LAPORAN PENELITIAN
BANGUNAN PADMASANA : KAJIAN STRUKTUR DAN PENERAPAN MOTIF HIAS TRADISIONAL BALI
Oleh : Ir. Mercu Mahadi Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si
DIBIAYAI DARI DANA DIPA ISI DENPASAR NOMOR 0230.0/023-04/XX/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2007
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2008
1
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN 1. Judul Penelitian
Bangunan Padmasana : Kajian Struktur dan Penerapan Motif Hias Tradisional Bali
2. Ketua Peneliti a. Nama lengkap dengan gelar b. Pangkat/Golongan/NIP c. Jabatan Sekarang d. Fakultas e. Universitas f. Alamat Kantor g. Telepon/Faks/E-mail 3. Jumlah Peneliti 4. Lokasi Penelitian 5. Kerja sama 6. Jangka Waktu Penelitian 7. Biaya Penelitian
Ir. Mercu Mahadi Penata III/c/132089902 Lektor Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar (0361) 227316/ (0361) 236100/ isidenpasar @ yahoo.com 3 orang, 2 orang peneliti dan 1 orang tenaga lapangan Kabupaten Gianyar 6 bulan Rp. 8.000.000,(delapan juta rupiah)
A.n. Dekan Pembantu Dekan I, FSRD ISI Denpasar
Denpasar, 18 Agustus 2008 Ketua Peneliti
Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn NIP. 131924842
Ir. Mercu Mahadi NIP. 132089902
Menyetujui Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ISI Denpasar
Prof. Drs. A.A. Rai Kalam NIP. 130346026
2ii
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian yang berjudul “Bangunan Padmasana : Kajian Struktur Dan Penerapan Motif Hias Tradisional Bali” Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar. 2. Dekan Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar. 3. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Seni Indonesia Denpasar. 4. Rekan-rekan dosen di Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, yang telah memberikan referensi dan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. 5. Bapak Kepala Desa Batubulan, atas segala fasilitas dan informasi yang diberikannya ketika penulis melakukan penelitian. 6. Jero Mangku Pura Puseh, Desa Batubulan, yang telah memberikan informasi yang berkaitan dengan keberadaan pelinggih padmasana yang ada di Pura Puseh tersebut.
iii 3
Sebagai akhir kata, penelitian ini masih banyak kekurangannya, mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai fihak, demi lebih lengkapnya penelitian ini. Semoga penelitian ini ada manfaatnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang penerapan motif hias tradisional Bali terutama pada bangunan suci.
Om Santi, Santi, Santi Om.
Denpasar, 18 Agustus 2008 Penulis
iv 4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
iii
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vii
RINGKASAN ...............................................................................................
viii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1 Latar Belakang .....................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................
4
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
6
2.1 Pengertian Pura ....................................................................
6
2.2 Pengertian Padmasana ..........................................................
8
2.3 Pengertian Motif Hias Tradisional Bali ...............................
9
METODE PENELITIAN ............................................................
13
3.1 Sumber Data .........................................................................
13
3.2 Teknik Pengumpulan Data ...................................................
13
3.2.1 Observasi ...................................................................
13
3.2.2 Wawancara ................................................................
14
3.2.3 Studi Kepustakaan .....................................................
14
3.2.4 Dokumentasi .............................................................
14
3.3 Instrumen Penelitian.............................................................
14
3.4 Lokasi Penelitian ..................................................................
15
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................
16
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................
16
4.1.1 Kondisi Geografis Desa Batubulan ...........................
16
4.1.2 Mata Pencaharian ......................................................
18
4.1.3 Agama dan Kepercayaan...........................................
19
v5
4.2 Sekilas Tentang Sejarah Bangunan Padmasana ...................
20
4.3 Fungsi Dan Jenis Padmasana ..............................................
23
4.4 Tata Letak Bangunan Padmasana ........................................
24
4.4.1 Struktur Bangunan Padmasana .................................
25
4.4.2 Penerapan Motif hias Tradisional Bali Pada
BAB V
Bangunan Padmasana...............................................
28
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................
35
5.1 Simpulan ..............................................................................
35
5.2 Saran .....................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi 6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Tampak Depan Padmasana ......................................................
26
Gambar 2
Tampak Samping Padmasana ..................................................
27
Gambar 3
Pelinggih Padmasana di Pura Puseh, Desa Adat Batubulan ....
27
Gambar 4
Motif Hias Bhadawang Nala, Naga Anantabhoga, dan Naga Basuki yang menghiasi Padmasana di Pura Puseh Desa Adat Batubulan .................................................................................
Gambar 5
31
Motif Hias Karang Gajah/asti kombinasi dengan patra punggel .....................................................................................
31
Gambar 6
Motif Hias Karang Guak dan Karang Simbar ..........................
32
Gambar 7
Motif Hias Karang Tapel kombinasi dengan patra punggel ....
32
Gambar 8
Motif Hias Karang Bentulu kombinasi dengan patra punggel .
33
Gambar 9
Motif Hias Garuda....................................................................
33
Gambar 10 Motif Hias Keketusan (kakul-kakulan) ....................................
34
Gambar 11 Motif Hias Keketusan (emas-emasan) .....................................
34
7 vii
RINGKASAN
Kesadaran berkesenian sudah sangat mengental dan mentradisi dalam kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan Tuhannya, sebagai pencipta semua yang ada. Berbagai jenis kesenian berhubungan erat dengan agama
merupakan satu kesatuan yang terjalin erat
sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali. Di Bali pada suatu tempat suci (pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Konsep bangunan padmasana yang diwarisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (pura) belum dilengkapi padmasana. Adapun struktur bentuk bangunan Padmasana disusun vertikal yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Sedangkan motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batubatuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Adapun jenis motif hias tradisional Bali tersebut antara lain:
viii 8
Motif Keketusan (geometris), terdiri dari motif kakul-kakulan, batun timun, ganggong, emas-emasan, ceracap, mute-mutean, dan tali ilut. Motif tumbuhtumbuhan atau pepatran, antara lain seperti patra punggel, patra samblung, patra sari, patra olanda, patra cina, dan patra wangga. Motif Kekarangan, terdiri dari motif karang gajah, karang guak, karang tapel, karang boma, karang sae, karang bentulu dan karang simbar. Sedangkan motif-hias yang terinspirasi dari mahlukmahluk mitologi yang bersifat simbolis antara lain seperti : bhadawang nala, naga anantabhoga, naga taksaka, garuda, dan angsa. Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias bangunan, disamping juga mengandung nilai-nilai filosofis dan simbolis.
ix 9
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesadaran berkesenian sudah sangat mengental dan mentradisi dalam kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan Tuhannya, sebagai pencipta semua yang ada. Meresapnya konsep berkesenian sebagai wujud rasa bhakti dalam memelihara kedamaian hidup baik lahir maupun batin, melahirkan berbagai bentuk dan jenis kesenian antara lain : seni patung, seni lukis, seni ukir/kriya, seni arsitektur, seni tari, seni karawitan, dan seni suara, yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Gelebet, 1982 : 25). Demikian pula halnya dengan seni arsitektur, yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Berbagai jenis kesenian berhubungan erat dengan agama merupakan satu kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali, yang terinspirasi dari bentuk-bentuk khayali dan bentuk-bentuk yang ada di alam.
1
Di Bali pada suatu tempat suci (Pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Kalau kita bandingkan dengan bangunan candi-candi yang ada di Jawa, padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa. Gambar semacam ini tidak hanya kita temui pada bangunan candi yang ada di Jawa, akan tetapi juga pada candi-candi yang ada di India. (Cudamani, 1998 : 51). Sementara itu, gambar bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa sangat jarang kita temui di Bali. Di Jawa alas duduk dari perwujudan dewa berbentuk bunga padma, sedangkan di Bali alas banten perwujudan itu berbentuk “lamak”. Lamak biasanya terbuat dari perpaduan enau yaitu ron dan ambu yang menggambarkan isi dunia. Di dalam lamak tergambar bulan, bintang, mahlukmahluk, orang-orangan dan tumbuh-tumbuhan, sebagai simbol bahwa Hyang Widhi itu di sthanakan di atas bumi dengan segala isinya (Titib, 2001 : 106). Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas bumi ini kemudian menjadi dasar bahwa bentuk padmasana di Bali berubah dari wujud bunga teratai menjadi bentuk padmasana, seperti “singhasana” (berbentuk kursi), yang bisa kita lihat saat ini (Ibid, 1998 : 52). Konsep bangunan padmasana yang kita warisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu
2
Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (Pura) belum dilengkapi padmasana. Hal ini dikuatkan oleh lontar Dvijendra Tattwa disebutkan bahwa pada waktu, Danghyang Nirartha tiba di Bali, beliau merasakan memasuki mulut naga, dan melihat ada bunga teratai (padma) yang sedang mekar tetapi sayang sarinya tidak ada. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah di Bali agama Hindu sudah berkembang dengan baik, akan tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur sebagai manifestasi dari Hyang Widhi. Pemujaan yang hanya ditujukan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur inilah yang dimaksudkan beliau sebagai bunga teratai tanpa sari. Beliau kemudian mengurangi penggunaan patung patung dewa yang dipuja, tidak seperti yang ada sebelumnya, dimana pelinggih meru dan gedong pada masa lalu hanya difungsikan sebagai pemujaan dewa-dewa dan roh leluhur (Cudamani, 1998 : 51). Bentuk bangunan padmasana hampir sama dengan candi yang lengkap dengan pepalihan, akan tetapi tidak mempunyai atap. Struktur bangunannya menerapkan konsep Triangga
terdiri dari bagian kaki yang disebut nistama
angga (tepas), bagian badan (madya angga) atau batur, dan bagian kepala (utama angga), yang juga disebut sari. Bangunan padmasana di buat dalam bentuk ruang yang bervariasi dalam dimensi, komposisi bidang-bidang pasangan, baik yang disusun dengan material batu padas, batu bata, dan penerapan tata motif hias yang sudah disesuaikan (Gelebet, 1982 : 159). Di Bali dalam membuat bangunan selalu diberi hiasan ornamen, lebihlebih tempat pemujaan, seperti halnya padmasana yang dipandang sebagai simbol
3
bumi. Motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam, merupakan ciptaan Tuhan, seperti batubatuan, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Stilisasi dari bentuk-bentuk alam dalam bentuk motif hias (ornamen) yang diterapkan secara turun-tumurun dari generasi ke generasi, oleh masyarakat Bali, kemudian dikenal dengan motif hias tradisional Bali. Penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana disamping mengandung nilai-nilai estetis, filosofis, juga nilai-nilai simbolis sesuai kepercayaan agama Hindu. Penerapan motif-motif hias tersebut selalu mengikuti struktur/pepalihan yang terdapat pada bangunan padmasana.
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana struktur dan bentuk bangunan padmasana? 2. Bagaimana struktur penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana, terkait dengan nilai-nilai estetis, filosofis, dan simbolisnya ?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk dan struktur bangunan padmasana. 2. Untuk mengetahui struktur penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana, terkait dengan nilai-nilai estetis, filosofis, dan simbolis yang terkandung di dalamnya.
4
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan dan sumber informasi bagi masyarakat mengenai keberadaan suatu bangunan padmasana, jika ditinjau dari struktur dan bentuknya, serta penerapan motif hias tradisional Bali, yang bermakna estetis, filosofis, dan juga simbolis.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pura Pada waktu pelaksanaan upacara seperti piodalan dan upacara lainnya, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan roh suci leluhur dimohom turun ke dunia untuk bersthana di sthana yang sudah disediakan yang disebut pura, dengan aneka nama, jenis, serta fungsi dari pelinggihnya. Pura seperti halnya meru atau candi merupakan simbol dari kosmos, sorga, atau kahayangan. Sorga atau kahayangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut (Titib, 2001 : 88). Pada mulanya istilah pura berasal dari kata Sansakerta yang berarti kota atau benteng, yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan,
dipergunakanlah
kata
kahyangan
atau
hyang.
Rupa-rupanya
penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci, dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung, disamping juga istilah kahayangan masih tetap dipakai. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel sekitar akhir abad ke 16, datanglah seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha untuk mengabadikan dan menyempurnakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau menemukan adanya kekaburan ajaran keagamaan antara pemujaan dewa dengan roh leluhur. Hal inilah yang mendorong Danghyang Nirartha
6
membuat tempat pemujaan berbentuk padmasana yang terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, menghadap barat daya, dalam lingkup areal suatu pura, untuk memuja Sang Hyang Widhi, yang sekaligus membedakan tempat pemujaan dewa serta roh leluhur (Ibid, 2001 : 93). Dalam perkembangan lebih lanjut kata pura digunakan disamping kata kahyangan atau parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya, disamping juga pemujaan terhadap leluhur yang disebut bhatara. Hal ini memberikan pengertian bahwa pura adalah simbol gunung Mahameru tempat pemujaan dewa dan bhatara. Tidak sembarangan tempat bisa dijadikan kawasan untuk membangun pura. Dalam tradisi Bali yang termuat dalam beberapa lontar, menyatakan tanah yang layak dipakai sebagai tempat suci adalah tanah yang berbau harum, “gingsih”, sedangkan tempat-tempat yang ideal adalah tempat yang indah, disamping vibrasi kesucian yang memancar pada lokasi yang ideal tersebut. Untuk membuat pura yang indah, harus memenuhi aturan yang tertuang dalam Asta kosala kosali dan Asta bhumi (arsitektur tradisional Bali). Demikian pula halnya dalam penerapan motif hias yang senantiasa menghiasi sebuah pura. Sejak seseorang mulai masuk dari candi bentar, menuju kori agung, sampai ke jeroan, sesungguhnya seperti seseorang menuju sorga, atau ke puncak gunung. Jeroan pura adalah puncak gunung yang maha suci. Sang Hyang Widhi bersthana di padmasana, para dewa bersthana di meru-meru sesuai dengan tingkatan manifestasinya (Ibid, 2001 : 112).
7
2.2 Pengertian Padmasana Kata padmasana berasal dari kata padma yang berarti bunga teratai, dan asana yang berarti tempat duduk atau sikap duduk. Dalam agama Hindu dan Buddha, teratai dipakai simbol tempat duduk para dewa. Dipilihnya bunga tersebut, karena memiliki beberapa keistimewaan bila dibandingkan dengan bunga-bunga pada umumnya antara lain : Bunga teratai akar dan pangkalnya tumbuh di dalam lumpur yang busuk, batangnya berada di air dan bunganya ada di atas air. Dengan demikian bunga teratai hidup di tiga alam. Dalam agama Hindu Ida Sang Hyang Widhi disebutkan bertahta di atas tiga alam yakni bhur, bwah dan swah yang dianggap sebagai simbol tri bhuwana. Bunga teratai, walaupun hidup di air tetap tidak basah oleh air. Oleh karena itu bunga teratai dipakai sebagai lambang kesucian, bebas dari ketidakterikatan, walaupun beliau menciptakan dunia dan berada di dunia. Kesamaan ini menyebabkan bunga teratai sebagai simbol sthana Ida Sang Hyang Widhi. Meskipun kelopak bunga teratai itu lebih dari delapan kelopak, tetapi di dalam mitologi selalu dilukiskan berjumlah delapan, sebagai simbol Ida Sang Hyang Widhi yang mempunyai sakti delapan dewa yang dikenal dengan istilah Astasvarya (Cudamani, 1998 : 7). Lebih lanjut dijelaskan dalam buku Padmasana, dalam filsafat Hindu alam semesta ini seumpama Ida Sang Hayang Widhi yang dikenal dengan sebutan bhuwana agung. Sementara itu, bhuwana alit diumpamakan tubuh manusia, dimana atma sebagai penguasanya. Dengan demikian bhuwana alit adalah bentuk
8
mini dari bhuwana agung yang memiliki tatanan yang sama. Hiasan bhadawang nala yang terdapat pada bangunan padmasana merupakan dasar dari bhuwana agung maupun bhuwana alit. Bila bhuwana agung digambarkan dengan padmasana, maka manusia yang meninggal digambarkan dengan surat kajang, yang juga memakai gambar bhadawang nala dan naga. Dengan kata lain maka dapatlah dijelaskan bahwa padmasana itu merupakan gambaran dari bumi ini (Cudamani, 1998 : 17).
Pengertian Motif Hias Tradisional Bali Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan ; motif adalah sebabsebab yang menjadi dorongan; tindakan seseorang, dasar pikiran atau pendapat, sesuatu yang menjadi pokok dalam cerita, gambaran dsb. ( Poerwadarminta, 1985 : 655). Motif adalah dasar warna; latar belakang warna; dasar ragam untuk aransemen lagu; ragam; bentuk; alasan dasar (Partanto, 1994 : 486). Hias adalah; corak hiasan pada kain, hiasan bagian rumah, bangunan suci dan sebagainya (Susanto, 2002 : 75) Sedangkan tradisional adalah kebiasaan secara turuntumurun, tentang pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, tarian upacara dsb. (Ibid 1985 : 1088). Berdasarkan uraian tersebut di atas yang dimaksud dengan motif hias tradisional Bali adalah bentuk dasar atau elemen pokok penciptaan suatu hiasan atau ornamen, yang dipolakan berulang-ulang, memiliki kekhasan tertentu sehingga bisa menjadi identitas motif hias daerah tertentu pula. Motif hias atau ornamen yang terinpirasi dari unsur-unsur alam, diwujudkan kembali dengan
9
tujuan untuk menghias suatu benda, sehingga benda yang dihias tersebut mempunyai nilai tambah baik dari segi finansial ataupun spiritual. Tidak jarang suatu motif hias atau ornamen mengandung makna simbolis, filosofis, yang berhubungan dengan pandangan hidup masyarakat tertentu pada waktu tertentu pula. Ciri hakiki dari benda-benda alam yang dijadikan motif hias, masih menampakkan identitas walaupun diolah dalam usaha penonjolan nilai-nilai keindahannya. Motif hias atau ornamen sengaja dibuat untuk menghiasi bagianbagian bangunan (arsitektur), kerajinan tangan, lukisan, perhiasan dan sebagainya. Motif hias dalam hal ini dibuat dengan cara digambar, dipahat maupun dicetak untuk meningkatkan nilai suatu benda, baik bangunan (arsitektur) maupun karya seni (Ibid, 2002 : 220). Motif hias atau ornamen merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Kehadiran motif hias sebagai hasil kreasi manusia yang dapat menghasilkan suatu bentuk hiasan (ornamen). Sedangkan pola mengandung pengertian suatu hasil susunan/pengorganisasian dari motif tertentu dalam bentuk dan komposisi tertentu pula. Namun pola dalam konteks tertentu dapat berarti lain, misalnya dalam disain produk, yaitu sebagai prototipe dari suatu barang yang akan diproduksi (Sukarman dalam Suardana, 2007 : 7). Stilisasi dari bentuk-bentuk alam yang diwujudkan dalam bentuk motif hias atau ornamen bisa diterapkan pada kain seperti hiasan pada ider-ider, umbul-umbul, batik, dan hiasan parba. Hiasan pada kayu seperti ulon, saka, kori, plawah gamelan, dan peralatan rumah tangga. Sedangkan pada batu padas seperti
10
pembuatan patung-patung perwujudan, hiasan pepalihan pada rumah tinggal, dan bangunan suci. Kebiasaan membuat hiasan yang bernuansa lokal secara turuntumurun, atau sudah mentradisi tersebut, oleh masyarakat Bali kemudian dikenal dengan motif hias tradisional. Dalam pengertian tradisional bumi terbentuk dari lima unsur yang disebut Panca Mahabutha, yakni apah (zat cair), teja (sinar), bayu (angin), akhasa (udara), dan pertiwi (tanah bebatuan/zat padat). Kelima unsur tersebut melatarbelakangi bentuk-bentuk motif hias (ornamen) yang berasal dari alam. Estetika, etika dan logika merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan motif hias yang mengambil tiga kehidupan di bumi, seperti halnya manusia, binatang (fauna), dan tumbuh-tumbuhan (flora). (Gelebet, 1982 : 331). Adapun jenis-jenis motif hias tradisional Bali tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Motif Keketusan (geometris), terdiri dari : –
Kakul-kakulan
–
Batun timun
–
Ganggong
–
Emas-emasan
–
Ceracap
–
Mute-mutean
–
Tali ilut dan sebagainya.
2. Motif tumbuh-tumbuhan (pepatran), terdiri dari : –
Patra Punggel
11
–
Patra Samblung
–
Patra Sari
–
Patra Olanda
–
Patra Cina
–
Patra Wangga dan sebagainya.
3. Motif Kekarangan, terdiri dari : –
Karang Gajah
–
Karang Guak
–
Karang Tapel
–
Karang Boma
–
Karang Sae
–
Karang Bentulu
–
Karang Simbar dan sebagainya. Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen
penghias bangunan terutama tempat suci, seperti halnya padmasana, selalu mengikuti bentuk dan struktur dari bangunan tersebut, yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas.
12
BAB III METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Taylor (1975 : 5) pendekatan kualitatif menghasilkan deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Teknik analisis dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif.
3.1 Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang diperoleh dari informan sebagai data primer. Selain data primer juga digunakan data sekunder sebagai data penunjang yakni data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research).
3.2 Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa metode atau teknik dalam pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.2.1. Observasi Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti, yakni bangunan padmasana yang ada di Pura Puseh Desa Adat Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan.
13
3.2.2. Wawancara Metode ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang lengkap dari beberapa orang narasumber, yang mengerti tentang keberadaan bangunan padmasana, baik dari kalangan pemangku, pendeta, “undagi”, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan membuat catatan tentang pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan sesuai dengan tujuan penelitian.
3.2.3. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data melalui sejumlah pustaka, dalam hal ini peneliti akan menelaah beberapa literatur baik berupa buku, lontar, jurnal, majalah maupun surat kabar, yang ada signifikansinya terhadap penelitian.
3.2.4. Dokumentasi Adalah bukti-bukti tertulis atau benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan peristiwa penting. Banyak peristiwa yang terjadi di masa lampau bisa dipelajari melalui dokumen. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku, lontar, foto-foto bangunan padmasana, hasil karya seni pahat dan sebagainya.
3.3 Instrumen Penelitian Selama di lapangan data dikumpulkan dengan menggunakan pedoman wawancara yang dilengkapi dengan buku catatan, tape recorder, dan kamera fotografi. Alat-alat ini digunakan untuk mencatat dan merekam berbagai informasi yang dibutuhkan dari informan, terkait dengan keberadaan bangunan padmasana,
14
jika dikaji dari aspek struktur bentuk, dan penerapan motif hias tradisional Bali. Sementara itu, kamera fotografi digunakan untuk memotret beberapa bagian dari bangunan padmasana yang lengkap dengan motif hias tradisional Bali yang menjadi objek penelitian.
3.4 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dasar pertimbangan memilih lokasi di desa bersangkutan, karena desa tersebut memiliki potensi seni khususnya seni ukir batu padas dengan motif hias tradisional Bali, yang diterapkan pada bangunan suci (pura) dan juga rumah tinggal.
15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Batubulan termasuk wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Desa Batubulan terletak di sebelah barat daya kota Gianyar, dengan orbitasi jarak ke kota kecamatan 3 km, jarak ke kota kabupaten 17 km, dan jarak ke kota provinsi 10 km (Profil Desa Batubulan 2004 : 6). Desa Batubulan yang berlokasi di Kecamatan Sukawati, Gianyar, menjadi sentral kerajinan patung batu padas dan kerajinan ukir kayu yang sudah dikenal oleh berbagai kalangan.
4.1.1 Kondisi Geografis Desa Batubulan Desa Batubulan termasuk wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Desa Batubulan letaknya sangat strategis, dan mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Desa Batubulan, sebagai penunjang pariwisata dan sebagai tujuan kunjungan parwisata Bali bagian timur. Luas Desa Batubulan seluruhnya sekitar 644,52 ha, yang terdiri dari persawahan 301,41 ha, tegalan 9,52 ha, pemukiman penduduk 327,46 ha, dan fasilitas umum 6,13 ha. Desa Batubulan terdiri dari 15 banjar dinas antara lain : 1). Banjar Tegaltamu, 2). Banjar Tegal Jaya, 3). Banjar Pengembungan, 4). Banjar Denjalan, 5). Banjar Batur, 6). Banjar Pengambangan, 7). Banjar Telabah, 8). Banjar Pagutan Kaja, 9). Banjar Pagutan Kelod, 10). Banjar Tubuh, 11) Banjar Kalah, 12). Banjar
16
Kapal, 13). Banjar Tegeha, 14). Banjar Sasih, dan 15). Banjar Muntur. Dalam konteks Desa Pakraman, Desa Batubulan terdiri dari tiga Desa Pakraman yakni Desa Pakraman Tegaltamu, Desa Pakraman Jero Kuta, dan Desa Pakraman Delod Tukad (Profil Desa Batubulan, 2004 : 7). Secara teritorial Desa Batubulan berbatasan dengan : Sebelah utara
: Desa Singapadu
Sebelah Selatan : Pantai Biaung Sebelah Barat
: Desa Penatih
Sebelah Timur : Desa Celuk. Daratan Desa Batubulan, berbentuk landai, tidak berbukit dan terletak lebih kurang 70 meter dari permukaan laut. Curah hujan pertahun rata-rata 2000 3000 m m, dan keadaan suhu berada 30-32 oC.
Tanahnya sangat subur,
produktivitas tanaman padi, palawija, kedelai, jagung dan kangkung. Letaknya relatif dekat dengan laut sangat cocok untuk tanaman kelapa dan mangga. Letak wilayahnya sangat strategis, dan dekat dari pusat pemerintahan ibu kota provinsi, sehingga menjadi incaran banyak orang yang memiliki banyak uang untuk bermukim di wilayah tersebut. Dilihat dari pola pemukiman masyarakat Desa Batubulan memperlihatkan pola pemukiman mengelompok, serta rumah-rumah tempat tinggal penduduk yang berjejer di pinggir jalan, dan terhimpun dalam suatu pekarangan rumah. Dalam suatu pekarangan rumah terdapat berbagai bangunan yang dapat dibedakan menjadi kelompok bangunan tempat pemujaan (tempat suci), dan kelompok bangunan tempat tinggal (rumah). Selain itu muncul pula jenis bangunan berupa
17
artshop-artshop untuk memajang hasil produk kerajinan patung batu padas, ukiran kayu, dan perak, yang menjadi mata pencaharian masyarakat Desa Batubulan selain pertanian dan peternakan..
4.1.2 Mata Pencaharian Mata pencaharian merupakan sumber penghidupan dalam suatu masyarakat. Penduduk
suatu
masyarakat
akan
mengalami
suatu
tekanan
apabila
masyarakatnya hanya mengandalkan satu jenis pekerjaan (mata pencaharian). Berbekalkan pengetahuan dan keterampilan secara turun-temurun yang dimiliki masyarakat Desa Batubulan, mampu mengembangkan berbagai jenis pekerjaan antara lain : sebagai pematung batu padas, seni ukir kayu, pedagang, dan sebagainya, yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Ciri agraris juga masih tetap terlihat, karena masyarakat Desa Batubulan juga cukup banyak bekerja pada sektor pertanian. Sejalan dengan perkembangan Desa Batubulan sebagai daerah penunjang dan sekaligus sebagai daerah kunjungan wisata, maka berkembang pula jenis pekerjaan disektor lain yaitu, sebagai pematung batu padas, seni ukir kayu, dan sebagai wiraswasta. Desa Batubulan memiliki sumber daya alam yang sangat potensial bila dikembangkan dan dijadikan sumber mata pencaharian penduduk. Mata pencaharian penduduk Desa Batubulan ada di beberapa sektor antara lain : Sektor pertanian, dalam hal ini pertanian lahan basah tetap menjadi mata pencaharian sebagian penduduk desa. Areal persawahan di Desa Batubulan cukup luas, dengan menerapkan pola tanam padi, dan palawija. Pertanian lahan kering
18
terutama tegalan dan pekarangan tersedia cukup luas, ditanami berbagai jenis buah-buahan lokal seperti pisang, kelapa, mangga, dan pepaya. Sektor kerajinan ukiran kayu dan patung batu padas menjadi mata pencaharian andalan masyarakat Desa Batubulan, karena sebagian besar penduduk menekuni pekerjaan ini, dan menunjukkan perkembangan cukup signifikan karena daerah Batubulan sebagai daerah tujuan wisata. Hal ini bisa dilihat dari adanya peningkatan jumlah pemilik usaha kerajinan patung batu padas dan ukiran kayu di desa tersebut dewasa ini. Meningkatnya minat generasi muda yang berkecimpung dalam bidang kerajinan ukiran dan patung batu padas, bisa menambah pendapatan masyarakat, secara tidak langsung mengurangi jumlah pengangguran. Masyarakat Batubulan juga hidup dari sektor kesenian yakni atraksi Barong Dance yang dipertunjukkan untuk kepentingan pariwisata. Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa Desa Batubulan telah mencapai tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat melalui keadaan wilayah, kondisi lingkungan penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakatnya (Monografi Desa Batubulan, 1990 : 13).
4.1.3 Agama dan Kepercayaan Penduduk Desa Batubulan yang beragama Hindu meyakini adanya Tuhan dalam bentuk Tri Murti, yang mempunyai tiga wujud manifestasi yakni Brahma yang menciptakan, Wisnu melindungi serta memelihara, dan Siwa sebagai pelebur segala yang ada. Selain meyakini adanya kekuatan Sang Hyang Widhi, penduduk masyarakat Desa Batubulan juga percaya kepada dewa-dewa dan roh yang
19
menempati suatu tempat keramat, kepercayaan itu dibuktikan antara lain dengan menghaturkan sesaji pada hari-hari tertentu untuk memohon keselamatan. Masyarakat Desa Batubulan mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan secara turun-tumurun dalam kaitan khayangan tiga yang menjadi identitas Desa Pakraman Batubulan. Segala aktivitas keagamaan dan adat diatur oleh Desa Pakraman yang berkaitan dengan khayangan tiga sebagai tempat pemujaan dan simbol pemersatu bagi masyarakat adat dalam melaksanakan upacara pemujaan sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi. Agama Hindu mengenal adanya ajaran catur marga, yaitu empat jalan untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi, yakni bhakti marga, karma marga, jnana marga, dan raja marga. Diantara empat jalan ini bhakti marga banyak dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kepekaan perasaan berdasarkan cinta kasih, sehingga melahirkan keikhlasan untuk berkorban. Rasa cinta melahirkan seni sebagai ungkapan rasa bhakti untuk kepentingan adat dan agama. Hal ini bisa kita lihat pada tempat suci seperti pemerajan, pura, selalu diberi ukiran/pahatan, baik yang menggunakan material kayu maupun batu padas, dengan menerapkan berbagai macam bentuk motif hias (ornamen), sebagai ungkapan rasa bhakti kepada Hyang Widhi.
4.2 Sekilas Tetang Sejarah Bangunan Padmasana Di Bali bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan demikian, pada suatu tempat suci (pura) biasanya dilengkapi dengan
20
bangunan padmasana. Bangunan padmasana terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut pada sebuah pura, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Kalau kita bandingkan dengan bangunan candi-candi yang ada di Jawa, padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa. Gambar semacam ini tidak hanya kita temui pada bangunan candi yang ada di Jawa, akan tetapi juga pada candicandi yang ada di India. Sementara itu, gambar bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa sangat jarang kita temui di Bali. Di Jawa alas duduk dari perwujudan dewa berbentuk bunga padma, sedangkan di Bali alas banten perwujudan itu berbentuk “lamak”. Lamak biasanya terbuat dari perpaduan enau yaitu ron dan ambu yang menggambarkan isi dunia. Di dalam lamak tergambar bulan, bintang, mahlukmahluk, orang-orangan dan tumbuh-tumbuhan, sebagai simbol bahwa Hyang Widhi itu di sthanakan di atas bumi dengan segala isinya (Titib, 2001 : 106). Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas bumi ini kemudian menjadi dasar mengapa bentuk padmasana di Bali berubah dari wujud bunga teratai menjadi bentuk bangunan padmasana, seperti “singhasana” (berbentuk kursi), yang bisa kita lihat saat ini. Konsep bangunan padmasana yang diwarisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (pura) belum dilengkapi padmasana. Hal ini dikuatkan oleh lontar Dvijendra Tattwa disebutkan
21
bahwa pada waktu, Danghyang Nirartha tiba di Bali, beliau merasakan memasuki mulut naga, dan melihat ada bunga teratai (padma) yang sedang mekar tetapi sayang sarinya tidak ada. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah di Bali agama Hindu sudah berkembang dengan baik, akan tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur sebagai manifestasi dari Hyang Widhi. Pemujaan yang ditujukan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur inilah yang dimaksudkan sebagai bunga teratai tanpa sari. Beliau kemudian mengurangi penggunaan patung patung dewa yang dipuja, tidak seperti apa yang sudah ada sebelumnya di Bali, pelinggih meru dan gedong pada masa lalu hanya difungsikan sebagai pemujaan dewa-dewa dan roh leluhur (Cudamani, 1998 : 51). Walaupun kita melihat di dalam sebuah pura terdapat banyak adanya bentuk-bentuk patung, ternyata patung-patung tersebut adalah patung hiasan, ataupun patung dwarapahala sebagai penjaga pintu masuk. Hal ini disebabkan sejak Danghyang Nirartha ada di Bali, patung-patung perwujudan dewa itu dibuat dalam bentuk banten seperti banten perwujudan dewa-dewi, banten catur, atau yang paling sederhana berbentuk daksina atau tapakan (Ibid, 1998 : 3). Banten perwujudan ini bersifat sementara, dimana bahannya terdiri dari daun-daunan, bunga-bungaan, serta hasil bumi. Dengan demikian fungsi padmasana memiliki peranan yang cukup penting
pada setiap pura, yang
dipandang sebagai simbol bumi dengan segala isinya, dan sebagai tempat bersthananya Sang Hyang Widhi yang mampu mempersatukan berbagai lapisan yang ada di masyarakat.
22
4.3 Fungsi Dan Jenis Padmasana Fungsi utama dari bangunan padmasana, adalah sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Menurut lontar Catur Wariga Winasasari, ada bermacam-macam padmasana yang berbeda-beda fungsinya, menurut tempatnya. Padmasana yang terletak di arah airsanya yaitu timur laut adalah linggih Sanghyang Siwa Raditya, padmasana yang terletak di sebelah timur adalah linggih Sanghyang Iswara, yang berada di sebelah selatan adalah linggih Sanghyang Brahma, yang terletak di sebelah utara adalah linggih Sanghyang Wisnu, sedangkan yang di tengah-tengah berupa padmakurung memakai tiga ruangan (rong telu), dipuncaknya sebagai linggih Sanghyang Samodaya. Semua padmasana ini memakai dasar bhadawang nala yang dililit oleh naga (Cudamani, 1998 : 44). Padmasari, bangunan ini bentuknya menyerupai padmasana, akan tetapi tidak menggunakan dasar bhadawang nala yang dililit oleh naga. Padmasana merupakan linggih atau sthana permanen dari dewa-dewa tertentu sesuai dengan letaknya, dan tidak boleh dipergunakan sebagai tempat “pengayatan”. Sedangkan padmasari bisa digunakan sebagai tempat/linggih dewa, pitara, untuk sementara dalam arti tidak permanen yang memiliki bentuk yang lebih sederhana. Padma Capah, bangunan ini mirip dengan padmasari, akan tetapi bentuk dan ukurannya sangat sederhana, lebih kecil dan rendah. Adapun yang disthanakan di tempat tersebut adalah spirit (roh) yang mempunyai status lebih rendah dari pemiliknya (Ibid, 1998 : 48).
23
4.4 Tata Letak Bangunan Padmasana Untuk memuja Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, dan Dewadewa sebagai manifestasi dari Tuhan, dibangun tempat-tempat pemujaan. Tempat pemujaan adalah berupa bangunan suci, yang dibangun di tempat yang dianggap suci atau tempat-tempat yang disucikan. Dalam berbagai bentuk dan fungsi pemujaan atau tempat ibadah, di Bali disebut Pura, dengan tingkatan-tingkatan utama, madya, dan sederhana. Pura dalam berbagai bentuk dan fungsi pemujaannya terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan pura yang dibagi menjadi tiga zone. Zone utama yang disebut
jeroan,
yakni
sebagai
tempat
pelaksanaan
pemujaan
dan
persembahyangan. Zone tengah disebut jaba tengah, sebagai tempat persiapan dan pengiring upacara. Zone depan yang disebut jaba sisi, sebagai tempat peralihan dari luar ke dalam pura. Bangunan pura umumnya menghadap ke barat, jika memasuki sebuah pura akan menuju ke arah timur, demikian pula pemujaan dan persembahyangannya menghadap ke timur ke arah terbitnya matahari. Sedangkan komposisi bangunan pelinggih berjajar utara selatan di sisi timur menghadap ke barat, dan sebagian lagi ada di sisi utara menghadap ke selatan. Pada sebuah pura, padmasana, meru, gedong, kemulan merupakan bangunan pelinggih sebagai tempat pemujaan utama. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai linggih Sanghyang Siwa Raditya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok
24
pembatas (penyengker) pekarangan yang disakralkan. Pada bagian-bagian sudut terdapat paduraksa yang berfungsi sebagai penyangga sudut-sudut penyengker. Pintu masuk di depan atau di jaba pura memakai candi bentar, dan pintu masuk ke jaba tengah atau ke jeroan memakai kori agung dengan berbagai macam bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya (Gelebet, 1982 : 108).
4.4.1 Struktur Bangunan Padmasana Secara umum struktur atau bentuk bangunan Padmasana disusun vertikal yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Dilengkapi dengan berbagai bentuk motif hias yang terinspirasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam. Di Bali berbagai jenis kesenian baik seni patung, seni lukis, seni ukir/kriya, seni arsitektur, seni tari seni karawitan, dan seni suara berhubungan erat dengan agama
merupakan satu
kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Gelebet, 1982 : 25). Bentuk bangunan padmasana hampir sama dengan candi yang lengkap dengan pepalihan, akan tetapi tidak mempunyai atap. Tinggi padmasana sekitar 3 sampai 4 meter dengan dasar segi empat atau bujur sangkar, lebar sisi-sisinya sekitar 2 sampai 3 meter, bentuknya mengecil ke arah atas. Struktur bangunannya
25
terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, bagian badan atau batur, dan bagian kepala yang disebut sari. Bangunan padmasana di buat dalam bentuk ruang yang bervariasi dalam dimensi, komposisi bidang-bidang pasangan, dan tata motif hiasannya (Gelebet, 1982 : 159). Bentuk hiasan yang umumnya dipakai pada bebaturan pasangan batu bata untuk pelinggih-pelinggih pemujaan seperti halnya bangunan padmasana, yakni berupa pepalihan dengan segala macam variasi yang berpedoman pada pakempakem dasar pepalihan. Macam-macam pepalihan ada yang disebut palih bagenda, palih wayah, palih bacean, palih taman sari, bagian-bagian suatu pepalihan yang disebut cakep gula, cakep sari, pepiringan, sebitan, gemulung, ringring, bogem, bungan tuwung, dengan berbagai kombinasi dan variasi. (Gelebet, 1982 : 337).
Gambar 1. Tampak Depan Padmasana Sumber : Buku Arsitektur Tradisional Daerah Bali Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1982
26
Gambar 2. Tampak Samping Padmasana Sumber : Buku Arsitektur Tradisional Daerah Bali Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1982
Gambar 3. Pelinggih Padmasana di Pura Puseh, Desa Adat Batubulan
27
4.4.2 Penerapan Motif hias Tradisional Bali Pada Bangunan Padmasana Sudah menjadi kebiasan bagi masyarakat Hindu di Bali dalam membuat bangunan selalu diberi hiasan atau ornamen, lebih-lebih tempat pemujaan seperti halnya padmasana yang dipandang sebagai simbol bumi (bhuwana agung). Motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentukbentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Stilisasi dari bentuk-bentuk alam dalam bentuk motif hias (ornamen) yang sudah diterapkan secara turun-tumurun oleh masyarakat dikenal dengan istilah motif hias tradisional Bali. Penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana disamping mengandung nilai-nilai estetis, filosofis, juga nilai-nilai simbolis. Penerapan motif-motif hias tersebut selalu mengikuti bentuk dan struktur/pepalihan yang terdapat pada bangunan padmasana. Kalau dilihat dari struktur penerapan motif hiasannya adalah sebagai berikut : Dari bagian bawah atau bagian kaki bangunan padmasana yang disebut tepas, terdapat motif hias bhadawang nala (kura-kura) yang dililit oleh dua ekor naga yakni naga Anantabhoga dan Basuki. Kemudian di atasnya yakni pada setiap sudut terdapat motif hias karang gajah/asti, di tengah-tengah sejajar dengan motif hias Karang Gajah tersebut terdapat motif Karang Bentulu dan Karang Daun. Di atas motif Karang Gajah yang menghiasi ke empat sudut bangunan padmasana, terdapat motif hias Karang Tapel, yang pada bagian bawahnya dikombinasikan dengan motif Karang Simbar, yang juga menghiasi bagian sudut bangunan. Di atas karang Tapel terdapat motif hias Karang Guak yang juga
28
menghiasi ke empat sudut bangunan padmasana, dikombinasikan dengan Karang Simbar dan patra punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan atau motif-motif geometris seperti ganggong, ceracap dan kakul-kakulan. Pada bagian tengah atau badan bangunan padmasana yang disebut batur, yakni pada bagian belakang badan padmasana terdapat motif hias garuda membawa tirta amerta, kemudian di atasnya pada setiap sudut masing-masing terdapat motif hias Karang Guak, yang dikombinasikan dengan Karang Simbar dan patra punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan seperti emasemasan, kakul-kakulan, ceracap dan batun timun. Pada bagian belakang di atas motif hias garuda terdapat motif hias angsa yang sedang mengepas-ngepaskan sayapnya. Pada bagian atas bangunan padmasana yang disebut sari terdapat “singhasana”seperti kursi, yang pada bagian dinding samping dan belakangnya terdapat ulon. Pada ulon belakang singhasana terdapat motif Sang Hyang Acintya. Dilihat dari sikap tari Sang Hyang Acintya tersebut mengingatkan kita pada tari Sivanataraja dalam menciptakan alam semesta. Pada bagian belakang ulon terdapat motif patra punggel yang dikomposisikan menyerupai bentuk “gunungan” (kayonan). Ulon bagian samping kiri dan kanan dihiasi dengan motif hias Naga Taksaka bersayap yang dikombinasikan dengan patra punggel. Motif-motif hias seperti keketusan motif (geometris) dan pepatran, lebih banyak berfungsi sebagai elemen penghias untuk menambah keindahan dan keagungan dari bangunan padmasana itu sendiri, yang diterapkan pada bidang pepalihan, yang sudah disesuaikan. Penerapan motif-motif hias pada bangunan
29
padmasana disamping mengadung nilai-nilai estetis, filosofis, juga mengandung nilai-nilai simbolis antara lain : motif hias bhadawang nala, sebagai simbol gerak dinamis kehidupan di bumi, dijadikan dasar padmasana, wadah ataupun bade. Naga Anantabhoga adalah simbol kemurahan akan sandang, pangan dan papan yang tidak akan habis-habisnya. Naga Basuki adalah simbol kekuatan air yang menjadi sumber kehidupan mahkluk, atau sebagai lapisan yang menutupi kulit bumi ini. Garuda membawa tirta amerta adalah pelaku utama dalam cerita Samudra Manthana dalam Adiparwa yang menggambarkan pencaharian tirta amerta (air kehidupan) antara dewa dan raksasa, dengan kemenangan difihak para dewa, sebagai simbol kebebasan melalui pelepasan terhadap ikatan duniawi. Sedangkasn motif hias angsa yang sedang mengepas ngepaskan sayapnya adalah simbol kesucian dan keindahan abadi (Titib, 2001 : 108). Angsa juga disimbolkan sebagai Omkara, Brahman atau Atman, yakni sebagai simbol manusia yang ingin kembali kepada Sang Hyang Widhi, yang juga disebut amoring acintya. Sedangkan Naga Taksaka bersayap berarti udara atau atmosfir yang mengambil tempat di angkasa (Cudamani, 1998 : 41).
30
Gambar 4. Motif Hias Bhadawang Nala, Naga Anantabhoga, dan Naga Basuki yang menghiasi bangunan Padmasana di Pura Puseh Desa Adat Batubulan.
Gambar 5. Motif Hias Karang Gajah/asti kombinasidengan patra punggel
31
Gambar 6. Motif Hias Karang Guak dan Karang Simbar
Gambar 7. Motif Hias Karang Tapel kombinasi dengan patra punggel
32
Gambar 8. Motif Hias Karang Bentulu kombinasi dengan patra punggel
Gambar 9. Motif Hias Garuda
33
Gambar 10. Motif Hias Keketusan (kakul-kakulan)
Gambar 11. Motif Hias Keketusan (emas-emasan)
34
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Kesadaran berkesenian sudah sangat mengental dan mentradisi dalam kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan Tuhannya, sebagai pencipta semua yang ada. Berbagai jenis kesenian berhubungan erat dengan agama
merupakan satu kesatuan yang terjalin erat
sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali sebagai cerminan rasa bhakti kepada Sang Pencipta. Di Bali pada suatu tempat suci (Pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Konsep bangunan padmasana yang kita warisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem
35
Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (Pura) belum dilengkapi padmasana. Adapun struktur bentuk bangunan padmasana disusun vertikal yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah, dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Sedangkan motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batubatuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Adapun jenis motif hias tradisional Bali tersebut antara lain: Motif Keketusan (geometris), terdiri dari motif kakul-kakulan, batun timun, ganggong, emas-emasan, ceracap, mute-mutean dan tali ilut. Motif tumbuhtumbuhan atau pepatran, antara lain seperti patra punggel, patra samblung, patra sari, patra olanda, patra cina dan patra wangga. Motif Kekarangan, terdiri dari motif karang gajah, karang guak, karang tapel, karang boma, karang sae, karang bentulu dan karang simbar. Sedangkan motif-hias yang terinspirasi dari mahlukmahluk mitologi yang bersifat simbolis antara lain seperti : bhadawang nala, naga anatabhoga, naga taksaka, garuda, dan angsa. Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias suatu bangunan, disamping juga mengandung nilai-nilai filosofis dan simbolis.
36
5.2 Saran Diharapkan kepada masyarakat, terutama bagi kalangan arsitek, undagi, seniman, tukang ukir, dan sebagainya, dalam mewujudkan bangunan, lebih-lebih bangunan suci seperti halnya padmasana, senantiasa memperhatikan aturan atau tata cara yang sudah ada seperti tertuang dalam Asta bhumi dan Asta Kosala kosali, (arsitektur tradisional Bali). Dalam penerapan motif hias tidak semata-mata mengedepankan unsur-unsur estetis, akan tetapi juga nilai-nilai filosofis, dan simbolis
religius menurut kepercayaan agama Hindu, sehingga tidak terjadi
penyimpangan yang bisa meresahkan masyarakat. Banyak hal-hal yang bisa diungkap dalam meneliti “Bangunan Padmasana : Kajian Struktur dan Penerapan Motif Hias Tradisional Bali dari perspektif lain, baik dari segi bentuk, fungsi dan maknanya bagi masyarakat, dengan penerapan metode dan referensi yang lengkap dan relevan sesuai kebutuhan penelitian.
37
DAFTAR PUSTAKA
Cudamani, 1998. Padmasana. Surabaya : Paramita Covarrubias, Miguel. 1974. Island Of Bali. Kuala Lumpur : Oxford University Press. Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia. Darmika, I Wayan. 1987. Ragam Hias Pada Pura Sebagai Sumber Inspirasi, Tugas Akhir Program Studi Seni lukis, Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta. Ginarsa, Ketut. 1979. Gambar Lambang. CV. Sumber Mas Bali. Gelebet, I Nyoman. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Proyek Iventarisasi dan Dokumentasi Kebuadayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gustami, Sp. 1980. Nukilan Seni Ornamen Indonesia, Yogyakarta : STSRI “ASRI”. Linus, I Ketut. 1985. “Beberapa Patung Dalam Agama Hindu” : Sebuah Pendekatan Dari Segi Arkeologi. Ngidep Wiyasa, I Nyoman. 1991. Pengembangan Motif Hias Kekarangan Dalam Penciptaan Perhiasan dan Hiasan Dinding. Tugas Akhir Program Studi Kriya Logam, Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta. Poerwadarminta, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Redig I Wayan, 1997. Ciri-ciri Ikonografi Beberapa Arca Hindu di Bali (Studi Banding Dahulu dan Sekarang). Dinamika Kebudayaan Bali, Denpasar : Upada Sastra. Sudara, I Gusti Nyoman. 1983. Kumpulan Pola Hias Bali. Denpasar : Sekolah Menengah Seni Rupa. Suardana, I Wayan. 2007. Buku Ajar Ornamen II (Nusantara dan Internasional), Fakultas Seni Rupa Dan Desain, ISI Denpasar. Susila Patra, I Made. 1985. Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal Adati Bali. PN. Balai Pustaka.
38
Sika, Wayan. t./th. Kumpulan Ragam Hias Bali. Pembinaan SMK., Direktorat PMK. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soepratino, 1983. Ornamen Ukir Kayu Tradisional Jawa. Semarang : PT. Effhar. Soegeng Toekio, Tt. Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung : Penerbit Angkasa. Titib, I Made. 2001. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita Urs Ramseyer, 1977. The Art and Culture Of Bali. New York : University Press. Yuda Triguna, Ida Bagus Gde. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma
39
LAMPIRAN
40
Curriculum Vitae Ketua Peneliti 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Tempat/Tanggal lahir Pangkat/Golongan Jabatan NIP
Ir. Mercu Mahadi Denpasar, 21 Pebruari 1962 Penata/IIIc/Lektor Dosen 132089902
6. 7. 8.
Kesatuan/Jabatan/Dinas Alamat Kantor Alamat Rumah
FSRD ISI Denpasar Jl. Nusa Indah Denpasar Jl. Raya Sesetan Gang Naga Sari No 8 Denpasar
Riwayat Pendidikan NO.
PENDIDIKAN
1. 2.
Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama
3.
Sekolah Menengah Atas Perguruan Tinggi Tingkat Sarjana
4.
TAHUN IJAZAH 1974 1977
1981 1992
TEMPAT
NOMOR IJAZAH
SDN 3 Sesetan SMP K. Widhyapura Sesetan SMPP Sidakarya Denpasar Univ. Dwijendra Denpasar
XIV.A.a/5711 XIV.B.b.13518
0001213 07/FT/A/1992
Pengalaman Penelitian NO. 1. 2. 3.
TAHUN 1998 1999 2000
JUDUL PENELITIAN Kori Dalam Arsitektur Tradisional Bali Perkembangan Kayu sebagai Bahan Bangunan Tradisional Bali Jineng Pada Rumah Bali
Denpasar, 3 Maret 2008
Ir. Mercu Mahadi NIP 132089902
41
Curriculum Vitae Anggota Peneliti 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Tempat/Tanggal lahir Pangkat/Golongan Jabatan NIP Kesatuan/Jabatan/Dinas Alamat Kantor Alamat Rumah
Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si. Keliki 30 Desember 1965 Penata/IIId/Lektor Dosen 132006572 FSRD ISI Denpasar Jl. Nusa Indah Denpasar Jalan Merak No. 22 Singapadu, Sukawati, Gianyar.
Riwayat Pendidikan NO. 1. 2. 3. 4. 5.
PENDIDIKAN Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Seni Rupa Perguruan Tinggi Tingkat Sarjana Perguruan Tinggi Tingkat Magister
TAHUN 1973-1979 1979-1982 1982-1986 1986-1991 2003-2006
TEMPAT SDN 1 Keliki SMPN 1 Tegallalang SMSR N Denpasar ISI Yogyakarta Program Pascasarjana UNUD
SPESIALISASI Umum Umum Seni Lukis Tradisional Bali Seni Kriya Logam Kajian Budaya
Pengalaman Penelitian NO. 1. 2. 3. 4. 5.
TAHUN 1993 1993 1994 1995 2004
6. 7.
2006 2006
8.
2007
JUDUL PENELITIAN Proses Kreasi Pematung I Made Ada Unsur-unsur Primitif Karya Patung I Ketut Nongos Kerajinan Logam Di Banjar Pande Kabupaten Bangli Kreativitas Seni Pematung I Ketut Tulak Keberadaan Dan Perkembangan Seni Rupa Bali di Era Globalisasi Proses Kreatif I Wayan Winten Dalam Membuat Patung Beton Upaya Pelestarian Seni Lukis Klasik Wayang Kamasan : Perspektif Kajian Budaya Perkembangan seni Patung Beton Di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Denpasar, 2 Maret 2008
Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si NIP. 132006572
42