LAPORAN PENELITIAN TERAPAN TAHUN ANGGARAN 2014
ANALISIS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN NONFORMAL DI DIY
Ketua Penelitian Nur Djazifah.ER, M.Si Anggota Penelitian: Mulyadi,M.Pd S.Wisni Septiarti,M.Si
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2014
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN TERAPAN 1. Judul Penelitian
2.
3. 4. 5.
: Analisis implementasi pendidikan berbasis budaya pada lembaga pendidikan Nonformal di DIY Ketua Peneliti : a. Nama lengkap : Nur Djazifah.ER,M.Si b. Jabatan : Lektor Kepala c. Jurusan : Pendidikan Luar Sekolah d. Alamat surat : Jurusan PLS FIP UNY, Jl Colombo no 1 YK e. Telpon rmh/Hp : (0274) 881419. Hp. 0817460574 f. E-mail :
[email protected] Tema Payung Penelitian: Pendidikan Masyarakat/PNF Bidang Keilmuan/Penelitian: Pemberdayaan Masyarakat Tim Peneliti No 1 2
Nama Mulyadi,M.Pd S.Wisni Septiarti,M.Si
NIP 19491226 198103 1 001 19580912 1987022001
Bidang Keahlian PNFI/PLS Pemb Masy.
6. Mahasiswa yang terlibat No 1 2 3
Nama Afrina Nuzul F Nandra Yunia A Efrita Nur P SS
7. Lokasi Penelitian 8. Waktu Penelitian 9. Dana yang diusulkan 10. Sumber Dana
NIM 10102241021 10102241026 10102241030
Prodi PLS PLS PLS
: DIY : 6 bulan : 20 Juta (Dua puluh juta rupiah) : DIPA FIP UNY Yogyakarta, 31 Oktober 2014
Mengetahui Ketua Jurusan/Prodi PLS
Peneliti
(Dr. Sujarwo,M.Pd) NIP.19691030 200312 1 001
(Nur Djazifah.ER.M.Si) NIP.195404151981032001 Mengetahui Dekan FIP
(Dr.Haryanto,M.Pd) NIP. 19600902 198702 1 001
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkatNya sehingga penelitian dapat kami selesaikan. Penelitian kami yang berjudul Analisis implementasi pendidikan berbasis budaya pada lembaga pendidikan nonformal di DIY dilaksanakan di beberapa LKP di Yogyakarta dan Kulonprogo. Penelitian ini merupakan sebuah kajian budaya dalam konteks layanan pendidikan bagi masyarakat
1. 2. 3.
4.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY yang berkenan memberi kesempatan, fasilitas dan dana bagi penelitian ini. Para reviewer internal FIP UNY yang telah membahas, memberi masukan secara konstruktif selama penelitian, penyusunan hingga pelaporannya. Para Ketua, pengelola, pengurus dan para instruktur LKP yang berkenan untuk diaskusi, dialog dan memberi informasi tentang pelaksanaan pendidikan berbasis budaya. Para warga belajar LKP Muslimah di Kulonprogo yang berkenan untuk berbincang-bincang tentang pengalaman mengikuti pelatihan tata rias rambut.
Semoga hasil penelitan ini menjadi tambahan pengetahuan dan referensi bagi pembaca, peneliti yang tertarik kajian empiris tentang pengembangan pendidikan berbasis budaya pada layanan pendidikan nonfomal. Dalam banyak hal, laporan penelitian ini terdapat kelemahan substantif maupun bahasanya, oleh karena itu masukan atau kritikan yang membantu perbaikan tulisan ini akan sangat besar artinya.
Yogyakarta, 31 Oktober 2014 Ketua Peneliti Nur Djazifah.ER.M.Si
iii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR ABSTRAK
............................................. ............................................ ............................................. ............................................. ............................................. ...........................................
i ii iii iv vi vii
1. Latar belakang masalah
..............................................
1
2. Rumusan Masalah
...........................................
3. Tujuan Penelitian
..........................................
5
4. Manfaat Penelitian
...............................................
6
BAB I
PENDAHULUAN
....
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA 1. Pendidikan berbasis budaya untuk ketangguhan masyarakat
..........................................
7
2. Lembaga pendidikan nonformal dalam konteks modal sosial dan budaya
...................................
16
BAB III METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian
.............................................
20
2. Fokus Penelitian
..........................................
20
3. Lokasi penelitian
.............................................
21
4. Jenis dan sumber data
..............................................
22
5. Pemilihan informan
..........................................
22
6. Instrumen penelitian
..........................................
23
7. Teknik pengumpulan data
..........................................
23
8. Aanalisis data
..........................................
24
9. Alur penelitian
...........................................
24
iv
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil penelitian
................................
26
..............................................
33
a. LKP sebagai agen pendidikan berbasis budaya..............
33
b. Implementasi pendidikan berbasis budaya di LKP.........
36
c. Analisis kesiapan LKP
43
2. Pembahasan
..........................................
d. Identifikasi kesulitan implementasi pendidikan berbasis Budaya
BAB V
..........................................
KESIMPULAN DAN SARAN ................................
DAFTAR PUSTAKA
..........................................................
45
59 61
LAMPIRAN 1. Kontrak Perjanjian Penelitian 2. Berita Acara Seminar Proposal 3. Berita Acara Seminar Hasil 4. Contoh silabus pembelajaran berbasis budaya
v
ANALISIS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN NONFORMAL DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Abstrak Nur Djazifah ER, Mulyadi, S.Wisni Septiarti Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pentingnya analisis terhadap implementasi pendidikan berbasis budaya ( Perda no 5 Tahun 2011 ) di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya pada Lembaga Kursus dan Pelatihan ( LKP ) sebagai layanan pendidikan masyarakat. Pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif eksploratif pada aspek sosialisasi, kesiapan dan kesulitan implementasi pendidikan berbasis budaya dipilih agar hasilnya lebih mendalam. Subyek dalam penelitian ini adalah para ketua LKP yang dipilih dengan teknik purposif sampling dengan kriteria- kriteria. Pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara mendalam dan kajian dokumentasi. Sebelum data dianalisis dilakukan trianggulasi sebagai cara mengetahui keabsahannya. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk diintepretasi secara kritis, holistik agar diperoleh kebermaknaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) sosialisasi pendidikan berbasis budaya dilakukan secara terstruktur dari tingkat propinsi hingga lembaga penyelenggara kursus melalui workshop, TOT, seminar, FGD. 2) Tingkat kesiapan LKP dalam menjalankan pendidikan berbasis budaya dari aspek isi, proses, sarana prasarana dan sumber daya manusia terlibat dalam layanan pendidikan masyarakat ini berbeda-beda. Terdapat 46 LKP di DIY dengan kualifikasi terakreditasi BANPNF ada sebagian yang belum sepenuhnya menerapkan pendidikan berbasis budaya. 3) beberapa kesulitan yang teridentifikasi kaitannya dengan implementasi Perda no 5 Tahun 2011 tentang pendidikan berbasis budaya ini meliputi kompleksitas permasalahan yang dihadapi LKP, kesulitan dalam mencari indikator pendidikan berbasis budaya berdasarkan nilai-nilai luhur budaya Yogyakarta sehingga tidak mudah untuk diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran, waktu yang digunakan untuk menyusun kurikulum berbasis budaya ke dalam format-format yang baru sangat panjang dengan tim yang sering berganti-ganti sehingga terkesan melelahkan.
Kata kunci: pendidikan berbasis budaya.
vii
IMPLEMENTATION ANALYSIS OF CULTURE-BASED EDUCATION IN NON-FORMAL EDUCATIONAL INSTITUTIONS IN YOGYAKARTA
Abstract Nur Djazifah ER. Mulyadi, and S.Wisni Septiarti Lecturer Department of Non Formal Education This study aimed to describe the importance of implementation analysis of culture-based education (Regulation No. 5 of 2011) in Yogyakarta, especially on Courses and Training Institute (CGC) as a public education service. Qualitative and descriptive approach explorative on socialization aspect, readiness and culture-based education implementation difficulties chosen so that the results are more profound. The subjects in this study is the chairman of the vocational courses selected by purposive sampling technique with the criteria. Data collected through observation, interview and review of documentation. Before the data were analyzed done triangulation as a way of knowing its validity. The collected data were analyzed descriptively to critically interprets, holistically in order to obtain its significance. The results showed that 1) dissemination of culture-based education be structured from the provincial level to the providers through the course of the workshop, TOT, seminars, focus group discussions. 2) The level of preparedness of CGC in the running culture-based education from the aspect of content, processes, infrastructure and human resources involved in public education services is different. There are 46 CGC in DIY with accredited qualifications BANPNF there are some who do not yet fully implement a culture-based education. 3) identified several difficulties associated with the implementation of Regulation No. 5 of 2011 on culture-based education include the complexity of the problems faced by the CGC, the difficulty in finding a culture-based education indicators based on noble values of Yogyakarta culture so it is not easy to be integrated into their teaching, time used to construct a culture-based curriculum into new formats very long with the team that often alternated so impressed exhausting.
Keywords: culture-based education
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar belakang Masalah Pembangunan pendidikan menempati peran sangat strategis dalam
pembangunan nasional. Di banyak negara, termasuk negara berkembang seperti Indonesia, pendidikan digunakan sebagai instrumen untuk terjadinya sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Makna itu tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan pemerintah dalam menyelenggarakan
sistem
pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sistem pendidikan nasional dengan rencana strategisnya harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan serta peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi manajemen pendidikan menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Dalam konteks itu lah pemerintah telah menetapkan pembangunan pendidikan menjadi salah satu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Dalam RPJMN Tahun 2010-2014 disebutkan bahwa pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Pendidikan diharapkan dapat mendukung upaya mengentaskan kemiskinan, meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender, serta memperkuat nilai-nilai budaya. Berdasarkan arah dasar Badan Standar Nasional Pendidikan tahun 2010, pengembangan paradigma pendidikan nasional ditekankan pada pentingya peran aktif para pembelajar (the learners) dalam penetapan tujuan yang mengarahkan segenap aktivitas mereka masing-masing dalam keseluruhan proses pembelajaran menuju tercapainya kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan. Pendidikan pada hakekatnya adalah proses penemuan diri yang berlangsung sepanjang hayat untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki seseorang secara penuh, yang memberikan kepuasan dan makna pada kehidupannya. Sehingga jika paradigma pendidikan bermuara pada pengembangan pendidikan berbasis sains, teknologi, ekonomi, etika dan estetika, maka saat ini paradigma sains, teknologi dan Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 1
ekonomi cenderung dominan dibanding dua dimensi yang lain. Aspek estetika dan etika yang kurang memperoleh perhatian dalam proses pendidikan sehingga berdampak pada lingkungan alam, sosial yang kurang mampu mendukung proses pembentukan manusia untuk memiliki kesantunan, keadaban serta perilakuperilaku humanis yang sesungguhnya sangat diperlukan bagi peradaban manusia pada abad XXI ini. Rasionalitas, berpikir merupakan aspek yang melekat pada diri manusia yang aktif sehingga disebut makhluk hidup yang tertinggi sebagai ciptaan Tuhan dibanding makhluk hidup lainnya di duni ini. Dengan rasionalitas, melalui pengalaman dan proses belajar yang berlangsung dari generasi ke genarasi menjadikan manusia lebih memiliki kemampuan untuk menguasai dunia. Dengan rasionalitas ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi
yang mendominasi
pendidikan abad 21 ini semakin menggiring manusia untuk memperoleh berbagai kemudahan dan berusaha mengubah dan menguasai alam disesuaikan dengan kepentingan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat erat kaitannya dengan kebutuhan manusia untuk memahami dan selalu berusaha menguasai alam agar supaya dapat memetik manfaat sebesar-besarnya atau mengurangi bahkan kalau mungkin mencegah kerugian yang ditimbulkan oleh alam. Dalam hal tertentu, teknologi demikian menubuhnya pada manusia, seperti telepon seluler atau iPad, orang merasa tidak lengkap kalau Hp atau iPadnya tertinggal.(Sumarno, 2013:6). Berbagai ancaman sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau konvergensi ilmu pengetahuan dan teknologi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, pengaruh dan imbas teknosains, dan pergeseran paradigma pendidikan lain semakin terasa dan berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat termasuk anak-anak usia sekolah. Lembaga pendidikan formal, informal dan non formal sebagai modalitas pendidikan tak terkecuali merasakan imbas dari berbagai perkembangan, pergeseran dan pengaruh globalisasi. Indonesia merupakan negara yang begitu kaya akan sumber daya alam dan manusia, namun sampai saat ini masih ada masyarakat tergolong relatif miskin. Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 2
Kualitas pendidikan di Indonesia belum lebih baik dibanding kualitas pendidikan di negara-negara kawasan ASEAN seperti Singapura, Brunei, Malysia, Thailand dan Philipina. Untuk tingkat dunia, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan 69 dunia. Negara Finlandia masih menduduki peringkat 1 dunia. Bahkan Korea Selatan dan Jepang ada di peringkat 2 dan 3 dunia.
Data yang dirilis UNDP terkait Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
tahun 2011, Indonesia berada di peringkat 124 dari 187 negara. IPM mengukur indeks pembangunan manusia suatu Negara berdasarkan tiga dimensi dasar yang tercermin dalam taraf pendidikan, kesehatan, serta kemampuan daya beli. Dari ketiga dimensi, kontribusi sector pendidikan adalah yang tertinggi. Mengapa pendidikan di Indonesia masih lebih rendah kualitasnya? Ada banyak faktor tentu saja yang hampir semuanya penyebab keterpurukan. Faktor utama yang patut dijadikan penyebab adalah 1. sistem pengelolaan pendidikan yang benar-benar tidak tersistem. Pemerintah belum
pernah secara tuntas
mengembangkan
sistem
pendidikan mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi yang betulbetul tersistem dalam bentuk keberlanjutan yang konsisten. Kebijakankebijakan yang ada selalu parsial. 2. Kualitas tenaga pendidik yang memang masih belum dapat dikatakan baik. Di Finlandia, Negara peringkat I bidang pendidikan, semua guru tingkat dasar wajib berpendidikan S2. Kualitas yang baik ini masih ditunjang dengan sistem pengajaran yang luar biasa sempurna. Misalnya setiap kelas hanya dibatasi 20 murid dengan didampingi 3 guru sekaligus yang mempunyai keahlian untuk mendidik, membibing, dan mngarahkan siswa.
Di Indonesia, para guru memang berlomba-lomba untuk
menempuh pendidikan lebih tinggi (sarjana), namun ternyata itu hanya sekedar formalitas. Mereka hanya mengejar ijazah dari perguruan tinggi yang kurang berkualitas (bahkan tak terdengar) agar dapat meningkatkan gaji. Bukan untuk kepentingan memperbaiki kualitas pengajaran bagi siswa.
Selain kualitas pendidikan, kualitas moral sebagian tenaga
Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 3
pendidik juga perlu dipertanyakan. Banyak guru yang membuka les privat bagi para siswanya yang punya uang. Siswa-siswa yang mengikuti privat ini akan memperoleh kemudahan dan fasilitas yang luar biasa. Misalnya mendapat tambahan nilai, memperoleh bocoran soal, hingga upaya-upaya kotor lain. Ini jelas terjadi diskriminasi antara siswa kaya dan siswa miskin. Betul-betul tak adil. 3. Maraknya korupsi mulai pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa dan bahkan hingga di sekolah-sekolah. Pada tahun 2012 ini anggaran pendidikan meningkat menjadi
Rp. 286,56 triliun atau
sekitar 20,20% dari total APBN Rp 1.418,49 triliun (tahun 2011 anggaran pendidikan 248,98 triliun atau 20,25 persen dari total APBN Rp. 1.229,56 triliun). Tapi berapa persen anggaran yang betul-betul termanfaatkan sekolah-sekolah
dan
dapat
dinikmati
siswa
untuk meningkatkan
pendidikan. Banyak contoh dampak negatif lain yang berkembang di tengah masyarakat dan melibatkan anak-anak hingga remaja antara lain fenomena perkelahian remaja, kekerasan antar pelajar bahkan anak-anak sekolah dasar, keterlibatan anak-anak pada narkoba, plagiarisme, kecurangan dalam ujian, korupsi dan gejolak masyarakat (social unrest) hingga saat ini mewarnai kehidupan keseharian masyarakat. Perubahan yang serba cepat di era global
dengan banyak tantangan
memerlukan manusia yang tidak hanya dapat berpikir akan tetapi juga mampu melakukan pilihan-pilihan yang cerdas (Tilaar, 2012). Artinya bahwa segala ancaman internal maupun eksternal merupakan peluang untuk melakukan pembenahan-pembenahan khususnya di bidang pendidikan agar secara sistem, program, proses dapat menghasilan kualitas pendidikan, kualitas manusia sebagaimana yang dirumuskan oleh sistem pendidikan nasional yakni manusia yang tangguh, berakhlak mulia dan memiliki peradaban, kesantunan sebagai individu bersama satuan sosialnya. Oleh karena melalui pendidikan dianggap memiliki efektivitas dalam membangun bangsa maka pendidikan berbasis budaya merupakan salah satu solusi menghadapi tantangan, masalah-masalah aktual dalam bidang pendidikan. Melalui penelitian ini akan dieksplore atau digali Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 4
potensi atau peluang yang ada di lembaga-lembaga pendidikan non formal seperti Lembaga Kursus dan Pelatihan (LPK) dengan berbagai jenis keterampilan di DIY khususnya tingkat kesiapan aspek isi kurikulum, proses, sarana prasarana, pendidik atau pengelola
dalam implementasi pendidikan berbasis budaya.
Melakukan analisis secara kritis konstruktif diharapkan dapat membuat kajian yang komprehensif tentang makna pendidikan berbasis budaya pada layanan pendidikan nonformal. 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sosialisasi progran pendidikan berbasis budaya khususnya bagi LKP dengen berbagai jenis keterampilan di Yogyakarta. 2. Tingkat kesiapan atau peluang lembaga pendidikan nonformal khususnya pada aspek isi,
proses pembelajaran, sarana prasarana,
pendidik (sumber daya manusia) dan aspek lain sebagai support sistem pengelolaan pendidikan berbasis budaya. 3. Apakah dalam perencanaan, pengelolaan pendidikan berbasis budaya ditemui kesulitan-kesulitan hingga terhambatnya atau tertundanya implementasi pendidikan berbasis budaya? 3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan proses sosialisasi Peraturan Daerah Propinsi DIY no.5/tahun 2011 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya
pada semua layanan pendidikan
khususnya pendidikan nonformal. 2. Untuk
menggali
atau
mengeksplor
pendidikan non formal seperti LKP
kesiapan/peluang
lembaga
dalam mengimplementasikan
pendidikan berbasis budaya. 3. Untuk mengenali dan memahami kesulitan yang dihadapi LKP dalam implementasi pendidikan berbasis budaya
Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 5
4. Manfaat Penelitian 1. Memberi kontribusi terhadap penguatan konsep pendidikan berbasis budaya oleh modalitas pendidikan seperti LKP di DIY 2. Memberi kontribusi pada pengembangan kurikulum pendidikan berbasis budaya sebagai instrumen pembentukan
insan indonesia
yang: Produktif, Kreatif, Inovatif, Afektif melalui penguatan Sikap, Keterampilan, dan Pengetahuan yang terintegrasi.
Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 1. Pendidikan berbasis budaya untuk ketangguhan masyarakat . Akhir-akhir ini terlalu sering digaung-gaungkan arti penting pendidikan terutama pendidikan karakter bagi perkembangan Indonesia di masa kini. Di berbagai sekolah di semua jenjang, pendidikan karakter (bagian dari budaya) menjadi sangat istimewa untuk diterapkan dalam proses pembelajaran, aktivitas sekolah lain di luar pembelajaran. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi
dan
tujuan
pendidikan
nasional
yang
harus
digunakan
dalam
mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Namun Pernyataan tentang keberadaan pendidikan nasional agaknya hanya berupa wacana saja. Seperti yang pernah diungkapkan Gubernur D.I Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono dalam Orasi Budaya, bahwa nyatanya pendidikan karakter di sekolah – sekolah yang selama ini berlangsung terlalu negarasentris, hambar, dan cenderung ideologis dan pro status quo. Pendidikan karakter seakan- akan gagal mengupayakan solusi menghadapi masalah krisis multidimensi yang terjadi dalam masyarakat saat ini. sehingga sangat dibutuhkan solusi dan gagasan terkini untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ironisnya, pada masa Indonesia saat ini, Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara seakan – akan begitu mahalnya bagi jutaan rakyat Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana suatu pendidikan dapat membentuk karakter bangsa, sementara pendidikan tidak dapat menjamah kalangan tertentu dalam masyarakat? Potret pendidikan ini semakin menambah daftar panjang Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 7
terkait masalah karakter bangsa yang seolah melengkapi berbagai ironi dan tragedi kemanusiaan dan politik negeri kita tercinta ini. Tidak dapat dipungkiri pendidikan berdampak langsung terhadap keberlangsungan dan perkembangan suatu negara. Bagaimana kehidupan ranah politik suatu negara berlangsung dapat menjadi cerminan bagaimana pendidikan dibangun di suatu negara tertentu. Sehingga untuk mengubah cerminan politik Indonesia menjadi lebih baik, dibutuhkan suatu sistem pendidikan khusus yang dapat menjangkau semua masyarakat dan membentuk karakter dan watak yang lebih baik pula. Dibutuhkan gagasan dan sistem pendidikan baru untuk merealisasikan pendidikan bangsa yang berkarakter baik. Seperti yang pernah ditegaskan Sri Sultan HB X, pendidikan yang bermuatan lokal memiliki hubungan sangat dekat dengan masyarakat dan berada di tengah- tengah masyarakat. Sehingga pendidikan dengan basis budaya lokal dapat lebih mudah diterima masyarakat dan tidak hanya bersifat negarasentris yang terpusat pada kaputusan – keputusan berdasarkan keputusan politik. Diharapkan pula, pendidikan berbasis budaya lokal dapat dengan mudah terinjeksi pada masyakarakat sebagai pelaku utama perkembangan pendidikan. Dengan budaya sebagai pilar pendidikan, karakter yang diharapkan dalam perkembangan bangsa diyakini dapat berhasil tertanam. Hal ini dikarenakan pula budaya Indonesia menganut budaya ketimuran yang menjunjung tinggi martabat, akhlak dan takwa , serta berkarakter lugas. Dengan ini, diharapkan seluruh civitas akademik tidak hanya bersifat sebagai robot, tetapi juga ikut andil sebagai pelaku budaya lokal dalam menginternalisasikan nilai-nilai luhur budaya lokal masingmasing daerah tersebut untuk membentuk suatu model pendidikan karakter yang khas bagi setiap daerah. Namun, menurut Sri Sultan HB X, jangan sampai budaya lokal menjebak dunia pendidikan dengan sekadar melakukan proses konservasi budaya yang membelenggu anak – didik , tanpa refleksi dan kreasi. “Pendidikan yang bermuatan dan bersumber lokal hendaknya tidak semata-mata berpegang pada upaya nguri-uri atau ngipuk-ipuk budaya tradisi, dengan menjadi “konservatif” dan menyerang semua yang “liberal”. Meskipun dapat diakui, Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 8
keberadaan budaya lokal tidak sepenuhnya dapat dijadikan bahan internalisasi bagi keberlangsungan pendidikan, namun hal ini dapat menjadikan kita untuk kreatif memilah – milah nilai-nilai mana yang sebenarnya dibutuhkan baik dari yang bersifat liberal atau modern maupun tradisional lokal. Pendidikan tidak mungkin bisa dipisahkan dari kebudayaan karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses pembudayaan.
Prof. Zamroni dalam orasi
ilmiahnya dalam rangka memperingati Dies FIP UNY bulan Agustus 2013, dengan lugas memperingatkan, “Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan steril dari kekayaan budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menghasilkan enclave dalam masyarakat.” Sekolah-sekolah di Indonesia yang mendasarkan kebangsaan atau kebudayaan, seperti sekolah Taman Siswa, mengalami nasib yang sama dengan sekolah-sekolah agama. Prinsip-prinsip dasar dimana sekolah didirikan juga tergerus oleh tuntutan modernitas. Alhasil, perkembangan dunia pendidikan, lebih tepatnya dunia sekolah membawa dua problem utama. Pertama, terjadi proses industrialisasi sekolah yang memiliki watak liberalistis dan kapitalistis. Akibatnya, jiwa pendidikan tergusur oleh perhitungan-perhitungan dan kepentingan ekonomi. Kedua, sekolah telah menghasilkan lulusan yang tercabut dari akar budaya. Karena sekolah menawarkan budaya urban, maka lulusan sekolah berbudaya urban tidak betah tinggal di desa, maka berbondong para generasi muda terdidik bermigrasi ke kota-kota. Pernyataan indah “Think globally, act locally” hanya jadi mitos. Realitas adalah “think globally, act globally as well”. Oleh karena itu, Prof Zamroni menyarankan sebuah strategi khusus pendekatan pendidikan berbasis budaya lokal sehingga di tengah tuntutan zaman, wajah pendidikan tidak bisa melepaskan diri dari jati diri bangsanya. Pendidikan berbasis budaya sebagaimana dituangkan ke dalam perda nomor 5/2011 di DIY, memiliki mafaat sebagai proses pendidikan karakter yang: 1. menghasilkan generasi yang berkarakter dan secara simultasn membangun karakter bangsa. Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 9
2. Pelestarian budaya, mengawal budaya lokal dalam konteks perubahan sosial budaya masyarakat. 3. Transformasi budaya, melakukan akulturasi budaya sebagai penguatan kedaulatan nasional dalam konteks global (Sumarno, PhD dan tim pengembang pendidikan berbasis budaya Dinas Pendidikan Prop DIY, 2013). Dalam konsepnya, pendidikan berbasis budaya dikembangkan menjadi esensi bagi terselenggaranya sistem pendidikan dan pengelolaan majamen pendidikan di semua jenjang pendidikan formal (dari tingkat TK hingga SMK) serta pada lembaga pendidikan non formal seperti LKP,PKBM atau satuan pendidikan sejenis yang berkembang di masyarakat utamanya lembaga yang tela masuk dalam daftar atau direktori lembaga kursus dan pelatihan. Pendidikan berbasis budaya sebagaimana tertuang dalam perda nomor 5/2011 DIY memiliki makna bagi pendidikan yaitu: 1. Sebagai muatan isi pendidikan dan sebagai metode pelaksanaan pendidikan (sebagai pengembangan kurikulum) 2. Sebagai pendekatan di dalam manajemen pendidikan (sebagai support system). Proses belajar dalam membangun budaya yang dimanifestasikan oleh sebagian masyarakat tersebut dari sudut pandang psikologi belajar (Sumarno, 2011) dijelaskan sebagai sistem pengetahuan yang dapat dimiliki melalui proses pengangkatan
makna,
dikonfirmasikan
berkali-kali
melalui
serangkaian
pengalaman lagi sampai akhirnya yang diyakninya adalah benar adanya dapat dilalui dengan contoh: 1. Perluas akses untuk memperoleh pengalaman termasuk mengakses berbagai informasi yang relevan dengan kehidupan dan perkembangan masyarakat dengan segala persoalannya. 2. Kondisikan dan berikan bantuan masyarakat untuk merefleksikan, merenungkan berbagai hal yang baru saja dialami, dilihat atau dibaca. 3. Berikan peluang untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan sehingga terjadi proses untuk saling memperkaya, saling mengecek kebenaran, saling membandingkan, saling menerima dan memberi. Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 10
4. Berikan kesempatan, dorongan dan bantuan untuk mengintegrasikan atau menerapkan berbagai pengetahuan yang diperoleh ke dalam proses-proses kehidupan sesuai dengan peran dan posisi sosialnya. 5. Fase yang selanjutnya adalah masyarakat difasilitasi untuk membangun sistem informasi artinya ada perencanaan untuk mengumpulkan informasi, menyimpan dan mengolahnya serta memanfaatkannya secara terus menerus. Pola-pola pengalaman belajar sebagaiman dijelaskan di atas barangkali menjadi sebuah inspirasi bagi masyarakat dalam membangun the total way of life dengan merdeka, bebas dan bottom up tanpa mengesampingkan kekhasan nilainilai sosial budaya yang ada. Strategi pengelolaan pengalaman belajar semacam itu dapat dilihat pada pola belajar yang diperkenalkan oleh komunitas belajar Qaryah Thayyibah di Salatiga dengan Bahrudin sebagai pencetus sekaligus pemiliknya
dalam
mengelola
sekola
alternatifnya
memiliki
prinsip
penyelenggaraan sekolah bermutu, murah dan menyenangkan. Sekolah alternatif yang memiliki seting sekolah tanpa sekat dan berbaur dengan masyarakat ini juga menekankan pentingnya active learning dan sharing bagi setiap siswanya dalam memahami, menemukan dan memecahkan problema melalui hal-hal baru sebagaimana yang peserta didik itu peroleh dalam saling membelajarkan. (dalam buku Komunitas Qaryah Thayyibah; Pembelajaran Berbasis Komunitas, 2006). Model pengelolaan pendidikan (berbasis pengetahuan, berbasis budaya dan universal) semacam itu sebenarnya juga pernah diperkenalkan oleh Mangunwijaya, seorang biarawan katolik yang merakyat dan terinspirasi oleh pemerhati pendidikan sekaliber Paulo Freire di tahun 1990 an atau tepatnya tahun 1994 yang oleh Mendikbud waktu itu diberi nama Edukasi
Dasar
Eksperimen.
Dengan
SD Mangunan Sekolah
gagasan-gagasan
yang
kadangkala
kontroversial oleh karena keberpihakannya pada kebutuhan belajar masyarakat miskin, mendengarkan apa yang dimaui oleh masyarakat kecil dikenalah pendidikan yang memerdekakan, tidak membelenggu dengan pola pendidikan yang memanusiakan manusia (humanisasi).
Lembaga-lembaga pendidikan
formal seperti sekolah ini juga memiliki keunikan sebagaimana di Qaryah Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 11
Thayyibah. Di sekolah alternatif setara SLTP ini memiliki gaya belajar, seting belajar yang berbeda sama sekali dengan sekolah formal lain
yakni dengan
sekolah yang tanpa sekat, tanpa tembok yang pada umumnya mengelilingi sekolah yang bersangkutan. Sekolah semacam ini seperti sebuah komleks rumah tinggal yang berbaur dengan masyarakat, manajeman kekeluargaan dengan memberi kebebasan bereskpresi bagi para siswa sehingga universalitas menjadi ciri belajar yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sekolah-sekolah tersebut membangun budaya berbasis pada nilai-nilai berbagi, toleransi, kebersamaan, saling menghargai, menghargai karya serta peduli pada kebutuhan belajar masyarakat kecil yang terpinggirkan, terabaikan. Bentuk layanan pendidikan seperti itu memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat, selain ada aspek memerdekakan, murah, fleksibel juga memberi ruang bagi para peserta didik untuk berkreativitas dalam bidang seni, tulis menulis atau berekspresi budaya lain/ Gambaran lain penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya, berbasis masyarakat atau berbasis kebutuhan masyarakat dapat dilihat dari program Kickandy yang mengedepankan betapa pendidikan yang melibatkan anak-anak untuk mencitai alam, lingkungan ciptaan Tuhan memerlukan perjuangan panjang, bahkan melalui cemooh atau bahka cibiran dari masyarakat sebagaimana dialamai oleh ibu Nursyda Syam atau Ibu Ida dari daerah pinggiran kota Bima Lombok bersama sejumlah relawan yang mendukungnya, Di sekitar rumah panggungnya yang sederhana ibu Ida mengajarkan kelas toleransi dan harmoni, seni budaya tradisional, sekolah drama musikal, menulis esai, melukis, kelas cinta lingkungan dan bersih pantai, kelas kuliner, siaga dan mitigasi bencana hingga kelas “layar tancap” film-film inspiratif. Pada umumnya para pejuang pendidikan di luar sekolah ini melakukan kegiatan pendidikannya di masyarakat hanya memiliki tujuan yakni membantu anak-anak untuk memanfaatkan potensinya agar berkembang sebagai proses peningkatan kualitas kehidupannya dengan bekal berbagai keterampilan tanpa tergantung pada orang lain.
Kegiatan-kegiatan
pendidikan non formal sebagaimana digambarkan di atas maka prinsip pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam mendukung pendidikan sepanjang hayat menjadi sangat urgen untuk diperhatikan lebih jauh.. Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 12
Mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Berdasarkan Peraturan Dearah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya Nomor 5 tahun 2011, dijelaskan bahwa pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap terhadap
perkembangan
dunia.
Peraturan
tersebut
disosialisasikan
dan
diimplementasikan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal di seluruh jenjang serta lembaga pendidikan non formal seperti LKP, SKB dan PKBM yang dianggap memiliki nilai strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Banyak jenis lembaga penyelenggara penilaian kesesuaian oleh lembaga standarisasi. Badan standar nasional pendidikan, Badan akreditasi PNF juga melakukan standarisasi dari standar isi, proses, sarana prasarana,
penilaian,
pembiayaan, pengelolaan, tenaga pendidik dan kependidikan dan lulusan seperti pada skema di bawah ini:
Gambar 1. 8 standar pendidikan menurut badan nasional pendidikan Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 13
Di Daerah Istimewa Yogyakar terdapat sebanyak 279 lembaga kursus dan keterampilan (LKP) yang tersebar di 4 kabupaten dan kota yogyakarta. LKP atau lembaga pendidikan non formal sebagaimana didikumantasikan oleh Dinas pendidikan Propinsi DIY pada tahun 2013 ini cukup diminati dalam membantu masyarakat untuk memperoleh keterampilan hidup. Berbagai jenis keterampilan seperti service komputer, Hp, otomotif, .perhotelan, perkapalan, security, montir serta jenis keterampilan yang memiliki muatan budaya jawa misalnya hantaran, tata rias pengantin, busana, tata rias rambut, membatik, menjahit, tari tradisional, kuliner nusantara. (lihat profil LKP Prop.DIY, 2013).
Ada beberapa jenis
keterampilan yang memiliki muatan budaya jawa seperti pedalangan, pratana adicara yang sampai saat ini belum ada LKP yang mengembangkannya. Seni pedalangan sarat akan pesan-pesan nilai adiluhung yang dapat dipelajari bagi pengembangan kepribadian atau pengembangan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Persoalannya adalah minat pada seni pedalangan melalui kursus belum berhasil menarik minat sebagai sarana eksistensialitas individu atau kelompok melalui seni. Pendidikan
berbasis
budaya
yang
hendak
disosialisasi
dan
diimplementasikan melalui Lembaga pendidikan non formal yang ada di wilayah DIY terdapat 60 PKBM
penyelenggara program kesetaraan paket C dan 20
PKBM penyelenggara kesetaraan paket C. (berdasarkan data yang diperoleh melalui Bidang Kesetaraan, Dinas Pendidikan,Pemuda dan Olah raga, 2013). Kebudayaan merupakan sesuatu yang dinamis dengan unsur-unsur seperti nilainilai luhur yang dipandang sebagai “blue print”, cetak biru, sesuatu yang diyakini, dimiliki dan diakui bernilai oleh sebagian besar masyarakat. selain nilai, kebudayaan juga memiliki unsur wujud perilaku (aktivitas) atas nilai tersebut, kebudayaan juga memiliki artefak (wujud, material, sebagai hasil aktivitas bersama, berpola atau ada nilai keajegan). Secara umum nilai luhur, artefak dan adat, memiliki tujuan yang cukup kompleks yakni mengenal, apresiasi, internalisasi dan kreatif dengan masing-masing institusi pendidikan formal di semua jenjang serta keluarga. (sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini). Untuk mengenal nilai, artefak dan adat dapat dilakukan dengan berbagai Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 14
kegiatan yang bersifat monolitik, integratif tematik, ekstra kurikuler dan budaya satuan pendidikan sesuai dengan semua jenjang dan jenis pendidikan. Secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut:
UNSUR2 KEBUDAYA AN
TUJUAN Kenal
Apres iasi
Intern ali sasi
Aktif aktualis asi
KEGIATAN Kreatif
Mono litik
Integratif tematik
Ekstra kurikuler
Budaya satuan pend.
NILAI LUHUR Paud NF + TK Dikdas( SD/SMP) Dikmen (SMA/K)
Pend.Keluarga ARTEFAK Paud NF+TK Dikdas (SD/SMP) Dikmen (SMA/K) ADAT Paud NF+TK Dikdas (SD/SMP) Dikmen (SMA/K) Catatan : SLB menyesuaikan
Gambar 2 unsur-unsur kebudayaan yang teintegrasi pada semua jenjang pendidikan untuk mencapai tujuan secara integrasi
Kerangka ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran tidak cukup hanya untuk meningkatkan pengetahuan [melalui core subjects] saja, harus dilengkapi: Berkemampuan kreatif - kritis -Berkarakter kuat [bertanggung jawab, sosial, toleran, produktif, adaptif,...] Disamping itu didukung dengan kemampuan memanfaatkan informasi dan berkomunikasi. Selain itu, keistimewaan DIY harus mampu
dikaitkan dengan keistimewaan pendidikan. "Nilai-nilai adiluhung Yogyakarta harus bisa diterapkan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan sehingga akan memperkuat jatidiri dan karakter siswa,"
Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 15
2.
Lembaga pendidikan non formal dalam konteks modal sosial dan budaya
Sebagai pusat kebudayaan, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mulai tahun 2012 telah mempersiapkan diri menjadi pusat pendidikan berbasis budaya. Penyelenggaraan
pendidikan berbasis budaya,
yang selanjutnya
disebut
penyelenggaraan pendidikan, adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan berbasis Budaya pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional untuk mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang berbudaya pluralistik, tangguh, unggul dalam kancah dunia, guna mencapai kesejahteraan bangsa. Satuan pendidikan berbasis budaya, yang selanjutnya disebut satuan pendidikan, adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan dengan mengedepankan nilai-nilai luhur Budaya. Orientasi penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya pada lembaga pendidikan atau satuan pendidikan formal, nonformal dan informal ini pada kualitas peserta didik/warga belajar dengan watak karakter budaya yogyakarta misalnya memiliki budi pekerti luhur, tingkah laku dan watak santun. Kelak diharapkan akan tercipta orang-orang pintar yang berbasis budaya yang selalu menghargai sesama, sejarah dan para pahlawannya.
Pendidikan nonformal
berbasis budaya yang selanjutnya disebut pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar jalur pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang berbasis budaya dan mengembangkan serta mampu mentransfer
nilai-nilai
luhur
budaya
yang
berkembang
dalam
proses
penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan nilai, moral (keagamaan) adalah sama pentingnya dengan pendidikan yang menekankan intelektual.
Keterpaduan ranah
pendidikan dengan modalitas pendidikan (formal, nonfromal dan informal) antara sikap, keterampilan dan pengetahuan dalam standarisasi proses pembelajaran dengan didukung substansi (isi) berbasis budaya, sarana prasarana, lembaga pendidik dan tenaga kependidikan, beaya serta pengelolaan pendidikan secara seimbang maka akan dihasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sebagaimana ditargetkan yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif. Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 16
Gambar 3. Pembentukan insan yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif
Pendidikan berbasis budaya menekankan pula
kegiatan yang melatih
perkembangan fisik melalui gerakan-gerakan senam, menari atau melakukan aktivitas fisik yang mendidik merupakan salah satu cara mengintegrasikan materi pembelajaran dengan pendidikan nilai secara humanis. Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan olah fisik, rasa dan pikir memberi rasa keindahan, kepekaan dan kepedulian yang sangat penting membentuk manusia yang civilized (berperadaban). Pestalozzi seorang ahli dan filsof pendidikan yang sering disebut sebagai bapak kindergarten (taman kanak-kanak) sangat menekankan pentingnya pendidikan anak-anak yang terintegrasi dengan alam sekitar (Heafford, 1967). Pestalozzi
memperhatikan
kebutuhan
fisik
anak-anak
dalam
praktek
pendidikannya.Dengan fisik yang sehat karena dilatihkan melalui pendidikan fisik secara teratur, terprogram dari tingkat sederhana hingga ke gerakan-gerakan yang semakin kompleks membantu anak memiliki kondisi badan sehat. Transformasi pendidikan moral
menurut pandangan Pestalozzi adalah dengan melibatkab
kesadaran hati dan harus dirasakan melalui contoh-contoh, menyentuh perasaan sebagaimana seorang ibu memberikan kebaikan ketika menyusui anaknya sehingga mampu membantu anak untuk menumbuhkan moral kecintaan. Penekanan pada peningkatan human capital tanpa disertai dengan pengembangan sosial capital menyebabkan program-program tersebut hanya menghasilkan manusia-manusia berpengetahuan dan berketerampilan yang Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 17
cenderung lebih
individualis
dan
mekanis.
Pendekatan
ini
merupakan
implementasi dari asusmsi bahwa sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu “pengetahuan” dan “keterampilan” manusia. Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat. Sebenarnya dalam kehidupan manusia dikenal beberapa jenis modal, yaitu natural capital, human capital, physical capital dan financial capital. Modal sosial akan dapat mendorong keempat modal di atas dapat digunakan lebih optimal lagi. Secara substansial, modal manusia (human capital) memiliki kandungan lain selain pengetahuan dan keterampilan, yaitu kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain’. Kemampuan ini akan menjadi modal penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal sosial’ (social capital), yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan organisasi (Coleman, 1990). Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya negara (bangsa) (Fukuyama, April 2000). Modal sosial diyakini sebagai sesuatu yang merujuk pada demensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama (Bank Dunia, 1999). Tantangan bagi dunia pendidikan umumnya dan pendidikan non formal dan informal adalah bagaimana hasil pendidikan tidak sekedar menekankan pada penguatan modal manusia (pengetahuan dan keterampilan) tapi juga mengarahkan pada optimalisasi potensi masyakat yang tertuang dalam modal sosial dengan menggunakan
18
nilai
adiluhung
seperti
kejujuran,
kerendahan
hati;
ketertiban/kedisiplinan; kesusilaan; kesopanan/kesantunan; kesabaran; kerjasama; Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 18
toleransi; tanggung jawab; keadilan; kepedulian; percaya diri; pengendalian diri; integritas; kerja keras/ keuletan/ketekunan; ketelitian; kepemimpinan; dan/atau ketangguhan. (tercantum dalam Perda Propinsi DIY nomor 5 tahun 2011, pasal 3).
Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 19
BAB III METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Moleong (2004:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata dari orang-orang yang menjadi informannya. Penelitian dengan pendekatan ini berusaha mendeskripsikan situasi atau kejadian yang sedang berjalan sehingga bukan bermaksud membuat prediksi ataupun melakukan generalisasi atas hasil penjelajahan informasi. Akan tetapi pendekatan kualitatif ini dapat digunakan untuk menganalisis hubungan antar aspek yang menjadi fokus kajian agar menjadi holistik dan komprehensif untuk diintepretasikan secara bermakna. Penelitian tentang analisis implementasi pendidikan berbasis budaya ini dipandang sebagai sebuah kajian yang memiliki relevansi terhadap kajian-kajian kebijakan pendidikan karena berkaitan dengan kepentingan publik. Permasalahan implementasi pendidikan berbasis budaya bukan hanya persoalan bagaimana dimensi nilai budaya diterapkan, akan tetapi lebih pada bagaimana nilai budaya yang secara hakiki terdapat dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta menjadi bermakna dalam setiap perilaku individu khususnya pelaku pendidikan pada sistem pendidikan formal, nonformal atau informal. 2. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada analisis deskriptif secara mendalam khususnya aspek sosialisasi, kesiapan dan kesulitan implementasi pendidikan berbasia budaya
di LKP
yang terdaftar dalam direktori dinas pendidikan
propinsi DIY. Data-data yang berkaitan dengan aspek sosialisasi
pendidikan
berbasis budaya meliputi dokumen, aktivitas yang dilakukan serta pihak-pihak yang terlibat dalam proses sosialisasi tersebut. Sementara itu kesiapan LKP dalam upaya mengimplementasikan pendidikan berbasis budaya meliputi dokumen isi kurikulum, proses, sarana prasarana, aktivitas pengembangan sumber daya manusia yang berkaitan dengan rancangan implementasi pendidikan berbasis Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 20
budaya.
Sementara itu data-data yang berkaitan dengan bentuk-bentuk kesulitan
dalam mengimplementasikan muatan nilai budaya yang terintegrasi ke dalam isi, proses pembelajaran pada satuan pendidikan nonformal khususnya LKP ini dikumpulkan untuk dianalis sebagai sebuah kajian yang komprehensif untuk kepentingan proses perbaikan standar layanan pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa LKP. Tidak semua LKP di DIY akan diteliti
akan tetapi dipilih sesuai jenis
keterampilan yang diidentifikasi dalam proses penerapan pendidikan berbasis budaya pada aspek isi materi pembelajaran (dengan menganalisis dokumen seperti RPP, satuan acara pembelajaran), proses, sarana prasarana yang diidentifikasi sebagai pendukung pendidikan. 3. Lokasi Penelitian Dalam melakukan analisis implementasi pendidikan berbasis budaya, penelitian ini dilakukan di LKP-LKP yang diduga dalam proses menerapkan pembelajaran berbasis budaya secara isi, proses, sarana prasaran serta aktivitas pendukung lain yang dianggap dapat memperkuat setiap aspek yang hendak dianalisis. Sebenarnya lembaga-lembaga layanan pendidikan masyarakat yang berkembang di Yogyakarta bukan hanya terdiri dari LKP namun juga SKB, PKBM dan satuan pendidikan sejenis. Oleh karena sejak tahun 2103 program pendidikan berbasis budaya ini disosialisasikan, hanya LKP-LKP besar (memiliki kualifikasi layanan pendidikan yang paling siap saja) maka dalam penelitian ini hanya menggunakan LKP sebagai lokasi penelitiannya. Penentuan lokasi penelitian dalam penelitian kualitatif sangat penting untuk memastikan seting setiap aspek yang diteliti menjadi lebih mudah untuk diamati. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan rekomendasi dinas pendidikan bagian perencanaan dan diperkuat oleh ketua forum LKP yang memiliki pemahaman tentang kondisi di lapangan. Secara metodologis penentuan LKP di DIY sebagai sampel penelitian ditetapkan dengan menggunakan sistem purposif random sampling yaitu dipilih berdasarkan kriteri-kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah LKP yang sudah terakreditasi BANPNF, LKP yang melayani kebutuhan belajar dengan muatan budaya atau LKP yang sudah siap menerapkan pendidikan berbasis budaya. Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 21
4.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data-data primer yang meliputi informasi yang relevan dengan aspek-aspek yang diteliti dilakukan dengan metode observasi dan wawancara secara mendalam kepada sumber data yang terkait dengan asepk-aspek tersebut. FGD juga dilakukan sebagai teknik yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi penelitian terutama pada penggalian data-data yang memerlukan klarifikasi/verfikasi data secara bersama-sama. Sementara itu data-data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan studi dokumentasi yang berkaitan dengan implementasi pendidikan berbasis budaya, meliputi peraturan pemerintah daerah, seperangkat alat pendidikan seperti kurikulum, rancangan pembelajaran. Teknik obeservasi untuk melengkapi field research yang dilakukan ketika penelitian ini melihat secara langsung proses implementasi pendidikan berbasis budaya dilakukan LKP yang dianggap memiliki kualitas proses layanan pendidikan yang baik bagi stakeholder. Dari sekitar 137 LKP yang ada di DIY, terdapat 46 LKP yang memiliki kelayakan sesuai kriteria untuk digunakan sebagai sampelnya. Oleh karena rumpun keterampilan dari 46 LKP memiliki kesamaan-kesamaan maka hanya diambil 2 rumpun jenis keterampilan yaitu (1) rumpun keterampian budaya seperti tata kecantikan rambut, hantaran dan batik; (2) rumpun LKP dengan jenis keterampilan kursus komputer, montir dan servis hp. Berdasarkan rumpun keterampilan itulah penelitian menetapkan 6 LKP sebagai sumber data atau sebanyak 12 ketua dari kedua rumpun keterampilan. Salah satu alasan adalah kedua rumpun yang berbeda inipun memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam membangun kepribadian pendidik dan peserta didik untuk menanamkan nilai luhur Yogyakarta yang sejak lama telah dimiliki Yogyakarta.
5.
Pemilihan Informan Sesuai prinsip penelitian dengan pendekatan kualitatif, informan kunci
merupakan
sumber utama diperolehnya
informasi-informasi untuk menjawab
tujuan penelitian yang sudah ditentukan. Penentuan subyek sebagai informan Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 22
menggunakan teknik purporsif oleh karena subyek penelitian sekaligus adalah ketua atau yang ditunjuk LKP sebagaimana telah dipilih dengan teknik yang sama. Dalam penelitian ini informan kunci adalah para ketua LKP dengan 2 rumpun serta yang memiliki kriteria sebagai dijelaskan sebelumnya 6. Instrumen Penelitian Penelitian dengan
pendekatan kualitatif ini menggunakan metode
wawancara, obervasi dan dokumentasi yang menuntut keaktifan peneliti di lapangan. Dengan demikian dalam menelitian ini peneliti adalah sekaligus sebagai instrumen. Sebagai alat bantu yang digunakan dalam pegumpulan data adalah pedoman observasi, pedoman wawancara, alat perekam,
dan alat perekam
kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan proses pembelajaran pendidikan berbasis budaya. 7.
Teknik Pengumpulan Data Data-data yang hendak dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari 2 jenis
yaitu data primer dan data-data sekunder. Data primer yang dimaksud adalah datadata yang berupa informasi-informasi secara deskriptif yang akan dikumpulkan dengan teknik wawancara dalam bentuk Focus Group Disccusion dan wawancara bebas dan mendalam. FGD dilakukan untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan pelaksanaan sosialisasi pendidikan berbasis budaya baik di tingkat daerah maupun tingkat LKP. FGD juga dilakukan untuk menggali data-data yang berkaitan dengan permasalahan persiapan implementasi pendidikan berbasis budaya oleh masing-masing LKP. Wawancara bebas juga dilakukan peneliti pada saat implementasi pendidikan berbasis budaya melalui pembelajaran mata ajaran di 3 LKP saat penelitian berlangsung. Teknik dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengkaji implementasi pendidikan berbasis budaya melalui kajian dokumen-dokumen pendukung ketika sosialisasi, persiapan hingga implementasi pembelajaran pada LKP yang berbeda-beda.
Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 23
8. Teknik Analisis Data Salah satu ciri analisis dalam pendelitian kualitatif adalah analisis proses atau analisis data model interaktif. Analisis model interaktif ini menuntut setiap data atau informasi yang terkumpul diklasifikasi untuk dianalisis dalam kaitannya dengan aspek-aspek yang diteliti. Data yang terkumpul akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yan pokok agar dapat ditemukan pola hubungan antar aspeknya. Seluruh data yang sudah direduksi selanjutnya dilakukan display data agar memudahkan peneliti melihat gambaran fenomena secara keseluruhan atau bagian-bagian data penelitian. Hasil penggambaran data secara keseluruhan selanjutnya diverifikasi, dianalisis untuk mencari kencenderungan, pola serta keterkaitan antar aspek agar dapat diintepretasi secara thick description untuk diambil kebermaknaannya bagi kepentingan teori dan praksis pendidikan berbasis budaya. 9. Alur Pikir Penelitian
Pendidikan berbasis budaya
Unsur-unsur kebudayaan:
PKBM program kesetaraan B dan C
sosialisasi
Nilai Artefak
Tingkat kesiapan: 8 standar (isi, proses, pendidik, dsb)
LKP
adat
Kesulitan dalam implementa si pendidikan berbasis budaya
LKP, PKBM program kesetaraan yang berbasis budaya
Gambar. 4. Alur penelitian Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 24
Dari alur pikir penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa nilai-nilai luhur yang telah dimiliki Yogyakarta beserta adat-tradisinya menjadi sangat strategis dalam konteks pembangunan sumber daya manusia seutuhnya melalui sistem pendidikan baik formal maupun nonformal di semua jenjang. Oleh karena itu melalui Peraturan Pemerintah Daerah Prop DIY Nomor 11 Tahun 2011 tentang pendidikan berbasis budaya menjadi salah satu kebijakan dasar yang secara sistem dapat diterapkan di Yogyakarta. Unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari nilai, artefak dan adat ini oleh pemerintah propinsi melalui Dinas Pendidikan ditangkap sebagai signal untuk digali kembali secara rinci nilai-nilai luhur tersebut. Perencanaan pendidikan mengisyaratkan untuk dilakukan sosialisasi kepada semua layanan pendidikan baik formal dan nonformal untuk melakukan eksplorasi nilai yang dapat diintegrasikan pada sistem pendidikan terutama ke dalam kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran. Proses sosialisasi, eksplorasi nilai-nilai luhur yang relevan dengan karakteristik sistem layanan pendidikan dan jenjangnya melibatkan banyak pihak agar setiap lembaga layanan pendidikan masyarakat memiliki kesiapan untuk implementasinya. Melalui penelitian itu aspek sosialisasi peraturan pemerintah prop DIY tentang pendidikan berbasis budaya, tingkat kesiapan lembaga seperti materi atau isi pembelajaran, proses, sarana prasarana dan sumber daya menjadi aspek yang hendak diobservasi. Setiap proses perencanaan, penyusunan atau pembuatan kurikulum berbasis budaya diduga lembaga layanan pendidikan memiliki kesulitan dalam bentuk yang bervariasi. Melalui penelitian ini hendak diidentifikasi bentuk kesulitan tersebut dan bagaimana kesulitan itu dapat diatasi agar hasil penelitian ini semakin mendalam dan bermakna.
Laporan pnelitian terapan FIP UNY 2014
Page 25
BAB IV HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian a. Sosialisasi Pendidikan Berbasis Budaya Sebagai Kebijakan dan Pendekatan membangun karakter individu Pendidikan berbasis budaya sebagai sebuah kebijakan dharapkan dapat diadopsi
lembaga-lembaga
pendidikan
formal
dan
nonformal
untuk
diimplementasikan ke dalam isi dan proses pembelajaran. Pendidikan berbasis budaya sebagai sebuah kebijakan yang diperuntukkan bagi tercapainya tujuan bersama seperti peningkatan mutu
sesuai dengan standar pendidikan nasional.
Lembaga pendidikan nonformal yang oleh dinas pendidikan dan olah raga propinsi DIY yang dimaksud adalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, Lembaga Kursus dan Pelatihan serta satuan-satuan pendidikan sejenis. Dalam penelitian ini, Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) digunakan sebagai unit of analisisnya oleh karena lembaga pendidikan nonformal sebagai pelengkap, pengganti dan penambah ini cukup banyak ada di DIY namun LKP yang dipandang siap untuk melaksanakan pendidikan berbasis budaya belumlah banyak. Sementara itu PKBM yang juga menjadi salah satu lembaga layanan pendidikan bagi masyarakat secara normatif sudah menerima kebijakan pendidikan berbasis budaya namun tampaknya kurang begitu memahami bagaimana kebijakan itu diselenggarakan. Ketika perda tersebut disosialisasikan kepada jajaran dinas pendidikan prop DIY, maka
kebijakan tersebut lebih didetailkan oleh tim pengembang
kebijakan tersebut. Secara keseluruhan pendidikan berbasis budaya dijabarkan ke dalam dokumen kebijakan pendidikan berbasis budaya, pedoman dalam menjalankan pendidikan berbasis budaya, standar dan formulir pendidikan berbasis budaya. Pada saat sosialisasi perda tentang pendidikan berbasis budaya, dinas pendidikan dan olah raga propinsi DIY menjelaskan bahwa kebijakan ini pertama
diperkenalkan kepada seluruh jenjang pendidikan baik formal dan
nonformal sebagai bagian dari pendidikan karakter yang diharapkan menghasilkan
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 26
generasi yg berkarakter, dan secara simultan membangun karakter bangsa. Kedua, kebijakan pendidikan berbasis budaya juga merupakan pelestarian budaya, yang maknanya mengawal budaya
lokal dalam konteks perubahan sosial-budya
masyarakat. Ketiga, kebijakan pendidikan berbasis budaya sebagai sebuah transformasi budaya yang melakukan akulturasi budaya sbg penguatan kedaulatan kebudayaan nasional dlm konteks global (diambil dari kegiatan sosialisasi di Dinas Pendidikan Propinsi DIY bulan Oktober 2013). Budaya dalam kebijakan pendidikan ini memiliki dimensi isi, metode dan pendekatan di dalam penyelenggaraan pendidikan. Pada dimensi isi dan metode kebudayaan dapat diintegrasikan ke dalam pengembangan kurikulum baik pada pendidikan formal di semua jenjang dan pendidikan nonformal seperti di LKP, PKBM, Paud dan satuan pendidikan sejenis lain dengan spesifikasi atau karakter yang
berbeda-beda.
Sementara
itu
budaya
dalam
konteks
manajemen
penyelenggaraan dijelaskan sebagai suport system keberlangsungan pendidikan yang lebih komprehensif, terintegrasi dan dinamis. Kebijakan pendidikan berbasis budaya dapat diterapkan ke semua jenis pendidikan formal dan noformal dengan dokumen yang sama, nilai-nilai luhur yang sama serta formulir pengembangan pendidikan berbasis budaya secara sama pula. Sistem nilai budaya yang secara konsep sudah disusun ke dalam perda, akan tetapi lembaga pendidikan formal dan informal memiliki keleluasaan dalam menyusun ke dalam dokumen kabijakan, standar mutu berbasis institusi atau sekolah. Sebagaimana hasil penelitian ini, nilai-nilai luhur yang dikembangkan, disosialisasikan relatif sama diperlakukan pada pendidikan formal dan nonformal. Oleh karena itu setelah sosialisasi diselenggarakan melalui dinas pendidikan dan olah raga propinsi, pemahaman-pemahaman kebijakan tersebut ditindaklanjuti di level di bawahnya melalui ketua forum lembaga masing-masing. Setiap kebijakan yang diperkuat dengan perda, disosialisasikan untuk diimplementasikan oleh banyak pihak seringkali menimbulkan problematik yang beragam seperti faktor kesiapan dari aspek SDM, sarana prasarana; tantangan eksternal dan internal serta perubahan kebijakan lain di bidang politik, ekonomi yang berubah seiring dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Oleh karena
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 27
itu untuk implementasi kebijakan pendidikan berbasis budaya ini diperlukan sosialisasi melalui dinas pendidikan dan olah raga propinsi DIY. Sosialisasi perda tentang penyelenggaran pendidikan berbasis budaya di semua jenjang pendidikan dilaksanakan selama beberapa kali kepada seluruh lembaga layanan pendidikan formal dan noformal dari semua jenis dan jenjang. Sosialisasi diselenggarakan untuk memperoleh persamaan makna perda, kerangka pendidikan berbasis budaya dalam konsep nilai, metode dan trategi pengembangannya. Unsur-unsur budaya khas Ngayogyakarta sebagai muatan materi kurikulum dimaksudkan supaya unsur-unsur tersebut berkembang dan merupakan jati diri masyarakat Yogyakarta terdiri atas nilai-nilai luhur, artefak dan adat. Apabila unsur-unsur budaya yang dikembangkan berasal dari unsur-unsur budaya yang telah eksis dan dikenal selama ini sebagai ciri khas Yogyakarta. Unsurunsur budaya tersebut seperti nilai-nilai luhur berupa nilai kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Artefak atau produk budaya seperti karya seni tari, musik, kriya, sastra, drama.lukis, arsitektur dan lain-lain. Sedangkan adat atau kegiatan budaya berupa sistem-sistem sosial kemasyaakat, ekonomi, pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan kerangka kebijakan pendidikan berbasis budaya unusr-unsur budaya khas Yogyakarta dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Unsur-unsur budaya khas Yogyakarta yang dikembangkan secara terintegrasi ke dalam materi pembelajaran No. 1.
Unsur-unsur budaya khas Yogyakarta Nilai-nilai luhur:
a. Spiritual
b. Personal – moral
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Muatan Materi, antara lain:
Kejujuran Kesusilaan Kesabaran Kerendahan hati Tanggung jawab Percaya diri Pengendalian diri Integritas Kepemimpinan Ketelitian Ketangguhan Welas asih
Page 28
c. Sosial
d. Nasionalisme 2.
Kerja sama Keadilan Kepedulian Ketertiban/kedisiplinan Kesopanan/kesantunan Toleransi Kerja keras/ketekunan/keuletan
Tembang Geguritan Cerita rakyat Seni tari Gending Teater tradisional Wayang Dolanan anak Model lukisan batik Batik corak Yogyakarta Busana adat Surjan (taqwa) Dodot Gerabah Keris Kerajinan ukiran Rumah adat Bangunan cagar budaya Candi Benteng Gapura Tugu Makanan khas
Artefak
a. Sastra
b. Pertunjukan; tari, gamelan, gending
c. Lukis d. Busana
e. Kriya
f. Arsitektur
3.
g. Boga Adat a. Sosial – jati diri b. Ekonomi – welfare c. Politik – kekuasaan
Gotong royong, upacara tradisional, nyadran Sistem lumbung desa, pasaran Sekaten, merti dusun, bekakak , jumenengan
Berdasarkan hasil observasi sosialisasi peraturan daerah yang dijabarkan ke dalam kerangka konsep implementasi, pengembangan yang terintegrasi pada muatan kurikulum dan suport system dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya.
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 29
b. Lembaga Kursus dan Pelatihan Lembaga Kursus dan Pelatihan atau LKP merupakan jenis pendidikan nonformal yang ada di masyarakat selain pendidikan formal. LKP bagi masyarakat lebih dipandang sebagai layanan pendidikan bagi individu yang hendak meraih kesempatan untuk mengembangkan keterampilan yang tidak dapat ditempuh atau terpenuhi melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan jalur nonformal memiliki peran yang sangat penting dan strategis terutama dalam hal penguasaan dan pengembangan keterampilan fungsional agar belajar dari kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara melalui FGD kepada para ketua LKP yang dipilih sebagai sampel, keberadaan pendidikan nonformal seperti LKP atau satuan pendidikan sejenis pada dasarnya memiliki fungsi membelajarkan individu atau kelompok agar mampu memberdayakan dan mengembangkan dirinya sehingga mampu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan jaman. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat 279 LKP yang tersebar di kota Yogyakarta dan kabupaten Bantul, Sleman, Gunungkidul dan Kulon Progo. Sejak tahun 2009, semua LKP baik yang sudah lama berdiri maupun baru wajib memiliki
Nilek
Online.
Konsekuenasinya
setiap
LKP
setempat
harus
mendaftarkan lembaganya ke Dinas Pendidikan Propinsi untuk memperoleh NILEK. LKP yang tidak memiliki Nilek Online dianggap LKP ilegal. Tabel 2. Jumlah LKP Menurut Kab/Kota No 1 2 3 4 5
Kab/Kota Kota Yogyakarta Kabupaten Bantul Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Gunungkidul Kabupaten Sleman Total
Jumlah LKP 85 58 20 24 92 279
Sumber: profil dan data LKP tahun 2013
Setidaknya terdapat 48 jenis program keterampilan dikembangkan LKPLKP tersebut yang tersebar di wilayah DIY. Keterampilan menjahit merupakan jenis progam yang paling banyak dikembangkan yaitu di 61 LKP, sementara 50
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 30
LKP mengembangkan jenis keterampilan komputer dan bahasa inggris. Permintaan akan jenis-jenis keterampilan di atas dipandang sebagai permintaan tinggi setelah menjahit oleh karena penawaran kesempatan kerja sekarang ini sebagian besar memerlukan keterampilan bidang komputer dan bahasa inggris (lihat dokumen tentang profil dan data LKP tervalidasi tahun 2013 dengan Dinas Pendidikan dan Olah Raga Propinsi DIY sebagai penyusunnya). Sementara itu jenis keterampilan dalam rumpun budaya seperti seni tari, musik, senam, lukis, kriya, hantaran, membatik, tata boga, modeling, spa dan lain-lain juga relatif diminati peserta didik. Sebagai layanan kursus dan pelatihan, lembaga-lembaga tersebut bukan hanya dituntut
meningkatkan kualitas, profesional dan berdaya saing layanan
atau program dengan Nileknya akan tetapi LKP juga harus menunjukkan kualitas lembaga yang dibuktikan dengan akreditasi. Penilaian akan layak tidaknya sebuah LKP dilakukan oleh BANPNF yang secara terbuka menetapkan kriteria-kriteria penilannya sesuai dengan UU RI No.20 tahun 2003. Kelayakan LKP berdasarkan standar nasional pendidikan ini menjadi penentu ijin operasionalisasi lembaga kursus dan pelatihan tersebut. Berdasarkan hasil akreditasi dari tahun 2008 sampai dengan 2011, LKP di DIY yang terakreditasi lembaganya baru 8 LKP yang terdiri dari 4 LKP di Sleman. Sementara itu LKP yang programmnya sudah terakreditasi baru 49 LKP dengan jumlah terbanyak di Sleman (18 LKP). Tabel. 3. Lembaga dan Program Terakreditasi tahun 2008-2012 No
Kab/Kota
Jumlah LKP
Terakreditasi Lembaga
Program
1
Kota Yogyakarta
85
3
17
2
Kabupaten Sleman
58
0
4
3
Kabupaten Kulonprogo
20
0
4
4
Kabupaten Gunungkidul
24
1
6
5
Kabupaten Bantul
92
4
18
Jumlah
279
8
49
Sumber: Profil dan data LKP tervalidasi tahun 2008 - 2012
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 31
Tabel di atas menunjukkan bahwa minat untuk membantu masyarakat untuk memperoleh pendidikan keterampilan sebagai bekal dalam menggapai kesejahteraan cukup besar, namun lembaga tersebut masih harus berjuang untuk memperoleh penguatan, kualitas lembaga dan program yang lebih baik. Dilihat dari prosentase LKP yang terakreditas masih sangat kecil yaitu sekitar 2% dari jumlah LKP. Pengakuan lembaga oleh masyarakat yang dibuktikan dengan akreditasi menjadi salah satu kriteria penting layak tidaknya sebuah layanan pendidikan yang diselenggarakan. Ketidakmampuan lembaga kursus dan pelatihan terakreditasi atau belum, bernilek atau tidak bernilek bukan semata-mata lembaga tersebut tidak layak untuk melayani masyarakat namun penelitian ini menggambarkan bahwa kesibukan (bahkan mengelola LKP sebagai pekerjaan sampingan), rutinitas para pengelola, instruktur diungkapkan sebagai salah satu penyebab belum terakreditasinya lembaga atau program keterampilan yang disajikan. Tuntutan birokrasi, persyaratan pemberkasan yang begitu rumit, detail dan dalam jumlah banyak juga dipandang menjadi salah penyebabnya. Sementara permintaan akan jenis keterampilan tertentu relatif banyak yang sebagian besar tidak terlalu memikirkan apakah lembaga atau program tersebut terakreditasi atau tidak, tetapi yang penting bagi para peserta didik dapat mengikuti kursus dan memperoleh sertifikat. Sosialisasi kebijakan pendidikan berbasis budaya pertama kali selain melibatkan para kepala sekolah pendidikan formal dari semua jenjang, para ketua LKP secara presentase serta sebagian ketua PKBM dari seluruh DIY. Dalam perjalanannya, sosialisasi untuk tahap-tahap selanjutnya dilakukan beberapa kali dengan pengerucutan jumlah (satgas) LKP melalui pertemuan-pertemuan rutin untuk memperoleh target luaran berupa RPP (rancangan pembelajaran) yang bermuatan nilai-nilai budaya khas Yogyakarta dengan strategi pembelajaran secara humanis, sopan, beretika dan mengandung makna untuk perilaku keseharian bila sudah bekerja dan melayani pelanggan jasa yang ditawarkan.
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 32
2. Pembahasan a. Lembaga kursus dan pelatihan sebagai agen pendidikan berbasis budaya Pendidikan sebagai salah satu instrumen penting untuk terjadinya sebuah perubahan sosial budaya. Di berbagai negara maju dan terlebih negara-negara berkembang, pendidikan merupakan sebuah gerakan yang membangun setiap individu, kelompok sebagai bagian masyarakat untuk memiliki bukan hanya intelektual akan tetapi sikap serta keterampilan hidup menjadi lebih baik. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan, cara hidup saling berkait satu sama lain menuju terwujudnya masyarakat yang memiliki sistem nilai, norma sebagaimana yang dikehendaki masyarakat. Oleh karena itu semua jenjang pendidikan formal serta lembaga pendidikan nonformal seperti LKP dan PKBM memiliki tanggungjawab dalam mentransformasikan bukan saja ilmu pengetahuan akan tetapi juga keterampilan-keterampilan hidup. Sebagaimana telah dijelaskan di dalam peraturan daerah no.05 tahun 2011 tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan berbasis budaya, maka Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya. Peraturan daerah tersebut diperuntukkan dan ditindaklanjuti melalui Dinas Pendidikan dan Olah Raga di Yogyakarta. Perda yang ditetapkan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
secara struktural
dan
kultural
memiliki
kekuatan
untuk
mempengaruhi peningkatan mutu standar pendidikan nasional yang unggul dan kompetetif. Secara normatif, peraturan daerah tersebut disusun dengan tujuan meningkatkan memenuhi standar nasional pendidikan yang dipekaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya. Sementara itu secara konseptual melalui perda tersebut para peserta didik dalam proses pendidikannya, secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap terhadap perkembangan dunia. Nilai-nilai luhur yang dilestarikan, keperjuangkan dan dikembangkan melalui pendidikan di Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 33
semua program dan jenjang yang ada di wilayah DIY. Peningkatan mutu pendidikan berbasis budaya tersebut meliputi standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan. Sementara itu nilai-nilai luhur budaya yang juga banyak dikembangkan oleh wilayah lain dalam program peningkatan kualitas mutu pendidikan adalah kejujuran; kerendahan hati; ketertiban/kedisiplinan; kesusilaan; kesopanan/ kesantunan; kesabaran; kerjasama; toleransi; tanggungjawab; keadilan; kepedulian; percaya diri; pengendalian diri; integritas; kerja keras/keuletan/ ketekunan; ketelitian; kepemimpinan; dan/atau ketangguhan. Nilai-nilai budaya tersebut secara konsep menjadi nilai-nilai universal yang dapat digunakan dimana saja dan disosialisasikan kepada setiap individu atau kelompok melalui satuansatuan pendidikan yang ada. Nilai-nilai budaya yang didukung oleh pranata-pranata sosial yang ada dalam lingkungan pendidikan merupakan modal bagi setiap orang untuk melakukan relasi sosial dengan orang lain dalam konteks keragaman. Menanamkan pendidikan dengan 18 nilai luhur bukanlah sebuah kegiatan yang mudah
diimplementasikan,
namun
dapat
diupayakan
dengan
strategi
pembelajaran, pembiasaan dan keteladanan yang nyata. Beberapa problem yang seringkali muncul sebagai tantangan penerapan pendidikan berbasis budaya adalah ketidakjujuran, sulitnya untuk berterima kasih, membuang sampah tidak pada tempatnya, vandalisme, maraknya tawuran antar pelajar, semakin banyaknya anak-anak usia sekolah yang terjerumus narkoba, rendahnya kepekaan terhadap lingkungan dan hal itu juga terjadi pada orang dewasa. Kegiatan sosialisasi dalam perencanaan pendidikan ini sangat penting untuk terwujudnya kualitas pendidikan berdasarkan standar yang ada. Pengelolaan pendidikan berbasis budaya yang dikembangkan atas dasar Perda Prop DIY meliputi banyak komponen pendidikan dalam konteks sinergitas multi sektoral yang meliputi:
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 34
1. pemerintah daerah dalam hal ini dinas pendidikan dan olah raga propinsi DIY dengan dewan pendidikan yang merancang konsep pendidikan berbasis budaya 2. pelaku pendidikan yang meliputi kepala sekolah, ketua LKP, guru, tutor, praktisi dan tokoh masyarakat termasuk dari akademisi perguruan tinggi 3. nara sumber yang membidangi perencanaan pendidikan khususnya dalam konteks pendidikan berbasis budaya. Secara sistematis, terstruktur, sosialisasi pengelolaan pendidikan berbasis budaya dilakukan dengan menghadirkan nara sumber serta pelaku pendidikan terkait. Sosialisasi pengelolaan pendidikan berbasis budaya dilakukan beberapa kali dalam tahun 2013 yang lalu agar Lembaga layanan pendidikan masyarakat seperti LKP menindaklanjuti dengan menyusun sejumlah panduan standar mutu pendidikan beserta indikator-indikatornya. Dalam kurun waktu 3 hingga 5 bulan setiap lembaga pendidikan di semua jenis dan jenjang diberi kesempatan untuk menyusun panduan standar isi kurikulum, standar pengelolaan pendidikan berbasis
budaya,
pengembangan
bahan
ajar,
pengembangan
pengembangan RPP dan rincian materi pendidikan berbasis budaya.
silabus, Prinsip
penyusunan standar di semua lembaga pendidikan formal maupun nonformal adalah sama yaitu keterbukaan, terintegrasi dengan materi pembelajaran, serta mengutamakan nilai-nilai luhur budaya Yogyakarta. Dari hasil wawancara prinsip penyusunan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan layanan pendidikan ini dilakukan eksplorasi unsur-unsur budaya khas Ngayogyakarta sebagai muatan materi kurikulum. Dalam implementasinya, unsur-unsur yang digali dari nilai budaya Yogyakarta terdapat desentralisasi yaitu pengembangan isi kurikulum, proses, sarana dan prasarana disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Konsep implementasi pendidikan berbasis budaya tersebut sangat relevan dengan prinsip pendidikan yang berasaskan demokrasi, prinsip pemberian kebebasan bagi lembaga secara bertanggungjawab. Rancangan pendidikan berbasis budaya dengan merevitalisasi unsur-unsur budaya khas Yogyakarta
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 35
tersebut dapat diimplementasikan secara kontekstual sesuai kebutuhan daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Sosialisasi yang dilakukan di tingkat dinas pendidikan, para ketua lembaga pendidikan memiliki kewajiban untuk melakukan sosialisasi yang sama ke setiap lembaga pendidikan lain dalam satu rayon. Pola sosialisasi dilakukan dengan seminar, workshop selama beberapa kali, per tahap, per target setiap
produk
yang
dihasilkan
untuk
direview,direvisi
disahkan
dan
diinstitusionalisasikan secara keseluruhan kepada semua sekolah, lembaga pendidikan nonformal pada jenis dan jenjang. b. Implementasi pendidikan berbasis budaya di LKP Proses pelaksanaan pembelajaran pendidikan berbasis budaya di lembaga pendidikan formal, nonformal yakni LKP pada prinsipnya dapat dilaksanakan 1. Integratif pada muatan materi pembelajaran Pembelajaran berbasis budaya yang terintegrasi disesuaikan dengan beban belajar. Sebagian besar LKP menggunakan jumlah jam pertemuan pada semua jenis program nampaknya tetap menekankan pada belajar tentang keterampilan tertentu sebagaimana diatur dalam
struktur kurikulum setiap satuan pendidikan
atau sejenis. Beban belajar kurikulum berbasis budaya terintegrasi terdiri atas pembelajaran tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan potensi dan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi atau setiap kompetensi dasar yang sesuai dengan yang ditentukan.
Gb. 6 peneliti melakukan wawancara di LKPMuslimah
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 36
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengintegrasian nilai budaya ini adalah: a. Pada penyusunan buku kurikulum dicantumkan bahwa Nilai-nilai budaya diintegrasikan dalam materi pembelajaran tertentu yang relevan. b. Mengidentifikasi nilai-nilai budaya dan materi pembelajaran yang akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Identifikasi terhadap nilai-nilai budaya dilakukan untuk menyamakan persepsi sebenarnya mengenai diskripsi niai-nilai budaya itu. Berikut diskripsi tentang nilai-nilai budaya yang akan diintegrasikan: Nilai religio-spriritual
Moral
Diskripsi Rela hati lahir batin (lila legawa lair trusing batin) bersungguh-sungguh berusaha keras secara terus-menerus sepi ing pamrih ramé ing gawé) mengusahakan dan menjaga kebenaran (bener), kebaikan (becik), keindahan (hayu), keselamatan dan kelestarian (rahayu) dunia (hamemayuhayuning bawana). Ikhlas (lila legawa) dan dengan sabar menerima (sabar narima) peran dan nasib perjalanan hidupnya.Kematian, jodoh, anugerah, garis nasib, dan rejeki bagi tiap-tiap orang merupakankepastian yang telah ditentukan oleh Tuhan (siji pesthi, loro jodho, telu wahyu, papat kodrat, lima bandha) Menjaga kebaikan, keindahan, dan kelestarian dunia harus dimulai dari diri manusia sendiri dengan menjaga kebenaran pemikiran dan ucapan, kebaikan perilaku, keharmonisan dankeindahan tatanan pergaulan hidup, baik dengan sesama manusia, dengan alam semesta Tidak mudah takjubdengan kesementaraan perubahan yang memukau (aja gumunan, aja kagetan), dan janganpula menyombongkan diri dan meremehkan orang lain dikala dirinya berjaya sementaraorang lain sedang sengsara (aja dumeh). Senantiasa berusaha menanam kebajikan dan terus-menerus menyemai budi luhur sebagai
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 37
keutamaan(nandur kabecikan, ndhedher kautaman). Menyenangkanhati orang lain (amemangun karyénak tyasing sesama), seperti mengemukakan pendiriansecara lembut (pambegané alus; landhep tanpa natoni), berhati-hati dalam berbicara (yènangucap ngarah-arah), Tingkah dan tutur katanya bersahaja (tingkah una-uniné prasaja), Setiap ucapannya terasa sejuk menembus kalbu karena dilandasi nurani yang bersih(saujaré manis trus ati), bertenggang rasa dan berbelas kasih kepada semua makhluk hidup Hidup berlandaskan kasih sayang dengan mewujudkan dan senantiasa menjaga kerukunan Saling asah asih asuh Adanya solidaritas atau kesetiakawanan social adat dan tradisi Memelihara setiap acara adat karena terdapat nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang dikandung dan dipesankannya pendidikan dan Menumbuhkan, mengelola, dan meningkatkan pengetahuan kualitas kecerdasan kehidupannya, baik kecerdasan kejiwaan yang meliputi religiospiritualitas (takwa), moralitas (karsa), emosionalitas (rasa), dan intelektualitasnya (cipta), maupun kesehatan dan pengembangan raganya. Oleh karena itu, kepada peserta didik bukan hanya dibekali ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan teknis suatu pekerjaan, melainkan harus ditanamkan nilainilai Teknologi Teknologi manjadikan kemudahan, kenikmatan, dan kenyamanan hidup. penataan ruang dan mengingatkan manusia agar senantiasa sadar arsitektur diri (éling) tentang asal-muasal kehidupannya dan tempat kembalinya kelak (Sang Khalik) tata rakit keruangan harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya spiritualitas manusia secara wajar. terlaksananya hubungan antarmanusia secara wajar dan harmonis hubungan yang sinergis-harmonis antara Kemasyarakatan
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 38
mata pencaharian
nilai kesenian
Bahasa
benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya
nilai kepemimpinan dan pemerintahan
kejuangan dan kebangsaan; dan
semangat keyogyakartaan
manusia dan alam Bersungguh-sungguh berusaha keras secara terus-menerus (sepi ing pamrih ramé ing gawé) mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan,keselamatan, dan kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana) Berkomunikasi spiritual manusia dengan Tuhan Berkomunikasi sosial manusia dengan sesama manusia Berkomunikasi natural manusia dengan seluruh penghuni alam semesta. Menjadikan sarana hiburan dan sekaligus media edukasi (tontonan lan tuntunan). Berbahasa sesuai perspektif waktu, tempat, dan konteks (empan papan duga prayoga) menjaga, melestarikan, dan mengembangkan bahasa Jawa,baik dalam bentuk tuturan maupun tulisan, di dalam pergaulan hidup yang wajar berusaha keras agar setiap benda budaya bersejarah dan kawasan situs yang melingkupinya senantiasa dijaga, dilestarikan, dan dilindungi sebagai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya Tampil di depan member teladan bagi yang dipimpin (ing ngarsa sung tuladha) Memotivasi yang dipimpin (ing madya mangun karsa) Memberi dorongan, kekuatan, dan perlindungan (ing wuntat tut wuri handayani) Perasaan memiliki negara ini (duwérasa handarbèni), berjuang sampai titik darah penghabisan (wani mèlu hangrungkebi). Mawas diri dan berusaha keras memberi kontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan negara (mulat salira hangrasa wani). Percaya diri dalam bertindak (sengguh), Tidak akan mundur setapak pun (konsisten) Siap menanggung segala risiko apa pun (konsekuen) yang harus dihadapi (ora mingkuh) dengan penuh rasa tanggung jawab (lamunkapéngkoking pancabaya ubayané datan mbalénjani)
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 39
Kegiatan Pembudayaan diarahkaan untuk menanaamkan nilai nilai luhur Yogyakartaa dan adat istiadat Yogyakarta yang telah dimiliki warga Kota Yogyakarta. Pada pendidikan formal, kegiatan pembudayaan antra lain mengenakan pakaian jawa setap tahun 4 kali dan Pembudayaan
perilaku yang
sesuai dengan nilai nilai nilai - nilai lahur warga Kota Yogyakarta. Pada lembaga pendidikan nonformal seperti LKP tidak diperlakukan secara sama, namun bahwa penanaman nilai-nilai adiluhung disesuaikan dengan keperluan, orientasi jenis keterampilan tertentu. Artinya bahwa jenis-jenis keterampilan seperti membatik, hantaran, seni tari, kriya, lukis atau seni pertunjukan dipandang oleh LKP sebagai lembaga layanan pendidikan yang telah memiliki muatan budaya. Alasan itu pula, kebijakan pendidikan berbasis budaya bukan sesuatu yang baru, persoalannya hanya pada pengembangan kurikulum yang selalu harus diaktualkan. Kesabaran, ketekunan, rendah hati, unggah ungguh atau sopan santun dalam memperlakukan pelanggan menjadi nilai-nilai yang selalu diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran. Proses ini dilakukan secara terus menerus oleh karena para instruktur LKP sering menyebutkan bahwa meskipun peserta didik relatif dewasa namun
dalam
hal
kerendahan
hati
kejujuran,
kesabaran
masih
perlu
disosialisasikan dan bahkan dengan teladan. Untuk membatik misalnya jenis keterampilan ini selain mengajarkan keterampilan membatik akan tetapi juga mengajarkan kesabaran, ketekunan, kerendahan hati dan juga kejujuran dalam setiap proses atau relasi yang sedang berlangsung antara instruktur dengan peserta didik, antar peserta didi dan juga antara peserta didik dengan kegiatan membatik itu sendiri. Nilai kesabaran juga dapat
dimplementasikan
pada
jenis
keterampilan
komputer.
Kesabaran,
kerendahan hati, kejujuran, kedisiplinan dapat dilihat pada saat latihan komputer (penugasan secara mandiri akan tetapi dalam durasi waktu yang ditentukan) yang menuntut nilai-nilai luhur tersebut. Ketika sedang menyelesaikan tugasnya, peserta didi yang sudah selesai tidak mau mengulang-ulang agar lebih terampil, akan tetapi membuka situs-situs lain, atau bahkan melakukan kegiatan yang kurang relevan.
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 40
2. Strategi pembelajaran Implementasi
pendidikan berbasis budaya pada proses pembelajaran
dapat digambarkan seperti bagan berikut: Pemetaan Kompetensi
Pengembangan Silabus
Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Melaksanakan Penilaian
Melaksanakan Pembelajaran
Mengembangkan Bahan Ajar
Skema alur pembelajaran berbasis budaya
Baik pembelajaran pada pendidikan formal, nonformal, muatan pendidikan berbasis budaya secara eksplisit tertulis ke dalam materi (isi), proses, strategi dalam rancangan pembelajarannya. Rancangan pembelajaran dengan materi tertentu secara standar nasional juga mencakup
standar kompetensi,
kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran,
kegiatan
pembelajaran,
dan
indikator
pencapaian
kompetensi untuk penilaian.
Gb. 7. Peserta kursus mengamati demonstrasi tata rambut
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 41
3. Langkah-langkah Pengembangan Silabus Langkah-langkah pengembangan silabus disajikan pada diagram alir berikut. Diagram Alir Penyusunan Silabus Materi Pembelajaran Pengkajian Standar Kompetensi Lulusan
n Standar Kompetensi Kelompok Materi Standar Kompetensi Lulusan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Penyusunan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Indikator
Analisis Kedalaman dan Keluasan Materi
Materi Pembelajaran
Penilaian
Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu
Sumber Belajar Komponen silabus
Sumber: buku TOT pendidikan berbasis budaya, 2014
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman pembelajaran yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan instruktur, lingkungan, dan sumber belajar Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 42
lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Atau dengan kata lain, pada kegiatan pembelajaran akan tergambar bahwa peserta didik tidak hanya akan memperoleh pengalaman belajar tentang substansi yang dipelajari tetapi juga tentang kompetensi generik/kompetensi kunci/soft skills.
C. Analisis Kesiapan LKP dalam implementasi pendidikan berbasis budaya Analisis kesiapan yang meliputi isi kurikulum, proses, sarana prasarana dan sumber daya manusia yang dimiliki LKP: Isi kurikulum pendidikan berbasis budaya yang dikembangkan oleh lembaga kursus dan pelatihan menyangkut organisasi materi sesuai dengan bidang ilmunya. Pemetaan kompetensi merupakan strategi awal dilakukannya standarisasi isi. Secara garis besar standar isi kurikulum dapat dilihat dalam strategi pembelajaran sebagaimana skema berikut: kP PEMETAAN KOMPETENSI Standar isi
MELAKSANAKAN PENILAIAN
PENGEMBANGAN SILABUS
MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN
PENGEMBANGAN RPP
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR
Alur pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan memiliki implikasi terhadap tingkat kesiapan dalam rancangan pembelajaran dalam bidang materi masing-masing. Alur pelaksanaan pembelajaran tersebut mengisyaratkan bahwa stetiap materi yang dipersiapkan idealnya diorganisasi. Di 12 LKP dengan rumpun keilmuan yang berbeda-beda masih dalam proses penyempurnaan terutama untuk muatan budaya yang diberlakukan. Meskipun materi pembelajaran yang dilengkapi dengan perangkat yang lain seperti modul, RPP maupun silabus yang digunakan selama ini belum diorganisasi dengan format sesuai dengan
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 43
pedoman, akan tetapi secara substansi, sistematika berpikir dan strategi atau langkah-langkah pembelajaran sudah terdokumentasi. Unsur unsur budaya yang dimasukkan dalam standar isi memiliki penekanan yang berbeda-beda, misalnya untuk pembelajaran keterampilan membatik, tata kecantikan rambut secara isi sudah memuat unsur budaya, namun untuk prioritas nilai budaya menjadi berbeda. Ketika materi keterampilan membatik, nilai adiluhung Yogyakarta yang diperkenalkan adalah corak-corak yang menggambarkan nilai ketekunan, keagungan, dengan proses membatik yang mengutamakan kesabaran, menghargai hasil karya nenek moyang dsb. Sementara itu pada keterampilan komputer juga menekankan makna kesabaran misalnya ketika pembelajaran menghendaki secara bersama kelompok peserta didik untuk melakukan aktivitas yang sama dengan materi yang sama, namun ternyata ada beberapa peserta didik menggunakan waktu yang bersama itu untuk aktivitas dengan materi yang lain,maka peserta didik ini dinilai sebagai belum memiliki tingkat kesabaran sesuai standar. Secara disadari oleh sebagian LKP bahwa tidak semua materi pembelajaran harus diberi muatan nilai budaya yang sama. Hanya pada materi-materi pembelajaran yang memiliki nilai strategis saja yang harus diberi muatan budaya. Seluruh LKP yang diobservasi dalam pembelajaran menggunakan sarana prasarana sebagai penunjang pendidikan berbasis budaya untuk melatihkan aspek keterampilan namun secara proses, model keteladanan instruktur yang humanis, menerapkan nilai budaya adiluhung sperti cara berpakaian, cara melayani pelanggan, cara memperlakukan alat atau bahan cara berbicara hingga pada katakata yang pas, sopan ditunjukkan kepada para peserta didik. Sebagaimana hasil field research di LKP Muslimah Kulonprogo
Tata Rias Kecantikan Rambut
dengan peralatan terbatas dibanding jumlah peserta kursus,
para instruktur
mengajarkan kesabaran, ketekunan, kerjasama, pelayanan yang sopan bahkan cara bagaimana memberi kesempatan pada pelanggan untuk melihat hasil tata rambutnya agar bila terjadi kekurangan akan segera di atasi. Akan tetapi nilainilai budaya yang terintegrasi ke dalam proses pembelajaran adalah sikap melayani secara santun dalam tutur kata dan bahasa, demikian pula pada
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 44
keterampilan montir, sikap yang santun sangat ditekankan dalam setiap proses pembelajaran. c. Identifikasi kesulitan dalam menerapkan pendidikan berbasis budaya Berdasarkan hasil wawancara mendalam mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi LKP pada saat persiapan implementasi pendidikan berbasis budaya dapat diidentifikasi: 1. Sejak diterbitkan Perda tentang pengelolaan penddikan berbasis budaya pertengahan tahun 2013 hingga akhir tahun 2013 seminar, workshop secara berulang kali, salah satu kegiatan revitalisasi/eksplorasi unsur budaya Yogyakarta dengan menemukan indikator nilai dirasakan sangat rumit dan tidak mudah untuk diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran. Hal ini karena begitu banyak nilai-nilai adiluhung budaya Yogyakarta sementara kompleksitas permasalahan LKP pun juga sangat banyak, 2. Banyaknya perbedaan penafsiran diantara ketua LKP tentang nilai budaya Yogyakarta untuk dideskripsikan agar mudah dipahami orang lain sehingga pendeskripsian makna nilai budaya Yogyakarta menjadi terinci namun memakan waktu yang lama, meskipun dalam rumpun materi pembelajaran yang relatif sama. 3. Pemetaan kompetensi standar isi (kurikulum), pengembangan silabus, RPP, bahan ajar dan perangkat pendukung pendidikan lain yang dilakukan secara kolektif antar LKP yang berbeda-beda jenis dan jenjang keterampilannya bukanlah sebuah kegiatan yang mudah dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah personil yang terlibat pada awal-awal pemetaan tidak sama, sehingga tertunda, membutuhkan waktu yang lama dan melelahkan banyak pihak.
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki keragaman budaya, karakteristik dan keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Keragaman tersebut
dapat ditinjau dari sisi historis, geografis, potensi sumber daya,
ketersediaan sarana dan prasarana, latar belakang dan kondisi sosial budaya, dan berbagai keragaman lainnya yang terdapat di setiap daerah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. Keragaman tersebut kebutuhan
dan
tantangan
pengembangan
yang
melahirkan tingkatan berbeda
dalam
rangka
meningkatkan pelestarian budaya, mutu pendidikan, pemerataan pendidikan dan mencerdaskan kehidupan masyarakat di setiap daerah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Pengembangan pendidikan disetiap daerah diperlukan sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik daerah. Karakteritik tersebut perlu dirumuskan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, untuk dikembangkan dan diimplementasikan secara kontekstual guna merespon kebutuhan daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik. Pengelolaan pendidikan berbasis budaya yang diatur dalam peraturan daerah di DIY dapat dimaknai sebagai sebuah kebijakan publik oleh karena menyangkut kepentingan banyak pihak. Oleh karena orientasi pengelolaan pendidikan yang berbasis budaya ini sebenarnya bukanlah hal baru bagi dunia pendidikan, maka analisis terhadap aspek sosialisai, kesiapan perangkat pendukung pendidikan
serta analisi kesulitan LKP dalam implementasi
pendidikan berbasis budaya menjadi penting dan relevan untuk dieksplor sebagai kajian yang bermakna bagi kepentingan pembangunan pendidikan. Internalisasi nilai adiluhung khas Ngayogyakarta yang dselenggarakan pada lembaga pendidikan formal dan melalui LKP-LKP memang menekankan pada masingmasing karakteristika jenis keterampilan, akan tetapi semangat keyogyakartaan yang terdiri beberapa nilai percaya diri dalam bertindak (sengguh), tidak akan mundur setapak
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 46
pun (konsisten); siap menanggung segala resiko apapun (konsekuen) yang harus dihadapi (ora mingkuh); dengan penuh rasa tanggung jawab (lamunkapéngkoking pancabaya ubayané datan mbalénjani) merupakan semangat yang ditunjukkan LKP melalui para instrukturnya bagi para peserta didi.
Analisis terhadap pengintegrasian nilai budaya ke dalam materi-materi pembelajaran
meliputi
standar
isi
kurikulum,
pengembangan
silabus,
pengembangan bahan ajar, pelaksanaan pembelajaran hingga evaluasinya pada prinsipnya merupakan sebuah pembudayaan. Menanamkan nilai-nilai luhur Yogyakarta di beberapa LKP menjadi menarik untuk dikembangkan oleh karena dalam penerapannya pendidikan berbasis budaya belum dapat diterapkan secara konsekuen.
Saran Supaya program pengelolaan pendidikan berbasis budaya di setiap lembaga kursus dan pelatihan dapat diterapkan maka sharing muatan nilai budaya Yogyakarta diantara LKP yang serumpun maupun tidak serumpun dapat diatasi dengan kegiatan persamaan persepsi yang dilakukan secara terstruktur. Kegiatan kolektif tersebut dapat membantu pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan kebijakan membuat revisi atau perbaikan-perbaikan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang heterogen.
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 47
DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP). 2010. Versi 1.0. Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI. Fukuyama, Francis. 2000. Social Capital and Civil Society. IMF Working Paper WP/00/74. James S. Coleman. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital The American Journal of Sociology, Vol. 94, Supplement: Organizations and Institutions: Sociological and Economic Approaches to the Analysis of Social Structure. Kemendikbud. 2013. Rembuk nasional pendidikan dan kebudayaan. Menuntaskan program prioritas pendidikan dan kebudayaan 2013-2014. Arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sawangan, 10.12 Februari. Kneller, G.Frederick. 1978. Educational Anthropology: an introduction. New York: John Wiley & Sons. Diterjemahkan oleh Imran Manan dalam bukunya yang berjudul Antropologi Pendidikan. 1989. IKIP Bandung Kemendiknas. 2009. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 20102014. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. 2013 Data LKP se Propinsi DIY. Informasi Lembaga Kursus, Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan. Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal. Kemendikbud. 17 Juni 2012. PROP.DIY.2011. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor 5 Tahun 2011 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya. Shawn Kana’iaupuni. 2007. A Brief Overview of Culture-Based Education and Annotated Bibliography. kamehameha schools research& evaluation division. culture-based education. Suci Rohmadi, Anshori. 2013. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta, Profil dan Data LKP Tervalidasi Tahun 2013. Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan. Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal. Kemendikbud. Sumarno.MA, PhD. 2013. Pendidikan untuk Pencerahan dan Kemandirian Bangsa'' yang disampaikan pada orasi ilmiah dalam rangka Dies Universitas Negeri Yogyakarta yang ke 49.
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 48
-------------- 2013. Education for all. Universal Basic and Secondary Education. Extracted from many sources. By Sumarno. Tilaar,H.A.R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung. Remaja Rosdakarya. Vikas Gora. 2011. Humanist education in developing countries; Wiel Veugelers (ed). Education and Humanism. Linking Autonomy and Humanity. Rotterdam, Sense Publishers. Zamroni. 2013. Pendidikan populis berbasis budaya. Orasi ilmiah dalam rangka dies natalis ke 63 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Laporan penelitian terapan FIP UNY 2014
Page 49