KRITIK SOSIAL DALAM PUISI JOKO PIURBO “BAYI DI DALAM KULKAS” SOCIAL CRITIC I JOKO PIURBO POETRY “BAYI DI DALAM KULKAS” Dody Kristianto Kantor Bahasa Provinsi Banten Jalan Cipocok Jaya 129, Serang, Banten 41212 Ponsel: 085731949086 Pos-el:
[email protected] (Makalah diterima tanggal 6 Januari 2015—Disetujui tanggal 30 Maret 2015) Abstrak: Tulisan ini bertujuan mendefinisikan kritik sosial yang terkandung di dalam puisi Joko Pinurbo “Bayi di Dalam Kulkas”. Joko Pinurbo adalah salah satu penyair Indonesia yang juga berproses pada periode 1980 hingga sekarang. Masa itu juga menjadi masa menjelang berakhirnya kekuasaan Rezim Orde Baru di Indonesia. Telaah ini menggunakan teori semiotik Peirce karena puisi JP yang bersifat humoris ternyata menunjukkan tanda-tanda yang merepresentasikan kehidupan rakyat Indonesia pada masa Orde Baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui simbol, JP menggambarkan berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap rakyat Indonesia. Akan tetapi, berbagai bentuk represif tersebut direaksi rakya dengan tindakan pasif. Hal itu terjadi karena tekanan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru bersifat menyeluruh. Kata Kunci: kritik sosial, puisi, Joko Pinurbo Abstract: This paper aims to define social criticism contained in the poem Joko Pinurbo "Bayi di Dalam Kulkas". Joko Pinurbo Indonesia is one poet who is also acting on the period from 1980 to now. The period was also a period before the end of the rule of the $ew Order regime in Indonesia. This study uses a semiotic theory of Peirce as JP poetry that is humorous turns showing signs that represent the life of the people of Indonesia in the $ew Order. The results showed that through symbols, JP describe various forms of violations committed by the regime against the people of Indonesia. However, various forms of repressive Folk reacted with passive measures. It happened because of pressure exerted by the $ew Order regime was comprehensive. Keyword: social critic, poetry, Joko Pinurbo
PEDAHULUA Pada periode 1990—2000 dunia perpuisian Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Indikasi perkembangan dilihat dari semakin banyak jumlah penyair yang muncul ke jagat perpuisian Indonesia. Gejala booming penyair ini terjadi karena terbukanya ruang sastra di berbagai media massa (Sarjono, 2001:194). Penyair-penyair ini tidak hanya berasal dari kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Yogyakarta. Penyair-penyair dari kota kecil dan
tidak terdeteksi dalam peta kesastraan Indonesia sebelumnya pun sudah mulai ambil bagian. Bahkan, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) pada tahun 1997 membuat buku berjudul Antologi Puisi Indonesia 1997 yang terdiri atas dua buku. Dua buku itu memuat karya lebih dari 150 penyair dari seluruh Indonesia. Para penyair ini datang dengan berbagai macam tema, pengucapan, dan pemikiran. Lebih lanjut, Rampan (dalam Waluyo, 2003:165) menyatakan bahwa ciri puisi yang berkembang
53
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 53—62
pada periode 1990—2000-an adalah (a) diksi diambil dari bahasa seharihari, (b) perubahan tipografi atau perwajahan puisi yang bebas dan cenderung ke puisi konkret, (c) munculnya estetika antropomorfisme atau penggantian tokoh manusia sebagai “aku lirik” dengan bendabenda, (d) penciptaan interaksi massal dari hal-hal yang bersifat individual, (e) komposisi puisi dibangun dalam pengaturan partisipasi benda-benda, peristiwa, pertanyaan aku lirik, dalam perfeksi sejajar dan objektif, (f) puisipuisi profetik (keagamaan) cenderung lebih konkret dengan menampilkan citraan alam, (g) puisi protes muncul lebih keras akibat tekanan represif rezim orde baru, (h) profetik, (i) nirbait dengan beragam tema yang ingin disampaikan oleh penyair, serta (j) aku lirik yang bersifat biografis ke dalam aku liris yang bersifat batin. Salah satu tema yang sering dimunculkan dalam khasanah puisi Indonesia adalah kritik sosial. Tema tersebut bisa berupa kritik pada masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun masalah sekitar kehidupan sehari-hari. Salah satu penyair yang cukup menonjol dari periode ini adalah Joko Pinurbo (JP). Puisi-puisi JP memiliki kekhasan karena unsur humor, satire, dan parodi yang disampaikannya. epetisi pada karya JP adalah parodi terhadap penyair-penyair pendahulunya. Lebih sederhana, puisipuisi JP menyampaikan protes dalam bahasa humor dan ironi ala puisi mbeling. Akan tetapi, humor yang disampaikan oleh puisi-puisi JP bukan humor murahan sebagaimana humor dalam puisi-puisi mbeling. Utami (2005:89) juga menambahkan bahwa JP adalah antitesis “aliran Rendra.” Humor dalam puisi-puisi JP tidak akan membuat pembaca jijik,
54
Wijoto (2009:23) menyebut bahwa JP mewarisi penulisan puisi mbeling dari para penyair periode 1970-an yang sudah lebih dulu menulis puisi ini. Kontribusi JP pada puisi mbeling terletak pada gaya bahasa yang lebih santun dan filosofi pemikiran yang lebih terjaga. Meskipun cukup kental dengan warna humor dalam karyanya, puisi-puisi JP ternyata memiliki warna berbeda dibandingkan dengan puisipuisi mbeling yang pernah ditulis oleh Remy Sylado, Yudisthira ANM, atau Jeihan Sukmantoro pada periode 70an. Berkaitan dengan kiprah JP sebagai penyair yang cukup menonjol pada periode 90 hingga 2000-an, Korrie Layun Rampan memasukkan nama JP sebagai salah satu sastrawan angkatan 2000. Kritikus sastra Nirwan Dewanto (dalam Mawardi, 2007:445) menyatakan bahwa puisi-puisi JP adalah antipoda terhadap puisi lirik sekaligus puisi protes. JP berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frase yang terang sebagai alat puitik dan pemakaian kalimat patahpatah yang sering mengabaikan logika. Humor dan main-main dalam puisi-puisi JP berwatak subversif. Puisi-puisi JP bercerita dengan gamblang tapi dengan aforisme yang mengejutkan di sana-sini. Permainan bunyi dan r tetapi justru menimbulkan rasa jenaka (Kleden, 2001:xii). Karena unsur humor dalam puisi-puisi JP sangat berbobot, peristiwa remeh dalam kehidupan sehari-hari dibangkitkan oleh JP menjadi suatu momen yang cenderung filosofis. Waluyo (2003:165) menyebut bahwa banyak diksi dalam puisi JP yang diambil dari bahasa sehari-hari yang disebut dengan bahasa “kerakyatjelaataan.” Ranjang, celana, buku, atau tubuh adalah sebagian tempat imajinasi JP (Superli,
Kritik Sosial dalam … (Dody Kristianto)
2004:xix). Bahkan dalam salah satu puisinya, penyakit batuk yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai satu penyakit yang merepotkan, oleh JP diubah sebagai satu harapan akan kebebasan, dari sebuah situasi yang kaku, yang mengunci, yang membatasi:
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah pada bagaimana kritik sosial dalam puisi “Bayi di Dalam Kulkas” karya JP. Tujuan penelitian ini adalah mendefinisikan kritik sosial dalam puisi Bayi di Dalam Kulkas. KAJIA TEORI
Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu untuk menggempur limbah waktu yang membatu di rongga dadaku (Batuk, 2004)
Untuk membatasi masalah, penulis melakukan telaah terhadap salah satu puisi JP yang berjudul “Bayi di Dalam Kulkas.” Ada tema kritik sosial yang ingin disampaikan oleh JP dalam puisi ini. Berlawanan dengan yang disampaikan oleh Waluyo sebelumnya, JP tidak menyampaikan kritik sosial dengan bahasa sekeras dan selugas Rendra atau Wiji Thukul. JP menampilkan kritik dalam bahasa humor dan ironi. Secara sekilas, humor dalam puisi JP akan terlihat seperti humor pada puisi mbeling. Tetapi, bila ditelusuri secara mendalam, humor-humor dalam puisi JP mendedahkan kedalaman filosofis dan menyajikan kejutan-kejutan pada pembacanya. Karena kritik sosial yang disampaikan dalam puisi JP tidak bersifat langsung serta memerlukan penelahaan lebih mendalam, penulis tertarik untuk mengungkap kritik sosial dalam salah satu puisi JP, “Bayi di Dalam Kulkas”. Puisi “Bayi di Dalam Kulkas” terdapat dalam buku kumpulan Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama tahun 2007. Buku ini sendiri terdiri atas tiga buku kumpulan puisi JP yang diterbitkan sebelumnya yaitu Celana, Pacar Kecilku, dan Di Bawah Kibaran Sarung.
Karya Sastra (KS) adalah sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan bahasa sebagai medium (Pradopo, 1987:121). Bahasa sebagai medium tentu sudah merupakan satu sistem tanda. Untuk menguraikan sistem tanda tersebut diperlukan satu disiplin ilmu yang mengulas tentang tanda. Sistem tanda itu disebut semiotik, sedangkan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda disebut semiotika (Zoest, 1993:1). Seperti dijelaskan di atas bahwa bahasa adalah salah satu sistem tanda. Karya sastra, termasuk puisi di dalamnya merupakan salah satu produk bahasa. Sejalan dengan hal tersebut, Aminudin (2002:27) menyebut bahwa wawasan semiotika dalam karya sastra meliputi tiga hal: (1) karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca, (2) karya sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu, serta (3) karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Ada banyak aliran dalam ilmu semiotika. Salah satu yang dikenal adalah semiotika pragmatik yang dipelopori oleh Charles Sanders Peirce. Peirce mendefinisikan tanda
55
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 53—62
sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Menurut Pierce (dalam Kartika, 2011:55) tanda dibangun di atas sesuatu yang bisa diindera. Dalam konsep Peirce, tanda terbentuk atas tiga pemungsi tanda yaitu representatement, semiotic object, dan interpretant. Representatement adalah objek konkret yang dapat diindera. Semiotic object adalah abstraksi atau konsepsi seseorang mengenai suatu objek. Interpretant adalah pemahaman seseorang mengenai hubungan antara representatement dan semiotic object. Dengan kata lain, interpretant adalah fase terjadinya penafsiran atas representatement. Pradopo (1987:123) mengemukakan bahwa secara semiotik, puisi merupakan struktur tanda yang bersistem dan bermakna yang ditentukan oleh konvensi. Namun, ada yang harus dipahami dalam menangkap makna puisi. Meskipun teks puisi bersifat otonom, otonomi teks dan keinginan untuk melepaskan karya dari konteks sosial yang melingkupinya hampir tidak mungkin diterapkan sepenuhnya. Baik teks maupun interpretator merupakan produk sosial. Simbol-simbol yang terdapat dalam puisi akan dicari referensinya dalam peristiwa, pengalaman, dan kehidupan nyata. HASIL DA PEMBAHASA Kritik Sosial dalam Puisi Bayi di dalam Kulkas Dalam tulisan ini, penulis ingin mengungkap kritik sosial dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas. Menurut Esten (1987:9), petunjuk pertama dalam memahami puisi adalah dengan memperhatikan judul. Judul adalah kunci masuk untuk menengok keseluruhan makna puisi. Dilihat dari judulnya, puisi Bayi di
56
Dalam Kulkas unik dan sangat provokatif untuk mengundang pembaca. Proses semiosis bisa dilakukan terhadap judul puisi ini. Proses kepertamaan adalah pada tulisan Bayi. Proses pemaknaan selanjutnya adalah pemaknaan anak yang baru dilahirkan di dunia, mahluk yang baru lahir ke bumi, baru merasakan hawa kehidupan [kekeduaan]. Menurut definisi Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar (2011:44) bayi bermakna anak yang belum lama lahir. Proses pemaknaan selanjutnya adalah “mahluk yang tidak berdaya”, “sangat rentan terhadap gangguan”, “membutuhkan bimbingan dan kasih sayang”, “pihak yang lemah”. Bayi bisa diartikan sebagai bentuk ketidakberdayaan, pihak yang berada di bawah, serta membutuhkan bimbingan untuk menghadapi keras kehidupan. Proses semiosis juga dilakukan terhadap kata kulkas [kepertamaan]. Sesudahnya, pemaknaan terhadap kata kulkas adalah lemari pendingin, tempat menyimpan makanan dan minuman supaya tidak cepat busuk, dan sebagainya (KBIUP, 2011:252) Proses semiosis selanjutnya adalah penafsiran terhadap kata kulkas, yaitu “pendingin”, “mengawetkan”, “mengabadikan”, “membatasi”, “kaku”, “mengubah yang segar menjadi layu”. Proses interpretasi terhadap judul Bayi di Dalam Kulkas bisa sebagai berikut: “ketidakberdayaan yang diabadikan”, “pihak lemah yang dibiarkan dalam kondisi lemah terus menerus”, “bawahan (rakyat) yang dibiarkan dalam kondisi kaku, lemah, dan tidak berani bersuara”. Judul ini juga mengindikasikan ada pihak lemah yang dibiarkan dalam kondisi tidak berdaya.
Kritik Sosial dalam … (Dody Kristianto)
Bayi di dalam kulkas lebih suka mendengarkan pasang surutnya angin, bisu-kelunya malam dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.
diketahui sebelumnya. Kata mendengarkan dalam puisi Bayi di Dalam Kulkas bermakna pasif, mengetahui namun tidak berbuat atau melakukan tindakan.
Rakyat yang oleh JP disimbolkan dengan kata bayi sebenarnya bisa merasakan ketidakberdayaan itu. Namun, rakyat lebih suka mendengarkan / pasang surutnya angin, bisu-kelunya malam / dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman. Pasang surut angin, bisu kelu malam, dan kuncup layu bunga-bunga adalah simbol yang dipilih JP untuk menggambarkan bermacam kondisi yang ada di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Ketika Rezim Orde Baru berkuasa, Indonesia memang sedang mengalami masa pembangunan. Akan tetapi, pembangunan dan berbagai kemajuan di bidang ekonomi harus dibayar dengan banyak kasus pelanggaran HAM. Pembangunan akan berjalan apabila stabilitas nasional terjamin. Ketika di lapangan, pengejawantahan stabilitas nasional adalah tindakan pelanggaran HAM, penculikan, penghilangan, sampai tindakan represif dilakukan oleh penguasa saat menemukan pendapat yang bertentangan dengan kebijakan Orde Baru. Artinya, kebebasan berpendapat pada zaman Orde Baru tidak ada. Karenanya, dalam kondisi keberhasilan pembangunan nasional, rakyat lebih memilih mendengarkan saja dan tidak terlibat. Dengan tidak terlibat, berarti rakyat tidak berpartisipasi aktif. Selama Orde Baru, pemerintah menciptakan sistem pemilihan yang seolah demokratis. Rakyat dikondisikan berpartisipasi aktif di dalam pemilihan legislatif. Padahal, hasil pemilihan umum sudah
Dan setiap orang yang mendengar tangisnya mengatakan : “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil dan membeku bersamamu.”
Ada kata ibu dalam bait tersebut. Bila masuk pada pemaknaan tahap kepertamaan dan kekeduaan, makna kata ibu hanya terbatas pada (1) orang perempuan yang telah melahirkan seseorang, (2) panggilan hormat dan sopan kepada wanita, (3) sebutan kepada wanita yang sudah bersuami, serta (4) bagian yang pokok; besar, asal, dan sebagainya (KBIUP, 2011:167). Akan tetapi, bila ditarik sampai pada pemaknaan keketigaan, ibu dapat diartikan “sosok pengayom”, “pelindung”, “yang membawahi”, “yang lebih memiliki kuasa”. Secara leksikal kata ibu merupakan panggilan kehormatan. Secara biologis, anak (bayi) harus terhubung dengan ibu, terutama dalam hal pengasuhan. Apalagi, dalam bulan-bulan awal pasca kelahiran, bayi sangat rentan terhadap gangguan dan ia tidak dapat ditinggalkan. Artinya, dua sosok ini tidak akan bisa dipisahkan. Hubungan hierarkis berlaku antara ibu dan bayi dalam puisi Bayi di Dalam Kulkas. Ibu adalah sosok terhormat. Dalam masyarakat Indonesia, golongan yang dikategorikan sebagai figur terhormat adalah mereka yang memiliki jabatan, kekuasaan, atau wewenang. Apabila dikhususkan, golongan terhormat ini adalah penguasa. Tahun pembuatan puisi ini adalah tahun 1995. Artinya, pembuatan puisi ini pada tahun-tahun menjelang Orde Baru berakhir. Ibu
57
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 53—62
adalah metafora bagi pemerintah Orde Baru dengan segala sistem di sekitarnya. “Ibu” sebagai sosok pengayom atau pelindung bernegasi dengan bayi yang lemah. Sosok pelindung bagi rakyat kecil jelas penguasa atau pemerintah. Rakyat yang lemah dan tidak berdaya bernegasi dengan pemerintah yang mengatur roda pemerintahan serta hajat hidup rakyat. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk membawa ke mana negara akan diarahkan, sedangkan rakyat hanya mengikuti ke mana kebijakan penguasa. Akulah ibumu, aku ingin menggigil / dan membeku bersamamu adalah pengakuan sosok ibu pada bayi. Artinya, pemerintah juga membutuhkan legitimasi dari rakyat. Permintaan pemerintah atau pejabat untuk menggigil atau membeku bersama rakyat adalah pengakuan bahwa pihak yang berkuasa ingin menyatu dan menyelami penderitaan rakyat. Keinginan menyatu itu bisa dengan jalan menjanjikan sesuatu pada rakyat, terutama janji-janji yang berhubungan dengan pemenuhan kesejahteraan rakyat. Namun, di zaman Orde Baru, pemenuhan kesejahteraan dan pembangunan tidak terdistribusi secara merata. Tak jarang, pemenuhan kesejahteraan rakyat sekadar janji belaka. Pada masa Orde Baru, muncul rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah akibat kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para peserta program transmigrasi juga terjadi. Para transmigran memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya. Selain itu, kebijakan Orde Baru juga menyebabkan bertambahnya kesenjangan sosial. Ada perbedaan
58
pendapatan yang tidak merata antara si kaya dan si miskin, juga jurang di antara pejabat dengan rakyat (diunduh dari:http://www.zetroblog.com/2014/0 8/kegagalan.penyimpangan.ordelama. ordebaru.reformasi.html#ixzz3LKJxab dC). “Bayi, nyenyakkah tidurmu?” “$yenyak sekali ibu. Aku terbang ke langit ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”
Bait di atas memperlihatkan dialog antara sosok bayi dengan ibu. Jawaban bayi atas pertanyaan ibu menandakan tak ada sanggahan atau tentangan yang didengar oleh sosok ibu. Sosok ibu pun mendengar jawaban yang tidak “memerahkan telinga”. Salah satu penyimpangan yang sering terjadi pada era Orde Baru adalah birokrasi yang kurang efektif dan bersifat Asal Bapak Senang (ABS). Jawaban sosok bayi “$yenyak sekali ibu. Aku terbang ke langit / ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan / bersama angin dan awan kenangan.”/ menunjukkan hal itu. Praktik laporan ABS ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejabat rendah pada pejabat tinggi. Rakyat kecil juga dikondisikan melakukan pelaporan ABS. Akibatnya, tidak ada timbal balik yang dilakukan oleh pemimpin pada rakyatnya. Masalah yang dihadapi oleh rakyat menjadi tidak terselesaikan karena tidak ada masalah yang disampaikan pada pemimpin untuk ditindaklanjuti. Seperti biasa, jika ada kunjungan pejabat ke daerah akan ada jawaban basa-basi. Jawaban yang ada pun hanya memaparkan sesuatu yang positif, keadaan rakyat yang tenang, aman, terkendali, dan tidak
Kritik Sosial dalam … (Dody Kristianto)
kekurangan sesuatu. Padahal keadaan yang ada kerapkali berbeda dengan yang diucapkan. Bayi (rakyat) pun bersembunyi di balik kenyenyakan tidurnya dan impian-impiannya. Memang hanya hal itu yang bisa dilakukan rakyat kecil untuk menghadapi kondisi negara di bawah rezim Orde Baru. “Aku ikut. Jemputlah aku Bayi. Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”
Dalam pembangunan nasional yang gencar dilakukan pada masa Orde Baru, secara tersirat JP menunjukkan bahwa pejabat juga gencar menebar janji. Pejabat ingin berada di tengahtengah rakyat dan ingin terbang dan melayang bersama rakyat. Kata terbang dan melayang dapat ditafsirkan sebagai hal yang menggembirakan atau menyenangkan. Ada ironi yang tersirat dalam baris tersebut. Pejabat ingin menunjukkan keberadaannya di tengah-tengah rakyat justru saat rakyat sedang dalam kondisi makmur dan sejahtera. Saat rakyat dalam kondisi kesulitan, pejabat justru menjaga jarak dan tidak menunjukkan keberpihakannya. Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.
Hal ironis berlanjut pada bait di atas. JP menjadikan peristiwa tersebut sebagai puncak dari puisi. Senyum bayi adalah senyum sinis rakyat terhadap tindakan pihak penguasa. Relasi kuasa yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru menginginkan Indonesia menuju modern melalui
kerja-kerja, termasuk kerja budaya yang sangat diatur ketat guna menuju Indonesia yang berbudaya tunggal atau penyeragaman budaya (http//:agungdwiertato.blogspot.com). Hal ini juga berarti rakyat harus mengikuti penyeragaman yang diterapkan oleh penguasa. Rakyat jelas tidak berdaya karena pemerintah Orde Baru gencar melakukan tindakan represif terhadap suara-suara lain yang dinilai membahayakan stabilitas nasional. Pada periode jelang kejatuhannya pula, pemerintah Orde Baru juga gencar melakukan tindakan represif pada pihak-pihak yang gencar mengeluarkan kritik. Salah satunya adalah kasus pembredelan majalah Tempo. Sampai di sini, rakyat dihadapkan pada ketidakberdayaan. Ingin melawan rezim yang berkuasa rakyat tidak akan mampu. Maka, kata senyum berarti kepasrahan atau menerima dengan terpaksa. Ungkapan kekecewaan pun juga cukup pada membuka dunia kecil yang merekah di matanya. Pelampiasan hanya sebatas tersampaikan pada dunia di sekitar mereka. Itu pun dengan bahasa yang sangat berhati-hati karena aparatur Orde Baru sering melakukan penghilangan, penculikan, atau penjemputan paksa pada tokoh atau komunitas yang diketahui bersuara keras atau kritis pada kebijakan pemerintah. Pilihan kata menjamah pada bait di atas berarti sosok ibu melakukan tindakan pada bayi. Dalam proses kekeduaan, menjamah berarti menyentuh dengan jari, meraba, memegang (KBIUP, 2011:188). Kata menjamah mengandung dua pemaknaan. Pertama, pemaknaan menjamah sebagai tindakan positif dalam arti menyentuh secara biasa, dengan kasih sayang. Kedua,
59
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 53—62
pemaknaan menjamah dalam arti tindakan yang negatif, semisal merenggut, memperkosa, merampas, atau mengambil secara paksa. Pada awal berdirinya Orde Baru, pemerintahan ini dibangun di atas pelanggaran HAM dan penindasan. Pembangunan dilakukan pula dengan cara melanggar hak rakyat. Perampasan-perampasan tanah sering terjadi. Semua pelanggaran dilakukan atas dalih pelaksanaan pembangunan nasional. Bagi pihak yang berseberangan dengan garis kebijakaan nasional, pemerintah kerapkali memberikan cap subversif pada kelompok penentang. Penderitaan pun kian diperparah dengan seperti menjamah gumpalan jantung dan hati / yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan. Jantung dan hati adalah organ vital milik manusia. JP menggunakan metafora jantung dan hati untuk mengungkapkan segala sesuatu yang menjadi hak rakyat. Segala hak tersebut menjadi tidak berarti saat sudah dipersembahkan di meja perjamuan. Banyak hak rakyat yang dikorbankan pemerintah Orde Baru untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu contoh perampasan hak rakyat adalah kasus Freeport. Tahun 1967 atau dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), pemerintah Orde Baru memberikan kontrak karya selama 30 tahun pada perusahaan Amerika Serikat, Freeport. Perjanjian ini bisa diperpanjang tanpa ada keuntungan yang bisa dinikmati oleh rakyat Papua (www.merdeka.com/peristiwa/awalkisah-freeport-menggangsirkekayaaan-papua.html). Akibatnya, kesenjangan pembangunan dirasakan oleh rakyat Papua. Meja perjamuan adalah tempat yang menyiksa bagi Bayi. Meja
60
perjamuan pun bisa menjadi tempat bertemu di antara penguasa dan pemodal asing. Keuntungan dari hasil negosiasi antara pemerintah dan pemodal asing kerap tidak dinikmati oleh rakyat kecil. Rakyat hanya dijadikan sarana bagi penguasa yang ingin memperoleh keuntungan pribadi. Klimaks penderitaan rakyat kecil adalah saat mereka dipersembahkan di meja perjamuan hanya demi kepentingan penguasa. “Biarkan aku tumbuh dan besar disini Ibu. Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai Itu.”
Ada istilah bagi rakyat kecil untuk mengungkapkan perlawanan atas kesewenang-wenangan yang dialaminya. Jika tidak mampu melawan cukup dengan meledek saja. Bait di atas merepresentasikan “perlawanan” rakyat kecil pada masa Orde Baru. Rakyat cukup berpuas diri dengan dunianya tanpa mampu melakukan perlawanan pada tindakan represif rezim penguasa. Pemerintah Orde Baru memberlakukan kepatuhan mutlak pada seluruh rakyat. Kebijakan publik yang diambil pemerintah tidak bersifat terbuka sehingga rakyat tidak bisa memberi masukan. Ketidaktransparanan ini berlangsung sejak penyusunan sampai pengesahan suatu kebijakan. Pada akhirnya, kebijakan satu arah yang dianut oleh pemerintah diberlakukan pada rakyat dan harus dipatuhi. Dalam bait di atas, sosok bayi yang tidak mau keluar dari kulkas yang dingin juga menjadi ironi. Dunia ramai memang berat bagi sosok bayi. Apalagi dalam puisi di atas ibu tidak berposisi sebagai pelindung bayi, melainkan sebagai sosok yang mempersembahkan di meja perjamuan. Selama masa Orde Baru,
Kritik Sosial dalam … (Dody Kristianto)
rakyat diam dan tumbuh dalam kebekuan. Informasi yang diterima oleh rakyat adalah informasi yang sebelumnya telah disaring dan disesuaikan dengan kepentingan penguasa. Sikap diam secara masal adalah sikap yang tepat untuk menghadapi dunia yang ramai yang menjadi monopoli pihak penguasa. Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri di hadapan mulut yang mengucapkannya.
Bait di atas semakin menegaskan bahwa sikap pasif adalah tindakan yang paling aman untuk menghadapi kesewenangan Orde Baru. Bait terakhir juga menunjukkan posisi rakyat yang dipaksa untuk diam. Diksi doa yang merahasiakan diri / di hadapan mulut yang mengucapkannya adalah hal ironis. Doa adalah sesuatu yang personal dan rahasia. Doa pun bersifat vertikal, hanya antara hamba dan Tuhan-Nya. Namun, doa yang sifatnya rahasia dan pribadi pun masih harus “dirahasiakan” dari mulut yang mengucapkannya. Akhirnya, semua keluhan dan kegelisahan rakyat Indonesia yang dicekam ketakutan pada masa Orde Baru diejawantahkan dalam bentuk diam. Jika berbicara dan bersuara lantang pada pemerintah, mereka akan menghadapi tindakan represif.
pembungkaman hak kebebasan berpendapat, penciptaan kesenjangan sosial, pembiasaan laporan Asal Bapak Senang (ABS), penindakan represif terhadap kelompok oposan, perampasan hak milik rakyat untuk kepentingan penguasa, dan penjualan kekayaan negara pada pihak asing. Berbagai bentuk pelanggaran oleh pihak penguasa pun lantas direaksi dengan pasif oleh rakyat. Sikap diam ini semata-mata demi keselamatan rakyat menghadapi tindakan agresif rezim penguasa. Begitupun dengan puisi JP yang lebih banyak mengolah tanda dibandingkan bersuara secara lugas. Puisi yang sarat dengan tanda ini juga menjadi representasi atas sikap pasif rakyat terhadap tindakan represif pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta : Sinar Baru Esten, Mursal. 1984. Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang : Angkasa Raya Kartika.
2011. “Semiotika Iklan Kesehatan Seksual Pria” dalam Metalingua, Volume 9, No. 1
SIMPULA Puisi Bayi di Dalam Kulkas karya JP adalah interpretasi bentuk reaksi pasif pada kebijakan pemerintah Orde Baru yang tidak menguntungkan rakyat. Melalui simbol, JP menunjukkan berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Pelanggaran rezim Orde Baru yang menonjol dalam puisi ini adalah penerapan kepatuhan secara mutlak,
Kleden,
Ignas. 2001. “Membaca Kiasan Badan” dalam Joko Pinurbo : Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang : Indonesiatera Mawardi, Bandung. 2010. “Humor yang Politis, Humor yang Tragis” dalam Dari Zaman Citra ke Metafiksi : Bunga
61
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 53—62
Rampai Telaah Sastra DKJ. Jakarta : KPG Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Qodratillah, Meity Taqdir, dkk. 2011. Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar. Jakarta : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya Superli,
Karlina (ed).2004. Joko Pinurbo : Kekasihku. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Utami,
Ayu. 2005. “Mengapa Kematian, Penyairku” dalam Pacar Senja. Jakarta : Grasindo
Waluyo, Herman. J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta : Gramedia Wijoto,
Ribut. 2009. Kondisi Posmodern dalam Sastra Indonesia. Surabaya : Dewan Kesenian Jawa Timur
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika : Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung Internet Pinurbo, Joko. “Pacar Senja Sebuah Biografi Estetik” http://www.agungdwiertato.bl ogspot.com/pacar-senjasebuah-biografi estetik-joko-
62
pinurbo.html. Diakses hari Senin, 15 Desember 2014 http://www.merdeka.com/peri stiwa/awal-kisah-freeportmenggangsir-kekayaaanpapua.html. Diakses hari Kamis, 11 Desember 2014. http://www.zetroblog.com/20 14/08/kegagalan.penyimpang an.ordelama.ordebaru.reform asi.html. Diakses hari Rabu, 10 Desember 2014.