Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 1-8
KRITERIA KELAYAKAN PENERAPAN FIRE SAFETY MANAGEMENT (FSM) PADA BANGUNAN GEDUNG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Oleh : Agus Sarwono Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kabupaten Bandung 40393 Email :
[email protected] Diterima : 29 Juli 2009; Disetujui : 01 Maret 2011 Abstrak Fire Safety Management (FSM) telah menjadi bagian persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam menciptakan bangunan yang handal sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Sebagaimana ditetapkan dalam Kepmeneg PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, bahwa setiap bangunan dengan luas lantai minimal 5000 m2, jumlah penghuni 500 orang dan ketinggian lebih dari 8 lantai wajib menerapkan FSM. Penetapan atas penerapan FSM tersebut tidak dapat hanya dibatasi kriteria diatas, namun harus didasarkan pula pada tingkat resiko atau potensi terhadap bahaya kebakaran. Terdapat 3 faktor utama yang menjadi penyebab kebakaran yaitu faktor manusia (human factor), faktor pertumbuhan api (fire factor) dan faktor penyulutan (ignition factor). Sehingga dalam implementasinya, penerapan FSM tersebut memiliki suatu kriteria yang jelas berdasarkan tingkat resikonya (Risk-Based Methodology) agar layak untuk suatu bangunan tertentu terutama yang diperkirakan mempunyai tingkat resiko yang tinggi seperti bangunan perkantoran, rumah sakit dan bangunan pelayanan umum lainnya. Kata Kunci : Kriteria penerapan FSM, tingkat resiko, potensi terhadap bahaya kebakaran, faktor penyebab kebakaran, keandalan bangunan gedung Abstract Fire Safety Management (FSM) has become an inevitable requirement to create reliable buildings as is mentioned in the Building Law Number 28 Year 2002. As has been formulated in the Ministerial Decree of Public Works Number 11/KPTS/2000 about the technical management of fire prevention in urban areas, each building with a minimum floor area of 5000 m2, a total number of 500 residents, and a height of more than eight floors, is obliged to apply FSM. The application of FSM is not only restricted to the abovementioned criteria, but also based on the potential risk for fire. There are three main causes of fire: human, enlargement of fire, and ignition factors. The implementation of FSM must include a clear criteria of the risk level, particularly for buildings with a higher risk of fire, such as offices, hospitals, and other public buildings. Keywords :
Application criteria of FSM, risk level, potential for fire, causes of fire, reliability of buildings
PENDAHULUAN Sesuai dengan persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana tertuang dalam Undangundang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung atau lebih dikenal dengan UUBG 2002, khususnya pada paragraf 2 pasal 19 persyaratan yang harus dipenuhi adalah keselamatan terhadap bahaya kebakaran. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, bangunan gedung harus menerapkan sistem proteksi total, yang mencakup proteksi pasif, proteksi aktif dan membentuk manajemen keselamatan terhadap bahaya kebakaran atau FSM. Mengacu pula pada Kepmeneg PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, yang antara lain mensyaratkan untuk setiap bangunan gedung dengan luas lantai (total)
minimum 5000 m2 atau ketinggian lebih dari 8 lantai serta dengan jumlah hunian sebanyak 500 orang wajib menerapkan Fire Safety Management. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat resiko terhadap bahaya kebakaran bukan hanya disebabkan oleh luas bangunan, jumlah penghuni serta jumlah lantai bangunan, tetapi masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan tingginya tingkat resiko atau kerentanan terhadap bahaya kebakaran. Hal ini menyangkut adanya sumber api, bahan yang mudah terbakar dan tingkat kesulitan dalam evakuasi penghuni bangunan. Banyak peristiwa kebakaran yang terjadi pada tahap pengoperasian bangunan, meskipun penyebabnya bisa berasal dari tahap-tahap sebelumnya, baik saat perencanaan (planning) 1
Kriteria Kelayakan Penerapan … (Agus Sarwono)
maupun perancangan (design). Oleh karena itu unsur manajemen pengamanan kebakaran atau fire safety management (FSM) menjadi sangat penting tahap ini. Dengan demikian batasan untuk menerapkan FSM tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi karena terlalu umum dan berlaku untuk semua jenis bangunan tanpa membedakan tingkat resikonya sehingga diperlukan penelitian guna mendapatkan batasan yang lebih sesuai berdasarkan pemanfaatan bangunan dan tingkat resiko terhadap bangunan. Tujuan Pengkajian Tujuan dilaksanakannya kajian ini adalah melakukan analisis tingkat resiko bahaya kebakaran pada bangunan gedung tinggi untuk memperoleh kriteria kelayakan penerapan FSM.
KAJIAN TEORITIS Fire Safety Management (FSM) FSM adalah sistem pengelolaan/pengendalian unsur-unsur manusia, sarana/peralatan, biaya, bahan, metode dan informasi untuk menjamin dan meningkatkan keamanan total pada bangunan terhadap bahaya kebakaran. Potensi Bahaya Kebakaran Potensi bahaya kebakaran dan prinsip pencegahan serta penanggulangannya merupakan bagian penting dari manajemen penanggulangan kebakaran agar suatu kota terlindung dari bencana tersebut. Perencanaan menyeluruh untuk proteksi kebakaran dimulai dengan mengetahui potensi bahaya kebakaran yang ada di suatu wilayah guna menentukan kebutuhan penyediaan air sebagai bahan pemadaman berdasarkan sumber yang tersedia serta sistem pemadaman lainnya. Potensi ancaman kebakaran ini dapat diketahui dari jenis dan pemanfaatan bangunan yang ada disuatu wilayah yang selanjutnya dapat dilakukan pemeringkatan dengan mengacu ASTM E 931-94 Standard Practice for Classification for Their Relative Fire Hazard. Berdasarkan standar tersebut dapat dilakukan penilaian dalam 3 kelompok yaitu Grup A (Human factor), Grup B (Fire factor) dan Grup C (Ignition factor). Grup A (Human factor) adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan respon manusia terhadap kebakaran, yang terdiri atas : a. Tertahan, yaitu derajat dimana penghuni tertahan dalam usaha melakukan pengamanan dirinya; b. Evakuasi, yaitu kemudahan seseorang dalam menyelamatkan diri; c. Ketidakmampuan, yaitu tingkatan dimana umur, cacat tubuh atau kelemahan fisik yang
2
dapat mengurangi menyelamatkan diri.
kemampuan
untuk
Grup B (Fire factor) adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan pertumbuhan dan penyebaran api, yang terdiri atas : a. Pengendalian kebakaran, yakni derajat dimana terdapat personil terlatih dan peralatan proteksi untuk pemadaman kebakaran; b. Beban api, yakni jumlah dan distribusi bahan mudah terbakar dalam bangunan; c. Terbakar penuh, yaitu tingkatan dimana kebakaran terbatas atau tidak terbatas hanya didaerah asal mula api dikaitkan dengan geometri bangunan atau tipe konstruksi; d. Waktu tanggap, yaitu kecepatan dan kemudahan bagi petugas pemadam kebakaran dalam memadamkan kebakaran. Grup C (Ignition factor) terdiri atas : a. Penyulutan aksidental, yaitu potensi penyalaan dari semua sumber yang berkaitan didalam bangunan, seperti merokok, memasak, peralatan listrik, pemakaian bahan mudah terbakar, produk atau perlengkapan lain dan adanya tempat atau peralatan pemanas; b. Penyulutan disengaja, yaitu potensi penyulutan sebagai akibat dari unsur kesengajaan atau vandalisme. Perhitungan peringkat bahaya kebakaran menurut ASTM E 931-94 : Kelompok A : Faktor manusia Total Elemen Peringkat Bahaya tidur pada aktivitas tidur x 3 evakuasi evakuasi x 3 tertahan/terbatas tertahan x 3 ketidakmampuan ketidakmampuan x 3 kontrol penghuni kontrol penghuni x 3 Total grup A =jml (total elemen) x f. deteksi x f. sprinkler
Kelompok B : Faktor kebakaran Total Elemen Peringkat Bahaya beban api beban api x 2 waktu tanggap waktu tanggap x 1 terbakar penuh terbakar penuh x 2 kontrol api kontrol api x 1 Total grupB=jml (total elemen) x f. sprinkler
Kelompok C : Faktor penyalaan Total Elemen Peringkat Bahaya kesengajaan kesengajaan x 3 aksidential aksidential x 1 Total grup C = jml (total elemen)
Peringkat bahaya kebakaran = Total grup A + grup B + grup C Grup A : Faktor deteksi = 0,5 untuk Ya dan 1 untuk tidak Grup A : Faktor sprinkler = 0,75 untuk Ya dan 1 untuk tidak
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 1-8
Grup B : Faktor sprinkler = 0,25 untuk Ya dan 1 untuk tidak Faktor peringkat bahaya : 0 = nihil, 1 = rendah, 2 = sedang, 3 = tinggi dan 4 = sangat tinggi
METODOLOGI Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan melakukan kajian lapangan terhadap beberapa jenis bangunan gedung berdasarkan fungsinya untuk dilakukan analisis tingkat resikonya terhadap bahaya kebakaran. Untuk pencapaian hasil yang maksimum, akan dilakukan kegiatan yang meliputi : Studi pustaka terhadap peraturan, standar dan konsep-konsep serta contoh-contoh penerapan FSM bangunan gedung tinggi; Survei lapangan untuk mengkaji unsur-unsur signifikan dalam bangunan seperti data historis gedung, potensi bahaya, corak No. 1.
2.
3.
4.
penghunian/pemanfaatan gedung, kelengkapan prasarana dan sarana proteksi dalam gedung dan lingkungannya; Pemeringkatan bahaya kebakaran pada bangunan gedung yang disurvei dengan acuan ASTM E 931-94, berdasarkan jenis penggunaan bangunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Telah dilakukan survei pada bangunan gedung yang melibatkan 64 responden terdiri dari : 27 bangunan hotel, 11 bangunan perkantoran, 12 bangunan rumah sakit dan 14 bangunan pusat belanja. Responden tersebar di kota-kota besar Indonesia. Adapun tabulasi hasil pengukuran beban api pada bangunan gedung yang disurvei ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1 Tabulasi Hasil Pengukuran Beban Api pada Bangunan Gedung Rentang Beban Api Rata-Rata Beban Api Fungsi Bangunan Jenis Ruangan 2 2 (Kg/m ) (Kg/m ) Rumah Sakit - Ruang Kerja/ Dokter
21,32 – 30,63
25,44
- Ruang Pertemuan/ Sidang
4,26 – 17,35
10,80
- Ruang Perawat
9,16 – 15,81
12,48
- Ruang VIP
20,77 – 23,27
22,02
- Ruang Kelas 1
26,65 – 33,77
30,21
- Ruang Kelas 2
22,60 – 31,87
29,61
- Ruang Kelas 3
28,94 – 37,19
33,06
- Ruang Kerja
9,40 – 57,80
25,29
- Ruang Sidang
7,24 – 42,28
24,75
- Ruang Pengolah Data
46,34 – 70,33
43,34
- Kamar Tamu Standar
13,57 – 15,74
13,60
- Kamar Tamu Suite
12,68 – 13,68
14,94
- Ruang Sidang
14,46 – 19,28
15,38
- Restoran
13,70 – 33,13
19,93
- Ruang Lobby
11,27 – 13,27
12,42
- Ruang Fashion
40,87 – 85,40
56,18
- Ruang Toko
33,70 – 48,75
41,22
- Restoran
7,13 – 13,76
12,89
23,37
Perkantoran 31,12
Perhotelan 15,25
Pusat Perbelanjaan 36,76
Sumber : Hasil Olahan Data Primer Puskim
Untuk pemeringkatan bahaya kebakaran pada bangunan gedung berdasarkan hasil kuesioner dan
perhitungan ini diberikan pada tabel 2.
3
Kriteria Kelayakan Penerapan … (Agus Sarwono)
Tabel 2 Klasifikasi Jenis Penggunaan Bangunan Berdasarkan Peringkat Bahaya Kebakaran dari Hasil Kuesioner dan Perhitungan No. 1.
2.
3.
Kelompok Faktor Manusia - Total elemen tidur - Total elemen evakuasi - Total elemen ketidakmampuan - Total elemen kontrol penghuni Total Elemen Total Kelompok 1 Faktor Kebakaran - Total elemen beban api - Total elemen waktu tanggap - Total elemen terbakar penuh - Total elemen kontrol api Total Elemen Total Kelompok 2 Faktor Penyalaan - Total elemen kesengajaan - Total elemen aksidental Total Elemen Total Kelompok 3
Rumah Sakit
Pusat Perbelanjaan
Perkantoran
Perhotelan
0x3=0 2x3=6 1x3=3 4x3=12 21 21x0,5x1 = 10,5
4x3=12 4x3=12 3x3=9 4x3=12 45 45x0,5x0,75 = 16,87
2x3=6 4x3=12 4x3=12 4x3=12 42 42x0,5x1 =21
0x3=0 2x3=6 2x3=6 2x3=6 18 18x0,5x0,75 = 6,75
3x2=6 1x1=1 3x2=6 2x1=2 15 15x1 = 15
4x2=8 3x1=3 2x2=4 1x1=1 16 16x0,25 = 4
3x2=6 1x1=1 2x2=4 2x1=2 13 13x1 = 13
4x2=8 1x1=1 4x2=8 1x1=1 18 18x0,25 = 4,5
1x3=3 1x1=1 4 4
2x3=6 1x1=1 7 7
3x3=9 1x1=1 10 10
2x3=6 1x1=1 7 7
Sumber : Hasil Olahan Data Primer Puskim Peringkat Bahaya Kebakaran = Total kelompok 1 + Total kelompok 2 + Total kelompok 3
Bangunan perkantoran = 10,5 + 15 + 4 = 29,5 Bangunan perhotelan = 16,87 + 4 + 7 = 27,87 Bangunan rumah sakit = 21 + 13 + 10 = 44 Bangunan pusat perbelanjaan = 6,75 + 4,5 + 7 = 18,25 Berdasarkan data dan perhitungan yang diperoleh mengenai peringkat bahaya kebakaran yang terkait dengan tingkat ancaman bahaya terhadap keselamatan jiwa yang diakibatkan oleh kebakaran pada suatu jenis penggunaan bangunan perkantoran, hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan adalah : Peringkat 1 adalah bangunan rumah sakit; Peringkat 2 adalah bangunan perkantoran; Peringkat 3 adalah bangunan perhotelan; Peringkat 4 adalah bangunan pusat perbelanjaan. Jadi terlihat bahwa bangunan pusat perbelanjaan dan perhotelan yang serius melengkapi peralatan proteksi kebakaran sebagai syarat beroperasinya penggunaan bangunan tersebut. Selanjutnya disusun mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kriteria kelayakan penerapan FSM. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : Faktor Manusia a. Aktivitas Tidur - Pada penggunaan bangunan seperti rumah sakit, hotel yang mana para penghuni gedung tidur, maka bahaya terhadap keselamatan jiwa akibat kebakaran sangat tinggi. Derajat bahaya tergantung pada jumlah orang yang
4
waspada dan jarak dari tempat orang yang tidur dengan adanya FSM dan patroli pengamanan setiap jam sehingga dapat memiliki nilai peringkat rendah. - Pada penggunaan bangunan perkantoran dan pusat perbelanjaan yang aktivitas tidur tidak ada pada umumnya, maka tidak ada ancaman bahaya kebakaran dari elemen ini sehingga dapat dipergunakan peringkat rendah. b. Evakuasi - Pada bangunan perkantoran, hotel dan pusat perbelanjaan yang memiliki tinggi bangunan lebih dari 23 meter/ 7 lantai atau mempunyai lantai yang rumit konfigurasinya (denah lantai yang kompleks) dan dapat menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam melakukan evakuasi, maka peringkat ancaman menjadi tinggi. - Pada bangunan rumah sakit dimana para penghuni umumnya mempunyai keterbatasan atau gangguan kesehatan (pasien) yang tidak mampu secara fisik untuk melakukan evakuasi diri sendiri, maka peringkat ancaman menjadi tinggi. c. Ketidakmampuan Fisik - Pada bangunan perkantoran, hotel dan pusat perbelanjaan dimana para penghuni memiliki tingkat kemampuan fisik normal, maka ancaman bahaya kebakaran karena ketidak mampuan fisik rendah. - Penggunaan obat-obatan di rumah sakit sehingga melemahkan syaraf penghuni, ancaman bahaya kebakaran yang disebabkan
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 1-8
oleh kelemahan tersebut diberi peringkat tinggi. d. Kontrol dan Pelatihan Penghuni - Program pelatihan dan latihan kebakaran yang cukup sering dilakukan cenderung mengurangi ancaman bahaya kebakaran terhadap keselamatan jiwa dari setiap penggunaan bangunan hunian dan menempatkannya pada peringkat rendah. - Pada penggunaan bangunan dimana tidak pernah atau jarang dilakukan latihan evakuasi bila terjadi kebakaran, respon penghuni terhadap petunjuk arah keluar bermacammacam, oleh karena itu diberi peringkat sedang. Faktor Kebakaran a. Beban Api Pada jenis penggunaan bangunan seperti perkantoran, hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan furnishing memberikan beban api yang tinggi sehingga resiko menjadi besar dan oleh karena itu resiko harus tinggi. b. Waktu Tanggap - Pada bangunan dengan ketinggian 23 meter atau kurang dan pada jarak jangkauan 5 menit dari markas Dinas Kebakaran, maka waktu tanggap menjadi minimal dan peringkat bahaya rendah tetapi bila bangunan berjarak 20 menit dari lokasi stasiun kebakaran, maka bangunan mungkin mengalami terbakar keseluruhannya sebelum petugas pemadam kebakaran kota tiba, oleh karena itu bahaya kebakaran pada bangunan ini cukup tinggi. - Apabila bangunan tingginya diatas 23 meter, bahaya kebakaran adalah tinggi oleh karena petugas pemadam kebakaran kesulitan dalam menjangkau ke lokasi kebakaran untuk pemadaman dan karena waktu evakuasi lebih lama. c. Tingkat Penyebaran Api - Penggunaan bangunan seperti perkantoran, hotel dan rumah sakit yang terdiri atas ruangruang individu atau kamar-kamar kecil yang memiliki dinding pembatas tahan api, atau pada bangunan dimana pintu dapat terkunci sendiri atau dapat dikunci maka api akan dibatasi pada suatu area kecil sebelum tibanya petugas pemadam kebakaran. Resiko terhadap bangunan dianggap sedang, oleh karenanya peringkat bahaya sedang. - Pada bangunan yang mempunyai luas bukaan besar dimana api dapat menjalar bebas, maka bahaya terhadap bangunan adalah tinggi seperti bangunan pusat perbelanjaan. d. Pengendalian Kebakaran - Apabila penghuni/ karyawan telah memperoleh pelatihan dan tersedia peralatan
proteksi kebakaran untuk digunakan pada saat kondisi darurat, maka peringkat bahaya rendah tetapi apabila tingkat pelatihan berkurang dan tidak memadai peralatan proteksi kebakaran yang tersedia, maka bahaya dan peringkat bahaya akan bertambah. - Dalam hal dimana tidak ada pelatihan atau peralatan proteksi kebakaran, maka ancaman bahaya tinggi dan peringkat bahaya tinggi. Faktor Penyalaan a. Penyalaan yang Disengaja Pada jenis penggunaan bangunan yang berada pada pusat kota, kemungkinan adanya tingkat kejadian dengan unsur kesengajaan yang lebih tinggi dan karena peringkat resiko kebakaran lebih tinggi. b. Penyalaan Aksidental Pada penggunaan bangunan seperti perkantoran, hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan ancaman bahaya aksidental misal : rokok, peralatan memasak, alat pemanas dan peralatan listrik adalah relatif tinggi dan oleh karena itu diterapkan peringkat bahaya tinggi.
KESIMPULAN Dari kajian yang telah dilakukan mengenai kriteria kelayakan penerapan FSM pada bangunan gedung di Indonesia, beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah mengenai peringkat bahaya kebakaran yang terkait dengan tingkat ancaman bahaya terhadap keselamatan jiwa yang diakibatkan oleh kebakaran pada suatu jenis penggunaan bangunan gedung dan faktor yang mempengaruhi kriteria kelayakan penerapan FSM. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Peringkat bahaya kebakaran yang terkait dengan tingkat ancaman bahaya terhadap keselamatan jiwa yang diakibatkan oleh kebakaran pada suatu jenis penggunaan jenis bangunan perkantoran, hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan yang didapat dari hasil kajian ini adalah : - peringkat 1 adalah bangunan rumah sakit; - peringkat 2 adalah bangunan perkantoran; - peringkat 3 adalah bangunan perhotelan; - peringkat 4 adalah bangunan pusat perbelanjaan. Jadi terlihat bahwa bangunan pusat perbelanjaan dan perhotelan yang serius melengkapi peralatan proteksi kebakaran sebagai syarat beroperasinya penggunaan bangunan tersebut. 2. Dari hasil survei dan kajian faktor yang mempengaruhi peringkat bahaya yang
5
Kriteria Kelayakan Penerapan … (Agus Sarwono)
seharusnya diterapkan dalam kriteria kelayakan penerapan FSM antara lain : a. Faktor Manusia : - aktivitas tidur - evakuasi - keterbatasan - ketidakmampuan fisik - kontrol dan pelatihan penghuni b. Faktor Kebakaran : - beban api - waktu tanggap - tingkat pertumbuhan api - pengendalian kebakaran c. Faktor Penyalaan : - penyalaan yang disengaja - penyalaan aksidental
REKOMENDASI Masih diperlukan persyaratan tambahan dalam Kepmeneg PU No.11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, Bab IV Manajemen Penanggulangan Kebakaran Bangunan Gedung, klausal 1.1 poin 1, mensyaratkan adanya manajemen keselamatan kebakaran pada suatu bangunan gedung : “Setiap bangunan umum termasuk apartemen yang berpenghuni minimal 500 orang, atau yang memiliki luas lantai minimal 5000 m2, atau mempunyai ketinggian bangunan lebih dari 8 lantai, atau bangunan rumah sakit, diwajibkan menerapkan Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK)”. Rekomendasi persyaratan tambahan dari hasil kajian ini yang mensyaratkan adanya manajemen keselamatan kebakaran pada suatu bangunan gedung adalah : 1. Pada penggunaan bangunan umum yang ada aktivitas tidurnya; 2. Pada bangunan umum yang mempunyai lantai yang rumit konfigurasinya (denah lantai yang kompleks) dan dapat menimbulkan kebingungan serta kesulitan dalam melakukan evakuasi; 3. Pada bangunan umum dengan penggunaan furnishing memberikan beban api yang tinggi sehingga resiko menjadi besar; 4. Pada bangunan umum dengan jarak jangkauan > 15 menit dari lokasi stasiun kebakaran/ markas Dinas Kebakaran, maka waktu tanggap menjadi maksimal dan peringkat bahaya menjadi besar; 5. Pada bangunan yang mempunyai luas bukaan besar dimana api dapat menjalar bebas, maka bahaya terhadap bangunan adalah tinggi seperti bangunan pusat perbelanjaan;
6
6. Pada bangunan umum yang berada pada pusat kota, kemungkinan adanya tingkat kejadian dengan unsur kesengajaan yang lebih tinggi dan area peringkat resiko kebakaran lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Achmad H Effendi dan Suprapto, 1996. Penelitian Beban Api pada Bangunan Perkantoran di Indonesia. Laporan Akhir. Bandung : Pusat Litbang Permukiman. Achmad H Effendi dan Suprapto, 1997. Penelitian Beban Api pada Bangunan Perhotelan di Indonesia. Laporan Akhir. Bandung : Pusat Litbang Permukiman. ASTM. 1994. Standard Practice for Classification of Occpancies for Their Relative Fire Hazard. ASTM Fire Test : E 931 – 94. Meacham, B.J. and Custer, R.L. 1995. Performance Based Fire Safety Engineering an Introduction of Basic Concept. Journal of Fire Protection Engineering : Vol 7, No. 2, page 35 – 54. Patterson, James. 1993. Simplified Design for Building Fire Safety. John Wiley & Sons, Inc : page 3 – 11. Pusat Litbang Permukiman. 2005. Kriteria Kelayakan Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran (Fire Safety Management) pada Bangunan Gedung. Laporan Akhir, Bandung : Pusat Litbang Permukiman. Republik Indonesia. 2000. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor : 11/KPTS/2000, Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan. Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum. Republik Indonesia. 2002. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung. Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 26/PRT/M/2008, tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Departemen Pekerjaan Umum. Suprapto dan Achmad H. Effendi. 1993. Evaluasi Hasil Penelitian Kejadian Kebakaran pada Bangunan 1984 sampai 1993 di Indonesia. Laporan Akhir. Bandung : Pusat Litbang Permukiman.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 1-8
LAMPIRAN
Lainnya, sebutkan :
DAFTAR ISIAN KUESIONER KRITERIA KELAYAKAN PENERAPAN KESELAMATAN KEBAKARAN (FSM) PADA BANGUNAN GEDUNG TINGGI A. UMUM Data Responden 1. Nama lengkap : 2.
Usia
:
3.
Jabatan
:
4.
Alamat kantor
:
Identifikasi Bangunan 1. Nama gedung
:
2. Sistem proteksi pasif yang terpasang : Tangga kebakaran Pintu kebakaran Tangga darurat Penerapan sistem kompartemenisasi Penerapan struktur bangunan tahan api Penerapan pemilihan bahan bangunan Pemasangan fire stopping Lainnya, sebutkan : 3. Sistem proteksi khusus ruang gas/ yang mudah terbakar Ya, sebutkan : Tidak
2.
Alamat
:
3.
Telepon/Fax.
:
4.
Jumlah penghuni gedung
:
5.
Fungsi gedung
:
6.
Tahun dibangun
:
7.
Tahun dioperasikan
:
8.
Luas persil
:
9.
Luas gedung/ lantai dasar
:
10.
Jumlah ruangan
:
Terdapat hidran halaman dengan siamesse connection
11.
Jumlah lantai
:
Areal parkir cukup luas untuk manuver kendaraan pemadam
12.
Luas lantai tipikal
:
Tersedia sumur
13.
Luas lantai total
:
14.
Jumlah lantai basement
:
15.
Tinggi gedung
:
16.
Jumlah blok bangunan
:
17.
Luas area terbuka (open space)
:
4. Sarana jalan keluar : Tangga kebakaran dalam ruang tertutup dan tahan api Tangga diberi bertekanan (pressurerized) Memiliki tangga darurat Lampu-lampu tanda petunjuk arah tersedia Memiliki alat bantu evakuasi, jenis : Tersedia lift kebakaran Lainnya, sebutkan : 5. Lingkungan luar bangunan/ site planning : Kemudahan jalan masuk bagi Dinas Pemadam Kebakaran
Tersedia kolam air/kolam renang/reservoir Tidak terdapat portal ataupun polisi tidur Lainnya, sebutkan : D. FIRE SAFETY MANAGEMENT (FSM) 1. Apakah memiliki FSM? Ya Tidak Ada rencana, belum terealisasi
B. AKSESIBILITAS DENGAN DISKAR 1. Jarak pos pemadam kebakaran terdekat < 7,5 Kilometer > 7,5 Kilometer C. SISTEM PROTEKSI TOTAL Kelengkapan sistem proteksi kebakaran 1. Sistem Proteksi aktif yang terpasang : Alat deteksi dan alarm kebakaran Sprinkler otomatis Hidran dalam Hidran luar/halaman
Lainnya, sebutkan : 2. Apakah lingkup tugas/kerja FSM? Melaksanakan inspection & maintenance Mengkoordinasikan tim pengamanan Memberikan pelatihan pengamanan Melaksanakan fire drill Melakukan fire safety audit Fire damper Mengawasi pekerjaan khusus, misalnya penjelasan-penjelasan Lainnya, sebutkan :
Pemadam api ringan (APAR), jenis : Fire damper Sistem pengendalian asap (smoke control)
3. Apakah memiliki standard operating procedure (SOP) untuk pengendalian keadaan darurat? Ya
7
Kriteria Kelayakan Penerapan … (Agus Sarwono)
Tidak
< 5 orang
Ada rencana, belum terealisasi
5 – 10 orang
Lainnya, sebutkan :
10 – 15 orang
4. Apakah memiliki standard operating procedure (SOP) untuk pemeriksaan dan pemeliharaan? Ya
> 15 orang 4. Usia penghuni dalam masing-masing ruangan? < 15 tahun
Tidak
15 – 30 tahun
Ada rencana, belum terealisasi
30 – 45 tahun
Lainnya, sebutkan :
> 45 tahun
5. Adakah kendala dalam melaksanakan FSM? …………………………………………………………………… 6. Apakah tersedia biaya/dana untuk pelaksanaan FSM? Ya Tidak Lainnya, sebutkan : 7. Berapakah besarnya biaya/dana pertahun untuk kegiatankegiatan tersebut? ……………………………………………………………………… 8. Biaya/dana tersebut digunakan untuk : Pemeriksaan dan pemeliharaan
5. Tingkat kemampuan tubuh/fisik penghuni ruangan : Normal Cacat tubuh, sebutkan : Kelemahan fisik/berpenyakit, sebutkan : 6. Aksesibilitas penghuni ruangan terhadap lingkungan luar : Pintu, jumlah dan ukuran : Jendela, jumlah dan ukuran : Bukaan lain, sebutkan : 7. Bentuk konstruksi bangunan : Bangunan bersekat/dibatasi dinding Atrium
Peralatan Audit keseluruhan Pelatihan Lainnya, sebutkan : 9. Pengaruh FSM terhadap premi asuransi : Ya, sebutkan : Tidak 10. Sebutkan keuntungan yang didapat setelah menerapkan FSM : ………………………………………………………………………………………………… …………………………………………… E. POTENSI BAHAYA KEBAKARAN 1. Fungsi ruang sebagai tempat tidur? Ya
8. Ketersediaan organisasi BALAKAR di lingkungan bangunan sekitar? Ya Tidak 9. Masyarakat di lingkungan sekitar cenderung dapat memacu (rawan) terhadap potensi bahaya kebakaran, sebutkan : ……………………………………………………………………… 10. Kegiatan yang terjadi didalam menimbulkan potensi penyalaan : Merokok
bangunan yang
dapat
Memasak (dengan kompor) Penggunaan peralatan listrik, sebutkan : Lainnya, sebutkan :
Tidak 2. Kewaspadaan terhadap ancaman bahaya kebakaran disuatu bangunan : Selalu diawasi penjaga 24 jam, jumlah (per shift) :
……………….., ………………………..20….. Pejabat yang berwenang,
Hanya diawasi penjaga pada waktu tertentu, Jumlah (per shift) : Tidak diawasi penjaga Tanda Tangan 3. Berapakah jumlah penghuni dalam satu ruangan?
8
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 9-17
STUDI KENYAMANAN TERMAL ADAPTIF RUMAH TINGGAL DI KOTA MALANG Studi Kasus : Perumahan Sawojajar 1- Kota Malang Muhammad Nurfajri Alfata Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Diterima : 25 Februari 2011; Disetujui : 30 Maret 2011 Abstrak Model kenyamanan termal statis kurang dapat menggambarkan kondisi kenyamanan termal yang sebenarnya. Studi ini merupakan penelitian awal untuk mengkaji kenyamanan termal adaptif penghuni bangunan pada kondisi sebenarnya di Indonesia. Hunian yang dikaji berupa hunian rumah tinggal di Perumahan Sawojajar 1, Kota Malang. Penelitian lapangan dilakukan berdasarkan tingkat II ASHRAE, dimana semua variabel fisik lingkungan yang dibutuhkan untuk menghitung indeks kenyamanan termal dikumpulkan dalam waktu dan tempat yang saat kuesioner kenyamanan diberikan. Analisis data menggunakan pendekatan statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan suhu netral terhadap suhu operatif adalah y=0,606.Top-16,843 dengan suhu netral 27,8oC dan suhu preferensi 25 oC. Responden merasakan kondisi iklim mikro sebagai kenetralan termal dan menginginkan kondisi iklim lokal sebagai suhu preferensi. Analisis keterterimaan termal menunjukkan bahwa seluruh responden dapat menerima, pada rentang suhu operatif 25 - 29oC, dan hanya 25% responden yang tidak dapat menerima suhu operatif 29 - 31oC. Pola adaptasi yang dilakukan antara lain melalui pemakaian pakaian dengan clo rendah dan menggunakan kipas angin untuk mendinginkan ruangan. Kata kunci :
Kenyamanan termal adaptif, keterterimaan termal, Kota Malang, suhu netral, suhu preferensi
Abstract The static thermal comfort model itself cannot describe the real thermal comfort condition. This research is The static thermal comfort model does not represent the real thermal comfort. This research is a preliminary study to examine the real situation of the adaptive thermal comfort of the residents’ houses in Indonesia. This research has been conducted in the residents’ houses of the housing complex of Sawojajar 1, the city of Malang. A field study was done based on a second degree ASHRAE, in which all the variables of the physical environments to calculate the indices of the thermal comfort were collected during the time the questionnaires were distributed. The data were analyzed by using statistics. The result showed that the equation of the neutral temperature towards the operative temperature is y=0,606.T with a neutral temperature of 27,8°C and preferred temperature of 25,1°C. Respondents felt the micro climate as thermal neutrality and would like the local climate to be the preferred temperature. The analysis of thermal acceptability demonstrated that all respondents could accept at a span of the operative temperature of 2529°C. Only 25% of the respondents could not accept the operative temperature of 29-31°C. The adaptation pattern that was employed was among others, wearing clothes with a lower clo and using fans to cool down the rooms. Keywords :
Adaptive thermal comfort, thermal acceptability, city of Malang, neutral temperature, preferred temperature
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini kenyamanan termal adaptif semakin banyak dibicarakan terkait dengan permasalahan yang timbul akibat pemakaian energi yang berlebihan untuk kenyamanan termal bangunan yang didasarkan pada model kenyamanan statik. Model kenyamanan termal adaptif didefinisikan sebagai preferensi termal yang merupakan hasil respon fisiologis pada
parameter indoor dan keinginan yang didasarkan pada determinan-determinan climato-cultural seperti pengalaman di masa lalu (Auliciems dalam Darmawan, 1999). Sementara itu, de Dear, Brager dan Cooper (1997) menyatakan tiga bentuk adaptasi dalam proses adaptif ini adalah penyesuaian perilaku (termasuk penyesuaian pakaian yang dikenakan), adaptasi fisiologis (atau aklimatisasi) dan reaksi psikologis (atau keinginan/harapan). 9
Studi Kenyamanan Termal… (Muhammad Nurfajri Alfata)
Pendekatan adaptif dalam kenyamanan termal didasarkan pada survei lapangan kenyamanan termal, yang difokuskan pada pengumpulan data termal dan pada saat bersamaan mengukur juga respon termal responden pada situasi nyata, dengan intervensi peneliti yang minimum (Nicol dan Humphreys, 2002). Dalam beberapa tahun terakhir, model kenyamanan termal adaptif digunakan untuk menentukan suhu netral sebagai fungsi suhu indoor, suhu outdoor dan suhu keduanya (Orosa dan Garcia-Bustelo, 2009)
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kenyamanan termal adaptif hunian di Indonesia, yaitu mengkaji kenyamanan termal penghuni bangunan pada kondisi nyata sebagaimana adanya, bukan kajian kenyamanan termal statik, di mana penghuni dikaji di ruang iklim buatan. Hunian yang dikaji berupa hunian tempat tinggal. Penelitian ini mengambil Perumahan Sawojajar 1 - Kota Malang sebagai studi kasus.
Beberapa penelitian terhadap kenyamanan adaptif telah dilakukan di Indonesia. Misalnya, Sujatmiko (2007) telah melakukan pengukuran kenyamanan termal adaptif rumah tinggal berventilasi alami dengan melibatkan sekitar 689 responden di Bandung, Bekasi, Surabaya, dan Semarang. Penelitian ini menghasilkan model persamaan kenyamanan termal adaptif berada dalam kisaran 80% zona kenyamanan adaptif ASHRAE-55 (American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers). Sementara itu, penelitian Karyono, et al, (2006) terhadap kenyamanan termal di Bandung menyebutkan bahwa suhu netral berada dalam rentang zona nyaman terhadap beberapa parameter termal (suhu udara luar, suhu globe, suhu operatif, dan SET). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa suhu netral di Bandung lebih rendah daripada di Jakarta. Hasil penelitian Karyono, et al., (2006) tersebut berbeda dengan hasil penelitian Sujatmiko (2007) pada kota yang sama. Perbedaan ini ditengarai penelitian Karyono et al., (2006) dilakukan terhadap sekelompok mahasiswa di dalam sebuah ruangan yang diperlakukan sebagai ruang termal (thermal chamber), sementara penelitian Sujatmiko (2007) dilakukan berdasarkan metode penelitian tingkat II dari ASHRAE.
Penelitian di Kota Malang dilakukan selama satu minggu di Perumahan Sawojajar 1, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa suhu kenyamanan setiap orang bervariasi, bergantung pada musim dan iklim. Iklim dan musim di Indonesia bervariasi. Antara satu daerah ke daerah lain memiliki karakteristik yang unik dan khusus yang membuatnya berbeda dari yang lain, termasuk dalam budaya, gaya hidup, dan kemampuan beradaptasi. Karena itu, diperlukan penelitian kenyamanan termal di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Kota Malang.
10
METODE PENELITIAN
Pemilihan lokasi tersebut karena beberapa pertimbangan, yaitu : a. Merupakan kompleks perumahan formal yang paling luas di Kota Malang. b. Terdiri atas tipologi rumah dengan tingkat keberagaman yang besar, baik dari aspek luas bangunan maupun bentuk. Penelitian lapangan dilakukan berdasarkan tingkat II (de Dear dalam Moujalled, etal., 2005), dimana semua variabel fisik lingkungan dalam ruangan yang dibutuhkan untuk menghitung indeks kenyamanan termal dikumpulkan dalam waktu dan tempat yang sama saat kuesioner kenyamanan diberikan. Penelitian dilakukan saat musim kemarau (September 2010). Berikut ini adalah deskripsi dari bangunan yang digunakan dalam penelitian ini, profil peserta, pengukuran fisik, kuesioner dan prosedur pengumpulan data. Bangunan Enambelas rumah dengan ventilasi alami dipilih di Perumahan Sawojajar 1. Tipologi rumah yang dijadikan sampel pengukuran adalah perumahan formal, yang terdiri dari beberapa tipe, yaitu tipe 27 m2, 36 m2, dan 54 m2. Bangunan pada umumnya standar, dengan selubung bangunan berupa dinding plesteran bata, atap genteng tanah liat, jendela kaca dengan bukaan di bagian depan, pintu di bagian depan dan belakang, serta langit-langit yang umumnya terdiri dari gypsum atau triplek/multiplek. Contoh denah rumah yang disurvei dapat dilihat pada gambar 1.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 9-17
7.500
3.000
Tempat Jemur Dapur
Dapur
3.000
2.500
2.500
Dapur
3.000
3.000
1.500 4.000
3.000
2.500 10.000
Tempat Jemur
Kamar Tidur
2.000
6.000
Kamar Tidur
Ruang Tamu
Lorong Untuk Barang
Ruang Tamu
Kamar Tidur
Kamar Mandi / WC
Kamar Tidur
Meja Rias
Gudang
Kamar Mandi / WC
1.500
2.500
4.000
3.000 4.500
3.000
3.000
Gambar 1 Denah Rumah Responden Tipe 36 M2 yang Diukur
Responden Duapuluh dua responden berpartisipasi dalam studi di Kota Malang, yang terdiri dari 11 laki-laki (50%) dan 11 perempuan (50%). Usia antara 1556 tahun dan rata-rata 44. Sebagian besar responden di Kota Malang memiliki tingkat pendidikan SMA - D3 (55%), disusul SMP (27%), D4-S1 (18%). Dari duapuluh dua responden, dilakukan pengulangan pertanyaan terhadap beberapa responden, sehingga diperoleh duapuluh sembilan kuesioner respon termal. Pengukuran Lingkungan Fisik Variabel lingkungan fisik mencakup kondisi iklim indoor dan outdoor. Keduanya terdiri dari suhu udara kering (TDB), suhu globe (Tglobe), kelembaban relatif (RH), kecepatan udara (va). Instrumen yang digunakan dalam mengukur variabel fisik adalah Ques Temp 32 oleh Quest Teknologi AS untuk mengukur Tdb, Tglobe, dan RH. Alat ini digunakan untuk mengukur kondisi dalam ruangan dan luar ruangan, Anemometer Kanomax A031 digunakan untuk mengukur kecepatan udara, Lux-meter digunakan untuk mengukur pencahayaan cahaya di dalam bangunan, Datalogger MEMORY HiLOGGER 8422-51 dari HIOKI, digunakan untuk merekam dan mengukur suhu ruangan dari selubung bangunan selama 24 jam. Sensor yang digunakan adalah termokopel tipe T. Kuesioner Kuesioner ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama meminta responden untuk mengevaluasi lingkungan termal mereka pada saat pengukuran sesuai dengan standar. Yang pertama terdiri dari skala kesan termal, penerimaan termal, dan preferensi termal. Skala kesan termal terdiri dari tujuh skala, yaitu -3 (Dingin), -2 (Sejuk), -1 (Agak sejuk), 0 (Netral), 1 (Agak hangat), 2 (Hangat), dan
3 (Panas). Sementara skala preferensi termal adalah 1 (Lebih sejuk), 2 (Tetap), dan 3 (Lebih hangat). Yang kedua adalah daftar pemeriksaan jenis pakaian yang digunakan dan aktivitas yang dilakukan. Pakaian yang digunakan diukur dalam satuan clo (1 clo = 0,155 m2.K/W ), sedangkan aktivitas yang dilakukan diukur dalam satuan met (1 met= 58 W/m2). Daftar aktivitas memuat pertanyaan tentang kegiatan fisik, makanan dan minuman (panas atau dingin) dan merokok selama sejam sebelum survei. Bagian terakhir adalah daftar kontrol lingkungan termal yang berbeda, seperti penyejuk udara, pintu, jendela, kipas angin lokal, dan naungan/shading. Prosedur Analisis Data Pendekatan statistik digunakan untuk analisis data lapangan. Analisis terdiri dari dua bagian, pertama adalah berkaitan dengan analisis termal yang dirasakan dan yang kedua berhubungan dengan perilaku adaptasi dari responden. Analisis kesan termal terdiri analisis deskriptif, regresi, dan penerimaan termal. Analisis deskriptif dilakukan dengan cara membandingkan metode untuk variabel termal (yaitu Top), kondisi termal rata-rata yang dirasakan, dan indeks kenyamanan termal (ET, * SET, TSENS, DISC, PMV, dan PPD). Top sebagai variabel termal karena kenyamanan termal adaptif merupakan fungsi suhu operatif dan suhu outdoor bulanan rata-rata. Analisis netralitas termal dilakukan dengan analisis regresi pada kuesioner bagian kesan termal. Analisis regresi dilakukan pada besaran termal dan indeks kenyamanan termal yang diperoleh dari pengukuran dan perhitungan. Analisis penerimaan termal dilakukan pada hasil jawaban kuesioner. Analisis penerimaan dilakukan 11
Studi Kenyamanan Termal… (Muhammad Nurfajri Alfata)
dengan memetakan rata-rata persentase jawaban responden pada suhu operasi tertentu. Analisis preferensi termal dilakukan dengan menganalisis pertanyaan bagian preferensi. Dengan menempatkan nomor jawaban 2 sebagai jawaban untuk nomor 1 dan 3, maka diperoleh respon biner, nomor 1 untuk keinginan menjadi lebih dingin dan 3 untuk menjadi lebih hangat. Regresi biner digunakan untuk menganalisis respon biner tersebut, dengan pertanyaan bagian preferensi sebagai variabel dependent dan nilai variabel termal, yaitu suhu operasi Top sebagai covariate, untuk mendapatkan nilai kemiringan b dan konstanta a dari persamaan regresi menggunakan persamaan (Darlington dalam Sujatmiko, 2007) : dengan,
Logit (PS) = a + b.Top
(1)
Top = [Logit (PS) - a]/b (2) dengan : Logit (PS) = ln (PS/1-PS) (3)
HASIL DAN ANALISIS Secara astronomis, Kota Malang terletak pada koordinat 112,06° - 112,07° Bujur Timur dan 7,06° - 8,02° Lintang Selatan. Kota Malang memiliki luas 110.06 km², dan terletak pada ketinggian antara 440 - 667 meter di atas permukaan air laut. Kondisi iklim Kota Malang selama tahun 2008 tercatat ratarata suhu udara berkisar antara 23°C - 25°C, dengan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu
minimum 18,4°C. Kelembaban udara berkisar 79% - 86%, dengan kelembaban udara maksimum 99% dan minimum mencapai 40% (BPS, 2008). Pengukuran terhadap besaran termal hunian disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Besaran Termal Hunian di Perumahan Sawojajar 1 - Kota Malang No Uraian Satuan Min Max Rata-rata SD 1 vaoutdoor m/s 0,0 0,6 0,10 0,17 o 2 Tdboutdoor C 24,8 30,5 28,34 1,36 3 RH outdoor % 68,0 85,0 78,03 4,17 4 vaindoor m/s 0,0 0,4 0,01 0,07 o 5 Tdbindoor C 24,9 30,1 27,69 1,32 o 6 Tglobeindoor C 26,2 35,9 28,56 2,04 7 RH indoor % 72,0 96,0 81,97 5,79 8 Pakaian clo 0,24 0,63 0,33 0,10
Suhu rata-rata luar ruangan menunjukkan kecenderungan lebih tinggi daripada data iklim tahunan rata-rata, yaitu sekitar 28,3oC terhadap 25oC. Dengan demikian, iklim mikro (microclimate) sekitar perumahan menunjukkan kecenderungan lebih tinggi daripada iklim lokal (topo-climate) Kota Malang. Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu dalam ruangan rata-rata lebih rendah daripada suhu luar ruangan, meskipun perbedaan tersebut kecil. Sementara itu, kelembaban udara di dalam rumah memiliki kecenderungan lebih tinggi daripada di luar rumah. Profil suhu udara dalam dan luar ruangan hasil pengukuran selama duapuluh empat jam pada salah satu rumah tinggal ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2 Profil Suhu Indoor dan Outdoor Hunian Rumah Tinggal di Kota Malang (Sumber : Data Penelitian, 2010)
12
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 9-17
Tabel 3 Indeks Kenyamanan Termal Hunian Rumah Tinggal di Kota Malang No Uraian Satuan Min Max Rata-rata SD o 1 Top C 25,55 32,7 28,12 1,45 o 2 ET C 26,10 34,1 29,04 1,80 o 3 SET C 24,60 31,6 27,48 1,76 4 TSENS -1,00 1,5 -0,15 0,68 5 DISC -1,00 2,1 -0,01 0,89 6 PMV -0,17 2,7 1,14 0,70 7 PPD % 5,00 97,0 37,00 27,23
Indeks kenyamanan termal sebagaimana disebutkan dalam Tabel 3 menunjukkan kenyamanan termal statis. Indeks di atas menyatakan bahwa hunian rata-rata berada pada zona nyaman/netral (TSENS -0,15, DISC -0,01) dengan rentang sensasi termal antara agak sejuk hingga antara agak hangat ke hangat. Sementara itu, nilai rata-rata PMV - PPD menunjukkan bahwa
rumah/unit hunian berada dalam rentang nyaman menurut standar ASHRAE, dengan kondisi agak hangat dengan tingkat ketidakpuasan yang rendah. Hasil ini berbeda bila dibandingkan hasil dengan pendekatan kenyamanan termal adaptif. Kesan termal penghuni berdasarkan data survei (kuesioner) dan kenyamanan termal statis ditunjukkan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Perbandingan Sensasi Termal Hasil Kuesioner dan Indeks Kenyamanan Termal Statis (dalam %) No Sensasi/kesan termal PMV TSENS DISC Adaptif 1 Sangat Panas 0 2 Panas/Sangat tidak nyaman 6,90 0 0 20,69 3 Hangat/Tidak nyaman 20,69 0 6,90 3,45 4 Agak Hangat/Agak tidak nyaman 58,62 13,79 17,24 13,79 5 Netral/Nyaman 13,79 37,93 27,59 27,59 6 Agak sejuk/ Agak tidak nyaman 48,28 48,28 10,34 7 Sejuk/ Tidak nyaman 0 0 17,24 8 Dingin/ Sangat tidak nyaman 0 0 6,90 9 Sangat dingin 0 -
Tabel 4 menunjukkan adanya kecenderungan yang berbeda antara indeks kenyamanan termal statis dan hasil kuesioner. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua pendekatan, baik pendekatan statis (PMV-PPD) maupun adaptif (lihat Gambar 3). Pada umumnya, sensasi termal agak sejuk hingga dingin, sebagian besar dirasakan pada sore hari (di atas jam 15.00), dan sensasi agak hangat hingga
panas sebagian besar terjadi pada siang hari (jam 09.00 - 15.00). Hasil ini lebih konsisten terhadap kenyataan bila dibandingkan pendekatan statis. Terhadap sensasi termal tersebut, 96,55% responden menyatakan dapat menerima kondisikondisi termal di atas, sisanya tidak dapat menerima. Umumnya, responden tidak dapat menerima kondisi termal yang sangat panas.
Gambar 3 Perbedaan Sensasi Termal PMV dan Hasil Kuesioner (Sumber : Data Penelitian, 2010)
13
Studi Kenyamanan Termal… (Muhammad Nurfajri Alfata)
Persamaan-persamaan netralitas terhadap indeks kenyamanan termal diberikan oleh Tabel 5. Tabel 5 Suhu Netral terhadap Beberapa Kenyamanan Termal Variabel 2 No Persamaan Tn R termal 1 Tdb y=0,943.Tdb-25,918 27,48 0,646 2 Top y=0,606Top-16,843 27,79 0,455 3 ET y=0,512ET-14,671 28,65 0,477 4 SET y=0,336SET-9,048 26,93 0,306 5 TSENS y=0,684TSENS+0,293 -0,43 0,241 6 DISC y=0,421.DISC+0,195 -0,46 0,193 7 PMV y=0,960.PMV-0,905 0,94 0,350 8 PPD y=0,026.PPD-0,754 29 0,360
Indeks Sig. 0,000 0,013 0,009 0,106 0,207 0,315 0,063 0,055
Tabel 5 menunjukkan bahwa persamaan netralitas terhadap tiga besaran termal pertama (Tdb, Top, dan ET) memiliki nilai koefisien determinasi (R 2) yang cukup tinggi dengan tingkat validitas tinggi (Sig.≤0,05), sehingga besaran termal yang digunakan sebagai prediktor tersebut (yaitu Tdb, Top, dan ET) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kenetralan termal. Dengan memasukkan nilai y=0, yaitu ketika kondisi udara netral (0), maka kenetralan termal responden terhadap suhu ruangan dalam (Tdb) adalah 27,5oC, terhadap suhu operatif (Top) adalah 27,8oC, serta terhadap suhu efektif (ET) adalah sekitar 28,65oC. Nilai kenetralan termal tersebut tidak berbeda jauh
dengan suhu rata-rata dalam ruangan (27,7oC) maupun luar ruangan (28,3oC). Sehingga, penghuni rumah di perumahan Sawojajar 1 merasakan kenetralan termal pada suhu udara sekitar (baik dalam maupun luar ruangan). Suhu netral tersebut sama dengan suhu rata-rata dalam iklim mikro (micro-climate) perumahan Sawojajar 1 - Kota Malang, sehingga suhu udara sekitar dirasakan netral oleh para penghuni rumah Analisis biner terhadap kuesioner preferensi menghasilkan persamaan linear y=0,256.Top+6,432. Dengan menggunakan Persamaan Darlington, diperoleh preferensi termal penghuni terhadap suhu operatif (Top) adalah sebesar 25,13oC. Dengan demikian, penghuni cenderung untuk memilih suhu tersebut sebagai suhu yang sangat diinginkan untuk tinggal dalam rumah. Suhu preferensi lebih rendah daripada kenetralan termal. Suhu preferensi tersebut sama dengan suhu rata-rata dalam iklim lokal (topo-climate) Kota Malang, sehingga penghuni rumah cenderung menginginkan suhu udara di sekitar mereka sama dengan kondisi iklim lokal rata-rata Kota Malang. Keterterimaan termal penghuni terhadap kondisi termal di Perumahan Sawojajar 1, Kota Malang, ditunjukkan dalam Gambar 4.
Gambar 4 Keberterimaan Termal Adaptif Hunian Di Perumahan Sawojajar 1
Sebagian besar responden (n=16) berada pada rentang suhu operatif 27 - 29oC. Gambar 4 menunjukkan bahwa pada rentang suhu operatif 25 - 29oC, seluruh responden dapat menerima kondisi termal yang ada. Demikian juga pada rentang suhu Top yang tinggi (31 - 33oC). Tetapi, pada rentang suhu operatif yang lebih rendah (29 31oC) terdapat 25% responden yang tidak dapat
14
menerima kondisi termal yang ada. Hal ini disebabkan jumlah responden pada rentang suhu operatif 31 - 33oC hanya satu orang, sedangkan pada rentang suhu operatif 29 - 31oC berjumlah empat orang. Maka, untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang keberterimaan termal pada rentang suhu operatif yang ada, dibutuhkan jumlah responden yang signifikan.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 9-17
Bila dibandingkan dengan kenyamanan termal statis (model PMV - PPD), suhu operatif yang tinggi (di atas 28oC) masih berada pada rentang zona nyaman dan di dalam batas keterterimaan termal 80%. Tetapi pada suhu operatif (Top) di atas 30oC, kondisi berada di atas rentang zona nyaman 80% (Gambar 5). Pada suhu operatif tersebut, kondisi sudah dirasa tidak nyaman dan tidak dapat diterima. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian dengan hasil pengolahan data kuesioner.
yang memiliki nilai clo rendah. Rata-rata pakaian yang digunakan memiliki nilai 0,33clo, berupa pakaian sehari-hari yang terdiri atas kaos lengan pendek, tipis, bahan kain katun yang mampu menyerap panas, dengan celana pendek (atau celana 3/4) dengan bahan kain (katun/jeans). Selain melalui mekanisme tersebut, pada umumnya penghuni rumah menggunakan kipas angin untuk mendinginkan ruangan (sekitar 77,3%).
Penghuni menyesuaikan diri terhadap kondisi termal di sekitarnya dengan menggunakan pakaian
0,5clo
1,0clo
Gambar 5 Keterterimaan Termal Adaptif Menurut ASHRAE 55 - 2004
PEMBAHASAN Bila dibandingkan dengan penelitian Sujatmiko (2007) di Kota Bandung dengan suhu bulanan ratarata 23 - 24oC, kenetralan termal terhadap suhu operatif Kota Malang (studi kasus : Perumahan Sawojajar 1) hampir sama dengan Kota Bandung, meskipun lebih rendah 0,5oC (27,8oC berbanding 28,3oC). Demikian juga dengan preferensi termal, antara Kota Malang dan Kota Bandung tidak terdapat perbedaan yang signifikan (25,1oC berbanding 25,7oC). Dengan demikian, selisih semantik responden antara kedua kota tersebut juga tidak jauh berbeda, yaitu 2,7oC untuk Kota Malang dan 2,6oC untuk Kota Bandung. Bila dibandingkan dengan penelitian Karyono, et al., (2006) dan Karyono (2008), hasilnya berbeda secara signifikan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kenetralan termal di Kota Bandung dicapai saat suhu 25,4oC. Metode yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan metode yang digunakan dalam penelitian Sujatmiko (2007), dan berbeda dengan metode yang digunakan dalam penelitian Karyono, et al., (2006) dan Karyono (2008). Terlihat bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang konsisten untuk lokasi
penelitian yang berbeda tetapi memiliki kondisi iklim dan geografis yang sama, dalam konteks ini adalah Kota Malang dan Kota Bandung. Penelitian ini juga menunjukkan hasil yang berbeda dengan kesimpulan dalam penelitian Karyono (2008) ketika membandingkan antara kenyamanan termal adaptif di Kota Jakarta dan Kota Bandung. Karyono (2008) menyatakan bahwa sebagai fungsi suhu udara luar rata-rata, suhu netral pada daerah dengan suhu udara luar ratarata lebih rendah akan memiliki suhu netral yang lebih rendah pula. Dalam penelitian ini, suhu udara luar rata-rata Kota Malang yang lebih tinggi daripada Kota Bandung memiliki suhu netral yang sedikit lebih rendah. Deviasi hasil penelitian ini diduga karena terbatasnya data yang diperoleh dalam penelitian ini. Dugaan lain adalah karena pengaruh budaya (Jawa) dalam pengisian kuesioner survei. Sebagaimana diungkapkan oleh Darmawan (1999), salah satu isu dalam kenyamanan termal adaptif adalah isu tentang pengaruh sosial budaya terhadap tingkat kenyamanan termal. Studi lapangan menunjukkan kecenderungan responden untuk memilih jawaban “cukup” atas beberapa pertanyaan kuesioner tentang kesan termal, keterterimaan termal,
15
Studi Kenyamanan Termal… (Muhammad Nurfajri Alfata)
maupun preferensi termal, meskipun pengukuran besaran termal menunjukkan nilai yang relatif tinggi. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah responden dan kuesioner yang kurang memadai. Penelitian ini hanya melibatkan 22 responden dengan 29 kuesioner kesan termal, sehingga hasil yang diperoleh kurang dapat digeneralisasi untuk rumah tinggal di Kota Malang secara umum, terutama berkaitan dengan keterterimaan termal. Keterbatasan ini dikarenakan pengukuran dilakukan saat hari kerja (weekday), sehingga sulit menemukan responden yang ada di rumah. Bila dibandingkan dengan penelitian Sujatmiko (2007), Sujatmiko (2007) melakukan penelitian di Kota Bandung dengan melibatkan 40 responden di rumah tinggal, yaitu 20 rumah di Perumnas Antapani dan 20 rumah di Kompleks PU Turangga dan 11 responden staf kantor Puslitbang Permukiman yang diukur berulang, baik saat di rumah maupun di kantor. Pengukuran dilakukan antara bulan Juli - Oktober 2010, yaitu saat Kota Bandung memasuki musim kemarau. Sehingga, untuk mendapatkan gambaran secara utuh tentang kenyamanan termal adaptif di Kota Malang, penelitian ini perlu disempurnakan dengan melibatkan jumlah responden yang lebih besar dan memperbanyak pengulangan pengukuran pada responden yang sama tetapi pada kondisi termal yang berbeda.
SIMPULAN DAN SARAN Kenetralan termal yang dirasakan oleh penghuni rumah di Kota Malang adalah sekitar 27,8oC. Besarnya suhu netral tersebut sama dengan suhu bulanan rata-rata iklim mikro (micro-climate) sekitar rumah/hunian. Sementara itu, preferensi termal penghuni terhadap suhu operatif (Top) adalah sebesar 25oC. Besarnya suhu preferensi sama dengan suhu bulanan rata-rata iklim lokal (topo-climate) Kota Malang. Analisis keterterimaan termal menunjukkan bahwa pada rentang suhu operatif 25 - 29oC, seluruh responden menyatakan dapat menerima kondisi termal tersebut. Sementara itu, pada rentang suhu operatif 29 - 31oC, 25% responden tidak dapat menerima, sisanya masih dapat menerima. Bila dibandingkan dengan kenyamanan termal statis (model PMV - PPD), suhu operatif yang tinggi (di atas 28oC) masih berada pada rentang zona nyaman dan di dalam batas keterterimaan termal 80%. Tetapi pada suhu operatif (Top) di atas 30oC, kondisi berada di luar rentang zona nyaman 80%. Pada suhu operatif tersebut, kondisi sudah dirasa tidak nyaman dan tidak dapat diterima.
16
Beberapa adaptasi yang dilakukan penghuni terhadap kondisi termal adalah dengan menggunakan pakaian yang memiliki nilai clo rendah. Semakin rendah nilai clo pakaian yang digunakan, maka nilai suhu netral yang dirasakan responden semakin besar. Selain melalui pakaian (penyesuaian perilaku), adaptasi lain adalah dengan pemanfaatan kipas angin untuk mendinginkan udara sekitar. Beberapa responden menggunakan kipas tangan dan membuka baju yang dikenakannya untuk mendinginkan tubuh. Terlepas dari keterbatasan yang ada dalam penelitian ini, hasil penelitian ini dapat dijadikan penelitian pendahuluan untuk penelitianpenelitian selanjutnya yang lebih sempurna. Penelitian ini perlu dilanjutkan secara intensif dengan melibatkan responden yang lebih besar dan lokasi penelitian yang berbeda untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang kenyamanan termal adaptif di Kota Malang. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan acuan dalam perencanaan rumah tinggal yang mampu menyediakan kenyamanan termal bagi penghuninya melalui strategi passive low energy design, sehingga dapat mendorong upaya konservasi energi pada bangunan gedung (rumah tinggal).
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum yang telah membiayai penelitian ini melalui DIPA Tahun Anggaran 2010 MAK 0047B.
DAFTAR PUSTAKA ASHRAE. 2005. ASHRAE Standard 55 : Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy. Atalanta, USA. Badan Pusat Statistik. 2008. Kota Malang Dalam Angka 2008. Malang : BPS Kota Malang. Darmawan, A. 1999. Adaptive Thermal Comfort : A Multicultural Issue, First International One day Forum on Natural and Hybrid Ventilation. Sydney, Australia. de Dear, R., Brager, G., dan Cooper, D. 1997. Developing an Adaptive Model of Thermal Comfort and Preference : Final Report on RP884. Sydney : Macquarie Research Ltd. Karyono, T.H. 2008. Bandung Thermal Comfort Study : Assessing the Applicability of an Adaptive Model in Indonesia. Architectural Science Review. Volume 51, Number 1, hal. 60 65. Australia : The University of Sydney.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 9-17
Karyono, T. H., et al. 2006. Report on Thermal Comfort Study in Bandung – Indonesia. Proceedings of International Conference ‘Comfort and Energy Use in Building Getting Them Right’. Cumberland Lodge, Windsor Park, United Kingdom Moujalled, Cantin, R., dan Guarracino, G. 2005. Adaptive thermal comfort evaluation in a field study. International Conference “Passive and Low Energy Cooling for the Built Environment”. Santorini, Greece Nicol, J.F and Humphreys, M.A. 2002. Adaptive thermal comfort and sustainable thermal
standards for buildings. Energy and Buildings. Volume 34, Issue 6, hal. 563-572. Orosa, J.A. and Garcia-Bustelo, E.J. 2009. ASHRAE Standard Application in Humid Climate Ambiences. European Journal of Scientific Research., Vol. 27 No. 1, hal. 128-139. EuroJournals Publishing, Inc. Sujatmiko, W. 2007. Studi Kenyamanan Termal Adaptif pada Hunian Berventilasi Alami Di Indonesia. Tesis. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
17
Formulasi Kebijakan Sistem… (Alex Abdi Chalik, Bibiana W. Lay, Akhmad Fauzi, Etty R.)
FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN BERKELANJUTAN Studi Kasus : DKI Jakarta Alex Abdi Chalik1, Bibiana W. Lay2, Akhmad Fauzi3, Etty R.4 1Direktorat
Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya Jl. Pattimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email :
[email protected] 2,3,4Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor Jl. Pajajaran, Bogor Email :
[email protected],
[email protected], 4etty riani
[email protected] Diterima : 9 Desember 2010; Disetujui : 27 Januari 2011 Abstrak Pengolahan sampah di wilayah perkotaan, yang dilakukan baik dengan sistem sanitary landfill, controll landfill maupun open dumping akan menimbulkan permasalahan baik masalah lingkungan, sosial maupun ekonomi. Di wilayah perkotaan terutama di kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta, permasalahan pengolahan sampah muncul berkaitan dengan tidak tersedianya lahan sebagai tempat pemerosesan akhir sampah di dalam wilayahnya. Pengolahan sampah yang dilakukan dengan teknologi sanitary landfill secara mandiri (individual), pada kenyataannya belum dapat menyelesaikan persoalan-persoalan dalam pengelolaan sampah. Pemerintah DKI Jakarta dalam usaha menyelesaikan persoalan pengolahan sampah telah menetapkan kebijakan untuk membangun incinerator skala kecil yang ditempatkan di bagian-bagian wilayahnya yang dikombinasikan dengan composting dan sanitary landfill sebagai tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah yang diletakkan di luar wilayahnya, namun demikian kebijakan ini tidak dapat berlanjut. Apabila kebijakan ini terus berlangsung, maka di masa yang akan datang pemerintah DKI Jakarta harus menyediakan paling tidak 600 ha lahan sebagai tempat pembuangan akhir sampah, yang menyulitkan pemerintah DKI Jakarta untuk menyiapkan lahan tersebut, disamping mahalnya ongkos pengangkutan sampah. Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana memformulasikan kebijakan pengolahan sampah yang dapat menyelesaikan permasalahan dalam pengolahan sampah, optimalisasi pengolahan, menghitung biaya dan dampak lingkungan, dengan menggunakan sistem pengolahan sampah terintegrasi, dikaitkan dengan aspek ekonomi, sosial dan keterbatasan lahan dengan mempergunakan sistem analisis minimalisasi biaya, analisis biaya dan manfaat serta statistik Ordinary Least Square. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa di masa yang akan datang : ”integrasi teknologi dalam sistem pengolahan sampah”, dapat membantu DKI Jakarta menyelesaikan masalah pengolahan sampah baik aspek teknis, ekonomi, dan lingkungan. Sistem ini meliputi pemanfaatan teknologi komposter kecepatan tinggi (High Rate Composting), incinerator dengan pemulihan energi listrik, dan sanitary landfill sebagai tempat pembuangan akhir sampah, yang dioperasikan bersama (terintegrasi) untuk mendapatkan pengolahan sampah yang maksimal, mengurangi limbah dan pencemaran, untuk mencapai efektivitas dan tingkat efisiensi yang tinggi. Kata kunci :
Keberlanjutan, keterbatasan lahan, sistem minimalisasi biaya, pengolahan sampah terintegrasi
Abstract Solid waste management in urban areas that uses the sanitary landfill system, landfill control, and open dumping may cause environmental, social and economic problems. In urban areas, particularly in big cities and metropolitans such as the Special Region of the Capital Jakarta, the problem of waste management occurs because no vacant land is available to be used as the final disposal site. Waste management that uses the individual landfill sanitary technology has not solved yet garbage problems. The government of the Special Region of the Capital Jakarta makes an effort to solve the garbage problem by formulating a policy to build small scale incinerators that are placed throughout the region and combines it with composting and sanitary landfill as the final disposal site outside the region. This policy, however, could not last. If this policy is applied, the government of the Special Region of the Capital Jakarta has to provide a minimum of 600 ha land as the final disposal site. The Special Region of the Capital Jakarta is not able to provide such vacant land. Also, the cost to transport garbage is quite expensive. The purpose of this research is to formulate a policy of waste management that solves the garbage problem, optimizes the management, and calculates the cost and environmental impact. To do this, an integrated waste management system is used which is
18
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 18-30
connected with the economic, social, and limited land aspects and analyzing how to minimize cost and using the ordinary least square system were done. The result shows that in the future the integrated waste management technology can solve the garbage problem of the Special Region of the Capital Jakarta, technically, and environmentally. The system uses the High Rate Composting system, electric incinerators, and sanitary landfill as the final disposal site. These are operated together to get the maximum waste management, to reduce waste and pollution in order to reach a high level of effect and efficiency. Keywords : Sustainability, limited land, system of minimizing cost, integrated waste management
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah, (Petrick, 1984). Pada saat ini daerah perkotaan di kawasan Asia mengeluarkan US$ 25 milyar per tahun untuk pengelolaan 760.000 ton sampah per hari. Pengelolaan sampah diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 50 milyar pada tahun 2025 dengan proyeksi jumlah sampah sebesar 1,8 juta ton per hari. (Horenwig dan Thomas,1999). Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengurangan dan penanganan sampah sehingga memberikan dampak baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Kondisi buruknya pelayanan sanitasi di Indonesia memberikan dampak ekonomi yang sangat substansial. Menurut evaluasi dari ADB (1998), dampak sosial (social cost) akibat tidak memadainya sanitasi mencapai US$ 4,7 juta per tahun, atau sekitar 2,4% dari GDP tahunan Indonesia. Dampak ini setara dengan hampir Rp.100.000,- per rumah tangga per bulan. Kondisi kesehatan masyarakat yang buruk memperbesar biaya pengobatan atau kehilangan produktivitas para pekerja (ADB, 1998). Daerah khusus Ibu Kota Jakarta menghadapi masalah dalam melakukan pengelolaan sampah. Salah satu permasalahan yang sangat menonjol adalah pengelolaan pada Tempat Pemerosesan Akhir Sampah (TPA) yang menimbulkan banyak masalah, disamping luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, pemerintah DKI juga menghadapi masalah keterbatasan lahan yang memadai bagi TPA sampah, serta kurangnya penyediaan dana untuk biaya operasi dan pemeliharaan pengelolaan sampah. Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang DKI 2005 (1987) kebutuhan TPA Sampah DKI 10 tahun ke depan, jika tidak dilakukan perubahan terhadap sistem pengolahan sampah yang dilakukan saat ini, maka DKI memerlukan paling tidak luas lahan sebesar 600 hektar untuk ke 5 (lima) bagian wilayah kota. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, menimbulkan berbagai
permasalahan lingkungan yang harus dihadapi, salah satu persoalan yang hingga saat ini masih menjadi persoalan besar bagi DKI adalah : “Bagaimana menyelesaikan permasalahan pengolahan sampah yang dapat memenuhi keinginan masyarakat, ramah lingkungan dan dapat dioperasikan dengan baik, sehingga terdapat suatu sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable)”. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun model formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan, untuk memberikan masukan bagi penentu kebijakan dalam menetapkan sistem pengolahan sampah yang efisien dan efektif di wilayah perkotaan secara berkelanjutan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Melakukan analisis ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan sampah. 2. Melakukan analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. 3. Melakukan pengembangan model kebijakan pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di wilayah perkotaan.
LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta, yang merupakan kota terbesar di Indonesia, sebagai kota metropolitan DKI Jakarta memiliki luas area 661,52 km2 (66.152 ha), dimana kurang lebih 98% dari total wilayah Kota Jakarta sudah terbangun. DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk yang berkembang sangat cepat. Pada tahun 1999 penduduk DKI berjumlah 7.831.520 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,2% per tahun, maka pada akhir tahun 2008 penduduk DKI telah mencapai 9.126.758 jiwa, dengan jumlah timbulan sampah sebesar 10 juta m3 per tahun, atau rata-rata 6.000 ton per hari. Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat, maka DKI pada tahun 2008 memiliki tingkat kepadatan penduduk rata-rata sebesar 138 jiwa/ha. DKI memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pada tahun 1984 PDRB per kapita sebesar Rp.
19
Formulasi Kebijakan Sistem… (Alex Abdi Chalik, Bibiana W. Lay, Akhmad Fauzi, Etty R.)
1.343.185,- dan pada akhir tahun 2007 telah mencapai Rp. 62.490.340,- (harga berlaku).
METODOLOGI PENELITIAN Pengumpulan data untuk mendukung penelitian ini dilakukan dengan metode primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara pada para pakar persampahan, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai institusi seperti BPS, Dinas Kebersihan DKI, Kementerian Pekerjaan Umum, serta hasil penelitian sebelumnya. Analisis dilakukan melalui teknik Cost Minimizing System sebagaimana dilakukan oleh Hara et al (2005), Cost and Benefit Analysis (CBA) sebagaimana yang dikemukakan oleh Hanley dan Spash (1995). Perhitungan CBA dilakukan dengan membandingkan sistem pengolahan sampah dengan teknologi High Rate Composting, Sanitary Landfill dan WTE Incinerator, secara individual dan Sistem pengolahan sampah terintegrasi antara ketiga teknologi tersebut. Selain dengan kedua metode tersebut di atas, pendekatan regresi juga digunakan untuk mengetahui pengaruh variabelvariabel makro seperti pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dengan besaran nilai produk domestik regional bruto (PDRB) dan jumlah penduduk terhadap volume sampah yang dihasilkan. Metode ini digunakan untuk menguji apakah kesejahteraan masyarakat (yang diukur dengan PDRB) akan berkorelasi positif terhadap volume sampah yang dihasilkan. Persamaan loglog berikut digunakan untuk mengukur korelasi tersebut : ln(V) = α0 + α1 ln(JP) + α2 ln(PDRB) + dimana V adalah volume sampah, JP adalah jumlah penduduk dan PDRB adalah produk domestik
regional bruto DKI, adalah galat. Persamaan loglog digunakan karena koefisien dari persamaan di atas dapat diartikan sebagai elastisitas perubahan variabel independen terhadap variabel dependen (Gujarati, 1978).
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Ketersediaan dan Kesesuaian Tempat Pengolahan Sampah Pertumbuhan penduduk serta perkembangan pemanfaatan lahan untuk pembangunan baik untuk perumahan permukiman maupun untuk kebutuhan industri, mengakibatkan sulitnya Pemda DKI mendapatkan lahan yang memenuhi syarat sebagai tempat untuk pengolahan sampah di dalam wilayahnya, perubahan pemanfaatan lahan di DKI dapat dilihat pada Tabel 1. Ketersediaan dan kesesuaian tempat pengolahan sampah antara lain ditentukan oleh tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah, luas wilayah terbangun, luasan lahan yang masih tersedia minimal untuk dapat memenuhi kebutuhan tempat mengolah sampah selama 10 (sepuluh) tahun, serta kelayakan sosial (penerimaan masyarakat) dan lingkungan. Dengan kondisi yang demikian maka DKI tidak memungkinkan untuk membangun lokasi SLF di dalam wilayahnya, disamping tidak tersedianya lahan yang luas (600 ha) untuk menampung kebutuhan sampah hingga 25 tahun ke depan, juga harga tanah yang tinggi, timbulnya keresahan masyarakat sekitar atas fasilitas SLF yang dioperasikan terbuka (out door), serta dampak lingkungan yang akan diterima oleh masyarakat sekitar. Kemungkinannya adalah teknologi High Rate Composting (HRC), atau WTE Incinerator, yang memerlukan lahan relatif lebih kecil, serta dioperasikan secara tertutup (in door), yang lebih dapat diterima oleh masyarakat sekitar.
Tabel 1 Perubahan Pemanfaatan Lahan di DKI Jakarta Tahun 2004 Perkantoran & Perumahan Industri Taman Lainnya Gudang
Kotamadya
TOTAL
Jakarta Selatan
Ha
10.428,43
236,08
1.757,50
190,91
1.960,07
14.573
Jakarta. Timur
Ha
13.542,84
1.130,13
1.798,45
217,77
2.083,80
18.773
Jakarta Pusat
Ha
2.968,84
92,93
1.068,65
170,04
489,54
4.790
Jakarta Barat
Ha
9.032,34
512,17
1.253,93
209,41
1.607,15
12.615
Jakarta. Utara
Ha
7.495,36
2.171,39
1.474,61
126,56
2.952,07
14.220
Kep. Seribu TOTAL
Ha Ha %
320,76 43.788,57 66,19
275,17 4.417,87 6,68
92,71 7.445,85 11,26
914,69 1,38
491,77 9.584,40 14,49
1.181 66.152,00 100,0
Sumber : Badan Pusat Statistik, DKI
Salah satu konsekuensi pertumbuhan penduduk dan ekonomi adalah meningkatnya volume timbulan sampah. Pada tahun 2005 dari 6.000 ton/ hari sampah di Jakarta 50% timbulan sampah berasal dari pemukiman, disusul kemudian perkantoran, industri dan sumber lainnya. 20
Besarnya timbulan sampah ini telah menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Disamping itu perubahan tingkat kesejahteraan penduduk memberikan pengaruh terhadap karakteristik dan komposisi sampah. Perubahan komposisi sampah dapat dilihat pada tabel 2.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 18-30
Komponen (%) I. Organik II. Anorganik Plastik Kertas Styrofoam Karet Kayu Bulu Kain Kaca Logam Lain-lain Total
Tabel 2 Perubahan Komposisi Sampah DKI Tahun 1981 1986 1987 1997 79.7 74.7 72.0 65.1
2001 52.7
3.7 7.8 0.0 0.5 3.7 N.A 2.4 0.5 1.4 0.3 100.0
12.6 20.1 1.9 0.9 2.6 0.8 2.6 1.2 1.1 3.5 100.0
5.4 8.3 0.0 0.6 3.8 N.A 3.2 1.8 1.4 0.8 100.0
5.4 8.3 0.0 3.2 3.2 N.A 3.2 1.8 2.1 0.8 100.0
11.1 10.1 0.0 0.6 3.1 N.A 2.5 1.6 1.9 4.0 100.0
Sumber : BPPT (1981), Dinas Kebersihan DKI (1986, 1997), JICA (2001)
Dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), dan dengan bantuan program Eviews 4.1 dapat diketahui pengaruh jumlah penduduk dan PDRB (variabel bebas) terhadap volume
timbulan sampah (variabel terikat) di DKI Jakarta, dengan program tersebut diperoleh hasil sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volume Timbulan Sampah Di DKI Jakarta Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 5.615466 5.007317 1.121452 0.2748 LOG(JP) 0.601376 0.338462 1.776789 0.0901 LOG(PDRB) 0.053988 0.025502 2.116977 0.0464 R-squared 0.724537 Mean dependent var 15.99192 Adjusted R-squared 0.698302 S.D. dependent var 0.144119 S.E. of regression 0.079160 Akaike info criterion -2.118212 Sum squared resid 0.131594 Schwarz criterion -1.970955 Log likelihood 28.41854 F-statistic 27.61765 Durbin-Watson stat 0.543185 Prob (F-statistic) 0.000001 Sumber : data diolah LOG(VTS) = 5,6154 + 0,6014 LOG(JP) + 0,0540 LOG(PDRB) Std. Error (0,3385) (0,0255) t-stat (1,777)* (2,117)** R2 = 0,7245 R2 = 0,6983 Keterangan : **signifikan pada α =5% ;*signifikan pada α = 10%
Berdasarkan nilai R-squared (R2) sebesar 0,7245 yang diperoleh dari hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa variabel independen (jumlah penduduk dan PDRB) mampu menjelaskan variasi timbulan volume sampah sebesar 72,45%. Sedangkan selebihnya sebesar 27,55% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi ini. Dari Tabel 2 diperoleh hasil bahwa nilai F-statistik yang diperoleh, yaitu sebesar 27,6177 lebih besar dari F0,01(2,21) = 5,78 yang berarti bahwa secara bersama-sama (serentak) jumlah penduduk dan PDRB mempengaruhi volume timbulan sampah di DKI Jakarta dengan tingkat keyakinan 99%. Dari Tabel 2 juga menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk memberikan pengaruh yang lebih dominan jika dibandingkan dengan PDRB dalam meningkatkan volume sampah di DKI Jakarta dengan nilai 0,6014 dibandingkan nilai 0,0540.
Berdasarkan uji t-statistik (uji secara parsial), maka dapat diketahui bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume timbulan sampah adalah jumlah penduduk pada tingkat = 10% sedangkan variabel PDRB signifikan pada tingkat = 5%. Pada jumlah sampel (n) = 24, variabel bebas (k) = 2 maka derajat bebas untuk nilai t-statistik (n-k-1) atau sama dengan 21. Pada variabel jumlah penduduk mempunyai t-hitung sebesar 1,777 lebih besar dari t-Tabel α = 0,10 sebesar 1,721 yang bermakna bahwa variabel jumlah penduduk berpengaruh signifikan (pada α = 0,10) terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta. Sementara itu t-hitung variabel PDRB sebesar 2,177 lebih besar jika dibandingkan dengan nilai tTabel pada α = 0,05 sebesar 2,080 dengan demikian bahwa variabel PDRB berpengaruh
21
Formulasi Kebijakan Sistem… (Alex Abdi Chalik, Bibiana W. Lay, Akhmad Fauzi, Etty R.)
signifikan terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta. Hasil estimasi pada Tabel 3, di atas menunjukkan bahwa koefisien jumlah penduduk menunjukkan elastisitas dari jumlah penduduk terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta dengan elastisitas sebesar 0,6014 yang bermakna bahwa apabila jumlah penduduk meningkat sebesar 1% maka
volume timbulan sampah meningkat sebesar 0,6014%. Sementara itu koefisien PDRB menunjukkan elastisitas PDRB terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta dengan elastisitas sebesar 0,054 bermakna bahwa apabila PDRB meningkat sebesar 1% maka volume timbulan sampah meningkat sebesar 0,054%. Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah organik dan anorganik dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4 Hasil Model Regresi antara PDRB terhadap Sampah Organik Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 6136256. 169949.5 36.10634 0.0000 PDRB -0.004568 0.006708 -0.680866 0.5031 R-squared 0.020637 Mean dependent var 6057377. Adjusted R-squared -0.023880 S.D. dependent var 602016.3 S.E. of regression 609161.8 Akaike info criterion 29.55721 Sum squared resid 8.16E+12 Schwarz criterion 29.65538 Log likelihood -352.6865 F-statistic 0.463578 Durbin-Watson stat 0.456831 Prob(F-statistic) 0.503060 Sumber : Data Diolah
Tabel 5 Hasil Model Regresi antara PDRB terhadap Sampah Anorganik Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2118610. 139619.6 15.17415 0.0000 PDRB 0.041881 0.005511 7.599282 0.0000 R-squared 0.724135 Mean dependent var 2841872. Adjusted R-squared 0.711595 S.D. dependent var 931876.0 S.E. of regression 500448.3 Akaike info criterion 29.16405 Sum squared resid 5.51E+12 Schwarz criterion 29.26222 Log likelihood -347.9686 F-statistic 57.74908 Durbin-Watson stat 0.443474 Prob(F-statistic) 0.000000 Sumber : Data Diolah
Karakteristik dan komposisi sampah dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan masyarakat (incomeper capita), dari data dan analisa statistik menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
22
masyarakat mempengaruhi komposisi sampah, hubungan antara timbulan sampah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada gambar 2.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 18-30
Gambar 2 Pengaruh PDRB terhadap Timbulan Sampah
Hasil di atas hanya menggambarkan pengaruh beberapa variabel ekonomi terhadap pertumbuhan sampah. Salah satu tujuan penelitian ini adalah mencari teknologi yang cost efficient. Analisis Biaya dan Manfaat (CBA), dengan bantuan program Excel, terhadap biaya kapital, operasi dan pemeliharaan (Capex-opex) dapat dilihat pada Tabel 6. Perhitungan tersebut didasarkan pada kondisi pengolahan sampah di DKI pada saat ini, dimana sistem pengolahan dengan mempergunakan SLF ditempatkan di luar wilayahnya yang memiliki jarak angkut rata-rata 45 km dari sumber timbulan sampah hingga ke sel pengolahan dan penimbunan. Sedangkan sistem WTE Incinerator dan High Rate Composting (HRC) ditempatkan di bagian wilayah DKI, berjarak rata-rata 10 km dari sumber timbulan sampah, dengan lokasi tempat pengolahan dan pembuangan residu hasil olahan
berjarak 25 km dari unit pengolahan baik WTE Incinerator maupun HRC. Perhitungan investasi pengolahan sampah secara individual diasumsikan dengan sampah yang belum terpisahkan antar sampah organik dan anorganik, sedangkan untuk pengolahan dengan sistem terintegrasi (Composting, WTE Incinerator dan SLF), diasumsikan dengan kondisi sampah yang terpisah antara sampah organik dan anorganik. Perhitungan ini dimaksudkan untuk melihat keuntungan dan kerugian dari kondisi pengumpulan sampah secara terpisah dan tercampur, dalam proses pengolahan sampah di perkotaan. Dalam perhitungan ini juga diasumsikan bahwa pengangkutan sampah di wilayah perkotaan mengunakan truk dengan bak tertutup kapasitas 8 ton/truk, berbahan bakar solar, dengan kecepatan rendah, yang memerlukan 2,5 liter solar/km.
Tabel 6 Analisis Biaya-Manfaat Pilihan Teknologi TEKNOLOGI
Sanitary Landfill (SLF)
Waste to Energy Incinerator (WTE) 500 1.000 2.000 3.000
High Rate Composting
Kombinasi Teknologi
SAMPAH MASUK Ton/hari 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 NPV Capex-Opec at DF = Inf.rate 1.834 3.453 6.588 9.781 1.516 2.696 5.056 7.240 1.877 3.626 7.507 11.192 1.336 2.526 4.592 6.576 = 7% (Rp. Milyar) NPV UNIT COST at DF = Inf.rate = 419,2 394,61 376,46 372,61 346,61 308,11 288,89 275,65 302,65 296,64 289,96 289,29 289,52 274,00 249,24 238,26 7% (Rp x 1.000/ton)
Sumber : Hasil Perhitungan
Sebagaimana hasil perhitungan pada Tabel 6, nampak bahwa untuk single treatment dengan kapasitas yang sama diperoleh bahwa nilai sekarang (present value) Capex-Opex, dengan tingkat bunga (interest rate)= 7 % total sistem biaya/ton sampah yang diperlukan untuk Sanitary Landfill (SLF), baik untuk kapasitas pengolahan dari 500 hingga 3.000 ton/hari, merupakan harga tertinggi disusul dengan High Rate Composting dan WTE Incinerator, untuk kapasitas 3000 ton/hari
sistem pengolahan dengan Sanitary landfill memerlukan biaya sebesar Rp. 372.610,-/ton, dan pengolahan dengan High Rate Composting sebesar Rp.289.290,-/ton, pengolahan dengan IncineratorWTE (Waste to Energy) sebesar Rp. 275.650,-/ton dan perbedaan yang sangat nyata untuk biaya tersebut diakibatkan oleh luas kebutuhan dan harga lahan yang relatif mahal, serta biaya pengangkutan sampah (haulage) rata-rata sebesar Rp. 6.000,-/ton/km. Dari perhitungan tersebut
23
Formulasi Kebijakan Sistem… (Alex Abdi Chalik, Bibiana W. Lay, Akhmad Fauzi, Etty R.)
nampak bahwa initial investment yang paling murah adalah SLF (Sanitary Land Fill) disusul Composting, sementara ongkos yang paling mahal adalah pengolahan dengan WTE Incinerator. Hal ini bisa menimbulkan kerancuan dalam pengambilan keputusan (formulasi kebijakan) karena jika yang diperbandingkan dalam pengambilan keputusan (kebijakan) adalah initial investment, maka WTE Incinerator menjadi pilihan yang termahal namun jika dilihat dari total biaya capex-opex dalam 25 tahun dengan discount rate 7 % justru sebaliknya WTE Incinerator merupakan pilihan teknologi pengolahan sampah dengan ongkos pengolahan yang termurah. Pengolahan sampah dengan teknologi WTE Incinerator akan menghasilkan listrik yang bergantung pada kandungan kalorinya, yang dalam perhitungan berdasarkan data untuk sampah tercampur sebesar 2.146 kcal/kg dan untuk sampah terpilah dan didahului dengan pengolahan composting sebesar 3.044 kcal/kg. Pengolahan dengan WTE tersebut didasarkan pada harga jual listrik ke PLN sebesar Rp. 300,-/kwh, dan penggunaan WTE ini akan jauh lebih menguntungkan jika harga jual listrik yang
Sampah Organik
Timbulan Sampah
dihasilkan dari WTE dapat dijual dengan harga Rp. 700,-/kwh, yang memerlukan kebijakan pemerintah dalam penggunaan energi bersih (green energy), serta pemanfaatan sampah sebagai sumber energi (garbage is energy, rather than waste). Kondisi ini akan jauh semakin baik jika dilakukan pemilahan sampah di sumber timbulan sampah dan dilakukan pengolahan sampah dengan mengintegrasikan teknologi pengolahan sampah, yaitu pengolahan dengan kombinasi teknologi WTE Incinerator dengan High Rate Composting dan Final Disposal Site (sanitary landfill). Dari perhitungan nampak bahwa terjadi penurunan biaya baik investasi awal maupun biaya sistem pengolahan (capex-opex) per ton sampah dalam 25 tahun dengan tingkat bunga 7%, untuk kapasitas 3000 ton/hari, PV sebesar Rp. 238.260,-/ton. Penurunan biaya ini diakibatkan karena beberapa hal antara lain : menurunnya biaya angkutan untuk reject material dan residu hasil pengolahan sampah, serta meningkatnya produksi listrik akibat dari meningkatnya kandungan kalori sampah dari hasil pemilahan sampah di sumber timbulan sampah, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.
High Rate Composting
Pupuk Kompos
Pasar Kompos
Residu
Sampah Anorganik
Incinerator WTE
Residu
Listrik
Pendapatan ekstra
PLN
SLF
Gambar 4 Sistem Pengolahan Sampah Terintegrasi
Analisis Dampak Lingkungan Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah - Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Sistem Pengolahan Sampah Sanitary Landfill Aktivitas biologis pada landfill biasanya mengikuti satu bentuk tertentu yaitu sampah mula-mula didekomposisi secara aerobik sampai kandungan oksigen habis, pada fase berikutnya mikroorganisme fakultatif dan anaerobik mengambil peran dan pada tahap ini dekomposisi sampah akan menghasilkan gas metan yang tidak berbau dan tidak berwarna dan terjadi kenaikan temperatur hingga 65,5o C. Pada kenyataannya sangatlah sulit untuk mempertahankan kondisi landfill tetap dalam keadaan aerobik, oleh karenanya keadaan anaerobik merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari. Pada proses anaerobik akan dihasilkan gas metan CH4, karbon dioksida CO2, ammonia NH5, sejumlah kecil hidrogen sulfida H2S, dan merkoptan CH5SH. Pengoperasian sanitary 24
landfill mendapatkan input yang berupa sampah dan sumber daya baik sumber daya yang dapat diperbaharui maupun yang tidak terbarukan seperti : lahan, bahan bakar untuk mengangkut sampah ke unit SLF, dan beberapa material lainnya, untuk mengolah air lindi. Selama pengoperasian landfill, diperlukan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan alat-alat berat di lapangan, dan penggunaan energi listrik untuk mengoperasikan timbangan. Pemanfaatan teknologi SLF memberikan dampak lingkungan, salah satunya adalah emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah. Analisis dilakukan dengan hanya melakukan penghitungan untuk emisigas CO2 dan gas metan CH4 yang dikonversikan dalam CO2, dengan mempergunakan indeks Global Warming Potential (GWP) sebagaimana yang dirumuskan oleh Asian LeastCost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS, 1997). Estimasi pembentukan gas sebagai fungsi
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 18-30
dari waktu dapat dihitung dengan mempergunakan model matematis sebagaimana dikemukakan oleh Rottenberger dan Tabasaran (1987) sebagai berikut : Gt = 1,868 Co (0,014 T + 0,28) (1 – 10 –kt)dalam m3 gas/ton sampah dimana Gt = volume gas yang terbentuk semenjak sampah 1 (satu) ton dibuang sampai waktu t tahun, dalam m3 gas/ton sampah, dan Co = jumlah total karbon organik dalam sampah (kg/ton sampah), (nilai tipikal Co = 200 kg/ton), dan T = temperatur di lapisan dalam sampah di SLF dalam oC, (nilai tipikal untuk kondisi SLF di Indonesia = 40oC) k= konstanta degradasi (tipikal untuk landfill antara 0,05 – 0,15), dan t = waktu dalam tahun. Volume gas CO2 yang terbentuk dan gas CH4 selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan berat ton/tahun dengan menggunakan faktor konversi berat spesifiknya, dimana untuk CO2 =0,1235 lb/ft3 atau 1,97835 kg/m3 dan CH4 = 0,0448 lb/ft3 atau 0,7177 kg/m3. Menurut Chobanoglous, at al, komposisi pembentukan gas rata-rata adalah 46,1 % gas landfill adalah CO2 dan 48,4 % CH4, dengan gas-gas lain sejumlah = 5,5 %. Dengan mempergunakan komposisi volume gas sebagaimana penelitian yang dikemukakan oleh Chobanoglos et al, maka dapat dihitung terbentuknya volume dan berat gas CO2 dan CH4 dalam proses pengolahan sampah dengan teknologi Sanitary Landfill. Disamping timbulnya gas CO2 dan gas metan CH4 dari proses dekomposisi zat organik, emisi gas rumah kaca, juga dikeluarkan akibat dari pemakaian bahan bakar solar untuk transportasi sampah dari Tempat Penampungan Sampah Sementara hingga ke Unit Pengolahan Sampah SLF yang berjarak 45 km, sesuai dengan reaksi sbb : Bahan Bakar + Udara Panas + Karbon Dioksida + Nitrogen Perhitungan jumlah gas CO2 yang ditimbulkan akibat dari penggunaan bahan bakar solar, sebagaimana yang dikemukakan oleh DEFRA (2001) dalam penelitian yang dikemukakan oleh Nurroh (2010) mengenai analisis pengaruh hutan tropis dalam menurunkan emisi CO2 disebutkan bahwa : setiap liter pemakaian solar sebagai bahan bakar sistem transportasi akan menimbulkan 2,6 kg CO2, dan untuk satu liter bahan bakar bensin menimbulkan 2,33 kg CO2. Dengan mempergunakan hasil penelitian tersebut, dapatlah dihitung jumlah emisi gas CO2 yang dikeluarkan akibat dari pengangkutan sampah ke lokasi pengolahan sampah Sanitary Landfill. Jumlah emisi gas CO2 dan CH4 yang dikonversikan ke dalam satuan gas CO2, baik dari angkutan sampah dan proses pengolahan di sanitary landfill merupakan jumlah emisi GRK yang ditimbulkan dari pemanfaatan teknologi
pengolahan sampah dengan sistem Landfill, dapat dilihat pada tabel 7.
Sanitary
Tabel 7 Emisi GRK Sistem Pengolahan SLF
Sumber : Hasil Perhitungan
-
Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah Waste to Energy Incinerator Incinerator merupakan metoda yang sangat efektif untuk mengurangi volume sampah sampai dengan 80 – 95 % bergantung pada bahan yang tidak dapat terbakar dalam sampah. Lebih jauh lagi panas yang dihasilkan dapat digunakan kembali untuk beberapa kepentingan seperti menghasilkan air panas atau generator listrik untuk digunakan dalam unit incinerator ini sendiri, maupun pengunaan energi listrik oleh masyarakat luas. Menurut Brunner (1994) keuntungan penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Dapat menghilangkan komponen sampah yang berbahaya Pengurangan volume dan berat dari sampah Pengurangan sampah secara cepat, tanpa menunggu waktu yang lama seperti pada proses di sanitary landfill. Proses incinerasi (pembakaran) dapat dilakukan setempat (on site) tanpa mentransportasikan ke daerah yang jauh. Emisi udara dapat dikontrol secara efektif sampai tingkat dampak minimum pada lingkungan atmosfir. Limbah abu dapat dikelompokkan bukan sebagai limbah yang berbahaya. Insinerasi memerlukan luas lahan yang relatif lebih kecil, sebagaimana yang diperlukan sistem pengolahan lainnya. Melalui pemulihan panas yang dihasilkan, maka biaya operasi dapat dikurangi atau bisa juga dilakukan penggunaan panas untuk energi listrik yang dapat dijual.
Namun demikian kelemahan dari sistem ini yang perlu diperhatikan adalah : 1. 2.
3.
Beberapa material seperti sampah yang sangat basah atau limbah tanah sulit dibakar dalam incinerator Kesulitan untuk melakukan kontrol terhadap logam (inorganic material) dalam proses pembakaran seperti sampah yang mengandung logam berat (timah, kromium, merkuri, nikel, arsenik, dan lain-lain) Incinerator memerlukan biaya investasi awal yang sangat mahal
25
Formulasi Kebijakan Sistem… (Alex Abdi Chalik, Bibiana W. Lay, Akhmad Fauzi, Etty R.)
4. 5.
Memerlukan tenaga operator yang terdidik Memerlukan suplemen bahan bakar untuk pembakaran dan untuk menjaga temperatur pembakaran.
Disamping hal tersebut kelemahan yang lain dalam sistem ini adalah pembakaran terhadap polyethylene, polyprophylane dan polystyrene akan menghasilkan gas karbondioksida, sedangkan pembakaran dari polyvinyl chloride akan menghasilkan gas yg beracun, hidrogin chloride (HCl), dimana gas-gas tersebut juga dapat dihasilkan pada pembakaran sampah domestik seperti kertas, kayu, rumput dan lain sebagainya, dan apabila gas tersebut tercampur dengan uap air, akan menghasilkan materi yang sangat korosif yaitu chloride acid. Efektifitas dari incinerator bergantung pada kontrol temperatur, waktu, gas oksigen, turbulensi pembakaran dan distribusi dari gas. Pada temperatur rendah, incinerator akan menghasilkan gas karbonmonoksida yang sangat berpotensi mencemari udara. Proses pembakaran senyawa yang mengandung unsur khlor dan karbon pada tempertatur 200 - 800 oC akan menghasilkan gas dioxin. Proses pengolahan sampah di incinerator menimbulkan gas CO2 akibat dari proses pembakaran zat organik, sebagaimana reaksi berikut : Zat Organik + O2CO2+ H2O Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jhonke (2004), setiap pembakaran satu ton sampah perkotaan akan menghasilkan 0,7 – 1,2 ton gas karbon dioksida (CO2), dengan mempergunakan hasil penelitian tersebut dapatlah dihitung emisi gas CO2 yang ditimbulkan dalam pemanfaatan teknologi incinerator, sebagaimana tabel 8. Tabel 8 Emisi GRK Sistem Pengolahan WTE Incinerator
65°C. Dalam proses degradasi zat organik oleh jasad renik terjadi reaksi pembakaran unsur karbon (C) dan oksigen (O2) menjadi panas (kalor) dan karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida ini kemudian dilepas sebagai gas, sedangkan unsur N yang terurai akan ditangkap oleh jasad renik, yang ketika jasad renik ini mati unsur N ini akan tetap tinggal dalam kompos dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman. Proses penguraian zat organik bergantung pada berbagi faktor antara lain : Rasio antara karbon dengan nitrogen (rasio C/N), derajat keasaman (PH) antara 6 – 8, homoginitas campuran, dan ukuran bahan. Proses pengomposan akan berjalan lebih cepat jika sampah yang diolah memiliki ukuran yang lebih kecil. Kelembaban dan aerasi, keberadaan oksigen dan air sangat diperlukan untuk mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi zat organik, temperatur optimal yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik berkisar antara 35 – 55o C. Proses pengolahan sampah dengan teknologi High Rate Composting juga menimbulkan Gas CO2, akibat dari proses degradasi zat organik secara aerobik. Proses yang terjadi dalam HRC dapat dikatakan identik dengan proses pada SLF, hanya saja proses dekomposisi zat organik dalam proses HRC berlangsung dalam kondisi aerobik yang terkontrol dan dalam waktu yang relatif singkat ± 2 minggu, oleh karenanya perhitungan timbulan gas CO2 dapat dihitung dengan mempergunakan pendekatan formula sebagaimana yang dikemukakan oleh Rottenberger dan Tabasaran (2000) yaitu : Ge = 1,868 Co (0,014 T + 0,28), dengan Ge = volume gas yang terbentuk (m3), Co = karbon organik (kg/ton) sampah, (tipikal 200 kg/ton), dan T = temperatur dalam oC, (tipikal 50 oC untuk kondisi HRC). Hasil perhitungan emisi gas CO2 pada proses HRC dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9 Emisi GRK Proses HRC
Sumber : Perhitungan
-
Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah High Rate Composting (HRC) Kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik setelah mengalami pembusukan. Sebagai suatu proses biologis, dekomposisi dapat berlangsung baik secara aerobik maupun anaerobik. Proses pengomposan tergantung pada berbagai kondisi habitatnya terutama suhu, jasadjasad renik yang terdiri dari dua golongan yaitu Mesofilia yang hidup dalam suhu antara 10-45°C dan Termofilia, yang hidup pada suhu antara 4526
-
Emisi Sistem Pengolahan Sampah Teknologi Terintegrasi Pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi secara terintegrasi antara HRC, WTE Incinerator dan SLF sebagaimana pada gambar 4, memberikan keuntungan baik dalam aspek keuangan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek lingkungan emisi yang ditimbulkan dari pemanfaatan integrasi teknologi akan memberikan dampak yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pemanfaatan teknologi pengolahan sampah
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 18-30
secara parsial, baik sampah dengan kondisi yang terpisahkan ataupun yang tidak terpisahkan antara sampah organik dan anorganik. Pemisahan sampah organik dan anorganik di sumber timbulan sampah memberikan dampak yang jauh lebih baik dalam berbagai aspek. Pemilahan sampah di sumbernya akan meningkatkan efisiensi pada pengolahan sampah, yang diakibatkan karena beberapa faktor antara lain :
a. b.
c.
Naiknya produksi kompos hingga 80%, dan menurunkan biaya transport reject material hingga 80 %. Naiknya kandungan kalori dari 2.146 kka/kg menjadi 3.044 kkal/kg, yang dapat menaikkan produksi listrik di unit WTE Incinerator ratarata sebesar 42%, dan menaikkan pendapatan dari penjualan listrik yang dihasilkan WTE hingga 42%, sebagaimana pada tabel 13. Menurunkan emisi GRK, hingga 50%, sebagaimana tabel 14.
Tabel 13 Produksi Listrik pada Unit WTE Kapasitas WTE insinerator ton/hari 500 1000 2000 3000
Produksi Listrik Mw dengan kondisi sampah Tercampur Terpilah 2.146 kkal/kg 3.044 kkal/kg kenaikan % 9,4 13,3 41 19 26,6 40 37 53,1 44 56 79,6 42 Jumlah 167 Rata-rata 42 Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 14 Emisi GRK pada Penerapan Teknologi Pengolahan Sampah Kapasitas ton/tahun 500 1,000 2,000 3,000 HRC 125,824 251,648 503,297 754,945 WTE 216,530 433,060 866,120 1,299,180 SLF 526,312 1,052,623 2,105,246 3,157,870 Integrasi Teknologi Sampah tercampur 159,422 315,950 631,901 947,851 Integrasi Teknologi Sampah terpilah 134,173 265,478 530,956 796,434 Emisi Ton/th
Sumber : Hasil Penelitian
Analisis Sensitivitas (Sensitivity Analysis) Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat parameter yang paling sensitif terhadap nilai Net Present Value (NPV). Salah satu alasan dilakukannya uji sensitivitas ini adalah adanya ketidakpastian, dalam melakukan prediksi kondisi fisik yang terjadi di masa yang akan datang. Analisis sensitivitas dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam pengolahan sampah antara lain : adanya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga beli listrik dari energi terbarukan, termasuk di dalamnya WTE, dalam perhitungan dilakukan jika harga listrik naik menjadi Rp. 700,-/kwh, dan jika lokasi SLF untuk sisa pembakaran mempergunakan lokasi SLF yang ada, dengan jarak 45 km. Hasil yang didapat terhadap perubahan harga listrik dari Rp. 300,-/kwh menjadi Rp. 700,-/kwh secara individual terlihat bahwa teknologi WTE Incinerator menjadi pilihan termurah dalam pengolahan sampah, dan semakin besar kapasitas pengolahan sampah akan semakin efisien, karena produksi listrik yang dihasilkan menjadi semakin besar. Analisis sensitivitas terhadap perubahan jarak pembuangan sisa pembakaran ke SLF dengan jarak 45 km menunjukkan bahwa, dengan harga listrik Rp. 300,-/kwh dan dengan kenaikan ongkos transportasi sisa pembakaran, secara individu
WTE masih merupakan pilihan teknologi yang cost efisien, jika dibandingkan dengan SLF dan HRC. Kondisi ini diuntungkan dengan sisa pembakaran yang hanya sebesar 5% dari jumlah sampah yang masuk ke unit WTE, sedangkan HRC menyisakan 10% reject material untuk sampah yang telah dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, dan SLF merupakan teknologi termahal dengan jarak angkut sampah mencapai 45 km, dari sumber timbulan sampah.
IMPLIKASI KEBIJAKAN Sampah selama ini masih dianggap masalah yang trivial dan belum menjadi sentra kebijakan pemerintah yang serius. Padahal tanpa penanganan sampah yang baik kehidupan sosial ekonomi masyarakat perkotaan akan merasakan dampak negatif yang cukup besar seperti kesehatan dan lingkungan serta konflik spasial menyangkut konflik atas lahan dan wilayah lainnya. Oleh karena itu sudah saatnya kebijakan sampah ini ditangani dengan serius. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki UU No. 18 tahun 2008 mengenai pengelolaan sampah dan kini memiliki UU No. 32 tahun 2009 mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Kedua UU tersebut memiliki semangat yang sama untuk mengelola sampah dengan lebih baik. Namun demikian diperlukan sinergi terhadap peraturan perundangan yang ada serta perlunya reformasi institusi terhadap
27
Formulasi Kebijakan Sistem… (Alex Abdi Chalik, Bibiana W. Lay, Akhmad Fauzi, Etty R.)
pengelolaan sampah saat ini. Implementasi terhadap peraturan perundangan tersebut memerlukan kebijakan operasional tatanan di bawahnya, yang didukung dengan kajian yang komprehensif dalam aspek teknis, sosial, ekonomi, keuangan, dan lingkungan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diberikan dalam penelitian ini antara lain : 1. Analisis ketersediaan dan kesesuaian lahan sebagai tempat pengolahan sampah, menunjukkan bahwa pada saat ini dengan sisa ruang terbuka hijau sebesar 1,4% dan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 137 jiwa/ha, DKI mengalami kesulitan dalam menyediakan lahan sebagai tempat pemerosesan sampah di dalam wilayahnya. 2. Hasil analisis regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh nyata pada timbulan dan karakteristik sampah. Peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan kandungan sampah anorganik, dan menurunkan kandungan sampah organik. Peningkatan sampah anorganik akan meningkatkan kandungan kalori yang lebih menguntungkan jika pengolahan sampah dilakukan dengan incinerator waste to energy (WTE). Pengolahan sampah dengan incinerator WTE, memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa sampah bukanlah barang yang tidak bermanfaat, namun dapat menjadi sumber energi alternatif untuk listrik. Produksi listrik dari WTE Incinerator sangat dipengaruhi oleh input kandungan kalori sampah, semakin tinggi kandungan kalori sampah semakin tinggi pula produksi listrik yang dihasilkan, dengan kandungan kalori sampah DKI yang tercampur sebesar 2.146 kkal/kg untuk 500 ton/hari masukan sampah akan dihasilkan listrik sebesar 9,4 Mw dan dengan melakukan pemilahan sampah di sumber timbulan sampah antara sampah organik dan anorganik, serta melakukan pengolahan sampah yang terintegrasi antara WTE dengan composting, maka akan didapat peningkatan kandungan kalori sebesar 3.044 kkal/kg yang dapat meningkatkan produksi listrik untuk sampah dengan 500 ton/hari sebesar 13,3 Mw, dengan efisiensi produksi listrik di ketel uap sebesar 18%. 3. Pengolahan sampah dengan WTE Incinerator, memerlukan investasi awal (initial investment) yang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pengolahan sampah dengan sistem Sanitary Landfill ataupun High Rate Composting, namun demikian incinerator 28
4.
5.
6.
memiliki keunggulan dalam kecepatan mengolah sampah, kebutuhan lahan yang jauh lebih kecil, yang memungkinkan untuk ditempatkan di dalam wilayah DKI, disamping itu proses pembakaran sampah dengan temperatur tinggi, dapat mengolah sampahsampah berbahaya dan beracun (B3), yang berasal dari limbah medis rumah sakit, rumah tangga ataupun industri, yang selama ini masih dibuang langsung ke TPA Bantargebang. Dari hasil analisis CBA diketahui bahwa walaupun initial investment WTE terlihat lebih mahal namun dalam jangka panjang (25 tahun) merupakan pilihan yang paling cost effective. Untuk kapasitas pengolahan 500 ton/hari, dalam jangka waktu 25 tahun, sistem pengolahan sampah dengan WTE memerlukan biaya/ton sebesar Rp. 346.610,- sedangkan SLF memerlukan biaya sebesar Rp. 419.200,sedangkan composting memerlukan biaya Rp. 294.940,-. Biaya pengolahan ini akan semakin murah dengan melakukan kombinasi pengolahan sampah antara pengolahan composting, WTE dan SLF secara terintegrasi, untuk kapasitas 500 ton/hari, memerlukan biaya sebesar Rp. 289.520,- yang lebih cost effisien jika dibandingkan dengan pengolahan sampah dengan sistem pengolahan individual baik dengan menggunakan High Rate Composting, WTE, maupun SLF. Dari hasil perhitungan didapat bahwa variabel yang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap besaran biaya sistem pengolahan sampah adalah biaya angkutan sampah, semakin jauh lokasi unit pengolahan sampah semakin mahal biaya pengolahan per ton nya, dari hasil perhitungan yang dilakukan NPV biaya pengangkutan sampah ke sanitary landfill yang berjarak 45 km mengakibatkan naiknya biaya total pengolahan sampah di sistem sanitary landfill, sehingga dalam jangka panjang (25 tahun), biaya sistem pengolahan per ton, untuk sistem sanitary landfill lebih mahal dari sistem pengolahan sampah dengan incinerator WTE yang ditempatkan di bagian wilayah DKI. Dalam konteks lingkungan, pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, yang ditempatkan jauh di luar wilayah pelayanan (timbulan sampah), menimbulkan gas rumah kaca CO2 dan CH4 yang jauh lebih besar, jika dibandingkan dengan sistem pengolahan sampah Composting Bio Fertilizer ataupun Incinerator WTE Pertumbuhan ekonomi dan penduduk akan menaikkan jumlah timbulan sampah, maka disamping implementasi terhadap kebijakan 3R (Reduce, Reuse, Recycling), juga diperlukan
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 18-30
analisis yang komprehensif untuk memilih teknologi pengolahan sampah yang Cost Efficient. 7. Rencana dan pengendalian peruntukan ruang memegang peranan penting dalam pengelolaan sampah perkotaan. Penggunaan dan perubahan peruntukkan lahan yang tidak terkendali, mengakibatkan sulitnya mencari tempat yang sesuai untuk menempatkan unit pengolahan sampah. Dengan kondisi yang demikian maka WTE Incinerator yang ditempatkan di dalam wilayah administratif sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah, merupakan alternatif pilihan pengolahan sampah yang paling cost efficient, jika dibandingkan pengolahan dengan sistem sanitary landfill yang ditempatkan jauh dari sumber timbulan sampah (45 km). Tingginya biaya sistem SLF diakibatkan karena mahalnya biaya angkutan sampah menuju unit pengolahan sanitary landfill yaitu Rp. 6.000,/ton/km. 8. Pengangkutan sampah ke lokasi sanitary landfill, memberikan andil yang signifikan dalam pencemaran lingkungan, penggunaan kendaraan angkut berbahan bakar solar akan mengeluarkan emisi gas CO2, sebesar 2,64 kg/liter konsumsi solar, dengan jarak 45 km maka akan dikeluarkan emisi sebesar 2.168 ton/tahun untuk 500 ton sampah/hari, dan sebanyak 13.009 ton/th untuk timbulan sampah sebesar 3.000 ton/hari. 9. Pengolahan sampah dengan teknologi WTE ataupun HRC yang tertutup lebih dapat diterima oleh masyarakat yang berdekatan, jika dibandingkan dengan teknologi SLF yang terbuka, mengingat frekuensi angkutan sampah yang melalui wilayah permukiman, gangguan timbulnya bau yang tidak dapat dihindarkan, serta kebisingan yang terjadi akibat operasi alat berat. Disamping itu pengolahan sampah dengan sanitary landfill akan menghasilkan leacheate (air lindi), yang berpotensi mencemari air tanah yang sangat mengkhawatirkan penduduk yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minumnya, mengingat penduduk kota Jakarta hingga saat ini hanya 50% saja yang mendapatkan pelayanan air minumnya melalui sistem perpipaan dari Perusahaan Air Minum Jaya yang dioperasikan oleh swasta (Aetra dan Palija). 10. Pengolahan sampah dengan teknologi Incinerator, akan lebih efisien untuk skala pengolahan dengan kapasitas yang lebih besar dari 500 ton/hari. Titik optimal didapat untuk skala pengolahan dengan kapasitas 3000 ton/hari, yang didukung dengan pemilahan
sampah antara sampah organik dan anorganik, dan untuk sampah organik dilakukan pengolahan dengan sistem High Rate Composting (HRC). 11. Untuk menurunkan biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan WTE dan HRC, selayaknya unit pengolahan sampah tersebut ditempatkan di bagian-bagian wilayah DKI, untuk meminimalkan biaya angkut, baik sampah yang akan diolah maupun transportasi produk olahan seperti abu yang dihasilkan dari proses WTE. Dalam perhitungan dapat diketahui bahwa semakin besar skala pengolahan sampah yang dilakukan, akan semakin murah biaya sistem pengolahan per tonnya. 12. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah untuk membeli produksi listrik dengan energi yang dihasilkan dari limbah (sampah) dengan harga yang tinggi, akan menaikkan tingkat kelayakan pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi WTE Incinerator, yang memungkinkan untuk sektor swasta berperan serta terhadap penyediaan unit pengolahan sampah dengan teknologi WTE Incinerator. 13. Untuk mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pengolahan sampah dengan teknologi WTE Incinerator, diperlukan dukungan pemerintah (government support) dengan menyediakan pendanaan investasi dengan bunga rendah (BI rate), mengingat initial investment yang tinggi dari aplikasi teknologi WTE Incinerator. Saran yang dapat diberikan adalah : 1. Dengan kecenderungan volume sampah yang terus akan meningkat, maka kebijakan yang perlu didorong adalah melalui waste reduction policy yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat (industri, rumah tangga dan pemerintah). 2. Policy yang mendorong 3R (Reduce, Reuse, Recycle) harus terus didorong melalui penggunaan economic incentives sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 32 tahun 2009. 3. Kebijakan dalam pengelolaan sampah melalui pilihan teknologi harus dilihat secara komprehensif tidak hanya melihat dari initial investment semata. 4. Penelitian lebih lanjut diusulkan pada aspek pengendalian lingkungan yang saat ini sulit diukur dalam CBA seperti emisi gas CO2 dan methan CH4 dan gas gas lainnya. 5. Pemilahan sampah sejak dari sumber timbulan sampah merupakan faktor penentu dalam pengolahan sampah, yang harus segera diberlakukan di wilayah perkotaan.
29
Formulasi Kebijakan Sistem… (Alex Abdi Chalik, Bibiana W. Lay, Akhmad Fauzi, Etty R.)
6.
Rencana detail tata ruang perkotaan harus memasukkan ruang untuk unit pengolahan sampah, dengan memperhatikan luasan kebutuhan lahan, yang memenuhi kelayakan lingkungan, teknis, dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank. 1998. Towards a National Environmental Sanitation Program for Indonesia, Volume 1, Main Taxt, Jakarta. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta,1998. Jakarta Dalam Angka. Bank Dunia, 2004. Kondisi Infrastruktur di Indonesia, Majalah Insinyur Indonesia, edisi Juni 2004, Jakarta. Barton. 1994. Toward Environmental Strategies for Cities, The World Bank, Washington, D.C. Brunner, Calvin. 1994. Hazardous Waste Incineration, McGraw-Hill International Edition, New York Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta. 2005. Western Java Environmental Management Project, Solid Waste Management for Jakarta. Direktorat Jenderal Cipta Karya. 1997. Jakarta Solid Waste Management, Jakarta. European Commission, DG. Environment. 2000, A Study on the Economic Valuation of Environmental Externalities from Landfill Disposal and Incineration of Waste, Final Main Report. 5 -33. Field, C B, Field K M. 2002. Environmental Economics, an Introduction, Mc Graw-Hill, Irwin. Gujarati, Damodar. 1978. Basic Econometrics, McGraw-Hill,Inc, New York. Gomes. Nascimento. Rodrigues. 2007. Development of Local Carbon Dioxide Emission Inventory Based on Energy Demand and Waste
30
Production, Technical Paper, Air and Waste Management Association. Hanley. Spash. 1995. Cost Benefit Analysis and the Environment, Department of Economics University of Stirling, Scotland. Hara, T., H. Shima., Y. Yoshida and R. Matsuhashi. 2005. Model Analysis of an Inter-Industrial and Inter-Regional Waste Recycling System in Japan, Journal of Energy. Horenwig dan Thomas. 1999. What a Waste, Solid Waste Management. Ioksha. 2000. Estimation of Landfill Gas Emission from Landfill of the Central Asia. SaintPetersburg State Polytechnic University, Russian Federation. Johnke, Bernt. 2004. Emissions from Waste Incineration, IPCC/OECD/IEA. Joseph, Benny. 2005. Environmental Studies, The McGraw-Hill, New Delhi Nurroh. 2010. Isu Pemanasan Global untuk Memperkuat Posisi Tawar, IPB Bogor. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 1987. Rencana Umum Tata Ruang Daerah DKI Jakarta Tahun 2005. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 1999. Rencana Tata Ruang Wilayah, Daerah DKI Jakarta Tahun-2015. Petrick P.K. 1984. Managing Solid Waste in Developing Countries, Metropolitan Waste Management Planning in Developing Countries. Ritzkowski. Stegmann. 2007. Controlling Greenhouse Gas Emissions through Landfill in Situ Aeration. Institute of Waste Resources Management, Hamburg University of Technology, Hamburg, Germany. Tchobanoglous., Theisen., Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management, Mc Graw Hill International Editions. New York.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 31-39
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN AIR LIMBAH RUMAH TANGGA SECARA KOMUNAL Ida Medawaty Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 Email :
[email protected] Diterima : 22 Juni 2010; Disetujui : 23 Maret 2011 Abstrak Pembangunan berskala besar dalam menangani masalah lingkungan permukiman telah banyak diterapkan dengan upaya pengelolaan air limbah off site skala kota. Aspek kunci dalam pendekatan penyelesaian permasalahan ini, adalah diperlukan pengelolaan lingkungan pada taraf lokal yang merupakan keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat dengan disertai pengarahan dan informasi dalam tahap desain, konstruksi serta pemeliharaan sehingga dalam penerapan teknologi dapat memanfaatkan sumber daya secara efisien dan efektif. Penelitian dilakukan untuk menumbuhkan peranserta masyarakat dalam menciptakan lingkungan permukiman yang layak, bersih dan sehat yang dapat dikelola sendiri antara lain dengan menerapkan tangki septik tipe Puslitbang Permukiman dan kolam sanita. Metodologi penelitian meliputi pengumpulan data dengan studi pustaka dan penerapan modul, pendekatan analisis yaitu analisis kualitatif terhadap kualitas air dan analisis kelembagaan masyarakat. Kesimpulan air yang keluar (outlet) melalui tangki septik tipe Puskim menghasilkan efisiensi pengolahan sampai 78%, sedangkan air yang keluar menggunakan kolam sanita mempunyai efisiensi pengolahan sampai 64%, adanya Badan Keswadayaan Masyarakat dan Bamus/ Bapel-AM menunjukkan bahwa penerapan pemberdayaan masyarakat sudah berjalan dan masyarakat dapat mengelola sendiri. Kata Kunci : Pemberdayaan masyarakat, air limbah, rumah tangga, tangki septik, sanitasi taman, kualitas air Abstract Large scale development in handling the housing environment has been widely done in an effort to manage waste water off site in cities. The key to solving this problem is the environmental management at the local level. This involves communities who receive guidance and information in the design, construction, and maintenance stages in which the application of technology can utilize resources efficiently and effectively. This research has been conducted to enhance the community’s participation in creating proper, clean, and healthy settlements which can be carried out by the community itself by using septic tanks of the Research Institute for Human Settlements and sanita pool. The research method comprised data collection of literature review and applying the modul. Qualitative analysis is done towards the quality of water and analyzing community institutions. The conclusion shows that the water outlet from the septic tank of the Research Institute for Human Settlements is efficient by 78% in its treatment compared with the water outlet from the sanita pool with an efficiency of about 64%. The presence of the Agency for Community Self-reliance and Bamus/ Bapel-AM points out that there is community empowerment and that the community itself is capable of managing waste water. Keywords :
Community empowerment, waste water, household, septic tank, sanitation garden, quality of water
PENDAHULUAN Pembangunan dalam menangani sanitasi lingkungan permukiman telah banyak diterapkan, target pemerintah sampai dengan tahun 2015 adalah 72,5% sedangkan sekarang baru mencapai 57% (Kompas Oktober 2010). Upaya-upaya pengelolaan air limbah sistem off site skala kota dalam pelaksanaan di lapangan banyak mengalami kendala dikarenakan biaya yang sangat tinggi dan sulit memprediksi arus urbanisasi dan pertumbuhan kota yang terus meningkat sehingga
kapasitas sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai lagi dengan pelayanan. Walaupun penanganan sanitasi terus meningkat, namun tingkat penyakit bawaan air masih tinggi (Soemirat, 2000). Didukung oleh kenyataan tersebut, kualitas lingkungan dan daya dukungnya akan semakin menurun, dimana telah terjadi pencemaran air permukaan dan air tanah oleh air limbah rumah tangga sekitar 65-70%. Aspek kunci dalam 31
Pemberdayaan Masyarakat… (Ida Medawaty)
pendekatan penyelesaian permasalahan ini adalah diperlukan pengelolaan lingkungan pada taraf lokal yang merupakan keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat dengan disertai pengarahan dan informasi dalam setiap tahapan desain, konstruksi serta pemeliharaan sehingga dalam penerapan teknologi dapat dimanfaatkan sumber daya secara efisien dan efektif. Oleh karena itu dalam menggalakkan upaya penyehatan lingkungan permukiman secara komunal agar lebih memadai serta diharapkan dapat membantu gerakan otonomi daerah sesuai UU No. 24 tahun 2002, maka diperlukan model penanganan dengan strategi dan tindakan yang pelaksanaannya memanfaatkan peran serta masyarakat. Beberapa permasalahan yang menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan yang perlu mendapat perhatian adalah : arus urbanisasi yang terus meningkat di perkotaan menyebabkan kebutuhan akan sarana dan prasarana penyehatan lingkungan permukiman meningkat kurangnya kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam mengelola sarana dan prasarana Iingkungan yang ada. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan air limbah rumah tangga secara komunal ini mempunyai tujuan antara lain : mengembangkan perencanaan penerapan teknologi prasarana dan sarana penunjang lingkungan permukiman yang bersih dan sehat serta sesuai dengan kondisi fisik lingkungan dan masyarakat setempat menumbuhkan peranserta masyarakat dalam menciptakan lingkungan permukiman yang layak, bersih dan sehat yang dapat dikelola sendiri.
TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya dalam menguatkan dan memampukan masyarakat dalam rangka memandirikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan, serta merupakan upaya menempatkan masyarakat sesuai dengan konsep Tribina pembangunan. Tribina pembangunan adalah bina manusia, bina lingkungan dan bina usaha. Pemberdayaan masyarakat sebagai inti gerak, pada pelaksanaannya menempatkan masyarakat pemukim sebagai komunitas menjadi pelaku utama pada setiap tahapan, langkah dan proses kegiatan sedangkan komunitas diluar lingkungan mereka merupakan mitra kerja juga sebagai pendukung kegiatan mereka. Titik berat program ini adalah pemindahan/ transformasi 32
kemampuan teknis dan manajemen kepada komunitas melalui proses langsung belajar sehingga diharapkan komunitas sasaran mampu membuat rencana yang sesuai kapasitas, membuat keputusan, melaksanakan rencana serta mengelola. Jika memungkinkan dapat dikembangkan. Langkah ini diharapkan akan meningkatkan kapasitas manusia dan komunitasnya, kualitas lingkungan permukiman dan kualitas usaha atau perekonomiannya (Pedoman Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ke PU-an, 2004). Proses penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat terdiri dari tiga fase yaitu : fase persiapan, fase pelaksanaan dan fase pengembangan. Masing-masing fase terdiri dari tahapan yang dilakukan secara berurutan selama proses pelaksanaan fase-fase tersebut dilakukan. Kelembagaan komunitas pada perkembangan selanjutnya diharapkan dapat melebur dan berubah menjadi kelompok masyarakat yang bertugas mengelola sarana/ prasarana yang telah ada. Pada proses penyelenggaraan ini diterapkan prinsip saling belajar yaitu proses saling belajar dan saling memahami dan mengembangkannya. Pada prinsip pelibatan antar pelaku akan melibatkan semua unsur secara aktif dan kesemuanya dilakukan dengan menerapkan keterbukaan informasi tentang maksud, tujuan kegiatan, target pencapaian serta kemungkinan pengembangannya. Semua aspek dalam pelaksanaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh para pelaku pembangunan. Tahapan yang diperlukan pada masing – masing fase adalah sebagai berikut : 1) Fase Persiapan terdiri dari empat tahap : tahap penjajakan awal tahap sosialisasi tahap survei kampung sendiri tahap perencanaan. 2) Fase Pelaksanaan terdiri dari empat tahap : tahap rembuk antar pelaku tahap implementasi rencana tahap pengelolaan tahap perencanaan pengembangan. 3) Fase Pengembangan hanya terdiri dari : tahap pengembangan Kerangka pemikiran yang menjadi azas pemberdayaan masyarakat adalah bahwa : setiap manusia/ masyarakat memiliki potensi/ daya yang dapat dikembangkan sehingga perlu dilakukan upaya untuk mendorong, memotivasi, membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya untuk kemudian dikembangkan. perlunya memperkuat potensi dan daya yang dimiliki melalui pemberian peluang untuk
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 31-39
membuka potensi dengan memanfaatkan peluang memberikan bekal agar dapat mencegah pihak yang "lemah" menjadi semakin lemah. Pada pelaksanaan tahap-tahap tersebut diterapkan prinsip : demokratis, yaitu bahwa segala keputusan didasarkan atas aspirasi bersama, musyawarah mufakat oleh pelaku pembangunan tanpa adanya unsur paksaan dan penekanan keadilan, yaitu bahwa setiap warga mempunyai hak untuk menempati dan memiliki rumah yang layak dalam lingkungan permukiman yang sehat, aman, serasi dan teratur kooperatif, yaitu adanya pelibatan antar pelaku, dibangun hubungan yang menerapkan kesetaraan dan saling menguntungkan dari berbagai pihak pelaku pembangunan yang terlibat. Dasar hukum yang mendasari pada pemberdayaan masyarakat adalah : UUD '45 khususnya alinea ke-4 pembukaan pasal 127 ayat 2 dan tentang Kesehatan UU No. 6 tahun 1974 tentang KetentuanPokok Kesejahteraan Sosial UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman PPNo. 69 tahun 1996 tentang Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dalam upaya untuk mendayagunakan masyarakat dalam pemanfaatan, penataaan, pemeliharaan serta pengembangan prasarana lingkungan, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan setiap saat dan mampu memenuhi kebutuhan pembangunan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Konsep yang diajukan adalah dengan sistem pendekatan masyarakat, baik secara makro maupun secara mikro. Pendekatan dan upaya pendekatan itu sendiri meliputi upaya pendekatan fundamental dan strategis yang dapat diuraikan antara lain : Secara Makro : Perbaikan ekonomi, dengan mengurangi kesenjangan dan kerawanan keamanan. Memberlakukan masyarakat sebagai salah satu elemen dalam sistem sebagai pelaku, tidak hanya sebagai penerima hasil pembangunan. Mengupayakan semua elemen dalam sistem agar dapat berperan dan berfungsi dengan baik.
Secara Mikro : Menumbuhkan pengertian dan kesadaran bahwa pengelolaan sarana air limbah rumah tangga dan persampahan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat untuk dikelola secara baik agar lingkungan sehat tetap terjaga. Upaya yang dilakukan masyarakat dapat tumbuh dari kesadaran diri sendiri. Mengupayakan masyarakat mempunyai rasa tanggung jawab pada diri sendiri dalam mengelola lingkungan yang ada di sekitarnya. Mengupayakan masyarakat agar mempunyai rasa memiliki semua sarana sanitasi yang telah dibangun supaya dapat dikelola dengan benar. Tangki Septik Komunal Tipe Puslitbang Permukiman Perencanaan program sanitasi adalah proses dimana teknologi yang paling tepat guna dapat diterima secara teknis, sosial dan lingkungan dengan tingkat biaya paling rendah. Dalam perencanaan suatu sistem pengolahan air limbah perlu terlebih dahulu diketahui tentang karakteristiknya. Pengolahan air limbah dimaksudkan untuk mengurangi konsentrasi unsur-unsur pencemar didalam air limbah, sehingga aman dibuang ke badan air penerima. Karakteristik air limbah dapat diklasifikasikan atas kuantitas dan kualitas air limbah, serta untuk mengetahui jumlah tangki yang dibutuhkan menggunakan rumus dibawah ini : (Metcalf & Eddy, 1979) Rumus dasar :
𝑆𝑛 𝑆𝑜
=
1 1+(k.V.n.1/Q)
Dimana : n =jumlah tangki k =koefisien Q =debit (m3/det) Sn =konsentrasi subtrat efluen kompartemen So =konsentrasi subtrat influen (mg/1) Suatu analisa teoritis menunjukkan bahwa tangki septik tipe Puskim bisa dianggap sebagai completely mixed multi reactor, akan memerlukan volume yang lebih kecil dibandingkan dengan single reactor (sumber hasil penelitian Tim Puskim, 1999/2000). Tangki ini juga memberi keuntungan bila dilihat dari kinetika proses biologis. Disamping itu banyaknya kompartemen juga akan menguntungkan ditinjau dari segi konstruksi. Tangki septik ini mempunyai beberapa reaktor yang dihubungkan secara seri. Hal ini memungkinkan terjadinya penahapan proses biologis dan akan memperbaiki stabilitas hidrodinamik dari tangki, dalam arti memperkecil aliran langsung.
33
Pemberdayaan Masyarakat… (Ida Medawaty)
Berdasarkan hasil Penelitian Tim Puskim, 1999/2000, tangki septik tipe Puskim mempunyai waktu detensi (td) 1 sampai 2 hari. Pengurasan lumpur dilakukan bila telah mencapai batas maksimum 2/3 bagian tangki dan dilakukan 1 tahun sekali laju akumulasi lumpur mempunyai besaran yaitu (0,03 – 0,04) m3/orang/tahun. Kolam Sanita (Sanitasi Taman) Tipe Puskim Kolam Sanita (sanitasi taman) berupa kolam yang terdiri dari pasangan batu bata, kemudian diisi dengan media kerikil dan ditanami tanaman air, selanjutnya dialirkan ke badan air penerima atau dapat dimanfaatkan untuk kolam ikan. Desain sistem kolam sanita terdiri dari : a.
Koefisien tangki septik V= 1.33 K.O.J ............................................(1) Dimana : V= Volume tangki (m3) K= Koefisien untuk kedalaman < 4m = 0,06 O= Jumlah pengguna J= Tahun penggunaan = 0,5
b.
Kapasitas kolam sanita Kapasitas sanita : V=AL.Td.O .................................................(2) Dimana : V = Volume Kolam (m3) AL = Air limbah yang berasal dari mandi, cuci, cairan dari tangki pengendap asumsi 100 L/org/hr Td = 1,2 hari O = Jumlah pemakai ± 80 orang
METODE PENELITIAN Metode Pelaksanaan Pelaksanaan kajian dibagi dalam tiga kegiatan, pengumpulan data sekunder (kajian pustaka), penerapan modul dan analisis. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dari studi kepustakaan, observasi dan pengukuran di lapangan, dengan uraian sbb : Kebijakan dan peraturan untuk pengelolaan lingkungan Kriteria-kriteria perencanaan dalam pengelolaan penyehatan lingkungan Pengumpulan data primer mengenai air limbah rumah tangga yaitu air yang masuk dan air yang keluar dari tangki septik dan observasi lapangan dengan inventarisasi pada model (sarana) yang telah ada di lapangan Jumlah sampel ada 8 yang terdiri dari sampel untuk inlet dan 4 sampel untuk outlet Lokasi sampel di Desa Sekejengkol, Kecamatan Cileunyi. 34
Wawancara masyarakat.
pada
instansi
terkait
dan
Data kualitas air akan dilakukan dengan pengambilan sampel dan dianalisis di laboratorium. Metode Analisis Data Metode analisa yang digunakan adalah metode statistik deskriptif kuantitatif dan kualitatif untuk mendapatkan konsep perencanaan, analisa kelembagaan masyarakat dan analisa laboratorium terhadap parameter-parameter air limbah rumah tangga. Dalam pelaksanaan uji coba dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan 3 tahap kegiatan yaitu : 1. Sosialisasi program secara institusional. Sosialisasi program secara institusional yang disampaikan kepada lembaga formal (kecamatan, kelurahan, RT/RW) yang bertujuan untuk memperoleh legalisasi kegiatan dan dukungan kebijakan pada tingkat lokal; 2. Penerapan program pada masyarakat. Penerapan program pada masyarakat adalah pelaksanaan pengelolaan secara langsung kepada kelompok masyarakat yang berada di fokus area; 3. Penerapan model tangki septik komunal tipe Puskim dan kolam sanita; Penerapan tangki septik tipe Puskim sebagai sarana pengolahan air limbah rumah tangga komunal dimana pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat, demikian juga pengolahan air limbah dengan kolam sanita pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penerapan sistem pengolahan air limbah rumah tangga secara komunal (gambar 1) adalah RT 05 RW 05 Kelurahan Sukawarna Kecamatan Sarijadi, tepatnya di jl. Sarimadu Bandung, dengan jumlah penduduk cukup padat, lokasi ini dipilih karena memenuhi persyaratan antara lain : sudah mempunyai jaringan air limbah (sewerage) sudah ada kelompok yang mengelola yaitu badan keswadayaan masyarakat tersedianya lahan yang tidak terpakai, dimana lahan ini merupakan lahan tangki septik yang tidak beroperasi adanya permasalahan mengenai pengolahan air limbah rumah tangga.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 31-39
Deman (COD) sebesar 131,7 mg/Lt. Hal ini menunjukkan angka yang cukup besar sehingga air limbah ini harus melalui pengolahan yang dapat menurunkan kualitas air limbah yang memenuhi syarat dan dapat dibuang ke badan air. Air yang keluar (outlet) setelah melalui tangki septik tipe Puskim; BOD sebesar 27,2 mg/Lt; COD sebesar 30,2 mg/Lt, menunjukkan penurunan yang cukup besar dan dibawah ambang batas yang diizinkan. Gambar 1 Model Tangki Septik Tipe Puskim (Hasil Analisis Puskim, 2000)
Lokasi penerapan sistem pengolahan air limbah rumah tangga dengan kolam sanita yang dipilih adalah Desa Sekejengkol, Kecamatan Cileunyi Kulon, Kabupaten Bandung, karena memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Sudah ada organisasi masyarakat Badan Pengelola dan Badan Musyawarah Air Minum 2. Tersedianya lahan milik perseorangan untuk penempatan model, telah ada kesepakatan izin pakai antara masyarakat pemakai dan pemilik tanah, dengan luas total 60 m2 (MCK, kolam sanita dan kolam ikan) 3. Terbatasnya sarana dan prasarana pengolahan air limbah rumah tangga yang ada (air limbah dibuang sembarangan), namun ada limbah yang dialirkan melalui bambu ke kolam yang digunakan untuk memelihara ikan 4. Perumahan yang ada semi permanen dan berkelompok 5. Mata pencaharian penduduk setempat umumnya bertani/ berladang dan pekerja pabrik (penghasilan rendah).
Tabel 1 Hasil Pemeriksaan BOD dan COD Waktu Pengambilan ParaI II III IV meter In Out In Out In Out In Out (mg/L) BOD 126 27,2 126 26,9 128 25,2 125 26. 5 COD 132 30.2 130 28 8 129 29,2 131 31. 5 Sumber : Laboratorium Balai Lingkungan Permukiman
Dari hasil analisa laboratorium gambar 3 dan gambar 4 dan tabel 1 disimpulkan bahwa tangki septik tipe Puskim mempunyai nilai efisiensi pengolahan 79%. Keuntungan lain dari tangki septik tipe Puskim adalah dalam hal fleksibilitas dan kemudahan penerapannya.
inlet outlet
Gambar 3 Grafik Analisa COD
Gambar 4 Grafik Analisa BOD Gambar 2 Model Kolam Sanita Tipe Puskim (Hasil Analisis Puskim, 2006)
Hasil Analisa Kualitas Air Limbah Dari hasil pengujian kualitas di laboratorium diperoleh bahwa air yang masuk (inlet) sebelum masuk tangki septik tipe Puskim belum memenuhi standar yang ada, yaitu Biological Oxigen Deman (BOD) sebesar 125,5 mg/Lt dan Chemical Oxigen
Tangki septik dengan dengan kolam sanita, terjadi penurunan parameter cukup besar yaitu; BOD sampai 61%; COD sampai 64%. Effluen kualitas air limbah domestik ini masih berada dibawah ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan sehingga aman untuk dibuang ke badan air atau dapat dialirkan ke kolam ikan. Hal ini diperlihatkan pada tabel 2 dan tabel 3 serta gambar 5 s/d gambar 7. 35
Pemberdayaan Masyarakat… (Ida Medawaty)
Tabel 2 Hasil Pemeriksaan BOD dan COD Waktu Pengambilan Parameter I II III (mg/L) In Out In Out In Out BOD 103 58,5 139 45.2 32.0 19.0 COD 2601 85,3 248,1 60,1 91,1 13. 7 Sumber : Laboratorium Lingkungan Permukiman, 2005-2007
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan air limbah rumah tangga komunal dan pengelolaan air limbah dengan kolam sanita dilakukan melalui mekanisme seperti ditampilkan pada gambar 8. Tahapan Kegiatan
Tabel 3 Hasil Pemeriksaan BOD, COD (lanjutan) Waktu Pengambilan IV V In Out In Out BOD 97.4 29.7 241.7 81.9 COD 202.2 148.4 228.0 68.0 Sumber : Laboratorium Lingkungan Permukiman, 2005-2007 Parameter (mg/L)
inlet outlet
Gambar 5 Grafik Analisa COD
Gambar 6 Grafik Analisa BOD
Efisiensi… Efisiensi…
Gambar 7 Grafik Efisiensi BODI (Tangki Septik Tipe Puskim) dan Efisiensi BOD II (Tangki Septik dengan Kolam Sanita)
Adanya Badan Keswadayaan Masyarakat di lokasi uji coba menunjukkan bahwa bisa dilakukan penerapan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan air limbah rumah tangga secara komunal dan kolam sanita yang dapat dikelola sendiri melalui Bamus/ Bapel-AM dan masyarakat tersebut.
36
Persiapan Penjajagan awal Sosialisasi program Survei prioritas Kebutuhan Perencanaan
Pelaksanaan *Rembuk antar pelaku - Penyusunan - Penerapan - Pengelolaan Pembentukan kelembagaan
Pengembangan *Penjajagan *Perencanaan *Pelaksanaan *Evaluasi
Gambar 8 Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat (Petunjuk Teknis Kemitraan 2002)
1. Persiapan Merupakan awal dari pelaksanaan kegiatan, lebih diutamakan pada proses pemahaman kondisi, potensi dan karakter masyarakat atau komunitas sasaran, diketahui sumber daya alam, sumber daya manusia serta rencana program yang akan dilaksanakan. Pelaksana : lembaga litbang Tempat pelaksanaan : di lokasi atau tempattempat yang telah disepakati antara pelaksana dengan warga setempat Pihak yang terlibat : Aparat pemerintah setempat Anggota organisasi masyarakat Warga kawasan sasaran Sosialisasi Program Memperkenalkan program lembaga dan kemungkinan untuk penerapan salah satu dari program tersebut. media yang digunakan : leaflet, maket bentuk kegiatan : tatap muka, diskusi atau rembuk warga lokasi kegiatan : balai pertemuan atau tempat yang telah disepakati 2. Pelaksanaan Pelaksana : lembaga litbang Pihak yang terlibat : wakil warga Media yang dibutuhkan : material sesuai dengan bentuk sarana yang akan dibangun Bentuk kegiatan : diskusi, pelaksanaan pekerjaan
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 31-39
Kegiatan meliputi : Rembuk antar pelaku: dilakukan antar litbang dan warga untuk menentukan prioritas penanganan sarana yang dibutuhkan berupa bentuk fisik, sarana pendukung, pembiayaan dan pembentukan pengelola sarana Pengesahan pengelola oleh seluruh warga yang terlibat, pengakuan ini memudahkan pengelola untuk memelihara dan mengelola sarana yang akan dan telah dibangun Mengadakan kesepakatan tentang ketentuan keanggotaan serta menentukan hak dan kewajiban Mengesahkan peraturan yang telah disepakati bersama. 3. Pengembangan Pengembangan dilakukan oleh pengelola dengan bantuan sarana atau supervisi dari lembaga. Diharapkan pengelola telah mampu mengembangkan sarana sesuai dengan kebutuhan. Tahap kegiatan sama dengan tahapan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pada awal kegiatan, meliputi : Penjajagan Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Pengelolaan air limbah rumah tangga merupakan suatu kebutuhan mutlak, karena dengan adanya pengelolaan maka sarana yang telah dibangun diharapkan dapat terus berfungsi dan jika memungkinkan sarana tersebut dapat lebih dikembangkan. Model organisasi pengelolaan air limbah rumah tangga, dapat dilihat pada gambar 9 berikut : Badan Keswadayaan Masyarakat BAMUS/ BAPEL-AM
PUSLITBANG PERMUKIMAN
Unit Usaha Ekonomi
Unit Usaha Jasa
Usaha Koperasi
Usaha Jasa lain Masyarakat Pemakai
Gambar 9 Struktur Organisasi Pengelolaan (Petunjuk Teknis Kemitraan)
Pemilihan organisasi pengelolaan ini didasarkan pada bentuk organisasi yang sudah ada yaitu : BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat), BAMUS/ BAPEL-AM dengan pertimbangan bahwa badan ini sudah resmi diakui keberadaannya serta manfaat
yang dirasakan oleh masyarakat anggota BKM atau BAMUS/ BAPEL-AM. Pengelolaan sarana air limbah ini dibawah bidang usaha jasa dengan pertimbangan dari iuran yang dibayarkan oleh warga, akan digunakan untuk pemeliharaan serta untuk pengembangan sarana lebih lanjut. Fase pelaksanaan merupakan kelanjutan dari fase persiapan dalam proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Ada 4 tahap fase pelaksanaan, yaitu : rembuk antar pelaku, implementasi rencana, pengelolaan dan rencana pengembangan. 1. Rembuk antar pelaku Rembuk antar pelaku merupakan pertemuan pelaku utama dengan seluruh pelaku pendukung yang terkait dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan langkah-langkah : a. Sosialisasi proposal komunitas tahap I (tingkat desa/ kelurahan); b. Kajian, tanggapan dan perbaikan proposal (tingkat RW/ komunitas); c. Usulan skenario penanganan (tingkat RW/ komunitas); d. Rembuk kajian tanggapan (tingkat desa/ kelurahan); e. Sosialisasi proposal komunitas tahap II (tingkat desa/ kelurahan); f. Pengorganisasian rembuk antar pelaku (tingkat desa/ kelurahan); g. Penyiapan materi presentasi dan pelatihan presentasi (tingkat RW/ komunitas); h. Pelaksanaan rembuk antar pelaku. 2. Implementasi rencana Tahap implementasi rencana oleh komunitas adalah tahapan ketika komunitas (kelompok masyarakat) mengerjakan pembangunan fisik serta kegiatan lainnya yang sudah direncanakan, dengan langkah-langkah : a. Pematangan hasil rembuk antar pelaku (tingkat desa/ kelurahan); b. Rembuk penyusunan mekanisme kerja dan fungsi forum pembangunan (tingkat desa/ kelurahan); c. Pematangan rencana detail hasil rembuk antar pelaku (tingkat RW/komunitas); d. Pengorganisasian sumber daya dan potensi pembangunan (tingkat RW/ komunitas); e. Pelaksanaan pembangunan (tingkat RW/ komunitas); f. Pemantauan dan evaluasi pembangunan (tingkat RW/ komunitas); g. Pertanggungjawaban pembangunan (tingkat RW/ komunitas); h. Rembuk pembahasan laporan pertanggungjawaban pembangunan; 37
Pemberdayaan Masyarakat… (Ida Medawaty)
3. Pengelolaan Pengelolaan hasil pembangunan fisik adalah tahap ketika komunitas (kelompok masyarakat) mengoperasikan dan memelihara hasil pembangunan fisik melalui suatu lembaga komunitas. Langkah kegiatan pada tahap ini adalah : a. Rembuk pemantapan forum pembangunan (tingkat desa/ kelurahan); b. Rembuk pemantapan kelembagaan dan mekanisme kontrol keuangan, pengelolaan dan pemeliharaan (tingkat RW/ komunitas); c. Pelaksanaan pengelolaan (tingkat RW/ komunitas); d. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan (tingkat RW/ komunitas); e. Pertanggungjawaban pengelolaan (tingkat RW/ komunitas); f. Rembuk/ pembahasan laporan pertanggungjawaban pengelolaan (tingkat desa/ kelurahan). 4. Rencana pengembangan Rencana pengembangan adalah tahap akhir pada fase pelaksanaan. Tahap ini merupakan tahap ketika fasilitator pendamping komunitas melakukan penarikan diri dari komunitas (kelompok masyarakat) dan mengalihkan peran dan fungsinya kepada tim yang terdiri dari kader terlatih kelompok masyarakat setempat. Langkah kegiatan pada tahap ini adalah : a. Rembuk penetapan arah pengembangan lingkungan permukiman dan kelembagaan (tingkat desa/ kelurahan); b. Pembentukan lembaga perwakilan warga (tingkat desa/ kelurahan); c. Pembentukan forum perwakilan (tingkat desa/ kelurahan); d. Rembuk penyusunan rencana pengembangan hasil pembangunan, usaha komunitas dan jaringan kerja (tingkat RW/ komunitas); e. Pelatihan bagi kader komunitas (tingkat RW/ komunitas).
KESIMPULAN
38
Dari hasil analisa laboratorium diatas tangki septik tipe Puskim mempunyai nilai efisiensi pengolahan 78%, sedangkan tangki septik dengan kolam sanita hanya mempunyai nilai efisiensi pengolahan 64 %. Keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat dalam mengelola penyehatan lingkungan tergantung dari upaya pendekatan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungannya Kunci keberhasilan dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
air limbah rumah tangga secara komunal atau pengelolaan air limbah dengan kolam sanita dapat melalui : o Kelompok dalam masyarakat itu sendiri, misalnya adanya badan keswadayaan masyarakat atau LSM o Pemerintah dapat memfasilitasi antara lain : dengan teknologi tepat guna, memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat, memberikan penyuluhan pengertian pengelolaan lingkungan.
SARAN Dalam upaya penanganan penyehatan lingkungan permukiman dengan berbagai alternatif pengolahan air limbah rumah tangga perlu dikembangkan lebih lanjut agar diperoleh suatu model yang lebih efisien, murah dan mudah dalam pengoperasiannya.
DAFTAR PUSTAKA Chatib, Benny. 2000. Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Makalah seminar & sosialisasi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman, ITB. Soemirat. J, 2000. Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi. Bahasan seminar & sosialisasi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman, ITB. Pusat Litbang Permukiman. 2000. Laporan Akhir Model Penanganan Penyehatan Lingkungan Permukiman secara Komunal yang Dapat Dikelola Sendiri. Fair, Geyer & Okun. 1968. Water & Wastewater Engineering Vol. 2. New York : John Wileyand Sons. Verhagen, Koenraad, 1996 Pengembangan Keswadayaan Masyarakat. Yayasan Bina Swadaya. Benfieild, L.D, Judkins, J.F, and Weand, B.L. 1982. Process Chemistry for Water and Waste Water. Englewood : Prentice-I-Iall, Inc. Dit. Jen. Cipta Karya. 2004. Pedoman Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ke PU-an. Puslitbang Permukiman dan LPM ITB. 1992. Penelitian dan Pengembangan Sistem Sanitasi di Daerah Kumuh. Matsui, S. 2002. The Potential of Ecological Sanitation. Japan Review of Int Affairs : pg 303314. Pusat Litbang Permukiman. 2005. Pengembangan Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga dengan Sistem Ekosan.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 31-39
Badan Standar Nasional. 2002. Pt T-17-2G02-C tentang Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga secara Komunal pada Kawasan Penghijauan.
Pusat Litbang Permukiman. 2002. Petunjuk Teknis Kemitraan.
39
Peningkatan Peranserta Masyarakat… (Aryenti)
PENINGKATAN PERANSERTA MASYARAKAT MELALUI GERAKAN MENABUNG PADA BANK SAMPAH DI KELURAHAN BABAKAN SURABAYA, KIARACONDONG BANDUNG Aryenti Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 Email :
[email protected] Diterima : 01 Desember 2010; Disetujui : 31 Maret 2011
Abstrak Bank sampah adalah tempat menabung sampah yang telah dipisah-pisah sesuai dengan jenisnya dan masih mempunyai nilai ekonomis. Setiap masyarakat dapat menjadi nasabah bank sampah dengan mendaftarkan diri sebagai nasabah. Manajemen bank sampah hampir sama dengan bank biasa pada umumnya, setiap nasabah yang akan menabung mendapatkan buku tabungan dan dicatat sebagai anggota bank sampah. Bank sampah bertujuan membantu masyarakat dalam memasarkan/menjual sampah anorganik. Metode yang digunakan dalam peningkatan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R melalui gerakan menabung pada bank sampah, adalah menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu mengamati dan mempelajari perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Teknis analisis yang digunakan adalah dengan cara kualitatif dan pengamatan langsung di lapangan pada ibu-ibu rumah tangga yang bermukim di Kelurahan Babakan Surabaya Kiaracondong Bandung pada masyarakat RW 13 yaitu RT 1, 2, 3 dan 4. Sistem pengambilan sampelnya menggunakan teknik random sampling tiap RT diambil 10 responden yang mewakili. Data sekunder diambil dari literatur-literatur, hasil-hasil penelitian terdahulu dan melalui penelusuran data di internet. Berdirinya bank sampah di RW 13 Kiaracondong Bandung telah mampu merubah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Melalui kegiatan program 3R dan gerakan menabung sampah telah mereduksi sampah lingkungan di RW 13 ± 40% dari jumlah sampah yang ada. Keberhasilan pengelolaan sampah 3R di RW 13 telah membawa RW 13 menjadi juara 3 kebersihan se Kotamadya Bandung. Kata Kunci : Peningkat, partisipasi, masyarakat, bank sampah, program 3R Abstract A trash bank is a place to store garbage that has been sorted out and still has an economic value. Each individual can be a customer of a trash bank; they just have to register at such a bank. The management of a trash bank is similar to a common bank, where each customer gets a savings book. The purpose of a trash bank is to assist people in marketing their non-organic garbage. The method to improve the community’s participation in garbage management is the 3R by saving non-organic garbage at trash banks. To analyze the research data, a descriptive method has been employed, in which observation of and examining people’s behavior in treating their garbage has been carried out. The technical analysis is qualitative and direct observation was done towards housewives who live in Babakan Surabaya, Kiaracondong, Bandung, in particular the people of RW 13 that consists of RT 1, 2, 3, and 4. The system to take a sample is done randomly in each RT where 10 respondents represented the community. Secondary data is collected from literature, previous research, and from browsing the internet. The presence of a trash bank in RW 13 of Kiaracondong has changed the community’s behavior in managing garbage. The 3R program and garbage savings have reduced the garbage volume of RW 13 by 40% of the total volume of garbage. The successful garbage management with 3R has made RW 13 to be the third winner in cleanliness of the municipality of Bandung. Keywords : Trash bank, participation, community, 3R program
PENDAHULUAN Mengelola sampah pada dasarnya membutuhkan peran aktif masyarakat, terutama dalam mengurangi jumlah sampah, memilah jenis sampah hingga berupaya menjadikan sampah bermanfaat.
40
Pelibatan masyarakat dalam proses pengelolaan sampah dengan basis partisipasi aktif masyarakat terdiri dari beberapa tahapan proses yaitu, mengupayakan agar sampah dikelola, dipilah, dan diproses pada tahap awal, mulai dari lingkungan
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 40-46
rumah tangga, upaya ini akan mengurangi jumlah sampah yang harus dikumpulkan dan diangkut ke TPS (Tempat Penampungan Sampah Sementara). Keberhasilan pengelolaan sampah melalui program 3R (reuse, reduce, recyle) diberbagai daerah mencerminkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan. Pendekatan pengelolaan sampah 3R membuka pandangan dan wawasan baru bagi masyarakat dalam mengelola sampah. Sampah tidak lagi dipandang barang tidak berguna, akan tetapi melalui pendekatan 3R sampah dapat dijadikan suatu yang bernilai tambah. Dengan adanya pengelolaan sampah berbasis 3R di berbagai daerah di Indonesia, diharapkan adanya peningkatan kinerja pengelolaan sampah dan dapat mereduksi sampah sampai 40% yang masuk TPA sesuai dengan sasaran MDG pada tahun 2015. Pengurangan dan penangganan sampah sejak dari sumber, sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sangat membantu pemerintah dalam mengatasi permasalahan sampah, dana yang harus dikeluarkan untuk biaya pengangkutan, perawatan, pembelian alat, bayar upah pekerja, biaya transportasi dapat ditekan. Untuk itu keterlibatan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan daur ulang perlu diikutsertakan, baik sebagai produsen, maupun sebagai anggota masyarakat penghasil sampah. Sampah akan memiliki nilai ekonomi, apabila sampah tersebut berada dalam jumlah mencukupi untuk diperdagangkan atau diproses lebih lanjut sebagai barang-barang ekonomi, karena barangbarang tersebut pada dasarnya juga berasal dari barang-barang yang bernilai ekonomi. Sampahsampah individual hanya menghasilkan sampah beberapa puluh gram saja, tidak akan memiliki nilai ekonomi. Ia akan memiliki nilai ekonomi bila telah mencapai jumlah yang cukup banyak, sehingga cukup feasible untuk dijadikan barang ekonomi, baik sebagai bahan baku (daur ulang) maupun sebagai komoditas perdagangan. Untuk menampung dan memasarkan sampah tersebut perlu suatu wadah. Bank sampah adalah suatu tempat yang dapat dijadikan tempat menabung bagi masyarakat. Juga bank sampah berfungsi untuk memberdayakan masyarakat agar peduli terhadap kebersihan. Untuk itu dalam penelitian ini akan mengkaji sampai sejauh mana peranan bank sampah dapat merubah perilaku masyarakat dalam mengelola
sampah dan dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah di lingkungannya melalui menabung di bank sampah dengan membiasakan diri memilah sampah sejak dari sumber dan untuk mengetahui sampai sejauh mana peran bank sampah dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan merubah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Sasaran Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : - Meningkatnya sosial ekonomi masyarakat dengan mengelola sampah - Meningkatnya perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah - Berkurangnya beban pencemaran lingkungan - Berkurangnya biaya operasional pengelolaan sampah yang ditanggung oleh pemerintah - Berkurangnya jumlah sampah yang yang masuk TPS dan TPA.
METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu mengamati dan mempelajari perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Sedangkan teknis analisis yang digunakan adalah dengan cara kualitatif data yang telah diperoleh selanjutnya disusun dan dipilah-pilah menurut jenis-jenis data yang sesuai dengan kepentingan studi ini.
PENGUMPULAN DATA Penelusuran data didapat dari pengamatan langsung di lapangan dalam kebiasaan perilaku hidup sehari-hari masyarakat dalam mengelola sampah. Populasinya adalah ibu-ibu rumah tangga, kader-kader lingkungan, pengelola bank sampah yang berada di RW 13 Kelurahan Babakan Surabaya Kiaracondong Bandung yaitu pada RT 1, 2, 3 dan 4. Sedangkan sistem pengambilan sampelnya menggunakan teknik random sampling masing-masing RT 10 responden yang mewakili seluruh populasi RW 17. Data sekunder diambil dari literatur-literatur penelitian dan penelusuran melalui data internet.
KAJIAN PUSTAKA Pengertian Bank sampah adalah tempat menabung sampah yang telah terpilah menurut jenis sampah, sampah
41
Peningkatan Peranserta Masyarakat… (Aryenti)
yang ditabung pada bank sampah adalah sampah yang mempunyai nilai ekonomis. Cara kerja bank sampah pada umumnya hampir sama dengan bank lainnya, ada nasabah, pencatatan pembukuan dan manajemen pengelolaannya, apabila dalam bank yang biasa kita kenal yang disetorkan nasabah adalah uang akan tetapi dalam bank sampah yang disetorkan adalah sampah yang mempunyai nilai ekonomis, sedangkan pengelola bank sampah harus orang yang kreatif dan inovatif serta memiliki jiwa kewirausahaan agar dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Sistem kerja bank sampah pengelolaan sampahnya berbasis rumah tangga, dengan memberikan reward kepada yang berhasil memilah dan menyetorkan sejumlah sampah. Konsep bank sampah mengadopsi menajemen bank pada umumnya. Selain bisa sebagai sarana untuk melakukan gerakan penghijauan, pengelolaan sampah juga bisa menjadi sarana pendidikan gemar menabung untuk masyarakat dan anak-anak. Metode bank sampah juga berfungsi untuk memberdayakan masyarakat agar peduli terhadap kebersihan. Lokasi Bank Sampah Tempat atau lokasi bank sampah dapat berupa lahan terbuka, gudang dan lahan-lahan kosong yang dapat menampung sampah dalam jumlah yang banyak. Nasabah Bank Sampah Nasabah bank sampah adalah individu, komunitas/ kelompok yang berminat menabungkan sampahnya pada bank sampah. Individu biasanya perwakilan dari kepala keluarga yang mengumpulkan sampah rumah-tangga. Komunitas/ kelompok, adalah kumpulan sampah dari satu rukun tetangga (RT), atau sampah dari sekolah-sekolah dan perkantoran. Manajemen Bank Sampah Cara menabung pada bank sampah adalah setiap nasabah mendaftarkan pada pengelola, pengelola akan mencatat nama nasabah dan setiap anggota akan diberi buku tabungan secara resmi. Bagi nasabah yang ingin menabung sampah, caranya cukup mudah, tinggal datang ke kantor bank sampah dengan membawa sampah, sampah yang akan ditabung harus sudah dipilah-pilah sesuai dengan jenisnya seperti kertas, plastik, botol, kaleng, besi, alumunium dan lainnya dimasukkan kekantong-kantong yang terpisah. Sampah yang akan ditabung harus dalam kondisi bersih dan kering. Petugas teller akan melakukan penimbangan, pencatatan, pelabelan dan memasukkan sampah pada tempat yang telah disediakan. Nasabah yang sudah menabung dapat mencairkan uangnya sesuai dengan ketentuan 42
yang telah disepakati misalnya 3 bulan atau 5 bulan sekali dapat mengambil uangnya. Sedangkan jadwal menabung ditentukan oleh pengelola. Pencatatan dibuku tabungan akan menjadi patokan berapa uang yang sudah terkumpul oleh masingmasing nasabah, sedang pihak bank sampah memberikan harga berdasarkan harga pasaran dari pengepul sampah. Berbeda dengan bank pada umumnya menabung pada bank sampah tidak mendapat bunga. Untuk keperluan administrasi dan upah pekerja pengelola akan memotong tabungan nasabah sesuai dengan harga kesepakatan. Dana yang terkumpul akan dikelola oleh bendahara. Kebijakan Penanganan Program 3R Strategi nasional kebijakan penanganan sampah melalui program 3 R adalah : - Pengurangan sampah - Penanganan sampah - Pemanfaatan sampah - Peningkatan kapasitas pengelolaan - Pengembangan kerja sama Sedangkan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengatakan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga, terdiri dari pengurangan sampah sampah dan penanganan sampah. Pengurangan sampah yang dimaksud meliputi : - Pembatasan timbulan sampah - Daur ulang sampah - Pemanfaatan kembali sampah Dalam kegiatan penanganan sampah berbasis 3R mulai dari sumber tak lepas dari peranserta masyarakat sebagai penghasil sampah. Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat yang bersangkutan agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya mereka kurang bertanggung jawab. Dalam pelaksanaan kegiatan penanganan sampah berbasis 3R tidak lepas dari peranserta masyarakat, untuk itu perlu adanya perubahan kebiasaan dan pola pikir masyarakat dalam menangani sampah. Aktivitas pengelolaan sampah berbasis masyarakat berupa kegiatan pemilahan dan composting untuk sampah organik dan daur ulang anorganik dilakukan oleh warga sejak dari rumah, yang bertujuan mengurangi sampah yang akan diangkut ke TPS dan TPA. Hasil yang ingin dicapai dalam pengelolaan sampah berbasis 3R adalah meningkatnya kesehatan lingkungan dan masyarakat, melindungi sumberdaya alam, melindungi fasilitas umum dan
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 40-46
mengurangi volume pengangkutan.
sampah
dan
biaya
DATA Kondisi Umum Kelurahan Babakan Surabaya Kiaracondong Bandung a. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Golongan masyarakat pada RW 13 ini 70% didominasi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah, dengan mata pencarian sebagai buruh bangunan, buruh tani, pedagang keliling, seperti tukang baso, pedagang sayur, pedagang gorengan, sedangkan 15% golongan masyarakat berpenghasilan sedang, berprofesi sebagai guru, PNS, ABRI dan usaha toko kelontong, Masyarakat berpenghasilan tinggi hanya sebagian kecil 10% mempunyai usaha catering dan usaha perdagangan dibidang bahan bangunan, perusahaan sendiri, pegawai bank dan PEMDA. b. Kondisi Perumahan Kondisi perumahan warga di RW 13 Kelurahan Babakan Surabaya Kiaracondong, pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pendapatan dan mata pencaharian masyarakat mencerminkan kondisi perumahan mereka masing-masing seperti, masyarakat golongan berpenghasilan tinggi mendiami rumah permanen 10% (rumah mewah), masyarakat golongan berpenghasilan sedang mendiami rumah permanen 15%, masyarakat golongan berpenghasilan rendah 70% dengan kondisi rumah kurang permanen. c. Kondisi Jalan Lingkungan Jalan lingkungan terdiri dari jalan utama dan jalan gang, jalan utama dilalui oleh kendaraan roda empat merupakan jalan yang sudah di aspal dengan lebar 8 meter. Sedangkan jalan gang berada di perumahan yang didiami oleh RT 1, 2 dan 3 dengan lebar kurang dari 1 meter.
HASIL DAN PEMBAHASAN Eksisting Pengelolaan Sampah Di RW 13 a. Kondisi Awal Pengelolaan Sampah Pengelolaan sampah di RW 13 sejak dari sumber sampah yaitu rumah tangga sebelum masuk program 3R masih dalam keadaan tercampur, masyarakat belum melakukan pemilahan sejak dari sumber. b. Pola Pengumpulan Pengumpulan sampah dilakukan dimasing-masing rumah, sedangkan teknis pengangkutan dengan cara door to door atau pengangkutan secara langsung, dimana petugas sampah mengambil sampah ke rumah-rumah warga dengan gerobak sampah. Pengambilan sampah oleh petugas dilakukan 2 hari sekali mulai pukul 7 pagi sampai
selesai. Jumlah sampah yang diangkut ke TPS ± 4m3/hari, dengan 4 rit pengangkutan. c. Iuran Sampah Iuran sampah pada masyarakat dilakukan dengan menerapkan subsidi silang, iuran disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Penetapan iuran dilakukan berdasarkan hasil rembuk warga, golongan masyarakat berpenghasilan tinggi dikenakan iuran Rp. 3.000/ bulan, golongan masyarakat berpenghasilan sedang Rp. 2.500/ bulan, golongan masyarakat berpenghasilan sedang Rp. 1.000/ bulan. Iuran dipungut oleh masing-masing RT disatukan dengan iuran lingkungan. Kondisi Setelah Diterapkan Program 3R dan Bank Sampah a. Pengelolaan Sampah Organik Program pengelolaan sampah organik di lingkungan RW 13 merupakan program binaan dari BGC (Bandung Green and Clean), pendampingan pembuatan kompos dilakukan melalui kader-kader lingkungan, kemudian kaderkader lingkungan mengajarkan kembali pada masyarakat diwilayahnya. Tiap RT mempunyai 4 orang kader yang bertugas mengajarkan cara pembuatan kompos masyarakat di wilayah binaannya. Pembuatan kompos menggunakan keranjang sampah yang berlubang, dimana tiap KK diberi satu buah keranjang sampah untuk membuat kompos. Sedangkan teknis pembuatan kompos mengadopsi cara pembuatan dengan keranjang Takakura. Dengan adanya program pendampingan 3R telah merubah perilaku masyarakat dalam penangganan sampah organik. Dari 5 RT yang ada di RW 13 hanya 4 RT yang melakukan pembuatan kompos yaitu RT 1, 2, 3 dan 4, sedangkan RT 05 belum melakukan pembuatan kompos, hal ini disebabkan RT 05 adalah mayoritas masyarakat golongan berpenghasilan tinggi, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk terjun langsung mengelola sampahnya di rumah. b. Pengelolaan Sampah Anorganik Pengelolaan sampah anorganik dimasyarakat adalah melalui pemilahan menurut jenis sampah atau sampah yang bernilai ekonomis dimasukkan ke karung-karung bekas, kemudian di simpan di sudut depan rumah, menunggu jumlah cukup banyak untuk ditabung pada bank sampah. Selain pemilahan sampah anorganik juga dibuat barangbarang kerajinan seperti tas, dompet, payung dari bungkus kopi, snack, pelatihan pembuatan kerajinan ini dilakukan oleh kader-kader lingkungan yang telah mendapat pelatihan. Pelatihan pembuatan kerajinan ini dilakukan 1 bulan sekali di gedung serbaguna RW, bagi warga
43
Peningkatan Peranserta Masyarakat… (Aryenti)
yang berminat dapat langsung datang mengikuti pelatihan. c. Program Penghijauan Untuk penghijauan di lingkungan RW 13, dilakukan dengan menanam tanaman hias, tanaman sayuran, pohon produktif, tanaman toga, tanaman peneduh, tanaman obat-obatan dan tanaman langka. Untuk memenuhi kebutuhan tanaman masyarakat melakukan pembibitan tanaman sendiri tidak mendatangkan dari luar. Media tanaman dilakukan dengan memanfaatkan kompos yang dihasil oleh masing-masing rumah, masyarakat bebas memilih jenis tanaman yang mereka sukai. Sebelum ada program penghijauan masyarakat yang rumahnya dekat dengan sungai membuang sampah langsung ke sungai, setelah ada program penghijauan disekitar bantaran sungai, masyarakat tidak lagi membuang sampah ke sungai. Penghijauan juga dilakukan pada gang-gang dengan menanam tanaman hias dalam pot yang diletakkan di sepanjang jalan gang. Dari hasil penghijauan di lingkungan RW 13 telah banyak manfaat yang dihasilkan melalui tanaman tanaman obat-obatan seperti tanaman binahong hasil kreasi ibu-ibu PKK telah membuat agar-agar, kue bolu yang bahan bakunya dari tanaman binahong tersebut. Perubahan fisik yang terjadi setelah penghijauan, awalnya lingkungan RW 13 gersang dan terkesan kumuh karena tumpukan sampah dilahan-lahan kosong merusak pemandangan. Setelah program penghijauan RW 13 tampak bersih dan asri dan menambah estetis disekitar lingkungan permukiman warga. Bank Sampah a. Manajemen Pengelolaan Bank Sampah Bank sampah berdiri pada tahun 2009 atas gagasan seorang warga yang sangat peduli terhadap lingkungan tempat tinggalnya yaitu Pak Rohaji yang menjabat sebagai ketua RW di lingkungannya. RW 17 Kecamatan Babakan Surabaya Kelurahan Kiaracondong, merupakan salah satu peserta Bandung Green and Clean (BGC) yang diikuti oleh 200 RW se Kotamadya Bandung dan mendapat juara 50 besar. Kepengurusan bank sampah bersatu dengan kepengurusan BGC. Sejak berdiri sampai sekarang bank sampah telah mempunyai nasabah 57 orang, nasabah bank sampah adalah masyarakat yang berdomisili di lingkungan RW 13, sedangkan pengelolanya adalah warga setempat yang bekerja dengan sukarela tanpa dibayar.
44
Jadwal menabung nasabah ditetapkan pada hari Selasa dan Kamis dan jadwal penjualan sampah anorganik 1 atau 2 minggu sekali ke tukang rongsokan keliling. b. Cara Menabung di Bank Sampah Menabung pada bank sampah hampir sama dengan menabung pada bank biasa umumnya. Nasabah yang akan menjadi anggota mendaftarkan diri terlebih dahulu dengan mengisi buku formulir, kemudian pengelola akan mencatat dibuku induk sebagai nasabah. Setiap nasabah akan diberi buku tabungan untuk mencatat sampah yang ditabung. Pencairan tabungan dilakukan 6 bulan sekali sesuai kesepakatan antara pengelola dan nasabah. Untuk menjaga kartu tabungan tercecer atau hilang kartu tabungan disimpan pada pengelola. c. Struktur Organisasi Pengelola Struktur Organisasi Pengelola BGC RW 13 Kelurahan Babakan Surabaya Pelindung Penasehat
: Camat dan Lurah : Ketua RW
Sekretaris : - Mencatat seluruh pembukuan yang berhubungan dengan bank sampah (jumlah anggota, sampah yang masuk, sampah yang di jual, bersama bendahara menjual sampah yg ditabung nasabah). Bendahara : - Mencatat pembukuan keuangan bank sampah, menimbang dan mengepak sampah sesuai dengan jenisnya, menjual sampah. Seksi Kampanye : - Bertugas memperagakan cara pembuatan kompos pada warganya dan melatih daur ulang sampah anorganik - Menghadiri pameran-pameran daur ulang Koordinator dimasing-masing RT 1, 2, 3, 4 : - Bertugas membimbing warga dalam pembuatan kompos - Mengkoordinir pengambilan sampah yang sudah terpilah dimasing-masing rumah untuk dibawa ke bank sampah. Memungut iuran sampah dari warga. Perubahan Perilaku Masyarakat dengan Berdirinya Bank Sampah Berdirinya bank sampah di RW 13 Kiaracondong telah membuka kesadaran masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri dan membawa dampak positif terhadap perilaku masyarakat dalam mengelola sampah baik terhadap perlakuan
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 40-46
sampah organik maupun sampah anorganik. Anggapan masyarakat yang dulu menilai sampah adalah barang yang tidak berguna dan membuangnya dimana saja seperti dilahan-lahan kosong dan sungai membuat lingkungan jadi kumuh. Dengan berdirinya bank sampah di RW 13 ini, membuat masyarakat merubah pola pandang dan pola pikir dalam memperlakukan sampah, sampah tidak lagi dipandang sebagai barang yang tidak bernilai, namun sekarang masyarakat sudah mulai mengumpulkan sampah untuk ditabung di bank sampah. Perilaku sebagian warga RW 13 terhadap sampah menjadi lebih baik, kepedulian warga meningkat untuk selalu membuang sampah pada tempatnya dan pemilahan telah dilakukan oleh sebagian besar warga. Karena lingkungan sudah menjadi bersih dan asri, maka muncul rasa malu bagi warga untuk membuang sampah sembarangan. Meski belum semua warga melaksanakan pengelolaan sampah dengan cara 3R, namun semangat 3R telah dimiliki sebagian besar warga RW 13. Dengan berdirinya bank sampah di RW 13 dan berjalannya program 3R telah dapat mereduksi sampah yang tadinya pengambilam sampah oleh tukang sampah ± 4 gerobak per-hari, sekarang menjadi 1 sampai 2 gerobak per-hari. Sampah anorganik yang ditabung masyarakat ke bank sampah dari seluruh warga yang jadi nasabah ± 30 s/d 35kg per minggu dengan hasil penjualan Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000 per minggu. Dengan berdirinya bank sampah di RW 13 telah mampu membuat sebuah gerakan perubahan dalam perilaku masyarakat dalam memperlakukan sampah dengan lebih arif dan bijak. Memang dalam kenyataannya belum semua warga melakukan pengelolaan sejak dari sumber (rumah tangga) hal ini disebabkan karena kesibukan sehari-hari disamping faktor lainnya. Namun sebuah gerakan program 3R ini diharapkan terus berlanjut, sehingga tidak menutup kemungkinan nantinya akan diikuti oleh seluruh warga RW 13. Keberhasilan pengelolaan sampah 3R di lingkungan RW 13 Kiaracondong menjadikan RW 13 mendapat juara 3 lomba kebersihan se Kotamadya Bandung, dan pada tahun 2010 juga mendapat juara 50 besar lomba kebersihan Bandung Green and Clean dari 200 RW yang mengikuti lomba. Dengan adanya bank sampah telah dapat mereduksi sampah lingkungan sebanyak 60% dari total sampah yang ada. Juga RW 13 sudah terbebas dari iuran sampah yang dipungut sebesar Rp. 300.000,- per bulan oleh PLN.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan observasi langsung pada RW 13 Kiaracondong pada program pengelolaan sampah 3R melalui kegiatan gerakan menabung di bank sampah diperoleh kesimpulan sebagai berikut : -
-
-
Keberadaan bank sampah telah merubah pemahaman dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Sampah anorganik yang bernilai ekonomi awalnya dibuang begitu saja tanpa perlakuan, namun sekarang sejak berdirinya bank sampah, sampah anorganik telah mulai dikelola melalui daur ulang dan di tabung. Berdasarkan informasi Dinas Kebersihan Kotamadya Bandung, berdirinya bank sampah dan program 3R di RW 13 Kiaracondong pengangkutan sampah oleh Dinas Kebersihan telah mengalami penurunan sekitar 40%. Nilai-nilai yang didapat dari program pengelolaan sampah 3R ialah, lingkungan menjadi bersih, sehat, nyaman dan asri. Secara ekonomis, kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga tidak dapat dijadikan sebagai sumber utama penghasilan warga, melainkan, sebagai tambahan pendapatan masyarakat yang mengelolanya.
SARAN - Berdirinya bank sampah di RW 13 Kiaracondong secara nyata telah membawa dampak positif bagi masyarakat dalam pengelolaan sampah di lingkungannya. Keberhasilan penerapan model bank sampah dapat dijadikan suatu acuan/contoh bagi RW-RW lainnya dalam menarik minat masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri. - Untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah perlu pendampingan dan sosialisasi secara terus menerus baik melalui media elektronik maupun media massa.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman. 2010. Bimbingan Teknis Persampahan. Kota Sukabumi. Slamet Riyanto, Mardianto Darwin, Aulia Rahmawati. 2010. Korelasi antara Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pemilahan Sampah Kering dan Basah. Desa Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu http://G:/SAMPAH%201.htm ----------, 2008. Undang-undang Republik Indonesia No 18 tahun 2008 : Pengelolaan Sampah, Jakarta; Menteri Hukum dan Hak Asasi
45
Peningkatan Peranserta Masyarakat… (Aryenti)
Manusia RI, Lembaran Negara RI tahun 2008 No. 69. Soerjono Sukamto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sampah Membawa Berkah, 2010. Sebuah Potret Budaya Masyarakat Peduli Lingkungan, Bina Swadaya. Jakarta. Laporan Bulanan Ke 1. September 2008. Pendampingan Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pengelolaan Sampah dengan Pola
46
3R di Kota Banjar. Dep. PU. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Bandung. Laporan bulanan, 2010. Bank Sampah, Green and Clean, RW 13 Kelurahan Babakan Surabaya Kiaracondong. Bandung. http://www.Google.Co.id/seach?hl=en&client=firef ox. Bank Sampah Mengubah Pandangan tentang Sampah. http://www,-world. De/dw/article/ o,,4066430,00.htmt.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 47-52
KOMPOSISI CAMPURAN OPTIMUM BATA BETON BERLUBANG DENGAN LIMBAH BATUBARA DARI INDUSTRI TEKSTIL Aan Sugiarto Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 Email :
[email protected] Diterima : 16 Februari 2009; Disetujui : 31 Maret 2011 Abstrak Potensi limbah batubara saat ini kurang lebih 20 ton/hari/pabrik tekstil sehingga dapat menimbulkan masalah limbah padat berupa bottom ash dan fly ash yang memerlukan penanganan yang tepat dan serius agar limbah tersebut tidak mencemari lingkungan. Dalam penelitian ini pemanfaatan limbah bottom ash dan fly ash digunakan sebagai bahan pengganti agregat pasir dalam pembuatan komponen bata beton. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi campuran optimum penggunaan limbah batubara sebagai agregat pada pembuatan bata beton yang memenuhi persyaratan teknis. Metodologi penelitian menggunakan metode eksperimental di laboratorium berupa pembuatan benda uji mortar dengan komposisi campuran yang dibuat adalah 1 Portland Cement (PC) : 3 agregat dengan komposisi agregat 40% BA : 20% FA : 40% Pasir dan 60% BA : 20% FA : 20% pasir dan pembuatan benda uji bata beton berlubang 1 PC : 8 agregat dan 1 PC : 10 agregat dengan komposisi agregat 60% BA : 20% FA : 20% pasir, serta agregat yang menggunakan 100% pasir sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi campuran optimum tercapai pada komposisi agregat 20% pasir + 60% bottom ash + 20% fly ash dengan kuat tekan bata beton berlubang dapat memenuhi syarat sesuai SNI 03-0349-1989 kualitas III dengan kuat tekan ratarata diatas 36,21 kgf/cm2, sehingga dapat digunakan sebagai komponen non struktural yang terlindung dari cuaca. Kata Kunci : Bata beton berlubang, limbah batubara, bottom ash, fly ash, semen Abstract The potential of coal waste is currently less than 20 tons / day / textile factory so can cause problems in the form of solid waste bottom ash and fly ash that require proper handling and serious for the waste does not pollute the environment. In this study the utilization of waste bottom ash and fly ash used as a substitute ingredient in the manufacture of components of sand aggregate concrete brick. The purpose of this study was to determine the optimum mixture composition using coal waste as aggregate in making concrete bricks that meet the technical requirements. The research methodology used in laboratory experimental method of making mortar specimens made with the composition of the mixture is 1 Portland Cement (PC) : 3 aggregate with the composition of aggregate 40% BA : 20% FA : 40% sand and 60% BA : 20% FA : 20% sand and manufacture of hollow concrete brick specimens 1 PC : 8 aggregate and 1 PC : 10 aggregate with the composition of aggregate 60% BA : 20% FA : 20% sand, and aggregate use 100% sand as a control. The results showed that the optimum composition is reached on the composition of aggregate 20% sand + 60% bottom ash + 20% fly ash with a compressive strength of concrete hollow brick can meet the quality requirements class III in accordance with SNI 03-0349-1989 with an average compressive strength above 36,21 kgf/cm2, so it can be used as non-structural components are protected from the weather. Keywords : Conblock, coal waste, bottom ash, fly ash, portland cement
PENDAHULUAN Potensi batubara di Indonesia cukup berlimpah dengan proses sederhana langsung dapat digunakan sebagai bahan bakar dan terbukti sampai saat ini konsumen terbesar yang menggunakan energi batubara adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pabrik tekstil. Penggunaan bahan bakar batubara untuk kebutuhan industri akan menghasilkan limbah berupa limbah padat (fly ash dan bottom ash), yang potensinya cukup besar.
Potensi limbah batubara dari PLTU Suryalaya, Cilegon, Banten menghasilkan fly ash sebanyak 33.000 – 35.000 ton/bulan dan bottom ash sebanyak 10.000 ton/bulan; PLTU Tanjungjati, Jepara, Jawa Tengah menghasilkan 15.000 ton/bulan (fly ash dan bottom ash); PLTU Paiton, Surabaya Jawa Timur menghasilkan 43.000 ton/bulan (80% fly ash dan 20% bottom ash); pabrik tekstil di Bandung menghasilkan limbah batubara 20 ton/hari per pabrik tekstil dari sekitar 200 pabrik; pabrik kertas bekas di Subang 47
Komposisi Campuran Optimum … (Aan Sugiarto)
menghasilkan fly ash sebanyak 75 ton/bulan; pabrik pencucian kain di Bogor, Jawa Barat menghasilkan fly ash sebanyak 100 ton/hari. Berdasarkan pengamatan di lapangan limbah hasil pembakaran batubara dari pabrik tekstil ini, secara visual berbeda bila dibanding dengan hasil pembakaran batubara PLTU. Hal ini disebabkan kemungkinan sistem pembakaran batubara pada pabrik tekstil belum mencapai suhu optimal, sehingga masih banyak kandungan kalori yang belum terbakar sempurna (Puslitbang Permukiman, 2010). Penelitian pemanfaatan limbah batubara telah dilakukan oleh Munir (2008) yang menyatakan bahwa penggantian semen dengan abu batubara sebanyak 5 % dan 10 % dapat meningkatkan sifat kuat tekan produk batako 5,6 % dan 2,56 % dibandingkan tanpa penambahan abu batubara (perlakuan kontrol). Penggantian sampai 25 % masih menghasilkan produk batako mutu II seperti pada perlakuan kontrol. Selanjutnya Endah (2009) menyatakan Penambahan fly ash terhadap volume semen sebesar 10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 60% dapat meningkatkan kuat tekan paving block. Penambahan yang optimum fly ash adalah sebesar 33,29% pada perbandingan campuran 1 Portland Cement (PC) : 0,3329 fly ash : 5 pasir dengan kuat tekan 15,54 MPa, sedangkan untuk campuran pembanding tanpa menggunakan fly ash didapat kuat tekan sebesar 11,45 MPa, sehingga dengan penambahan fly ash pada kadar 33,29 % terhadap volume semen dapat meningkatkan kuat desak sebesar 4,25 MPa atau naik sebesar 37,12%, sedang untuk mencapai kuat tekan sebesar 15,54 MPa untuk campuran pembanding tanpa menggunakan fly ash didapat komposisi campuran 1 PC : 4,14 pasir. Nasir (2008) menyatakan bahwa Perbandingan komposisi berat semen dan agregat halus sebesar 1 PC : 6 pasir, dengan proporsi limbah batubara (bottom ash) sebesar 10% dari berat agregat halus. Dari proporsi perbandingan tersebut didapatkan kuat tekan paving block sebesar 12,11 MPa dan penyerapan air sebesar 11,20% . Dari uraian ini menunjukkan belum ditemukannya penelitian tentang pembuatan beton berlubang sehingga belum diketahui kondisi optimum dari komposisi campuran yang optimum untuk pemanfaatan limbah batu baru ini. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap limbah batubara hasil pembakaran pabrik tekstil untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan komponen bangunan. Penelitian pemanfaatan limbah batubara telah banyak dilakukan baik sebagai pengganti semen maupun sebagai pengganti aggregat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi 48
campuran optimum penggunaan limbah batubara sebagai agregat pada pembuatan bata beton skala komersil yang memenuhi persyaratan teknis.
METODOLOGI Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah semen, pasir pasang dan limbah batubara dari pabrik tekstil berupa fly ash (FA) dan bottom ash (BA). Sebelum digunakan pada pembuatan contoh uji dilakukan karakterisasi mutu dan uji agregat berdasarkan SNI 03-1750-1990. Pembuatan benda uji mortar berupa kubus ukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm sebagai tahap awal yang digunakan untuk penentuan kekuatan. Komposisi campuran yang dibuat adalah 1 Portland Cement (PC) : 3 agregat dengan komposisi agregat 40% BA : 20% FA : 40% pasir dan 60% BA : 20% FA : 20% pasir. Pasir dan limbah batubara dicampur dengan menggunakan alat mixer selama kurang lebih 3 menit sampai merata, kemudian dimasukkan semen dan aduk lagi sampai merata, setelah itu ditambahkan air dan diaduk lagi sampai mortar tercampur secara merata. Adukan dicetak dan dikondisioning selama 7, 14, dan 28 hari, kemudian diuji sifat kuat tekan dengan menggunakan universal testing machine (UTM) merk Torsee dengan kapasitas 20 tf dengan ulangan masing-masing sebanyak 3. Selanjutnya dibuat benda uji bata beton skala komersial dengan ukuran 30 cm x 15 cm x 10 cm. Komposisi campuran untuk bata beton adalah 1 PC : 8 agregat, dan 1 PC : 10 agregat dengan komposisi agregat 60% BA : 20% FA : 20% pasir, dan sebagai kontrol digunakan agregat 100%. Pengujian yang dilakukan adalah sifat fisis dan mekanisnya. Sifat fisis yang diuji adalah kadar air, penyerapan air dan berat jenis, sedangkan sifat mekanis adalah kuat tekan dengan menggunakan UTM merk Tokyokoki dengan kapasitas 100 tf berdasarkan SNI 03-0349-1989 tentang bata beton untuk pasangan dinding. Pengujian dilakukan setelah dikondisioning selama 7, 14, dan 28 hari, masingmasing sebanyak 3 ulangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian bahan limbah batubara dan mortar, tabel 1 menunjukkan hasil pengujian sifat fisis bahan limbah batubara secara lengkap yang merupakan ketentuan sebagai bahan agregat dan pada pada penelitian ini dalam pemanfaatannya limbah batubara digunakan sebagai bahan pengisi (filler). Dari tabel 1 dapat dilihat fly ash memiliki kadar lumpur yang tinggi yaitu 31,48% melebihi yang dipersyaratkan yaitu 5%. Maka dari itu fly ash
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 47-52
Tabel 1 Hasil Pengujian Sifat Fisik Limbah Batubara Syarat SNI 03-17511990
No
Jenis pengujian
FA
BA
1 2 3 4 5
Kadar air, ............. % Kadar lumpur, ...... % Penyerapan air, .... % Berat jenis, ........... gr/cc Bobot isi : - Gembur ............. Kg/lt - Padat, ................ Kg/lt Analisa ayak lewat kumulatif dari saringan : 38,0 mm, ............% 19,0 mm, ............% 9,6 mm, ............% 4,8 mm, ............% 2,4 mm, ............% 1,2 mm, ............% 0,6 mm, ............% 0,3 mm, ............% 0,15 mm, ............% 0,00 mm, ............%
28,61 31,48 28,09 1,27
27,57 3,42 21,29 1,41
0,521 0,622
0,625 0,701
100 100 100 100 99,87 96,26 86,65 67,91 43,37 0
100 98,48 89,30 78,54 58,70 40,53 25,71 11,99 5,13 0
6
5%
Zone 1 100 90 – 100 60 – 95 30 – 70 15 – 34 5 – 20 0 - 10
Kuat tekan (kgf/cm2)
Pada gambar 1 menunjukkan hasil pengujian mortar umur 28 hari. Pengujian ini dilakukan sebagai penelitian pendahuluan untuk mengetahui pengaruh penambahan limbah batubara sebagai pengganti agregat terhadap kekuatan yang akan dikembangkan dalam pembuatan komponen bangunan. A= 40 % BA : 20 % FA : 40 % Pasir B = 60 % BA : 20 % FA : 20 % Pasir 180 150 120 90 60 30 0
160,00
Dari gambar 1 di atas dapat diketahui bahwa kuat tekan mortar pada komposisi agregat : 40% bottom ash : 20% fly ash : 40% pasir menunjukkan sifat kuat tekan yang lebih tinggi dari pada komposisi agregat 60% bottom ash : 20% fly ash : 20% pasir. Berdasarkan referensi hasil-hasil penelitian terdahulu yang dimuat dalam jurnal diantaranya Pembuatan Semen Pozolan Kapur dengan Berbagai Kehalusan - 1989, Pembuatan Semen Alternatif di Wamena – 1999, dan Pemanfaatan Abu Sekam Padi sebagai Bahan Isolator Panas pada Mortar - 2000, bahwa hasil uji kuat tekan mortar rata-rata berkisar 60 % apabila diaplikasikan pada komponen bahan bangunan. Dengan demikian kedua komposisi campuran mortar diatas masih memenuhi syarat teknis sebagai campuran dalam pembuatan komponen bahan bangunan bata beton berlubang kualitas III (syarat SNI 03-0349-1989, kuat tekan rata-rata 36,27 kgf/cm2). Untuk itu dalam penelitian selanjutnya dengan pertimbangan optimalisasi pemanfaatan limbah bottom ash yang lebih banyak, maka dipilih campuran dengan komposisi optimum agregat yaitu 60% bottom ash : 20% fly ash : 20% pasir dengan nilai kuat tekan 138,27 kgf/cm2 masih memenuhi persyaratan teknis. Hasil Pengujian Bata Beton Berlubang Gambar 2 menunjukkan sifat kuat tekan bata beton berlubang yang dibuat dari 100% agregat pasir sebagai kontrol, dan dari limbah dengan komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan 20% pasir pada berbagai kondisioning 7, 14 dan 28 hari dengan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat seperti gambar dibawah ini. 50
Kuat tekan (kgf/cm2)
hanya dapat digunakan sebagai filler dalam pembuatan komponen bahan bangunan. Selain itu fly ash memiliki berat jenis 1,27 g/cc, sehingga dapat dikategorikan sebagai agregat ringan. Sedangkan besarnya penyerapan air mengindikasikan bahwa bahan tersebut sangat porous, sehingga penggunaanya dibatasi hanya untuk komponen struktur ringan, khususnya yang terlindung dari pengaruh cuaca. Sedangkan untuk bottom ash secara umum dapat memenuhi persyaratan teknis sebagai agregat dalam pembuatan komponen bangunan. Hal tersebut dapat dilihat dari kadar lumpur bottom ash sebesar 3,42 % dan hasil analisa ayak dapat dikategorikan ke dalam zone 1 oleh karena itu pemanfaatan bottom ash dapat digunakan sebagai substitusi pasir dalam pembuatan komponen bangunan.
: Kondisioning selama 7 hari : Kondisioning selama 14 hari : Kondisioning selama 28 hari
40
30
20
36,27 27,12 23,88
25,57 19,78
17,85
10
138,27 0 A
B
Tipe bata beton berlubang A Komposisi Campuran
B
Gambar 1 Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Umur 28 Hari dengan Komposisi Campuran Agregat 1 PC : 3 Agregat Keterangan : BA = Bottom ash; FA = Fly ash
Gambar 2 Sifat Kuat Tekan Bata Beton Berlubang pada Berbagai Kondisioning dengan Komposisi Campuran 1 PC dan 8 Agregat Keterangan : A = Kontrol dengan komposisi agregat 100% pasir; B = Komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasir 20%.
49
Komposisi Campuran Optimum … (Aan Sugiarto)
10
20,75 20
10
23,44
21,35 18,27
15,4 9,41
0
A B Tipe bata beton berlubang Gambar 3 Sifat Kuat Tekan Bata Beton Berlubang pada Berbagai Kondisioning dengan Komposisi Campuran 1 PC dan 10 Agregat Keterangan : A = Kontrol dengan komposisi agregat 100% pasir; B = Komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasir 20%.
Secara keseluruhan sifat kuat tekan bata beton berlubang dengan menggunakan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat menunjukkan sifat kuat tekan lebih tinggi dari pada komposisi campuran 1 PC dan 10 agregat baik kontrol maupun yang menggunakan limbah batubara sebagai campuran agregat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa berdasarkan sifat kuat tekan yang
8,62 8,25
8 6
5,14 5,03
4,17
4
0 A B Tipe bata beton berlubang Gambar 4 Sifat Kadar Air Bata Beton Berlubang pada Berbagai Kondisioning dengan Komposisi Campuran 1 PC dan 8 Agregat Keterangan : A = Kontrol dengan komposisi agregat 100% pasir; B = Komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasir 20%. : Kondisioning selama 7 hari : Kondisioning selama 14 hari : Kondisioning selama 28 hari 12
40
30
9,76
: Kondisioning selama 7 hari : Kondisioning selama 14 hari : Kondisioning selama 28 hari
2
Kadar air (%)
Kuat tekan (kgf/cm2)
12
: Kondisioning selama 7 hari : Kondisioning selama 14 hari : Kondisioning selama 28 hari
50
50
paling baik adalah bata beton berlubang dengan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat dengan menggunakan limbah batubara sebagai agregat dengan komposisi campuran bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasit 20%. Sifat kadar air bata beton berlubang pada berbagai kondisioning menunjukkan kecenderungan menurun dengan semakin bertambahnya lama waktu kondisioning, baik dengan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat maupun komposisi campuran 1 PC dan 10 agregat.
Kadar air (%)
Dari gambar 2 di atas dapat diketahui bahwa terjadi kenaikan yang signifikan sifat kuat tekan dari bata beton berlubang dengan bertambahnya umur kondisioning baik untuk kontrol maupun yang menggunakan limbah batubara, dan kondisioning selama 28 hari dicapai sifat kuat tekan yang paling tinggi. Sifat kuat tekan bata berlubang yang menggunakan limbah batubara fly ash dan bottom ash menunjukkan sifat kuat tekan yang lebih tinggi dari pada kontrol yang menggunakan agregat pasir 100% dengan menggunakan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat. Bata beton berlubang dari bahan limbah dengan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat dapat memenuhi syarat sesuai SNI 03-0349-1989 kualitas III dengan kuat tekan rata-rata 36,27 kgf/cm2, sehingga dapat digunakan sebagai komponen non struktural yang terlindung dari cuaca. Sifat kencenderungan naik dari sifat kuat tekan juga terjadi juga pada bata beton berlubang dengan komposisi campuran 1 PC dan 10 agregat seperti disajikan pada gambar 3. Tetapi sifat kuat tekan kontrol lebih tinggi dari pada menggunakan limbah batubara, kecenderungan ini kebalikan dari sifat kuat tekan bata beton berlubang dengan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat. Untuk komposisi campuran 1 PC dan 10 agregat ini dapat memenuhi syarat SNI 03-0349-1989 kualitas IV dengan kuat tekan rata-rata sebesar 21,35 kgf/cm2.
10
8,92 8,54 8,47
8 6
5,26 5,15 4,80
4 2 0
A B Tipe bata beton berlubang Gambar 5 Sifat Kadar Air Bata Beton Berlubang pada Berbagai Kondisioning dengan Komposisi Campuran 1 PC dan 10 Agregat Keterangan : A = Kontrol dengan komposisi agregat 100% pasir; B = Komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasir 20%.
Sifat kadar air kontrol (A) menunjukkan lebih tinggi dibanding komposisi campuran bottom ash (B), hal ini disebabkan/dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitarnya (faktor alam), namun yang perlu diperhatikan adalah kadar air dalam bata beton berlubang dari berbagai variasi komposisi campuran tidak melebihi batas persyaratan teknis yaitu < 10 %, sehingga secara teknis layak digunakan sebagai pasangan dinding bangunan.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 47-52
Sedangkan sifat penyerapan air bata beton berlubang pada berbagai kondisioning menunjukkan kecenderungan naik dengan semakin bertambahnya lama waktu kondisioning, baik dengan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat maupun komposisi campuran 1 PC dan 10 agregat.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
: Kondisioning selama 7 hari : Kondisioning selama 14 hari 18,63 : Kondisioning selama 28 hari 16,2417,11 9,54 9,78 9,90
Dari gambar 8 dan 9, terlihat bahwa berat jenis bata beton berlubang dengan bahan limbah memiliki berat jenis dibawah 1,8 sehingga dapat dikategorikan sebagai bata beton berlubang ringan baik dengan komposisi campuran 1 PC dan 8 agregat maupun 1 PC dan 10 agregat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penggunaan limbah untuk batu bata berlubang menghasilkan bahan bangunan yang lebih ringan dari pada bahan bangunan yang sejenis dengan bahan baku konvensional. Dengan penggunaan produk ini dalam bangunan rumah dapat mengurangi kemungkinan rumah roboh pada waktu terjadi gempa karena dindingnya ringan. Dengan demikian maka produk ini akan cocok digunakan pada pembangunan perumahan di daerah rawan gempa.
2,5 A
B Tipe bata beton berlubang Gambar 6 Sifat Penyerapan Air Bata Beton Berlubang pada Berbagai Kondisioning dengan Komposisi Campuran 1 PC dan 8 Agregat
Berat Jenis
Penyerapan air (%)
Dari gambar 6 dan 7 terlihat bahwa penyerapan air bata beton berlubang kontrol (semen & pasir) dan bata berlubang limbah (semen, bottom ash, fly ash dan pasir) memenuhi persyaratan SNI 03-03491989, tentang bata beton untuk pasangan dinding yang mensyaratkan penyerapan air maksimum sebesar 25 %, sehingga dapat dikembangkan dan layak digunakan untuk pasangan dinding non struktural yang terlindung.
terhadap air sehingga tepat diaplikasikan pada daerah yang basah (air tanahnya tinggi), kemudian lebih homogen dan tidak banyak ronggga, karena menggunakan bahan substitusi fly ash yang sangat halus sehingga dapat mengisi rongga antar agregat.
15,1 15,27
1,21 1,21 1,21
1,5 1,0 0,5
A B Tipe bata beton berlubang Gambar 8 Sifat Berat Jenis Bata Beton Berlubang pada Berbagai Kondisioning dengan Komposisi Campuran 1 PC dan 8 Agregat Keterangan : A = Kontrol dengan komposisi agregat 100% pasir; B = Komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasir 20%.
16,32
8,01 8,57
2,5
9,89
A B Tipe bata beton berlubang Gambar 7 Sifat Penyerapan Air Bata Beton Berlubang pada Berbagai Kondisioning dengan Komposisi Campuran 1 PC dan 10 Agregat Keterangan : A = Kontrol dengan komposisi agregat 100% pasir; B = Komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasir 20%.
Sifat penyerapan air kontrol (A) menunjukkan lebih tinggi dibanding bata berlobang dengan menggunakan campuran agregat bahan limbah yaitu bottom ash dan fly ash. Hal ini menunjukkan bahwa bata beton berlubang dengan menggunakan campuran agregat bahan limbah lebih kedap
2,0 Berat Jenis
Penyerapan air (%)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
1,92 1,92 1,92
0,0
Keterangan : A = Kontrol dengan komposisi agregat 100% pasir; B = Komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasir 20%. : Kondisioning selama 7 hari : Kondisioning selama 14 hari : Kondisioning selama 28 hari
2,0
: Kondisioning selama 7 hari : Kondisioning selama 14 hari : Kondisioning selama 28 hari
1,95 1,95 1,95
1,5
: Kondisioning selama 7 hari : Kondisioning selama 14 hari : Kondisioning selama 28 hari
1,17 1,18 1,18
1,0 0,5 0,0 A
B
Tipe bata beton berlubang Gambar 9 Sifat Berat Jenis Bata Beton Berlubang pada Berbagai Kondisioning dengan Komposisi Campuran 1 PC dan 10 Agregat Keterangan : A = Kontrol dengan komposisi agregat 100% pasir; B = Komposisi bottom ash 60%, fly ash 20% dan pasir 20%.
51
Komposisi Campuran Optimum … (Aan Sugiarto)
KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji sifat fisis dan mekanis bata beton berlubang dengan memanfaatkan limbah batubara sebagai substitusi agregat halus, komposisi campuran optimum tercapai pada komposisi agregat 20% pasir + 60% bottom ash + 20% fly ash. Komposisi campuran 1 PC : 8 agregat (20% pasir + 60% bottom ash + 20% fly ash) dapat memenuhi syarat sesuai SNI 03-0349-1989 kualitas III dengan kuat tekan rata-rata diatas 35 kgf/cm2, sehingga dapat digunakan sebagai komponen non struktural yang terlindung dari cuaca. Hasil uji berat jenis bata beton berlubang yang memanfaatkan limbah batubara lebih ringan dibanding bata beton berlubang yang menggunakan bahan konvensional (termasuk bata beton ringan), dengan demikian produk tersebut sangat tepat bila digunakan sebagai dinding pengisi di daerah rawan gempa juga dapat digunakan untuk dinding pengisi non struktural pada bangunan gedung bertingkat tinggi. Dengan memanfaatkan limbah bottom ash dan fly ash sebagai bahan baku dalam pembuatan komponen bata beton berlubang, menghasilkan sifat fisis dan mekanis lebih baik dari pada mengunakan bahan yang konvensional (khususnya nilai penyerapan lebih kecil dibanding bata beton berlubang konvensional). Dengan demikian produk ini sangat tepat bila diaplikasikan pada daerah basah atau lembab. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Puslitbang Permukiman yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA -----------, 1990, Agregat Beton Mutu dan Cara Uji, SNI 03-1750-1990, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
52
----------, 1989, Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A (Bahan Bangunan Bukan Logam), Departemen Pekerjaan Umum - Yayasan LPMB Bandung -----------, 1989, Bata Beton untuk Pasangan Dinding, SNI 03-0349-1989, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Zulkarnaen Aksa dan Lasino, 1998, Jurnal Permukiman Volume 14, No. 2, Pembuatan Semen Pozolan Kapur dengan Berbagai Kehalusan. Lasino, 1999, Jurnal Permukiman Volume 15, No. 2, Pembuatan Semen Alternatif di Wamena. Randing dan Lasino, 2000, Jurnal Permukiman Vol. 16, No 4, Pemanfaatan Abu Sekam Padi sebagai Bahan Isolator Panas pada Mortar. Misbachul Munir, 2008, Pemanfaatan Abu Batubara (Fly Ash) untuk Hollow Block yang Bermutu dan Aman Bagi Lingkungan, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang. Nazir, et. Al, 2008, Pemanfaatan Limbah Batubara (Bottom Ash) sebagai Paving Ditinjau dari Aspek Teknik dan Lingkungan, Tesis, Universitas Muhammadiyah, Surakarta (diunduh dari http://webcache.googleuser content.com/search?q=cache:gB14r4KONIJ:et d.eprints.ums.ac.id/590/+pemanfaatan+limba h+batubara&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&clie nt=firefoxa&source=www.google.co.id, tanggal 23 Februari 2011) Endah S. dkk, 2009, Kajian Teknis dan Ekonomis Pemanfaatan Limbah Batubara (Fly Ash) pada Produksi Paving Block, Media Teknik Sipil UNS, Volume IX, Januari 2009 (diunduh dari http://mediats.uns.ac.id/index.php/mts/artic le/view/71/71, tanggal 23 Februari 2011).
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 53-59
SISTEM SPASIAL BERBASIS BUDAYA MENGHASILKAN RUANG PRODUKTIF UNTUK INDUSTRI KREATIF Heni Suhaeni Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 Email :
[email protected] Diterima : 19 Oktober 2010; Disetujui : 28 Maret 2011 Abstrak Pada dasarnya, manusia dan lingkungan fisik memiliki hubungan timbal balik yang dapat saling mempengaruhi. Lingkungan fisik dibangun dan manusia akan mengikuti dengan cara mana seorang individu memanfaatkan lingkungan fisik tersebut. Penduduk Indonesia secara umum digambarkan sebagai masyarakat yang menikmati kebersamaan, senang berbagi, dan berinteraksi cukup terbuka. Sedangkan lingkungan fisiknya adalah tempat dimana penduduk dapat membangun sebuah komunitas dengan memanfaatkan lingkungannya. Dalam sistem spasial seorang individu yang kreatif dapat memanfaatkan lingkungan fisiknya, sehingga menghasilkan sesuatu yang produktif melalui proses interaksi. Pertanyaannya adalah bagaimana seorang individu berinteraksi dengan lingkungan fisiknya dalam satu sistem spasial berdasarkan budaya setempat dan mendapatkan manfaat dari situasi tersebut. Dalam makalah ini dibahas mengenai interaksi antara individu dan lingkungan dalam sistem spasial berbasis budaya, dan bagaimana sistem spasial tersebut terbentuk menjadi ruang produktif dan bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia. Metoda penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan memanfaatkan data primer dan sekunder yang diolah dan dianalisis secara kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran sistem spasial berbasis budaya yang dapat dikembangkan dan bermanfaat dalam kelangsungan hidup manusia. Hasilnya menunjukkan bahwa interaksi manusia dan lingkungan dalam sistem spasial berbasis budaya dapat mendorong lahirnya aktivitas produktif secara turun temurun. Kata Kunci : Industri kreatif, interaksi manusia, sistem keruangan, jejaring, sosial dan budaya Abstract Basically, the human and environment interaction is reciprocal, the environment is shaped and the built environment will lead to the ways in which people use it. In general, Indonesian societies are the communities who enjoy living in togetherness, sharing with others people, and interact openly. While the built environment is a place where people can shape a community by utilizing the environment. In a spatial system, an individu can utilize all potential creativities, skills, and talents to produce creative industry through human interaction in a spatial system. The question now is how people and the environment interact in a spatial system which is based on cultural basis and takes advantage from such situation. This paper elaborates the interaction between people and the environemnt in spatial system, and how should the spatial system be designed to be productive space which is based on Indonesian cultural basis. Method of research which is used is, descriptive study. Primary and secondary data are collected from many resources, and are analysed through qualitative analysis. The Objective of research is to obtain description of spatial system which is based on local genius or cultural basis and can be developed and useful for sustainability of human’s life. The result indicates that interact between people and the environment in spatial system which is based on a cultural basis, will create productive activity countinously. Keywords : Creative industry, human interaction, spatial system, network, social and culture
PENDAHULUAN Sebenarnya, industri kreatif adalah salah satu bentuk kompetisi diantara pelaku industri untuk bertahan hidup, karena pada dasarnya industri kreatif harus mampu menciptakan sebuah produk yang bernilai agar dapat bersaing dan tetap eksis. Indonesia mulai memetakan industri kreatif pada tahun 2007 dengan tujuan untuk mengidentifikasi potensi-potensi industri yang dapat berkembang
dan memberikan kontribusi terhadap masyarakat dan ekonomi kota. Kementerian Perdagangan telah mengadopsi industri kreatif yang diartikan sebagai ”industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan dan bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan
53
Sistem Spasial Berbasis Budaya … (Heni Suhaeni)
daya kreasi dan daya cipta individu” (Gunaryo, et al., 2008). Hasil pemetaan industri kreatif yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan pada tahun 2008 teridentifikasi 12 sektor industri. Sub-sektor industri fesyen adalah salah satu industri yang digolongkan ke dalam industri kreatif Indonesia. Ukuran suatu industri tergolong ke dalam industri kreatif dapat diukur berdasarkan 5 indikator; yaitu : - memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), - menyerap tenaga kerja yang tinggi, - menumbuhkan jumlah industri / perusahaan, - mendorong nilai eksport agar menambah devisa, - memiliki dampak terhadap sektor lain. Industri fesyen mampu menyerap tenaga kerja dengan jumlah mencapai 2,6 juta pekerja yang ditampung dalam 1,234 juta unit industri. Jumlah tersebut tergolong dalam katagori diatas rata-rata kemampuan industri lainnya dalam menyerap tenaga kerja dan menumbuhkan unit industri kreatif (Gunaryo, 2008).
individu dengan individu lainnya. Interaksi ini dilakukan secara terus menerus dan membentuk sebuah budaya. Interaksi juga dapat terjadi antara individu dengan obyek, dan dengan lingkungan binaannya. Ide dan kreativitas adalah hasil pemikiran manusia yang selalu dapat diperbaharui. Ide dan kreativitas ini bisa muncul sebagai hasil interaksi antar manusia dan dengan lingkungan fisiknya. Kleniewski (2006) menjelaskan bahwa interaksi manusia dengan lingkungan fisik memiliki hubungan timbal balik. Lingkungan fisik dibangun dan dibentuk oleh manusia untuk menjadi sebuah sistem spasial. Sementara, manusia beraktivitas dan belajar, didorong dan diarahkan melalui sistem spasial yang sudah terbangun.
FOKUS PENELITIAN Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini difokuskan pada pertanyaan; bagaimana interaksi berlangsung diantara masyarakat dalam sistem spasial yang terbangun, sehingga dapat mendorong lahirnya berbagai aktivitas yang sifatnya produktif secara turun temurun di suatu tempat.
Contoh nyata industri fesyen di Jawa Barat dapat ditemukan di Tasikmalaya, Soreang, dan Bandung. Bukan hanya mampu menyerap tenaga kerja dan menumbuhkan jumlah industri, tetapi juga memberikan kontribusi terhadap PDB dan memberikan dampak terhadap sektor lainnya, seperti meningkatkan aktivitas perdagangan.
TUJUAN PENELITIAN
Salah satu kekuatan dari industri kreatif di Tasikmalaya, Soreang, ataupun Bandung adalah, tumbuh melalui proses aktivitas masyarakat setempat dengan memanfaatkan nilai-nilai lokal, sehingga membentuk suatu budaya. Contoh bentuk budaya tersebut adalah menurunkan keterampilan menjahit tidak melalui pendidikan formal atau non formal, tetapi dengan mencontoh atau mengikuti langsung ataupun tidak langsung apa yang biasa dilakukan oleh orang tua, kerabat, atau tetangga. Bahkan keterampilan tersebut dimiliki oleh anakanaknya karena mereka tumbuh dalam ruang atau lingkungan yang setiap hari mereka ikut terlibat di dalamnya secara terus menerus setahap demi setahap. Selanjutnya, budaya tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya tersebut diwujudkan dan diakomodasi dalam bentuk sistem spasial tradisional.
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan. Tahapan pertama adalah, identifikasi aktivitas industri kreatif fesyen dalam skala industri rumah tangga dan industri kecil menengah. Identifikasi dilakukan melalui penelusuran data sekunder yang diperoleh dari bahan bacaan jurnal, artikel, buku termasuk juga penelusuran melalui internet.
Pertanyaannya adalah apakah ada hubungan antara budaya masyarakat dengan sistem spasial tradisional yang dibangunnya? Secara psikologis, ide-ide kreatif yang tumbuh di masyarakat merupakan hasil interaksi antara satu
54
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran sistem spasial berbasis budaya yang dapat berkembang dan bermanfaat dalam kelangsungan industri kreatif.
METODE PENELITIAN
Tahapan kedua adalah, identifikasi elemen-elemen yang berpengaruh terhadap aktivitas industri kreatif skala rumah tangga dan industri kecil dalam sistem spasial. Dalam perspektif human geography, elemen yang berpengaruh terhadap aktivitas industri rumah tangga tidak terbatas, tetapi dalam penelitian ini dibatasi hanya terhadap empat elemen dasar, yaitu tempat (place), jejaring (network), pola pembentukkannya (pattern), dan individu atau masyarakat (people) sebagai pelaku aktivitas bergeraknya sebuah industri. Tahapan ketiga adalah mengukur frekuensi dan intensitas aktivitas pergerakan manusia atau masyarakat (people) yang berlangsung dalam tempat (place) sebagai ruang berproduksi, dan
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 53-59
pola (pattern) yang terbentuk dalam sebuah jejaring (network).
SISTEM SPASIAL BERBASIS BUDAYA Seperti telah diuraikan di atas bahwa, ada hubungan antara budaya masyarakat dengan sistem spasial tradisional. Hubungan ini terjadi sebagai akibat adanya interaksi sosial masyarakat dalam sistem spasial yang terbangun. Interaksi ini menjadi sebuah aktivitas produktif yang ditiru dan dilanjutkan secara turun menurun. Dalam pemahaman human geography, spatial system atau sistem spasial didefinisikan sebagai keterkaitan antara fenomena fisik dengan aktivitas manusia sebagai sebuah proses (Fellmann, 2006). Aktivitas manusia dengan lingkungan fisiknya mempunyai hubungan timbal balik yang saling berpengaruh. Manusia beraktivitas dari satu tempat ke tempat lain karena didorong oleh adanya kebutuhan dan koneksitas. Koneksitas menghasilkan pergerakan dengan frekuensi dan intensitas tertentu, sehingga terbangun pola dalam sistem spasial. Sebenarnya, dalam proses tersebut, manusia mendapatkan keuntungan, yaitu ada kesempatan belajar dan pengalaman dari lingkungan fisiknya. Golledge dan Stimson (1997) menjelaskan untuk mengukur berapa besar pengaruh hubungan timbal balik yang terjadi antara aktivitas manusia dengan sistem spasial, dapat diukur melalui frekuensi dan intensitas pergerakan dari satu titik ke titik lainnya. Aktivitas pergerakan tersebut merupakan perilaku manusia secara nyata, dan paling mudah untuk diamati dan diukur untuk keperluan penelitian. Dalam kasus industri fesyen di Soreang, Tasikmalaya, ataupun Pagarsih Bandung, dari hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas pergerakan manusia dari satu titik ke titik lainnya sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas sehari-hari dimana mereka tinggal pada sebuah rumah yang berfungsi sebagai tempat menjalankan aktivitas rumah tangga atau tempat tinggal dan juga berfungsi sebagai tempat kerja, tempat dimana orang tua menghasilkan sebuah produk benda komoditas yang dapat dijual sebagai benda ekonomi untuk menghidupi ekonomi keluarga. Aktivitas tersebut berlangsung dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi, karena dilangsungkan terus menerus sepanjang, dari hari ke hari berikutnya. Dijelaskan lebih lanjut oleh Golledge dan Stimson (1997) serta Tisma dalam Kwaliwijzer; bahwa arah pergerakan manusia (people) secara fisik dapat tergambarkan dalam sistem spasial karena adanya elemen-elemen sistem spasial. Elemen-elemen
dalam sistem spasial tersebut membentuk pola (pattern) pergerakan dari satu titik atau tempat (place) ke tempat lain, dan berjalan melalui jaringan (network/path). Sinergi diantara keempat elemen, yaitu manusia, tempat, pola dan jejaring dapat melahirkan ratusan elemen baru sebagai variabel yang saling berpengaruh. Melalui pendekatan klaster terpadu, ratusan variabel tersebut dapat diklasifikasikan secara sederhana sesuai dengan keterkaitannya. Contohnya, pengusaha memberikan kesempatan kepada para pekerjanya untuk membawa pekerjaan dan bekerja di rumah masing-masing. Sinergi yang terjadi adalah sinergi pekerja dapat bekerja di rumahnya masing-masing sambil mengurus urusan rumah tangganya. Pengusaha menghasilkan produk industrinya tanpa harus menyediakan tempat produksi. Seperti yang dilaporkan oleh Corporate Social Responsibility (CSR) Jasa Marga (2009) yang menjelaskan bahwa aktivitas pengrajin industri kecil dan rumah tangga banyak memanfaatkan modal sosial dan budaya. Jaringan kerja dibangun atas dasar saling percaya (mutual trust), sehingga hubungan kerja menjadi sinergi yang saling menguntungkan Gifford (2002) menambahkan bahwa aspek penting dalam kehidupan manusia adalah belajar (learning). Belajar berarti adanya perubahan perilaku pada manusia sebagai hasil latihan ataupun pengalaman sehari-hari. Selanjutnya manusia akan dapat memilih dari beberapa pilihan, sehingga ia mampu dan berani mengambil keputusan. Hasil penelitian Karsidi (2000) menjelaskan bahwa magang adalah tahap pertama seseorang belajar meningkatkan keterampilan. Dicontohkan oleh Karsidi bahwa seorang buruh tani bisa menjadi buruh industri melalui magang. Magang merupakan suatu proses untuk mendapatkan kesempatan belajar, menyerap pengetahuan, meniru keterampilan dan berinteraksi dengan pekerja lainnya. Melalui magang akan mampu memahami bagaimana sebuah produk dibuat, dan bagaimana seseorang menjadi produktif. Lamanya magang bergantung pada kemampuan menyerap pengetahuan, keterampilan dan kemampuan dalam mengambil keputusan untuk meninggalkan masa magangnya. Industri kecil dan rumah tangga pada umumnya menerima seseorang untuk magang, tetapi tanpa memberinya upah, kecuali makan dan tidur di tempat dia magang. Hubungan kerja dengan cara magang dapat menguntungkan kedua belah pihak,
55
Sistem Spasial Berbasis Budaya … (Heni Suhaeni)
karena pemilik usaha mendapat bantuan seorang tenaga kerja tanpa dibayar, dan orang yang magang memperoleh kesempatan belajar.
DATA DAN PEMBAHASAN Data primer dan sekunder serta hasil pengamatan lapangan dianalisis secara kualitatif. Elemen atau variabel data yang diukur mencakup empat elemen penting yang berpengaruh dalam sistem spasial, yaitu : manusia, tempat, pola dan jejaring. Secara rinci data dan pembahasan dijelaskan sebagai berikut; Industri Fesyen Pagarsih Bandung 1. Elemen Manusia (people) Aktivitas industri skala rumah tangga dan industri kecil bidang fesyen di Pagarsih Bandung dipelopori oleh seorang pendatang (migrant) dari Tasikmalaya yang menetap beberapa lama di Pagarsih Bandung sekitar tahun 1970-1980. Migrant tersebut menjadi seorang pioneer dalam memanfaatkan sisa-sisa limbah tekstil yang berasal dari pabrik garmen di kawasan tersebut. Ternyata penduduk setempat ikut serta mencontoh aktivitas tersebut. Caranya melalui proses belajar dari pengrajin pertama atas dasar hubungan ketetanggaan yang bersifat informal tanpa harus membayar. Dalam hal ini modal sosial menjadi andalan utama. Mereka melakukan sebuah aktivitas yang memungkinkan terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan dari satu individu ke individu lainnya. Pada tahun 1980an industri rumahan ini mencapai puncak kejayaannya yang dapat dilihat dari tumbuhnya unit industri rumah tangga. Sejalan dengan perkembangan dan persaingan pasar, jumlah unit industri rumah tangga dan industri kecil mulai menurun. Saat ini hanya tersisa sekitar 8 unit industri rumah tangga. Dengan perkembangan pasar yang penuh persaingan, bahan produksi tidak lagi dapat diperoleh dari sisa produksi pabrik dengan mudah. Untuk memenuhi bahan mentah industri harus dibeli dari pasar bebas walaupun bahan mentah yang dipakai tetap merupakan sisa atau limbah produksi, tetapi harganya relatif lebih murah. Menurut pelaku usaha ini, selama bahan mentah sisa produksi masih ada dipasaran bebas, selama itu pula mampu berproduksi, tetapi apabila bahan mentah itu tidak ada lagi di pasaran, industri rumah tangga akan menghilang, karena tidak akan mampu bersaing. 2. Rumah sebagai Tempat Industri (Place) Dalam pemahaman industri kecil dan rumah tangga, rumah merupakan multi-fungsi ruang, sebagai tempat tinggal dan juga sebagai industri rumah tangga atau industri kecil. Rumah menjadi bagian sentral dalam proses produksi. Rumah56
rumah tersebut adalah rumah-rumah dimana para penghuninya mudah bersirkulasi tanpa batas fisik yang masif. Kondisi ini memudahkan penghuninya melakukan aktivitas yang produktif. Sistem spasial satu unit rumah dengan rumah lainnya mengalir karena alasan budaya masyarakat setempat yang saling terbuka. Kenyataan lain yang memperkuat tempat tinggal difungsikan juga sebagai tempat produksi adalah keuntungan dan manfaat yang diperoleh. Proses produksi yang dilakukan di rumah, memanfaatkan bahan kaos dari sisa pabrik menjadi barang komoditas bernilai ekonomis. Hal tersebut dapat menghemat waktu, biaya dan tenaga, karena bekerja di rumah dapat dilakukan sambil mengerjakan urusan rumah tangga. 3. Pola (Patern) Pola aktivitas setiap penduduk dalam skala industri rumah tangga cenderung sama, yaitu aktivitas produksi dilakukan di rumah masingmasing. Bahan produksi berupa kaos sisa yang diambil dari tempat yang sama yaitu pabrik yang tempatnya berada di kawasan perumahan tempat mereka tinggal, atau ke pasar khusus tekstil. Pola pergerakaanya terbentuk serupa, karena merupakan aktivitas duplikasi. Produk yang dihasilkan dipajang di rumahnya, dan pada umumnya konsumen yang membutuhkan datang dengan sendirinya. 4. Jejaring Kerja (Network System) Jejaring yang terbentuk dimulai dari pabrik setempat yang membuang sisa-sisa produksi, atau tempat lain di pasar tekstil yang lokasinya tidak jauh dengan tempat tinggal mereka, karena bahan mentah dari pabrik yang berada di kawasan tersebut tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan produksi, maka mereka mencarinya di pasar khusus tekstil dengan jenis bahan yang relatif sebanding. Sejalan dengan hukum ekonomi, ada penawaran muncul permintaan. Kondisi ini yang mendorong berkembangnya sejumlah pengrajin dalam sebuah kawasan industri kecil dan rumah tangga. Kondisi tersebut membentuk sebuah jaringan dapat bertahan dan berkembang. Industri Fesyen di Soreang Di Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung, aktivitas industri kecil dan rumah tangga dimulai sekitar tahun 1930an. Produk yang dihasilkan oleh industri kecil, menengah dan rumah tangga sama dengan di Pagarsih. Perbedaannya dengan di Pagarsih Bandung adalah, kapasitas industri yang dibangunnya. Di Soreang jenis pakaian yang dihasilkan lebih variatif karena bahan dasarnya tidak mengandalkan sisa produksi, tetapi bahan
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 53-59
mentah yang sengaja dibeli untuk diolah menjadi produk fesyen. Sementara di Pagarsih lebih banyak memanfaatkan sisa-sisa produksi. Skala industri juga berbeda, di Soreang dapat ditemukan industri mulai dari industri rumah tangga, kecil dan menengah. Bahkan beberapa industri sudah tergolong industri besar dalam hal modal investasinya, tetapi tempat produksinya dilaksanakan di kawasan perumahan, rumah yang berfungsi ganda, sebagai tempat tinggal dan tempat industri . 1. Elemen Manusia (People) Berkembangnya industri tersebut diturunkan melalui budaya masyarakat setempat dimana seorang ayah atau orang tua memberikan modal usaha secukupnya kepada anaknya ketika anaknya berumah tangga. Pasangan hidupnya tidak selalu memiliki latar belakang usaha yang sama, tetapi orang tua umumnya akan mengarahkan anak-anaknya bekerja seperti dirinya (hasil wawancara di lapangan, 2009). Oleh sebab itu, perkembangan industri fesyen di Soreang bertambah sejalan dengan kejadian pernikahan anak-anaknya. Akan tetapi sejalan dengan perkembangan industri, industri fesyen Soreang tidak menutup hubungan kerja hanya dibatasi dalam lingkungan keluarga dan kerabat. Tetangga atau pekerja yang sengaja direkruit untuk mengelola administrasi keuangan dilakukan untuk meraih usaha lebih profesional. 2. Rumah tempat Berproduksi (Place) Rumah selalu dijadikan tempat produksi barang berupa fesyen. Pasangan muda yang memiliki latar belakang keluarga industri fesyen umumnya membangun rumah yang berfungsi ganda sebagai tempat tinggal dan tempat produksi. Lokasinya pun berada dalam wilayah yang berdekatan atau kecamatan yang sama dengan orang tuanya. Dari informasi di lapangan ditemukan bahwa industri tumbuh tanpa rencana bisnis yang diperoleh melalui pendidikan formal. Umumnya, mereka hanya mengikuti apa yang selama ini sudah diusahakan dan diturunkan oleh orang tuanya, dan anak-anak mencontoh dan melanjutkannya.
4. Jejaring Kerja (Network System) Dengan pemanfaatkan kemajuan teknologi informasi, transaksi dibantu dan dipermudah dengan bantuan teknologi komunikasi, sedangkan aktivitas industri tetap berlangsung dari rumah. Generasi berikutnya pada kenyataannya selain meniru keberhasilan orang tuanya juga mengembangkan aktivitasnya melalui jaringan kerja baru yang diadopsinya. Industri Fesyen di Tasikmalaya Aktivitas industri di Kecamatan Kawalu dilakukan oleh hampir semua penduduk. Hal ini dapat dilihat dari setiap rumah tangga yang memiliki minimal 3 mesin jahit dan 1 mesin khusus untuk bordir. Bahkan rumah tangga yang tidak memiliki modal dapat memperoleh pinzaman berupa peralatan mesin jahit dan mesin bordir, agar dapat berproduksi di rumahnya masing-masing. Mereka dapat bekerja sebagai pekerja borongan yang diupah berdasarkan volume pekerjaan. Rumah tinggal tetap menjadi tempat yang sentral untuk aktivitas industri fesyen. Pola pergerakan membentuk pola yang sama dengan Soreang, yaitu mereka bergerak mulai rumah. Perbedaan antara industri fesyen Soreang dan Tasikmalaya adalah pelaku industrinya tidak membatasi hanya karena ada hubungan keluarga, tetapi juga antar tetangga, yaitu pemilik industri dengan tetangga sebagai pekerjanya. Perbedaan lain yang sangat nyata adalah bahan baku produksi diperoleh dari Jakarta dan hasil produksi pun banyak dipasarkan di Jakarta, bahkan mampu menembus pasar luar negeri. Jejaring pemasaran lebih luas, karena memiliki kunci akses dengan pasar yang lebih besar contohnya Pasar Tanah Abang Jakarta. Pemda, Kementerian Perdagangan, Asosiasi Pengusaha ikut membantu menyambungkan akses antara industri dengan pasar, karena terkait dengan produk massal sebuah komunitas kota dan kabupaten dengan kapasitas usaha dalam skala yang cukup besar. Data statistik mencatat perkembangan industri fesyen dan bordir di Tasikmalaya meningkat dari tahun ke tahun (lihat Gambar 1. Jumlah Unit dan Pekerja).
3. Pola Aktivitas (Pattern) Sejalan dengan kemajuan zaman, pemanfaatan teknologi untuk proses produksi mulai diadopsi. Contohnya mesin bordir menggunakan program komputer, sehingga kapasitas produksi meningkat. Internet, pesan melalui telefon genggam dan juga faximile dimanfatkan untuk menunjang jaringan pemasaran. Pola pergerakan yang terbentuk menjadi lebih luas.
57
Sistem Spasial Berbasis Budaya … (Heni Suhaeni)
rumah tangga. Batas teritorial ruang private dan umum tidak tampak (lihat gambar 2-3)
Gambar 2 Ibu bekerja dengan Anak-anaknya
Sumber : PBS Jawa Barat Dalam Angka, 2007
SISTEM SPASIAL DAN KEKUATAN BUDAYA Dari uraian pembahasan diatas, secara ringkas dapat disebutkan bahwa aktivitas dan pergerakan manusia dapat menghasilkan sebuah pola dan jaringan. Aktivitas tersebut terbentuk, karena memiliki frekuensi dan intensitas tinggi dalam aktivitasnya, sehingga mampu menghasilkan sistem spasial yang signifikan. Secara fisik, sosial ataupun budaya aktivitas pergerakan industri rumah tangga dimulai dari rumah sebagai bisnis keluarga, diturunkan dari rumah orang tua kepada anak-anaknya, atau meniru melalui interaksi dengan orang lain di lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi ini yang membentuk nilai-nilai budaya di masyarakat berlangsung turun temurun. Secara fisik, situasi perumahan yang saling berdekatan dan terbuka pada kawasan industri kecil dan rumah tangga dapat memacu terjadinya koneksitas antar satu rumah dengan rumah lainnya, sehingga membentuk spasial sistem yang mengalir dan berkelanjutan. Dibandingkan dengan sistem spasial perumahan formal perkotaan apabila dipakai sebagai ukuran, sistem spasial pada perumahan formal perkotaan dibatasi oleh pagar dan dinding tembok dengan batas teritorial ruang publik dan ruang private yang jelas. Dalam sistem spasial perkotaan aktivitas manusia dibatasi oleh batas teritorial yang sulit ditembus, sehingga interaksi yang terjadi penuh batasan. Proses belajar melalui lingkungan lebih terfokus untuk memahami batas lingkungan fisik yang membatasi aktivitasnya. Pada masyarakat modern belajar sesuatu dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah. Berbeda dengan sistem spasial non formal yang terbangun dan mengalir sebagai tempat industri
58
Gambar 3 Kesempatan Belajar dalam Sistem Spasial Non Formal
Koneksitas antar satu ruang dengan ruang atau rumah lainnya lebih terbuka dan mendorong terjadinya interaksi pergerakan dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi. Anak-anak penghuni rumah pun secara tidak langsung berinteraksi dan belajar dari lingkungan terdekatnya (Gambar 2). Seorang yang belum mahir bekerja, atau seorang yang magang mempunyai kesempatan belajar bagaimana proses produksi dilaksanakan, sehingga menghasilkan produk industri rumah tangga (Gambar 3). Apabila mengikuti standar ukuran Badan Pusat Statistik (BPS), industri rumah tangga adalah industri yang mempekerjakan kurang dari 5 pegawai, sedangkan industri kecil mempekerjakan 5 sampai 20 pegawai (BPS, 2005). Jumlah pegawai yang kecil memungkinkan komunikasi diantara para pekerja lebih dekat dalam ruang yang relatif lebih kecil. Hubungan kerja antar pekerja dan pengusahanya lebih bersifat informal, penuh kekeluargaan. Bekerja dalam lingkungan industri rumah tangga dan industri kecil dapat memperoleh proses belajar melalui pengamatan dan komunikasi dalam bahasa verbal maupun non verbal. Proses belajar ini berkembang melalui modal sosial, budaya dan jaringan yang turun temurun. Selain itu, bekerja di lingkungan rumah memiliki kelebihan dapat memberikan rasa aman dan peluang bereksplorasi, karena umumnya mereka bekerja atas kreativitasnya sendiri. Kondisi tersebut didukung oleh kenyataan bahwa bekerja di lingkungan rumah memiliki waktu yang tidak terbatas. Rumah dapat berfungsi sebagai tempat tinggal dan ruang produktif; tempat untuk membangun lahirnya kreativitas dalam bekerja. Manusia akan dapat termotivasi dan tertantang untuk berusaha, berjuang dan bertahan karena lingkungan rumah dapat melahirkan beragam peluang kegiatan. Aktivitas industri fesyen yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dalam sistem
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 1 April 2011 : 53-59
spasial mampu mewadahi dan mendorong terciptakannya struktur sosial dan budaya masyarakat yang produktif secara nyata. Oleh sebab itu, untuk kepentingan aktivitas industri fesyen agar tetap berkembang dan bertahan, sistem spasial yang terbangun masih perlu untuk tetap dipertahankan, terutama terkait sistem spasial.
KESIMPULAN Dalam lingkungan industri rumah tangga dan industri kecil di Soreang dan Tasikmalaya, interaksi manusia berlangsung dalam sistem spasial melalui kekuatan modal sosial dan budaya. Sistem spasial terbangun dengan mengakomodasi 4 elemen penting, manusia, tempat, pola dan jejaring. Sinergi dari ke empat elemen tersebut menghasilkan kekuatan yang mampu mendorong manusia beraktivitas dan produktif. Manusia yang mempunyai kekuatan budaya dan modal sosial mempunyai peran besar yang mampu mempertahankan, mewadahi dan mendorong manusia lain untuk belajar dan bekerja secara produktif dalam lingkungannya. Rumah sebagai tempat produksi yang terbuka ternyata memberi peluang bagi orang lain untuk belajar dan mencontoh dari apa yang dilaluinya di mana seseorang hidup, sehingga terpola dan membentuk sebuah jaringan. Pada kenyataannya di Soreang dan Tasikmalaya, industri fesyen berkembang turun temurun melalui cara atau budaya seperti diuraikan diatas. Hal ini patut dipertahankan. Kemungkinan industri rumah tangga fesyen menghilang, ketika batasan formal sebuah bisnis fesyen modern masuk, sistem spasial berubah dan batas teritorial berlaku formal. Kesempatan belajar
melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan fisik pun menghilang sejalan dengan perkembangan zaman, contohnya di Pagarsih yang secara perlahan diperkirakan akan menghilang sejalan dengan perkembangan pasar.
DAFTAR KEPUSTAKAAN ----------- 2005, Bandung Dalam Angka, Badan Pusat Statistik kota Bandung ----------2008, Selaras dengan Harapan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan, Laporan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan 2008, PT Jasa Marga, tbk, Jakarta. ------------ 2009, Jawa Barat Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Asrin, I. 2009, Kerajinan Tasik Pengembangan Terpadu Industri Kreatif, Jurnal Koperasi & Usaha Kecil Menengah, www.depkop.go.id diunduh tgl 13 Maret 2010 Fellmann., J.D., Getis., A., dan Getis., J., 2007, Human Geography : Landscapes of Human Activities, McGraw Hill International, New York Gifford, R. 2002, Environmental Psychology Principles and Practice, Optimal Books, Canada Golledge, R.G, dan Stimson R.J, 1997, Spatial Behavior : A Geographic Perspective, The Guilford Press, New York. Gunaryo, et al. 2008, Studi Industri Kreatif Indonesia Departemen Perdagangan RI, Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan, Jakarta Karsidi, R. 2000, Mobilitas Sosial Petani di Sentra Industri Kecil Kasus Surakarta, http://www.ac.id/data/0016.pdf diunduh tgl 13 Maret 2009 Kleniewski, N. 2006, Cities, Change & Conflict; A Political Economy of Urban Life, Thomson Wadswordth, Belmont USA.
59