Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: dari Pemegang Saham (Shareholder) ke Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Oleh Eddie Sius Riyadi Abstract This article describes the theoretical basis of corporate social responsibility discourse and debate. It explains two views. The first view, classical view, sees the only motive of business is to gain the profit, consequently, the business obligation is only economic responsibility. This view then often called as ”shareholder perspective”. However, the second view sees the business obligations are not only economic enterprises, but also legal, ethical, and philantropical responsibilities. It means that the scope of business responsibility is not only aimed to the internal circumstance of corporations, but also and should be to other ”stakeholder”. This ”stakeholder perspective” is the focus of this article, which is then elaborated under the light of ethical principles, i.e.: do no harm and affirmative duty principles. Here I suggest that corporations have to hold the human rights obligations by first of all respect the ”do no harm principle”, and then ”affirmative duty” which is not a trade-off with the first principle. This article argues that if a corporation wants to survive, it by all means has to respect the ethical responsibility which in turn will bring benefit to it. But in the closing remark, I insist that the business respect to ethical responsibility is not only because of benefit strategy, but mainly because it has obligations as such as it is a member of society. Keywords: corporate social responsibility, classical perspective, stakeholder perspective, ethical responsibility.
Pengantar Tulisan ini merupakan analisis terhadap pokok-pokok pemikiran Manuel Castelo Branco dan Lúcia Lima Rodriguez tentang konsep tanggung
Manuel Castelo Branco dan Lúcia Lima Rodriguez, “Positioning Stakeholder Theory within the Debate on Corporate Social Responsibility”, EJBO (Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies), Vol. 12, No. 1 (2007), hlm. 5-15.
63
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR) dan posisi teori pemangku kepentingan (stakeholder theory) di dalamnya.Tulisan ini akan menyajikan paparan Branco dan Rodriguez untuk mendukung tesis mereka dalam tulisan mereka yaitu bahwa konsep CSR paling baik dilandaskan pada teori pemangku kepentingan. Tesis ini didasarkan pada sekurang-kurangnya dua asumsi, yaitu: pertama, perusahaanperusahaan mau menerima dan menerapkan konsep CSR terutama sekali karena dengan begitu mereka mendapatkan keuntungan atau manfaat; kedua, asumsi pertama itu berhubungan dengan suatu pengandaian lain yaitu bahwa konsep CSR itu memiliki apsek normatif dan instrumental yang bisa mendukung asumsi itu, dan kedua aspek itu dapat dijelaskan oleh sebuah teori, yaitu teori pemangku kepentingan.
Untuk itu, Branco dan Rodriguez menyajikan paparan dan meng-
urai pemikiran mereka sebagai berikut: Pertama, mereka menyajikan dua perspektif tentang CSR yaitu perspektif klasik atau perspektif pemegang saham
(shareholder
view)
dan
perspektif
pemangku
kepentingan
(stakeholder view). Uraian kemudian ditambah dengan memperlihatkan “nilai lebih” dari perspektif kedua. Kedua, mereka memaparkan evolusi konsep CSR dari perspektif yang kedua tersebut, yaitu perspektif pemangku kepentingan. Dalam bagian ini dibedakan secara jelas antara konsep kewajiban sosial (social obligation), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan kepedulian sosial (social responsiveness). Ketiga, mereka memberikan tanggapan kritis. Tulisan ini akan ditutup dengan memberikan analisis kritis terhadap keseluruhan uraian Branco dan Rodriguez dengan memeriksa posisi mereka sendiri di tengah konstelasi perdebatan akademis tentang CSR yang mereka elaborasi itu. Keduanya di sana sini menyatakan penolakan atau persetujuan terhadap pendapat pakar tertentu, juga mengurangi atau menambahkan pandangan pakar tertentu.
CSR sebagai sebuah pertimbangan etis dan moral sudah meng-
undang banyak perdebatan yang tak ada kata akhirnya hingga sekarang ini. Aspek etis dan moral dalam CSR merupakan salah satu aspek yang
Branco dan Rodriguez, hlm. 5, kolom 2, paragraf 2. Ibid. Ibid.
64
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
sangat penting. Namun, yang menarik minat Branco dan Rodriguez adalah soal fenomena “disukainya” CSR itu oleh perusahaan-perusahaan. Ini tentunya melampaui pertimbangan moral dan etis. Ternyata, CSR itu dilihat “bukan lagi sebagai penghalang keuntungan bagi perusahaan, melainkan malahan mendatangkan keuntungan, paling tidak dalam jangka panjang.” Fenomena inilah yang menjadi dasar telaah Branco dan Rodriguez yang membawa mereka pada pemikiran bahwa kalau memang demikian, tentunya “ada sesuatu” di dalam konsep CSR itu yang membuat perusahaan-perusahaan bukannya merasa terbebani melainkan malah seolah-olah senang menerima dan mempraktikkan CSR itu. Untuk mencari jawaban itu, mari kita lihat, mengikuti Branco dan Rodriguez, paling tidak dua perspektif tentang CSR.
Dua Perspektif tentang CSR Ada dua perspektif tentang CSR. Dua perspektif ini tidak muncul begitu saja, melainkan muncul dari dua cara pandang tentang “peran bisnis dalam masyarakat.” Cara pandang pertama, “pandangan klasik” (classical view), yang didasarkan pada teori ekonomi neo-klasik, melihat peran bisnis dalam masyarakat murni sebagai pencarian keuntungan, yaitu keuntungan bagi para pemegang saham (shareholder). Cara pandang ini disebut juga sebagai “perspektif pemegang saham” (shareholder perspective). Sebaliknya, “pandangan pemangku kepentingan” (stakeholder view), yang didasarkan pada teori pemangku kepentingan, berkeyakinan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial itu menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. �������������������� Gambaran singkatnya dapat dilihat pada tabel berikut:
� �
Lihat Branco dan Rodriguez, hlm. 5, kolom 1, paragraf 2. Ibid., hlm. 5, kolom 1, paragraf 3. Ibid., hlm. 6, kolom 1, paragraf 1.
65
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Tabel 1 – Spektrum Sudut Pandang tentang Peran Bisnis dalam Masyarakat Pandangan
Posisinya terhadap Peran Bisnis dalam Masyarakat
Klasik
A. Pandangan pencarian-keuntungan murni: bisnis memiliki standar etis yang lebih rendah dari pada masyarakat; bisnis tidak memiliki tanggung jawab sosial kecuali kepatuhan pada hukum. B. Pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas: bisnis harus memaksimalkan kekayaan para pemegang sahamnya, mematuhi hukum, dan bisnis itu memiliki aspek etis.
Pemangku kepentingan
A. Pandangan berkesadaran sosial: bisnis harus sensitif pada kerusakan potensial dari tindakannya terhadap pelbagai kelompok pemangku kepentingan B. Aktivisme sosial: bisnis harus menggunakan segala sumber dayanya untuk kepentingan publik
Sumber: Diadaptasi dari Lantos (2001, hlm. 602), oleh Branco dan Rodriguez.
A. Pandangan Klasik Pandangan klasik ini terbagi atas dua perspektif yaitu “pandangan pencarian-keuntungan murni” dan “pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas”. Pandangan pertama melihat bahwa ketidakjujuran hingga pada taraf tertentu dapat diterima karena para pebisnis memiliki standard moral yang lebih rendah dari pada masyarakat pada umumnya. Gertakan khas dunia bisnis (misalnya mengatakan sesuatu secara berlebihan), aksi tipu-tipu, adalah hal-hal yang boleh, karena tujuan bisnis tidak lain tidak bukan untuk mencari keuntungan. Hanya saja, meskipun ia bisa mengabaikan standard moral dan etis, bisnis tetap harus mengikuti aturan main menurut hukum yang berlaku. Pendukung utama pandangan pertama ini adalah Carr.
Perspektif kedua dalam pandangan klasik ini adalah “pandangan
pencarian-keuntungan yang terbatas”. Pendukung pandangan klasik jenis
Branco dan Rodriguez, mengutip Lantos (2001), ibid., hlm. 6, kolom 1, paragraf 2. A. Z. Carr, “Is Business Bluffing Ethical”, Harvard Business Review, Vol. 46 No. 1, 1968, hlm. 143-153.
66
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
kedua ini adalah Milton Friedman.10 Friedman berkeyakinan bahwa perusahaan haruslah bertindak jujur. Kejujuran itu dipahami Friedman dalam kerangka tujuan perusahaan itu sendiri, yang bahkan satu-satunya, yaitu pencarian keuntungan bagi para pemegang saham. Yang mencari keuntungan bagi para pemilik saham adalah para manajernya. Karena itu, tidak etis kalau para manajer disuruh memikul beban tanggung jawab sosial perusahaan kepada pihak lain selain para pemegang atau pemilik saham. Menurut Friedman, menuntut perusahaan untuk mengemban tanggung jawab sosial akan merusak sendi-sendi sebuah masyarakat yang bebas dengan sistem ekonomi-bebas (free-enterprise) dan sistem kepemilikan individual. Masalah sosial biarlah menjadi urusan negara saja. Pandangan Friedman ini sebenarnya sudah dimulai oleh T. Levitt.11
Pandangan klasik ini memiliki pendukung kontemporernya
sekarang ini, dengan pelbagai variannya. Kelompok pertama termasuk dalam “pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas”, yang menolak perspektif pemangku kepentingan. Misalnya, Barry12 menyatakan bahwa perusahaan hanya bisa mengemban tanggung jawab sosial jika kompetisi pasarnya kurang ketat, dan tindakan itu adalah sebentuk pencarian-laba oleh para manajer. Argumen sentralnya adalah bahwa pemanfaatan sumber daya perusahaan untuk tujuan sosial yang lebih lanjut kemudian mengarah pada “dicaploknya” fungsi dan pengaruh politik oleh para manajer. Yang dimaksudkan dengan fungsi politik di sini oleh Barry adalah yang beranalogi pada lembaga parlemen. Fungsi politik itu manifes ketika ada kesulitan dalam pengambilan keputusan dalam perusahaan karena pemegang saham paling berkuasa didepak dan ketika tujuan untuk memaksimisasi kekayaan bagi pemegang saham diabaikan dalam rangka menampung pelbagai kepentingan. Perspektif pemangku kepentingan, menurut Barry, membuat “sistem bisnis beroperasi seperti sistem politik”. Hal ini sebaiknya tidak terjadi, karena akan melibatkan voting dan 10 M. Friedman, “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits”, dalam New York Times Magazine, 13 September 1970; Juga dicetak ulang atas izin New York Times Magazine dalam Laura P. Hartman, Perspectives in Business Ethics, Boston etc.: McGraw Hill, 2002. 11 T. Levitt, “The Dangers of Social Responsibility”, Harvard Business Review, Vol. 33 No. 5, 1958, hlm. 41-50. 12 N. Barry, “The Stakeholder Concept of Corporate Control Is Illogical and Impractical”, The Independent Review, Vol. 6 No. 4, 2000, hlm. 541-554.
67
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
kebebasan individual dalam pengambilan keputusan, bukan berdasarkan saham.
Kelompok yang lain lagi membela perspektif pemegang saham –
yaitu maksimisasi keuntungan bagi pemegang saham – tetapi tidak harus menolak atau bertentangan dengan CSR. Intinya, perusahaan tidak dapat mengabaikan kepentingan para pemangku kepentingan, karena pengabaian itu akan berdampak pada kurangnya kemampuan perusahaan untuk meningkatkan keuntungan. Interaksi perusahaan dengan pemangku kepentingan berpengaruh pada keuntungan. Hal ini harus menjadi fiduciary duties dari para eksekutif kepada pemegang saham. Inilah pandangan enlightened shareholder maximazition. Pandangan ini berkeyakinan bahwa sebuah perusahaan tidak dapat memaksimisasi keuntungan jika pelbagai pemangku kepentingan yang penting diabaikan atau tidak diperlakukan sepatutnya. Sebaliknya, memuaskan kepentingan mereka akan mendatangkan keuntungan untuk jangka panjang. Tetapi, menurut Carr, semua pertimbangan ini bukanlah persoalan etis, melainkan pertimbangan strategis semata.13
Pandangan klasik mendasarkan pembenaran teoretisnya pada
teori ekonomi neo-klasik yang memiliki tiga klaim: pasar bebas, efisiensi ekonomi, dan maksimisasi keuntungan. Pandangan ini didasarkan pada tiga cara: Pertama, pemegang saham adalah para pemilik korporasi. Para manajer tidak punya hak untuk bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, termasuk menggunakan sumber daya perusahaan untuk tujuan sosial.
Kedua,
peran
perusahaan
adalah
menghasilkan
kekayaan.
Pembebanan tanggung jawab sosial pada perusahaan bisa merusak kinerjanya. Ketiga, peran tanggung jawab sosial itu diemban oleh lembaga lain yaitu pemerintah; perusahaan dan para manajer tidak dilengkapi dengan peran semacam itu.14
Singkatnya, dari perspektif klasik, CSR dilihat sebagai: (1) berguna
untuk menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang bagi pemilik saham; (2) dilakukan untuk kepentingan strategis dalam rangka 13 Carrm 1968, hlm. 149, dalam Branco dan Rodriguez. 14 Branco dan Rodriguez, hlm. 7.
68
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
keuntungan jangka panjang; dan (3) dipertimbangkan sebagaimana halnya pertimbangan investasi; CSR sebagai investasi strategis.
B. Pandangan Teori Pemangku Kepentingan Teori pemangku kepentingan didasarkan pada pemahaman bahwa melampaui para pemegang saham, terdapat beberapa agen dengan sebuah kepentingan dalam tindakan dan keputusan perusahaan. Mengutip Freeman,15 seorang penganjur pertama teori ini, yang dimaksud dengan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari atau kerugian oleh, dan yang hak-haknya dilanggar atau dihargai oleh, tindakan korporasi. Yang termasuk pemangku kepentingan adalah para pemegang saham itu sendiri, para kreditor, pekerja atau buruh, para pelanggan, pemasok, dan masyarakat atau komunitas pada umumnya. Teori pemangku kepentingan menekankan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial yang menuntut dia harus mempertimbangkan semua kepentingan pelbagai pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Acuan pertimbangan para manajer dalam mengambil keputusan dan tindakan bukan semata-mata para pemegang saham, melainkan juga pihak lain mana pun yang terkena pengaruhnya.
Sementara, beberapa teoris lain mendefinisikan pemangku ke-
pentingan dari sebuah perusahaan sebagai ”individu-individu dan konstituen-konstituen
yang
berkontribusi,
baik
secara
suka
rela
(voluntarily) maupun tidak secara suka rela (involuntarily), bagi kapasitas dan aktivitas penciptaan kekayaan perusahaan, dan yang karena itu menjadi
benefisiari
pengampu risiko.”
16
(penerima
manfaat)
yang
potensial
dan/atau
Pemangku kepentingan sebuah perusahaan dilihat
sebagai pihak-pihak yang memasok sumber-sumber penting, menempatkan suatu nilai ”pada risiko” tertentu, dan memiliki kekuasaan/kekuatan (power) yang memadai untuk mempengaruhi kinerja perusahaan tersebut. Sebagai contoh, pesaing sebuah perusahaan tidak dianggap sebagai 15 R. Edward Freeman, “A Stakeholder Theory of the Modern Corporation”, dalam L.B. Pincus (ed.), Perspectives in Business Ethics, Singapore: McGraw Hill, 1998, hlm. 171-181. 16 Post et al., 2002, hlm. 8, dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 13.
69
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
pemangku kepentingan ketika mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya dan pasar yang sama, tetapi dipandang sebagai pemangku kepentingan jika mereka memiliki kepentingan yang sama dan mungkin mendapatkan atau kehilangan status dan kekayaan sebagai akibat dari kompetisi yang mereka lakukan.17
Para pemangku kepentingan merupakan konstituen yang memiliki
”taruhan” (stake) dalam operasi sebuah perusahaan. Taruhan itu berupa kemungkinan keuntungan yang semakin besar atau semakin kecil, atau kerugian yang semakin besar atau semakin kecil. Para pemangku kepentingan yang terkait secara suka rela dengan sebuah perusahaan dan berkontribusi secara langsung, seperti investor, buruh/karyawan, pelanggan, mitra pasar, mengharapkan akan mendapatkan keuntungan yang lebih baik dari hubungan tersebut. Sebaliknya, di pihak lain, pemangku kepentingan yang terkait tidak secara suka rela ”khususnya mereka yang mungkin terkena dampak negatif oleh hal-hal seperti polusi, prinsip utamanya adalah pengurangan atau penghindaran kerusakan dan/atau menghalangi keuntungan. Para pemangku kepentingan ini berharap bahwa mereka sekurang-kurangnya sebaik keadaan semula ketika perusahaan tersebut belum eksis.”18
Pemangku kepentingan ini ada yang bersifat primer, yaitu pihak
yang tanpanya perusahaan tidak dapat berjalan, misalnya pemegang saham, investor, pegawai, pelanggan, pemasok, juga pemerintah dan komunitas yang menentukan regulasi dan pasar. Pemangku kepentingan yang bersifat sekunder adalah pihak yang mempengaruhi, atau dipengaruhi oleh, perusahaan tetapi tidak terlibat dalam transaksi dengan korporasi dan tidak bersifat esensial bagi keberlangsungan perusahaan.19
Yang menjadi masalah dengan teori pemangku kepentingan
adalah soal pemangku kepentingan yang “bisu” (mute) seperti lingkungan hidup dan pemangku kepentingan yang “tidak hadir” (absent) seperti generasi masa depan atau korban-korban yang potensial.20 Hal ini terkait 17 18 19 20
Branco dan Rodriguez, hlm. 13. Post et al., 2002, hlm. 22, dalam Branco dan Rodriguez. Branco dan Rodriguez, hlm. 7, mengutip Clarkson, 1995, hlm. 106-107. Capron, 2003, hlm. 15, dalam Branco dan Rodriguez.
70
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
erat dengan definisi tentang pemangku kepentingan yang umumnya hanya terbatas pada individu atau kelompok manusia, dan di luar itu bukanlah pemangku kepentingan.21 Phillips dan Reichart22 mengatakan bahwa hanya manusia yang bisa dipandang sebagai pemangku kepentingan dan mengkritik upaya-upaya untuk memberikan status sebagai pemangku kepentingan kepada lingkungan alam. Branco dan Rodriguez juga sepakat dengan pendapat bahwa hanya manusia yang pantas disebut sebagai pemangku kepentingan.23
Menurut Branco dan Rodriguez,24 salah satu cara supaya
lingkungan alam dapat dilihat sebagai salah satu pemangku kepentingan adalah dengan mengaitkannya dengan kepentingan generasi masa depan (absent stakeholders). Namun, tetap terdapat kesulitan. Tidaklah mungkin untuk meminta pendapat dari lingkungan alam atau generasi masa depan itu – karena keduanya berturut-turut bisu dan belum ada – dan keduanya tidak dapat menjadi anggota komite konsultatif. Namun demikian, pada akhirnya perhatian terhadap kepentingan lingkungan dan generasi masa depan tetap harus diberikan – meskipun bukan karena mereka memang mempunyai hak dan status sebagai pemangku kepentingan – jika para pemangku kepentingan yang legitim memang menghendakinya.25
Teori pemangku kepentingan dapat digunakan dalam tiga cara:26
Pertama adalah cara deskriptif atau empiris, di mana teori ini digunakan untuk “menggambarkan dan kadang menjelaskan karakteristik dan perilaku spesifik korporasi.” Sifat pendekatan ini adalah deskriptif.
Kedua adalah cara instrumental, di mana teori ini digunakan untuk
“mengidentifikasi kaitan atau kurangnya koneksi antara manajemen 21 Buchholz, 2004, hlm. 130, dalam Branco dan Rodriguez. 22 Phillips dan Reichart, 2000, hlm. 191, dalam Branco dan Rodriguez. 23 Hal ini tentu saja bertentangan dengan pandangan etika lingkungan, terutama deep ecology atau ecosophy. Etika lingkungan, terutama yang dikedepankan oleh deep ecology, melihat problem utama etika bukan pada “subjek etis”, melainkan pada “tanggung jawab etis”. Karena itu, entah pemangku kepentingan yang bisu atau “tidak hadir” itu subjek etis atau tidak, tetapi yang pasti terhadap keduanya “harus” diberikan “tanggung jawab etis”. Salah satu yang terdepan dari deep ecology, bahkan yang mengemukakan pertama kali, adalah Arne Naess, seorang filosof dari Norwegia, pada tahun 1972. Buku ������������������������ lengkapnya adalah: Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1993). 24 Branco dan Rodriguez, hlm. 7, mengutip Jacobs, 1997. 25 Jacobs, 1997, hlm. 26, dalam Branco dan Rodriguez. 26 T. Donaldson dan L. E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications”, Academy of Management Review, Vol. 20 No. 1, 1995, hlm. 65-91.
71
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
pemangku kepentingan dan pencapaian sasaran korporasi tradisional (misalnya keuntungan, pertumbuhan, dll.).” Sifat pendekatan ini adalah preskriptif. Pendekatan instrumental melihat para pemangku kepentingan sebagai ”alat” (means) untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan efisiensi. Para pemangku kepentingan hanya diperhatikan sejauh itu menunjang tujuan-tujuan lebih tinggi dari sebuah perusahaan yaitu maksimisasi keuntungan, keberlangsungan dan pertumbuhan.
Ketiga adalah cara normatif, di mana teori ini digunakan untuk
“menginterpretasikan fungsi” perusahaan dan mengidentifikasi “panduan moral atau filosofis” yang harus diikuti berkaitan dengan operasi dan manajemen perusahaan. Pendekatan ini tentu saja bersifat normatifpreskriptif, dan karena itu kadang dikacaukan dengan pendekatan kedua. Pendekatan normatif melihat para pemangku kepentingan sebagai “tujuan” (end).
Di atas itu semua, sebuah pertanyaan penting menuntut untuk
dijawab: para pemangku kepentingan yang manakah yang paling signifikan dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan dan tindakan dari dan oleh sebuah perusahaan? Menurut Mitchell dkk.,27 terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam memandang signifikansi pemangku kepentingan, yaitu kekuasaan/kekuatan (power), legitimasi, dan urgensi. Meskipun ketiga hal tersebut bersama-sama dan saling terkait dalam mempengaruhi pengambilan tindakan oleh sebuah perusahaan, tetapi yang paling besar dari ketiganya adalah kekuasaan/kekuatan. Kekuasaan/kekuatan yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan nyata suatu pemangku kepentingan untuk melakukan tekanan dan tuntutan baik secara sosial, politis, maupun hukum. Bisa terjadi bahwa suatu pemangku kepentingan memiliki legitimasi (misalnya korban langsung semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur) dan memiliki urgensitas yang sangat tinggi (keadaan mereka sudah sangat membahayakan dari segi kelangsungan hidup) untuk melakukan penuntutan kepada sebuah perusahaan, namun karena mereka tidak memiliki kekuasaan yang 27 Mitchell et al., 1997, dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 8.
72
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
real (misalnya mereka terpecah belah dalam memandang persoalan itu, bahkan ada yang menerima begitu saja hal tersebut sebagai sebuah ”bencana alam” dan bukan ”bencana buatan manusia” yang harus dituntut), maka perusahaan bisa enggan atau bahkan tidak mau melakukan tindakan apa pun. Branco dan Rodriguez mengutip contoh kasus di Kanada dan Swedia28 di mana perusahaan-perusahaan kehutanan lebih memprioritaskan tuntutan para pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan real ketimbang tuntutan yang hanya dilontarkan berdasarkan argumen etis atau tanggung jawab sosial belaka.
Pandangan yang diuraikan di atas adalah apa yang disebut sebagai
pandangan berkesadaran sosial (socially aware view) yang lebih dekat pada prinsip do no harm, yaitu prinsip moral minimalis di mana perusahaan tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan kepentingan para pemangku kepentingan dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuannya. Yang juga dekat dengan teori pemangku kepentingan adalah perspektif ”aktivis sosial”. Perspektif ini melihat bahwa perusahaan bertanggung jawab terhadap semua pemangku kepentingan lain jauh melampaui para pemegang saham. Perusahaan harus secara aktif mempromosikan kepentingan-kepentingan sosial, bahkan ketika masyarakat tidak mengharapkannya atau menuntutnya. Menurut Lantos, pandangan ini menuntut supaya perusahaan harus secara aktif terlibat ”dalam program-program yang bisa memperbaiki pelbagai kerusakan sosial, misalnya dengan menyediakan kesempatan kerja bagi semua orang, memperbaiki kondisi lingkungan, dan mempromosikan keadilan secara luas, walaupun hal itu menuntut biaya tinggi yang harus dikeluarkan oleh para pemegang saham.”29 Perspektif ini lebih tampak berkarakter affirmative duties, yaitu kewajiban untuk secara proaktif dan positif melakukan kebaikan (beneficence).
C. Sintesis Sementara Kedua pandangan yang saling bersaing di atas sebenarnya dapat 28 Branco dan Rodriguez, hlm. 8, mengutip Nasi et al., 1997. 29 Lantos, 2001, hlm. 602, dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 8.
73
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
disintesiskan. Branco dan Rodriguez mencoba melakukan sintesis dengan melawankan antara teori “maksimisasi nilai yang tercerahkan” dengan teori pemangku kepentingan yang tercerahkan. Pertanyaannya yang muncul adalah: untuk mencapai kesuksesan di pasar, apa nilai lebih yang sebenarnya dari penggunaan manajemen dengan pendekatan teori pemangku kepentingan dibandingkan dengan pendekatan klasik? Ada pendapat bahwa pandangan klasik benar-benar murni berhakikat ekonomi, dan benar-benar ada pembedaan yang tegas antara aspek ekonomi dan aspek sosial. Sementara, manajemen dengan pendekatan pemangku kepentingan membaurkan kedua aspek tersebut secara bersama-sama.
Jensen30 mengatakan bahwa apa yang ia sebut sebagai “maksimisasi
nilai yang tercerahkan” dan “teori pemangku kepentingan yang tercerahkan” barangkali merupakan dua hal yang sama. Maksimisasi nilai yang tercerahkan menggunakan teori pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan bahwa sebuah perusahaan tidak dapat memaksimisasikan nilainya jika pelbagai pemangku kepentingan yang penting diabaikan atau diperlakukan secara tidak layak. Sementara, teori pemangku kepentingan yang tercerahkan mempertimbangkan maksimisasi nilai jangka panjang atau nilai sebagai fungsi objektif perusahaan yang dengan itu memecahkan problem yang muncul dari pertimbangan terhadap sasaran-sasaran yang berganda, sebagaimana layaknya dalam teori pemangku kepentingan tradisional.
Para pendukung teori pemangku kepentingan, seperti Freeman
dkk.,31 mempertanyakan alternatif-alternatif yang tersedia bagi para manajer untuk menciptakan nilai pemegang saham ketimbang “dengan menciptakan produk-produk dan jasa yang disukai para pelanggan, menawarkan pekerjaan yang disukai para buruh/karyawan, membangun hubungan dengan para pemasok yang disukai perusahaan-perusahaan, dan menjadi warga yang baik dalam sebuah komunitas.” 30 M. C. Jensen, “Value Maximation, Stakeholder Theory, and the Corporate Objective Function”, Journal of Applied Corporate Finance, Vol. 14 No. 3, 2001, hlm. 8-21. 31 R. E. Freeman, A. C. Wicks, dan B. Parmar, “Stakeholder Theory and ‘The Corporate Objective Revisited’”, Organization Science, Vol. 15 No. 3, 2004, hlm. 364-369, pada hlm. 366.
74
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Yang membedakan teori pemangku kepentingan dari maksimisasi
nilai yang tercerahkan, menurut Freeman dkk.,32 adalah bahwa teori maksimasi nilai “dimulai dengan asumsi bahwa nilai-nilai benar-benar dan tidak bisa tidak merupakan bagian dari kegiatan bisnis, dan menolak tesis pemisahan”, yang mana etika dan ekonomi dapat dipisahkan secara jelas. Para pendukung teori pemangku kepentingan menolak tesis pemisahan. Mereka melihat suatu dimensi moral dalam kegiatan bisnis, karena ekonomi “jelas-jelas dinafkahi atau dilekati dengan asumsi-asumsi, implikasi-implikasi dan sikap-sikap etis.”33 Di pihak lain, banyak pendukung teori pemegang saham membedakan antara konsekuensi dan nilai ekonomi dengan sikap etis, dan melihat bisnis sebagai suatu aktivitas ekonomi yang amoral (tidak ada kaitannya dengan moral).
Menurut Porter dan Kramer,34 argumen Friedman memiliki dua
asumsi yang implisit: (1) sasaran-sasaran sosial dan ekonomi bersifat terpisah dan berbeda; (2) dengan menekankan sasaran sosial, perusahaan tidak menyediakan keuntungan yang lebih besar dari pada yang disediakan oleh donor-donor individual. Pandangan maksimasi pemegang saham yang tercerahkan juga memiliki asumsi-asumsi seperti itu. Tetapi dikotomi antara sasaran-sasaran ekonomi dan sosial adalah sesuatu yang keliru karena perusahaan tidak berfungsi dalam isolasi dari masyarakat di mana mereka beroperasi.35 Menurut mereka, “dalam jangka panjang, tujuan-tujuan sosial dan ekonomi tidak secara inheren berkonflik satu sama lain tetapi terkoneksi secara integral.”36 Karena itu, bertentangan dengan gagasan Friedman, para manajer yang melakukan kegiatan tanggung jawab sosial tidak dengan sendirinya menyalahgunakan sumber-sumber keuangan yang merupakan milik sah para pemegang saham.
Freeman dan kawan-kawan37 dengan tepat memandang bahwa
pandangan objek tunggal pemegang saham “adalah sebuah pandangan 32 33 34 35 36 37
R. E. Freeman, A. C. Wicks, dan B. Parmar, ibid., hlm. 364, dalam Branco dan Rodriguez. Carroll, 2000, hlm. 35, dalam Branco dan Rodriguez. Porter dan Kramer, 2002, hlm. 58, dalam Branco dan Rodriguez. Porter dan Kramer, 2002, hlm. 59, dalam Branco dan Rodriguez. Porter dan Kramer, 2002, hlm. 59, dalam Branco dan Rodriguez. Freeman et al., 2004, hlm. 364, dalam Branco dan Rodriguez.
75
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
yang sempit yang tidak memungkinkan untuk mengupayakan keadilan bagi pelbagai kegiatan kemanusiaan yaitu penciptaan nilai dan perdagangan (bisnis).” Freeman dan kawan-kawan juga percaya bahwa kedua teori ini seharusnya tidak dilihat sebagai teori yang saling berlawanan, dalam arti bahwa bahkan teori pemegang saham bisa dipandang sebagai sebuah versi dari teori pemangku kepentingan, karena teori pemangku kepentingan membolehkan banyak benih-benih normatif yang mungkin.38 Sebagai sebuah versi yang partikular dari teori pemangku kepentingan, asumsi-asumsi moral dari pandangan pemegang saham dapat dilihat sebagai “pandangan yang mencakupi penghargaan terhadap hakhak kepemilikan, kerja sama suka rela, dan inisiatif individual untuk meningkatkan keadaan setiap orang. Asumsi-asumsi ini menyediakan suatu titik berangkat yang baik, tetapi bukan sebuah visi lengkap tentang penciptaan nilai.”39
Sundaram dan Inkpen40 mengakui bahwa keputusan untuk me-
ningkatkan efisiensi dibuat untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham dan membebankan biaya kepada pemangku kepentingan lainnya, dan mensyaratkan bahwa hal itu merupakan suatu pertukaran yang dapat diterima. Menurut teori pemangku kepentingan, sebagaimana dipahami dalam tulisan ini, biaya-biaya tersebut tidak dapat diterima kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa keuntungan bagi masyarakat jauh melampaui biaya-biaya tersebut. Penting untuk dicatat bahwa deviasi yang besar antara dampak-dampak jangka pendek dari kegiatan bisnis dengan kesesuaian bisnis dan kepentingan sosial dalam jangka panjang dalam penciptaan kemakmuran menyisakan jangkauan yang cukup untuk tindakan-tindakan penyalahgunaan atau kekuasaan pasar dan tindakantindakan yang tidak bertanggung jawab.41 Selanjutnya, ”gagasan utama tentang penciptaan kemakmuran bisa dengan mudah mengarah baik pada penyimpangan moral dan manipulasi keuangan yang terutama
38 39 40 41
Freeman et al., 2004, hlm. 368, dalam Branco dan Rodriguez. Freeman et al., 2004, hlm. 368, dalam Branco dan Rodriguez. Sundaram dan Inkpen, 2004, hlm. 356, dalam Branco dan Rodriguez. Windsor, 2001, hlm. 250, dalam Branco dan Rodriguez.
76
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
destruktif bagi tujuan-tujuan sosial dan kesejahteraan para pemangku kepentingan.”42
Evolusi Konsep CSR dari Perspektif Pemangku Kepentingan Konsep CSR telah mengalami evolusi. Pertama-tama ada pembedaan antara konsep kewajiban sosial (social obligation), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan kepedulian sosial (social responsiveness).43 Kewajiban sosial berkaitan dengan perilaku perusahaan dalam merespon kekuatan pasar atau ketentuan hukum. Kewajiban sosial bersifat proskriptif (bersifat negatif, “tidak boleh …”). Tanggung jawab sosial menuntut adanya kesepadanan antara perilaku perusahaan dengan norma-norma sosial yang berlaku, nilai dan harapan-harapan yang diletakkan dalam tindakan perusahaan. Sifatnya adalah preskriptif (positif, mengharuskan, “harus …”). Sementara, kepedulian sosial menekankan bahwa yang penting bukanlah bagaimana sebuah perusahaan harus merespon tekanan sosial, tetapi apa yang seharusnya menjadi peran perusahaan dalam jangka panjang di dalam sebuah sistem sosial yang dinamis. Ide dasarnya adalah bahwa orientasi bisnis bersifat antisipatoris dan preventif. Yang terkait erat dengan diskursus tentang CSR adalah dua yang terakhir yaitu tanggung jawab sosial dan kepedulian sosial, sementara kewajiban sosial lebih terkait dengan kinerja ekonomi murni sebuah perusahaan atau bisnis.
Kemudian, Frederick44 lebih jauh menekankan pembedaan antara
tanggung jawab sosial dan kepedulian sosial yang ia kaitkan dengan dua tahap perkembangan dalam pemikiran tentang CSR. Tahap pertama, yang ia sebut CSR1, berfokus pada CSR sebagai sebuah eksaminasi terhadap “kewajiban (perusahaan) untuk bekerja bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik”. Tahap kedua, sekitar tahun 1970, ada perubahan ke arah 42 Windsor, 2001, hlm. 250, dalam Branco dan Rodriguez. 43 S.P. Sethi, “Dimensions of Corporate Social Performance: An Analytical Framework”, California Management Review, Vol. 17 No. 3, 1975, hlm. 58-64. Lihat juga S. P. Sethi, “A Conceptual Framework for Environmental Analysis of Social Issues and Evaluation of Business Response Patterns”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 1, 1979, hlm. 63-74. 44 W. C. Frederick, “From CSR1 to CSR2: The Maturing of Business-and-Society Thought”, Business and Society, Vol. 33 No. 2, 1994, hlm. 150-164.
77
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
kepedulian sosial perusahaan, yang dinamakan CSR2, yaitu kapasitas perusahaan untuk merespon tekanan sosial. Selain kedua tahap itu, Frederick kemudian menambahkan dua tahap lanjutan yaitu tahap ketiga (CSR3) dan keempat (CSR4). CSR3 yang merupakan peralihan ke kesantunan sosial perusahaan (coporate social rectitude) mencakupi konsep kebaikan moral dalam tindakan yang diambil dan kebijakan yang dibuat oleh perusahaan. CSR4 melihat konsep CSR yang diperkaya oleh pandangan ilmu-ilmu alam.
Selain kedua hal itu, yaitu tanggung jawab sosial perusahaan dan
kepedulian sosial perusahaan, masih ada sebuah konsep lain berkaitan dengan CSR yaitu kinerja sosial perusahaan (corporate social performance). Branco dan Rodriguez melihat bahwa CSR sudah mencakupi kepedulian sosial perusahaan (corporate social responsiveness dan kinerja sosial perusahaan (corporate social performance).45 Kinerja sosial perusahaan memiliki tiga aspek: pertama, definisi tentang tanggung jawab sosial; kedua, identifikasi tentang isu-isu sosial yang terhadapnya tanggung jawab itu diarahkan, seperti konsumerisme, lingkungan, keamanan produk, diskriminasi buruh, dan sebagainya; ketiga, filosofi kepedulian yaitu filosofi, cara, atau strategi di balik respons perusahaan terhadap tanggung jawab sosial dan isu-isu sosial (reaksi, pembelaan, akomodasi, proaksi, dan sebagainya).46
Carroll47 mengajukan bahwa CSR melibatkan empat kategori
tanggung jawab sosial, yaitu kategori ekonomis, legal, etis, dan diskresionaris (atau filantropik). Tanggung jawab ekonomis mencerminkan keyakinan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen dan dalam prosesnya akan mendatangkan keuntungan. Tanggung jawab legal menunjukkan bahwa perusahaan diharapkan memenuhi tanggung jawab ekonominya dalam tuntutan hukum tertulis. Tanggung jawab etis menunjukkan sebuah 45 Branco dan Rodriguez, hlm. 9, dalam Branco dan Rodriguez. 46 Carroll, 1979, 1991, dalam Branco dan Rodriguez. 47 A. B. Carroll, “A Three-Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 4, 1979, hlm. 497-505; lihat juga “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, Business Horizons, Vol. 34 No. 4, 1991, hlm. 39-48.
78
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
perhatian bahwa perusahaan memenuhi harapan masyarakat tentang tindakan bisnis yang tidak dikodifikasikan ke dalam hukum, tetapi lebih sebagai yang dicerminkan di dalam standard, norma, nilai-nilai yang tidak tertulis yang secara implisit diturunkan dari masyarakat. Tanggung jawab diskresionaris perusahaan bersifat filantropik atau suka rela, dalam arti bahwa tanggung jawab ini merepresentasikan peran suka rela dari perusahaan terhadap harapan masyarakat yang tidak sejelas dalam tanggung jawab etis. Tanggung jawab etis dan diskresionaris melibatkan tanggung jawab yang lebih untuk melakukan apa yang baik dan menghindari cidera atau kerusakan.
Hubungan antara keempat tanggung jawab ini tampak sebagai
piramida di mana bagian bawah menjadi dasar dari bagian-bagian di atasnya. Tanggung jawab ekonomi menjadi dasar bagi tiga tanggung jawab lainnya, tanggung jawab legal menjadi dasar bagi dua tanggung jawab lainnya, dan seterusnya. Menurut Carroll,48 perusahaan harus mengisi keempat tanggung jawab tersebut secara simultan. Asumsi utama di balik perspektif ini adalah bahwa persoalan ekonomi adalah sesuatu yang juga menjadi tanggung jawab bisnis bagi masyarakat, jadi bukan hanya urusan untuk perusahaan atau bisnis yang bersangkutan. Tetapi dalam perkembangan pemikiran Carroll selanjutnya,49 terdapat usulan bahwa sebaiknya tanggung jawab diskresionaris atau filantropik diletakkan di bawah tanggung jawab etis dan/atau ekonomi. Alasannya adalah bahwa, di satu sisi, dalam praktiknya susah membedakan antara tanggung jawab etis dan tanggung jawab diskresionaris. Di sisi lain, berdasarkan hasil amatan, aktivitas filantropik selalu (dapat) dijelaskan dengan motivasi atau kepentingan ekonomi.50 Menurut Carroll, sebuah perusahaan bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan filantropik karena alasanalasan etis atau ekonomi atau gabungan keduanya. Ketika motif-motif ekonomi, seperti menaikkan tingkat penjualan, meningkatkan imaji publik atau menyuburkan moral karyawan, mendasari tindakan sebuah
48 Carroll, 1991; Carroll, 1999, hlm. 284, dalam Branco dan Rodriguez. 49 Schwartz dan Carroll, 2003, dalam Branco dan Rodriguez. 50 Schwartz dan Carroll, 2003, hlm. 506, dalam Branco dan Rodriguez.
79
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
perusahaan dalam bentuk filantropi yang strategis, hal ini bukan merupakan sebuah kewajiban filantropik yang berbeda.51
Model Carroll (empat kategori tanggung jawab sosial perusahaan)
yang juga sudah dimodifikasinya itu kemudian diperluas dan dimodifikasi lebih lanjut oleh Wartick dan Cochran52 dan Wood.53 Wartick dan Cochran menyajikan sebuah model yang mereka sebut dengan “Model Kinerja Sosial Perusahaan” (Corporate Social Performance Model) yang juga mengintegrasikan tiga wilayah: (1) prinsip CSR (yang menggunakan keempat kategori Carroll tentang tanggung jawab sosial sebagai “prinsipprinsip”); (2) proses kepedulian (responsiveness) sosial perusahaan (reaktif, defensif, akomodatif, dan proaktif); dan (3) kebijakan-kebijakan yang dikembangkan untuk menangani isu-isu sosial (manajemen isu-isu sosial). Ringkasan model ini digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 2 – Model Kinerja Sosial Perusahaan ala Wartick dan Cochran Prinsip
Proses
Kebijakan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: (1) Ekonomis (2) Legal (3) Etis (4) Diskresionari (filantropik)
Kepedulian Sosial Perusahaan: (1) Reaktif (2) Defensif (3) Akomodatif (4) Proaktif
Manajemen Isu Sosial: (1) Identifikasi Isu (2) Analisis Isu (3) Pembangunan Tanggapan
Diarahkan pada: (1) Kontrak sosial bisnis (2) Bisnis sebagai agen moral
Diarahkan pada: (1) Kapasitas untuk merespon untuk mengubah kondisi sosial (2) Pendekatan manajerial untuk membangun respon-respon
Diarahkan pada: (1) Meminimisasikan ”kejutan-kejutan” (2) Menentukan Kebijakan Sosial Perusahaan yang efektif
Orientasi Filosofis
Orientasi Institusional
Orientasi Organisasional
Sumber: Wartick dan Cochran (1985, hlm. 767) sebagaimana dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 10. 51 Schwartz dan Carroll, 2003, hlm. 507, dalam Branco dan Rodriguez. 52 Wartick dan Cochran, 1985, dalam Branco dan Rodriguez. 53 Wood, 1991, dalam Branco dan Rodriguez.
80
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Sementara, menurut Wood, gagasan dasar CSR “adalah bahwa
bisnis dan masyarakat merupakan entitas yang berkait kelindan, dan bukannya terpisah; karena itu, masyarakat memiliki harapan-harapan tertentu terhadap perilaku dan hasil-hasil bisnis yang tepat.”54 Dengan melanjutkan empat kategori Carroll, Wood mengajukan tiga prinsip CSR yaitu: (1) prinsip legitimasi, (2) prinsip tanggung jawab publik, dan (3) prinsip diskresi manajerial. Prinsip legitimasi bekerja di tingkat institusional dan didasarkan pada keseluruhan tanggung jawab sebuah perusahaan terhadap masyarakat di mana perusahaan tersebut beroperasi, yang menentukan apa yang diharapkan dari semua perusahaan. Ini adalah sebuah prinsip proskriptif (bersifat negatif, ”tidak boleh”). Prinsip ini mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai sanksi-sanksi yang telah siap sedia untuk digunakan ketika kewajiban-kewajiban ini tidak diindahkan oleh perusahaan.55 Sementara, prinsip tanggung jawab publik berfungsi pada tingkat organisasional, di mana perusahaan-perusahaan “bertanggung jawab untuk memecahkan problem yang telah mereka sebabkan, dan mereka bertanggung jawab untuk membantu memecahkan problem dan isu-isu sosial yang terkait dengan operasi dan kepentingan bisnis mereka.”56 Akhirnya, prinsip diskresi manajerial berfungsi pada tingkat individual dan menekankan tanggung jawab para manajer untuk berperilaku sebagai aktor-aktor moral dan membuat pilihan-pilihan tentang kegiatan yang dirancang untuk mencapai hasil-hasil yang secara sosial menuntut pertanggungjawaban.57
Wood juga menganjurkan bahwa perusahaan harus mengguna-
kan tiga jenis proses untuk membawa prinsip-prinsip tersebut ke dalam ranah praktik, yaitu penilaian berkaitan dengan lingkungan (environmental assessment), manajemen isu, dan manajemen pemangku kepentingan, yang kemudian dikaitkan dengan keempat kategori yang telah diuraikan di depan yaitu ekonomis, legal, etis, dan filantropik (diskresionis). Hasilhasilnya kemudian dibaca sebagai dampak-dampak sosial (menguntung54 D. J. Wood, “Corporate Social Performance Revisited”, Academy of Management Review, Vol. 16 No. 4, 1991, hlm. 691-718. 55 Wood, 1991, hlm. 699. 56 Wood, 1991, hlm. 697. 57 Lihat Branco dan Rodriguez, hlm. 11.
81
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
kan atau merugikan), program-program sosial (yang mengacu pada upaya yang dilakukan perusahaan dalam rangka memulihkan dan mengatasi masalah sosial yang merugikan), dan kebijakan-kebijakan sosial (yang muncul sebagai pembimbing dalam pengambilan keputusan). 58
Kemudian, bersama R. E. Jones, Wood menggunakan perspektif
atau teori pemangku kepentingan untuk memodifikasi definisi kinerja sosial perusahaan Wood sebagai prinsip, proses, dan hasil (outcomes). Mereka meredefinisi hasil-hasil sebagai akibat bagi pemangku kepentingan internal, akibat bagi pemangku kepentingan eksternal, dan akibat institusional eksternal. Berkaitan dengan kinerja sosial perusahaan, menurut Wood dan Jones, para pemangku kepentingan mempunyai tiga peran: (1) mereka adalah sumber harapan tentang apa yang menentukan kinerja yang diinginkan dan tidak dikehendaki dari sebuah perusahaan, yang juga menentukan norma-norma perilaku perusahaan; (2) mereka mengalami efek dari perilaku perusahaan; (3) dan mereka mengevaluasi hasil dari perilaku perusahaan dalam arti bagaimana mereka melihat harapan mereka terpenuhi dan bagaimana perusahaan mendatangkan pengaruh atau dampak bagi kelompok dan organisasi dalam lingkungan mereka.59
Ringkasan model kinerja sosial perusahaan menurut Wood dan
Jones dapat dilihat pada tabel berikut:
58 Wood, 1991. 59 Wood dan Jones, 1995, hlm. 231, dalam Branco dan Rodriguez.
82
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Tabel 3 – Model Kinerja Sosial Perusahaan ala Wood dan Jones Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: (1) Prinsip Legitimasi (2) Prinsip Tanggung Jawab Publik (3) Prinsip Diskresi Manajerial
Proses
Hasil
(1) Penilaian Berkaitan dengan Lingkungan (2) Manajemen Isu (3) Manajemen Pemangku Kepentingan
(1) Dampak Sosial (Menguntungkan atau Merugikan) (2) Program Sosial (3) Kebijakan Sosial
Dikaitkan dengan kategori: (1) Ekonomis (2) Legal (3) Etis (4) Filantropik (Diskresionis)
Redefinisi Wood bersama Jones: (1) Akibat bagi pemangku kepentingan internal (2) Akibat bagi pemangku kepentingan eksternal (3) Akibat institusional eksternal
Sumber: Diolah oleh Eddie Sius Riyadi berdasarkan paparan Branco dan Rodriguez, hlm. 10-11.
Dilihat dari perspektif teori pemangku kepentingan, kinerja sosial
perusahaan bisa dinilai dalam hal bagaimana sebuah perusahaan memenuhi tuntutan dari kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang jumlahnya banyak.60 Selain itu, perusahaan harus berupaya untuk memuaskan kebutuhan atau tuntutan mereka ”sebagai harga yang tidak bisa dihindarkan dalam menjalankan bisnis.”61 Kinerja sosial perusahaan dilihat sebagai hal yang mengacu pada ”kemampuan perusahaan untuk memenuhi atau melampaui harapan pemangku kepentingan menyangkut isu-isu sosial.”62 Selain itu, penting untuk dipahami bahwa untuk menjadi responsif terhadap harapan-harapan pemangku kepentingan, perusahaan harus mempertimbangkan norma-norma sosial yang berlaku dan pandanganpandangan dominan yang terterap dalam suatu masyarakat tentang 60 Branco dan Rodriguez, hlm. 11. 61 Ruf et al., 2001, hlm. 143, dalam Branco dan Rodriguez. 62 Husted, 2000, hlm. 27, dalam Branco dan Rodriguez.
83
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
tanggung jawab sosial perusahaan. Antara harapan para pemangku kepentingan secara khusus dengan pandangan masyarakat secara umum selalu terdapat pertautan yang tak terpisahkan. Karena itu, isu-isu sosial dan isu-isu pemangku kepentingan selalu terkait dan tak perlu diributkan untuk dipisahkan.63
Hal yang menarik untuk dilihat lebih jauh adalah konsep Carroll
tentang CSR yang melibatkan suatu aspek yang sangat penting yaitu tanggung jawab ekonomi. Hal ini penting karena tiga alasan. Pertama, tanggung jawab ekonomi atas perusahaan adalah sesuatu yang juga fundamental dari sudut pandang masyarakat. Kedua, para pemegang saham adalah pemangku kepentingan yang kepentingannya harus dipertimbangkan oleh para manajer. Ini bukan sekadar karena kepentingan mereka dilindungi oleh hukum tetapi juga karena kehidupan para manajer itu tergantung pada bagaimana para pemegang saham mengevaluasi kinerja mereka. Ketiga, tanggung jawab-tanggung jawab yang lain tergantung pada pemenuhan tanggung jawab ekonomi dalam arti bahwa keberlangsungan hidup perusahaan dan ketersediaan sumber daya yang cukup untuk memenuhi tanggung jawab yang lain itu tergantung pada pemenuhan tanggung jawab ekonomi tersebut. Tanggung jawab legal juga sangatlah penting. Jika perusahaan tidak mematuhi tanggung jawab hukum, maka hal itu akan merusak kinerjanya dan keberlangsungan hidupnya.
Namun, menurut Branco dan Rodriguez, dalam perbincangan
tentang CSR, yang paling dipentingkan adalah dua jenis tanggung jawab yaitu tanggung jawab etis dan filantropik (diskresionis). Branco dan Rodriguez memahami CSR, dengan mengacu pada pandangan Jones, sebagai “sebuah ’kewajiban’ terhadap kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat lebih dari sekadar kewajiban terhadap pemegang saham, yang melampaui ketentuan hukum dan kontrak kerja dan diterima atau dilakukan secara suka rela.”64 Jadi, meskipun tanggung jawab ekonomi dan legal merupakan bagian dari tanggung jawab sosial 63 Branco dan Rodriguez, hlm. 11. 64 Branco dan Rodriguez, hlm. 11, mengacu pada Jones, 1980, hlm 59-60.
84
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
perusahaan, namun sebagai subjek analisis, kedua tanggung jawab itu tidak termasuk dalam tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). CSR dipahami sebagai sebuah hubungan dua arah antara perusahaan dan masyarakat di mana masyarakat menuntut pengakuan akan signifikasinya di hadapan perusahaan, dan sebaliknya perusahaan mengharapkan dukungan atau “persetujuan” dari masyarakat atas operasinya. CSR berkaitan dengan harapan kelompok konstituen dalam masyarakat tentang perilaku perusahaan yang harus dimiliki dan dipatuhi oleh perusahaan. CSR adalah sebuah konsep yang paling luas digunakan untuk menekankan hubungan antara bisnis dan masyarakat.65
Sebagai modifikasi terhadap model Carroll (empat kategori
tanggung jawab sosial perusahaan yang telah diuraikan di depan), Lantos66 mengajukan tipologi yang lain menyangkut tanggung jawab sosial
perusahaan, yang terutama menekankan perbedaan antara
komponen etis dan filantropik dalam model Carroll tersebut. Lantos mengajukan tiga tipe tanggung jawab yaitu tanggung jawab etis, altruistik dan strategis. Tanggung jawab etis yang dipahami Lantos lebih dalam arti do no harm (tidak boleh merugikan) dalam arti bahwa kerugian atau kerusakan sosial tidak hanya dikurangi, melainkan harus dihindari, kendatipun perusahaan sama sekali tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari upaya itu, bahkan sekalipun keuntungan yang seharusnya didapatkan menjadi batal karena dilakukannya upaya itu. Tanggung jawab etis mengandung mandat moral. Dalam pandangan Lantos, perusahaan terikat secara moral untuk memastikan bahwa individu atau kelompok masyarakat tidak mengalami kerusakan atau kerugian oleh aktivitas perusahaan baik itu fisik, mental, ekonomis, spiritual maupun emosional. Karena itu, tanggung jawab para manajer untuk mengusahakan keuntungan (tujuan) tidak boleh dilepaskan dari perhatian pada cara yang digunakan untuk mencapainya. Namun, Lantos juga sadar bahwa kerusakan atau kerugian tidak selamanya bisa dihindari, tetapi paling tidak hal itu harus sebisa mungkin diminimisasi.67 65 Branco dan Rodriguez, hlm. 11. 66 Lantos, 2001; Lihat juga G. P. Lantos, “The Ethicality of Altruistic Corporate Social Responsibility”, Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 NO. 3, 2002, hlm. 205-230. 67 Lantos, 2001, hlm. 606.
85
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Tanggung jawab altruistik melampaui tanggung jawab etis dalam
mengatasi masalah-masalah sosial yang tidak disebabkan oleh perusahaan atau sebagai akibat dari operasinya, dan karena itu perusahaan sebenarnya tidak bertanggung jawab atasnya. Tanggung jawab altruistik didasarkan pada asumsi tertentu tentang tanggung jawab publik atas kesejahteraan publik yang kekurangannya tidak disebabkan oleh perusahaan. Mandat tanggung jawab altruistik bersifat benefisial (kebaikan), dan bukan moral.68
Tanggung jawab strategis berarti bahwa perusahaan terlibat dalam
aktivitas tanggung jawab sosial hanya karena hal itu dipandang pada gilirannya (jangka panjang) mendatangkan keuntungan baik langsung maupun tidak, baik material maupun non-material, baik bagi perusahaan maupun bagi pemangku kepentingan. Kalau dalam tanggung jawab altruistik keuntungan tidak menjadi dasar pertimbangan (kendatipun hal itu mungkin saja terjadi), maka dalam tanggung jawab strategis perusahaan mempertimbangkan keuntungan tersebut karena ia (perusahaan) yakin bahwa akivitas tanggung jawab sosial yang dilakukannya itu akan mendatangkan keuntungan baginya; dan dengan melakukan hal itu maka para manajer bukan hanya tidak menyalahi namun juga terutama menunaikan mandat para pemegang saham untuk mengusahakan keuntungan. Menurut Lantos, tanggung jawab altruistik hanya legitim sejauh ia memuat unsur strategis: yaitu bahwa tanggung jawab itu juga membawa perusahaan ke arah sasarannya yang lebih jauh.
Tipologi Lantos sebagai tanggapan terhadap Carroll disajikan
dalam tabel berikut:
68 Lantos, 2001, hlm. 605.
86
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Tabel 4 – Tipe-Tipe CSR Klasifikasi Carroll 1.
2. 3.
4.
Klasifikasi-Tanggapan Lantos
Tanggung jawab ekonomis: mencari keuntungan untuk para pemegang saham, menyediakan pekerjaan untuk para karyawan, menghasilkan produk-produk berkualitas bagi para pelanggan. Tanggung jawab legal: kepatuhan pada hukum dan bekerja sesuai dengan aturan main hukum. Tanggung jawab etis: menjalankan bisnis secara moral, melakukan apa yang baik, adil dan jujur, dan menghindari kerusakan/kerugian.
2. CSR etis: pemenuhan mandat secara moral dari tanggung jawab ekonomis, tanggung jawab legal, tanggung jawab etis dari sebuah perusahaan.
Tanggung jawab filantropik: memberikan kontribusi suka rela bagi masyarakat, memberikan waktu dan uang bagi pekerjaan-pekerjaan yang baik.
3. CSR altruistik: pemenuhan tanggung jawab filantropik sebuah organisasi, yang melampaui tindakan pencegahan kerusakan yang mungkin (tanggung jawab etis) untuk membantu memperbaiki defisiensi kesejahteraan publik terlepas dari apakah upaya ini menguntungkan atau tidak bagi perusahaan. 4. CSR strategis: pemenuhan tanggung jawab filantropik yang akan menguntungkan perusahaan melalui publisitas positif dan kehendak baik.
Sumber: Lantos (2002, hlm. 206) yang dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 12, dengan modifikasi oleh Eddie Sius Riyadi.
Penutup: Kesimpulan dan Catatan Kritis A. Kesimpulan Menurut Branco dan Rodriguez, dalam diskursus tentang CSR terdapat lima elemen kunci sebagaimana dikemukakan oleh Buchholz.69 Kelima elemen kunci itu adalah: (1) perusahaan mempunyai tanggung jawab 69 Branco dan Rodriguez, hlm. 12, mengutip Buchholz, 1991, hlm. 19.
87
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
melampaui pencarian keuntungan melalui produksi barang dan jasa; (2) tanggung jawab tersebut melibatkan bantuan untuk memecahkan problem-problem sosial yang penting, khususnya problem-problem yang justru disebabkan oleh perusahaan tersebut; (3) perusahaan mempunyai konstituen yang jauh lebih besar dari pada sekadar pemegang saham; (4) perusahaan mempunyai pengaruh yang jauh melampaui transaksi pasar yang sederhana; dan (5) perusahaan melayani nilai-nilai kemanusiaan dengan rentang yang lebih luas dari pada yang hanya dapat dijangkau dengan sekadar fokus pada nilai ekonomis.
Secara garis besar, diskursus tentang CSR terbelah atas dua kubu,
yaitu kubu yang mendukung CSR dan kubu yang menentangnya.70 Argumen yang menentang CSR didasarkan pada perspektif fungsi institusional perusahaan atau perspektif hak kepemilikan (property rights). Argumen fungsi institusional memiliki tiga perspektif: pertama, organisasiorganisasi lain, seperti pemerintah, eksis untuk menjalankan fungsi yang diminta oleh tindakan-tindakan sosial terkait; kedua, para manajer tidak dilihat sebagai pihak yang memiliki kemampuan dan/atau waktu untuk mengampu dan menjalankan jenis tindakan publik semacam itu; ketiga, tidak seperti para politisi, yang dipilih secara demokratis, para manajer tidak dapat dituntut untuk akuntabel bagi aksi-aksi tanggung jawab sosial mereka. Sedangkan argumen yang berdasarkan perspektif hak kepemilikan memiliki akarnya pada analisis ekonomi neo klasik, dan menekankan bahwa satu-satunya kewajiban manajer adalah memaksimisasi keuntungan bagi para pemegang saham.
Argumen-argumen yang mendukung CSR bisa bersifat etis bisa
juga instrumental. Argumen etis ditarik dari prinsip-prinsip religius, posisi-posisi filosofis atau norma-norma sosial yang berlaku. Perspektif etis menyatakan bahwa sebuah perusahaan harus berperilaku dengan cara yang secara sosial bertanggung jawab karena secara moral hal itu memang dibenarkan. Argumen-argumen ini mengandung cita rasa normatif yang kuat. Sementara, argumen instrumental yang mendukung CSR didasarkan pada asumsi kalkulatif bahwa bagaimanapun juga hal itu akan meng70 Argumen-argumen dari kedua kubu tersebut diuraikan lengkap dalam Jones, 1999, sebagaimana dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 12-13.
88
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
untungkan perusahaan itu sendiri secara keseluruhan, paling tidak dalam jangka panjang kalau bukan dalam jangka pendek.
Maignan dan Ralston,71 membedakan tiga tipe utama motivasi di
balik aktivitas-aktivitas CSR. Pertama, mengikuti perspektif ekonomi atau utilitarian, CSR bisa dipandang sebagai sebuah instrumen tambahan yang digunakan oleh perusahaan untuk mencapai sasaran-sasaran tradisional perusahaan. Kedua, menurut pandangan “kewajiban negatif” (negative duty), perusahaan terlibat dalam kegiatan tanggung jawab sosial untuk memenuhi norma-norma dan harapan-harapan para pemangku kepentingan tentang bagaimana seharusnya operasi perusahaan dijalankan. Dengan demikian, CSR dipandang sebagai sebuah instrumen yang legitim bagi perusahaan untuk menunjukkan kepatuhannya pada norma-norma dan harapan-harapan tersebut. Ketiga, menurut pendekatan “kewajiban positif” (positive duty), perusahaan bisa saja memiliki motivasi-diri (selfmotivated) untuk terlibat dalam inisiatif-inisiatif tanggung jawab sosial dan secara aktif mempromosikan kepentingan-kepentingan sosial, bahkan ketika inisiatif atau tindakan tersebut tidak diharapkan atau dituntut oleh masyarakat. Menurut Maignan dan Ralston, baik pendekatan kewajiban negatif maupun pendekatan utilitarian sama-sama melihat bahwa CSR bisa digunakan sebagai alat penggalangan opini untuk mempengaruhi persepsi para pemangku kepentingan tentang sebuah perusahaan.
Meningkatnya kesadaran sosial tentang CSR telah mendatang-
kan tekanan bagi perusahaan untuk menangani dampak-dampak sosial dan lingkungan dari aktivitasnya dan untuk bertanggung jawab kepada audiens yang lebih luas dari pada sekadar pemegang saham. Di balik semua ini terdapat dimensi etis. Walaupun CSR itu sendiri juga sarat dengan kepentingan strategis, namun dalam praktiknya hal itu tidak dapat dilepaskan dari motivasi-motivasi etis dan moral yang membawa kebaikan bagi masyarakat.
Konsep CSR yang paling banyak diterima sekarang ini adalah
konsep yang dikemukakan oleh Lantos.72 Perusahaan dilihat sebagai 71 Maignan dan Ralston, 2002, hlm. 498, berdasarkan Swanson, 1995, sebagaimana dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 13. 72 Lantos, 2001, hlm. 600.
89
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
subjek yang memiliki kewajiban untuk memikirkan kebutuhan jangka panjang masyarakat. Itu berarti bahwa perusahaan harus terlibat dalam aktivitas yang mempromosikan keuntungan bagi masyarakat dan meminimisasikan efek-efek negatif dari tindakan perusahaan itu sendiri. Namun demikian, dengan menyetujui Lantos, Rodriguez mengingatkan bahwa perusahaan tidak boleh ditekan sampai merugikan dirinya sendiri dalam melakukan tuntutan seperti itu. Memang misi perusahaan tidak boleh dibatasi hanya untuk menciptakan keuntungan bagi para pemegang saham. Alih-alih, harus dipahami bahwa perusahaan perlu mengidentifikasi peluang-peluang yang menguntungkan bagi kedua pihak yaitu perusahaan itu sendiri dan masyarakat. Dalam hal ini, tegas Rodriguez, para manajer bukanlah agen pemegang saham semata. Mereka adalah “pembangun jembatan relasi antara para pemangku kepentingan.”73
B. Catatan Kritis Meskipun Branco dan Rodriguez meyakini bahwa dari keempat kategori Carroll tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), yang paling penting adalah tanggung jawab etis dan filantropik, melebihi tanggung jawab ekonomi dan legal, namun mereka berdua gagal untuk keluar dari cara berpikir dengan rasio tindakan strategis atau instrumental. Artinya, tanggung jawab etis dan filantropik bukan karena kebaikan dari dirinya sendiri melainkan karena kedua jenis tanggung jawab itu adalah instrumen bagi perusahaan untuk mencapai tujuan inheren perusahaan yaitu maksimisasi keuntungan, paling tidak untuk jangka panjang.
Dalam hal ini, meskipun keduanya berada di kubu perspektif
teori pemangku kepentingan yang melihat bahwa terdapat keterkaitan erat antara bisnis dan masyarakat, namun keduanya tampak gagal melihat dimensi moral dari bisnis, atau paling tidak dimensi moral dari eksistensi bisnis dalam arti implikasi-implikasi etis dari keberadaan dan tindakan sebuah perusahaan. Barangkali kegagalan ini dapat juga dibaca sebagai 73 Rodriguez, 2002, hlm. 142, dalam Branco dan Rodriguez.
90
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
kekurangan teori pemangku kepentingan sebagai landasan pembenaran teoretis bagi praktik dan konsep tanggung jawab sosial perusahaan.
Kekurangan Carroll, yang juga diadopsi oleh Branco dan
Rodriguez, diperbaiki oleh Lantos (lihat tabel 4 yang telah dimodifikasi oleh penulis). Lantos melihat bahwa tiga kategori tanggung jawab sosial yang dibuat Carroll yaitu tanggung jawab ekonomis, legal, dan etis sebenarnya merupakan praktik etis dari CSR. �������������������������� Artinya, bahwa perusahaan mempunyai mandat moral. Mandat moral itu tampak dalam ketiga jenis kategori tersebut. Sementara, tanggung jawab filantropik atau diskresionis merupakan bagian dari praktik altruistik CSR sekaligus praktik strategis CSR. Kalau praktik strategis “menyembunyikan” motif pencarian keuntungan di balik tanggung jawab dan praktik filantropik, maka praktik altruistik bukan hanya tidak menyembunyikan melainkan menyingkirkan sama sekali motif tersembunyi apa pun selain hanya demi kebaikan masyarakat terlepas dari apakah perusahaan mendapat untung atau tidak. Pertimbangan untung atau tidak menjadi tidak relevan.
Sebagaimana disetujui Rodriguez, nyaris tidak terdapat cacat
dalam pemikiran Lantos; sebuah pemikiran yang paling banyak diterima dewasa ini. Rodriguez mengingatkan bahwa tindakan altruistik sebagai pemenuhan tanggung jawab filantropik itu tidak boleh bersifat selfdefeating bagi perusahaan. Hal ini tentu saja kelihatan rasional. Persoalannya, mana yang harus diutamakan: apakah do no harm atau affirmative duties? Teori pemangku kepentingan tampak lebih menekankan pada yang pertama, sementara yang kedua dilakukan sejauh itu bersifat strategis. Menurut saya,74 prinsip yang paling pertama untuk diperhatikan adalah menghargai prinsip do no harm, yang bisa juga disebut sebagai prinsip non-maleficence – prinsip tidak boleh melukai, merugikan atau mendatangkan nestapa bagi pihak lain yaitu para pemangku kepentingan. Prinsip ini dikatakan juga sebagai kewajiban negatif (negative duties) karena menekankan tindakan moral minimum berupa tidak mendatangkan hal-hal yang negatif bagi masyarakat atau pemangku kepentingan. Penerapan prinsip 74 Berdasarkan cacatan kuliah dari penjelasan Profesor Agus Nugroho dalam mata kuliah “Etika Bisnis” pada Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat, semester ganjil 2008. ��������������������������� Terima kasih atas pelbagai insightnya yang tajam dan meransang saya untuk berpikir kritis dan tajam.
91
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
ini mengandung karakter pasif, dalam arti tidak melakukan apa pun sudah dipandang sebagai tindakan moral. “Kew Garden Principle” adalah nama terkenal dari praktik pandangan ini. Orang-orang di Kew Garden tidak melakukan apa pun terhadap seorang perempuan yang menjadi korban pembunuhan, padahal mereka berada di sekitar tempat itu, dan mendengar suara permintaan tolong sang korban sebelum meninggal. Orang-orang merasa bahwa asal mereka sendiri bukan pelaku kejahatan, mereka sudah “melakukan tindakan moral” meskipun tidak mencegahnya.
Tentu saja prinsip ini tidak memadai dan bahkan sangat mem-
bahayakan. Perlu ada sebuah prinsip lain, yaitu prinsip affirmative duties yang tampak nyata dalam tanggung jawab filantropik yang altruistik, bukan sekadar strategis. Tetapi, tanggung jawab ini tidak bisa dijalankan sementara di sisi lain prinsip do no harm tidak diindahkan. Artinya, prinsip ini tidak dapat dijalankan sebagai trade off atau “pencucian dosa” atau upaya menutup-nutupi pelanggaran terhadap prinsip do no harm atau negative duties. Karena itu, “tanggung jawab filantropik yang altruistik mengandaikan dipenuhinya lebih dahulu tanggung jawab etis menyangkut fairness atau kepedulian terhadap opportunity cost yang dipikul para stakeholders, yang sering berupa ‘nilai’, hal-hal yang tak dapat dikuantifikasi, termasuk hak-hak asasi manusia.”75 Singkatnya, prinsip do no harm (atau negative duty) yang bersifat pasif – bahkan dalam taraf tertentu sikap pasif terutama dalam konteks di mana terjadi kejahatan yang berat, sebagaimana terjadi dalam kasus Kew Garden di atas – juga adalah sebuah kejahatan.76 Namun, prinsip affirmative duty tidak bisa dijadikan sebagai justifikasi tanpa mengandaikan pemenuhan prinsip negative duty. 75 ��������������������������������������������������������������������������������������������������� Dikutip dari catatan 18 tesis etika bisnis oleh Profesor Agus Nugroho, tesis nomor 13. ����������� Naskah ada pada penulis. 76 Sir Geoffrey Chandler (Ketua Amnesty International UK, mantan eksekutif senior Royal Dutch/ Shell Group) “Diam atau tidak melakukan apa-apa akan dilihat sebagai perbuatan melanggengkan penindasan dan dapat dituduh sebagai tindakan penyertaan. Diam itu sendiri bukanlah sesuatu yang netral. Tidak melakukan apa pun bukanlah sebuah pilihan.” (Silence or inaction will be seen to provide comfort to oppression and may be adjudged complicity. Silence is not neutrality. To do nothing is not an option.) Dikutip dalam C. Avery, “Business and Human Rights in a Time of Change” dalam M. T. Kamminga dan S. Zia-Zafiri (eds.), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law International, 2000, hlm. 17-73. Juga lihat Sir G. Chandler, dikutip dalam A. Clapham dan S. Jerbi, Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses, dapat diunduh di http://www. business-humanrights.org/Clapham-Jarbi-paper.htm.
92
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Kedua prinsip ini tidak dapat diterapkan secara terpisah dan
sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu-kesatuan dan serempak, dengan urutan negative duties kemudian affirmative duties. Penerapan itu diarahkan pada apa yang oleh Profesor Agus Nugroho disebut sebagai “Empat P” yaitu: profit, people, planet dan procedure. Prosedur ditambahkan untuk menjamin bahwa prinsip non-maleficence atau negative duties tidak dilanggar. People tidak hanya orang yang sudah ada sekarang ini di sini, tetapi juga absent stakeholders, yaitu manusia-manusia generasi masa depan yang belum lahir. Sementara, planet dimasukkan untuk mengakomodasi mute stakeholders, yaitu alam, lingkungan hidup, termasuk hewan dan lain-lain. Dengan �������������������������������������������������� demikian, etika bisnis perlu mempertimbangkan etika lingkungan.
93
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Daftar Referensi Avery, C., “Business and Human Rights in a Time of Change” dalam M.T. Kamminga dan S. Zia-Zafiri (eds.,), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law International, 2000, hlm. 17-73. Barry, N., “The Stakeholder Concept of Corporate Control Is Illogical and Impractical”, The Independent
Review, Vol. 6 No. 4, 2000, hlm.
541-554. Branco, Manuel Castelo dan Lúcia Lima Rodriguez, “Positioning Stakeholder Theory within the Debate on Corporate Social Responsibility”, EJBO (Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies), Vol. 12, No. 1 (2007), hlm. 5-15. Carr, A. Z., “Is Business Bluffing Ethical”, Harvard Business Review, Vol. 46 No. 1, 1968, hlm. 143-153. Carroll, A. B., “A Three-Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 4, 1979, hlm. 497-505. Carroll, A. B., “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, Business Horizons, Vol. 34 No. 4, 1991, hlm. 39-48. Clapham, A. dan S. Jerbi, Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses, dapat diunduh di http://www.business-humanrights.org/ Clapham-Jarbi-paper.htm. Donaldson, T. dan L. E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications”, Academy of Management Review, Vol. 20 No. 1, 1995, hlm. 65-91. Frederick, W. C., “From CSR1 to CSR2: The Maturing of Business-andSociety Thought”, Business and Society, Vol. 33 No. 2, 1994, hlm. 150-164. Freeman, R. Edward, “A Stakeholder Theory of the Modern Corporation”, dalam L.B. Pincus (ed.), Perspectives in Business Ethics, Singapore: McGraw Hill, 1998, hlm. 171-181. 94
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Freeman, R. E., A. C. Wicks, dan B. Parmar, “Stakeholder Theory and ‘The Corporate Objective Revisited’”, Organization Science, Vol. 15 No. 3, 2004, hlm. 364-369 Friedman, M., “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits”, dalam New York Times Magazine, 13 September 1970. Jensen, M. C., “Value Maximation, Stakeholder Theory, and the Corporate Objective Function”, Journal of Applied Corporate Finance, Vol. 14 No. 3, 2001, hlm. 8-21. Hartman, Laura P., Perspectives in Business Ethics, Boston etc.: McGraw Hill, 2002. Lantos, G. P., “The Ethicality of Altruistic Corporate Social Responsibility”, Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 NO. 3, 2002, hlm. 205-230. Levitt, T., “The Dangers of Social Responsibility”, Harvard Business Review, Vol. 33 No. 5, 1958, hlm. 41-50. Naess, Arne, Ecology, Community and Lifestyle, Cambridge: Cambridge University Press, 1993. Nugroho, Alois Agus, Professor, “Catatan Mata Kuliah ‘Etika Bisnis’ di Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat, semester ganjil 2008. Sethi, S.P., “Dimensions of Corporate Social Performance: An Analytical Framework”, California Management Review, Vol. 17 No. 3, 1975, hlm. 58-64. Sethi, S. P., “A Conceptual Framework for Environmental Analysis of Social Issues and Evaluation of Business Response Patterns”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 1, 1979, hlm. 63-74. Wood, D. J., “Corporate Social Performance Revisited”, Academy of Management Review, Vol. 16 No. 4, 1991, hlm. 691-718.
95