LAMPIRAN
Tokoh utama novel ini, Hinobe, memiliki hobi dan minat membaca buku, memperhatikan dan melestarikan tempat penelitian, museum, perpustakaan, dan sekolah-sekolah daripada pekerjaan politiknya sebagai tentara. Sebagai orang yang memiliki idealisme dan pemikiran pro kemerdekaan ala barat, Hinobe mengalami perang batin dan senantiasa berada dalam posisi yang dilematis.
Hinobe
berpandangan bahwa penangkapan para ilmuwan dan peneliti Belanda adalah sebuah ironi, karena pada masa Edo, saat politik Sakoku diberlakukan, Jepang mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dari Belanda. Hinobe mulai mendata para ilmuwan dan peneliti Belanda yang masih hidup tanpa mempedulikan penyakit paru-parunya yang sering kambuh. Jauh lebih tertarik dengan data para ilmuwan dan peneliti Belanda yang masih hidup ketimbang pekerjaan politiknya sebagai tentara, Hinobe memiliki medan perangnya sendiri karena sisi humanismenya. Penyakit paru-paru yang dideritanya itulah yang membawanya ke sebuah hotel peristirahatan di Selekta, Malang, Jawa timur, tempat ia berobat dan memulihkan dirinya. Dan dari tempat inilah kisah novel ini dimulai. Pada bab 1, dikisahkan interaksi antara Hinobe, teman baiknya, Kibi, dan seorang direktur hotel tempat Hinobe dirawat dan beristirahat yang berkebangsaan Swiss. Di sini telah diuraikan kepribadian dan kondisi fisik Hinobe. Hinobe berusia lebih tua 6 tahun ketimbang Kibi. Digambarkan bahwa dari pertama kali Hinobe masuk tangsi dan menjalani kehidupan sebagai heitai, Hinobe mengalami depresi dan rendah diri. Hinobe fisiknya lemah dan sering sakit-sakitan, serta diperburuk dengan kebiasaannya minum-minum sake, yang berarti sering melanggar disiplin tentara. Ia
berharap terlalu banyak dari orang lain dan sering mempermasalahkan hal-hal yang kecil. Selain itu, Hinobe juga sering bersikap sembrono, semaunya dan sering putus asa dalam mengerjakan sesuatu.
Namun beruntung sekali, Hinobe mempunyai
sahabat baik, yaitu : Kibi. Ketika kesehatan Hinobe yang memburuk, berkat inisiatif Kibi, maka Hinobe dapat dirawat dan beristirahat di hotel yang dikelola direktur berkebangsaan Swiss. Pada bab 2, diceritakan setelah Kibi pergi ke Batavia, Hinobe dalam masa perawatannya di Hotel, bersikap individual dan tidak menyapa orang lain yang ada di hotel tersebut. Hubungan yang terjadi hanya sebatas saling pandang saja. Hari demi hari berlalu, Hinobe mulai berinteraksi dengan orang-orang yang ada di hotel tersebut, di antaranya adalah : dokter J, pak kusir delman yang mengantar Hinobe ke dokter J, seorang pemuda China yang bernama Tuan Lin, dan seorang berkebangsaan Denmark bernama Tuan K. Pak kusir delman yang mengantar Hinobe ke dokter J adalah orang Indonesia yang di usia 50 tahunnya masih gagah dan bersikap bersahabat dengan Hinobe. Namun karena kendala bahasa, mereka kesulitan untuk berkomunikasi, sehingga hubungan mereka hanya sebatas kusir delman dengan penumpang.
Dokter J adalah orang Indonesia berdarah bangsawan yang
menggunakan nama Belanda, sehingga sering disangka banyak orang berdarah belasteran Jawa Belanda. Tuan K adalah seorang dokter berkebangsaan Denmark yang lanjut usia, beruban, berperawakan tinggi, wajah kemerah-merahan dan kakinya pincang. Saat awal, Tuan K bersikap acuh tak acuh dan dingin, sehingga Hinobe juga segan untuk bertegur sapa.
Hubungan di antara mereka cuma sebatas
berpandangan saja. Namun dari Tuan Lin, Hinobe mulai paham mengapa Tuan K bersikap demikian dan kakinya pincang. Diceritakan bahwa Tuan K adalah orang yang sombong dan suatu ketika berhadapan dengan tentara Jepang yang tidak
menguasai bahasa melayu atau Denmark, terjadi keributan di antara mereka sampaisampai terjadi pertarungan dengan tentara Jepang tersebut, sehingga kakinya pincang. Pada bab 3, diceritakan bahwa Hinobe mulai berinteraksi dengan pria berkebangsaan Belanda bernama Van den Brink, beserta istrinya. Van den Brink berkarakter ramah, begitu melihat Hinobe berada di peternakannya, tanpa segansegan menyapanya dan menceritakan segala sesuatu tentang peternakan sapi dan latar belakang keluarganya. Dikisahkan bahwa Van den Brink adalah seorang mayor di angkatan darat yang kemudian mengundurkan diri dan membuka usaha dagang. Kemudian ia berpetualang menjelajah Indonesia dari Sumatera, Borneo, hingga Papua. Akan tetapi usahanya mengalami kegagalan. Ia terus mengembara dan berpetualang, kemudian tinggal dan menetap di gunung yang kini telah berdiri hotel tempat Hinobe kini dirawat. Mula-mula ia mendirikan gubuk, kemudian memelihara sapi dan menanam jeruk setelah membuka hutan dan melawan hewan buas dan racun-racun serangga.
Setelah kebun jeruknya dan peternakan sapinya sukses,
orang-orang berdatangan dari Surabaya dan Malang.
Kemudian ia mendirikan
penginapan, kebun buah-buahan, sayuran, dan kolam renang. Pada bab 4, dikisahkan bahwa peristiwa merawat tentara Jepang yang pingsan menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan antara Tuan K dan Hinobe. Tuan K pernah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari tentara Jepang dan Hinobe mengetahui kisah tentang hal tersebut dari Tuan Lin.
Oleh karenanya,
Hinobe merasa agak sungkan untuk berbicara dengan Tuan K. Namun di suatu sore, ketika Hinobe sedang dalam fisik yang cukup prima dan minum curasao, Tuan K memesan bir. Keakraban segera mencair di antara mereka berdua. Mereka terlibat pembicaraan dan diskusi yang serius. Tuan K mengetahui kesehatan dan pekerjaan
yang dilakukan Hinobe dalam usaha membebaskan para ilmuwan Belanda yang ditangkap. Tuan K ternyata juga mengetahui bahwa kondisi Hinobe telah memulih dan juga tahu beberapa ilmuwan Belanda yang dibebaskan karena usaha Hinobe. Bagi Tuan K, apa yang dilakukan oleh Hinobe adalah sesuatu yang sangat tidak lazim dilakukan oleh orang Jepang. Sempat mengira bahwa Hinobe adalah seorang Kristen karena Hinobe begitu gigih usahanya dalam membebaskan para ilmuwan Belanda yang ditangkap. Ketika ditanyakan alasan Hinobe sampai mengorbankan kesehatannya untuk membebaskan para ilmuwan tersebut, Hinobe hanya menjawab : “itu sudah tugas saya sebagai manusia”. Dari jawaban yang singkat tapi jelas inilah terlihat sisi humanisme dari seorang Hinobe. Pada bab 5, dikisahkan buku harian Hinobe. Isinya adalah kejadian-kejadian dan hari demi hari yang dilalui Hinobe setelah 10 bulan ia menginap dan di rawat di hotel tersebut. Sang Jendral dan pasukannya menginap dan beristirahat di hotel tersebut. Tuan S dari Koran B datang menjenguk Hinobe sambil membawa surat Kibi dari Batavia. Tuan S adalah seorang pemuda yang bersemangat dan pencinta alam. Ia berencana untuk mendaki Gunung Semeru, gunung tertinggi di pulau Jawa, sebelum kembali ke Batavia. Kemudian ia akan pergi ke Kepulauan Solomon karena saat ini terjadi peperangan yang dasyhat. Lalu Hinobe terlibat diskusi dan pembicaraan yang serius dengan Sang Jendral yang bernama Tuan B, Letnan Satu dan seorang antek. Dari buku hariannya dapat diketahui bahwa semakin lama Hinobe berada di hotel tersebut, semakin gamang dan cemas hatinya karena melihat kenyataan semenjak kedatangan Tuan B dan pasukannya di hotel tersebut, jumlah pengunjung yang menginap semakin berkurang karena ditangkapi oleh pasukan Jepang. Hinobe tidak berbeda dengan orang Belanda maupun Indonesia yang sedang resah karena desasdesus bahwa seluruh zona gunung tempat hotel tersebut berada telah diduduki oleh
tentara Jepang. Dari sini terlihat dengan jelas perbedaan pemikiran dan isi hati Hinobe dengan kebanyakan orang Jepang lainnya. Justru ia seperti kebanyakan orang-orang Belanda dan Indonesia yang cemas dengan keberadaan pasukan Jepang di zona gunung tersebut. Dalam keresahannya, Hinobe lalu juga bertemu dengan Tuan F, seorang pemilik toko buku di Batavia, beserta istri dan putrinya yang cantik. Tuan F adalah sahabat baik dari Van den Brink dari kecil di Rotterdam. Pada bab 6, dikisahkan keakraban antara orang-orang Belanda yang mengajak Hinobe makan makanan Jepang, sukiyaki. Telah terlihat adanya pembauran dan persahabatan antara 2 bangsa yang sedang berperang di Indonesia, yaitu : Jepang melawan Belanda.
Namun hal tersebut tidak mengurangi keakraban di antara
mereka, Tuan F dengan istri dan dua anak gadisnya, Tuan K dan Nyonya W, Van den Brink dengan istri dan satu anak gadisnya serta Hinobe. Suasana menjadi meriah ketika bir dan sake yang dipesan dari hotel telah tiba, dimulailah cerita-cerita nostalgia. Tuan K berpendapat bahwa Hinobe adalah seorang mistis yang misterius, sekaligus seorang humanis yang mistis. Nyonya W banyak bertanya kepada Hinobe tentang para ilmuwan-ilmuwan Belanda, karena mengetahui apa yang telah dilakukan Hinobe. Hal ini membuat Hinobe bertanya-tanya hubungan Nyonya W dengan para ilmuwan tersebut dan arti bunga kamboja yang selalu disematkan di dada bajunya itu. Ketika acara telah selesai, Nyonya W pulang dengan diantar oleh Hinobe.
Ketika sampai di rumahnya, Hinobe diajak minum sake dan terlibat
pembicaraan yang cukup serius.
Nyonya W meminta Hinobe mencari seorang
ilmuwan muda yang mungkin sudah mati, yang diakuinya sebagai orang yang paling penting dalam hidup Nyonya W. Ternyata Nyonya W juga memiliki ketertarikan khusus dengan Hinobe, karena setelahnya mereka saling berciuman mesra. Dan
Nyonya W ternyata ketika berenang sering memperhatikan Hinobe yang berjalanjalan di sekitar kolam renang. Pada bab terakhir, dikisahkan dokter J menginformasikan kepada Hinobe bahwa kesehatannya telah pulih dan ia diperbolehkan untuk meninggalkan hotel dan melakukan perjalanan jarak jauh untuk kembali ke Jepang.
Dokter J juga
menginformasikan bahwa Van den Brink telah ditangkap karena tuduhan menyembunyikan kaum pemberontak di villa pribadinya, melakukan pertukaran informasi
pergerakan
rakyat
dengan
radio
frekuensi
jarak
pendek
dan
menyelundupkan senjata api kecil. Kecemasan Hinobe semakin menjadi-jadi ketika ia kembali ke hotel, bertemu dengan antek yang beberapa bulan lalu datang dengan Jendral pasukan Jepang, Tuan B. Segera si antek melakukan perampasan aset-aset Van den Brink. Hinobe diajak serta untuk menterjemahkan karena kemampuannya berbahasa Melayu dan Belanda. Di hari terakhir sebelum ditangkap, Van den Brink bercerita bahwa ketika dimulai pendaratan pasukan Jepang di Indonesia, Van den Brink menerima dan melindungi pelarian orang-orang Belanda dan sekutunya tanpa terkecuali. Dari orang-orang tersebut, ada satu orang yang diusir Van den Brink karena membuat masalah di daerah tersebut, dan kemungkinan orang itulah yang dendam dan memfitnah Van den Brink. Hinobe yang mendengar hal ini, melakukan segala usaha untuk membebaskan Van den Brink. Si antek begitu bergembira karena telah menyita seluruh aset di gunung terebut, dan mengajak Hinobe untuk menjadi perancang untuk merombak hotel dan villa bergaya Belanda di daerah tersebut menjadi bergaya Jepang. Hinobe menolak dan pergi meninggalkan hotel dua hari setelah Van den Brink dihukum mati.