BAB IV
Kepala Sekolah
Komite Sekolah
KTU
Wakasek Kurikulum
Wakasek Sarana/
Wakasek Kesiswaan
Prasarana
Wakasek Humas
Pemb Kurikulum Operator Komputer Persuratan Keuangan
Kord BK
Kord K7
Kord. Perpus.
Satpam
Pemb. Umum Tenaga Eduktif
Kord. Lab.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Singkat SMA Negeri 1 Belawa SMA Negeri 1 Belawa adalah Sekolah Menengah Atas Negeri yang ke 5 di kabupaten Wajo. Didirikan berdasarkan Surat Keputusan 0125/1989 tanggal 14 Maret 1989 dan SK Menteri
Bupati Wajo Nomor Pendidikan Nomor
20.17.04.03.4.00012 tanggal 8 Mei 1989. Tahun pelajaran 1989 adalah untuk pertama kalinya SMA Negeri 1 Belawa menrima siswa baru, dan H. Syamsuddin Massinai dipercayakan sebagai Kepala Sekolah serta Abd samad sebagai ketua BP-3. Jumlah siswa yang diterima pada waktu itu sebanyak 64 orang yang di bagi/ didistribusikan ke dalam dua ( 2 ) Kelompok belajar, yaitu 2 kelas dengan rasio masing-masing kelas 32 orang. Padas awal beroprasinya, SMA Negeri 1 Belawa belum memiliki sarana pembelajaran sama sekali, sehingga dengan sangat terpaksa menumpang sementara di bangunan darurat. Proses belajar mengajar di tempat tersebut berlangsung selama 2 tahun. Tanggal 10 Oktober 1992 adalah hari peletakan batu pertama oleh Bupati Wajo, sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung SMA Negeri 1 Belawa berupa 2 buah RKB (Ruang Kelas Baru) Tahun pelajaran 2010/2011 siswa baru yang diterima sebanyak 137 orang yang dibagi dalam 5 (lima) kelompok belajar yaitu kelas Xa, kelas Xb, kelas Xc, kelas kelas Xd, dan kelas Xe. Dengan demikian pada tahun pembelajaran 2010/2011 SMA Negeri 1 Belawa sudah memiliki 3 ( tiga ) tingkatan Kelas. 2. Visi dan Misi SMA Negeri 1 Belawa
a. Visi: “ Terwujudnya insan yang cerdas intelektual, emosional, dan spiritual”. b. Misi 1) Meningkatkan kualitas sumber daya personil sekolah 2) Mengoptimalkan peran aktif siswa dalam lembaga sekolah/ kegiatan ekstrakurikuler 3) Meningkatkan peran aktif unsur yang terkait dalam peningkatan mutu 4) Meningkatkan kesejahteraan personil sekolah 5) Menciptakan kondisi sekolah yang sejuk dan sinergis c. Tujuan 1) Meningkatkan penccapaian nilai rata-rata peserta didik 2) Menyelenggarakan iklim persekolah yang kondisif dan demokratis 3) Mengembangkan potensi
dan bakat peserta dan bakat peserta didik dalam
kegiataan ekstra khususnya di bidang olah raga dan seni. 4) Mencetak sumber daya manusia yang mampu membaca/menulis ayaat-ayat Al-Qur’an. 5) Merencanakan etika dan moral cinta lingkungan hidup kepada peserta didik.
3. Struktur Organisasi SMA Negeri 1 Belawa
Kepala Sekolah
Komite Sekolah
KTU
Wakasek Kurikulum
Wakasek Sarana/
Wakasek Kesiswaan
Prasarana
Wakasek Humas
Pemb Kurikulum Operator Komputer Persuratan Keuangan
Kord BK
Kord K7
Kord. Perpus.
Satpam
Pemb. Umum Tenaga Eduktif
Kord. Lab.
4. Program Kerja SMA Negeri 1 Belawa a. Bidang kurikulum 1) Menyusun program kerja sekolah dengan berpedoman pada kelender pendidikan. 2) Wakasek kurikulum mengkordinir pembuatan : program tahunan, program semester, skenario pembelajaran, pengembangan silabus, dan RPP. 3) Mengaktifkan kegiatan pembelajaran 42 jam/minggu 4) Menetapkan standar ketentuan belajar minimal (SKBM) tiap mata pelajaran melalui musyawarah. 5) Melaksanakan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam bidang didaktif, metode dan evaluasi. 6) Mengaktifkan dan mengefektifkan pelaksanaan MGMP. 7) Mempersiapkan siswa untuk mengikuti lomba mata pelajaran dan olimpiade mata pelajaran. 8) Mengoptimalkan pemanfaatan laboratorium IPA dan Komputer. 9) Melaksanakan ulangan harian / block 10) Melakasanakan bimbingan KIR / menggiatkan penelitian sederhana. 11) Melaksanakan tryout ( uji coba ) soal-soal 12) Membentuk kelompok pencinta mata pelajaran 13) Mengefektifkan bimbingan konseling, tugas utamanya meliputi : b. Mempersiapkan data siswa yang berkaitan dengan: identitas siswa, bakat, minat dan kecerdasan, prestasi hasil belajarn tiap cawu/semester c. Mengadakan deteksi dini terhadap siswa berbakat atau memiliki kecerdasan di atas rata- rata.
d. Mengadakan pembinaan dan penyaluran terhadapa kelompok siswa berbakat /kecerdasan luar biasa. e. Membantu mengatasi kesulitan siswa dalam belajar. f. Bidang Kesiswaan 1) Melaksanakan Masa Orientasi Pengenalan Lingkungan Sekolah ( MOPLS) bertujuan agar siswa baru lebih mengenali kehidupan dan memberikan kesan positif serta menyenangkan terhadap lingkungan fisik maupun social di sekolah, mengetahui hak dan kewajiban sebagai pelajar serta cara-cara belajar yang baik di tempat baru. 2) Mengoptimalkan pembinaan siswa melalui organisasi siswa intra sekolah (OSIS). OSIS/PK adalah induk organisasi siswa yang berperan sebagai salah satu jalur pembinaaan siswa, tujuan OSIS/PK adalah menumbuhakan kemampuan berorganisasi, mengembangkan kreativitas siswa serta membentuk pribadi yang bertanggung jawab dan disiplin. Melalui 8 jalur pembinaan kesiswaan di laksanakan kegiatan-kegitaan : (a)Shalat dhuhur berjamaaah. (b)Keagamaanm antara lain: buka puasa bersama, persantren kilat, peringatan maulid, isra’miraj, lomba tadarus, dan adzan. (c)Melaksanakan upacara bendera dan membentuk kelompok paskibraka. (d)Melaksanakan bakti social. (e)Membiasakan siswa mengunjungi warga yang tekena musibah. (f) Melaksanakan LKS. (g)Melaksanakan lomba pidato Bahasa Indonesia /Bahasa Inggris. (h)Menggiatkan KIR. (i) Mengaktifkan majalah dinding. (j) Mengadakan PORSENI, mengikuti PORSLA dan Bupati Cup.
(k)Melaksanakan penyuluhan tentang narkoba. (l) Mengikuti pameran kreatifitas siswa. (m) Mengikuti lomba-lomba seni dan olahraga. 3) Kegiatan ekstrakulikuler (1)Menyalurkan bakat dan minat siswa dalam bidang: olah raga dan seni (2)Membentuk dan melaksanakan pelatihan UKS, PMR, Pramuka (3)Mengaktifkan English meeting club dan English camp seperti: pembuatan/ pemeliharaan papan nama sekolah, pengadaan computer, pengadaan dan pengecetan meja, kursi dan lemari, pembangunan gedung ( Dana APBN atau APBD), penghijauan sekolah, pengadaan alat-alat olahraga alat dan bahan laboratorium, dan alat peraga mata pelajaran. (4)Bidang Humas seperti: (1) mengundang pengurus komite untuk duduk bersama merumuskan program sekolah, (2) memfasilitasi rapat komite dengan orang tua siswa, (3) menympaikan informasi perkembangan SMA Negeri 1 Belawa ke komitedan masyarakat, (4) mengundang pengurus komite pada rapat-rapat tertentu, (5) melibatkan komite dalam pendanaan sekolah, (6) mengoptimalkan pelaksanaan MGMP, (7) mengadakan pelatihan peningkatan mutu guru, (8) menfasilitasi guru atau pegawai dalam penataran, membantu guru/pegawai yang berkeinginan melanjutkan pendidikan, (9) mengundang masyrakat di sekitar sekolah pada kegiatan tertentu, (10) mengadakan pertandingan olah raga antara SD ( Sepak Bola Cilik/mini ), (11) memberikan kesempatan kepada “ pemuda atau warga” sekitar sekolah untuk memanfaatkan fasilitas lapangan olah raga, mengikuti pameran yang diselenggarakan Diknas / PEMDA, (12) membina dan membentuk kelompok kreatifitas seni dan elektronika, (13) mengusulkan proposal melalui komite, (14) mengajukan pengadaan, perbaikan sarana-prasarana
sekolah, (15) mengusulkan beasiswa berprestasi dan BKM, (16) mengundang unsur pemerintah untuk menjadi Pembina upacara. (5)Keterangan (a) Berdasarkan latar belakang pendidikan Tabel 4.1 keterangan SMA negeri 1 Belawa Berdasarkan latar belakang pendidikan Tabel 4.1. Tenaga
SD
SLTP
SLTA
DII
S.1
S.2
Jumlah
Guru
-
-
-
-
26
2
28
Pegawai
1
1
3
-
1
-
6
Jumlah
1
1
3
-
27
2
34
Sumber lampiran 2 (b) Berdasarkan status kepegawaian Table 4.2 Ketenagaan SMA Negeri 1 Belawa Berdasarkan status Kepegawaian, menunjukkan bahwa pegawai negeri lebih banyak dari swasta yang menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki standar tenaga pendidikan yang dapat menunjang proses pembelajaran.
Tabel 4.2. Tenaga
PNS
PTT/GTT
HONOR/SOSIAL Jumlah
Guru
24
4
-
28
Pegawai
1
5
-
6
Jumlah
25
9
-
34
Sumber lampiran 2
B. Deskripsi Hasil Penelitian Tingkat keberagamaan siswa ditelusuri melalui instrumen-instrumen berdasarkan hasil kuisioner, yang terkait dengan aspek ibadah dan akhlak. Instrumen-instrumen dalam aspek ibadah adalah mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap siswa dalam melaksanakan shalat, puasa, mengaji dan pengamalan doa-doa. Sedangkan instrumen-instrumen dalam aspek akhlak adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap siswa mengenai kepatuhannya kepada orangtua, penghormatannya terhadap guru dan cara berpakaiannya. Perolehan instrumen-instrumen mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kedua ibadah dan akhlak, diinterpretasi lebih lanjut melalui perolehan hasil angket yang telah dibagikan kepada 100 siswa yang dijadikan sampel. Berikut ini dikemukakan tabel-tabel yang dimaksud disertai dengan analisisnya. Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan bahwa dari 100 responden, 34 atau 34% menjawab bahwa mereka melaksanakan shalat fardhu (lima kali sehari semalam), disebabkan adanya motifasi dari orangtuanya. 2 atau 2 %, men-jawab disebabkan adanya motifasi dari gurunya. 1 atau 1 %, menjawab disebabkan adanya motivasi dari dai atau muballig melalui ceramahnya. 64 atau 64%, disebabkan adanya motifasi dari diri siswa itu sendiri. Tabel 4.3. Instrumen yang Memotifasi Siswa dalam Melaksanakan Shalat Fardhu No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Orangtua
33
33%
2
Guru
2
2%
3
Dai/Muballig melalui ceramahnya
1
1%
64
64, %
100
100%
Diri sendiri 4 Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 1 Karena mayoritas responden menjawab bahwa yang memotifasi mereka untuk senantiasa melaksanakan shalat adalah bersumber dari dirinya sendiri, dengan frekuensi jawaban sebanyak 96 atau 64%, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor intern. Dari tabel di atas diketahui pula bahwa terdapat sebagian kecil siswa yang melaksanakan shalat selama ini karena adanya faktor ekstern, yakni motifasi dari orangtua (33%), faktor motifasi guru (2%) dan faktor motifasi muballig (1), tetapi jumlah persentasi faktor ekstern ini, yakni kesemuanya 36% belum dapat mengungguli skor persentasi faktor intern yang jumlahnya 64 %. Dengan demikian, faktor internlah yang paling berpengaruh bagi siswa dalam aspek pelaksanaan shalat. Faktor intern yang dimaksud adalah fitrahnya atau pembawaan sikap keberagamaan mereka untuk selalu beribadah sejak kecil. Kurang lebih 10 (sepuluh) orang tua siswa menyatakan bahwa anak-anak kami sejak kecil sudah terbiasa melaksanakan shalat dan kebiasaan inilah yang terbawa hingga sekarang. Jadi, menurut pandangan penulis, walaupun mereka tidak diberi motifasi untuk shalat, maka tetap saja mereka laksanakan, karena sudah menjadi fitrahnya. Dari hasil survey penulis di lapangan, mengindikasikan bahwa banyak di antara siswa yang sudah melaksanakan shalat wajib sejak di SD, namun pelaksanaannya belum
rutinitas. Ketika itu, mereka masih banyak dipengaruhi oleh faktor motifasi yang bersumber dari orangtuanya yang senantiasa mendidiknya Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa faktor yang sangat berpengaruh bagi anak dalam melaksakanan shalat ketika mereka masih kecil adalah orang tuanya, namun ketika mereka telah beranjak dalam usia remaja, maka faktor yang dominan berpengaruh terhadapnya dalam pelaksanan shalat adalah dirinya sendiri. Dengan kata lain, bagi mereka yang belum terdidik melaksanakan shalat sejak usia dini, maka sangat sulit baginya untuk mendapatkan pengaruh dalam rangka membiasakan shalat ketika mencapai usia remaja. Pembiasaan shalat bagi peserta didik pada lokasi penelitian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pembiasaan oleh guru mereka di sekolah, oleh orang tua, serta kesadaran mereka sendiri yang merasa terpanggil jika mendengarkan suara azan. Hal ini dikarenakan oleh karakter siswa yang berbeda-beda dalam tingkat kesadaran.
Tabel 4.4 Instrumen yang Menyebabkan Siswa Selalu Melaksanakan Shalat Tepat Waktu No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Didikan Orangtua
14
14%
2
Didikan Guru
1
1%
3
Mendengar Azan
33
33%
4
Kebiasaan
52
52%
Jumlah
100
100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 2 Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 14 atau 14% menjawab bahwa yang menyebabkan mereka selalu melaksanakan shalat tepat pada waktunya, karena didikan dari orangtua. 1 atau 1%, menjawab karena didikan dari guru. 33 atau 33%, menjawab karena mendengarkan azan. 52 atau 52%, menjawab karena kebiasaan siswa itu sendiri. Karena mayoritas responden menjawab bahwa yang menyebabkan mereka selalu senantiasa melaksanakan shalat tepat waktu adalah kebiasaan, dengan frekuensi jawaban sebanyak 52%, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa dalam di sini adalah faktor intern. Dari tabel di atas diketahui pula bahwa terdapat sebagian siswa yang melaksanakan shalat wajib tepat waktu karena adanya faktor ekstern, yakni didikan dari orangtua, didikan guru dan karena mendengar azan yang secara total mencapai skor 48%. Perolehan skor ini belum dapat mengungguli skor persentasi faktor intern yang jumlahnya 52 %. Dengan demikian, faktor internlah yang paling berpengaruh bagi siswa dalam melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Faktor intern yang dimaksud di sini adalah kesadaran yang timbul dari dalam diri siswa. Menurut Najmussalam, S.Ag, pelaksanaan shalat tepat waktu bagi siswa, banyak dikalukan ketika mereka berada dilingkungan sekolah, utamanya waktu shalat dhuhur, karena pihak sekolah telah menjadwalkan bagi mereka untuk shalat berjamaah di mesjid yang letaknya di dalam lingkungan sekolah. Dari keterangan Dra. St. Badariah di atas, maka dapat dipahami bahwa lingkungan sekolah di sini juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi siswa dalam melaksanakan
shalat tepat waktu. Namun, faktor ini hanya berlaku untuk pelaksanaan shalat dhuhur saja. Untuk shalat-shalat lainnya, mereka dipengaruhi secara dominan oleh faktor intern, yakni kesadaran keberagamaan mereka. Dengan membiasakan diri melaksanakan shalat tepat waktu, akan bermuara pada pembiasaan untuk berdisiplin dalam melaksanakan berbagai aktifitas, misalnya tepat waktu dalam belajar, tepat waktu dalam bekerja dan semacamnya. Tabel 4.5 Instrumen yang Menyebabkan Siswa Selalu Memperbanyak Shalat Sunnat No 1 2 3 4
Kategori Jawaban Orangtua Guru Dai/muballig melalui ceramhnya Kemauan sendiri Jumlah
Responden Frekuensi
Persentase (%)
9 10 19 62 100
9% 10% 19,% 62% 100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner, No. 3 Tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 9 atau 9 % menjawab bahwa yang menyebabkan mereka selalu memperbanyak pelaksanaan shalat sunnat, karena adanya anjuran dari orangtua. 10 atau 10 %, karena adanya anjuran dari guru. 19 atau 19 %, karena adanya anjuran dari dari dai atau muballig melalui ceramahnya. 62 atau 62%, karena kemauan sendiri. Karena mayoritas responden menjawab bahwa yang menyebabkan mereka selalu memperbanyak pelaksanaan shalat sunnat adalah kemauan sendiri, dengan frekuensi jawaban sebanyak 62 atau 62%, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor intern.
Adapun jenis shalat sunnat yang banyak dilaksanakan oleh siswa sebagaimana yang disebutkan di atas adalah shalat sunnat rawatib, sudah yakni shalat sunnat 2 rakaat sebelum shubuh dan ashar, 2 rakaat sebelum dan sesudah dhuhur dan isya, serta 2 rakaat seudah magrib. Namun, hasil survey penulis di lapangan, lebih banyak di antara mereka secara rutinitas me-laksanakan shalat sunnat 2 rakaat sesudah magrib, bila dibandingkan dengan shalat sunnat rawatib lainnya.
Tabel 4.6 Instrumen Tentang Alasan Siswa Dalam Melaksanakan Kewajiban Puasa Pada Bulan Ramadhan No 1
Kategori Jawaban Karena semua anggota keluarga di
Responden Frekuensi
Persentase (%)
10
10%
1
1%
5
5%
84
84%
100
100%
rumah juga berpuasa 2
Karena teman-teman di sekolah juga berpuasa
3
Karena umat Islam di lingkungan masyarakat juga berpuasa
4
Karena timbul kemauan sendiri untuk mau berpuasa Jumlah
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 4 Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 10 atau 10% menjawab bahwa alasan mereka untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, karena semua anggota keluarga berpuasa. 1 atau 1%, menjawab karena teman-teman di sekolah juga
berpuasa. 5 atau 5%, menjawab karena semua umat Islam berpuasa di tengah-tengah masyarakat. 84 atau 84 %, menjawab karena timbul kemaunan sendiri. Karena mayoritas responden menjawab bahwa yang menyebabkan mereka berpuasa adalah kemauan sendiri, dengan frekuensi jawaban sebanyak 84 atau 84, maka dapat dipahami bahwa yang paling berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor intern Dari tabel di atas diketahui pula bahwa terdapat indikasi bagi sebagian siswa yang melaksanakan kewajiban puasa selama ini karena adanya pengaruh faktor ekstern, yakni lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat, yang secara total mencapai skor 16%. Perolehan skor ini, sangat kecil bila dibandingkan dengan skor persentasi faktor intern yang jumlahnya 83,3 %. Dengan demikian, faktor internlah yang paling berpengaruh bagi siswa dalam aspek pelaksanaan ibadah puasa. Faktor intern yang dimaksud di sini adalah fitrah keberagamaan. Dikatakan
bahwa
yang
berpengaruh
bagi siswa
adalah
faktor
fitrah
ke-beragamaannya, karena puasa dalam agama merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim, sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah/2: 183.
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$#
|=ÏGä.
ãNà6øn=tæ
|=ÏGä.
n?tã
(#qãZtB#uä
ãP$uÅ_Á9$#
úïÏ%©!$#
`ÏB
$yJx.
öNà6Î=ö7s%
öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu untuk berpuasa, sebagai telah atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.
Kewajiban puasa dalam ayat di atas, dikhususkan bagi setiap Muslim yang balig pada bulan Ramadhan. Tentu saja kewajiban tersebut termasuk ditujukan kepada siswa-siswa yang menjalani usia balig, berakal dan kuat fisik.
Tabel 4.7 Instrumen yang Menyebabkan Siswa Bisa Mengaji
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Orangtua di rumah
29
29%
2
Guru di sekolah
2
2%
3
Ustaz mengaji (guru kampung)
60
60%
4
Belajar sendiri
9
9%
100
100%
Jumlah Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 5
Tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 29 atau 29% menjawab bahwa yang menyebabkan mereka bisa mengaji, karena diajar orang orangtuanya. 2 atau 2%, menjawab karena diajar oleh gurunya. 60 atau 60%, menjawab karena diajar oleh guru mengaji. 9 atau 9%, menjawab karena hasil belajar siswa itu sendiri. Karena mayoritas responden menjawab bahwa yang menyebabkan mereka bisa mengaji adalah ustaz mengaji (guru kampung), dengan frekuensi jawaban sebanyak 60 atau 60%, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berbepangaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor ekstern, yakni lingkungan pendidikan non formal di masyarakat.
Berdasarkan hasil survey penulis di lapangan, ditemukan 2 (dua) jenis pendidikan non formal dalam pengajaran membaca Alquran, yakni pendidikan pengajaran Alquran secara tradisional dengan metode éja’, dan pendidikan pengajaran Alquran secara modern dengan metode iqra’. Kedua jenis lembaga pendidikan non formal ini, para pengajarnya disebut ustaz mengaji atau guru kampung. Menurut Hj. Syamsuriati, siswa-siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo yang pernah belajar mengaji padanya dengan metode éja’ mencapai kurang lebih 100 orang. Keterangan ini mengindikasikan bahwa guru mengaji (guru kampung) sangat berpengaruh terhadap siswa untuk dapat membaca Alquran. Untuk saat sekarang ini, prasarana pendidikan agama non formal, yang menggunakan metode iqra’ di daerah Wajo mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya berdiri Taman Pengajian Alquran (TPA) atau Taman Kanak-kanak Alquran (TKA), yang dibina oleh organisasi keagamaan, yakni BKPRMI. Kenyataan ini, meng-indikasikan bahwa di samping guru kampung, para ustaz mengaji juga sangat berpengaruh terhadap peserta didik untuk bisa membaca Alquran. Tabel 4.8 Instrumen Tentang Tempat Siswa Sering Mengaji
No 1 2 3 4
Kategori Jawaban
Di rumah Di sekolah Di Mesjid Di sembarang tempat Jumlah Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 6
Responden Frekuensi
Persentase (%)
55 3 28 14 100
55% 3% 28% 14% 100%
Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 55 atau 55% menjawab bahwa tempat yang sering digunakan mereka mengaji adalah di rumah. 3 atau 3%, menjawab di sekolah. 28 atau 28%, menjawab di mesjid.14 atau 14%, menjawab di sembarang tempat. Karena mayoritas responden menjawab bahwa tempat mereka mengaji selama ini adalah di Rumah dengan frekuensi jawaban sebanyak 55 atau 55, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berbepangaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor ekstern. Walaupun demikian, dari tabel tersebut diketahui pula bahwa terdapat indikasi bagi sebagian siswa sering mengaji di rumah dan di sekolah bahkan ada pula di antara mereka yang sering mengaji di selain kedua tempat tersebut. Jadi faktor intern dan ekstern di sini juga cukup mempengaruhi siswa dalam pengamalan pembacaan kitab suci Alquran. Menurut Abdul Malik, anaknya lebih sering mengaji di rumah karena di lingkungan rumah tangganya telah terbiasa menjanlankan kebiasaan seperti ini. Dari pernyataan Abd. Malik tersebut mengindikasikan bahwa adanya kebiasaan anaknya mengaji, bagi penulis sendiri memahaminya anak tersebut mendapat pengaruh dari faktor intern, yakni “kebiasaan”. Jadi, dari intsrumen-interumen dalam tabel di atas, jika dikaitkan dengan penyataan Abd. Malik, dapat dipahami bahwa faktor intern dan ekstern di sini memiliki pengaruh yang sama terhadap tingkat keberagamaan siswa dalam aspek di mana mereka sering mangaji. Dengan kata lain, pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor intern berupa kebiasaan serta pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor ekstern berupa lingkungan siswa itu sendiri memiliki pengaruh yang seimbang. Hanya saja, bila penelitian difokuskan pada tempat di mana siswa sering mengaji, banyak di antara mereka yang menjawab di rumah masing-masing. Tabel 4.9
Instrumen yang menyebabkan siswa mengetahui doa-doa
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Orangtua
3
3%
2
Guru
6
6%
3
Ustaz / Ulama
18
18%
4
Buku-buku agama
73
73%
100
100%
Jumlah Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 7
Tabel 4.9 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 3 atau 3 % menjawab bahwa yang menyebabkan mereka mengetahui doa-doa, karena diajar oleh orang orangtuanya. 6 atau 6%, menjawab karena diajar oleh gurunya. 18 atau 18%, menjawab karena diajar oleh ustaz/ulama. 73 atau 73%, menjawab karena belajar sendiri melalui buku-buku agama. Karena mayoritas responden menjawab bahwa yang menyebabkan mereka banyak mengetahui doa-doa sebab mereka belajar sendiri melalui buku-buku agama, dengan frekuensi jawaban sebanyak 73 atau 73%, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berbepangaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor intern. Walupun demikian, terdapat indikasi bagi sebagian siswa mengetahui doa-doa karena diajar oleh orangtua dan guru serta ulama, namun jumlahnya sangat kecil. Dengan demikian, maka faktor intern di sini yang paling berpengaruh bagi siswa dalam mempelajari doa-doa. Faktor intern yang dimaksud di sini adalah kesadaran setiap siswa untuk berusaha mengetahui doa-doa melalui buku-buku agama.
Banyak siswa yang mempelajari doa-doa melalui buku agama, karena di dalam buku-buku tersebut dijelaskan secara lengkap materi-materi atau tema-tema doa dan tata cara berdoa. Dengan mempelajari doa-doa melalui buku agama, memang tidak memerlukan bimbingan khusus dari orangtua, guru atau ulama, sehingga kesadaran setiap siswa dalam mempelajari doa-doa melalui buku-buku agama termasuk faktor yang timbul dari dalam dirinya.
Tabel 4.10 Instrumen tentang alasan siswa selalu patuh kepada orang tua
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Agar disayangi
13
13%
2
Karena sesuai anjuran guru
2
2%
3
Karena nasehat ulama
8
8%
4
Pengabdian
77
77%
100
100%
Jumlah Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 8
Tabel 4.10 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 13 atau 13% menjawab bahwa alasan mereka selalu patuh kepada orangtua, agar disayangi. 2 atau 2%, menjawab karena sesuai anjuran gurunya. 8 atau 8%, menjawab karena nasehat ulama. 77 atau 77%, menjawab karena pengabdian. Karena mayoritas responden menjawab bahwa alasan meraka banyak untuk selalu patuh kepada orang tua adalah pengabdian, dengan frekuensi jawaban sebanyak 77 atau
77 %, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berbepangaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor intern. Dari tabel di atas diketahui pula bahwa terdapat indikasi bagi sebagian siswa selalu patuh kepada orang tua, karena faktor ekstern yakni dengan alasan ingin disayangi dari keduanya, juga ditemukan alasan karena anjuran guru dan nasehat ulama, yang secara total mencapai skor 24%. Perolehan skor tertinggi mengenai pengaruh faktor ekstern sebagai mana dikemukakan di atas, sangat kecil bila dibandingkan dengan skor persentasi faktor intern yang jumlahnya 77 %. Dengan demikian, faktor internlah yang paling berpengaruh bagi siswa untuk selalu patuh kepada orangtua. Faktor intern yang dimaksud di sini adalah fitrah keberagamaan yang timbul dari siswa itu sendiri, karena agama dengan berbagai petunjuknya di dalam Alquran memerintahkan kepada setiap orang untuk selalu taat kepada kedua orangtua. Misalnya, dalam Q.S. al-An’a>m/6: 151.
*
ö@è%
(#öqs9$yès?
ã@ø?r&
$tB
tP§ym
öNà6/u öNà6øn=tæ ( wr& (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) (
Terjemahnya : Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu memepersekutukan sesuatu dengan Dia, berubuat baiklah terhadap kedua ibu Bapak (mu). Perintah untuk berbuat baik terhadap kedua orang tua sebagaimana dalam ayat tersebut, di dalamnya mengandung perintah untuk patuh terhadap keduanya. Kepatuhan
terhadap kedua orang tua inilah yang senantiasa dipraktekkan oleh siswa-siswa dalam kesehariannya. Kebanyakan orangtua siswa menyatakan bahwa anak-anak mereka senantiasa patuh dan taat serta menyanggupi segala pekerjaan yang di-perintahkan dari orangtuanya, selama pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama. Berdasar dari keterangan ini, maka dapat dipahami bahwa fitrah keberagamaan mereka atau karena ajaran agamalah sehingga mereka senantiasa patuh terhadap kedua orangtuanya.
Tabel 4.11 Instrumen tentang alasan siswa untuk bersikap sopan terhadap guru
No 1
Kategori Jawaban Karena guru disamakan dengan
Responden Frekuensi
Presentase (%)
52
52%
31
31%
1
1%
16
16%
orangtua sendiri
2
Karena guru sebagai pendidik yang harus dihormati
3
Karena guru disamakan dengan ulama sebagai sumber ilmu
4
Karena timbul kemauan sendiri
Jumlah
100
100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 9 Tabel 4.11 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 52 atau 52% menjawab bahwa alasan mereka selalu bersikap sopan kepada guru, karena guru mereka samakan dengan orangtuanya. 31 atau 31%, menjawab karena guru adalah pendidik. 1 atau 1%, menjawab karena guru sebagai ulama atau sumber ilmu. 16 atau 16%, menjawab karena kemauan sendiri. Karena mayoritas responden menjawab bahwa alasan meraka banyak untuk selalu bersikap sopan kepada guru adalah bahwa guru dianggapnya sebagai orangtua mereka sendiri, dengan frekuensi jawaban sebanyak 52 atau 52%, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berbepangaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor ekstern. Adanya faktor ekstern mengungguli faktor intern dalam hal ini adalah karena pada diri siswa telah tertanam dalam jiwanya untuk patuh kepada orangtuanya sebagaimana dijelaskan dalam tabel 12 terdahulu, sehingga mayoritas di antara mereka menjawab bahwa guru diposisikan sebagai orangtuanya sendiri. Kaitannya dengan itu Barmawie Umary menyatakan bahwa guru adalah perantaraan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhiat, maka mencintai dan menghormati guru, sewajarnya sama sebagaimana kecintaan dan penghormatan diberikan kepada ayah dan ibu. Dengan demikian, banyaknya siswa bersikap sopan terhadap gurunya, sebenarnya terdorong oleh pengaruh yang bersumber dari kedua orangtua mereka.
Tabel 4.12 Instrumen tentang sumber inspirasi siswa sehingga selalu berpakaian rapi
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Orangtua
9
9%
2
Perintah Guru/Tatatertib Sekolah
46
46%
3
Adat dan pergaulan
4
4%
4
Diri sendiri
41
41%
100
100%
Jumlah Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 10
Tabel 4.12 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 9 atau 9 % menjawab bahwa sumber inspirasi bagi siswa sehingga selalu berpakaian rapih adalah orangtua. 46 atau 46%, menjawab perintah guru atau tata tertib sekolah. 4 atau 4%, menjawab adat dan pergaulan. 41 atau 41%, menjawab diri sendiri. Karena mayoritas responden menjawab bahwa sumber inspirasi siswa sehingga selalu berpakaian rapi adalah guru atau tertib sekolah, dengan frekuensi jawaban sebanyak 46 atau 46%, maka dapat dipahami bahwa yang paling dominan berbepangaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa di sini adalah faktor ekstern, yakni adanya perintah guru dan ketetapan yang bersumber dari tata tertib sekolah.
Dra. Hj. Fatimah mengatakan bahwa siswa-siswa yang menggunakan pakaian seragam sekolah di luar ketentuan tatatertib, maka kepada mereka diberikan sanksi. Dari keterangan ini, maka dapat dipahami bahwa lingkungan sekolah sangat berpengaruh terhadap siswa untuk senantiasa berpakaian rapih. Berdasarkan dari instrumen-instrumen yang terdapat dalam tabel 5 sampai tabel 4.14 terdahulu, yang disertai dengan berbagai analisisnya, maka diketahui bahwa faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern cukup berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa SMAN 1 Belawa Wajo selama ini. Faktor-faktor intern yang dimaksud di sini adalah kepribadian siswa yang meliputi fitrah dan keasadaran yang timbul dari diri meraka, sedangkan faktor-faktor ekstern adalah pengaruh yang timbul dari lingkungan rumah tangga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai faktor apa yang paling dominan berpengaruh di antara keduanya, maka berikut ini dirinci per-bandingannya dalam bentuk tabel. Tabel 4.13 Rincian perbandingan; faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa Nomor Tabel 3 4
Instrumen Tabel Yang memotifasi shalat Yang menyebabklan shalat tepat waktu
Kategori Faktor
Yang Berpengaruh
Faktor Intern
Fitrah
Faktor Intern
Kesadaran
5
6
7
8
9
10
11
12
Yang menganjurkan memperbanyak shalat sunnat Alasan melaksanakan kewajiban puasa Yang menyebabkan bisa mengaji Tempat sering mengaji Yang menyebabkan mempelajari doa-doa Alasan selalu patu kepada orangtua Alasan bersikap sopan terhadap guru Inspirasi untuk selalu berpakaian rapih
Faktor Intern
Kesadaran
Faktor Intern
fitrah
Faktor Ekstern
Faktor Ekstern
Lingkungan masyarakat Lingkungan Rumah Tangga
Faktor Intern
Kesadaran
Faktor Intern
Fitrah
Faktor Ekstern
Faktor Ekstern
Lingkungan Sekolah Lingkungan Sekolah
Sumber Data : Rekapitulasi tabel 3-12 Berdasarkan data dari tabel di atas, maka diketahui bahwa terdapat 6 faktor atau 60% faktor intern yang berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa. Selebihnya, yakni 4 faktor atau 40% faktor ekstern yang berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa. Karena persentase jawaban tetinggi dari responden adalah faktor intern, maka dapat diketahui bahwa yang paling berpengaruh terhadap tingkat keberagamaan siswa
SMAN 1 Belawa Kab. Wajo, adalah faktor intern yang bersumber dari kepribadian siswa itu sendiri. Faktor intern yang dimaksud dalam uraian tersebut, terdiri atas dua klasifikasi, yakni pertama; adalah fitrah atau (pembawaan) siswa sejak kecilnya, dan yang kedua; adalah kesadaran yang timbul dari dalam diri setiap siswa selama ini. C. Gambaran Tingkat Keberagamaan Siswa SMA Negeri 1 Belawa Kabupaten Wajo Wujud tingkat keberagamaan siswa, tentu sangat bervariasi antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut disebabkan perkembangan karakteristik keagamaan yang diperoleh masing-masing siswa berbeda, serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberagamaan mereka juga berbeda. Perbedaan karakteristik bagi setiap siswa serta pengaruh yang diperolehnya menjadikannya berbeda-beda pula dalam tingkat keberagamaan, yakni ada tingkat keberagamaannya berkategori “tinggi”, “sedang” dan “rendah”. Untuk merumuskan ketiga tingkatan kategori tersebut, maka operasionaliasasinya adalah sebagai berikut : Dalam aspek ibadah, meliputi; rutinitas pelaksanaan shalat wajib lima kali sehari semalam; pelaksanaan puasa Ramadhan; pengamalan shalat-shalat sunnat, pengamalan tadarrus Alquran atau mengaji; dan pengamalan doa-doa. Sedangkan dalam aspek akhlak, meliputi; kepatuhan terhadap kedua orangtua; kesopanan terhadap guru; dan cara berpakaian mereka. Dengan mencermati perilaku keberagamaan siswa, yang fokus pada aspek ibadah dan akhlak mereka, tentu akan ditemukan perbedaan-perbedaan tingkatan antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut disebabkan perkembangan karakteristik keberagamaan
yang diperoleh dan dilalui oleh masing-masing siswa berbeda. Sehingga, berbeda-beda pula kategori tingkat keberagamaannya. Di antara mereka, ada tingkat keberagamaannya berkategori “tinggi”, adapula yang “sedang” dan “rendah”. Mereka yang senantiasa menjalankan ajaran-ajaran agama dengan baik, tentu saja tingkat kebegaramaannya ber-kategori tinggi dan demikian pula sebaliknya.
Untuk menentukan wujud tingkat keberagamaan siswa dalam aspek ibadah, maka operasionalisasinya adalah sebagai berikut : 1. Siswa yang senantiasa melaksanakan ibadah dengan baik, misalnya shalat wajib lima kali sehari semalam secara rutin (tanpa meninggalkannya), maka tingkat keberagamannya dalam aspek ini berkategori “tinggi” 2. Siswa yang terkadang melaksanakan ibadah dengan baik, misalnya shalat wajib lima kali sehari semalam dilaksanakan secara rutin, namun terkadang pula meninggalkannya, maka tingkat keberagamaannya dalam aspek ini berkategori “sedang” 3 Siswa yang sama sekali tidak melaksanakan ibadah, misalnya tidak shalat wajib lima kali sehari semalam, maka tingkat keberagamaannya ber-kategori “rendah” Hal serupa dilakukan pula dalam menentukan tingkat keberagamaan siswa dalam aspek akhlak, yakni : 1) Siswa yang senantiasa memperlihatkan akhlak baiknya, misalnya patuh terhadap kedua orangtuanya, maka tingkat keberagamaannya dalam aspek ini berkategori “tinggi” 2) Siswa yang terkadang memperlihatkan akhlak baiknya, misalnya senantiasa patuh terhadap kedua orangtuanya, namun terkadang pula mereka tidak patuh terhadap kedua orangtuanya, maka tingkat keber-agamaannya dalam aspek ini berkategori “sedang”
3) Siswa yang sama sekali tidak memperlihatnya akhlak baiknya, misalanya tidak pernah patuh terhadap kedua orangtuanya, maka tingkat keber-agamaannya dalam aspek ini berkategori “rendah” Untuk mengetahui secara global mengenai tingkat keberagamaan siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo maka dikemukakan data-datanya berdasarkan hasil kuisioner dalam bentuk tabel, kemudian dianalisis berdasarkan acuan yang telah ditetapkan terdahulu. Tabel-tabel yang dimaksud, berisi tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai tingkat keberagamaan siswa dalam aspek ibadah dan akhlak, karena tingkat keberagaman siswa dalam aspek ibadah akan berpengaruh pada akhlak siswa dalam kehidupan sehari-hari. Pada tabel 3-12, terkait dengan aspek ibadah dan tabel 14-24 terkait dengan aspek akhlak, yang secara sistematis dianalisis sebagai berikut;
Tabel 4.14. Wujud Pelaksanaan Shalat Fardhu
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya (selalu)
65
65%
2
Terkadang
30
30%
3
Tidak
5
5%
100
100%
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 11
Tabel 14 tersebut menunjukkan bahwa dari 100 responden, 65 atau 65% menjawab “Ya” maksudnya; bahwa mereka senantiasa melaksanakan shalat fardhu (lima
kali sehari semalam) secara rutin. 30 atau 30%, menjawab “Terkadang” maksudnya; bahwa mereka terkadang pula meninggalkan shalat. 5 atau 5%, menjawab “Tidak” maksudnya; sama sekali mereka tidak melaksanakan shalat selama ini. Karena siswa yang senantiasa melaksanakan shalat fardhu secara rutin sebanyak 65 %, sementara yang terkadang shalat 30% dan yang tidak pernah shalat 5%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat kebergamaan siswa dalam hal pelaksanakan shalat fardhu secara rutin berkategori “tinggi”. Dikatakan demikian, karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka senantiasa melaksanakan shalat fardhu limakali sehari semalam. Hasil survey penulis di lapangan menunjukkan bahwa tingginya tingkat keberagamaan siswa dalam hal pelaksanaan shalat, karena mereka menganggap bahwa shalat merupakan kewajiban. Kaitannya dengan itu, Salemuddin menyatakan bahwa rutinitas pelaksanaan shalat bagi siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo, telah mengkristal dan berpengaruh pada diri mereka dalam pembentukan sikap dan mentalnya, karena sebagian besar mereka selalu bersama keluarga untuk shalat lima di waktu sejak usia dini. Sehingga akan terlihat menjelang usia remajanya saat ini, shalat bagi mereka dikerjakan karena dianggapnya sebagai suatu kewajiban agama. Dari hasil survey penulis dan keterangan Salemuddin tersebut di atas, diperkuat oleh peryataan orang tua siswa bahwa anak-anak mereka senantiasa melaksanakan shalat lima waktu, tanpa ada tekanan dan paksaan, karena bagi mereka pelaksanaan shalat telah terbiasa sejak kecilnya. Tingginya tingkat keberagamaan siswa dalam hal pelaksanaan ibadah shalat wajib, merupakan suatu kenyataan yang akurat dan argumentatif, karena mereka sejak kecilnya
telah membiasakan shalat secara intensif. Telah dijelas-kan dalam uraian terdahulu bahwa mendidik anak dengan metode pembiasaan sangat urgen artinya. Dalam membiasakan anak melaksanakan ibadah sejak kecil, maka paling tidak, orang tua harus melakukan upaya pencapaian tujuan pendidikan agama. Sebagai tindak lanjut dari sosialisasi pendidikan agama bagi anak, gurupun turut bertanggungjawab dalam mendidik mereka melalui pendidikan agama di sekolah. Karena guru sebagai jabatan profesi yang diberikan kepercayaan oleh pemerintah ia juga diberikan kepercayaan atau pelimpahan wewenang dari orang tua untuk mendidik, membimbing dan mengarahkan anak menjadi dewasa. Kaitannya dengan itu, Zakiah Daradjat menyatakan bahwa pemberian kepercayaan (pemberian wewenang) orang tua kepada guru disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: 1) keterbatasan pengetahuan orang dan faktor lingkungan. 2) kesibukan orang (memiliki pengetahuan yang luas). Dapatlah dipahami bahwa untuk lebih meningkatkan fitrah keberagamaan bagi setiap siswa dalam melaksanakan shalat, tentu saja harus tetap mendapat motifasi dari pihak orangtua dan guru. Keberagaman bagi setiap orang termasuk siswa, dapat dilihat dalam tingkah laku dalam menjalankan ajaran agama terutama dalam masalah ibadah. Dalam hal ini mengerjakan salat lima waktu dan ketentuan agama lainnya, yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Wujud pelaksanaan salat fardu diawal waktu dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.15. Wujud Pelaksanaan Shalat Fardhu di Awal Waktu
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya (selalu)
18
18%
2
Terkadang
75
75%
3
Tidak
7
7%
100
100%
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 12
Tabel 4.15 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 18 atau 18% menjawab “ya” atau “selalu” maksudnya; bahwa mereka senantiasa me-laksanakan shalat fardhu di awal waktu. 75 atau 75%, menjawab “terkadang” maksudnya; shalat dilaksanakan terkadang di awal waktu dan terkadang pula bukan di awal waktu shalat. 7 atau 7%, menjawab “tidak” maksudnya; sama sekali tidak pernah sahalat di awal waktu. Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “terkadang” melaksanakan shalat fardhu di awal waktu yakni sebanyak 75,3%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “sedang”. Berdasarkan hasil survey penulis di lapangan dan hasil wawancara terhadap siswa-siawa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo, ditemukan informasi bahwa dominannya siswa tidak shalat di awal waktu atau terlambatnya mereka dalam melaksanakan shalat disebabkan berbagai alasan. Alasan terbanyak yang mereka kemukakan adalah karena pada saat itu, siswa-siswa memfokuskan diri untuk belajar dalam rangka menghadapi UAS (khusus bagi siswa kelas I dan I), serta menghadapi UAN (khusus bagi siswa kelas III). Di samping itu, ditemukan pula alasan-alasan lain sehingga mereka selalu terlambat
shalat, yakni alasan karena lupa dan alasan karena malas. Namun, alasan yang terakhir ini dikemukakan oleh sebagian kecil dari meraka. Adanya indikasi bahwa siswa-siswa seringkali mengabaikan shalat di awal waktu, merupakan suatu tantangan yang harus ditekan sedini mungkin. Dengan begitu, maka upaya yang harus dilakukan adalah memotifasi dan mengarahkan meraka untuk membiasakan diri melaksanakan shalat di awal waktu. Dengan pembiasaan dan latihan melaksanakan shalat di awal waktu secara intensif lambat laun akan meningkat tngkat keberagamaanya. Metode pembisaan ini cukup efektif, bahkan ahli pendidikan sepakat bahwa pembiasaan sebagai salah satu upaya pendidikan yang baik terutama pembentukan manusia dewasa. Dengan demikian, Tujuan utama pembiasaan pelaksanaan shalat di awal waktu bagi setiap siswa adalah penanaman pada dirin meraka agar tercipta kedisiplinan dalam melaksanakan shalat dan agar tidak lalai dalam melaksanakan shalat. Dalam Alquran dijelaskan bahwa waktu-waktu shalat telah ditentukan oleh syariat, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Nisa/4: 103.
#sÎ*sù
ÞOçFøÒs%
(#rãà2ø$$sù
no4qn=¢Á9$#
©!$#
$VJ»uÏ%
#Yqãèè%ur 4n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4 #sÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4
¨bÎ)
no4qn=¢Á9$#
úüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÉÌÈ
Terjemahnya :
ôMtR%x.
$Y7»tFÏ.
n?tã
$Y?qè%öq¨B
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang Mu’min Waktu shalat dhuhur, bermula dari tergelincirnya matahari dari tengah-temgah langit dan berlangsung sampai bayangan sesuatu itu sama panjang dengan selain bayangan sewaktu matahari tergelincir. Waktu shalat Ashar bermula bila bayan-bayang suatu benda telah sama panjang dengan benda itu sendiri, yakni setelah bayangan waktu tergelincir matahari dan berlangsung sampai terbenamnya matahari. Waktu shalat magrib, bermula bila matahari telah terbenam atau tersembunyi dan berlangsung sampai terbenamnya syafak atau awam merah. Waktu shalat isya’ bermula diwaktu leyapnya syafak (awam merah) dan berlangsung hingga seperdua malam. Waktu shalat shubuh, bermula dari saat terbitnya fajar shadiq dan berlangsung sampai terbitnya matahari. Dengan melaksanakan shalat sesuai dengan ketentuan-ketentuan waktunya sebagaimana disebutkan di atas, sudah termasuk melaksanakan shalat dengan baik. Namun, lebih baik bila shalat tersebut dilaksanakan pada awal waktu, sebagaimana sabda Nabi saw dalam salah satu hadisnya : لاق دوعسم نب هللا دبع نع: ملسو هيلع هللا ىلص يبنلا تلأس: بحا لمعلا يا لاق ؟ هللا ىلا: تقو لوأ ىلع ةالصلا، نيدلاولا رب لاق ؟ يأ مث، لاق ؟ يأ مثلاق هللا ليبس ىف داهجلا Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata berkata: “saya bertanya kepada Nabi saw; amal apa yang lebih disukai Allah?” Beliau menjawab: “Melaksnakan shalat di awal waktu”. Dia (Ibn Mas’ud) bertanya lagi; “Kemudian apa lagi?”, Belilau menjawab: “Berbakti kepada kedua orangtua”. Dia (Ibn Mas’ud) bertanya lagi; “kemudian apa lagi”? Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah”. Dari hadis di atas, maka dapatlah dipahami bahwa amal yang termasuk lebih utama atau lebih baik adalah antara lain melakasanakan shalat di awal waktu. Dengan demikian,
melaksanakan shalat di awal waktu dapat dijadikan fatron dalam mengukur tingkat keberagamaan seseorang.
Tabel 4.16. Wujud Pelaksanaan Shalat Sunnat
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya (selalu)
19
19%
2
Terkadang
68
68%
3
Tidak
13
13%
100
100%
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 13
Tabel 4.16 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 19 atau 19% menjawab “ya” atau “selalu” maksudnya; mereka senantiasa melaksanakan shalat sunnat. 102 atau 68%, menjawab “terkadang” maksudnya; mereka lebih banyak meninggalkan shalat sunnat. 13 atau 13%, menjawab sama sekali tidak melaksanakan shalat sunnat. Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “terkadang” melaksanakan sering shalat sunnat yakni sebanyak 68%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “sedang”. Shalat sunnat yang dimaksud dalam kuisioner ini adalah shalat sunnat rawatib, yakni shalat sunnat 2 rakaat sebelum shubuh dan ashar, 2 rakaat sebelum dan sesudah dhuhur dan isya, serta 2 rakaat seudah magrib. Namun, hasil survey penulis di lapangan, menunjukkan bahwa lebih banyak di antara mereka secara rutinitas melaksanakan shalat
sunnat 2 rakaat sesudah magrib, bila dibandingkan dengan shalat sunnat rawatib lainnya. Indikasi ini pulalah yang menyebabkan tingkat keberagamaan siswa berkategori “sedang”. Shalat sunnat memang bukan suatu kewajiban dalam agama, tetapi sangat dianjurkan pelaksanaannya secara rutin. Dalam hal ini Hamka menyatakan dalam tafsirnya bahwa sebaiknya-baiknya sembahyang adalah lima yang fardhu tanba sunnat nawafil ditambah zikir mengingat Tuhan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pelaksanaan sunnat dapat dijadikan patron dalam mengukur tingkat keberagamaan seseorang, karena shalat tersebut sangat urgen kedudukannya dalam agama. Karena itu, upaya yang harus dilakukan bagi siswa adalah berupaya melaksanakan shalat sunnat dalam memperbanyak ibadah. Kaitannya dengan itu, Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa selain pembiasaan untuk melaksanakan shalat tepat waktu, diharuskan pula membiasakan diri dalam memperbanyak amal-amal ibadah, berdisiplin dalam belajar, bangun tidur tepat waktu dan sebagainya. Dengan pembiasaan seperti itu, termasuk di dalamnya memperbanyak amalan-amalan shalat sunnat, maka mereka akan menghidarkan dirinya dari kelalaian dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama, dan tentunya akan bermuara pada pencapaian tingkat keberagamaan yang berkategori tinggi.
Tabel 4.17. Wujud Pelaksanaan Puasa Wajib
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya (selalu)
97
97%
2
Terkadang
2
2%
3
Tidak
1
1%
Jumlah
100
100%
Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 14 Tabel 4.17 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 97 atau 97% menjawab “ya” atau “selalu” maksudnya; mereka senantiasa melaksanakan puasa wajib secara rutin. 2 atau 2%, menjawab “terkadang” maksudnya; mereka terkadang pula meninggalkan puasa. 1 atau 1%, menjawab sama sekali “tidak” melaksanakan puasa wajib. Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “selalu” melaksanakan puasa dalam arti mereka tidak meninggalkan kewajiban puasa, yakni sebanyak 97%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “tinggi”. Puasa wajib yang dimaksud di sini adalah puasa di bulan Ramadhan sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Baqarah/2: 183.
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$#
|=ÏGä.
ãNà6øn=tæ
|=ÏGä.
n?tã
(#qãZtB#uä
ãP$uÅ_Á9$#
úïÏ%©!$#
`ÏB
$yJx.
öNà6Î=ö7s%
öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. Berdasarkan hasil survey penulis di lapangan dan hasil wawancara terhadap siswa-siawa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo, ditemukan informasi bahwa dominannya siswa melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, karena telah terbiasa melaksanakan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Apalagi, mereka menyadari bahwa puasa Ramadhan merupakan moment terpenting dalam rangka mempebanyak amal ibadah.
Dalam agama, syarat wajib puasa bagi seorang Muslim adalah balig, berakal dan kuat atau sehat. Tentu saja, siswa-siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo memenuhi kriteria wajib puasa, karena mereka telah memasuki usia balig dan berakal, serta dengan masa remajanya tersebut menandakan bahwa fisiknya kuat dan sehat. Sehingga sangat wajar bila hasil analisis tabel di atas mengindikasikan bahwa tingkat keberagamaan mereka dalam aspek ini berkategori tinggi. Selain siswa-siswa melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, mereka juga mengaktifkan dirinya dalam menyemarakkkan amaliyah Ramadhan, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Sanusi bahwa; setiap Ramadhan, banyak di antara siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo berpartisipasi kegiatan agama dan mensemarakkan syiar Ramadhan, misalnya; mereka aktif di mesjid dalam mengurus jamaah, membantu pantia (pengurus) dalam menjemput penceramah, dan berpartisipasi aktif dalam malam takbiran. Dari sini dapat dipahami bahwa siswa-siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo di samping menjalankan kewajiban puasa, mereka juga aktif dalam berbagai amaliyah Ramadhan. Hal tersebut juga merupakan salah satu indikator tentang tingginya tingkat keberagamaan siswa.
Tabel 4.18 Wujud Kemampuan Membaca Al-Quran Dengan Baik dan Benar
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya
50
50%
2
Terkadang
40
40%
3
Tidak
10
10%
100
100%
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 15
Tabel 4.18 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 50 atau 50% menjawab “ya” maksudnya; mereka mampu membaca Alquran dengan baik dan benar. 40 atau 40%, menjawab “terkadang” maksudnya; mampu membaca Alquran tetapi bacaannya kurang baik dan benar. 10 atau 10%, menjawab “tidak” maksudnya; sama sekali mereka tidak mampu membaca Alquran secara baik dan benar. Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “selalu” mampu membaca Alquran dengan baik dan benar, yakni sebanyak 97 %, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “tinggi”. Menurut hasil survey penulis di lapangan, ditemukan pula di antara mereka yang mampu membaca Alquran sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid. Tingginya, persentase kemampuan siswa dalam membaca Alquran dengan baik dan benar karena mereka sejak kecilnya telah belajar mengaji melalui pendidikan non formal, yakni melalui guru-guru mengaji (guru kampung) dan melalui Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan Taman Kanak-kanak Alquran (TKA) di lingkungan masyarakat. Di samping itu, ada pula sebagian siswa yang belajar mengaji secara informal melalui orangtuanya di lingkungan rumah tangga. Dapatlah dipahami bahwa lembaga pendidikan non formal dan informal yang disebutkan di atas, turut berperan dalam mewujudkan tingginya tingkat keberagamaan siswa.
Tabel 19 Wujud Pelaksanaan Tadarrus al-Qur’an
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya (selalu)
7
7%
2
Terkadang
78
78%
3
Tidak
15
15%
100
100%
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 16
Tabel 4.19 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 7 atau 7% menjawab bahwa mereka mengaji setiap hari secara rutin. 78 atau 78%, menjawab terkadang mengaji dan terkadang tidak. 15 atau 15%, menjawab sama sekali tidak mengaji selama ini. Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “terkadang” membaca Alquran yakni sebanyak 78%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “sedang”. Membaca Alquran yanng dimaksud di sini adalah tadarrus, yakni melafazkan ayat-ayat Alquran melalui bacaan. Berdasar hasil survey penulis, kurangnya siswa-siswa dalam ber-tadarrus Alquran, karena terkait dengan uraian terdahulu, yakni ketika penelitian ini berlangsung siswa-siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo, memfokuskan dirinya pada kegiatan belajar, karena mereka menghadapi ujian semester bagi siswa kelas I dan II, serta ujian negara bagi siswa kelas III. Situasi yang demikian, salah satu penyebab sehingga mereka kurang rutin
mengaji di setiap harinya. Sehingga, tingkat keberagamaan mereka dalam aspek ini berkategori sedang. Terkait dengan hasil survey di atas, penulis menemukan informasi dari tokoh agama setempat bahwa kebanyakan siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo, aktif melaksanakan tadarrus Alquran pada bulan Ramadhan di mesjid-mesjid. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa pada waktu-waktu tertentu khususnya pada bulan Ramadhan, banyak siswa yang rajin membaca Alquran. Tabel 4.20. Wujud Pengamalan Doa-doa No 1 2 3
Kategori Jawaban Ya (selalu) Terkadang Tidak
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 14
Responden Frekuensi
Persentase (%)
37 52 11 100
37% 52%% 11% 100%
Tabel 4.20 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 37 atau 37% menjawab bahwa mereka senantiasa mengamalkan doa-doa yang diketahuinya. 52 atau 52%, menjawab terkadang mengamalkan doa-doa tersebut dan terkadang pula tidak. 11 atau 11%, menjawab sama sekali mengamalkan doa-doa selama ini. Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “terkadang” mengamalkan doa-doa yakni sebanyak 52%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “sedang”. Berdasarkan hasil survey penulis di lapangan, tingkat keberagamaan siswa dalam kategori “sedang” dalam aspek ini, disebabkan kurangnya monifasi orangtua terhadap mereka untuk mengamalkannya, serta belum timbulnya kesadaran bagi siswa itu sendiri
dalam mengamalkan doa-doa. Dengan demikian, maka yang berperan dalam meningkatkan tingkat keberagamaan mereka dalam aspek ini adalah orangtua, karena orangtualah yang banyak memonitoring mereka. Dengan kata lain, diharapkan kepada orangtua siswa agar senantiasa memandu anak-anaknya dalam pembacaan doa misalnya; ketika mereka akan makan secara berjamaah dan selainnya. Di samping itu, para guru diharapkan juga agar senantiasa memotifasi mereka. Di samping itu, salah satu wadah yang penting untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya pengamalan doa-doa dalam kehidupan meraka adalah melalui pengajian-pengajian yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Menurut Dra. St. Badariah, di sekolah telah diadakan pengajian secara rutin setiap hari Sabtu yang dipandu oleh guru agama. Pengajian ini bertujuan untuk menanamkan sikap keberagamaan siswa dengan mengundang dai atau ustas sebagai penceramah. Kaitannya dengan itu, maka melalui wadah pengajian tersebut, tentu sangat efektif bila aspek pengamalan doa-doa ditekankan bagi setiap siswa, agar nantinya akan menjadi kebiasaan bagi mereka untuk senantiasa mengamalkannya. Materi yang terpenting diberikan kepada siswa adalah “doa belajar” di samping materi doa-doa lainnya, misalnya doa untuk makan, tidur, bepergian dan semacamnya. Perlu pula diinformasikan kepada mereka tentang urgennya pengamalan doa-doa, serta mengajarkan mereka tentang adab berdoa, agar tingkat keberagamaanya mengalami perkembangan.
Tabel 4.21. Wujud Kepatuhan Terhadap Kedua Orangtua
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya (selalu)
77
77%
2
Terkadang
22
22%
3
Tidak
1
1%
100
100%
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 18
Tabel 4.21 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 77 atau 77% menjawab bahwa mereka senantiasa patuh kepada kedua orangtuanya. 22 atau 22%, menjawab terkadang patuh dan terkadang pula tidak patuh kepada kedua orang tuanya. 1 atau 1%, menjawab tidak patuh terhadap kedua orangtuanya. Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “selalu” patuh terhadap kedua orangtuanya yakni sebanyak 77%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “tinggi”. Berdasar hasil survey penulis di lapangan, menunjukkan bahwa siswa-siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo selama ini, memang senantiasa patuh terhadap kedua orangtua mereka. Apa pun yang diperintahkan orangtua mereka kepadanya, misalnya mencuci pakaian, membersihkan pekarangan rumah, membeli beberapa kebutuhan dan semacamnya. Kepatuhan terhadap kedua orang tua diistilahkan dalam agama dengan bir al-walidayn, yakni senantiasa berbuat baik kepada keduanya dalam segala hal. Dalam banyak ayat disebutkan bahwa berbuat baik kepada kedua orangtua merupakan kewajiban. Secara jelas, dalam QS. al-Isra’/17: 23 Allah swt berfirman:
* 4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î)
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur
$·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$#
!$yJèdßtnr&
÷rr&
$yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s?
@è%ur
$yJßg©9
Zwöqs%
$VJÌ2 ÇËÌÈ
Terjemahnya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada meraka perkatann yang baik. Berdasar dengan ayat di atas, maka kepatuhan terhadap kedua orangtua dalam penelitian ini adalah termasuk berbuat baik kepada keduanya, berkata dengan baik kepada keduanya yakni perkataan yang lemah lembut, tidak membentak kepada keduanya serta segala macam bentuk kebaktian kepada keduanya. Dengan tingginya persentase kepatuhan siswa terhadap kedua orangtua mereka, merupakan indikasi bahwa muatan ayat di atas sungguh telah diamalkan oleh mereka. Karena itu, sangat wajar bila tingkat keberagamaan siswa dalam aspek ini berkategori tinggi. Hikmah yang terkadung dalam hal berbuat baik atau patuh terhadap kedua orangtua adalah karena mereka berdua telah mencurahkan jerih payahnya demi sang anak. Pada masa kecilnya, ia dipelihara oleh mereka dengan penuh kasih sayang, dididik dan dipenuhi segala kebutuhannya. Sebab pada masa-masa itu, sang anak tidak berdaya sama
sekali untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya atau menolak bahaya yang menimpa dirinya. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah apabila sang anak berbuat baik terhadap keduanya. Pada sisi lain, sang anak yang senantiasa memperlihatkan perilaku kebergamaan seperti ini, akan mendorong bagi kedua orangtuanya untuk senantiasa mencintai dan menyayangi anak-anaknya.
Tabel 4.22. Wujud Kesopanan Terhadap Guru
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya
84
84%
2
Terkadang
15
15%
3
Tidak
1
1%
100
100%
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 19
Tabel 4.22 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 84 atau 84% menjawab bahwa mereka senantiasa bersikap sopan terhadap guru-gurunya. 23 atau 15%, menjawab terkadang bersikap sopan dan terkadang pula tidak bersikap sopan terhadap gurunya.1 atau 1%, menjawab tidak sopan terhadap guru-gurunya selama ini.
Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “selalu” sopan terhadap guru-guru mereka yakni sebanyak 84%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “tinggi”. Tingginya tingkat kebergamaan mereka dalam apek ini, diperkuat oleh Fallima Arifin, S.Pd bahwa siswa-siswa SMAN 1 Belawa Kab, Wajo selama ini senantiasa memperlihatkan etika baik berupa kesopanan terhadap guru-gurunya. Walaupun demikian, ditemukan antara 3-4 siswa saja yang seringkali tidak bersikap sopan. Terkait dengan itu, Drs. Abd. Hakim menyatakan bahwa sikap sopan yang senantiasa mereka nampakannya terhadap guru-guru adalah bertutur kata dengan baik ketika berhadapan dengan guru. Untuk mengukur tingkat keberagamaan siswa, memang bukan saja berfokus pada perilaku menghormati guru dalam arti bersikap sopan dan merendahkan diri ketika berhadapan denganya, tetapi lebih dari itu, tutur kata yang baik terhadapnya merupakan indikator tingginya tingkat keberagamaan. Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 73 disebutkan bahwa; $uZù=à)sù çnqç/ÎôÑ$# $pkÅÕ÷èt7Î/ 4 y7Ï9ºxx. öNà6Ìãur
Çósã
ª!$#
4tAöqyJø9$#
¾ÏmÏG»t#uä
öNä3ª=yès9
tbqè=É)÷ès? ÇÐÌÈ
Terjemahnya : Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. Ayat di atas memerintahkan agar setiap Muslim membiasakan dirinya bertutur kata dengan baik terhadap kepada manusia, termasuk di dalamnya perintah untuk bertutur kata dengan baik kepada guru.
Tabel 4.23. Wujud Kerapihan dalam Berseragam Sekolah
No
Kategori Jawaban
Responden Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya (selalu)
79
79%
2
Terkadang
19
19%
3
Tidak
2
2%
100
100%
Jumlah Sumber Data: Hasil Kuisioner No. 20
Tabel 4.23 di atas menunjukkan bahwa dari 100 responden, 79 atau 79% menjawab “ya” atau “selalu” maksudnya; mereka senantiasa rapih berpakaian seragam sekolah. 19 atau 19%, menjawab terkadang maksudnya; rapih dalam berpakaian seragam sekolah dan terkadang pula tidak. 2 atau 2%, menjawab tidak rapih dalam berpakaian sekolah. Karena jawaban yang paling dominan atau jawaban terbanyak adalah mereka “selalu” rapih dalam menggunakan pakaian sekolah yakni sebanyak 79,3%, maka dapat dipahami bahwa wujud tingkat keberagamaan mereka dalam hal ini berkategori “tinggi”.
Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo selama ini, tidak hanya sebatas rapi dalam menggunakan pakaian sekolah, tetapi rapih dalam segala-galanya dalam arti pakaian mereka tidak kusut dan kotor serta sesuai dengan kriteria kesopanan dalam berpakaian. Penulis juga memperoleh data bahwa tidak ditemukan siswa dalam sebulan yang dijukan pada Guru Bimbingan Konseling, karena tidak berpakaian rapih atau tidak berpakaian seragam sesuai dengan ketentuan. Masih terkait dengan masalah kerapihan dalam berpakaian, menurut hasil survey di lapangan bahwa dalam setiap harinya kepala sekolah dan guru-guru lainnya senantiasa memperhatikan mode dan model pakaian siswa. Lebih dari itu Drs. Haedar K, M.Si mengatakan bahwa di samping memperhatikan mode dan model pakaian siswa, di ditekankan pula bagi mereka untuk tidak berambut panjang bagi laki-laki, karena hal tersebut termasuk dalam masalah kerapihan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa dalam setiap dua minggu, diadakan pemeriksaan terhadap siswa-siswa laki-laki yang berambut panjang pada saat upacara dan bagi mareka yang melanggar ketentuan ini, akan dikenakan sanksi. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa siswa-siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo senantiasa berpakaian rapih dan tidak ditemukan di antara mereka yang berambut panjang bagi laki-laki. Dengan demikian, maka wujud tingkat keberagamaan siswa dalam aspek ini berkategori tinggi. Keterangan-keterangan di atas sekaligus mengindikasikan bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan siswa, akan mendapat sanksi dari pihak sekolah. Namun jenis-jenis pelanggaran siswa yang ditemukan selama tahun pelajaran 2010-2011 ini bukan merupakan pelanggaran besar, misalnya perkelahian antar sesama pelajar, akrabnya
mereka dengan obat-obat perangsang atau terlarang seperti narkotika dan selainnya, yang jelas-jelas menyalahi ketentuan perilaku keberagamaan. Kenyataan tersebut, dijelaskan pula oleh Fallima Arifin, SP.d bahwa dalam sebulan siswa yang diajukan di BK yang bermasalah paling banyak 3-4 orang saja, itupun bukan pelanggaran yang terlalu serius, hanya karena absensi atau tingkat kehadiran siswa di sekolah tidak memenuhi ketentuan. Maksudnya, rata-rata siswa yang menghadap ke Guru Bimbingan Konseling karena dalam sebulan siswa tersebut telah alpa (tidak hadir) di sekolah sebanyak dua kali. Lebih lanjut Fallima Arifin, S.Pd menyatakan bahwa penyebab siswa tidak hadir adalah karena transfortasi dan biayanya dari domisili siswa dengan sekolah sangat jauh dan mahal, di samping ditemukan alasan dari kebanyakan siswa bahwa mereka tidak hadir (alfa) mengikuti beberapa mata pelajaran di sekolah karena terpaksa membantu orantua mereka yang kebanyakan petani. Berdasarkan hasil analisis dari tabel-tabel terdahulu, yakni tabel 5-14 maka diketahui bahwa wujud tingkat keberagamaan siswa SMAN 1 Belawa Wajo selama ini, terdiri aras dua klasifikasi, yakni berkategori “tinggi” dan “sedang”. Dengan kata lain dalam ibadah dan akhlak, tidak ditemukan tingkat keberagamaan mereka yang berkategori “rendah”. Hal tersebut, juga merupakan indikasi bahwa perilaku keberagamaan mereka sesuai dengan petunjuk-petunjuk syariat. Untuk menentukan wujud tingkat keberagamaan siswa SMAN 1 Belawa Kab. Wajo secara global, apakah mereka memiliki tingkat keberagamaan yang berkategori “tinggi” atau berkategori “sedang”, maka lebih lanjut akan dirinci perbandingannya dalam bentuk tabel, yang disertai analisis terhadapnya. Hal ini penting, guna merumuskan wujud
tingkat keber-agaman mereka secara akurat dan argumentatif. Lebih jelasnya, dapat diperhatikan tabel 16 berikut :
Tabel 4.24. Rincian Perbandingan; Wujud Tingkat Keberagamaan Siswa Nomor Tabel
Wujud Perilaku Keberagamaan
Tingkat Kategori
14
Wujud pelaksanaan shalat fardhu
Tinggi
15
Wujud pelaksanaan shalat fardu tepat waktu
Sedang
16
Wujud pelaksanaan shalat sunnat
Sedang
17
Wujud Pelaksanaan puasa wajib
Tinggi
18
Wujud Kemampuan Tadarrus
Tinggi
19
Wujud pengamalan Tadarrus
Sedang
20
Wujud Pengamalan doa-doa
Sedang
21
Wujud Kepatuhan terhadap kedua orangtua
Tinggi
22
Wujud Kesopanan terhadap guru
Tinggi
23
Wujud Kerapihan dalam berpakaian
Tinggi
Sumber Data: Reakpitulasi tabel 5-14 Berdasarkan pemaparan tabel di atas, tidak ditemukan adanya data yang menyatakan bahwa tingkat keberagamaan siswa SMA Negeri 1 Belawa Kabupaten Wajo berkategori rendah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tingkat keberagamaan mereka terklasifikasi atas dua, yakni tingkat keberagamaan berkategori “tinggi” dan tingkat keberagamaan ber-kategori “sedang”.
Bila ditelusuri lebih lanjut, maka diketahui bahwa terdapat 6 kategori atau 60% instrumen tingkat keberagamaan siswa yang berkategori “tinggi”, yakni (1) instrumen tentang rutinitas pelaksanaan shalat; (2) instrumen tentang pelaksanaan puasa wajib; (3) instrumen tentang kemampuan membaca Alquran; (4) instrumen tentang kepatuhan terhadap kedua orangtua (5) instrumen tentang kesopanan terhadap guru; dan (6) instrumen tentang kerapihan dalam berpakaian. Selebihnya, yakni 4 kategori atau 40% instrumen tingkat keber-agamaan siswa yang berkategori “sedang”, yakni (1) instrumen tentang pelaksanaan shalat tepat waktu; (2) instrumen tentang rutinitas pelaksanaan shalat sunnat; (3) instrumen tentang rutinitas pengamalan mengaji; dan (4) instrumen tentang pengamalan doa-doa. Berdasar dari keterangan-keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa tingkat keberagamaan siswa dominan berkategori tinggi. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa wujud tingkat keberagamaan siswa SMA Negeri 1 Belawa Kabupaten Wajo, dalam aspek ibadah dan akhlak secara global berkategori “tinggi”.