Bab I Pendahuluan
1.1.Latar belakang Keberadaan perempuan dalam media saat ini sudah bukan merupakan hal baru bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan dari keduanya sudah tidak dapat terpisahkan. Popularitas menjadi faktor utama perempuan untuk memanfaatkan media massa, sedangkan tanpa adanya perempuan, media tidak akan memiliki “nuansa khas” dari perempuan seperti keberhasilan dalam karir, ketegaran dalam menghadapi masalah, hingga keberanian dalam memperlihatkan aurat (Musta’in, 2013: 65). Hal tersebut salah satunya dapat tercermin melalui media televisi yang turut memberikan kontribusi dalam menggambarkan perempuan sebagai seorang yang seksi, dependent, dan domestik. Sedangkan laki-laki digambarkan dengan memiliki karakter yang aggressive, independent dan violent (Nursalim, 2011). Perbedaan karakter pada laki-laki dan perempuan ini secara tidak langsung telah tertanam dalam persepsi masyarakat. Dengan kata lain, televisi sangat memberikan peran besar pada masyarakat dalam pembentukan perspesi gender yang kemudian memunculkan ketidaksetaraan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam media televisi itu sendiri. Penyebab kemunculan fenomena ini dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya yang dihasilkan dari mekanisme sistem siaran (Ibrahim dalam Nursalim, 2011). Dengan berbagai macam program ditawarkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Dunn dalam Sunarto (2009: 109): news, drama, variety, sport, advertising, cop series, soap opera, documentary, cartoons, situation comedy, children’s television and popular entertainment, televisi dapat merasuki masyarakat. Variety show adalah salah satu jenis program tayangan televisi yang saat ini sangat marak ditelevisi Indonesia. Berdasarkan pengamatan dari peneliti tidak sedikit stasiun televisi Indonesia yang menayangkan program acara tersebut dan dapat dikatakan hampir semua stasiun televisi memiliki program yang serupa. Tayangan ini sebagai tayangan hiburan yang banyak diminati oleh masyarakat
1
Indonesia sekarang. Hal ini dibuktikan dengan munculnya program acara yang serupa pada setiap stasiun televisi dan ditayangkan setiap hari. Konten yang mengandung unsur komedi dan menampilkan berbagai macam hiburan lainnya menjadi daya magnet tersendiri bagi masyarakat terutama dengan menghadirkan perempuan. Hal ini disebabkan setiap keglamoran dan keseksian yang ditampilkan pada perempuan tidak dapat lepas dari industry media (Farihah, 2012: 39). Pesbukers, The Best YKS, OVJ merupakan beberapa contoh program acara variety show komedi yang hingga saat ini masih bertahan dan masih ditayangkan dalam televisi. Program acara Pesbukers menjadi pilihan dari peneliti sebagai objek penelitian. Acara tersebut masih tayang hingga saat ini adalah faktor utama peneliti untuk memilih program acara tersebut. Banyaknya pemeran atau artis perempuan yang mendukung acara tersebut juga turut menjadi bahan pertimbangan peneliti untuk menjadikan program tersebut menjadi bahan objek penelitian. Selain itu, tayangan ini banyak mengandung kontroversial yaitu kerapnya tayangan ini mendapat teguran dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Salah satunya adalah teguran KPI pada tanggal 23 Juli 2013 yaitu dengan pelanggaran adegan yang melecehkan orang dan/atau masyarakat dengan kondisi fisik tertentu dan menampilkan anak-anak dalam siaran langsung melewati pukul 21.30 waktu setempat, serta pelanggaran terhadap norma kesopanan dan kesusilaan (KPI. 2013 Teguran Kedua Sahurnya Pesbukers ANTV diperoleh tanggal 30 Maret 2015 dari http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/31539-teguran-kedua-sahurnyapesbukers-antv). Materi humor yang disampaikan dalam tayangan variety show yang bertemakan komedi ini menjadi satu hal yang menarik. Disamping itu, kekuatan humor yang disampaikan oleh setiap karakter pemainnya memiliki ciri khas tersendiri. Namun demikian, Darwin (2011: 104) komedi ala Indonesia saat ini tidak dapat lepas dari unsur slapstick seperti aksi mendorong dan eksploitasi tubuh dan wajah. Termasuk tayangan Pesbukers yang banyak menyampaikan aksi humornya melalui berbagai macam atraksi seperti nyanyian, game show, sketsa komedi. Dari humor yang disampaikan tersebut, terdapat humor-humor yang mengarah pada perendahan terhadap perempuan terutama dilakukan oleh laki-laki.
2
Akibatnya diskriminasi terhadap perempuan dapat terlihat dari tayangan komedi ini. Tindakan diskriminasi ini menyebabkan lahirnya seksisme yaitu suatu bentuk diskriminasi dengan latar belakang seks yang didalamnya terdapat perbedaan seks yang dianggap relevan dalam konteks tertentu tetapi sebenarnya tidak relevan (Piliang, Yasraf. A. 2007. “Gender Horrography”: Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Pemberitaan Pers diperoleh tanggal 29 Januari 2016 dari https://kippas.wordpress.com/2007/07/18/“gender-horrography”-kekerasanterhadap-perempuan-dalam-pemberitaan-pers/). Dengan kata lain, seksisme merupakan bentuk lain dari diskriminasi. Tanpa menyadarinya para pemain laki-laki dalam tayangan ini menunjukkan sikap seksis terhadap perempuan dengan tujuan menghibur dan membuat orang yang melihatnya tertawa. Soedjatmiko dalam I Made Netra (2009) menyatakan bahwa selain digunakan sebagai alat untuk mengendurkan ketegangan, humor dapat digunakan untuk hal-hal yang bertujuan seksis yang mana memanfaatkan perempuan sebagai objek yaitu seperti merendahkan, meyepelekan dan memarjinalkan posisi perempuan. Dengan begitu, sangat terlihat laki-laki memanfaatkan para perempuan untuk menjadikan mereka sebagai bahan lelucon. Perempuan dianggap lebih lucu ketika menjadi target dan tidak ada ketegasan untuk menarik kesimpulan mengenai gambaran tentang penyebab perempuan sebagai sasaran laki-laki (Canter dalam Jackson & Jackson, 1997: 286). Dengan adanya fenomena perempuan dalam tayangan komedi menjadikan peneliti merasa tertarik untuk melihat dan mendalami tentang gambaran perempuan yang menjadi target laki-laki untuk dijadikan sebagai bahan lelucon yang terselip unsur-unsur diskriminasi yang merendahkan perempuan (seksisme) dalam media televisi Indonesia khususnya dalam program acara variety show komedi. Disamping itu, ketertarikan peneliti tentang representasi perempuan dan seksisme terhadap perempuan dipengaruhi oleh penelitian–penelitian sebelumnya sehingga semakin memantapkan peneliti untuk mengkaji fenomena representasi seksisme terhadap perempuan dalam tayangan variety show komedi. Penelitian Seksisme dan Seksualitas Dalam Lagu Pop (Kajian Terhadap Lirik Lagu ‘Surti-Tejo’ Menggunakan Analisis Tekstual milik Netty Dyah
3
Kurniasari (2011) yang berasal dari Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Trunojoyo (Madura) merupakan penelitian pertama yang menjadikan acuan peneliti. Kurniasari dalam penelitiannya menunjukkan representasi (gambaran) seksisme dan seksualitas perempuan dalam sebuah lirik lagu. Adapun lirik lagu yang dijadikan objek penelitiannya adalah lagu milik Jamrud dengan judul Surti-Tejo. Hasil temuannya memperlihatkan bahwa seksualitas perempuan dimanfaatkan untuk menggambarkan perempuan Indonesia. Kurniasari
menganggap
fenomena
lirik
lagu
Indonesia
telah
mengeksploitasi penderitaan hidup manusia terutama dalam kehidupan percintaan. Perbuatan laki-laki telah membuat kehidupan perempuan menderita menjadi gambaran bagi sebagian besar tema-tema lagu tersebut. Penelitian ini beranggapan bahwa teks yang dimunculkan dalam lirik lagu “Surti-Tejo” ini mengandung seksisme. Kepercayaan stereotipe yang turut menegaskan pernyataan seksis terdapat dalam beberapa lirik lagu (Kurniasari, 2011: 33). Teori dan metode analisis wacana Sara Mills turut menjadi dasar untuk meneliti analisis teks dalam lirik lagu. Begitupula dengan teks yang ada dalam tayangan komedi variety show Pesbukers menjadi dasar peneliti untuk melihat representasi seksisme terhadap perempuan dalam tayangan komedi. Penelitian lain milik I Made Netra (2009) dengan judul Perilaku Seksis Dalam Bahasa Seni Pertunjukan Ragam Humor di Kota Denpasar Kajian Bahasa dan Jender turut menjadi acuan dalam penelitian ini. Penelitian yang dilakukan Netra yang berasal dari Universitas Udayana ini menunjukkan gambaran tentang bahasa seksis yang digunakan dalam sebuah pertunjukan teater. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa bahasa seksis dalam humor antara jenis kelamin dengan jenis kelamin tertentu yang diarahkan pada perempuan dan menjadikan perempuan sebagai objek (Netra, 2009: 7). Seni pertunjukan merupakan objek dari penelitian Netra. Dengan melihat jenis bahasa yang digunakan dalam humor seni pertunjukan, peneliti ingin menunjukkan bahwa bahasa dan perilaku seksis menjadi bagian dari pertunjukan humor. Jenis komunikasi monologis dan dialogis menjadi bentuk komunikasi utama untuk memperlihatkan bahasa dan perilaku seksis laki-laki terhadap
4
perempuan. Hal ini mempunyai keterkaitan dengan penelitian representasi seksisme terhadap perempuan yang ingin menunjukkan perilaku seksis yang tercermin melalui media televisi khususnya dalam tayangan variety show komedi. Dari kedua penelitian sebelumnya yang menjadi acuan penelitian ini, terdapat satu penelitian yang terkait dengan wacana seksisme dan media yaitu milik Irzum Fahirah (2012) dengan judul Pembacaan Sosiologis Atas Seksisme Perempuan Dalam Media. Iklan dalam media seperti televisi dan majalah menjadi objek penelitian ini. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa media merupakan wadah untuk perempuan sebagai alat pemuas kebutuhan laki-laki dan kecantikan yang dimanfaatkan untuk laki-laki. Kemunculan seksisme menjadi bagian dari potret realitas sosial dan budaya perempuan. Selain itu, media merupakan sumber yang kuat untuk menyampaikan ide-ide seksis melalui peran laki-laki dan perempuan. Dijelaskan dalam penelitian ini bahwa nilai-nilai direfleksikan media merupakan bentuk representasi tentang pandangan konservatif antara laki-laki dan perempuan. Sementara dijelaskan pula bahwa gambaran-gambaran seksis ditunjukkan melalui peran-peran yang dimainkan (Farihah, 2012: 50). Hal ini terkait dengan penelitian representasi seksisme terhadap perempuan melalui tayangan komedi. Untuk lebih mendalami mengenai gambaran seksisme terhadap perempuan, peneliti tidak meneliti seluruh episode yang tayang dalam tayangan Pesbukers. Akan tetapi, peneliti hanya akan meneliti episode-episode tertentu. Mengingat episode-episode yang pada setiap episodenya mempunyai tema yang berbeda termasuk mengusung tema khusus seperti hari perayaan atau hari nasional. Hari Kartini dan hari Valentine menjadi salah satu tema yang diangkat dalam tayangan ini. Hal ini dapat terlihat selama 2 tahun berturut yaitu 2014 hingga 2015 Pesbukers mengangkat tema Kartini dan Valentine. Tema Kartini menjadi tema khusus dalam tayangan Pesbukers karena hari Kartini dianggap sebagai hari nasional untuk memperingati perjuangan RA Kartini dalam menegakkan hak-hak perempuan. Pada episode hari Kartini, tayangan Pesbukers memunculkan para perempuan disetiap segmennya dan menampilkan perempuan dengan berbagai profesi. Dengan
5
kata lain, tema Kartini ini dijadikan tema khusus sebagai tema perempuan. Selain tema hari Kartini, hari Valentine menjadi hari khusus dan dijadikan tema dalam tayangan variety show ini. Dalam masyarakat hari Valentine merupakan hari khusus dan dianggap sebagai hari penting terutama untuk para perempuan. Pada hakikatnya hari Valentine bukan hari nasional namun dalam hari iniperempuan menginginkan untuk diperlakukan secara istimewa oleh pasangannya. Hasil survei online dalam Tokii (Tokii adalah sebuah program manajemen hubungan secara online yang dapat membantu para pasangan untuk mengeksplorasi aspek yang berbeda dari pasangan mereka. Program ini dilakukan melalui permainan interaktif dan penemuan) pada Januari 2012 menyatakan bahwa 60% perempuan dihari Valentine mempunyai keinginan untuk mengahabiskan waktu dengan pasangannya secara romantis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hari Kartini dan hari Valentine memiliki persamaan yaitu menjadi hari khusus yang diperuntukkan bagi para perempuan. Peneliti tertarik dengan fenomena diskriminasi dalam media televisi. Perilaku diskriminasi terhadap jender terutama terhadap perempuan menjadi kajian utama peneliti dalam penelitian ini. penelitian menjadi penting karena mengingat acara-acara televisi sekarang yang serupa dan dinilai kurang mendidik khususnya dalam tayangan komedi. Dengan demikian, dalam penelitian ini akan mengangkat masalah yang terkait dengan penggambaran bentuk-bentuk seksisme terhadap perempuan pada tayangan program variety showPesbukers. Sebagaimana penggambaran tersebut dapat menentukan posisi perempuan dalam sebuah tayangan komedi.
1.2.Rumusan Masalah Berikut adalah rumusan masalah yang ada didalam penelitian ini nantinya yaitu:Bagaimana representasi perempuan dalam tayangan televisi pada program variety showPesbukersspecial edisi Hari Kartini dan Valentine tahun 2014-2015 di ANTV?
6
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini nantinya memiliki tujuan untuk mengetahui posisi perempuan yang direpresentasikan melalui media televisi khususnya pada program variety show Pesbukers pada episode-episode special hari Kartini dan Valentine20142015.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil daripada penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk secara teori dan praktik yaitu: 1. Teori Secara teori, penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang bentuk seksisme yang dihadapi oleh perempuan dalam program tayangan televisi dan membantu para peneliti selanjutnya yang memiliki ketertarikan yang sama terutama dalam kajian diskriminasi terhadap perempuan dalam media. 2. Praktik Dengan hasil penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat dalam memaknai dan memahami seksisme terutama dalam media televisi sehingga tidak mudah terpengaruh dengan tayangan-tayangan dan tidak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
1.5. Kerangka Teori 1.5.1 Gender dan Media Televisi Dengan memiliki jenis kelamin yang berbeda laki-laki dan perempuan memilikikarakteristik yang berbeda. Lips (2008: 13) menyatakan bahwa masyarakat untuk memberikan label karakteristik pada laki-laki atau perempuan lebih mengandalkan informasi. Media adalah salah satu sumber yang dapat menyediakan informasi-informasi tersebut. Dengan demikian, karakteristik yang dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan tidak lepas dari peranan media dan akan menciptakan label-label tertentu (stereotipe) pada laki-laki maupun perempuan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan mengenai dimensi dari stereotipe jender:
7
Tabel 1.1. Dimensi Stereotipe Gender Dimensions Physical Personality Feminine Pretty Affectionate Sexy Sympathetic Gorgeous Gentle Dainty Sensitive Soft voiced Nurturing Cute Sentimental Petite Sociable Beautiful Cooperative Masculine Athletic Competitive Burly Daring Rugged Unexcitable Muscular Dominant Tall Adventurous Physically vigorous Aggressive Brawny Courageous Physically strong Resistant to pressure Sumber: Cjeka dan Eagly (1999) dalam Lips (2008: 14)
Cognitive Imaginative Intuitive Artistic Expressive Perceptive Verbally skilled Creative Tasteful Analytical Mathematical Good with numbers Exact Good at reasoning Good at abstractions Good at problem solving Quantitatively skilled
Media memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi karakter-karakter tersebut baik melalui media teks maupun media elektronik dan masyarakat hingga saat ini akan memiliki anggapan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan karakter antara laki-laki dengan perempuan salah satunya dalam media televisi. Disamping pembentukan melalui media, konsep jender lahir dari pola sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat (Siregar, 2004: 337). Dengan berbagai program yang ditayangkan televisi mampu menyihir pola pikir masyarakat termasuk membentuk stereotipe. Kehadiran televisi menjadikan masyarakat mempunyai persepsi termasuk melahirkan konsep laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dijelaskan bahwa televisi merupakan sebuah medium kompleks yang
menggunakan baik bahasa verbal, gambar dan suara untuk
menghasilkan impresi dan berbagai macam ide (Berger dalam Efianingrum, 2009: 6). Melalui televisi, jender digambarkan dengan berbagai macam karakter seperti yang disebutkan oleh Deaux dalam Sunarto (2009: 158) yaitu: (1) wanita
8
(menarik,
feminin,
cerdas,
sensitif
dan
emosional),
laki-laki
(kuat,
menyembunyikan perasaan, macho); (2) ibu rumah tangga (memasak, menjaga anak-anak), pekerja kasar laki-laki (pekerja keras, tidak berpendidikan); (3) olahragawati (berotot, agresif), olahragawan (berotot, sehat, kuat); (4) wanita seksi (kulit halus, berwajah cantik), laki-laki macho (memiliki wajah yang menarik, berotot); (5) wanita karir (cerdas, tidak menikah, teratur), laki-laki pengusaha (mengenakan jas, berpendidikan, cerdas). Dewasa ini, karakter-karakter tersebut dapat ditonton oleh masyarakat melalui program film, sinetron, ftv (film televisi) bahkan dalam animasi. Dengan begitu, karakter yang berada dalam televisi berubah menjadi sebuah anggapan dan sudah melekat dalam kehidupan masyarakat.
1.5.2. Perempuan Dalam Televisi Posisi perempuan dan laki-laki dalam media memiliki perbedaan. Budaya patriarki sebagai budaya yang mengawali adanya perbedaan antara posisi perempuan dan laki-laki yang tidak hanya dalam media, melainkan dalam sosial masyarakat. Hal ini menyebabkan posisi perempuan berada dalam posisi minoritas dan menjadikan perempuan diperlakukan tidak adil. Perlakuan tidak adil terhadap perempuan mengakibatkan munculnya diskriminasi. Berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap perempuan dapat dijelaskan menurut Sasongko (2009: 1011). Stereotype yaitu dengan melabelkan pada gender tertentu baik laki-laki maupun perempuan yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakadilan pada salah satunya. Label-label tersebut pada umumnya mengarah pada pernyataan yang negatif. Dapat dicontohkan seperti adanya label femininitas dan maskulinitas yang lahir dari norma budaya masyarakat sehingga terdapat pemisahan antara laki-laki dan perempuan (Moose dalam Efianingrum, 2009: 6-7). Subordinasi merupakan sebuah tindakan dengan menomorduakan pada gender tertertu yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam hal ini, perempuan adalah korban dari penomorduaan tersebut sehingga menyebabkan adanya kesenjangan dalam kehidupan masyarakat. Lingkungan kerja menjadi contoh dari adanya subordinasi ini.
9
Marginalisasi tidak jauh berbeda dengan subordinasi yang menyingkirkan atau meminggirkan suatu gender tertentu. Akibatnya terjadi bentuk pemiskinan terhadap perempuan. Sementara beban ganda merupakan sebuah tindakan yang menunjukkan ketidakadilan pada suatu gender tertentu khususnya dalam lingkungan kerja. Dalam lingkungan tersebut jumlah salah satu gender lebih banyak dibanding gender lain. Dapat dicontohkan, sebuah perusahaan mempekerjakan perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki. Bentuk diskriminasi lain dapat ditunjukkan melalui aksi kekerasan yang dapat diartikan sebagai suatu tindakan menyerang terhadap suatu gender tertentu baik melalui serangan fisik maupun serangan psikologis. Aksi ini banyak dialami oleh perempuan dengan beragam bentuk seperti pelecehan, pemukulan, pemaksaan dan pengancaman. Ketidakadilan yang dialami perempuan dipertontonkan kepada khalayak melalui program-program yang ditayangkan. Dapat dicontohkan dalam program tayangan film, sinetron hingga tayangan komedi. Wardhana dalam Ashadi Siregar (2004) mengamati perempuan dalam sinetron Indonesia digambarkan memiliki dua wacana; memiliki nasib yang malang dan sebagai perempuan yang perkasa. Dengan kata lain, televisi mampu merepresentasikan karakter perempuan yang sesuai dengan kondisi sosial sebenarnya yang terkadang sedikit berlebihan dalam mempresentasikannya. Seiring dengan perubahan dan berkembangnya jaman, representasi perempuan dalam televisi juga cenderung akan berubah. Studi Gunter dalam
Gauntlett
direpresentasikan
(2008: lebih
47)
menyebutkan
bahwa
agresif
dibandingkan
dengan
karakter
laki-laki
perempuan
yang
direpresentasikan memiliki karakter yang pasif. Berbeda dengan representasi perempuan pada tayangan televisi sekarang yaitu perempuan lebih dijadikan sebagai objek yang menarik perhatian.
1.5.3. Variety show Program Televisi Adapun
jenis
program
televisi
menurut
Morrisan
(2008)
yang
dikelompokkan menjadi dua yaitu program informasi (berita) dan program hiburan (entertainment). Program hiburan terdiri dari tiga kelompok yaitu musik, drama
10
(sinetron, film), permainan (quiz show, reality show) dan pertunjukan (ceramah agama, wayang, lenong, sulap). Tayangan televisi Indonesia saat ini didominasi oleh acara hiburan dibanding dengan tayangan yang menyiarkan informasi. Hal ini disebabkan televisi sekarang mengikuti selera masyarakat. Dengan kata lain, program acara televisi ini memiliki ketergantungan dengan rating yang akan dicapai oleh stasiun televisi tersebut. Semakin tinggi rating yang diperoleh maka semakin tinggi keuntungan yang diperoleh oleh stasiun televisi. Tanpa memperhatikan kualitas dan signifikansinya bagi kebutuhan public, stasiun televisi berlomba-lomba untuk mendapatkan rating tinggi. (Agus Sudibyo, 2009: 211). Suatu hal yang umum jika acara komedi, sinetron, musik, kuis, infotainmet menjadi primadona dalam program tayangan televisi khususnya dalam tayangan televisi Indonesia. Bernadette Casey, Neil Casey, Ben Calvert, Liam French dan Justin Lewis (2002: 22) dalam bukunya yang berjudul Television Studies (The Key Concepts) menyatakan bahwa komedi adalah salah satu produksi televisi yang paling menarik yang dimaksudkan untuk memberikan hiburan yang dengan kata lain memberikan ‘escapist entertainment’. Tayangan yang bertemakan komedi ini biasanya dibawakan dengan program drama atau biasa disebut dengan sitcom (situasi komedi), game show hingga variety show. Variety show adalah salah satu bentuk program acara di televisi yang memiliki format dengan mencampur aduk berbagai macam konsep dari informasi hingga hiburan. Adapun bentuk-bentuk informasi dan hiburan ini dikombinasikan menjadi satu show seperti ada yang menyanyi, memasak, sulap, ataupun lawakan. Berdasarkan Naratama (2004: 65) variety show memiliki makna sebagai format acara televisi yang mengkombinasikan dari berbagai macam format seperti: talkshow, magazine show, quiz, games show, musik concert, drama dan komedi situasi. Variasi acara tersebut dipadukan dalam sebuah pertunjukan dalam berbagi bentuk baik dalam bentuk siaran langsung ataupun siaran rekaman. Tayangan variety show yang melibatkan komedi didalamnya akan menarik perhatian bagi khalayak atau masyarakat yang menontonnya karena dianggap sebagai hiburan yang dapat mengundang tawa. Tayangan yang mengangkat tema komedi ataupun humor semakin berkembang dan semakin disukai oleh masyarakat
11
terutama di televisi Indonesia. Humor yang dibawakan berisikan tentang tingkah dari para pemainnya yang bertingkah konyol dan menggunakan kekerasan fisik yang tidak membahayakan bagi pemainnya. Hal ini biasa disebut dengan slapstick, humor seperti ini telah dibawakan sejak lama. Dapat dicontohkan dari adegan Charlie Chaplin yang bergoyang-goyang disituasi yang tidak semestinya, Victor Borge yang menjatuhkan dirinya sendiri dari bangku piano dan Jim Carrey yang memutar wajah dan tubuhnya seperti karet dan hingga saat ini televisi maupun film masih tetap melanjutkan tradisi kekonyolan-kekonyolan tersebut karena tindakan yang “bodoh” tidak dapat terlupakan juga mengingatkan masyarakat bahwa mereka adalah manusia (Slapstick! A Brief History of Physical Comedy diperoleh tanggal 17
Desember
2014
dari
http://injest.com/wp-
content/uploads/2011/08/history_of_slapstick.pdf).
1.5.4 Diskriminasi Terhadap Perempuan Pelecehan, penghinaan merupakan beberapa contoh bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam kehidupan. Tidak hanya dalam kehidupan, dalam media pun perempuan saat ini mengalami kekerasan. Bentuk kekerasan yang ada dalam media bukan kekerasan fisik melainkan kekerasan secara simbolik yaitu dengan melalui gambar ataupun melalui video. Berdasarkan pernyataan Subandy Ibrahim (2011: 270) kekerasan simbolik menemukan tempatnya dalam media, sebab media memungkinkan terjadinya pelbagai corak kekerasan “tak tampak tetapi terasa” (seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, plesetan). Perlakuan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh media sekarang tidak hanya direpresentasikan melalui film atau sinetron melainkan melalui variety show. Seksisme merupakan bagian dari diskrimanasi. Istilah seksisme menurut Pearson, West dan Turner (1995: 9) memberikan makna seksisme sebagai tipe khusus dari diskriminasi atau perlakuan yang tidak adil dan atau ketidakpantasan dalam memperlakukan orang lain. Seksisme dapat ditujukan pada perempuan atau laki-laki atau keduanya dan laki-laki dan perempuan yang menjadi target diskriminasi. Sedangkan menurut Lips (2008: 17) seksisme memiliki arti label prasangka buruk yang didasarkan pada kategori seksual pada seseorang.
12
Tidak hanya perempuan yang mengalami perlakuan seksis ini melainkan laki-laki juga mengalaminya. Namun demikian, seksisme bukan hanya sebatas mengenai paham melainkan terdapat praktek-praktek yang menunjukkan diskriminasi terhadap gender tertentu seperti laki-laki terhadap perempuan, perempuan terhadap sesamanya (Nababan dalam Netra, 2009: 3). Seksisme kebanyakan dialami oleh para perempuan yang termarginalisasi yang menurut Bernard (1971: 37) dalam Pearson, West dan Turner seksisme semacam sikap yang tidak ada kesadaran, sikap abai, sikap tidak ingin tahu terhadap penerimaan dari sebuah kepercayaan yang mana dalam dunia ini hanya melihat dan berisi laki-laki. Adapun jenis-jenis seksisme yang didasarkan pada ambivalensi (ambivalensi adalah perasaan tidak sadar yang saling bertentangan tehadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama (KBBI))terhadap perempuan. Glick dan Fiske dalam Lips (2008: 18-19) menyebutkan banyak peneliti menemukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan dapat dibagi menjadi dua yang didasarkan pada ambivalensi (ambivalent sexism). Berikut adalah jenisjenis seksisme berdasarkan dengan ambivalent sexism: (a) Hostile sexism. Dalam hostile sexism ini menganngap bahwa perempuan memiliki status yang rendah dibanding dengan laki-laki. Dengan kata lain, jenis seksisme ini berorientasi pada dominasi dan paternalism; (b) Benevolent sexism. Jenis seksisme ini memperlakukan perempuan dengan penuh kasih sayang dan melindungi tetapi lakilaki akan menunjukkan sikap intimidasi terhadap perempuan pada akhirnya. Perlakuan seksis terhadap jender ini khususnya pada perempuan dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan cara kasar maupun dengan cara halus. Adapun berdasarkan dalam Lips (2008: 19) seksisme terbagi menjadi dua yang didasarkan pada sikap: (a) Modern sexism. Seksisme yang ditunjukkan dalam modern sexism terlihat lebih halus. Selain dilakukan secara halus, jenis seksisme ini ditandai dengan penolakan bahwa perempuan masih menjadi sasaran diskriminasi. Dapat dikatakan bahwa modern sexism ini menganggap antara laki-laki dan perempuan sudah setara tetapi ketidaksetaraan itu masih ada walaupun diabaikan; (b) Oldfashioned sexism. Jenis seksisme ini beranggapan bahwa antara laki-laki dan
13
perempuan berbeda. Stereotip perbedaan antara laki-laki dan perempuan dikemukakan secara terbuka. Sara Mills (2008: 33) menyatakan bahwa seksisme merupakan sebuah asumsi yang berada dalam seorang individu dan secara sosial asumsi tersebut akan diterima oleh masyarakat. Selain merupakan sebuah asumsi, seksisme adalah bentuk dari penggunaan sebuah bahasa yang dapat memberikan pengaruh dalam sebuah percakapan dan dapat dikatakan bahwa seksisme sebagai indikator dari diskrimiasi sosial. Adapun jenis seksisme menurut Sara Mills (2008) yaitu: (a) overt sexism adalah jenis seksisme yang berfokus pada jenis-jenis bahasa diskriminasi yang meliputi words and meaning (kata dan makna) seperti kata ganti, penamaan, gelar, kata-kata dalam kamus) dan processes (proses pemilihan kata); (b) indirect sexism yaitu jenis seksisme yang secara tidak langsung dibalut dengan humor dan ironi.
1.5.5 Humor Menjalin hubungan dengan orang lain dapat dilakukan dengan berbagai cara namun terdapat satu cara yang paling penting yaitu dengan cara berkomunikasi. Baik atau tidaknya hubungan seseorang dengan orang lain dapat terlihat dari cara berkomunikasinya. Humor merupakan salah satu jenis komunikasi yang terdiri dari canda atau aksi konyol yang dapat dideskripsikan dengan kata-kata ataupun dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk visual seperti melalui media televisi. Berdasarkan Romero dan Cruthirds (2006: 59) humor dapat didefinisikan sebagai komunikasi yang menghibur dan menghasilkan emosi yang positif dan kesadaran dalam individu, grup ataupun dalam sebuah organisasi. Sebagai komunikasi yang dapat menghibur, maka media televisi saat ini berlomba-lomba untuk membuat tayangan program yang penuh dengan humor dan salah satunya adalah melalui tayangan variety show komedi. Attardo (2014: 65-66) menjelaskan tentang berbagai macam humor yang terdiri dari 8 macam yaitu: parody, satire, pun, paradox, irony, dark humor, sarcasm, nonsense (gag). Disamping itu, terdapat teori humor yang menurut Jalaluddin Rakhmat (1998: 128) teori humor dapat terbagi menjadi 3 antara lain; (1) teori superioritas dan
14
meremehkan yaitu tentang posisi yang menertawakan dan yang ditertawakan, untuk yang menertawakan berada diposisi super sedangkan untuk yang ditertawakan berada pada posisi rendah; (2) teori ketidakseimbangan menjelaskan mengenai situasi yang tidak sesuai dengan realita sehingga pada akhirnya menimbulkan kelucuan; (3) teori pembebasan yaitu suatu bentuk ungkapan yang dapat membebaskan dari rasa ketegangan dan menghadirkan sebuah kelucuan seperti sex, sindiran.
1.5.6. Representasi Media massa merupakan sebuah media yang mampu menghantarkan pesan pada khalayaknya secara efektif. Tidak terkecuali media televisi yang merupakan perpanjangan alat indra, media televisi perpanjangan alat indra penglihatan (Harsanto, 2009: 14). Tidak hanya melalui indra penglihatan televisi dapat merasuki khalayak melalui indra pendengaran karena media televisi merupakan perpaduan antara gambar yang bergerak (visual) dan suara (audio). Dengan begitu, televisi mampu mengekspose sebuah kenyataan melalui unsur visualnya dan mampu menjelaskan sesuatu yang sedang berlangsung melalui unsur audionya (Harsanto, 2009: 15). Dapat dikatakan bahwa media televisi termasuk pembentuk kebudayaan. Berita yang berupa fakta dan makna maka media menginformasikan kepada masyarakat menjadi factoid yaitu dengan memperkuat daya persuasinya (Efianingrum, 2009). Maka tidak dapat dielakkan bahwa media televisi adalah salah satu agen pembentuk budaya. Selain menjadi agen budaya, media televisi turut menampilkan sebuah makna dan konsep yang disampaikan melalui sebuah representasi yang kemudian dapat melahirkan suatu kebudayaan dalam masyarakat. Dengan kata lain, representasi merupakan sebuah konsep yang dapat menghasilkan sebuah makna seperti dalam Stuart Hall (1997: 17): Representation is the production of meaning of the concepts in our minds through language. It is the link between concepts and language which enables us to refer to either the ‘real’ world of objects, people or events, or indeed to imaginary worlds of fictional objects, people and events.
15
Representasi adalah sebuah produksi konsep makna dalam pikiran kita melalui sebuah bahasa. Representasi merupakan sebuah hubungan yang menghubungkan konsep dan bahasa yang dapat membuat kita merujuk pada dunia nyata dari sebuah objek, manusia atau suatu kejadian atau tentu saja merujuk pada dunia fiksi dari sebuah objek, manusia dan suatu kejadian. Dalam memproduksi sebuah representasi terdapat sistem yang disebut dengan sistem representasi. Disebutkan dalam Hall (1997: 19) bahwa sistem representasi terdiri dari dua sistem; pertama, sistem tersebut memungkinkan kita untuk memberikan makna pada dunia dengan mengkonstruksi pemahaman yang sama sementara yang kedua sistem tersebut tergantung dari konstruksi yang terbentuk dari sebuah konsep dan tanda yang diatur dari berbagai macam bahasa. Sebuah program yang ditayangkan melalui televisi merupakan cerminan dari dunia nyata seperti adanya program sinetron, drama, sketsa yang kemudian diolah dan dikemas sehingga terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Disamping itu, sebagai tayangan yang dapat menghibur menjadi tujuan utama penayangan program-program tersebut. Tidak terkecuali program tayangan variety show yang menampilkan berbagai macam program hiburan yaitu dari mulai program menyanyi hingga sketsa. Didukung dengan para pemainnya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan membuat program tayangan ini diminati oleh masyarakat. Gambar visual dan kata-kata yang terucap dari para pemain merupakan sebuah tanda yang dapat menunjukkan representasi yang ada dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh dalam tayangan ini menampilkan tindakan maupun perkataan yang dianggap tidak layak untuk ditayangkan seperti penggunaan katakata “pe’a”, “otak cetek”, “koreng” yang ditujukan untuk gender tertentu yang dalam dunia nyata keeksistensian kata-kata tersebut masih tetap ada dan digunakan. Khalayak yang menonton akan memiliki anggapan bahwa suatu gender tertentu tidak mempunyai kemampuan dan dianggap sebagai hina. Dengan begitu, kata-kata dapat menjadi sebuah tanda yang menciptakan sebuah kesepakatan tertentu antara pengguna dan pemakna tanda sehingga terjadi perbedaan interpretasi. Makna yang
16
diartikan oleh pendengar, penonton maupun pembaca tidak akan pernah sama dengan maksud yang disampaikan oleh pembicara ataupun penulis (Hall, 1997: 32).
1.5.7. Wacana Wacana merupakan satuan unit terbesar dari sebuah kalimat seperti yang dipaparkan oleh Crystal dan Cook dalam Nunan (1993) yaitu mendefinisikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat, bentuk dari wacana terkadang berupa sebuah satuan yang runtut atau koheren dengan memiliki makna dan tujuan tertentu seperti ceramah, argumen, lelucon dan cerita. Berbeda dengan Renkema dalam Sumarlam (2005: 11) menjelaskan bahwa ilmu wacana mempelajari tentang hubungan antara bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal. Adapun jenis-jenis wacana menurut Sumarlam (2005: 16) yang terbagi menjadi dua berdasarkan media yang digunakan yaitu: (1) wacana tulis, wacana yang disampaikan dalam tulisan ataupun bahasa tulis melalui media tulis sehingga dalam wacana tulis terjadi komunikasi secara tidak langsung antara pembaca dengan penulis; (2) wacana lisan, wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan melalui media lisan sehingga komunikasi yang terjadi adalah komunikasi langsung antara pendengar dan pembicara. Sementara untuk menganalisis representasi seksisme terhadap perempuan digunakan analisis wacana. Melalui analisis wacana ini, representasi dapat dilihat dari aspek kebahasaan yaitu dengan menghubungkan bahasa dan konteks sehingga dapat dikatakan bahwa pemakaian bahasa baik melalui tutur dan tulisan merupakan suatu bentuk dari praktek-praktek sosial (Dayanti, 2011).
1.5.8. Kode Televisi Melalui televisi secara tidak langsung budaya dapat tercipta sehingga dengan kata lain budaya yang telah terbentuk dalam masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh media yaitu media televisi. Tanda-tanda yang dihasilkan oleh televisi akan merepresentasikan kebudayaan yang tercermin. Dalam tanda-tanda ini terdapat sebuah pesan yang disampaikan kepada khalayak. Berdasarkan John Fiske
17
tanda-tanda tersebut dapat dilihat dengan kode-kode yang terbagi menjadi tiga level yaitu: Tabel 1.2. Tanda Dalam Kode Televisi Realitas
Pertama
Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkrip, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, makeup, perilaku, gerak gerik, ucapan, ekspresi, suara Representasi
Kedua
Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa teknis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya. Ideologi
Ketiga
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patrairki, ras, kelas, matrealisme, kapitalisme dan sebagainya.
Sumber: Erianto (2001: 115-116) Representasi yang disampaikan melalui gambar terutama media televisi menunjukkan sebuah realitas termasuk perempuan yang terlibat dalam tayangan variety show Pesbukers. Aspek-aspek seperti pakaian, ekspresi, lingkungan maupun ucapan adalah gambaran realitas yang dapat dilihat melalui bahasa gambar (televisi) (Eriyanto, 2001: 114). Dari aspek tersebut dapat diketahui bahwa terdapat sebuah tanda dan makna yang tersembunyi khususnya ketika diterima oleh masyarakat.
18
Setiap kode televisi ini merupakan sebuah tanda yang pastinya memiliki makna. Akan tetapi masyarakat akan menerima makna tersebut dengan cara yang berbeda-beda karena berdasarakan pada pengalaman budayanya. Makna mempunyai pengertian yang cair yaitu tergantung dari lingkup budaya melalui pesan tersebut disampaikan (Barata, 2010). Disamping itu, sebuah lingkup budaya atau dapat dikatakan sebagai konteks harus selalu dikaitkan dengan tanda-tanda (teks). Oleh karena itu, antara teks dan konteks tidak dapat dipisahkan karena dengan menghubungkan keduanya akan menghasilkan sebuah makna. Untuk melihat posisi perempuan dalam tayangan variety show Pesbukers, tanda-tanda melalui kode televisi milik John Fiske digunakan. Adapun tanda-tanda tersebut terlihat dari pakaian, gerak tubuh, ekspresi, kamera, dan dialog. Para perempuan ingin terlihat lebih cantik, fashionable, karena mereka tahu bahwa mereka hanya dilihat dari sisi penampilannya sehingga dapat dilihat bahwa pakaian yang biasa dikenakan perempuan lebih ketat (memperlihatkan lekuk tubuhnya) dan berwarna dibanding dengan pakaian yang dikenakan laki-laki (Katrin, 2009). Namun demikian kemunculan perilaku diskriminasi dalam tayangan komedi dipengaruhi oleh pakaian yang dikenakan yaitu dengan mengenakan pakaian sesuai dengan perannya. Dalam hal ini, gerakan tubuh yang dihasilkan oleh perempuan mampu menjadi tanda untuk melihat perlakuan diskriminasi. Seperti menonjolkan gerakan pinggul, dada, pantat yang kemudian memunculkan hasrat untuk diperhatikan, dilihat laki-laki serta menimbulkan hasrat dorongan seksual pada laki-laki (Yasraf dalam Siregar, 2000). Disamping itu terdapat aktivitas lain yang dilakukan laki-laki yang mengarah pada perilaku seksualitas dan diskriminasi seperti menggenggam tangan, seolah-olah memegang payudara. Ekspresi wajah perempuan dapat dijadikan sebuah tanda untuk melihat gambaran perempuan. Seperti menunjukkan rasa ketidaksukaan yang ditutupi dengan ekspresi senyuman. Dengan kata lain senyuman mempunyai makna sebagai alat untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial dengan orang lain, meskipun individu yang bersangkutan tidak sedang berada dalam kondisi emosi yang
19
menyenangkan (Elfenbein & Ambady dalam Kurniawan & Hasanat, 2010). Disamping itu, terdapat tanda yang diberikan perempuan melalui diamnya. Dalam pengambilan gambar melalui kamera terdapat teknik yang dapat menunjukkan sebagai tanda adanya diskriminasi. Adapun jenis teknik pengambilan gambar berdasarkan pada Karwur (2013) yaitu bird eye view/high angle (teknik pengambilan gambar yang dilakukan berada diatas ketinggian objek sehingga memberikan efek pada penonton terdapat suatu kekuatan atau superioritas), eye angle (pengambilan gambar sejajar dengan objek sehingga kesan yang ditimbulkan adalah kesan wajar), frog level (pengambilan gambar dengan ketinggian kamera sejajar dengan dasar kedudukan objek sehingga penonton seolah-olah mewakili mata katak). Percakapan antar para pemain menjadi alat bantu peneliti dalam memperoleh
gambaran
diskriminasi
terhadap
perempuan.
Peneliti
akan
mengutamakan percakapan antara pemain laki-laki dan perempuan terutama percakapan yang diutarakan oleh laki-laki yang mengandung unsur merendahkan perempuan.
1.6. Kerangka Konsep Dari rumusan masalah dan kerangka teori yang telah dipaparkan, maka berikut ini akan ditunjukkan bagan mengenai kerangka konsep dari penelitian ini:
20
Gambar 1.1. Kerangka Konsep
Variety show (Pesbukers )
Perempuan
Kode Televisi John Fiske: Realitas (pakaian, gerak tubuh, ekspresi) dan representasi
Analisis Wacana Sara Mills
(kamera, Dialog) Indirect sexism: Humor Irony
Diskriminasi
Seksisme
Humor: Superioritas Ketidakseimbangan Pembebasan
Overt sexism : Words and meaning processes
21
Dari gambar kerangka konsep pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa variety showPesbukers merupakan suatu bentuk program acara televisi yang bertemakan tayangan hiburan. Dalam tayangan ini terdapat berbagai macam segmen seperti talk show, menyanyi, sulap dan sketsa komedi. Selain itu, tema komedi ataupun humor turut mewarnai pada setiap segmen dan pemain yang terlibat didalamnya tidak lepas menjadi bahan lelucon termasuk para pemain perempuan. Dengan melihat tayangan ini, para pemain perempuan tidak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak adil atau diskriminasi. Perlakuan ini dilakukan oleh pemain
lainnya
(pemain
laki-laki)
bahkan
pemain
perempuan
terkadang
memperlakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan pemain laki-laki terhadap sesamanya. Dengan mendapat perlakuan tersebut, pemain perempuan yang menjadi objek secara tidak sadar mendapat perlakuan seksisme (perendahan terhadap perempuan yang berdasarkan dengan stereotip perempuan). Adapun jenis seksisme menurut Sara Mills (2008) terbagi menjadi dua yaitu overt sexism yang diungkapkan secara langsung, meliputi kata-kata dan makna, sedangkan jenis lainnya yaitu indirect sexism. Dalam jenis seksisme ini, seksisme diungkapkan secara tidak langsung melalui humor salah satunya. Terdapat 3 teori humor yang menjadikan humor menjadi bagian dari seksisme yaitu dengan superioritas (laki-laki dianggap sebagai yang mempunyai posisi super untuk menertawakan perempuan), ketidakseimbangan (laki-laki melakukan hal-hal yang tidak terduga yang bersifat merendahkan perempuan sehingga menimbulkan efek kelucuan), pembebasan (laki-laki mengungkapkan hal-hal yang dianggap “bebas” seperti mengangkat tema sex dan melakukan sindiran-sindiran). Dalam variety show Pesbukersterdapat sebuah wacana. Wacana teks ini dapat dilihat melalui antar pemain disetiap segmen. Dengan dialog, gerak tubuh, ekpresi dan aspek-aspek yang dapat menggambarkan representasi perempuan yang dilakukan oleh para pemain terutama antara pemain laki-laki dan perempuan peneliti dapat melihat fenomena seksisme yang ada dalam tayangan variety show ini. Peneliti akan melihat bentuk gambaran pemain perempuan yang mendapatkan perlakuan seksis sehingga
22
analisis wacana Sara Mills akan digunakan sebagai metode untuk melihat representasi seksisme dalam variety showPesbukers.
1.7. Metodologi penelitian Dalam memperoleh hasil penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif dipilih sebagai metode pada penelitian ini dikarenakan metode ini sesuai dengan tujuan peneliti yaitu untuk mengetahui representasi seksisme yang terkandung dalam acara tayangan variety show komedi Pesbukers.
1.7.1
Jenis Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metodologi kualitatif dengan analisis wacana Sara Mills untuk mendapatkan hasilnya. Makna wacana diartikan sebagai sebuah bentuk komunikasi baik lisan maupun tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai dan kategori yang masuk didalamnya; arti kepercayaan ini merupakan sebuah perwakilan dari pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Roger Fowler dalam Eriyanto, 2001: 2). Seperti penelitian ini yang akan menggunakan metode analisis wacana kualitatif Sara Mills karena sesuai dengan tujuan pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui representasi seksisme terhadap perempuan yang terkandung dalam program acara variety show komedi tayangan televisi.
1.7.2
Metode Penelitian Analisis Wacana Sara Mills Berdasarkan teori Mills (2004: 70) dijelaskan bahwa saat ini para feminis telah beralih untuk meneliti mengenai perempuan yang banyak didominasi oleh para lelaki termasuk dalam kehidupan sehari-harinya sehingga dalam teori analisis wacana Sara Mills lebih banyak memberikan perhatian pada kasus perempuan terutama dalam teks berita. Eriyanto (2001: 199) memberikan penjelasan bahwa Sara Mills dalam analisis wacana lebih menitikberatkan pada bagaimana perempuan digambarkan dan dimarjinalkan dan bagaimana bentuk
23
dan pola permajinalan itu dilakukan melalui posisi yang ditampilkan dalam media. Oleh karena itu, representasi menjadi hal terpenting dalam analisis wacana Sara Mills. Posisi yang dimaksud Sara Mills lebih mengacu pada aktor dalam media atau dalam kasus ini adalah perempuan yang menjadi lakon pada tayangan Pesbukers. Selain melihat posisi perempuan dalam media, Sara Mills turut melihat posisi audiens dalam memaknai tayangan tersebut. Dengan posisi yang ditampilkan maka akan memunculkan posisi sebagai pihak legitimate dan posisi lainnya sebagai illegitimate, sebagaimana konteks dalam penelitian ini dapat melihat posisi audiens dan posisi para perempuan dalam Pesbukers ditempatkan. Berikut adalah kerangka mengenai posisi yang digambarkan oleh Sara Mills dalam Eriyanto (2001: 211): Tabel 1.3. Posisi Perempuan Tingkat Posisi Subjek-Objek
Yang Ingin Dilihat Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata
siapa
peristiwa
itu
dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan.
Apakah
masing-
masing aktor dan kelompok sosial mempunyai menampilkan gagasannya gagasannya
kesempatan dirinya atau
untuk sendiri,
kehadirannya,
ditampilkan
oleh
kelompok/ orang lain.
24
Posisi Penonton
Dalam
hal
ini
posisi
yang
dibicarakan yaitu posisi penonton panggung.
Bagaimana
posisi
penonton panggung ditampilkan dalam tayangan variety show. Bagaimana penonton panggung memposisikan
dirinya
dalam
tayangan
tersebut.
Kepada
kelompok
manakah
penonton
panggung
mengidentifikasi
dirinya. Sumber: Eriyanto ( 2001: 211)
Namun demikian, penelitian ini lebih berfokus pada wacana teks yang ditampilkan melalui sejumlah tanda-tanda yang disampaikan salah satunya seperti dialog yang dilakukan antara para pemain perempuan dalam tayangan Pesbukers dengan pelakon lainnya terutama laki-laki. Sara Mills (2004: 127) menjelaskan bahwa sebuah percakapan dapat dianalisis menggunakan analisis wacana. Dalam analisis percakapan menggambarkan tentang bentuk struktur dari sebuah interaksi yang terjadi. Analisis ini dapat menjangkau lebih luas seperti mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kekuasaan, ras dan jender. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi dan orientasi yang terbentuk oleh para partisipan. Dengan demikian hasil dari analisis ini berupa transkrip dari interaksi atau bagian dari percakapan yang kemudian dikelompokkan dalam struktur tertentu.
25
1.7.3. Objek penelitian Pesbukers merupakan program acara variety show yang akan menjadi objek pada penelitian ini. Adapun alasan utama peneliti menjadikan tayangan Pesbukers sebagai objek penelitian ini adalah: (1) dengan membandingkan program variety show yang lain, program variety showPesbukers banyak menampilkan pemain perempuan dibanding dengan pemain laki-laki; (2) diantara program variety show yang serupa, program acara Pesbukers hingga saat ini masih tayang dan ditayangkan setiap hari. Peneliti tidak akan menggunakan setiap episode tayangan Pesbukers dari tahun 2011 hingga tahun 2015 akan tetapi menggunakan episode special yaitu episode special hari Kartini dan edisi special hari Valentine tahun 2014 – 2015. Pemilihan episode special hari Kartini dan episode special hari Valentine ini didasari oleh pemain perempuan pada episode tersebut lebih banyak dibanding dengan episode-episode lainnya. Selain itu, pada episode-episode ini mengusung tema khusus perempuan atau perayaan teruntuk perempuan. Terdapat ironi yang ditayangkan dalam episode-episode khusus untuk perempuan dalam tayangan ini yaitu tema yang diangkat mengenai perempuan namun tetap memperlakukan perempuan dengan tidak adil. Tahun 2014 dan tahun 2015 menjadi batasan dalam penelitian ini karena pada tahun tersebut merupakan program tayangan favorit masyarakat. Hal ini terbukti program acara variety showPesbukers memperoleh penghargaan sebagai top program komedi dan penghargaan diperoleh kembali pada tahun 2015 dengan kategori yang sama yaitu komedi terfavorit (KapanLagi. 2015. Selamat!Inilah Daftar Pemenang Panasonic Gobel Awards 2015 diperoleh tanggal 28 Mei 2015 dari http://www.kapanlagi.com/showbiz/televisi/selamatinilah
daftarpemenang-panasonic-gobel-awards-2015-9f4c1c.html).Selain
menjadi program terfavorit, dalam program tayangan ini terjadi pergantian pemain perempuan setiap tahunnya. Dengan mengambil edisi special yang akan
26
mewakili keseluruhan episode-episode yang tayang dalam acara variety show tersebut.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data Berikut adalah teknik yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data: 1. Dokumentasi Dalam mengumpulkan data, peneliti akan menggunakan dokumentasi video yang akan diunduh dari situs web YouTube dengan akun ANTVProgram. Selain itu, peneliti akan menggunakan literaturliteratur yang terkait dengan masalah penelitian. Untuk memperoleh data dari video pesbukers, peneliti akan menggunakan setiap segmen dan akan menggunakan time code (kode waktu). Dalam tayangan Pesbukers terdiri dari 4 hingga 6 segmen dan setiap segmennya memiliki durasi 20 hingga 25 menit. 2. Adegan dan transkrip Selain menggunakan dokumentasi, peneliti mengumpulkan data dengan melihat transkrip pada setiap episode tayangan variety show Pesbukers terutama pada episode Hari Kartini dan Hari Valentine 2014-2015.
1.7.5
Teknik Analisis Data Untuk memperoleh hasil penelitian diperlukan teknik yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan menggunakan teknik yang tepat akan sangat membantu peneliti dalam menjawab rumusan masalah. Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan pada sepanjang proses penelitian berlangsung karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif analisis wacana Sara Mills yang membutuhkan kecermatan dalam melihat posisi perempuan dalam wacana dialog yang dilakukan pada tayangan variety show Pesbukers. Metode analisis wacana milik Sara Mills akan digunakan dalam penelitian ini. Dengan menggunakan metode ini, peneliti dapat melihat representasi
27
seksisme dalam tayangan komedi Pesbukers. Reseprentasi seksisme dapat dilihat melalui posisi perempuan yang terlibat dalam tayangan tersebut. Subjek dan objek menjadi dua kategori posisi yang dapat ditempati oleh perempuan. Berdasarkan Eriyanto (2001: 202) menyatakan posisi subjek dan objek mengandung muatan ideologi tertentu. Melalui kode televisi milik John Fiske, peneliti akan melihat posisi-posisi tersebut. Dengan menggunakan aspek level representasi maka peneliti dapat menggunakan hasilnya untuk menentukan posisi perempuan yang terlibat dalam variety show Pesbukers. Peneliti akan menggunakan lima aspek level representasi yang kemudian dari kelima aspek tersebut dapat ditentukan posisi perempuan dalam tayangan Pesbukers edisi Valentine dan Kartini 2014-2015. Namun
sebelum
melakukan
analisis
representasi,
peneliti
akan
mengkategorikan jenis perempuan yang terlibat dalam tayangan ini. Karena tidak semua perempuan dapat dianalisis sehingga peneliti akan melakukan pengelompokan terhadap kedudukan perempuan dalam tayangan tersebut. Adapun pengelompokan perempuan terbagi menjadi tiga yaitu: bintang tamu, pemeran utama dan penonton. Berikut merupakan bagan yang menunjukkan bagaimana peneliti mengkategorikan perempuan dalam tayangan variety show Pesbukers:
28
Gambar 1.2. Proses Pengkategorian Perempuan Dalam Tayangan variety show Pesbukers Variety show Pesbukers
Variety Show Pesbukers Edisi Valentine dan Kartini 2014-2015 Pemain
Laki-laki (jumlah keseluruhan 14 orang)
Perempuan (jumlah keseluruhan 35 orang) Bintang tamu :3 orang ; pemain utama: 3 orang; penonton: 2 orang
Dalam mengkategorikan perempuan pada tayangan Pesbukers episode spesial Valentine dan Kartini 2014-2015 peneliti membagi menjadi tiga klasifikasi yang terdiri bintang tamu, pemain utama dan penonton. Dari keseluruhan jumlah perempuan yaitu 35 orang, peneliti membaginya berdasarkan pada perempuan yang lebih banyak menyita perhatian baik dari penampilan, kontroversi yang dibuat dalam dunia infotainment. Sementara dalam mengkategorikan penonton perempuan ini didasarkan pada keterlibatan penonton secara langsung dengan pemain laki-laki secara personal.
29
1.7.6. Unit Analisis Dalam unit analisis, peneliti akan merepresentasikan diskriminasi seksisme dengan mengaplikasikan analisis wacana Sara Mills dan dibantu dengan menggunakan tanda kode televisi John Fiske. Peneliti hanya akan menerapkan dua level yaitu melalui indikator realitas dan representasi: 1. Pakaian Jenis pakaian perempuan dalam tayangan ini dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu; (a) pakaian ketat tertutup: jenis pakaian yang memperlihatkan lekukan tubuh perempuan seperti dada, pinggul; (b) pakaian kostum : jenis pakaian yang dikenakan sesuai dengan peran yang dimainkan atau sesuai dengan tema; (c) pakaian ketat moderat: pakaian yang tetap menonjolkan bagian tubuh tertentu namun dengan tujuan menimbulkan kesan “lucu” dan terkadang memiliki ukuran yang mini. 2. Gerak Tubuh Adapun gerak tubuh yang dimunculkan perempuan dalam tayangan ini yang daapat dikategorikan sebagai gerakan yang berlebihan dan tidak berlebihan; (a) gerakan yang mengandung unsur seksual: gerakan yang menonjolkan bagian tubuh tertentu seperti dada, paha pinggul, perut, pantat, lengan dan pundak; (b) gerakan sesuai dengan peran: para pemain perempuan dalam tayangan ini melakukan gerakan sesuai dengan peran yang dimainkan. 3. Ekspresi Tanda ekspresi yang ditunjukkan perempuan dalam tayangan ini; (a)tersenyum: menjaga hubungan dengan lawan main, menutupi rasa kekecewaan dan ketidaksukaan; (b)diam: memberikan sinyal untuk menghentikan percakapan; (c)tertawa: terbuka, bebas, berani, menyatu dengan lingkungan; (d)menghindar: tanda untuk menghentikan percakapan; (e) kesal: ekspresi wajah dengan mengernyitkan dahi dan menunjukkan rasa ketidaksukaan.
30
4. Kamera Jenis teknik pengambilan gambar: (a) bird eye view/high angle: teknik pengambilan gambar yang dilakukan berada diatas ketinggian objek sehingga memberikan efek pada penonton terdapat suatu kekuatan atau superioritas; (b) eye angle: pengambilan gambar sejajar dengan objek sehingga kesan yang ditimbulkan adalah kesan wajar; (c) frog level : pengambilan gambar dengan ketinggian kamera sejajar dengan dasar kedudukan objek sehingga penonton seolah-olah mewakili mata katak. 5. Dialog Bentuk diskriminasi terhadap perempuan terdapat dalam sebuah dialog yang memuat topik percakapan: (a) status sosial perempuan: terkait status yang melekat pada perempuan dalam sistem masyarakat; (b) permasalahan perempuan: terkait dengan masalah yang dialami oleh perempuan; (c) penampilan fisik: terkait dengan fisik pada perempuan; (d) pengandaian: perempuan dibandingkan dengan suatu benda, hewan, atau hal lainnya; (e) peremehan: terkait dengan stereotipe perempuan yang ada dalam masyarakat seperti perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak memiliki kemampuan, emosional, tidak memiliki akal dan lainnya.
1.8. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya mencakup pada konten dalam tayangan Pesbukers edisi Valentine dan Kartini 2014-2015. Dengan kata lain, penelitian ini meneliti tentang konten yang mengandung representasi seksisme terhadap perempuan sehingga cakupan seperti produksi tayangan ataupun persepsi maskarakat tentang tayangan variety show komedi ini tidak termasuk dalam cakupan penelitian.
31