{
}> }
>
KRITIK TERHADAP VALIDITAS HADIS DALAM KITAB S{AH}I>H} AL-BUKHA>RI> Ahmad Ali MD Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAI NU) Jakarta Abstrak Artikel ini, berdasarkan pendekatan kritik hadis, menyimpulkan bahwa sungguhpun al-Bukha>ri> telah menyeleksi hadis-hadis dalam koleksi kita>b S{ah}i>h}nya, tidaklah berarti bahwa tidak ada upaya maupun ruang kritik terhadap matn, --maupun sanadnya. Kesenjangan antara kualitas sanad dan matn juga bisa terjadi dalam kita>b S{ah}i>h al-Bukha>ri>, sehingga validitas hadis yang ada dalam kita>b ini, bisa jadi ”tidak s}ah}i>h}” bila di-cross reference (rujuk silang) dengan sejumlah kita>b hadis yang lain. Misalnya matn hadis yang berasal dari Shari>k ibn Abi> Namr (ibn ‘Abdilla>h) dan bersumber dari Anas ibn Ma>lik yang menceritakan kronologi isra>’-mi‘ra>j dalam kita>b S{ah}i>h al-Bukha>ri>: kondisi sanadnya cukup s}ah}i>h}, akan tetapi kronologi kejadian isra>’-mi‘ra>j yang termuat dalam matnnya dinilai tidak s}ah}i>h. Demikian juga mengenai hadis seorang jenazah disiksa sebab ditangisi oleh ahli warisnya, bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an mengenai seseorang tidak memikul dosa orang lain. Kata kunci: S{ah}i>h al-Bukha>ri>, sanad, matn, kritik hadis.
A. Pendahuluan
Kitab S{ah}i>h al-Bukha>ri menarik dikaji lebih dalam, karena ia
Ahmad Ali MD
dipandang oleh Mazhab Ahl al-Sunnah (Sunni>)1 sebagai kitab otoritatif kedua setelah kitab suci al-Qur’a>n sebagai sumber ajaran dan hukum Islam (mas}a>dir al-tashri>‘). Meskipun kedudukannya sedemikian penting, namun kitab ini ternyata tak lepas dari berbagai kritik, baik dari kalangan eksternal (orientalis) maupun dari internal (intelektual muslim) sendiri. Bahkan, muncul golongan Inkar al-Sunnah,2 yakni golongan yang mengingkari Sunnah/Hadi>s3 sebagai sumber hukum.
Ahl al-Sunnah (sunni) adalah orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad s.a.w., dalam hal ini adalah tradisi Nabi s.a.w. berupa tuntunan lisan (qawl) ataupun amalan dan persetujuan beliau (af‘a>l wa-taqri>r) serta sahabat mulia beliau. Mengenai siapa-siapa yang dipandang termasuk sunni, menurut M. Quraish Shihab, ditemukan kesulitan untuk menjelaskannya. M. Quraish Shihab, Sunnah-Shi>‘ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 57. Dalam surat Shaykh al-Azhar, Sa>lim alBishri>, yang ditujukan kepada ‘Abd al-H{usayn Sharaf al-Di>n al-Mu>sawi>, tokoh Shi>‘ah, dipahami bahwa yang dimaksud Ahl al-Sunnah itu adalah golongan terbesar kaum Muslim yang mengikuti aliran Ash’ari> dalam bidang akidah dan keempat mazhab (Ma>lik, Sha>fi‘i>, Ah}mad ibn H{anbal, dan H{anafi>) dalam bidang shari>‘ah (hukum). Kategori Ahl al-Sunnah disebutkan secara pasti oleh ‘Abd al-Qa>hir ibn T{a>hir ibn Muh}ammad (w. 429 H./1037 M.), seorang us}u>li>, al-Baghdadi>, al-Isfira>‘i>ni> al-Tami>mi>, penulis kitab alFarq Bayn al-Firaq, yaitu para pengikut al-Awza>‘i>, al-Thawri>, Ibn Abi> Layla, dan Ahl al-Z{ahi>r, dalam bidang hukum; dan para tokoh terutama dalam bidang akidah, yaitu imam Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, al-Ba>qilla>ni>, meskipun tidak semua pendapat al-Ash‘ari> disetujuinya, imam al-H{aramayn al-Juwayni> dan al-Ghaza>li>, seorang yang berperan besar dalam penyebaran paham ini. ‘Abd al-Qa>hir ibn T{a>hir ibn Muh}ammad, al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.), h. 19-20. 2Golongan Inkar al-Sunnah sudah ada sejak ulama mazhab hidup, yaitu akhir abad ke-2. Imam al-Sha>fi‘i> mengelompokkannya menjadi 3 (tiga) macam: golongan yang menolak hadis hadis secara keseluruhan, baik yang Mutawa>tir maupun yang A
d; golongan yang menolak hadis, kecuali jika ada persamaan dengan al-Qur’a>n, dan golongan yang menolak hadis Ad. Lihat Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi‘i>, al-Umm, Rif‘at Fawzi> ‘Abd al-Mut}allib, ed. (T.Tp.: Da>r al-Wafa>’ li-al-T{iba>‘ah wa-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 2001), Juz IX, h. 5-42. Golongan Inkar al-Sunnah pada masa modern juga tidak berbeda argumennya dengan golongan Inkar al-Sunnah tempo dulu. Lihat lebih lanjut M. M. A‘z} ami>, H{adi>s Nabawi> dan Sejarah Kodifikasinya, dialihbahasakan oleh Ali Mustafa Yaqub, dari Dira>sa>t fi> al-al-H{adi>s al-Nabawi> wa Ta>ri>kh Tadwi>nih dari judul asli Studies in Early H{adi>th Literature, Cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h. 50. 3 Sunnah menurut bahasa berarti al-‘a>dah wa-al-t}ari>qah wa-al-si>rah (adatistiadat/tradisi, jalan, dan perjalanan hidup). Sunnah menurut terminologi Ahli hadis (muh}addithu>n) adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi s.aw., baik ucapan, perbuatan, persetujuan (taqri>r), sifat bawaan/tabiat dan karakter bukdi pekerti maupun perjalanan hidupnya. Sunnah menurut terminologi Ahli Us}u>l al-Fiqh (us} u>li>yu>n) adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada beliau, baik ucapan, perbuatan 1
112
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
Menjadi relevan mempertanyakan, apakah betul hadis-hadis4 dalam
maupun persetujuan (taqri>r). Definisi Sunnah dalam mazhab Shi>‘ah (al-Ima>mi>yah), sebagaimana dikemukakan Muh}ammad Rid}á� al-Muz}affar (w. 1419 H.), ulama kontemporer Shi>‘i: ”qawl al-ma‘s}u>m aw-fi‘luh aw-taqri>ruh”, yakni perkataan seorang yang ma‘s}u>m, perbuatan dan penetapannya (taqri>r). Penggunaan redaksi al-ma‘s}u>m menunjukkan bukan hanya Nabi s.a.w. tetapi juga para imam Ithna> ‘Ashari>yah dari golongan Ahl al-Bayt. Jadi, istilah Sunnah dalam definisi Shi>‘i lebih luas cakupannya daripada istilah Sunnah dalam definisi Sunni. Perluasan arti Sunnah ini didasarkan pada alasan bahwa perkataan seorang yang ma‘s}u>m dari keluarga Nabi (‘A‘i>, sebagaimana pandangan Muh}ammad Rid}á� al-Muz}affar, perluasan arti Sunnah itu mengandung rahasia (penjelasan) bahwa para imam dari Ahl al-Bayt a.s. bukanlah merupakan para perawi dan penghabar (penyampai hadis) dari Nabi sehingga perkataan mereka menjadi h}ujjah, dari segi karena mereka thiqa>h (terpercaya) dalam periwayatan hadis, akan tetapi karena sungguh mereka itu diangkat oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi untuk menyampaikan hukum-hukum aktual, sehingga konsekuensinya mereka tidak akan menyampaikan hukum kecuali dari hukum-hukum yang secara aktual benar-benar berasal dari Allah Ta’ala sebagaimana adanya. Hal itu didapat dari jalan ilha>m seperti wahyu bagi Nabi s.a.w., atau dengan cara menerima dari imam sebelumnya (talaqqi>), sebagaimana dikatakan oleh Maula>na> Ami>r al-Mu’mini>n ‘Ali> a.s., sebagaimana dikutip oleh al-Muz}affar: ”Rasulullah s.a.w. mengajarkan kepadaku seribu pintu ilmu yang terbuka bagiku seribu pintu dari setiap pintu tersebut.” Lihat Mus}tafa> al-Siba>‘i>, al-Sunnah wa-Maka>natuha> fi> Tashri>‘ al-Isla>mi> (T.tp.: Da>r al-Warra>q, t.t.), h. 65, Muh}ammad Rid}a> al-Muz}affar, Us}u>l al-Fiqh (Qum: Mu’assasat Mat}bu>‘a>t Isma>‘i>liya>n, 1421), h. 53-54, Ahmad Ali MD, ”Hadis Sebagai H{ujjah Hukum dalam Perspektif Shi>‘ah,” Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol XII, No. 3 (2012), h. 229-230. 4 Kata hadis dari sudut etimologi berarti baru, antonim dari kata qadi>m (lama, dulu) yang menjadi sifat Kala>mulla>h (al-Qur’a>n), karena hadis sebagai sabda Nabi s.a.w. memiliki sifat baru, yaitu didahului oleh sifat ”tidak ada”. Sementara Kala>mulla>h (al-Qur’a>n) sebaliknya, ia tidak didahului dengan ”tidak ada”. Secara terminologis, kata hadis, di kalangan ahli hadis tidak dibedakan dengan Sunnah. Menurut mereka, hadis adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muh}ammad s.a.w. baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifatsifat fisik, moral, maupun perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau diangkat menjadi Nabi maupun sesudahnya. Sementara hadis di kalangan ahli Us}u>l al-Fiqh dibedakan dengan sunnah. Menurut mereka, Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi s.a.w. Sedangkan hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi s.a.w. Jadi sifat-sifat Nabi tidak dianggap oleh mereka sebagai sunnah, melainkan sebagai hadis. Berbeda dengan pakar hadis yang menganggap sifat-sifat Nabi s.a.w. juga sebagai sunnah. Mengenai urgensi hadis dalam agama Islam, dapat dilihat dari tugas dan wewenang Nabi s.a.w., yaitu untuk menjelaskan al-Qur’an, memberikan teladan, Nabi s.a.w. wajib ditaati, dan menetapkan hukum. Lihat Jala>l al-Di>n ‘Abd alRah}ma>n ibn Abi> Bakr al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> fi> Sharh} Taqri>b al-Nawa>wi>,editor Abu> Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
113
Ahmad Ali MD
kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri> tersebut berkualitas s}ah}i>h}?5 Jika dikatakan ya, apa kriteria kesahihan hadis yang diterapkan al-Bukha>ri> dalam kitabnya tersebut? Tujuan artikel ini adalah untuk menunjukkan status hadis-hadis yang terdapat dalam S{ah}i>h al-Bukha>ri> dan untuk menunjukkan kriteria kesahihan hadis yang diterapkan al-Bukha>ri> dalam kitabnya tersebut. Untuk tujuan di atas, akan digunakan pendekatan kritik hadis (naqd al-hadis), di samping diperkuat dengan pendekatan filsafat, khususnya hermeneutika, yakni mengkaji datadata tekstual mengenai keterangan penulisnya sendiri, dalam hal ini al-Bukha>ri>, dan melalui para pengkajinya.6
114
Qutaybah Nad}i>r Muh}ammad al-Fa>ra>ya>bi> (Beirut: Maktabah al-Kawthar, 1415), h. 29, Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s (T.tp.: T.p., 2000), h. 14-15, al-Siba>‘i>, alSunnah wa-Maka>natuha> fi> Tashri>‘ al-Isla>mi>, h. 65, A‘z}ami>, H{adi>s Nabawi> dan Sejarah Kodifikasinya, h. 13-33, dan Ali Mustafa Yaqub, Kritik H{adi>s (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 32-37. 5 Kata s}ah}i>h} (hadis s}ah}i>h}) menurut istilah adalah: ”Ma> ittas}ala sanaduhu binaql al-‘adl al-d}a>bit} ‘an mithlihi ilá muntaha>hu min ghayr shudhu>dhin wa-la> ‘illah”, yakni Hadis yang sanadnya bersambung (dari awal sanad hingga akhir sanad) melalui (riwayat) ra>wi> yang adil (muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak buruk tingkah lakunya) lagi d}a>bit} (sempurna daya ingatnya, baik ingatan dalam benak maupun tulisan) dari ra>wi> yang semisal hingga akhir (sanad), tanpa ada shudhu>dh (tidak menyelisihi dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih thi>qah/terpercaya) ataupun ‘illah (cacat, yakni penyebab samar lagi tersembunyi yang bisa mencemari kesahihan hadis). Lihat Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s (T.tp.: T.p., 2000), h. 68. Sedangkan dalam mazhab Shi>‘ah s}ah}i>h} (hadis s}ah}i>h) diartikan sebagai hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma‘s}u>m dengan periwayatan orang yang adil dalam kelompok Ima>mi>yah dari orang yang semisalnya dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. ‘Abdulla>h al-Mamqani>, Miqba>s al-Hida>yah, dikutip dalam ‘Ali> Ah}mad al-Sa>lus, Ensiklopedi Sunnah Shi>‘ah: Studi Perbandingan H{adi>s & Fiqh, Judul Asli Ma‘a al-Shi>‘ah al-Ithna> ‘Ashari>yah fi> al-Us}u>l wa-al-Furu>‘ (Mawsu>‘ah Sha>milah): Dira>sah Muqa>ranah fi> al-Fiqh wa-al-H{adi>th, penerjemah Asmuni Solihin Zamakhsyari (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 137. 6 Hermeneutika, dalam versi hermeneutika kritis Hans-Geord Gadamer, sebagaimana dikemukakan oleh Akhyar Yusuf, bertumpu pada penafsiran. Dalam melakukan penafsiran, ia bertolak dari situasi kini dan di sini (konteks) dan tidak setuju mengenai asumsi dan cita-cita untuk ”kembali ke teks dan pengarang asli”. Singkatnya, dalam menafsirkan prasangka penafsir tidaklah mungkin dihilangkan atau dinafikan. Setiap upaya menafsirkan dan memahami tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Akan tetapi, pengakuan terhadap prasangka tidak boleh diikuti dengan ketertutupan dan penolakan terhadap aspek-aspek yang baru, yang mungkin timbul ketika proses pemahaman berlangsung. Bagi Gadamer menafsirkan adalah menemukan kejelasan dan bukan mengetengahkan ketidakjelasan, kecurigaan dan Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
Untuk itu, dalam kajian ini akan dibahas sekilas biografi Ima>m al-Bukha>ri>, sistematika penulisan kitabnya, dan kritik yang diarahkan terhadap kitabnya tersebut, kemudian diakhiri dengan penutup sebagai kesimpulan. Dengan demikian akan diperoleh gambaran yang lebih utuh tentang S{ah}i>h} al-Bukha>ri. B. S{ah}i>h} al-Bukha>ri: Penulisannya
Biografi
Penulis
dan
Sistematika
1. Biografi al-Bukha>ri> Untuk menunjukkan bagaimana S{ah}i>h} al-Bukha>ri disusun, menjadi penting dikemukan sekilas perihal biografi penulisnya, yaitu Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>. Ia dilahirkan di Bukha>rá� Asia Tengah (13 Shawwa>l 194 H./21 Juli 810 M.).7 Karyanya tercatat ada 22 (dua puluh dua), dan kitab al-S{ah}i>h} ini adalah karyanya yang paling terkenal.8 Judul lengkapnya, al-Ja>mi‘ al-Musnad al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lilla>h wa-Sunanih wa-Ayya>mih. Kitab al-S{ah}i>h}9 ini merupakan kitab hadis yang paling besar dalam mazhab kebohongan yang tersembunyi di dalam wacana. Untuk itu, menurutnya, dalam memahami teks, seseorang harus melakukan peleburan horizon (fusion of horizon) melalui dialog dengan menggunakan bahasa sebagai mediasi. Fusi horizon itu dicapai dengan dialog, dan membandingkan berbagai penafsiran sehingga dengan pertemuan horizon (horizon pembuat dan penafsir) dapat ditemukan suatu yang baru yang berbeda dengan sebelumnya. Singkatnya, hermenutika versi Gadamer bertujuan bukan untuk memproduksi makna si penulis/pembuat teks, akan tetapi menciptakan makna baru (memproduksi) dengan upaya dialog antara dua horizon atau dua nilai-nilai dan pandangan (teks dan penafsir) dengan peleburan dua horizon tersebut. Dengan demikian, analisis hermenutika kritis Gadamer yang bersifat filosofis tersebut atas proses pemahaman memberikan pendasaran filosofis dan implikasi bagi ilmu-ilmu humaniora. Akhyar Yusuf, ”Metode Hermeneutika dan Penerapannya pada Penelitian Ilmu Sosial-Budaya dan Agama”, Materi Kuliah Program Doktor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2012), h. 32-34. 7 tBiografi lengkap lihat al-H{a>fiz} Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (b), Hady al-Sa>ri> Muqaddimat Fath} al-Ba>ri> bi-Sharh} S{ah}i>h} al-Ima>m Abi> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri> , editor ‘Abd al-Qadi>r Shaybah al-H{amd (Beirut: Fahrasah Maktabah al-Malk al-Fahd al-Wat}ani>yah Athna>’ al-Nashr, 2001), h. 501-502. 8 M. M. Azami, Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi & Literatur Hadis, diterjemahkan dari Studies in H{adi>th Methodology and Literature, penerjemah Meth Kieraha (Jakarta: Lentera, 2003), h. 154-155, ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (b), Hady al-Sa>ri>, h. 516-517. 9 Muh}ammad ‘Aja>j al-Khat}ib, Us}u>l al-H{adi>s: ‘Ulu>muhu wa-Mus}t}alahuhu (T.Tp.: Da>r al-Fikr, 1971), h. 13. Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
115
Ahmad Ali MD
Sunni yang disebut sebagai al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h} (The Sound Collection).10 Kitab inipun telah diberi syarah (penjelasan) sampai 82 (delapan puluh dua) kitab, yang terkenal di antaranya: al-Tanqi>h} karya Badr alDi>n al-Zarka>shi> (794), ‘Umdat al-Qa>ri> karya al-‘Ayni> al-H{anafi> (855 H), al-Tawshi>h} karya Jala>l al-Suyu>t}i> (911), dan Fath} al-Ba>ri> karya Ibn H{ajar (852 H).11 Ia mengatakan telah mempelajari hadis (”the saying” of the Prophet Muh}ammad) pada umur 10 tahun, mempunyai daya ingat yang tajam dan kecerdasan. Pada usia 16 tahun, ia menunaikan ibadah haji, dan berkunjung ke Makkah dan Madi>nah untuk belajar hadis pada guru-guru di sana. Lalu ia pergi ke Mesir, dan menghabiskan hari-harinya pada usia 16-an tahun itu dengan berkeliling Asia untuk mencari hadis. Sekembalinya ke Bukha>rá� , ia mulai meneliti secara menyeluruh 600.000 hadis yang telah dikoleksinya. Untuk itu, ia pun mengharuskan dirinya menggunakan standar yang kokoh dalam membatasi keterpercayaan (kredibilitas, dan integritas) yang dapat tahan uji pada hadis yang diriwayatkannya, sehingga dari ratusan ribu hadis itu hanya dikoleksi sebanyak 7.398, dengan ada pengulangan (bi-al-mukarrar), dan sebanyak 2.602 saja tanpa pengulangan. Di antara seluruh hadisnya itu 110 (seratus sepuluh) buah hadis telah dikritik oleh para ahli hadis; 32 hadis di antaranya diriwayatkan pula oleh imam Muslim (204/206 H-25 Rajab 261 H), dan 78 hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> sendiri tanpa Muslim.12 Usaha yang sungguh luar biasa itu berhasil dikodifikasikan dalam S{ah}i>h alBukha>ri, yang pada abad ke-10 hampir telah diterima dan diakui oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai hadis S{ah}i>h, disandarkan pada Nabi s.a.w., dengan secara khusus didasarkan pada analisis rangkaian sanad (chains of transmission).13 al-Bukha>ri meninggal
Versi Kita>b S{ah}i>h} al-Bukha>ri> misalnya oleh Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, Matn al-Bukha>ri Mashku>l bi-H{a>shi>yat al-Sindi> (T.tp.: Maktabat alNas}ri>yah Mesir, t.t.). 11 al-Siba>‘i>, al-Sunnah wa-Maka>natuha> fi> Tashri>‘ al-Isla>mi>, h. 486. 12 al-Siba>‘i>, al-Sunnah wa-Maka>natuha> fi> Tashri>‘ al-Isla>mi>, h. 485. 13 Kita>b S{ah}i>h}nya ini kemudian menjadi kita>b resmi kedua setelah al-Qur’a>n dalam hal pentingnya sebagai sumber moral dan rujukan hukum. Edisi standar yang dipakai saat ini, menurut Asma Afsaruddin, telah dipersembahkan oleh ‘Ali> ibn Muh} ammad al-Yani>ni> (w. 1302). Sejumlah besar komentarnya ditulis juga pada kitab ini, dan kitab inipun telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Asma Afsaruddin, entri ”Bukha>ri>-al”, dalam Encyclopedia of Islam and the Muslim World, ed. in Chief Rishard C. 10
116
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
dunia di Bukha>rá� (tepatnya di Khartanak) pada tanggal 30 Ra-mad}a>n 256 H./31 Agustus 870 M. dalam usia 60 tahun.14
2. Sistematika Penulisan Kita>b S{ah}i>h al-Bukha>ri Sistematika penulisan kita>b S{ah}i>h al-Bukha>ri adalah dengan memperluas ruang lingkup perawinya dan mengeluarkan hadishadis sunnah menurut bab-bab dalam musnad s}ah}i>h}nya, dengan cara memadukan antara metode-metode H{ija>z, Irak, dan Sham.15 Yakni, hadis-hadis yang ditulis di dalam setiap bab diulang-ulang menurut pengertian itu di dalam bab yang lain. Oleh karena itulah hadis-hadis itu acapkali disebut di dalam berbagai bab berdasarkan perbedaan muatan yang dikandung oleh hadis tersebut. Dengan begitu, menurut hitungan Ibn Khaldu>n, kitabnya terdiri dari 7.200 hadis, yang 3.000 di antaranya disebut berulang-ulang. Al-Bukha>ri menggunakan metode-metode dan isna>d-isna>d nya secara berbeda-beda di dalam setiap bab.16 Kitabnya juga disusun dalam bentuk sistematika fiqh17 (mengikuti metode ahli H{ija>z), yakni di dalamnya ditulis dasar-dasar hukum dari hadis-hadis sahih yang disepakati otentitasnya, yang disistematisasikan ke dalam bab-bab fiqh.18 Sistematika peringkasan demikian dipilih oleh al-Bukha>ri, sebagaimana dikemukakan oleh Shaykh Muh}y al-Di>n, tujuannya
Martin (USA: MacMillan Reference, 2004), V.1, A-L,. h. 114, dan Abd. Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid I. Dalam versi Ensiklopedi ini, hadis yang termuat dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri> berjumlah 9.082, dan jika dihitung tanpa pemuatan ulangan, hadisnya hanya berjumlah 2.602 buah. al-Bukha>ri> termasuk dalam kelompok al-a’immah al-mujtahidi>n dalam bidang fiqh dan istinba>t} hukum dari sunnah, dan athar. Ia berkata, ”Aku tak mengetahui sesuatu pun yang diperlukan --jadi rujukan--kecuali ia telah ada dalam al-Kita>b dan al-Sunnah.” Lihat Muh}ammad Abu> Zahu>, al-H{adi>s wa al-Muh}addithu>n wa-‘Ina>yat al-Ummah al-Isla>mi>yah bi-al-Sunnah aw-al-Nabawi>yah (T.t.p.: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.t), h. 353-356. 14 al-Khat}ib, Us}u>l al-H{adi>s, 311, Afsaruddin, entri ”Bukha>ri>-al”, dalam Encyclopedia of Islam, h. 114, dan Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, h. 227. 15 Metode H{ija>z adalah metode yang lebih menekankan ‘ada>lah sebagai syarat naql dan menolak penerimaan berita yang tidak diketahui hal-ikhwalnya. Ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n (Kairo: Da>r ibn Haytham, 2005), h. 360. 16 ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n: wa-Hiya Muqaddimat Kita>b al-‘Iba>r wa-Di>wa>n al-Mubtada’ wa-al-Khabar fi> Ayya>m al-‘Arab waal-‘Ajami wa-al-Barbar wa-Man ‘A<s}arahum min Dhawi al-Sult}a>n al-Akbar (Kairo: Da>r ibn Haytham, 2005), h. 360. 17 Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, h. 227. 18 Ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n, h. 360. Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
117
Ahmad Ali MD
adalah bukan semata-mata untuk meringkas (al-iqtis}a>r)19 hadishadis namun juga dimaksudkan untuk menarik hukum (al-istinba>t}) dari bab-bab yang dimuat dalam kitab tersebut. Oleh karena itu berdasarkan maksud inilah, al-Bukha>ri seringkali:20 a. Melepaskan isna>d hadis dari bab-bab di dalamnya, cukup diringkas dengan katakata: ”Fi>hi fula>n ‘an-al-Nabi>y s}allá Alla>h ‘alayh wa-sallam” (di dalamnya seorang fulan dari Nabi s..a.w.; b. Hanya menyebutkan matnnya tanpa isna>dnya; c. Membentuk hadisnya secara mu‘allaq.21 Ini dilakukan untuk membuat h}ujjah bagi masalah yang disebutkan riwayat hidup perawinya (ara>da al-ih}tija>j li al-mas’alah al-lati> tarajjama laha>), juga hadis itu disampaikan secara implisit karena telah maklum (waasha>ra ila> al-hadisli-kawnih ma‘lu>man); d. Menyebutkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya; e. Menempatkan suatu hadis dekat dengan hadis yang telah disebutkan sebelumnya, dan pola demikian terdapat di banyak hadis di dalam bab-bab kitabnya, namun dalam sebagian bab yang lain hanya ada satu hadis saja, dan di sebagian bab lain lagi ada satu ayat Kita>bulla>h, namun di sebagian bab lainnya tak ada satupun ayat yang disebutkan. Di antara ulama ada yang meyakini bahwa al-Bukha>ri sengaja membuat pola demikian, yang maksudkan untuk menjelaskan bahwa menurutnya tidak ada hadis yang tetap dengan syarat-syaratnya sesuai dengan pengertian yang diterjemah/ dituliskannya tersebut. Pengertian meringkas dalam arti memilih hadis-hadis tertentu dilakukan para ‘ulama’ hadis. Dikatakan oleh Khaled Abou El Fadl, bahwa para ahli hadis, baik al-Bukha>ri>, Muslim, atau yang lainnya, akhirnya kembali memilih dari sekian banyak hadis, menghimpun hadis-hadis pilihan dan membukukannya di dalam kitab-kitab hadis. Proses seleksi dan dokumentasi ini mencerminkan konteks dan keputusan normatif subjektif masing-masing ulama tentang tradisi Islam. Menurutnya, yang penting adalah bahwa proses yang sama kembali berulang ketika beberapa hadis, bukan hadis lainnya, memasuki dinamika budaya hukum yang kreatif dan fleksibel. Beberapa hadis berhasil mengembangkan sebuah komunitas penafsir yang loyal sementara hadis lainnya tidak, dan hadis-hadisyang berbeda menduduki posisi yang sangat penting dalam madhhab tertentu. Lihat contohnya dalam Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld Publications, 2001), h. 105-106. 20 al-H{a>fiz} Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (a), Hady al-Sa>ri> Muqaddimat Fath} al-Ba>ri> bi-Sharh} S{ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), h. 8. 21 H{adi>s mu‘allaq ialah hadis yang pada bagian awal sanadnya dibuang perawinya, baik seorang perawi ataupun lebih secara berturut-turut. al-T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 68. 19
118
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
C. Status Hadis Bukha>ri
dan Kriteria Validitasnya dalam S{ah}i>h} al-
1. Status Hadis Menurut pendapat M. M. A‘z}ami>, bahwa Ima>m al-Bukha>ri dalam menyusun kitabnya telah menyeleksi dari hadis-hadiss yang jumlahnya banyak. Namun ia tidak mengatakan --dan tidak akan mengatakan-- bahwa hadis-hadis yang tidak dimasukkan dalam kitabnya itu tidak s}ah}i>h}, apalagi palsu, seperti yang dituduhkan oleh Alfred Guillaume, Maurice Bucaille,22 Haykal, dan Ah}mad Ami>n.23 Ia juga tidak menegaskan bahwa kitabnya itu mencakup seluruh hadishadis s}ah}i>h}.24 Tetapi sebaliknya, sebagaimana dikutip Ibra>him ibn Ma‘qi>l al-Nasafi>, al-Bukha>ri> berkata: ”Dalam kitabku ini aku hanya menulis hadis-hadis yang s}ah}i>h saja. Namun ada juga hadis-hadis shahih lain yang tidak kumasukkan ke dalam kitab ini. Itu agar kitab ini tidak terlalu panjang.” al-‘Isma>’il juga mensitir bahwa al-Bukha>ri> berkata, ”Hadis-hadis s}ah}i>h yang tidak kumasukkan dalam kitabku ini jumlahnya lebih banyak”. Jadi diakui bahwa telah tetap validitas (s}ih}h}ah) hadis dalam kitab al-Bukha>ri>, dan bahwa tidak berlaku di dalamnya selain hadis yang s}ah}i>h. Pandangan demikian sebagamana dikemukakan oleh Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, ketika memberikan penjelasan sebagai pengantar bagi S}ah}i>h al-Bukha>ri>, sebagai berikut:25 Pertama, karena itulah tujuan penulisan kitab ini, yang dapat kita pahami dari penamaan al-Bukha>ri> terhadap kitabnya sebagai: al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h} al-Musnad min H{adi>th Rasu>lilla>h s}allá� Alla>h ‘alayh wa-sallam wa-Sunanih wa-Ayya>mih
Dalam buku Bible, Qur’an dan Sains Modern, Bucaille menyimpulkan bahwa beberapa hadis yang terdapat dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri> ternyata tidaklah otentik, karena bertentangan dengan sains. Misalnya hadis tentang ”lalat masuk ke dalam minuman”, demam berasal dari neraka”, dan ”perkembangan embrio.” Dikutip dari Ali Mustafa Yakub, Ima>m Bukha>ri> & Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 36. 23 Ilmuan muslim, penulis buku Fajr al-Isla>m dan Dhuh}a> al-Isla>m. Lihat dalam Yakub, Ima>m Bukha>ri>, h. 33-34. 24 M.M. A‘z}ami>, H{adi>s Nabawi> dan Sejarah Kodifikasinya ”Dira>sa>t fi> al-H{adi>s al-Nabawi> wa-Tari>kh Tadwi>nih”, judul aslinya Studies in Early Hadis Literature), dialihbahasakan oleh Ali Mustafa Yaqub, Cet. ke-2 (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2005), h. 647. 25 Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (a), Hady al-Sa>ri> Muqaddimat Fath} al-Ba>ri>, h. 8. 22
Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
119
Ahmad Ali MD
(Koleksi hadis s}ah}i>h} yang disandarkan pada sabda Rasu>l Alla>h s.a.w., tradisi-tradisi/af‘a>l dan kehidupan sehari-harinya, -termasuk taqri>rnya.” Kedua, adanya beberapa riwayat para Imam dari al-Bukha>ri> dalam bentuk yang s}ari>h}. Ketiga, juga karena al-Bukha>ri> sendiri berpendapat bahwa kitabnya itu tidak lepas dari pelbagai tema-tema fiqh (al-fawa>’id al-fiqhi>yah) dan nokta hukum (al-nukat al- h}ukmi>yah). Dengan memahami kitab ini dari berbagai matnnya dapat dikeluarkan atau ditarik bermacam-macam hukum, yang dipisahkan dalam pola bab-bab kitab yang terkait dengan makna-makna hukum itu. Di samping pula, terdapat banyak ayat-ayat hukum yang darinya dapat diambil berbagai petunjuk-petunjuk yang amat berguna (al-dala>’il albadi>‘ah).26 2. Kriteria H{adi>s S{ah}i>h} Versi al-Bukha>ri> Menurut Ajaj al-Kha>t}ib, Ima>m al-Bukha>ri tidak menyebutkan secara tegas syarat yang ia terapkan dalam mentakhri>j hadis-hadis dalam kitabnya ini. Akan tetapi, ulama menggalinya dari metode yang ia tempuh. Orang yang menelitinya dengan cermat akan menemukan bahwa ia memilih ra>wi-ra>wi yang telah adil, d}a>bit} dan teguh.27 Dalam hal ini, al-H{a>fiz} Abu> al-Fad} ibn T{a>hir, sebagaimana dikemukakan oleh al-Kha>t}ib, mengatakan, bahwa: ”al-Bukha>ri> mensyaratkan kesahihan hadis} nya dengan men-takhri>jkan hadis yang disepakati ke-thiqah-an penukilannya kepada sahabat (s}ah}abi>>) yang masyhur tanpa adanya perbedaan antara berbagai kethiqah-an yang ditetapkan, dan isnadnya bersambung (muttas}il), tidak terputus (qhayra maqt}u>‘); jika sahabat itu mempunyai dua ra>wi atau lebih maka hadis itu h}asan (”baik”) dan jika hanya ada satu ra>wi dan valid jalan/sanad yang sampai padanya, maka sudah cukup.”28
Di samping membaca syarat dan metode kesahihan hadis versi al-Bukha>ri>, ulama juga menggali kesahihan hadis nya itu dari nama kitabnya (sebagaimana telah disebutkan di atas). Dari terma alJa>mi‘ berarti ia menghimpun hukum-hukum, keutamaan, berita-berita tentang hal-hal yang telah dan akan terjadi, adab, inividu-individu, dan sebagainya. Dari terma al-S{ah}i>h}, berarti ia menghindari hadishadis d}a‘i>f . Dari terma al-Musnad, berarti maksud utamanya adalah IIbid>, h. 8. al-Khat}ib, Us}u>l al-H{adi>s, h. 316-317. 28 Ibid, Us}u>l al-H{adi>s, h. 9. 26 27
120
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
men-takhri>j hadis-hadis yang muttas}il sanadnya dengan sahabat kepada Nabi/Rasul Allah s.a.w., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqri>r beliau. Bahwa yang selain itu, ia jadikan sebagai pendukung dan pembanding, bukan tujuan pokok.29 Demikian juga terhadap persyaratan sezaman (mu‘a>s}arah) antara perawi dengan gurunya untuk mencapai kualitas hadis s} ah}i>h}, disyaratkan pula oleh al-Bukha>ri> adanya perjumpaan antara keduanya, meski hanya sekali. Dari sinilah ulama mengatakan, bahwa al-Bukha>ri mempunyai dua syarat, yaitu syarat mu‘a>s}arah dan syarat liqa>’ (bertemunya ra>wi dengan gurunya), meskipun satu kali saja; sementara imam Muslim hanya menggunakan syarat mu‘a>s}arahsaja.30 Syarat liqa>’ itu merupakan penambahan keketatan persyaratan yang ditetapkan al-Bukha>ri. Ia hanya merasa lega terhadap khabar yang perawinya menjelaskan secara tegas, bahwa ia mendengar dari gurunya atau ada berita yang positif mengenai pertemuannya dengan guru tersebut bila ia mengatakan ”‘an fula>n” (dari seseorang). Karena ”‘an” tidak mengindikasikan sima>‘ (mendengarkan langsung) menurut beliau.31 Sedangkan yang diakui oleh Abu> ‘Abdilla>h al-H{a>kim, untuk syarat al-Bukha>ri dan Muslim (hadis mutaffaq ‘alayh) adalah: sahabat yang meriwayatkan hadis itu mempunyai dua ra>wi atau lebih, kemudian ta>bi‘i>n yang masyhur juga mempunyai 2 (dua) ra>wi yang thiqah hingga sampai akhir kalamnya. Al-H{a>fiz} Abu> Bakr al-H{a>zimi berkata: ”Syarat --hadis-- s}ah}i>h} adalah isna>dnya muttas}il, para perawinya orang muslim, terpercaya, bukan orang pembuat-buat/pelaku penipuan (qhayra mudallis) dan menyampuradukkan (qhayra mukht} alit}), memiliki sifat-sifat adil (muttas}ifan bi-s}ifa>t al-‘ada>lah), kuat ingatannya (d}a>bit}), memelihara diri (mutah}affiz}z}an), sehat nalarnya (sali>m al-dhihn), sedikit kebimbangan/keraguannya (qali>l al-wahm), serta keyakinannya benar (sali>m al-i‘tiqa>d).”
Lanjutnya, secara singkat kita tetapkan bahwa cakupan hadis
Ibid, h. 316. Hal itu bukan berarti merendahkan kualitas syarat Muslim, karena perawi thiqah tidak akan meriwayatkan dari guru, kecuali yang betul-betul didengarnya dari guru itu, sebagaimana ia tidak akan meriwayatkan yang tidak didengarnya. al-Khat}ib, Us}u>l al-H{adi>s, h. 316. 31 al-Khat}ib, Us}u>l al-H{adi>s, h. 316. 29 30
Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
121
Ahmad Ali MD
s}ah}i>h} adalah pada ittis}a>l (bersambung sanadnya), thiqah perawinya (s}iqat al-rija>l) dan tak adanya ‘illah (‘adam al-‘ilal) dalam matnnya.32 Jika dicermati, menurut al-H{a>zimi>, tampak bahwa kitab al-Bukha>ri adalah kitab paling s}iqat al-rija>l-nya dan paling kuat ke-muttas}il-an sanadnya. D. Kritik terhadap S{ah}i>h} al-Bukha>ri>
Kritik terhadap S{ah}i>h} al-Bukha>ri muncul dari kalangan intelektual internal dan eksternal umat Islam. Kritik dari kalangan internal, misalnya dikemukakan oleh Ibn Khaldu>n. Menurut Ibn Khaldu>n, di dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri ditajri>d (diverifikasi) hadis-hadis yang tidak s{ah}i>h}, sehingga dinilai belum memenuhi syarat s{ah}i>h}. Hal itu banyak terdapat dalam tarjamah (biografi para perawi). Karena itu, dalam pandangannya, kedudukan S{ah}i>h} al-Bukha>ri berada di bawah s{ah}i>h} Muslim.33 Kritik dari kalangan eksternal terutama dilakukan oleh para orientalis, seperti Goldziher, Joseph Schacht, dan Wensinck. Goldziher merupakan tokoh yang menganjurkan skeptisisme terhadap otentisitas hadis. Menurut Herbert Berg, beberapa keraguan (skeptisisme) mengenai otentisitas hadis telah muncul sebelum Goldziher, orang pertama yang secara jelas mengartikulasikan skeptisismenya itu dalam bukunya Muhammedanische Studies pada jilid ke-2. Kedekatan atau ketelitian Goldziher dalam mengkaji sejumlah besar hadis yang terdapat dalam koleksi hadis justeru lebih mendatangkan ”ingatan skeptis daripada kepercayaan optimistis” (sceptical caution rather than optimistic trust). Goldziher berkesimpulan bahwa hadis-hadis ini (hadis-hadis yang lebih mendatangkan ingatan skeptis) tidaklah terawat sebagai dokumen sejarah invansi (dakwah) Islam. Namun, hadis-hadis itu sekadar lebih diterima sebagai refleksi tendensius yang muncul di dalam masyarakat selama tahapan-tahapan yang lebih sempurna bagi pengembangan hadis-hadis. Keraguan Goldziher terhadap otentisitas hadis bermula dari observasinya terhadap matn yang terdapat dalam koleksi-koleksi hadis Matan (al-matn) menurut bahasa berarti keras, kuat, sesuatu yang nampak dan yang asli. Menurut istilah matan ialah: ma> yantahi> ilayhi al-sanadu min al-kala>m, yakni sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad. Dalam definisi lain, sanad ialah: alfa>z} al-hadis al-lati> taqu>mu biha> ma‘a>ni>hi, yakni beberapa lafal hadis yang membentuk beberapa makna. Khon, Ulumul Hadis, h. 103. 33 Ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n, h. 361. 32
122
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
yang muncul belakangan, yang menunjukkan ketiadaan referensireferensi (koleksi-koleksi) hadis yang ditulis pada masa-masa awal Islam, dan menunjukkan penggunaan term dalam isnad yang memakai transmisi oral (lisan), bukan sumber-sumber tulisan. Bahkan hadis kontradiktif terdapat banyak tempat, perkembangan hadis yang muncul dalam koleksi-koleksi hadis yang belakangan bukanlah bukti bagi koleksi-koleksi hadis yang telah muncul pada masa awal, dan faktanya bahwa para sahabat muda Nabi lebih banyak mengetahui Nabi (yakni, mereka lebih banyak mentransmisikan atau meriwayatkan hadis) daripada para sahabat tua yang tampak mengetahui Nabi dalam masa yang cukup lama, mendukung pandangan Goldziher bahwa pemalsuan hadis muncul dalam skala yang besar. Sebagai kesimpulan, Goldziher memberikan versi yang sangat berbeda mengenai sumber dan perkembangan literatur hadis.34 Menurutnya, terdapat rekayasa dan penyisipan dalam hadis, bahkan telah berlangsung sejak masa awal, baik karena alasan-alasan politik maupun alasan-alasan kekhawatiran. Hadis-hadis secara ekslusif telah dipalsukan secara besar-besaran; ”hal itu tidaklah mengejutkan karena, di antara isu-isu Islam yang kontroversial tetap menjadi perdebatan hangat; apakah politik atau doktrin, tidak ada satu pun dari para sahabat dari berbagai pandangan yang tidak dapat menyebutkan sejumlah tradisi, yang seluruhnya dilengkapi dengan penggunaan sanad. Goldziher menyebutkan bahwa ketika keterpercayaan terhadap Sunnah diarahkan untuk mementingkan tujuan meraih kekuasaan, pada masa awal-awal Islam pun terdapat hadis yang tidak sesuai dengan sabda Muh}ammad sendiri. Para sarjana berusaha untuk menghilangkan gap antara alQur’an dan Sunnah dengan menggunakan hadis yang diperoleh dari sumber-sumber lain. Sayangnya, terdapat berbagai reaksi terhadap pemalsuan hadis yang tersebar sangat luas. Goldziher menemukan
Bagi Goldziher tidak ada masalah dalam pengakuannya bahwa para sahabah memelihara sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan Nabi pasca wafatnya beliau, dan hadis Nabi itu disampaikan dalam bentuk tulisan dalam lembaran-lembaran (s}ah} i>fah). Dalam cara ini Goldziher masih dekat dengan interpretasi Muslim terhadap perkembangan literatur hadis. Dia tidak hanya menganggap bahwa para s}ah}a>bah berusaha untuk menjaga sabda-sabda dan persetujuan-persetujuan Nabi, akan tetapi juga beberapa di antaranya (hadis yang dihafal para s}ah}a>bah itu) serupa dengan hadis yang terdapat dalam bentuk tulisan (yakni, s}ah}ifah-s}ah}ifah; s}ah}a>’if). Ketika para s}ah} a>bah meriwayatkan apa yang mereka dengar dan mereka kisahkan kepada generasi Muslim berikutnya, mulailah terjadi pemakaian sanad. 34
Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
123
Ahmad Ali MD
beberapa reaksi terhadap fenomena pemalsuan ini. Kritik Goldziher di antaranya berkenaan dengan kritiknya terhadap hadis”pergi ke tiga masjid”. Hadis ini terdapat dalam berbagai koleksi kitab-kitab hadis ternama, seperti S{ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S{ah}i>h Muslim. Ia menuduh hadis ini palsu, karena dibuat oleh al-Zuhri, yang dia anggap sebagai satu-satunya perawinya, padahal ia bukanlah satusatunya perawi hadis di atas. Artinya, ketika Goldziher mengatakan hadis al-Zuhri palsu, konsekuensinya bisa merambah pada hadis alZuhri yang terdapat dalam S{ah}i>h al-Bukha>ri>. Kata Goldziher dalam Muhammedanische Studien--seperti dikutip A‘z}ami>,-- ”Abd al-Ma>lik ibn Marwa>n merasa khawatir apabila orang-orang Sha>m yang pergi h}ajji (haji) ke Makkah itu melakukan bay‘ah kepada ‘Abd Alla>h ibn alZubayr. Karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubbat al-Sakhra> di Qudus (Jerussalem) sebagai ganti dari pergi haji ke Makkah. Ia juga mengeluarkan keputusan bahwa t}awa>f (berkeliling) di sekitar al-Sakhra> tadi sama nilainya dengan t}awa>f di sekitar Ka‘bah. Untuk tujuan politis ini, ia mempercayakan ahli hadis al-Zuhri untuk membuat hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi s.a.w., dan mengedarkannya ke dalam masyarakat, sehingga kemudian dapat dipahami bahwa ada tiga masjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji (h}ajj), yaitu masjid di Makkah, masjid di Madinah, dan masjid di Qudus.”35 Kritik Goldziher ini dibantah oleh al-A‘z}ami>, di antara bantahannya adalah bahwa al-Zuhri sendiri bukanlah satu-satunya perawi hadis tersebut. Ada ra>wi> lain yang dapat dipercaya, yang meriwayatkan hadis di atas, antara lain:36 ‘Abd Ma>lik ibn ‘Umayr, ia meriwayatkan hadis ini dari Qaz‘ah dari Abu> Sa‘i>d al-Khudhri> (seperti terdapat dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, kita>b al-S{awm). Data lain, al-Zuhri meriwayatkan hadis itu dari Sa‘i>d dari Abu> Hurayrah (seperti dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Fad}l al-S{ala>h). Fakta lain yang membantah teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri, sebagaimana terdapat dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Dalam hadis itu tidak ada satu petunjuk pun yang mengisyaratkan bahwa ibadah haji itu dapat dilakukan di al-Quds. Petunjuk yang ada hanyalah mengenai ”keistimewaan” yang diberikan kepada Masjid al-Aqs}á�. Hal ini wajar, karena masjid itu pernah menjadi A‘z}ami>, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 608. A‘z}ami> menyebutkan 19 data perawi-perawi lainnya. Lihat A‘z}ami>, H{adi>s Nabawi> dan Sejarah Kodifikasinya, h. 611-613. 35 36
124
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
kiblat pertama umat Islam. Goldziher tampak hanya menuduh al-Zuhri saja sebagai pemalsu hadis itu, padahal hadis itu diriwayatkan pula oleh 18 pe-ra>wi selain al-Zuhri (beruntung mereka oleh Goldziher tidak dituduh sebagai pemalsu hadis).37 Adapun Schacht, sarjana generasi berikutnya yang sangat mengusung tradisi skeptisisme Goldziher, menulis buku yang terkenal The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Sumber-sumber Jurisprudensi Muhammad).38 Dalam buku ini, concern utama Schacht adalah sumber hukum Islam, shari‘ah, khususnya peran al-Sha>fi‘i> dalam mengembangkannya. Tokoh tradisionis dan teoritis legal ini dipandang bertanggungjawab dalam memperjuangkan Sunnah. Dalam hal ini, Schacht mendiskusikan proses pembentukan materi hadis (dan di sisi lain otentisitas dan kronologinya). Menurutnya, hadis, khususnya yang berasal dari Nabi Muhammad, tidaklah membentuk, bersamasama al-Qur’an, dasar-dasar asli bagi hukum Islam dan jurisprudensi sebagaimana yang diasumsikan secara tradisional. Karena, hadis yang merupakan inovasi mulai ada setelah pembentukan beberapa fondasi legal. Mazhab-mazhab hukum klasik membicarakan konsep sunnah atau ”tradisi yang hidup” sebagai praktik ideal dari suatu masyarakat, yang ditampilkan dalam doktrin yang diakui dalam mazhab. Praktik ideal ini telah terbentuk dalam beragam bentuknya, namun tidak terbatas pada hadis-hadis Nabi. Al-Sha>fi‘i> berpendapat bahwa meskipun hadis itu tunggal (ah}ad), terbatas pada hadis yang kembali pada Nabi s.a.w. saja, sanadnya dianggap tidaklah z}anni> (tetapi qat}‘i>; pasti/meyakinkan--pen.) sehingga menjadi rujukan di atas pendapatpendapat dan argumen-argumen yang berasal dari beberapa sahabat, bahkan seluruhnya, termasuk para khalifah dan otoritas-otoritas berikutnya. Josep Schacht, sebagaimana dipaparkan oleh A‘z}ami>, menuduh bahwa banyak terdapat hadis-hadis palsu yang ditulis pada masa antara Ma>lik dan penulis-penulis klasik (para penulis al-Kutub al-Sittah). Kata Schacht, ”Dalam meriwayatkan hadis, Ma>lik telah menambah penafsiran yang berasal dari dirinya sendiri, yaitu dalam kata-kata Lihat pula Yakub, Imam Bukha>ri>, h. 35-36. Edisi pertama buku ini terbit tahun 1950. Penulis menggunakan terbitan ke-4 tahun 1959. Joseph Schacht, The Origins of Muh}ammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1959). Di Barat, buku ini, di samping buku Goldziher, Muslim Studies, menjadi fondasi bagi studi-studi hadis yang lain. 37 38
Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
125
Ahmad Ali MD
”bay‘” (jual-beli), ”mula>masah” (menjual dengan cara sentuhan), dan ”muna>badhah” (menjual dengan cara lemparan)…. Tetapi penafsiran itu lalu menjadi bagian dari hadis yang diriwayatkan oleh Ima>m alBukha>ri> dan Muslim.”39 Kritik Schacht ini dibantah oleh al-A‘z}ami>, bahwa sebenarnya Schacht mengetahui sekali bahwa ahli-ahli hadis telah waspada terhadap ”kekeliruan” sejenis ini. Dalam ilmu hadis, ada istilah yang disebut ”mudraj”, di mana ahli-ahli hadis meneliti hal-hal yang ada kaitannya dengan yang disebutkan oleh Schacht. Adapun hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> menunjukkan bahwa riwayat hadisyang berasal dari imam Ma>lik itu sebenarnya s}ah}i>h} (otentik) tanpa menyebutkan penafsiran Ma>lik sendiri. Memang ada riwayat lain yang mirip dengan ucapan Ma>lik, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh ‘Uqayl dari Ibn Shiha>b dari ‘Amir ibn Sa‘ad dari Abu> Sa‘i>d al-Khudhri>. Lanjut A‘z}ami>, para ulama komentator (sha>rih}) hadis tersebut juga meneliti masalah ini. Mereka mengumpulkan semua bahan (materi) yang ada kaitannya dengan masalah tersebut. Ada yang berpendapat bahwa penafsiran itu berasal dari Ibn ‘Uyaynah, sedangkan Ibn H{ajar berpendapat bahwa penafsiran itu berasal dari Abu> Sa‘i>d al-Khudhri>. Ada kemungkinan Ibn ‘Uyaynah menukil penafsiran itu dari Abu> Sa‘i>d al-Khudhri tanpa menyebutkan sumbernya. Oleh karena itu, tuduhan Schacht di atas tidaklah benar, sebab penafsiran yang terdapat dalam kita>b S{ah}i>h} al-Bukha>ri> dan Muslim itu bukan merupakan bagian dari hadis Ma>lik.40 Kemudian kritik yang dilontarkan oleh Ah}mad Ami>n terhadap S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Dia katakan: ”Kita lihat sendiri sampai dengan imam al-Bukha>ri> meskipun tinggi reputasi ilmiahnya dan cermat penelitiannya, tetapi ia menetapkan hadis-hadis yang tidak s}ah}i>h} ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiah, karena penelitiannya hanya terbatas pada kritik sanad saja.”41
Amin menyebutkan contoh hadis di mana Rasul Allah s.a.w. bersabda: ”Seratus tahun lagi tidak ada orang yang masih hidup di atas bumi h. 605.
126
Lihat kutipannya dalam A‘z}ami>, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
39
A‘z}ami>, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 605. Ah}mad Ami>n, Fajr al-Isla>m (Singapura: Sulayman Mar’i, 1965), h. 217-218.
40 41
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
ini”, dan sabda beliau: ”Barangsiapa yang makan tujuh biji buah kurma ujwah tiap hari, maka ia akan selamat dari racun maupun sihir pada hari itu sampai malam”.42
Kritik Amin di atas dicounter oleh Ali Mustafa Yaqub, seorang pakar hadis pribumi. Yakub menilai bahwa Amin telah salah dalam memahami maksud hadis tersebut, sebab yang dimaksud oleh hadis itu bukan berarti sesudah seratus tahun sejak Nabi mengucapkan hal itu tidak ada lagi orang yang hidup di dunia ini, melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang pada saat itu masih hidup, seratus tahun kemudian mereka sudah meninggal dunia. Demikianlah faktanya. Oleh karena itu, hadis tersebut dinilai termasuk mu‘jizat Nabi. Sedangkan dalam hadis kedua berkaitan dengan masalah sains.43 Terhadap kritik para muta‘annit44 al-H{a>fiz} Abu> al-Fad}l Muhammad ibn T{a>hir al-Muqaddasi> memberikan tanggapan: ”Ketahuilah bahwa al-Bukha>ri> menyebutkan hadis dalam kitabnya dalam berbagai tempat, menunjukkan hadis itu dalam setiap bab dengan sanad lain yang dari hadis ini dikeluarkan (istinba>t}) dengan cara yang baik, pengetahuan fiqh, pengertian yang dikehendaki oleh bab-bab --yang ditempatkan-- itu. Sedikit sekali yang ia tempatkan hadis--pada tempat-tempatnya-- dengan sanadnya satu dan satu lafaz} saja.”
Dalam pandangan Ibn H{ajar, S{ah}i>h} al-Bukha>ri> itu diformat oleh al-Bukha>ri> dengan jalan lain untuk tujuan (makna) yang lain pula sebagai berikut:45 1. Mengeluarkan hadis dari sahabat Nabi (s}ah}abi>) lalu menempatkan
Ibid, h. 217-218. Yakub, Ima>m al-Bukha>ri, 39. Yakni, diperlukan pembuktian sains melalui penelitian mengenai manfaat (khasiat) kurma ujwah. Kurma adalah sejenis tumbuhan palem (palma) atau dalam bahasa latinnya lebih dikenal dengan phonex dactylifer, yang biasa tumbuh di daerah Arab, yang buahnya boleh dimakan, baik dalam keadaan masak maupun masih mentah. Berdasarkan penelitian para ilmuwan, kandungan kurma kaya dengan protein, serat gula, vitamin A, C, dan mineral, seperti zat besi, kalsium, sodium dan potasium. Kandungan proteinnya mencapai 1.8-2.0 %, serat 2.04.0 %, dan gula sebesar 50-70 % glukosa. Dengan kandungan gula seperti itu, kurma dapat menjadi suplemen tenaga bagi orang yang berbuka puasa, sehingga merasa 42 43
segar dan bertenaga untuk beribadah tanpa rasa letih ataupun mengantuk.
Al-Muta‘annit, adalah orang yang mengkritik model atau format kita>b S{ah} i>h} al-Bukha>ri>. 45 Ibn H{ajar, Hady al-Sa>ri>, h. 16. 44
Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
127
Ahmad Ali MD
hadis dari s}ah}abi> lain. Maksudnya, mengeluarkan hadis dari batasan keganjilan (ghara>bah). Hal ini diterapkan pada kelompok tingkat II dan III, dst. sampai guru-gurunya, sehingga orang yang tidak ahli mengenai proses pembentukan hadis akan mengira hal itu sebagai pengulangan (tikra>r), padahal tidak, sebab ini memuat maksud baik lainnya (fa>’idah za>’idah). 2. Dengan kaidah ini, al-Bukha>ri> mensahihkan hadis-hadisnya, di mana setiap hadis itu memuat makna-makna yang berubah-ubah (berbeda) dan diletakkan dalam setiap bab dengan pola selain pola pertama. 3. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sebagian ra>wi secara sempurna (ta>mmah), namun diriwayatkan oleh sebagiannya secara ringkas (mukhtas}arah), lalu ditempatkan oleh al-Bukha>ri> sebagaimana adanya dimaksudkan untuk menghilangkan kesamaran dari para transmiser hadis-hadis itu (li-yuzi>l al-shubhah ‘an na>qili>ha>). 4. Terkadang ibarat-ibarat (ungkapan teks hadis) para perawi berbeda-beda: satu ra>wi menceritakan hadis dengan kalimat yang bisa memuat makna lain (tah}ammul ma‘nan); maksudnya menceritakan hadis secara maknawi (bi-al-ma‘na>)--pen., sedangkan perawi yang lainnya meriwayatkan teks hadis itu secara apa adanya, letterlijk (bi-‘ayniha>) dengan ungkapan teks yang lain serta memuat makna yang lain pula, dalam hal ini alBukha>ri> menempatkan hadis itu menurut jalan/pola-polanya. Cara demikian absah sesuai dengan kriteria kesahihahan hadis menurutnya, dan ia tempatkan setiap lafaz}-lafaz} yang berbeda redaksinya secara terpisah pada bab tersendiri. 5. Terdapat hadis-hadis yang saling bertentangan, antara yang bersambung sanadnya (al-was}al) dengan yang terputus (irsa>l),46 dalam pandangan al-Bukha>ri> lebih ra>jih} (unggul) yang was}al sanadnya; dalam hal ini yang was}al dia pegang, dan yang irsa>l juga dia tulis untuk mengingatkan (munabbihan) bahwa yang irsa>l itu tidak berpengaruh terhadap yang was}al itu. 6. Ada hadis-hadis yang bertentangan antara yang terhenti (al-waqf) dan yang rafa‘47 dan demikian pula hukum (kandungan)nya.
Inilah bukti bahwa dalam kita>b S{ah}i>h} al-Bukha>ri> ternyata tidak semua hadisnya berkategori muttas}il. 47 Idiom waqf (mauqu>f ) adalah bemakna dasar ”terhentikan” memberi 46
128
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
7. Terdapat hadis-hadis yang di dalamnya ada perawi yang menambahkan sebagian perawinya di dalam sanadnya, dan sebagian perawi yang lain meniadakannya; dalam hal ini al-Bukha>ri> menuliskan 2 pola ini, dan menurutnya lebih valid kualitas perawi yang didengar al-Bukha>ri> melalui gurunya.
Berkenaan masalah kualitas kesahihan hadis dalam S{ah}i>h} alBukha>ri> apabila dikaji menggunakan kritik hadis, khususnya kritik matn dapat ditunjukkan bahwa tidak seluruhnya berkualitas s}ah}i>h. Dalam penelitian matn untuk membuktikan validitas hadis, berlaku hipotesa kerja, bahwa ”tidak berlaku keharusan bahwa sanad yang s}ahi>h} pasti diikuti oleh kesahihan matannya. Postulat ini acapkali diulangi Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (w. 852 H.) dalam Fahrasa>tnya seperti dikutip oleh Hasjim Abbas (guru penulis, pakar ilmu hadis dari Jawa Timur). Menurut dosen hadis dan ilmu hadis ini, hipotesa kerja mengenai sanad hadisyang s}ah}i>h pasti diimbangi dengan matn yang s}ah}i>h pula, itu berlaku sepanjang rija>l al-hadi>s yang menjadi pendukung mata rantai sanad terdiri atas periwayat yang s}iqah semua.48 Lanjutnya, sangat mungkin terjadi kesenjangan kualitas sanad dengan matn hadis yang diantarkannya. Keadaan ini juga menimpa salah satu hadistentang isra>‘ dalam koleksi al-Ja>mi‘ al-Bukha>ri> yang pada dasarnya bersumber dari Shari>k ibn Abi> Namr (ibn ‘Abd Alla>h) seorang ta>bi‘i>n pribumi Madinah,49 melalui paparan Anas ibn Ma>lik.50 Kondisi formal sanadnya
perlambang bahwa pertanggungjawaban informasi keagamaan itu secara ilmiah terhenti pada sahabat yang nama jelasnya termaktub pada pengantar hadis. Rafa‘ dalam hadis berarti sesuatu (pemberitaan) yang disandarkan, oleh seorang sahabat, atau tabi‘u>n atau siapa pun, secara khusus kepada Nabi/Rasul Allah s.a.w. Hasjim Abbas, Kritik Matn Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha’ (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 66-67. 48 Abbas, Kritik Matn Hadis, h. 61. 49 Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri> bi-Sharh} S{ah}i>h} alBukha>ri>, dalam http://islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom =672&idto=675&bk_no=52&ID=244 (diakses 23 April 2012). 50 Hadis isra>’ melalui paparan Anas ibn Ma>lik dari Kha>lid ibn S{a‘s}a‘ah, disampaikan kepada al-Bukha>ri> melalui jalur Hudbah ibn Kha>lid, Hamma>m ibn Yah} ya> dan Qata>dah. Lihat dalam al-Bukha>ri>, Matn al-Bukha>ri> Mashku>l bi-H{a>shi>yat al-Sindi>, 326-328, dan al-Bukha>ri> dalam ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (b), Hady al-Sa>ri> (b), Juz VII, 236-240. Hadis isra’ juga disebutkan dalam Kita>b al-S{ala>h melalui jalur Yah}ya> bin Bakr dan al-Layts dari Yu>nus dari Ibn Shiha>b dari Anas ibn Ma>lik. Lihat ibn H{ajar al‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri> bi-Sharh} S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, dalam http://islamweb.net. Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
129
Ahmad Ali MD
cukup sahi>h, akan tetapi kronologi kejadian al-isra>’ wa-al-mi‘ra>j yang termuat dalam matnnya dinilai tidak s}ah}i>h. Penilaian bahwa isi pemberitaan matn tidak s}ah}i>h datang dari Ibn Kathi>r (w.774 H.), alKhat}t}a>bi> (w. 388 H.), al-Nawa>wi> (w. 676 H.) dan Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (w. 852 H.). Dalam verifikasi data atas substansi konsep yang tersebut dalam matn al-Bukha>ri>, Ibn H{ajar al-‘Aqala>ni> berhasil menghimpun 12 butir kelainan bila dilakukan rujuk silang kepada matn hadis s}ah}i>h} lain yang bermuatan tema kronologi isra>’. Kemungkinan pula sanad s}ah}i>h} hanya mencapai berkualitas h}asan,51 sementara kondisi matn belum ada kepastian. Kronologi Isra>’ Mi‘ra>j di dalam kita>b itu, disebutkan terjadinya sebelum kenabian beliau. Faktanya, Isra>’ Mi‘ra>j itu terjadi setelah beliau diutus menjadi Rasu>l.52 Dari data kesenjangan itulah muncul pemberian predikat: Ha>dha> as}ah}h}u shay’in fi> al-ba>b (Ini hadisyang paling s}ah}i>h} dalam bab tersebut); Ha>dha> hadiss}ah}i>h} al-isna>d (ini hadiss}ah}i>h} mata rantainya); Ha>dha> hadish}asan al-isna>d (ini hadis kualitas mata rantainya h}asan).53
Definisi hadis h}asan sebagaimana dikemukakan oleh Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> adalah khabar a>h}a>d yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna ke-d}a>bit}-annya, tidak ber’illat, dan tidak pula sha>dh dinamakan s}ah}i>h} li-dha>tih. Jika kurang sedikit ke-d}a>bit}-annya (serta terpenuhi persyaratan-persyaratan hadis s}ah}i>h tersebut) maka disebut h}asan li-dha>tih. Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Matn Tuhbat al-Afka>r , 228-229. Jadi, dari pengertian tersebut dipahami bahwa hadis h}asan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-d}a>bit}-annya, tidak ada keganjilan (sha>dh), dan tidak ada ‘illah. Abdul Majid Khon, ‘Ulu>m al-H{adi>s (Jakarta: Amzah, 2009), h. 159. 52 Dikatakan hadis tersebut secara formal sanadnya cukup s}ah}i>h, karena diriwayatkan dari para perawi yang thiqah (dipercaya), sedangkan matnnya dipandang tidak s}ah}i>h, karena sebagiannya bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis lainnya yang s}ah}i>h, sehingga kedudukan hadis tersebut adalah d}a‘i>f (lemah) dan mu‘allal (sisipan) karena diselipkan di dalamnya cerita-cerita Isra>‘i>li>ya>t dari kaum Bani> Isra>‘i>l yang sengaja secara tersirat ingin mengagungkan bangsa mereka dan Nabi Musa serta mengecilkan peran Nabi Muhammad dan pengikutnya. 53 al-T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s, 46, Abbas, Kritik Matn Hadis, h. 6263, dan Khon, ‘Ulu>m al-H{adi>s, 62. Dikatakan Ha>dha> hadis s}ah}i>h} al-isna>d, bukan Ha>dha> hadis s}ah}i>h}, dan Ha>dha> hadis h}asan al-isna>d, bukan Ha>dha> hadis h}asan, karena terkadang hadis itu isna>d (sanad)nya sahih atau hasan tetapi matannya tidak sahih atau tidak hasan karena ada sha>dh atau ‘illah. Ketika dikatakan hadis ini sahih, berarti telah memenuhi syarat-syarat hadis sahih yang lima (yaitu sanadnya muttas}il, rawinya adil, dan d}a>bith}, dan matannya tidak shudhu>dh (sha>dh) dan tidak ada ‘illah. Apabila dikatakan hadis ini hasan berarti hadis itu telah memenuhi 3 (tiga) syarat kesahihan saja (yaitu sanadnya muttas}il, rawinya adil, dan d}a>bith}). al-T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah} 51
130
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
Di samping itu, ada kemungkinan lain: sanad suatu hadis sesuai dengan persyaratan formal tidak s}ah}i>h}, akan tetapi kondisi matn apabila dirujuk ke sanad yang lain meyakinkan sekali kesahihannya. Umumnya kondisi keterbalikan ini menimpa hadis-hadis yang bersanad mursal dan mursal s}ah}abi>.54 Menurut M. Syuhudi Ismail, apabila suatu hadis kualitas sanadnya s}ah}i>h, mata pasti kualitas matan hadisnya juga s}ah}i>h. Akan tetapi dalam kenyataannya, ada hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya d}a‘i>f. Lanjutnya, kesenjangan kesahihan sanad dengan matan, tidaklah disebabkan oleh kaidah kesahihan sanad hadis, tetapi disebabkan oleh faktor-faktor lain, yang alternatif penyebabnya:55 1) karena kaidah kesahahihan sanad hadis tersebut tidak dilaksanakan secara konsekuen; 2) karena terjadi ikhtila>f tentang unsur-unsur kaidah kesahihan sanad hadis itu sendiri; 3) karena terjadi ikhtila>f sikap ulama hadis dalam menilai kualitas periwayat hadis tertentu; 4) karena telah terjadi periwayatan hadis secara makna (ma‘nawiyyan); 5) karena matan hadis yang bersangkutan berkaitan dengan masalah na>sikh-mansu>kh, atau ‘a>mm-kha>s}s} atau mujmal-mufas}s}al; dan 6) karena kaidah kesahihan matan hadis yang digunakan masih belum akurat. Kasus kesenjangan yang terjadi antara sanad dan matan dalam kitab S}ah}i>h al-Bukha>ri> muncul karena dalam menerima periwayatan suatu hadis, al-Bukha>ri> lebih menitikberatkan pada aspek sanad, sehingga apabila rawi penyampai hadis kepadanya telah memenuhi syarat yang dia tetapkan, yaitu di antaranya harus bertemu antara rawi penyampai dan rawi penerima meskipun hanya satu kali saja, periwayatan itu dimasukkan ke dalam kitab S}ah}i>h-nya sebagai hadis s}ah}i>h, meskipun materi (matan) hadis dipandang oleh ulama yang lain bertentangan dengan nas}s} al-Qur’an.56 Terkait hal ini, Muhibbin (Guru Besar IAIN Walisongo Semarang), berdasarkan penelitiannya mengatakan: ”Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab Ja>mi‘ al-S} al-H{adi>s, h. 46-47. 54 Lihat lebih lanjut Abbas, Kritik Matn Hadis, 63 dst. 55 Lihat lebih lanjut M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 238-239. 56 Lihat Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 257. Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
131
Ahmad Ali MD
ah}i>h karya al-Bukha>ri> itu benar-benar s}ah}i>h. Terdapat beberapa s}ah}i>h yang termasuk kategori lemah dan palsu.” Menurutnya, terdapat hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an maupun antar hadis di dalam kitab tersebut. Hadis palsunya bermacam-macam: ada yang karena tidak sesuai atau bertentangan dengan al-Qur’an, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian”.57 Oleh karena itu, tidak semua hadis yang terdapat dalam S}ah}i>h al-Bukha>ri> berkualitas s}ah}i>h. Sebab oleh al-Bukha>ri> sendiri ada yang disebutkan sebagai hadis mursal, h}asan, dan lain sebagainya. Ketidaklayakan disebut sebagai hadis s}ah}i>h itu meliputi ada pertentangan atau ketidaksesuaian dengan nas}s} al-Qur’an dan Sunnah Mutawa>tirah.58 Contoh matan hadisyang bertentangan dengan ayat al-Qur’an adalah hadis tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa apabila ia ditangisi oleh ahli warisnya.59 Hadis ini
57 http://koran.republika.co.id/berita/68251/Prof_Dr_Muhibbin_Hadis_ Palsu_dan_Lemah_dalam_Sahih_Bukhari (diakses 21 April 2012). 58 Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang (ra>wi>) yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta (ma> rawa>hu ‘adadun kathi>run tahi>lu al-‘a>datu tawa>t}u’uhum ‘alá al-kadhibi). al-T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th, h. 18. 59 Teks hadisnya: Inna al-mayyita layu‘adhdhabu bi-buka>’i ahlihi ‘alayhi (Sungguh mayit itu disiksa sebab ditangisi oleh keluarganya (HR. al-Bukha>ri>). Hadis ini bersumber dari ‘Umar dan Ibn ‘Umar rad}iyalla>hu ‘anhuma>. Teks hadis lengkapnya dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri>:
حدثنا عبدان حدثنا عبد الله �أخبرنا ابن جريج قال �أخبرني عبد الله بن عبيد الله بن �أبي مليكة قال توفيت ابنة لعثمان رضي الله عنه بمكة وجئنا لنشهدها وحضرها ابن عمر وابن عباس رضي الله عنهم و�إني لجالس بينهما �أو قال جلست �إلى �أحدهما ثم جاء ال آ�خر فجلس �إلى جنبي فقال عبد الله بن عمر رضي الله عنهما لعمرو بن عثمان �ألا تنهى عن البكاء ف إ�ن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إ�ن الميت ليعذب ببكاء �أهله عليه فقال ابن عباس رضي الله عنهما قد كان عمر رضي الله عنه يقول بعض ذلك ثم حدث قال صدرت مع عمر رضي الله عنه من مكة حتى �إذا كنا بالبيداء �إذا هو بركب تحت ظل سمرة فقال اذهب فانظر من هؤلاء الركب قال فنظرت ف إ�ذا صهيب أف�خبرته فقال ادعه لي فرجعت �إلى صهيب فقلت ارتحل فالحق �أمير المؤمنين فلما �أصيب عمر دخل صهيب يبكي يقول وا �أخاه وا صاحباه فقال عمر رضي الله عنه يا صهيب �أتبكي علي وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم �إن الميت يعذب ببعض بكاء �أهله عليه قال ابن عباس رضي الله عنهما فلما مات عمر رضي الله عنه ذكرت ذلك لعائشة رضي الله عنها فقالت رحم الله عمر والله ما حدث رسول الله صلى الله عليه وسلم �إن الله ليعذب المؤمن ببكاء �أهله عليه ولكن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال �إن الله ليزيد الكافر عذابا ببكاء �أهله عليه وقالت حسبكم القر�آن ولا تزر وازرة وزر �أخرى قال ابن عباس رضي الله عنهما .عند ذلك والله هو �أضحك و�أبكى قال ابن �أبي مليكة والله ما قال ابن عمر رضي الله عنهما شيئا Dalam teks hadis Muslim:
حدثنا �أبو بكر بن �أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير جميعا عن ابن بشر قال �أبو بكر حدثنا محمد بن بشر العبدي عن عبيد الله بن عمر قال حدثنا نافع عن عبد الله �أن حفصة بكت على عمر فقال مهلا يا بنية �ألم تعلمي �أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال .�إن الميت يعذب ببكاء �أهله عليه
132
Lihat S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Kita>b al-Jana>’iz, ba>b ke-32, h}adi>s ke-648, Juz I, dan Ibn H{ajar al-‘Asqa>la>ni>, Fath} al-Ba>ri>, dalam http://library.islamweb.net/newlibrary/ display_book. php?bk_no= 52&ID=829&idfrom=2366&idto=2375&bookid=52&start no=2, (diakses 4 September 2014), dan Yah}yá� ibn Sharaf Abu> Zakariyya> al-Naawawi>, Sharh} al-Nawawi> ‘alá Muslim, dalam http:// library.islamweb.net/newlibrary/display_ Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
dinilai, oleh misalnya Shaikh Muhammad al-Ghaza>li> (1917-1996), seorang ulama terkenal kelahiran Mesir,60 bertentangan dengan ayat al-Qur’an, bahwa seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain.61 Otentisitas hadis yang bersumber dari ‘Umar dan Ibn ‘Umar rad}iyalla>hu ‘anhuma> tersebut pun telah disangsikan oleh ‘Aha> ‘anha>. Menurutnya, cerita hadis yang sebenarnya adalah ketika Rasulullah s.a.w. melewati kuburan orang Yahudi, di atas kuburan itu ada orang yang sedang menangisinya. Kemudian terhadap perbuatan itu, beliau menyatakan: ”Kuburan ditangisi padahal ahli kuburnya sedang disiksa”. Anehnya, mengapa hadis ini bisa masuk ke dalam kitab al-Bukha>ri> dan Muslim? Jawabnya, karena itulah sifat manusia bisa jadi ada kesalahan atau kekeliruan pada al-Bukha>ri> dan Muslim, yang bukan hanya terletak pada keduanya tetapi juga pada ‘Umar dan Ibn ‘Umar itu sebagaimana dikritik oleh ‘Ari> dan Muslim mempunyai argumen lain yang belum diketahui secara umum.62 Pertentangan atau ketidaksesuaian materi hadis itu secara lebih rinci meliputi pertentangan dan ketidaksesuaian dengan keadaan dan Si>rah al-Nabawi>yah (sejarah hidup Nabi), pertentangan dengan fakta sejarah, matn hadis itu ada yang mengandung prediksi atau ramalan dan bersifat politis --yang bisa jadi tidak sesuai dengan kenyataan, serta mengandung fanatisme kesukuan.63 Terhadap hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an harus ditolak. Hadis-hadis yang demikian, kemudian diperkenalkan oleh ulama ahli hadis dengan istilah hadis sahih fi> alsanad d}a‘i>f fi> al-matn (hadis sahih dalam sanadnya, tetapi lemah dalam matannya),64 atau istilah Qadir al-Hasan, sahih al-isna>d d}a‘i>f al-matn book.php?idfrom=2606&idto=2625&bk_no=53&ID=384 (diakses 4 September 2014). 60 Lihat Shaikh Muhammad al-Ghaza>li>, Al-Sunnah al-Nabawi>yah: Bayn Ahl alFiqh wa-Ahl al-Hadis (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1989), h. 21-25. 61 Lihat Q.S. al-Fa>t}ir (35): 18, al-An‘a>m (6): 164, al-Zumar (39): 7, al-Isra>’ (17): 15, dan al-Najm (53): 38. 62 Lihat Khaeruman, Otentisitas Hadis, h. 217-221. 63 http://koran.republika.co.id. 64 Khaeruman, Otentisitas Hadis, h. 258. Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
133
Ahmad Ali MD
(sahih sanadnya, tetapi d}a‘i>f matannya).65 Oleh karena itu, terdapat kriteria ketat yang dipergunakan ulama dalam menilai kualitas matan, sebagai salah satu syarat otentisitas hadis, sebagaimana disebutkan oleh Mus}t}afa> al-Siba>‘i>, di antaranya adalah: matan hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hadis yang muh}kam (pasti penunjukan maknanya), sesuatu yang telah disepakati (mujma‘ ‘alayh), dan sesuatu yang telah maklum berasal dari ajaran agama yang diterima secara pasti (al-ma‘lu>m min al-di>n bi-al-d}aru>rah).66 Atas dasar ini, kasus kesenjangan antara sanad dan matan dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, yang mengakibatkan terdapat hadis yang tidak s}ahi>h} di dalamnya, terjadi disebabkan oleh bisa jadi salah satu atau beberapa alternatif penyebab kesenjangan antara sanad dan matan, sebagaimana dikemukakan oleh M. Syuhudi Ismail di atas.
E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa sungguhpun al-Bukha>ri> telah menyeleksi hadis-hadis dalam koleksi kitab S{ah}i>h}nya, tidaklah berarti bahwa tidak ada upaya maupun ruang kritik terhadap matn, --ataupun sanadnya. Kesenjangan antara kualitas sanad dan matn juga bisa terjadi dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri tersebut, sehingga kesahihan hadis yang ada di dalam koleksinya ini, bisa jadi ”tidak s{ah}i>h” bila di-cross reference (rujuk silang) dengan sejumlah kitab hadisyang lain. Misalnya matn hadis yang menceritakan kronologi isra>’ dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri, dan hadis tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa apabila ia ditangisi oleh ahli warisnya, dapat dikategorikan sebagai hadis tidak s{ah}i>h. Di samping itu, dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri ternyata tidak semua hadisnya berkategori muttas}il. Jika kita konsisten dengan definisi s{ah}i>h, yakni muttas}il sanadnya, maka hadis yang mursal/mursal s}ah}a>bi> atau mursal ta>bi‘i> tidak dapat dikatakan hadis s}ah}i>h, tetapi cukup dikatakan sebagai hadis yang kualitasnya di bawah predikat hadis s{ah}i>h, yakni hadis h}asan. Meskipun sekumpulan hadis h}asan bisa menjadi s{ah}i>h ketika memenuhi syarat, di antaranya ada dukungan hadis lain yang Qadir al-Hasan, Ilmu Musthalah Hadis, dikutip dalam Khaeruman, Otentisitas Hadis, h. 258. 66 Lihat keseluruhan 13 (tiga belas) kriteria yang dikemukakan Mus}tafa> alSiba>‘i>, al-Sunnah wa-Maka>natuha> fi> Tashri>‘ al-Isla>mi> (T.tp.: Da>r al-Warra>q, t.t.), h. 301302. 65
134
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
menguatkan eksistensi (keberadaan)-nya. Konsekuensinya, penamaan al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h al-Musnad, tidak secara otomatis bahwa semua hadis di dalamnya s{ah}i>h hadisnya yang berarti muttas}il sanadnya, terutama bila ditinjau dari segi matn, sebab di dalamnya juga disebutkan hadishadis yang tidak muttas}il sanadnya, tetapi hanya berfungsi sebagai pendukung, pembanding dan bukan tujuan pokok. Lebih dari itu, hadis yang dinilai s{ah}i>h sanadnya, tidak berarti s{ah}i>h matannya, karena terjadi kesenjangan di antara sanad dan matannya, misalnya matan hadisternyata bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an. Terhadap masalah ini perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Wa-Allahu A‘lam, wa-Huwa al-Musta‘an.
Daftar Pustaka
Abbas, Hasjim. Kritik Matn Hadis Versi Muhaddithin dan Fuqaha’. Yogyakarta: Teras, 2004.
Abou El Fadl, Khaled M. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld Publications, 2001.
Abu> Zahu>, Muh}ammad Muh}ammad. al-H{adi>s} wa-al-Muh}addithu>n wa‘Ina>yat al-Ummah al-Isla>mi>yah bi-al-Sunnah aw-al-Nabawi>yah. T.t.p.: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.t. Ali MD, Ahmad. ”Hadis Sebagai H{ujjah Hukum dalam Perspektif Shi>‘ah,” Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Vol XII, No. 3 (2012), 228-242. Ami>n, Ah}mad. Fajr al-Isla>m. Singapura: Sulayman Mar’i>, 1965.
A‘z}ami>, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Dialihbahasakan oleh Ali Mustafa Yaqub, dari Dira>sa>t fi> al- al-H{adis} al-Nabawi wa Ta>ri>kh Tadwi>nih dari judul asli Studies in Early H{adi>s Literature. Cet. ke-2. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.
--------. Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi & Literatur Hadis, diterjemahkan dari Studies in H{adi>s Methodology and Literature. Penerjemah Meth Kieraha. Jakarta: Lentera, 2003. Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
135
Ahmad Ali MD
Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam: the Authenticity of Muslim Literature from the Formatif Period. Richmond Surrey: Curzon Press, 2000.
al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l. Matn al-Bukha>ri> Mashku>l bi-H{a>shi>yat al-Sindi>. T.tp.: Maktabat al-Nas}ri>yah Mesir, t.t.
Dahlan, Abd. Aziz, et.al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
al-Ghaza>li>, Shaikh Muh}ammad. Al-Sunnah al-Nabawiyah: Bayn Ahl alFiqh wa-Ahl al-H{adi>s, Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1989. Guillaume, Alfred. Isla>m. England: Penguin Books Ltd, 1964.
http://koran.republika.co.id/berita/68251/Prof_Dr_Muhibbin_ Hadis_Palsu_dan_Lemah_dalam_Sahih_Bukhari (diakses 21 April 2012). http://www.voa-islam.com/muslimah/health/2009/07/13/253/ kurma-ajwa-dari-hadist-hingga-ke-khasiat/ (diakses 21 April 2012).
ibn Muh}ammad, ‘Abd al-Qa>hir ibn T{a>hir. al-Farq bayn al-Firaq. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.
ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-H{a>fiz} Ah}mad ibn ‘Ali> (a). Hady al-Sa>ri> Muqaddimat Fath} al-Ba>ri> bi-Sharh} S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r al-Fikr, 2000.
_____, (b). Hady al-Sa>ri> Muqaddimat Fath} al-Ba>ri> bi-Sharh} S{ah}i>h} al-Ima>m Abi> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>. Editor ‘Abd alQadi>r Shaybah al-H{amd. Riyadh: Fahrasah Maktabah al-Malk al-Fahd al-Wat}ani>yah Athna>’ al-Nashr, 2001.
_____,. Fath} al-Ba>ri> bi-Sharh} S{ah}i>h} al-Ima>m Abi> ‘Abdilla>h Muh\ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>. Editor ‘Abd al-Qadi>r Shaybah al-H{amd. Riyadh: Fahrasah Maktabah al-Malk al-Fahd al-Wat}ani>yah Athna>’ al-Nashr, 2001.
136
ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Ah}mad ibn ‘Ali>. Fath} al-Ba>ri> Sharh} S{ah}i>h} alBukha>ri>. http://islamweb.net/newlibrary/display_book. php?idfrom=672&idto=675&bk_no=52&ID=244 (diakses 23 April 2012). Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Kritik Terhadap Validitas Hadis dalam Kitab S{ah}i>h} Al-Bukha>ri
_____, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S{ah}i>h} al-Bukha>ri. http://library.islamweb. net/ newlibrary/display_book.php?bk_no=52&ID=829&id from=2366&idto=2375&bookid=52&startno=2 (diakses 4 September 2014). _____, ”Matn Tuhbah al-Afka>r fi> Mus}t}ala>h} Ahl al-Athar”, dalam al-Kahla>ni>. Subul al-Sala>m Sharh} Bulu>gh al-Mara>m min Adillat al-Ah}ka>m. T.tp.: Da>r al-Fikr, t.t.
ibn Khaldu>n, ‘Abd al-Rah}ma>n. Muqaddimat Ibn Khaldu>n: wa-Hiya Muqaddimat Kita>b al-‘Iba>r wa-Di>wa>n al-Mubtada’ wa-alKhabar fi> Ayya>m al-‘Arab wa-al-‘Ajami wa-al-Barbar wa-Man ‘A<s} arahum min Dhawi al-Sult}a>n al-Akbar. Kairo: Da>r ibn Haytham, 2005.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Jabali, Fu’ad. The Companions of The Prophet: a Study of Geographical Distribution and Political Alignments. Leiden-Boston: Brill, 2003. Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Khon, Abdul Majid. Ulu>m al-H{adi>s. Jakarta: Amzah, 2009.
al-Khat}ib, Muh}ammad ‘Aja>j. Us}u>l al-H{adi>s: ‘Ulu>muhu wa-Mus}t}alahuhu. T.Tp.: Da>r al-Fikr, 1971. Martin, Rishard C. Ed. in Chief. Encyclopedia of Islam and the Muslim World. USATM: MacMillan Reference, 2004. V.1, A-L. al-Muz}affar, Muh}ammad Rid}a>. Us}u>l al-Fiqh. Qum: Mu’assasat Mat}bu>‘a>t Isma>‘i>liya>n, 1421.
al-Nawawi>, Yah}yá� ibn Sharaf Abu> Zakariyya> Sharh} al-Nawawi> ‘alá Muslim, dalam http:// library.islamweb.net/newlibrary/display_book. php?idfrom= 2606&idto=2625&bk_no=53&ID=384 (diakses 4 September 2014).
al-Sa>lus, ‘Ali> Ah}mad. Ensiklopedi Sunnah Shi>‘ah: Studi Perbandingan Hadis & Fiqh. Judul Asli Ma‘a al-Shi>‘ah al-Ithna> ‘Ashari>yah fi> al-Us}ul> waal-Furu>‘ (Mawsu>‘ah Sha>milah): Dira>sah Muqa>ranah fi> al-Fiqh Vol. 8 No. 1 Januari - Juni 2014
137
Ahmad Ali MD
wa-al-H{adi>s. Penerjemah Asmuni Solihin Zamakhsyari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: Oxford University Press, 1959. Sekretariat. ”Tinjauan Kritis H{adi>s Isra>’ Mi‘ra>j”, http://www.al-ulama.net/ home-mainmenu-1/articles/356-tinjauan-kritis-isra-miraj-.html (diakses 21 April 2012).
al-Sha>fi‘i>, Muhammad ibn Idri>s. al-Umm. Editor Rif‘at Fawzi> ‘Abd alMut}allib. T.Tp.: Da>r al-Wafa>’ li-al-T{iba>‘ah wa-al-Nashr wa-alTawzi>‘, 2001. Shihab, M. Quraish. Sunnah-Shi‘ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
al-Siba>‘i>, Mus}tafa>. al-Sunnah wa-Maka>natuha> fi> Tashri>‘ al-Isla>mi>. T.tp.: Da>r al-Warra>q, t.t.
al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> Bakr. Tadri>b al-Ra>wi> fi> Sharh} Taqri>b al-Nawa>wi>. Editor Abu> Qutaybah Nad}i>r Muhammad al-Fa>ra>ya>bi>. Beirut: Maktabah al-Kawthar, 1415.
al-T{ah}h}a>n, Mah}mu>d. Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s. T.tp.: T.p., 2000.
Yaqub, Ali Mustafa. Imam Bukhari & Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis. Cet. ke-3. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. _____, Kritik Hadis. Cet. ke-4. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Yusuf, Akhyar. ”Metode Hermeneutika dan Penerapannya pada Penelitian Ilmu Sosial-Budaya dan Agama”. Materi Kuliah Program Doktor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2012).
138
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543 b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988. A. Konsonan Tunggal Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ا
alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
ب ت ث ج
ba’
b
Be
ta’
t
Te
s|a‘
ṡ
Jim
j
h}a
h}
kha
kh
Je Ha (dengan titik di bawah) Ka dan Ha
dal
d
De
z|al
Z|
Z (dengan titik di atas)
ra’
r
Er
ح
خ د ذ ر ز س ش
Es (dengan titik di atas)
zai
z
Zet
sin
s
Es
syin
sy
Es dan Ye
ص
ṣad
ṣ
Es (dengan titik di bawah)
ض ط ظ
ḍad
ḍ
t}a’
ṭ
z}a’
ẓ
De (dengan titik di bawah) Te (dengan titik di bawah) Zet (dengan titik di bawah)
‘ain
‘
Koma terbalik di atas
gain
g
Ge
fa’
f
Ef
qaf
q
Qi
kaf
k
Ka
lam
l
El
ع غ ف ق ك ل
م ن و ـه ء ي
min
m
Em
nun
n
En
wawu
w
We
ha’
h
Ha
hamzah
’
Apostrof
ya’
y
Ye