KRITIK TERHADAP STUDI AL-‐QUR'AN KAUM LIBERAL Oleh: Fahmi Salim, M.A. (Majelis Tarjih PP Muhammadiyah & Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia/MIUMI) RASULULLAH SAW BERSABDA: ILMU ISLAM INI AKAN DIPIKUL OLEH ORANG-‐ORANG YANG ADIL (TENGAHAN) DARI SETIAP GENERASI, MEREKA LAH YANG MENAFIKAN PENAKWILAN ORANG-‐ORANG JAHIL, PEMALSUAN ORANG-‐ORANG BATIL, DAN PENYELEWENGAN ORANG-‐ORANG EKSTREM (HR. AL-‐BAYHAQI, DALAM SUNAN KUBRA) Pengantar Judul diatas adalah judul yang sama untuk buku yang, pada awalnya, saya tulis untuk meraih gelar Magister dari Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir, Universitas al-‐Azhar Kairo pada Desember tahun 2007 silam. Syukur Alhamdulillah, buku tersebut menjadi salah satu nominator terbaik dalam IBF Award tahun 2011 lalu yang diberikan bersamaan dengan penyelenggaraan IBF ke-‐10 dengan tema besar, “Khazanah Islam untuk Peradaban Bangsa”. Fokus utama buku itu adalah mengkritisi metode hermeneutika yang digadang-‐ gadang kelompok liberal sebagai metode paling pas dalam memahami Al-‐Qur’an saat ini. Mengapa dan ada apa dengan 'Hermeneutika'? Setelah ditelusuri, ternyata filsafat pemahaman teks ala Barat inilah yang menjadi "alat buldoser" paling efektif yang berada di belakang upaya sekularisasi dan liberalisasi pemahaman Al-‐Qur’an yang terjadi secara massif. Di tangan para pengasong sekularisme dan liberalisme, metode hermeneutika untuk mengkaji Al-‐Qur'an ini ingin menggusur dan mengkooptasi ajaran-‐ajaran Islam yang baku dan permanen (tsawabit), agar compatible dengan pandangan hidup (worldview) dan nilai-‐ nilai modernitas Barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-‐tengah umat Islam. Liberal Islam Kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara terminologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-‐hak warganya. Sejarah liberalisme termasuk juga liberalisme agama adalah tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu, disebut dengan periode pencerahan. Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali di zaman renaissance di Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-‐pendukung negara kota yang bebas melawan pendukung Paus. Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Di samping itu, liberalisme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total
1
terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial. Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang non-‐Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al-‐Qur’an sebagai kitab suci, dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-‐segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham lain yang berlawanan dengan Islam. Tema ini telah menarik perhatian penulis semenjak digelindingkannya suatu upaya sistematis untuk meliberalkan kurikulum 'Islamic Studies' di perguruan-‐perguruan tinggi Islam di Indonesia. Semenjak langkah strategis itu diluncurkan di era kepemimpinan Munawir Syadzali di Departemen Agama dan Harun Nasution di IAIN Jakarta tahun 1980-‐an, sederet nama para penganjur dan pengaplikasi hermeneutika untuk studi Islam tiba-‐tiba menjadi super stars dalam kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia. Sebut saja misalnya: Hassan Hanafi (hermeneutika-‐fenomenologi), Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis), Mohammad Arkoun (hermeneutika-‐antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi-‐Riffat Hassan-‐Amina A. Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih perempuan), dan lain-‐lain yang cukup sukses membius mahasiswa dan para dosen di lingkungan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia baik negeri maupun swasta, hingga kini. Bahkan beberapa tahun silam dengan munculnya Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI, yang merombak dan melucuti banyak hal aspek-‐aspek yang qath'i dalam sistem hukum Islam, meski telah ditolak dan digagalkan, telah mengindikasikan suatu upaya serius untuk menjadikan produk tafsir hukum ala hermeneutika ini sebagai produk hukum Islam positif yang mengikat seluruh umat Islam di tanah air. Itulah salah satu dampak terburuk dari tafsir model hermeneutika ini yang berkaitan dengan hajat hidup umat Islam Indonesia dalam soal pernikahan, perceraian, pembagian harta waris, dan lain-‐lain. Antara Hermeneutika dan Tafsir Hermeneutika itu apaan sih? Mungkin banyak umat yang belum faham maksudnya sehingga tidak ‘melek’ akan bahayanya jika diterapkan untuk Al-‐Qur’an. Membaca dan memahami kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang SEJARAH, BAHASA dan BUDAYA yang terbatas, adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat sekuler yang tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam khazanah Islam. Metode hermeneutik ini secara ‘ijma’ oleh kelompok liberal di Indonesia bahkan di dunia ditahbiskan sebagai metode baku dalam memahami ajaran Islam baik dalam Qur’an maupun Sunnah. Dalam buku yang ditulis tokoh Paramadina untuk mengenang 40 tahun pidato pembaruan Cak Nur disebutkan, “Islam ingin ditafsirkan dan dihadirkan secara liberal-‐ progresif dengan metode ‘HERMENEUTIK’, yakni metode penafsiran dan interpretasi terhadap 2
teks, konteks dan realitas. Pilihan terhadap metode ini merupakan pilihan sadar yang secara instrinsik built-‐in di kalangan Islam Liberal sebagai metode untuk membantu usaha penafsiran dan interpretasi.“ (Budhi Munawar Rachman: Reorientasi Pembaruan Islam, hlm. 388) Selain itu, penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Qur’an ini berangkat dari dekonstruksi konsep wahyu yang diistilahkan TANZIL oleh Al-‐Qur’an (Fusshilat: 42; As-‐ Syu’ara: 192-‐195). Menurut Prof. M. Naquib Al-‐Attas, pendiri ISTAC Malaysia, konsep TANZIL itu memiliki 2 kekhasan yang tak dapat dicari tandingannya dalam konsep kitab suci manapun dalam agama lain. Kedua ciri khas itu adalah, wahyu Islam diperuntukkan untuk umat manusia secara keseluruhan (tanpa membedakan waktu dan tempat) dan hukum-‐ hukum suci yang terkandung dalam wahyu itu tidak memerlukan ‘pengembangan’ lebih lanjut dalam agama itu sendiri. (SMN. Al-‐Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm 31-‐32) Bertolak belakang dengan konsep TANZIL itu, kaum liberal malah memuji konsep wahyu dalam pengertian Kristen yg dikemukakan oleh L.S. Thornton sebagai “a made of divine activity by wich the Creator communicates himself to man and, by so doing, evokes man’s response and cooperation”. (sebuah aktifitas ketuhanan yang mana Pencipta mengkomunikasikan kehendaknya kepada manusia, yang menyulut dan akhirnya melibatkan respon dan kerjasama manusia dalam proses pewahyuan itu, lihat Montgomery Watt dalam Islamic Revelation in the Modern World, hlm. 6). Konsep wahyu ala Kristen ini lah yang ingin mereka paksakan untuk memahami ulang konsep Al-‐Qur’an (Ulil Absar dkk, Metodologi Studi Al-‐Qur’an, Jakarta: Gramedia, hlm.57). Dari konsep wahyu Al-‐Qur’an yang disamakan dengan Kristen ini, maka kaum liberal mengajukan modifikasi metode tafsir agar sesuai dengan zaman sekarang. “Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-‐ayat partikular, seperti ayat-‐ayat uqubat, hudud, qishash, waris dsb. Ayat-‐ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-‐alih bisa menyelesaikan problem-‐problem kemanusiaan, yang terjadi bisa-‐bisa merupakan bagian dari masalah yg harus dipecahkan melalui prosedur tanqih” (Metodologi Studi Al-‐Qur’an, hlm.166-‐ 167). Di bagian lain buku itu dengan lugasnya Ulil dkk menyatakan bahwa, “Ayat-‐ayat semacam itu disebut fiqih (?!) Al-‐Qur’an. Sebagai sebuah fiqih, ayat-‐ayat itu sepenuhnya merupakan respon Al-‐Qur’an terhadap kasus-‐kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-‐ayat tersebut bersifat relatif dan tentatif sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan & penyulingan. Membiarkan fiqih Al-‐Qur’an sama persis dengan bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan Al-‐Qur’an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital Al-‐Qur’an” (Metodologi Studi Al-‐Qur’an, hlm.167) Dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-‐teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang. Tujuannya adalah agar teks-‐teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari 1 milyar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-‐nilai modernitas sekuler yang didiktekan dalam berbagai bidang. Seruan itu disuarakan serempak oleh para pemikir modernis muslim baik di Timur-‐Tengah maupun di belahan lain dunia Islam, termasuk Indonesia. Berbagai seminar, workshop dan penerbitan buku hasil kajian dan penelitian digiatkan secara efektif untuk mengkampanyekan betapa mendesaknya "pembacaan kritis" 3
dan "pemaknaan baru" teks-‐teks Al-‐Qur'an dan Sunnah Rasul. Berbagai produk olahan isu-‐ isu pemikiran yang diimpor dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan pengarusutamaan gender telah menjadi menu sajian yang lezat untuk dihidangkan kepada komunitas muslim. Kita patut curiga dan bertanya: apakah tidak sebaiknya upaya pembacaan dan pemaknaan ulang wacana agama itu diarahkan sebagai pembaruan metode dakwah Islam dan revitalisasi sarana-‐sarana pendukungnya di era kontemporer ini, sesuai dengan perkembangan zaman? Kita sangat memerlukan pemikiran segar dan cemerlang untuk mendakwahkan prinsip-‐prinsip dan pandangan hidup Islam dengan metode yang cocok dengan kemajuan zaman. Jika ini yang terjadi, maka kita dengan senang hati menyambut seruan itu. Namun jika yang terjadi adalah mengkaji ulang bahkan sampai pada taraf mengubah prinsip dan pokok-‐pokok agama dengan dalih keluar dari kungkungan ideologis nash-‐nash Al-‐Qur'an dan Sunnah, membatalkan absolusitas nash Al-‐Qur'an dengan analisa historisitas teks atau relativisme teks, juga dibagian lain ingin melakukan studi kritik literatur dan sejarah seperti yang dipraktekkan kalangan liberal Yahudi dan Kristen atas Bible sejak 3 abad silam, atau bahkan dengan memunculkan pandangan bahwa nash Al-‐Qur'an dan Sunnah telah out of date dan hanya menghalangi proses integrasi umat Islam dengan nilai-‐nilai globalisasi kontemporer. Jika benar ini yang terjadi di lapangan pemikiran, maka logika semacam ini ditolak mentah-‐mentah, baik keseluruhan maupun rinciannya. Terdapat sekian banyak bahaya tersembunyi di balik seruan di atas. Yang penting di antaranya berujung kepada pelumeran dan peluruhan inti dan pokok dinul Islam serta melarikan diri dari kewajiban-‐kewajibannya. Padahal salah satu tujuan Islam yang mulia adalah terbentuknya umat yang kokoh kuat dalam setiap segi kehidupannya, terutama dalam bidang pandangan hidup yang pasti, barometer akidah, syariah, dan akhlaq yang jelas dan tidak tergerus oleh perubahan zaman yang silih berganti. Beberapa faktor diatas itulah yang telah mendorong penulis untuk mengkaji dasar-‐ dasarnya, menelusuri akar sejarah hermeneutika hingga diterapkan untuk mengganti metodologi tafsir dan takwil Al-‐Qur'an yang khas dalam tradisi keilmuan Islam. Selain tentu saja menilisik isu-‐isu paling mendasar dan krusial secara analitis-‐kritis di dalam buku ini. Penulis juga memandang suatu agenda yang mendesak di kalangan cendekiawan muslim, agar mengkaji secara kritis asal-‐usul dan perkembangan metodologi pemahaman terhadap sumber-‐sumber agama Islam yang kini dipaksakan oleh Barat untuk suatu proyek hegemoni dan kolonialisme pemikiran di dunia Islam. Imbasnya tentu saja akan merasuki pendidikan tinggi Islam, sebagai center of exellence, yang diproyeksikan untuk melahirkan sarjana-‐sarjana agama Islam, namun minus kebanggaan dan penguasaan terhadap perbendaharaan intelektual yang telah mengakar sepanjang kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Memang di lingkungan Universitas al-‐Azhar Mesir, kiblat ilmu-‐ilmu keIslaman di dunia, tradisi tahkik (studi editing-‐filologi naskah klasik) dan penelitian tentang studi kritik tafsir Al-‐ Qur'an (ad-‐Dakhil fi al-‐Tafsir) -‐terutama naskah-‐naskah tafsir klasik yang tak jarang terdapat dampak Israiliyyat dan pendapat-‐pendapat aneh yang menyalahi kode etik ilmiah, kebahasaan, maupun riwayat hadis dla'if dan palsu-‐, telah tumbuh subur dan mengesankan. Namun penelitian tentang tantangan-‐tantangan keilmuan Barat kontemporer terhadap 4
khazanah tafsir Al-‐Qur'an dan juga metodologi studi Al-‐Qur'an yang kini gencar diupayakan berorientasi sekuler-‐liberal, belum banyak yang melakukannya. Harapan penulis, buku ini dapat memenuhi hasrat keilmuan tersebut dan mampu menjadi karya pionir untuk menjawab tantangan paradigma sekuler-‐liberal dalam kajian-‐kajian Al-‐Qur'an. Untuk tujuan penelitian secara sistematis dan tepat guna, maka penulis menyusun langkah pembahasan thesis ini dalam kerangka sebagai berikut: I. MUKADDIMAH. II. PASAL 1: STUDI KOMPARATIF KONSEP TAKWIL DAN HERMENEUTIKA. Mencakup 3 pembahasan: 1-‐ Konsep Takwil dalam Istilah Peradaban Islam 2-‐ Konsep Hermeneutika dalam Istilah Peradaban Barat 3-‐ Sejarah Pertumbuhan Tafsir dan Perkembangannya dalam Islam; telaah masuknya metode Barat dalam kajian tafsir Al-‐Qur'an. III. PASAL 2: HERMENEUTIKA SEBAGAI ALAT PENAFSIRAN TEKS. Mencakup 3 pembahasan: 1-‐ Historiografi hermeneutika; latar sejarah, perkembangan dan aliran-‐alirannya. 2-‐ Metode hermeneutika dan kritik Biblikal. 3-‐ Upaya penerapan hermeneutika dalam lapangan Qur'anic Studies. Menyoroti peran orientalis Barat, para penulis prolifik modernis di dunia Islam, dan keterpengaruhan tulisan kaum modernis oleh pola pandang orientalisme. IV. PASAL 3: TELAAH KRITIS – ANALITIS TERHADAP ISU-‐ISU UTAMA PENDEKATAN HERMENEUTIKA TERHADAP AL-‐QUR'AN AL-‐KARIM. Mencakup 3 pembahasan: 1-‐ Isu historisitas teks Al-‐Qur'an; menelaah pandangan dan lontaran ide para hermeneut seperti: Husain Muruwwah (klaim historisitas Al-‐Qur'an dan dampaknya terhadap konsep i'jaz Al-‐Qur'an), Muhammad Arkoun (dampaknya terhadap sejarah kodifikasi Al-‐Qur'an) dan Nasr Hamid Abu Zayd (dampaknya terhadap pentakwilan beberapa konsep Al-‐Qur'an). 2-‐ Isu kritik literatur dan historis untuk teks Al-‐Qur'an; menelaah pandangan dan lontaran ide para hermeneut seperti: Amin al-‐Khuly dan M.A. Khalfallah (dampaknya terhadap penafsiran kisah Al-‐Qur'an), Muhammad Arkoun (antropologi wahyu dan dampaknya terhadap kisah Al-‐Qur'an), Nasr Hamid Abu Zayd (dampak penerapan semiotika atas konsep Al-‐Qur'an). 3-‐ Isu kritik dialektis-‐materialis antara teks Al-‐Qur'an dengan realitas manusia; menelaah dan mengkritisi klaim superioritas realita manusia atas nash Al-‐Qur'an (dampaknya terhadap konsep Asbab Nuzul dan kaidah al-‐'Ibrah bi 'Umumi al-‐Lafzh), menepis asumsi Nasr Hamid tentang orisinalitas realita manusia di hadapan nash Al-‐Qur'an, dan dampak isu ini kepada upaya merubah hukum-‐hukum qath'iy di dalam Al-‐Qur'an dengan asumsi pergerakan realitas manusia yang terus berubah. V. PENUTUP; yang berisi telaah singkat kesia-‐siaan dan kegagalan metodologi humaniora kontemporer untuk tujuan pembacaan dan pemaknaan ulang Al-‐Qur'an Al-‐Karim. Pandangan Prof. Al-‐Attas tentang Tafsir dan Hermeneutika Al-‐Attas adalah sarjana muslim kontemporer pertama yang telah memahami keunikan sifat ilmu tafsir dan membedakannya dari konsep dan praktik Barat mengenai 5
hermeneutika, baik yang bersumber dari Bibel maupun teks-‐teks lainnya. Al-‐Attas menggarisbawahi bahwa ilmu pertama di kalangan umat Islam (ilmu tafsir) bisa berkembang karena sifat ilmiah struktur bahasa Arab. Tafsir, kata dia, “benar-‐benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, Kristen, dan tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain” (CEII). Ilmu tafsir Al-‐Qur’an sangat penting karena ia merupakan ilmu dasar yang diatasnya dibangun seluruh struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Tafsir adalah satu-‐satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan nabi, sebab beliau telah diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, …agar kamu dapat menjelaskan kepada manusia apa-‐apa yang diturunkan kepada mereka (an-‐Nahl: 44) Karena Al-‐Qur’an diwahyukan dalam bahasa Arab dengan mengikuti cara-‐cara retorika orang-‐orang Arab, orang-‐orang yang hidup sezaman dengan nabi bisa memahami makna ayat Al-‐Qur’an berikut konteks ketika diturunkannya (asbab al-‐nuzul). Meski demikian, terdapat aspek-‐aspek ayat dan ajaran Al-‐Qur’an yang memerlukan penjelasan dan penafsiran nabi, baik secara verbal maupun behavioral yang kemudian dikenal sebagai Sunnah. Dalam beberapa koleksi hadis terdapat bab khusus yang membahas penafsiran Al-‐Qur’an yang disebut kitab atau bab al-‐Tafsir. Jadi pengetahuan tentang hadis dan Sunnah menjadi salah satu prasyarat yang sangat mendasar bagi pemahaman dan penafsiran Al-‐Qur’an. Prasyarat lain, menurut al-‐Suyuthi, adalah pengetahuan ilmu linguistik Arab, seperti leksikografi, tata bahasa, konjugasi dan retorika, ilmu fiqih, imu ragam bacaan Al-‐Qur’an, ilmu asbab al-‐nuzul, dan ilmu nasikh mansukh. Penafsiran dan penjelasan Al-‐Qur’an seperti yang dibahas diatas, kebanyakan berdasarkan analisis semantik dengan pertimbangan latar belakang sosial-‐historis agar dapat memperoleh pengertian yang tepat. Kebenaran ayat-‐ayat Al-‐Qur’an mengenai metafisika, hukum-‐hukum sosial dan sains tidak dibatasi oleh kondisi sosial historis ketika diturunkannya. Sementara itu, Fazlur Rahman dalam ‘Islam and Modernity’ kelihatan terlalu menekankan pentingnya latar belakang sosio historis turunnya ayat-‐ayat Al-‐Qur’an. Namun, Al-‐Attas dengan tetap mengakui perlunya hal itu, menolak mentah-‐mentah jika kondisi sosio-‐historis itu dijadikan asas untuk merelatifkan ajaran hukum dan etika. Jika demikian, nabi semestinya tidak akan menyusun kitab suci Al-‐Qur’an seperti yang kita dapati sekarang ini yang tidak mengikuti urutan sejarah. Semua pertimbangan ini yang seluruhnya didasarkan pada sifat ilmiah bahasa Arab dan adanya dukungan sejarah yang autentik, telah membantu menghasilkan tafsir-‐tafsir Al-‐Qur’an yang otoritatif, yang tidak terdapat dalam tradisi-‐tradisi kitab suci lainnya. Sangat jelas bahwa ilmu-‐ilmu penafsiran Al-‐Qur’an sangat berbeda dari hermeneutika atau ilmu penafsiran kitab-‐kitab Yunani, Kristen, atau tradisi agama lain. Dasar yang sangat fundamental dari perbedaan-‐perbedaan itu terletak pada konsepsi mengenai sifat dan otoritas teks serta keautentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci tersebut. Umat Islam secara universal mengakui Al-‐Qur’an sebagai kata-‐kata Tuhan yang diwahyukan secara verbatim kepada nabi, dan banyak yang menghafal dan menulis ayat-‐ ayatnya ketika nabi masih hidup. Adanya pelbagai variasi bacaan Al-‐Qur’an telah diketahui dan diakui oleh orang-‐orang terdahulu yang berwenang sebagai sesuatu yang tidak 6
signifikan; perbedaannya hanya dalam kata-‐kata yang mengandung pengertian yang sama. (Jami’ al-‐Bayan at-‐Tabari; Adrian Brokett, The Values of Hafs and Warshs Transmissions for the Textual History of the Qur’an, dalam Rippin, ed., Approaches) Sebaliknya, orang-‐orang Yunani, seperti juga Hindu, tidak pernah memercayai adanya nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat orang Yunani kebanyakan didasarkan pada mitologi dan puisi, khususnya oleh Homer dan Hesiod, dan pada spekulasi para filosof mereka yang beragam. Penafsiran terhadap mitologi dan puisi boleh jadi sangat subjektif atau sangat dipengaruhi oleh kondisi politik keagamaan yang berlaku. Metode terpenting yang digunakan secara alami adalah metode kiasan ‘allegory’, sebuah tradisi Yunani yang diprakarsai oleh Theagenes dari Rhegium (abad ke-‐6 sm). Penafsiran kiasan umumnya melibatkan penolakan literer atau meninggalkannya sama sekali. Bibel berbahasa Ibrani (atau materi-‐materi pembentuk PL), menurut para cendekiawan mereka, sepenuhnya tidak dibangun atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya, tetapi berdasarkan keimanan belaka. “Teks Ibrani yang sekarang di tangan kita memiliki satu kekhususan; meski usianya cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-‐manuskrip yang agak terlambat. Oleh karena itu, dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun) banyak yang telah berubah dari aslinya. Tidak ada satupun dari manuskrip-‐manuskrip itu yang datang lebih awal dari abad ke-‐9 M.” (J. Alberto Soggin, Introductioan to the Old Testament; From its Origin to the Closing of the Alexandrian Canon [London: SCM Press Ltd., 1976) Kehadiran kitab suci tertulis yang terlambat, sebenarnya tidaklah dengan sendirinya berarti negative, jika semua isinya dihafal secara sempurna oleh sejumlah besar orang yang sezaman dengan Jesus dan yang integritasnya tidak perlu diragukan lagi. Dengan demikian, secara praktis mustahil terjadi kesalahan, seperti dalam kasus keterpeliharaan Al-‐Qur’an. Sebelum menerapkan secara tepat hikmah khusus dan umum yang terdapat dalam kitab suci ke dalam situasi sosial-‐historis yang berbeda-‐beda, pertama-‐tama kita harus memahami secara benar pengertian-‐pengertian yang orisinil dari ayat-‐ayat dalam kitab suci itu. Di sini, jelas bahwa pengetahuan mengenai pengertian-‐pengertian orisinil dalam kitab-‐ kitab suci Yahudi dan Kristen tidak dapat diperoleh, dan pada gilirannya akan memberikan jalan bagi suatu perkembangan yang oleh Gray disebut dengan metode yang tidak sehat dalam penafsiran. (George Buchanan Gray, “Bibel”) Berdasarkan pengamatannya yang ringkas mengenai semangat dan kecenderungan fundamental terhadap hemeneutika dan pemahamannya yang mendalam mengenai keunikan karakter tafsir sebagai ilmu, Prof. Al-‐Attas menggarisbawahi dengan perkataan yang pasti bawa tafsir benar-‐benar merupakan suatu metode ilmiah. Hal ini disebabkan tafsir yang benar adalah yang berdasarkan ilmu pengetahuan yang mapan mengenai ‘bidang-‐ bidang makna’ (semantical fields), seperti yang disusun dalam bahasa Arab, diatur dan diaplikasikan di dalam Al-‐Qur’an, serta tercermin dalam hadis dan Sunnah. Oleh karena itu, Al-‐Attas menyatakan bahwa di dalam tafsir tidak ada ruang bagi dugaan yang gegabah, atau ruang bagi “interpretasi-‐interpretasi yang berdasarkan pembacaan atau pemahaman subjektif atau yang hanya berdasarkan ide relativisme historis, seakan-‐akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur-‐struktur konseptual kata-‐kata dan istilah-‐istilah yang membentuk kosakata kitab suci.” (CEII dan Commentary) 7
Tafsir Al-‐Qur’an adalah interpretasi berdasarkan ilmu pengetahuan yang mapan. Ia adalah kata benda infinitive yang diderivasi dari kata kerja transitif ‘fassara’ yang, menurut leksikolog Arab klasik, berarti menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan atau membuka sesuatu yang tersembunyi, atau membuat menjadi jelas, nyata, atau gamblang, menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan. Di situ, tafsir, untuk diterapkan terhadap Al-‐Qur’an, menunjukkan arti memperluas, menjelaskan, atau meng-‐interpretasikan cerita yang ada dalam Al-‐Qur’an, dan memaklumkan pengertian kata-‐kata atau ekspresi yang janggal, serta menjelaskan keadaan ketika ayat-‐ayat itu diwahyukan. Pengertian tafsir yang telah mapan adalah suatu usaha untuk memberikan arti melalui bukti nyata atau eksternal (dalalah zahirah) sebagai bandingan dari bukti internal atau tersembunyi (dalalah bathinah) yang terkandung dalam ta’wil atau interpretasi yang lebih mendalam. (lihat al-‐Itqan karya As-‐ Suyuthi dan al-‐Ta’rifat karya Al-‐Jurjani) Pandangan Al-‐Attas ketika menyatakan, dalam tafsir tidak ada ruang bagi dugaan yang gegabah, penafsiran atau pemahaman subjektif yang hanya berdasarkan ide relativisme historis, tidak berarti kebiasaan-‐kebiasaan seperti itu tidak pernah dilakukan dalam pelbagai karya tafsir, sebab hal itu memang terjadi dan akan terus terjadi. Meskipun demikian, dugaan-‐dugaan dan penafsiran subjektif itu dengan sendirinya dan pada kenyataannya bukanlah tafsir, walaupun merupakan karya besar yang diberi nama tafsir. Namun, karena adanya syarat-‐syarat yang jelas dan diterima secara luas, seperti yang disebutkan di atas, anggota masyarakat yang terdidik secara Islami tentu dapat bersikap secara tepat ketika menghadapi pelbagai penafsiran Al-‐Qur’an yang tidak bermutu dan diakui itu. Karena kenyataan bahwa ilmu-‐ilmu yang disebutkan di atas sangat diperlukan dan telah dikodifikasikan serta dapat diperoleh dengan mudah, ilmu tafsir Al-‐Qur’an adalah sesuatu yang telah direalisasikan dan karena itu tidak terbuka kemungkinan bagi generasi yang akan datang untuk melakukan perubahan-‐perubahan yang fundamental. Sudah tentu generasi mendatang dapat memberi tambahan pengertian yang lebih luas terhadap tafsir otoritatif yang telah ada, khususnya dalam aspek-‐aspek ilmu alam, tetapi mereka tidak dapat begitu saja mengesampingkan penjelasan-‐penjelasan spiritual, etika, dan hukum serta hubungan latar belakang historisnya. Metode ilmiah tafsir, karena sifat ilmiah bahasa Arab, dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa hasil-‐hasil kerja tafsir yang betul adalah ilmu pengetahuan yang pasti, sama pastinya dengan ilmu eksakta, seperti ilmu fisika dan matematika. Kesalahan juga dapat terjadi pada ilmu pasti, baik dalam formulasi paradigma dan prosedurnya maupun dalam aplikasinya, atau pada keduanya. Namun, tafsir sebagai ilmu pasti tidak mungkin salah, karena didasarkan pada aturan linguistik dan bidang semantik mengenai makna yang baku serta pandangan hidup Al-‐Qur’an dan Sunnah nabi yang sahih. Tafsir sebagai ilmu pasti tidak memberikan penjelasan final, karena hal itu termasuk dalam ruang lingkup ta’wil. Pandangan Al-‐Attas mengenai sifat ilmiah tafsir adalah suatu jawaban yang tajam terhadap pandangan yang menyesatkan para penulis muslim yang dipengaruhi, secara langsung atau tidak, oleh perkembangan-‐perkembangan yang terjadi dalam sejarah sains dan sosiologi ilmu pengetahuan, dan perkembangan umum hermeneutika. Karena sifat Al-‐Qur’an yang tidak diragukan lagi dan kodifikasi hadis-‐hadis nabi yang dilakukan secara ilmiah, metode dan produk-‐produk tafsir bahkan ta’wil, seperti diuraikan 8
oleh Al-‐Attas, bukanlah usaha yang serampangan dan subjektif yang mencerminkan kondisi sosial historis dan orientasi ideologis para penafsir, sebagaimana terjadi pada penafsiran teks-‐teks keagamaan atau teks-‐teks lainnya. Sehingga jelaslah bahwa tafsir dan ta’wil bukanlah pemahaman serampangan dan subjektif yang mengikuti perubahan-‐perubahan sosial-‐historis, meskipun rujukan-‐rujukan historis tetap diper-‐timbangkan. Fakta bahwa orang-‐orang Islam terpelajar dan bijaksana yang memahami dan mempertahankan tafsir para pakar otoritatif di masa lampau dengan menghilangkan batasan-‐batasan etnis, geografis, sosial-‐ekonomis, dan historis adalah argumentasi yang lebih dari cukup untuk mendiskreditkan pendapat bahwa tafsir dikondisikan dan dibatasi oleh situasi-‐situasi sosial historis dan ekonomi. Hermeneutika dan Dekonstruksi Hukum Islam Salah satu pintu masuk diterapkannya hermeneutika untuk menafsir ulang doktrin hukum Islam adalah adanya prinsip maslahat dan maqashid syari’ah dalam konstruksi hukum Islam. Anehnya, kaum liberal berani menganulir teks-‐teks syariah atas nama pemenuhan kemaslahatan manusia, seakan-‐akan syariah hadir untuk merampas kemaslahatan manusia. Mereka mengklaim dengan hal itu tidak ingin merobohkan syariah, melainkan hendak menjaga maqashid dan substansinya, tanpa harus terikat dengan bentuk formalnya. Mereka hendak membatalkan dan merobohkan seluruh bangunan fikih dan ilmu ushul fikih Islam, dan mencukupkan diri dengan konsep maqashid yang cenderung sekuler (karena telah diplintir) untuk menjustifikasi semua produk hukum dan peradaban Barat modern dan postmo. Alias semuanya bisa dibenarkan atas nama maqashid syariah. Itu sama saja menghancurkan hukum-‐hukum syariah atas nama syariah itu sendiri. Dengan kedok falsafah maqashid, kita disuruh mengubah hukum keluarga dalam Islam; mencegah talak jatuh oleh suami, mengharamkan poligami, membolehkan muslimah kawin dengan non muslim, dan menyamakan bagian waris anak laki-‐laki dan perempuan dll atas nama memelihara maslahat umum yang menjadi tujuan syariat yang utama! Sehingga mazhab penganulir teks ini berkesimpulan boleh menganulir hukum hudud dan sistem sanksi Islam lainnya yang ditetapkan oleh teks-‐teks Qur’an yang pasti atas nama maslahat dan maqashid. Penulis berhasil mengidentifikasi beberapa visi dan landasan berfikir yang mendasari fenomena pembacaan hermeneutis atas kitab suci Al-‐Qur'an. Prioritas tujuan dari riset ini adalah munculnya fakta pengaruh ideologi para penganjur hermeneutika untuk Al-‐Qur'an di balik gerakan sistematis ini. Sehingga, hemat penulis, persoalan ini tidak lah relevan bila dikaitkan dengan urusan metodologi yang digunakan mereka. Karena letak persoalan serius justru karena ideologi sekulerisme yang diinfiltrasikan ke dalam Islam dan alam pandangan hidup umat Islam, dengan satu tujuan besar yaitu pengosongan Islam dari ajaran-‐ajarannya yang luhur dan melumpuhkannya agar tidak berlaku efektif dalam kehidupan umat. Ulama besar Mesir yang konsern mematahkan argumentasi kaum liberal Mesir, Yusuf Al-‐Qardhawi menyindir pendekatan interpretasi model ini sebagai sikap latah dan minder di hadapan Barat sehingga mengekor worldview dan model interpretasi mereka. Ia menyatakan, 9
ﻓﻣﺎ ﺭرﺁآﻩه ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﺣﺳﻧﺎ ﻓﻬﮭﻭو ﻋﻧﺩد ﷲ ﺣﺳﻥن ﻭوﻣﺎ ﺭرﺁآﻩه ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﻳﯾﺭرﻳﯾﺩدﻭوﻥن ﺃأﻥن ﻧﻧﻅظﺭر ﺑﻌﻳﯾﻥن ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﻭوﻧﺳﻣﻊ ﺑﺄﺫذﻥن ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﻭوﻧﻔﻛﺭر ﺑﻌﻘﻝل ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﻭوﻓﻛﺭرﺓة ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﻣﻥن ﻫﮬﮪھﻧﺎ ﻳﯾﺭرﻳﯾﺩدﻭوﻥن ﺃأﻥن ﻳﯾﻔﺭرﺿﻭوﺍا ﻋﻠﻳﯾﻧﺎ ﻓﻠﺳﻔﺔ ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﻓﻲ ﺍاﻟﺣﻳﯾﺎﺓة ﻭوﻧﻅظﺭرﺓة ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﺍاﻟﻰ ﺍاﻟﺩدﻳﯾﻥن... ﻗﺑﻳﯾﺣﺎ ﻓﻬﮭﻭو ﻋﻧﺩد ﷲ ﻗﺑﻳﯾﺢ ! ﺍاﻟﻐﺭرﺏب ﻓﻲ ﺍاﻟﻘﺎﻧﻭوﻥن ﻭوﺍاﻻﺟﺗﻣﺎﻉع ﻭوﺍاﻟﺳﻳﯾﺎﺳﺔ ﻭوﺍاﻟﻠﻐﺔ ﻭوﺍاﻟﺛﻘﺎﻓﺔ ﻭوﻧﻅظﺭرﻳﯾﺎﺕت ﻋﻥن ﺍاﻟﻌﻠﻣﺎﻧﻳﯾﺔ “Kaum sekuler-‐liberal ingin umat memandang sesuatu dg kacamata Barat, mendengar dg kuping Barat, dan berfikir dengan nalar/framework Barat. Sehingga Apa saja yg bagus menurut Barat maka baik menurut Allah, dan Apa saja yg dinilai buruk oleh Barat maka ia pun buruk menurut Allah. Mereka hendak memaksakan kepada kita filsafat Barat dalam soal bagaimana kita harus hidup, pandangan Barat ttg agama, konsep Barat ttg sekularisme dan berbagai teori Barat dlm bidang hukum, sosial, politik, bahasa dan kebudayaan!” (Kitab Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari’ah: 2007, hlm.96) Ilmuan Barat Menampik Hermeneutika Seorang sarjana Barat modern menyatakan bahwa hermeneutika tidak cocok untuk diterapkan dalam konteks Islamic Studies, seperti terungkap dari Prof. Joseph van Ess, professor emeritus dan pakar teologi Islam di Universitas Tuebingen Jerman: “We should, however, be aware of the fact that German hermeneutics was not made for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestant theology. Schleiermacher applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply imbued with German literature and antiquity. When such people say text they mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text which exists only in one version, say a tragedy by Sophocles, Plato’s dialogues, a poem by Holderlin. This not necessarily so in Islamic studies.” (Irene A. Bierman (ed), Text & Context in Islamic Societies Reading, UK: Ithaca Press, 2004, hlm. 7) Jadi, menurut beliau, hermeneutika Jerman tidak pernah digagas untuk kajian Islam, sebab asal mulanya adalah produk pemikiran teologi Protestan. Schelairmacher menerapkannya dalam kajian kritis Bible, lalu dilanjutkan oleh Heidegger dan Gadamer untuk kajian susastra dan naskah-‐naskah kuno. Intinya metode tersebut tidak lah cocok diterapkan untuk Islamic studies. Namun terus saja fakta tersebut diabaikan, dan kelompok liberal terus menerus menjajakan hermeneutic untuk menafsirkan firman Allah swt. Kesadaran palsu para penganjur sekularisasi teks Al-‐Qur'an dan ilmu-‐ilmu Al-‐Qur'an telah mendorong mereka untuk menyederhanakan persoalan seakan hal ini berkaitan erat dengan problematika metodologi yang digunakan untuk menganalisis Al-‐Qur'an. Padahal target mereka tak lain adalah untuk mengimpor 'sisa-‐sisa limbah' metodologi yang telah menyesaki ilmu humaniora peradaban Barat, yang mana hal itu belum tentu cocok dengan prinsip-‐prinsip Islam dan rincian-‐rincian ajarannya. Limbah metodologi Barat itu diproyeksikan untuk menyerang dan melumpuhkan Islam yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Tujuan riset yang telah kami tulis terkait dengan tema ini di dalam 3 pasal secara berurutan adalah sebagai berikut:
10
1) Riset ini telah menjelaskan betapa jauhnya berbagai pendekatan metode yang diimpor dari Barat itu dengan spirit nilai-‐nilai Al-‐Qur'an, karena berbenturan keras dengan hal-‐hal aksioma di dalam Islam. 2) Riset ini berhasil menunjukkan ketidakmampuan metode-‐metode humaniora Barat untuk sampai kepada hasil apa pun. Karena memang metode humaniora tersebut lahir sesuai dengan setting pemikiran Barat dan untuk melayani kepentingan analisis karya-‐karya sastra yang ditulis oleh manusia, bukannya untuk menafsiri risalah Allah swt. Dan masih tersisa lagi satu persoalan dasar bahwa ilmu-‐ilmu humaniora tersebut tidak pernah berhasil untuk menjadi hakim dan kata putus dalam studi-‐studi Al-‐Qur'an. Alasannya sederhana, bahwa secara logis amat mustahil sesuatu yang relatif dapat mengatur dan menentukan nilai yang absolut. Fakta keilmuan inilah yang selalu diperhatikan oleh para pakar ilmu syariah dalam seluruh rentang sejarah peradaban Islam. Ilmu-‐ilmu humaniora Barat tidak dapat menjadi wasit bagi nash Al-‐Qur'an. Logikanya adalah mustahil menengahi Al-‐Qur'an dengan teori-‐teori yang sangat spekulatif dan relatif. Ilmu-‐ilmu humaniora Barat dibangun untuk memenuhi tujuan tertentu jadi sudah tidak objektif lagi, seperti diungkap oleh Jabir al-‐Haditsi dalam artikelnya yang berjudul "Azmat al-‐ 'Ulum al-‐Insaniyyah" (Krisis Ilmu Humaniora) di dalam jurnal al-‐Fikr al'Arabi edisi 37. Objektifitas ilmiah yang diklaim ada dalam kajian humaniora Barat adalah "hipokrasi" intelektual yang mesti diungkap sebagai skandal. Krisis internal dalam kajian humaniora ini sebenarnya berdimensi ideologis, sehingga tidak pernah melahirkan kesepakatan di antara golongan intelektual Barat yang bergelut di dalamnya. Selain itu aspek teknis dari krisis internal itu tercermin dalam tidak adanya teori tafsir yang utuh dan komprehensif dalam ilmu humaniora Barat, seperti diungkap oleh Michele Foucoult. Hal ini bisa dibuktikan bahwa teori interpretasi sejak Marx, Freud, Nitsche adalah tidak berkesudahan. Sebab bagi mereka bahaya paling besar adalah kepercayaan terhadap suatu tanda-‐tanda yang memiliki wujud asli dan bersifat final. Guna menetapkan teori interpretasi, berbagai pendekatan dilakukan, tetapi suatu hal yang pasti bahwa setiap takwil dipaksa untuk mentakwilkan (reinterpretasi) dirinya sendiri. Tidak ada lagi kerangka acuan bagi proses interpretasi. Michele Foucault mengakui hal itu dengan mengatakan hampir mustahil membuat ensiklopedi bagi seluruh tehnik interpretasi dalam ilmu humaniora Barat, bahkan sangat sedikit sekali yang ditulis untuk tujuan ini. Penutup Dari ulasan di atas, terbukti bahwa fenomena pembacaan hermeneutik atas Al-‐Qur'an yang didasari oleh perkembangan ilmu humaniora Barat tak lain untuk meliberalkan tafsir Al-‐ Qur'an dari kaidah-‐kaidah metodologis yang pasti. Dalam konteks inilah, maka mereka dimungkinkan untuk bisa melontarkan apa saja tanpa ada rasa malu untuk mempertanyakan legitimasi dan akar justifikasi pemikiran-‐pemikiran mereka. Jika demikian, tak ada gunanya bagi kita untuk menerima metode pembacaan teks yang sekuler untuk diterapkan bagi nash Al-‐Qur'an. Bahkan, sudah seharusnya kita membendung dan memerangi program liberalisasi dan sekularisasi studi Al-‐Qur'an karena jelas-‐jelas akan membahayakan visi misi Al-‐Qur'an seperti yang ditanzilkan oleh Allah swt. 11
Lampiran.1
GRAND STRATEGY LIBERALISASI AL-‐QUR’AN Oleh: Fahmi Salim, M.A.
UNTUK MEREALISASIKAN TUJUAN IDEOLOGIS PENYEBARAN PAHAM SEKULARISME DAN LIBERALISME KE DALAM ISLAM MELALUI PRODUK-‐PRODUK TAFSIR, KAUM LIBERAL MENEMPUH CARA DAN STRATEGI KRITIS: 1. HUMANISASI TEKS AL-‐QUR’AN; BERTUJUAN MENGHAPUS HAMBATAN SAKRALITAS ATAU DESAKRALISASI AL-‐QUR’AN; MENOLAK KEYAKINAN BAHWA AL-‐QUR’AN ADALAH FIRMAN ALLAH YG SAKRAL/SUCI. MEKANISMENYA: MENGALIHKAN STATUS AL-‐QUR’AN DARI BERSIFAT ILAHI MENJADI MANUSIAWI, MELALUI LANGKAH-‐LANGKAH SPT: MENYAMAKAN AL-‐QUR’AN DENGAN STATUS NABI ‘ISA, KEDUANYA ADALAH KALIMAT ALLAH, JIKA MUSLIM MENAFIKAN STATUS KETUHANAN BAGI ISA DAN MENETAPKAN BAGINYA STATUS MANUSIAWI, MAKA MEREKA WAJIB MENAFIKAN PULA STATUS KETUHANAN BAGI AL-‐QUR’AN DAN MENETAPKAN UNTUKNYA STATUS MANUSIAWI! HASIL UMUM: MENJADIKAN AL-‐QUR’AN SEBAGAI TEKS MANUSIAWI SAMA DENGAN TEKS BAHASA LAINNYA., SEHINGGA MENGAKIBATKAN ADANYA: -‐ AL-‐QUR’AN DILINGKUPI DAN TAK LEPAS DARI KONTEKS BUDAYA YANG KHAS YANG MENGITARINYA. KARENA MEMILIKI KONTEKS SOSIO-‐CULTUR MAKA IA HARUS DIPANDANG RELATIF DAN TIDAK LAGI MENJADI ABSOLUT. -‐ TEKS ALQUR’AN MENJADI PROBLEMATIS; TERBUKA ATAS SEGALA KEMUNGKINAN MAKNA DAN MENERIMA PELBAGAI TAKWIL, JUGA TIDAK BOLEH ADA KLAIM HANYA ADA SATU PEMAKNAAN SAJA YANG BENAR DAN ORISINIL DARI SUATU AYAT. -‐ TEKS ALQUR’AN SEPENUHNYA DIIKAT OLEH KONDISI MANUSIA SELAKU PEMBACA, IA LAH YANG MEMINTA ALQUR’AN BERBICARA MELALUI LATAR KEILMUAN, SOSIO KULTUR DAN POLITIS YANG DIMILIKINYA. -‐ TEKS ALQUR’AN TIDAK SEMPURNA, ADA YANG TERCECER DISEBABKAN PROSES KODIFIKASINYA SARAT DENGAN KEPENTINGAN POLITIK DAN HEGEMONI QURAISY. KONSENSUS BAHWA ALQUR’AN MUTAWATIR DIPERSOALKAN KEMBALI. 2. RASIONALISASI TEKS BERTUJUAN MENGHAPUS HAMBATAN TRANSENDENSI; KEYAKINAN BAHWA ALQUR’AN ADALAH WAHYU YANG OTENTIK DAN FINAL DARI ALLAH YANG MAHA GAIB. DEKONSTRUKSI KONSEP AL-‐ QUR’AN; dari Teosentris ke Humanis-‐Antroposentris. MEKANISMENYA DENGAN CARA MENGANALISIS KITAB SUCI DENGAN METODE-‐METODE RISET HUMANIORA DAN CULTURAL STUDIES. MELALUI LANGKAH-‐LANGKAH METODOLOGIS BERUPA: -‐ MENGKRITIK ULUMUL QUR’AN; SEBAGAI PRODUK PEMIKIRAN ULAMA KLASIK YG BERORIENTASI TEOSENTRIS YANG ADA SEKARANG INI SUDAH TAK BERLAKU LAGI KARENA MENGHALANGI PEMBACAAN ALQUR’AN SECARA ILMIAH DAN DIALEKTIS, KRITIS-‐ KONSTRUKTIF DAN HUMANIS. ORIENTASI ULUMUL QUR’AN DIUBAH HALUANNYA MENJADI ANTROPOSENTRIS.
12
-‐
-‐
MENGGUNAKAN METODOLOGI ILMU PERBANDINGAN AGAMA YG TELAH LAMA DIGUNAKAN UNTUK MENGANALISIS DAN MENGKRITIK TAURAT DAN INJIL, UNTUK DITERAPKAN KEPADA ALQUR’AN. SEMUA ALAT ANALISA ITU SAMA KUAT DAN BERFUNGSI UNTUK DITERAPKAN KEPADA SEMUA AGAMA DAN SEMUA KITAB SUCI TANPA KECUALI. MEMAKAI SEMUA TEORI-‐TEORI KAJIAN KRITIK SASTRA YANG MUNCUL PADA PARUH KEDUA ABAD 20 TANPA MEMPERDULIKAN DAMPAKNYA SEPERTI STRUKTURALISME, HERMENEUTIKA, DEKONSTRUKSI DLL.
HASILNYA ADALAH: ALQUR’AN SAMA DENGAN TEKS KITAB SUCI AGAMA LAIN BAIK YANG MONOTEIS, POLITEIS, DAN ATEIS SEKALIPUN. BERIKUT BEBERAPA TURUNANNYA: -‐ MENGUBAH KONSEP WAHYU, “MELALUI KAJIAN INI, KAMI INGIN MENDEKONSTRUKSI DAN MELAMPAUI KONSEP WAHYU YANG TRADISIONAL SEPERTI YANG DIAJUKAN SISTEM TEOLOGI KLASIK ISLAM” (M. ARKOUN) -‐ ALQUR’AN TIDAK UNGGUL DAN ISTIMEWA DIBANDINGKAN KITAB-‐KITAB SUCI AGAMA LAIN. PERUBAHAN DAN DISTORSI TEKS DAN SEJARAH KITAB SUCI SPT DALAM KASUS BIBLE JUGA AMAT MUNGKIN TERJADI PADA ALQUR’AN. -‐ KETIDAKHARMONISAN SUSUNAN TEKS ALQUR’AN; BERDAMPAK KEPADA KONTRADIKSI DALAM MEMAHAMI MAKSUD DAN JUGA KERUWETAN DALAM ALUR CERITA KISAHNYA. 3. HISTORISITASI TEKS ALQUR’AN BERTUJUAN MENGHAPUS KEYAKINAN BAHWA ALQUR’AN MEMBAWA ATURAN-‐ATURAN HUKUM YANG PASTI DAN UNIVERSAL. DEFORMALISASI SYARI’AH AL-‐QUR’AN MEKANISMENYA DENGAN CARA MENGAITKAN AYAT ALQUR’AN DENGAN SITUASI LINGKUNGAN DAN ZAMANNYA, SERTA KONTEKS-‐KONTEKS SOSIO KULTUR YANG BERBEDA. MELALUI LANGKAH BERIKUT: -‐ MENGEKSPLOITASI TEMA-‐TEMA ULUMUL QUR’AN YG ADA KAITANNYA DENGAN KONTEKS TEMPAT DAN WAKTU SEPERTI KONSEP ASBAB NUZUL, NASIKH-‐MANSUKH, MUHKAM-‐ MUTASYABIH, MAKKI-‐MADANI, GRADUALISASI PENURUNAN ALQUR’AN. MENJADI PEMBENARAN BAGI STRUKTUR DIALEKTIS MATERIAL-‐HISTORIS, DAN PEMBENARAN UNTUK STUDI KRITIS HISTORIS. MENCIPTAKAN KESAN KONTRADIKSI ANTARA ASPEK NORMATIFITAS DAN HISTORISITAS DALAM ALQUR’AN. -‐ MENGABURKAN KONSEP HUKUM -‐ MENGECILKAN JUMLAH AYAT-‐AYAT HUKUM DALAM ALQUR’AN -‐ RELATIFITAS AYAT-‐AYAT HUKUM -‐ LEBIH DARI ITU ADALAH UPAYA MENGGENERALISIR HISTORISITAS MENCAKUP AYAT AQIDAH. HASILNYA: ALQUR’AN MENJADI TEKS HISTORIS SEPERTI TEKS SEJARAH LAINNYA, YANG BERDAMPAK KEPADA: -‐ PEMBATALAN AKIDAH BAHWA ALQUR’AN BERISI PENJELASAN YANG LENGKAP ATAS SEGALA HAL -‐ MENGANGGAP AYAT-‐AYAT HUKUM HANYA SEBATAS HIMBAUAN (PERSUASIF) BUKAN BERSIFAT IMPERATIF (ILZAM) -‐ FUNGSI ALQUR’AN HANYA MENGARAHKAN ETOS, NILAI-‐NILAI ETIS (BERSIFAT SUKARELA) SAJA TIDAK MASUK KEPADA FORMALISASI SYARIAT ISLAM. -‐ SERUAN UNTUK KEBERAGAMAAN YANG LENTUR DI TATARAN PRIVAT, TIDAK MASUK KE WILAYAH PUBLIK APALAGI MENGIKAT DAN MENGATUR SECARA KAKU. KEIMANAN BERSIFAT PERSONAL DAN TIDAK BOLEH DIBAWA KE RANAH PUBLIK. 13
KESIMPULAN PADA HAKIKATNYA GRAND STRATEGI LIBERALISASI ALQUR’AN ITU ADALAH COPY PASTE PRINSIP-‐ PRINSIP ABAD PENCERAHAN BARAT YANG MENENTANG OTORITAS AGAMA (KRISTEN), INSTITUSI AGAMA (GEREJA) DAN KAUM AGAMAWAN (PAUS SEBAGAI PENGUASA TAFSIR TUNGGAL). AKIBATNYA PERADABAN BARAT KRISTEN BERUBAH HALUAN: -‐ DARI BERORIENTASI TUHAN DAN AGAMA MENJADI ORIENTASI MANUSIA DAN NILAI-‐NILAI KEMANUSIAAN; PEMICU FILSAFAT HUMANISME UNTUK MENCABUT OTORITARIANISME GEREJA DI BIDANG SPIRITUAL MANUSIA. [OLEH KAUM LIBERAL ISLAM DITERJEMAHKAN DALAM PROYEK HUMANISASI TEKS DESAKRALISASI AL-‐QUR’AN KEHANCURAN SPIRITUALITAS MUSLIM]. -‐ DARI BERSANDAR KEPADA SKRIPTURE/TEKS BIBLE MENJADI BERORIENTASI AKLIAH DAN OBSERVASI SAINS; PEMICU RASIONALISME (PERCAYA THD KEKUATAN AKAL DAN INDRA MANUSIA) UNTUK MENCABUT OTORITARIANISME GEREJA DI BIDANG KEILMUAN DAN SAINS. [OLEH KAUM LIBERAL ISLAM DIWUJUDKAN DALAM PROYEK RASIONALISASI TEKS DEKONSTRUKSI AL-‐QUR’AN DIKOTOMI AGAMA DAN SAINS]. -‐ DARI BERORIENTASI AKHIRAT MENJADI ORIENTASI KEHIDUPAN DUNIA/JANGKA PENDEK DI BIDANG POLITIK KEMASYARAKATAN. MEMICU FAHAM SEKULARISME UNTUK MENCABUT OTORITARIANISME GEREJA DI BIDANG SOSIO KULTUR DAN POLITIK, DAN MENOLAK ATURAN AGAMA DI RANAH PUBLIK. [OLEH KAUM LIBERAL ISLAM DIWUJUDKAN DALAM PROYEK HISTORISITASI TEKS DEFORMALISASI ISLAM POLITIK SEKULARISASI UMAT ISLAM]. Wallahu A’lam bis-‐Shawab.
*penulis dapat dihubungi via email:
[email protected], http://fahmi-‐salim.blogspot.com, pin BB: 27FBD3DB, Hp: 0815-‐84306333
14
Lampiran.2
BUKTI-‐BUKTI KESESATAN PAHAM ISLAM LIBERAL DI INDONESIA Oleh: Fahmi Salim, Lc., M.A. 1. KAMPANYE PAHAM SE(kularisme)-‐P(lural)I(sme)-‐LI(berali)S(me) Budhy Munawar Rahman: Kebebasan beragama itu hanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia kalau ide sekularisme, liberalisme dan pluralisme itu berkembang dengan baik juga di Indonesia. Trilogy itu memang merupakan prasyarat-‐prasyarat konseptual yang akan menentukan arah perkembangan kebebasan beragama di Indonesia. kalau sekularismenya itu berjalan buruk, misalnya Negara terlalu ikut campur dalam urusan agama dan ikut teribat dalam menilai suatu agama itu sesat atau menyimpang, dan atau melakukan diskriminasi agama, pada saat itulah Negara tidak melindungi kebebasan beragama warga negaranya. Karena itu Negara harusnya netral agama. (Membela Kebebasan Beragama, hlm.xiii) 2. KESESATAN UMUM PAHAM LIBERAL: Kaum liberal di seluruh dunia dengan aneka sektenya memiliki karakter pemikiran yang sama, sehingga semua kelompok liberal sepakat dan bersatu dalam aneka kesesatan, antara lain: Tuhan hanya mitos (takhayul), semua masalah ghaib adala mitos, agama hanya produk budaya dan sejarah, semua kitab suci adalah buatan manusia, semua agama sama dan benar, iman dan kafir hanya soal pilihan, taat dan maksiat harus sama diberi ruang, manusia memiliki kebebasan mutlak, Hak Asasi Manusia di atas segalanya, aliran sesat hanya perbedaan penafsiran, murtad adalah kebebasan beragama, atheis adalah kebebasan berkeyakinan, setiap orang bebas untuk mengaku nabi, poligami haram karena syariat syahwat, homo-‐lesbi hanya orientasi seksual biasa, perkawinan sejenis harus dilegalkan, pria dan wanita sama dalam segala hal, syariat Islam bias gender, syariat Islam pemasung kebebasan, syariat Islam diskriminatif, syariat Islam tidak relevan, syariat Islam sudah kadaluwarsa, penerapan syariat adalam ancaman dan penyebab disintegrasi bangsa, agama harus dipisah dari urusan agama. 2.1. BUKU FIQIH LINTAS AGAMA (TIM PARAMADINA): -‐
-‐
-‐
Menghina fiqih sebagai belenggu kehidupan dan memfitnahnya sebagai ajaran yang mendiskreditkan agama lain, penyebar kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain. (hal.ix dan 2) Menghina periode dan generasi salaf salaeh sebagai penyebab kebekuan pemahaman dan memfitnah imam Syafi’i sebagai penyebab tidak berkembangnya pemikiran Islam lebih dari 12 abad. (hal.4-‐5) Menuding ayat-‐ayat madinah adalah diskriminatif, eksklusif dan fundamentalistik (hal.142), menegaskan bahwa umat beragama apa pun tidak kafir karena semua agama sama dan 15
-‐
benar, sehingga tidak boleh ada yang mengklaim bahwa agamanya yang paling benar. (hal.133, 167, 206, 207) Atas dasar hikmah dan kemaslahatan persaudaraan, persahabatan, kerukunan dan persatuan, telah memfatwakan hal-‐hal berikut: boleh mengucapkan salam kepada non-‐ muslim bahkan wajib menjawab salam mereka (hal.72, 77, 78), boleh mengucapkan selamat natal atau selamat hari besar agama apa pun, bahkan boleh ikut merayakannya (hal.84-‐85), boleh mendoakan dan minta doa dari non-‐muslim, termasuk doa bersama lintas agama, semua itu dianjurkan (hal.110-‐118), hukum jizyah melecehkan non-‐muslim sehingga harus dinasakh (hal.151-‐152), boleh kawin beda agama dan harus ada waris beda agama (hal.164-‐ 167)
2.2. BUKU LUBANG HITAM AGAMA (SUMANTO AL-‐QURTHUBY): 1. Penistaan terhadap Agama, mengandung tulisan: -‐ agama bukan produk Tuhan, agama adalah penjajah budaya dan pemasung intelektual, agama mematikan akal dan nalar, agama adalah sumber konflik dan pembawa bencana, Islam adalah strategi budaya muhammad dan merupakan sinkretik campuran budaya Judaisme, Kristianisme, dan Arabisme, penulisan bahasa Arab adalah Arabisme. 2. Penistaan terhadap Al-‐Qur’an, mengandung hal-‐hal berikut: -‐ kemaslahatan lebih diutamakan daripada ayat-‐ayat Tuhan, umar ikut menciptakan Al-‐Qur’an, teks Al-‐Qur’an tidak autentik, nabi dan para sahabat adalah para pencipta Al-‐Qur’an, Al-‐Qur’an angker dan perangkap bangsa Quraisy, dibuat oleh manusia dan bukan kitab suci, Al-‐Qur’an membelenggu kebebasan dan menciptakan tragedy kemanusiaan, Muhammad, Islam dan Al-‐Qur’an tidak lepas dari distorsi, kandungan Al-‐Qur’an kontroversi, Al-‐Qur’an saja bermasalah apalagi kitab kuning. 3. Penistaan terhadap Nabi, Sahabat dan Ulama, mengandung tulisan: -‐ Utsman pelaku nepotisme dan keliru membuat mushaf Al-‐Qur’an, nabi dan para tokoh non-‐muslim seperti Gandhi, Luther, Bunda Terresa dan Romo Mangun bersama-‐sama menunggu di sorga, kisah heroic para nabi dan mukjizatnya hanya dongeng, nalar politik tirani dibentuk oleh Khulafa Rasyidin, para sahabat nabi telah memperagakan politik Islam dengan sangat sempurna mengerikannya, Imam al-‐Mawardi mengkhianati hak-‐hak rakyat dan seorang rasis Arabisme, doktrin politik Sunni ambigu dan kadaluarsa, al-‐Asy’ari dan al-‐Maturidi menjalin persekongkolan politik, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah sekte yang telah memanipulasi teks-‐teks agama. 4. Penistaan terhadap Syariat Islam, diantaranya: -‐Syariat Islam menciptakan gerombolan mafia dan anjing-‐anjing penjilat kekuasaan, syariat Islam diskriminatif terhadap perempuan dan non-‐muslim, formalisasi syariat Islam bukan hanya utopis tapi juga tirani. 16
3. KAMPANYE DESAKRALISASI AL-‐QUR’AN = KRITIK AL-‐QUR’AN 3.1. Aksin Wijaya: Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, Al-‐Qur’an dan mushaf Utsmani. Ketiganya adalah tiga nama yang mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentik Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; Al-‐Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat sekitar lima puluh persen pesan Tuhan; dan mushaf sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-‐ kira tiga puluh persen pesan Tuhan… hal itu terjadi bukan karena Tuhan tidak mampu menjamin keabadian pesan-‐Nya, melainkan karena keterbatasan bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu. (Arah Baru Studi Ulum Al-‐Qur’an, hlm.vii) Lebih-‐lebih khalifah Utsman juga telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus Al-‐Qur’an individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada mushaf Utsman. Mushaf Utsmani ini telah menjadi penjara bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan Al-‐Qur’an mushaf Utsmani merupakan dua anak kembar yang bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya. (hlm.172) Pemikiran Islam selalu berorientasi pada bagaimana memahami pesan Tuhan secara objektif dengan menggunakan model romantisis, sehingga akhirnya yang ditemukan bukanlah apa yang dimaksudkan oleh Tuhan sebagai pengirim pesan, melainkan apa yang dimaskudkan oleh pemilik bahasa Arab, karena Tuhan pada dirinya berada di luar jangkauan akal teori romantisis. Serentak makna yg ditemukan melalui teori itu diyakini sebagai makna yang dimaksud Tuhan, sehingga makna itu dimutlakkan kebenarannya dan dijalankan sebagai kendaraan dalam menjalani hidup di dunia menuju akhirat. Padahal pemahaman seperti itulah yang justru telah menyuburkan adanya peluang penjajahan budaya oleh pemilik bahasa Arab. Karena itu, kita harus hati-‐hati. Kita harus mlepaskan diri dari asumsi umum yang seolah telah menjadi kebenaran mutlak dari Tuhan. (hlm.173) 3.2. JURNAL JUSTISIA FAK. SYARIAH IAIN WALISONGO “Imbas dari sikap Utsman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk mensakralkan Al-‐Qur’an produksi Quraisy. Karenanya wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Al-‐Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Utsman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab dan Islam. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan quran lah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.” (Pengantar Redaksi Jurnal justisia IAIN Wali Songo Fak. Syariah edisi 23 tahun XI 2003, hlm.1) “Stabilitas nalar Islam di bawah payung Qur’an dialek Quraisy tersebut semakin menampakkan kekuatannya ketiak imam Syafi’i (150-‐204 H) menjadikan quran sebagai otoritas mutlak. Syafi’i seorang ulama keturunan Quraisy, dalam hal ini menyusun disiplin ilmu baru untuk memperkuat 17
sangga ortodoksi yakni ilmu ushul fiqih. Adanya teori ushul fiqih Syafi’i yang menyandarkan konstruk nalar Islam pada kitab, sunnah, ijma’ dan qiyas secara hirarkis menunjukkan bahwa ilmu ushul fiqih Syafi’i adalah upaya memperkuat sangga otoritas nalar Islam Arab-‐Quraisy. Kita tidak menutup mata bahwa hingga saat ini, nalar Islam konstruk Syafi’i tersebut masih kuat mencengkeram nalar Islam. Generasi pasca Syafi’i tidak kreatif dan hanya membeo pemikiran Syafi’i. Teori ushul fiqih ala Syafi’i yang ke-‐Arab-‐an inilah yang harus kita amandemen. Itulah tanggung jawab kita sebagai generasi masa kini untuk menyusun teori ushul fiqih baru dengan lebih mengedepankan aspek demokrasi, rasionalitas, dan pro tradisi lokal.” (hlm.4) Adanya studi kritik Qur’an juga ditujukan untuk menjawab tantangan realitas kekinian. Sebab, dalam kehidupan modern sekarang ini, dimana dunia tidak punya sekat, interaksi antar manusia terjadi setiap saat. Dalam masyarakat modern, wajib adanya penghormatan kebebasan sipil, HAM, kebebasan beragama dan kesetaraan gender. Tak hanya itu, umat beragama mesti menguatkan demokrasi, civil society, mengentaskan kemiskinan, memerangi terorisme, melawan hegemoni Barat, agar tercipta system dunia yang adil dan setara. (hlm.4) 4. LEGALITAS HOMOSEKSUAL; GAY DAN LESBI, BISEKSUAL DAN TRANS GENDER 4.1. Musdah Mulia: Bahkan, menarik sekali membaca ayat-‐ayat Al-‐Qur’an soal hidup berpasangan (ar-‐Rum 21; az-‐Zariyat 49; Yasin 36) disana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin social). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Mahas suci Allah yang menciptakan manusia dengna orientasi seksual yang beragam. Sayangnya tidak banyak manusia mau memahami ciptaan-‐Nya. Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status social dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya. (Jurnal Perempuan58, Wawancara hlm.126) Agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia. Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual, dan orientasi seksual lainnya dinilai menimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh cinta, kasih sayang dan kebahagiaan. Tuhan melihat manusia semata-‐mata berdasarkan takwa, bukan pada suku, agama dan orientasi seksualnya. Bicara soal takwa, hanya than yang punya hak prerogative menilai, bukan manusia. Manusia Cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul khayrat). Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau takwa selama da menjunjung tinggi nilai-‐nilai agama, yaitu tidak syirik, meyakini kerasulan Muhammad, serta menjalankan ibadah yang diperintahkan, tidak menyakiti
18
pasangannya, dan berbuat baik kepada sesame makhluk dna peduli lingkungan. Seorang lesbian yang bertakwa akan mulia di sisi Allah. Saya yakin ini! (hlm.127) 4.2. INDAHNYA KAWIN SESAMA JENIS; JURNAL JUSTISIA IAIN WALISONGO “Kami justru melihat perkawinan sejenis (disamping aspek nurani dan hasrat si homo) juga bisa menjadi solusi alternatif bagi upaya penanggulangan ledakan penduduk dunia. Ketika dunia sekarang ini menghadapi problem membanjirnya manusia, maka perkawinan sejenis bisa menjadi solusi memperkecil pertumbuhan penduduk mengingat kawin sejenis tidak menghasilkan keturunan.” “Lantas kenapa pernikahan homoseksual mesti dialarang padahal justru ada unsur kemaslahatan, khususnya bagi diri si homoseks dan umumnya bagi umat manusia yang kini dilanda krisis? Hanya orang primitife saja yang melihat perkawinan sejeis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena waktu itu populasi manusia masih sedikit) maka sekarang Tuhan perlu mengutus nabi untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-‐Nya. Bagi kami, jalan terus kaum homoseks. Anda di jalan yang benar!” (Jurnal Justisia Fak. Syariah IAIN Wali Songo edisi 25 tahun XI 2004 hlm.1) Pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang kerena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Pembacaan yang dilakukan hanya sebatas membaca narasi permukaan atas kisah kaum Luth, tapi tidak membaca narasi yang tak tampak. Boleh jadi cerita kaum Luth itu (kalaupun benar adanya, jangan-‐jangan malah Cuma mitos..!) terdapat kepentingan politik Luth terhadap seseorang yang kebetulan homoseks. Di sinilah kewajiban umat Islam untuk membaca narasi yang tak tampak dalam kisah Luth yang selama ini menjadi justifikasi teologis pengharaman nikah sesama jenis. Selain membangun nalar Islam yang emansipatif, kita juga harus melakukan advokasi terhadap mreka yang tertindas oleh agama, dalam konteks ini adalah komunitas homoseks. Aksi pembebasan adalah tugas suci yang harus kita lakukan (hlm.4) 4.3. SUMANTO AL-‐QURTHUBY: Dasar bahwa gay dan lesbian adalah menyalahi kodrat kemanusiaan adalah alasan yang ganjil, sebab fitrah Tuhan bukanlah laki-‐laki atau perempuan saja. Gay, lesbian dan waria juga bagian dari fitrah atau kodrat kemanusiaan itu. Saya rasa tidak ada kaum gay atau lesbian yang menghendaki untuk menjadi gay atau lesbian. Dengan kata lain, status seksual mereka sebagai seorang gay atau lesbian juga merupakan anugerah Tuhan, meskipun tentu saja tetap ada factor lingkungan, sosiologi dan psikologis. Karena itu atas dasar apa menganggap mereka menyalahi kodrat? Fenomena gay-‐lesbian bukanlah sebuah kecelakaan sejarah penciptaan manusia, melainkan sesuatu yang wajar, natural dan given adanya. (Banyak Jalan Menuju Islam; Kritik Atas Fundamentalisme Agama)
19
Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan yang sangat fundamental saja, Tuhan telah membebaskan manusia untuk memilih; menjadi mukmin atau kafir, maka jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak peduli, apalagi masalah seksual? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek seks bebas atau prakteks seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti dalam dictum agama, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan iu sendiri. Jika agama masih mengurusi masalah seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu. (Jihad Melawan Ekstrimitas Agama; Membangkitkan Islam Progresif, hlm. 182-‐183) Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, demokratis dan tidak ada pihak yang disubordinasikan dan diintimidasi?.... Jika seorang dosen atau penulis boleh menjual otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai pengkhotbah boleh menjual mulutnya untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang menjual pantat dan pinggulnya untuk mendapat uang, apakah tidak boleh seorang laki-‐laki atau perempuan menjual alat kelaminnya untuk menghidupi anak-‐istri/suami mereka?? (hlm.184) 5. ARGUMEN PLURALISME AGAMA; ABDUL MOQSITH GHAZALI Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat it tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani dan orang-‐orang Shabiah beriman kepada nabi Muhammad saw. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-‐orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-‐orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta melakukan amal saleh-‐-‐-‐sekalipun ia tidak beriman kepada nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang Yahudi, Nashrani dan Shabiah beriman kepada nabi Muhammad adalah pernyataan para mufassir, dan bukan ungkapan Al-‐Qur’an. Muhammad Rasyid Ridha berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah untuk beriman kepada nabi Muhammad. Ia berkata: “Tidak ada kesangsian tentang tidak disyaratkannya beriman kepada nabi Muhammad saw. Ini karena komunikasi Allah dengan setiap kelompok atau beragam umat beriman (selalu dengan menghadirkan) seorang nabi dan wahyu yang khusus” (Tafsir Al-‐Manar, juz 1, hlm.275) dalam buku -‐ Argumen Pluralisme Agama hlm.249-‐ 6. NIKAH BEDA AGAMA (NBA) Argumentasi kebolehan NBA bila calon pasangan laki-‐lakinya berasal dari ahli kitab dilandaskan pada: Pertama, tujuan pokok kehadiran agama untuk menjadi landasan system dan norma-‐norma kebaikan. Kedua, menikah adalah fitrah dan kebuTuhan asasi semua manusia. Ketiga, cinta merupakan dorongan suci yang diciptakan Allah dalam diri setiap manusia. Keempat, NBA merupakan syariat suci, solusi, dan alternative yang lebih baik, serta lebih membawa kebaikan bagi kedua pasangan daripada memilih jalan non-‐syariat. Adapun rukun nikah bagi pasangan NBA bila calon laki-‐lakinya non-‐muslim sama degan NBA yang pasangan perempuannya berasal dari ahli kitab. (Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama, karya Moh. Monib dan Ahmad Nurcholish, penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm.174-‐175) 20