Lanskap Ekspresi Leksikal berasosiasi Emosi
Hokky Situngkir [
[email protected]] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute
Abstract Expressions about emotional states in Bahasa Indonesia are discussed. However, the technique used is by transformation of words into graph based on synonymous entry in Indonesian official general lexicon, the Kamus Besar Bahasa Indonesia. The distance matrix is produced from the network to construct the hierarchical structure-clustering tree of the words. The yielded visualizations are compared with those from survey-based research and see some link and conformity while in some other cases, some more details are emerged. The coordinate system with positive-negative valence and arousal axes are made and see how the words of emotions are placed within. The paper is concluded with some detail information extracted from the visualizations and some conjectures for further works on emotional expressions in corpus. Keywords: social psychology, emotions, Bahasa Indonesia, semantics, mapping
1
Oh, I'm not English, I cannot talk on behalf of an English person. I'm French. I can say about French. They are quite emotional, though, and they talk about their emotions. Sophie Marceau
1. Emosi: antara yang konstruksi sosial dan evolusi biologis Ekspresi emosional merupakan aspek dalam kehidupan manusia yang sangat kompleks. Ia terbentuk sebagai hasil dari proses adaptasi dalam evolusi (dalam seleksi alam dan seksual) [3, 5, 10, 11, 19] namun juga terkait sebagai hasil dari konstruksi sosial terkait budaya di mana individu hidup [1, 2 ]. Kajian emosi manusia merupakan sebuah kajian yang menarik mengingat emosi merupakan satu aspek lain dari manusia dalam keseharian perilakunya di samping rasionalitas. Yang terakhir merupakan kajian yang telah sangat maju dan menjadi rujukan bangunan teori sosial dan ekonomi sebagaimana yang kita kenal saat ini tatkala berbicara tentang individu manusia. Perdebatan emosi sebagai hasil dari evolusi Darwinian atau merupakan bentuk konstruksi sosial budaya merupakan perdebatan yang ramai [8], namun terlepas dari perdebatan tersebut, kita mengetahui bahwa terdapat unsur-unsur budaya dalam padu padan kompleks dengan fisiologi manusia hasil evolusi jutaan tahun [5]. Dalam catatan Darwin sendiri mulai ditunjukkan konjektur ikhwal universalitas ekspresi emosi ini pada hewan dan manusia [6]. Emosi terkait dengan perasaan hati [26] dan bisa muncul atas adanya stimulus yang dipersepsi oleh individu dan muncul sebagai proses yang otonom dan fungsi-fungsi motorik tubuh sebagaimana dipandang dalam studi psikologi klasik [25]. Namun emosi juga bisa muncul sebagai bentuk evaluasi atas apa yang baik dan buruk bagi individu [31]. DI sisi lain, emosi bisa pula dipandang sebagai bentuk keadaan mental sebagai hasil dari proses dan kapasitas kognitif dari individu [17, 21]. Yang terakhir memberikan penekanan bahwa emosionalitas lahir dari bagaimana kapasitas kognitif memandang dunia, dan bukan sama sekali terkait dengan dunia yang sebenarnya. Yang jelas, kajian emosi tak akan bisa dilepaskan dari proses evolusi manusia, baik secara biologis maupun secara kultural. Ada aspek fisiologis dalam studi emosi namun aspek-aspek konstruksi sosial pada dasarnya tidak pula bisa diabaikan dalam proses keseluruhannya. Sebagai produk dari evolusi Darwinian, emosi dijelaskan dengan menggunakan kajian-kajian terkait psikologi evolusioner [5, 10, 19] mulai dari emosi-emosi yang dikenal sebagai emosi dasar: seperti rasa marah (anger), rasa takut (fear), rasa senang (joy), rasa sedih (sad), rasa terkejut (surprised), dan rasa muak (disgust). Disebut sebagai emosi dasar dengan memperhatikan kajian ekspresi emosi [8] dengan melihat kesamaan ekspresi emosi fisiologis orang-orang terisolasi di New Guinea dan orang-orang yang sudah mengenal budaya dan modernitas barat. Emosi dalam perspektif dilihat sebagai ikhwal yang psikologis dan biologis. Itu pula sebabnya seringkali ekspresi fisiologis emosi, misalnya ekspresi mikro, sering digunakan untuk mendeteksi kebohongan yang lebih baik daripada piranti deteksi kebohongan konvensional berbasis poligraf [8]. Emosi sulit disembunyikan melalui fisiologi, namun peran kultur dan budaya juga mengkonstruksi bagaimana satu hal di-persepsi sehingga menimbulkna respon emosional tertentu dan terakhir bagaimana emosi tersebut akan diekspresikan. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bagaimana ekspresi emosi memiliki korelasi positif dengan kultur [16]. Emosi merupakan sebuah kategori psikologi yang sangat berderau (fuzzy), tak ada definisi “klasik” yang jelas berdasarkan kondisi-kondisi yang cukup [22]. Kategori-kategori ini dinyatakan hanya dalam level konseptual, di mana satu bagian utuh bisa merupakan bagian utuh lain meski bisa pula independen satu sama lain. Mungkin karena ini pula [20] menggambarkan emosi sebagai bentuk tiga dimensional seperti yang ditunjukkan bagannya seperti dalam gambar 1, bagaimana emosi dapat 2
dikategorisasi sesuai dengan intensitasnya untuk emosi-emosi yang dianggap fundamental. Apa yang ditunjukkan pada gambar tersebut pada dasarnya merupakan hasil penelitian terkait emosi dasar yang disusun oleh mereka yang bahasa dasarnya adalah bahasa Inggris, namun kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Harus diakui, bahwa ketika kita memperhatikan adanya aspek konstruksi sosial dalam proses munculnya emosi, karena bahasa merupakan posisi proses dasar yang melahirkan fakta-fakta di mana emosi dapat “dipelajari” oleh individu. Uraian dari makalah singkat ini akan berfokus pada hal-hal tersebut.
Gambar 1 Model circumplex emosi manusia menurut [19]
Ekspresi emosi merupakan hal yang innate dalam fisiologi manusia namun bagaimana satu stimulus lingkungan dapat mempengaruhi emosi dan bagaimana emosi tersebut kemudia diekspresikan merupakan hal yang terkait dengan konstruksi sosial. Ekspresi senang orang dari suku Dayak akan berbeda dengan mereka yang dari suku Jawa, demikian pula ekspresi senang, sedih, dan sebagainya. Hal serupa juga terjadi untuk apa-apa yang menjadi stimulus atas ekspresi emosi. Apa yang lucu dan membuat marah, misalnya, cenderung tak selalu sama dan bergantung pada kultur dan aspek sosial masyarakat yang “dipelajari” dalam konstruksi kognitif. Emosi, perasaan hati, sentiment dilahirkan melalui proses stimulasi dari dan dengan apa yang ada di luar individu yang memberikan ekspresi-ekspresi unik yang ditelaah atas tubuh individu. Lini-waktu di mana emosi dilahirkna dapat ditunjukkan secara sederhana pada gambar 2. Memahami apa yang 3
menjadi stimulus memperhatikan apa dan bagaimana konstruksi sosial budaya melahirkan apa yang dapat menjadi pemicu emosi. Di sisi lain, ketika pemrosesan kognitif telah dilakukan oleh tubuh, ekspresi pun kemudian dikeluarkan – yang proses ekspresi ini pun membutuhkan apa-apa yang dipelajari oleh kapasitas kognitif manusia dari lingkungannya.
ekspresi
t (waktu) ekspresi berupa kata, perilaku, dan lain-lain.
ekspresi mikro pemrosesan stimulus persepsi
Faktor konstruksi sosial
Faktor biologis & psikologis
Gambar 2 Emosi sebagai paduan aspek biologis, psikologis, dan konstruksi sosial.
Bagaimana interaksi antara stimulus sosio kultural yang terjadi dengan proses biologis merupakan dua hal yang mencurahkan aspek yang kita kenal sebagai emosi. Di sisi lain, hal-hal terkait budaya merupakan susunan kompleks dari meme, sebagai unit informasi terkecil dari budaya [27, 32]. Apaapa yang secara visual, audio, dan semua hal yang dapat dipersepsi tersusun menjadi obyek budaya dan merupakan pemicu dan pada akhirnya memberikan pengaruh pada ekspresi dari emosi. Dalam makalah ini, kita memfokuskan diri pada kata yang mewakili konsepsi tentang emosi tertentu. Satu hal yang menarik di sini adalah bahwa masih sedikit sekali penelitian komprehensif dan formal tentang “emosi”. Beberapa penelitian yang telah mencoba memetakan emosi dalam ekspresi Bahasa Indonesia menemukan bahwa ada banyak perbedaan makna dan rasa dari kata yang mewakili emosi tertentu dalam bahasa lain [12, 26]. Efek dari rasa “sedih” bisa jadi berbeda ketika berkaitan dengan ekspresi perilaku. Secara antropologis, sebagaimana dicatat dalam [12], mereka yang berasal dari etnis Minangkabau cenderung tidak dianjurkan untuk membagi rasa sedih terkait kesulitan-kesulitan hidup bahkan dengan rekan terdekatnya, hal yang mungkin agak berbeda dengan mereka yang hidup dalam kultur Amerika Serikat, misalnya. Hal-hal ini menjadi menarik ketika kita hendak berupaya untuk men-sinkronisasi antara ekspresi emosi terkait ungkapan leksikal dengan bagaimana hal ini di-ekspresikan, apalagi dengan temuantemuan universalitas ekspresi emosional sebagaimana dikonfirmasi dalam banyak penelitian psikologi evolusioner [6, 8]. Hal inilah yang menjadi fokus kajian dengan proposal metodologi yang agak berbeda – namun tentu saja terbuka secara komparatif – dengan pendekatan-pendekatan konvensional yang mencari relasi antara ekspresi emosi dengan komponen leksikal sosial budaya.
4
2. Metodologi Sebuah referensi yang mungkin paling fundamental dalam penyelidikan terkait bahasa di Indonesia adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) [9]. Kamus ini merupakan leksikon dari entri kata-kata yang ada dalam bahasa Indonesia secara komprehensif. Pada tiap entri kata dan konsep, pengertian diberikan dengan memberikan sinonim atau kemiripan arti kata lain dengan kata tersebut dalam bahasa Indonesia seluasnya. Melalui penelaahan terhadap kata-kata yang berkaitan dengan emosi dasar – yang berasosiasi dengan emosi universal sebagaimana yang dikenal dan diterima paling luas: marah, sedih, senang, takut, kaget, dan muak. Emosi-emosi ini dikenal sebagai “emosi dasar” yang memiliki keseragaman dalam ekspresi fisiologis untuk semua ras manusia, tak terkait dengan aspek kulturalnya [8].
Gambar 3 Jejaring keterhubungan keenam emosi dasar. Verteks berwarna merah merupakan representasi emosi yang memiliki ekspresi mendasar.
Misalnya kita memulai dari kata “marah”, maka kita lihat kata-kata apa saja yang memiliki kedekatan arti dengan kata tersebut, kemudian masing-masing kata tersebut kita cari lagi memiliki kedekatan dengan kata-kata apa saja, demikian seterusnya. Jika kita memodelkan tiap kata atau konsep sebagai satu verteks ( v ) dalam graf G (v , e ) dan setiap kata yang memiliki kedekatan arti tersebut kita modelkan sebagai tepi (edge) yang menghubungkan masing-masing kata atau konsep ( e = 1 ), maka kita mengkonstruksi full-graph G yang melingkupi semua ekspresi leksikal yang kita hipotesiskan merepresentasikan emosi-emosi dasar. Jika kita gambarkan keterhubungan yang ada, maka diperoleh gambar 3. Pada gambar tersebut ditunjukkan keterhubungan antara konsep-konsep dengan jangkar kata-kata yang ber-asosiasi dengan ekspresi emosi yang terkategori fundamental. Verteks yang berwarna merah menunjukkan 5
emosi dasar, yang berwarna hitam terkadang disebut sebagai emosi sekunder, dan yang yang diberi warna hijau adalah kata dan konsep yang jauh asosiasinya dari emosi secara umum, namun disertakan dalam graf G (v , e ) demi tunjukkan full-graph yang kita ingin gunakan dalam penelaahan berikutnya.
Gambar 4 Jarak multidimensional dalam visualisasi analisis pengelompokan hirarkis dari beberapa konsep/kata berasosiasi emosi.
Pemetaan makna leksikal biasanya tidak menggunakan kamus sebagai basis dan sumber data [15]. Biasanya pendekatan untuk observasi asosiasi konsep leksikal dengan emosi adalah dengan menggunakan survey pada sekelompok responden. Responden biasanya diminta untuk memberikan penilaian subyektifnya atas sebuah kata yang hendak diuji asosiasinya dengan perasaan dan nuansa hati yang terkait dengannya. Hal ini telah dilakukan pula untuk bahasa Indonesia [12] dengan responden yang juga mengaitkannya pada aksentuasi yang bersifat etnik: Jawa dan Minangkabau. 6
Pendekatan serupa ini menghasilkan graf seperti pada gambar 3, yang kemudian dikaji lebih jauh secara semantik. Bedanya dengan apa yang dipresentasikan dalam makalah ini adalah bahwa graf yang dihasilkan memiliki “pulau-pulau” representasi emosi. Karena memang, responden yang jumlahnya terbatas dan karaktertisitik bahwa satu emosi secara linguistik mungkin sangat berbeda sehingga tidak ada graf yang menghubungkannya. Kerja lain dilakukan di [26], namun dengan lagilagi memiliki keterbatasan jumlah responden yang disertakan, mengorbankan risiko afinitas antara representasi kata dalam bahasa Indonesia dengan latar belakang etnisitas responden yang bersangkutan. Dari graf G (v , e ) kita dapat menghitung jarak terpendek antara satu konsep dengan konsep lain dengan menggunakan algoritma Dijktra [4]. Graf G (v , e ) direpresentasikan sebagai matriks keterhubungan berukuran N ´ N yang elemen-elemennya adalah keterhubungan antara satu verteks dengan semua verteks ( N ) lain di dalam graf secara global, eij Î E . Dari persepektif ini, kita dapat mengukur secara hipotesis antara jarak antara verteks a dan b ( d ab ) dengan keterhubungan lain, misalnya x dan y ( d xy ). Jarak terpendek antara emosi “tersinggung” dengan emosi “marah” misalnya bisa ditunjukkan sebagai
d tersinggung-marah = etersinggung-hina + ehina-maki + emaki-marah = 3
dan
dengan cara yang sama d jengkel-marah = e jengkel-maki + emaki-narah = 2 sehingga kita mendapati bahwa jarak antara konsep “marah” lebih dekat dengan “jengkel” daripada dengan tersinggung ( d tersinggung-marah > d jengkel-marah ). Secara formal, mungkin dapat kita tulis bahwa,
d ij = min dijkstra {eij }
(1)
dan mengingat bahwa graf G (v , e ) adalah graf tak berarah yang seragam pembobotan keterhubungan langsungnya,
d ij = d ji
(2)
atas elemen matriks d ij Î D ini, maka melalui jarak antar konsep, kita dapat menerapkan analisis pengelompokan hirarkis dengan jarak bentangan terpendek yang kemudian diimplementasikan sebagai struktur hirarkis [13, 29, 30] pengelompokan emosi dalam representasi leksikalnya sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4. Penggambaran seperti yang ditunjukkan dalam gambar tersebut memberikan visualisasi yang lebih jelas dari representasi pohon emosi sebelumnya. Hal ini dapat kita komparasi langsung dengan presentasi pada [26] yang melakukan pola analitik yang tak jauh berbeda dengan pengambilan data melalui survey yang dilakukan kepada pengguna Bahasa Indonesia. Yang menarik adalah kita menemukan struktur dan pemetaan emosi dalam kata-kata Bahasa Indonesia dalam kelompok-kelompoknya (clusters). Pada gambar 4 terlihat dengan jelas bahwa terdapat pengelompokan kata-kata yang memiliki dua carang utama. Carang pertama diisi dengan kata-kata dan konsep yang dekat secara leksikal dengan emosi “kaget” – sebuah emosi unik yang juga merupakan emosi dasar dalam pendekatan psikologi evolusioner. Di carang yang lain, kita secara berturutan memperhatikan pengelompokan kata-kata berasosiasi rasa “takut”, “marah”, dan “muak”. Di daun yang lain barulah kita menemukan cluster kata berasosiasi rasa “senang” dan “sedih”. Pengelompokan-pengelompokan ini sedikit banyak akan menjadi hal yang menarik untuk kita kaji lebih jauh dengan beberapa proposal yang berkenaan dengan bagaimana kita melihat emosi secara formal.
7
3. Memodelkan Emosi Pemahaman kita akan emosi telah sangat maju berkat berbagai penyelidikan progresif dari domain ilmu pengetahuan neurosains [14] yang mentautkan secara langsung aspek psikologis manusia dalam perspektif biologi-evolusioner secara umum [33]. Pemahaman tentang dinamika fisis prefrontal cortex, dan dinamika pada amygdala dan hippocampus, masing-masing dikaitkan dengan memori asosiatif dan deklaratif (semantik) telah memberikan beberapa postulat yang berkenaan dengan aspek psikologi sosial dari emosi [15]. Model ini berusaha untuk memetakan emosionalitas dalam lanskap circumplex terkait kontinum positif-negatif dari emosi dan level aktivasi dari emosi yang bersangkutan (arousal). Penelitian yang menyambungkan berbagai aspek neuro-sains ke psikologi sosial masih sedang dan terus berkembang dengan intensitas yang makin tinggi. Dalam hal ini, kita akan menggunakan pendekatan yang lebih mendekati aspek psikologi sosial dari emosi.
Gambar 5 Leksikon ekspresi emosi Bahasa Indonesia dalam lanskap ekspresi emosi
Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1, dari sekian emosi dasar yang diusulkan di [20], terdapat level aktivasi dari emosi yang ada [24], dan secara umum sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian besar dari penelitian emosi, secara umum emosi dapat dipetakan pada level valensi perasaan positif atau negatifnya. Hal ini pada dasarnya dikonfirmasi pula dalam bentuk yang lebih rumit dengan refleksi berbagai temuan neurosains sebagaimana ditunjukkan di atas [15]. Keterkaitan antara aspek emosi ini dapat dikaitkan dengan psikologi sosial terkait representasi ekspresi fisiologis dari wajah tatkala mengalami emosi yang tergolong primer/dasar [24]. Hal inilah yang kita coba sinkronkan dengan apa yang telah juga temui pada bagian sebelumnya dari makalah ini. Perlu dicatat bahwa formalisme yang diajukan dalam makalah ini memiliki perbedaan dengan formalisme emosi yang 8
telah kerap digunakan dalam berbagai kajian kecerdasan buatan [18, 28], karena tujuan presentasi ini adalah pemetaan lanskap emosional terkait ke-derau-an (fuzziness) dari ekspresi emosi pada kata leksikal. Namun tentu tidak menutup peluang hasil kerja yang dipresentasikan di sini dikaitkan lebih jauh dengan model-model inferensi formal akan emosi tersebut. Jika kita menyatakan valensi emosional sebagai a dan b sebagai level aktivasi dari emosi, maka kita dapat memodelkan sebuah emosi tertentu dalam bentuk koordinat v (a , b ) pada lanskap ekspresi emosi. Dalam pendekatan ini, kita akan memiliki empat kuadran koordinat cartessian di mana di dalamnya dapat ditempatkan ekspresi emosional yang ada, baik itu ekspresi wajah, perilaku, maupun kata-kata yang memiliki afinitas dengan emosi. Yang jelas tentu tidak ada meter standar yang bisa digunakan sebagai satuan dari besaran yang ditunjukkan oleh valensi maupun level aktivasi emosional ini. Kita bisa mereka bahwa pada kuadran satu, ketika valensinya adalah menyenangkan dan level aktivasi tinggi akan ditempati oleh ekspresi-ekspresi emosional terkait rasa gembira. Di kuadran dua, ketika level aktivasi tinggi dan valensinya tidak menyenangkan, maka akan diisi oleh ekspresi-ekspresi yang bersifat rasa ketegangan (stress). Di kuadran ketiga,ketika level aktivasi rendah dengan valensi yang tidak menyenangkan, emosi terkait depresi. Di kuadran empat, ketika level aktivasi rendah dengan valensi yang menyenangkan, ekspresi emosi terkait rasa tenang ditempatkan. Untuk menebarkan verteks-verteks jejaring yang direpresentasikan pada gambar 3 dan 4 pada koordinat ekspresi emosi ini, dari matriks D , kita memilih empat emosi yang kira-kira menunjukkan kondisi maksimum dari {a min , a max } dan juga {b min , b max } . Dari sini kita dapat menghitung posisi koordinat tiap konsep yang ditunjukkan pada gambar 3 dan 4 sebagai,
æ d i ,a min a i = §a max - a min ¨ç ç d i ,a + d i ,a max è min
ö ÷÷ ø
(3)
demikian pula dengna sumbu vertikal,
é d i , bmin bi = ( b max - b min ) ê êë di ,b min + d i , bmax
ù ú úû
(4)
di mana untuk kasus pemodelan kita di sini,
§a max - a min ¨ = d sedih-senang
(5)
dan
§ b max - bmin ¨ = d jemu -tercengang
(6)
Dari sini, kalkulasi yang dilakukan menunjukkan penggambaran yang menarik atas apa yang telah dianalisis dengan menggunakan pemodelan pohon emosi leksikal dan struktur hirarkis emosi, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 5. Apa yang direpresentasikan pada visualisasi tersebut pada dasarnya dapat dikomparasi dengan berbagai pendekatan terkait survey dan pemetaan emosi dan cultural/antropologis yang telah dikerjakan lebih dulu untuk berbagai sampel populasi sosiogeografis [23]. Pola yang jelas menarik adalah bagaimana relasi antar kemiripan arti kata secara 9
leksikal menunjukkan bahwa ekspresi kata “marah”, “takut”. “jijik” dan beberapa kata lain berada pada kuadran keempat, suatu hal yang kontras dengan hasil observasi dan pemodelan ekspresi konvensional yang biasa dikenal [5, 24]. Hal ini tentu menarik untuk dikaji lebih jauh, karena demikianlah apa yang termaktub dalam leksikon Bahasa Indonesia yang menjadi rujukan tentang makna kata dalam bahasa ini. Perbedaan yang ditemukan dengan komparasi di kawasan berpopulasi sosio-geografis lain tenu bisa berbeda, dan demikianlah yang ingin ditunjukkan sebagaimana didiskusikan di bagian awal uraian ini. 4. Keterbatasan, Kerja Lebih Jauh, dan Diskusi Presentasi ini memberikan beberapa gambaran yang menarik tentang bagaimana leksikon formal yang digunakan luas ternyata menyimpan pemetaan emosional yang dapat di-eksplorasi lebih jauh. Jika pada visualisasi gambar 4 kita dapat melihat bagaimana struktur hirarkis emosi maka pada gambar berikutnya kita melihat ekspresi emosi kata pada lanskap yang tidak memiliki kategorisasi yang ajeg. Beberapa butir menarik dari pemetaan struktur hirarkis kata, kita menemukan bahwa ada konfirmasi dari ekspresi emosi dasar berasosiasi “tercengang” atau “kaget” yang terpisah relatif agak jauh dari kelompok kata yang lain. Jika emosi ini memiliki intensitas level aktivasi emosional yang tinggi (gambar 2), dengan netralitas valensi (rasa hati positif dan negating) yang juga tinggi, maka hal ini sudah tercermin pada struktur hirarkis sebagaimana kita peroleh dari observasi kata dan konsep dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Rasa hati untuk “kemarahan”, “ketakutan”, dan “muak” memiliki kelompok sendiri secara hierarkis, sementara konsep-konsep ber-asosiasi valensi paling positif (rasa senang) dan paling negatif (rasa sedih) membentuk polaritas pada cluster yang berbeda. Hal menarik terkait valensi emosional ini juga tercermin pada pemetaan di koordinat valensi-aktivasi ( (a , b ) . Terlihat jelas bahwa pola aktivasi tinggi tidak ditemukan dalam makna leksikal dari ekspresi emosi di sepanjang sumbu valensi emosional. Apakah hal ini terkait dengan ekspresionisme emosional yang memang inheren dalam bias Bahasa Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu diperlukan beberapa langkah observasi riset lanjutan. Sebuah hal menarik yang secara komparatif cocok dengan temuan survey yang dilaporkan sebelumnya [12] adalah konsep emosi dan rasa hati “cinta”. Dalam bahasa Inggris, konsep “cinta” direpresentasikan sebagai “love” dan riset emosional terkait konsep ini, dekat dengan struktur hirarkis ekspresi emosional ber-valensi positif. Hal ini tidak ditemukan dalam Bahasa Indonesia. Pada gambar 4, ditunjukkan kata-kata ber-asosiasi “cinta” dan “sayang” berada dalam struktur hirarkis terkait kata ber-valensi negatif, seperti “susah” dan “risau”. Satu-satunya asosiasi emosi “cinta” yang erat dengan kata bervalensi positif adalah kata “kasih” yang terpisahdari dua padan kata serupa lainnya itu. Konsep kata “kasih” berkelompok dengan kata “setuju”, “simpati”, “gemar”. Jika kita asosiasikan ketiga konsep tersebut sebagai bentuk valensi positif yang memiliki level aktivasi sedang, maka kata “kasih” lebih cenderung berkelompok dengan kata-kata dengan aktivasi yang lebih tinggi daripada dua kata lainnya untuk rasa “cinta”. Menarik mengkonfirmasi temuan survey yang terbatas (memperhatikan bias etnisitas Jawa dan MInangkabau) dengan yang ter-refleksi melalui kamus Bahasa Indonesia. Tren penelitian yang ingin dibawa oleh presentasi ini merupakan tren untuk menyelami lebih jauh observasi leksikal via leksikon yang diterima paling umum dan dianggap paling bisa merepresentasikan sebuah bahasa tertentu. Beberapa kelemahan yang mungkin terjadi pada proses penelitian ini adalah bahwa leksikon biasanya cenderung bersikap “netral” terhadap pengertian yang ingin disampaikannya pada tiap konsep. Jadi, sangat mungkin, apa yang dipresentasikan pada pemetaan yang dilakukan di sini berpotensi tidak akurat dalam “rasa hati” atas konsep dari kata yang 10
dipetakan. Namun di sisi lain, ceteris paribus atas hal tersebut, pemetaan yang dilakukan di sini dapat menjadi bentuk komplementer dari pendekatan-pendekatan pemetaan emosi yang dilakukan pada berbagai penelitian rintisan yang dilakukan serupa ini. Observasi dari pengambilan data melalui survey atas emosi memiliki risiko-risiko terkait: ü jumlah sampel yang digunakan dalam pemetaan ü bias yang mungkin terjadi jika tidak memperhatikan dengan seksama latar belakang responden, karena penelitian terkait emosi sangat rapuh terjebak dalam bias latar belakang kognitif dan kultural. ü Kalaupun responden yang dilibatkan dalam penelitian besar jumlahnya, harus pula diperhatikan bias waktu. Bahasa berkembang, terkait dengan layanan komunikasi yang sangat memungkinkan terjadinya benturan bahasa setiap waktu. Sebagaimana diketahui secara umum, informasi kultural yang terpropagasi tidak pernah statis, melainkan senantiasa dinamis, bahkan evolusioner. Asimilasi bahasa merupakan hal lumrah yang menyebabkan hasil pemetaan observasional berbasis survey hari ini dengan cepat berubah dan goyah validitasnya seiring berjalannya waktu dalam semesta populasi. Memperhatikan hal-hal tersebut, beberapa penelitian lanjut dapat digariskan di sini. Perluasan semesta leksikon yang digunakan dapat dilakukan sehingga beberapa konsep dan kata yang tak meng-ekspresikan emosi juga dapat dilihat pola keterkaitannya dalam lanskap emosional yang dibangun pada sistem koordinat emosi (a , b ) . Hal ini tentu akan memiliki banyak nilai guna dalam memandang proses dinamik tekstual pada korpus mana kata tersebut digunakan. Lebih lanjut, meski beberapa kelemahan observasional dengan menggunakan survey memiliki kelemahan-kelemahan sebagaimana didiskusikan di atas, tentu pendekatan komparatif terhadap metodologi konvensional psikologi sosial terkait emosional dapat dilakukan lebih jauh. Hal ini tentu demi pemahaman yang lebih mendalam tentang ekspresi emosional pada teks dan diksi. 5. Catatan Simpulan Emosi atau rasa hati merupakan kapasitas kognitif yang sering dikontraskan dengan rasionalitas, kapasitas logis, dan sebagainya. Emosi memiliki domain yang seringkali komplementer dengan cara pikir (reason). Namun di sisi lain, emosi sendiri merupakan per-istilah-an yang kompleks. Sebagian dari dirinya merupakan rasa hati yang tertatah dalam sistem kognitif manusia modern, sementara sebagian lain merupakan ikhwal cultural terkait konstruksivisme sosial. Presentasi kita memfokuskan diri pada aspek sosial dari psikologi emosi dengan studi kasus kata-kata dalam leksikon yang mengekspresikan rasa hati. Dengan memperhatikan kemajuan di lintas bidang ilmu pengetahuan terkait emosi, seperti psikologi evolusioner, sosiologi dan psikologi sosial, neuro-sains, dan bermuara pada penelaahan linguistik, kita menunjukkan beberapa konjektur menarik seputar emosionalitas dalam teks. Dalam presentasi ini, kita tidak melakukan survey yang bertanya pada sampel populasi terkati ekspresi emosi melalui kata-kata, melainkan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang merupakan referensi pengertian atas konsep dan kata dalam Bahasa Indonesia. Konstruksi jejaring konsep yang ditransformasikan ke dalam bentuk visualisasi struktur hirarkis kata dikomparasi dengan berbagai penelitian terdahulu yang berbasis survey. Hasilnya adalah beberapa kecocokan meski beberapa ke-detail-an yang berbeda berhasil diungkap. Matriks jarak yang ada diperluas ke dalam pemetaan pada lanskap koordinat ekspresi emosi bersumbu valensi dan level aktivasi emosi. Beberapa hal menarik pun digariskan termasuk beberapa kelemahan dan keunggulan dari metodologi yang dipresentasikan.
11
Perluasan penelitian berbasis analisis terhadap leksikon ini merupakan langkah awal menuju pemetaan lebih jauh dari rasa hati yang ter-ekspresikan melalui kata. Menarik ketika beberapa konformitas atas ekspresi fisiologis ternyata ditemukan. Penelitian ini mendorong eksplorasi analitik psikologi sosial emosi terkait keberagaman kultural pada level teks dan korpus. Pengakuan Penulis berterima kasih pada rekan-rekan di Bandung Fe Institute atas dorongan dan bantuan pada penulisan makalah ini. Semua kesalahan merupakan tanggung jawab penulis. Kerja yang Disebut [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] [24] [25] [26]
Averill, J. R. (1980). A constructivist view of emotion. Dalam R. Plutchik & H. Kellerman (eds.), “Emotion: Theory, research and experience”: Vol. I. Theories of emotion. Academic Press. pp. 305-339 Barbalet, J. M. (2004). Emotion, Social Theory, and Social Structure: A Macrosociological Approach. Cambridge UP. Buss, D. M., Larsen, R. J., Westen, D., & Semmelroth, J. (1992). "Sex differences in jealousy: Evolution, physiology, and psychology". Psychological Science 3: 251-255. Cormen, T. H., Leiserson, C. E., Rivest, R. L., & Stein, C. (2001). Introduction to Algorithms 2nd Edition. MIT Press & McGraw-Hill. Damasio, A. R. (1999) The feeling of what happens: Body and emotion in the making of consciousness. Harcourt Brace Darwin, C. (1872). The Expression of the Emotions in Man and Animals. John Murray. Departemen Pendidikan Nasional RI. (2010). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Online: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ Ekman, P. (1992). "An argument for Basic Emotions". Cognition and Emotion 6: 169-200. Prinz, J. (2004). “Which Emotions are Basic?”. Dalam Evans, D. & Cruse, P. (eds.). Emotion, Evolution, and Rationality. Oxford UP. Frank, R. (1988). Passions within reason: The strategic role of the emotions. Norton. Goleman, D. (2006). Social Intelligence: The New Science of Human Relationships. Arrow. Heider, K. (1991). Landscapes of emotion: Mapping three cultures of emotion in Indonesia. Cambridge UP. Khanafiah, D. & Situngkir, H. (2006). "Innovation as Evolutionary Process". BFI Working Paper Series WPA-2006. Bandung Fe Institute. Lane, R. D., Nadel, L., Ahern. G. (2000). Cognitive Neuroscience of Emotion. Oxford UP. Marcus, G. E. (2003). “The Psychology of Emotion and Politics”. Dalam Huddy, L., Sears, D., Jervis, R. (eds.). Oxford Handbook of Psychology. Oxford UP. Pp. 182-220. Mesquita, B. & Frijda, N. H. (1992). "Cultural Variations in Emotions: A Review". Psychological Bulletin 112 (2): 179-204. Nussbaum, M. (2001). Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions. Cambridge UP. Ortony, A., Clore, G. L., & Collins, A. (1988). The Cognitive Structure of Emotions. Cambridge UP. Pinker, S. (1997). How the mind works. Norton. Plutchik, R. (1980). Emotion: A Psychoevolutionary Analysis. Harper & Row. Power, M. & Dagleish, T. (2008). Cognition and Emotion: From Order to Disorder. Psychology Press. Rosch, E. (1978). "Principles of Categorization". Dalam Rosch, E. & Lloyd B. B. (eds). Cognition and Categorization. Hillsdale. pp. 27-48. Russell, J. A. (1983). "Pancultural Aspects of the Human Conceptual Organization of Emotions". Journal of Personality and Social Psychology 45(6):1281-8. Russel, J. A. (1998). "Reading emotions from and into faces: Resurrecting a dimensional-contextual perspective". dalam Russel, J. A. & Fernandez-Dols, J. M. The psychology of Facial Expression. Cambridge UP. pp. 295-320. Schacter, S. & Singer, J. (1962). "Cognitive, social and physiological determinants of emotional states". Psychological Review 69:379–99. Shaver, P. R. & Murdaya, U. (2001). “Structure of Indonesian Emotion Lexicon”. Journal of Social Psychology 4: 201-24. 12
[27] Situngkir, H. (2004). "On Selfish Memes: Culture as Complex Adaptive System". BFI Working Paper Series WPG-2004. Bandung Fe Institute. [28] Stunebrink, B. R., Dastani, M., Meyer, J-J. Ch. (2007). "A logic of emotions for intelligent agents". Proceedings of the 22th AAAI conference on Artificial Intelligence (AAAI'07) pp. 142–147. [29] Tamura, K., Peterson, D., Peterson, N., Stecher, G., Nei, M., & Kumar, S. (2011) “MEGA5: Molecular Evolutionary Genetics Analysis using Likelihood, Distance, and Parsimony methods”. Molecular Biology and Evolution. (to be submitted) [30] Waterman, Michael S. (1995). Introduction to Computational Biology: Maps, Sequence and Genomes Interdisciplinary Statistics. Chapman & Hall. London. pp. 45-67. [31] Whisner W. (2003). "A new theory of emotion: Moral reasoning and emotion". Philosophia 31(1-2):3– 30. [32] Wierzbicka, A. (1991). Emotions Across Languages and Cultures: Diversity and Universals. Cambridge UP. [33] Zuckerman, M. (1991). Psychobiology of Personality. Cambridge UP.
13