KUALITAS MIKROBIOLOGIS DAGING SAPI SEGAR DENGAN PENAMBAHAN BAKTERIOSIN DARI Lactobacillus sp. GALUR SCG 1223 YANG DIISOLASI DARI SUSU SAPI
SKRIPSI CICILIA TAKASARI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN CICILIA TAKASARI. D14204035. 2008. Kualitas Mikrobiologis Daging Sapi Segar dengan Penambahan Bakteriosin dari Lactobacilus sp. Galur SCG 1223 yang Diisolasi dari Susu Sapi. Skripsi. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA Pembimbing Anggota : Sri Usmiati, S.Pt, M.Si Daging sapi merupakan pangan asal ternak yang kaya gizi, khususnya sumber protein hewani yang bersifat perishable. Cara pemotongan dan penanganan yang kurang higienis di RPH merupakan titik kritis kontaminasi mikroorganisme pada daging. Mikroorganisme kontaminan yang bersifat patogen dan dan perusak diantaranya adalah E. coli, L. monocytogenes dan S. typhimurium. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme kontaminan pada daging dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologis. Penggunaan biopreservatif, misalnya dengan penambahan bakteriosin sudah mulai menjadi pilihan produsen, karena lebih aman dan tidak meninggalkan residu yang membahayakan konsumen. Isolat sel produser Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 adalah isolat asli Indonesia yang berhasil diisolasi dari susu sapi dan telah dibuktikan mempunyai aktivitas antimikrobial berupa bakteriosin yang mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen (Usmiati et al, 2007). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari aplikasi pemanfaatan ekstrak kasar bakteriosin IAI dari Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 sebagai pengawet alami daging sapi segar yang disimpan pada suhu dan lama penyimpanan yang berbeda Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor dan Rumah Potong Hewan Cakung Sukabumi pada bulan September sampai bulan Desember 2007. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah besar aktivitas penghambatan bakteriosin IAI, jumlah bakteri awal dalam daging, total plate count, dan total bakteri uji (E. coli, S. typhimurium dan L. monocytogenes) dalam daging segar. Peubah lain yang digunakan sebagai data pendukung adalah karateristik fisik, kadar protein dan nilai pH. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan dua perlakuan (penambahan biopreservatif dan lama penyimpanan yang berbeda pada suhu ruang (27ºC) dan suhu dingin(4ºC). Uji Kruskal Walis digunakan jika keempat asumsi pengujian tidak dipenuhi. Data dianalisis dengan analisis ragam. Uji lanjut yang digunakan adalah uji lanjut Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteriosin IAI dari Lactobacillus sp. SCG 1223 mampu menghambat pertumbuhan bakteri kontaminan pada daging, antara lain E. coli dan L. monocytogenes dalam daging yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin. Bakteriosin IAI juga mampu menghambat pertumbuhan bakteri kontaminan S. typhimurium dalam daging yang disimpan pada suhu ruang, namun tidak memperlihatkan aktivitas penghambatan bila daging disimpan pada suhu dingin. Pengaruh bakteriosin IAI terhadap ketiga bakteri uji kontaminan daging yang disimpan pada suhu berbeda menghasilkan nilai pH dan kadar protein yang berbeda.
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan bakteriosin IAI dengan aktivitas penghambatan 600AU dari isolat sel Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 asal susu sapi pada daging sapi segar mempunyai spektrum penghambatan yang luas, karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium, L. monocytogenes, dan E. coli. Aktivitas penghambatan bakteriosin IAI yang dihasilkan oleh Lactobacillus sp. SCG 1223 memiliki stabilitas yang baik dalam suhu ruang (27ºC) dan suhu dingin (4ºC). Kombinasi penyimpanan pada suhu dingin (4ºC) dengan penggunaan bakteriosin efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji pada daging sapi segar. Pengaruh bakteriosin IAI terhadap ketiga bakteri uji kontaminan daging yang disimpan pada suhu berbeda menghasilkan nilai pH dan kadar protein yang berbeda. Kata kunci : Bacteriosin. Lactobacillus sp., daging sapi segar, E. coli, L. monocytogenes, S . typhimurium
ii
ABSTRACT MICROBIOLOGICAL QUALITY OF FRESH BEEF ADDED WITH BACTERIOCIN FROM LACTOBACILLUS SP. STRAIN SCG 1223 ISOLATED FROM COW’S MILK Takasari, C, R.R.A. Maheswari, and S. Usmiati Beef is an animal product that easily spoiled by microorganisms. A method to inhibit microorganism is needed to prolonge storage periods. Bacteriocin application as biopreservative on meat is better choise to prolonge storage periods because have no side effect. This study is conducted to observe microbiological quality of fresh beef added with bacteriocin IAI from Lactobacillus sp. SCG 1223 isolated from cow’s milk. Data of this study was analized with factorial complete design with two treatment factor different storage periods on two temperature (room temperature (27ºC) : H-0, H-6, H-12, H-18 and chilled temperature (4ºC) :D-0,D-14 D-28) and biopreservative application on beef (bacteriocin IAI, nicin and without bacteriocin addition). The inhibitory activities against three kinds of test bacteria (S. typhimurium, L. monocytogenes and E. coli) are observed. The result of this study showed that bacteriocin IAI from Lactobacillus sp. SCG 1223 not only inhibited Gram positif bacteria but also Gram negative bacteria such as Escherichia coli and Salmonella typhimurium. Inhibitory activities of bacteriocin IAI have good stability in room temperature (27ºC) and in chilled temperature (4ºC). Keywords : Bacteriocin. Lactobacillus sp., fresh beef, E. coli, L. monocytogenes, S . typhimurium
KUALITAS MIKROBIOLOGIS DAGING SAPI SEGAR DENGAN PENAMBAHAN BAKTERIOSIN DARI Lactobacillus sp. GALUR SCG 1223 YANG DIISOLASI DARI SUSU SAPI
CICILIA TAKASARI D14204035
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KUALITAS MIKROBIOLOGIS DAGING SAPI SEGAR DENGAN PENAMBAHAN BAKTERIOSIN DARI Lactobacillus sp. GALUR SCG 1223 YANG DIISOLASI DARI SUSU SAPI
Oleh : Cicilia Takasari D14204035
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 15 Juli 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Rarah R.A.M, DEA NIP. 131. 671. 595
Sri Usmiati, S.Pt, M.Si NIP. 080. 124. 340
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr NIP. 131. 955. 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1987 di Prabumulih, Sumatera Selatan. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Caliktus Triantoko dan Ibu Valentina Srirahayu Budi Astuti. Penulis memulai pendidikannya di TK Santa Maria Prabumulih, dan menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Santa Maria Prabumulih pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 1 Prabumulih dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di program studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (Himaproter) sebagai Pengurus Departemen Kewirausahaan
(2005-2006)
dan
pengurus
Departemen
Penelitian
dan
Pengembangan (2006-2007), Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) IPB sebagai RT Fakultas Peternakan (2006-2007) dan Tim Pendamping (2005-sekarang). Selama di IPB penulis pernah menjadi asisten praktikum Agama Katolik dan Ilmu Pengolahan Susu. Penulis juga pernah ikut ambil bagian dalam kepanitian Natal Civa, Natal Fakultas Peternakan, Bakti Fakultas Peternakan dan Dekan Cup Fakultas Peternakan.
KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas kuasa dan bantuanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Bunda Maria atas bimbingan, doa dan teladan hidupnya kepada saya. Saat ini, keamanan pangan menjadi salah satu hal yang menjadi perhatian masyarakat. Salah satu hal yang paling disoroti adalah penggunaan bahan pengawet pada daging yang aman bagi masyarakat untuk memperpanjang umur simpan daging. Penggunaan bahan pengawet pada daging biasanya menggunakan bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh manusia. Bakteriosin diperkirakan mampu menghambat pertumbuhan mikroba dalam daging sapi sehingga dapat memperpanjang umur simpannya dan aman dikonsumsi karena merupakan biopreservatif alami. Skripsi berjudul “Kualitas Mikrobiologis Daging Sapi Segar dengan Penambahan Bakteriosin dari Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 yang Diisolasi dari Susu Sapi” diharapkan mampu memberikan sejumlah informasi pada pembaca mengenai pengaruh penambahan bakteriosin terhadap kualitas daging sapi segar sehingga dapat diaplikasikan secara nyata pada berbagai produk peternakan lainnya. Penulis merasa bahwa informasi dalam karya tulis ini masih jauh dari cukup. Semoga penelitian mengenai penggunaan bakteriosin pada daging sapi segar dapat terus dikembangkan melalui penelitian-penelitian di masa yang akan datang.
Bogor, Agustus 2008
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................
i
ABSTRACT ...................................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
v
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................... Tujuan ................................................................................................
1 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
4
Daging Sapi ........................................................................................ 4 Warna Daging ............................................................................. 6 Nilai pH Daging .......................................................................... 6 Aroma Daging............................................................................. 7 Mikrobiologi Daging ............................................................ ............. 8 Bakteri Asam Laktat ........................................................................... 10 Bakteri Patogen ................................................................................... 12 Salmonella sp. ............................................................................ 12 Escherichia coli .......................................................................... 13 Listeria monocytogenes .............................................................. 14 Kurva Pertumbuhan Bakteri ............................................................. 15 Zat Antimikroba ................................................................................. 16 Bakteriosin ........................................................................................... 17 Faktor-Faktor yang Menghambat Aktivitas Bakteriosin ..................... 18 Aplikasi Bakteriosin ............................................................................ 19 Nisin ..................................................................................................... 21 METODE .......................................................................................................
22
Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................. Rancangan .......................................................................................... Prosedur .............................................................................................
22 22 22 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Penelitian Pendahuluan......................................................................... Penelitian Utama................................................................................... Pengaruh Penambahan Bakteriosin dan Nisin terhadap Jumlah Bakteri dalam Daging Sapi ……………….................. Pengaruh Penambahan Bakteriosin dan Nisin Terhadap Nilai pH Daging Sapi ………………………………………... Pengaruh Penambahan Bakteriosin dan Nisin Terhadap Kadar Protein Daging Sapi ………………………………………….. Laju Pertumbuhan Bakteri pada Daging Sapi Segar ………… KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
31 34 34 46 52 56 59
Kesimpulan .......................................................................................... 59 Saran .................................................................................................... 59 UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61 LAMPIRAN .................................................................................................... 64
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Kimia Berdasarkan Letak Daging Segar pada Karkas ..........
4
2. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (cfu/g) SNI No. 01-6366-2000 ............................................................................
5
3. Rataan Total S. typhimurium Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Dingin (4ºC) ………………………………………………………
42
4. Rataan Total L. monocytogenes Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Ruang (27ºC)………………………………………………………
44
5. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Ruang (27ºC)………………………………………...
47
6. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi E. coli pada Penyimpanan Dingin ………………………………………………..
48
7. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi S. typhimurium pada Penyimpanan Ruang (27ºC) ........................................................................
49
8. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi S. typhimurium Pada Penyimpanan Dingin (4ºC)…………………………………………...
50
9. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Ruang ………………………………………………..
51
10. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin………………………………………………….
52
11. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi E. coli pada Penyimpanan Dingin (4ºC) …………………………………………...
54
12. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi S. typhimurium pada Penyimpanan Dingin ………………………………
55
13. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin ……………………………
56
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kurva Pertumbuhan Bakteri .....................................................................
15
2. Diagram Alir Perlakuan ............................................................................
30
3. Zona Bening terhadap Bakteri Uji ............................................................
32
4. Luasan Zona Hambat Bakteriosin terhadap Ketiga Bakteri Uji …………
33
5. Rataan Total E. coli Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Ruang (27ºC)…………………………………………………………….
35
6. Rataan Total E. coli Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Dingin (4ºC) ……………………………………………………………...
38
7. Rataan Total S. typhimurium Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Ruang (27ºC)………………………………………………………
40
8. Rataan Total L. monocytogenes Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Dingin (4ºC) …………………………………………………..
45
9. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Ruang (27ºC) ………………………………………..
53
10. Laju Pertumbuhan Bakteri Daging Sapi Segar pada Penyimpanan Ruang…
57
11. Laju Pertumbuhan Bakteri Daging Sapi Segar pada Penyimpanan Dingin…
58
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Ruang ....................................................
64
2. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Dingin ……………………………….... 64 3. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan S. Typhimurium pada Penyimpanan Ruang ……………………… 64 4. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan S. Typhimurium pada Penyimpanan Dingin ……………………… 65 5. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Penyimpanan Terhadap Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan L. monocytogenes pada Penyimpanan Ruang ………………………………………………… 65 6. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Penambahan Biopreservatif Terhadap Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Ruang ………………………………… 65 7. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin ………………….. 66 8. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Ruang ...................
66
9. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Simpan terhadap Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Dingin ………………………………………………………. 66 10. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Dingin ……………………................... 67 11. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Simpan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan S. typhimurium pada Penyimpanan Ruang ……………………………………………………………………… 67 12. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan S. typhimurium pada Penyimpanan Ruang ……………………………………………………………………...
67
13. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Simpan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan S. typhimurium pada Penyimpanan Dingin ……………………………………………………………………… 68 14. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan S. typhimurium pada Penyimpanan Dingin ……………………………………………………………………...
68
15. Hasil Analisis Ragam Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan L. monocytogenes pada Penyimpanan Ruang . …………………………..
68
16. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Simpan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin …………………………………………………………………….. 69 17. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan L. monocytogenes pada Penyimpanan Ruang……………………………………………………………………….. 69 18. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Ruang …………………………………. 69 19. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Simpan terhadap Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi E. coli dengan pada Penyimpanan Dingin………………………………………………………………………
70
20. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Air Daging yang Dikontaminasi dengan E.coli pada Penyimpanan Dingin………………………………………………………………………. 70 21. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan S. typhimiurium pada Penyimpanan Ruang …………………………70 22. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan S. typhimurium pada Penyimpanan Dingin ………………………… 71 23. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan L. monocytogenes pada Penyimpanan Ruang ……………………… 71 24. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin ……………………. 71 25. Larutan Ekstrak Bakteriosin Kasar …………………………………………. 72 26. Daging dengan Berbagai Perlakuan ………………………………………… 72
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangnya berbagai macam industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan kaya gizi adalah sektor peternakan. Produk pangan hasil ternak merupakan salah satu pangan yang digemari oleh masyarakat, karena nilai gizinya yang tinggi, sehingga konsumsinya di masyarakat masih tinggi. Pangan asal ternak yang cukup digemari oleh masyarakat adalah daging sapi.. Kebutuhan masyarakat akan daging sapi yang semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di berbagai daerah. Hal ini menyebabkan produsen daging sapi harus memperhatikan kualitas daging sapi saat daging siap akan dipasarkan sehingga daging sapi aman dan sehat saat dikonsumsi. Daging sapi mengandung zat gizi yang tinggi terutama proteinnya dengan komposisi asam amino yang seimbang dan bermanfaat bagi tubuh manusia. Kandungan gizi yang tinggi menyebabkan daging mempunyai sifat mudah rusak (perishable) karena mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang baik di dalamnya. Salah satu perhatian masyarakat dalam hal keamanan pangan daging adalah dari segi kualitas mikrobiologisnya. Kualitas mikrobiologis daging sangat dipengaruhi oleh banyak hal antara lain adalah cara pemotongan, penyimpanan, pengemasan, distribusi, pengolahan dan cara mengkonsumsi daging tersebut. Titik kritis kontaminasi mikroorganisme pada daging terletak pada cara pemotongannya di Rumah Potong Hewan (RPH). Kontaminasi umumnya berasal dari peralatan yang digunakan saat pemotongan, cara pemotongan, dan kontaminasi dari pekerja RPH. Penanganan di RPH yang kurang higienis menyebabkan kontaminasi paling besar pada daging sapi segar. RPH modern umumnya
telah menerapkan Good Slaughtering Practices saat pemotongan
sehingga kontaminasi mikroorganisme akibat pemotongan dapat sedikit ditekan. Pencegahan rekontaminasi dapat dilakukan melalui penekanan jumlah mikroorganisme dalam daging. Hal ini karena selain dari RPH, kontaminasi pada daging juga disebabkan saat distribusi dan penjualan daging yang berasal dari udara terbuka, peralatan yang digunakan, suhu saat distribusi dan penjualan, serta dari serangga. Mikroorganisme yang bersifat patogen dan perusak pada daging sapi segar
diantaranya adalah Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan Listeria monocytogenes. Kandungan mikroorganisme yang tinggi dalam daging segar dapat menyebabkan umur simpan daging segar menjadi lebih singkat. Hal ini mendorong dikembangkannya teknologi untuk memperpanjang umur simpan daging segar sehingga pada saat sampai ke tangan konsumen masih memiliki kualitas yang baik. Teknologi penghambatan jumlah mikroorganisme dalam daging dapat dilakukan melalui berbagai cara antara lain secara biologis dan kimiawi. Kedua cara tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Secara kimiawi umumnya dilakukan dengan penambahan formaldehida dan penambahan zat kimia lainnya sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dalam daging. Secara biologis dapat dilakukan dengan penambahan zat antimikroba, misalnya bakteriosin yang bersifat sebagai biopreservatif. Bakteriosin adalah protein dari mikroba yang bersifat bakterisidal. Saat ini bakteriosin sudah mulai diterapkan karena sifatnya yang alami dan tidak menyebabkan efek negatif pada daging maupun konsumen. Molekul protein bakteriosin mengalami degradasi oleh enzim proteolitik dalam pencernaan manusia sehingga tidak membahayakan. Pada awalnya bakteriosin diketahui dapat menghambat pertumbuhan spesies yang berkerabat dekat (filogenik), tetapi beberapa jenis bakteriosin dari spesies tertentu menunjukkan spektrum yang lebih luas. Di luar negeri bakteriosin telah digunakan sebagai biopreservatif pada bahan pangan karena kemampuannya menghambat bakteri perusak dan patogen, serta tidak meninggalkan residu yang menimbulkan efek negatif pada manusia. Mikroorganisme merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam menghasilkan senyawa antimikroba dibandingkan ternak dan tumbuhan. Salah satu bakteri asam laktat yang menghasilkan senyawa antimikroba (bakteriosin) adalah Lactobacillus sp. Penelitian sebelumnya oleh Usmiati et al. (2007), telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi kondisi optimal pembuatan ekstrak kasar bakteriosin dari Lactobacillus sp. SCG 1223 yang diisolasi dari susu sapi segar. Ekstrak kasar bakteriosin tersebut mampu melakukan penghambatan terhadap ketiga bakteri uji (E. coli, L. monocytogenes dan S. typhimurium) pada media agar. Aplikasi penggunaan bakteriosin sebagai biopreservatif perlu diuji terhadap salah satu produk
2
pangan, antara lain produk daging segar untuk mengetahui aktivitas penghambatan terhadap ketiga bakteri uji Berdasarkan sifat bakteriosin yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan perusak maka penambahan bakteriosin diharapkan dapat mempertahankan kualitas daging sapi segar selama waktu dan kondisi suhu penyimpanan tertentu. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengamati kualitas mikrobiologis daging sapi segar dengan penambahan bakteriosin IAI (Isolat Asli Indonesia) dari Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 yang diisolasi dari susu sapi segar dengan penyimpanan pada suhu tertentu (4ºC dan 27ºC) dan lama penyimpanan yang berbeda.
3
TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging merupakan urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari ternak yang sehat sewaktu dipotong (Badan Standarisasi Nasional, 1995). Komponen utama daging terdiri dari otot, jaringan lemak dan sejumlah jaringan ikat (kolagen, elastin dan retikulin) serta epitel pembuluh darah dan syaraf (Aberle et al., 2001). Daging atau otot mengandung sekitar 75% air, sekitar 19% protein, substansisubstansi non protein yang larut sebanyak 3,5% serta lemak sekitar 2,5%. Setiap 100 gram daging dapat memenuhi kebutuhan zat gizi satu orang dewasa setiap harinya sekitar 10% kalori, 50% protein dan 35% zat besi (Fe) (Lawrie, 2003). Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan dan metode pengepakan (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia berdasarkan letak daging segar pada karkasnya. Tabel 1. Komposisi Kimia berdasarkan Letak Daging Segar pada Karkas Jenis karkas Kadar (%) Kilokalori Daging
(per 100 Protein
Air
Lemak
Abu
gram)
Chuck
18.6
65
16
0.9
220
Flank
19.9
61
18
0.9
250
Loin
16.7
57
25
0.8
290
Rib
17.4
59
23
0.8
280
Round
19.5
69
11
1.0
180
Rump
16.2
55
28
0.8
320
Sumber : Muchtadi dan Sugiono (1989) Menurut Mountney (1976), kualitas daging diartikan sebagai sejumlah sifat yang menentukan pada daging tersebut yang berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Kualitas daging secara garis besar dapat ditinjau dari dua segi, pertama dilihat dari segi sifat-sifat daging dan kedua dari segi daya terima konsumen (Lawrie, 1995). Sifat fisik daging merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas daging, selain sifat mikrobiologisnya. Adapun yang termasuk kualitas fisik daging
antara lain parameter pH, daya ikat air, warna, tekstur, bau dan rasa (Natasamita et al., 1987). Kualitas mikrobiologis daging dapat dilihat dari kandungan mikroorganisme dalam daging terutama mikroorganisme patogen. Menurut Rozbeh et al., (1993) jika kandungan bakteri daging melebihi 106 CFU/g, maka daging tersebut dianggap berkualitas rendah. Umumnya pembusukan daging karena bakteri biasanya ditandai dengan adanya eksudat, abu dan terjadi perubahan warna menjadi kehijauan (Ray dan Field, 1993). Berbeda dengan Soeparno (1992) yang menjelaskan bahwa batas jumlah mikroba selama pelayuan tidak melebihi 105 CFU/cm2. Standar cemaran mikroba ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional sebagai penentu kualitas daging sapi segar. Batasan maksimum cemaran pada daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (CFU/g) SNI No. 01-6366-2000 Batas maksimum cemaran mikroba No Jenis Cemaran Mikroba
Daging segar/beku
Daging tanpa tulang
1x104
1x104
Escherichia coli*
5x101
1x101
3
Staphylococcus aureus
1x101
1x102
4
Clostridium sp.
0
0
5
Salmonella sp.**
Negatif
Negatif
6
Coliform
1x102
1x102
7
Enterococci
1x102
1x102
8
Campylobacter sp.
0
0
9
Listeria sp.
0
0
1
Angka lempeng bakteri (ALTB)
2
total
Keterangan : (*) dalam satuan CPU/g (**) dalam satuan kualitatif
5
Warna Daging Warna yang dapat dilihat mata merupakan kombinasi beberapa faktor yaitu panjang gelombang radiasi cahaya, khroma, atau intensitas cahaya dan refleksi cahaya. Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, antara lain spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas, tipe otot, pH dan oksigen. Faktorfaktor ini mempengaruhi penentu utama warna daging, yaitu konsentrasi pigmen daging yang disebut mioglobin (Soeparno, 1998). Warna daging ditentukan oleh jumlah dan tipe mioglobin, status kimianya dan kondisi fisik dan kimiawi komponen lain dalam daging (Lawrie, 1998). Status kimia molekul mioglobin menyebabkan perbedaan warna pada permukaan daging (Soeparno, 1994). Konsumen umumnya menyukai warna merah cerah akibat terjadinya oksimioglobin pada permukaan daging yang terkena udara (Buckle et al., 1987). Pembentukan warna daging terjadi karena terjadinya perubahan status ion besi dalam mioglobin. Jika terjadi oksidasi maka ion ferro Fe++ akan berubah menjadi ion ferry (Fe+++), warna daging akan menjadi coklat karena terbentuk metmioglobin. Pada keadaan oksigen berlebih maka terjadi oksigenasi dan warna daging menjadi merah cerah karena terbentuk oksimioglobin (Natasasmita et al., 1987). Nilai pH Daging Nilai pH daging tidak biasanya diukur segera setelah pemotongan (biasanya dalam waktu 45 menit) untuk mengetahui pH awal. Pengukuran selanjutnya biasanya dilakukan setidak-tidaknya setelah 24 jam untuk mengetahui pH akhir dari daging atau karkas (Soeparno, 1998). Nilai pH ultimat (akhir) daging normalnya adalah 5,4-5,8. Buckle et al., (1987) melaporkan bahwa nilai pH akhir yang dicapai mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kualitas daging yaitu pada pH rendah (±5,1) menyebabkan warna merah cerah yang disukai oleh konsumen, mempunyai struktur terbuka yang sangat diinginkan untuk pengasinan daging, flavor lebih disukai dalam kondisi telah dimasak atau diasin dan mempunyai stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan oleh mikroorganisme. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pada pH tinggi (6,2 sampai 7,2) menyebabkan daging pada tahap akhir mempunyai struktur yang tertutup atau padat dengan warna merah ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme.
6
Aroma Daging Lawrie (2003) menyatakan bahwa aroma dan flavor daging adalah sensasi yang komplek dan saling terkait. Flavor melibatkan bau, rasa, tekstur dan pH. Penyusun flavor dapat digolongkan menjadi (1) rasa; (2) bau dan (3) respon trigeminal (menghasilkan persepsi dari sensasi sepat, panas, dingin), evaluasi aroma dan rasa masih sangat tergantung pada panel cita rasa. Flavor dan aroma daging dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu dan kondisi penyimpanan setelah pemotongan serta suhu dan lama pemasakan. Daging dari ternak yang lebih tua mempunyai bau yang lebih kuat dibandingkan ternak yang lebih muda selain itu daging mentah memiliki flavor yang kurang disukai, karena beraroma sangat lemah dan berasa seperti darah (Soeparno, 1994). Flavor daging berkembang selama pemasakan. Menurut Tyrel (1990), flavor daging secara alami merupakan flavor yang terbentuk melalui sistem pemanasan. Selama proses pemanasan terjadi berbagai reaksi fisika dan kimia yang sangat kompleks dari prekursor-prekursor non-volatil pada jaringan lemak maupun jaringan tanpa lemak daging. Komponen-komponen yang dihasilkan saling berinteraksi lebih lanjut dalam berbagai reaksi sekunder dan tersier yang menghasilkan komponenkomponen volatil pembentuk flavor daging (Mottram, 1991). Reaksi utama pembentukan flavor daging adalah reaksi Maillard, termasuk didalamnya reaksi degradasi Stecker, dan reaksi degradasi lemak. Selain itu, reaksi degradasi tiamin juga berperan dalam pembentukan flavor daging (Macleod, 1986 disetir Ames et al., 1992). Rasa dan aroma mempunyai ransangan selera dan dalam hal ini rasa dan aroma sulit dipisahkan. Perubahan rasa dan aroma antara lain dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan bakteri atau mikroba (Natasasmita et al., 1987). Populasi bakteri yang tinggi akan menyebabkan terjadinya pembusukan pada daging. Titik kritis terjadinya pembusukan pada daging adalah (1) log 6,5-8,0 / cm2 area kulit menyebabkan off odor dan (2) log 7,5-9,0 / cm2 area kulit menyebabkan mulai terbentuk lendir. Temperatur tinggi dan ketidakhadiran oksigen dapat menghasilkan bau busuk karena penguraian protein (Lawrie, 1964).
7
Mikrobiologi Daging Mutu mikrobiologis suatu bahan pangan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan karena akan menentukan ketahanan simpan dari produk ditinjau dari kerusakan yang diakibatkan oleh mikroorganisme. Keamanan produk pangan ditentukan oleh jumlah mikroorganisme patogenik yang terdapat di dalamnya. Populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan umunya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari penyimpanannya (Buckle et al., 1987). Daging yang sehat seharusnya tidak mengandung mikroorganisme patogen kalaupun ada biasanya berupa mikroorganisme nonpatogen dan dalam jumlah yang sedikit. Kontaminasi mikroorganisme patogen atau perusak yang sangat penting berasal dari luar ternak yang dipotong, yaitu selama pemotongan, penanganan dan proses pengolahan. Daging merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, hal ini karena: (1) mempunyai kadar air yang tinggi (68%-75%), (2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen, (3) mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasi, (4) kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, dan (5) mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (5,3-6,5) (Soeparno, 1994). Kebanyakan bakteri tumbuh di permukaan daging, namun tidak tertutup kemungkinan ditemukan di dalam daging. Bakteri dapat juga mencapai jaringan dalam karkas dengan berbagai cara, diantaranya melalui mekanisme: (1) jaringan ternak sehat mengandung sejumlah populasi kecil bakteri dan menjadi dinamis bila bakteri terus menerus memperoleh akses ke dalam jaringan ternak hidup, dengan penetrasi selaput mukosa saluran respirasi dan pencernaan, untuk mengganti yang telah dihambat oleh mekanisme ketahanan tubuh ternak, (2) bakteri dari usus menyerang jaringan karkas, baik selama pemotongan (agonal invation) maupun setelah pemotongan (postmortem invasion), (3) bakteri terbawa ke jaringan oleh luka sebelum pemotongan, dan (4) bakteri yang mengkontaminasi permukaan karkas yang melakukan penetrasi ke lapisan jaringan otot yang lebih dalam (Grill,1982). Beberapa genus bakteri yang ditemukan dalam daging diantaranya adalah Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Sarcina, Leuconostoc, Lactobacillus, Flavobacterium, Proteus, Bacillus, Clostridium, Escherichia, dan Salmonella
8
(Frazier et al., 1988). Kontaminasi mikroorganisme yang berasal dari pekerja antara lain adalah Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus proteus, Staphillococcus albus, dan Staphillococcus aureus (Lawrie, 1995). Clostridium botulinum yang berasal dari tanah juga dapat mengkontaminasi daging (Soeparno, 1998). Clostridium botulinum adalah penghuni tanah dan diasumsi terdapat pada sayuran kebun. Organisme itu sendiri biasanya tidak menginvasi, walaupun jarang infeksi luka yang dilaporkan dan botulisme bayi adalah infeksi yang menginvasi (Volk dan Wheller, 1984). Berkaitan dengan ketersediaan oksigen, Lawrie (2003) menyatakan bahwa semua jamur dan kapang yang tumbuh pada daging adalah aerobik, sedangkan bakteri tumbuh dalam kondisi aerobik, anaerobik atau fakultatif anaerobik. Jadi mikroorganisme yang tumbuh di permukaan daging adalah mikroorganisme aerobik dan fakultatif anaerobik, sedangkan bagian dalam daging dapat mengandung bakteri anaerobik dan fakultatif anaerobik. Aktifitas mikroorganisme juga dipengaruhi oleh kondisi fisik daging, seperti besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging, bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan pengolahan. Penggilingan daging akan memperbesar kontaminasi dan pertumbuhan mikroorganisme (Forrest et al., 1975) karena area permukaan menjadi lebih besar, nutrien dan air lebih tersedia, penetrasi dan pemanfaatan oksigen menjadi lebih besar, kontak dengan alat yang menjadi sumber kontaminasi dan distribusi mikroorganisme lebih merata ke seluruh bagian daging selama pengolahan (Soeparno,1998). Menurut Lawrie (1995), invasi mikroba ke dalam daging (infeksi) menyebabkan produk tidak menarik karena terjadi beberapa perubahan yaitu terjadi pembusukan. Buckle et al., (1987) menjelaskan bahwa daging menjadi berlendir, berbau busuk, dan rusak jika jumlah mikroba 107-108 CFU/cm2. Pendapat ini didukung oleh Frazier dan Weshoff (1988) yang menyatakan, bahwa bau dari daging timbul jika jumlah bakterinya berkisar antara 1,2x106-108 CFU/cm2 dan akan timbul lendir jika jumlah mikrobanya 3,0x106-3,0x108 CFU/cm2. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) standar perdagangan (SP)-SMP-93-1975, jumlah mikroba yang diperkenankan per gram adalah 5x105
CFU/cm2 (Badan Standarisasi Nasional,
1995).
9
Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat (BAL) dapat ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan. Bakteri ini hidup dalam susu, daging segar, dan sayur-sayuran dalam jumlah yang kecil. BAL yang berasal dari bahan atau lingkungan, dalam proses fermentasi daging spontan menyebabkan terbentuknya asam laktat dari penggunaan karbohidrat sehingga menurunkan nilai pH (5,9-4,6) (Jenie dan Rini, 1995). BAL terdiri dari sejumlah genera dalam filum Firmicutes. Genera tersebut adalah Carnobacterium, Enterococcus,
Lactobacillus,
Melissococcus,,
Oenococcus,
Lactococcus, Pediococcus,
Lactosphaera, Steptococcus,
Leuconostoc,
Tetragenococcus,
Vagococcus, dan Weisella (Beasley, 2004). BAL merupakan kelompok bakteri yang mampu menghasilkan asam laktat baik sebagai satu-satunya produk maupun sebagai produk utama disamping produk lain pada metabolisme karbohidrat (Frazier dan Westhoff, 1988). BAL bersifat kemoautotrof dan tumbuh hanya pada media kompleks dengan sumber energi utama berupa karbohidrat. Bakteri asam laktat termasuk kelompok bakteri Gram positif, pada
umumnya
tidak
membentuk
spora
(Kim
et
al.,
2000)
kecuali
Sporalactobacillus, berbentuk bulat atau batang, pada umumnya tidak menghasilkan katalase (Ko dan Ahn, 2000), tetapi ada yang bersifat katalase semu (Neth et al., 1986). Menurut Klaenhammer (1998) dan Hurst (1981), beberapa galur BAL menghasilkan bakteriosin yang mempunyai aktifitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen. mampu menghasilkan bakteriosin yang berpotensi sebagai agen pengawet makanan sehingga dapat meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan (Daeschel, 1989 ; Ray dan Daeschel, 1992). Lactobacillus adalah genus BAL yang termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerobik fakultatif, kebanyakan spesiesnya nonmotil, mesofil dan beberapa psikotrof. Bakteri ini ditemukan dalam daging, produk daging, feses, sayuran, biji-bijian, benih susu mentah, produk susu, makanan yang difermentasi alami maupun terkontrol, dan beberapa ditemukan dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Beberapa spesies digunakan dalam bioproses makanan dan sebagai penghasil bakteriosin dengan spektrum luas yang dapat digunakan sebagai biopreservatif makanan (Ray, 1996).
10
BAL memproduksi asam laktat sebagai produk utama metabolisme yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki dalam makanan. Diasetil memiliki sifat antimikroba hanya dalam konsentrasi tinggi, sedangkan konsentrasi rendah tidak efektif dan bahkan dapat dihancurkan oleh beberapa mikroorganisme. Selain asam organik (terutama asam laktat), BAL juga memproduksi hidrogen peroksida, diasetil, aldehid dan bakteriosin (Ko dan Ahn, 2000; Jung dan Faik, 2000; Delgado et al., 2001 ). Bakteriosin (antimikroba) telah banyak dimanfaatkan sifat antagonistiknya dalam bidang biopreservatif pangan, kemampuannya dalam menghambat bakteri Gram positif atau Gram negatif dan sebagai terapeutik (Jack et al., 1996). Istilah bakteriosin pertama kali dilaporkan pada tahun 1953 oleh Jacob dalam Tagg et al., (1976). Hal ini berdasarkan suatu senyawa yang dihasilkan oleh E. coli yang disebut colicin dan dikarakterisasi sebagai suatu senyawa bersifat letal terhadap intraspesies dan mempunyai reseptor spesifik. Bakteriosin adalah molekul protein yang diproduksi oleh berbagai spesies BAL yang mempunyai aktifitas bakterisidal terhadap bakteri lain yang patogen (Gorris dan Bernik, 1994), atau bakteriostatik terhadap pertumbuhan bakteri (Rodriquez et al., 1995; Williams et al., 1996). Berbagai genus bakteri Gram positif maupun Gram negatif yang menghasilkan bakteriosin adalah genus Lactobacillus, Micrococcus, Staphylococcus, Streptococccus, Pseudomonas, dan Carnobacterium (Tagg et al., 1976; Aymerich et al., 1996). Bakteriosin juga ditemukan pada bakteri genus Lactococcus (Suarsana, 2000). Bakteri Patogen Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan terdiri atas bakteri pembusuk yang dapat menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Jumlah bakteri pembusuk umumnya lebih dominan dibandingkan dengan bakteri patogen. Bakteri patogen merupakan mikroorganisme indikator keamanan pangan. Bakteri patogen dibedakan atas penyebab intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri patogen yang berkembang di dalam bahan makanan, dan penyebab infeksi yaitu bakteri yang menghasilkan racun di dalam saluran pencernaan. Beberapa mikroba yang diamati sebagai bakteri
11
pembusuk
dan
patogen
Enterobacteriaceae,
pada
didalamnya
produk termasuk
fermentasi famili
adalah
dari
Enterobacter,
famili Erwinia,
Citrobacter, Klebsiella, Proteus, Salmonella, Serattia, Shigella dan Yersinia (Fardiaz, 1992). Salmonella sp. Salmonella sp. termasuk bakteri patogen dan berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit seperti tifus, paratifus, dan salmonellosis. Salmonella sp. juga dapat menyebabkan demam tifus dan paratifus (Fardiaz, 1992). Salmonella sp. pertama kali diisolasi oleh Salmon dan Smith pada tahun 1885 dari kasus kolera babi dan diberi nama Bacillus cholerasuis, yang kemudian disebut Salmonella cholerasuis (Tamadja, 1982). Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Salmonella, dapat terjadi pada ternak maupun manusia. Serotipe bakteri ini potensial bersifat patogen, juga merupakan kontaminan bagi produk daging, telur dan susu (Woolcock, 1991). Salmonellosis yang merupakan penyakit zoonose ini juga disebut “Food Borne Disease” karena penularannya terjadi melalui makanan dan minuman (Tamadja, 1982). Salmonella sp. termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini berbentuk batang pendek, Gram negatif, anaerobik fakultatif dan memiliki flagella peretrikat. Salmonellae merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek dan tidak membentuk spora (Jay, 2000). Namun demikian, Salmonella sp. sensitif terhadap panas dan dapat dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi. Genus ini banyak tersebar di alam, manusia, dan hewan sebagai habitat utamanya. Bakteri genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi dan tersebar dalam pangan akibat kontaminasi dari kotoran yang terinfeksi (Fardiaz, 1989a). Salmonella secara umum tidak mampu memfermentasi laktosa, sukrosa atau salicin, walaupun glukosa dan monosakarida lain dapat difermentasi Salmonella sp. dapat tumbuh optimum pada media pertumbuhan yang sesuai dan memproduksi koloni dalam jangka waktu 24 jam pada suhu 37ºC. Salmonella sp. dapat tumbuh pada kisaran suhu, pH, dan aw yang lebih luas pada substrat yang lebih baik yaitu pada suhu antara 5ºC sampai 45-47ºC, suhu optimum 35-37ºC. Karateristik pertumbuhan Salmonella dipengaruhi oleh variasi suhu, pH dan kadar air. Salmonella sp. tumbuh pada tingkat keasaman antara 4,5-5,4 namun pH optimumnya
12
sekitar 7 dan aw minimum 0,94. Nilai pH minimum bervariasi tergantung pada suhu inkubasi, komposisi media, aw dan jumlah sel. Pada pH kurang dari 4,0 dan lebih dari 9,0 Salmonella akan mati secara perlahan (Adam dan Moss, 1995). Menurut Supardi dan Sukamto (1999), Salmonella umumnya dapat tumbuh pada media dengan aw 0,945-0,999 tetapi pada makanan kadang-kadang beberapa galur Salmonella dapat tumbuh pada aw 0,93. Salmonella pada aw antar 0,20 dan 0,90, kecepatan kematian meningkat dengan naiknya nilai aw, sedangkan pada aw di bawah 0,20 dapat hidup dalam waktu yang lama, meskipun pada suhu dan keasaman yang ekstrim. Pada suhu yang ekstrim, Salmonella dapat hidup dalam waktu yang cukup lama, namun tidak dapat mentolerir konsentrasi garam yang tinggi. Bakteri ini memproduksi asam hasil fermentasi dan H2S tumbuh optimum pada suhu 37ºC dengan pH 4-9 dan aw minimum 0,94 (Varnam dan Sutherland, 1995). Salmonella typhimurium merupakan bakteri Gram negatif yang menyebabkan gastroenteric atau keracunan makanan (Duerden et al., 1993). Bakteri patogen ini apabila terdapat dalam makanan sulit dikontrol karena sifat-sifat biologisnya. Eschericia coli E. coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang, termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. E. coli disebut juga koliform fekal karena ditemukan dalam saluran usus hewan dan manusia (Fardiaz, 1992). Bakteri E. Coli terdiri atas berbagai jenis seperti EPEC, ETEC dan EHEC. Beberapa bakteri ini menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan hemoragik kolitik dan hemolitik uremik. Hemoragik kolitik menyebabkan perut kram yang diikuti diare berdarah setelah waktu inkubasi 3-8 hari, sedangkan hemolitik uremik menyebabkan gagal ginjal dan anemia (Fardiaz, 1983). Bakteri ini sering digunakan sebagai indikasi kontaminasi kotoran (Fardiaz, 1992). Bakteri ini mempunyai ukuran panjang 2,0-6,0 µm, sering terdapat dalam bentuk tunggal atau berpasangan, bersifat motil dan nonmotil dengan flagella peritrikat dan bersifat anaerobik fakultatif (Fardiaz, 1993). Kisaran suhu pertumbuhan E. coli adalah antara 10-40ºC dengan suhu optimum 37ºC. Kisaran pH antara 4-9 dengan nilai pH optimum pertumbuhan 7,0-7,5 dan aw minimum untuk pertumbuhan adalah 0,96. Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas sehingga inaktif pada suhu pasteurisasi (Fardiaz, 1983). Menurut Holt et al. (1994), bakteri E. coli
13
merupakan mikroorganisme anaerobik fakultatif, memiliki metabolisme respiratori dan fermentataif, D-Glukosa dan pengkatalisa karbohidrat dengan formasi asam dan gas (Holt et al., 1994). Listeria monocytogenes Listeria monocytogenes adalah bakteri Gram positif yang kecil (diameter 0,5 µm), yang menyerupai korinebakteri dalam penampilan. Bakteri ini tidak menghasilkan kapsul ataupun spora. Listeria adalah peritrikus motil pada suhu 2025ºC, tetapi tidak motil pada suhu 3ºC, lebih bersifat mikroaerofilik saat hidup dengan kondisi ada oksigen. Listeria adalah bakteri katalase positif dan oksidase negatif. Listeria membutuhkan glukosa, asam laktat, asam asetat dan asetoin dalam kondisi anaerobik. Listeria monocytogenes adalah bakteri patogen yang menular melalui makanan. Hal ini menjadi perhatian utama pada industri makanan karena terjangkitnya listeriosis yang biasanya berasal dari makanan (Faber dan Peterkin, 1991). Listeria monocytogenes tersebar luas di alam, dapat diisolasi dari tanah, tanaman, rumput dan air serta mampu tumbuh pada kondisi alat pendingin, resisten terhadap kadar garam natrium klorida yang relatif tinggi, dapat tumbuh pada pH rendah, dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama di bawah kondisi kering dan merupakan sel vegetatif yang paling tahan panas (Corner et al., 1986). Listeria monocytogenes ditemukan pada berbagai tipe lingkungan pengolahan makanan dan mampu melekat pada berbagai permukaan makanan (Herald dan Zottola, 1988). Bakteri Listeria monocytogenes biasanya tersebar luas di alam terutama di lingkungan rumah potong hewan, lingkungan pengolahan pangan serta mampu hidup pada temperatur rendah (El Khateib et al., 1993). Jika kondisi cocok untuk pertumbuhannya maka sel-sel bakteri yang mampu berkembang biak kemudian menghasilkan polisakarida ekstraseluler yang akhirnya akan membentuk selaput. Akumulasi selaput tersebut mengakibatkan berbagai masalah dalam pengolahan makanan, antara lain menghambat proses pencairan dan menurunkan efisiensi selama pemanasan (Le Chevallier et al., 1998).
14
Kurva Pertumbuhan Bakteri Seperti halnya mahkluk lain, mikroorganisme juga mengalami pertumbuhan. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme meliputi suplai zat gizi, waktu, suhu, air, pH dan tersedianya oksigen (Buckle et al.,1985). Secara umum fase pertumbuhan bakteri terbagi menjadi empat tahap. Fase pertama (1) merupakan fase lag (lambat), pada tahap ini penambahan jumlah populasi bakteri sangat sedikit atau bahkan tidak terjadi penambahan jumlah bakteri. Fase kedua (2) fase logaritmik (eksponensial), fase ini perkembangan bakteri seimbang dan bakteri mampu membelah dengan kecepatan konstan. Fase berikutnya (3) fase statis (tetap) karena jumlah sel yang membelah sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel baktei konstan. Fase terakhir (4) fase kematian, pada fase ini jumlah sel bakteri mulai menurun karena nutrien dalam media dan cadangan energi dalam sel bakteri mulai menipis (Pelczar dan Chan, 1988). Bentuk kurva pertumbuhan bakteri secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.
Fase pertumbuhan stastis
fase pertumbuhan lambat Fase Adaptasi
fase menuju kematian
fase kematian
fase logaritmik fase pertumbuhan awal waktu
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Bakteri Zat Antimikroba Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Beberapa grup senyawa kimia utama yang bersifat antimikrobial adalah fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat dan senyawanya, detergen, asam dan basa. Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba adalah : (1) perusakan dinding sel
15
sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pertumbuhan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh; (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam sel; (3) denaturasi protein sel; (4) perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar dan Rheid, 1986). Menurut Fardiaz (1987), zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik ataupun menghambat germinasi spora bakteri. Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : (1) konsentrasi zat antimikroba; (2) suhu lingkungan; (3) waktu penyimpanan; (4) sifat-sifat mikroba, meliputi jenis, jumlah, umur, dan keadaan mikroba; dan (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan, termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya. Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Pelczar et al., 1993). Suatu preservatif untuk memperpanjang masa simpan produk daging harus memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) tidak mengubah flavor, bau dan tekstur bahan pangan; (2) aman bagi konsumen dan efektif sebagai preservatif atau aman untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu; (3) preservatif harus mudah dikenali dan kadarnya dapat ditentukan secara pasti, serta harus memenuhi kebutuhan yang diizinkan; (4) kualitas bahan makanan tidak merugikan konsumen; (5) ekonomis (Soeparno, 1994) dan (6) tidak menyebabkan timbulnya galur resisten dan diutamakan bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1998). Bakteriosin Bakteriosin merupakan senyawa protein (umumnya berupa peptida) yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme (bakteri) yang ditinjau dari segi
16
filogeniknya (genetiknya) berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bakteriosin tersebut (Tagg et al., 1976), karena bakteriosin merupakan protein atau peptida, maka ia akan terdegradasi dalam pencernaan manusia maupun hewan (Jimenez-Diaz et al., 1993). Bakteriosin dikarakterisasi sebagai suatu senyawa yang bersifat letal terhadap intra spesies telah diperjelas oleh Jack et al. (1995) yang meliputi beberapa kriteria umum yaitu : 1) mempunyai spektrum aktifitas yang relatif sempit terpusat pada spesies yang filogenik; 2) senyawa aktifnya berupa fraksi protein berukuran 20-60 asam amino yang disintesis di ribosom; 3) bersifat bakterisidal dan tahan panas; 4) memiliki reseptor spesifik pada sel sasaran; dan 5) gen determinen terdapat pada plasmid yang berperan dalam sintesis dan imunitas strain penghasil. Bagian terpenting senyawa aktif ini merupakan protein atau peptida, sehingga uji sensifitasnya terhadap enzim yang bersifat hidrolitik cukup penting. Uji tersebut sangat penting dalam identifikasi susunan kimia suatu senyawa yang diduga bakteriosin. Analisis kimia sejumlah bakteriosin menunjukkan bahwa komposisi bakteriosin berupa protein sederhana atau merupakan molekul kompleks yang bersenyawa dengan asam lemak dan gula (West dan Warner, 1988). Bakteriosin berupa protein sederhana diantaranya pediosin AcH, sedangkan lactosin LP27 dan stafilokoksin 1580 membentuk kompleks dengan lipida dan karbohidrat (Bhunia et al., 1988). Hidrolisis karbohidrat dengan asam akan menunjukkan aktifitas biologis bakteriosin. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas tergantung pada integritas dari kompleks protein karbohidrat. Beberapa bakteriosin yang memiliki sifat-sifat tersebut diantaranya laktosin, nisin, dan pediosin, masingmasing diproduksi oleh Lactobacillus spp. dan Pediococcus spp. (Klaenhammer, 1988). Pada umumnya bakteriosin sensitif terhadap protease (Ahn dan Stiles, 1990; Sudirman et al., 1993). Bakteriosin biasanya tahan terhadap panas dan
dalam
lingkungan yang asam aktivitasnya masih tetap ada seperti pada suhu 100ºC atau
17
121ºC selama 15 menit (Ahn dan Stilles, 1990; Bhunia et al., 1988; Sudirman et al., 1993). Demikian juga suhu yang sangat rendah dalam penyimpanan tidak mempengaruhi aktifitas bakteriosin (Davey dan Richardson, 1981; Megrous et al., 1990). Beberapa bakteriosin stabil terhadap panas, sehingga membuat bakteriosin tersebut aplikatif terhadap perlakuan panas. Bakteriosin bersifat irreversible, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap kesehatan dan aktif pada konsentrasi rendah (Vuyst dan Vandamme, 1993). Sintesis bakteriosin oleh sel galur produsen terjadi selama fase eksponensial (Schenl, 1998). Bakteriosin merupakan produk ekstraseluler berupa protein yang sintesisnya langsung dari ribosom, memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum yang relatif sempit (Jack et al., 1995). Faktor-Faktor yang Menghambat Aktivitas Bakteriosin Inkubasi yang terlalu lama menyebabkan aktivitas bakteriosin menurun, hal ini karena pengaruh inaktivator bakteriosin yang spesifik atau sifat reabsorpsi bakteriosin oleh sel produsen. Menurut Jo et al. (1996) jika waktu inkubasi diperpanjang maka aktivitas bakteriosin menurun karena terbebasnya protease dari sel autolisis, bakteriosin juga merupakan molekul proteaneus sehingga molekulnya mudah terdegradasi. Beberapa bakteriosin sangat tahan terhadap perlakuan pH asam maupun pH basa, sehingga dapat digunakan untuk industri makanan yang membutuhkan perlakuan asam maupun basa. Bakteriosin pada pH alkali menjadi inaktif. Hal ini menunjukkan bahwa molekul bakteriosin meregang pada pH alkalis dan proses ini dipercepat dengan suhu yang ditingkatkan, sehingga bakteriosin terhidrolisis dan daya larutnya berkurang yang mengakibatkan aktivitas biologisnya hilang (Gonzales et al., 1994). Perlakuan dengan enzim proteolitik menyebabkan aktivitas antibakterialnya menurun berturut-turut mulai dari ekstrak pankreas, papain, bromelin dan protease sedangkan dengan enzim amyloglukosidase aktivitasnya tetap (Cintas et al., 1997). Aktivitas bakteriosin asal BAL umumnya tahan terhadap panas dibawah kondisi asam dengan kisaran suhu 100ºC selama 10 menit (Pilet et al., 1995). Penyimpanan pada suhu refrigerator tidak merusak bakteriosin (Hasting et al., 1990; Cintas et al., 1997), bahkan pada suhu -20ºC masih menunjukkan aktivitas hambat terhadap
18
bakteri patogen dan pembusuk makanan. Beberapa bakteriosin sangat tahan terhadap perlakuan pH asam maupun pH basa, sehingga dapat digunakan untuk industri makanan yang membutuhkan perlakuan asam maupun basa (Gonzales et al., 1994). Aplikasi Bakteriosin pada Bahan Pangan Biopreservatif adalah bahan yang digunakan pada pengawetan secara biologis untuk mencegah adanya mikroba perusak dan mikroba patogen (Winkowski dan Montville, 1992). Pemakaian zat biopreservatif pada bahan pangan umumnya bertujuan untuk mencegah dan mengurangi pertumbuhan mikroorganisme (Ray, 1992). Masyarakat umumnya menginginkan bahan pengawet pangan yang aman ketika dikonsumsi. Hal inilah yang menyebabkan biopreservatif alami dari mikroba mulai sering digunakan. Beberapa penelitian menyarankan bahwa sangat penting untuk mengaplikasikan bahan-bahan pengawet antibakterial secara biologis pada proses pengawetan pangan (Marugg et al., 1992 di dalam Schillinger et al., 1995). Penambahan bahan pengawet yang berasal dari metabolit mikroorganisme (bakteriosin) dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan dalam makanan sekaligus meningkatkan kualitas dan keamanan makanan (Sofos, 1993). Pada dasarnya penggunaan bakteri asam laktat pada makanan berguna untuk memperpanjang waktu penyimpanan, meningkatkan kualitas dan mengontrol pertumbuhan mikroorganisme patogen dan perusak (Holzapfel et al., 1995). Bakteriosin terutama yang diisolasi dari bakteri asam laktat merupakan substansi protein yang efektif terhadap bakteri pembusuk dan bakteri patogen sehingga dapat dimanfaatkan sebagai food additives (Klaenhammer, 1998). Bakteriosin yang dihasilkan oleh BAL erat kaitannya dengan perkembangan bioteknologi makanan terutama dari segi keamanan pangan (Holzapfel et al., 1995). Saat ini pemanfaatan bakteriosin lebih sering digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Penggunaan bakteriosin sebagai bahan pengawet mempunyai beberapa keuntungan yaitu : (1) bakteriosin bukan bahan toksik dan mudah mengalami degradasi oleh enzim proteolitik karena merupakan senyawa protein; (2) penggunaannya tidak membahayakan miklofora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim saluran pencernaan; (3) ditinjau dari segi lingkungan, penggunaan bakteriosin dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yang selama ini digunakan
19
sebagai bahan pengawet makanan; (4) penggunaannya sangat fleksibel dapat berupa biakan starter karena mampu menghasilkan senyawa antibakteri yang mampu menghambat bakteri patogen makanan. Bakteriosin yang dihasilkan dari BAL telah banyak digunakan sebagai pengawet makanan terutama dalam keju dan susu serta berbagai produk pangan lainnya (Jimenez-Diaz et al., 1993). Bakteriosin asal BAL mudah diterima oleh konsumen dan industri karena BAL biasanya terdapat secara alami dalam proses fermentasi makanan (Gonzales et al., 1996). Bakteriosin dapat digunakan dalam makanan untuk mengurangi pertumbuhan bakteri Gram positif sehingga dapat meningkatkan keamanan dan daya tahan makanan. Bakteriosin sebagai biopreservatif makanan harus memenuhi kriteria seperti halnya pengawet maupun bahan tambahan makanan, antara lain aman bagi konsumen, mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap berbagai kelompok bakteri Gram positif dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi merata dalam sistem makanan dan ekonomis. Contoh dari bakteriosin adalah nisin dan pediosin. (Ray dan Daeschel, 1992). Beberapa bakteriosin BAL lain telah diusulkan dan diuji sebagai pengawet dalam berbagai produk bahan pangan. Bakteriosin tersebut diproduksi oleh Lactococcus, Lactobacillus dan Pediococcus yang berasal dari berbagai bahan pangan (Bruno et al., 1992). Pediosin merupakan salah satu jenis bakteriosin yang telah diketahui efektif untuk mengontrol bakteri Gram Positif pembusuk dan patogen dalam susu cair, es krim, keju, daging segar, daging giling dan produk daging (Bruno et al., 1992). Nisin Nisin adalah polipeptida yang diproduksi oleh Lactococcus lactis subs. Lactis dan telah dikenal secara umum serta aman untuk mengontrol bakteri patogen dan pembusuk makanan. Nisin efektif menghambat bakteri gram positif dan telah dipakai secara komersial di 40 negara sejak 1983 (Martirani et al., 2002). Nisin mempunyai berat molekul 3500 Da (Nettles dan Barefoot, 1993) dan efektif dalam menghambat Lactococcus, Streptococcus, Bacillus, Bronchothrix, Micrococcus luteus dan Clostridium sporonges (Conventry et al., 1995). Sejak nisin digunakan sebagai bahan pengawet pangan untuk pencegahan Clostridium pada keju Swiss, nisin sering digunakan untuk pengawet bermacam-
20
macam makanan segar dan makanan olahan di berbagai negara, karena nisin efektif dan aman digunakan sebagai bahan pengawet makanan. (Ming dan Daeschel,1993). Menurut Bower et al. (1995) nisin bersifat nontoksik dan nonantigenik terhadap manusia, dapat dicerna dalam jumlah sampai 3,3 x 107 U/kg dari berat tubuh tanpa efek merugikan, dapat didegradasi oleh enzim proteolitik dalam saluran pencernaan dan oleh karena itu aman untuk digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Rozbeh et al. (1993) menunjukkan bahwa pada penambahan pemakaian nisin dengan dosis 1400 AU per gram (aktivitas unit/g) yang ditambahkan secara menyebar di permukaan sampel, kemudian dilakukan penyimpanan selama 8 minggu pada suhu 3ºC sampel masih menunjukkan kualitas baik.
21
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen Balai Besar Penelitian
dan
Pengembangan
Pascapanen
Pertanian
Bogor,
Laboratorium
Bakteriologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor dan Rumah Potong Hewan Dinas Pertanian Bidang Peternakan kota Sukabumi. Penelitian dilaksanakan dari bulan September hingga Desember 2007. Materi Bahan yang digunakan adalah daging sapi segar yang diambil dari bagian Rump (diperoleh dari RPH Dinas Pertanian Bidang Peternakan di kota Sukabumi), Isolat sel Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 penghasil larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI (Isolat Asli Indonesia) yang telah berhasil diisolasi dari susu sapi dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik dan Pertanian Bogor, kultur bakteri uji dari Balai Besar Penelitian Veteriner (S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes), deMan Rogosa and Sharpe Broth (MRSB) (Oxoid), Media selektif Salmonella Shigella Agar (SSA), Eosin Methylene Blue Agar (EMBA), Listeria Agar (LA), Muller Hilton Agar (MHA) untuk uji aktivitas hambat bakteriosin IAI. Bahan kimia yang digunakan adalah ammonium sulfat, aquades, alkohol, Buffer Peptone Water (BPW), K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH pekat, H3BO3, indikator, HCl. Alat yang digunakan terdiri atas cawan petri, sentrifugator, timbangan, Bunsen, pipet, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan Petri, ose, blender, pH meter, oven, inkubator, refrigerator, hockey stick, autoklaf, buret, labu Kjeldahl, tungku pembakar, desikator. Rancangan Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui besarnya aktivitas penghambatan larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI yang diproduksi berdasarkan titik optimasi produksi bakteriosin IAI. Titik optimasi ini berdasarkan dari penelitian sebelumnya oleh Usmiati et al., (2007). Besarnya aktivitas penghambatan bakteriosin
IAI dilakukan dengan metode sumur dan dihitung berdasarkan zona bening yang terbentuk disekitar sumur terhadap ketiga bakteri uji (S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes). Peubah yang diamati adalah diameter zona bening yang diujikan pada bakteri S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes yang dilakukan sebanyak tiga ulangan. Data yang diperoleh dirata-ratakan untuk setiap perlakuan dan dianalisis secara deskriptif. Kondisi optimum ini selanjutnya digunakan sebagai kondisi produksi bakteriosin IAI yang akan digunakan untuk aplikasi biopreservatif pada daging sapi segar. Besarnya aktivitas penghambatan bakteriosin IAI yang diperoleh dijadikan pedoman untuk menentukan penggunaan konsentrasi nisin yang merupakan kontrol pembanding pada penelitian utama. Penelitian Utama Penelitian utama bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan bakteriosin IAI terhadap kualitas mikrobiologis daging sapi segar dan disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3x4 untuk daging yang disimpan pada suhu ruang (27ºC) dan 3x3 untuk daging yang disimpan pada suhu dingin (4○C) dengan 3 kali ulangan masing-masing perlakuan. Faktor pertama adalah perbedaan penambahan biopreservatif : penambahan bakteriosin IAI (B) , tanpa penambahan bakteriosin (TB) dan penambahan nisin (N) pada daging sapi segar. Faktor kedua adalah lama penyimpanan yang berbeda pada suhu ruang (H0, H6, H12 dan H18) dan suhu dingin (D0, D14, D28). Perlakuan lain yang dijadikan sebagai indikator adalah penambahan bakteri uji (S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes). Peubah yang diamati adalah TPC (Total Plate Count) / total bakteri awal dan total awal bakteri uji (S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes) pada daging sapi segar, uji kualitas daging yang meliputi total bakteri uji, nilai pH daging, dan kadar protein. Model Matematika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1991) yaitu : Yij
= µ + Bi + Mj + BMij + Єijk
Keterangan : Yij
= variabel respon akibat pengaruh penambahan bakteriosin IAI ke-i dan jenis mikroorganisme ke-j
µ
= nilai tengah umum
23
Bi
= pengaruh pelakuan I (penambahan bakteriosin IAI, tanpa penambahan bakteriosin dan penambahan nisin) ke-i
Mj
= pengaruh perlakuan ke II (lama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin) ke-j
Bmij
= pengaruh interaksi antara perlakuan I ke-i dan perlakuan II ke-j
Єijk
= pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ij
Analisis Data Data mikrobiologi telah dikonversikan kedalam
log10.
Data yang diperoleh
pertama kali harus dilakukan pengujian asumsi meliputi uji keadiktifan data, uji kehomogenan, uji kenormalan dan uji kebebasan galat. Pengujian empat asumsi ini menggunakan program minitab 14. Jika data yang diperoleh memenuhi empat asumsi pengujian maka data dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) pada program minitab 14 atau pengujian parametrik dengan menggunakan General Linear Model (GLM), namun jika data tidak memenuhi keempat asumsi pengujian maka data diperoleh dengan menggunakan metode pengujian non parametrik (KRUSKAL WALIS). Data diolah secara manual dan menggunakan software Minitab 14 serta Statistix 8. Persamaan statistik non parametrik Kruskal-Wallis yaitu sebagai berikut: H= 12/N(N+1) x ∑ Ri2 / Ni – 3 (N+1) Keterangan: Ri = Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i Ni = Junlah pengamatan dalam perlakuan ke-i N = Jumlah Total pengamatan Uji lanjut yang digunakan yaitu uji beda rataan ranking menurut Hollander dan Wolfe (1973). Rumus yang digunakan yaitu: |Ri- Rj| ≤ Zα (K(N+1) / 6) 0,5 Keterangan: Ri = Rataan ranking pada perlakuan ke-i Ni = Rataan ranking pada perlakuan ke-j
24
Apabila sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05), maka akan dilanjutkan uji peringkat berganda Tukey pada program Statistix 8. Data hasil pengamatan organoleptik terhadap warna dan bau hanya merupakan data tambahan. Prosedur Penelitian Pendahuluan Produksi Larutan Ekstrak Kasar Bakteriosin IAI dari Lactobacillus sp. SCG 1223. Kultur bakteri asam laktat dilakukan penyegaran dengan menginokulasi bakteri asam laktat pada MRS Broth pada konsentrasi 10% selama 24 jam. Kultur bakteri asam laktat diinokulasikan kembali pada MRS Broth dengan konsentrasi 10% lalu dimasukkan ke dalam inkubator shaker selama 24 jam pada suhu 37ºC. Kultur kemudian diinokulasikan pada MRS Broth dengan pH media 5 lalu diinkubasi dalam inkubator shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 33,5ºC selama 9 jam. Kultur lalu disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 10000 rpm lalu dinetralkan menggunakan NaOH sampai pH larutan menjadi netral (pH 7). Larutan kemudian disaring menggunakan 0,22 µm membran filter (Millipore) untuk mendapatkan larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI (Januarsyah, 2007). Uji Daya Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kasar Bakteriosin IAI. Bakteri uji diremajakan pada cawan agar lalu diinkubasi pada 37ºC selama 24 jam, koloni di pindahkan dalam 3 ml garam fisiologis lalu dibandingkan kekeruhannya dengan McFarland No. 3 dengan OD 0,755 atau setara dengan kekeruhan 109 inokulum bakteri. Setelah didapatkan suspensi bakteri indikator, masing-masing bakteri uji diambil sebanyak 1 ml dan dilarutkan ke dalam 9 ml BPW sehingga didapatkan pengenceran sepersepuluh (P1). Sampel yang telah diencerkan dipipet secara aseptik untuk diencerkan kembali sampai pengenceran 106. Pengujian daya aktivitas hambat larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur. Sampel bakteri uji yang telah diencerkan (P6) dituang ke dalam cawan yang telah berisi media MHA (Muller Hilton Agar), dibiarkan beberapa saat sehingga cairan inokulum berdifusi ke dalam media. Diambil sisa larutan sampel menggunakan pipet sampai larutan tidak menggenangi media. Dibuat sumur dengan diameter 6 mm dengan menggunakan alat sumuran.
25
Sampel bakteriosin IAI sebanyak 50 µl dimasukkan ke dalam sumur pada media uji dan dibiarkan selama beberapa menit pada suhu kamar, kemudian diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37○C selama 24 jam dan diamati aktivitasnya. Aktivitas hambat bakteriosin IAI terhadap bakteri uji akan terlihat dengan munculnya zona bening di sekitar sumur. Unit aktivitas bakteriosin di definisikan sebagai AU (Activity Unit), 1 AU adalah luas daerah hambatan per satuan volume contoh bakteriosin yang diuji (mm2/ml). Aktivitas bakteriosin dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : Aktivitas Bakteriosin (mm2/ml) = Lz-Ls V Keterangan : Lz : Luas zona bening (mm2) Ls : Luas sumur (mm2) V : Volume contoh (ml) Penelitian Utama Pengambilan Sampel. Daging sapi segar diambil dari RPH Dinas Pertanian Bidang Peternakan di kota Sukabumi diambil dari bagian Rump dipotong-potong sebanyak 189 bagian dengan berat per bagian yaitu 75 gram. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak satu kali yaitu pada malam sesaat setelah pemotongan di RPH. Daging yang telah dipotong-potong dikelompokkan ke dalam 4 kelompok yang terdiri atas (1) 4 potong daging digunakan untuk menghitung Total bakteri awal dan Total bakteri uji; (2) 18 potong digunakan untuk daging kontrol yaitu tidak diberi perlakuan apapun; (3) 162 potong daging untuk pengujian terhadap 3 perlakuan yaitu 54 potong untuk daging yang ditambahkan dengan larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI, 54 potong untuk daging tanpa penambahan bakteriosin dan 54 potong untuk daging yang ditambahkan nisin. Tiap perlakuan diulang 3 kali. Perhitungan Total Plate Count Awal dan Total Bakteri Uji Daging Sapi Segar. Sebanyak 25 gram dari 3 potong daging sapi segar diblender dan diencerkan ke dalam 225 ml BPW sehingga didapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1). Sampel yang telah diencerkan dipipet secara aseptik untuk diencerkan kembali sampai pengenceran yang telah ditentukan lalu dipupukkan ke dalam media selektif untuk
26
tiap bakteri uji. Prosedur lebih lanjut dapat dilihat pada metode pengukuran masingmasing peubah. Penambahan Nisin dan Ekstrak Kasar Bakteriosin IAI. Nisin yang digunakan pada penelitian ini adalah Nisin Sigma Chemical Co., Amerika Serikat dalam kemasan 25 gram dan mempunyai aktivitas 2,5%. Untuk membuat larutan nisin maka bubuk nisin dilarukan dalam akuades steril. Banyaknya bubuk nisin dan pelarut yang digunakan ditentukan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (0,24 gram nisin dilarutkan dalam 1 liter aquadest steril). Daging sapi segar direndam ke dalam larutan tersebut selama beberapa menit, sedangkan perlakuan penambahan larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI dilakukan dengan cara merendam daging sapi segar ke dalam larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI selama 30 menit. Perlakuan tanpa penambahan bakteriosin adalah daging sapi segar yang tidak direndam dalam larutan nisin ataupun larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI. Inokulasi atau Kontaminasi Bakteri Uji. Potongan daging yang telah diberi perlakuan dibagi menjadi 3 kelompok untuk masing-masing perlakuan. Tiap kelompok terdiri dari 18 potong daging. Kelompok pertama dikontaminasi dengan bakteri E. coli, kelompok kedua dikontaminasi dengan bakteri S. typhimurium., dan kelompok ketiga dikontaminasi dengan L. monocytogenes. Kultur bakteri uji (S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes) pada media agar diambil menggunakan ose lalu diencerkan ke dalam 3 ml BPW dan disetarakan kekeruhannya dengan standar Mc. Farland no.3, yang memiliki kesetaraan dengan jumlah populasi bakteri sebesar 1 x 109 sel bakteri/ml. Masing-masing bakteri uji diambil sebanyak 1 ml dan dilarutkan ke dalam 9 ml BPW sehingga didapatkan pengenceran sepersepuluh (P1). Sampel yang telah diencerkan dipipet secara aseptik untuk diencerkan kembali sampai pengenceran 10-4. Kultur bakteri uji tersebut kemudian diteteskan sebanyak 0,75 ml ke seluruh permukaan daging sampai merata. Bakteri yang ditambahkan masing-masing sebanyak 102 cfu/g yang diencerkan ke dalam larutan. Penyimpanan Daging. Potongan daging yang telah diberi perlakuan dibagi ke dalam 2 kelompok untuk tiap perlakuan. Setiap potongan daging dikemas dalam plastik polyetilen. Kelompok pertama sebanyak 102 potong daging tiap perlakuan dan 12 potongan daging kontrol disimpan pada suhu ruang (27○C). Kelompok kedua
27
sebanyak 54 potong daging tiap perlakuan dan 6 potong daging kontrol disimpan pada suhu dingin (4○C). Pengamatan. Pengamatan kualitas daging yang disimpan pada suhu ruang dilakukan pada jam-0, jam-6, jam-12, jam-18. Pengamatan pada daging yang disimpan pada suhu dingin dilakukan pada hari-0, hari-14 dan hari-28. Peubah utama meliputi Total Plate Count, total bakteri S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes. Peubah pendukung antara lain nilai pH dan kadar protein . Diagram alir perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2. Total S. typhimurium (APHA,1992). Sebanyak masing-masing 25 gram dari 54 potong daging sapi yang telah dikontaminasi S. typhimurium dihaluskan. Masingmasing diarutkan ke dalam 225 ml BPW sehingga didapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1). Sampel yang telah diencerkan dipipet secara aseptik untuk diencerkan kembali sampai pengenceran 10-5. Kemudian sebanyak masing-masing 1 ml dari tiap pengenceran yang dikehendaki dipupukkan ke dalam cawan petri steril, selanjutnya dituangi dengan media SSA lebih kurang 12 ml dan dihomogenkan dengan cara cawan diputar membentuk angka 8. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 24-48 jam, Koloni yang tumbuh berwarna kuning keruh dengan titik hitam ditengah dihitung. Cara penghitungan koloni: ∑ Salmonella = rata-rata ∑ koloni x faktor pengencer Total E. coli (Fardiaz,1993). Sebanyak masing-masing 25 gram dari 54 potong daging sapi yang telah dikontaminasi E. coli dihaluskan, dilarutkan ke dalam 225 ml BPW sehingga didapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1). Sampel yang telah diencerkan dipipet secara aseptik diencerkan kembali sampai pengenceran 10-6. Kemudian sebanyak masing-masing 1 ml dari tiap pengenceran yang dikehendaki (P-2 sampai P-6) dipupukkan ke dalam cawan petri lalu ditambahkan media EMBA, kemudian dihomogenkan dengan cara cawan diputar membentuk angka 8. Inkubasi dilakukan pada suhu 44±0,5oC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh berwarna hijau metalik. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai jumlah E. coli pada sampel daging sapi. Cara penghitungan koloni: ∑ E. coli = rata-rata ∑ koloni x faktor pengencer
28
Total L. monocyogenes (Fardiaz,1993). Sebanyak masing-masing 25 gram dari 54 potong daging sapi yang telah dikontaminasi L. monocyogenes dihaluskan sehingga didapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1). Sampel yang telah diencerkan dipipet secara aseptik untuk diencerkan kembali sampai pengenceran 10-6. Kemudian sebanyak masing-masing 1 ml dari tiap pengenceran yang dikehendaki (P-2 sampai P6) dimasukkan ke dalam cawan petri lalu diisi dengan media LA (Listeria Agar), kemudian dihomogenkan dengan cara cawan diputar membentuk angka 8. Inkubasi dilakukan pada suhu 30oC selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai jumlah L. monocyogenes pada sampel daging sapi. Cara penghitungan koloni: ∑ Listeria = rata-rata ∑ koloni x faktor pengencer Nilai pH Daging (AOAC, 1995). Pengukuran pH daging dilakukan dengan menggunakan pH meter Corning. pH meter dikalibrasi dengan larutan standar (berpH 4 dan 7), kemudian sebanyak 5 gram daging dihancurkan dengan blender dan dilarutkan ke dalam 45 ml akuades lalu elektroda pH meter dimasukkan ke dalam larutan daging dan dilihat pH-nya. Analisa Kadar Protein (AOAC, 1995). Pengukuran kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,25 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100ml, ditambah 1,0 gram Selenium, 1 butir batu didih dan asam sulfat 96% sebanyak 10 ml.. Destruksi dilakukan dengan membakarnya pada tungku pembakar selama 30 menit sampai cairan berwarna hijau jernih. Setelah dingin ditambah 120 ml aquades lalu didestilasi. Sebanyak 5 ml dari tahap destruksi diambil dan dimasukkan ke dalam markam asparatus dan ditambah 10 NaOH 40%. Hasil destilasi ditampung dengan labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator. Titrasi dilakukan dengan KH(YO3)2 sampai larutan berwarna pink seperti blanko. Blanko analisis dilakukan dengan prosedur yang sama. Kadar protein kasar ditentukan dengan persamaan : % protein = (V.Titrasi sampel – V.Titrasi Blanko) x 0,01 x 6,25 x 14 x 24x 100% W x 100
29
Daging sapi segar
Dipotong-potong dengan
Perhitungan TPC awal (4) dan
berat 75 gram per potong
Total bakteri Uji awal (18 potong)
(162 potong)
Perlakuan penambahan biopreservatif pada daging (bakteriosin IAI dan nisin)
Inokulasi bakteri uji : S. typhimurium (54), L. monocytogenes (54) dan E. coli (54) tiap perlakuan
Pengemasan dengan plastik PE 0,3 µm
Penyimpanan pada suhu ruang (27ºC)
Penyimpanan pada suhu dingin (4ºC)
Pengamatan jumlah koloni E .coli,
Pengamatan jumlah koloni E. coli
S. typhimurium dan L. Monocytogenes,
S. typhimurium.dan L. monocytogenes
Perhitungan kadar protein,pH,
Perhitungan kadar protein, pH,
dan karateristik fisik setelah
dan karateristik fisik setelah
penyimpanan 0, 6, 12 dan 18 jam
penyimpanan 0, 14 dan 28 hari
Gambar 2. Diagram Alir Perlakuan Aplikasi Bakteriosin IAI dan Nisin sebagai Biopreservatif pada Daging Sapi Segar pada Penyimpanan di Suhu Dingin dan Suhu Ruang.
30
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Aktivitas penghambatan suatu antimikroba biasanya dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi antimikroba tersebut, demikian juga untuk bakteriosin. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui besarnya aktivitas hambat larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI (Isolat Asli Indonesia) yang akan digunakan pada penelitian utama. Besarnya aktivitas hambat ekstrak kasar bakteriosin ini akan dijadikan pedoman untuk penggunaan konsentrasi nisin sebagai kontrol pembanding dalam penelitian utama. Hal ini bertujuan untuk menyetarakan besarnya aktivitas hambat kedua jenis bakteriosin yang akan digunakan pada penelitian utama. Kondisi lingkungan untuk memproduksi bakteriosin IAI pada penelitian ini ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Usmiati et al. (2007). Kondisi ini didapatkan dari kondisi terbaik pertumbuhan bakteri Lactobacillus sp. SCG 1223 dalam menghasilkan bakteriosin IAI pada berbagai kombinasi pH, suhu dan waktu inkubasi. Kondisi lingkungan terbaik Lactobacillus sp. SCG 1223 dalam menghasilkan bakteriosin IAI yang didapatkan adalah pada pH media 5, suhu inkubasi 33,5oC dan lama inkubasi 9 jam (akhir fase eksponensial dan awal fase stationer pertumbuhan bakteri Lactobacillus sp. SCG 1223). Besarnya aktivitas hambat larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI ditentukan berdasarkan metode konfrontasi (uji daya hambat) bakteriosin IAI pada media agar. Aktivitas penghambatan bakteriosin ini diamati terhadap tiga bakteri uji (Salmonella typhimurium, Escherichia coli dan Listeria monocytogenes). Besarnya aktivitas hambat suatu antimikroba dapat dilihat dari besarnya zona bening yang terbentuk disekitar sumur yang telah diisi antimikroba, demikian juga untuk bakteriosin. Zona bening disekitar sumur menandakan bahwa di sekitar sumur tidak tumbuh bakteri uji yang telah ditanam dipermukaan agar. Menurut Pelczar dan Chan (1986) tanda-tanda suatu media ditumbuhi oleh mikroorganisme diantaranya jika tampak ada kekeruhan. Semakin besar diameter zona bening maka semakin kuat daya hambat suatu antimikroba (Lay dan Hastowo, 1992). Zona bening pada bakteri E. coli, S. typhimurium dan L. monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 3.
→ →
(a)
(b)
→
(c) Gambar 3. Zona Bening terhadap Bakteri Uji (a) E. coli; (b) L. monocytogenes; (c) S. typhimurium Hasil uji daya hambat bakteriosin IAI terhadap ketiga bakteri uji menunjukkan bahwa bakteriosin IAI mampu menghambat pertumbuhan ketiga bakteri uji (E. coli, S. typhimurium dan L. monocytogenes). Konsentrasi larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI yang digunakan adalah 100% yaitu tanpa pengenceran kembali. Kemampuan penghambatan bakteriosin IAI yang dihitung melalui hasil luasan zona bening yang terbentuk pada saat uji daya hambat. Hasil rata-rata luasan zona hambat dari ketiga perlakuan tersebut yaitu 623,263 AU terhadap bakteri E. coli; 638,803 AU terhadap bakteri S. typhimurium dan 509,434 AU terhadap bakteri L. monocytogenes. Hasil uji daya hambat larutan ekstrak kasar bakteriosin IAI dapat dilihat pada Gambar 4.
32
Zona bening (mm2/ml)
700
623,263
638,803
600
509,434
500 400 300 200 100 0 E.coli
S.typhimurium
L. monocytogenes
Bakteri uji
Gambar 4. Luasan Zona Hambat Bakteriosin terhadap Ketiga Bakteri Berdasarkan hasil yang didapatkan maka dapat dihitung rataan aktivitas hambat bakteriosin IAI terhadap ketiga bakteri uji. Hasil nilai rataan aktivitas hambat bakteriosin IAI terhadap ketiga bakteri uji adalah 590,5 AU. Oleh karena itu kemampuan penghambatan bakteriosin IAI yang akan digunakan dalam penelitian utama diperkirakan adalah 600 AU, mendekati hasil rataan aktivitas hambat bakteriosin IAI terhadap ketiga bakteri uji. Nilai ini dijadikan pedoman untuk penggunaan konsentrasi nisin sebagai kontrol pembanding dan penggunaan bakteriosin IAI sebagai biopreservatif daging sapi segar pada penelitian utama. Konsentrasi nisin yang digunakan pada penelitian utama disetarakan dengan besarnya aktivitas penghambatan bakteriosin IAI yang digunakan, yaitu 600 AU. Untuk memperoleh aktivitas penghambatan nisin sebesar 600 AU maka bubuk nisin yang digunakan adalah 240 mg dilarutkan kedalam satu liter akuades steril. Hal ini berdasarkan Ray (1992) yang menyatakan bahwa satu gram nisin murni mempunyai aktivitas 106 IU (International Unit). Nisin yang digunakan adalah Sigma Chemical Co, Amerika Serikat dalam kemasan 25 gram yang mempunyai aktivitas 2,5%, oleh sebab itu dalam 1 gram nisin 2,5% mempunyai aktivitas 25000 IU. Konsentrasi nisin 1 IU setara dengan 100 AU (Arbitrary Unit).
33
Penelitian Utama Pengaruh Penambahan Bakteriosin IAI dan Nisin terhadap Jumlah Bakteri dalam Daging Sapi Hasil pemeriksaan kualitas mikrobiologis daging sapi segar melalui perhitungan total bakteri uji dilakukan dengan menggunakan metode hitungan cawan. Jumlah bakteri uji pada daging sapi segar menunjukkan kemampuan penghambatan bakteri tersebut pada daging tanpa penambahan bakteriosin dan daging yang ditambahkan bakteriosin IAI ataupun nisin. Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri uji mengalami penghambatan dengan adanya penambahan bakteriosin IAI dan nisin. Kemampuan penghambatan berbeda terhadap ketiga bakteri uji. Perbedaan kemampuan bakteriosin IAI dan nisin dalam menghambat jumlah bakteri dalam daging sapi dipengaruhi oleh jenis bakteri uji yang dihambat baik dari jenis dinding sel bakteri ataupun karateristik khusus bakteri uji tersebut seperti hasil metabolisme bakteri uji. Jenis dinding sel bakteri bepengaruh karena adanya perbedaan struktur dinding sel yang dimilikinya. Umumnya bakteri Gram negatif memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba dibanding Gram positif. Hal ini sejalan dengan pendapat Nettles dan Barefood (1993) yang menyatakan bahwa bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat merupakan senyawa protein yang mempunyai daya kerja sebagai bakterisidal dan bakteriostatik terhadap spesies bakteri yang spesifik. Escherichia coli. Perhitungan jumlah bakteri pada daging yang diberi perlakuan penambahan bakteriosin IAI, tanpa penambahan bakteriosin dan penambahan nisin dapat menunjukkan kemampuan penghambatan terhadap pertumbuhan jumlah bakteri E. coli dalam daging sapi yang ditambahkan bakteriosin IAI maupun nisin. Pengaruh lama penyimpanan terhadap jumlah bakteri E. coli daging sapi juga berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri E. coli dalam daging sapi. Pengaruh kedua faktor perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
34
Total Bakteri (Log10 cfu/g)
8 (a)
6 (cd)
4
2
0
(e) (g)
(f)
0
(ef)
(e)
(bc)
(d)
(b)
(b)
(f)
6
12
18
Lama Penyimpanan (Jam) Keterangan
Bakteriosin
1,16 ± 0,15
1,91 ± 0,22
3,57 ± 0,06
4,70 ± 0,08
Tanpa Bakteriosin
2,06 ± 0,11
2,33 ± 0,16
4,33 ± 0,06
5,97 ± 0,43
Nisin
1,59 ± 0,21
1,53 ± 0,22
3,49 ± 0,08
4,71 ± 0,08
Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 5. Rataan Total E. coli Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Ruang (27ºC) Total bakteri E. coli daging sapi pada penyimpanan ruang nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor perlakuan yaitu dipengaruhi oleh penambahan biopreservatif pada daging dan perbedaan lama penyimpanan. Jumlah bakteri E. coli awal dalam daging segar adalah sebesar 1,058 log10 cfu/g. Bakteri E. coli awal pada daging ini dapat berasal dari daging sapi secara alami seperti dari saluran pencernaan hewan ataupun dari lingkungan seperti kontaminasi saat pemotongan .Selama penyimpanan bakteri E. coli mengalami pertumbuhan baik pada daging yang ditambah bakteriosin IAI, nisin dan daging tanpa penambahan bakteriosin dengan laju pertumbuhan yang berbeda-beda. Jumlah bakteri E. coli pada daging yang ditambah bakteriosin IAI pada jam ke-0 lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah bakteri E. coli pada daging yang ditambah nisin dan daging tanpa penambahan bakteriosin. Pada penyimpanan jam ke-0 terlihat perbedaan nyata pada total E. coli pada daging yang ditambah bakteriosin IAI dengan daging tanpa penambahan bakteriosin. Bakteriosin IAI dan nisin mampu mengurangi jumlah E. coli pada daging dibanding daging tanpa penambahan bakteriosin. Hal ini terlihat dari nilai rataan E. coli pada daging yang ditambah nisin dan bakteriosin IAI lebih kecil dibanding jumlah E. coli pada daging tanpa penambahan bakteriosin. Namun, besarnya aktivitas penghambatan nisin dan bakteriosin IAI berbeda pada jam ke-0.
35
Hasil ini bertentangan dengan pendapat Klaenhammer (1998) yang menyatakan bahwa bakteriosin dari Gram positif efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif tetapi tidak efektif menghambat pertumbuhan secara bakterisidal terhadap Gram negatif. Kemampuan bakteriosin IAI dari Lactobacillus sp. SCG 1223 dalam menghambat bakteri Gram negatif menunjukkan bahwa aktivitas hambat bakteriosin IAI tidak hanya efektif terhadap bakteri Gram positif tetapi juga efektif terhadap bakteri Gram negatif. Jumlah E. coli pada daging dengan penambahan bakteriosin IAI sama dengan jumlah E. coli pada daging tanpa penambahan bakteriosin dan daging dengan penambahan nisin pada jam ke-6. Bakteriosin dan nisin mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli pada daging sapi. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan bakteri yang lebih lambat pada daging yang ditambah dengan bakteriosin dan nisin. Laju pertumbuhan bakteri E. coli pada daging sapi yang ditambah nisin paling lambat jika dibandingkan dengan daging yang lain yaitu sebesar 0,03 log10 koloni/jam sedangkan laju pertumbuhan bakteri pada daging yang ditambah bakteriosin adalah 0,15 log10 koloni/jam dan daging tanpa penambahan bakteriosin adalah 0,45 log10 koloni/jam. Nisin mampu menghambat laju pertumbuhan bakteri E. coli selama 6 jam penyimpanan sehingga jumlah bakteri E. coli pada daging tidak mengalami perubahan yang nyata selama 6 jam. Berdasarkan nilai rataan daging sapi dapat ditunjukkan bahwa kualitas mikrobiologis daging sapi dapat dipertahankan 6 jam lebih lama pada daging dengan penambahan bakteriosin IAI dengan melakukan penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri E. coli. Secara fisik, daging sapi pada semua perlakuan masih memiliki kualitas yang baik, hal ini ditunjukkan dengan belum adanya lendir dan bau yang menyimpang pada daging ditiap perlakuan. Efektifitas penghambatan bakteriosin IAI dan nisin terhadap jumlah E. coli dalam daging tampak nyata pada penyimpanan jam ke-12 dan ke-18 karena pada jam tersebut bakteriosin dan nisin memiliki pengaruh yang sama terhadap jumlah E. coli dalam daging. Hal ini terlihat dari nilai rataan bakteri yang lebih kecil dari daging tanpa penambahan bakteriosin. Meskipun efektifitas nisin dan bakteriosin IAI hampir sama pada jam ke-12, namun aktivitas penghambatan mikroba lebih baik pada nisin dibandingkan bakteriosin IAI. Ini terlihat dari nilai rataan yang menunjukkan bahwa bakteriosin IAI tidak berbeda nyata dengan daging tanpa penambahan bakteriosin.
36
Laju pertumbuhan bakteri pada daging yang ditambah nisin lebih lambat (0,92 log10 koloni/jam) dibandingkan dengan daging tanpa penambahan bakteriosin (1,11 log10 koloni/jam) dan daging dengan penambahan bakteriosin IAI (1,09 log10 koloni/jam). Secara fisik, daging sapi yang ditambah dengan bakteriosin IAI lebih baik dibandingkan dengan daging tanpa penambahan bakteriosin. Daging dengan penambahan bakteriosin IAI belum mengalami pelunturan warna dan mengeluarkan lendir, sementara daging tanpa penambahan bakteriosin IAI dan nisin belum mengeluarkan lendir. Penghambatan jumlah E. coli pada daging oleh bakteriosin IAI dan nisin dapat menghambat pertumbuhan mikroba 6 jam penyimpanan lebih lama daripada daging tanpa penambahan bakteriosin. Ini terlihat dari pengaruh bakteriosin IAI dan nisin sama dengan jumlah bakteri dalam daging tanpa penambahan bakteriosin pada penyimpanan ke-12. Ini berarti bahwa penambahan bakteriosin IAI ataupun nisin dapat mempertahankan kualitas mikrobiologis daging lebih lama daripada daging tanpa penambahan bakteriosin yaitu dengan menekan pertumbuhan bakteri E. coli sehingga jumlah E. coli pada daging tidak mengalami perubahan yang nyata. Secara fisik, daging sapi tanpa penambahan bakteriosin IAI sudah rusak dan busuk pada jam ke-18. Hal ini ditandai dengan adanya bau yang menyimpang dari daging dan jumlah lendir yang semakin banyak. Daging sapi juga mulai lembek. Daging sapi dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin sudah mengeluarkan lendir dalam jumlah kecil meskipun sudah sedikit mengeluarkan bau menyimpang. Demikian halnya dengan daging yang disimpan pada suhu dingin, bakteriosin IAI dan nisin mampu menunjukkan aktivitas hambat terhadap pertumbuhan E. coli pada daging sapi. Hasil analisis ragam untuk melihat pengaruh bakteriosin IAI dan nisin terhadap total bakteri E. coli dalam daging yang disimpan dingin dapat terlihat pada Gambar 6. Aktivitas penghambatan bakteriosin IAI dan nisin terhadap jumlah bakteri E. coli pada daging sapi nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor perlakuan (lama penyimpanan dan penambahan biopreservatif).
37
(d)
Total Bakteri (log 10 cfu/g)
8 6
(d)
(d)
4 (c)
2 0
(e)
0
(c)
Lama Simpan (Hari)
14
Keterangan Bakteriosin Tanpa bakteriosin Nisin
1,16 ± 0,15
5,00 ± 0,00
2,06 ± 0,11
7,43 ± 0,13
1,59 ± 0,21
4,89 ± 0,17
Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 6. Rataan Total E. coli Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Dingin (4ºC) Pengaruh penambahan bakteriosin IAI, nisin ataupun tanpa penambahan bakteriosin pada H ke-0 sama dengan penyimpanan jam ke-0 pada penyimpanan ruang karena diamati pada jam yang sama dengan sampel yang sama pula. Pengaruh penambahan bakteriosin IAI, nisin dan daging tanpa penambahan bakteriosin berbeda nyata pada hari ke-14 (P<0,05). Penambahan nisin dan bakteriosin IAI mampu mengontrol pertumbuhan bakteri E. coli pada daging dengan kemampuan penghambatan yang hampir sama sehingga pertumbuhan dan penambahan bakteri E. coli dalam daging tidak secepat pada daging tanpa penambahan bakteriosin. Ini juga tampak dari nilai rataan jumlah E. coli daging dimana jumlah E. coli pada daging dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin lebih kecil daripada jumlah E. coli pada daging tanpa penambahan bakteriosin. Laju pertumbuhan bakteri E. coli pada daging dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin lebih lambat (0,03 log10 koloni/jam) selama 14 hari sementara pada daging tanpa penambahan bakteriosin laju pertumbuhan E. coli pada daging sekitar 0,05 log10 koloni/jam selama 14 hari. Ini membuktikan bahwa aktivitas penghambatan bakteriosin IAI dan nisin tidak hanya bekerja pada suhu ruang saja (27ºC), tetapi juga efektif menghambat pertumbuhan bakteri pada suhu
38
rendah (4-10ºC). Kombinasi antara pendinginan dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin mampu memperlambat laju pertumbuhan bakteri pada daging sapi segar. Hal ini karena pendinginan merupakan satu metode yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Secara fisik, daging yang ditambah dengan bakteriosin IAI memiliki kualitas fisik yang lebih baik daripada daging tanpa penambahan bakteriosin. Daging tanpa penambahan bakterosin menghasilkan lendir yang lebih banyak dan bau yang menyimpang. Warna daging sudah mulai memudar pada semua perlakuan. Menurut Davey dan Richardson (1981) suhu yang sangat rendah dalam dalam penyimpanan tidak mempengaruhi aktifitas bakteriosin. Hal ini serupa dengan penelitian Jack et al. (1996) yang menyatakan bahwa pisciolin 126 masih aktif selama dua bulan penyimpanan pada suhu 4ºC menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif. Carnosin U149 yang dihasilkan oleh Carnobacterium sp. strain U 149 masih aktif pada penyimpanan -79 - 4ºC selama 3 bulan penyimpanan (Stoffels et al., 1992). Jumlah bakteri E. coli pada semua perlakuan pada hari ke-28 sama yaitu kurang dari 1x105 log10 cfu /g. Hal ini karena bakteri E. coli tidak tumbuh pada hari ke-28 dalam media agar sehingga tidak bisa dijadikan indikator untuk menunjukkan penghambatan terhadap bakteri oleh bakteriosin IAI dan nisin. Salmonella typhimurium. Penambahan bakteriosin IAI dan nisin dalam daging berpengaruh nyata terhadap jumlah S. typhimurium dalam daging sapi (P<0,05). Total S. typhimurium dalam daging nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor perlakuan yaitu lama penyimpanan dan penambahan biopreservatif pada daging. Perbedaan jumlah bakteri S. typhimurium dalam daging dengan pengaruh penambahan biopreservatif dan lama simpan yang berbeda terlihat nyata pada penyimpanan ke-12. Kemampuan aktivitas hambat terhadap pertumbuhan bakteri S. typhimurium dalam daging pada kedua faktor perlakuan (penambahan biopreservatif dengan lama simpan yang berbeda) pada penyimpanan ruang dapat dilihat pada Gambar 7.
39
Total Bakteri (log 10 cfu/g)
8
(f) (e)
6 (c)
(ef) (c)
(c)
4 2 0
(abd) (a) (ab)
0
(b) (bd) (bd)
6
12
18
Lama Simpan (Jam) Keterangan Bakteriosin Tanpa Bakteriosin
1,00 ± 0,00 1,21 ± 0,38
Nisin
1,68 ± 0,60
2,21 ± 0,74 2,49 ± 0,24 2,35 ± 0,33
4,38 ± 0,06 5,66 ± 0,21
4,87 ± 0,25 6,86 ± 0,34
4,36 ± 0,07
6,20 ±0,07
Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 7. Rataan Total S. typhimurium Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Ruang (27ºC) Jumlah bakteri S. typhimurium awal pada daging sapi adalah 1,176 log10 cfu/g. Jumlah S. typhimurium pada daging sapi yang ditambah dengan bakteriosin IAI mengalami penurunan pada jam ke-0. Hal ini berarti bahwa bakteriosin IAI mampu mengurangi jumlah bakteri S. typhimurium pada daging sapi. Namun pengaruh ini tidak berbeda secara nyata dengan daging yang ditambah dengan nisin dan daging tanpa penambahan bakteriosin. Pertumbuhan bakteri S. typhimurium pada daging sapi terus berlangsung seiring dengan bertambahnya lama penyimpanan daging dengan laju pertumbuhan bakteri yang berbeda. Aktivitas penghambatan bakteriosin IAI dan nisin tidak tampak pada jam ke-0 dan jam ke-6. Aktifitas penghambatan bakteriosin IAI dan nisin berbeda dengan daging tanpa penambahan bakteriosin terlihat pada jam ke-12, dimana pengaruh penambahan bakteriosin IAI dan nisin berbeda dengan daging tanpa penambahan bakteriosin. Ini berarti bahwa efektifitas bakteriosin IAI dan nisin paling efektif menghambat bakteri pada jam ke12. Bakteriosin IAI dan nisin umumnya memerlukan waktu untuk menembus sel-sel bakteri yang akan dihambatnya serta untuk melakukan aktivitas antimikrobialnya. Lay dan Hastowo (1992) menyatakan bahwa bakteri Gram negatif mempunyai struktur dinding yang berlapis. Bakteri Gram negatif memiliki sistem seleksi
40
terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida (Branen dan Davidson, 1993). Pada awalnya bakteriosin akan berpengaruh nyata pada proses gangguan potensial membran yaitu destabilisasi membran sitoplasmik. Gangguan potensial ini merupakan awal pembentukan lubang yang menyebabkan dibebaskannya molekulmolekul kecil dan hilangnya substrat intraseluler (Gonzalles et al., 1996) Secara fisik daging yang dikontaminasi dengan S. typhimurium lebih cepat busuk jika dibandingkan dengan daging yang dikontaminasi dengan E. coli dan L. monocytogenes. Hal ini karena aktivitas penghambatan bakteriosin IAI dan nisin mempunyai aktivitas penghambatan yang lebih baik terhadap bakteri E. coli dan L. monocytogenes daripada terhadap S. typhimurium. Daging sapi tanpa penambahan bakteriosin IAI sudah mulai mengeluarkan lendir pada jam ke-6. Daging sapi dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin pada jam ke-12 sudah mulai berlendir. Daging sapi sudah busuk pada jam ke-18 dimana daging sapi tanpa penambahan bakteriosin sudah berwarna biru, lembek, bau busuk dan berlendir. Bau busuk disebabkan organisme anaerob dengan jalan dekomposisi protein dan asam amino (menghasilkan indole, metilamine dan H2S) dan bau asam dengan jalan dekomposisi gula-gula dan molekul-molekul kecil lainnya (Lawrie, 1995). Kemampuan bakteriosin IAI dalam menghambat S. typhimurium lebih baik dibandingkan nisin pada penyimpanan selama 18 jam. Bakteriosin IAI mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium pada daging sehingga jumlah bakteri S. typhimurium pada daging dapat dipertahankan jumlahnya. Laju pertumbuhan bakteri pada daging yang ditambah bakteriosin IAI pada jam ke-12 sampai jam ke-18 lebih lambat daripada daging tanpa penambahan bakteriosin dan daging dengan penambahan nisin. Saat jam ke-18 jumlah bakteri S. typhimurium dalam daging yang ditambah nisin sama dengan daging tanpa penambahan bakteriosin, dengan nilai rataan yang lebih besar dibandingkan daging dengan penambahan bakteriosin IAI. Nisin merupakan bakteriosin yang lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif daripada Gram negatif sehingga pada jam ke-18 aktivitas nisin dalam penghambatan terhadap bakteri S. typhimurium dalam daging lebih rendah daripada bakteriosin IAI. Ini sejalan dengan pernyataan dari Muriana dan Kanach (1995) yang menyebutkan bahwa nisin lebih efektif dalam menghambat bakteri Gram positif khususnya bakteri pembusuk.
41
Kemampuan
bakteriosin
IAI
dalam
menghambat
S.
typhimurium
menunjukkan bahwa aktivitas hambat bakteriosin IAI dari isolat sel Lactobacillus sp. SCG 1223 yang diisolasi dari susu sapi mempunyai kemampuan hambatan yang cukup luas dalam menghambat bakteri. Bakteri yang dapat dihambat ternyata tidak hanya bakteri Gram positif saja tetapi juga bakteri Gram negatif. Contoh bakteriosin yang
serupa
adalah
bakteriosin
propionin
PLG-1
yang
dihasilkan
oleh
Propionibacterium thoenii yang selain dapat menghambat bakteri Gram positif juga dapat menghambat bakteri Gram negatif seperti E. coli JM 109, E. coli V517, Campylobacter jejuni, P. fluorecens, P. aeruginosa dan Vibrio parahaemolyticus (Lyon dan Glatz, 1991). Selain itu bakteriosin Brochocin C yang dihasilkan oleh Brochotrhix campestris ATCC 43754 mempunyai aktivitas broad spektrum dengan menghambat Salmonella enterica serovar thypimurium mutans dengan mekanisme kerja mengganggu membran sitoplasma. Kemampuan penghambatan bakteriosin IAI dari Lactobacillus sp. terhadap bakteri S. typhimurium ternyata hanya terjadi pada suhu ruang tetapi tidak terjadi pada penyimpanan daging di suhu dingin (4ºC). Aktifitas penghambatan bakteriosin dan nisin pada daging yang disimpan dingin terhadap jumlah bakteri S. typhimurium disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Total S. typhimurium Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Dingin (4ºC) Perlakuan Lama dengan Tanpa dengan Rataan Penyimpanan Bakteriosin Bakteriosin Nisin (hari) ------------------------------- (log 10 cfu / g ) -------------------------0
1,00 ± 0,00
1,21 ± 0,38
1,68 ± 0,60
1,29C ± 0,47
14
4,89 ± 0,17
5,59 ± 0,88
5,00 ± 0,00
5,16B ± 0,55
28
6,17 ± 0,96
6,69 ± 0,50
6,80 ± 0,49
6,55A ± 0,66
Keterangan :
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,01)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteriosin IAI dan nisin tidak berpengaruh terhadap jumlah S. typhimurium pada daging sapi. Jumlah S. typhimurium pada daging sapi sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh
42
lama penyimpanan daging pada suhu dingin selama 28 hari. Penyimpanan dingin tidak menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium dalam daging. Bakteri S. typhimurium mempunyai kisaran suhu yang luas untuk tumbuh dan berkembang. Umumnya Salmonella sp. dapat tumbuh pada kisaran suhu, pH, dan aw yang lebih luas pada substrat yang lebih baik yaitu pada suhu antara 5ºC sampai 45-47ºC, suhu optimum
35-37ºC
(Adam
dan
Moss,
1995).
Laju
pertumbuhan
bakteri
S. typhimurium cukup tinggi selama 14 hari dan mulai berjalan lambat pada hari ke 28. Secara fisik daging yang dikontaminasi dengan S. typhimurium sudah mengalami kerusakan pada H-28 pada semua perlakuan penggunaan biopreservatif. Daging sapi sudah mengeluarkan bau yang menyengat dan lendir yang banyak. Tekstur daging sudah lembek dan warna yang semakin pudar. Pengaruh penambahan biopreservatif pada daging dengan berbagai lama penyimpanan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata. Ini berarti bakteriosin IAI dan nisin tidak mampu menghambat bakteri S. typhimurium pada penyimpanan dingin. Kombinasi penyimpanan dingin dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium. Selain karena bakteri S. typhimurium dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas, bakteri Gram negatif juga memiliki molekul kompleks yang cukup sulit dirusak atau ditembus oleh antimikroba. Listeria monocytogenes. Pengaruh penambahan bakteriosin IAI dan nisin dalam daging
terhadap
jumlah
bakteri
patogen
diamati
juga
terhadap
bakteri
L. monocytogenes. Pengaruh penambahan bakteriosin IAI dan nisin terhadap jumlah bakteri L. monocytogenes dalam daging dengan penambahan bakteriosin IAI , nisin dan daging tanpa penambahan bakteriosin pada penyimpanan ruang dapat dilihat pada Tabel 4. Pengaruh
penggunaan
biopreservatif
terhadap
jumlah
bakteri
L. monocytogenes dalam daging sapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total bakteri L. monocytogenes pada daging sapi. Penambahan nisin dan bakteriosin IAI menekan jumlah bakteri L. monocytogenes. Aktivitas penghambatan nisin lebih baik dibandingkan
bakteriosin
IAI
dimana
nilai
rataan
total
bakteri
L. monocytogenes pada daging yang ditambah nisin lebih kecil jika dibandingakan dengan daging yang ditambah bakteriosin IAI dan nilai rataan total bakteri
43
L. monocytogenes pada daging yang ditambah bakteriosin IAI tidak berbeda dengan daging tanpa penambahan bakteriosin. Hasil ini serupa dengan pendapat Sheldon dan Klaenhammer (1995) yang menyatakan bahwa nisin mempunyai spektrum yang luas dan
mempunyai
aktivitas
terhadap
mikroorganisme
Gram
positif
seperti
L. monocytogenes. Tabel 4. Rataan Total L. monocytogenes Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Ruang (27ºC) Perlakuan Lama Penyimpanan (jam)
dengan Bakteriosin
Tanpa Bakteriosin
-------------------------------
dengan Nisin
Rataan
(log10 cfu/g ) --------------------------
0
1,14 ± 0,38
1,65 ± 0,09
<1,00 ± 0,00
1,26c ± 0,35
6
2,01 ± 0,15
1,98 ± 0,61
<1,00 ± 0,00
1,66bc ± 0,58
12
2,41 ± 0,67
4,39 ± 0,03
<1,00 ± 0,00
2,89ab ± 1,18
18
4,12 ± 0,46
4,72 ± 1,13
<3,00 ± 0,00
3,94a ± 0,97
2.41ab ± 1,19
3,18a ± 1,54
1,72b ± 0,86
Rataan
Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa lama simpan berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap jumlah bakteri L. monocytogenes pada daging sapi. Bakteri
L. monocytogenes terus mengalami pertumbuhan selama waktu penyimpanan. Perbedaan ini terjadi pada pengamatan ke-0 dengan jam ke-12 dan jam ke-6 dengan ke-18. Perbedaan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri mulai terlihat nyata setiap 12 jam pengamatan. Perbedaan nyata terjadi juga pada jam ke-0 dengan jam ke-18. Laju pertumbuhan bakteri L. monocytogenes semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu (0,22; 0,52; dan 0,75 log10 koloni/jam). Laju pertumbuhan bakteri selama 18 jam adalah 0,49 log10 koloni/jam. Jumlah bakteri L. monocytogenes pada daging sapi yang disimpan dingin nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor perlakuan (penambahan biopreservatif dan lama penyimpanan). Hal ini sesuai dengan berbagai penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa bakteriosin dan nisin efektif dalam menghambat bakteri Gram positif seperi L. monocytogenes. Hasil penelitian Jack et
44
al., (1996) meyatakan bahwa penambahan pisciolin 126 ke dalam bahan pangan mampu menghambat pertumbuhan L. monocytogenes setidaknya selama 14 hari.
Total Bakteri (log 10 cfu/g)
8 (A) 6
(B)
(B)
(B) (B)
(B)
4 2 0
(C)
(C) (C) 0
14
28
Lama Simpan (Hari) Keterangan Bakteriosin Tanpa Bakteriosin Nisin
1,14 ± 0,38
4,89 ± 0,17
<5,00 ± 0,00
1,65 ± 0,09
6,71 ± 0,15
<5,00 ± 0,00
<1,00 ± 0,00
5,16 ± 0,28
5,52 ± 0,28
Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,01)
Gambar 8. Rataan Total L. monocytogenes Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Dingin (4ºC) Penyimpanan dingin ternyata tidak mempengaruhi aktivitas bakteriosin IAI dan nisin. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa nisin dan bakteriosin IAI mampu menghambat pertumbuhan bakteri L. monocytogenes pada daging sapi. Efektifitas nisin dan bakteriosin dalam menghambat pertumbuhan L. monocytogenes terlihat nyata pada hari 14 dengan efektifitas yang sama. Nisin merupakan bakteriosin yang memang sangat efektif dalam menghambat bakteri Gram positif seperti L. monocytogenes. Hasil penelitian sebelumnya oleh Sheldon dan Klaenhammer (1995), menyebutkan juga bahwa nisin mempunyai spektrum yang luas dan mempunyai aktivitas hambat terhadap mikroorganisme Gram positif seperti Listeria monocytogenes dan Clostridium botulinum. Laju pertumbuhan bakteri L. monocytogenes pada daging yang ditambah bakteriosin IAI dan nisin (0,04 log10 koloni/jam) lebih lambat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan bakteri L. monocytogenes pada daging tanpa penambahan bakteriosin (0,05 log10 koloni/jam). Bakteriosin IAI dan nisin dapat menghambat pertumbuhan bakteri L. monocytogenes sehingga laju pertumbuhan bakteri
45
L. monocytogenes dapat lebih lambat daripada daging tanpa penambahan bakteriosin. Hal ini menyebabkan jumlah L. monocytogenes pada daging tetap tidak bertambah secara nyata pada hari ke-28 pada daging yang ditambah bakteriosin IAI dan nisin. Pertumbuhan bakteri L. monocytogenes tetap berjalan sampai pada hari ke-28 meskipun lebih lambat daripada pertumbuhannya di suhu ruang. Pertumbuhan bakteri L. monocytogenes dalam suhu refrigerator masih cukup tinggi sampai pada hari ke-14 dan mulai lambat pada hari ke-28. Bakteri L. monocytogenes merupakan bakteri yang mampu hidup tumbuh pada kondisi alat pendingin (Corner et al., 1986) sehingga lama simpan berpengaruh terhadap jumlah bakteri L. monocytogenes. Ini ditunjukkan dari jumlah L. monocytogenes pada semua perlakuan masih terus bertambah sampai hari ke-28. Bakteriosin IAI dan nisin sudah tidak bisa menghambat pada hari ke-28. Ini dapat dikarenakan aktivitas antimikrobial bakteriosin dan nisin sudah habis dan komponen penghambatnya sudah tidak aktif. Jack et al. (1996) juga menyatakan bahwa penambahan pisciolin 126 ke dalam bahan pangan mampu menghambat pertumbuhan L. monocytogenes setidaknya selama 14 hari. Pengaruh Penambahan Bakteriosin dan Nisin terhadap Nilai pH Daging Sapi Kualitas mikrobiologis daging merupakan salah satu parameter dalam melihat mutu dan tingkat kerusakan daging sapi. Kualitas mikrobiologis daging biasanya diikuti dengan perubahan kualitas fisik dan kimianya. Hal ini karena semakin banyak kandungan bakteri perusak dalam daging maka akan diikuti dengan perubahan fisik yaitu nilai pH dan sifat organoleptik daging (bau, warna dan tekstur). Nilai pH adalah pengukuran terhadap aktivitas ion Hidrogen (H+) merupakan parameter penting untuk pertumbuhan mikroba. Perubahan pH disebabkan oleh adanya aktivitas mikroba antara lain, ion H+ dihasilkan selama pembentukan NH4+, ion H+, dikonsumsi selama metabolisme N03-, ion H+ dikonsumsi saat asam amino digunakan sebagai sumber karbon. Pengaruh penambahan bakteriosin IAI dan nisin secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap nilai pH daging karena jumlah bakteri yang dapat dihambatnya. Nilai pH daging sapi pada jam ke-0 dihitung setelah 4 jam postmortem (setelah pemotongan).
46
Perubahan pH Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli. Nilai pH daging awal pada daging tanpa penambahan bakteriosin adalah 5,87. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1998) yang menyebutkan bahwa pH akhir daging sapi normalnya adalah 5,4-5,8. Setelah 4 jam perlakuan penambahan bakteriosin IAI dan nisin serta dikontaminasi dengan E. coli nilai pH daging turun antara 5,56-5,68 pada daging yang ditambah dengan bakteriosin IAI, nisin ataupun yang tidak ditambahkan bakteriosin. Penurunan pH ini selain disebabkan karena proses perubahan glikogen menjadi asam laktat akibat proses glikolisis anaerob juga disebabkan oleh bertambahnya jumlah E. coli dalam daging. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan biopreservatif pada daging (penambahan bakteriosin IAI dan nisin) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH daging (Lampiran 8). Penambahan bakteriosin IAI ataupun nisin ternyata tidak mempengaruhi nilai pH pada daging. pH bakteriosin IAI dan nisin yang ditambahkan pada daging adalah netral sehingga pH daging tidak akan berubah dengan penambahan bakteriosin IAI ataupun nisin. Nilai pH daging sapi ternyata nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan lama penyimpanan daging. Perbedaan pengaruh lama penyimpanan ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Ruang (27ºC) Perlakuan Lama penyimpanan (jam) 0
dengan Bakteriosin
tanpa Bakteriosin
5,54 ± 0,05
5,66 ± 0,16
5,68 ± 0,06
5,63ab ± 0,11
6
5,80 ± 0,11
5,75 ± 0,04
5,74 ± 0,01
5,76a ± 0,07
12
5,79 ± 0,02
5,72 ± 0,01
5,78 ± 0,04
5,76a ± 0,04
18
5,81 ± 0,03
5,63 ± 0,08
5,69 ± 0,03
5,71b ± 0,09
Keterangan :
dengan Nisin
Rataan
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Perbedaan nyata nilai pH daging sapi terlihat pada jam ke-18. Penurunan pH dapat disebabkan karena reaksi perubahan glikogen otot pada daging sapi menjadi asam laktat pada proses glikolisis anaerob. Gracey (1986) menjelaskan bahwa pH daging sapi yang baru dipotong biasanya berkisar antara 6,5-6,8 kemudian
47
mengalami penurunan dengan cepat sampai mencapai 5,6-5,8 setelah 48 jam. Kisaran nilai pH daging sapi selama 18 jam penyimpanan pada suhu ruang masih berada dalam kisaran normal nilai pH daging sapi. Glikolisis postmortem umumnya berlangsung selam 24 jam. Tabel 6. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi E. coli pada Penyimpanan Dingin Perlakuan Lama dengan tanpa dengan Penyimpanan Bakteriosin Bakteriosin Nisin (hari) abc abc abc 0 5,54 ± 0,05 5,66 ± 0,16 5,68 ± 0,06 14
5,96ab ± 0,14
5,83ab ± 0,09
5,98ab ± 0,07
28
5,20c ± 0,26
5,49bc ± 0,31
6,07a ± 0,33
Keterangan
:
Superskrip huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Nilai pH daging sapi yang dikontaminasi dengan E. coli nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh interaksi antara lama simpan dan perlakuan penambahan bakteriosin IAI dan nisin. Perbedaan terlihat nyata pada lama simpan hari ke-28 pada daging dengan penambahan bakteriosin IAI. Nilai pH daging cenderung mengalami kenaikan pada hari ke-14 dan mengalami penurunan pada hari ke-28 pada semua perlakuan, kecuali pada daging yang ditambahkan dengan nisin tetap mengalami kenaikan pada hari ke-28. Kenaikan pH bisa disebabkan karena bakteri memetabolisme alkalin sehingga menhasilkan basa. Bakteri juga memproduksi asam laktat seiring bertambahnya lama penyimpanan. Akumulasi asam laktat ini yang menyebabkan nilai pH daging mengalami penurunan kembali setelah 14 hari penyimpanan. Bakteri gram negatif umumnya juga mampu secara cepat melakukan metabolisme asam dan mencegah akumulasinya dalam sel (Doores, 1983). Kenaikan nilai pH pada daging yang ditambah nisin bisa disebabkan karena aktivitas penghambatan
nisin terhadap
bakteri lain pada daging selain E. coli, sehingga asam laktat yang dihasilkan bakteri pada daging sapi lebih kecil jika dibandingkan daging dengan penambahan bakteriosin IAI dan nisin. Perubahan pH Daging yang Dikontaminasi dengan Salmonella typhimurium. Nilai pH pada daging yang dikontaminasi dengan S. typhimurium yang disimpan
48
pada suhu ruang menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH daging sapi (Lampiran 11). Perubahan pH daging tidak disebabkan oleh lama penyimpanan daging. Semakin lama penyimpanan pH daging tidak mengalami perubahan secara nyata selama 18 jam. Nilai pH daging selama 18 jam berkisar antara 5,6-5,9. Kisaran pH ini masih merupakan pH normal daging akibat glikolisis postmortem. Pengaruh penambahan biopreservatif pada daging sapi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi S. typhimurium pada Penyimpanan Ruang (27ºC). Lama Perlakuan Penyimpanan dengan tanpa dengan (jam) Bakteriosin Bakteriosin Nisin 0
5,85 ± 0,03
5,75 ± 0,12
5,69 ± 0,01
6
5,88 ± 0,04
5,72 ± 0,07
5,69 ± 0,04
12
5,88 ± 0,02
5,68 ± 0,07
5,81 ± 0,06
18
5,72 ± 0,02
5,66 ± 0,05
5,78 ± 0,21
5,83a ± 0,07
5,70b ± 0,08
5,74b ± 0,09
Rataan Keterangan :
Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Penambahan bakteriosin dan nisin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH pada daging sapi. Perbedaan nyata terlihat pada daging yang ditambah bakteriosin IAI lebih tinggi jika dibandingkan dengan pH daging tanpa penambahan bakteriosin dan nisin. Nilai pH pada daging yang ditambah bakteriosin IAI pada awalnya memang lebih tinggi dibandingkan kedua perlakuan lainnya sehingga berpengaruh terhadap nilai pH daging secara keseluruhan. Bakteriosin IAI kemungkinan mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain pada daging sehingga mempengaruhi jumlah bakteri pada daging sehingga jumlah bakteri total pada daging yang ditambah bakteriosin relatif lebih kecil. Selain itu kenaikan nilai pH dapat disebabkan karena adanya pertumbuhan kapang khamir pada daging sapi. Nilai pH pada daging yang disimpan pada suhu dingin tidak nyata (P>0,05) dipengaruhi oleh penambahan biopreservatif pada daging sapi. Penambahan bakteriosin IAI dan nisin juga tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium pada daging sapi yang disimpan pada suhu dingin sehingga
49
perubahan nilai pH tidak disebabkan karena penambahan biopreservatif pada daging sapi. Perbedaan lama simpan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH daging sapi. Semakin lama daging disimpan maka pertumbuhan bakteri terus berlangsung karena bakteri S. typhimurium mempunyai kisaran suhu pertumbuhan yang luas sehingga masih mampu tumbuh pada suhu dingin. Jumlah S. typhimurium terus bertambah selama waktu penyimpanan dan mengubah pH daging sapi. Pertumbuhan bakteri S. typhimurium ini menyebabkan asam hasil metabolisme yang dihasilkan semakin tinggi jumlahnya sehingga nilai pH daging sapi semakin menurun. Rataan nilai pH daging sapi pada daging yang dikontaminasi dengan bakteri S. typhimurium dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi dengan S. typhimurium pada Penyimpanan Dingin (4ºC) Perlakuan Lama dengan tanpa dengan Rataan Penyimpanan Bakteriosin Bakteriosin Nisin (hari) 0 5,85 ± 0,03 5,75 ± 0,12 5,69 ± 0,01 5,76a ± 0,09 14
5,87 ± 0,06
5,95 ± 0,12
5,97 ± 0,12
5,93b ± 0,09
28
5,45 ± 0,41
5,32 ± 0,43
6,02 ± 0,27
5,59a ± 0,46
Keterangan :
Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Perubahan pH Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes. Nilai pH
daging sapi nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor
perlakuan yaitu dipengaruhi oleh lama penyimpanan dan penambahan biopreservatif pada daging (bakteriosin IAI dan nisin). Perbedaan nilai pH terletak pada daging tanpa penambahan bakteriosin pada jam ke-0 dan jam ke-18. Nilai pH cenderung turun dan sangat rendah pada daging tanpa penambahan bakteriosin pada jam ke-18. Hasil analisis ragam nilai pH daging sapi yang dikontaminasi dengan L. monocytogenes disajikan pada Tabel 9.
50
Tabel 9. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Ruang (27ºC) Lama Perlakuan Penyimpanan dengan tanpa dengan (jam) Bakteriosin Bakteriosin Nisin ab a abc 0 5,89 ± 0,06 5,93 ± 0,09 5,75 ± 0,01 6
5,88abc ± 0,14
5,68bc ± 0,16
5,79abc ± 0,07
12
5,79abc ± 0,06
5,77abc± 0,02
5,79abc ± 0,04
18
5,79abc ± 0,13
5,64c ± 0,05
5,78abc ± 0,05
Keterangan
:
Superskrip huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Penurunan nilai pH ini disebabkan jumlah L. monocytogenes pada daging tanpa penambahan bakteriosin semakin tinggi pada jam ke-18 sehingga L. monocytogenes menghasilkan asam sebagai hasil metabolisme selama pertumbuhannya. Jumlah L. monocytogenes pada daging tanpa penambahan bakteriosin lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah L. monocytogenes pada daging yang ditambah bakteriosin IAI. Hal ini menyebabkan nilai pH pada daging yang ditambah bakteriosin IAI dan nisin mempunyai nilai pH yang lebih rendah daripada daging tanpa penambahan bakteriosin. Penyimpanan dingin berpengaruh terhadap nilai pH daging. Lawrie (1968) menyebutkan bahwa faktor lingkungan suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya penurunan pH daging. Pada dasarnya temperatur tinggi mempercepat laju penurunan pH sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Pengaruh temperatur terhadap penurunan pH ini adalah sebagai pengaruh langsung temperatur terhadap laju glikolisis postmortem (Pearson, 1987). Nilai pH pada daging nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan lama simpan, sedangkan penambahan biopreservatif pada daging sapi (penambahan bakteriosin IAI ataupun nisin) tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai pH daging sapi. Perbedaan pengaruh penyimpanan pada daging sapi dapat dilihat pada Tabel 10.
51
Tabel
10.
Lama Penyimpanan (hari)
Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin (4ºC) Perlakuan
0
dengan Bakteriosin 5,89 ± 0,06
Tanpa Bakteriosin 5,93 ± 0,09
dengan nisin 5,75 ± 0,01
5,86a ± 0,09
14
6,13 ± 0,23
5,55 ± 0,28
5,87 ± 0,02
5,85a ± 0,31
28
5,58 ± 0,08
5,45 ± 0,07
5,74 ± 0,55
5,59b ± 0,14
Keterangan :
Rataan
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Penurunan pH daging karena lama penyimpanan dapat disebabkan karena adanya reaksi perubahan glikogen dalam daging menjadi asam laktat oleh mikroba yang terkandung dalam daging. Penurunan pH umumnya akan terus berlangsung selama kandungan glikogen dalam daging masih tersedia. Selama 28 hari pada penyimpanan dingin bakteri pada daging terus bertambah jumlahnya sehingga menyebabkan perubahan pH daging secara nyata. Pengaruh Penambahan Bakteriosin IAI dan Nisin terhadap Kadar Protein Daging Sapi Komponen penghambat dalam bakteriosin adalah molekul protein dengan karateristik yang berbeda pada tiap jenisnya. Penambahan bakteriosin IAI tidak mempengaruhi kadar protein dalam daging sapi. Perubahan kadar protein daging sapi dapat disebabkan karena aktivitas dan jumlah bakteri uji (S. typhimurium, E. coli, L. monocytogenes) selama proses penyimpanan daging. Perubahan kadar protein daging oleh mikroorganisme kemungkinan berbeda untuk tiap jenis mikroorganisme. Perubahan Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli. Pengaruh kedua faktor perlakuan pada daging (penambahan biopreservatif dan lama simpan) terhadap kadar protein pada daging sapi yang disimpan pada suhu ruang (27ºC) dapat dilihat pada Gambar 9.
52
Kadar Protein (%)
25 20
(ab)
(a) (b)
15
(ab) (ab) (ab)
10 5 0
0
18 Lama Simpan (Jam)
Keterangan Bakteriosin Tanpa Bakteriosin Nisin
17,20 ± 1,48
18,27 ± 1,16
20,67 ± 0,42 16,27 ± 0,97
18,87 ± 1,99 19,07 ± 1,66
Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 9. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Ruang (27ºC) Kadar protein daging yang dikontaminasi dengan E. coli nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor perlakuan (lama penyimpanan dan penambahan biopreservatif). Kadar protein dalam daging mengalami peningkatan selama 18 jam. Penggunaan bakteriosin IAI dan nisin ternyata berpengaruh terhadap kadar protein daging. Pengaruh ini karena kemampuan penghambatan bakteriosin IAI dan nisin terhadap jumlah E. coli daging. Bakteriosin IAI dan nisin merupakan molekul protein yang dapat berperan sebagai agen penghambat pertumbuhan mikroorganisme. Asam amino berupa kation peptide antimikrobial diproduksi secara spesifik oleh bakteri asam laktat menyebabkan adanya efek penekanan bakteriosin terhadap pertumbuhan E.coli, namun selama penyimpanan bakteri uji tersebut masih mengalami perkembangan sehingga pada akhir penyimpanan kadar protein meningkat. Protein ini kemungkinan berasal dari daging, biopreservatif (nisin dan bakteriosin IAI) dan massa protein bakteri (E. coli). Perbedaan kedua faktor perlakuan terhadap kadar protein daging terlihat pada daging tanpa penambahan bakteriosin dan nisin pada jam ke-0. Kadar protein daging tanpa penambahan bakteriosin lebih tinggi jika dibandingkan kadar protein pada daging dengan penambahan nisin pada jam ke-0. Kadar protein daging segar adalah 19 %. Kadar protein pada daging yang ditambah dengan bakteriosin IAI dan nisin lebih rendah jika dibandingkan kadar protein daging semula. Penambahan
53
biopreservatif pada daging dilakukan dengan cara direndam. Menurunnya kadar protein ini disebabkan karena molekul protein pada daging terutama protein mioglobin daging kemungkinan besar ikut keluar dan tercampur bersama hasil rendeman larutan bakteriosin dan nisin. Tabel 11. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi E. coli pada Penyimpanan Dingin (4ºC) Lama Perlakuan Penyimpanan dengan tanpa dengan Rataan (hari) Bakteriosin Bakteriosin Nisin 0 17,82 ± 1,48 20,67 ± 0,42 16,27 ± 0,97 18,25a ± 2,14 28 Keterangan :
22,29 ± 0,05
22,04 ± 1,11
23,55 ± 2,85
22,63b± 1,68
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Hasil uji statistik terhadap pengaruh penggunaan biopreservatif pada daging sapi yang disimpan pada suhu dingin menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap kadap protein pada daging sapi. Kadar protein daging nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh lama simpan (H-0 dan H-28 ) daging sapi. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan bakteriosin IAI dan nisin ke dalam daging sapi tidak mengubah pH daging sapi. Kadar protein mengalami peningkatan kembali pada H-28. Semakin lama disimpan kadar protein dalam daging semakin meningkat. Ini dapat disebabkan karena jumlah mikroorganisme yang semakin tinggi pada daging massa bakteri yang berupa protein dan hasil metabolismenya juga tinggi dan menyebabkan peningkatan kadar protein dalam daging. Hasil metabolisme mikroorganisme aerob antara lain ammonia yang menyebabkan daging mengeluarkan bau yang menyimpang. Amonia mengandung gugus nitrogen yang mungkin terukur dalam perhitungan kadar protein. Rataan kadar protein pada daging yang dikontaminasi dengan E. coli dapat dilihat pada Tabel 11. Perubahan Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi Salmonella typhimurium. Pengaruh kedua faktor perlakuan (penambahan biopreservatif dan lama simpan) pada daging sapi yang disimpan pada suhu ruang (27ºC) tidak berpengaruh terhadap kadar protein dalam daging. Penggunaan biopreservatif tidak berpengaruh terhadap kadar protein daging sapi. Hal ini karena jumlah molekul protein yang terkandung dalam bakteriosin dan nisin relatif kecil sehingga tidak akan mempengaruhi kadar protein
54
daging. Selain itu, kemungkinan jumlah massa protein pada bakteri S. typhimurium selama pertumbuhan sampai akhir penyimpanan juga relatif tidak mengubah kadar protein dalam daging. Perbedaan lama simpan juga tidak mempengaruhi kadar protein dalam daging sapi. Kadar protein daging sapi yang dikontaminasi dengan S. typhimurium ini berkisar antara 17-20%. Ini merupakan kisaran normal kadar protein daging. Menurut Soeparno (1998), kadar protein daging adalah 19%. Tabel 12. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi S. typhimurium pada Penyimpanan Dingin (4ºC) Lama Perlakuan Penyimpanan dengan tanpa dengan (hari) Bakteriosin Bakteriosin Nisin 0 16,91 ± 2,06 19,24 ± 0,22 17,66 ± 0,52 28
21,12 ± 1,76
21,11 ± 2,32
20,68 ± 0,02
Rataan
18,26b ± 0,73
21,19a ± 1,07
18,96b ± 1,73
Keterangan :
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Kadar protein daging sapi yang disimpan pada suhu dingin nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh penambahan biopreservatif pada daging (bakteriosin IAI dan nisin). Perbedaan lama simpan tidak berpengaruh terhadap kadar protein pada daging sapi. Ketiga perlakuan penggunaan biopreservatif mengalami peningkatan kadar protein walaupun hanya sedikit selama penyimpanan. Daging tanpa penambahan bakteriosin mempunyai kadar protein yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging yang ditambah bakteriosin IAI dan nisin. Hal ini karena jumlah S. typhimurium pada daging tanpa penambahan bakteriosin lebih tinggi daripada daging yang telah diberi biopreservatif. Hal ini menyebabkan hasil metabolisme dan massa mikroba tersebut yang berupa protein lebih tinggi pula. Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes. Kadar protein daging sapi yang dikontaminasi dengan L. monocytogenes pada penyimpanan ruang tidak mengalami perubahan selama penyimpanan 18 jam. Perlakuan penggunaan biopreservatif pada daging dan lama simpan yang berbeda (J-0,J-6, J-12 dan J-18) tidak berpengaruh terhadap kadar protein daging sapi (Lampiran 21). Bakteriosin IAI dan nisin dengan jumlah molekul protein yang relatif kecil tidak cukup berpengaruh terhadap kadar protein daging sapi. Kadar protein
55
daging sapi yang dikontaminasi dengan L. monocytogenes ini berkisar antara 1720%. Selain itu, jumlah massa protein pada bakteri L. monocytogenes selama pertumbuhan sampai akhir penyimpanan juga relatif tidak mengubah kadar protein dalam daging. Perubahan kadar protein yang relatif kecil ini juga disebabkan bakteriosin dan nisin mampu menghambat pertumbuhan bakteri L. monocytogenes pada daging sapi sehingga jumlah bakteri L. monocytogenes dapat sedikit ditekan. Tabel 13. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin Lama Perlakuan Penyimpanan dengan tanpa dengan Rataan (hari) Bakteriosin Bakteriosin Nisin 0 16,91 ± 2,06 19,24 ± 0,22 17,66 ± 0,52 17,94a ± 1,48 28 Keterangan :
21,12 ± 1,76
21,11 ± 2,32
20,68 ± 0,02
20,97b ± 1,64
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Penggunaan bahan biopreservatif pada daging sapi tidak berpengaruh nyata pada daging yang disimpan dingin (4ºC). Kadar protein nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh perlakuan perbedaan lama simpan (H-0 dan H-28) Perbedaan kadar protein daging sapi pada penyimpanan yang berbeda pada tiap penggunaan biopreservatif pada daging sapi dapat dilihat pada Tabel 13. Kadar protein daging mengalami peningkatan selama penyimpanan 28 hari. Hal ini karena jumlah bakteri L. monocytogenes semakin bertambah seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Komponen protein ini bisa berasal dari
massa (molekul) protein dari
L. monocytogenes serta hasil metabolisme L. monocytogenes lainnya yang berupa protein, asam amino, peptida atau ammonia. Laju Pertumbuhan Bakteri pada Daging Sapi Segar. Pemeriksaan kualitas mikrobiologis daging sapi segar dilakukan melalui perhitungan total bakteri dalam daging menggunakan metode hitungan cawan. Banyaknya bakteri yang tidak diinginkan (patogen dan perusak) dalam daging dapat menunjukkan kualitas suatu daging sapi. Pertumbuhan mikroba merupakan faktor penting dan erat hubungannya dengan kualitas daging segar (Lambert, 1991), karena daging merupakan salah satu pangan yang mudah rusak karena aktivitas bakteri. Menurut Sams (2001) Bakteri ini dapat berasal dari bakteri saat sapi masih hidup, saat penyembelihan, kontaminasi
56
lingkungan, peralatan dan kontaminasi pekerja saat pemotongan. Bakteri sangat mudah tumbuh dan berkembang dalam daging karena daging merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan mikroba sehingga dikategorikan sebagai pangan yang perishable. Laju pertumbuhan bakteri dalam daging sapi segar pada penyimpanan ruang selama 18 jam dan penyimpanan dingin selama 28 hari dapat dilihat pada Gambar 10
Total Bakteri (log 10 cfu/gr)
dan 11. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7,82 6,19
6,25 4,13
0
6
12
18
Lama simpan (jam)
Gambar 10. Laju Pertumbuhan Bakteri Daging Sapi Segar pada Penyimpanan Ruang Laju pertumbuhan bakteri pada daging sapi yang disimpan pada suhu ruang menunjukkan bahwa selama penyimpanan jumlah bakteri dalam daging terus bertambah. Laju pertumbuhan bakteri selama 6 jam pertama memiliki laju pertumbuhan sebesar 1,17 log10 koloni/jam. Laju pertumbuhan ini mengalami penurunan selama 6 jam kedua (6-12 jam) menjadi 0,87. Bakteri dalam daging sapi yang disimpan di suhu ruang terus bertambah jumlahnya sampai pada jam ke-12 meskipun dengan laju pertumbuhan yang berbeda dan mulai mengalami penurunan pada jam ke-12 dan ke-18 dengan laju penurunan sebesar 0,90 log10 koloni/jam. Penurunan ini dapat disebabkan sebagian bakteri mulai mengalami kematian. Kematian mikroorganisme ini dapat disebabkan karena hasil metabolisme dari mikroorganisme tersebut yang dapat menjadi racun bagi dirinya sendiri. Secara fisik, daging sapi pada jam ke-18 sudah mengalami perubahan mikrobiologis yang nyata yaitu berwarna merah kebiru-biruan, berbau busuk dan berlendir pada permukaan
57
daging yang menunjukkan bahwa daging sudah busuk dan tidak layak dikonsumsi. Adanya bau busuk pada daging disebabkan enzim pada mikroorganisme menyerang asam amino secara cepat, menyebabkan kerusakan yang cepat pula, termasuk bau
Total bakteri (log 10 cfu/g)
yang busuk (Newton dan Gill, 1978) dan pelunturan warna.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8,91
9,13
4,13
0
14
28
Lama simpan (hari)
Gambar 11. Laju Pertumbuhan Bakteri Daging Sapi Segar pada Penyimpanan Dingin Jumlah bakteri dalam daging yang disimpan dingin juga menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dalam daging meskipun lambat. Laju pertumbuhan bakteri selama 14 hari hanya sebesar 0,05 log10 koloni/jam. Pendinginan merupakan salah satu metode untuk menghambat pertumbuhan bakteri sehingga laju pertumbuhan bakteri lebih lambat pada suhu dingin. Salah satu penghambatan pertumbuhan bakteri dalam daging adalah dengan memberikan lingkungan yang tidak cocok pada bakteri yaitu diantaranya dengan menurunkan suhu sampai suhu pendinginan dan pembekuan (Fardiaz, 1992). Pertumbuhan ini terus berlangsung hingga hari ke-28 ditunjukkan dengan peningkatan populasi, walaupun laju pertumbuhan lebih lambat jika dibandingkan pada hari ke-14.
58
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan bakteriosin IAI dari isolat Lactobacillus sp. SCG 1223 asal susu sapi dengan aktivitas penghambatan 600 AU pada daging sapi segar mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium, L. monocytogenes, dan E. coli. Aktivitas penghambatan bakteriosin IAI yang dihasilkan oleh Lactobacillus sp. memiliki stabilitas yang tinggi pada suhu ruang (27ºC) dan suhu dingin (4ºC). Kombinasi penyimpanan pada suhu dingin (4ºC) dengan penggunaan bakteriosin efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji pada daging sapi segar. Saran Bakteriosin dari Lactobacillus sp. SCG 1223 asal susu sapi perlu diuji lebih lanjut aktivitasnya terhadap bakteri Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan Salmonella typhimurium pada produk olahan daging dengan menggunakan bakteriosin IAI dalam bentuk bakteriosin murni.
59
60
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus juru selamatku atas segala kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Bunda Maria atas bimbingan, doa dan teladan-Nya kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir Rarah R.A.M, DEA dan Sri Usmiati, S.Pt, M.Si yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih kepada Irma Isnafia Arief, S.Pt, M.Si dan Dr. Ir. Komang G. Wiryawan yang telah menguji dan memberikan sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tuti Suryati S.Pt, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik selama penulis menjalani pendidikan sebagai mahasiswa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis atas limpahan doa yang tulus, kasih sayang, dukungan moril dan materi yang tak hentihentinya kepada penulis. Ucapan terima kasih untuk kakak dan ade tersayang, penulis sampaikan kepada Betty Gusdwisari, S.Pd dan Demas Antaka atas doa dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada kakakku Donatus Bagas Pramudiarto, S. Hut atas kasih sayangnya kepada penulis serta keluarga besar baik yang berada di Klaten, Bogor dan Bekasi (Om agung, Bryan, Tante atik) atas segala pengertian, doa dan keceriaan selama ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada mas Joni atas rekomendasi penelitian ini, teknisi dan staf Laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, teknisi dan staf Laboratorium Balai Penelitian Veteriner. Selain itu, kepada teman penelitianku (Amalia Puji Rahayu), Dudi, Novara, Ratih, Tito, Ari, Mira Hotri atas pengertian dan bantuannya selama penelitian. Terimakasih juga kepada sahabatku di SG (Ellyta, Mira, Dwi, Triani, Asri Wulan dan Rahma), sahabatku di DR (Stefani, Tresnia, Dini. P, Dini. M dan Tina) atas keceriaan selama kuliah di IPB, teman-teman pendamping, KEMAKI, THT 41,43 dan kepada semua pihak yang tidak mampu disebutkan satu per satu. Bogor, Agustus 2008
Penulis
63
DAFTAR PUSTAKA Aberle, E. D., J. C. Forrest., D. E. Gerrard dan E. W. Mills. 2001. Principles of Meat Science. Kendall // Hunt Publishing Company, Iowa. Adam, M. R dan M. O. Moss. 1995. Food Microbiology. The Royal Society of Chemistry. Ahn, C., M. E. Stiles dan T. R. Klaenhammer. 1992. Genetic organization of the lactacin f operon and expression of the bacteriocin in other lactic acid bacteria. J. Dairy Sci .75 :144. AOAC (Association of Analytical Chemist). 1995. Official Methods of Analysis. Washington, DC. APHA (American Public Health Association). 1992. Standar Methods for the Examination of Dairy Products. 16th Edition. Port City Prss. Washington, DC. Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3947-1995. Standar Daging Sapi atau Kerbau. Badan Standarisasi Nasional Indonesia, Jakarta. Barefoot, S. F. dan T. R. Klaenhammer. 1983. Detection and activity of lactacin B, a bacteriocin produced by Lactobacillus acidophilus. Environ. Microbial. 45 : 1808-1815 Bhunia, A. K., M. C. Johnson dan B. Ray. 1987. Direct detection of an antimicrobial peptide of Pediococcus acidilactici in sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis. J. Ind, Microbiol. 2 : 319-322. Bintang, M. 1993. Studi antimikroba dari Streptococcus lactis. Disertasi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Bower, C. K., J. Mc Guire dan M. A. Daeschel. 1995. Suppresion of Listeria monocytogenes colonization following absorbtion of lisin into silica surface. Appl. Environ. Microbiol. 61: 992-997. Buckle, K. A., R. A. Edwards., G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan : Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Cintas, L. M., P. Cassaus., L. S. Havarstein., I. F. Nes dan P. E. Hernandez. 1997. Biochemical and genetics of enterocin from Enterocccus faecum P13 with a broad antimicrobial spectrum. Environ. Microbiol. 63 : 4321-4330. Corner, D. E., R. E. Bracket dan L. R. Beuchat. 1986. Effect of temperature, sodium chlorida and pH on growth of Listeria monocytogenes in cabbage juice. Appl. Environ. Microbiol. 52: 59-63. Davey, G. P. dan B. C. Richardson. 1981. Purification and some properties of diplococcin from Streptococcus cremoris 346. Environ. Microbiol. 41 :84-89. Delgado, A., D. Brito., P. Fevereiro., C. Peres dan J. F. Marques. 2001. Antimicrobial activity of Lactobacillus plantarum isolated from a traditional lactic acid fermentation of table olive. EDP. Sciences. 81: 203215. Daeschel, A. M. 1992. Antimicrobial substance from lactic acid bacteria for use as food preservatives. J. Food Technol. 43 (1) :164-169.
De Vuyst, L dan E. J. Vandamme. 1993. Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria Microbiology. Genetics and Application. Blackie Academic and Professional, London. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan dan Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fardiaz, S . 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Forrest, J. C., E. D. Aberle., H. B. Hendrick., M D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Co., San Fransisco. Frazier, W. C dan D. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. 4th Edition. Mc GrawHill International Edition. Goris, L. M. G dan H. M. J. Bernik. 1994. Bacteriocin for Food Biopreservatives. Internationale Zeitschrift fur Lebensmittel Technic Marketing Verpacking Undanalytic. 49 : 65-68. Gonzales, B., E. Glaasker., E. R. S. Kunji., A. J. M. Driessen, J. E. Suarez dan W. N. Konings. 1996. Bactericidal mode of action of Plantaricin S. Environ. Microbiol. 62 : 2701-2709. Holt, J. G., N. R. Krieg., P. H. A. Sneath., J. T. Staley dan S. T. Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 9th Edition. Williams and Wilkins, Maryland. Hurst, A. 1981. Nisin. Microbiol. 27: 85-123. Jack, R. W., J. R. Tagg dan B. Ray. 1995. Bacteriocin of Gram positive bacteria. Microbiol. Rev. 59 : 1416-1429. Januarsyah, T. 2007. Kajian aktivitas hambat bakteriosin dari bakteri asam laktat Galur SCG 1223. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut, Pertanian Bogor, Bogor. Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edition. Aspen Publishers. Inc., Maryland. Jenie, B. S. L dan S. E. Rini. 1995. Aktivitas antimikroba dari beberapa spesies Lactobacillus terhadap mikroba patogen dan perusak makanan. Bul. Teknol. Ind. Pangan. 6 (2) : 46-51. Joe Young Boe., B. Kwung Mi., K. Sung Koo dan J. Hong Ki. 1996. Evaliation of optimum production for bacteriocin from Lactobacillus sp. JB 42 isolation from Kimichi. J. Microbiol. Biotech. 6 : 63-67. Jung, M. Y dan H. D. Faik. 2000. Identification and partial charateristization of lacticin JW3, a bacteriocin produced by Lactococcus lactis JW3 isolate from commercial Swiss cheese produce. Food Sci. Biotechnol. 9 : 116-123.
62
Kim, C. H., G. E. Ji dan C. Ahn. 2000. Purification and molecular characterization of a bacteriocin from Pediococcus sp. KCA 2386 isolated from white khimchi. Food Sci. Biotechnol. 9 : 270-276. Klaenhammer, T. R. 1988. Bacteriocin of lactic acid bacteria. Biochem. 70 : 337349. Ko, S. H dan C. Ahn. 2000. Bacteriocin produced by Lactococcus lactis KCA 2386 isolated from white khimchi. Food Sci. Biotechnol. 9 : 263-269. Lawrie, R. A. 1995. Ilmu Daging. Terjemahan A. Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Lawrie, R. A. 1998. Lawrie’s Meata Science. 6th Edition. Woodhead Publishing Ltd., Cambridge. Lay, B. W dan S. Hastowo. 1992. Mikrobiologi. Rajawali Press, Jakarta. Mountney. 1976. Poultry Product Technology. 2nd Edition. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut. Muchtadi, T. R dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Natasasmita, S., R. Priyanto dan D. M. Tauchid. 1987. Pengantar Evaluasi Karkas. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pelczar, M. J dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Ray, B. 1996. Fundamental Food Microbiology. Tokyo. Ray, B dan M. Daeschel (eds). 1992. Food Biopreservative of Microbiology Origins. CRC, Tokyo. P :1-201. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM-Press, Yogyakarta. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM-Press, Yogyakarta. Sudirman. I., F. Mateu., M. Michel dan Lefebure. 1993. Detection and properties of curtivaticin 13, a bacteriocin produce by Lactobacillus curvatus SB 13. Microbiol. 27 : 35-40. Tagg, J. R., A. S. Dajani dan L. W. Wannaker. 1976. Bacteriocins of Gram positive bacteria. Bacteriol. Rev. 11 : 722-756. Usmiati, S., T. Marwati., R. Sunarlim., Abubakar., C. Winarti., Miskiah., T. Arianti., Sugiarto dan M. Wahyudi. 2007. Teknologi produksi bakteriosin sebagai biopreservatif untuk mengendalikan kontaminan daging dan produk olahan daging. Laporan Akhir Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertania Departemen Pertanian, Bogor. Williams, R. A. D., P. A. Lambert dan P. Singleton. 1996. Detection antimicrobial activity of a bacteriocin produced by Lactobacillus plantarum. Food Sci. Biotechnol. 10: 335-341. Varnam, A. N dan J. P. Sutherland. 1995. Meat and Meat Product. Chapman and Hall, London.
63
64
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Ruang Sumber
db
JK
KT
Dikontaminasi
F
P
Keragaman Perlakuan A: Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
(0,05) 2 3 6 24 35
0,064 0,849 0,017 0,0126 0,9432
0,032 0,283 0,0028 0,0005
61,18 538,87 5,46
0,000 0,000 0,001*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Dingin Sumber
db
JK
KT
F
P (0,05)
Keragaman Perlakuan A: Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
2 2 4 18 26
6,678 88,517 6,783 0,257 102,235
3,339 44,258 1,696 0,014
233,49 3095,04 118,59
0,000* 0,000* 0,000*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,01
Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Salmonella typhimurium pada Penyimpanan Ruang Sumber
db
JK
KT
F
Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
P (0,05)
2 3 6 24 35
5,394 125,527 5,022 2,925 138,867
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,01
2,697 41,842 0,837 0,122
22,13 343,33 6,87
0,000* 0,000* 0,000*
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Salmonella typhimurium pada Penyimpanan Dingin Sumber
db
JK
KT
F
P
Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
(0,05) 2 2 4 18 26
1,354 133,472 0,903 5,449 141,178
0,677 66,736 0,226 0,303
2,24 220,44 0,75
0,136 0,000* 0,574
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,01
Lampiran 5.Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Ruang Lama Penyimpanan (Jam) 0 6 12 18 Overall
N
Nilai Tengah
9 9 9 9 36
1,301 1,845 2,041 3,602
Rataan Ranking
Z
7,7 13,7 22,9 29,7 18,5
- 3,54 - 1,57 1,44 3,67
H = 23,08 DF = 3 P = 0,000*
* menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 0,01
Lampiran 6.Hasil Kruskal Walis Pengaruh Penambahan Biopreservatif Terhadap Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Ruang Penambahan Biopreservatif Bakteriosin IAI tanpa Bakteriosin Nisin Overall
N 12 12 12 36
Nilai Tengah 2,060
Rataan Ranking 19,4
2,973 1,350
23,7 12,4 18,5
Z - 0,35 2,10 - 2,45
H = 7,06 DF = 2 P = 0,029*
* menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 0,05
65
Lampiran 7 . Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Dingin Sumber
db
JK
KT
F
Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi(AB) Error Total
P (0,05)
2 2 4 18 26
3,207 100,230 3,275 0,714 107,426
1,603 50,115 0,819 0,040
40,41 1263,03 20,64
0,000* 0,000* 0,000*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,01
Lampiran 8. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Penambahan Biopreservatif terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Ruang Penambahan Biopreservatif Bakteriosin IAI tanpa Bakteriosin Nisin Overall
N 12 12 12 36
Nilai Tengah 5,795
Rataan Ranking 22,3
5,705 5,730
15,1 18,1 18,5
Z 1,53 - 1,38 - 0,15
H = 2,84 DF = 2 P = 0,242
Lampiran 9. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Ruang Lama Penyimpanan (Jam) 0 6 12 18 Overall H = 9,82
DF = 3
N
Nilai Tengah
9 9 9 9 36
5,610 5,750 5,760 5,700
Rataan Ranking 10,2 22,8 24,1 17,0 18,5
Z
- 2,74 1,41 1,83 - 0,49
P = 0,020*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
66
Lampiran 10.
Sumber Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
Hasil Analisis Ragam Total Bakteri Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Dingin db
2 2 4 18 26
JK
KT
0,562 0,604 0,687 0,673 2,525
0,281 0,302 0,172 0,037
F
7,52 8,08 4,59
P (0,05) 0,004* 0,003* 0,010*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
Lampiran 11. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Ruang Lama Penyimpanan (Jam) 0 6 12 18 Overall
N
Nilai Tengah
9 9 9 9 36
5,730 5,730 5,820 5,700
Rataan Ranking 19,1 19,0 21,9 14,1 18,5
Z
0,18 0,16 1,11 - 1,46
H = 2,58 DF = 3 P = 0,460
Lampiran 12. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Penambahan Biopreservatif terhadap Nilai pH pada Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Ruang Penambahan Biopreservatif Bakteriosin IAI tanpa Bakteriosin Nisin Overall
N 12 12 12 36
Nilai Tengah 5,860
Rataan Ranking 27,0
5,690 5,695
12,3 16,3 18,5
Z 3,41 - 2,50 - 0,91
H = 12,48 DF = 2 P = 0,002*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
67
Lampiran 13. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan Salmonella typhimurium pada Penyimpanan Dingin Lama Penyimpanan (Hari) 0 14 28 Overall
N
Nilai Tengah
9 9 9 27
5,730 5,920 5,820
Rataan Ranking 11,2 19,4 11,4 14,0
Z
- 1,31 2,52 - 1,21
H = 6,37 DF = 2 P = 0,041*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
Lampiran 14. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Penambahan Biopreservatif terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan Salmonella typhimurium pada Penyimpanan Dingin Penambahan Biopreservatif Bakteriosin IAI tanpa Bakteriosin Nisin Overall
N 9 9 9 27
Nilai Tengah 5,850
Rataan Ranking 13,5
5,820 5,850
12,1 16,4 14,0
Z - 0,23 - 0,90 1,13
H = 1,43 DF = 2 P = 0,489
Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Ruang Sumber Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
db
2 3 6 24 35
JK
KT
0,0708 0,0634 0,1148 0,1731 0,4221
0,035 0,021 0,019 0,007
F
4,91 2,93 2,65
P (0,05) 0,016* 0,054 0,041*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
68
Lampiran 16. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Dingin Lama Penyimpanan (Hari) 0 14 28 Overall
N
Nilai Tengah
Rataan Ranking
Z
9 9
5,870 5,880
17,8 17,1
1,75 1,41
9 27
5,610
7,2 14,0
- 3,16
H = 10,06 DF = 2 P = 0,007*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
Lampiran 17.
Penambahan Biopreservatif Bakteriosin IAI tanpa Bakteriosin Nisin Overall
Hasil Kruskal Walis Pengaruh Penambahan Biopreservatif terhadap Nilai pH Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Dingin N 9 9 9 27
Nilai Tengah 5,890
Rataan Ranking 17,4
5,530 5,760
10,6 14,0 14,0
Z 1,57 - 1,57 0,00
H = 3,29 DF = 2 P = 0,193
Lampiran 18. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Ruang Sumber Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
db
2 1 2 12 17
JK
15,086 1,051 15,198 22,086 54,680
KT
F
P (0,05)
7,543 1,051 7,959 1,900
3,97 0,55 4,19
0,048* 0,471 0,042*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
69
Lampiran 19. Hasil Kruskal Walis Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi Escherichia coli pada Penyimpanan Dingin Lama N Nilai Rataan Z Penyimpanan Tengah Ranking (Hari) 0 9 18,28 5,3 - 3,31 28 9 22,28 13,7 3,31 Overall 18 5,0 H = 10,96 DF = 1 P = 0,001*
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
Lampiran 20.
Penambahan Biopreservatif Bakteriosin IAI tanpa Bakteriosin Nisin Overall
Hasil Kruskal Walis Pengaruh Penambahan Biopreservatif terhadap Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan Escherichia coli pada Penyimpanan Dingin N 6 6 6 18
Nilai Tengah 20,64 20,94
Rataan Ranking 9,2 10,8
18,98
8,5 9,5
Z - 0,19 0,75 - 0,56
H = 0,61 DF = 2 P = 0,738
Lampiran 21. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan Salmonella typhimiurium pada Penyimpanan Ruang Sumber Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
db
2 1 2 12 17
JK
KT
18,21 1,350 4,343 30,368 54,382
9,160 1,350 2,171 2,531
F
3,62 0,53 0,86
P (0,05) 0,059 0,479 0,448
70
Lampiran 22. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan Salmonella typhimurium pada Penyimpanan Dingin Sumber Keragaman Perlakuan A: Penambahan Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi(AB) Error Total
db
JK
KT
F
P (0,05)
2 1
28,175 2,904
14,087 2,904
9,35 1,93
0,004* 0,190
2 12 17
2,386 18,088 51,553
1,193 1,507
0,79
0,476
menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
Lampiran 23. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Ruang Sumber Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
db
2 1 2 12 17
JK
KT
F
10,117 0,003 1,178 22,517 33,815
5,058 0,003 0,589 1,876
2,70 0,00 0,31
P (0,05) 0,108 0,966 0,736
Lampiran 24. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Daging yang Dikontaminasi dengan Listeria monocytogenes pada Penyimpanan Dingin Sumber Keragaman Perlakuan A : Biopreservatif B : Lama simpan Interaksi (AB) Error Total
db
2 1 2 12 17
JK
KT
F
4,777 4,435 4,130 30,445 80,788
4,777 41,435 2,065 2,537
0,94 16,33 0,81
P (0,05) 0,417 0,002* 0,466
* menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 0,05
71
Lampiran 25. Gambar Larutan Ekstrak Bakteriosin Kasar
Lampiran 26. Gambar Daging dengan Berbagai Perlakuan \
72
73
LAMPIRAN
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Kimia Berdasarkan Letak Daging Segar pada Karkas ..........
4
2. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (cfu/g) SNI No. 01-6366-2000 ............................................................................
5
3. Rataan Total S. typhimurium Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Dingin (4ºC) ………………………………………………………
42
4. Rataan Total L. monocytogenes Daging Sapi yang Disimpan pada Suhu Ruang (27ºC)………………………………………………………
44
5. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi dengan E. coli pada Penyimpanan Ruang (27ºC)………………………………………...
47
6. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi E. coli pada Penyimpanan Dingin ………………………………………………..
48
7. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi S. typhimurium pada Penyimpanan Ruang (27ºC) ........................................................................
49
8. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi S. typhimurium Pada Penyimpanan Dingin (4ºC)…………………………………………...
50
9. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Ruang ………………………………………………..
51
10. Rataan Nilai pH Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin………………………………………………….
52
11. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi E. coli pada Penyimpanan Dingin (4ºC) …………………………………………...
54
12. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi S. typhimurium pada Penyimpanan Dingin ………………………………
55
13. Rataan Kadar Protein Daging Sapi yang Dikontaminasi L. monocytogenes pada Penyimpanan Dingin ……………………………
56
xi