang tinggi di lereng gunung yang sejajar dengan arah angin, dan curah hujan yang sedikit di lereng gunung yang lainnya yang di sebut juga dengan daerah bayang hujan.
Gambar 2. Efek topografi (Adam et al., 2006)
Adam et al. (2006) mensimulasikan pengaruh topografi terhadap penyebaran hujan seperti terlihat pada Gambar 2. Dimana lereng yang sejajar dengan arah angin yang membawa uap air menjadi daerah basah dan daerah bayangan hujan menjadi daerah kering.
213
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2. DATA DAN METODE Data utama yang di gunakan pada penelitan ini adalah data temperatur puncak awan yang diwakili oleh temperatur benda gelap atau blackbody temperature (TBB). Data ini diperoleh dari hasil pengamatan satelit GOES-9 dengan resolusi 0.05 x 0.05 derajat (Shibagaki et al. 2006b). Selain itu data topografi Sumatera Barat diperoleh dari model elevasi digital (DEM) dengan resolusi 1 km yang dihasilkan oleh otoritas informasi geospasial, Jepang (Masaharu 2002). Data angin dari peluncuran radiosonde digunakan untuk melihat arah angin secara vertikal pada dua waktu pengamatan yang berbeda. Data XDoppler radar digunakan untuk melihat hujan secara tiga dimensi. Untuk mengetahui jumlah curah hujan yang terjadi di permukaan dan sebagai pembanding data X-Doppler radar maka digunakan data automatic rain gauge (ARG).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Proses pembentukan awan di lereng perbukitan
Gambar 3. Pembentukan awan di lereng perbukitan pada tanggal 13 April 2004 (area analisa sesuai dengan garis merah putus-putus pada Gambar 1).
Pada gambar 3 terlihat bahwa pada jam 13 LST data temperatur puncak awan (TBB) adalah sekitar 280 K. Pada jam 15 LST nilai TBB turun menjadi sekitar 220 K yang mengindikasikan terbentuknya awan. Awan - awan tersebut membentang mengikuti jalur perbukitan. Pada jam 17 LST TBB turun menjadi 200 K yang mengindikasikan awan-awan yang terbentuk tumbuh menjadi awan-awan besar. Awan yang terbentuk menyebar pada jam 19 LST.
214
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3.2 Peran angin dalam pembentukan awan dan hujan
Gambar 4. Perbedaan profil angin pada pagi dan malam hari
Gambar 4 adalah profil angin dari ketinggian 0 sampai 4 km pada pagi dan malam hari. Terlihat pada gambar bahwa angin pada jam 07 LST di Padang dan Kototabang bergerak menuju ke arah barat. Ini mengindikasikan bahwa angin laut belum berhembus pada pagi hari dimana belum terjadi perbedaan temperatur antara laut dan darat. Pada jam 19 LST terlihat pada gambar arah angin berubah menuju timur terpantau di Padang dan Kototabang. Hal ini mengindikasikan bahwa angin laut masih berhembus pada jam 19 LST.
3.3 Pengamatan hujan oleh X-Doppler radar Gambar 5a adalah curah hujan yang terpantau di permukaan oleh ARG. Terlihat terlihat dari gambar tersebut bahwa curah hujan cukup besar terjadi pada pukul 17 LST. Hujan yang terjadi di permukaan bertepatan pada saat nilai TBB turun seperti terlihat pada Gambar 5b. Hal ini dapat diartikan bahwa proses terbentuknya awan dan turunnya hujan sangatlah singkat.
215
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 5. a) Curah hujan, b) TBB, c) Radar cross section at 0.45o pada tanggal 13 April 2004. Penampang melintang radar pada jam 17 LST menunjukan bahwa hujan terjadi pada area yang tidak luas dengan echo radar yang kuat. Hal ini menandakan hujan terjadi cukup deras yang dihasilkan oleh hujan konvektif. Pada jam 20 LST hujan terpantau oleh XDR dengan lokasi yang cukup luas dan echo radar yang tidak terlalu kuat. Penyebaran awan pada daerah yang luas seperti ditunjukan oleh data TBB menyebabkan hujan berubah menjadi hujan stratiform yang menghasilkan hujan pada daerah yang luas dengan intensitas rendah. Hal ini dikarenakan tidak adanya panas matahari yang membuat proses konveksi terhenti dan mengakibatkan awan konveksi yang telah terbentuk menyebar pada daerah yang bertekanan sama. Selanjutnya pada jam 21 LST echo radar semakin luas dengan pantulan radar yang semakin lemah. Hal ini sesuai dengan hujan yang terpantau di permukaan. Dimana hujan pada jam 17 LST sangat deras, sedangkan hujan pada jam 20 dan 21 LST adalah hujan ringan.
4.
KESIMPULAN Dari hasil analisa data maka dapat di ambil beberapa kesimpulan di antaranya :
1. Awan orografi terbentuk pada saat sore hari di lereng perbukitan dimana saat angin berhembus dari laut ke pegunungan dengan membawa uap air. Uap air terangkat oleh lereng pegunungan hingga menyebabkan kondensasi yang menghasilkan awan orografi. 2. Hujan yang terjadi oleh awan-awan orografi tersebut terjadi pada skala yang kecil dan tidak luas dengan intensitas yang tinggi.
216
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada LAPAN dan semua teman atas dukungannya dalam menyelesaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Prof. T. Kozu dan Dr. T. Shimomai atas saran dan masukannya. Terima kasih juga kepada Prof Y. Fujiyoshi yang telah membantu dalam menyediakan data. XDR. Terima kasih kepada Dr. J. -I Hamada yang telah membantu menyediakan data hujan Padangpanjang.
DAFTAR RUJUKAN Adam, J. C., E. A., Clark, D. P. Lettenmaier, and E. F. Wood, Correction of global precipitation products for orographic effects, Journal of Climate 19(1): 15-38, 2006. Masaharu, H., Deviation of the formula of the Gauss-Kruger projection – an attempt to clarify required preliminary mathematical knowledge, Map 39(4), 31–37, 2002, (in Japanese). Mori, S., J. –I. Hamada, Y. I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai, and T. Sribimawati, Diurnal land-sear rainfall peak migration over Sumatra Island, Indonesia maritime continent observed by TRMM satellite and intensive rawindsonde soundings, Mon. Wea. Rev., 132, 2021-2039, 2004. Sasaki, T., P. Wu, S. Mori, J.-I. Hamada, Y.I. Tauhid, M.D. Yamanaka, T. Sribimawati, T. Yoshikane,and F. Kimura, Vertical moisture transport above the mixed layer around the mountains
in
western
Sumatra,
Geophys.
Res.
Lett.,
31,
L08106,
doi:10.1029/2004GL019730, 2004. Shibagaki, Y., T. Shimomai, T. Kozu, S. Mori, F. Murata, Y. Fujiyoshi, H. Hashiguchi, S. Fukao, Evolution of a super cloud cluster and the associated wind fields observed over the Indonesian maritime continent during the first CPEA campaign, Journal of the Meteorological Society of Japan, Vol. 84A, pp. 19--31, 2006b. Wu, P., J.-I. Hamada, S. Mori, Y.I. Tauhid, and M.D. Yamanaka, Diurnal variation of precipitable water over a mountainous area of Sumatra Island, J. Appl. Meteor., 42, 1107–1115, 2003.
217
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
KOMPOSISI CO, CH4 DAN H2O DI LAPISAN TROPOSFER TROPIS DI INDONESIA PADA SAAT TERJADINYA EL NINO DAN LA NINA Wiwiek Setyawati dan Tuti Budiwati Bidang Komposisi Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Jl Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Telp/fax: (022)6037 445/443 Email:
[email protected]
Abstract Troposphere is a layer closest to the earth surface where there is still strong influence of emission sources. This research was carried out to understand impact of dry season JJA during El Nino episodes and wet season DJF during La Nina episodes to CO, CH4 and H2O compositions in the tropical tropospheric layer above Jawa-Bali, Sumatera and Kalimantan regions. Data used in the analysis were monthly average profile obtained from AQUA/AIRS data processing downloaded from Giovanni NASA website. Analysis result showed that El Nino – La Nina events did not give significant influence to composition of tropospheric CO and CH4. There was a slight decrease in CO concentration in certain altitude level during El Nino event and the opposite during La Nina event. It indicated high influence of OH radical in controlling tropospheric CO concentration. El Nino and La Nina events gave significant influence to vertical concentration of H2O at certain altitude levels. Keywords: CO, CH4, H2O, Troposphere, El Nino-La Nina Abstrak Troposfer merupakan lapisan yang berada paling dekat dengan permukaan bumi dimana pengaruh sumber emisi masih sangat kuat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana musim kering JJA saat El Nino dan musim basah DJF saat La Nina berdampak pada komposisi CO, CH4 dan H2O di lapisan Troposfer Tropis terutama di atas wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan. Data yang digunakan dalam analisis adalah data profil rata-rata bulanan hasil pengolahan data satelit AQUA/AIRS yang diunduh dari situs Giovanni NASA. Hasil analisis menunjukkan bahwa El Nino dan La Nina tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komposisi CO dan CH4 di Troposfer. Terjadi sedikit penurunan konsentrasi CO pada tiap level ketinggian pada saat El Nino dan sebaliknya pada saat La Nina. Hal ini mengindikasikan besarnya peranan radikal OH dalam mengendalikan konsentrasi CO di Troposfer. El Nino dan La Nina memberikan pengaruh yang signifikan pada konsentrasi vertikal H2O pada level-level ketinggian tertentu. Kata kunci: CO, CH4, H2O, Troposfer, El Nino-La Nina
1. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara tropis dengan wilayah yang sebagian besar berupa lautan, curah hujan yang relatif tinggi dan matahari yang bersinar sepanjang tahun menyebabkan tingginya konsentrasi uap air (H2O) dan juga sumber utama dari radikal hidroksil (OH) di
218
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
atmosfer. Di troposfer OH merupakan oksidan utama dan juga sink dari karbon monoksida (CO) dan metan (CH4) dengan reaksi sebagai berikut (Crutzen dan Carmichael, 1993): …………………………….……………………...(1-1) ……………………………………………………..(1-2) …………………………………………………..…(1-3) ………………………………………………………(1-4) …………………………………………………..(1-5) Lapisan troposfer merupakan lapisan yang paling dekat dengan bumi dimana pengaruh sumber emisi masih sangat kuat. Beberapa wilayah di Indonesia seperti Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan memiliki karakteristik sebagai sumber emisi CO dan CH4 yang berbeda. Jawa dan Bali merupakan wilayah Indonesia dengan penduduk terpadat dengan perkiraan jumlah penduduk pada tahun 2010 sekitar 60% dari total jumlah penduduk di Indonesia (BPS, 2013) dimana pembakaran bahan bakar fosil terutama dari transportasi dan industri merupakan sumber emisi antropogenik dari CO dan CH4 yang dominan. Sedangkan Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah dengan sumber emisi CO dan CH4 yang dominan dari kebakaran hutan dan lahan dan juga CH4 yang dominan berasal dari dekomposisi lahan gambut. Musim di Indonesia dipengaruhi oleh El Nino dan La Nina yang dapat berupa kemarau yang sangat panjang atau musim basah dengan curah hujan yang sangat tinggi. Musim kemarau yang panjang memperparah kejadian kebakaran hutan dan lahan serta meningkatkan akumulasi polutan di atmosfer. Sebaliknya musim hujan yang panjang meningkatkan proses dekomposisi pada lahan gambut yang tergenang dan juga produksi radikal OH yang merupakan sink CO dan CH4 di atmosfer. Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa jauh pengaruh musim terutama pada saat kejadian El Nino dan La Nina terhadap komposisi CO, CH4 dan H2O utamanya di troposfer tengah (middle troposphere) wilayah Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan.
2. METODOLOGI Data yang digunakan dalam analisis adalah data profil rata-rata spasial bulanan konsentrasi vertikal CO (ppbv), CH4 (ppmv) dan H2O (g/kg udara kering) ascending untuk wilayah Jawa-Bali (-5,200 LS, 104,540 BT; -8,950 LS, 116,290 BT), Sumatera (6,210 LU, 94,580 BT; -6,270 LS, 109,080 BT) dan Kalimantan (4,650 LU, 108,450 BT; -4,660 LS,
219
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
119,190 BT) sebagai fungsi dari ketinggian (hPa). Maksud dari ascending adalah data yang diperoleh pada siang hari saat satelit bergerak dari Selatan ke Utara. Data yang digunakan dalam analisis berasal dari data satelit AQUA/AIRS yang diunduh dari laman Giovanni NASA (NASA Giovanni, 2013) untuk rata-rata 3 bulanan yaitu periode musim kering Juni, Juli dan Agustus (JJA) El Nino (tahun 2004 dan 2009) dan selama periode musim basah Desember, Januari dan Februari (DJF) La Nina (tahun 2006, 2008, 2009, 2011 dan 2012) seperti ditunjukkan pada tabel 1. Episode terjadinya El Nino dan La Nina berdasarkan Ocean Nino Index (ONI) dengan nilai ambang batas 0,5 dimana ONI > +0,5 menunjukkan El Nino dan ONI < -0,5 menunjukkan La Nina, sedangkan ONI dengan nilai -0,5 < 0NI < +0,5 menunjukkan episode normal (NOAA, 2013). Selain itu juga dilakukan analisis rata-rata 3 bulanan untuk periode musim kering dan musim basah normal diluar kejadian El Nino dan La Nina.
Tabel 1. Episode terjadinya El Nino dan La Nina berdasarkan Oceanic Nino Index (ONI) dengan nilai ambang batas +/-0,50C. ONI +0,5 menunjukkan El Nino dan ONI -0,5 menunjukkan La Nina. Angka berwarna merah menunjukkan kejadian El Nino, sedangkan biru La Nina. Angka berwarna hitam menunjukkan episode normal (NOAA, 2013)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Konsentrasi Vertikal CO Gambar 1. menunjukkan konsentrasi vertikal CO sebagai fungsi dari ketinggian di lapisan troposfer (905 hPa – 110 hPa) baik pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina maupun musim kering/basah normal untuk wilayah Jawa-Bali (1a&b), Sumatera (1c&d) dan Kalimantan (e&f). Secara umum konsentrasi CO menurun bersamaan
220
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini menunjukkan pengaruh sumber emisi CO yang sangat kuat di permukaan. Tabel 2 menunjukkan prosentase perbedaan konsentrasi CO pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina terhadap musim kering/basah normal untuk berbagai ketinggian di lapisan troposfer. Nilai positif menunjukkan prosentase kenaikan konsentrasi CO pada saat El Nino/La Nina dibandingkan pada saat normal, sedangkan nilai negatif menunjukkan prosentase penurunan. Tidak terlihat adanya perubahan yang signifikan antara konsentrasi CO pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina terhadap normal. Prosentase penurunan/peningkatan konsentrasi CO pada saat musim kering El Nino dibandingkan pada saat musim kering normal masing- masing adalah 0,03% - 0,97%, 0,3% - 1,5% dan 1,02% - 3,82% untuk wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menunjukkan bahwa El Nino tidak berpengaruh banyak terhadap komposisi CO di troposfer. Hal yang sama juga terlihat pada saat musim basah DJF dimana perubahan konsentrasi CO pada saat kondisi normal dibandingkan dengan kondisi La Nina juga relatif kecil yaitu berkisar 0,75% - 4,97%, 1,1% - 6% dan 0,54% - 5,86% untuk JawaBali, Sumatera dan Kalimantan Hal yang menarik adalah pada saat kejadian El Nino umumnya terjadi penurunan konsentrasi CO hampir di setiap ketinggian baik di Sumatera, Kalimantan maupun Jawa-Bali. Sedangkan pada saat La Nina justru terjadinya sebaliknya yaitu peningkatan konsentrasi CO. Produksi radikal OH yang merupakan sink dari CO di atmosfer berdasarkan persamaan reaksi kimia (1-1) - (1-3) bergantung pada temperatur, konsentrasi H2O, intensitas radiasi UV dan banyaknya CO, CH4 dan NO di atmosfer (Crutzen dan Carmichael, 1993). Pada saat musim kering El Nino intensitas radiasi UV dan konsentrasi O3 lebih tinggi dibandingkan musim kering normal sehingga produksi radikal OH pun relatif meningkat meskipun pada saat musim kering normal konsentrasi vertikal H2O diketahui relatif sama dibandingkan musim kering El Nino seperti ditunjukkan pada gambar 3.3. Berlimpahnya produksi radikal OH di atmosfer melalui persamaan kimia (1-1) hingga (1-3) pada saat El Nino dibandingkan pada saat La Nina yang menyebabkan lebih banyak CO yang teroksidasi menjadi CO2 melalui persamaan kimia (1-4).
221
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 2. Prosentase perbedaan antara nilai konsentrasi CO pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina terhadap normal (%) pada berbagai ketinggian (hPa). Nilai positif menunjukkan bahwa terjadi kenaikan konsentrasi CO pada saat musim kering El Nino/musim basah la Nina dibandingkan saat musim kering/musim basah normal, sedangkan nilai negatif menunjukkan sebaliknya. Kejadian El Nino
La Nina
Ketinggiann 905 802 618 407 300 212 110 905 802 618 407 300 212 110
Jawa0,07 -0,03 -0,40 -0,80 -0,97 -0,89 -0,70 0,75 0,02 3,83 4,97 4,76 3,71 2,57
Sumatera -0,6 -1,4 -1,8 -1,0 0,3 1,3 1,5 1,1 2,7 4,8 6,0 5,6 4,2 2,8
Kalimantan -1,02 -2,26 -3,47 -3,82 -3,06 -1,99 -1,16 -0,87 -0,54 1,95 4,75 5,86 5,17 3,70
Konsentrasi vertikal CO di troposfer untuk Sumatera, baik pada saat musim kering dan musim basah normal maupun saat kondisi El Nino-La Nina, adalah yang tertinggi, sedangkan Jawa-Bali adalah yang terendah diantara ketiga wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera melepaskan CO dalam konsentrasi yang sangat tinggi ke atmosfer. Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di wilayah Kalimantan, namun intensitas dan frekuensi kejadiannya tidak sebesar di Sumatera. Konsentrasi CO maksimum pada troposfer bawah (905 hPa) saat musim kering dan musim basah normal masing-masing adalah 114,73 ppbv (0,82 ppbv) dan 119,37 ppbv ( 0,76 ppbv) untuk Jawa-Bali, 117,11 ppbv ( 0,15 ppbv) dan 121,22 ppbv ( 1,14 ppbv) untuk Sumatera dan 115,65 ppbv (0,39 ppbv) dan 117,89 ppbv ( 0,49 ppbv) untuk Kalimantan, sedangkan saat musim kering El Nino dan musim basah (DJF) La Nina masing-masing adalah 114,65 ppbv (0,01 ppbv) dan 118,47 ppbv (0,65 ppbv) untuk Jawa-Bali, 117,78 ppbv (0,27 ppbv) dan 119,94 ppbv (0,56 ppbv) untuk Sumatera dan 116,83 ppbv (0,08 ppbv) dan118,92 ppbv (0,60 ppbv) untuk Kalimantan.
222
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3.2. Konsentrasi Vertikal CH4 Gambar 2 menunjukkan konsentrasi vertikal CH4 sebagai fungsi dari ketinggian di lapisan troposfer atas (359,0 hPa – 160,5 hPa) baik pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina maupun musim kering/basah normal untuk wilayah Jawa-Bali (2a&b), Sumatera (2c&d) dan Kalimantan (2e&f). Secara umum konsentrasi CH4 menurun bersamaan dengan bertambahnya ketinggian. Tabel 3 menunjukkan prosentase perbedaan konsentrasi CH4 pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina terhadap musim kering/basah normal untuk berbagai ketinggian di lapisan troposfer atas. Nilai positif menunjukkan prosentase kenaikan konsentrasi CH4 pada saat musim keringEl Nino/musim basah La Nina dibandingkan pada saat musim kering/musim basah normal, sedangkan nilai negatif menunjukkan prosentase penurunan.
Tabel 3. Prosentase perbedaan antara nilai konsentrasi CH4 pada saat kejadian El Nino/La Nina terhadap normal (%) pada berbagai ketinggian (hPa). Nilai positif menunjukkan bahwa terjadi kenaikan konsentrasi CH4 pada saat musim kering El Nino/musim basah La Nina dibandingkan saat musim kering/basah normal, sedangkan nilai negatif menunjukkan sebaliknya. Kejadian El Nino
La Nina
Ketinggian 359,0 260,0 160.5 359,0 260,0 160.5
Jawa-0,04 -0,07 -0,07 0,46 0,36 0,13
Sumatera 0,34 0,37 0,32 0,34 0,30 0,13
Kalimantan -0,11 -0,04 0,04 0,39 0,28 0,08
Konsentrasi vertikal CH4 sebagai fungsi dari ketinggian di lapisan troposfer atas di wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan pada saat musim kering normal dan musim kering El Nino tidak menunjukkan perubahan konsentrasi yang berarti yaitu masing-masing berkisar antara 0,04% - 0,07% untuk Jawa-Bali, 0,32% - 0,37% untuk Sumatera dan 0,04% 0,11% untuk Kalimantan seperti ditunjukkan pada gambar 2a, 2c dan 2d. Hal ini mengindikasikan bahwa musim kering El Nino tidak berpengaruh banyak terhadap komposisi CH4 di troposfer atas. Hal yang sama juga terlihat pada saat musim basah normal dan musim basah La Nina dimana perubahan konsentrasi CH4 pada saat kondisi normal dibandingkan dengan kondisi La Nina juga relatif kecil yaitu berkisar 0,13% - 0,46%, 0,13% - 0,34% dan
223
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
0,08% - 0,39% masing-masing untuk wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan seperti disajikan pada gambar 2b, 2d dan 2f. Yang menarik adalah adanya penurunan konsentrasi CH4 pada saat musim kering El Nino dibandingkan musim kering normal hampir di setiap ketinggian untuk wilayah JawaBali dan Kalimantan. Sedangkan hal yang sebaliknya ditemukan di wilayah Sumatera. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan produksi radikal OH di troposfer atas wilayah Jawa-Bali dan Kalimantan yang menyebabkan banyaknya CH4 teroksidasi menjadi radikal CH3 menurut persamaan kimia (1-5), sedangkan hal yang sebaliknya terjadi di wilayah Sumatera. Konsentrasi vertikal CH4 di troposfer atas untuk Sumatera pada saat musim basah baik kondisi normal maupun La Nina adalah yang tertinggi dibandingkan wilayah lainnya. Sumatera memiliki lahan basah (wetlands) terluas di Indonesia. Aktifitas mikroorganime pada lahan basah saat kondisi tergenang menghasilkan CH4 dalam jumlah besar dan merupakan sumber emisi CH4 alamiah terbesar. Konsentrasi CH4 maksimum pada troposfer atas (359,0 hPa) saat musim kering dan musim basah normal masing-masing adalah 1,76 ppmv (0,01 ppmv) dan 1,75 ppmv ( 0,00 ppmv) untuk Jawa-Bali, 1,76 ppmv ( 0,00 ppmv) dan 1,76 ppmv ( 0,00 ppmv) untuk Sumatera dan 1,75 ppmv (0,01 ppbv) dan 1,76 ppmv ( 0,00 ppmv) untuk Kalimantan. Sedangkan saat musim kering El Nino dan musim basah La Nina konsentrasinya masingmasing adalah 1,76 ppmv (0,00 ppmv) dan 1,74 ppmv (0,00 ppmv) untuk Jawa-Bali, 1,75 ppmv (0,01 ppmv) dan 1,75 ppmv (0,00 ppmv) untuk Sumatera dan 1,76 ppmv (0,00 ppmv) dan 1,75 ppmv (0,00 ppmv) untuk Kalimantan. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan konsentrasi yang signifikan pada troposfer atas pada ketiga wilayah tersebut, sehingga secara global dapat dikatakan bahwa konsentrasi CH4 pada lapisan troposfer atas relatif seragam.
3.3. Konsentrasi Vertikal H2O Gambar 3 menunjukkan konsentrasi vertikal H2 O sebagai fungsi dari ketinggian di lapisan troposfer (1000 hPa – 100 hPa) baik pada saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina maupun musim kering/basah normal untuk wilayah Jawa-Bali (a&b), Sumatera (c&d) dan Kalimantan (e&f). Secara umum konsentrasi H2O menurun bersamaan dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini menunjukkan pengaruh sumber emisi H2O yang sangat kuat di permukaan. Tabel 4 menunjukkan prosentase perbedaan konsentrasi H2O pada
224
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
saat kejadian musim kering El Nino/musim basah La Nina terhadap musim kering/basah normal untuk berbagai ketinggian di lapisan troposfer. Nilai positif menunjukkan prosentase kenaikan konsentrasi H2O pada saat musim keringEl Nino/musim basah La Nina dibandingkan pada saat musim kering/musim basah normal, sedangkan nilai negatif menunjukkan prosentase penurunan. Konsentrasi vertikal H2O Jawa-Bali dan Kalimantan pada saat musim kering El Nino dibandingkan musim kering normal mengalami peningkatan yang signifikan yaitu masingmasing sebesar 10,79% - 17,57% dan 5,45% - 11,13% pada level ketinggian antara 850 hPa400 hPa. Pada saat musim basah La Nina dibandingkan musim basah normal terjadi penurunan yang signifikan pada level ketinggian 500 hPa – 400 hPa dengan kisaran nilai masing-masing antara 11,45% - 12,06%, 6,94% - 12,10% dan 12,20% - 15,39%, namun pada level ketinggian antara 200 hPa – 150 hPa ditemukan adanya peningkatan yang signifikan dengan kisaran nilai masing-masing antara 12,88% - 16,67%, 9,60% - 10,71% dan 8,53% 13,79% untuk wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh kejadian El Nino/La Nina terhadap konsentrasi vertikal H2O relatif tinggi pada level troposfer bawah. Konsentrasi H2O maksimum di troposfer (1000 hPa) saat musim kering dan musim basah normal masing-masing adalah 15,22 g/kg udara kering (0,62 g/kg udara kering) dan 16,24 g/kg udara kering ( 0,28 g/kg udara kering) untuk Jawa-Bali, 15,91 g/kg udara kering ( 0,06 g/kg udara kering) dan 15,92 g/kg udara kering ( 0,30 g/kg udara kering) untuk Sumatera dan 15,34 g/kg udara kering (0,33 g/kg udara kering) dan 15,58 g/kg udara kering ( 0,35 g/kg udara kering) untuk Kalimantan. Sedangkan saat musim kering El Nino dan musim basah La Nina konsentrasinya masing-masing adalah 14,79 g/kg udara kering (0,30 g/kg udara kering) dan 16,04 g/kg udara kering (0,31 g/kg udara kering) untuk Jawa-Bali, 15,75 g/kg udara kering (0,35 g/kg udara kering) dan 15,67 g/kg udara kering (0,35 g/kg udara kering) untuk Sumatera dan 15,08 g/kg udara kering (0,19 g/kg udara kering) dan 15,41 g/kg udara kering (0,19 g/kg udara kering) untuk Kalimantan.
225
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 4. Prosentase perbedaan antara nilai konsentrasi H2O pada saat kejadian El Nino/La Nina terhadap normal (%) pada berbagai ketinggian (hPa). Nilai positif menunjukkan bahwa terjadi kenaikan konsentrasi H2O pada saat musim kering El Nino/musim basah La Nina dibandingkan saat musim kering/basah normal, sedangkan nilai negatif menunjukkan sebaliknya. Kejadian El Nino
La Nina
Ketinggian 1000 925 850 700 600 500 400 300 250 200 150 100 1000 925 850 700 600 500 400 300 250 200 150 100
Jawa2.88 4.55 10.79 17.00 17.57 17.35 15.64 7.72 -0.45 0.00 2.44 0.00 1.25 0.15 2.75 1.77 -5.89 -11.45 -12.06 0.72 7.11 12.88 16.67 0.00
Sumatera 1.02 -0.96 -1.99 0.63 -0.33 -4.03 -7.63 -2.23 -1.96 -4.55 9.09 0.00 1.46 0.78 4.43 5.75 0.23 -6.94 -12.10 -2.53 4.10 9.60 10.71 0.00
Kalimantan 1.66 3.30 5.45 8.55 10.52 11.13 7.62 0.17 -3.58 -4.14 2.44 0.00 1.07 0.24 3.50 3.12 -4.51 -12.20 -15.39 -2.70 4.81 8.53 13.79 0.00
226
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Jawa-Bali
a
b
Sumatera
c
d
Kalimantan
e
Gambar 1. Grafik konsentrasi vertikal CO beserta deviasi bakunya untuk wilayah Jawa-Bali (a & b), Sumatera (c & d) dan Kalimantan (e & f) pada saat musim kering (JJA) dan musim basah (DJF) saat tidak terjadi El Nino/la Nina (normal) dan saat terjadinya El Nino/La Nina. Diagram batang menunjukkan nilai penyimpangan bakunya.
227
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Jawa-Bali
a
b
Sumatera
c
d
Kalimantan
e
Gambar 2. Profil vertical CH4 untuk wilayah Jawa-Bali (a & b), Sumatera (c & d) dan Kalimantan (e & f) pada saat musim kering (JJA) dan musim basah (DJF) saat tidak terjadi El Nino/la Nina (normal) dan saat terjadinya El Nino/La Nina. Diagram batang menunjukkan nilai penyimpangan bakunya.
228
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Jawa-Bali
a
Sumatera
c
Kalimantan
e
Gambar 3. Profil vertikal konsentrasi H2O untuk wilayah Jawa-Bali (a & b), Sumatera (c & d) dan Kalimantan (e & f) pada saat musim kering (JJA) dan musim basah (DJF) saat tidak terjadi El Nino/la Nina (normal) dan saat terjadinya El Nino/La Nina. Diagram batang menunjukkan nilai penyimpangan bakunya.
229
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4. KESIMPULAN Kejadian El Nino dan La Nina tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komposisi CO dan CH4 di troposfer. Pada saat kejadian El Nino umumnya terjadi sedikit penurunan konsentrasi CO hampir di setiap ketinggian dengan prosentase penurunan berkisar antara 0,03% - 0,97%, 0,3% - 1,5% dan 1,02% - 3,82% untuk wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan pada saat La Nina justru terjadinya sebaliknya yaitu sedikit peningkatan konsentrasi CO pada kisaran 0,75% - 4,97%, 1,1% - 6% dan 0,54% - 5,86% untuk Jawa-Bali, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini mengindikasikan besarnya peranan radikal OH dalam mengendalikan konsentrasi CO di troposfer. El Nino memiliki pengaruh yang relatif tinggi terhadap konsentrasi vertikal H2O pada level-level ketinggian tertentu yaitu masing-masing sebesar 10,79% - 17,57% untuk Jawa-Bali dan 5,45% - 11,13% untuk Kalimantan pada level ketinggian antara 850 hPa- 400 hPa, sedangkan untuk La Nina ditemukan pada level ketinggian 500 hPa – 400 hPa dengan kisaran nilai masing-masing antara 11,45% - 12,06% untuk Jawa-Bali, 6,94% - 12,10% untuk Sumatera dan 12,20% 15,39% untuk Kalimantan.
DAFTAR PUSTAKA BPS, 2013. Penduduk Indonesia menurut provinsi tahun 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab =1, diunduh pada tgl 4 Desember 2013 Crutzen, P. J., Carmichael, G. R., Modelling the influence of fires on Atmospheric Chemistry. Fire in the environment: The ecological, Atmospheric and Climatic Importance of vegetation fires, John Wiley & Sons, England, 1993. NASA.
Giovanni.
AIRS
online
visualization
and
analysis.
http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=AIRS_Level3Month, diunduh pada November 2013 NOAA.,
ENSO
Cycle:
Recent
Evolution,
current
status
and
prediction,
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/lanina/enso_evolutionstatus-fcsts-web.pdf, 2013.
230
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PEMETAAN SPASIAL PENGARUH PROGRAM CAR FREE DAY DI JALAN DAGO TERHADAP KONSENTRASI NOX DAN PM10 DI UDARA AMBIEN 1
Zeneth Ayesha Thobarony dan 2Driejana 1 Bagian Teknik Sumber Daya Air, Departemen Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Jalan Raya Dramaga Bogor 16880 2 Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Ganesha 10 Bandung 40132 1
[email protected],
[email protected] Abstract Transportation sector is a main urban-air pollution contributor. Two main pollutants emitted by transportation sector are Nitrogen Oxide (NOx) and Particulate Matter (PM10). Car Free Day (CFD) activity is a weekly Bandung City activity which closing Djuanda Street (Dago) from automobile activity. It implies heavy traffic around CFD area. High number vehicle volume inversely to vehicle velocity. Vehicle velocity proportionally to NOx emission weight but inversely to PM10. NOx and PM10 dispersion analysis was conducted in previous research, but the limitation of used model causes spatial mapping to all CFD impacted area become impossible. Spatial mapping using ArcGis software with spatial analysis interpolation model: IDW (Inverse Distance Weighted) and Kriging. IDW determines cell values using linearly weighted combination of a set of sample points. Kriging generates an estimated surface from scattered set of points. Research result will compare the impact of without CFD (scenario 1) and without CFD (scenario 1) condition for both parameters in traffic peak hour (09.00-10.00) from 6 hours observing data. Spatial mapping result shows significant distinction between scenario 1 and scenario 2. It happens too between parameters because both have different emission weigh characteristic, respectively. The hotspot shifts between scenario 1 and scenario 2. Keywords: Car Free Day, Air Pollution, Spatial Mapping, Transportation Abstrak Sektor transportasi merupakan kontributor utama pencemar udara perkotaan. Dua polutan utama yang diemisikan oleh sektor transportasi adalah oksida nitrogen (NOx) dan Particulate Matter (PM10). Aktifitas “Car Free Day (CFD)” merupakan aktifitas mingguan Kota Bandung yang menutup Jalan Djuanda (Dago) sebagai jalur tanpa aktifitas kendaraan bermotor. Kemacetan besar terjadi disekitar area CFD. Tingginya volume kendaraan berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan. Kecepatan kendaraan berbanding lurus dengan besarnya beban emisi NOx yang diterima namun berbanding terbalik terhadap PM10. Analisa Dispersi konsentrasi NOx dan PM10 dilakukan di penelitian sebelumnya, namun keterbatasan model yang digunakan menyebabkan pemetaan spasial terhadap seluruh area yang terkena pengaruh CFD menjadi tidak mungkin. Pemetaan spasial menggunakan software ArcGis dengan metode interpolasi analisis spasial IDW (Inverse Distance Weighted) dan Kriging. IDW menentukan nilai sel menggunakan kombinasi linear tertimbang dari satu set titik sampel. Kriging memperkirakan nilai permukaan berdasarkan satu set titik tersebar. Hasil penelitian membandingkan pengaruh kondisi tanpa CFD (skenario 1) dan dengan CFD (skenario 2) untuk kedua parameter di jam puncak kemacetan (09.00-10.00) dari 6 jam data pengamatan (06.00-12.00). Hasil pemetaan spasial menunjukkan perbedaan signifikan antara skenario 1 dan 2. Begitu juga antar parameter karena memiliki karakteristik beban emisi yang berbeda. Terjadi perpindahan titik “hotspot” antara skenario 1 dan 2.
231
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Kata Kunci : Car Free Day, Pemetaan Spasial, Polusi Udara, Transportasi 1. PENDAHULUAN Sektor transportasi merupakan kontributor udama pencemar udara perkotaan. Dua polutan utama yang diemisikan oleh sektor transportasi adalah oksida nitrogen (NOx) dan Particulate Matter (PM10). Berdasarkan penelitian sebelumnya, sekitar 56,3% dari emisi NOx berasal dari kendaraan bermotor (Soedomo, 1992). Konsentrasi PM10 pada udara ambien mewakili paparan PM10 pada sumber luar ruangan. Beberapa penelitian tentang epidemiologi di Eropa menunjukkan efek yang buruk akibat paparan PM10 dan PM2.5 pada konsentrasi tertentu (Englert, 2004). Penilaian paparan dari polusi yang berasal dari transportasi sering menjadi permasalahan karena ketidakpastian yang berkesinambungan perihal agen penyebab, seperti kemungkinan dari interaksi dan efek kumulatif penting dari berbagai polutan, konsentrasi tinggi dari spasial, dan temporal variabilitas pada konsentrasi polutan. Pada 10 tahun terakhir, permodelan polusi udara menggunakan GIS dengan teknik interpolasi sudah menjadi perhatian (Briggs, 2007). Interpolasi spasial adalah teknik yang paling umum digunakan terutama yang melibatkan variabel lingkungan. Tujuan dari interpolasi adalah untuk melihat pola spasial dengan cara memprediksi nilai lokasi sampel dari lokasi titik sampel (Diem dan Comrie, 2001). Model CALINE4 dapat mengkuantifikasi dampak dari emisi kendaraan yang dirancang mampu memprediksi konsentrasi NOx dan PM10 berdasarkan aktifitas kendaraan dan parameter meteorologi (Benson, 1984). Namun model ini hanya bisa memprediksi maksimal 20 ruas jalan raya untuk sekali pemodelan dari total 79 ruas jalan raya yang terkena dampak Car Free Day (Thobarony dan Driejana, 2013). Hal ini menyebabkan area dampak aktivitas Car Free day harus dibagi menjadi 4 area. Metode ini memiliki kelemahan karena akan underestimate pada area yang saling beririsan. Oleh karena itu dibutuhkan pemetaan spasial yang dapat menggabungkan keempat area menjadi 1 peta dampak utuh. Aktifitas “Car Free Day (CFD)” merupakan aktifitas mingguan Kota Bandung yang menutup Jalan Juanda (Dago) sebagai jalur tanpa aktifitas kendaraan bermotor. Akibatnya, kemacetan besar terjadi disekitar area CFD. Metode kriging (Cressie, 2000) digunakan sebagai dasar alternatif pemetaan polusi belakangan ini. Kriging mewakili teknik yang pada dasarnya menggunakan variabel regionalisasi (Journel and Huijbregts, 1978 dalam Beelen et al., 2009). Kriging adalah
232
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
teknik regresi yang berbasis memperkirakan nilai di lokasi tidak tersampel menggunakan bobot yangm mencerminkan korelasi antara data pada dua lokasi sampel atau antara lokasi sampel dan lokasi untuk estimasi. Metode IDW (Inverse Distance Weighting) memprediksi nilai di lokasi tidak tersampel dengan menggunakan jarak pembobotan yang biasanya memberikan bobot lebih untuk titik terdekat daripada titik yang jauh (Myers, 1991).
2. DATA DAN METODE Keadaan yang ingin diteliti adalah keadaan saat CFD berlangsung (baseline) dan saat tanpa CFD. Data diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Thobarony dan Driejana (2013) yang merupakan output dari program CALINE4. Data berupa data konsentrasi grid 100 m x 100 m dan titik reseptor yang telah ditentukan sebelumnya untuk kedua kondisi. Data koordinat jalan didapatkan dari data shp ArcGis.
A D B C
Gambar 1. Pembagian peta menjadi 4 irisan
Dari 6 jam hasil pemodelan, digunakan data pukul 09.00-10.00 yang berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan konsentrasi puncak terjadi. Pemodelan kualitas udara dapat dilakukan dengan bertukar data antara ArcGis dan sistem independen simulasi kualitas udara (Matejicek, 2005), yang mana disini sistem independen lain yang digunakan adalah CALINE4. Data konsentrasi grid dan reseptor PM10 dan NOx untuk kedua kondisi diimpor menjadi file shp dengan jenis atribut tabel float. Data konsentrasi ini bersama dengan data jalan kemudian menjadi input untuk interpolasi kriging dan IDW. Setelah proses interpolasi selesai dihasilkan output 4 gambar hasil interpolasi kriging dan 4 gambar hasil interpolasi IDW. Kedelapan gambar ini dianalisis perbedaan pola dispersinya, konsentrasi tertinggi yang dicapai serta dibandingkan dengan hasil model CALINE4 terdahulu untuk mendapatkan kesimpulan interpolasi mana yang paling baik. 233
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode interpolasi IDW dan kriging menghasilkan hasil yang berbeda satu sama lain untuk kedua parameter dan kedua kondisi.
(a)
(b)
Gambar 2. Dispersi NOx menggunakan Kriging (a) kondisi baseline dan (b) tanpa CFD Lokasi berkonsentrasi NOx tinggi saat kondisi baseline dan tanpa CFD ada pada area Gazibu (Gbr. 2 dan 3). Terjadi pergeseran area berkonsentrasi rendah dari Juanda pada kondisi baseline menjadi bagian barat dan timur Juanda. Pada metode kriging, konsentrasi tertinggi lebih besar sedikit pada kondisi tanpa CFD, yaitu 54,56 µg/m3.
(a)
(b)
Gambar 3. Dispersi NOx menggunakan Kriging (a) kondisi baseline dan (b) tanpa CFD
Untuk metode IDW, konsentrasi NOx tertinggi lebih besar pada kondisi tanpa CFD juga (112,88 µg/m3) namun area berkonsentrasi tinggi pada kondisi baseline lebih luas. Untuk parameter NOx, kedua metode tidak menghasilkan perbedaan luas area konsentrasi tinggi secara signifikan.
234
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b)
Gambar 4. Dispersi PM10 menggunakan IDW (a) kondisi baseline dan (b) tanpa CFD Pergeseran area berkonsentrasi tinggi juga terjadi pada konsentrasi PM10 (Gbr. 4 dan 5) yang pada kondisi tanpa CFD terpusat di Juanda dan pada kondisi baseline menyebar disekitarnya. Sama halnya dengan hasil interpolasi kriging, konsentrasi tertinggi ada pada kondisi tanpa CFD, 94,68 µg/m3 (Gbr. 3) dan 135,9 µg/m3 (Gbr. 4). Untuk parameter PM10, kedua metode tidak menghasilkan perbedaan luas area konsentrasi tinggi secara signifikan.
(a)
(b)
Gambar 5. Dispersi PM10 menggunakan Kriging (a) kondisi baseline dan (b) tanpa CFD
235
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 1: Perbandingan konsentrasi tertinggi antar metode interpolasi dan CALINE4 Konsentrasi tertinggi (µg/m3) Kondisi
Parameter
IDW CALINE4 Kriging
(Inverse Distance Weighted)
NOx
56,44
48,92
56,44
PM10
64,10
63,27
63,89
Tanpa
NOx
75,26
54,56
112,88
CFD
PM10
136,50
94,68
135,9
Baseline
Berdasarkan Tabel 1, hasil interpolasi kriging menunjukkan konsentrasi tertinggi paling kecil diantara hasil CALINE4 dan interpolasi IDW. Sementara itu, hasil konsentrasi tertinggi CALINE4 dan interpolasi IDW hampir serupa kecuali untuk kedua kondisi dan kedua parameter kecuali pada parameter NOx kondisi tanpa CFD. Dengan perbandingan terhadap model CALINE4, metode interpolasi IDW lebih baik dalam memprediksi konsentrasi puncak untuk kedua parameter konsentrasi. Pada CALINE 4, konsentrasi NOx dan PM10 tertinggi pada kondisi tanpa CFD sebesar 75,26 µg/m3 dan 136,50 µg/m3. Perhitungan konsentrasi untuk beberapa area pada CALINE 4 menghasilkan konsentrasi yang lebih kecil disebabkan konsentrasi area berhimpit tidak diakumulasikan. GIS merupakan alat yang baik untuk memodelkan paparan. Namun kemampuan hanya dapat memodelkan permukaan saja (Briggs, 2007). Salah satu kelemahan metode interpolasi adalah asumsi naif yang diragukan mengenai distribusi spasial polusi pada udara ambien. Pada kenyataannya, pola spasial dari polusi udara lebih kompleks dari asumsi yang dilakukan, terlebih pad a lingkungan perkotaan yang mana pola dispersi juga ditentukan dari bentuk bangunan (Briggs, 2005) Metode Kriging lebih kompleks dan digunakan lebih luas dari pada metode IDW, dan beberapa studi perbandingan (Leenaers et al., 1990) menemukan bahwa kriging lebih baik daripada IDW. Namun pada hasil penelitian ini ditemukan metode IDW lebih baik karena kriging cenderung menampilkan hasil yang underestimate.
236
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4. KESIMPULAN Terjadi perbedaan dispersi dan konsentrasi puncak antara kedua kondisi baik untuk konsentrasi NOx dan PM10. Kondisi tanpa CFD memiliki konsentrasi puncak 11,5 sampai 100 % lebih tinggi untuk kedua parameter konsentrasi jika dibandingkan dengan kondisi baseline. Secara dispersi konsentrasi, hasil model CALINE4 dan interpolasi ArcGis tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Perbedaan signifikan terjadi dalam perhitungan konsentrasi tertinggi tiap kondisi. Konsentrasi tertinggi yang paling mendekati kesamaan dengan model CALINE4 dicapai dengan metode interpolasi IDW pada ArcGis. Metode Kriging cenderung bersifat underestimate.
DAFTAR RUJUKAN Beelen, R., Hoek, G., Pebesma, E., Vienneau, D., Hoogh, K., Briggs, D.J., Mapping of Background Air Pollution at a Fine Spatial Scale across the European Union. Science of the Total Environment 407:1852 – 1867, 2009. Benson, P., CALINE 4-A Dispersion Model for Predicting Air Pollutant Concentrations Near Roadways. California Department of Transportation,: Sacramento, CA, 1984. Briggs, D. J., The Use of GIS To Evaluate Traffic-Related Pollution. Occup Environ Med 64: 1-2, 2007. Briggs, D. J., The Role of GIS:Coping With Space (and Time) in Air Pollution Exposure Assesment. Journal of Toxicology and Environ. Health,
Part A:Current Issues,
2005. Cressie, N., Geostatistical Methods for Mapping Environmental Exposures. Spatial Epidemiology. Oxford: Oxford University Press p.185-204, 2000 Diem, J. E., Comrie, A.C., Predictive Mapping of Air Pollution Involving Sparse Spaial Observations. Environmental Pollution 119:99-117, 2002. Englert, N., Fine particles and human health – a review of epidemiological studies. Toxicology Letters 149, 235-242, 2004 Leenaers, H., Okx, J. P., Burrough, P. A., Comparison of Spatial Prediction Methods for Mapping Floodplain Soil Pollution. Catena 17 (6), 535-550, 1990 Matejicek, L., Spatial Modelling of Air Pollution in Urban Areas with GIS: A Case Study on Integrated Database Development. Advances in Geosciences, 4, 63-68, 2005 Myers, D.E., Interpolation and Estimation with Spatially Located Data. Chemometrics and Intelligent Laboratory Systems 11, 209-228, 1991.
237
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Soedomo, Moestikahadi., Kumpulan Karya Ilmiah Pencemaran Udara. Penerbit ITB: Bandung, 2003. Thobarony, Z. A., Driejana., Modelling the Influence of Car Free Day (CFD) on NO2 and PM10 Ambient Concentration in Bandung, Indonesia. The 10th International Conference East Asian Society Transportation Studies Proceeding, 2013.
238
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGEMBANGAN MODEL KERAPATAN SPASIAL SAMPAH ANTARIKSA: KAITANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI Abdul Rachman Pusat Sains Antariksa LAPAN
[email protected],
[email protected]
Abstrak Hambatan atmosfer menyebabkan terjadinya aliran massa dalam populasi sampah antariksa sehingga menimbulkan variasi kerapatan spasial di berbagai interval ketinggian. Dalam studi ini, telah dikembangkan sebuah model kerapatan spasial sampah antariksa dari ketinggian 200 km hingga 1000 km dengan interval 100 km. Tahap awal rancangan dilakukan dengan berbagai penyederhanaan dari segi aktivitas matahari dan geomagnet, model kerapatan atmosfer, dan karakteristik populasi dan anggotanya. Simulasi 10000 anggota populasi telah dilakukan dengan kerapatan spasial awal yang sama untuk semua interval ketinggian namun pada fase aktivitas matahari dan koefisien balistik populasi yang berbeda-beda. Hasilnya pada profil kerapatan terhadap waktu menunjukkan adanya kecenderungan profil diawali dengan peningkatan kerapatan (setelah awalnya menurun untuk ketinggian < 400 km) di semua interval ketinggian kecuali di 900-1000 km sebelum akhirnya menurun secara drastis. Variasi kerapatan terhadap aktivitas matahari tampak signifikan pada ketinggian kurang dari 500 km terutama pada populasi dengan koefisien balistik yang kecil. Kata Kunci : hambatan atmosfer, populasi sampah antariksa, aktivitas matahari Abstract Atmospheric drag causes a mass flow in the population of space debris resulting in a spatial density variation in different altitude intervals in the population. In this study, we have developed a model of spatial density of space debris from altitude of 200 to 1000 km with 100 km intervals. The initial phase of the design contains a variety of simplification in terms of solar and geomagnetic activity, atmospheric density model, and characteristics of the population and its members. A simulation of 10000 members of the population has been conducted with the same initial density for all intervals but with different phases of solar activity and ballistic coefficients. The result on the density profile versus time showed a tendency of the profile to increase in the beginning (after initial decline for the altitude < 400 km) in all intervals except in the 900-1000 km altitude before finally decreases dramatically. Solar activity effect on variations of the density seems significant at an altitude of less than 500 km, especially in populations with a small ballistic coefficient. Keywords : atmospheric drag, space debris population, solar activity
239
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Katalog benda-benda antariksa buatan berukuran di atas 10 cm menunjukkan bahwa jumlah benda-benda tersebut telah mendekati 17 ribu buah (Space-Track, 2013). Bendabenda ini mengorbit mulai dari ketinggian di bawah 200 km hingga ratusan ribu km. Hampir separuhnya yakni sekitar 47% berada di ketinggian kurang dari 1000 km di mana kerapatan atmosfernya cukup padat. Partikel-partikel atmosfer ini akan terus-menerus menghambat gerak benda sehingga energi dan ketinggiannya terus berkurang dan akhirnya jatuh ke Bumi. Hambatan udara mengakibatkan turunnya ketinggian benda-benda buatan di orbit rendah. Akibatnya, terjadi aliran massa dalam populasi sampah antariksa (yang mendominasi populasi benda buatan) dari posisi yang lebih tinggi ke posisi yang lebih rendah. Implikasinya adalah terjadinya variasi kerapatan spasial di berbagai interval ketinggian dalam populasi tersebut. Studi menggunakan data Satellite Space Report (SSR) yang dipublikasikan oleh United States Space Command (USSPACECOM) menunjukkan bahwa sejak awal 2009 (awal siklus matahari ke-24) hingga pertengahan 2013 terjadi peningkatan kerapatan spasial di beberapa interval ketinggian khususnya di ketinggian 600 – 700 km (Gambar 1).
Gambar 1 : Peningkatan jumlah populasi sampah antariksa pada ketinggian 600 – 700 km (Rachman, 2013). Garis tegak berwarna merah menunjukkan awal 2013. Peningkatan kerapatan spasial akan berkonsekuensi pada meningkatnya probabilitas tabrakan antar benda di wilayah tersebut. Mengingat berbagai kerugian yang mungkin terjadi jika terjadi tabrakan, dibutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara aktivitas matahari (yang sangat berperan pada variasi kerapatan atmosfer) dan kerapatan
240
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
spasial benda-benda antariksa. Pembuatan model yang menjadi tujuan studi ini adalah salah satu langkah untuk meningkatkan pemahaman tersebut. 2. METODOLOGI Model yang dikembangkan pada studi ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh aktivitas matahari secara khusus pada populasi sampah antariksa di ketinggian 200 hingga 1000 km. Karena hanya memperhitungkan variasi akibat aktivitas matahari maka tidak ada faktor penambah dalam populasi (misalnya peluncuran dan fragmentasi) yang diperhitungkan dan hanya peluruhan (decay) yang diperhitungkan sebagai faktor pengurang (sinks).
Gambar 2 : Rancangan model yang dikembangkan dalam studi ini. Model peluruhan tertentu digunakan untuk memperoleh ketinggian benda-benda di populasi berikutnya berdasarkan karakteristik populasi sebelumnya. menyatakan kerapatan populasi. Secara sederhana, rancangan model diperlihatkan pada Gambar 2. Populasi sampah antariksa yang ditinjau berawal pada saat t = 0 yang disebut sebagai populasi awal. Dalam proses perhitungan, populasi awal ini menjadi populasi ke-(n = 1). Setiap populasi terdiri dari 8 klas ketinggian dengan interval 100 km. Setiap klas bisa bervariasi kerapatannya di mana jumlah anggotanya ditentukan oleh jumlah total populasi. Untuk populasi awal, variasi kerapatan tiap klas ketinggian dinyatakan dalam fungsi kerapatan 0. Dari segi karakteristik benda, penyederhanaan dilakukan dengan menjadikan semua orbit berupa lingkaran dengan tidak memperhitungkan orientasinya sehingga hanya parameter ketinggian yang perlu diperhitungkan. Meskipun demikian, massa dan luas permukaan efektif (perkalian antara luas permukaan benda yang tegak lurus dengan vektor kecepatan dan koefisien hambatan) benda-benda dalam populasi awal dapat divariasikan 241
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
walau nilainya diseragamkan untuk semua benda. Rasio massa dan luas permukaan efektif adalah koefisien balistik (BC) yang dinyatakan dalam satuan kg/m2. Ketinggian setiap benda dalam interval tertentu pada populasi awal ditentukan secara acak memakai distribusi seragam memanfaatkan fungsi randi pada Matlab R2011b. Ketinggian setiap benda di populasi berikutnya ditentukan setelah waktu tertentu (misalnya 1 hari atau 1 bulan) setelah populasi sebelumnya. Besar peluruhan ketinggian yang terjadi dihitung memakai teknik yang terdapat pada Kennewell (1999) yang memakai model atmosfer yang telah memperhitungkan aktivitas matahari (dalam indeks F10.7) dan geomagnet (dalam indeks Ap) sesaat (statis). Besar peluruhan ketinggian bisa dihitung dari persamaan hubungan antara kerapatan atmosfer, ketinggian benda, dan koefisien balistik dengan laju berkurangnya periode benda. Teknik yang digunakan oleh Kennewell (1999) ini berlaku untuk ketinggian hingga 500 km tapi pada studi ini model tersebut digunakan hingga ketinggian 1000 km. Pendekatan ini dianggap sudah mencukupi untuk studi ini meskipun berakibat pada menurunnya akurasi model. Pengaruh variasi aktvitias matahari dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengasumsikan variasi aktivitas matahari berperilaku menurut fungsi sinusoidal dengan puncaknya pada 200 sfu. Kedua, memungkinkan populasi awal berada pada fase aktivitas matahari tertentu (misalnya = 0 saat matahari minimum, 0.5 saat matahari maksimum). Adapun aktivitas geomagnet digunakan nilai rata-ratanya saja yakni Ap = 0 (Vallado, 2001). Rancangan model diimplementasikan dengan Matlab R2011b lalu dilakukan simulasi. Hasil simulasi kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan hasil pengolahan data empiris berdasarkan file Satellite Situation Report (SSR) dari United States Space Command (USSPACECOM) sejak akhir 2008 hingga Juli 2013 (Rachman, 2013). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Simulasi 10000 anggota populasi dilakukan dengan kerapatan spasial awal yang sama untuk semua interval ketinggian namun pada fase aktivitas matahari ( = 0, 0.2, dan 0.5) dan koefisien balistik (BC) populasi yang berbeda-beda (50, 100, dan 500 kg/m2).
242
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3 : Kerapatan spasial populasi sampah antariksa hasil pemodelan dengan koefisien balistik 50 kg/m2. menyatakan fase aktivitas matahari. Profil kerapatan terhadap waktu menunjukkan adanya kecenderungan profil tersebut diawali dengan peningkatan kerapatan di semua interval ketinggian kecuali di 900 – 1000 km sebelum akhirnya menurun secara drastis. Variasi kerapatan terhadap aktivitas matahari tampak signifikan pada ketinggian < 500 km terutama pada populasi dengan koefisien balistik kecil (Gambar 3). Hasil yang diperoleh menunjukkan kecenderungan yang menyerupai hasil yang didapatkan dari pengolahan data SSR (Gambar 4) yakni 1) ada kecenderungan terjadi peningkatan kerapatan spasial seiring meningkatnya aktivitas matahari khususnya di atas ketinggian 400 km, 2) profil untuk ketinggian < 400 km diawali dengan penurunan. Namun, menurut hasil simulasi semua benda telah jatuh dalam waktu kurang dari 2 tahun yang berbeda dengan hasil pengolahan data empiris. Awalnya diyakini bahwa pemberlakukan model kerapatan atmosfer yang digunakan dalam studi ini hingga ketinggian 1000 km adalah faktor utama terjadinya perbedaan tersebut. Namun, belakangan disadari bahwa nampaknya ada faktor lain yang lebih menentukan.
243
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 4 : Pertumbuhan populasi benda antariksa buatan dari ketinggian 200 hingga 800 km yang dibandingkan dengan aktivitas matahari (dalam rata-rata bulanan F10.7) sejak akhir 2008 hingga Juli 2013. Garis tegak berwarna merah menunjukkan awal 2013 (Rachman, 2013). Model atmosfer yang digunakan dalam studi ini memberikan kerapatan yang lebih rendah dibanding model yang lebih akurat yang berbasis MSISE-90 untuk ketinggian di atas 700 km (Gambar 5). Konsekuensinya adalah benda berketinggian awal di atas 950 km, misalnya, seharusnya jatuh lebih lama menurut perhitungan model ini dibanding MSISE90. Menurut MSISE-90, benda berketinggian 950 km dan BC 20 kg/m2 paling cepat jatuh ke Bumi setelah 200 tahun. Akan tetapi, model yang dikembangkan dalam studi ini menunjukkan bahwa semua benda (termasuk yang berketinggian awal di atas 950 km) dengan BC 50 kg/m2 (lebih padat dibanding 20 kg/m2 sehingga seharusnya lebih lama di orbit) telah jatuh dalam waktu kurang dari 2 tahun. Nampaknya ada kekeliruan pada implementasi program.
244
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 5 : Perbandingan kerapatan atmosefer yang digunakan dalam studi ini (kiri) dengan model MSIS (kanan [Wertz, 2006]) untuk tingkat aktivitas matahari yang berbeda-beda. Terlepas dari kelemahan model yang dikembangkan dalam studi ini dan kemungkinan kesalahan pada implementasi program, adanya kesesuaian kecenderungan hasil yang diperoleh dengan pengolahan data empiris sangat menarik untuk diperhatikan. Studi lebih lanjut memakai model yang lebih realistis (termasuk model atmosfernya) dan perbaikan implementasi program perlu dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Studi lanjutan tersebut diharapkan bisa menunjukkan sejauh apa peran aktivitas matahari dalam membentuk profil kerapatan spasial sampah antariksa di berbagai interval ketinggian melalui aliran massa dalam populasi sampah antariksa tersebut. 5
KESIMPULAN
Jumlah sampah antariksa cenderung semakin meningkat sehingga berakibat pada meningkatnya pula probabilitas tabrakan antar benda antariksa buatan. Model yang dikembangkan dalam studi ini, meskipun banyak disederhanakan dari aspek cuaca antariksa maupun karakteristik populasi sampah antariksanya, berhasil menghasilkan profil perubahan kerapatan spasial sampah antariksa yang menyerupai kecenderungan yang diperoleh dari pengolahan data empiris benda-benda buatan sejak awal siklus matahari ke24. Penyederhanaan model kerapatan atmosfer adalah salah satu faktor yang mempengaruhi akurasi model yang dikembangkan ini di samping kemungkinan adanya kesalahan implementasi program yang diduga menjadi faktor utama.
245
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
DAFTAR RUJUKAN Kennewell, J., Satellite Orbital Decay Calculations, The Australian Space Weather Agency, 1999. Rachman, A., Analisis Populasi Sampah Antariksa di Sekitar Puncak Aktivitas Matahari Siklus ke-24, Evaluasi 1 Penelitian 2013, Pusat Sains Antariksa LAPAN, 2013. Space-Track, www.space-track.org, diakses Nopember 2013. Vallado, David A., Fundamentals of Astrodynamics and Applications. Space Technology Library, Microcosm Press, El Segundo, CA, 2001. Wertz, J. R., Orbital Properties and Terminology, Mission Geometry – Orbit and Constellation Design and Management, Bab 2, Microcosm Press, 2006.
246
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
GELOMBANG MORETON DAN SEMBURAN RADIO YANG TERKAIT DENGAN FLARE TANGGAL 24 OKTOBER 2013 Agustinus Gunawan Admiranto Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
[email protected]
Abstrak Gelombang Moreton adalah sebuah peristiwa penjalaran gelombang di kromosfer matahari yang sering terjadi setelah peristiwa flare. Peristiwa gelombang Moreton ini sering dihubungkan dengan peristiwa gelombang EIT walaupun tempat berlangsung dan mekanisme fisisnya tampak berbeda. Dalam hubungan ini, didapat bahwa pada tanggal 24 Oktober 2013 pukul 0020 UT terjadi peristiwa flare dengan kelas M9. Peristiwa flare ini kemudian diikuti dengan semburan radio tipe II dan III. Selanjutnya dilakukan analisis citra matahari yang diambil pada panjang gelombang Hα untuk melihat adanya gelombang Moreton yang menjalar di angkasa matahari tersebut. Dengan melihat beberapa gambar yang diambil secara berurutan bisa dilihat adanya gelombang yang menjalar yang kemudian dengan melihat muka gelombang pada setiap gambar bisa dihitung kecepatan penjalaran gelombang tersebut. Dari perhitungan yang dilakukan pada peristiwa penjalaran gelombang Moreton menunjukkan bahwa kecepatannya adalah sekitar 700 km/detik. Analisis pada semburan radio tipe II dilakukan dengan menghitung pergeseran frekuensi yang terdapat dalam citra spektrograf radio yang diperoleh untuk tanggal yang bersangkutan. Dari analisis semburan radio ini didapat bahwa kecepatan pancaran gelombang adalah sebesar 1000 km/detik. Analisis pada semburan radio matahari dan pancaran gelombang Moreton menunjukkan bahwa peristiwa flare ini bisa menjadi sumber kedua peristiwa tersebut. Kata Kunci : gelombang Moreton – citra Hα - kromosfer – semburan radio tipe II dan III Abstract Moreton wave is a wave propagation phenomenon which occurs in the chromosphere which often happen after the occurence of flares. This Moreton wave phenomena is also sometimes associated with EIT wave phenomena although the locations of thore phenomena are different. In this respect, an M9 flare occured on October 24, 2013 which subsequently followed by type II and III solar radio bursts. To see whether there was a Moreton wave or not, a sequence of solar images taken in Hα were analyzed. It was concluded that there was indeed a wave occured and from the time of occurence of a certain wavefront the speed of the wave propagation can be determined. It was found that the speed is about 1500 km/sec. Radio bursts analysis was carried out by calculating the frequency drift in radio spectrograph image in the designated day. The calculation showed that the speed of the burst is about 1000 km/sec. From these analyses it was shown that this flare is the source of both phenomena. Keywords: Moreton wave - Hα images – chromosphere – type II and III solar radio burst
247
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Peristiwa flare yang berlangsung di atmosfer matahari sering disertai dengan peristiwa lain seperti munculnya semburan radio tipe II atau tipe III dan munculnya gelombang Moreton. Sekarang fenomena gelombang Moreton ini semakin banyak menarik perhatian karena masih ada beberapa masalah yang belum terpecahkan terkait dengan fenomena ini. Gelombang Moreton diamati dalam bentuk gangguan yang menjalar di daerah kromosfer yang teramati dalam panjang gelombang Hα. Terkait dengan yang disebutkan di atas, pada pukul 0030 UT tanggal 24 Oktober 2013 terjadi ledakan flare di daerah aktif NOAA 11877 dengan kelas M9. Setelah peristiwa flare ini, terjadi peristiwa semburan tipe II dan III. Tulisan ini mencoba menelaah peristiwa gelombang Moreton yang tampak muncul dalam citra Hα dengan menghitung kecepatan penjalarannya dan dibandingkan dengan kecepatan pancaran semburan radio yang muncul akibat peristiwa flare tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat apakah flare itu memang bisa mengakibatkan munculnya gelombang Moreton. 2. TINJAUAN PUSTAKA Di atmosfer matahari banyak terjadi peristiwa penjalaran gelombang akibat ledakan flare atau pelontaran massa korona. Dalam hal ini, yang cukup menonjol adalah peristiwa pancaran gelombang EIT dan pancaran gelombang Moreton. Beberapa peneliti mencoba melakukan analisis pada gangguan di atmosfer matahari setelah peristiwa flare atau pelontaran massa korona terjadi, terutama pada panjang gelombang Hα karena mereka masih belum mendapatkan kepastian apakah gelombang Moreton disebabkan oleh flare, atau pelontaran massa korona, atau keduanya (Temmer et al. 2009). Gelombang ini bergerak menjalar di kromosfer dengan kecepatan 500-1000 km/detik (Warmuth et. al. 2004). Menurut Uchida (1968), gelombang Moreton adalah
perpotongan antara
gelombang kejut mode cepat yang menjalar di korona dengan kromosfer yang mengalami penekanan dan terdorong ke bawah akibat adanya tekanan dari gelombang kejut itu. Uchida (1968) melakukan analisis pada peristiwa ledakan flare yang kemudian memancarkan gelombang ke daerah kromosfer dan korona. Dia melihat bahwa gejala gelombang Moreton berasal dari tumbukan ledakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh flare tersebut dengan kromosfer. Gelombang kejut yang datang dari flare adalah sebuah gelombang bola yang tumbukannya dengan kromosfer menghasilkan daerah-daerah yang 248
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
mengalami pemampatan yang kemudian tampil sebagai perubahan pola intensitas yang menjalar. Temmer et al (2009) melakukan analisis pada pancaran gelombang Moreton yang berlangsung setelah peristiwa flare dengan kelas 3B/X 3.8 yang terjadi pada tanggal 17 Januari 2005. Mereka mendapatkan bahwa peristiwa gelombang Moreton ini lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh flare daripada peristiwa pelontaran massa korona yang menyertainya.
Akan tetapi, Muhr et al (2010) yang melakukan analisis pada peristiwa
flare kelas X 4B/17.2 yang berlangsung pada tanggal 28 Oktober 2003 menyatakan bahwa gelombang Moreton yang muncul sesudahnya diakibatkan oleh flare tersebut. Sehubungan dengan itu, maka telaah ini mencoba melihat hubungan gelombang Moreton dengan peristiwa flare dan pancaran gelombang radio. Diharapkan di sini akan ada pemecahan lebih lanjut tentang masalah di atas. 3. DATA DAN METODE Data peristiwa flare yang berlangsung pada tanggal 24 Oktober 2013 ini adalah pengamatan flare yang diambil menggunakan wahana Hinode. Kemudian data matahari yang dipakai adalah data pengamatan matahari dalam panjang gelombang Hα dari situs Global Oscillation Network Group (GONG), National Solar Observatory, dan data pengamatan semburan radio matahari tipe II dan tipe III dari Culgoora Observatory, Bureau of Meteoroly, Australia. Di sini dipakai data pengamatan matahari dalam panjang gelombang Hα karena gelombang Moreton adalah gelombang yang menjalar di lapisan kromosfer yang teramati dengan jelas dalam panjang gelombang Hα. Daerah aktif yang terkait dengan peristiwa flare ini adalah daerah aktif NOAA 11877 seperti terlihat di Gambar 1 dibawah yang ditunjukkan dengan anak panah.
249
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1: Tanda panah menunjukkan daerah aktif di matahari yang menjadi sumber peristiwa flare yang kemudian memicu gelombang Moreton dan semburan radio matahari. Data GONG yang dipakai adalah data citra matahari yang diambil setiap menit sehingga apabila ada materi yang bergerak hal ini bisa kelihatan pada citra yang dilihat secara berurutan. Gerakan materi ini kemudian ditafsirkan sebagai adanya gelombang Moreton. Kemudian kecepatan gerakan gelombang bisa dihitung dari perpindahan posisi muka gelombang pada beberapa gambar berurutan. Dalam kasus tanggal 24 Oktober ini, setelah peristiwa flare terjadi pada citra data GONG diamati adanya peningkatan intensitas yang menjalar dari mulai dari menit ke 2 sampai dengan menit ke 6 setelah ledakan flare. Dari sini kecepatan penjalaran gelombang kemudian dihitung dan didapat bahwa gelombang tersebut menjalar dengan kecepatan sekitar 1600 km/detik. Gambar 2 di bawah menunjukkan pola penjalaran gelombang Moreton tersebut.
250
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2: Pola penjalaran gelombang Moreton yang muncul setelah terjadi flare pada tanggal 24 Oktober 2013 pukul 0030 UT. Tempat berlangsungnya flare dan munculnya gelombang Moreton ditunjukkan dengan tanda panah dai diperbesar di bagian kanan atas gambar. Selanjutnya, semburan radio matahari yang terkait dengan peristiwa ini ditelaah lebih lanjut untuk melihat kecepatan pancaran gelombang yang diakibatkan oleh semburan tersebut. Dalam hal ini, yang dipakai adalah peristiwa semburan radio matahari tipe II yang diamati di Culgoora Observatory, Australia sebagaimana terlihat di Gambar 3. Menggunakan teknik pengukuran kecepatan yang dipakai di Culgoora Observatory ini didapat bahwa kecepatan partikel akibat adanya semburan radio ini adalah sekitar 1500 km/detik. Kedua perhitungan di atas menunjukkan bahwa pancaran flare ini mengakibatkan adanya dua peristiwa yang berlangsung serentak dan bergerak dengan kecepatan yang hampir sama yaitu gerakan gelombang Moreton dan semburan radio tipe II. Adanya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kesalahan dalam pengukuran pada jarak masingmasing muka gelombang atau penentuan kecepatan kecepatan partikel pada semburan radio tipe II pada citra yang dihasilkan Culgoora Observatory.
251
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3: Semburan radio tipe II yang muncul beberapa saat setelah berlangsungnya peristiwa flare dan pancaran gelombang Moreton. Tampak bahwa semburan radio ini muncul setelah flare berlangsung, sehingga besar kemungkinannya semburan tipe II dihasilkan oleh flare tersebut. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Menggunakan cara yang diuraikan pada bagian metodologi di atas ini bisa dilihat adanya materi yang bergerak menjauhi flare dan bisa ditafsirkan sebagai gelombang Moreton yang muncul akibat adanya flare tersebut. Dari gerakan gelombang tersebut bisa dihitung kecepatan gerakan gelombang Moreton itu, yaitu sebesar 1600 km/detik. Harga ini tidak terlalu banyak berbeda dengan yang dihitung oleh Noriyuki et al. (2005) sebesar 1500 km/detik. Bila hasil di atas ditelaah lebih lanjut, tampak bahwa pemicu utama dari semua fenomena tersebut di atas adalah peristiwa flare. Flare ini memicu munculnya gelombang kejut di kromosfer matahari yang tampil dalam bentuk gelombang Moreton. Akan tetapi, selain gelombang
kejut ini, flare tersebut juga memancarkan radiasi dan partikel ke
atmosfer matahari. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya semburan radio tipe II. Semburan radio tipe II akan muncul manakala partikel-partikel energi tinggi bergerak ke arah korona matahari dan bertumbukan dengan partikel-partikel yang terdapat di korona matahari tersebut yang kemudian menghasilkan pergeseran frekuensi dan memunculkan pola tipe II yang khas. 252
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Selain itu, tulisan ini juga mendukung pendapat Temmer et al. (2009) di atas, bahwa flare memicu gelombang Moreton dan semburan tipe II. Meskipun demikian, mungkin gejala ini tidak berlaku umum, dan perlu ada telaah lebih lanjut. 5.
SIMPULAN Peristiwa flare, penjalaran gelombang Moreton, dan semburan radio tipe II dan II
ternyata merupakan fenomena-fenomena di matahari yang terkait satu sama lain. Analisis pada penjalaran gelombang Moreton dan profil semburan radio tipe II bisa memberikan kecepatan pancaran gelombang dengan cukup akurat. Diharapkan penelitian lebih mendalam tentang gelombang Moreton ono bisa memberikan gambaran tentang kaitannya dengan fenomena gelombang lain di atmosfer matahari seperti gelombang EIT, gelombang sinar X, dan gelombang helium. UCAPAN TERIMA KASIH. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Irvan Fajar Syidik atas bantuannya dalam melakukan telaah penentuan kecepatan gelombang Moreton. DAFTAR RUJUKAN N. Muhr, B. Vrsnak, M. Temmer, A. M. Veronig, J. Magdalenic (2010), The Astrophysical Journal, 708:1639–1649 Temmer, M., Vrsnak, B. Zic, T., Veronig, A. M., (2009) Uchida, Y. (1968), Solar Physics 4, 30 Warmuth, A., Vršnak, Magdalenić, J., Hanslmeier, A., Otruba, W. (2004), Astron. & Astrophysics, 418, 1117
253
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS DAN DESAIN SITUS FTP SAINS ANTARIKSA MENGGUNAKAN UML (UNIFIED MODELLING LANGUAGE) Alhadi Saputra Peneliti Bidang Sistem Informasi, Pusjigan - Lapan e-mail :
[email protected] Abstrak Merancang adalah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan masalah.Proses perancangan berperan penting dalam sebuah pengembangan perangkat lunak. Pengembangan perangkat lunak melibatkan proses perancangan yang kompleks untuk menerjemahkan permintaan pengguna menjadi rancangan perangkat lunak. Perancang dan pengguna mencoba untuk menangkap apa yang diharapkan pada suatu sistem aplikasi perangkat lunak untuk ada atau tersedia. Dalam proses perancangan tersebut dapat dinyatakan dalam sebuah bahasa yang presisi. Unified Modelling Language (UML) adalah bahasa untuk memvisualisasikan, menentukan, membangun, dan mendokumentasikan artefak sebuah sistem perangkat lunak. UML berorientasi objek, tidak bergantung pada proses pengembangan, bahasa pemrograman dan teknologi.Tulisan ini dibuat untuk menganalisa desain rancangan situs FTP menggunakan diagram UML yang terdiri dari use case diagram Administrator, use case diagram peneliti Lapandan user umum. Diagramdiagram ini untuk memvisualisasikan sistem pengaksesan user pada situs FTP Lapan Bandung. Kata Kunci :Perancangan, UML, FTP, Diagram Abstract. Designing is finding a way to resolve the problem. Design process has an important role in software development. Software development involves a complex design process to translate user requests into the design software. Designers and users try to capture what is expected in a system of software applications for existing or available. In the design process can be expressed in a language of precision. Unified Modelling Language (UML) is a language for visualizing, specifying, constructing, and documenting the artifacts of a software system. UML object-oriented, does not depend on the process of development, programming language and technology. This paper is made to analyze the design of the FTP site design using UML diagram consisting of a use case diagram Administrator, use case diagrams Lapan researchers and the general user. These diagrams to visualize the user accessing the system on the FTP site Lapan Bandung. Keywords :Design, UML, FTP Lapan, Diagram
254
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
PENDAHULUAN Mengelola pengembangan perangkat lunak bukanlah hal yang mudah. Secara
logika sama dengan mengelola banyak kepala yang memiliki tingkat pemahaman dan pemikiran yang berbeda untuk membuat sebuah benda. Semakin banyak kepala yang harus disatukan maka semakin sulit mengelolanya. Karena berbagai masalah dan resiko yang mungkin timbul di dalam pengembangan perangkat lunak, maka perlu adanya perencanaan dan pemodelan perangkat lunak. Perencanaan sistem merupakan suatu aktivitas yang harus dilaksanakan sebelum dikembangkannnyasebuah
sistem.
Perencanaan
sistem
perlu
dilakukan
agar
pembangunan atau pengembangan sistem sesuai blueprint yang ada, yaitu sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi. Biasanya pengembangan sistem dilaksanakan dalam lingkup proyek. Sebelum pelaksanaan proyek pengembangan sistem informasi dimulai, maka proyek tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pengambil keputusan. Pengambil keputusan pada suatu organisasi yaitu manajemen tingkat atas (executive). Namun, kadang-kadang manajemen akan meminta pendapat bawahannya, manajer level menengah (middle manager) maupun calon pengguna aplikasi (functional user), dalam melakukan pengambilan keputusan pelaksanaan proyek (Jogiyanto, 1995). Pemodelan adalah gambaran dari realita yang simpel dan dituangkan dalam bentuk pemetaan dengan aturan tertentu.Pada dunia pembangunan perangkat lunak sistem informasi juga diperlukan pemodelan. Pemodelan perangkat lunak digunakan untuk mempermudah langkah berikutnya dari pengembangan sebuah sistem informasi sehingga lebih terencana. Seperti halnya maket, pemodelan pada pembangunan perangkat lunak digunakan untuk memvisualkan perangkat lunak yang akan dibuat. Desain atau perancangan dalam pembangunan perangkat lunak merupakan upaya untuk mengonstruksi sebuah sistem yang memberikan kepuasan akan spesifikasi kebutuhan fungsional, memenuhi target, memenuhi kebutuhan secara implisit atau eksplisit dari segi performansi maupun penggunaan sumber daya,sertakepuasanbatasan pada proses desain dari segi biaya, waktu, dan perangkat. Kualitas perangkat lunak biasanya dinilai dari segi kepuasan pengguna perangkat lunak terhadap perangkat lunak yang digunakan. Dalam
tahap
perencanaan,
dilakukanpengumpulan
informasi
tentang
permasalahan serta persyaratannya. Kemudian menentukan kriteria dan batasan pemecahan, serta memberikan alternatif jalan keluarnya. Dalam tahap analisis, menguji
255
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
alternatif pemecahan berdasarkan kriteria dan batasan-batasan. Analisis merupakan pusat dari semua proses perkembangan. Tahap berikutnya yaitu desain, dapat dikatakan sebagai hasil dari sistem baru. Tahap desain juga dapat dikatakan sebagai pemecahan yang optimum atas sejumlah kebutuhan penting dari suatu set pada keadaan khusus atau sebagai kegiatan kreativitas yang meliputi pembuatan barang baru dan berguna bagi yang belum pernah ada sebelumnya. Tujuan penulisan ini yaitu menganalisa desain perancangan sistem akses pada situs FTP Sains Antariksa serta bagaimana memodelkan pengelolaan hak akses user dengan menggunakan UML, sebagai langkah awal untuk pengembangan situs FTP Sains Antariksa, agar penyampaian data dan informasi langsung ke user sasarannya. 2.
TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan atau rekayasa sistem informasi atau perangkat lunak dapat
berarti menyusun sistem atau perangkat lunak yang benar-benar baru atau yang lebih sering terjadi atau menyempurnakan yang telah ada sebelumnya. Segala sesuatu yang akan dikembangkan seharusnya memiliki kerangka kerja, demikian pula dengan langkah-langkah pengembangan sistem atau perangkat lunak. Untuk mengakomodasi pengembangan sistem informasi atau perangkat lunak ini dibutuhkan kerangka pengembangan perangkat lunak yang digunakan secara intensif yang disebut SLDC (System Development Life Cycle) (Bowman.2004). Berikut ini adalah Gambar dari kerangka kerja Pengembangan Sistem Informasi SLDC adalah sebagai berikut :
Gambar 1: SLDC Life Cycle
256
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tahap awal, yaitu tahap perencanaan (planning) adalah menyangkutstudi tentang kebutuhan pengguna (user’s spesification), studi-studi kelayakan (feasibility study) baik secara teknis maupun secara teknologi serta penjadwalan pengembangan suatu proyek sistem informasi dan atau perangkat lunak. Tahap kedua adalah tahap analisis, yaitu tahap menggali segenap permasalahan yang muncul pada pengguna dengan mendekomposisi dan merealisasikan use case diagram lebih lanjut, dengan mengenali komponen-komponen sistem atau perangkat lunak, objek-objek, hubungan antar objek, dan sebagainya. Tahap ketiga adalah tahap perancangan (desain), yaitu mencari solusi permasalahan yang didapat dari tahap analisis. Tahap keempat adalah tahap implementasi yaitu mengimplementasikan perancangan sistem ke situasi nyata dimulai dengan pemilihan perangkat keras dan penyusunan perangkat lunak aplikasi (coding program). Tahap kelima adalah pengujian (testing) yang digunakan untuk menentukan apakah sistem atau perangkat lunak yang dibuat sudah sesuai dengan kebutuhan pengguna atau belum. Tahap yang terkahir adalah tahap pemeliharaan atau perawatan yaitu melakukan pengoperasian sistem dan melakukan perbaikan-perbaikan kecil jika diperlukan. Mulai dari tahap analisis hingga tahap implementasi dapat menggunakan tools yaitu diagram-diagram UML sehingga proses iteratif yaitu kembali ke tahap sebelumnya dapat berjalan dengan lebih efektif serta efisien kalau di tinjau dari segi uang dan waktu. Pada perkembangan teknologi perangkat lunak, diperlukan adanya bahasa yang digunakan untuk memodelkan perangkat lunak yang akan dibuat dan perlu adanya standarisasi agar orang di berbagai negara dapat mengerti pemodelan perangkat lunak. Perlu diketahui bahwa menyatukan banyak kepala untuk menceritakan sebuah ide dengan tujuan untuk memahami hal yang sama tidaklah mudah, oleh karena itu diperlukan sebuah bahasa pemodelan perangkat lunak yang dapat dimengerti oleh banyak orang(Langer, 2008). Pada perkembangan teknik pemrograman berorientasi objek, muncullah sebuahstandarisasi bahasa pemodelan untuk pembangunan perangkat lunak yang dibangun dengan menggunakan teknik pemrograman berorientasi objek, yaitu Unified Modeling Language (UML) (Nugroho, 2006). UML muncul karena adanya kebutuhan pemodelan visual untuk menspesifikasikan, menggambarkan, membangun, dan 257
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dokumentasi dari sistem perangkat lunak. UML merupakan bahasa visual untuk pemodelan dan komunikasi mengenai sebuah sistem dengan menggunakan diagram dan teks-teks pendukung. UML (Unified Modeling Language) adalah sebuah bahasa yang berdasarkan grafik atau gambar untuk memvisualisasi, menspesifikasikan, membangun, dan pendokumentasian dari sebuah sistem pengembangan software berbasis OO (ObjectOriented). UML sendiri juga memberikan standar penulisan sebuah sistem blue print, yang meliputi konsep bisnis proses, penulisan kelas-kelas dalam bahasa program yang spesifik, skema database, dan komponen-komponen yang diperlukan dalam sistem software (nugroho 2009). UML adalah sebuah bahasa standard untuk pengembangan sebuah software yang dapat menyampaikan bagaimana membuat dan membentuk model-model, tetapi tidak menyampaikan apa dan kapan model yang seharusnya dibuat yangmerupakan salah satu proses implementasi pengembangan software. UML sendiri terdiri atas pengelompokkan diagram-diagramsistem menurutaspek atau sudut pandang tertentu. Diagram adalah yang menggambarkanpermasalahan maupun solusi dari permasalahan suatu model. UML mempunyai 9diagram, yaitu; usecase, class, package, state, sequence, communication, activity,component, dan deployment diagram(nugroho,2010). Diagram pertama adalah use case menggambarkan sekelompok use cases danaktor yang disertai dengan hubungan diantaranya. Diagram use cases inimenjelaskan dan menerangkan kebutuhan (requirement) yang diinginkan (dikehendaki) pengguna, serta sangat berguna dalam menentukan strukturorganisasi dan model dari pada sebuah sistem. Diagram kedua adalah diagram kelas, diagram ini bersifat statis, diagram ini memperlihatkan himpunan kelas-kelas, antarmuka-antarmuka, kolaborasi-kolaborasi, serta relasi-relasi. Diagram ini umum dijumpai pada pemodelan sistem berorientasi objek. Meskipun bersifat statis, sering pula diagram kelas memuat kelas-kelas aktif. Diagram ketiga adalah diagram package, diagram ini bersifat statis dan memperlihatkan kumpulan kelas-kelas dan merupakan bagian dari diagram komponen Diagram keempat adalah diagram state, diagram ini bersifat dinamis, diagram status memperlihatkan keadaan-keadaan pada sistem, memuat status (state), transisi, kejadian serta aktifitas. Diagram ini terutama penting untuk memperlihatkan sifat
258
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
akademis dari antar muka (interface), kelas, kolaborasi dan terutama penting pada pemodelan sistem-sistem yang reaktif. Diagram kelima adalah diagram sequence atau disebut juga diagram urutan. Diagram urutan adalah diagram interaksi yang menekankan pada pengiriman pesan dalam suatu waktu tertentu. Diagram keenam adalah diagram komunikasi yaitu yang menekankan organisasi stuktural dari objek-objek yang menerima serta mengirim pesan. Diagram ketujuh adalah diagram activity, diagram ini bersifat dinamis, diagram activity adalah tipe khusus dari diagram status yang memperlihatkan aliran dari suatu aktivitas ke aktivitas lainnya dalam suatu sistem. Diagram ini terutama penting dalam pemodelan fungsi-fungsi suatu sistem dan memberi tekanan pada aliran kendali antar objek. Diagram kedelapan adalah diagram komponen, diagram komponen ini memperlihatkan organisasi serta kebergantungan sistem atau perangkat lunak pada komponen-komponen yang telah ada sebelumnya. Diagram ini berhubungan dengan diagram kelas dimana komponen secara tipikal dipetakan ke dalam satu atau lebih kelas-kelas, antar muka-antar muka serta kolaborasi-kolaborasi. Diagram yang kesembilan adalah diagram deployment, diagram ini bersifat statis. Diagram ini memperlihatkan konfigurasi saat aplikasi dijalankan (runtime). Memuat simpul-simpul beserta komponen-komponen yang ada di dalamnya. Diagram deployment berhubungan erat dengan diagram komponen dimana diagram ini memuat satu atau lebih komponen-komponen. Diagram ini sangat berguna saat aplikasi kita berlaku sebagai aplikasi yang dijalankan pada banyak mesin. Kesembilan diagram ini tidak mutlak harus digunakan dalam pengembangan perangkat lunak, semuanya dibuat sesuai dengan kebutuhan.Pada tulisan ini hanya di bahasmodel analisis use case diagram seperti Use Case Diagram FTP Administrator, dan use case diagram peneliti Lapan dan pengguna umum, dari situs FTP Sains Antariksa Bandung. 3.
METODOLOGI Memodelkan gambar untuk memvisualisasi, menspesifikasikan, membangun,
dan pendokumentasian dari sebuah sistem pengembangan FTP Sains Antariksa berbasis OO (Object-Oriented) pada aplikasi pengelolaan hak akses user dengan menggunakan metode
UML
(Unified
Modelling
Language)
sebagai
langkah
awal
untuk 259
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
pengembangan situs FTP Sains Antariksa, agar pengelolaan hak akses user serta penyampaian data dan informasi langsung ke user sasarannya. 4.
IMPLEMENTASI UML PADA SITUS FTP SAINS ANTARIKSA Implementasi UML dilakukan pada tahap awal pengembangan situs FTP Sains
Antariksa. Ada dua notasi dasar yang digunakan untuk menggambarkan diagram use case, yaitu actor dan use case-nya. Biasanya suatu sistem atau perangkat lunak memiliki
beberapa
pengguna
sekaligus,
dimana
masing-masing
pengguna
direpresentasikan sebagai sebuah actor. Dalam hal ini, ingatlah bahwa actor berkaitan dengan peran (role) yang dimainkan oleh pengguna (bukan pengguna secara individu).Use case secara definitif sesungguhnya merupakan urutan aksi-aksi yang dilakukan sistem atau perangkat lunak untuk memberikan hasil atau nilai tertentu pada masing-masing actor. Pada gambar -2 dijelaskan bahwa actor tersebut diberi nama “Administrator FTP” use case-nya berupa pengontrolan sistem yaitu login admin, logout admin, pengontrolan data admin, pengontrolan data user Lapan, pengontrolan data user umum, pengontrolan data alat, pengontrolan data monitoring, dan pengontrolan data request. Setelah melakukan analisis sistem menggunakan modelmodel realisasi use case, kemudian akan merancang kelas-kelas dan realisasi use case tahap perancangan untuk mendapatkan manfaat dari produk-produk serta teknologi GUI (Graphical User Interface) dan RDBMS (Relational Database Management System) yang akan digunakan untuk mengimplementasikan sistem atau perangkat lunak yang bersangkutan.
Gambar 2: Use Case Diagram Administrator FTP 260
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Use case pada dasarnya merupakan unit fungsionalitas koheren yang diekspresikan sebagai transaksi-transaksi yang terjadi antara actor dan sistem. Contoh penggambaran diagram use case berbentuk ikon-ikon yang terdiri dari icon orang dan ikon
elips.
Ikon
orang
menggambarkan
aktor-aktormya
sedangkan
elips
menggambarkan fungsionalitas sistem atau use case-nya. Actor merupakan idealisasi proses-proses yang berinteraksi dengan sistem, atau idealisasi sesuatu yang berinteraksi dengan sistem atau sub sistem perangkat lunak yang sedang dikembangkan. Pada Gambar 3 Masing-masing aktor bisa saja berpartisipasi dalam satu atau lebih use case. Actor berinteraksi dengan use case (dan selanjutnya dengan sistem yang dimiliki oleh suatu use case. Aktor peneliti Lapan dan Pengguna Umum memiliki use case seperti : registrasi, login, lupa password, service, FTP Search, Homepage, Contact, Change password, logout, akses Data Loka dan Balai Dirgantara, serta akses data dan informasi bidang-bidang dari Pusat Sains Antariksa dan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer. Dalam model, eksekusi masing-masing use case harus diupayakan sedemikian rupa sehingga masing-masing use case bersifat mandiri satu dengan yang lainnya, meskipun implementasi suatu use case mungkin membuat kebergantungan implisit antar objek-objek yang dibagikan. Masing-masing use case merepresentasikan fungsional mandiri dimana eksekusinya dapat digabungkan dengan eksekusi use case yang lainnya. Use case pada prinsipnya dibuat untuk mendapatkan spesifikasi kebutuhan pengguna dan akan sangat memandu pekerjaan pengembang sehingga sistem perangkat lunak yang dikembangkan memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna serta memiliki cacat program (defect) dalam jumlah minimal.
261
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3: Use Case Diagram Peneliti LAPAN dan Pengguna Umum 5.
KESIMPULAN Perencanaan sistem merupakan suatu aktivitas yang harus dilaksanakan sebelum
dikembangkannnya sebuah sistem. Pemodelan adalah gambaran dari realita yang simpel dan dituangkan dalam bentuk pemetaan dengan aturan tertentu. Pemodelan perangkat lunak digunakan untuk mempermudah langkah berikutnya dari pengembangan sebuah sistem informasi sehingga lebih terencana. Seperti halnya maket, pemodelan pada pembangunan perangkat lunak digunakan untuk memvisualkan perangkat lunak yang akan dibuat. Pada perkembangan teknik pemrograman berorientasi objek, muncullah sebuahstandarisasi bahasa pemodelan untuk pembangunan perangkat lunak yang dibangun dengan menggunakan teknik pemrograman berorientasi objek, yaitu Unified Modeling Language (UML). UML muncul karena adanya kebutuhan pemodelan visual untuk menspesifikasikan, menggambarkan, membangun, dan dokumentasi dari sistem perangkat lunak. UML sendiri terdiri atas pengelompokkan diagram-diagramsistem menurutaspek atau sudut pandang tertentu. UML mempunyai 9diagram, yaitu; use-case, 262
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
class, package, state, sequence, communication, activity,component, dan deployment diagram.Use case mendefinisikan cara bagaimana sistem atau perangkat lunak memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna. Use case menspesifikasikan urutan langkah-langkah yang dilakukan oleh sistem atau perangkat lunak terhadap sebuah aktor. Setelah melakukan analisis sistem menggunakan model-model realisasi use case, kemudian akan dirancang kelas-kelas dan realisasi use case tahap perancangan untuk mendapatkan manfaat dari produk-produk serta teknologi GUI (Graphical User Interface) dan RDBMS (Relational Database Management System) yang akan digunakan untuk mengimplementasikan sistem atau perangkat lunak yang bersangkutan. Daftar Rujukan Bowman, Kevin. 2004. System Analysis: A Beginner s Guide. Palgrave Macmillan. Jogiyanto, HM. 1995. Analisis & Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur. Yogyakarta : Penerbit ANDI Langer, Arthur M. 2008. Analysis and Design of Information Systems 3rd edition. Springer. Nugroho, Adi. 2006. Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Menggunakan Metodologi Berorientasi Objek. Bandung: Penerbit INFORMATIKA Nugroho, Adi. 2009. Rekayasa Perangkat Lunak Menggunakan UML dan Java. Yogyakarta: Penerbit ANDI Nugroho, Adi. 2010. Rekayasa Perangkat Lunak Berorientasi Objek dengan Metode USDP. Yogyakarta: Penerbit ANDI
263
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN IONOSFER TERHADAP AKURASI PENENTUAN POSISI MENGGUNAKAN GPS FREKUENSI TUNGGAL PADA SAAT AKTIVITAS MATAHARI MAKSIMUM Dessi Marlia Pusat Sains Antariksa Lapan
[email protected]/
[email protected]
Abstrak Makalah ini membahas efek pengaruh perubahan ionosfer terhadap ketelitian menggunakan penentuan posisi GPS. Pengamatan TEC menggunakan Global Ionospheric TEC and Scintillation monitoring (GISTM) berlokasi di Pontianak (0,06° LS ; 109,4° BT) dan Bandung (6,9° LS ; 107,6° BT) selama periode tanggal 7-11 Maret 2012 dan 23-26 April 2012, pada saat kondisi ionosfer tenang dan terganggu akibat adanya solar flare dan badai geomagnetik. Data posisi GPS stasiun BAKO (6,49° LS ;106,84° BT) sudah dianalisis dengan menggunakan. Hasil dan analisis menggunakan metode statistika sederhana dan post prosessing dengan software RTKLib. Badai Geomagnetik yang terjadi tanggal 9 Maret 2012 pada pukul 09.00 UT, dengan indeks Dst -133 nT menunjukkan peningkatan nilai VTEC harian sebesar 70 TECU di Pontianak dan penurunan nilai VTEC sebesar 63 TECU di Bandung. Badai geomagnetik yang terjadi pada tanggal 24 April 2012, dengan indeks Dst -107 nT pada pukul 05.00 UT menunjukkan peningkatan nilai VTEC harian sebesar 69 TECU di Pontianak dan penurunan nilai VTEC sebesar 55 TECU di Bandung. Perkiraan posisi satasiun BAKO dengan frekuensi tunggal pada tanggal 9 Maret 2012, pukul 19 UT menunjukkan kesalahan posisi sebesar 20m (arah utara-selatan) dan 20m (arah timurbarat) dan.tanggal 24 April 2012, pukul 16 UT menunjukkan kesalahan posisi sebesar 30m (arah utara-selatan) dan 20m ( arah timur- barat). Terlihat besarnya kesalahan posisi mencapai 2-3 kali lebih besar dibandingkan pada saat tidak terjadi badai geomagnetik. Kata Kunci : GPS, Kesalahan Posisi, Ionosfer, TEC, Badai Geomagnetik. Abstract This paper discusses effect of the change of the ionosphere to the accuracy using GPS positioning. TEC observations by using Global Ionospheric TEC and Scintillation monitoring (GISTM) located in Pontianak ( 0,06° S ;109,4° E ) and Bandung ( 6,9° S ;107,6° E ) the period from 7-11 March 2012 and 23 to 26 April 2012, when the ionospheric quiet and disturbed conditions due to solar flares and geomagnetic storms. GPS position data of BAKO station (6,49° S ;106,84° E ) have been analyzed by using a simple statistical methods and post-processing with RTKLib software. Geomagnetic storms occurrence on March 9, 2012 at 09:00 UT with Dst index -133 nT showing an increasing of daily VTEC value reaches to 70 TECU at Pontianak and decreasing of daily VTEC value reaches to 63 TECU at Bandung . Geomagnetic storm occurance on 24 april 2012 with Dst index -107 nT at 05.00 UT showing increasing of daily VTEC values on 24 april 2012 reaches to 69 TECU over Pontianak and decreasing of daily VTEC value reaches to 55 TECU over Bandung . BAKO station position estimated by using GPS single frequency data on March 9, 2012 at 19 UT shows the error position 264
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
reaches to 20m (north- south) and 20m (east - west) and on 24 April 2012 at 16 UT shows the error position reaches to 30m (north - south) and 20m (east - west). Visible of the error position magnitude reaches 2-3 times greater than when geomagnetic storms does not occur . Keywords: GPS, Error Positioning, Ionosphere, TEC, Geomagnetic Storm
1.
PENDAHULUAN Ionosfer mempengaruhi gelombang elektromagnetik yang menjalar melalui
lapisan tersebut berupa waktu tunda propagasi. Besar pengaruh tersebut ditentukan oleh Total Electron Content (TEC) di ionosfer dan frekuensi gelombang yang digunakan. (Muslim, 2006). TEC adalah jumlah kandungan elektron
dalam suatu silinder
berpenampang 1 meter persegi yang panjangnya sama dengan jarak dari satelit ke penerima GPS dengan satuan TECU yang nilainya 1016el/m2). Dalam kondisi normal pengaruh ionosfer pada sinyal GPS berkisar antara beberapa meter sampai beberapa puluh meter. Pada saat badai ionosfer bias ionosfer dapat mencapai 100 meter atau lebih. Untuk mendapatkan penentuan posisi dengan presisi yang tinggi, kesalahan yang bersumber dari ionosfer harus diestimasi agar dapat dieliminir dalam pengamatan GPS. Global Positioning System (GPS) adalah sistem penentuan posisi global berbasisi satelit telah digunakan secara luas dalam penentuan posisi, navigasi dan penentuan waktu Setiap satelit GPS mentranmisikan dua gelombang pembawa pada frekuensi L1 (1575,42 MHz) dan frekuensi L2 (1227,6 MHz) berisi data ephemeris dan jarak setiap satelit ke penerima GPS. Dengan diperolehnya informasi posisi satelit dari data GPS dan data jarak beberapa satelit GPS, pengguna dapat menentukan posisi penerima GPS. Kesalahan pengukuran jarak dengan GPS tergantung secara langsung pada TEC dan berbanding terbalik dengan kuadrat frekuensi sinyal GPS. Aktivitas matahari adalah sumber utama dari perubahan kondisi cuaca antariksa. Perubahan aktivitas matahari menunjukkan adanya siklus 11 tahun. Pada siklus maksimum, evolusi bintik matahari (SSN, sunspot number) meningkat dengan diikuti adanya badai matahari dengan ditandai terjadinya flare dan CME. Badai Matahari terjadi karena gejolak di atmosfer matahari yang dipicu terbentuknya bintik hitam (sunspot). Kondisi tersebut memicu solar flare dan CME (Coronal Mass Ejection) atau terlontarnya materi matahari yang juga mencapai bumi. Partikel-partikel berkecepatan tinggi dalam jumlah besar yang sampai ke magnetosfer bumi menghasilkan badai geomagnetik. 265
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tujuan dari makalah ini yaitu menganalisis perubahan ionosfer terhadap ketelitian pengukuran menggunakan GPS dari pengamatan TEC diatas Pontianak ( 0.06° LS dan 109.4° BT ) pada kondisi ionosfer tenang dan terganggu akibat adanya flare dan CME yang mengakibatkan badai geomagnetik dan dampaknya terhadap pengukuran GPS dilakukan dengan menggunakan data GPS stasiun tetap Cibinong untuk melihat ketelitian pengukuran posisi. 2.
METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data TEC (Total Elektron
Content) dari pengamatan GISTM yang menangkap sinyal frekuensi ganda f1 (1575,42 MHz) dan f2 (1227,26 MHz) dari satelit GPS dan secara kontinu akan merekam dua sinyal pseudo-range (
2)
dan fasa
di stasiun pontianak (0,06 °LS
dan 109,4° BT) dan Bandung (6,9° LS ; 107,6° BT) yang mengukur TEC dari sinyal L1 dan L2, dan P1 dan P2 dengan sampling 1 menitan. TEC dihitung dengan menggunakan rumus metoda kombinasi antara pengukuran fasa (L) dan pseudo-range (P) merupakan TEC miring (STEC) dan secara matematis ditulis sebagai berikut [GSV 4004B.2007] : STEC = [9.483] ∗ ((
1-
2−
−
)+
+
] TEC Unit ........................….(1)
Dengan : PL2 dan PL1 adalah pseudo-range (meter) sinyal L2 - L1 bc/a-p adalah bias transisi sinyal C/A ke P ( dikonversi ke dalam meter dan dapat diunduh di university of Berne ). TEC
RX
adalah besarnya TEC yang ditimbulkan dari
bias penerima yaitu tunda L1/L2. TECcal adalah TEC kalibrasi offset penerima. Hasil persamaan (1) dikonversi untuk mendapatkan VTEC dengan menggunakan model pendekatan yang disebut model lapisan ionosfer tipis. Dimana yang menganggap ionosfer berada pada ketinggian 350 km (Klobuchar,1986), yaitu dengan persamaan (2) dibawah ini (Abidin, 2007): VTEC=STEC
Cos [
sin(
cos )/(
ℎ
)]….................................................(2)
Dengan: Re = 6378 km, hmax =350 km, θ = Sudut kemiringan / elevasi sinyal satelit terhadap penerima di bumi. Kemudian data yang digunakan yaitu data dengan lock-time lebih dari 240 detik dengan sudut elevasi > 35° untuk menghindari salah interpretasi gangguan akibat 266
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
multipath (GSV 4004B.2007). Data Geomagnetik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Dst bulan Maret- April 2012 yang bisa diunduh dilaman di WDC (World Data Center) [Gopalswamy, 2009]. Untuk melihat ketelitian pengukuran posisi saat terjadi badai geomagnetik digunakan data GPS BAKO, stasiun tetap Cibinong – Badan informasi Geospasial bulan Maret dan April tahun 2012,yang dapat diunduh dari laman SOPAC (Scripps Orbit and Permanent Array Center). Data yang akan dianalisis adalah data pengamatan selama periode 7-11 Maret dan 23-26 April tahun 2012 dengan menggunakan metode statistika sederhana. Adapun diagram alir metodologi penelitian ini ditunjukkan dalan Gambar 1 dibawah ini :
Gambar 1: Diagram Alir Metodologi Penelitian 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Analisis Pontianak dan Bandung tanggal 7-12 Maret 2012 Analisis data TEC Pontianak ditunjukkan pada Gambar 3(b). Berdasarkan
kejadian flare kelas X5.4 didaerah aktif N17E27 11429 dan CME dengan kecepatan 2544 Km/s pada tanggal 7 Maret 2012. Flare dan CME pada tanggal tersebut mengakibatkan terjadinya badai geomagnetik pada tanggal 9 Maret 2012 pada pukul 09.00 UT,sehingga terjadi penurunan drastis nilai indeks DST sebesar -133 nT (Gopalswamy,2009) ditunjukkan Gambar 3(a) dibawah ini:
267
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a) Pontianak – Maret 2012
(b)
(c) Gambar 3: (a) Grafik indeks Dst 7- 11 Maret 2012; (b) Grafik VTEC PTK 7- 11 Maret 2012 ; (c) Grafik VTEC BDG 7- 11 Maret 2012; Analisis pertama yaitu analisis variasi VTEC pada tanggal 7- 11 Maret 2012 di Pontianak dari Gambar 3(b) diatas terlihat : pada tgl 8 Maret 2012 terjadi peningkatan
268
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
nilai VTEC terhadap Median VTEC pada pukul 07.00 UT sebesar 6 TECU menjadi [66;60 TECU] ; Variasi grafik indeks Dst masa main fase yaitu pada tgl 9 Maret 2012 terjadi penurunan drastis indeks Dst mencapai -133 nT yang mengakibatkan badai geomagnetik, sehingga pada tanggal tersebut terjadi peningkatan VTEC pada pukul 06.15 UT sebesar 10 TECU menjadi [70; 60 TECU] sehingga ada kenaikan VTEC sebesar 4TECU dari hari sebelumnya,; pada tgl 10 Maret 2012 terjadi peningkatan nilai VTEC pada pukul 07.00 UT sebesar 11 TECU menjadi [71;60 TECU] ; pada tgl 11 Maret 2012 terjadi penurunan nilai VTEC pada pukul 07.00 UT sebesar 8 TECU menjadi [63;60 TECU]. Analisis selanjutnya yaitu analisis variasi VTEC pada tanggal 7- 11 Maret 2012 di Bandung. Dari Gambar 3(c) diatas terlihat : Variasi VTEC terhadap Median VTEC pada tgl 8 Maret 2012 terjadi peningkatan nilai VTEC terhadap Median VTEC pada pukul 07.30 UT sebesar 8 TECU yaitu [89;81 TECU]; pada tgl 9 Maret 2012 menunjukkan peningkatan VTEC pada pukul 05.00 UT sebesar 17 TECU yaitu [79 ;62TECU], kemudian terjadi penurunan nilai VTEC pada jam 05.45 UT hingga mencapai 16 TECU menjadi [63; 70 TECU] dan kemudian meningkat kembali pada jam 07.00 UT sebesar 7 TECU menjadi [87;80 TECU] ; pada tgl 10 Maret 2012 terjadi penurunan nilai VTEC pada pukul 06.00 UT mencapai 26 TECU menjadi [54 TECU ; 80 TECU] dan meningkat kembali pada pukul 7.30 UT sebesar 5 TECU menjadi [86;81 TECU] ; dan pada tgl 11 Maret 2012 terjadi peningkatan VTEC pada jam 07.00 UT mencapai 17 TECU yaitu menjadi [97 TECU ; 80 TECU]. 3.2
Analisis Data TEC Pontianak dan Bandung tanggal 23-26 April 2012 Analisis data TEC Pontianak ditunjukkan pada Gambar 3(e)-(f) dibawah ini .
Berdasarkan kejadian Flare kelas C pada tanggal 19 April 2012 pada pukul 15:24 UT dengan kecepatan (V) 400 km/s, diikuti dengan kejadian CME onset pada tanggal 19 April 2012 pukul 15:24 UT mengakibatkan terjadinya badai geomagnet pada tanggal 24 April 2012, sehingga terjadi penurunan drastis nilai indeks Dst pada jam 5 UT sebesar -107 nT (Gopalswamy,2009), ditunjukkan Gambar.3(d) dibawah ini:
269
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(d) Pontianak – April 2012
(e)
(f) Gambar 3: (d) Grafik indeks Dst 23- 26 April 2012; (e) Grafik VTEC PTK 23- 26 April 2012;(f) Grafik VTEC BDG23- 26 April 2012 Analisis pertama yaitu analisis variasi VTEC pada tanggal 23- 26 April 2012 di Pontianak. Dari Gambar 3(e) diatas terlihat : pada tgl 24 April 2012 terjadi peningkatan nilai VTEC terhadap Median VTEC sebesar 12 TECU pada pukul 06.15 UT menjadi [73; 61 TECU] ; pada tgl 25 April 2012 terjadi peningkatan nilai VTEC sebesar 15 270
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
TECU pada pukul 06.15 UT menjadi [76;61TECU]; pada tgl 26 April 2012 terjadi penurunan nilai VTEC pada pukul 04.30 UT sebesar 5 TECU dari hari sebelumnya menjadi [73;58TECU]. Analisis selanjutnya yaitu analisis variasi VTEC pada tanggal 23- 26 April 2012 di Bandung.
Dari Gambar 3(f) diatas terlihat : pada tgl 24 April
2012 terjadi
penurunan nilai VTEC terhadap Median VTEC pada pukul 07.45 UT mencapai 24 TECU yaitu menjadi [55 ; 80 TECU] ; pada tgl 25 April 2012 terjadi penurunan VTEC pada pukul 06.00 UT sebesar 4 TECU menjadi [77; 81 TECU] dan kemudian meningkat kembali sebesar 7 TECU menjadi [85;78 TECU] ; pada tgl 26 April 2012 terjadi peningkatan nilai VTEC pada pukul 05.00 UT sebesar 4 TECU menjadi [84;80 TECU], dan terjadi penurunan nilai VTEC sebesar 16 TECU pada pukul 05.45 UT sebesar 16 TECU menjadi [66; 82TECU]. Mekanisme terjadinya badai ionosfer menyebabkan peningkatan elektron didaerah medan listrik ke arah timur didaerah ekuator magnetik. Dalam kasus ini persilangan medan magnet (B) dan medan listrik (E) di ekuato akan mengangkat plasma di ketinggian tertentu dan kemudian akan turun mengikuti garis geomagnet dan terkumpul di daerah lintang rendah sehingga kerapatn plasma akan meningkat. Itulah yang menyebabkan nilai TEC meningkat. 3.3
Hasil dan Analisis Data GPS BAKO Cibinong tanggal 7-10 Maret 2012 Hasil pengolahan data GPS BAKO dari grafik dibawah adalah untuk melihat
pengaruh kesalahan posisi pada ketelitian posisi navigasi GPS pada tanggal 7-10 Maret 2012. Data yang digunakan yaitu data GPS BAKO stasiun tetap Cibinong - BIG (6,49° LS;106,84° BT) dengan data observasi dan navigasi dimulai pukul 00:00:00 - 23:59:30 waktu GPS, sudut elevasi: 35°,tipe data ephemeris : broadcast. Data hasil keluaran data pengolahan terdiri dari lintang/bujur/ketinggian = WGS84/Geodetic berupa format Pos File.
271
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(g)
(h)
(i)
(j)
Gambar 3: (g) Plot Posisi GPS BAKO tgl 7 Maret 2012 ; (h) ; Plot Posisi GPS BAKO tgl 8 Maret 2012 ; (i) Plot Posisi GPS BAKO tgl 9 Maret 2012; (j) Plot Posisi GPS BAKO tgl 10 Maret 2012
272
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Dari Gambar.3 (g) – (j) diatas adalah perbandingan posisi track (satuan meter) pada tanggal 7 – 10 Maret 2012 yaitu sebagai berikut : Pada Gambar.3(g) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 7 maret 2012 terlihat pada jam 19.00 UT sebesar 15 m (utara- selatan) , dan jam 08.00 UT dan 19.00 UT sebesar 10 m (timur- barat); Pada Gambar.3(h) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 8 maret 2012 terlihat pada jam 19.00 UT sebesar 15 m (utara-selatan), dan jam 09.00 UT sebesar 15 m (timur-barat); Pada Gambar.3(i) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 9 maret 2012 terlihat pada jam 19.00 UT sebesar 20 m (utara-selatan), dan jam 19.00 UT hampir mencapai 20 m (timur-barat); Pada Gambar.3(j) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 10 maret 2012 terlihat pada jam 19.00 UT sebesar 30 m (utara-selatan), dan jam 19.00 UT hampir mencapai 30 m (timur-barat); Analisis dari hasil plot posisi data GPS BAKO stasiun Cibinong pada saat kejadian badai geomagnetik pada tgl 9 Maret 2012 menunjukkan kesalahan posisi mencapai 20 m (utara-selatan), dan pada tgl 10 Maret 2012 mencapai 30 m (utara-selatan), dan sedangkan sebelum badai geomagnetik pada tgl 7- 8 Maret 2012 mencapai 15 m. 3.4. Hasil dan Analisis Kesalahan Posisi GPS Bako Cibinong tanggal 23-26 April 2012
Hasil pengolahan GPS BAKO dari grafik dibawah adalah melihat pengaruh kesalahan posisi pada ketelitian posisi navigasi GPS pada tanggal 23-26 April 2012.
273
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(k)
(l)
(m)
(n)
Gambar 3: (k) Plot Posisi GPS BAKO tgl 23 April 2012 ; (l) ; Plot Posisi GPS BAKO tgl 24 April 2012 ; (m) Plot Posisi GPS BAKO tgl 25 April 2012 ; (n) Plot Posisi GPS BAKO tgl 26 April 2012 Dari Gambar.3 (k) – (n) diatas adalah perbandingan kesalahan posisi (meter) pada tanggal 23 – 26 April 2012 yaitu sebagai berikut : Pada Gambar.3(k) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 23 April 2012, terlihat pada jam 16.00 UT sebesar 20 m (utara- selatan), dan jam 16.00 UT sebesar 20 m (timur- barat); Pada Gambar.3 (l) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 24 April 2012 terlihat pada jam 16.00 UT sebesar 30 m (utara-selatan), dan jam 16.00 UT sebesar 20 m (timur-barat); Pada Gambar.3(m) menunjukkan plot kesalahan posisi pada 274
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
tanggal 25 April 2012, terlihat pada jam 16.00 UT mencapai 50 m (utara-selatan), dan jam 16.00 UT hampir mencapai 40 m (timur-barat); Pada Gambar.3(n) menunjukkan plot kesalahan posisi pada tanggal 26 April 2012, terlihat pada jam 16.00 UT hampir mencapai 30 m (utara-selatan), dan jam 16.00 UT sebesar 20 m (timur-barat). Analisis dari hasil plot posisi data GPS BAKO stasiun Cibinong pada saat sebelum dan sesudah kejadian badai geomagnetik. Kesalahan posisi pada tgl 24 April 2012 sebesar 30 m (utara- selatan), dan pada tgl 25 April 201 sebesar 50 m (utara-selatan), sedangkan sebelum badai geomagnetik sebesar 20 m. 4.
KESIMPULAN Dengan demikian badai geomagnetik sangat mempengaruhi perubahan di
ionosfer didaerah ekuator Indonesia, yaitu di Pontianak dan Bandung terlihat dari peningkatan nilai TEC di Pontianak dan penurunan nilai TEC di Bandung pada saat kejadian badai geomagnetik. Peningkatan nilai TEC ini merupakan badai ionosfer negatif yang mengawali respon ionosfer tak langsung terhadap CME, melalui interaksi magnetosfer- ionosfer. Dampak perubahan TEC terhadap ketelitian posisi GPS BAKO stasiun Cibinong (-6,49° LS;106,84°BT) dengan menggunakan frekuensi tunggal pada saat kejadian badai geomagnetik
pada tgl 9 Maret 2012 dan 24 April 2012
menunjukkan kesalahan posisi 2- 3 kali lebih besar dibandingkan pada saat tidak terjadi badai geomagnetik. Hal ini disebabkan karena badai ionosfer. DAFTAR RUJUKAN Klobuchar J., Design and Characterictics of The GPS Ionospheric Time – Delay Algorithm for Single Frequency Users, Proceedings of PLANS 86- Position Locatian And Navigation Symposium, Las Vegas, Nevada., P.280-286, 4-7 November 1986 Gopalswamy.N., Energetic Particle and Other Space Weather Events of Solar Cycle 24., NASA Goddard Space Flight Center, Greenbelt, Maryland, USA, 2009. Marlia, D dan Asnawi Husin, Analisis Dampak Peningkatan Aktivitas Matahari Terhadap Perubahan Total Electron Content ( TEC), Prosiding SNSAA 2012; ISBN: 978-9791458-64-1, 450-457.
275
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Muslim, B dkk., Pemodelan TEC Regional dari Data GPS Stasiun Tetap di Indonesia dan Sekitarnya, Proc,ITB Sains & Tek.Vol.38 A, No.2, 2006, 163-180) Muslim, B., Pengaruh Ionosfer Pada Akurasi Penentuan Posisi Absolut dengan GPS Single Frequency Pada Saat Terjadi Badai Matahari, Jurnal Sains Dirgantara Vol.9 No.1 Desember 2011, 70-89. T. Takasu , 2011. RTKLIB ver. 2.4.1 Manual. Van Dierendonck Albert John, GSV 4004B, GPS Ionospheric Scintillation & TEC Monitor (User's Manual) GISTM, (GSV GPS Silicon Valley), 2007.
276
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
PENGAMATAN TEC DAN SINTILASI DENGAN MENGGUNAKAN GPS-SCINDA Dwiko Unggul Prabowo dan Effendy Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Email:
[email protected]
Abstrak Kondisi ionosfer di Indonesia yang terletak di lintang rendah geomagnet memiliki kerapatan elektron tinggi, sehingga menyebabkan adanya potensi gangguan terhadap gelombang elektromagnet yang melintasi ionosfer di daerah tersebut. Gangguan yang disebabkan oleh dinamika ionosfer terhadap sinyal GPS/GNSS dapat berupa delay ionosfer untuk pengukuran kode, serta fluktuasi amplitudo dan fase untuk pengukuran phase. Delay ionosfer dapat dihitung dari penentuan nilai Total Electron Content (TEC), dan fluktuasi amplitudo dan phase untuk menentukan nilai indeks sintilasi (S4). Gangguan tersebut tentunya akan mengakibatkan terjadinya kesalahan pada pengukuran jarak untuk penentuan posisi dan navigasi. Untuk mengantisipasinya, maka perlu dilakukan pengamatan dinamika ionosfer secara berkala agar dapat dilakukan koreksi dalam melakukan pengukuran dengan GPS/GNSS. Metode pengamatan ionosfer dengan GPS/GNSS dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran kode dan fase. Untuk menampilkan hasil pengukuran receiver GPS/GNSS, perangkat lunak GPSSCINDA dapat melakukannya secara realtime, dimana data akuisisi akan diperbaharui setiap satu menit sekali. Dari hasil pengolahan data GPS dengan menggunakan GPSSCINDA di lokasi Bandung pada tanggal 8 Oktober 2013, diperoleh nilai maks/min dari TEC sebesar 73,23 TECU/0,01 TECU, sedangkan untuk nilai maks/min dari sintilasi sebesar 0,51/0,02. Kata kunci: ionosfer, TEC, sintilasi, , pengukuran GPS/GNSS, GPSSCINDA. Abstract Ionospheric conditions in Indonesia, which is located in the south geomagnetic latitude (low latitudes) has high electron density, thus causing the potential for disturbance of the electromagnetic waves in the ionosphere of that area. The disturbances caused by the activity of the ionosphere on the GPS/GNSS signals are a delay for the measurement code and fluctuations in amplitude and phase to phase measurement. Ionospheric delay can be calculated from the determination of the value of Total Electron Content (TEC), and the amplitude and phase fluctuations to determine the value of scintillation index (S4). Tat disturbances would certainly result in errors in distance measurements for positioning and navigation. To anticipate, it is necessary to do some ionospheric observations periodically, so the correction could be done to the GPS/GNSS measurement. Method of ionospheric observations with GPS/GNSS method can be done using code and phase measurements. To display the results of the receiver GPS/GNSS measurement, GPSSCINDA software can be used in a realtime way, where data acquisition will be updated once every minute. From the processing of the GPS data using GPSSCINDA which were located in Bandung on 18 October 2013, 277
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
obtained the following results, the value of max/min of TEC is 73.23 TECU/0,01 TECU, while the value of the max/min of the scintillation is 0.51/0,02. Keywords: ionosphere, TEC, scintillation, GPS/GNSS mesurement, GPSSCINDA.
1. Pendahuluan Problem dari daerah lintang rendah geomagnet adalah ketidakteraturan kerapatan ion/elektron yang terletak di ionosfer dan adanya efek air mancur yang menyebabkan munculnya palung ion yang terkonsentrasi pada lapisan F2 ionosfer. Kondisi tersebut menyebabkanpotensi gangguan terhadap sinyal dari satelit GPS/GNSS yang melintasi ionosfer. Gangguan pada sinyal yang akan muncul berupa delay ionsfer dan fluktuasi amplitudo/ phase. Kedua gangguan tersebut tentunya akan menimbulkan kesalahan pada pengukuran jarak dengan menggunakan GPS/GNSS. Delay ionosfer merupakan sumber dari kesalahan dalam pengukuran jarak dengan menggunakan GPS/GNSS. Untuk pengukuran menggunakan sinyal kode, maka waktu rambat sinyal saat melewati ionosfer akan diperlambat, sehingga jarak yang terukur dari satelit hingga receiver akan bertambah dari jarak sebenarnya. Sedangkan untuk pengukuran dengan sinyal fase akan mengalami percepatan, sehingga jarak yang terukur menjadi lebih pendek dari jarak sebenarnya. Dengan kondisi demikian, maka perlu dilakukan pengamatan terhadap dinamika ionosfer untuk koreksi delay ionosfer. Parameter ionosfer yang dapat diukur oleh GPS/GNSS adalah kerapatan elektron, dimana nilai kerapatan elektron yang terukur oleh sinyal dalam luasan 1 m2 dintegrasikan menjadi nilai TEC (Total Electron Content), dimana satuannya adalah TECU (TEC Unit = 1016/m2) [Abidin, 2007]. Selain delay ionosfer, faktor lain yang menyebabkan terjadinya gangguan dan kesalahan pada pengukuran jarak dengan menggunakan GPS/GNSS adalah munculnya sintilasi ionosfer [Jakowski, 2008]. Sintilasi ionosfer dikarakterisasi dengan adanya fluktuasi yang cepat pada amplitudo dan fase dari sinyal radio terhadap indeks lokal refraksi sepanjang jalur propagasi. Adanya sintilasi pada ionosfer akan menyebabkan terjadinya pelemahan sinyal yang merambat pada ionosfer. Perubahan pada fase, amplitudo, dan polarisasi pada sinyal radio yang dipancarkan dapat diukur dan kemudian dijadikan sumber informasi mengenai efek cuaca antariksa terhadap ionosfer [Carrano, 2008]. Delay dan sintilasi ionosfer akan mengakibatkan kesalahan yang signifikan pada 278
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
pengukuran jarak, sehingga nilai posisi yang dihasilkan dari pengukuran jarak akan memiliki presisi yang rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan/ monitoring terhadap dinamika ionosfer agar dapat menentukan nilai koreksi terhadap suatu pengukuran jarak. Saat ini sudah ada perangkat lunak GPS untuk memantau dinamika ionosfer secara reltime yang dikembangkan oleh Air Force Research Laboratory (AFRL) yang dinamakan dengan GPS SCINDA. Makalah ini akan membahas hasil pengolahan data GPS dan algoritma dari penentuan nilai TEC dan sintilasi dengan menggunakan perangkat lunak GPSSCINDA. Untuk pengujian, dilakukan pengolahan data GPS pada tanggal 18 Oktober 2013 dengan lokasi pengamatan di kantor LAPAN Bandung secara postprocessing untuk melihat nilai maksimum dan minimum dari TEC dan sintilasi. 2. Metode GPS/GNSS untuk menghitung TEC dan Sintilasi 2.1. Perhitungan Total Electron Content Ionosfer mengakibatkan terjadinya perlambatan (delayed) pada sinyal kode/ pseudorange dan percepatan pada sinyal carrierphase yang pada orde pertama memiliki besaran (magnitude) yang sama namun berlawanan arah dan proporsional terhadap jumlah kerapatn elektron yang berada pada line of sight (LOS) sinyal. Besarnya bias jarak karena efek ionosfer bergantung pada konsentrasi elektron sepannjang LOS dan frekuensi sinyal yang bersangkutan. Konsentrasi elektron sendiri bergantung pada beberapa faktor, terutama aktivitas matahari dan medan magnetik bumi, dimana keduanya juga bergantung pada lokasi geografis, musim, dan waktu. Nilai total elektron yang berada di LOS dari sinyal didefinisikan sebagai berikut [Carrano, 2008]:
dimana, f : frekuensi sinyal (Hertz) c : kecepatan cahaya (m/s) Nilai TEC pada LOS (Slant TEC/ STEC) dapat dihitung dari pengukuran group delay atau carrier phase advance pada dua sinyal fase GPS, L1 (f1= 1575,42 MHz) dan L2 (f2= 1227,60MHz). Untuk penentuan nilai TEC dengan menggunakan pengukuran kode, dapat digunakan 279
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
persamaan berikut:
dimana, P1
: pseduorange pada L1 (ns)
P2
: pseudorange pada L2 (ns)
BR
: bias kode diferensial receiver (ns)
BS
: bias kode diferensial satelit (ns)
DP
: error multipath pseudorange (ns)
EP
: noise pengukuran pseudorange diferensial
Konstanta A dan B yang memberikan TECp dalam unit TECU adalah: A = 2,854 TECU/ns B = 1,812 TECU/L1 cycle Alternatif lain untuk mengestimasi nilai STEC di sepanjang LOS untuk tiap satelit melibatkan pengukuran frekuensi carrierphase L1 dan L2
dimana, L1
: carrier phase pada L1 (ns)
L2
: carrier phase pada L2 (ns)
N1
: ambiguitas integer phase L1 (cycles)
N2
: ambiguitas integer phase L2 (cycles)
DL
: eror multipath phase differential (cycles)
EL
: noise pengukuran phase diferensial Pengukuran TEC menggunakan carrierphase dapat lebih presisi. Selain itu error
multipath dan noise pengukuran menjadi lebih kecil (bahkan bisa diabaikan) dibandingkan dengan menggunakan kode/ pseudorange. Namun demikian, ada kesulitan/ kekurangan dalam menggunakan carrierphase, yakni jumlah integer dari siklus fase untuk tiap frekuensi (N1 dan N2) tidak diketahui dan sering berubah setelah ada cycle slip. Prosedur standar untuk menentukan nilai TEC menggunakan receiver dual frekuensi adalah dengan mengkombinasikan pendekatan pseudorange dan carrierphase. Perhitungan yang dilakukan oleh GPSSCINDA secara real time mengikuti persamaan [3] dimana multipath dan noise diabaikan, dan pseudorange digunakan untuk mengestimasi jumlah cycle phase yang tidak diketahui (unknown). TEC terkalibrasi
280
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(Vertical TEC/ VTEC) atau disebut juga sebagai TEC absolut diperoleh dari nilai TEC relatif (STEC) dikurangi bias kode diferensial satelit dan receiver [Carrano, 2008].
STEC ditentukan dari carrierphase diferensial dan kombinasi dari pseudorange dan carrierphase.
dimana DCP (Differential Carrier Phase) dan DPR (Differential Pseudorange) didefinisikan dengan:
2.2. Perhitungan Index Intensitas Sintilasi (S4) Fluktuasi dari amplitudo sinyal dikuantifikasi dengan nilai indeks intensitas (S4) yang didefinisikan dengan:
dimana I merepresentasikan intensitas sinyal (amplitudo kuadrat). Indeks sintilasi diinterpretasikan sebagai fluktuasi fraksional sinyal. Untuk menghitung nilai indeks intensitas sintilasi, parameter yang digunakan adalah carrier to noise ratio dari sinyal. 3. Hasil dan Pembahasan Dalam melakukan pengamatan sinyal satelit GPS/GNSS, khususnya untuk mengamati TEC dan sintilasi, LAPAN menggunakan receiver GPS NovAtel GSV 4004B. Receiver ini beroperasi secara terusmenerus dan sudah diintegrasikan dengan perangkat lunak GPSSCINDA. Komputer server yang sudah terinstal oleh GPSSCINDA kemudian melakukanakuisisi data dan menyimpan data tersebut pada sebuah direktori basis data. Secara realtime, GPSSCINDA menampilkan hasil pengamatan data pada suatu display, dan memperbaharuinya setiap satu menit sekali.
281
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1. Ploting data TEC dan sintilasi hasil pengolahan data dengan GPSSCINDA Data yang ditampilkan untuk studi kasus perangkat lunak GPSSCINDA adalah data pengamatan pada tanggal 8 Oktober 2013, di kantor LAPAN Bandung. Dari gambar di atas dapat diketahui nilai maksimum dan minimum dari TEC dan sintilasi yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2013.
Nilai TEC yang ditampilkan pada Gambar 1.(b) diperoleh dari pengukuran sepuluh data satelit GPS yang terekam tiap satu menit/ 60 detik. Label horisontal pada Gambar 1.(b) dan Gambar 1.(b) menunjukkan detik pengukuran. Nilai sintilasi maksimum sebesar 0,51 mengindikasikan kondisi ionosfer masih relatif tenang, sehingga gangguan terhadap sinyal fase relatif kecil, dan tidak akan membuat sinyal menjadi loss of lock. Sintilasi yang kuat akan mendekati nilai satu dan berpotensi menyebabkan terjadinya loss of lock sehingga receiver akan kehilangan sinyal selama beberapa detik. Untuk keperluan survei atau geodesi, hilangnya sinyal tidak akan berdampak terlalu signifikan, karena jangka waktu pengukuran yang biasa dilakukan dalam durasi yang relatif panjang. Namun, untuk keperluan navigasi (khususnya
282
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
penerbangan) yang memproses data secara real time, hilangnya sinyal akan berdampak cukup signifikan karena terkait faktor keselamatan penumpang. 5. Kesimpulan GPSSCINDA merupakan perangkat lunak yang dapat menampilkan hasil pengukuran data dari receiver GPS secara realtime dimana data yang ditampilkan (TEC dan sintilasi) diperbaharui satu menit sekali. Dengan terinstalnya perangkat lunak GPSSCINDA pada server komputer dengan sistem operasi Debian Linux dan dengan dimilikinya perangkat penerima sinyal GPS NovAtel GSV 4004B oleh LAPAN, maka pengamatan dinamika ionosfer berupa TEC dan sintilasi secara real time dapat dilakukan. Studi kasus pada tanggal 8 Oktober 2013 memberikan informasi bahwa nilai maksimum TEC pada tanggal 8 Oktober 2013 sebesar 73,23 TECU, dan nilai minimal sebesar 0,01. Untuk nlai indeks sintilasi, nilai maksimum sebesar 0,51 dan nilai minimun sebesar 0,02. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pada tanggal 8 Oktober 2013, kondisi ionosfer berada pada fase yang relatif tenang, sehingga gangguan yang diakibatkan oleh ionosfer terhadap sinyal relatif kecil. Hal yang perlu dikembangkan selanjutnya adalah mengenai sistem perawatan dan manajemen data, agar tercipta suatu sistem basis data yang terintegrasi, sehingga pengolahan dan pengelolaan data dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Daftar Rujukan Abidin, H. Z., 2007, Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya, PT. Pradnya Paramita. Carrano, Charles S., 2008, GPSSCINDA: A RealTime Gps Data Acquisition And Ionospheric Analysis System For SCINDA, AFRLVSTR20070000, Scientific Report No. X, Air Force Research Laboratory, HANSCOM, AFB, MA 017313010. Jakowski, N., et al, 2008, Ionospheric Impact on GNSS Signals, Física de la Tierra.
283
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS WEBSITE LAPAN BANDUNG MENGGUNAKAN GOOGLE ANALYTIC DALAM RANGKA MENINGKATKAN TRAFFIC WEB Elyyani Pusat Sains Antariksa – LAPAN Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung 40173
[email protected]
Abstrak Layanan cuaca antariksa yang telah disajikan pada website Pusat Sains Antariksa LAPAN berupa layanan aktivitas matahari, aktivitas geomagnet, komposisi dinamika ionosfer dan informasi telekomunikasi. Agar layanan cuaca antariksa dapat diakses dengan baik maka dibutuhkan kondisi website yang optimal melalui content web yang terkonsep dengan baik sehingga dapat meningkatkan kinerja dari web itu sendiri. Web yang optimal adalah mudah diakses, mudah bernavigasi serta isi berita yang dinamis. Ada banyak alat untuk analisa lalu lintas web(traffic web) diantaranya adalah Google Analytic(GA). Google analytic adalah layanan gratis yang disediakan oleh mesin pencari Google untuk menampilkan statistik pengunjung pada sebuah website. Web mining adalah konsep yang digunakan pada GA untuk menemukan informasi pada struktur web, halaman web dan data penggunaan web. Alat analisa lalu lintas web tersebut akan memberikan laporan berupa jumlah pengunjung, kata kunci(keyword) yang sering diakses serta halaman yang sering dikunjungi. Lalu lintas web dapat pula ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas isi karena dengan dengan isi website yang bagus akan baik pula di mata mesin pencari. Laporan tersebut akan menjadi data penting dalam pengembangan teknis dan aplikasi website LAPAN Pusat Sains Antariksa. Hal tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat secara langsung bagi pengunjung yang berupa peningkatan kerjasama penelitian maupun manfaat secara tidak langsung yang berupa peningkatan pengaksesan terhadap publikasi hasil-hasil penelitian. Dengan meningkatnya lalu lintas web akan menjadi indikator keberadaan layanan cuaca antariksa yang disajikan. Kata kunci: google analytic, lalu lintas web, mesin pencari Abstract. The space weather services have been presented in the website of Space Science Center of Indonesia National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) as a solar activity, geomagnetic activity, the dynamic composition of ionosphere and telecommunications services. In order to make space weather services are easily accessible, it will be needed the optimal website conditions through the well conceptualized web content, so it will also improve the website performance. The optimal web is easily accessible, easy to navigate and dynamically updated. There are a lot of tools for web traffic analysis such as Google Analytic(GA). Google analytics is a free services that provided by Google's search engine. Web mining is a concept used in the GA to find information on the structure of the web, web pages and web usage data. The traffic analyzer tools will provide a report of a number of visitors, the keywords that are accessed frequently and the pages that have been visited, it is a factor that must be considered to increase web traffic. The report will be an important data in the technical development and application website of Space Science Center of Indonesia National Institute of 284
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Aeronautics and Space (LAPAN). It is expected to provide direct benefits to visitors as an increase in research collaborations and indirect benefits as an increase in accessing the publication of research results. Increasing the web traffic will be an indicator of the web existence on content that is presented. Keyword : google analytic, traffic web, search engine
1. PENDAHULUAN Layanan cuaca antariksa merupakan salah satu layanan yang terdapat pada situs Lapan Bandung (www.bdg.lapan.go.id). Pembangunan situs web instansi tersebut merupakan salah satu perwujudan dari Instruksi Presiden N0.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Pengembangan egovernment merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien (Instruksi Presiden No.3 Tahun 2003). Google analytic (Wikipedia, 2013) adalah layanan gratis dari Google yang menampilkan statistik pengunjung sebuah situs web. Pengamatan Google analytic terhadap karakter pengunjung serta kinerja dari layanan informasi itu sendiri dapat dijadikan bahan analisis pada makalah ini. Google analytic ini bekerja dengan menggunakan server log analisis dimana target analisisnya melalui web usage mining. Web usage mining (Liu, B., 2007) teknik yang digunakan untuk mengungkap pola penggunaan dari halaman web, untuk meningkatkan pelayanan kebutuhan dari aplikasi web maka data yang akan dianalisa adalah tingkah laku dari pengguna web. Informasi yang berada pada server log berupa data akses web oleh pengunjung. Informasi yang diberikan server log akan menjadi data penting bagi google analytic dalam memberikan laporan mengenai segmentasi pengunjung web Lapan Bandung. Hal yang ingin dibahas pada makalah ini adalah seberapa banyak pengunjung sering mengakses layanan website terhadap layanan yang sudah diberikan, karena faktor tersebut akan menjadi indikator keberhasilan dalam mengotimalisasikan layanan web yang sudah ada. Melalui analisis website ini, banyak manfaat yang bisa diperoleh diantaranya adalah sebagai bahan analisis dalam mengevaluasi kinerja website sehingga dapat dijadikan landasan bagi pengelola website untuk meningkatkan kualitas layanan informasi yang tentunya akan berimbas pada peningkatan lalu lintas kunjungan website yang telah disediakan.
285
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat analisis web Menurut http://telematikapembebas.wordpress.com/, ada beberapa alat analisis web diantaranya:
AWStats
AWStats adalah salah satu alternatif yang paling populer untuk Google Analytics, dan dapat diinstal pada banyak account hosting. Ini benar-benar gratis dan didistribusikan di bawah GNU General Public License. AWStats memberikan informasi rinci tentang pengunjung web, browser yang digunakan, sistem operasi yang digunakan, dan ukuran layar di samping statistik khas seperti pengunjung dan jumlah tampilan halaman.
Trace Watch
Trace Watch adalah program statistik gratis yang menyediakan data real time. Program ini menyediakan semua data dasar dan statistik, juga menawarkan beberapa fitur tambahan seperti analisis jalur untuk membantu menentukan kualitas navigasi serta dapat melihat informasi rinci tentang pengunjung baru tertentu untuk melihat jalur tepat yang mereka gunakan.
Google Analytics
Google Analytics adalah pemimpin di antara alat analisis Situs Web yang gratis. Informasi tentang tentang berapa banyak pengunjung dan tampilan halaman situs yang diterima, sumber-sumber yang mengirimkan lalu lintas, dan informasi dasar lainnya seperti tingkat bouncing. Informasi lebih lanjut tentang pengaturan pelacakan tujuan, membuat laporan kustom, mengatur tabel pivot dan banyak lagi. Teknologi cookie dan javascript berperan penting bagi google analytics untuk mengumpulkan dan melacak data setiap pengunjung yang berkunjung ke web site termasuk melacak cara pengunjung berinteraksi dan aktivitas apa yang mereka lakukan pada web. Google analytics menyajikan informasi hasil web usage mining sehubungan dengan adanya pengunjung dari suatu website. Google Analytics bekerja dengan menyisipkan kode Javascript kemudian semua statistik halaman web yang telah disisipkan kode tersebutkan akan diproses oleh Google.
286
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2: Cara Kerja Google Analytic (Sumber: http://idiotechie.com) 2.2. Web Usage Mining Web usage mining merupakan bagian dari web mining. Web usage mining bertujuan untuk menangkap dan memodelkan pola perilaku dan profil pengunjung web. Web Mining (Wikipedia, 2013) adalah bagian dari data mining yang berusaha menggali pola-pola yang tersedia di dalam web itu sendiri. Menurut (Liu, B., 2007), web mining bertujuan untuk menemukan informasi atau pengetahuan yang bermanfaat dari struktur web hyperlinks, halaman web, dan data penggunaan web.
Berdasarkan target
analisanya web mining terdiri dari tiga bagian (Srivastava J., 2013) yaitu: 1. Web struktur mining merupakan proses yang menggunakan teori graph untuk menganalisa simpul(node) dan ketrehubungan struktur dari situs. 2. Web content mining adalah proses mendapatkan informasi yang berguna dari isi(content) web. Berbeda dengan dua jenis web mining sebelumnya, sumber data primer dari web usage mining adalah log akses web server, bukan halaman web. 3. Web usage mining merupakan perkembangan dari teknik data mining. Pada jenis struktur mining dan content mining target analisa difokuskan pada data didalam web sedangkan pada web usage mining yang dianalisa adalah tingkah laku pengunjung terhadap halaman web.
287
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3. DATA DAN METODE Pada
gambar dibawah ini
terlihat data yang diberikan oleh log server
diantaranya adalah salah seorang pengunjung menggunakan IP address 180.253.96.249, waktu pengaksesan tanggal 19 November 2013 jam 14:42:34, http request : http://www.dirgantra-lapan.or.id/jizonpolud.htm dengan browser yg dipakai adalah Mozilla versi 5.0
Gambar 3: Data access log server dirgantara-lapan.or.id Keterangan : o VISITS adalah penjelasan berapa keseluruhan kunjungan o UNIQUE VISITORS adalah jumlah pengunjung tanpa memperhitungkan kunjungan balik o PAGEVIEWS adalah jumlah laman yang dibaca o PAGES/VISIT adalah rata-rata laman yang dibaca per kunjungan, semakin besar nilainya berarti semakin berkualitas informasi pada website. o AVERAGE VISIT DURATION adalah lamanya waktu per kunjungan o BOUNCE RATE adalah persentase pengunjung yang hanya membaca satu halaman. Semakin kecil nilai ini semakin baik.
Gambar 4: Data segmentasi
288
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Untuk proses analisis web ini menggunakan metode Google analytic, dengan tahapan proses dimulai dengan mengumpulkan informasi melalui sumber data primer dari web usage mining yaitu berupa informasi dari log akses server dan browser log. Log akses server akan mencatat pola prilaku dan profil dari setiap pengunjung web yaitu berupa IP address pengunjung, waktu akses situs, Http Request Field (halaman yang diakses dan jenis browser yang dipakai), status akses serta ukuran(byte) halaman yang diakses. Sedangkan browser log yaitu informasi berupa cookies seperti informasi browser dan durasi pengunjung berada di suatu halaman. Informasi tersebut akan tersimpan pada data log file
yang akan diperlukan oleh Google analytics dalam
menganalisi web. Berikut adalah metode yang digunakan dalam proses analisis web :
Gambar 5: Proses/ metode analisis web
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada pembahasan ini metode/alat yang digunakan untuk analisis web adalah menggunakan Google Analytics karena pelaporan analisis webnya lebih lengkap serta memiliki kontrol yang sangat ketat terhadap hak akses accountnya. Setiap aktivitas pengunjung web akan dicatat pada sebuah file log, file ini berisi informasi mengenai pola akses dan kelakuan pengguna dalam mengakses halaman web.
Gambar 6: Jumlah Pengunjung per Periode Waktu
289
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Hasil informasi Google analytics pada gambar 6 berupa data pengunjung tertinggi per minggu yang diperoleh pada periode 17 November sampai 23 November 2013 dengan jumlah 586 pengunjung. visitor(pengunjung baru) sebanyak
Pada diagram lingkaran terlihat new
25,6% dan komposisinya masih lebih banyak
daripada return visitor (pengunjung yang kembali). New visitor menandakan keberhasilan dalam optimasi offpage yaitu ditandai adanya back link atau link dari website lain yang me-link ke website Lapan Bandung.
Gambar 7: Segmentasi pengunjung berdasarkan device, Browser dan OS yang digunakan Desktop sebagai perangkat pengakses web masih menduduki peringkat tertinggi sebanyak 1.690 setelah versi mobile dan tablet. Dalam pengembangan web pun perlu diperhatikan agar web yang dibangun lebih bersifat responsive agar dapat diakses dengan nyaman dalam berbagai perangkat. Browser Firefox merupakan pengguna 290
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
terbanyak sebesar
44,05%
setelah Chrome(30,24%),
Operamini(11,41%) dan
Android(4,48%). Dengan memperhatikan faktor pola prilaku pengunjung tersebut serta peningkatan kualitas isi maka akan menaikkan popularitas web sehingga lalu lintas web akan semakin meningkat dan tranformasi layanan informasi web Lapan Bandung akan semakin baik pula. 5. KESIMPULAN Google analytics merupakan alat berupa software gratis yang digunakan untuk mengetahui kepadatan lalu lintas website. Sumber data utama web usage mining adalah server logs dan browser logs, kedua data tersebut menjadi sumber informasi pula bagi google analytic. Pada diagram lingkaran terlihat persentasi new visitor 74,4% dan return visitor adalah 25,6%, masih dikatakan cukup baik karena return visitor masih sedikit diatas 20% jika dibawah angka tersebut maka perlu adanya peningkatan kualitas content. Dari sisi perangkat pengaksesan terhadap web Lapan Bandung selain desktop sebagai pengguna terbanyak, perangkat mobile dan tablet juga sering digunakan. Pengguna Operating System Windows 76,19% menjadi pengguna terbanyak dan selebihnya pengguna OS versi mobile. Hasil dari analisa dan informasi diatas dapat digunakan untuk meningkatkan layanan aplikasi web terutama dalam sisi kualitas content, kecepatan akses dan pengembangan web, sehingga melalui laporan yang diberikan oleh Google Analytic maka pengukuran kinerja web dapat diketahui. DAFTAR RUJUKAN Instruksi Presiden No.3 Tahun 2003, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan eGovernment,http://www.apjii.or.id/v2/upload/Regulasi/InPresRI3Th2003.pdf,
diakses
September 2013. Internet, http://idiotechie.com , Cara Kerja Google Analytic, diakses November 2013 Liu, B., Web Data Mining: Exploring Hyperlinks, Contents, and Usage Data, Springer, 2007, diakses Juli 2013 Srivastava J.[et al] Web Mining-Concepts, Application & Research Direction: Departement of Computer Science, University of Minnesota, diakses September 2013.
291
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Wikipedia, Google Analytic, http:/id.wikipedia.org/Google_Analytics, diakses Oktober 2013. Wikipedia, web mining, http://en.wikipedia.org/wiki/Data_mining , diakses Oktober 2013. http://telematikapembebas.wordpress.com/2013/12/26/sebelas-alat-analisis-situs-webwebsite-analytics-terbaik, diakses September 2013.
292
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
SISTEM OTENTIKASI SINGLE SIGN ON UNTUK TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG Elyyani , Rizal Suryana Space Science Center– LAPAN
[email protected];
[email protected]
Abstrak Pusat Sains Antariksa memiliki teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung kegiatan penelitiannya. Teknologi informasi dan komunikasi meliputi jaringan lokal, internet, Virtual Private Network dan berbagai sistem informasi berbasis web dalam mendukung operasi pelayanan cuaca antariksa dan riset antariksa. Pusat data (data center) sains antariksa, sistem penyimpanan berbasis komputasi awan, email, website dan hotspot merupakan sistem aplikasi yang digunakan penelitian secara real-time yang memungkinkan pengguna dapat mengaksesnya secara online untuk mendapatkan informasi/data terbaru. Aplikasi-aplikasi tersebut belum terintegrasi secara sistem, dimana sistem pengaksesan untuk masing-masing aplikasi tersebut masih menggunakan otentifikasi user yang berbeda-beda dan mengakibatkan user harus melakukan login yang berbeda dalam setiap aplikasi yang ada. Hal ini tentunya akan menyulitkan dalam hal pengelolaan data user akibat dari banyaknya user dan password yang dimiliki setiap orang untuk mengakses berbagai aplikasi tersebut. Teknologi Single Sign On adalah sistem yang mengizinkan pengguna dapat mengakses sumber daya dalam jaringan hanya dengan menggunakan satu account saja. Pada teknologi ini identitas user akan diambil berdasarkan user email yang sudah dimilikinya dan akan tersimpan pada sebuah credential store berupa LDAP (Lightweight Directory Access Protokol). Sedangkan proses otentifikasi dari setiap aplikasi akan disimpan pada server otentifikasi yang menangani validasi dan authorisasi user. Teknologi ini dapat mengintegrasikan berbagai aplikasi yang ada pada jaringan Lapan Bandung melalui kemudahan dalam pemrosesan data untuk setiap aplikasi yang disediakan pada layanan informasi cuaca antariksa. Kata kunci : single sign on, LDAP, otentikasi Abstract Space Science Center has information and communication technologies to support research activities . Information and communication technology includes local network, Internet, Virtual Private Network and a variety of web-based information systems in support of operations space weather services and research space. Data center (data center) space science, cloud-based storage systems, email, and website is a hotspot research application systems used in real-time which enables users to access them online to get the information/the latest data. The applications did’nt yet as integrated system, where the system accessing it for each applications, and still use the different user authentication and the resulting user must login many different for any existing application. This condition will cause difficulties in terms of user data management due to the many user and password of every person to access a variety of applications. Single Sign-On technology is a system that allows users to access resources in the network using only one account. This technology will be taken based on the user identity email that already exsist and will be stored in a credential store such as LDAP ( Lightweight Directory Access Protocol ), while the process of each application authentication will be stored on a server that handles user authentication and 293
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
authorization for validation. This technology can integrate to a variety of applications that exist on the network of Lapan Bandung through the ease of data processing for each application that provided in the space weather information services. Keywords : single sign-on, LDAP, authentication
1. PENDAHULUAN Dalam rangka pelayanan informasi/data sains antariksa dan atmosfer, Lapan Bandung memiliki beberapa sistem informasi dan aplikasi bersifat real-time dan online yang dapat digunakan untuk kepentingan penelitian. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi maka hal ini memungkinkan pengguna dapat mengakses data kapan dan dimanapun.
Saat ini Lapan Bandung memiliki sumber
daya(resources) penting yang dapat diakses seperti data center sains antariksa, hotspot, email, cloud storage(media penyimpanan data online) dan sistem informasi lainnya. Dalam mengakses setiap sistem informasi/aplikasi tersebut
membutuhkan proses
otentikasi. Otentikasi adalah suatu proses untuk memverifikasi apakah seseorang berhak mengakses suatu layanan atau tidak.
Proses tersebut dilakukan melalui halaman
registrasi dan database pengguna yang terpisah untuk setiap aplikasi, ini akibat dari adanya basis data antar aplikasi yang belum terintegrasi. Proses login ke setiap aplikasi tersebut memiliki banyak user name dan password yang berbeda-beda, oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan account untuk otentikasi pada setiap sistem informasi tersebut.
Gambar 1: Kondisi sistem saat ini berbasis Sistem Sign On
Makalah ini akan membahas desain sistem otentikasi untuk setiap sistem aplikasi yang dimiliki Lapan Bandung dengan menggunakan sistem single sign on. Melalui sarana otentikasi yang terintegrasi maka dapat dibangun web service berupa central autentication service melalui teknologi Single sign on (SSO). Teknologi SSO adalah teknologi yang mengizinkan pengguna jaringan agar dapat mengakses sumber daya dalam jaringan hanya dengan menggunakan satu akun pengguna saja. Seorang 294
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
pengguna hanya cukup melakukan proses otentikasi sekali saja untuk mendapatkan izin akses terhadap semua layanan yang terdapat di dalam jaringan (Wikipedia, 2013). Identitas user akan disimpan pada sebuah data store yang berupa Lightweight Directory Access Protocol (LDAP). Otentikasi dari semua aplikasi yang ada diatur oleh sebuah server otentikasi berupa Central Authentication Services( CAS). Tujuan utama dari makalah ini adalah membuat konsep otentikasi dalam mengakses berbagai sistem informasi yang ada di LAPAN Bandung melalui manajemen user terpusat sehingga keamanan data pengguna lebih terjamin. 2. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Hursti Jani (1997), Single sign on (SSO) adalah teknologi yang mengizinkan pengguna jaringan agar dapat mengakses sumber daya dalam jaringan hanya dengan menggunakan satu akun pengguna saja. Pendekatan federasi adalah salah satu pendekatan Single Sign On, pendekatan ini meyediakan identifikasi terpusat dan layanan manajemen otentikasi yang sejalan dengan kumpulan pernyataan identifikasi yang dialokasikan. Hampir seluruh arsitektur SSO saat ini berdasarkan pada model ini. Pendekatan federasi ini menggunakan konsep cookie untuk aplikasi berbasis web. Arsitektur sistem SSO memiliki dua komponen yaitu
Agent : berfungsi menterjemahkan setiap permintaa HTTP yang masuk ke web server. Agent tersebut akan berinteraksi dengan web browser pada sisi klien dan dengan server SSO pada sisi aplikasi
SSO server : menggunakan cookies sementara yang berisi informasi user-id, sessies untuk menyediakan fungsi manajemen sesi. Central Autentication Server adalah salah satu cara yang digunakan untuk
mengintegrasikan SSO. CAS server dan klien CAS merupakan dua komponen sistem arsitektur CAS yang berkomunikasi melalui berbagai protocol (Addison dkk, 2011). LDAP (Lightweight Directory Access Protocol) merupakan TCP / IP berbasis protokol internet yang digunakan oleh program email dan beberapa aplikasi lain untuk mencari dan mengambil informasi dari sebuah directory service disimpan pada sebuah server. Direktory service berupa sekumpulan obyek yang memiliki atribut yang secara logika maupun hirarki terorganisasi dengan baik. Client email sering menggunakan LDAP untuk mengakses informasi direktori dari server LDAP yang menggunakan model client-server. Client mengirimkan identifier pada server dan server akan 295
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
mencoba mencarinya pada DIT (Directory Information Tree) yang tersimpan pada server (Cipta Sukmana, R., 2006). 3. DATA DAN METODE OpenLDAP adalah softweare free, open source dari Lightweight Directory Access Protocol (LDAP) di kembangkan oleh OpenLDAP Project. E-mail Lapan Bandung sendiri saat ini pengelolaannya menggunakan LDAP untuk menyimpan data pengguna seperti username, password, nama dan lainnya. Data pengguna akan diambil dari database email Lapan Bandung berbasis zimbra yang saat ini sedang berjalan.
Gambar 2: Data user email Lapan Bandung Metode yang dipakai menggunakan teknologi Single Sign On dan Single Sign Out. Single Sign On, sistem otentikasi terhadap user melalui login satu aplikasi sehingga aplikasi lainnya otomatis dapat diakses. Single Sign Out, log out di satu aplikasi maka aplikasi lain akan otomatis ikut logout. Pendekatan
SSO
menggunakan
konsep
cookies,
menurut
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31207/3/Chapter%20II.pdf :
296
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
age
age
Gambar 3: Pendekatan SSO berbasis konsep cookie
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mendukung kegiatan penelitian sains antariksa Lapan Bandung memiliki aplikasi berbasis web diantaranya data center sains antriksa, aplikasi email, cloude storage dan sistem informasi lainnya dengan sistem otentikasi user sendiri-sendiri. Sistem informasi tersebut masih stand alone, database user masih berdiri sendiri untuk setiap login aplikasi dan belum terintegrasi secara sistem, gambar 4. Kendalanya adalah jika ada masalah otentikasi maka akan mengalami kesulitan dalam manajemen pengguna.
Halaman pengelolaan content
E mail account Lapan Bandung
Foss.dirgantara-lapan.or.id
Cloud Storage
Gambar 4: Sistem informasi/aplikasi yang dapat diintegrasikan
Dari beberapa sistem informsi diatas diharapkan ada pengelolan user terpusat, sehingga setiap user memiliki satu otentikasi untuk semua layanan yang diijinkan. Dengan penerapkan teknologi sistem single sign on maka berbagai sistem informasi tersebut dapat diintegrasikan, sebagai media komunikasi antar web server dan client dapat digunakan central authentication services(CAS). Berbagai informasi seperti
297
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
username, password, nama, alamat, dan lainnya akan disimpan pada data sore yang berupa direktory service berbasis LDAP(Lightweight Directory Access Protocol). Data store
SSO
Gambar 5: Desain sistem otentikasi untuk sistem informasi/aplikasi Lapan Bandung
Untuk kebutuhan di Lapan Bandung, server SSO (CAS) dan LDAP berada dalam satu server untuk memudahkan dalam pengembangan layanan aplikasi lainnya sedangkan server layanan seperti server web, email, data center memiliki server masingmasing. Pengguna melakukan login(username dan password) yang disediakan server SSO kemudian data pengguna disesuaikan dengan data store (LDAP). Jika otentikasi berhasil maka dilakukan pembuatan cookie local dan session dan pengguna dapat mengakses layanan sesuai hak akses yang diijinkan. Manfaat yang diperoleh dari penerapan teknologi Single Sign On adalah pengguna tidak perlu mengingat banyak username dan password untuk mengakses beberapa layanan system informasi sehingga pemrosesan data menjadi lebih mudah. 5. KESIMPULAN Penggunaan Single Sign On menjadikan proses otentikasi untuk layanan sistem informasi menjadi lebih praktis karena pembuatan data user disetiap layanan cukup sekali entry data user ke dalam database directory service(LDAP). Teknologi Single Sign On ini dapat meningkatkan efisensi karena tidak perlu melakukan otentikasi yang berulang-ulang untuk proses layanan aplikasi yang disediakan. Sistem ini pun sangat cocok diterapkan pada jaringan besar seperti Lapan Bandung, pada masa mendatang teknologi yang ada akan terus berkembang tentunya membutuhkan sistem integrasi melalui sistem otentikasi yang lebih aman.
298
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
DAFTAR RUJUKAN Addison, Marvin S.,Scott Battaglia, Anrew Petro , Jasig CAS Documentation. Jag, 2011. Cipta Sukmana, R., Pengenalan LDAP, IlmuKomputer.com, 2006. Hursti,J., “Single Sign-On,” Departemen of Computer Science, Helsinki University of Technology, 1997. Internet,
Pendekatan
SSO
berbasis
konsep
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31207/3/Chapter%20II.pdf
cookie, ,
diakses November 2013 Wikipedia, Single Sign On, diakses November 2013.
299
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS PULSA MAGNET PC5 TERKAIT DINAMIKA SABUK RADIASI ELEKTRON Harry Bangkit, L. M. Musafar K, Habirun, Mira Juangsih, Moh. Andi Aris Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional email:
[email protected]
Abstrak Pulsa magnet Pc5 merupakan gelombang hidromagnetik dengan rentang periode antara 150-600 detik. Gelombang tersebut dibangkitkan secara ekternal sebagai konsekuensi dari interaksi angin surya dengan medan magnet Bumi, dan secara internal akibat dinamika magnetosfer bagian-dalam. Selama berlangsungnya badai magnet terjadi peningkatan pulsa magnet Pc5. Baik badai magnet maupun fenomena substorm melibatkan proses percepatan partikel magnetosfer menuju energi relativistik. Dimana percepatan partikel tersebut diyakini sebagai akibat dari proses energisasi dalam interaksinya dengan gelombang ULF di magnetosfer. Pulsa Pc5 diekstrak menggunakan transformasi wavelet untk skala 100 hingga 600 dengan Morlet sebagai mother-wavelet. Ekstrasi Pc5 dilakukan untuk data komponen-H variasi medan magnet Kupang dan Manado. Analisa dilakukan dengan melihat peningkatan fluks elektron sabuk radiasi data satelit GOES, power spektrum Pc5 komponen-H, dan indeks Dst. Dari beberapa kasus kejadian selama tahun 2010 terlihat peningkatan fluks elektron sabuk radiasi yang teramati terkait dengan kemunculan gelombang Pc5 dalam rentang waktu yang cukup panjang meskipun indeks badai menunjukkan kondisi tenang. Hal ini mungkin berhubungan dengan energisasi elektron di magnetosfer/ionosfer sebagai konsekuensi interaksi gelombang ULF dengan elektron tersebut. Kata Kunci : Pulsa Magnet, Sabuk Radiasi, Elektron Relativistik Abstract Pc5 magnetic pulsations is known as a hydromagnetic waves with period in the range of 150-600 seconds. Occurrence of the Pc5 pulsations imply consequences of interaction between solar wind with Earth's magnetic field, and manifestation of dynamics in the magnetosphere. In period of active magnetosphere especially during magnetic storm or substorm the activity of Pc5 magnetic pulsation increased. Both magnetic storm and substorm phenomena involving processes of particle acceleration to relativistic energy in the magnetosphere. The particle acceleration is believed as a result of wave-particle interaction in the magnetosphere. Pc5 magnetic pulsations were extracted by using wavelet transform where Morlet function as a mother-wavelet has been chosen. The wavelet transform were applied for H-component of magnetic field in Kupang and Manado stations. The analyses was done with comparing the electron fluxes data with spectrum power of Pc5 pulsations and also Dst index has been use to confirm the occurrence of magnetic storm. During 2010 we observed several events of electron radiation belt where life time of large amplitude Pc5 magnetic pulsations extended to several days eventhough Dst index relatively quiet. We expected this may be related to energization processes of electrons in the magnetosphere / ionosphere as a consequence of interaction of ULF waves with the electrons. Keywords : Magnetic Pulsations, Radiation Belt, Relativistic Electron
300
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
PENDAHULUAN Manifestasi lain dari interaksi plasma angin surya dengan magnetosfer Bumi
adalah tereksitasinya gelombang plasma frekuensi rendah (ULF, ultra-low frequency). Berdasarkan sifat kemunculannya di magnetosfer gelombang ULF dibedakan menjadi dua kategori yaitu pulsa magnet kontinyu (Pc) dan pulsa magnet iregular (Pi). Pulsa magnet Pc5 merupakan pulsa magnet kontinyu dengan rentang periode 150 – 600 detik. Sifat-sifat pulsa magnet Pc5 telah banyak diselidiki termasuk Pc5 selama badai magnet dan substorm. Interaksi antara angin surya dan magnetosfer merupakan penggerak utama dari proses-proses yang terjadi di magnetosfer dan ionosfer. Interaksi ini sering dilihat menggunakan asumsi implisit kuasi-stabil dan atau aliran plasma. Namun, konsepsi baru tentang dinamika plasma magnetosferik sedang dikembangkan, dimana proses turbulensi memegang peranan mendasar (Antonova, 2000; Borovsky dan Funsten, 2003). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mempelajari hubungan antara percepatan elektron relativistik (elektron dengan energi > 2 MeV) dengan gelombang Pc5 magnetosferik. Dan didapati peningkatan relativistik elektron tersebut tidak berkolerasi langsung dengan badai magnetk (indeks Dst), sebaliknya peningkatan tersebut berkolerasi baik dengan peningkatan gelombang ULF, yang disebabkan peningkatan pulsa Pc5 di magnetosfer (Kozyreva, 2007). Baik badai magnet, yaitu pertumbuhan sabuk radiasi dan arus cincin, maupun fenomena substorm melibatkan proses percepatan partikel menuju energi relativistik. Dimana percepatan partikel tersebut diyakini sebagai akibat dari proses energisasi dalam interaksinya dengan gelombang ULF di magnetosfer. Dalam makalah ini akan dianalisa hubungan antara pulsa magnet Pc5 yang terekam oleh magnetometer di lintang rendah dengan variasi fluks elektron sabuk radiasi. 2.
DATA DAN METODE Dalam studi ini digunakan data variasi medan magnet rekaman magnetometer
yang terletak di Kupang dan Manado selama tahun 2010. Magnetometer merekam data dengan resolusi 1-detik untuk 3-komponen medan magnet yaitu H, D dan Z. Pulsa Pc5 diekstrak menggunakan transformasi wavelet untuk skala 100 hingga 600 dengan fungsi Morlet sebagai mother-wavelet.
301
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
W ( a ,b )
t 2 1/ 4 0t exp i exp a a y( t ) dt a
dimana a adalah skala wavelet dan y(t) adalah data variasi medan magnet. Ekstrasi pulsa Pc5 dilakukan pada data komponen-H variasi medan magnet karena respon medan magnet Bumi terhadap pulsa tekanan angin surya serta interaksi medan magnet Bumi dan medan magnet antar-planet dominan terjadi pada komponen tersebut. Indeks badai (Dst) diperoleh dari World Data Center for Geomagnetism, Kyoto. Data fluks elektron sabuk radiasi 5-menitan diperoleh dari Space Weather Prediction Center (SWPC), NOAA.
Gambar 1: Transformasi wavelet komponen-H variasi medan magnet Bumi untuk skala wavelet 100 hinga 600. Analisis dilakukan dengan melihat perubahan fluks elektron sabuk radiasi data satelit GOES dengan power spektrum Pc5 pada beberapa kejadian. Aktivitas badai magnet di lintang rendah diamati dengan indeks Dst. Selain itu digunakan pula data fluks elektron relativistik rekaman satelit GOES selama tahun 2010. Dianalisis data fluks elektron pada energi konstan yaitu elektron yang memiliki energi ~2MeV yang mana mengekalkan ketiga sifat invarian adiabatik. Oleh karena satelit GOES mengorbit pada ketinggian L~5, maka fluks elektron yang terekam oleh satelit GOES merupakan fluks elektron pada sabuk radiasi bagian luar.
302
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pulsa Pc5 diekstrak menggunakan transformasi wavelet pada skala 100 hingga
600, selanjutnya power spektrum Pc5 yang diamati adalah nilai maksimum, minimum, dan rata-rata. Fluks elektron yang diamati adalah fluks elektron dengan energi lebih besar dari 2 MeV (grafik warna merah), dimana garis biru horizontal adalah ambang event, dimana jika fluks electron > 2 MeV melewati ambang ini maka terbentuk sabuk radiasi elektron. Sepanjang tahun 2010 dilihat beberapa kejadian dengan klasifikasi kejadian: tenang, dan terganggu. Selama bulan Februari kondisi magnetosfer cenderung tenang (gambar 2), hal ini terlihat pada variasi indeks Dst. Selama perioda ini tidak ada peningkatan fluks elektron > 2MeV melewati ambang event. Power spektrum Pc5 cenderung kecil, walaupun terlihat beberapa lonjakan yang cukup besar namun durasinya tidak cukup untuk mengenergisasi elektron.
Gambar 2: Tidak ada peningkatan fluks elektron melewati ambang event (garis biru), artinya tidak terbentuk sabuk radiasi. Terjadi beberapa lonjokan power Pc5 namun durasinya tidak cukup untuk mengenergisasi elektron. Klasifikasi terganggu terjadi pada bulan April dan Mei, terlihat adanya peningkatan badai tanggal 6 April mencapai -80 nT (gambar 3), dan 2 Mei mencapai -70 nT (gambar 4). Terlihat peningkatan power Pc5 yang sangat kuat saat onset badai 6 April, dan diikuti peningkatan fluks elektron melewati batas event, artinya terbentuk sabuk radiasi elektron, sampai 5 hari kedepan. Sementara peningkatan power Pc5 pada 2 Mei tidak
303
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
sebesar 6 April, namun durasinya lebih lama sehingga pembentukan sabuk radiasi elektron terjadi sampai 15 hari ke depan.
Gambar 3: Terlihat adanya peningkatan badai tanggal 6 mencapai -80 nT, peningkatan power Pc5 yang sangat kuat saat onset badai, dan diikuti peningkatan fluks elektron melewati batas event.
Gambar 4: Terlihat adanya peningkatan badai tanggal 2 mencapai -70 nT, durasi peningkatan power Pc5 cukup panjang sehingga dapat mengenergisasi elektron sampai 15 hari kedepan . Kasus menarik terjadi bulan Juli dan Oktober tahun 2010 sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5 dan 6. Kondisi magnetosfer selama bulan Juli tergolong tenang yaitu tidak ada badai magnet dan hal tersebut diindikasikan melalui indeks Dst. 304
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Penurunan kecil indeks Dst terjadi pada tanggal 15 Juli 2010. Penurunan indeks Dst diikuti oleh penurunan fluks elektron relativistik dan peningkatan kekuatan gelombang Pc5. Efek penurunan fluks elektron tersebut selama badai magnet merupakan respon adiabatik elektron terhadap pengurangan medan magnet global. Sedangkan peristiwa badai magnet yang terjadi pada tanggal 11 Oktober 2010 juga diikuti oleh penurunan fluks elektron relativistik dan penguatan gelombang Pc5. Akan tetapi terkait badai magnet 11 Oktober 2010 tersebut terjadi peningkatan fluks elektron 2MeV melebihi level awalnya sebelum badai. Peningkatan fluks elektron tersebut merupakan respon non-adiabatik elektron terhadap perubahan medan magnet. Meskipun demikian, pada kedua kasus tersebut terjadi peningkatan gelombang Pc5 selama perubahan fluks elektron relativistik. Sedangkan kasus lainnya terjadi pada tanggal 26-31 Juli dan 22-31 Oktober 2010. Selama rentang waktu tersebut, kondisi magnetosfer sangat tenang dan teramati kemunculan gelombang Pc5 dalam rentang waktu cukup lama. Terkait peningkatan gelombang Pc5 tersebut teramati adanya peningkatan fluks elektron relativistik dan pembentukan sabuk radiasi elektron pada tanggal 27-31 Juli dan 24-30 Oktober 2010. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa peningkatan fluks elektron relativistik dan pembentukan sabuk elektron bagian luar sangat terkait dengan penguatan gelombang Pc5.
Gambar 5: Terjadi peningkatan elektron relativistik saat indeks badai tenang tanggal 16 dan 23-31 Juli. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa peningkatan fluks elektron relativistik dan pembentukan sabuk elektron bagian luar sangat terkait dengan penguatan gelombang Pc5. 305
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 6: Terjadi peningkatan elektron relativistik saat indeks badai tenang tanggal 21-31Oktober. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa peningkatan fluks elektron relativistik dan pembentukan sabuk elektron bagian luar sangat terkait dengan penguatan gelombang Pc5. Dalam kasus-kasus yang ditunjukkan di atas teramati bahwa variasi fluks elektron relativistik dengan energy 2MeV memperlihatkan perubahan yang serupa dengan perubahan indeks Dst selama badai magnet. Akan tetapi tidak semua peningkatan fluks elektron relativistik tersebut terkait dengan badai magnet. Peningkatan fluks elektron relativistik sangat terkait dengan peningkatan gelombang Pc5 dan/atau kemunculan gelombang Pc5 dalam rentang waktu yang cukup panjang. Berdasarkan fakta-fakta yang ditunjukkan di atas maka dapat dinyatakan bahwa proses energisasi elektron relativistik dan pembentukan sabuk radiasi elektron bagianluar dapat terjadi melalui interaksi antara gelombang Pc5 dengan elektron relativistik tersebut. Interaksi antara gelombang Pc5 dengan elektron relativistik dapat terjadi melalui resonansi antara gerak drift elektron dengan gelombang Pc5. Akan tetapi mekanisme transpor elektron dari ionosfer dan magnetosfer bagian-dalam menuju magnetosfer bagian-luar masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab.
306
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4.
KESIMPULAN Peningkatan fluks elektron sabuk radiasi teramati terkait dengan kemunculan
gelombang Pc5 dalam rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini mungkin terkait dengan energisasi elektron di magnetosfer/ionosfer sebagai konsekuensi interaksi gelombang ULF dengan elektron tersebut. Dinamika fluks elektron sabuk radiasi sebanding dengan variasi indeks Dst selama badai magnet. Akan tetapi tidak semua peningkatan fluks elektron tersebut terkait dengan badai magnet. Interaksi antara gelombang Pc5 dengan elektron relativistik dapat terjadi melalui resonansi antara gerak drift elektron dengan gelombang Pc5. DAFTAR RUJUKAN O. Kozyreva, V. Pilipenko, M.J Engebretson, K. Yumoto, J. Watermann, N. Romanova, In search
of a new ULF wave index: Comparison of Pc5 power with
dynamics of geostationary relativistic electrons, Planetary and space science 55, 755-769, 2007. Antonova, E.E., 2000. Large scale magnetospheric turbulence and the topology of magnetospheric currents. Adv. Space Res. 25, 1567. Borovsky, J.E., Funsten, H.O., 2003. Role of solar wind turbulence in the coupling of the solar wind to the Earth’s magnetosphere. J. Geophys. Res. 108, 1246.
307
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
MODEL EMPIRIK HARI TENANG GEOMAGNET DI REGIONAL INDONESIA Mamat Ruhimat, M Andi Aris, Clara Y Yatini Pusat Sains Antariksa,LAPAN Jl. DR Djundjunan 133 Bandung
[email protected]
Abstrak Variasi hari tenang geomagnet merupakan variasi geomagnet yang tidak mengalami gangguan, rekaman geomagnetnya dari hari ke hari reguler dengan kurva yang mulus. Dalam penelitian ini dihitung model empirik hari tenang geomagnet menggunakan data geomagnet yang dimiliki Lapan dari tujuh stasiun yang tersebar di wilayah Indonesia yaitu Kototabang, Sumedang, Pontianak, Parepare, Manado, Kupang dan Biak. Model empirik hari tenang geomagnet yang dikembangkan berdasarkan kebergantungan variasi hari tenang geomagnet terhadap aktivitas matahari, hari dalam tahun, usia bulan dan waktu lokal. Dari hasil analisis diperoleh peningkatan amplitudo variasi hari tenang geomagnet yang berbanding lurus dengan peningkatan aktivitas matahari (F10,7). Pada posisi matahari dibelahan bumi selatan diperoleh amplitudo variasi hari tenang geomagnet lebih besar daripada variasi hari tenang geomagnet pada saat matahari dibelahan bumi utara. Kata Kunci: Hari tenang geomagnet, Model empirik, Gangguan geomagnet. Abstract Variation in geomagnetic quiet day measurement is geomagnetic variation that is not susceptible to the interference. The geomagnetic records show smooth curve regularly from day to day. We calculate the empirical model of geomagnetic quiet day by using the geomagnetic data observed from Kototabang, Sumedang, Pontianak, Parepare, Manado, Kupang and Biak. This model is developed based on the dependence of geomagnetic quiet day variation to the solar activity, day of the year, lunar age, as well as the local time. We found that the increase of the amplitude of geomagnetic quiet day variation is proportional to the increase of the solar activity (F10.7). The amplitude is greater when the sun in the southern hemisphere rather than in the northern hemisphere. Keywords: Geomagnetic quiet day, Empirical model, Geomagnetic disturbance
308
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
PENDAHULUAN Cuaca Antariksa merupakan kondisi lingkungan antariksa di sekitar Bumi
(magnetosfer, ionosfer dan termosfer) yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas matahari yang bisa berpengaruh terhadap kelangsungan dan daya tahan dari benda-benda antariksa dan sistem teknologi landas bumi buatan manusia. Parameter cuaca antariksa salah satunya adalah berhubungan dengan aktivitas geomagnet atau gangguan geomagnet. Dari pencatatan rekaman geomagnet terdapat dua tipe variasi geomagnet yaitu variasi hari tenang dan variasi terganggu atau badai geomagnet. Secara fisis telah diketahui bahwa amplitudo dan fase dari hari tenang variasi geomagnet dipengaruhi oleh aktivitas matahari (Rastogi and Iyer, 1976). Selain itu berdasarkan penelitian di lintang khatulistiwa juga terdapat hubungan linier antara amplitudo hari tenang variasi geomagnet dengan emisi radio matahari 10,7 cm atau F10,7 (Rastogi et al., 1994). Dari penelitian Yamazaki et al. (2011) telah diketahui bahwa variasi musiman dari hari tenang variasi geomagnet dapat dinyatakan sebagai superposisi komponen stasioner, komponen tahunan dan komponen semi tahunan, selain itu amplitudo dan fase dari hari tenang variasi medan geomagnet ini bergantung juga pada usia bulan. Begitu pula studi yang sama telah menunjukkan bahwa amplitudo komponen harmonik ke satu, kedua, ketiga dan ke empat dari hari tenang variasi geomagnet adalah dominan untuk variasivariasi waktu lokal (Campbell et al., 1992; Campbell, 1990). Dalam mengembangkan model empirik hari tenang variasi geomagnet perlu diperhatikan keterkaitan atau kebergantungan hari tenang variasi geomagnet terhadap beberapa komonen yang dapat mempengaruhinya. Komponen-komponen tersebut antara lain adalah aktiitas matahari, waktu lokal, hari dalam tahun (day of year DOY), dan umur bulan. Sedangkan pengujian model dilakukan untuk tiga komponen saja yaitu aktivitas matahari yang diwakili oleh fluks 10.7 cm, waktu lokal, dan DOY. Model empirik ini dibangun menggunakan metode yang digunakan oleh Yamazaki et al.(2011) dan
Kakinami et al.(2009) berdasarkan fungsi kecocokan multivariabel data
pengamatan geomagnet kondisi hari tenang di regional Indonesia. 2. DATA DAN METODOLOGI Dalam penelitian ini digunakan data geomagnet dari tujuh stasiun yang tersebar di wilayah Indonesia yaitu dari Kototabang, Sumedang, Pontianak, Parepare, Manado, Kupang dan Biak pada tahun 1993 sampai dengan tahun 20011. Data variasi geomagnet 309
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
distandarisasi yaitu rata-rata jam data dalam waktu lokal dikurangi dengan peratarataan 6 jam data malam hari jam 22 sampai jam 3 dini hari dengan mengggunakan persamaan H LT t H LT t
H LT 22 H LT 23 H LT 24 H LT 1 H LT 2 H LT 3 6
.....(2-1)
dengan H (t) menunjukkan waktu lokal Data Kp indeks lebih kecil sama dengan 2+ dari World Data Center for Geomagnetism Kyoto University digunakan untuk menentapkan kriteria hari tenang, dan data emisi radio matahari (F10,7) dari National Geophysical Data Center, NOAA digunakan untuk mengetahui tingkat aktivitas matahari. Metode yang digunakan dalam mengembangkan model empirik ini, merupakan gabungan dari metode regresi linier dan polinomial (Yamazaki et al., 2011)
H f SA a1 a 2 * SA .........................................................................(2.2) 2
DOY DOY H g DOY b1 b2k cos 2k . b2k 1 sin 2k. ......(2-3) 365 365 k 1 2 LA 2 LA H hLA c1 c2 cos 2 . c3 sin 2 . ..............................(2-4) 24 24 4 LT LT H i LT d1 d 2 k cos 2k. d 2k 1 sin 2k. .............(2-5) 24 24 k 1
dengan f merupakan fungsi linier aktivitas matahari (SA), dalam hal ini menggunakan F10.7, sedangkan yang lainnya berupa fungsi polinom fourier berturut-turut g fungsi dari hari dalam tahun (day of year/DOY), h fungsi dari usia bulan (lunar age/LA) dan i fungsi dari waktu lokal (local time/LT). Sehingga variasi hari tenang dapat dinyatakan sebagai:
H SA, DOY, LA, LT a1 f1' a2 f 2' * b1 g1' b2 g 2' b3 g 3' b4 g 4' b5 g5' * c1h1' c2 h1' c3 h1' *
d i
' 11
dengan SA
' 2 2
' 3 3
' 4 4
' 5 5
' 6 6
' 7 7
' 8 8
' 9 9
d i d i d i d i d i d i d i d i
(2 - 6)
= aktivitas matahari yang diwakili dengan F10,7 DOY= hari dalam tahun LA
= usia bulan
LT
= waktu lokal
310
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
H SA, DOY , LA, LT
2.5.3.9
p
H p' SA, DOY , LA, LT ............................................(2-7)
p 1
270
H SA, DOY , LA, LT p H 'p .........................................................................(2-8) p 1
' H . H 1' H 1' .H 1' ... H 1' .H 270 1 . . . . ........................(2-9) ' ' ' ' ' H . H 270 H 270 .H 1 ... H 270 .H 270 270
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukkan kurva korelasi aktivitas matahari (F10,7) dengan geomagnet komponen H dari Biak pada pukul 12 siang (waktu lokal) yang telah distandarisasi dengan menggunakan persamaan (2-1) seperti yang dijelaskan dalam bab 2. Adapun kriteria hari tenang adalah bila indeks Kp lebih kecil sama dengan 2+.
Gambar 1 : Korelasi parameter geomagnet komponen H di Biak dan emisi radio matahari (F10,7).
311
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Dari Gambar 1 ini diperoleh persamaan regresi linier yang
menunjukkan
kecenderungan parameter geomagnet H memiliki kebergantungan dengan F10,7 secara linier dengan koefisien korelasi sebesar R = 0.5. Meskipun korelasinya tidak cukup besar, akan tetapi terlihat bahwa aktivitas matahari yang meningkat akan mendorong fluktuasi geomagnet untuk menjadi makin besar. Hal ini bisa terjadi karena yang mempengaruhi fluktuasi geomagnet tidak hanya aktivitas matahari, melainkan masih ada faktor lain diantaranya variasi musiman dan usia bulan (Campbell, 1989).Hasil ini diperlihatkan juga pada kurva simulasi model empirik hari tenang geomagnet yang dibangun dari data geomagnet komponen H stasiun Biak yang dihitung untuk tanggal 17 Februari 2012 (DOY= 48) dengan beberapa nilai F10,7 yang berbeda untuk waktu yang berbeda (Gambar 2).
MODEL HARI TENANG GEOMAGNET di BIAK pada tanggal 17 Feb 2012 Fluktuasi H (nT)
40 30
F10,7 = 50
20
F10,7 = 70
10
F10,7 = 90
0
F10,7 = 110
-10 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23
F10,7 = 130 F10,7 = 150
Waktu (LT)
Gambar 2 : Simulasi model hari tenang terhadap peningkatan aktivitas matahari. Pada Gambar 2 ini tampak bahwa dengan nilai F10,7 yang paling kecil (F10.7 = 50) maka kurva model hari tenang pada jam 12 waktu lokal mempunyai amplitudo yang terendah. Peningkatan puncak kurva hari tenang geomagnet sejalan dengan meningkatnya aktivitas matahari (F10,7). Demikian juga amplitudo yang tertinggi untuk suatu nilai F10.7 diperoleh pada jam 12 waktu lokal dibandingkan dengan waktu yang lain. Selanjutnya akan dilihat bagaimana pengaruh hari dalam tahun (day of year DOY) terhadap amplitudo hari tenang geomagnet. Kurva hasil simulasi model empirik
312
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
hari tenang geomagnet untuk stasiun Biak, jika F10,7 = 130.7 pada beberapa DOY yang berbeda diperlihatkan dalam Gambar 3.
Gambar 3: Menunjukkan kurva hasil simulasi model empirik hari tenang geomagnet untuk stasiun Biak, jika F10,7 = 130,7 pada beberapa DOY yang berbeda.
Pada Gambar 3 ini tampak bahwa amplitudo hari tenang geomagnet memiliki variasi musiman. Saat matahari berada dibelahan bumi utara (bulan Maret – September) lebih kecil dibandingkan pada saat matahari berada dibelahan bumi selatan (bulan September – Maret). Pada DOY 107, 168, dan 229 (yang menunjukkan tanggal 17 April, 17 Juni, dan 17 Agustus) fluktuasi geomagnet menunjukkan amplitudo yang lebih kecil dari pada DOY 290, 351, dan 48 (yang menunjukkan tanggal 17 Oktober, 17 Desember, dan 17 Februari). Dari keenam kurva tersebut amplitudo pada jam 12 waktu lokal mempunyai harga terkecil pada DOY 229 (17 Agustus) dan tertinggi pada DOY 351 (17 Desember). Perbedaan variasi yang lebih tinggi pada posisi matahari di hemisfer selatan dibandingkan dengan hemisfer utara disebabkan karena posisi stasiun Biak yang berada di lintang selatan. Gambar 4 memperlihatkan hasil perhitungan menggunakan model empirik hari tenang geomagnet untuk 7 stasiun pada tanggal 11 September 2012 dengan F10,7 = 105.1.
313
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 4: Menunjukkan kurva model empirik hari tenang geomagnet untuk 7 stasiun pada tanggal 11 September 2012 dengan F10,7 = 105,1. Semua kurva memiliki puncak maksimum sekitar pukul 12 waktu lokal. Amplitudo dari variasi hari tenang ini berkaitan dengan posisi matahari seperti yang dikemukakan Takeda (2002) yang membahas masalah korelasi antara medan magnet pada hari tenang dengan variasi konduktivitas di ionosfer. Variasi pada hari tenang ini terutama disebabkan oleh adanya arus ionosfer. 4.
KESIMPULAN Model empirik hari tenang regional Indonesia dapat diperoleh dengan
melakukan pengolahan data geomagnet
dari 7 stasiun pengamatan dengan
memperhitungkan parameter Kp indeks dan F10.7. Variasi hari tenang geomagnet dipengaruhi oleh aktivitas matahari, waktu lokal, DOY, dan umur bulan. Dengan membangun model empirik, dapat dilihat keterkaitan variasi tersebut terhadap komponen-komponen yang mempengaruhinya. Variasi geomagnet mempunyai korelasi linier dengan aktivitas matahari. Amplitudo variasi geomagnet menunjukkan kecenderungan yang semakin besar dengan meningkatnya aktivitas matahari. Posisi matahari juga memberikan pengaruh yang signifikan. Ini ditunjukkan dengan amplitudo yang paling tinggi pada jam 12 waktu lokal, pada saat matahari berada di zenith. Demikian juga untuk periode musiman. Variasi lebih besar diperoleh pada saat matahari berada di belahan bumi selatan dibandingkan saat matahari berada di belahan bumi
314
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
utara. Ini bisa terjadi karena sebagian besar stasiun pengamatan berada di belahan bumi selatan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Pusat Sains Antariksa LAPAN, untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada LAPAN dan kepada BMKG, KYUSHU UNIV. serta NAGOYA UNIV. atas kerjasama dalam bidang geomagnet. DAFTAR RUJUKAN Campbell WH.(1989), The regular geomagnetic-field variations during quiet solar conditions, in Geomagnetism (eds JA.Jacobs)Vol.3, 385-460, Academic, San Diego. Campbell WH.(1990), Differences in geomagnetic Sq field representations due to variation in sperical harmonic analysis techniques, J. Geophys. Res., 95(A12),20923-20936. Campbell WH., ER.Schiffmacher, BR. Arora, (1992), Quiet geomagnetic field representation for all days and latitudes, J. Geomagn. Geoelectr., 44, 459-480 Kakinami Y., Chen CH., Liu JY., Oyama KL.,Yang WH., Abe S.,(2009), Empirical models of total electron content based on functional fitting over Taiwan during geomagnetic quiet condition, Annales Geophysicae. Rastogi RG., and KN. Iyer (1976), Quiet day variation of geomagnetic H- field at low latitudes, J. Geomagn. Geoelectr., 28, 461-479 Rastogi RG., S Alex, A Patil (1994) Seasonal variations of geomagnetic D, H, and Z fields at low latitudes. J. Geomagn. Geoelectr., 46, 115-126 Takeda M. (2002)The correlation between the variation in ionospheric conductivity and that of the geomagnetic Sq field, J. Atmospheric and Solar Terrestrial Physics 64. P 1617-1621. Yamazaki Y., K.Yumoto,.G. Cardinal, B.J. Fraser, P M. Hattori, Y. Kakinami, J.Y. Liu, K.J.W. Lynn, R. Marshall, D.Mc. Namara, T. Nagatsuma, V.M. Nikiforov, R.E. Otadoy, M. Ruhimat, B.M. Shevtsov, K. Shiokawa, S. Abe, T. Uozumi, A. Yoshikawa, (2011), An Empirical model of the quiet daily geomagnetic field variation, J. Geoph. Res. Vol 116, A10312.
315
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
National Geophyisical Data Center, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ftp://ftp.ngdc.noaa.gov/STP/SOLAR_DATA/SOLAR_RADIO/FLUX/Penticton Observed World
Data
Center
for
Geomagnetism
Kyoto,
http://wdc.kugi.kyoto-
u.ac.jp/kp/index.html
316
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
VARIASI KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO FM DI PAMENGPEUK PADA FREKUENSI 104,9 MHz Mumen Tarigan Peneliti Bidang Teknologi Pengamatan , Pussainsa Lapan e-mail:
[email protected]
Abstrak Kuat sinyal, yang merupakan salah satu parameter komunikasi radio, mengalami perubahan pada saat gelombang merambat melalui atmosfer dari suatu pemancar ke penerima. Pengamatan kuat sinyal gelombang radio pada frekuensi 104,9 MHz dengan daya 5 kilowatt, yang merupakan pemancar radio lokal di Pamengpeuk, dilakukan dengan spektrum analyzer pada bulan Oktober 2013. Diperoleh hasil pengamatan kuat sinyal di BPD Pamengpeuk pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober, jam 7 sampai dengan jam 22 waktu setempat, dengan interval pengamatan sekitar 7 detik, secara berurutan yaitu nilai maksimum kuat sinyal adalah -42,84 dB, -42,80 dB dan -42,93 dB. Rata-rata kuat sinyal dan standard deviasi pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober secara berurutan adalah adalah rata rata -46,96 dB dengan standar deviasi 3,53 dB , rata rata -46,42 dB dengan standard deviasi 3,32 dB dan rata rata -46,75 dB dengan standard deviasi 3,71 dB. Dari nilai rata rata dan standard deviasi kuat sinyal menunjukkan bahwa secara umum komunikasi radio dapat dilakukan selama periode waktu data yang diamati. Pengolahan data kuat sinyal dengan interval data sekitar 1 menit, dengan menggunakan metode spektral analisis harmonik, diperoleh periodisitas dominan pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober 2013 secara berurutan adalah 30 menit, 6 menit dan 5.6 menit. Kata kunci : Kuat sinyal, gelombang radio FM, frekuensi dan metode spektral Abstract Signal strength, which is one of the radio communication parameters , to change when the waves propagate through the atmosphere from a transmitter to a receiver . Observations signal strength of radio wave at frequency 104.9 MHz with a power of 5 kilowatts, which is a local radio transmitters in Pamengpeuk , done with a spectrum analyzer in October 2013. Observations obtained signal strength at the BPD Pamengpeuk on the 5th , 6th and 7th October, local time hours 7 to 22 hours , with about 7 seconds observation interval , that is the maximum value of signal strength respectively is -42.84 dB , -42.80 dB and -42.93 dB. Signal strength average value and standard deviation on the 5th , 6th and October 7th respectively is average - 46.96 dB with a standard deviation of 3.53 dB , -46.42 dB with the average standard deviation of 3.32 dB and -46.75 dB average with standard deviation of 3.71 dB . Of the average value and standard deviation of the signal strength suggests that the overall radio communications can be conducted over a time period of observed signal strength data. Data processing at data intervals about 1 minute, using the method of harmonic analysis spectral, the dominant periodicity obtained on December 5 , 6 and 7 October 2013 respectively was 30 minutes , 6 minutes and 5.6 minutes . Keywords : Signal strength , FM radio waves , frequency and spectral methods
317
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Komunikasi radio dengan menggunakan atmosfer sebagai media perambatannya akan mengalami variasi pada kuat sinyalnya. Atmosfer, yang dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu atmosfer bawah, yang merupakan daerah netral dengan ketinggian dari permukaan hingga sekitar 50 kilometer dan atmosfer atas, didominasi oleh partikel bermuatan, dengan ketinggian diatas 50 kilometer (http : // www . ips . gov.au; diakses 4Juli 2013). Mekanisme perambatan gelombang melalui kedua media tersebut (atmosfer bawah dan atmosfer atas), berbeda satu dengan yang lainnya. Di atmosfer atas dapat terjadi perambatan gelombang dari suatu pemancar ke suatu penerima dengan mekanisme pantulan dan hamburan, sedangkan di atmosfer bawah untuk jarak kurang dari 50 mil, tergantung topologi dari pada permukaan buminya, didominasi melalui mekanisme gelombang langsung (direct wave) atau disebut juga propagasi LOS (line of sight). Sesuai dengan namanya, perambatan gelombang secara garis pandang , mempunyai keterbatasan pada jarak pandang. Dengan demikian, ketinggian antena dan kelengkungan permukaan bumi merupakan faktor pembatas yang utama dari propagasi ini . Pada propagasi LOS, gelombang merambat secara langsung menuju antena penerima dan tidak merambat di atas permukaan tanah, sehingga permukaan bumi/tanah tidak mempengaruhinya. Lintasan propagasi berkas gelombang radio selalu mengalami pembiasan/pembengkokan (curved ) karena pengaruh refraksi (pembiasan) oleh atmosfir yang paling bawah. Keadaan ini, tergantung pada kondisi atmosfir pada suatu daerah. Kuat sinyal adalah salah satu parameter yang diperlukan oleh para pengguna komunikasi radio untuk mengetahui besarnya pelemahan yang terjadi pada saat gelombang radio merambat melalui atmosfer dari suatu pemancar ke penerima, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan teknis untuk mengatur daya pancar yang dibutuhkan oleh radio. Pada dasarnya kuat sinyal yang diterima oleh suatu penerima merupakan penjumlahan dari kuat sinyal yang merambat melalui mekanisme pantulan, hamburan dan langsung. Perubahan yang terjadi pada media perambatan akan mengakibatkan adanya variasi pada penerimaan kuat sinyal dari suatu pemancar tertentu. Fading dapat didefenisikan sebagai perubahan fase, polarisasi dan level dari suatu sinyal terhadap waktu. Fading terbagi dua, yaitu fading skala besar (large scale fading) dan fading skala kecil (small scale fading). Fading skala besar merepresentasikan redaman akibat lintasan gelombang (path loss) melalui area yang besar. Besar dari
318
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
atenuasi oleh fading skala besar akan sebanding dengan jarak antara pengirim dengan penerima. Fading skala kecil dibagi menjadi dua mekanisme yaitu penyebaran sinyal terhadap waktu (time spreading of signal), menyatakan sinyal yang didapat penerima akan menjadi terduplikasi karena efek banyak jalur lintasan dan variasi kanal terhadap waktu (time variance of the channel), variasi ini dinyatakan dengan doppler spread (http: // repository usu .ac .id/bitstream /123456789 / 21608/4/chapter%20II.pdf; diakses
10
Juli 2013). Salah satu kendala untuk pengukuran kuat sinyal suatu
pemancar adalah banyaknya stasiun radio yang menggunakan frekuensi sama baik stasiun siaran (broadcast) maupun stasiun amatir. Untuk mengetahui gelombang radio yang diterima melalui mekanisme pantulan dan hamburan, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan penelitian tentang besarnya kuat sinyal gelombang radio yang merambat secara langsung melalui atmosfer untuk pemancar tertentu. Pemancar yang diamati dan direkam kuat sinyalnya dengan spectrum analyzer untuk mengetahui kuat sinyal gelombang langsung di Pamengpeuk adalah radio Terunajaya, dengan jarak sekitar 10 kilometer dari penerima. 2. DATA DAN METODOLOGI S Meter merupakan salah satu bentuk pengukuran yang digunakan untuk mengetahui besarnya sinyal gelombang radio yang ditangkap oleh antena penerima. Satuan nilai S Meter merupakan sebuah indeks yang satuannya setara dengan kuat sinyal sebesar 6 dB. Konversi besarnya tiap nilai S Meter terhadap satuan mikro volt (µV) atau desibel (dBm) dapat dilihat pada Tabel 1.
319
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 1. S-Meter, untuk penerimaan kuat sinyal (Ordy G.,2009). S-reading
Tegangan
Kuat sinyal
(µV)
(dBm)
S9+10dB
160.0
-63
S9
50.2
-73
S8
25.1
-79
S7
12.6
-85
S6
6.3
-91
S5
3.2
-97
S4
1.6
-103
S3
0.8
-109
S2
0.4
-115
S1
0.2
-121
Gangguan diatmosfer, yang terjadi melalui interaksi antara lapisan atmosphere yang berbeda (atmosfer – ionosfer) terdapat pada gelombang planetari, tidal, gravitasi dan gelombang infrasonic (Abdu M.A.,2005),
dapat
mengakibatkan terjadinya
gangguan terhadap penerimaan kuat sinyal gelombang radio. Secara umum perbedaan dari gelombang tersebut dapat dibedakan dari nilai periodenya. Gelombang planetari berada pada periode 2 -30 hari, tidal pada periode 6, 8, 12 dan 24 jam, gelombang gravitasi pada orde menit hingga jam dan gelombang infrasonic pada periode detik hingga menit.
Ada gelombang gravitasi periode pendek (short period ) yaitu berada
pada rentang periode 5 – 90 menit (Manson A. H., 2005). Analisis spectral pada kuat sinyal, untuk mengetahui variasi sinyal yang berbentuk gelombang dilakukan dengan menggunakan analisis harmonik. Data yang digunakan adalah data kuat sinyal (signal strength) radio Terunajaya di Pamengpeuk pada frekuensi 104,9 MHz, dari pengamatan dan perekaman spektrum analizer tanggal 5, 6 dan 7 Oktober 2013. Hasil pengamatan dan perekaman kuat sinyal gelombang radio dengan menggunakan spektrum analizer yang ditempatkan di BPD Pamengpeuk adalah dalam bentuk “text file”, dimana setiap “file data” berisi matriks berukuran 100 baris dan 601 kolom. Adapun antar baris menunjukkan interval waktu sekitar 7 detik dan antar kolom adalah adalah interval frekuensi sekitar 0,3 MHz dengan rentang frekuensi 50 MHz sampai dengan 230 MHz. Pembacaan dan ploting
320
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
data dan
variasi kuat sinyal untuk frekuensi 104,9 MHz dilakukan dengan
menggunakan Matlab. Contoh data kuat sinyal dan variasi kuat sinyal ditunjukkan pada gambar 1. -40
25
frek 104.9 MHz
frek 104.9 MHz 20
-45
10 Signal strength (dB)
Signal strength (dB)
15
-50
-55
-60
5 0 -5 -10 -15
-65
-20
-70
.
6
8
10
12
14 Waktu(Jam)
16
18
20
22
-25
6
8
10
12
14 Waktu(Jam)
16
18
20
22
Gambar 1 : (a) Data kuat sinyal dan (b) variasi kuat sinyal radio Terunajaya , frekuensi 104.9 MHz tanggal 5 Oktober 2013, jam 07 sampai dengan Jam 22 WIB. Untuk mengetahui variasi kuat signal , dilakukan perhitungan secara statistik yaitu harga rata rata, simpangan baku (standard deviasi) dan juga ditentukan nilai maksimum dan minimumnya (Sudjana, M.A., 1992) Persamaan harmonik yang digunakan bertujuan untuk mengetahui amplitude, periode dan fase gelombang gravitasi, yang merupakan gangguan di ionosfer: F(t)=Ao+ ∑45 n=1 an Cos (2πt
n T
) + ∑45 n=1 bn Sin (2πt
n T
)
(1)
dengan : T adalah periode dasar 90 menit; t adalah waktu dalam jam ( t = 1, 2, 3,......., 90); n adalah bilangan harmonic ( n = 1, 2, 3, ................, 45); Ao, an dan bn adalah koefisien harmonic; F adalah data kuat sinyal (mikrovolt). Koefisien harmonic Ao, an dan bn dapat diperoleh melalui persamaan (1) ,Selanjutnya untuk menentukan amplitudo ( An )digunakan persamaan : n= an + bn
(2)
3. HASIL PEGOLAHAN DATA Hasil pengolahan data variasi (data sesudah – data sebelumnya) kuat sinyal (signal strength) frekuensi 104,9 MHz, yang terekam pada spectrum analyzer pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober 203, dalam interval detik (jam 07 sampai dengan jam 22), dengan menggunakan analisis harmonik ( persamaan 1,persamaan 2 dan persamaan 3 ),
321
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
untuk mengetahui periode dan amplitudo gelombang, ditunjukkan secara berurutan pada gambar 2a ,2b dan 2c serta tabel 2. 0.7 0.9
1.4
0.6
0.8
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
A m p litu d o p e ru b a h a n F ie ld s tre n g th (d B )
A m p lit u d o p e rub a ha n F ie ld s t re n gt h (dB )
A m p lit u d o p e ru ba h a n F ie ld s t re n gt h (dB )
1.2
0.7
1
0.8
0.6
0.4
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.2
0.1
0
0
10
20
30
40 50 Periode (Menit)
60
70
80
90
0
0 0
10
20
30
40 50 Periode (Menit)
60
70
80
90
0
10
20
30
40 50 Periode (Menit)
60
70
80
90
Gambar 2 : Periodisistas kuat sinyal frekuensi 104.9 MHz radio terunajaya pada tanggal (a) 5 (b) 6 (c) 7 Oktober 2013, pada jam 08 sampai dengan jam 10 LT.
Tabel 2 : Harga minimum, maksimum, rata rata, standard deviasi , periode dan amplitudo kuat sinyal pada frekuensi 140.9 MHz, Oktober 2013 Tanggal
Kuat
Kuat
Rata rata
Standard
Periode
Amplitudo
sinyal
sinyal
Kuat
deviasi
dominan
maksimum
maksimum
minimum
sinyal
(dB)
(menit)
(dB)
(dB)
(dB)
(dB)
5
-42.84
-69.26
-46.96
3.53
30
0.83
6
-42.80
-71.17
-46.42
3.32
6
1.03
7
-42.93
-71.69
-46.75
3.71
5.63
1.04
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan kuat sinyal gelombang
FM radio Terunajaya dengan
menggunakan spektrum analyzer pada tanggal 5 Oktober 2013 menunjukkan pola kuat sinyal
yang relatif stabil sampai sekitar jam 13 WIB dengan nilai kuat sinyal
maksimum sebesar -42,84 dB, namun cenderung menurun dari jam 13 hingga jam 22 WIB, dengan nilai minimum dari pola kuat sinyal sekitar – 55 dB (gambar 2 a) sedangkan nilai variasinya ditunjukkan pada gambar 2b. Nilai rata rata kuat sinyal dari jam 7 sampai dengan jam 22 WIB adalah sebesar -42,80 dB. Adanya variasi sesaat sebesar -69.20 dB pada penerimaan kuat sinyal dapat terjadi, akibat adanya fading yang diakibatkan banyaknya pantulan yang diterima oleh suatu penerima dengan sudut fase yang berbeda, dan atau adanya pergeseran dopler akibat penghambur sinyal yang 322
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
bergerak, sebagaimana mana yang dinyatakan dalam pendahuluan. Walaupun secara teori, hal tersebut dinyatakan, namun diperlukan data pendukung berkaitan dengan hal tersebut, seperti nilai indeks bias dan karakteristik penghambur sinyal di atmosfer dan permukaan bumi. Standard deviasi, yang merupakan salah satu ukuran dari penyebaran data adalah sebesar 3,53 dB. Hal yang sama juga tampak pada pola data spektrum analizer pada tanggal 6 dan 7 Oktober 2013 dengan nilai maksimum, minimum, rata rata dan standard deviasi yang hampir sama (tabel 2). Mengacu pada tabel 1 pada bagian pendahuluan, secara umum pemancar gelombang radio FM terunajaya dengan frekuensi 104.9 MHz dapat terdengar dengan baik. Variasi kuat sinyal (nilai kuat sinyal sesudah dan
sebelumnya ) pada tanggal 5 Oktober 2013
(gambar 2b)
menunjukkan suatu pola spectrum, yang berbentuk gelombang yang kemudian dengan menggunakan metode analis harmonik (persamaan 1 dan 2), dihitung periodisitas dan amplitudonya. Diperoleh nilai periodisitas maksimum dan amplitudonya secara berurutan adalah pada tanggal 5 Oktober adalah 30 menit dan 0, 83 dB. Sedangkan pada tanggal 6 Oktober diperoleh nilai periodisitas dan amplitudonya adalah 6 menit dan 1,3 dB dan pada tanggal 7 Oktober nilai periodisitas dan amplitudonya adalah 5,63 menit dan 1,63 dB (gambar3 dan tabel 2). Nilai periodisitas yang diperoleh pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober tersebut, merupakan periode gelombang gravitasi , yang merupakan salah satu gangguan yang terjadi di daerah atmosfer bawah.
5. KESIMPULAN Dari hasil variasi nilai maksimum, minimum, rata rata dan standar deviasi kuat sinyal gelombang radio FM radio terunajaya frekuensi 104.9 MHz dengan daya 5 kilowatt, pada tanggal 5, 6 dan 7 Oktober 2013 menunjukkan bahwa siaran dapat diterima dengan baik. Tampak adanya fading, variasi
kuat sinyal, skala besar yang
dimulai pada sekitar jam 13 hingga jam 22 wib, yang mencapai minimum antara -55 dB dan 50 dB. Sedangkan fading skala kecil pada tanggal 5, 6 dan 7 diperoleh dengan nilai minimum
secara berurutan adalah -69,26 dB,
-71,17 dB
dan
-71,29 dB.
Periodisitas kuat sinyal diperoleh sebesar 5.6 menit, 6 menit dan 30 menit adalah gelombang gravitasi periode pendek.
323
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
DAFTAR RUJUKAN Abdu M.A., et al., 2005 “ Planetary Wave Signatures in The Equqtorial atmosphere – Ionosphere system and Mesosphere E – and F- region Coupling” Journal of Atm.And Terres “ Introduction to HF Radio Propagation, IPS Radio and Space Services “, http : // www .ips . gov.au (diakses 4Juli 2013) KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS,
Universitas Sumatera Utara ,
http: //
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21608/4/chapter%20II.pdf (diakses 10 Juli 2013) Manson A. H dan Meek C. E, “Gravity waves of short period (5-90 min), in the lower at 520N (Saskatoon, Canada)”, Journal of Atm.And Terres. Physics, Vol 42, during the Darwin Area Wave Experiment (DAWEX) and their dominant source regions”, Journal of Gophysical Research, Vol.110 (2005), D03S90. Ordy G, “W8WWW-S Meter Lite Software”, (2009). http:// www .seedsolutions / com / gregordy Software / SMeterLite.htm (diakses 12 Agustus 2013). Sudjana, M.A.,M.Sc., PhD, “ Metode Statistika”., Penerbit : Tarsito Bandung, 1992.
324
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
KAJIAN RADAR PASIF UNTUK PENGAMATAN IONOSFER Mumen Tarigan, Buldan Muslim dan Syahril Peneliti Bidang Teknologi Pengamatan , Pussainsa Lapan Jl.DR. Junjunan No. 133 Bandung 40173 Telp.(022) 6012602 Fax.(022) 6014998
[email protected]
Abstrak Ionosfer yang merupakan daerah atmosfer terionisasi, terletak pada ketinggian sekitar 50 sampai dengan ketinggian 1000 km. Kumpulan elektron yang merupakan hasil ionisasi, per satuan volum dinyatakan sebagai kerapatan elektron. Fluktuasi kerapatan elektron yang mengakibatkan irregularitas ionosfer, dapat diamati diantaranya dengan menggunakan radar konvensional atau disebut juga sebagai radar aktif dan dengan radar pasif. Di LAPAN, saat ini pengamatan irregularitas ionosfer masih menggunakan metode radar konvensional, dimana pemancar dan penerima radar dalam satu sistem. Pada radar pasif, tidak ada pemancar khusus, penerima menggunakan pemancar disekitarnya, sehingga biaya operasionalnya lebih murah. Makalah ini membahas kajian radar pasif untuk pengamatan irregularitas ionosfer untuk mengetahui sistem radar pasif dan kemungkinannya untuk dapat digunakan di Indonesia. Kajian dilakukan berdasarkan studi literatur tentang radar pasif yang sudah ada. Karena Indonesia merupakan wilayah yang luas dengan topografi yang mendukung dan terdapatnya pemancar FM yang tersebar, maka peluang pembangunan radar pasif di Indonesia cukup besar. Namun demikian perlu dilakukan survey lapangan untuk mengetahui kelayakan pemancar radio FM yang dapat digunakan sebagai sumber sinyal radar pasif. Kata kunci : Radar pasif, irregularitas ionosfer dan radio FM Abstract Ionosphere which is the ionized atmosphere, located at an altitude of about 50 to 1000 km. Collection of electrons that are the result of ionization per unit volume is expressed as the electron density. Electron density fluctuations resulting irregularitas ionosphere, can be observed such as by using conventional radar or radar referred to as active and passive radar. In LAPAN, current observations of ionospheric irregularitas still using conventional radar, where the transmitter and receiver in a radar system. In passive radar, no special transmitter, receiver using a transmitter around it, so that operational costs are cheaper. This paper discusses the study of passive radar observations of ionospheric irregularitas to find passive radar system and likely to be used in Indonesia. The study is based on a literature study of existing passive radar. Because Indonesia is a vast territory with topography supports and the presence of an FM transmitter that are spread, the passive radar development opportunities in Indonesia is quite large. Nevertheless, necessary field surveys to determine the feasibility of FM radio transmitter that can be used as a source of passive radar signal. Keywords: Passive radar, ionospheric irregularities and FM radio
325
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Irregularitas ionosfer atau plasma buble adalah fluktuasi kerapatan elektron diionosfer (ionospheric electron density), akibat ketidak stabilan plasma (gas yang terionisasi menjadi ion dan elektron). Irregularitas ionosfer dapat terjadi di lintang rendah hingga lintang tinggi.- Didaerah equator dapat terjadi pada sekitar lintang magnet (magnetic latitude) 20 derajat, dengan puncak anomali pada sekitar 15 derajat. Parameter dari irregularitas adalah velocity, scale size, time duration and power spectrum. Wujud irregularitas di Ionosfer yang tampak melalui pengamatan ionosonde adalah Spread F, dengan GPS berupa Sintilasi dan dengan radar adalah Plume dan lain lain. Irregularitas ionosfer dapat terjadi dari ketinggian sekitar 100 km hingga 1000 km dari permukaan bumi dengan arah pergerakan kearah timur. Menurut Patra1 (2009) dan Gennady (2008) bahwa skala irregularitas dapat dinyatakan sebagai, irregularitas skala kecil (small scale irregularities) dengan orde beberapa puluh sentimeter hingga puluhan meter, irregularitas skala menengah dengan ukuran 0.1 hingga 1 killometer dan skala besar dengan ukuran 1 sampai 2 km. Waktu kejadian irregularitas ionosfer didaerah ekuator adalah setelah matahari terbenam hingga sebelum matahari terbit yaitu sekitar jam 19 hingga jam 05 waktu setempat. Kejadian irregularitas ionosfer dapat berpengaruh terhadap komunikasi gelombang radio berupa fluktuasi penerimaan kuat signal (signal strength) dan fase, sehingga penerimaan tidak stabil (fading ), serta berpengaruh terhadap penentuan posisi dan navigasi dengan GPS dan lain lain. Pengamatan irregulariatas ionosfer untuk berbagai skala irregularitas telah teramati, diantaranya dengan menggunakan airglow dengan panjang gelombang 630 nm untuk mengamati skala irregularitas lebih besar dari 200 km, dengan data GPS TEC diketahui skala irregularitas antara 10 hingga 100 km, dan dengan data sintilasi dapat diketahui skala irregularitas sekitar 300 km. Penggunaan radar aktif VHF telah diperoleh skala irregularitas 3m (Michi Nishioka ). Pengamatan irregularitas ionosfer dengan radar aktif pada skala 3m (1/2 panjang gelombang, λ),
diatas Kototabang telah dilakukan dengan radar aktif EAR dengan
frekuensi 47 MHz ( Buldan dkk, 2004). Kajian radar pasif untuk pengamatan irregularitas ionosfer adalah suatu kegiatan studi pustaka untuk mengetahui potensi penggunaan radar pasif di Indonesia . Irregularitas ionosfer skala sekitar 1.5 meter telah dapat diamati dengan radar pasif di lintang tengah. Indonesia yang terletak di lintang
326
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
rendah, belum pernah melakukan
pengamatan irregularitas skala 1.5 meter .
Penggunaan radar pasif MRR (Manastash Ridge Radar) yang dapat menerima sinyal gelombang radio FM dalam orde 88 sampai dengan 108 MHz ( panjang gelombang antara 3.4 dan 2.8 meter) , dapat digunakan untuk mengamati irreguritas sekitar 1.5 meter dan keperluan lainnya seperti pengamatan meteor, pesawat terbang dan lain lain. Beberapa pemancar siaran radio FM dengan daya pancar 10 kw atau lebih di Indonesia, antara lain terdapat di Surabaya, Cirebon, Bandung, Jakarta dan lain lain. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau,
yang
terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi sekitar 1.9 juta mil persegi. Posisi strategis ini, memerlukan peralatan pengamatan ionosfer, dengan cakupan yang luas dan biaya relatip murah.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 RADAR 2.1.1. Berdasarkan sistem pemancar dan penerima radar dapat dibagi menjadi: a) Radar aktif adalah Pemancar dan penerima dalam satu sistem, berada di lokasi yang sama. b) Radar pasif adalah pemancar dan penerima tidak dalam satu sistem, tetapi berada di lokasi yang berbeda. 2.1.1a. Radar pasif dapat dibagi menjadi dua sistem: -
System Bistatic Radar yaitu terdiri dari satu pemancar dan satu penerima dimana baik pemancar,
dan / atau penerima, adalah stasioner dan di lokasi yang
berbeda. -
System Multistatic Radar sama dengan bistatic, namun terdiri dari dua atau lebih pemancar dan / atau penerima stasioner, yang terpisah pada jarak jauh
327
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2.1.2. Berdasarkan system hamburan signal: -
Incoherent Scatter Radar Systems yaitu radar yang menerima gelombang yang tidak sefase.
-
Coherent Scatter Radar Systems yaitu radar yang menerima gelombang yang sefase.
-
Sistem
coherent scatter radar digunakan oleh radar pasif untuk memperoleh
sinyal yang kuat 2.2. HAMBURAN SINYAL YANG DITERIMA RADAR PASIF . Teknik hamburan sinyal digunakan untuk penelitian atmosfer atas. Coherent scatter radar adalah tehnik pengamatan dimana radar mendeteksi energi yang dipancarkan dari dalam medium ketika ada variasi indeks bias dalam suatu volume tertentu karena adanya irregularitas. Hal ini analog dengan hamburan Bragg (Bragg scattering) sinar-X oleh kristal . Ionosfer sebagai penghambur berisi irregularitas dari berbagai ukuran yang berbeda. Sinyal yang dihamburkan dari irregularitas ionosfer dengan jarak setengah panjang gelombang (λ/2) yang saling memperkuat oleh interferensi konstruktif dapat menghasilkan sinyal yang cukup kuat untuk dideteksi oleh penerima. Istilah “koheren” digunakan untuk interferensi konstruktif, yaitu gelombang dengan panjang gelombang dan fase yang sama , sebaliknya untuk yang tidak koheren . Mekanisme yang menggambarkan sinyal hamburan, yang diukur dengan radar pasif adalah hamburan yang koheren (coherent scatter). 2.3. SISTEM PENERIMAAN RADAR PASIF MRR ( Manastash Ridge Radar) Beberapa tahun terahir telah dikembangkan system pengamatan irregularitas ionosfer di Amerika dengan menggunakan radar pasif. Radar pasif MRR merupakan sistem radar pasif yang menggunakan pemancar radio FM sebagai sumber sinyal . Sistem dirancang beroperasi pada frekuensi antara 88 dan 108 MHz , dimana pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu penerima (receiver) dan dilakukan secara serempak waktunya melalui Global Positioning System. Fungsi radar adalah memonitor irregularitas ionosphere. pesawat udara, meteor trails, dan kejadian lainnya.. MRR adalah jaringan radar VHF yang berada di Barat laut pasifik ( Pacific Northwest). Sistem radar terdiri dari penerima yang terpisah secara spasial
328
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dengan menggunakan dua jenis antenna, satu di lingkungan sinyal yang kuat di Universitas Washington, UW (47.65 N; 237.69 E), untuk menerima sinyal dari pemancar FM. Dan yang lainnya di lingkungan sinyal yang lemah (weak signal environment) di MRO,
Manastash Ridge Observatory (46.95°N ; 120.72°W).
Hamburan bragg (Bragg scatter) dapat terjadi diantaranya dari turbulensi daerah E (Eregion turbulence). Dua penerima (receiver) sinyal ditempatkan terpisah sekitar 180 km (jarak antara UW dan MRO). Sebuah antena tunggal di Universitas Washington menerima gelombang permukaan FM ( FM waveform) dari transmitter komersil. Antena di UW merupakan antenna radio FM dipole standard, digunakan untuk menerima gelombang FM secara langsung dari pemancar (transmitter) radio komersil FM . Antena ini cukup baik digunakan, dimana directivity tidak diperlukan ( Frank D. Lind ;2001). Sinyal yang dihamburkan ( scattered signal ) yang diterima di Manastash Ridge Observatory, MRO. Di MRO, relatif lebih lemah dibandingkan dengan yang diterima di UW, sehingga diperlukan directivity lagi, yaitu dengan menggunakan antenna log periodic yagi, yang ditempatkan dipuncak tower di observatory. Kedua sinyal (dari UW dan MRO), digabung dan diolah dengan software yang telah tersedia yaitu sistem software MRR dengan menggunakan bahasa C, C++, and Perl. HTML (Dawn M. ; 2001) . Perkiraan biaya pengadaan peralatan suatu radar pasif yang meliputi komponen utama (Major Component Index) dan komponen minor (Minor Component Index) adalah Rp. 201. 884. 500 (1$ = Rp.9500,-).Sistem pengamatan irregularitas dengan MRR ditunjukkan pada gambar 1. dan contoh hasil pengamatan irregularitas ionosfer dengan MRR pada frekuensi 100 MHz ditunjukkan pada gambar 2.
UW
MRO
Gambar 1: Sistem pengamatan irregularitas dengan MRR
329
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2: Jarak dan kecepatan, yang menunjukkan adanya irregularitas ionosfer pada jarak lebih dari 700 km dengan resolusi kecepatan 1.5 m/det dan resolusi waktu 5 detik. Irregularitas terkuat (strongest irregularities ) adalah antara 4 dan 6 dB (Frank D. Lind, 1999). 3. PEMBAHASAN Dari
studi literatur yang dilakukan terhadap kajian radar pasif untuk
pengamatan ionosfer , tampak bahwa radar MRR cocok digunakan di Indonesia mengingat letak Indonesia yang terletak didaerah sekitar ekuator, dimana irregularitas ionosfer sering terjadi pada sore hari (setelah matahari terbenam) dan malam hari (sebelum matahari terbit). Pergerakan irregularitas ionosfer dari barat ke timur merupakan salah satu hal penting dalam menentukan lokasi pengamatan irregularitas ionosfer di Indonesia. Pengamatan irregularitas ionosfer dengan radar MRR yang dilakukan di Amerika, dimana penerima sinyal terhalang dengan daerah pegunungan Rainer setinggi sekitar 3000 meter, untuk mendukung perolehan sinyal hamburan, memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia , yang banyak terdapat pegunungan. Pengamatan irregularitas ionosfer dengan menggunakan radar pasif MRR pada ketinggian sekitar 300 km (gambar 2) juga diperoleh pada pengamatan irregularitas dengan menggunakan radar aktif EAR.
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa
pengamatan irregularitas dengan radar aktif EAR, menggunakan pemancar dengan frekuensi 47 MHz,
yang menyatu dalam satu sistem dengan penerima. Harga yang
ekonomis, dengan tanpa pemancar yang menyatu dalam suatu sistem seperti radar, yang biasa disebut dengan radar pasif dan ketersediaan pemancar FM dalam rentang
330
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
frekuensi 88 sampai dengan 108 Mhz, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan radar, khususnya radar pasif MRR. 4. KESIMPULAN Dari kajian literatur diperoleh bahwa pengamatan irregularitas ionosfer dapat dilakukan dengan penggunaan pemancar radio FM yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan menyangkut power pemancar, sistem antena dan objek pengamatan berkaitan dengan lokasi, waktu kemunculan dan arah pergerakan irregularitas ionosfer. Hal penting lainnya adalah topografi daerah pengamatan berupa pegunungan, diperlukan untuk mendukung penerimaan sinyal hamburan dari irregularitas ionosfer. DAFTAR RUJUKAN. A. K. Patra1 and D. V. Phanikumar1 (2009) ,” Intriguing aspects of F-region Irregularities revealed by the Gadanki SAFAR campaign”
plasma
radar observations during the
Published: 6 October 2009.
Buldan dkk, “Hasil Awal Pengamatan Irregularitas Ionosfer Daerah F “ diatas Kototabang
menggunakan Equatorial Atmosphere Radar, Prosiding
Seminar
Sains
Nasional
Antariksa
Dalam
Pengembangan
Potensi
Dirgantara Bdg, Desember 2004 Daftar radio FM di Indonesia , http://www.asiawaves.net/indonesia-fm-radio-96.htm , di download 14 Juli 2012 Dawn M. Gidner, Frank D. Lind, J.D. Sahr, and Chucai Zhou (2001) “The Manastash Ridge
Radar Software Manual” The University of Washington Radar
Remote Sensing Laboratory Frank D. Lind and Dawn M. Gidner (2001)” The Manastash Ridge Radar Hardware Reference Manual” The University of Washington Radar Remote Sensing Laboratory Frank D., Et al (1999) “First passive radar observations of auroral E- Region irregularities” Frank D. Lind “Passive Radar and Ionospheric Irregularities” Michi Nishioka “Plasma bubble in the ionosphere” Department of Geophysics Kyoto University.
331
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Pavel BEZOUŠEK1, Vladimír SCHEJBAL (2008) Bistatic and Multistatic Radar Systems VOL.
“Bistatic and Multistatic Radar Systems” RADIOENGINEERING, 17, NO. 3, SEPTEMBER 2008.
332
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS DATA KUAT SINYAL GELOMBANG RADIO VHF DI PAMENGPEUK DENGAN PERGESERAN SUDUT ANTENA UNTUK PENENTUAN POSISI PEMANCAR Peberlin Sitompul, Mumen Tarigan, Timbul Manik, Sutan Syahril Pussainsa Lapan Jl.DR. Junjunan No. 133 Bandung Telp.(022) 6012602 Fax.(022)6014998 Email :
[email protected]
Abstrak Gelombang radio VHF dari suatu pemancar yang merambat melalui atmosfer bumi menuju ke suatu penerima, akan mengalami perubahan kuat sinyal. Besarnya perubahan kuat sinyal tersebut diamati dengan menggunakan spectrum analyzer. Pengamatan kuat sinyal gelombang radio VHF di Pamengpeuk dilakukan dengan posisi antenna yang tetap dan dengan pergeseran sudut antenna. Dengan perubahan arah, maka sumber pemancar bisa di tentukan Kata kunci : pencarian arah, interferrometer, polarisasi Abstract VHF radio wave that emitted by transmitter propagate through atmosphere to a receiver will encounter alteration of signal strength. The signal strength alteration monitored with spectrum analyzer. Monitoring of radio signal strength at Pameungpeuk done by change angle of antenna position. By the direction change, then emitter source can be determined. Keyword : direction finding, interferrometer, polarization
333
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Direction finder (DF) digunakan untuk mencari sumber interferensi, mencari sumber pemancar radio, pemantauan dari radio komunikasi organisasi kriminal, mendeteksi aktivitas dari musuh potensial dalam kondisi perang, space division multiple access memerlukan pengetahuan arah dari gelombang datang, radio astronomy, remote sensing. Tujuan direction finder adalah untuk memperkirakan arah dari pemancar radio dengan cara mengukur dan mengevaluasi parameter medan elektromagnetik yang dipancarkanya. Umumnya,
sudut azimuth α sudah cukup untuk menentukan arah
pemancar. Pengukuran elevasi ε diperlukan untuk penentuan pemancar radio yang bergerak atau terbang dan khusus-nya untuk sinyal radio dengan gelombang pendek Sudut gelombang ditunjukkan pada gambar 1. Jika perambatan gelombang tidak terganggu atau tidak terjadi pantulan berulang, maka arah dari pemancar akan identik dengan arah sudut datang gelombang radio. Direction finder mengambil sample data ruang dan waktu dari muka gelombang dan memperkirakan α dan ε sebagai arah yang paling mungkin dari pemancar yang sedang diamati.
Gambar 1: Penentuan sumber pemancar [1] Medan listrik dan medan magnet selalu tegak lurus dan se-phasa satu sama lain, dan keduanya tegak lurus ke arah perambatan, yang di definisikan dengan vektor kerapatan radiasi (poynting vector) S. ̅=
=
| |
dengan E = nilai rata-rata intensitas medan listrik 334
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Z0 = impedansi karakteristik dari ruang vakum.
= 120
(ohm)
atau dengan vektor bilangan gelombang. = Polarisasi gelombang radio merupakan arah dari medan listrik [2]. Untuk gelombang elektromagnetik, merupakan vektor medan listrik (E) dan medan magnet (B). Arah polarisasi gelombang elektromagnetik yang merupakan sebuah konvensi searah dengan medan listrik [3]. Untuk memudahkan analisa, secara umum diasumsikan medan dengan tiga komponen vektor pada sumbu x, y, z. Persamaan gelombang yang diperlukan untuk analisa gelombang (persamaan maxwell) di ruang vakum adalah .
=0
.
=0 =− =
(1)
Arah gelombang radio ditentukan dengan arah perkalian silang vektor
. Persamaan
yang menjelaskan gelombang bidang yang merambat ke arah sumbu z dalam koordinat kartesian dan dipolarisasi secara linier kearah sumbu-x ditunjukkan dengan persamaan 2. ( , )= dengan = 2
dan =2
dan
cos(
−
)
(2)
= vektor satuan kearah sumbu x
( )=
(3)
Persamaan 3 menunjukkan hubungan amplitudo sinyal terhadap perubahan sudut polarisasi.
o
merupakan amplitudo sinyal yang diterima jika gelombang searah dengan
bidang antenna, dengan sudut polarisasi . 2. METODE PENELITIAN Perambatan gelombang elektromagnetik disebabkan oleh proses pemuatan dan pelepasan muatan listrik
pada penghantar listrik yang dapat ditunjukkan seperti
gambar 2 dengan bentuk arus bolak-balik [4].
335
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
(a)
(b)
Gambar 2 : Pemuatan dan pelepasan muatan listrik
Gambar 2(a) menunjukkan proses pemuatan dan pelepasan medan listrik dari sebuah antena short dipole . Jika sebuah antena ditempatkan disebuah bidang pada sumbu z dengan panjang Δz, maka medan listrik akan menyebar disekitar antena. Arah medan listrik berubah sesuai polaritas arus listrik.
Arus listrik tersebut ditentukan oleh
polaritas muatan listrik seperti ditunjukkan gambar 2(b). Jika polaritas muatan di sumbu z positif lebih positif, maka medan listrik akan bergerak dari atas kebawah. Dan sebaliknya jika muatan disumbu z negatif lebih positif maka medan listrik bergerak dari bawah keatas. Waktu perubahan antara positif dan negative tergantung frekuensi sinyal yang dipancarkan. Prinsip utama direction finding didasarkan pada sifat gelombang elektromagnetik yaitu : Vektor medan listrik dan medan magnet selalu tegak lurus ke arah perambatan. Metode yang digunakan untuk pengukuran penentuan sumber pemancar ada dengan metode A dan metode B. Pengukuran dengan metode A yaitu dengan mengukur arah dari vektor medan listrik dan atau medan magnet, dimana parameter yang ditentukan adalah polarisasi sinyal (polarization direction finder) . Pengukuran dengan metode B yaitu dengan pengukuran orientasi dari permukaan dari fasa (phase direction finder). Penentuan posisi sumber pemancar dengan metoda polarization direction finder dilakukan dengan menggunakan antena dipole dan loop. Sedangkan penentuan sumber pemancar dengan phase direction finder menentukan posisi pemancar dari orientasi spasial garis atau permukaan dari phasa yang sama dilakukan dengan memasang beberapa antena penerima dengan pola tertentu. Perbedaan fasa antara antena penerima diproses untuk penentuan posisi pemancar. Metode ini sering disebut dengan metoda interferometer. Untuk memperoleh pengukuran yang lebih baik maka diperlukan sistem 336
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dengan akurasi, sensitifitas yang tinggi, dan juga ketahanan terhadap distorsi medan yang disebabkan multi path. Komponem sistem yang diperlukan untuk penentuan arah : antena, converter of direction finder, layar untuk monitor.
(a)
(b)
Gambar 2: (a) Perputaran antena (b) Arah mata angin Dalam penelitian ini, penentuan arah sumber pemancar dilakukan dengan cara memutar antena dengan sudut 45 derajat, dimana elemen antena diarahkan ke timurbarat, dan posisi ini dianggap sebagai nol derajat. Kemudian elemen antenna diarahkan kearah tenggara - barat laut dan posisi ini dianggap sebagai 45 derajat. Terakhir posisi elemen antenna diarahkan keposisi utara-selatan, dan posisi ini dianggap 90 derajat. Pengukuran pada percobaan ini menggunakan metoda polarization direction finders, seperti ditunjukkan oleh gambar 2(a) dan 2(b), dengan menggunakan antena logperiodik CLP5130-1.
337
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
3. ANALISA DAN HASIL
50
214
378
542
706
870
1034
1200
Gambar 3(a): Amplitudo sinyal radio
107
Gambar 3(b): Amplitudo Sinyal Radio dengan frekuensi 107.4 MHz
338
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3(a) menunjukkan amplitudo sinyal pada interval frekuensi 50-1200 MHz yang diperoleh dengan 3 kondisi sudut antenna, yaitu 0, 45, 90 dan 135 derajat. Gambar 3(b) menunjukkan
amplitudo sinyal yang sama seperti pada gambar 3(a), tetapi
dikhususkan untuk frekuensi 107.4 MHz ± 1.9 MHz. Sinyal tersebut merupakan pemancar radio yang bisa diperoleh posisinya. 27 0
0
18 0
9 0 4(a)
4(b)
Gambar 4 : (a). Arah antenna (b). Amplitudo sinyal terhadap perubahan sudut antena Sumber pemancar gelombang berasal dari pemancar radio dengan frekuensi 107.4 MHz, yang berada diarah timur laut. Gambar 4(a) menunjukkan posisi antena dan gambar 4(b) menunjukkan amplitudo sinyal radio terhadap perubahan sudut polarisasi antena. Amplitudo maksimum terjadi ketika posisi antena pada sudut 45 derajat.
Gambar 5: Posisi sumber pemancar FM
339
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Dari percobaan diperoleh, untuk posisi antena disudut 0 derajat -43,45 dB, disudut 45 derajat -42,82 dB, disudut 90 derajat -43,3 dB, sedangkan disudut 135 derajat -44,59 dB. Diperoleh bahwa amplitudo sinyal berubah berdasarkan arah dari posisi antena. Amplitudo maksimum diperoleh ketika antenna diarahkan pada sudut 45 derajat dengan amplitudo - 42.82 dB. Kemudian diikuti sudut 90 derajat dan 45 derajat dengan amplitude -43,3 dB dan -43.45 dB.
Karena arah sumber sinyal pemancar
selalu tegak lurus dengan posisi antena., sehingga sumber pemancar diperkirakan pada sudut 305 derajat, seperti ditunjukkan dalam gambar 5. 4. KESIMPULAN Sumber pemancar dari gelombang radio dapat ditentukan dengan perubahan posisi antena. Perubahan sudut antena berpengaruh terhadap amplitude sinyal yang diterima. Sumber pemancar ditentukan dari amplitude terbesar. Dari percobaan diperoleh amplitude terbesar pada saat sudut antenna 45 derajat dengan amplitudo 42.82 dB. Pada posisi ini merupakan sumber pemancar radio FM pada frekuensi 107.4 MHz. DAFTAR RUJUKAN Rohde dan Schwarz, “Introduction into Theory of Direction Finding”, Radiomonitoring & Radiolocation, Catalog 2011/2012 Thomas A. Milligan,
“Modern Antenna Design”, A John Wiley & Sons, Inc,
Publication http://instructor.physics.lsa.umich.edu/int-labs / Chapter4.pdf (22/11/2013) Stutzman, Warren L, “Antenna Theory and Design”, John Wiley & Sons, Inc, page 80.
340
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
KOMPUTASI AWAN SEBAGAI SOLUSI DALAM PENGHEMATAN BIAYA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LAPAN BANDUNG Rizal Suryana LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Dr Djundjunan No. 133 Bandung
[email protected]
Abstrak Teknologi informasi dan komunikasi menjadi faktor penting dalam mendukung kegiatan suatu instansi/lembaga, namun teknologi informasi dan komunikasi membuat pengeluaran anggaran menjadi bertambah tinggi seiring dengan semakin bergantung instansi/lembaga pada teknologi informasi dan komunikasi. Biaya pengeluaran yang besar terjadi pada investasi operasional dan pemeliharaan perangkat keras maupun perangkat lunak. Biaya investasi yang dikeluarkan meningkat dua kalinya pertama untuk kebutuhan server utama, media penyimpanan dan kebutuhan server cadangan, biaya ini akan terus meningkat berbanding lurus dengan jumlah aplikasi/server yang beroperasi dalam mendukung operasional instansi/lembaga. Harga server cadangan akan sama atau satu tinggkat lebih murah dibanding harga server utama, ini dilakukan untuk menjaga operasional sistem teknologi informasi dan komunikasi. Biaya operasional dan pemeliharaan yang harus dikeluarkan meliputi biaya tagihan listrik PLN, biaya sewa internet. Pengeluaran biaya pada penerapan teknologi informasi dan komunikasi dapat dihemat dengan menggunakan teknologi komputasi awan. Teknologi komputasi awan dapat menghemat biaya pengeluaran pada investansi dan operasional. Satu server dengan teknologi komputasi awan dapat mengganti banyak server yang dibangun dengan sistem konvensional. Penghematan terjadi pada investasi perangkat keras dan operasional sistem teknologi informasi dan komunikasi LAPAN Bandung. Kata Kunci : Komputasi Awan, TIK, IaaS Abstract Information and communication technology is an important in supporting the activities of an institution, but the information and communication technology to make highbudget to increase as more dependent institutions on information technology and communications. The high Cost expenditure occurred in the investment, operation and maintenance of hardware and software. Investment costs will be increase, the first for main server, storage and requirement for backup server, these costs will continue to increase proportional to the number of applications / servers that operate in support of operational institution. Backup server will be the same price or cheaper than the main server, this is done to keep the system operational information and communication technology. Technology cloud computing can be saving investment and operational costs. One server can change a lot of server that develop with conventional system. Low cost occurred in investment hardware and operational information communication technology at LAPAN Bandung. Keywords : Cloud Computing, ICT, IaaS
341
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
LATAR BELAKANG Seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, terutama
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mengarah pada kemudahan dan kenyamanan sehingga kegiatan yang tadinya membutuhkan waktu sekarang dapat dikerjakan dengan hitungan menit. Teknologi informasi dan komunikasi yang menjadi trend pada saat ini adalah komputasi awan, dimana komputasi awan berbasis jaringan internet sebagai tulang punggungnya. Komputasi awan merupakan suatu jenis teknologi komputasi yang menyediakan kemampuan yang berhubungan dengan teknologi informasi sebagai suatu layanan dimana memungkinkan pengguna dapat mengakses data melalui teknologi komputasi awan (Rifqi, 2011). Komputasi awan memberikan pelayanan pada kemudahan, kecepatan pembangunan aplikasi dan kenyamana, sehingga akan lebih menghemat biaya investasi dan operasional. Sebelum komputasi awan muncul, pembangunan/pengembangan layanan komputasi yang mendukung kebutuhan kegiatan lembaga, instansi dan perusahan sedikit terhambat/terlambat. Keterlambat tersebut dipengaruhi proses investasi, installasi dan konfigurasi server, proses investasi yang menjadi faktor keterlambatan paling besar yaitu proses pengadaan barang yang membutuhkan waktu yang relative lama. Perkembangan teknologi sangat pesat membutuhkan sumber daya manusia yang handal dan membutuhkan sumber energi yang tinggi terutama sumber energi listrik. Pada sisi lain perkembangan energi listrik di Indonesia lebih lambat jika dibandingkan dengan perkembangan perangkat komputer di Indonesia. Pada beberapa waktu kebelakang khusunya Jawa barat pernah mengalami mati listrik secara bergantian, dimana hal ini akan mengurangi kinerja dari instansi, lembaga dan perusahaan. Kejadian tersebut memicu munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia nomor 79 tahun 2009 tentang konversi energi, dimana pada PP tersebut terdapat satu pasal 12 yang berbunyi pemanfaatan energi oleh pengguna sumber energi pengguna energi wajib dilakukan secara hemat dan efisien. Menteri energi dan sumber daya mineral juga mengeluarkan peraturan menteri tentang hemat energi nomor 12 tahun 2013. Komputasi awan menjadi sebuah solusi untuk mendukung pelaksanaan PP No 79 tahun 2009 dan Peraturan Menteri ESDM No 12 tahun 2013, selain hemat energi komputasi awan dapat menghemat biaya investasi dan biaya operasional dalam pelaksanaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Penghematan biaya investasi
342
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dapat mengurangi biaya pembelian server baru kita membangun sebuah aplikasi/sistem informasi baru. 2.
TINJAUAN PUSTAKA Komputasi awan pada dasarnya adalah menggunakan internet-based service
untuk mendukung proses bisnis. Kata-kata “Awan/Cloud” sendiri merujuk kepada simbol awan yang di dunia TIK digunakan untuk menggambarkan jaringan internet (Internet Cloud). Komputasi awan adalah gabungan pemanfaatan teknologi komputer dan pengembangan berbasis internet (Rifqi). Faktor utama yang mendorong berkembangnya komputasi awan adalah peningkatan kecepatan bandwidth internet, teknologi visualisasi dan perangkat lunak, dimana ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan dari komputasi awan. Komputasi awan yang lebih mengedepankan pada layanan, maka terdapat tiga layanan dalam sistem komputasi awan yang terdiri dari Software as a Service (SaaS), Platform as a Service (PaaS) dan Infrastructure as a Service (IaaS) (Oktariani, 2011). Pada makalah ini yang menjadi fokus untuk menghematan biaya akan menggunakan kajian komputasi awan pada Infrastructure as a Service. IaaS menawarkan sebuah layanan dalam hal sumber daya teknologi informasi yang meliputi prosessor, memori, media penyimpanan, perangkat jaringan dan sistem operasi.
Gambar 1: Komputasi Awan Model IaaS (VMWare.com) Pada gambar 1. Menunjukan infrastruktur komputasi awan dalam berbagi sumber daya, dimana satu server fisik dapat digunakan beberapa server dengan sistem operasi dan aplikasi yang berbeda-beda, sedangkan pada sistem komputasi konvesional dimana satu
343
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
server fisik hanya digunakan satu aplikasi dan sistem operasi yang artinya server tersebut tidak dapat dibagikan sumber dayanya untuk server yang lain. Penerapan teknologi informasi dan komunikasi di LAPAN Bandung membawa perubahan baik pada kinerja karyawan, selain membawa perubahan pada kinerja penerapan TIK juga membawa perubahan dalam angaran belanja. Penerapan TIK di LAPAN Bandung ini telah dibebankan sejumlah biaya baik itu biaya investasi, pengembangan, biaya operasional dengan mempertimbangkan akan manfaat nilai ekonomis yang diperolah dari TIK dalam menunjang kegiatan LAPAN Bandung. Pada makalah ini akan menganalisis presentase Return On Investment (ROI) yang kemudian akan digabungkan dengan Information Economics Scorecard yang akan memberikan skor akhir pada penerapan TIK LAPAN Bandung. 3.
DATA DAN METODE Pada tahun 2005 – 2012 LAPAN Bandung mengoperasikan beberapa server
untuk keperlukan TIK, dimana setiap server memiliki fungsi masing-masing aplikasi baik untuk web, DNS, email server dan lain-lain. Pada tahun 2013 LAPAN Bandung melakukan perganti server dengan jenis dan teknologi server baru untuk meningkatkan kemampuan TIK.
Tabel 1: Perangkat Keras yang Dimiliki LAPAN Bandung No. Spesifikasi 1
2
3
Jumlah
Prosessor : Intel Xeon 3 2 GHz Memory : 2 GB Hardisk : 46 GB Daya : 750 Watt Merek HP Type ML350 G4 Prosessor : Intel Xeon 3 2 GHz Memory : 2 GB Hardisk : 146 GB Daya : 750 Watt Merek HP Type ML350 G5 Prosessor : Intel Xeon 3 1 GHz
Tahun Pengadaan 2005
Harga (Rp)
Fungsi
17,000,000
Web Server dan Email
2008
20,075,000
FTP dan Proxy
2009
14,680,000
VPN
344
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4
5
6
7
Memory : 2 GB Hardisk : 146 GB Daya : 750 Watt Merek HP Type ML150 G5 Prosessor : Intel Core 2 1 Duo 3 GHz Memori : 2 GB Hardisk : 2 TB Daya : 250 Watt Merek HP Compaq dx2300 Prosessor : Pentium 4, 1 2.5 GHz Memori : 1 GB Hardisk : 180 GB Daya : 250 Watt Merek HP Compaq dx2030 Prosessor : Intel Xeon 6 64bit, 8 Core, dual prosessor, 3GHz Memori : 12 GB Hardisk : tidak ada Hardisk Daya : 7500 Watt Merek SuperMicro type 8017R-7FT Storage Enclosure 3 dengan Kapasitas penyimpanan 24 TB
Server
2010
10,000,000
Media Penyimpan
2007
8,000,000
DNS Server
2012
60,000,000
2013
60,000,000
Media Penyimpan
Server baru tidak akan digunakan untuk mengganti semua server yang sedang berjalan, hal dilakukan untuk penghemat biaya, dimana server web, server email, server DNS dan Ftp Server akan digabungkan dalam satu server dengan menggunakan teknologi komputasi awan. Server VPN, Proxy dan Media Penyimpan (Storage) akan berdiri sendiri, dimana satu server untuk satu aplikasi. Metode evaluasi biaya investasi dan operasional akan menggunakan metode information economic.
345
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Metode ekonomi informasi akan mengevaluasi biaya investasi dan biaya
operasional dalam periode waktu 2005 – 2012 pada saat sebelum menggunakan teknologi komputasi awan, evaluasi biaya investasi dan operasional pada saat penerapan komputasi awan dilakukan pada tahun 2013, hal ini dilakukan karena komputasi awan di LAPAN Bandung baru diterapkan pada tahun 2013. Selain evaluasi biaya pengeluaran akan dihitung nilai ekonomis dan manfaat penerapan teknologi komputasi awan di LAPAN Bandung. 4.1.
Biaya Investasi Setiap pembangunan sebuah sistem TIK, baik secara sederhana maupun dengan
sistem yang kompleks pasti memerlukan sebuah biaya investasi (Investment Cost). Biaya investasi dikelompokkan dalam tiga katagori yang terdiri dari biaya perangkat keras dan perangkat lunak. Biaya Tenaga kerja tidak dimasukan dalam biaya investasi, karena LAPAN merupakan lembaga penelitian, dimana pembuatan sebuah software dilakukan dalam kegiatan penelitian sehingga biaya tenaga kerja diasumsikan nol dan pada makalah ini memfokuskan pada biaya investasi hardware dan operasional. Tabel 2: Biaya Investasi Perangkat Keras No 1 2 3 4 5
Nama Perangkat Keras PC Server PC Server PC Server PC Server PC Server
Jumlah 2 1 2 1 1
Tahun 2005 2007 2008 2009 2010
Harga per unit Total 17,000,000 34,000,000 8,000,000 8,000,000 20,075,000 40,150,000 14,680,000 14,680,000 10,000,000 10,000,000 Total 106,830,000
Tabel 3: Biaya Investasi Perangkat keras Komputasi Awan No
Nama Perangkat Keras
Jumlah
Tahun
1 2
PC Server Storage
6 3
2012 2012
Harga per Total unit 60,000,000 360,000,000 60,000,000 180,000,000 Total 540,000,000
Biaya investasi perangkat lunak sama dengan nol, hal ini disebabkan semua perangkat lunak menggunakan open source yang dapat didownload secara gratis di internet.
346
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4.2 Biaya Operasional Tarif Dasar Listrik Setiap perangkat keras yang menggunakan sumber daya listrik akan mengeluarkan biaya operasional tagih listrik, biaya ini akan mempengaruhi pada anggaran dimana sesuai dengan Surat Keputusan Menteri ESDM No 12 tahun 2013 tetang penghematan energi dan moto perintah Republik Indonesia yaitu Indonesia Go Green. Penghitungan biaya tagihan pemakaian listrik akan dihitung pada tahun 2012 sebelum penerapan teknologi komputasi awan dan tahun 2013 setelah penerapan teknologi komputasi awan. Tarif dasar listrik untuk golongan kantor pemerintah sebesar Rp 1,380 (pln,2012) dan LAPAN Bandung menggunakan daya beban listrik sebesar 82 kVA. Setiap server beroperasi selama 24 jam dalam sehari berarti 24 jam x 31hari x 750 Watt = 558 KWh, sehingga biaya pengeluaran tagihan rekening listrik untuk satu server selama satu bulan 558 x 1,380 = Rp 770,040. Server yang memiliki daya 250 Watt maka perhitungan adalah 24 jam x 31 hari x 250 Watt = 186 KWh, maka biaya selama satu bulan 186 x 1380 = 256, 680 Rp. 800,000 600,000 400,000
Daya Server 750Watt
200,000
Daya Server 250Watt
0 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES
Gambar 2: Grafik Biaya Operasional Pemakaian Listrik Per Satu Server 60,000,000
45,333,000
40,000,000 20,000,000
9,066,600 3,022,200
Daya Server 750Watt 6,044,400
0 1 Server
Daya Server 250Watt
5 Server
Gambar 3: Biaya Operasional Pemakaian Listrik Per Tahun
347
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
45,333,000
50,000,000 40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000
Komputasi Awan
9,066,600
0 1 Server
5 Server
Gambar 4: Biaya Operasional Pemakaian Listrik Per Tahun dengan Komputasi Awan 4.3 Impelementasi Komputasi Awan Pada tabel 2 biaya investasi server baru sebanyak 6 unit dengan modal Rp 360,000,000,
namun pada kenyataanya server tersebut tidak akan dioperasikan
semuanya, hal dilakukan untuk menghemat perangkat keras. Penghematan perangkat keras dilakukan dengan menggunakan teknologi komputasi awan. Sampai tahun 2012 ada beberapa server beroperasi secara konvensional diantaranya web server, email server, DNS bdg.lapan.go.id server, dan DNS dirgantara-lapan.or.id server yang akan dimigrasi ke dalam sistem komputasi awan. Komputasi awan menganti 4 server aplikasi yang selama ini beroperasi kedalam satu server, komputasi awan melakukkannya dengan metode virtualisasi. Virtualisasi membuat kemampuan sebuah komputer direpresentasikan dalam sebuah entitas logikal, komputer virtual dapat berupa sebuah mesin, beberapa mesin yang terhubung dengan jaringan, atau bagian dari mesin yang memiliki cukup kemampuan untuk dibagi dengan beberapa pengguna yang membutuhkan kemampuan sumber daya computer (Ryan, 2010). Biaya operasional per bulan dua buah server (web dan email) dengan daya 750 Watt dan satu server (DNS bdg.lapan.go.id dan DNS dirgantara-lapan.or.id ) dengan daya 250 Watt ditunjukan pada gambar 5 dibawah ini.
348
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2,000,000 1,500,000 1,000,000
Daya Server 750 Watt
500,000
Daya Server 250 Watt
DES
NOV
OKT
SEP
AGU
JUL
JUN
MEI
APR
MAR
FEB
JAN
0
Gambar 5: Biaya Operasional Server konvensional Sehingga kalau di hitung dalam satu tahun biaya operasional server web,email, DNS sebesar Rp 21.155.400. biaya operasional komputasi awan untuk menjalan web server, email server dan DNS server dengan menggunakan satu unit komputer berdaya 750 Watt maka biaya perbulan yang harus dibaya sebesar Rp 695.520 – 770.040 jadi biaya satu tahun sebesar Rp 9,066,600, sehingga biaya operasional dapat di hemat sebesar 21,155,400 – 9,066,600 sama dengan Rp 12,088,800. Penghematan terjadi pada saat melakukan pengembangan, misalnya server web atau email memerlukan penambahan memori sebesar 2 GB DDR2 dengan harga Rp 2,208,000 (bhinneka.com) maka pengembagan hanya dapat dilakukan pada salah satu server sedangkan pada teknologi komputasi awan dengan biaya pengembangan yang sama dapat dilakukan pada semua server yang terdapat pada komputasi awan, ini terjadi karena prinsip komputasi awan adalah berbagi sumber daya baik CPU, memori, jaringan, media penyimpanan dan lainlain. Biaya investasi perangkat keras yang dikeluarkan untuk membangun teknologi komputasi dengan sistem konvesional jauh lebih tinggi bila melihat tabel 2 dan 3. Biaya investasi perangkat dengan sistem TIK konvesional Rp 106,830,000 sedangkan biaya investasi komputasi awan untuk dua unit server Rp 120,000,000 jika melihat besaran harga pada tabel 3 masih jauh lebih murah dengan menggunakan sistem TIK konvesional. Pada kenyataannya harga tersebut lebih murah karena dengan dua unit server komputasi awan sudah dapat digunakan untuk cadangan, sedangkan pada sistem TIK konvensional belum tersedia server cadangan. Jika sistem TIK konvensional memerlukan cadangan maka biaya investasi server cadangan minimal sama dengan server utama. LAPAN Bandung menyediakan server cadangan untuk web server, email server dan DNS server maka biaya investasi server cadangan dengan melihat tabel 1 sebesar Rp 25,000,000 sehingga bisaya investasi total 106,830,000 ditambah 349
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
25,000,000 menjadi Rp 131,830,000. Penghematan dengan menggunakan komputasi awan sebesar Rp 11,830,000 atau 8,97% dimana biaya investasi tersebut sudah termasuk biaya investasi server cadangan. 5.
KESIMPULAN Komputasi awan merupakan sebuah pengembangan teknologi dalam bidang
Teknologi Informasi dan Komunikasi. Komputasi awan dapat menghemat angaran belanja dari segi biaya investasi dan operasional. Apabila komputasi awan menggunakan jasa pihak ketiga dengan sistem menyewa sebuah layanan, maka akan lebih menghemat lagi anggaran belanja suatu instansi, lembaga atau perusahaan, dimana biaya investasi menjadi nol. Penghematan biaya operasional TIK LAPAN bandung dengan menggunakan komputasi awan sebesar 57% sedangkan pada biaya investasi sebesar 8,97%. Selain menghemat anggaran belanjan TIK, LAPAN Bandung sudah mendukung dan melakukan program pemerintah terkait dengan penghematan energi. DAFTAR PUSTAKA Rifqi Syamsul Fuadi, Perkembangan Teknologi Informasi Cloud Computing (Komputasi Awan)., Teknik Informatika., UIN Sunan Gunung Djati, 2011 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 70 Tahun 2009 tentang konservasi energi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No 13 Tahun 2012, Tentang penghematan pemakaian tenaga Listrik Oktariani Nurul Pratiwi, Analisis Keamanan Aplikasi Penyimpanan Data Pada Sistem Cloud Computing., e-Indonesia Initiative, Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia., 2011 www.pln.co.id/dataweb/TTL 202013/Tarif Tenaga Listrik 2012.jpg diakses pada tanggal 13-Oktober 2013 http://www.bhinneka.com/category/memory_server___ecc.aspx diakses pada tanggal 20 Oktober 2013
350
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
METODE PENENTUAN INDEKS IONOSFER DI ATAS PONTIANAK Slamet Syamsudin Pusat Sains Antariksa ( PUSAINSA ) LAPAN E-mail :
[email protected] Abstrak Adanya hubungan linier antara frekuensi kritis foF2 lapisan F2 ionosfer dan aktivitas matahari yaitu bilangan sunspot (R) merupakan ukuran pengaruh aktivitas matahari terhadap ionosfer. Hubungan fungsional tersebut merupakan dasar untuk menentukan pengaruh aktivitas matahari terhadap ionosfer dalam bentuk parameter indeks T. Untuk mendapatkan harga indeks T pada setiap jam terlebih dahulu ditentukan koefisien persamaan indeks T,yang dihitung dengan metode regresi linier antara rata-rata median foF2 pada setiap bulan dengan bilangan sunspot bulanan. Setelah diperoleh koefisien indeks T untuk setiap jam, dengan perumusan linier antara indeks T dan data frekuensi foF2, maka indeks T setiap dapat ditentukan. Hal tersebut telah dilakukan dengan menggunakan data foF2 untuk setiap jam, dari Balai Pengamatan Dirgantara LAPAN Pontianak (0.03⁰ LS, 109.3⁰) selama 6 tahun ( 2005 – 2010 ) dan bilangan sunspot bulanan Kata Kunci: Ionosfer, Indeks T, Bilangan sunspot Abstract. The existence of alinier relation between the critical frequency of foF2 ionosphere layerand solar activity is the sunspot number ( R ) that is a measure of the solar activity influence towards ionosphere. The functional relation is the basis for determining the influence of solar aktivity on the ionosphere in the form of a T index parameter. To get the T index value at every hour, it is firstly determined the T index equation coeffisients, which is calculated by linear regression method between the average of foF2 median at every month with monthly sunspot numbers. After gaining the T index coeffisient every hour,with a linear formulation of the T index and foF2frequency data, the T index every hour can be dtermined. This has been conducted by using the foF2 data for every hour from Balai pengamatan Dirgantara LAPAN Pontianak ( 0.03⁰ LS, 109.3⁰BT ) for 6 years ( 2005-2010), and monthly sunspot numbers. Keywords: Ionosphere, T index, Sunspot number
351
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
PENDAHULUAN Lapisan F2 ionosfer merupakan lapisan yang potensial untuk media komunikasi
radio HF, yaitu komunikasi antar 2 tempat menggunakan frekuensi HF (High Frequency) dengan rentang frekuensi (3–30)Mhz yang dipancarkan dari transmitter di bumi ke lapisan ionosfer kemudian di lapisan ionosfer frekuensi tersebut dipantulkan ke tempat lain di bumi (receiver). Frekuensi pada saat terjadinya pemantulan di lapisan F2 ionosfer disebut frekuensi kritis lapisan F2 ionosfer ( foF 2 ) dimana frekuensi kritis merupakan frekuensi tertinggi dari gelombang radio yang dipantulkan oleh suatu lapisan ionosfer bisa ( E, Es, F1, F2 atau F3 ) frekuensi foF2 sangat tergantung pada aktivitas matahari yaitu bilangan sunspot (R) dan hubungan fungsionalnya dinyatakan sebagai fungsi linier. Selain bilangan sunspot (R) maka ada parameter lain yang mengindikasikan adanya hubungan aktivitas matahari dengan ionosfer yaitu indeks T, sehingga indek T menunjukan ukuran pengaruh aktivitas matahari terhadap lapisan ionosfer pada suatu daerah (Jiyo). Hal demikian mengingat indek T yang dibuat oleh ASAP merupakan indek T global ( Turnner ). Indeks T untuk setiap jam dari data median bulanan untuk setiap jam yang dikaitkan dengan koefisien indeks T yaitu A dan B untuk setiap bulan pada suatu lokasi yang dirumuskan dengan T=AfoF2 + B. Indeks T untuk setiap jam nantinya bisa digunakan untuk penentuan indeks T regional ( Caruana) yaitu indeks T yang sesuai dengan kondisi ionosfer di Indonesia. Digunakannya data foF2 ionosfer Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak karena data tersebut dapat mewakili ionosfer daerah Indonesia bagian barat. Rencana selanjutnya akan kita hitung juga untuk lokasi daerah diwilayah Indonesia yang lain misalnya Sumedang, Biak, Kototabang. Akhirnya sebagai sasaran utama dari pembahasan ini adalah diperolehnya parameter untuk perhitungan MUF dan LUF pada sitem komunikasi HF. 2.
DATA DAN METODOLOGI Dengan menggunakan median foF2 tiap-tiap jam ( 00.00 – 23.00 ) pada setiap
bulan
setiap tahun (Januari – Desember) selama 6 tahun (2005-2010) dari Balai
Pengamatan Dirgantara Pontianak, median foF2 yang diperoleh diatas diambil rataannya untuk 1 bulan menghasilkan satu nilai yang mewakili bulan tertentu. Kemudian bilangan sunspot bulanan ( R12 ) yang disesuaikan dengan nilai rataan median 352
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
foF2 pada setiap bulan selama 6 tahun (2005-2010), dan nilai ( R12 ) 100 diadakan pembobotan dengan mengalikan 4 (Tabel 1), kemudian regresikan kedua parameter tersebut sehingga diperoleh konstanta regresi A dan B. Tabel 1 : Pembobotan pada bilangan sunspot (R) Bulan pada tiap tahun
Rataan pada median foF2
R12
Januari 2005
7.26
( 34.6 x 4 ), R12 100
Januari 2006
6.72
101.3
5.89
111.2
Januari 2011
Konstanta regresi A dan B dikalikan rataan median bulanan, dengan rumus T=AfoF2+B, untuk menentukan indeks terkoreksi 1, indeks terkoreksi 1 dibagi 4, kecuali untuk ( R12 ) 100 hasilnya disebut T baru 1. T baru 1 untuk dikalikan 2, kemudian regresikan dengan nilai rataan
( R12 ) 100
median foF2 pada setiap bulan
selama 6 tahun (2005 – 2010 ), akan diperoleh koefisien regresi A1 dan B1 kemudia dikalikan dengan nilai rataan median foF2 diperoleh indeks terkoreksi 2, dan proses ini diulang sampai diperoleh koefisien regresi An dan Bn . Koefisien regresi An dan Bn kalikan dengan nilai rataan
median foF2 menurut aturan T= AnfoF2 + Bn akan
menghasilkan T baru ke n, kemudian regresikan foF2 dengan T baru ke n
akan
diperoleh koefisien korelasi R 2 1 . Koefisien regresi An dan Bn yang dirumuskan seperti pada persamaan tersebut diatas merupakan koefisien dari
indeks T yang kita
cari . Dengan menggunakan median foF2 dan koefisien indeks T untuk setiap tiaptiap jam (00.00 – 23.00) pada setiap bulan untuk setiap tahun (Januari – Desember) selama 6 tahun (2005-2010), yang dirumuskan dengan T=AfoF2 + B maka kita peroleh harga indek T untuk setiap jam pada setiap bulan selama 6 tahun dari Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan menggunakan data median menggunakan data median bulanan untuk
seiap jam dan data sunspot bulanan selama 6 tahun ( 2005-2010) diperoleh koefisien indeks T, A dan B untuk setiap jam pada setiap bulan seperti pada Tabel 2, Tabel 3 dan 353
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1. Sedangkan nilai indeks T kita berikan contoh untuk beberapa tahun seperti pada Table 4, Tabel 5 dan Gambar 2. Tabel 2 : Koefisien indeks T untuk bulan Januari - Juni, Pontianak Bulan
Januari
Februari
Maret
Jam
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
00
32.60
-92.1
9.62
-28.3
5.39
-8.17
24.8
-129
-11.7
91.2
28.83
-87.8
01
33.10
-83.8
8.42
-14.4
7.19
-10.3
5.58
-9.9
6.45
34.5
16.97
-33.9
02
45.21
-106
19.51
-52.6
12.97
-23.7
31.96
-109
18.46
-5.93
-0.47
67.14
03
48.21
-117
3.56
10.16
13.04
-25.3
21.93
-50.3
04
19.90
-44
5.75
4.56
20.92
-45.4
05
15.83
-35.1
14.9
-26.8
10.04
-9.14
5.92
2.31
4.6
47.6
06
12.55
-32.3
18.67
46.47
8.03
-18.5
6.55
0.1
7.39
-15.5
8.59
-20.2
07
-19.7
121.9
-3.11
42.46
26.37
-152
-49.1
-49.1
8.54
-36.5
12.81
-61
08
-21.2
156.9
12.95
-65.6
0.5
0.5
11.25
-72.1
16.78
-110
15.67
-93.6
09
-13.4
105
12.73
-71.4
19.86
-138
24.43
-198
17.85
-130
18.15
-12.5
10
89.5
-598
13.73
-84.3
-4.4
59.3
11.95
-81.8
25.53
-196
26.57
-197
11
-9.01
168
17.42
-112
6.1
-29.3
11.57
-77.2
20.38
-148
34.51
-257
12
24.39
-164
24.64
-173
19.64
-144
13.75
-98.3
24.03
-181
46.04
-349
13
-39.3
315
-6.86
77.6
6.29
-32.2
15.6
-117
24.79
-190
73.33
567
14
82.55
-628
-7.43
83.4
-5.19
68.3
18.23
-144
30.45
-241
22.17
-156
15
13.87
0.08
-0.12
23.2
0.29
19.22
17.98
-141
26.42
-204
79.3
-604
16
-187
144
10.89
70.15
-8.62
97.95
19.33
-154
22.16
-164
37.31
-271
17
-47.1
380
10.06
-60.8
-9.46
104
23.04
-372
-1.11
31.4
35.87
246
18
43.86
-295
7.03
-35.2
-2.68
33.65
-13.4
239.1
6.43
-27.5
19.65
-108
19
5.30
-6.2
19.01
-118
-4.96
60.5
-10.5
113.5
-6.85
67.4
6.02
-14.6
20
2.16
6.52
9.68
-46.8
-2.89
44.67
1.75
/.98
2.21
8.54
-10.9
70.1
21
25.68
40.85
2.27
8.35
-1.8
36.45
-34.1
27.76
1.17
19.4
-7.37
62.25
22
-28.7
173
9.84
-44.6
-32.7
271.6
1.00
.-0.2
-7.34
92.0
-13.5
127
23
31.57
110
9.54
39.05
3.58
-4.88
19.07
-94.4
3.8
42.6
-0.31
66.89
April
Mei
Juni
Tabel 3 : Koefisien indeks T untuk bulan Juli-Desember, Pontianak Bulan
Juli
Jam
A
00
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
-40.6
183.7
30.42
-100
0.72
12.29
30.84
-103
19.19
-53.9
46.89
-157
01
15.1
-29.8
18.63
-28.2
1.88
8.25
32.31
-99.2
30.84
-88.7
42.75
-125
02
22.22
-4.08
15.14
-25.3
3.87
3.99
26.53
-69.9
40.57
-121
20.34
-47.5
190
-502.
10.5
-19.8
26.53
-62.3
43.69
-119
-45.6
142.4
177
-612
43.24
-105
39.62
-93.3
45.08
-111
-2.75
30.23
44.36
-103
6.94
2.27
7.75
-8.52
03 04
-6.12
82.65
05
1.5
-1.44
-5.76
86.18
354
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
06
8.95
-16.5
9.18
-21.1
1.55
8.48
80.82
-404
19.14
-75.8
14.16
-45.1
07
12.79
-54.5
14.51
-69.4
6.81
-27.3
19.81
-102
19.58
-100
16.47
-78.5
08
16.92
-98.4
17.09
-105
4.28
-16.1
17.39
-94.7
20.65
-118
20.09
-108
09
20
-130
18.01
-105
0.41
12.17
9.57
-47.3
20.72
-130
25.9
-165
10
28.21
-198
19.32
-125
0.15
14.24
15.47
-101
30.61
-218
25.83
-170
11
21.71
-147
21.09
-136
-2.04
32.19
41.97
-322
46.83
-353
23.07
-152
12
30.56
-219
18.77
170.6
0.42
12.21
48.83
-370
42.02
-315
30.78
-218
13
33.26
-231
23.18
165.3
2.74
-6.88
37.79
-286
25.56
-182
39.24
-280
14
19.49
-129
22.86
175.1
2.55
-5.62
-3.26
56.7
21.91
-154
45.83
-334
15
29.21
-200
24.42
111.5
1.46
3.44
53.25
450
19.15
-135
30.88
-221
16
38.33
-265
20.04
128.7
1.09
6.47
75.1
644
36.29
-286
62.35
-459
17
22.39
-135
16.86
-128.
0.92
8.07
37.22
-295
7.45
-35.4
39.45
-276
18
12.54
-59.9
19.66
-50
2.54
-5.16
29.55
-213
44.04
-323
-1.09
27.7
19
11.46
-44.9
10.09
-30.1
2.81
-6.06
22.94
-154
43
-285
11.3
-50.9
20
-0.3
24.69
7.95
-44.4
2.51
-3.64
16.34
-95.2
19.21
-99.1
19.16
-94
21
11.01
-28.7
11.29
-68.2
-1.97
28.44
22.79.
-151
8.95
-34.5
24.49
--119
22
46.42
-161
14.62
-44.4
0.04
15.24
18.32
-108
16.76
-78.8
8.29
-23.9
23
34.59
-123
19.25
-68.4
1.51
6.57
15.85
-62.6
8.71
-14.2
-6.53
46.2
600
Koefisien indeks T tiap jam pada setiap bulan di Pontianak.
400
Koefisien indeks T (A,B)
200
1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253 265 277
0
-200 -400 -600 Jam -800
A B
Gambar 1: Koefisien indeks T setiap jam selama 1 tahun di Pontianak
355
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 4 : Indeks T, 2006, Pontianak. Jam
Jan.
Feb.
Mrt
Apr
Mei
Jun.
Jul.
Ags.
Sep.
00.00
64.0
36.8
20.7
29.8
28.1
34.3
33.4
23.4
01.00
84.0
20.3
20.9
17.0
28.1
36.0
34.5
02.00
83.3
26.7
30.4
25.1
-0.3
65.2
60.8
03.00
62.3
0.32
28.0
32.2
69.2
04.00
38.8
11.6
30.8
05.00
32.0
06.00
42.4
07.00
Okt.
Nop.
Des.
15.1
27.8
23.4
31.5
13.8
40.8
29.5
21.8
14.0
37.1
10.9
26.0
21.8
21.3
24.9
60.8
37.4
31.9
4.42
62.3
16.4
40.0
24.8
25.7
35.3
47.7
25.9
34.7
33.9
35.2
19.9
45.2
35.5
23.1
29.4
34.6
35.3
5.76
32.6
33.3
35.0
17.1
45.5
35.7
08.00
41.9
21.1
3.8
34.3
36.5
37.4
35.2
31.1
20.7
43.3
34.8
09.00
19.8
25.1
15.6
23.3
37.1
67.7
35.5
29.3
15.7
42.7
31.6
10.00
32.9
25.6
24.0
21.6
34.7
36.6
34.2
25.1
15.6
38.8
28.5
11.00
105
16.4
19.6
22.5
21.2
34.9
29.4
25.9
14.7
24.6
33.3
12.00
22.2
20.9
25.6
22.0
25.4
20.1
35.5
21.5
15.9
40.3
32.2
13.00
38.7
24.1
19.7
25.4
27.8
33.9
29.2
20.1
18.9
197
35.3
14.00
29.9
27.6
24.5
21.5
33.1
31.8
34.9
21.4
18.4
43.4
29.3
15.00
107
22.2
21.7
21.8
29.7
25.5
30.7
20.2
17.1
38.4
23.7
21.8
29.0
21.0
26.6
15.4
27.1
20.2
18.0
32.0
33.8
16.00 17.00
21.6
23.8
31.6
167
24.5
26.8
24.1
16.1
15.1
22.7
26.5
18.00
25.9
20.9
12.9
33.2
40.1
27.7
19.2
15.0
17.9
17.3
20.4
19.00
30.5
27.4
28.3
32.0
19.7
18.5
11.4
13.3
15.9
16.2
14.08
20.00
18.4
25.4
24.1
23.7
27.8
26.1
23.6
13.4
41.8
34.3
21.00
129
23.5
23.7
34.9
21.1
22.5
17.9
16.5
17.0
43.9
24.3
22.00
39.8
22.9
32.5
6.98
29.6
57.9
28.7
17.0
15.5
13.3
8.5
63.6
20.8
36.7
69.1
65.1
34.8
26.1
16.9
7.9
Jun.
Jul.
Ags.
Sep.
Okt.
Nop.
Des.
23.00
Tabel 5 : Indeks T, 2008, Pontianak. Jam
Jan.
Feb.
Mrt
Apr
Mei
00.00
31.8
7.14
14.7
7.2
6.8
6.03
10.5
15.0
-1.9
23.7
2.7
01.00
28.4
18.0
14.4
17.4
14.7
13.9
39.8
15.4
15.5
12.1
1.1
02.00
24.8
7.4
11.8
7.89
17.4
19.7
4.8
9.6
03.00
13.9
19.4
9.12
19.5
10.4
8.5
0.9
12.2
04.00
11.2
18.4
9.38
20.4
9.6
5.1
05.00
11.9
61.0
14.0
19.7
13.1
20.8
9.0
06.00
11.5
13.3
12.3
30.2
11.1
15.4
9.4
16.4
14.2
15.08
11.6
14.9
356
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
07.00
24.3
25.4
14.8
17.0
15.1
10.8
10.98
4.9
12.6
17.5
13.2
3.9
08.00
41.6
16.4
3.5
17.2
8.29
10.6
8.19
2.5
12.6
20.5
13.7
3.9
09.00
21.9
14.2
16.2
12.3
6.1
124
9
1.6
15.3
23.8
14.0
1.1
10.00
20.4
9.1
22.2
11.0
13.6
9.8
6.5
3.6
15.4
23.8
14.5
4.7
11.00
105
18.5
18.3
9.87
12.7
12.9
5.7
4.4
11.8
12.7
8.6
5.3
12.00
7.64
15.0
9.78
10.7
10.5
3.94
9.6
7.1
15.1
12.5
15.9
1.1
13.00
19.3
23.5
18.6
7.3
5.5
10.3
6.4
6.7
13.6
8.7
16.0
4.7
14.00
6.8
23.8
22.6
11.2
7.7
12.8
7.4
8.6
13.7
30.6
16.2
0.9
15.00
106
22.2
21.7
11.4
6.5
1.7
5.5
10.4
14.5
10.9
2.6
4.6
16.8
21.7
16.9
9.0
17.6
6.4
7.7
14.8
21.2
22.9
6.2
16.00 17.00
24.4
7.6
19.9
168
22.8
14.1
8.4
7.3
14.9
10.0
28.2
4.8
18.00
10.6
18.5
11.3
18.4
20.5
20.7
14.0
9.5
14.0
17.7
22.6
20.1
19.00
24.2
15.3
21.5
19.6
21.0
17.8
12.4
12.5
17.7
15.0
12.5
21.0
20.00
18.0
18.3
22.3
71.4
20.1
11.8
23.1
12.9
15.0
16.2
6.5
8.5
21.00
95.2
21.0
22.6
13.7
13.1
21.9
18.6
12.1
16.2
6.3
14.1
6.0
22.00
19.0
13.4
12.2
6.9
18.7
6.01
8.6
6.3
20.3
-12
19.8
23.00
17.8
7.3
20.3
9.7
13.4
2.4
20.3
4.7
22.3
19.7
Hubungan antara frekuensi kritis foF2 lapisan F2 ionosfer dengan indeks T adalah indeks T=AfoF2+B yang merupakan fungsi linier dan indeks T akan naik jika foF2 membesar dan nilai foF2>0. Untuk itu maka pasangan koefisien indeks T kita klasifikasi menjadi 4 golongan : (1). Jika A>0 dan B>0 , maka indeks T akan naik walaupun foF2<0 (2). Jika A>0 dan B<0 maka indeks T akan naik dan foF2>0 (3). Jika A<0 dan B>0 maka indeks T akan turun untuk semua harga foF2 indeks T bisa positip atau negatif (4). Jika A<0 dan B<0 indeks T akan negatip. Dari hasil perhitungan koefisien indeks T terlihat dari Tabel 1 dan Tabel 2 di atas diperoleh 24 X 12 = 288 pasangan koefisien indeks T yaitu A dan B. dari sifat fungsi linier maka golongan 1 sebanyak 26 pasangan dan golongan 2 sebanyak 252 pasangan koefisien indeks T yang memenuhi pernyataan diatas, sedangkan golongan 3 dan 4 adalah sebaliknya yaitu harga T akan turun jika foF2 bertambah. Artinya hampir 95% mengikuti aturan A>0 dan B<0 dan A>0 dan B>0
Hal
yang demikian dapat disimpulkan hasil perhitungan koefisien indek T , data foF2 Pontianak cukup baik. Jika kita bandingkan indeks T, hasil perhitungan dan global diperoleh seperti Gambar 1, dibawah ini , terlihat bahwa pola indeks T global dengan 357
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
indeks T yang diperoleh diatas Pontianak memiliki kemiripan. Dari gambar tersebut terlihat pula bahwa kecenderungan nilai indeks T global akan selalu lebih kecil dari indeks T diatas Pontianak. Indikasi dari hasil yang terlihat pada gambar tersebut dapat memiliki arti bahwa indeks kondisi lapisan ionosfer diatas Pontianak cenderung lebih tinggi dari indeks ionosfer yang digunakan dalam perhitungan global. Informasi ini cenderung mendukung teori yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan wilayah yang mengalami
anomali ionosfer. Indeks ionosfer global yang digunakan untuk
memberikan informasi kondisi lapisan ionosfer diatas Indonesia, perlu ditinjau kembali kesesuaianya untuk digunakan di Indonesia seiring dengan adanya teori yang menyatakan bahwa Indonesia berada di wilayah anomali Ionosfer.
Perbandingan Indeks T Bulanan Lokal dan Global Tahun ( 2005-2010 ), Pontianak
60 50 40 Indeks T
30 Global
20
Lokal
10 0 -10
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70
-20
Bulan
Gambar 2 : Perbandingan indeks T bulanan lokal dan global tahun (2005010)Pontianak. 4. KESIMPULAN Hasil perhitungan nilai indeks T diatas Pontianak yang memiliki pola yang serupa dengan indeks T global menunjukan bahwa koefisien indek T yang digunakan dalam perhitungan indeks T pada data Pontianak sudah cukup tepat. Trend indeks T global yang naik atau turun juga serupa dengan trend indeks T diatas Pontianak Selain itu adanya perbedaan nilai indeks T global yang lebih kecil dari Indeks T Pontianak,
358
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
menunjukkan bahwa indeks ionosfer diatas Pontianak memiliki nilai lebih tinggi dan perlu ditinjau kembali apakah indeks T global dapat digunakan sebagai indeks T yang diperuntukkan bagi wilayah Pontianak atau Indonesia secara umum.
UCAPAN TERIMA KASIH Sebagai penutup kami ucapkan terima kasih kepada rekan dibidang ionosfer dan telekomunikasi Pusat Sains Antariksa Lapan antara lain sebagai berikut. - Drs. Gatot Wikanto sebagai koordinator data foF2 ionosfer. - Dra. Sri Suhartini dan Varuliantor sebagai teman diskusi - Drs. Jiyo MSi sebagai kepala bidang Ionosfer dan Telekomunikasi. DAFTAR RUJUKAN Caruana, John, 1989. The IPS monthly T index, IPS Radio and Space Services. Turner, J.,1968. The development of the Ionospheric Index T, IPS Series R Report, IPSR11, Australian Government Department of Administrayive Services. Jiyo, 2005. Penentuan Indeks T Harian Lapisan Ionosfer Indonesia, majalah LAPAN vol 7 no.1 dan 2
359
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ANALISIS KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK DAN MANADO Sri Ekawati1,2, Wahyu Srigutomo1 dan Jiyo2 1
2
Fisika Bumi dan Sistem Kompleks, Magister Fisika, ITB Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN Email:
[email protected]
Abstrak Ionosfer, yang berisi plasma berada diketinggian kurang lebih 50 – 500 kilometer di atas permukaan bumi, merupakan salah satu penentu keberhasilan propagasi sinyal komunikasi satelit dan sistem navigasi berbasis satelit. Pada makalah ini, ketidakteraturan plasma ionosfer akan dianalisis dari fenomena sintilasi ionosfer berdasarkan data indeks S4. Data ionosfer diperoleh dari penerima GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitoring (GISTM) GSV4004B di Pontianak (0,03oLS;109,33oBT) dan Manado (1,48oLU; 124,85oBT) pada bulan Maret – Mei 2013. Kedua stasiun pengamatan menunjukkan kemunculan gangguan sintilasi ionosfer tertinggi terjadi pada tanggal 10 April 2013. Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado terjadi sekitar satu jam lebih dulu dibandingkan dengan kejadian di atas Pontianak. Kata kunci : Ionosfer, plasma, navigasi, sintilasi, GISTM Abstract. Ionosphere, which contains plasma were approximately 50-500 kilometers above the Earth's surface, is a determinant of the success of signal propagation of satellite communication and satellite-based navigation system. In this paper, ionospheric plasma irregularities will be analyzed from amplitudo ionospheric scintillation index S4. Ionospheric data obtained from the GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitoring (GISTM) GSV4004B in Pontianak (- 0.03oS; 109.33oE) and Manado (1.4oN; 124.85oE) from March to May 2013. Results showed that the highest ionospheric plasma and intense disturbances occur on April 10,2013. Other results showed that scintillation activity on Manado was approximately one hour ahead compared with Pontianak station. Keywords: Ionosphere, Scintillation, GISTM, Pontianak and Manado
360
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Pemahaman tentang dinamika ionosfer, lebih spesifik gangguan ionosfer, terus dikembangkan karena ionosfer merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan propagasi sinyal komunikasi satelit dan sistem navigasi berbasis satelit. Salah satu gangguan ionosfer adalah fenomena sintilasi yang disebabkan oleh berfluktuasinya indeks bias ionosfer sehingga gelombang elektromagnetik yang melaluinya berfluktuasi dengan cepat baik amplitudo maupun fasanya (Ekawati, 2008). Aktivitas sintilasi ionosfer dapat ditunjukkan dengan indeks S4, yang merupakan indeks amplitudo sintilasi ionosfer. Aktivitas sintilasi mempunyai kategori lemah (0 < S4 ≤ 0,25), sedang (0,25 < S4 ≤ 0,5) dan kuat (0,5 < S4 ≤ 1) (Butcher,2005). Penelitian tentang kemunculan sintilasi ionosfer telah dilakukan sebelumnya di stasiun Bandung (-6,90oLS; 107,60oBT) yang dilakukan oleh Ekawati (2011). Penelitian tersebut menggunakan data hasil pengamatan bulan Januari – Juni 2010. Persentase kemunculan sintilasi kuat tertinggi terjadi pada tanggal 13 Maret 2010 dan indeks S4 mulai meningkat pada pukul 20:00 WIB dengan durasi bervariasi dari belasan menit sampai kurang lebih dua jam. Pemahaman tentang distribusi temporal dan spasial dari kejadian sintilasi ionosfer di Indonesia diperlukan dalam rangka membangun model sintilasi ionosfer regional. Hasilnya akan digunakan sebagai salah satu dasar dalam membangun model kejadian sintilasi ionosfer. Dengan menggunakan model yang diperoleh, maka informasi tentang gangguan yang akan terjadi terhadap komunikasi satelit dan sistem navigasi dapat diberikan kepada pengguna. Makalah ini merupakan kelanjutan penelitian sebelumnya yang bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer diatas Pontianak dan Manado untuk mengetahui variasi bujur aktivitas sintilasi ionosfer di wilayah Indonesia. 2. DATA DAN METODE Pada makalah ini, data ionosfer diperoleh dari penerima penerima GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitoring (GISTM) GSV4004B diatas stasiun Pontianak dan Manado. Stasiun Pontianak terletak pada koordinat geografis (-0,03o LS; 109,33o BT) atau pada koordinat geomagnet (-8,82o LS; 180,72o BT) sedangkan stasiun Manado terletak pada koordinat geografis (1,48oLU; 124,85oBT) atau pada koordinat geomagnet (-6,87oLS; 196,07oBT). Konversi koordinat dari geografis ke geomagnet 361
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
dapat dilakukan secara otomatis oleh UK Solar System Data Center yang dapat diakses di www.ukssd.ac.uk/cgi-bin/wdc1/coordcnv.pl. Periode data yang dianalisis adalah bulan Maret – Mei 2013. Periode tersebut merupakan periode equinox yang secara statistik kemunculan sintilasi ionosfer paling sering terjadi. Tahun 2013 juga merupakan fase puncak aktivitas Matahari yang mempengaruhi kemunculan sintilasi ionosfer lebih intensif dibanding tahun-tahun pada saat fase aktvitas matahari tenang. Data yang digunakan pada makalah ini adalah data indeks S4 yang dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas gangguan plasma ionosfer. Penerima GPS mengeluarkan data indeks S4 total dan indeks S4 correction, sehingga untuk memperoleh indeks S4 yang terkoreksi digunakan perhitungan sebagai berikut (Dubey,2006) : 4=
4
+ 4
……………………………. (2.1)
Setelah perhitungan indeks S4 tersebut dilakukan berdasarkan persamaan (3.1), dilakukan seleksi berdasarkan sudut elevasi antara GISTM dengan satelit GPS. Pada makalah ini, data yang digunakan adalah data indeks S4 dengan sudut elevasi pengamatan ≥ 30 derajat. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari gangguan yang bukan berasal dari ionosfer, seperti multipath oleh gedung-gedung bertingkat, pohonpohon tinggi ataupun penyebab lainnya yang bukan dari ionosfer. Penerima GPS menyimpan kurang lebih 8600 data dalam satu hari. Untuk memperoleh distribusi jumlah kemunculan sintilasi ionosfer, dilakukan pemilihan data sintilasi sedang/moderate (0,25< S4 ≤ 0,5) dan kuat/strong (0,5 < S4 ≤ 1). Sehingga, dalam satu hari terdapat banyaknya data yang menunjukkan sintilasi sedang dan sintilasi kuat. Dari jumlah kemunculan sintilasi sedang dan kuat ini dapat diketahui aktivitas sintilasi ionosfer secara umum. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukkan grafik jumlah kemunculan sintilasi sedang dan kuat selama bulan Maret – Mei 2013 di atas Pontianak. Warna biru menunjukkan jumlah kemunculan sintilasi sedang (0,25< S4 ≤ 0,5) dan warna merah menunjukkan jumlah kemunculan sintilasi kuat (0,5 < S4 ≤ 1). Pada periode bulan Maret sampai dengan Mei 2013 diperoleh jumlah tertinggi kemunculan sintilasi kuat pada tanggal 10 April 2013 yaitu 102 kejadian sintilasi kuat dan 331 kejadian sintilasi sedang. Namun, 362
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
sintilasi sedang tertinggi terjadi pada tanggal 9 April 2013 sebanyak 428 kejadian. Untuk memperkuat hasil tersebut dilakukan hal yang sama untuk stasiun yang berbeda yaitu di stasiun Manado.
Gambar 1: Jumlah kemunculan Sintilasi Ionosfer selama bulan Maret – Mei 2013 di atas stasiun Pontianak.
Gambar 2 : Jumlah kemunculan Sintilasi Ionosfer selama bulan Maret – Mei 2013 diatas stasiun Manado.
363
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar-2 menunjukkan grafik jumlah kemunculan sintilasi sedang dan kuat diatas Manado dengan metode dan periode data yang sama dengan yang dilakukan di stasiun Pontianak. Jumlah kemunculan sintilasi kuat dan sedang tertinggi diatas Manado terjadi pada tanggal 10 April 2013 juga dengan jumlah sintilasi kuat sebesar 93 kejadian dan sedang sebesar 337 kejadian. Hasil yang diperoleh tersebut dapat dilihat distribusi kejadian aktivitas sintilasi ionosfer dapat dilakukan metode menghitung jumlah data sintilasi sedang dan kuat, sehingga dapat memberi gambaran secara umum aktivitas sintilasi ionosfer yang tinggi pada periode waktu tertentu. Walaupun secara umum aktivitas sintilasi di daerah ekuator dan lintang rendah telah diketahui puncak tertinggi nya terjadi pada bulan Maret-April dan September-Oktober, namun perlu diketahui secara lebih akurat lagi kapan terjadinya puncak sintilasi ionosfer untuk kepentingan mitigasi gangguan ionosfer terhadap komunikasi satelit dan sistem navigasi berbasis satelit. Pada periode Maret – Mei 2013, jumlah kemunculan sintilasi tertinggi terjadi pada tanggal 10 April 2013. Sehingga, kajian lebih dalam aktivitas sintilasi ionosfer pada hari tersebut akan sangat menarik untuk dilakukan. Hal menarik lainnya yaitu membandingkan aktivitas sintilasi diatas Pontianak dan Manado yang ditunjukkan pada Gambar-3.
a)
b)
Gambar 3 : Aktivitas sintilasi ionosfer pada tanggal 10 April 2013 diatas Pontianak (a) dan Manado (b).
364
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Plot indeks S4 yang menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer diatas Pontianak dan Manado ditunjukkan pada Gambar-3. Gambar-3(a) adalah plot indeks S4 terhadap standard waktu di Indonesia bagian barat (WIB=UTC+7) yang diperoleh dari stasiun Pontianak. Sedangkan, Gambar-3 (b) adalah plot indeks S4 terhadap standard waktu di Indonesia bagian tengah (WITA=UTC+8) yang diperoleh dari stasiun Manado. Aktivitas sintilasi ionosfer diatas Pontianak pada tanggal 10 Mei 2013 meningkat dari pukul 19:00 WIB – 23:00 WIB dengan durasi kurang lebih 4 jam dengan nilai indeks S4 > 0,25. Indeks S4 pada tanggal tersebut bahkan ada yang mencapai 0,95 sekitar pukul 21:00 WIB. Sedangkan aktivitas sintilasi sedang maupun kuat diatas Manado pada tanggal 10 Mei 2013 terjadi pada pukul 19:00 WITA – 23:00 WITA dengan durasi kurang lebih 4 jam. Indeks S4 tertinggi mencapai 0,89 terjadi pada sekitar pukul 20:00 WITA. Bila dianalisis lebih dalam, kejadian sintilasi ionofer diatas Manado lebih dahulu terjadi dibandingkan dengan aktivitas sintilasi diatas Pontinak. Hal tersebut terjadi karena sintilasi ionosfer terjadi karena pergantian siang ke malam terjadi lebih dahulu di Manado,
yang menyebabkan pergerakan plasma berkonsentrasi rendah keatas
(Kelley,1989), dibandingkan Pontianak. 5
KESIMPULAN Hasil analisis menunjukkan bahwa selama periode waktu Maret-Mei 2013
aktivitas sintilasi kuat tertinggi terjadi pada tanggal 10 April 2013 yang ditunjukkan oleh dua stasiun yang berbeda. Sangat berbeda sekali dengan penelitian sebelumnya, puncak aktivitas sintilasi kuat terjadi pada tanggal 13 Maret 2010. Hasil lain menunjukkan bahwa bila di Pontianak terjadi aktivitas sintilasi yang cukup tinggi, maka stasiun di Manado juga mengamati hal yang sama, namun terdapat waktu tunda sekitar kurang lebih satu jam. Dengan kata lain, akitivitas sintilasi ionosfer akan lebih dulu teramati di Manado dibanding di Pontianak. Hal tersebut karena stasiun di Manado akan lebih dahulu mengalami matahari terbenam dibandingkan Pontianak sehingga stasiun di Manado akan mengalami perubahan proses elektrodinamika di ionosfer yang menyebabkan sintilasi ionosfer.
365
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
UCAPAN TERIMA KASIH. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dessi Marlia, S.T, Asnawi, M.Sc., semua anggota Tim pengembangan Bank Data Ionosfer Regional, Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, staf Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak dan stasiun kerjasama Manado yang telah membantu menyediakan data sintilasi. DAFTAR RUJUKAN Butcher, N. Daily Ionospheric Forecasting Service (DIFS) III, Annales of Geophysicae,23:3591-3598. 2005. Dubey, S., R. Wahi, and A. K. Gwal, Ionospheric effects on GPS positioning, Adv. Space Res., 38(11), 2478–2484, doi:10.1016/j.asr.2005.07.030, 2006. Ekawati, S., Kemunculan Sintilasi di Daerah Anomali Ekuator Ionosfer. Prosiding Seminar Nasional Fisika 2011, Pusat Penelitian Fisika-LIPI, ISSN : 2088-4176. 2011. Ekawati, S. Effendy, dan A. Kurniawan., Sintilasi Ionosfer Ekuator Indonesia Berbasis GPS, Prosiding Seminar Nasional Fisika 2008. ISBN : 978-979-98010-3-6. 2008. Kelley, M. C., The Earth’s Ionosphere-Plasma Physics and Electrodynamics, Academic Press, USA. 1989.
366
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
METODA ANALISIS TWEEK DARI PENERIMA VLF PONTIANAK SECARA OTOMATIS Timbul Manik1 dan Hiroyo Ohya2 Pusat Sains Antariksa – LAPAN1 Graduate School of Engineering – CHIBA UNIVERSITY2 e-mail:
[email protected]
Abstrak Lapisan ionosfer bawah tidak banyak dipelajari karena terbatasnya metoda pengamatan yang tersedia. Gelombang VLF merupakan sarana yang unik untuk mempelajari lapisan ionosfer bawah khususnya pada malam hari. Analisis gelombang VLF yang bersumber dari petir, dikenal dengan tweek, dapat memperkirakan ketinggian lapisan pemantul ionosfer (h) dan jarak propagasi gelombang VLF (d), yang dapat digunakan untuk memperkirakan kerapatan elektron ekivalen (n) lapisan ionosfer bawah (Manik, 2012). Untuk mempelajari kondisi lapisan ionosfer bawah pada periode waktu tertentu, perlu dilakukan analisis data tweek yang tidak sedikit, yang akan menyita waktu apabila dilakukan secara manual. Untuk itu suatu metoda yang dapat mendeteksi dan menganalisis tweek secara otomatis sangat diperlukan. Dalam makalah ini diperkenalkan metoda analisis data tweek yang dilakukan secara otomatis, dan contoh hasil deteksi dan analisis data tweek dari penerima di VLF Pontianak pada malam hari akan disampaikan dan didiskusikan. Kata kunci : Ionosfer, tweek, analisis otomatis Abstract Lower ionosphere region is least studied due to limitation of observation techique available. VLF wave is an unique tool to study lower ionosphere, particularly during the night. Analysis of VLF wave originated from lightning, namely tweek, could estimate ionospheric reflection height (h) and VLF wave propagation distance (d), and then can be use to estimate equivalent ionospheric electron density (n) (Manik, 2012). To study the condition of the lower ionosphere for a specified time period, an analysis of a huge tweek data is necessary, which is time consuming if conducted manually. Therefore, a method that can detect and analyse tweeks automatically is important. In this paper a method to analyse tweeks automatically is introduced, and sample results of detection and analysing of night tweek from VLF receiver at Pontianak will be presented and discussed. Keywords : Ionosphere, tweek, automatic analysis
367
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Lapisan-D ionosfer merupakan lapisan ionosfer bawah yang sedikit diamati karena sulit untuk diakses. Ketinggian lapisan D pada ~60-75 km pada siang hari dan ~ 75-95 pada malam hari, serta ketinggian lapisan E ~ 95-130 km terlalu rendah untuk diamati dengan satelit, tetapi juga terlalu tinggi untuk diamati dengan balon sonda. (Hagreaves 1992 on Maurya et al., 2012). Keterbatasan teknik pengamatan ini menyebabkan lapisan bawah ionosfer (lapisan-D dan lapisan-E bawah) sedikit diamati dan masih sedikit dipelajari. (Ohya et al., 2003, Singh et al., 2010, Maurya et al., 2012). Petir merupakan sumber gelombang radio VLF alami, dan petir memancarkan energi maksimum pada spektrum gelombang ELF/VLF. (Singh et al., 2010). Sumber sambaran petir ini bisa berasal dari jarak ratusan hingga ribuan kilometer. Gelombang VLF dari sumber petir, dikenal dengan sferics atau tweek merupakan sarana yang unik untuk mempelajari lapisan ionosfer bawah, khususnya pada malam hari karena sifat perambatannya pada media pemandu gelombang (waveguide) yang terbentuk oleh bumi dan ionosfer bawah. Analisis data tweek, ketinggian lapisan pemantul ionosfer (h) dan jarak propagasi gelombang VLF (d), serta kerapatan elektron ekivalen (n) lapisan ionosfer bawah dapat diperkirakan. (Cummer et al., 1998,Manik, 2012). Untuk dapat mempelajari variasi lapisan ionosfer bawah jangka panjang, perlu dilakukan analisis data tweek yang tidak sedikit, dan sangat menyita waktu apabila dilakukan secara manual. Untuk itu suatu metoda yang dapat mendeteksi dan menganalisis tweek secara otomatis sangat diperlukan. Analisis dilakukan dengan pendekatan kurva frekuensi-waktu pada spektrum tweek dan metoda least square untuk mengestimasi paramater-parameter tweek. Beberapa contoh hasil deteksi dan analisis data tweek dari penerima di VLF Pontianak pada malam hari disampaikan dan didiskusikan pada makalah ini. 2. METODA ANALISIS TWEEK Sinyal gelombang VLF yang dihasilkan oleh petir dapat digunakan untuk mengamati daerah bawah ionosfer karena sifat perambatannya pada pemandu gelombang yang terbentuk oleh Bumi dan lapisan D ionosfer, dikenal dengan EarthIonosphere Waveguide (EIWG). Metoda analisis tweek didasarkan pada model persegi panjang (rectangular model) dan model homogen berbentuk bola (spherical model)
368
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
EIWG. Dalam makalah ini, metoda analisis tweek yang dilakukan adalah didasarkan pada model EIWG homogen berbentuk bola.
Gambar 1: Model Earth-ionosphere waveguide (EIWG) homogen berbentuk bola. Sinyal VLF yang dihasilkan petir dipantulkan oleh bumi dan ionosfer untuk mencapai penerima di tempat yang terletak berjarak hingga ribuan kilometer.
Kecepatan horizontal fasa vp pada model EIWG homogen berbentuk bola adalah seperti pada persamaan berikut (Ohya et al., 2008): ............................................................(1) Dengan c adalah kecepatan cahaya; h adalah tinggi wave guide (pemandu gelombang) atau tinggi lapisan pemantul, dalam hal ini lapisan bawah ionosfer; a adalah jari-jari bumi; dan λ adalah panjang gelombang pada ruang bebas; serta n adalah mode tweek, 1, 2, 3 …. Tinggi pemandu gelombang h diberikan dengan persamaan berikut: ..............................................................(2) dengan fc adalah frekuensi cut-off gelombang VLF yang bersumber dari petir (tweek). Dalam hal ini, frekuensi cut-off hanya untuk tweek mode pertama. Frekuensi cutoff (atau panjang gelombang cut-off) diperoleh dari tinggi pemandu gelombang. Kecepatan gabungan horisontal vg untuk tweek mode pertama diturunkan dari persamaan (1) dan (2) untuk tweek mode pertama, n = 1, diperoleh sebagai berikut:
369
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
≈
=
.............................................................(3)
dengan f adalah frekuensi gelombang tweek. Waktu propagasi Tg untuk tweek mode pertama dapat dituliskan sebagai Tg= d/vg, sehingga dari persamaan (3) dapat diperoleh frekuensi dispersi gelombang tweek f sebagai fungsi waktu sebagai berikut: ( )=
....................................................(4)
2.1 Metoda Otomatis Metoda otomatis dimaksudkan untuk memudahkan pengolahan data tweek, mendeteksi tweek dan memperkirakan parameter tweek. Metoda yang dilakukan adalah dengan pendekatan kurva frekuensi-waktu pada spektrum tweek dan kemudian menghitung dan memperkirakan paramater-parameter tweek, antara lain frekuensi cutoff fc, ketinggian lapisan pantul ionosfer h, dan jarak propagasi gelombang d. Analisis dilakukan dengan menetapkan beberapa titik pada spektrum tweek, sebagai fungsi frekuensi terhadap waktu, titik (fi, ti). Untuk mendapatkan parameter-parameter ini, dimisalkan bahwa Tg diberi nilai yang sama dengan titik awal terjadinya petir t0, dengan t0 adalah waktu awal deteksi tweek, sehingga diperoleh Tg = t0, t1 = t0 + pergeseran waktu, t2 = t0 + pergeseran waktu x 2, dan seterusnya, dan tN = t0 + pergeseran waktu x N. Titik-titik data yang diperoleh akan merupakan sekumpulan data (ti, fi), dengan i = 1, 2, …, N, yang kan dapat membentuk kurva teoritis pada spektum dinamis tweek, dan persamaan (4) dapat diisi dengan data (ti, fi) untuk i = 0, 1, 2, dst, N.
Frekuensi cut-off tweek (fc) dapat
diperkirakan menggunakan metoda gradien-expansion least square (Markwardt, 2009). Selanjutnya menggunakan persamaan-persamaan analisis tweek, nilai ketinggian pantul ionosfer (h), jarak perambatan gelombang (d), dan nilai kerapatan elektron ekivalen (n) dapat ditentukan. 3. DATA DAN METODA 3.1 Data yang digunakan Sinyal VLF yang dianalisis adalah data yang diterima penerima VLF Pontianak (0,05 oLS, 109,25 oBT) dalam format data *.dat. (Manik, 2012). Pengamatan petir diwakili oleh perekaman data selama ~2 menit dalam rentang waktu 10 menit 370
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
pengamatan, yang dilakukan pada malam hari (setelah matahari terbenam sampai dengan matahari terbit). Data dapat dikonversi ke format gelombang .wav untuk dapat ditampilkan dalam bentuk spektrum. Dalam satu malam pengamatan, dari pukul 16:00-18:50 UT atau 11:00 LT -22:50 LT, banyak tweek yang diamati dan direkam. Perekaman data dilakukan dalam format sinoptik, yaitu direkam selama ~2 menit dari setiap 10 menit dan berulang sepanjang waktu pengamatan, sehingga dalam satu malam diperoleh data sebanyak 12 x 6 data = 72 set data, masing-masing selamama ~2 menit.
Gambar 2: Contoh data pengamatan tweek di Pontianak, 21 Maret 2013, mulai pukul 17:00 UT, ditunjukkan dalam format spektrogram, frekuesni dengan waktu. Garis-garis vertikal adalah sinyal VLF yang dihasilkan petir, disebut sferics.
Gambar 2. menunjukkan contoh data yang diperoleh pada 21 Maret 2013, pukul 17.00-17.02 UT, atau pukul 24.00-24.02 LT menggunakan format spectrogram (bawah), frequency dalam Hz dan waktu dalam detik, serta bentuk gelombang radio VLF (atas). Terlihat banyak sekali garis-garis tipis vertikal, menunjukkan sinyal yang dihasilkan petir, dinamai radio atmospherics atau sferics. Sinyal radio akan mengalami dispersi pada saat mendekati frekuensi cut-off dari media pemandu gelombang (wave guide)
371
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
ionosfer, disebut tweek. Sumber petir bisa berasal dari jarak yang sangat jauh hingga ribuan kilometer dari stasiun penerima. 3.2 Metode analisis (1) Data yang dibaca adalah spektrum data perekaman selama 2 menit dalam rentang waktu 10 menit. (2) Metoda Manual: a. Pada setiap spektrum dilakukan pembacaan secara visual untuk menentukan beberapa titik frekuensi-waktu. b. Menentukan waktu dispersi dari frekuensi yang lebih tinggi dengan frekuensi yang lebih rendah. c. Menentukan frekuensi cut-off fc dari spektrum dinamis. d. Perhitungan perkiraan ketinggian pemantul ionosfer (h), jarak propagasi (d), dan kerapatan elektron (n) (3) Metoda Otomatis : a. Pembacaan data, menentukan jumlah trigger petir yang terdapat dalam data, merupakan indikasi pengenalan waktu kejadian tweek. b. Mendapatkan titik-titik data (fi, ti); i+ 1, 2, … N, dengan cara menggeser titik-titik bayangan sepanjang spektrum untuk setiap sampling waktu, engan interval waktu ~ 100 ms (30 ms sebelum dan 70 ms sesudah trigger petir). c. Pemilihan titik (fi, ti) dilakukan dengan membandingkan dua titik yang berurutan, ti dan ti+1, dan memilih titik dengan intensitas terbesar, dengan intensitas >-11dB. d. Titik-titik data yang diperoleh akan merupakan sekumpulan data (fi, ti), dengan i = 1, 2, …, N, yang kan dapat membentuk kurva teoritis pada spektum tweek. e. Penentuan frekuensi cut-off tweek (fc) dengan menggunakan metoda least square. f. Menghitung dan memperkirakan nilai ketinggian pemantul ionosfer (h), jarak perambatan gelombang (d) menggunakan persamaan-persamaan analisis tweek.
372
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Agar dapat mempelajari variasi lapisan ionosfer bawah pada suatu periode waktu yang panjang membutuhkan analisis data tweek yang tidak sedikit yang akan sangat menyita waktu apabila dilakukan secara manual. Beberapa contoh hasil analisis yang telah dilakukan menggunakan metoda deteksi dan analisis otomatis ditunjukkan pada Gambar 3. Analisis dilakukan pada data VLF 21 Maret 2013, mulai pukul 16:00 hingga 18:50 berjumlah 72 set data, yaitu data 2 menit dari setiap 10 menit perekaman data. Dari kiri ke kanan berturut-turut adalah hasil analisis pada pukul 16:00+42,21 detik UT pukul 17:00+126.17 detik UT, pukul 18:00+5,33 detik UT, dan pada pukul 18:50+92,23 UT. Semua hasil menunjukkan tweek hingga mode kedua dan ketiga, anmun ketinggian lapisan pemantul ionosfer (h) dapat diperoleh dengan n=1, sehinga tweek yang dianalisis adalah tweek mode pertama.
Gambar 3: Contoh hasil analisis tweek dengan metoda otomatis untuk tweek mode-1. Hasil analisis menggunakan metoda otomatis yang diuji pada contoh data selama 3 jam pengamatan tanggal 21 Maret 2013 mulai dari pukul 16:00 UT hingga
373
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
19:00 UT dengan selang waktu 10 menit ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Waktu t dikonversi ke detik setelah pukul 16:00 UT atau setelah tengah malam waktu lokal. Tabel 1: Hasil analisis tweek metode otomatis, 21 Maret 2013, mulai pukul 16:00 UT t setelah pkl
fc
t0
d
h
16:00 (detik)
(Hz)
(detik)
(km)
(km)
2.98 16.17 42.21 620.70 710.98 711.47 1,202.07 1,202.77 1,260.88 1,266.06 1,304.11 1,916.95 2,407.59 2,485.79 2,502.96 2,519.57 3,726.17 4,304.95 5,446.17 5,488.14 6,675.64 6,692.03 7,205.33 7,240.96 7,257.35 7,258.30 7,283.51 7,283.88 7,290.38 7,852.05 7,899.37 8,504.27 8,525.50 9,008.64 9,081.34 9,638.83 9,639.06 9,687.78 9,703.02 10,217.31 10,234.06 10,272.42 10,279.35 10,292.23 10,319.96
1,448.74 1,390.57 1,876.10 1,382.73 1,324.22 1,280.95 1,401.84 1,362.31 1,405.82 1,259.10 1,301.77 1,257.42 1,620.35 1,923.52 1,753.49 1,301.98 1,317.34 1,505.57 1,706.45 1,333.17 1,724.94 1,425.30 1,450.07 1,783.42 1,612.12 1,445.59 1,547.98 1,676.26 1,388.34 1,661.54 1,272.20 1,567.43 1,390.73 1,676.09 1,511.67 1,699.62 1,489.02 1,525.92 1,843.59 1,738.38 1,743.80 1,689.55 1,472.61 1,544.99 1,495.57
0.0420 0.0373 0.0049 0.0001 0.0030 0.0188 0.0040 0.0071 0.0187 0.0136 0.0032 0.0066 0.0270 0.0487 0.0011 0.0182 0.0069 0.0008 0.0504 0.0008 0.0031 0.0153 0.0102 0.0031 0.0070 0.0005 0.0036 0.0033 0.0397 0.0034 0.0190 0.0011 0.0412 0.0577 0.0031 0.0495 0.0043 0.0070 0.0035 0.0438 0.0439 0.0011 0.0415 0.0037 0.0030
10,917 12,328 4,522 3,867 4,888 9,185 5,006 5,809 8,708 7,447 4,776 5,674 10,396 15,465 4,184 8,791 5,093 4,161 16,429 4,135 2,184 7,844 5,865 5,219 2,195 3,228 3,174 1,956 10,252 5,052 8,952 3,507 11,572 16,596 1,584 14,481 11,382 10,484 2,925 13,969 12,419 3,631 9,762 4,299 1,056
103.47 107.79 79.90 108.41 113.20 117.02 106.93 110.03 106.63 119.05 115.15 119.21 92.51 77.93 85.48 115.13 113.79 99.56 87.84 112.44 86.90 105.17 103.37 84.05 92.98 103.69 96.83 89.42 107.97 90.22 117.82 95.63 107.78 89.43 99.16 88.19 100.67 98.23 81.31 86.23 85.96 88.72 101.79 97.02 100.23
Dari hasil analisis pada Tabel 1 diperoleh hasil penentuan frekuensi cut-off tweek fc, dan hasil perkiraan waktu propagasi gelombang (t0), jarak propagasi gelombang petir (d) dan ketinggian lapisan pantul ionosfer (h).
374
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Ketinggian lapisan pemantul Ionosfer Tinggi lapisan pemantul ionosfer (km)
Pontianak 21 Maret 2013, 16:00 UT 140 120 100 80 60 40 20 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Waktu (detik), setelah 16:00 UT
Gambar 4: Variasi ketinggian lapisan pemantul ionosfer (h) dari tweek yang diperoleh dengan metoda otomatis.
Variasi ketinggian lapisan pemantul (h) pada periode pengamatan tersebut ditunjukkan pada Gambar 4. Ketinggian lapisan pemantul ionosfer berkisar pada ketinggian antara 75 km hingga 120 km, menunjukkan lapisan pemantul berada pada rentang ketinggian daerah D dan daerah E rendah. Metoda otomatis akan digunakan untuk rentang waktu pengamatan yang lebih panjang lagi untuk mendapatkan variasi lapisan ionosfer bawah jangka panjang, atau untuk mempelajari kondisi lapisan ionosfer bawah pada periode waktu tertentu. 5. KESIMPULAN Telah dilakukan analisis tweek dengan metoda otomatis untuk mendapatkan frekuensi cut-off spektrum tweek dan memperkiraan jarak propagasi gelombang petir (d) dan ketinggian lapisan pantul ionosfer (h). Beberapa hasil analisis dengan data real penerima VLF Pontianak menunjukkan hasil yang lebih akurat yang mengikuti spektrum dispersi tweek pada frekuensi cut-off tweek. Pada contoh analisis data tweek yang dilakukan, ketinggian lapisan pemantul ionosfer berada pada ketinggian antara 75 km hingga 120 km, menunjukkan lapisan pemantul berada pada rentang ketinggian daerah D dan daerah E rendah ionosfer. Metoda analisis tweek otomatis dapat digunakan menganalisisi data tweek untuk pengamatan jangka panjang untuk mempelajari variasi lapisan ionosfer bawah jangka panjang dan atau kondisi lapisan ionosfer bawah pada periode waktu tertentu.
375
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
DAFTAR RUJUKAN: Ohya, H., M. Nishino, Y. Murayama, and K. Igarashi, “Equivalent electron densities at reflection heights of tweek atmospherics in the low-middle latitude D-region ionosphere”, Earth Planets Space, 55, 627–635, 2003. Ohya, H., Kazuo Shiokawa, Yoshizumi Miyoshi, “Development of an automatic procedure to estimate the reflection height of tweek atmospherics”, Earth Planets Space, 60, 2008. Singh R., B. Veenadhari, M.B. Cohen, P. Pant, A.K. Singh, A.K. Maurya, P. Cohat, and U.S. Inan, “Initial results from AWESOME VLF receivers: set up in low latitude Indian regions under IHY2007/UNBSSI program”, Current Science, 98, No. 3, 10 Feb. 2010. Maurya, Ajeet K. , B. Veenadhari, Rajesh Singh, Sushil Kumar, M. B. Cohen, R. Selvakumaran, Sneha Gokani, P. Pant, A. K. Singh,and Umran S. Inan, “Nighttime D region electron density measurements from ELF/VLF, tweek radio atmospherics recorded at low latitudes”, JGR Vol. 117, 2012 Manik, Timbul, “Asia VLF-receiver Observation Network (AVON): Stasiun Pontianak”, Prosiding SNSAA 2012, Juni 2013 Cummer, S.A., U.S. Finant and T.F. Bell, “Ionospheric D region remote sensing using VLF radio Atmospherics”, Radio Science Vol. 33, N.6, 1998 Anonimus, http://vlf.stanford.edu/research/introduction-vlf, “Introduction-vlf”, diunduh Nopember 2012. Markwardt, C., “Least Squares Fitting and Equation Solving with MPFIT” in IDL Curve Fitting and Function Optimization, Markwardt IDL Library, University of Maryland and NASA’s Goddard Spaceflight Center, 2009
376
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
RANCANGAN PEMBANGUNAN SISTEM PENYIMPANAN DATA PENELITIAN BERBASIS KOMPUTASI AWAN MENGGUNAKAN OWNCLOUD Yoga Andrian1, Rizal Suryana1 1
PUSAT SAINS ANTARIKSA – LAPAN Jl. DR. Djundjunan 133 Bandung, Jawa Barat
[email protected],
[email protected]
Abstrak Komputasi awan (cloud computing) merupakan suatu paradigma di mana informasi tersimpan secara permanen di internet (awan) dan bersifat sementara di komputer pengguna. Saat ini teknologi komputasi awan semakin banyak digunakan karena banyak kelebihan di antaranya yaitu kemudahan dalam mengakses informasi. OwnCloud adalah salah satu sistem penyimpanan data berbasis web yang menggunakan teknologi komputasi awan (cloud storage), bersifat open source dan merupakan layanan komputasi berbasis Software as a Service (SaaS). Sistem penyimpanan data berbasis komputasi awan dibuat untuk memudahkan pengguna dalam hal ini peneliti yang ingin menyimpan data hasil pengolahan di media peyimpanan internet (secara online), dimana data tersebut dapat tersinkronisasi langsung ke dalam komputer/gadget peneliti. Selama peneliti dapat terkoneksi ke internet, data dapat digunakan untuk keperluan penelitian, selain itu juga sistem ini dapat dijadikan sebagai media penyimpanan untuk backup data. Peneliti dapat mengakses data melalui web browser dan melakukan sinkronisasi data langsung dari komputer yang sudah terdapat aplikasi OwnCloud versi desktop dan aplikasi mobile. Sistem ini dibangun di dalam sebuah server yang juga berbasis komputasi awan dengan menggunakan sistem operasi Ubuntu server. Sistem ini sangat user friendly sehingga memudahkan pengguna dalam menggunakan sistem serta mudah diakses. Kata Kunci : KomputasiAwan, Media Penyimpanan Awan, OwnCloud Abstract Cloud Computing is a paradigm in which information is permanently stored in servers on the internet and cached temporarily on clients computer. Nowadays cloud computing technologies are increasingly used because of many advantages such as the ease of information access. OwnCloud is open source web based data storage with cloud storage technologies and computing services based on Software as a Service (SaaS) . Cloud storage system makes user (researchers) more easier to store the result of data processing into cloud storage media (online) where the data can be synchronized directly to their computer. During researchers connected to internet, data can be used for research purposes, beside it this system may be used as storage media for backup data. Researchers can access the data via web browsers and synchronize data directly from their computer that installed owncloud desktop application and mobile application for their gadget. This system was built inside a server based on cloud computing which is using Ubuntu server for the operating system. This system is user friendly so make easier for users to use system and easily accessible. Keywords : Cloud Computing, Cloud Storage, OwnCloud 377
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1.
PENDAHULUAN Perkembangan data hasil penelitian Indonesia sekarang semakin pesat, khususnya
bidang sains antariksa dan teknologi atmosfer. Hal ini diiringi dengan perkembangan IT yang membuat para peneliti tidak harus melakukan publikasi hasil penelitiannya melalui media cetak tetapi dengan memanfaatkan data media elektronik/digital. Untuk menampung data hasil penelitiannya, para peneiti tentunya membutuhkan suatu media penyimpanan (storage) data elekronik/digital seperti hardisk dan flashdisk yang bersifat offline sehingga harus dibawa kemana saja untuk mendukung kebutuhan peneliti tersebut. Para pakar di bidang IT di seluruh dunia selalu mencari inovasi terbaru yang dapat digunakan oleh para pengguna, salah satunya yaitu dengan munculnya teknologi virtualisasi yang salah satunya adalah komputasi awan (cloud computing). Dengan komputasi awan, sumber daya komputer yang digunakan dan data tidak lagi disimpan di dalam satu komputer PC (personal computer) (Mark-Shane E. Scale., 2009). Sistem penyimpanan data berbasis komputasi awan memudahkan pengguna dalam hal ini peneliti yang ingin menyimpan data hasil pengolahan di media penyimpanan internet (secara online), dimana data tersebut dapat tersinkronisasi langsung ke dalam komputer/gadget. Peneliti cukup terkoneksi ke internet jika ingin menggunakan data yang telah disimpan di media penyimpanan awan sehingga tidak perlu memikirkan media penyimpanan untuk menyimpan data dan juga tidak perlu membawa media penyimpanan seperti flashdisk atau hardisk. Tulisan ini bertujuan untuk membangun suatu sistem penyimpanan data penelitian secara virtual di dalam server dengan teknologi komputasi awan menggunakan aplikasi OwnCloud yang memudahkan pengguna dalam hal ini peneliti untuk menyimpan data penelitiannya di dalam media penyimpanan berbasis komputasi awan serta melakukan uji coba sistem. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Virtualisasi Virtualisasi adalah teknik membuat sebuah fisik komputer mempunyai fungsi
seperti dua atau lebih komputer di dalam tingkatan pemrograman perangkat lunak abstraction yang setiap mesin virtual tersebut didukung oleh arsitektur dasar yang sesuai dengan komputer fisik aslinya (Teguh, I., dkk, 2010).
378
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2.2
Komputasi Awan (Cloud Computing) Komputasi awan adalah jenis komputasi yang berskalabilitas tinggi dan
menggunakan sumber daya yang sudah divirtualisasi yang dapat di-share oleh pengguna. Pengguna tidak perlu mempunyai latar belakang pengetahuan tentang layanan tersebut. Pengguna yang terkoneksi ke internet dapat berkomunikasi dengan banyak server secara bersamaan dan server-server tersebut saling bertukar informasi satu sama lain (Hayes, B., 2008). 2.3
Media Penyimpanan Awan (Cloud Storage) Media penyimpanan awan adalah mode layanan penyimpanan baru yang tempat
penyimpanan data dan kapasitas penyimpanannya disediakan oleh penyedia layanan melalui jaringan (internet). Klien tidak perlu tahu secara rinci tentang infrastruktur atau mekanisme dari penyimpanan datanya (Wenying, Z., et.al., 2009). 2.4
OwnCloud OwnCloud adalah salah satu sistem penyimpanan data berbasis web yang
menggunakan teknologi komputasi awan (cloud storage), bersifat open source dan merupakan layanan komputasi berbasis Software as a Service (SaaS). OwnCloud menyediakan pengamanan data yang baik, memiliki tata cara yang baik bagi pengguna aplikasi untuk membagi dan mengakses data yang secara lancar terintegrasi dengan perangkat teknologi informasi yang tujuannya mengamankan, melacak, dan melaporkan penggunaan data (http://owncloud.org/about/). 3.
METODE Pembangunan sistem penyimpanan data ini dilakukan di kantor Lapan Bandung.
Kebutuhan sistem diupayakan menggunakan spesifikasi yang cukup tinggi agar mempunyai kinerja yang bagus. Tabel 1 menunjukkan spesifikasi yang dipakai untuk membuat sistem.
379
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Tabel 1 : Spesifikasi Hardware dan Software Sistem No.
2
Hardware dan Software Sistem Operasi Processor
3 4 5
RAM Hardisk Aplikasi
1
Spesifikasi Ubuntu Server 12.04 64Bit Intel Xeon Processor Quad Core 2 GB (NAS) 2 TB Proxmox, OwnCloud 5
Pembangunan sistem dimulai dengan membuat server di dalam sistem komputasi awan yang bernama Proxmox. Tahap selanjutnya melakukan instalasi sistem menggunakan OwnCloud. Infrastruktur media penyimpanan datanya (hardisk) menggunakan sistem Network Attach Storage (NAS). Kemudian menyiapkan tempat direktori untuk menyimpan data dari pengguna dengan melakukan mounting direktori, yaitu menggabungkan atau menambahkan partisi penyimpanan (hardisk) dari NAS ke dalam server secara virtual. Lalu diatur konfigurasi tempat menyimpan data di OwnCloud dengan mengarahkan path direktori ke tempat yang sudah disiapkan sebelumnya. Gambar 1 menunjukkan arsitektur dari sistem.
Gambar 1 : Asitektur sistem penyimpanan data dengan OwnCloud Setelah proses instalasi selesai, maka dilakukan uji coba sistem. Parameter yang diuji yaitu berapa banyak data yang dapat diunggah ke sistem selama satu jam, berapa banyak data yang diunduh selama satu jam. Proses uji coba sistem dilakukan oleh seorang tenaga operator pada sebuah komputer PC klien yang menggunakan jaringan intranet Lapan Bandung pada hari libur kerja (hari sabtu) untuk meminimalisir
380
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
gangguan dari penggunaan bandwith jaringan oleh pegawai lain yang terkoneksi ke internet. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Setiap peneliti yang sudah terdaftar di sistem akan mendapatkan wadah
penyimpanan data yang kapasistasnya telah ditentukan oleh admin dari sistem, sebagai tahap awal sebesar 50GB. Untuk dapat menggunakan data melalui mobile phone / gadget, peneliti dapat mengunduh data melalui web browser sama seperti yang dilakukan jika menggunakan komputer dengan mengetikkan alamat IP dari sistem ini melalui web browser. Selain itu peneliti juga dapat menginstal aplikasi yang dapat diunduh dari Google Play Market jika menggunakan sistem operasi Android dan Apple Store jika menggunakan sistem operasi IOS. 4.1
Sistem OwnCloud
4.1.1 Proses Autentikasi Peneliti harus melakukan proses login pada halaman autentikasi pengguna (Gambar 2) untuk bisa masuk ke halaman utama dengan menggunakan username dan password yang sebelumnya sudah diberikan oleh administrator sistem.
Gambar 2 : Halaman autentikasi pengguna (peneliti) di OwnCloud 4.1.2 Unggah dan Unduh File Setelah proses autentikasi pengguna berhasil, maka peneliti masuk ke halaman Utama (Gambar 3). Pada halaman ini peneliti sudah bisa melakukan proses unggah file untuk memasukkan data ke server atau dapat membuat file baru.
381
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 3 : Proses unggah file ke server OwnCloud 4.1.3 Membuat catatan OwnCloud juga mempunyai fitur untuk membuat catatan seperti LogBook yang memudahkan peneliti dalam menentukan target atau capaian yang harus dilakukan selama kegiatan penelitian (Gambar 4).
Gambar 4 : Pembuatan catatan di halaman Kalender 4.1.4 Halaman Menampilkan Gambar File atau data yang berbentuk gambar yang telah diunggah ke dalam server dapat dilihat langsung oleh peneliti di menu Pictures (Gambar 5). Tipe file yang dapat dilihat di halaman ini yaitu jpg, jpeg, png, gif, dan bmp.
Gambar 5 : Halaman untuk menampilkan data berbentuk gambar 382
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4.2
Uji Coba Sistem Uji sistem dilakukan oleh seorang tenaga operator yaitu dengan menguji berapa
besar data yang dapat diunggah ke dalam sistem selama satu jam (Tabel 2) dan berapa banyak data yang dapat diunduh dari sistem selama satu jam (Tabel 3). Tabel 2 : Proses unggah data ke sistem No. 1 2 3 4 5 6 7
Tipe file .jpg .iso .docx .pptx .xlsx .txt .flv
Total 10,7 GB 6,22 GB 0,78 GB 1,33 GB 0,87 GB 0,49 GB 4,1 GB
Tabel 3 : Proses unduh data dari sistem No. 1 2 3 4 5 6 7
Tipe file .jpg .iso .docx .pptx .xlsx .txt .flv
Total 13,03 GB 6,5 GB 0,92 GB 1,77 GB 1,29 GB 0,8 GB 5,1 GB
Dari Tabel 2 diketahui total data yang dapat diunggah ke dalam sistem selama satu jam yaitu 24,49 GB sedangkan dari Tabel 3 dapat diketahui total yang diunduh dari sistem selam satu jam yaitu 29,41 GB. Proses unggah dan unduh dibagi berdasarkan tipe data (ekstension file). 5.
KESIMPULAN Sistem ini dapat membantu memudahkan peneliti dalam menyimpan data karena
tampilannya yang user friendly dan akses yang cepat dalam penggunaan data. Berdasarkan uji sistem dari sisi unggah dan unduh data maka besar data yang dapat diunggah selama satu jam yaitu 24,49 dan data yang dapat diunduh selama satu jam sebesar 29,41 GB. DAFTAR PUSTAKA Hayes, B., Cloud Computing, Communications of ACM., 51(7), 9-11. 2008. Mark Shane E, Scale., Cloud Computing and Collbarotaion, Library Hi Tech News., 26(9), 10-13. 2009. Teguh, I., Indrastanti, R., Dian, W., Penerapan Teknologi Virtualisasi Tingkat Sistem Operasi Pada Server Linux Ubuntu 8.04 menggunakan OpenV, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti ., 7(1), 68-85. 2010. Wenying, Z., Yuelong, Z., Kairi, O., Wei, S., Research on Cloud Storage Architectures and Key Technologies, ICIS '09 Proceedings of the 2nd International Conference 383
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
on Interaction Sciences: Information Technology, Culture and Human., 1044-1048., ISBN: 978-1-60558-710-3. 2009. http://owncloud.org/about/, diakses tanggal 14 November 2013 http://blog.three.co.uk/2012/08/10/cloud-storage/, diakses tanggal 18 November 2013
384
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
VARIASI DIURNAL MAGNET-BUMI SAAT GERHANA MATAHARI CINCIN 26 JANUARI 2009 Yosi Setiawan, I Putu Dedy Pratama Akademi Meteorologi dan Geofisika
[email protected]
Abstrak Sejak tahun 1900 banyak penelitian mencoba membuktikan apakah gerhana matahari berpengaruh terhadap medan magnetik di Bumi atau tidak. Penelitian ini menggunakan data rekaman perdetik dari variasi diurnal medan geomagnetik (H, D, Z) dari tiga stasiun pengamatan magnet-bumi di Indonesia (Kototabang, KTB; Pelabuhan Ratu, PEL; dan Kupang, KUG). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kejadian gerhana Matahari cincin 26 Januari 2009 terhadap variasi harian geomagnetik. Data yang digunakan adalah data satu hari sebelum gerhana, saat gerhana, dan setelah gerhana. Di Kototabang, Pelabuhan Ratu, dan Kupang terjadi kenaikan pada komponen H masing-masing sebesar 15 nT, 50 nT, dan 30 nT dua jam sebelum gerhana dan penurunan masing-masing sebesar 20 nT, 50 nT, dan 40 nT empat jam sesudah gerhana. Pada komponen D dan Z tidak terjadi perubahan yang signifikan. Perubahan tertinggi nilai komponen H terjadi di Pelabuhan Ratu karena lokasi ini berada dekat dengan jalur gerhana. Perubahan ini disebabkan oleh penurunan konsentrasi elektron dan kerapatan muatan pada lapisan ionosfer. Kata Kunci : Variasi Diurnal, Gerhana Matahari Cincin, Magnet-bumi Abstract Since 1900 many attemps have been made to ascertain whether or not a solar eclipse has any effects on the geomagnetic field. This research was using second data records of geomagnetic field variation (H, D, Z) from three geomagnetic observation stations in Indonesia (Kototabang, KTB; Pelabuhan Ratu, PEL; dan Kupang, KUG). The aim of this research is to analyze the influence of solar eclipse on January 26th, 2009 to geomagnetic diurnal variations. We used data from the preceding date of solar eclipse, the date of solar eclipse, and the succeeding date of solar eclipse. The H component at Kototabang, Pelabuhan Ratu, and Kupang has increased two hours before the eclipse around 15 nT, 50 nT, and 30 nT for each station, and decreased four hours after the eclipse around 20 nT, 50 nT, and 40 nT for each station. There are no significant change in amplitude or variation in the D and Z components. The highest change in Hamplitude was observed at Pelabuhan Ratu because its located close to path of solar eclipse. These observed changes be attributed to ionospheric effects due to decrease in electron concentration and ionospheric current density. Keywords: Diurnal Variation, Annular Solar Eclipse, Geomagnetic
385
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
1. PENDAHULUAN Gerhana matahari cincin terjadi pada tanggal 26 Januari 2009 antara jam 08.00 – 11.00 UTC. Lintasan gerhana dimulai dari utara Sulawesi lalu berbelok ke selatan melewati Kalimantan dan selat Sunda, melintasi Samudera Hindia dan berakhir di selatan Afrika. Dari peta lintasan gerhana NASA puncak gerhana terjadi pada jam 7:58:39.0 UTC dan terjadi di atas Samudera Hindia selama 7 menit 53.7 detik. Penelitian sebelumnya mengenai variasi medan geomagnet selama gerhana matahari berkesimpulan terjadi anomali positif di komponen Y dan anomali negatif pada komponen X (Curto, 2006). Beberapa penelitian (Onovughe, 2013; Jia-Chun, dkk., 2010; Saeki, dkk. 2011) menyatakan bahwa selama gerhana matahari terjadi perubahan medan magnetik akibat dari efek ionosfer. Variasi harian medan magnet pada hari tenang disebabkan oleh aliran arus dinamo di ionosfer pada lapisan E. Selama gerhana, sebagian dari ionosfer terhalang dari pemanasan dan radiasi matahari. Hal ini mengakibatkan perubahan pola arus pada lapisan ini dan teramati di permukaan sebagai perubahan medan magnet (Adam, dkk., 2005). Gerhana matahari meningkatkan proses ionosferik di lapisan E dan mempengaruhi variasi harian geomagnetik (Solar quiet/Sq). Perubahan paling signifikan terjadi pada ionosfer karena lapisan ini letaknya paling dekat dengan matahari. Hasilnya, berkurangnya sinar matahari selama gerhana diduga mengganggu lapisan ionosfer yang tercatat di stasiun geomagnet yang berada di daerah lintasan gerhana (Onovughe, 2013). Beberapa stasiun geomagnet di Indonesia yang dilewati oleh gerhana ini antara lain Kototabang/KTB (103.32 BT - 0.23 LS), Pelabuhan Ratu/PEL (106.6 BT - 7.1 LS), dan Kupang/KUG (123.7 BT - 10.2 LS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gerhana matahari terhadap medan magnet yang tercatat di stasiun geomagnet di Indonesia.
386
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
2. DATA DAN METODE Tabel 1. Stasiun geomagnet, koordinat geografis, magnitude, dan waktu terjadi gerhana 26 Januari 2009 di Kototabang (KTB), Pelabuhan Ratu (PEL), dan Kupang (KUG yaitu stasiun yang dilewati oleh lintasan gerhana. Gerhana Mulai (UTC)
Gerhana Berakhir (UTC)
Stasiun
Lintang (LS)
Bujur (BT)
Penggelapan Maksimum
KTB
0°13'48.0"
103°19'12.0"
75.5%
08:27:56.7
10:57:53.6
PEL
7°06'00.0"
106°36'00.0"
83.0%
08:19:41.7
10:50:11.6
KUG
10°12'00.0"
123°42'00.0"
53.4%
08:32:21.4
-
Tabel 1 menampilan data lokasi stasiun geomagnet yang digunakan pada penelitian ini, meliputi koordinat, waktu gerhana, dan persentase penggelapan maksimum. Penelitian ini menggunakan data variasi diurnal komponen H (horizontal), D (deklinasi), dan Z (Vertikal) dari 3 stasiun sehari sebelum, saat, dan sesudah gerhana yaitu dari tanggal 25 s.d. 27 Januari 2013. Data diurnal dibandingkan antara kejadian sebelum, saat, dan sesudah gerhana, Kemudian komponen yang menunjukkan fluktuasi yang signifikan dibuat spektrum sinyal pada rentang jam kejadian gerhana (antara pukul 8 s.d. 11 UTC) yang dibandingkan dengan rentang jam yang sama pada hari yang berbeda yaitu satu hari sebelum dan sesudah gerhana. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari analisis yang telah dilakukan, didapatkan hasil perbandingan variasi diurnal sehari sebelum, saat, dan sesudah gerhana. Di Kototabang, Pelabuhan Ratu, dan Kupang terjadi kenaikan pada komponen H masing-masing sebesar 15 nT, 50 nT, dan 30 nT dua jam sebelum gerhana dan penurunan masing-masing sebesar 20 nT, 50 nT, dan 40 nT empat jam sesudah gerhana. Pada komponen D dan Z tidak terjadi perubahan yang signifikan.
387
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 1
: Grafik plot variasi diurnal komponen H sehari sebelum (hitam) dan sesudah gerhana (biru) dan saat gerhana (merah).
Gambar 1 menunjukkan adanya kenaikan nilai komponen H di semua stasiun sebelum terjadi gerhana dan penurunan setelah terjadi gerhana. Hal ini menunjukkan bahwa gerhana matahari menyebabkan peningkatan aktivitas geomagnetik pada komponen H. Perubahan tertinggi nilai komponen H terjadi di Pelabuhan Ratu karena lokasi ini berada dekat dengan jalur gerhana. Kotak biru pada gambar 1 menunjukkan waktu terjadinya gerhana yaitu antara jam 8.00 – 11.00 UTC. Data tiga jam komponen H untuk masing-masing stasiun dibuat spektrum dengan Transformasi Fourier (Gambar 2). Hasilnya pada waktu kejadian gerhana menunjukkan terjadinya kenaikan amplitudo pada frekuensi dibawah 0.01 Hz. Kenaikan amplitudo terbesar terjadi di Pelabuhan Ratu.
388
PEL
KUG
KTB
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
Gambar 2 : Grafik plot spektrum saat kejadian (merah) gerhana matahari cincin (Jam 08.00 – 11.00 UTC) dan sehari sebelum (hitam) dan sesudah gerhana (biru) pada jam yang sama Persentase penggelapan maksimum berkorelasi positif dengan perubahan nilai komponen H dan amplitudo spektrumnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Cullington (1962), Orozco dan Barreto (1993), serta Onovughe (2013).
389
Prosiding SNSAA 2013, ISBN : 978-979-1458-78-8
4. KESIMPULAN Ionisasi radiasi elektromagnetik terhadap lapisan ionosfer pada kejadian gerhana matahari cincin 26 Januari 2009 mempengaruhi medan geomagnet pada daerah yang dilintasi dan tercatat di stasiun geomagnet sebagai berikut : Terjadi kenaikan pada komponen H di Kototabang, Pelabuhan Ratu, dan Kupang masing-masing sebesar 15 nT, 50 nT, dan 30 nT dua jam sebelum gerhana dan penurunan masing-masing sebesar 20 nT, 50 nT, dan 40 nT empat jam sesudah gerhana. Terjadi kenaikan pada spektrum komponen H pada saat terjadi gerhana. Pada komponen D dan Z tidak terjadi perubahan yang signifikan. Perubahan tertinggi nilai komponen H terjadi di Pelabuhan Ratu karena lokasi ini berada dekat dengan jalur gerhana. DAFTAR RUJUKAN Adam, A., Vero, J., Szendroi, J., “Solar Eclipse Effect On Geomagnetic Induction Parameters”. Annales Geophysicae, 2005. Cullington, A. L, “Geomagnetic Effects Of The Solar Eclipse, 12 October 1958, At Apia, Western Samoa”, New Zealand Journal of Geology and Geophysics, 1962. J.J. Curto, B. Heilig, M. Pinui, “Modeling the geomagnetic effects caused by the solar eclipse of 11 August 1999”. J. Geophys. Res. 111, A07312, 2006. Jia-Chun, An., Ze-Min, Wang, Dong-Chen, E., Wei, Sun. “Ionospheric Behaviour During The Solar Eclipse Of 22 July 2009 And Its Effect On Positioning”, Chinese Journal of Geophysics, 2010. Onovughe, Elvis V., “Geomagnetic Diurnal Variation during the Total Solar Eclipse of 29 March 2006”, International Journal of Astronomy, 2013. Orozco, Adolfo L. and Barreto, Luis Muniz, “Magnetic Effects During the Solar Eclipse of July 11, 1991”, Geofisica Internacional, 1993. Saeki, Y., Minamoto, Y., Fujita, S., Nagamachi, S., “Coupled-Model Numerical Simulation of Ground Magnetic Fields During The Solar Eclipse of 22 July 2009”, Kakioka Magnetic Observatory, vol. 8, No.1, pp. 11-18, 2011.
390