LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN HIBAH DISERTASI DOKTOR
JUDUL: MAKNA SIMBOLIK MOTIF HIAS ALAS-ALASAN DALAM RITUAL TINGALAN JUMENENGAN DAN PERKAWINAN DI KERATON SURAKARTA
Peneliti: Drs. Guntur, M.Hum
DILAKSANAKAN ATAS BIAYA: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Hibah Disertasi Doktor Nomor: 481/SP2H/PP/DP2M/VI/2010, tanggal 11 Juni 2010
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS GADJAH MADA NOVEMBER 2010
RINGKASAN Motif Hias Alas-alasan adalah motif yang menggambarkan fenomena hutan (Jawa: alas) dan/atau gunung. Alas dan gunung merupakan situs sentral bagi orang Jawa. Keduanya dipahami lebih dari sekadar realitas fisik, tetapi sakral, spiritual, magis, dan mitis. Alas, secara historis berkaitan dengan cikal bakal suatu negara atau kerajaan di Jawa. Sementara gunung secara kosmologis menjadi pilar kosmik bagi sebuah kerajaan. Penggambaran alas dan atau gunung pada dodot Motif Hias Alas-alasan tampak melalui berbagai jenis elemen binatang dan pohon. Elemen berbentuk binatang yang digambarkan meliputi: unggas (bangau, merak, burung hantu, ayam), reptil (ular/naga, buaya), mamalia (gajah, banteng/kerbau, harimau, badak, anjing, kambing, babi hutan, kelinci, tupai, landak, kelelawar), kura-kura, udang, ikan, kepiting, serangga (lipan, semut, lebah, lalat, kupu-kupu, belalang, angga-angga). Sementara bentuk pohon yang digambarkan hanya satu jenis. Elemen binatang dan pohon digambarkan secara sederhana dan cenderung primitif. Figur berbentuk gurdha dengan dua kepala yang saling berhadapan dengan sayap mengepak digambarkan secara agak stilistik. Elemen lain yang digambarkan adalah figur berbentuk kawung. Sebuah motif yang dianggap sakral, setara kesakralannya dengan pusaka lain. Sakralitas Motif Hias Alas-alasan berakar pada konsepsi supranatural dan mitis tentang alas dan gunung. Alas dan gunung merupakan situs sentral dan fundamental, yang melaluinya kepercayaan dan pandangan orang Jawa dimapankan. Bersama dengan Laut Selatan, alas (Krendhawahana), dan gunung (Merapi dan Lawu) menjadi pilar kosmik Keraton Surakarta. Pandangan supranatrual terhadap alas dan gunung menjadi energi penggerak dan pengukuh eksistensi kreasi simbolik dan estetik batik Keraton Surakarta. Motif yang secara historis dan kultural selalu digunakan sebagai busana tari Bedhaya Ketawang dalam ritual penobatan raja (jumenengan) dan ulang tahun penobatan raja (tingalan jumenengan) di lingkungan Keraton Surakarta. Itulah sebabnya tari tersebut dikategorikan sebagai tari upacara. Selain digunakan sebagai busana raja, keluarga raja, dan penari Bedhaya Ketawang, motif yang menghiasi dodot gadhung melathi dan dodot bangun tulak itu juga digunakan sebagai busana pengantin di lingkungan Keraton Surakarta. Kedudukan dan fungsi fundamental demikian meniscayakan suatu makna yang sangat penting dalam kehidupan. Motif Hias Alas-alasan sebagai tanda, maka maknanya berelasi dengan objeknya. Elemen yang digambarkan bersifat selektif sesuai dengan pemahaman masyarakat pengguna tanda. Melalui elemen-elemen itu pandangan orang Jawa tentang alas dan gunung digambarkan. Dalam konteks jumenengan dan atau tingalan jumenengan, motif tersebut sebagai representasi kebesaran, kekuasaan, dan kemegahan raja. Motif tersebut juga sebagai representasi kehidupan dan kesuburan. Konsepsi demikian ditandakan melalui elemen hias yang ada. Motif hias Alas-alasan juga merupakan representasi perlindungan. Dalam konteks perkawinan, Motif Hias Alas-alasan merupakan representasi dari “raja”, gumelaring jagad, harapan, perlindungan, dan kesuburan.
PENGANTAR Puji dan syukur terpanjat kepada Allah SWT atas karunia, rahmat, dan hidayah. Karena hanya melalui kuasa-Nya semata penulis dapat merampungkan hasil penelitian disertasi ini. Terselesaikannya penelitian ini juga tidak dapat dilepaskan dari dukungan dari beberapa pihak baik secara institusi maupun pribadi, moral maupun material atau finansial. Kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, penulis pantas mengucapkan terimakasih atas dukungan dana yang diulurkan melalui program Hibah Penelitian Disertasi Doktor. Kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Gadjah Mada, berikut jajaran yang mengelola dan memfasilitasi program tersebut juga diucapkan terimakasih. Kepada Direktur Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, yang merekomendasi usulan penelitian ini juga diucapkan terimakasih. Rekomendasi yang diberikan promotor, Prof. Dr. R.M. Sodarsono, kepada peneliti juga diucapkan terimakasih. Kepada para narasumber yang telah memberikan informasi penting untuk penelitian ini juga diucapkan terimakasih. Semoga berbagai bantuan yang telah diberikan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT dan menjadi amal yang baik semata. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi khalayak umat. Amin Surakarta, 29 Nopember 2010 Peneliti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
.....................................................................
i
…………………………………….......
ii
......................................................................
iii
PRAKATA
..................................................................................
iv
DAFTAR ISI
...................................................................................
v
………………………………………….....
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
…………………...........................
9
BAB III METODE PENELITIAN
……….......................................
15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................
21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ……………………………..........……………......
74
LAMPIRAN .....................................................................................
80
HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN
BAB I PENDAHULUAN
FOTO .................................................................................. LAPORAN EXECUTIVE SUMMARY ................................. DRAFT POSTER ILMIAH DATA PERSONALIA
.................................................
........................................................
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Motif Hias Alas-alasan adalah motif yang menggambarkan fenomena hutan (Jawa: alas) dan/atau gunung. Alas dan gunung merupakan situs sentral bagi orang Jawa. Keduanya dipahami lebih dari sekadar realitas fisik, tetapi sakral, spiritual, magis, dan mitis. Alas, secara historis berkaitan dengan cikal bakal suatu negara atau kerajaan di Jawa. Sementara gunung secara kosmologis menjadi pilar kosmik bagi sebuah kerajaan. Penggambaran alas dan atau gunung pada dodot Motif Hias Alas-alasan tampak melalui berbagai jenis elemen binatang dan pohon. Elemen berbentuk binatang yang digambarkan meliputi: unggas (bangau, merak, burung hantu, ayam), reptil (ular/naga, buaya), mamalia (gajah, banteng/kerbau, harimau, badak, anjing, kambing, babi hutan, kelinci, tupai, landak, kelelawar), kura-kura, udang, ikan, kepiting, serangga (lipan, semut, lebah, lalat, kupu-kupu, belalang, angga-angga). Sementara bentuk pohon yang digambarkan hanya satu jenis. Elemen binatang dan pohon digambarkan secara sederhana dan cenderung primitif. Figur berbentuk gurdha dengan dua kepala yang saling berhadapan dengan sayap mengepak digambarkan secara agak stilistik. Elemen lain yang digambarkan adalah figur berbentuk kawung. Sebuah motif yang dianggap sakral, setara kesakralannya dengan pusaka lain. Sakralitas Motif Hias Alas-alasan berakar pada konsepsi supranatural dan mitis tentang alas dan gunung. Alas dan gunung merupakan situs sentral dan fundamental, yang
melaluinya kepercayaan dan pandangan orang Jawa dimapankan. Bersama dengan Laut Selatan, alas (Krendhawahana), dan gunung (Merapi dan Lawu) menjadi pilar kosmik Keraton Surakarta. Pandangan supranatrual terhadap alas dan gunung menjadi energi penggerak dan pengukuh eksistensi kreasi simbolik dan estetik batik Keraton Surakarta. Terlindung dalam pagar otoritas raja, Motif Hias Alas-alasan terhindar dari perubahan sepanjang masa. Motif yang hanya dapat dipakai oleh raja, keluarga raja, pengantin, dan penari Bedhaya Ketawang di lingkungan Keraton Surakarta. Sebuah monopoli
yang
terlarang
bagi
rakyat
biasa,
kecuali
raja
dan
keluarganya.
Peruntukannya yang khusus demikian menjadikannya sebagai salah satu benda pusaka di antara benda upacara atau regalia lainnya. Motif yang secara historis dan kultural selalu digunakan sebagai busana tari Bedhaya Ketawang dalam ritual penobatan raja (jumenengan) dan ulang tahun penobatan raja (tingalan jumenengan) di lingkungan Keraton Surakarta. Itulah sebabnya tari tersebut dikategorikan sebagai tari upacara. Tari yang diyakini diciptakan oleh ratu makhluk halus, Kanjeng Ratu Kidul, dan selalu hadir serta terlibat dalam melatih seraya menarikannya, tidak hanya menjadi dasar kesakralan tari Bedhaya Ketawang, tetapi juga motif hias yang melekat pada busana tari tersebut. Tari yang juga mengandung nilai-nilai religi, sehingga diklasifikasikan sebagai tari religi. Tari yang diyakini sebagai ekspresi cinta mendalam penguasa Laut Selatan, Kangjeng Ratu Kidul atau Kanjeng Ratu Kencana Sari, kepada Sultan Agung, sehingga termasuk dalam tari percintaan. Selain digunakan sebagai busana raja, keluarga raja, dan penari Bedhaya Ketawang, motif yang menghiasi dodot gadhung melathi dan dodot bangun tulak itu
juga digunakan sebagai busana pengantin di lingkungan Keraton Surakarta. Suatu tradisi yang berkembang sejak menjelang paro kedua abad XVIII bersamaan dengan perpindahan keraton dari Kartasura menuju Surakarta. Arak-arakan tahun 1745 ke Surakarta itulah yang memungkinkan seorang pengantin ditoleransi kemiripan busana dan dandannya dengan raja, demikian sebaliknya dandanan dan busana raja yang menyerupai pengantin. Berakar pada mitos yang lebih awal tentang busana pengantin yang dikenakan oleh Kanjeng Ratu Kidul/Kanjeng Ratu Kencana Sari, maka pemakaian busana Dodot Gadhung Melathi Alas-alasan dalam upacara panggih dan Dodot Bangun Tulak Alas-alasan pada upacara sepasaran, motif tersebut dikukuhkan fungsinya menjadi tradisi khas Keraton Surakarta. Kedudukan dan fungsi fundamental demikian meniscayakan suatu makna yang sangat penting dalam kehidupan. Motif Hias Alas-alasan sebagai tanda, maka maknanya berelasi dengan objeknya. Elemen yang digambarkan bersifat selektif sesuai dengan pemahaman masyarakat pengguna tanda. Melalui elemen-elemen itu pandangan orang Jawa tentang alas dan gunung digambarkan. Dalam konteks jumenengan dan atau tingalan jumenengan, motif tersebut sebagai representasi kebesaran, kekuasaan, dan kemegahan raja. Motif tersebut juga sebagai representasi kehidupan dan kesuburan. Konsepsi demikian ditandakan melalui elemen hias yang ada. Motif hias Alas-alasan juga merupakan representasi perlindungan. Dalam konteks perkawinan, Motif Hias Alas-alasan merupakan representasi dari “raja”, gumelaring jagad, harapan, perlindungan, dan kesuburan. Motif Hias Alas-alasan adalah ekspresi estetis dan simbolik. Keduanya dilandasi oleh konsepsi penting alas dan/atau gunung. nya yang dilandasi oleh keyakinan mitis,
kesadaran historis, dalam upaya meraih harmoni tata relasi antar manusia, lingkungan, dan Tuhan. Basis kreasi estetik yang esensial dan fundamental itulah yang terajut pada motif tersebut, sehingga menjadikannya sarat pesan dan makna dalam kehidupan yang lebih baik. B. Saran Praktik kreasi simbolik dan estetik seniman Jawa masa lampau tidak sematamata memperturutkan kepentingan pribadi. Tertata dalam suatu pola, terbentuk melalui warna, tergores dalam garis tertentu, dan teraplikasi pada dodot, Motif Hias Alas-alasan menjadi tanda dan simbol hasrat kolektif direpresentasikan. Terajut dalam relasinya dengan mitos, histori, dan sosio-kultural, motif tersebut menyampaikan pesan-pesan maknwai tentang hidup dan kehidupan. Keharmonisan hidup di antara manusia, dengan alam, dan dengan tuhan menjadi landasan berperilaku, bersikap, dan bertindak. Konsepsi sentral dan fundamental tentang alas dan gunung menempatkan manusia dalam relasi harmonisnya secara horizontal dan vertikal. Konsepsi yang mengarahkan orang Jawa mencapai kearifan tata hubung di antara sesamanya, dengan lingkungan fisik, dan lingkaran ilahiah. Terproteksi dalam pagar mitis, sakral, supranatural, dan magi, alas dan gunung menempati ranking kesadaran tinggi. Keretakan relasi sosial dihindari dan ketamakan ekologis dicegah karena sakralitas dan mitologi yang menjadi sandaran. Penelitian yang dilakukan ini dalam lingkup yang sangat spesifik. Bukan hanya menyangkut objek dan lingkup kajian, yakni salah satu motif batik tradisional Jawa yang berada di Keraton Surakarta. Meski demikian, keraton sebagai sentrum budaya dan seni, pancaran keadiluhungannya dapat merembes ke lapisan di luarnya. Tetapi hal ini
masih perlu dibuktikan melalui kajian yang lebih luas dalam topik yang senafas. Harapan yang dikandung adalah memperoleh gambaran utuh tentang konsepsi orang Jawa terhadap realitas alas dan gunung dalam kreasi artistik di kalangan masyarakat luas. Kajian demikian merupakan sarana yang dapat diusulkan tidak hanya peneliti sendiri tetapi juga pihak lain yang berminat. Genre ekspresi artistik dan estetik akan dapat dilahirkan melalui kajian dengan lingkup yang lebih luas. Pada gilirannya akan diperoleh suatu pemahaman yang lebih komprehensif. Implikasi pemahaman itu akan merembes pada kesadaran publik tentang pentingnya alas dan gunung bagi kelangsungan hidup manusia. Sedini mungkin pemahaman itu dimiliki, secepat itu pula alas dan gunung terjaga eksistensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict R. O'G., “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1972). Atmojo, M. M. Sukarto K., “Arti dan Fungsi Pohon Hayat dalam Masyarakat Jawa Kuno”, Makalah Diskusi di Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan “Panunggalan” Lembaga Javanologi, 4 April 1986. Babcock, Barbara A. “Artifact”, dalam Richard Bauman, Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments (New York, Oxford: Oxford University Press, 1992), 204-206. Beck , Brenda E. F., “Colour and Heat in South Indian Ritual”, Man, Vol. 4, No. 4 (December, 1969). Bertling, C., “Notes on Myth and Ritual in Southeast Asia”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 114, No: 1/2, 1958.
Brakel, Clara, ”Sandhang-pangan for the Goddess Offerings to Sang Hyang Bathari Durga and Nyai Lara Kidul”, Asian Folklore Studies, Vol. 56, 1997. Bronwen, Garret & Solyom, “Notes and Observation on Textile”, dalam Joseph Fischer (ed.), Threads of Tradition (California: University of California Press, 1979). Buchler, Justus. Philosophical Writings of Peirce (New York: Dover Publicaitons, Inc., 1955)1 Buckland, A. W., “Mythological Birds Ethnologically Considered”, The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol. 4, 1875. Cannadine and Simon Price (eds.), Rituals of Royalty: Power and Ceremonial in Traditional Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1987). Cobley, Paul (ed.), The Routledge Companion to Semiotics and Linguistics (London and New York: Routledge, 2001) Coomaraswamy, Ananda K., “Ornament”, dalam The Art Bulletin, Vol. 21, No. 4 (December, 1939).
Culler, Jonathan, Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature (London: Routledge & Kegan Paul, 1975) Daniel Chandler, Semiotics for Beginners, http://www.adbosch.demon.nl/starbuck.htm Danesi, Marcel, Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication, 3rd Edition, Volume 1, (Toronto: University of Toronto Canadian Scholars’ Press Inc, 2004)
Dike, P. Chike, “Regalia, Divinity, and State in Igala”, African Arts, Vol. 20, No. 3, May,
1987. Djajadiningrat, Hoesein, G. W. J. Drewes, J. Kats, S. Koperg, M. Soeriadiradja, “De Wijzigingen der Gebruiken en Gewoonten aan het Solosche Hof”, Djawa, Tahun ke 11, No. 64, 65, 66, 68, 69, 70, 71, 74, dan 79, 1931.
Dowson, J., A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion, Geography, History and Literature (London: Routledge and Kegan Paul, Ltd., 1957). Eco, Umberto, A Theory of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1979) Eliade, M., The Sacred and the Profane (New York: Harcourt, Brance & World Inc, 1959). Elliott, Inger McCabe, Batik Fabled Cloth of Java (Singapore: First Periplus Edition, 2004). Fischer, Joseph, The Folk Art of Java (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1994).
Florida, Nancy K., “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu Kidul”, Indonesia, Vol. 53 (April, 1992) Geertz, Clifford. “Art as a Cultural System”, MLN, Vol. 91, No. 6, Comparative Literature (December, 1976), 1498. Geertz, Clifford, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973) Gennep, Arnold van, The Rites of Passage (Chicago: The University of Chicago Press, 1960).
Gesick, Lorraine, Pusat, Simbol dan Hirarki Kekuasaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989). Grayson, Kent, “The Icons of Consumer Research: Using Signs to Represent Consumers' Reality”, dalam Barbara B. Stern (Ed.) Representing Consumers: Voices, Views and Visions (London: Routledge, 1998) Hadiwidjojo, K. G. P. H., Bedhaya Ketawang (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1978). Hardjowirogo, Sejarah Wayang Purwa (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Hartshorne, Charles, Paul Weiss & Arthur W. Burks (ed.), Charles Sanders Peirce: Collected Writings (8 Volumes) (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931-58), Vol: 2 Haryono, Timbul, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni (Surakarta: ISI Press, 2008).
Hawkes, Terrence, Structuralism and Semiotics (University of California Press, 1977) Heine-Geldern, Robert, Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Terj.: Deliar Noer, Jakarta: Bhratara, 1982.
Hitchcock, Michael, Indonesian Textiles (Periplus Editions (HK). LTd, 1991). Honggopuro, Kalinggo. Bathik sebagai Busana dalam Tatanan dan Tuntunan (Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat, 2002) Hoop, A.N.J. th. a. th. van der, Indonesische Siermotieven (Bandoeng: Koninklijk Bataviassch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1949) Hooykaas, J., “Upon a White Stone Under a Nagasari-tree”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde, Vol. 113, No: 4, (1957). Hope, James, Peirce on Signs (Chapel Hill NC: The University of North Carolina Press, 1991) Innis, Robert E. ed., Semiotics: An Introductory Anthology (Bloomington: Indiana University Press, 1985) Jordan, Roy E., “The Mystery of Nyai Lara Kidul, Goddes of the Southern Ocean”, Archipel, 28 (1984). Kartoatmodjo, Martinus Maria Sukarto, Arti Air Penghidupan dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983). Kerlogue, Fiona, Arts of Southeast Asia (London: Thames and Hudson Inc., 2004). Laksono, P. M., Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan Alih-ubah Model Berpikir Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).
Leeds-Hurmitz, Wendy, Wedding as Text: Communicating Cultural Identities Through Ritual, (Mahwah, New Jersey, London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, 2002). Mabbett, I. W., “Devarāja”, Journal of Southeast Asian History, Vol. 10, No. 2 (September, 1969). Mabbett, I. W., “The symbolism of Mount Meru”, History of Religions 23, 1983, 64-83. Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Silam: Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI-XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985) Miksic, John, Karaton Surakarta (Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004) MacKenzie, Donald A., “Colour Symbolism”, dalam Folklore, Vol. 33, No. 2 (June 30, 1922). Misak, Cheryl. Cambridge Companions Pierce (Cambridge: Cambridge University Press, 2006) Monger, George P., Marriage Customs of the World: from Henna to Honeymoons Barbara et al.: ABC-CLIO, Inc., 2004).
(Santa
Nair, P. Thankappan, “The Peacock Cult in Asia”, Asian Folklore Studies, Vol. 33, No. 2, 1974.
Nörth, Winfreid. Handbook of Semiotics (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1990) Partahadingrat, “Makna Warna ing Alam Kejawen”, dalam Djaka Lodang, No. 878, 15 Juli 1989.
Pigeaud, Th. G., “De Noorder Aloen-Aloen Te Yogyakarta”, dalam Jawa, No. 3, (Mei 1940). Poedjosoedarmo, Soepomo and M. C. Ricklefs, “The Establishment of Surakarta, a Translation from the "Babad Gianti”, Indonesia (Southeast Asia Program Publications at Cornell University, Vol. 4, October, 1967). Pemberton, John, Subject on Java, Terj.: Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Mata Bangsa bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, 2003) Raffles, Thomas Stamford, The History of Java, Terj.: Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008). Rickleffs, M.C., The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Paku Buwana II (Honolulu: Asian Studies of Australia in association with Allen & Unwin and University of Hawai’i Press, 1998) _______., War, Culture and Economy in Java 1677-1726: Asian and European Imperilaism in the Early Kartasura Period (Sydney: Asian Studies Association of Australia in assosiation with Allen & Unwin, 1993). _______., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008)
Rossen, Susan F. (ed.), The Art of Indonesian Textiles: The E. M. Bakwin Collection at the Art Institute of Chcago (New Haven and London: The Art Institue of Chicago/Yale University Press, 2007). Sajid, R. M., Babad Sala (Solo: Rekso Pustoko, 1984) Santoso, Soewito, “Makara”, dalam Soewito Santoso (ed.), Urip-urip Museum Radya Pustaka, 1990).
(Surakarta: Penerbit
Sebeok, Thomas A., A Sign is Just a Sign (Bloomington: Indiana University Press, 1991) Sen, Asis, Animal Motifs in Ancient Indian Art (Kalkuta: Firma K.L Mukhopadhyay, 1972) Short, T. L. Peirce’s Theory of Signs (Cambridge: Cambridge University Press, 2007) Soedarsono, R. M., Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002).
Soedibyo, B. R. A. Mooryati, Busana Keraton Surakarta Hadiningrat (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003) Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta; Penerbit Taman Siswa, 1989).
Sumaryoto, Woro Aryandini, “Textiles in Javanese Texts”, Paper for the Symposium of Textile from Indonesia and Related Areas, Basel, Switzerland, August 25-31, 1991. Tirtaamidjaja, Nusjirwan, "A Bedaja Ketawang Dance Performance at the Court of Surakarta, Indonesia, No. 3, April 1967. Tirtohamidjaja, Mitos Ratu Kidul dalam Perspektif Budaya (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002). Wessing, Robert, “A Princess from Sunda Some Aspects of Nyai Roro Kidul” Asian Folklore Studies, Volume 56, 1997. Wirabhumi, K. P., Mas Behi: Angger-angger dan Perubahan Zaman (Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004)
Wessing, R., “Sri and Sedana and Sita and Rama: Myths of Fertility and Generation”, Asian Folklore Studies, Volume 49, 1990. ________., “Symbolic Animals in the Land between the Waters: Markers of Place and Transition”, Asian Folklore Studies, Volume 65, 2006. ________., “Spirits of the Earth and Spirits of the Water: Chthonic Forces in the Mountains of West Java”, Asian Folklore Studies, Volume 47, 1988.
________., “Symbolic Animals in the Land between the Waters: Markers of Place and Transition”, Asian Folklore Studies, Volume 65, 2006. ________., “A Tiger in the Heart: the Javanese Rampok Macan”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 148, No: 2 (1992). Wirabumi, K. P. Edy, Hanya Satu: Catatan Tahun Pertama di Atas Tahta (Surakarta: Yayasan Pamiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2005).
Wittkower, Rudolf, “Eagle and Serpent: A Study in the Migration of Symbols”, Journal of the Warburg Institute, Vol. 2, No. 4 (April, 1939). Wright, Astri, “Javanese Mysticism and Art: A Case of Iconography and Healing”, dalam Indonesia, Vol. 52 (October, 1991). Zimmer, Heinrich, Artistic Form and Yoga in the Sacred Images of India (New Jersey: Princeton University Press, 1984)
Zimmermann, V., “De kraton van Soerakarta in het jaar 1915”. dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 58, 1919), 305-336. Zoest, Aart van. Semiotiek, Overteken, hoe ze werken en wat we ermee doen, Terj.: Ani Soekawati (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)
Wawancara dengan K. R. T. Kalinggo Honggopuro tanggal 19 Agustus 2010 di Laweyan, Surakarta. Wawancara dengan K. R. T. Winarno Kusumo tanggal 23 Desember 2010 di Keraton Surakarta. Wanwancara dengan K. R. T. Kalinggo tanggal 18 September 2010 di Surakarta. Wawancara dengan G. K. R. Kus Murtiyah tanggal 24 Desember 2010 di Keraton Surakarta.
Lampiran Laporan Eksekutif Summary
MAKNA SIMBOLIK MOTIF HIAS ALAS-ALASAN DALAM RITUAL TINGALAN JUMENENGAN DAN PERKAWINAN DI KERATON SURAKARTA Oleh Drs. Guntur, M.Hum I. PERMASALAHAN DAN TUJUAN PENELITIAN Motif hias alas-alasan merupakan salah satu motif hias batik tradisional Jawa yang khas dan penting (Hitchcock and Nuryanti, 2000: xxii). Kekhasan motif ini terletak pada aspek bentuknya di satu sisi dan aspek fungsinya di sisi lain. Pada aspek bentuk, elemen motif digambarkan secara spontan dan sederhana melalui garis tunggal dengan warna keemasan. Elemen berbentuk binatang, tumbuhan, gurdha, dan kawung mengisi permukaan
kain
berwarna
latar
biru
dan
hijau.
Karakteristik
itulah
yang
membedakannya dengan motif hias alas-alasan dari Pura Mangkunegaran, Keraton Yogyakarta, dan wilayah budaya lainnya. Kedudukan dan fungsi yang dimainkan dalam ritual tingalan, tingalan jumenengan, dan perkawinan merupakan ciri khas lain dari motif ini. Menurut Jasper motif hias alas-alasan adalah salah satu di antara jenis motif batik yang dikenakan oleh raja. Motif ini juga digunakan sebagai busana tari Bedhaya Ketawang dalam ritual tingalan jumenengan di Keraton Surakarta. Busana tari Bedhaya Ketawang berbentuk Dodot Ageng Bango Tulak dengan motif Alas-alasan. Jasper juga menjelaskan bahwa jenis pakaian yang sama dapat dikenakan oleh penari Srimpi atau sebagai busana pengantin Jawa yakni pada saat upacara temu (panggih). Menunjuk pada kedudukan dan peran penting itu, maka motif hias alas-alasan di lingkungan Keraton Surakarta dikategorikan sebagai benda pusaka atau benda sakral. Perlakuan semacam itu menurut Mary Douglas karena sakralitas merupakan tatanan, kesatuan dan integritas, dan juga keniscayaan terhadap aspek tabu. Hal tersebut ditujukan untuk menjaga tatanan sosial, individu, dan masyarakat kolektif. Sistem budaya simbolik ditata melalui pengaturan objek-objek, substansi, tempat atau waktu
dan menekankan status kognitifnya melalui norma tabu dan aturan. Motif hias, sebagaimana istilahnya, berfungsi untuk memperindah suatu objek atau keunggulan suatu produk. Pada sisi lain, motif hias yang merepresentasikan objek tertentu juga dimaksudkan untuk mengingatkan pada gagasan-gagasan tertentu dan oleh karenanya merupakan simbol. Dalam tautan semacam itu, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh jawaban tentang bagaimana motif hias alas-alasan dikonsepsikan, gagasan apa yang mendasari kreasi simbolik, bagaimana aspek visual, dan apa makna yang hendak disampaikan. Pada masa lalu keraton dikonsepsikan sebagai pusat politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi seiring dengan perubahan dan perkembangan tata pemerintahan modern peran dan kedudukan semacam itu tidak lagi melekat padanya. Keraton saat ini dikonsepsikan dan diperankan sebagai pusat seni dan budaya. Dalam kapasitas semacam itu keraton menjadi pilar utama, meski tidak satu-satunnya, dalam menjaga kelestarian kesenian dan kebudayaan masa lampau. Implikasi daripadanya adalah bahwa keraton harus mampu menghidupi dirinya sendiri, termasuk menjaga dan melestarikan potensi seni dan budaya yang dimilikinya. Kedudukan dan peran sebagai penjaga dan pelestari seni dan budaya, keraton harus berhadapan dengan kelangkaan sumber daya manusia karena keterbatasan kemampuan finansialnya. Betapapun keraton adalah pusat seni dan budaya. Hal ini berarti keraton menjadi kiblat atau rujukan bagi tumbuh-kembangan seni dan budaya yang berada di luarnya. Batik Keraton Surakarta adalah salah satu di antara potensi yang patut memperoleh perhatian. Penelitian ini berupaya untuk mengungkap eksistensi motif hias alas-alasan batik Keraton Surakarta. Eksistensi motif tersebut tentu saja bersinggungan dengan berbagai dimensi, seperti aspek gagasan yang melatar-belakanginya, aspek historis keberadaannya, aspek sosio-kulturalnya, dan aspek makna simboliknya. Pengungkapan aspek makna simbolik yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini tentu saja tidak dapat menegasikan aspek-aspek yang mengitarinya. Oleh karenanya kaitan di antara aspek-aspek tersebut perlu mendapat porsi kajian yang memadai. Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mempercepat proses penyelesaian penulisan disertas,. Oleh karena hasil penelitian ini menjadi bagian dari
topik pembahasan Bab VI dalam disertasi peneliti. Kajian demikian diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya Keraton Surakarta sebagai pilar penopang kelestarian seni dan budaya. Informasi yang dihasilkan dari kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber tertulis di antara sumber lain di lingkungan keraton. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang seni dan budaya, khususnya seni hias yang ada di Keraton Surakarta.
Dalam
konteks
penciptaan
seni,
penelitian
ini
diharapkan
dapat
dimanfaatkan sebagai sumber tentang bagaimana proses kreasi simbolik seniman Jawa masa lampau. Hasil kajian ini juga dapat bermanfaat sebagai sumber belajar di lingkungan pendidikan pada umumnya dan pendidikan seni pada khususnya. II.
INOVASI IPTEKS
a. Kontribusi terhadap pembaharuan dan pengembangan ipteks Dalam perspektif ilmu pengetahuan, pengungkapan aspek simbolis motif akan memiliki arti penting dalam memahami budaya Jawa pada umumnya dan budaya Keraton Surakarta pada khususnya. Melalui perspektif itu pula dapat diketahui kompleksitas penciptaan seni, yang tidak hanya mempersoalkan dimensi estetik dan artsitik, tetapi juga dimensi filosofis. Pemahaman komprehensip terhadap karya seni akan mencakup bagaimana gagasan kreatif berasal, bagaimana manifestasinya, serta apa makna yang hendak disampaikannya. Dari perspektif teknologi, dapat diketahui bahwa praktik kreasi simbolik dan artistik melibatkan seperangkat penguasaan teknologi. Penggunaan material berupa kain, malam cair (wax), warna, dan teknologi canthing adalah pencapaian puncak prestasi estetik dan artistik seniman Jawa masa lampu. Gagasan, imajinasi, pikiran, dan ekspektasi tentang hidup dan kehidupan memperoleh format visual melalui sofistikasi teknik, bahan, dan warna memperkuat kandungan filosofisnya. Dari perspektif seni, motif hias alas-alasan adalah ekspresi keindahan. Terinspirasi dari keagungan alam, alas dan gunung, menjelma dalam tatanan artistik dan estetik. Elemen bentuk terekspresikan melalui garis tunggal nan tegas, sederhana, dan spontan. Aksentuasi cecekan atau arsiran mengisi permukaan masing-masing motif. Setiap elemen motif ditata secara horisontal, membujur dari sisi kiri ke kanan. Di sela lajur horisontal itu terisi oleh lajur lain berupa elemen berbentuk pohon dan merak
berpasangan. Organisasi demikian diulang-ulang mengisi permukaan kain dari sisi tengah ke sisi pinggir kain. Di ujung kain terdapat empat elemen motif berbentuk gurdha. Dan di sepanjang sisinya dihiasi oleh elemen berbentuk kawung. b. Perluasan cakupan penelitian Penelitian ini masih berlingkup terbatas. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lanjut tentang topik yang sama dengan lingkup yang lebih luas. Motif dari sub-kultur lain seperti, Mangkunegaran, Yogyakarta, Cirebon, Lasem, dan daerah lain dapat menjadi sumber kajian yang lebih komprehensip.
III.
KONTRIBUSI TERHADAP PEMBANGUNAN Dalam kasanah batik Indonesia, kajian tentang makna motif hias alas-alasan
dapat dimanfaatkan sebagai media apresiasi seni di satu pihak dan membangun kesadaran serta menumbuhkan kearifan dalam memperlakukan lingkungan alam, khususnya hutan dan gunung. Suatu impian yang kini menjadi niscaya tatkala kerusakan hutan dan gunung mencapai tataran kritis. Kreasi dan apresiasi seni adalah wahana dan media pencerah batin umat manusia.
IV.
MANFAAT BAGI INSTITUSI Bagi institusi pendidikan, penelitian ini bermanfaat sebagai sumber referensi
bagia mahasiswa dan dosen bidang seni kriya. Bagi Keraton Surakarta, penelitian ini menjadi salah satu sumber referensi yang dapat diakses oleh masyarakat luas.