SPENDING BEHAVIOR PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SE EKS-KARESIDENAN SEMARANG TAHUN ANGGARAN 2008-2012 M. SHIDQI ADHIATMA (232010109) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
I. LATAR BELAKANG Pelaksanaan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintah Indonesia telah lama dilakukan. Adanya otonomi menjadi salah satu bentuk perubahan dari adanya reformasi pemerintahan di Indonesia. Otonomi merupakan bentuk dari hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki pemerintah daerah untuk mengurus terkait pemerintahan dan kepentingan masyarakat secara otonom sesuai dengan peraturan. Pengertian tersebut dinyatakan dalam UU No. 32 tahun 2004, memperlihatkan keterlibatan pemerintah daerah dalam menjalankan urusan daerah semakin besar bila dibandingkan dimasa sebelum otonomi. Konsep otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan berpengaruh dalam penyelenggaraan anggaran daerah. Saat ini, anggaran pemerintah daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun secara mandiri oleh pemerintah daerah sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintah di wilayah masing-masing. Sistem dalam pemerintahan merupakan upaya mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintahan daerah merencanakan, menyusun serta melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan dalam rencana keuangan tahunan dalam bentuk APBD. Melalui APBD, pemerintah dapat menunjukkan alokasi belanja untuk menjalankan program kegiatan dan
1
sumber-sumber pendapatan serta pembiayaan yang muncul bila terjadi surplus atau defisit pada anggaran. Hal tersebut perlu disikapi oleh pemerintah daerah dengan Kebijakan Pembiayaan Daerah (Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2013). Ketika hal tersebut tercapai tentu dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perwujudan pelayanan publik daerah tertentu memiliki korelasi erat dengan kebijakan belanja daerah, selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), dimana terlalu banyak kebutuhan pemerintahan daerah tetapi terbatasnya sumber-sumber pendapatan daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program atau kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap layanan publik daerah maupun kegiatan lain yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pembelanjaan yang baik dan berkualitas diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pembangunan daerah diberbagai sektor. Spending behavior merupakan perilaku belanja, bagaimana cara pemerintah menjalankan atau memanfaatkan sumber daya yang dimiliki pemerintah tersebut 1 . Spending behavior menggambarkan alokasi pembelanjaan yang dilakukan pemerintah daerah, dimana pengeluaran yang dilakukan pemerintah dikeluarkan untuk kepentingan dapur pribadi dari pemerintah atau untuk memenuhi kebutuhan politik. Seberapa besar penggunaan belanja APBD untuk masyarakat atau pelayanan publik. Maka spending behavior pemerintah perlu memperhatikan alokasi penggunaan anggaran belanja. Deskripsi dan analisis APBD yang di terbitkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) merupakan salah satu upaya untuk menggambarkan spending behavior
1
http://www.ssb.no/en/forskning/beregningsmodeller/kommode-a-model-of-local-government-spending-behaviorin-norway
2
pemerintah daerah dengan memberikan gambaran tentang kondisi keuangan seluruh provinsi di Indonesia dengan berdasarkan data yang berasal dari APBD tahun anggaran dari keseluruhan provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia. Dalam deskripsi dan analisis tersebut digambarkan secara lebih ringkas dan dilakukan agar lebih mudah ditelaah masyarakat umum. Deskripsi dan analisis tersebut kurang efektif karena pada dasarnya setiap provinsi menerapkan kebijakan dan prioritas yang berbeda sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing daerah. Analisis yang dipakai masih terbatas, karena deskripsi tersebut hanya bertujuan untuk memberi gambaran secara ringkas dan ringan bagi pembaca deskripsi tersebut, sehingga deskripsi analisis tersebut kurang memberi gambaran APBD yang lebih luas. Deskripsi dan analisis yang dibuat oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan hanya dibuat pada setiap tahun anggaran saja dan kurang menggambarkan secara detail gambaran APBD tahun- tahun selanjutnya. Beberapa penelitian lain terkait dengan spending behavior telah dilakukan sebelumnya, yaitu mengenai Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan per-kapita. Hasil dari penelitian tersebut adalah Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan Belanja Modal. Hubungan Belanja Modal yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah, dan hubungan antara Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan Pendapatan perkapita. Data diambil dari pemerintahan Kabupaten atau Kota se Jawa–Bali. Tetapi penelitian tersebut tidak memberikan secara terperinci alokasi sektor belanja modal, alokasi mana yang dimaksudkan dapat memberikan kontribusi dalam penelitian tersebut. Data yang diambil hanya pada tahun 2001–2004, sehingga kurang komparatif (Harianto, David, Adi, & Hari, 2007). Dari penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan dan yang dilakukan oleh Harianto (2007) diatas, data yang dihasilkan masih dalam cakupan wilayah yang 3
masih luas yaitu tingkat provinsi. Cakupan wilayah yang luas membuat hasil penelitian kurang spesifik dan varian yang didapatkan sangat beragam. Dengan kemampuan masing-masing daerah yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, maka rata-rata data yang dihasilkan kurang maksimal karena dengan kemampuan keuangan daerah yang berbeda-beda membuat analisis yang digunakan terbatas. Cakupan wilayah yang semakin luas dengan banyaknya daerah administrasi yang diteliti, membuat penelitian yang dilakukan akan semakin sulit untuk dikomparasikan. Penelitian yang dilakukan kurang bisa menggambarkan situasi yang ada, karena analisis yang dibuat hanya dibuat pada setiap tahun anggaran saja. Jadi kurang bisa menggambarkan kondisi yang terjadi pada APBD dari tahun ke tahunnya. Menurut alat analisis tipologi klassen gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah, diteliti berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapitanya. Kemudian daerah tersebut dibedakan menjadi 4 klasifikasi, yaitu : daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income), serta daerah relatif tertinggal (low growth and low income) (Aswandi, 2002). Dimana klasifikasi yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten/kota dalam penelitian ini adalah : 1.
Daerah cepat maju dan cepat tumbuh, yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibanding ratarata Eks-Karesidenan.
2.
Daerah maju tapi tertekan, yaitu daerah yang memiliki pendapatan perkapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding dengan rata-rata Eks-Karesidenan.
4
3. Daerah berkembang adalah yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan perkapita lebih rendah dibanding rata-rata EksKaresidenan. 4.
Daerah relatif tertinggal yaitu adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita yang lebih rendah dibanding dengan rata-rata EksKaresidenan.
Menurut analisis tipologi klassen, kondisi pemerintah daerah di Eks-Karesidenan Semarang beragam. Kabupaten Semarang masuk pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan pada tahun 2010. Mengalami peningkatan menjadi daerah cepat maju dan cepat tumbuh di tahun 2011 dan 2012. Kota Semarang sepanjang tahun 2010 sampai 2012 berada pada daerah klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh. Kabupaten Kendal di tahun 2010 dan 2011 berada pada klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh. Pada tahun 2012 mengalami penurunan klasifikasi menjadi daerah maju tapi tertekan. Kota Salatiga berada di klasifikasi daerah maju tapi tertekan sepanjang tahun 2010 sampai 2012. Kabupaten Grobogan berada dalam klasifikasi daerah relatif tertinggal ditahun 2010 dan 2011. Meningkat ditahu 2012 menjadi daerah berkembang pesat di tahun 2012. Kabupaten Demak sepanjang tahun 2010 sampai 2012, berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Penelitian ini menggambarkan kondisi keuangan daerah dalam APBD dengan lingkup yang lebih sempit yaitu terbatas pada Eks-Karesidenan Semarang pada tahun anggaran 2008 sampai 2012. Wilayah Eks-Karesidenan Semarang menarikdipilih untuk dianalisis karena keragaman atau variansi pemerintah daerah diwilayah itu dalam tipologi klassen. EksKaresidenan Semarang mencakup Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Demak. Analisis pada tingkat 5
Karesidenan akan lebih komparabel karena masih dalam satu wilayah provinsi yaitu Jawa Tengah. Kebijakan-kebijakan dan prioritas yang diambil di Eks-Karesidenan Semarang, tidak jauh berbeda dan potensi antar daerah masih bisa dikatakan pada level yang sama, sehingga dapat diketahui lebih jelas seberapa efektif dan efisien pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya pengeluaran belanja dari tahun ketahun dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Analisis yang dipakai lebih luas karena dalam penelitian ini memasukan analisis yang belum tercantum dalam Deskripsi dan Analisis APBD yang dibuat oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. Analisis ini menggunakan data Anggaran APBD Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran 2008-2012, Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran 2008-2012. Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan analisis tentang keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam menggambarkan kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan se Eks-Karesidenan Semarang. Maka rumusan persoalan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran spending behavior pemerintah daerah di Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 berdasarkan analisis rasio keuangaan Belanja Daerah? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran spending behavior Pemerintah Daerah Eks-Karesidenan Semarang dalam menggunakan sumber daya untuk pengeluaran Belanja Daerah. Manfaat yang peneliti harapkan atas penelitian ini adalah dapat menggambarkan penggunaan anggaran belanja pemerintah daerah di Eks-Karesidenan Semarang. Hasil analisis tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan untuk Pemerintahan yang di jadikan objek penelitian 6
sebagai bahan evaluasi dan dasar pengambilan kebijakan bagi pemerintahan. Menjadi bahan bagi investor yang akan menginvestasikan di Eks-Karesidenan Semarang, seberapa besar yang diberikan oleh Pemerintah Daerah atas upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah di berbagai sektor. Spending behavior dapat digunakan pemerintah pusat untuk menindak lanjuti pengalokasian dana yang sekiranya daerah pemerintahan tertentu sangat amat membutuhkan anggaran yang lebih besar guna meningkatkan pelayanan daerah.
II. TINJAUAN PUSTAKA Belanja Daerah Pemerintah daerah memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi kepada publik. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai pelayan kebutuhan dan kepentingan publik. Kewajiban-kewajiban tersebut dapat berupa pembangunan berbagai fasilitas publik dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik. Untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut diperlukan pengeluaran-pengeluaran daerah. Pengeluaran-pengeluaran daerah tersebut mempunyai kaitan terhadap kewajiban-kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang. Belanja daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 merupakan semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut Mahmudi (2010) belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Kelompok belanja terdiri atas : 7
a.
Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat / daerah yang member manfaat jangka pendek. Belanja Operasi meliputi: belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial.
b.
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangunan aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Belanja Modal meliputi: belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, belanja modal aset tetap lainnya, belanja aset lainnya (aset tak berwujud).
c.
Belanja Lain-lain/belanja Tak Terduga. Belanja lain-lain atau belanja tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.
d.
Belanja Transfer. Belanja Transfer adalah pengeluaran anggaran dari entitas pelaporan yang lebih tinggi ke entitas pelaporan yang lebih rendah seperti pengeluaran dana perimbangan oleh pemerintah provinsi ke kabupaten /kota serta dana bagi hasil dari kabupaten/kota ke desa.
8
Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupeten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Daerah yang diperoleh baik dari Pendapatan Asli Daerah maupun dari dana perimbangan tentunya digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai Belanja Daerah.
Spending Behavior Sebagian besar keputusan yang diambil pemerintah daerah memerlukan informasi belanja yang didasarkan pada perilakunya. Oleh sebab itu, perlu diketahui penggolongan belanja atas dasar perilakunya. Yang dimaksud perilaku belanja adalah pola perubahan belanja dalam kaitannya dengan perubahan target kinerja atau aktivitas Pemerintah Daerah. Belanja dapat digolongkan menjadi tiga jenis sebagai berikut : belanja variabel, belanja tetap dan belanja semi variabel (Kamaruddin Ahmad, 2005 dalam Dewi, 2012).
Sesungguhnya perilaku terjadi karena suatu determinan tertentu. Determinan ini bisa dari lingkungan, dari dalam diri individu dan dari tujuan/nilai suatu obyek. Jika dikaitkan dengan anggaran, maka perilaku itu muncul disebabkan tujuan atau nilai suatu obyek anggaran tersebut. Perilaku ini dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda yaitu sisi fungsional atau positif dan sisi disfungsional atau negatif (Munawar, Irianto, & Nurkholis, 2006).
9
Analisis Belanja Daerah Menurut Mahmudi (2010:156), analisis untuk belanja daerah dapat dilakukan dengan menggunakan alat analisis rasio, yaitu : 1. Analisis Varians Belanja Analisis varians merupakan analisis terhadap perbedaan atau selisih antara realisasi belanja dengan anggaran. Berdasarkan laporan realisasi anggaran yang disajikan, pembaca laporan dapat mengetahui secara langsung besarnya varians anggaran belanja dengan realisasinya yang bisa dinyatakan dalam bentuk nilai nominal atau presentasenya. Varians Belanja = Anggaran Belanja Daerah Tahunt – Realisasi Belanja Daerah Tahunt 2. Analisis Pertumbuhan Belanja Analisis pertumbuhan belanja bermafaat untuk mengetahui perkembangan belanja dari tahun ke tahun. Analaisis pertumbuhan belanja dilakukan untuk mengetahui berapa besar pertumbuhan masing-masing belanja, apakah pertumbuhan tersebut rasional dan dapat dipertanggung jawabkan. Realisasi Belanja Thnt – Realisasi Belanja Thnt-1 Pertumbuhan Belanja = Realisasi Belanja Thn t-1 3. Analisis Keserasian Belanja Analisis keserasian belanja bermanfaat untuk mengetahui keseimbangan antar belanja. Analisis keserasian belanja antara lain : a. Analisis Belanja Operasi terhadap Total belanja
10
Rasio ini menggambarkan mengenai porsi Belanja Daerah yang dialokasikan untuk Belanja Operasi. Realisasi Belanja Operasi = Total Belanja Daerah
b. Analisis Belanja Modal terhadap Total Belanja Rasio ini menggambarkan mengenai porsi Belanja Daerah yang dialokasikan untuk investasi dalam bentu Belanja Modal pada tahun anggaran bersangkutan. Realisasi Belanja Modal = Total Belanja Daerah
4. Rasio Efisiensi Belanja Rasio efisiensi belanja merupakan perbandingan antara realisasi belanja dengan anggaran belanja. Rasio efisiensi belanja ini digunakan untuk mengukur tingkat penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah.
Realisasi Belanja =
x 100% Anggaran Belanja
5. Rasio Belanja terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Rasio belanja daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto PDRB merupakan perbandingan antara total belanja daerah PDRB yang dihasilkan daerah. Rasio ini menunjukan produktivitas dan efektivitas belanja daerah. 11
Total Realisasi Belanja Daerah = Total PDRB
6. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap Total Belanja dan Rasio Belanja Hibah terhadap Total Belanja a. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap Total Belanja Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap Total Belanja menggambarkan seberapa besar dalam penggunaan Belanja Daerah untuk Bantuan Sosial. Menurut Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Belanja Bantuan Sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Realisasi Belanja Bantuan Sosial = Total Belanja Daerah
Kriteria alokasi belanja hibah dalam APBD adalah: (a) Belanja bantuan sosial diberikan tidak secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. (b) Untuk memenuhi fungsi APBD sebagai instrumen keadilan dan pemerataan dalam upaya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, bantuan dalam bentuk uang dapat dianggarkan apabila pemerintah daerah telah memenuhi seiuruh kebutuhan belanja urusan wajib guna terpenuhinya Standar Pelayanan Minimum yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.
12
(c) Bantuan kepada partai politik diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dianggarkan dalam bantuan sosial.
(d) Pemberian hibah dalam bentuk barang dapat dilakukan apabila barang tersebut tidak mempunyai nilai ekonomis bagi pemerintah daerah yang bersangkutan tetapi bermanfaat bagi pemerintah atau pemerintah daerah lainnya dan/atau kelompok masyarakat/perorangan. (e) Pemberian hibah dalam bentuk jasa dapat dianggarkan apabila pemerintah daerah telah memenuhi seluruh kebutuhan belanja urusan wajib guna memenuhi standar pelayanan minimum yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. (f) Pemberian hibah dalam bentuk uang atau dalam bentuk barang atau jasa dapat diberikan kepada pemerintah daerah tertentu sepanjang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. Realisasi Belanja Hibah = Total Belanja Daerah
Belanja hibah bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak secara terus menerus dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah daerah. Hibah
kepada
pemerintah
daerah
lainnya
dan
kepada
perusahaan
daerah,
badan/lembaga/organisasi swasta dan/atau kelompok masyarakat/perorangan dikelola dengan mekanisme APBD sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut DJPK (2011), analisis untuk belanja daerah dilakukan dengan menggunakan alat analisis rasio, yaitu :
13
1. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Rasio belanja pegawai tehadap total belanja merupakan perbandingan antara total belanja terhadap belanja pegawai. Belanja Pegawai yang digunakan adalah penjumlahan dari Belanja Pegawai Langsung dan Belanja Pegawai Tidak Langsung Total Belanja Pegawai = Total Belanja Daerah
2. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk dan Rasio Belanja Operasi terhadap Jumlah Penduduk
a. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk Rasio belanja modal tehadap jumlah penduduk merupakan perbandingan antara jumlah penduduk dengan belanja modal. Rasio ini menggambarkan seberapa besar perhatian pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pembangunan infrastruktur.
Realisasi Belanja Modal = Jumlah Penduduk
b. Rasio Belanja Operasi terhadap Jumlah Penduduk Rasio belanja operasi tehadap jumlah penduduk merupakan perbandingan antara jumlah penduduk dengan belanja operasi. Rasio ini menggambarkan seberapa besar perhatian
14
pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pelayanan pemerintah. Realisasi Belanja Operasi = Jumlah Penduduk
III. METODE PENELITIAN Jenis Data dan Sumber Data Analisis dilakukan dengan berdasarkan data kuantitatif yang terutama berasal dari APBD dan Realisasi APBD se Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran 2008-2012. Penelitian ini dilakukan di 6 kabupaten/kota di Eks-Karesidenan Semarang, meliputi Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Demak. Analisis menggunakan data sekunder, berupa data anggaran APBD se Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran 2008-2012 hingga data pendukung lain yang digunakan untuk melakukan analisis time series dan cross section (data panel). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Tahun Anggaran 2008-2012 dari Kantor Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Jawa Tengah, data PDRB se-Jawa Tengah tahun 2008-2012 dari Badan Pusat Statistik
(BPS)
Provinsi
Jawa
Tengah
dan
Kota
Salatiga,
serta
www.djpk.depkeu.go.id Pemerintah Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan.
15
situs
resmi
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis diskriptif. Teknis analisis data pembelanjaan daerah se Eks-Karesidenan Semarang adalah dengan menggunakan berbagai analisis dan rasio yang digunakan. Analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja Belanja Daerah adalah sebagai berikut : 1. Analisis Varians Belanja 2. Analisis Pertumbuhan Belanja 3. Analisis Keserasian Belanja a. Analisis Belanja Operasi terhadap Total belanja b. Analisis Belanja Modal terhadap Total Belanja 4. Rasio Efisiensi Belanja 5. Rasio Belanja terhadap PDRB 6. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah 7. Rasio Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk a. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk b. Rasio Belanja Operasi terhadap Jumlah Penduduk 8. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap Total Belanja Daerah dan Rasio Belanja Hibah terhadap Total Belanja Daerah a. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap Total Belanja Daerah b. Rasio Belanja Hibah terhadap Total Belanja Daerah Berdasarkan analisis dan rasio yang ada, penelitian berlanjut dengan mengolah data yang kemudian hasil data tersebut akan diolah dengan menganalisis per tahun anggaran, kemudian dilakukan analisis dengan times series mulai dari 2008–2012, menganalisis data dengan cross
16
sectional. Data diolah menjadikan sebuah pola yang menggambarkan kemungkinan keterjadian yang terjadi terhadap pengelolaan belanja di pemerintah daerah. Peneliti berusaha mengeksplorasi penjelasan yang mungkin atas perubahan-perubahan tersebut. Seperti faktor budaya, politik, sosial, bencana alam atau hal lain yang mungkin dapat menjelaskan terjadi perubahan pola spending behavior di daerah tersebut. Kemudian membandingkan hasil analisis per-daerah dengan rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang menggunakan metode bench marking, rata-rata data yang diambil sesuai dengan unit variatif yang lebih homogen. Penelitian ini kurang bisa maksimal karena rata-rata yang di ambil antara kota dan kabupaten, tetapi data lebih homogen dari segi regional dapat mengukur variable yang ada. Selanjutnya mengimplikasikan hasil bench marking kedalam himbauan atau saran kepada pemerintah daerah masing-masing agar bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah tersebut.
IV. ANALISIS DESKRIPSI PPENELITIAN 1. Analisis Varians Belanja Analisis varians belanja merupakan analisis yang terjadi terhadap perbedaan atau selisih antara anggaran belanja daerah dengan realisasi ditahun anggaran tertentu. Berdasarkan hal tersebut, anggaran belanja menjadi suatu batasan pengeluaran yang boleh di keluarkan oleh pemerintah daerah tidak melebihi dari anggaran belanja. Dalam hal ini, kinerja pemerintah terhadap belanja dapat dinilai baik apabila belanja tidak melebihi apa yang dianggarkan. Dari hasil analisis dapat dilihat dalam table dibawah ini.
17
Tabel 1.1. Hasil Analisis Belanja (Persentase) Daerah LKPD
ANALISIS VARIANS BEELANJA 2009 2010 13% 9% 4% 6% 11% 11% 4% 9% 2% 5% 7% 7% 7% 8%
2008 12% 5% 24% 8% 8% 5% 10%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal average
2011 10% 7% 12% 8% 5% 6% 8%
2012 15% 9% 12% 7% 9% 8% 10%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Grafik 1.1. Trend Varians Belanja Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang 25% 20% 15% 10% 25% 20%
5% 0%
15%
2008
10% 5%
Kota Semarang
0% 2008
2009 Kab. Grobogan
2009
2010
2011
Kab. Semarang
Kota Salatiga
Kab. Kendal
average2 0 1 2
2010
2011
K o ta S e m a r a n g
K ab. Se m arang
K o ta S a la tig a
K ab. D e m ak
K ab. G robogan
K ab. K e ndal
2012 Kab. Demak
ave rage Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah)
Grafik 1.2. Trend Varians Belanja Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 25% 20% 15% 10% 5% 0% 2008
2009
2010
2011
Kota Semarang
Kab. Semarang
Kota Salatiga
Kab. Grobogan
Kab. Kendal
average
18
2012 Kab. Demak
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Tabel 1.2. Hasil Analisis Belanja Nominal (dalam Milyar) Daerah LKPD Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal average
2008 182 44 114 56 78 37 85.17
ANALISIS VARIANS BEELANJA 2009 2010 226 166 37 55 52 53 31 84 17 50 56 68 69.83 79.33
2011 224 79 60 93 67 71 99.00
2012 365 115 77 94 116 102 144.83
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Dari analisis diatas, varian yang terjadi di Karesidenan Semarang mengalami fluktuatif diberbagai Kabupaten/Kota di Eks-Karesidenan Semarang dari satu tahun anggaran, maupun dari tahun ke tahun anggaran (times series). Dari hasil yang tersaji di tabel, semua pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Eks-Karesidenan Semarang melakukan penghematan anggaran. Dari tabel persentase varians hanya beberapa yang mengalami penghematan yang cukup signifikan, seperti Kota Semarang dan Kota Salatiga. Namun hal ini akan berbeda jika diamati dari tabel nominal varians yang ada. Jumlah tersebut jika dilihat berdasarkan dari persentasenya maka tidak begitu besar penghematan yang dilakukan, namun cukup signifikan bila dilihat dari nominalnya. Dari semua pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Eks-Karesidenan Semarang berdasarkan data nominalnya, yang secara konsisten melakukan penghematan dengan sangat signifikan hanya pemerintah Kota Semarang. Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya melakukan penghematan berdasarkan nominal varians dengan signifikan, akan tetapi pergerakan dari tahun ke tahun tidak konsisten (fluktuatif). Berdasarkan hasil diatas, Kota Salatiga memiliki varians tertinggi dari tahun ke tahunnya dengan rata-rata presentase 13.94 persen. Dan Kab. Grobogan merupakan daerah dengan varian terendah dari 6 Kabupaten/Kota di Eks-Karesidenan Semarang dengan rata-rata dari tahun 20082012 mencapai 5.94 persen. 19
Terdapat beberapa kemungkinan yang bisa muncul dalam hasil varian ini : 1. Hasil varian dengan selisih positif dalam varians anggaran, selisih positif menunjukan bahwa daerah tersebut dimungkinkan menargetkan SiLPA (Selisih Lebih atas Perhitungan Anggaran) dalam anggaran mereka sebelumnya. Namun hal demikian tidaklah layak dilakukan dalam pola pengelolaan keuangan yang sehat dalam pemerintahan. Karena akan menimbulkan ketidak efisiensi penggunaan anggaran untuk membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan mendorong timbulnya dana yang diluar anggaran. 2. Semakin tinggi varian anggaran maka berpengaruh kepada efisiensi anggaran, ketika anggaran lebih besar dari pada realisasi anggaran maka akan lebih efisien anggaran yang dibelanjakan oleh pemerintah. Dengan hal tersebut kinerja pemerintah dalam mengefisienkan anggaran semakin membaik. 3. Semakin tingginnya varians belanja, membuat terdapat kelemahan dalam perencanaan penganggaran.
Kelemahan
anggaran
tersebut
adalah
lemahnya
pengestimasian
penganggaran (kurang tepatnya pengestimasian anggaran). Dari pengestimasian dalam belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah kurang tepat sehingga terdapat sisa anggaran yang belum terealisasi sepenuhnya. 4. Varian yang positif dimungkinkan karena tidak terserapnya anggaran yang sudah direncanakan tersebut, hal tersebut dikarenakan ada beberapa program dan kegiatan dari pemerintah yang sudah diagendakan/ direncanakan dalam anggaran tetapi pelaksanaannya tidak dilaksanakan (kesalahan tidak disengaja) atau tidak dapat dilaksanakan sama sekali (memang disengaja tidak dilaksanakan). 5. Tidak dapat dilaksanakannya dengan disengaja oleh pemerintah, pada umumnya sisa dari penghematan tersebut bisa disalurkan ke pos – pos belanja yang masih kurang lainnya.
20
Berdasarkan kemungkinan diatas, berikut merupakan daerah dengan hasil yang kurang signifikan bila di bandingkan dengan daerah lain dari tahun ke tahunnya (Tabel 1). Kota Semarang pada tahun anggaran 2009 dengan jumlah varian belanja 13 persen, mengalami penurunan di tahun anggaran 2010 sebesar 4 persen. Kota Salatiga tahun anggaran 2008 memiliki varian belanja sebesar 24 persen (Rp. 114 Milyar), mengalami penurunan di tahun 2009 menjadi 11 persen dengan (Rp. 52 Milyar). Kabupaten Grobogan tahun anggaran 2008 memiliki varian belanja sebesar 8 persen (Rp. 78 Milyar), mengalami penurunan pada tahun anggaran 2009 dengan varian belanja menjadi 2 persen (Rp. 17 Milyar). Dari data diatas, Kota Semarang, Kota Salatiga dan Kabupaten Grobogan merupakan daerah persentase penghematan yang rendah. Hal tersebut tidak signifikan mengenai apa saja yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Sehingga penghematan yang dilakukan justru mengalami penurunan. Penurunan penghematan yang terjadi, dikarenakan realisasi kegiatan pada tahun anggaran tersebut telah terlaksana dengan baik dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan, perilaku belanja dari pemerintah daerah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang sudah efisien terhadap anggaran belanjanya. Tugas DPRD menelusuri dan mengkonfirmasi langsung pemerintah daerah setempat tentang pelaksanaan pengeluaran anggaran, dari informasi yang didapat dinilai baik atau kurang baik dari penganggaran dan realisasi anggaran tersebut.
2. Analisis Pertumbuhan Belanja Analisis pertumbuhan belanja merupakan analisis terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam realisasi belanja pemerintah daerah setempat. Berdasarkan perubahan belanja yang terjadi, apakah perubahan tersebut rasional atau bermanfaat bagi penganggaran belanja di
21
periode selanjutnya. Gambaran analisis ini digunakan untuk mengetahui perkembangan belanja dari tahun ke tahun anggaran yang telah terealisasi apakah setiap daerah mengalami kenaikan pertumbuhan atau penurunan. Tabel 2.1. Hasil Pertumbuhan Belanja Daerah LKPD
2008 18% 22% 45% 15% 20% 20% 23%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal average
2009 14% -1% 17% 8% -7% 4% 6%
PERTUMBUHAN BELANJA 2010 15% 7% -3% 11% 11% 15% 9%
2011 18% 23% 10% 31% 30% 22% 22%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Grafik 2.1. Trend Pertumbuhan Belanja Kabupaten/Kota se Eks Karesidenan Semarang 50% 40% Kota Semarang
Kab. Semarang
30%
Kota Salatiga 20%
Kab. Demak Kab. Grobogan
10%
Kab. Kendal
average 0% 2008
2009
2010
2011
-10%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah)
22
2012
2012 1% 17% 20% 11% 3% 5% 9%
Grafik 2.2. Trend Pertumbuhan Belanja Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 50% 40%
30% 20%
10% 0% 2008
2009
2010
2011
2012
-10% Kota Semarang
Kab. Semarang
Kota Salatiga
Kab. Grobogan
Kab. Kendal
average
Kab. Demak
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah)
Berdasarkan dari pertumbuhan karesidenan Semarang pada tabel persentase dan grafik diatas. Dapat dilihat dominan pemerintahan Kabupaten/Kota di Eks-Karesidenan Semarang selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tetapi, ada beberapa daerah yang mengalami tren negatif seperti daerah di Kab. Semarang 2009, Kab. Grobogan 2009, dan Kota Salatiga 2010. Dari analisis diatas, pertumbuhan belanja yang terjadi di Eks Karesidenan Semarang mengalami fluktuatif diberbagai Kabupaten/Kota di Eks-Karesidenan Semarang. dari satu tahun anggaran, maupun dari tahun ke tahun nya (times series). Pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing daerah tidak selalu meningkat, ada yang mengalami peningkatan secara perlahan dan ada pula yang mengalami peningkatan secara tidak wajar. Jika di bandingkan berdasarkan rata-rata se Eks Karesidenan Semarang. Pada tahun 2008 dan 2011, rata-rata di karesidenan Semarang mengalami pertumbuhan yang sangatlah besar. Di
23
tahun anggaran 2008 mengalami pertumbuhan rata-rata karesidenan Semarang mencapai 23 persen dan di tahun anggaran 2011 mengalami pertumbuhan mencapai 22 persen. Hal ini harus nya diiringi dengan realisasi yang rasional terhadap kenaikan tersebut. Dan rataan di 2009 mengalami pertumbuhan hanya 6 persen, data kali ini mengalami penurunan yang sangatlah drastis. Dan dilihat dari data yang di peroleh, ada 2 daerah di 2009 yang mengalami pertumbuhan yang negatif. Pertumbuhan belanja yang negatif di 2009 ada Kabupaten Semarang dengan pertumbuhan belanja -1 persen dan di Kabupaten Grobogan dengan pertumbuhan belanja -7 persen. Dan Kota Salatiga juga mengalami pertumbuhan sebesar -3 persen di 2010, dan diikuti pula dengan rata-rata pertumbuhan belanja hanya 9 persen. Berdasarkan analisis diatas, terdapat beberapa tingkat pertumbuhan daerah Karesidenan yang tidaklah wajar. Kota Semarang pada tahun anggaran 2011 mengalami pertumbuhan belanja sebesar 18 persen tetapi pada 2012 pertumbuhan hanya sebesar 1 persen. Di Kab. Semarang pada 2008, daerah ini mengalami pertumbuhan sebesar 22 persen. Dan pada tahun anggaran tahun 2009 pertumbuhan mengalami penurunan sebesar -1 persen. Hal serupa terjadi pada Kota Salatiga pada tahun 2008 dan 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 45 persen dan 17 persen. Kab. Grobogan di 2008 mengalami pertumbuhan belanja sebesar 20 persen, namun mengalami penurunan pada 2009 dengan -7 persen. Dan pada tahun anggaran 2011 dengan 30 persen turun kembali turun pada 2012 sebesar 3 persen. Berbeda dengan yang dialami daerah lain, Kab. Demak pada tahun anggaran 2010 mengalami pertumbuhan sebesar 11 persen dan pada 2011 pertumbuhan belanja mengalami kenaikan sebesar 31 persen. Dari gambaran hasil analisis di atas, ada beberapa hal yang dimungkinkan terjadi : 1. Pertumbuhan belanja turun di mungkinkan karena adanya beberapa alokasi belanja / akun belanja yang ada di tahun sebelumnya di hapuskan. Dan akun belanja yang di hapuskan
24
tadi, timbul di tahun sekarang. Hal ini mengakibatkan penurunan yang signifikan terhadap pertumbuhan belanja tersebut. 2. Beberapa pertumbuhan belanja yang turun, karena di alokasikannya anggaran belanja ke bagian lain yang lebih penting. Jadi akan ada beberapa akun belanja yang mengalami penurunan anggaran, dan penurunan tersebut di alokasikan ke akun yang lain. Akun yang sangat membutuhkan anggaran yang lebih penting. Hal ini di anggap baik karena akan memaksimalkan program atau kegiatan yang sudah direncanakan. Tetapi bersifat negatif, karena penilaian buruk terhadap program penganggaran yang dilakukan pemerintah daerah. Dan membuat kegiatan lain gagal dilaksanakan karena pengalokasian anggaran tersebut. 3. Pertumbuhan
belanja
yang
mengalami
peningkatan,
dimungkinkan
terjadinya
pengeluaran yang tiba-tiba berubah. Pengeluaran yang tiba-tiba berubah ini dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi seperti inflasi, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, kenaikan kurs mata uang, faktor-faktor luar biasa (bencana alam). Untuk menggambarkan pertumbuhan dari Kab. / Kota se Karesidenan Semarang sudah dapat dikatakan rasional dan dapat dipertanggung jawabkan, maka pertumbuhan belanja akan di analisis dengan tingkat besarnya inflasi yang terjadi di Jawa Tengah. Di lihat berdasarkan inflasi Desember 2008 – 2012 di Jawa Tengah, di Desember 2012 Jawa tengah mengalami inflasi sampai 0.40 persen dengan di ikuti naiknya juga Indeks Harga Konsumen sebesar 132.13 yang terus naik. Hal ini disebabkan karena adanya kenaikan harga yang ditujukan oleh kenaikan indeks kelompok bahan makanan sebesar 1,18 persen. Dan salah satu kota di Karesidenan Semarang mengalami inflasi lebih dari inflasi Jawa Tengah, yaitu Kota Semarang dengan 0.41 persen.
25
Tabel 2.2. Hasil Pertumbuhan Belanja Data Inflasi di Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008 2009 2010 2011 2012
Kota Semarang per Desember per Tahun Anggaran -0.42 10.34 0.27 3.19 0.7 7.11 0.38 2.87 0.41 4.85
Jawa Tengah per Desember per Tahun Anggaran -0.04 9.55 0.3 3.32 0.95 6.88 0.37 2.68 0.4 4.24
BPS Provinsi Jawa Tengah No. 01/01/33/th. VII, 02 Januari 2013
Berdasarkan data inflasi dari BPS Provinsi Jawa Tengah, jika dibandingkan dengan data pertumbuhan belanja daerah di karesidenan Semarang, terlihat pada 2008 memang terjadi inflasi yang dapat mengakibatkan pertumbuhan belanja naik di tahun tersebut. Jadi terdapat kenaikan yang signifikan pada tahun-tahun tersebut. Terjadi kesimpangan di tahun 2011, terjadi peningkatan yang tinggi pada pertumbuhan belanja karesidenan Semarang sebesar 22 persen. Tetapi hal tersebut tidak di ikuti dengan inflasi Jawa Tengah pada tahun tersebut yang sebesar 2.68 persen. Jadi kenaikan yang terjadi kurang wajar tejadi pada 2011. Namun inflasi sebagai salah satu faktor pendorong terjadinya perubahan perilaku belanja pada anggaran pemerintah tersebut. Pertumbuhan belanja pada pemerintahan daerah haruslah diikuti dengan pertumbuhan pendapatan yang seimbang, sebab jika tidak maka dalam jangka menengah dapat mengganggu kesinambungan dan kesehatan fiskal daerah. (Mahmudi, 2010)
3. Analisis Keserasian Belanja Analisis keserasian belanja bermanfaat untuk mengetahui keseimbangan antar belanja. Dalam hal ini, adalah keseimbangan dalam belanja terhadap operasi dan modal.
26
a. Analisis Belanja Operasi terhadap Total belanja Analisis belanja operasi terhadap total belanja merupakan perbandingan antara pengeluaran anggaran untuk kegiatan atau kebutuhan sehari-hari pemerintahan daerah terhadap total realisasi anggaran pemerintahan. Analisis ini menggambarkan tentang bagaimana pemerintah mengalokasikan anggaran yang direncanakan dalam kebutuhan sehari-hari. Namun belanja operasi merupakan pengeluaran rutin yang digunakan untuk melaksanakan program-program pemerintah. Tetapi disisi lain belanja operasi tidak menyebabkan peningkatan asset dari pemerintah daerah. Tabel 3.a.1. Hasil Analisis Belanja Operasi Terhadap Total Belanja Daerah LKPD
BELANJA OPERASI TERHADAP TOTAL BELANJA DAERAH 2009 2010 86% 88% 83% 87% 65% 79% 80% 84% 85% 90% 86% 85% 81% 85%
2008 88% 75% 66% 84% 79% 85% 79%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
2011 85% 81% 83% 75% 85% 82% 82%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Grafik 3.a.1. Trend Belanja Operasi Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang 100% 95% 90%
80%
Kota Semarang
85%
85% 79%
Kab. Semarang
82%
81%
79%
75%
Kota Salatiga Kab. Demak
70%
Kab. Grobogan
65% 60%
Kab. Kendal
55%
Average
50%
2008
2009
2010
2011
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) 27
2012
2012 83% 75% 76% 72% 84% 83% 79%
Grafik 3.a.2. Trend Belanja Operasi Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 100% 95% 90%
80%
Kota Semarang
85%
85% 79%
Kab. Semarang
82%
81%
79%
75%
Kota Salatiga Kab. Demak
70%
Kab. Grobogan
65% 60%
Kab. Kendal
55%
Average
50%
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Dalam hasil analisis rasio Belanja Operasional terhadap Total Belanja diatas, dapat diamati seberapa besar proyeksi dari pemerintahan daerah terhadap pemenuhan terhadap kebutuhan pribadinya sendiri. Hal tersebut ditunjukan dengan pemerintah Kabupaten/Kota di EksKaresidenan Semarang memprioritaskan belanjanya ke bagian belanja operasional lebih dari 65 persen dari total realisasi belanjanya dan dengan rata-rata karesidenan Semarang dari tahun ke tahun lebih dari 75 persen. Padahal belanja operasi tidak membantu memberi nilai tambah dalam hal ini yaitu asset daerah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh DJPK di tahun 2011, bahwa dominan dari pemerintahan di Indonesia mendominasikan pengalokasian anggaran di belanja operasi. Dari data di atas, Kabupaten Grobogan di 2008 merupakan salah satu daerah dengan penggunaan belanja modal di bawah rata-rata Kabupaten/Kota Eks Karesidenan Semarang, tetapi dengan analisis time series dari tahun 2009-2012 di Kabupaten Grobogan mengalami kenaikan yang melebihi rata-rata Eks Karesidenan Semarang. 28
Kota Salatiga merupakan daerah di Eks Karesidenan Semarang dengan dominan analisis belanja operasi dibawah rata-rata karesidenan Semarang. Dengan kenaikan belanja operasi pada tahun 2011 dengan 83 persen dan diatas rata-rata karesidenan pada tahun tersebut saja. Pada daerah di Karesidenan Semarang, pada analisis belanja operasi di Kab. Semarang di tahun anggaran 2008 dengan sebesar 75 persen mengalami kenaikan di tahun 2009 sebesar 83 persen. Dan hal serupa terjadi pada Kota salatiga di tahun anggaran 2009 dengan sebesar 65 persen meningkat di tahun anggaran 2010 dengan sebesar 79 persen. Kenaikan dari rasio belanja operasi tersebut dianggap sangat besar karena nilai kenaikan yang dianggap tidak wajar. Hasil analisis yang dijabarkan memberikan gambaran perilaku belanja pemerintah daerah se Eks-Karesidenan Semarang terhadap pelayanan publik sudah baik. Kenaikan dan penurunan yang terjadi pada pemerintahan Kabupaten/Kota Eks Karesidenan Semarang dimungkinkan karena : 1. Terjadi kenaikan rasio belanja operasional terhadap total belanja dikarenakan terjadi kenaikan penganggaran pada pos-pos belanja tertentu seperti belanja pegawai langsung maupun tidak langsung, belanja barang dan jasa, belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial maupun belanja bantuan keuangan. 2. Selain terdapat beberapa alokasi belanja yang naik karena kenaikan penganggaran pada pospos tertentu, ada pula kenaikan karena dialokasikan dari beberapa pos tertentu yang sangat penting. Seperti pos belanja pegawai, pengadaan barang dan jasa dan belanja bunga. 3. Penurunan yang terjadi dimungkinkan lebih besarnya belanja lain-lain seperti belanja modal. Besar belanja modal dimungkinkan mengalami peningkatan sehingga membuat belanja operasional turun.
29
Upaya bagi pemerintah guna efisiensi belanja operasional guna pembangunan daerah untuk menyejahterakan masyarakat, maka perlu adanya upaya pemangkasan anggaran dalam belanja operasional. Terdapat berbagai cara dalam melakukan pemangkasan tersebut, seperti menggunakan wewenang dari daerah dalam mengelola keuangannya. Seperti memaksimalkan kinerja pegawai langsung daerah dan menekan lebih pegawai tidak langsung.
b. Analisis Belanja Modal terhadap Total Belanja Analisis belanja modal merupakan analisis besaran belanja modal terhadap total realisasi belanja pemerintah daerah. Dalam analisis tersebut dapat diamati seberapa besar proyeksi dari pemerintahan daerah terhadap pembangunan daerahnya. Guna belanja modal sendiri bagi pemerintah sangat besar. Pemerintah dapat menggunakan belanja modal guna pelayanan terhadap masyarakat dan pembangunan infrastruktur untuk membantu keberlangsungan perekonomian di wilayahnya. Sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa tengah, mewacanakan tahun 2014 merupakan tahun infrastruktur. Hal ini salah satunya guna menangani ekspansi industri-industri ke Jawa Tengah. Diperkirakan akan banyak industri yang akan masuk ke Jawa Tengah dengan pertimbangan Upah Minimum Daerah di Jawa Tengah masih dianggap standart bagi para pelaku industri. Berikut adalah tabel dari Analisis Belanja Modal terhadap Total Belanja :
30
Tabel 3.b.1. Hasil Analisis Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah LKPD
2008 12% 21% 34% 16% 21% 15% 20%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
BELANJA MODAL TERHADAP TOTAL BELANJA 2009 2010 14% 12% 12% 9% 35% 21% 20% 15% 12% 10% 14% 15% 18% 14%
2011 15% 15% 17% 22% 14% 18% 17%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Grafik 3.b.1. Trend Belanja Modal Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang 40% 35%
30%
Kota Semarang
25% 20% 15%
Kab. Semarang 20%
20%
18%
17%
Kota Salatiga Kab. Demak
14%
10%
Kab. Grobogan
5%
Kab. Kendal
0%
Average
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah)
31
2012 17% 22% 23% 28% 16% 17% 20%
Grafik 3.b.2. Trend Belanja Modal Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 40% 35%
30%
Kota Semarang
25% 20% 15%
Kab. Semarang 20%
20%
18%
17%
Kota Salatiga Kab. Demak
14%
10%
Kab. Grobogan
5%
Kab. Kendal
0%
Average
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Dari table diatas, analisis belanja modal terhadap total belanja beberapa pemerintah daerah mengalami fluktuatif, tapi terdapat satu daerah dengan rata-rata rasio belanja modalnya yang tinggi. Hal ini terlihat wajar demi tercapainya pembangunan daerah yang lebih baik, akan tetapi terdapat banyak daerah yang berada dibawah rata-rata karesidenan Semarang. Bagi Kabupaten Kendal sendiri dominan di bawah rata-rata dari Karesidenan Semarang, tetapi mengalami kenaikan diatas Rata-rata Karesidenan pada 2008 dan 2012 walau dengan persentasi yang tidak begitu besar. Dan Kota Salatiga mendominasi dengan selalu diatas ratarata karesidenan Semarang. Kabupaten Semarang mengalami penurunan dari 2008 sampai 2010. Dan naik kembali di 2011 dan 2012, hal ini sering dapat dilihat didaerah-daerah pemerintahan bahwa belanja modal selalu mengalami penurunan dari tahun ketahunnya. Belanja modal yang terdiri dari pembelian, pengadaan atau pembangunan asset tetap yang berwujud, yang memiliki nilai manfaat bisa kurang ataupun lebih dari 12 bulan. Seperti belanja barang dan jasa, tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigrasi dan jaringan. 32
Dari analisis belanja modal yang dilakukan terhadap Karesidenan Semarang, terdapat beberapa daerah dengan hasil analisis yang tidak biasa. Daerah tersebut adalah Kab. Semarang yang mengalami penurunan nilai di tahun anggaran 2008 sebesar 21 persen dan di tahun anggaran 2009 berubah menjadi 12 persen. Di Kota Salatiga pada tahun anggaran 2009 dan 2010, hasil dari analisis belanja modal sebesar 35 persen menjadi 21 persen. Dan daerah Kab. Grobogan mengalami penurunan pula di tahun anggaran 2008 dan 2009 sebesar 21 persen dan 12 persen. Penurunan yang sangat besar bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Dari analisis yang dijabarkan, perilaku belanja pemerintah daerah se Eks-Karesidenan Semarang kurang baik dalam hal kepentingan publik yaitu dalam hal infrastruktur. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja mengalami kenaikan dan penurunan, hal ini dimungkinkan karena : 1. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja mengalami penurunan dimungkinkan karena adanya pengalihan alokasi belanja dari modal ke operasional demi membantu agar operasional dapat berjalan dengan baik. 2. Mengalammi penurunan juga karena prioritas pemerintah masih pada belanja operasional, belanja operasional merupakan bagian yang sangatlah rawan dalam pengawasan pengelolaan penganggaran. 3. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja mengalami kenaikan dimungkinkan karena terdapat upaya dari pemerintah dalam pengeluaran guna perbaikan, dan pembangunan infrastruktur, pembebasan tanah guna menambah asset yang dimiliki pemerintah. Penggunaan belanja modal secara maksimal adalah salah satu cara yang sebaiknya diupayakan oleh pemerintah daerah. Karena bentuk pengeluaran ini disamping dapat memberikan nilai manfaat dimasa depan yang lebih, juga digunakan untuk penyediaan berbagai
33
sarana dan prasarana fasilitas publik yang dapat menjadi asset tetap daerah. Dan diharapkan dengan hal tersebut, dapat menjadi modal guna terlaksananya berbagai aktivitas ekonomi masyarakat dan tentunya dapat menaikan pertumbuhan ekonomi. Ketika upaya dalam pembuatan dan perbaikan infrastruktur, sarana dan prasarana yang dilakukan pemerintah, maka hal tersebut akan dapat menarik simpatik dari pihak investor yang akan melakukan ekspansi. Dan ketika tercapainya pembangunan yang bagus, maka investor dapat datang dan membantu tujuan pemerintahan dalam pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya pengangguran karena banya industri yang akan masuk ke daerah Karesidenan Semarang. Hal ini didukung dengan penelitian dari Alexiou (2009) dan menghasilkan dampak positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
4. Rasio Efisiensi Belanja Rasio efisiensi belanja menggambarkan tingkat penghematan anggaran belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan cara membandingkan total realisaasi anggaran dengan total anggaran belanjanya. Pada keadaan yang sebenarnya, efisiensi anggaran belanja digunakan sebagai tolak ukur seberapa baiknya pengelolaan dari pemerintah daerah setempat. Belanja dikatakan efisien ketika rasio yang diperoleh <100 persen. Semakin kecil rasio yang dihasilkan maka dikatakan kinerja pemerintah daerah semakin baik dalam penghematan anggaran. Karena dalam rasio ini terdapat banyak persepsi yang bisa dikemukajan akibat efisiensi yang dilakukan. Berikut merupakan hasil dari analisis efisiensi anggaran belanja :
34
Tabel 4.1. Hasil Analisis Efisiensi Belanja Daerah LKPD
2008 88% 95% 76% 92% 92% 95% 90%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
2009 87% 96% 89% 96% 98% 93% 93%
EFISIENSI BELANJA 2010 91% 94% 89% 91% 95% 93% 92%
2011 90% 93% 88% 92% 95% 94% 92%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah)
Grafik 4.1. Trend Efisiensi Belanja Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang 100%
93%
90%
92%
Kota Semarang
92% 90%
90%
Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak
80%
Kab. Grobogan
Kab. Kendal Average 70%
2008
2009
2010
2011
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah)
35
2012
2012 85% 91% 88% 93% 91% 92% 90%
Grafik 4.2. Trend Efisiensi Belanja Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 100%
93%
90%
92%
Kota Semarang
92% 90%
90%
Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak
80%
Kab. Grobogan
Kab. Kendal Average 70%
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Dari hasil rasio efisiensi diatas, menunjukan semua Kota / Kabupaten di Karesidenan Semarang mengalami efisiensi yang baik. Terbukti dengan hasil rasio < 100 persen dari total anggaran belanja. Kota Semarang dan Kota Salatiga merupakan daerah di karesidenan dengan kinerja efisiensi yang baik di bandingkan daerah lain di karesidenan Semarang. Kedua daerah tersebut merupakan daerah yang baik dengan selalu berada dibawah rata-rata karesidenan Semarang. Kabupaten Semarang, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal merupakan daerah dengan kondisi efisiensi diatas rata-rata karesidenan Semarang. Dengan hal tersebut, Kota Salatiga dan Kota Semarang merupakan daerah Karesidenan berkinerja bagus dalam melakukan penghematan anggaran. Dan daerah Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Kendal merupakan daerah dengan penghematan yang masihlah kurang maksimal. Semakin kecil rasio efisiensi yang dihasilkan oleh pemerintahan daerah, maka kinerja penghematan terhadap anggaran belanja semakin baik, begitu pula sebaliknya jika semakin
36
mendekati 100 persen atau lebih maka kinerja penghematan anggaran belanja daerah tersebut semakin buruk. Kota Salatiga merupakan kotang yang melakukan efisiensi lebih baik dibandingkan dengan yang lain, hal tersebut terbukti pada tahun anggaran di 2008 dengan rasio efisiensi sebesar 76 persen. Dan di tahun-tahun selanjutnya selalu berada dibawah rata-rata karesidenan. Berdasarkan analisis tersebut, perilaku belanja pemerintah daerah se Eks-Karesidenan Semarang sudah efisien dalam mengelola anggaran belanjanya. Ada beberapa tanggapan dari anggaran belanja yang perlu dipertimbangkan dalam efisiensi belanja : 1. Realisasi anggaran belanja dikatakan efisien / melakukan penghematan anggaran belanja, tetapi belum tentu di anggap bagus sebagai kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Dikarenakan jika pemerintah melakukan penghematan, ada kemungkinankemungkinan yang terjadi. Seperti : a. Adanya upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam menargetkan SiLPA demi pembiayaan ditahun berikutnya. Hal tersebut kurang layak dilakukan oleh pemerintah daerah, dikarenakan akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan anggaran. Efisiensi yang dilakukan hanya untuk penghematan anggaran belanja saja, tetapi tidak untuk penggunaannya seperti membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Dalam efisiensi / penghematan anggaran dalam beberapa program pemerintah, banyak dimungkinkan terjadinya pemangkasan harga demi tercapainya penghematan belanja. Akan tetapi belum tentu penghematan tersebut dapat mempengaruhi kualitas output dari program yang dijalankan. Contoh : perbaikan jalan beraspal. Ketika dapat
37
menghemat penggunaan anggaran belanja aspal untuk perbaikan jalan, dimungkin pembelian bahan dengan kualitas yang tidak sesuai. c. Dengan efisiensi dapat mengakibatkan kurang maksimalnya pelaksanaan programprogram yang telah di rencanakan oleh pemerintah daerah. Dengan adanya upaya efisiensi belanja pemerintah daerah sebagai acuan kinerja belanja pemerintahan daerah, malah membuat kurang maksimalnya kerja dari program-program pemerintah. d. Dimungkinkan terdapat pula ketidak sengajaan dalam pemerintah melakukan penghematan, karena ada beberapa pelaksanaan program yang sudah dirancang dan tidak direalisasikan oleh pemerintah. Ketika tidak direalisasikan maka pengeluaran yang seharusnya tidak dipakai dan tidak terjadi pengeluaran. 2. Realisasi anggaran belanja dikatakan tidak efisien / tidak melakukan penghematan anggaran belanja jika realisasi anggaran belanja lebih dari anggaran belanja yang di anggarkan. Hal tersebut tentu di anggap tidak bagus sebagai kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Dikarenakan jika pemerintah terlalu boros dalam mengelola keuangannya. Ketidak efisiensi ada beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, seperti : a. Kesalahan yang dilakukan pemerintah dalam perencanaan penganggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Kesalahan tersebut akan membuat kinerja penganggaran pemerintah memburuk, atau penilaian terhadap kerja dari pemerintah diperiode tersebut yang tidak baik. b. Pengeluaran yang lebih dari yang dianggarkan oleh pemerintah daerah mungkin dikarenakan terdapat keterjadian yang diluar keadaan biasa. Seperti bencana alam atau kejadian kecelakaan terhadap hal-hal tertentu.
38
Dalam penghematan yang dilakukan, tetaplah perlu dilakukan pengawasan dari pihak yang seharusnya mengawasi kinerja pemerintahan yaitu DPRD. Dan permerintah daerah harus mengkaji lebih dalam mengenai efisiensi di pemerintahannya. Dan perlu dipertahankan kedisiplinan anggaran dari masing-masing pemerintahan lagi, bila perlu ditingkatkan.
5. Rasio Belanja terhadap PDRB Rasio belanja terhadap PDRB merupakan merupakan perbandingan antara total belanja daerah dengan PDRB yang dihasilkan daerah. Rasio ini menunjukan produktivitas dan efektivitas dari belanja daerah. Analisis PDRB yang digunakan merupakan data non migas, dikarenakan daerah di Karesidenan Semarang merupakan daerah dengan non migas. Jadi tidak ada PDRB Migas yang disertakan dalam data ini karena besaran PDRB sama. Memilih ADHB dari pada ADHK karena harga konstan merupakan harga yang kurang mewakili dan lebih memilih dengan harga berlaku karena dianggap lebih mewakili keadaan PDRB sebenarnya. Menurut BPS, 2008 menjelaskan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi disuatu wilayah. Perkembangan ekonomi disuatu wilayah yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi menunjukan pertumbuhan produksi barang dan jasa disuatu wilayah perekonomian dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam konsep nilai tambah yang diciptakan oleh sektorsektor ekonomi di wilayah bersangkutan yang secara total. Berdasarkan demikian, dengan PDRB dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja perekonomian suatu wilayah atau sebagai cerminan keberhasilan suatu pemerintahan dalam menggerakan sektorsektor ekonomi (BPS,2008). Daerah dengan kemampuan PDRB yang tinggi berpengaruh terhadap kemampuan keuangan daerah tersebut.
39
Berdasarkan hal tersebut, diharapkan dengan perbandingan total belanja dengan PDRB yang dihasilkan daerah tersebut dapat mengindikasikan produktivitas dan efektivitas dari belanja pemerintahan tersebut. Dan berdasarkan hasil penelitian Asikin (2013) yang menyimpulkan bahwa pada daerah dengan PDRB tinggi memiliki kemampuan keuangan yang baik dan sebaliknya daerah dengan PDRB rendah maka memiliki kemampuan keuangan yang kurang baik. Untuk melihat analisis dari rasio total belanja terhadap PDRB, berikut adalah hasil dari analisis dari rasio tersebut : Tabel 5.1. Hasil Analisis Belanja Terhadap PDRB Daerah LKPD
RASIO BELANJA TERHADAP PDRB ADHB 2009 2010 4% 4% 8% 8% 26% 23% 14% 14% 14% 14% 8% 8% 12% 12%
2008 4% 9% 24% 14% 17% 9% 13%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
2011 4% 8% 23% 17% 16% 9% 13%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Grafik 5.1. Trend Efisiensi Belanja Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang 30% 25%
Kota Semarang 20%
Kab. Semarang Kota Salatiga
15% 13%
12%
10%
13%
12%
13%
Kab. Demak Kab. Grobogan
Kab. Kendal 5%
Average
0%
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) 40
2012 4% 9% 25% 17% 15% 9% 13%
Grafik 5.2. Trend Efisiensi Belanja Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 30% 25%
Kota Semarang 20%
Kab. Semarang Kota Salatiga
15% 13%
12%
10%
13%
12%
13%
Kab. Demak Kab. Grobogan
Kab. Kendal 5%
Average
0%
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) BPS Perwakilan Jawa Tengah Data PDRB se Jawa Tengah 2008-2012
Berdasarkan analisis diatas, dapat dilihat hasil rasio total belanja terhadap PDRB Kota/Kabupaten di Karesidenan Semarang. Dari hasil analisis, Kota Salatiga merupakan daerah dengan rasio total belanja terhadap PDRB yang paling besar di Karesidenan Semarang, dengan rasio dari tahun 2008-2012 lebih dari rata-rata Karesidenan Semarang. Dan Kabupaten Grobogan dan Demak merupakan daerah dengan hasil diatas rata-rata Karesidenan Semarang, tetapi di bawah hasil rasio Kota Salatiga. Kota Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal merupakan daerah dengan rasio dibawah rata-rata Karesidenan Semarang. Hasil diatas menunjukan selisih PDRB dan Belanja daerah, ketika semakin kecil maka akan menunjukan efektivitas dan produktifitas semakin bagus. Dalam hal ini Kota Semarang yang mengalami konsistensi dengan rasio dibawah rata-rata karesidenan Semarang.
41
Hal tersebut serupa dengan tren dari rasio belanja modal terhadap total belanja. Dari hasil diatas yang didapatkan, dapat dianalisis bahwa dari rasio belanja daerah terhadap PDRB di Kota Semarang pada tahun 2008-2012 sebesar 4 persen dari tahun ke tahunnya, hal tersebut menunjukan bahwa produktivitas dan efektivitas belanja daerah cukup baik karena selisih antara pendapatan PDRB dengan belanja daerah yang cukup signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintah Kota Semarang memiliki produktivitas dan efektivitas yang baik. Untuk daerah seperti Kota Salatiga dengan rasio 26 persen pada tahun 2009 merupakan daerah dengan produktivitas dan efektivitas belanja yang buruk, karena selisih antara pendapatan PDRB dengan belanja daerah yang sangatlah besar sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintah Kota Salatiga memiliki produktivitas dan efektivitas yang buruk. Namun pada tahun 2010 dan 2011 di Kota Salatiga mengalami penurunan rasio sebesar 23 persen, hal ini mengakibatkan Kota Salatiga mengalami perbaikan kondisi produktivitas dan efektivitas belanja. Akan tetapi hal tersebut tidaklah begitu merubah kondisi produktivitas dan efektivitas Kota Salatiga dengan rasio yang tetaplah buruk. Berdasarkan analisis tersebut produktivitas dan efektivitas pemerintah daerah se Eks-Karesidenan Semarang mengalami penurunan. Dengan hasil demikian maka belanja yang dikeluarkan akan mempengaruhi seberapa besar dampak yang akan diterima terhadap PDRB daerah tersebut. Karena hasil kerja pemerintah tidak hanya seberapa besar anggaran yang di anggarkan dan direalisasikan, tetapi seberapa besar dampak yang diterima untuk daerah tersebut. (BPS. 2008. PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2007-2011. Semarang).
42
6. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Rasio belanja pegawai tehadap total belanja merupakan perbandingan antara total belanja terhadap belanja pegawai. Rasio ini menggambarkan mengenai seberapa besar penggunaan anggaran belanja terhadap belanja pegawai. Belanja pegawai yang dikeluarkan pemerintah daerah berupa belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan sesuai ketentuan perundangundangan. Berikut merupakan hasil analisis rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah: Tabel 6.1. Hasil Analisis Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Daerah LKPD
RASIO BELANJA PEGAWAI 2009 2010 53% 58% 57% 65% 47% 58% 52% 53% 65% 65% 55% 59% 55% 60%
2008 54% 56% 49% 52% 56% 53% 53%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
2011 55% 59% 61% 52% 62% 55% 57%
2012 59% 57% 56% 49% 62% 60% 57%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Grafik 6.1. Trend Analisis Belanja Pegawai Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang 70% 65%
Kota Semarang 60%
60%
Kab. Semarang 57%
55% 53%
57%
55%
Kota Salatiga Kab. Demak
50%
Kab. Grobogan
Kab. Kendal 45%
Average
40%
2008
2009
2010
2011
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) 43
2012
Grafik 6.2. Trend Belanja Pegawai Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 70% 65%
Kota Semarang 60%
60%
Kab. Semarang 57%
55% 53%
57%
55%
Kota Salatiga Kab. Demak
50%
Kab. Grobogan
Kab. Kendal 45%
Average
40%
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Berdasarkan data diatas, belanja pegawai merupakan belanja dengan proporsi paling besar dari sekian banyaknya akun belanja yang terdapat anggaran belanja. Rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah mencapai lebih dari 45 persen, yang berarti belanja pegawai mencapai lebih dari 45 persen dari total belanja daerah. Pada tahun 2008 di Kabupaten Grobogan rasio belanja pegawai mencapai 56 persen, dan mengalami kenaikan di 2009 dan 2010 dengan 65 persen. Dan berdasarkan hal tersebut, rasio Kabupaten Grobogan berada diatas rata-rata Karesidenan Semarang.
44
Tabel 6.2. Pegawai Negeri Sipil Karesidenan Semarang Menurut Golongan Tahun 2011 Kabupaten Kota Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal
Golongan I
II 257 278 573 335 402 507
III 1635 2630 3643 3180 3507 2732
IV 3054 4647 9776 5385 6561 4594
1139 3635 4642 3337 4733 2820
Jumlah Total 6085 11190 18634 12237 15203 10653
Badan Kepegawaian Negara Yogyakarta, 2011
Rasio belanja Karesidenan Semarang di 2011 Kota Semarang 55 persen, Kabupaten Semarang 59 persen, Kota Salatiga 61 persen, Kab. Demak 52 persen, Kab. Grobogan 62 persen, dan Kab. Kendal 55 persen. Rasio belanja akan dibandingkan dengan jumlah Pegawai Negeri Sipil di karesidenan Semarang. Sedangkan jumlah Pegawai Negeri Sipil 2011 sebagai berikut Kota Semarang 6.085, Kab. Semarang 11.190, Kota Salatiga 18.634, Kab. Demak 12.237, Kab. Grobogan 15.203, dan Kab. Kendal 10.653. berdasarkan analisis diatas, Kota Semarang adalah Kota dengan jumlah PNS yang sedikit dengan hanya 6.085 orang, namun daerah ini memiliki rasio belanja pegawai yang tinggi. Hal ini agak berlawanan dengan apa yang dimiliki Kota Salatiga dan Kab. Grobogan, Kota Salatiga memiliki PNS sebanyak 18.634 orang dengan rasio 61 persen dan Kab. Grobogan dengan PNS sebanyak 15.203 dan rasio sebesar 62 persen. Hal ini kurang wajar dikarenakan Kota Salatiga dan Kab. Grobogan mempunyai rasio yang tinggi masing-masing memiliki rasio 61 persen dan 62 persen. Sebandinng dengan jumlah pegawai yang dimiliki. Naun Kota Semarang dengan pegawai yang relative sedikit namun rasio yang dimiliki cukup besar.
45
Tabel 6.3. Hasil Analisis Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Tahun Anggaran 2011 (dalam Milyar) Daerah LKPD Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal
Belanja Pegawai 1,112,309,887,428 616,807,144,311 278,029,858,532 565,160,672,587 725,217,929,433 609,210,784,331
2011 Realisasi Anggaran Rasio 2,036,582,638,750 1,042,026,783,589 458,618,399,163 1,086,724,995,437 1,173,213,711,868 1,109,885,631,168
55% 59% 61% 52% 62% 55%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Dan jika dilihat berdasarkan nominalnya, Kota Semarang menggunakan Belanja Pegawai dengan sangatlah besar karena dengan jumlah pegawai sebanyak 6.085 orang belanja pegawai yang dikeluarkan pemerintah Kota Semarang mencapai Rp. 1.112.309.887.428,00. Berbanding terbalik dengan Kota Salatiga yang memiliki jumlah PNS mencapai 18.634 orang, tetapi jumlah belanja pegawai mereka hanya mencapai Rp. 278.029.858.532,00. Hal ini bisa menjadi beberapa pertimbangan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Seperti : 1. Perbedaan yang sangat menyimpang ini bisa jadi menjadi sebuah gambaran, gambaran kebutuhan hidup masing-masing daerah tersebut sangatlah berbeda. Sebagai Ibukota Jawa Tengah, Kota Semarang dituntut dengan kemampuannya menangani kebutuhan masyarakat yang sangat besar, jadi kebutuhan hidup pegawai sangat diperhitungkan guna memberi kesejahteraan tersendiri untuk pegawainya. 2. Dan terdapat beberapa faktor kenapa Kota Semarang mengalami kenaikan. Berdasarkan LHP Kota Semarang dari BPK Perwakilan JawaTengah, terdapat belanja tidak langsung yang memungkinkan terjadinya besarnya belanja pegawai : a. Kenaikan gaji pokok (rata-rata 10 persen) b. Pemberian gaji bulan ke-13
46
c. Penyediaan anggaran tunjangan kinerja untuk mendukung reformasi birokrasi d. Pemberian tunjangan untuk Ketua, Wakil Ketua, Anggota DPR e. Pengelolaan jumlah PNS mengacu prinsip zero growth f. Penyediaan anggaran untuk pembayaran hibah kurang bayar tunjangan profesi guru g. Perpindahan jabatan atau kenaikan golongan yang terjadi ditahun tersebut. Apa yang terjadi pada Kota Semarang, mungkin hal serupa terjadi juga pada daerah lain di karesidenan Semarang yang mengalami kenaikan belanja pegawai, atau dominasi belanja pegawai yang memiliki rasio tinggi. Melihat analisis yang sudah dilakukan, perilaku belanja pemerintah daerah se Eks-Karesidenan Semarang terhadap kepentingan publik berdasarkan pelayanan yang dilakukan pemerintah sudah baik. Sebaiknya apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah adalah menekan belanja pegawai agar pegawai yang ada lebih efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya. Dan perlu juga mengurangi jumlah pegawai yang tidak perlu agar terjadinya efisiensi anggaran. Perlu diadakannya pemberian gaji bukan berdasarkan golongan, melainkan berdasarkan prestasi atau kedisiplinan dari pegawai itu sendiri menggunakan alat ukur yaitu indeks prestasi pegawai. sehingga pegawai memperoleh besar kecil gaji berdasarkan indeks prestasi yang dihasilkan. Seperti RUU mengenai sistem kompensasi yang akan di selenggarakan, penggajian yang menganut single salary system.
47
7. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk dan Rasio Belanja Operasi terhadap Jumlah Penduduk a. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk Rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk dan rasio belanja operasi terhadap jumlah penduduk merupakan perbandingan antara jumlah penduduk dengan belanja modal. Rasio ini menggambarkan seberapa besar perhatian pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pembangunan infrastruktur dan seberapa besaran pelayanan yang dimungkinkan didapatkan masyarakat masing-masing daerah. Berikut merupakan hasil analisis dari rasio belanja modal terhadap belanja jumlah penduduk : Tabel 7.a.1. Hasil Analisis Belanja Modal Terhadap Jumlah Penduduk Daerah LKPD Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
RASIO BELANJA MODAL TERHADAP JUMLAH PENDUDUK 2008 2009 2010 2011 102,608.50 126,139.15 124,125.18 179,687.99 180,105.87 98,218.51 82,853.83 171,927.13 708,773.13 825,872.31 526,282.93 447,308.80 108,957.82 146,784.19 121,036.05 221,114.41 136,983.64 72,422.48 64,873.61 113,478.13 122,468.59 114,817.32 149,138.09 220,124.03 226,649.59 230,708.99 178,051.62 225,606.75
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Deskripsi dan Analisis Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan
48
2012 215,871.28 273,049.61 703,771.02 310,632.57 141,939.47 207,898.57 308,860.42
Grafik 7.a.1. Trend Belanja Modal Terhadap Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota se EksKaresidenan Semarang 900,000.00 800,000.00 700,000.00
Kota Semarang
600,000.00
Kab. Semarang
500,000.00
Kota Salatiga
400,000.00
Kab. Demak
300,000.00
Kab. Grobogan
200,000.00
Kab. Kendal
100,000.00
Average
-
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Deskripsi dan Analisis Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan
Grafik 7.a.2. Trend Belanja Modal Terhadap Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota se EksKaresidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 900,000.00 800,000.00 700,000.00
Kota Semarang
600,000.00
Kab. Semarang
500,000.00
Kota Salatiga
400,000.00
Kab. Demak
300,000.00
Kab. Grobogan
200,000.00
Kab. Kendal
100,000.00
Average
-
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Deskripsi dan Analisis Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan
49
Berdasarkan Grafik diatas, grafik belanja modal terhadap jumlah penduduk didaerah Kota Salatiga merupakan daerah yang sangat memperhatikan infrastruktur didaerahnya. Di tiap tahunnya, Kota Salatiga selalu menganggarkan dengan tinggi belanja modalnya. Terbukti di tiap tahunnya selalu menempatkan rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk pada Rp. 400.000,/ orang di daerahnya. Dan dari rasio yang menggambarkan keadaan di daerah Eks Karesidenan Semarang, selain Kota Salatiga merupakan daerah yang kurang memperhatikan infrastruktur daerahnya. Implikasi yang mungkin diakibatkan adalah pemerintah daerah di Eks Karesidenan Semarang dominan kurang memperhatikan infrastruktur yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi didaerah tersebut. Daerah seperti Kota Semarang, Kabuoaten Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Kendal dari tahun ke tahunnya selalu kurang memprioritaskan belanja modal bagi kesejahteraan dan pertumbuhan ekonominya. Berdasarkan data diatas, rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk merupakan gambaran seberapa besar upaya pemerintah dalam membangun infrastruktur dan layanan bagi masyarakat sekitar daerah pemerintahan. b. Rasio Belanja Operasi terhadap Jumlah Penduduk Tabel 7.b.1. Hasil Analisis Belanja Operasi Terhadap Jumlah Penduduk Daerah LKPD Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
RASIO BELANJA OPERASI TERHADAP JUMLAH PENDUDUK 2008 2009 2010 2011 2012 774,356.85 749,418.12 869,305.97 1,017,018.04 1,044,460.89 652,099.08 702,853.84 797,450.18 903,827.78 942,715.36 1,355,294.88 1,547,680.73 1,931,363.99 2,196,260.38 2,367,785.88 558,648.23 569,718.93 661,132.09 768,868.16 795,221.98 513,971.98 512,338.08 572,517.32 704,289.37 755,436.78 671,984.74 699,575.32 859,070.29 1,000,666.52 1,047,665.70 754,392.62 796,930.84 948,473.31 1,098,488.38 1,158,881.10
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Deskripsi dan Analisis Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan
50
Grafik 7.b.1. Trend Belanja Operasi Terhadap Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota se EksKaresidenan Semarang 2,500,000.00
2,000,000.00
Kota Semarang Kab. Semarang
1,500,000.00
Kota Salatiga Kab. Demak
1,000,000.00
Kab. Grobogan
Kab. Kendal
500,000.00
Average -
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Deskripsi dan Analisis Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan
Grafik 7.b.2. Trend Belanja Operasi Terhadap Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota se EksKaresidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 2,500,000.00
2,000,000.00
Kota Semarang Kab. Semarang
1,500,000.00
Kota Salatiga Kab. Demak
1,000,000.00
Kab. Grobogan
Kab. Kendal
500,000.00
Average -
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Deskripsi dan Analisis Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan
51
Dan rasio belanja operasi terhadap jumlah penduduk menggambarkan seberapa besar kemampuan pemerintah dalam melayani masyarakat demi mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka terima. Dari data kedua rasio diatas, besar kecil yang dihasilkan kedua rasio tersebut menggambarkan bagaimana program pemerintah daerah dalam memprioritaskan anggaran belanjanya di tahun tersebut. Rata-rata karesidenan belanja modal terhadap jumlah penduduk lebih kecil dari rata-rata belanja operasi terhadap jumlah penduduk. Jadi rata-rata pemerintah daerah Kota / Kabupaten di karesidenan Semarang memprioritaskan pelayanan terhadap masyarakat di daerah masing-masing. Akan tetapi apa pelayanan yang telah diberikan oleh pemerintahan daerah sudah dapat memberikan kepuasan kepada masyarakatnya.
8. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap Total Belanja Daerah dan Rasio Belanja Hibah terhadap Total Belanja Daerah Dari dua analisis rasio yang ada, belanja bantuan sosial dan belanja hibah merupakan akun belanja yang rawan akan kepentingan-kepentingan pribadi dari para incumbent. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) bekerja sama dengan Universitas Murdoch (Kompas 14/4 2009) mengemukakan bahwa adanya peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial dalam APBD pada saat pelaksanaan pemilukada tahun 2008 di Kabupaten Tabanan (Bali), Kota Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), dan Kota Bandung (Jawa Barat). Penelitian yang dilakukan oleh Ritonga & Alam (2010) mengindikasikan bahwa incumbent memanfaatkan APBD untuk pencalonannya kembali sebagai kepala daerah. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan bahwa Proporsi Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial daerah pemilukada incumbent lebih besar daripada daerah pemilukada non incumbent. Untuk 52
daerah incumbent, proporsi belanja hibah dan belanja bantuan sosial pada saat pemilukada lebih besar disbanding dengan sebelum pemilukada. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2010) menyatakan bahwa terdapat perbedaan alokasi belanja antara kabupaten/kota yang incumbent-nya bermaksud mengikuti kembali pemilukada dengan kabupaten/kota yang incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti kembali pemilukada. Alokasi belanja untuk belanja hibah dan belanja bantuan keuangan kabupaten/kota yang incumbent-nya mengikuti kembali pemilukada lebih besar daripada kabupaten/kota yang incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti kembali pemilukada.
a. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap Total Belanja Daerah Rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah merupakan rasio yang menggambarkan seberapa besar dalam penggunaan Belanja Daerah untuk Belanja Bantuan Sosial. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk bantuan belanja sosial. Belanja Bantuan Sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Belanja bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dimana keduanya menggunakan dana APBD. Sebagai contoh Bantuan Sosial kepada masyarakat lingkungan kumuh, pondok
53
pesantren, bantuan untuk bidang sanitasi, penyediaan akses air bersih, dan sebagainya yang juga dilaksanakan oleh SKPD. Rasio ini hanya dapat menggambarkan seberapa besar proporsi belanja daerah untuk dialokasikan ke belanja bantuan sosial.
Tabel 8.a.1. Hasil Analisis Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah LKPD
2008 7% 1% 3% 16% 3% 3% 5%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
Belanja Hibah Terhadap Total Belanja 2009 2010 2011 6% 6% 5% 1% 1% 1% 3% 2% 1% 17% 6% 7% 2% 3% 2% 5% 4% 1% 5% 4% 3%
2012 0% 1% 0% 1% 1% 1% 1%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Grafik 8.a.1. Trend Belanja Bantuan Sosial Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang 18% 16% 14%
Kota Semarang
12%
Kab. Semarang
10%
Kota Salatiga
8% 6%
Kab. Demak
5%
Kab. Grobogan
5%
4%
4%
Kab. Kendal
3%
2%
Average 1%
0%
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah)
54
Grafik 8.a.2. Trend Belanja Bantuan Sosial Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012 18% 16% 14%
Kota Semarang
12%
Kab. Semarang
10%
Kota Salatiga
8% 6%
Kab. Demak
5%
Kab. Grobogan
5%
4%
4%
Kab. Kendal
3%
2%
Average 1%
0%
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Dari hasil data yang diperoleh, menggambarkan banyaknya belanja bantuan sosial yang digunakan oleh masing-masing pemerintah daerah. Dari semua pemerintah daerah Kota/ Kabupaten di Karesidenan Semarang, beberapa daerah nampak menggunakan belanja bantuan sosialnya dengan sangatlah besar. Dapat dilihat pada daerah Kabupaten Demak, di tahun 2008 mencapai rasio belanja bantuan sosial sebesar 16 persen. Dan pada tahun 2009, Kabupaten Demak meningkat mencapai 17 persen. Hal yang serupa terjadi pada Kota Semarang yang pada 2008 rasio belanja bantuan sosial kota tersebut 7 persen. Hal tersebut terlihat kecil dibandingkan dengan persentase dariKabupaten Demak, namun nominal yang ada sangatlah besar pada kota tersebut. Dan hal yang tidak wajar terjadi pada kota ini, karena jika dilihat dari tahun 2008 dengan rasio 7 persen, dan rasio 6 persen dari tahun 2009-2010, dam menurun pada tahun 2011 dengan 5 persen. Tetapi di 2012, belanja bantuan sosial yang keluar hanya mencapai 0.36 persen, hal tersebut sangat tidak wajar karena dari persentase 5 persen yang nominal belanja bantuan 55
sosialnya Rp. 105 Milyar. Belanja bantuan sosial Kota Semarang dari Rp. 105 Milyar turun menjadi Rp. 7 Milyar sangatlah timpang dan tidak wajar. Kenaikan ataupun penurunan yang terjadi pada rasio ini, bisa terjadi karena berbagai hal. Salah satu faktor kenaikan ataupun penurunan belanja bantuan sosial adalah karena terdapatnya kenaikan kebutuhan dari pemerintah daerah atau bahkan kepala daerah itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian Yuwani (2011) adalah alokasi belanja bantuan sosial pada daerah incumbent pada saat pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) lebih besar daripada sebelum pemilukada. Alokasi belanja bantuan sosial daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada daerah non incumbent. b. Rasio Belanja Hibah terhadap Total Belanja Daerah Rasio Belanja Hibah terhadap Total Belanja Daerah
merupakan rasio yang
menggambarkan seberapa besar penggunaan Belanja Daerah untuk Belanja Hibah. Rasio Belanja Hibah terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Hibah. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Hibah dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio Belanja Hibah maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja Hibah. Belanja Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Hibah kepada pemerintah bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah. Hibah kepada perusahaan daerah bertujuan untuk menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hibah kepada pemerintah daerah Iainnya bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan
56
pemerintahan daerah dan layanan dasar umum. Hibah kepada masyarakat dan organisasi kemasyarakatan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi penyelenggaraan pembangunan daerah atau secara fungsional terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Belanja hibah kepada pemerintah dilaporkan pemerintah daerah kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap akhir Tahun anggaran. Tabel 8.b.1. Hasil Analisis Belanja Hibah Terhadap Total Belanja Tabel 13. RASIO BELANJA HIBAH Daerah LKPD
2008 1% 3% 0% 0% 1% 1% 1%
Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal Average
Belanja Hibah Terhadap Total Belanja 2009 2010 2011 4% 2% 2% 8% 4% 2% 2% 2% 2% 0% 1% 2% 3% 3% 2% 1% 2% 1% 3% 2% 2%
2012 1% 4% 3% 6% 2% 1% 3%
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Grafik 8.b.1. Trend Belanja Hibah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang
Grafik Rasio Belanja Hibah (Times-Series) 9% 8%
7%
Kota Semarang
6%
Kab. Semarang
5%
Kota Salatiga
4%
Kab. Demak
3%
3%
2% 1%
3%
2%
2%
Kab. Kendal
1%
Average
0%
2008
Kab. Grobogan
2009
2010
2011
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah)
57
2012
Grafik 8.b.2. Trend Belanja Hibah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012
Grafik Rasio Belanja Hibah (Cross Sectional) 9% 8% 7%
Kota Semarang
6%
Kab. Semarang
5%
Kota Salatiga
4%
Kab. Demak
3%
3%
2% 1%
3%
2%
2%
Kab. Kendal
1%
Average
0% 2008
Kab. Grobogan
2009
2010
2011
2012
Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah (Diolah) Dari hasil analisis data rasio belanja hibah diatas, dapat dilihat adanya banyak pemerintah daerah yang menggunakan belanja hibah dengan sangat besar. Berdasarkan hasil persentase yang ada, hasil persentase yang terlihat di Kabupaten Semarang dengan nilai rasio tinggi ditahun anggaran 2008 dengan besar persentase 3 persen, dengan persentase rata-rata Eks Karesidenan Semarang sebesar 1 persen. Ditahun anggaran 2009 persentasenya sebesar 8 persen dengan nilai nominal Rp. 62 Milyar, dengan persentase rata-rata Eks Karesidenan Semarang sebesar 3 persen. Dan ditahun anggaran 2010 dengan 4 persen dengan persentase rata-rata Eks Karesidenan Semarang sebesar 2 persen. Dan kenaikan yang melonjak secara tidak biasa dalam tahun ketahunnya terdapat di Kabupaten Demak di tahun anggaran 2012, kenaikan tersebut naik sebesar 4 persen. Kenaikan dari tahun anggaran 2011 dengan hasil analisis sebesar 2 persen menjadi ditahun 2012 dengan hasil sebesar 6 persen. Dengan persentase tersebut, nilai nominal belanja hibah ditahun anggaran 2012 tertinggi di Eks Karesidenan Semarang dengan Rp. 75 Milyar. 58
Kenaikan yang terjadi terhadap beberapa anggaran yang terjadi didaerah dimungkinkan karena pencalonan kembali beberapa kepala daerah di pemilukada. Berdasarkan hasil penelitian Yuwani (2011) adalah alokasi belanja hibah pada daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada sebelum pemilukada. Alokasi belanja hibah daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada daerah non incumbent. Analisis Rasio Keuangan berdasarkan Daerah Kabupaten/Kota Grafik 9.a.1. Trend Rasio Analisis Keuangan Kota Semarang Tahun Anggaran 2008-2012
Kota Semarang 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Varians Belanja Pertumbuhan Belanja Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal Efisiensi Belanja
Rasio PDRB ADHB Rasio Belanja Pegawai Rasio Belanja Hibah 2008
2009
2010
2011
59
2012
Rasio Belanja BanSos
Grafik 9.a.2. Trend Rasio Analisis Keuangan Kota Semarang
Kota Semarang 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Varians Belanja Pertumbuhan Belanja Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal Efisiensi Belanja
Rasio PDRB ADHB Rasio Belanja Pegawai Rasio Belanja Hibah 2008
2009
2010
2011
2012
Rasio Belanja BanSos
Perilaku Pemerintah Kota Semarang dalam mengelola anggaran belanja daerah dapat dilihat pada grafik di atas, Pemerintah Kota Semarang memprioritaskan anggaran belanja ke belanja operasi dari pada belanja modal. Jadi Pemerintah Kota Semarang lebih memfokuskan penggunaan anggaran belanja pada pelayanan publik. Belanja modal dari Pemerintah Kota Semarang masih rendah dibandingkan belanja operasinya, jadi pemerintah lebih mementingkan pelayanan publik dari pada pengembangan infrastrukturnya. Pemerintahan Kota Semarang menggunakan anggaran belanjanya dengan efisien, karena realisasi anggaran yang digunakan lebih rendah dari anggaran belanja. Pertumbuhan belanja Kota Semarang selalu tumbuh dari tahun ke tahunnya, tetapi pertumbuhan yang relatif rendah berada di tahun 2012. Pertumbuhan Kota Semarang di tahun 2011 sebesar 18 persen, pertumbuhan di tahun 2012 sebesar 1 persen. Dengan rasio total belanja terhadap PDRB yang rendah dari tahun ke tahunnya, Kota Semarang merupakan daerah dengan produktifitas dan efektivitas yang baik.
60
Grafik 9.b.1. Trend Rasio Analisis Keuangan Kabupaten Semarang Tahun Anggaran 2008-2012
Kabupaten Semarang 120%
Varians Belanja
100%
Pertumbuhan Belanja
80%
Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal
60%
Efisiensi Belanja 40%
Rasio PDRB ADHB
20%
Rasio Belanja Pegawai Rasio Belanja Hibah
0% -20%
2008
2009
2010
2011
2012
Rasio Belanja BanSos
Grafik 9.b.2. Trend Rasio Analisis Keuangan Kabupaten Semarang
Kabupaten Semarang 120%
Varians Belanja
100%
Pertumbuhan Belanja
80%
Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal
60%
Efisiensi Belanja 40%
Rasio PDRB ADHB
20%
Rasio Belanja Pegawai Rasio Belanja Hibah
0% -20%
2008
2009
2010
2011
2012
Rasio Belanja BanSos
Perilaku belanja Pemerintah Kabupaten Semarang dapat dilihat pada grafik di atas, Pemerintah Kabupaten Semarang memprioritaskan anggaran belanja ke belanja operasi dari pada belanja modal. Jadi Pemerintah Kabupaten Semarang lebih memfokuskan penggunaan anggaran belanja pada pelayanan publik. Belanja modal dari Pemerintah Kabupaten Semarang masih 61
rendah dibandingkan belanja operasinya, jadi pemerintah lebih mementingkan pelayanan publik dari pada pengembangan infrastrukturnya. Pemerintahan Kabupaten Semarang menggunakan anggaran belanjanya dengan efisien, karena realisasi anggaran yang digunakan lebih rendah dari anggaran belanja. Pertumbuhan belanja Kabupaten Semarang tumbuh dari tahun ke tahunnya, tetapi pertumbuhan belanja negatif pada tahun 2009. Produktifitas dan efektivitas Kabupaten Semarang masih rendah karena rata-rata kemampuan produktifitas dan efektivitas 8 persen. Grafik 9.c.1. Trend Rasio Analisis Keuangan Kota Salatiga Tahun Anggaran 2008-2012
Kota Salatiga 100%
Varians Belanja
80%
Pertumbuhan Belanja Rasio Belanja Operasi
60%
Rasio Belanja Modal
40%
Efisiensi Belanja Rasio PDRB ADHB
20%
Rasio Belanja Pegawai Rasio Belanja Hibah
0% 2008
2009
2010
2011
-20%
62
2012
Rasio Belanja BanSos
Grafik 9.c.2 Trend Rasio Analisis Keuangan Kota Salatiga
Kota Salatiga 100%
Varians Belanja
80%
Pertumbuhan Belanja Rasio Belanja Operasi
60%
Rasio Belanja Modal
40%
Efisiensi Belanja Rasio PDRB ADHB
20%
Rasio Belanja Pegawai Rasio Belanja Hibah
0% 2008
2009
2010
2011
2012
-20%
Rasio Belanja BanSos
Perilaku belanja Pemerintah Kota Salatiga terdapat pada grafik di atas, Pemerintah Kabupaten Semarang memprioritaskan anggaran belanja ke belanja operasi dari pada belanja modal. Tetapi Pemerintah Kota Salatiga menempatkan belanja modalnya diatas 15 persen dari tahun ke tahunnya. Jadi Pemerintah Kota Salatiga memfokuskan penggunaan anggaran belanja pada pelayanan publik, dan tetap mengalokasikan belanja modal dianggaran belanjanya untuk meningkatkan
pembangunan
publik
dengan
cara
mengembangkan
infrastrukturnya.
Pemerintahan Kota Salatiga menggunakan anggaran belanjanya dengan efisien, terbukti dengan realisasi anggaran yang digunakan lebih rendah dari anggaran belanja. Pertumbuhan belanja Kota Salatiga tumbuh dari tahun ke tahunnya, tetapi pertumbuhan belanja negatif terjadi pada tahun 2010. Produktifitas dan efektivitas Kota Salatiga tergolong rendah, dengan tingginya angka rasio total belanja pada PDRB yang tinggi dari tahun ke tahunnya.
63
Grafik 9.d.1. Trend Rasio Analisis Keuangan Kabupaten Demak Tahun Anggaran 2008-2012
Kabupaten Demak 120%
Varians Belanja
100%
Pertumbuhan Belanja
80%
Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal
60%
Efisiensi Belanja 40%
Rasio PDRB ADHB Rasio Belanja Pegawai
20%
Rasio Belanja Hibah
0%
2008
2009
2010
2011
2012
Rasio Belanja BanSos
Grafik 9.d.2. Trend Rasio Analisis Keuangan Kabupaten Demak
Kabupaten Demak 120%
Varians Belanja
100%
Pertumbuhan Belanja
80%
Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal
60%
Efisiensi Belanja 40%
Rasio PDRB ADHB Rasio Belanja Pegawai
20%
Rasio Belanja Hibah
0%
2008
2009
2010
2011
2012
Rasio Belanja BanSos
Perilaku belanja Pemerintah Kabupaten Demak dapat dilihat pada grafik di atas, Pemerintah Kabupaten Demak memprioritaskan anggaran belanja ke belanja operasi dari pada belanja modal. Jadi Pemerintah Kabupaten Demak lebih memfokuskan penggunaan anggaran belanja pada pelayanan publik. Belanja modal dari Pemerintah Kabupaten Demak masih rendah 64
dibandingkan belanja operasinya, namun perilaku dari Pemerintahan Kabupaten Demak terhadap belanja modal di tahun 2012 naik menjadi 28 persen. Hal tersebut baik bagi perbaikan infrastruktur di pemerintah Kabupaten Demak. Kabupaten Demak menggunakan anggaran belanjanya dengan efisien, karena realisasi anggaran yang digunakan lebih rendah dari anggaran belanja. Pertumbuhan belanja Kabupaten Demak tumbuh dari tahun ke tahunnya, tetapi pertumbuhan belanja yang tinggi terjadi pada tahun 2011. Produktifitas dan efektivitas Kabupaten Demak masih rendah karena rata-rata kemampuan produktifitas dan efektivitas 15 persen. Grafik 9.e.1. Trend Rasio Analisis Keuangan Kabupaten Grobogan Tahun Anggaran 2008-2012
Kabupaten Grobogan 120%
Varians Belanja
100%
Pertumbuhan Belanja
80%
Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal
60%
Efisiensi Belanja 40%
Rasio PDRB ADHB
20%
Rasio Belanja Pegawai Rasio Belanja Hibah
0%
-20%
2008
2009
2010
2011
65
2012
Rasio Belanja BanSos
Grafik 9.e.2. Trend Rasio Analisis Keuangan Kabupaten Grobogan
Kabupaten Grobogan 120%
Varians Belanja
100%
Pertumbuhan Belanja
80%
Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal
60%
Efisiensi Belanja 40%
Rasio PDRB ADHB
20%
Rasio Belanja Pegawai Rasio Belanja Hibah
0%
-20%
2008
2009
2010
2011
2012
Rasio Belanja BanSos
Perilaku belanja Kabupaten Grobogan dapat dilihat pada grafik di atas, Pemerintah Kabupaten Grobogan memprioritaskan anggaran belanja ke belanja operasi dari pada belanja modal. Jadi Pemerintah Kabupaten Grobogan lebih memfokuskan penggunaan anggaran belanja pada pelayanan publik. Belanja modal dari Pemerintah Kabupaten Grobogan masih rendah dibandingkan belanja operasinya, namun perilaku belanja dari Pemerintahan Kabupaten Grobogan terhadap belanja modal di tahun 2008 sebesar 21 persen. Kembali turun di tahun-tahun berikutnya, dan terjadi perubahan perilaku belanja pemerintah Kabupaten Grobogan dari tahun 2009-2012 dengan turunnya anggaran belanja modal. Kabupaten Grobogan menggunakan anggaran belanjanya dengan efisien, karena realisasi anggaran yang digunakan lebih rendah dari anggaran belanja. Pertumbuhan belanja Kabupaten Grobogan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahunnya, tetapi pertumbuhan belanja yang tinggi terjadi pada tahun 2011 dan terendah pada tahun 2009. Produktifitas dan efektivitas Kabupaten Grobogan masih rendah karena rata-rata dari tahun 2008-2012, kemampuan produktifitas dan efektivitas Kabupaten Grobogan sebesar 15 persen. 66
Grafik 9.f.1. Trend Rasio Analisis Keuangan Kabupaten Kendal Tahun Anggaran 2008-2012
Kabupaten Kendal 120%
Varians Belanja
100%
Pertumbuhan Belanja
80%
Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal
60%
Efisiensi Belanja
40%
Rasio PDRB ADHB Rasio Belanja Pegawai
20%
Rasio Belanja Hibah
0% 2008
2009
2010
2011
2012
Rasio Belanja BanSos
Grafik 9.f.2. Trend Rasio Analisis Keuangan Kabupaten Grobogan
Kabupaten Kendal 120%
Varians Belanja
100%
Pertumbuhan Belanja
80%
Rasio Belanja Operasi Rasio Belanja Modal
60%
Efisiensi Belanja
40%
Rasio PDRB ADHB Rasio Belanja Pegawai
20%
Rasio Belanja Hibah
0% 2008
2009
2010
2011
2012
Rasio Belanja BanSos
Perilaku belanja Kabupaten Kendal dapat dilihat pada grafik di atas, Pemerintah Kabupaten Kendal memprioritaskan anggaran belanja ke belanja operasi dari pada belanja modal. Jadi Pemerintah Kabupaten Kendal lebih memfokuskan penggunaan anggaran belanja pada pelayanan publik. Belanja modal dari Pemerintah Kabupaten Kendal masih rendah 67
dibandingkan belanja operasinya, namun perilaku belanja dari Pemerintahan Kabupaten Kendal terhadap belanja modal di tahun 2011 sebesar 18 persen. Kabupaten Kendal menggunakan anggaran belanjanya dengan efisien, karena realisasi anggaran yang digunakan lebih rendah dari anggaran belanja. Pertumbuhan belanja Kabupaten Kendal mengalami fluktuasi dari tahun ke tahunnya, tetapi pertumbuhan belanja yang tinggi terjadi pada tahun 2011 dan terendah pada tahun 2009. Produktifitas dan efektivitas Kabupaten Kendal masih rendah karena rata-rata dari tahun 2008-2012, kemampuan produktifitas dan efektivitas Kabupaten Kendal sebesar 8 persen.
68
V. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN Hasil analisis dan pembahasan terhadap spending behavior di Eks Karesidenan Semarang, maka kesimpulan yang diambil adalah sebagai berikut : -
Perilaku belanja pemerintah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang lebih memprioritaskan pengelolaan kepentingan publik dalam hal pelayanan. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan rasio belanja operasi terhadap total belanja, rasio pegawai terhadap total belanja, rasio belanja operasi terhadap total penduduk, rasio belanja hibah dan rasio belanja bantuan sosial. Kota Salatiga merupakan daerah dengan rasio belanja operasi terhadap total belanja dan rasio belanja pegawai terhadap total belanja terendah, namun belanja tersebut tidak menjadikan Kota Salatiga menjadi kota dengan pelayanan yang rendah. Karena dari rasio belanja operasi terhadap jumlah penduduk tingkat rasionya Kota Salatiga adalah yang tertinggi. Berdasarkan belanja hibah dan belanja bantuan sosial yang terjadi di EksKaresidenan Semarang, hasil yang didapatkan merupakan hasil yang menunjang kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Rasio tersebut bukan menjadi salah satu faktor penentu tinggi rendahnya pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Tetapi dari rasio alokasi belanja hibah dan alokasi belanja bantuan sosial yang berubah, dipengaruhi oleh adanya pemilukada di daerah tersebut. Daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada sebelum pemilukada. Alokasi belanja hibah dan bantuan sosial daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada daerah non incumbent. (Yuwani, 2011) 69
-
Perilaku belanja pemerintah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang terhadap kepentingan publik dalam hal infrastruktur masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan rasio belanja modal terhadap total belanja, rasio belanja modal terhadap total penduduk. Berdasarkan rasio belanja modal terhadap total belanja dan rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk, rata-rata pemerintah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang kurang memprioritaskan pelayanan publik dalam bentuk infrastruktur. Dibuktikan kebanyakan Kabupaten/Kota Eks-Karesidenan Semarang dominan berada dibawah rata-rata Karesidenan. Namun Kota Salatiga merupakan daerah yang masih mementingkan infrastruktur dalam pelaksanaan kegiatannya. Terbukti dalam rasio belanja modal terhadap total belanja dan rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk berada diatas rata-rata Eks-Karesidenan Semarang.
-
Penggunaan anggaran belanja Pemerintah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang sudah efisien. Efisiensi dapat dilihat berdasarkan rasio varians belanja dan rasio efisiensi belanja. Pemerintah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang dapat mengontrol penggunaan anggarannya dengan baik. Terlihat dari realisasi anggaran belanja pemerintah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang lebih rendah
dibandingkan
dengan
anggaran
belanjanya.
Sehingga
pemerintah
Kabupaten/Kota se Eks Karesidenan Semarang menggunakan anggaran belanja dengan efisien. -
Pertumbuhan belanja di pemerintah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang mengalami pergerakan fluktuatif, dimana dari Kota Salatiga tahun 2008 pertumbuhan belanja mencapai 45 persen, dan kemudian mengalami penurunan di 2009 sebesar 17
70
persen. Tahun 2011 di Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan pertumbuhan belanja mengalami kenaikan mencapai 30 persen. Mengalami penurunan pada tahun 2012 di Kabupaten Demak sebesar 11 persen dan Kabupaten Grobogan sebesar 3 persen. Pertumbuhan belanja dan pertumbuhan ekonomi dapat berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi yang terjadi, salah satunya adalah karena inflasi. Namun inflasi bukan faktor utama pendorong terjadinya pertumbuhan tersebut, melainkan salah satu faktor pendukung pertumbuhan. Dan dimungkinkan ada faktor pendukung lainnya. - Pemerintah Kabupaten/Kota se Eks-Karesidenan Semarang mengalami penurunan produktivitas dan efektivitas. Hal tersebut terjadi karena terjadi disparitas yang tinggi dalam grafik rasio total belanja terhadap PDRB. Kota Salatiga, Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan memiliki produktifitas yang rendah di Eks-Karesidenan Semarang. Dengan melihat besarnya perolehan rasio belanja terhadap PDRB yang berada diatas rata-rata Eks-Karesidenan Semarang. Berdasarkan rata-rata rasio total belanja terhadap PDRB, dapat dilihat bahwa Kota Semarang adalah daerah EksKaresidenan Semarang yang memiliki rasio belanja terhadap PDRB paling produktif dan efektif dengan rata-rata rasio sebesar 8 persen. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan dan diolah mulai dari tahun 2008-2012, sehingga dimungkinkan untuk penelitian selanjutnya dapat meneliti spending behavior pada tahun terbaru dimana data tahun 2013 dari BPK Jawa Tengah dimungkinkan keluar pada tahun 2014. Hasil penelitian hanya terbatas pada analisis varians belanja, analisis pertumbuhan belanja, analisis keserasian belanja (rasio belanja operasi terhadap total belanja dan rasio belanja modal terhadap total belanja), rasio efisiensi belanja, rasio belanja terhadap PDRB, rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah, rasio belanja modal terhadap jumlah
71
penduduk, rasio belanja operasi terhadap jumlah penduduk, serta rasio belanja hibah dan bantuan sosial. Sehingga kesimpulan yang didapat hanya terbatas pada rasio-rasio tersebut, dimana rasio hanya dapat menggambarkan spending behavior di Eks-Karesidenan Semarang. Penelitian mendatang diharapkan dapat memberi informasi lebih mendetail mengenai rasio-rasio tersebut. Penelitian menggunakan analisis diskripsi, kurang bisa memberikan kepastian perilaku yang dilakukan pemerintah daerah Eks-Karesidenan Semarang terhadap anggaran belanjanya. Penelitian mendatang diharapkan dapat memberi informasi lebih mendetail mengenai rasio-rasio tersebut dengan menganalisis penelitian mendatang menggunakan statistik supaya mendapatkan hasil yang lebih robust.
DAFTAR PUSTAKA Aswandi, & Kuncoro. (2002). Evaluasi Penempatan Kawasan Andalan : Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia , 17(1), 27-45. Constantius, A. (2009). Government Spending and Economic Growth : Econometric Evidence from The South Eastern Europe (SEE). Journal of Economic and Social Research , 11(1):116. DJPK (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan), 2011. Deskripsi dan Analisis APBD 2011. www.djpk.depkeu.go.id, diakses 25 Oktober 2013 DJPK (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan), 2012. Deskripsi dan Analisis APBD 2012. www.djpk.depkeu.go.id, diakses 25 Oktober 2013 DJPK (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan), 2013. Deskripsi dan Analisis APBD 2013. www.djpk.depkeu.go.id, diakses 25 Oktober 2013
72
Fatikhah, D. (2012). Kajian Analisis Standar Belanja Pemerintah Kota Batu. Universitas Brawijaya Malang . Harianto, David, Adi, & Hari, P. (2007). Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan per Kapita. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga: SNA X Makasar. Lembaran. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. ________ .Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. ________ .Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Mahmudi. (2010). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. UPP STIM YKPN. Yogyakarta. Pengertian pendapatan PAD. http://sonnylazio.blogspot.com/2012/06/pengertian-dan-sumbersumber-pendapatan.html di akses 06November 2013]. Pengertian sumber-sumber pendapatan PADhttp://www.negarahukum.com/hukum/pendapatanasli-daerah.html di akses 06November 2013]. Munawar, Irianto, G., & Nurkholis. (2006). Pengaruh Karakteristik Tujuan Anggaran Terhadap Perilaku, Sikap, dan Kinerja Aparat Pemerintah Daerah di Kabupaten Kupang. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang: SNA 9 Padang. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 31 ayat (1). Ritonga, Alam, & Handayani. (2009, April 14). Indonesian Corruption Watch. Kompas .
73
Ritonga, Irwan, T., & Mansur, I. A. (2010). Apakah Incumbent Memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Mencalonkan Kembali dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA). Simposium Nasional Akuntansi. Padang. Teori jenis-jenis data analisis. http://teorionline.net/jenis-dan-tipe-data/, di akses 22 November 2013].
Wangi, Citra, A. P., Ritonga, & Irwan, T. (2010). Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Keterlambatan Dalam Penyusunan APBD (Studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong Tahun Anggaran 2008-2010). SNA 13 Purwokerto. Yogyakarta: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Gadjah Mada. Yuwani, I. I. (2009). Analisis Rasio Alokasi Belanja Antara Daerah Incumbent dan Daerah Non Incumbent Sebelum dan Pada Saat PEMILUKADA (Studi Kasus di Indonesia). Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang .
74
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel Analisis Varians Belanja Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 Daerah LKPD Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Grobogan Kab. Kendal
2008 2009 Anggaran Belanja Realisasi Anggaran Varians Anggaran Belanja Realisasi Anggaran Varians 1,506,915,771,455 1,325,301,609,216 181,614,162,239 1,731,100,342,291 1,505,502,336,136 225,598,006,155 838,884,367,511 794,396,380,841 44,487,986,670 826,686,450,000 789,795,015,474 36,891,434,526 482,466,340,530 368,393,972,667 114,072,367,863 485,111,548,463 432,656,545,412 52,455,003,051 747,597,068,023 691,470,037,742 56,127,030,281 777,834,526,500 747,264,037,992 30,570,488,508 949,085,225,898 870,652,060,324 78,433,165,574 830,319,056,053 813,339,696,881 16,979,359,172 792,829,605,412 756,328,308,161 36,501,297,251 842,430,636,555 786,579,282,580 55,851,353,975
2010 2011 Anggaran Belanja Realisasi Anggaran Varians Anggaran Belanja Realisasi Anggaran Varians 1,898,877,510,618 1,732,662,151,376 166,215,359,242 2,260,097,665,000 2,036,582,638,750 223,515,026,250 900,550,185,000 845,505,204,179 55,044,980,821 1,120,626,497,000 1,042,026,783,589 78,599,713,411 472,104,586,200 418,615,915,631 53,488,670,569 518,883,551,889 458,618,399,163 60,265,152,726 911,415,493,000 826,979,926,402 84,435,566,598 1,180,451,767,000 1,086,724,995,437 93,726,771,563 951,743,425,000 902,227,716,016 49,515,708,984 1,240,184,215,721 1,173,213,711,868 66,970,503,853 976,484,321,507 908,133,645,026 68,350,676,481 1,180,653,574,822 1,109,885,631,168 70,767,943,654 2012 Anggaran Belanja Realisasi Anggaran Varians 2,418,386,486,000 2,053,334,797,225 365,051,688,775 1,330,657,904,000 1,215,522,162,545 115,135,741,455 628,860,331,000 551,634,845,320 77,225,485,680 1,302,570,059,000 1,208,566,951,943 94,003,107,057 1,319,679,394,000 1,203,540,602,867 116,138,791,133 1,266,188,689,685 1,163,988,889,310 102,199,800,375
Lampiran 2 Tabel Analisis Pertumbuhan Belanja 25%
Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012
20%
2008 2009 Realisasi Tahun 2008 Realisasi Tahun 2007 Pertumbuhan Belanja Realisasi Tahun 2009 Realisasi Tahun 2008 Pertumbuhan Belanja Kota Semarang 1,325,301,609,216 1,127,846,242,654.00 18% 1,505,502,336,136.00 1,325,301,609,216 14% 5% Kab. Semarang 794,396,380,841 652,250,845,328.00 22% 789,795,015,474.00 794,396,380,841 -1% % Kota0Salatiga 368,393,972,667 253,773,747,814.00 45% 432,656,545,412.00 368,393,972,667 17% 2008 2009 2010 2011 2012 Kab. Demak 691,470,037,742 599,351,741,484.00 15% 747,264,037,992.00 691,470,037,742 8% K 870,652,060,324 o ta S e m a r a n g K ab. Se m arang K o t a S a l a t i g a 20% Kab. Grobogan 723,463,473,813.00 813,339,696,881.00 870,652,060,324 -7% K 756,328,308,161 ab. D e m ak K ab. G robogan K ab. K e ndal Kab. Kendal 631,571,290,800.00 20% 786,579,282,580.00 756,328,308,161 4% ave rage 2010 2011 Realisasi Tahun 2010 Realisasi Tahun 2009 Pertumbuhan Belanja Realisasi Tahun 2011 Realisasi Tahun 2010 Pertumbuhan Belanja 1,732,662,151,376 1,505,502,336,136 15% 2,036,582,638,750 1,732,662,151,376 18% 845,505,204,179 789,795,015,474 7% 1,042,026,783,589 845,505,204,179 23% 418,615,915,631 432,656,545,412 -3% 458,618,399,163 418,615,915,631 10% 826,979,926,402 747,264,037,992 11% 1,086,724,995,437 826,979,926,402 31% 902,227,716,016 813,339,696,881 11% 1,173,213,711,868 902,227,716,016 30% 908,133,645,026 786,579,282,580 15% 1,109,885,631,168 908,133,645,026 22% 2012 Realisasi Tahun 2012 Realisasi Tahun 2011 Pertumbuhan Belanja 2,053,334,797,225 2,036,582,638,750.00 1% 1,215,522,162,545 1,042,026,783,589.00 17% 551,634,845,320 458,618,399,163.00 20% 1,208,566,951,943 1,086,724,995,437.00 11% 1,203,540,602,867 1,173,213,711,868.00 3% 1,163,988,889,310 1,109,885,631,168.00 5% 15% Daerah LKPD 10%
75
Lampiran 3 Tabel Analisis Belanja Operasi Terhadap Total Belanja Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 2008 2009 Belanja Operasi Total Belanja Analisis Belanja Operasi Belanja Operasi Total Belanja Analisis Belanja Operasi Kota Semarang 1,170,235,948,231 1,325,301,609,216 88% 1,288,608,724,328.00 1,505,502,336,136.00 86% Kab. Semarang 594,207,675,588 794,396,380,841 75% 656,265,875,384.00 789,795,015,474.00 83% Kota Salatiga 241,853,726,432 368,393,972,667 66% 282,027,667,986.00 432,656,545,412.00 65% Kab. Demak 577,802,039,971 691,470,037,742 84% 594,178,104,143.00 747,264,037,992.00 80% Kab. Grobogan 686,832,058,005 870,652,060,324 79% 689,545,059,235.00 813,339,696,881.00 85% Kab. Kendal 639,736,862,353 756,328,308,161 85% 675,655,443,480.00 786,579,282,580.00 86% 2010 2011 Belanja Operasi Total Belanja Analisis Belanja Operasi Belanja Operasi Total Belanja Analisis Belanja Operasi 1,516,173,060,279 1,732,662,151,376 88% 1,730,283,309,977 2,036,582,638,750 85% 731,855,915,729 845,505,204,179 87% 843,961,846,185 1,042,026,783,589 81% 328,973,091,955 418,615,915,631 79% 380,076,035,954 458,618,399,163 83% 697,877,148,016 826,979,926,402 84% 816,880,905,661 1,086,724,995,437 75% 809,159,332,529 902,227,716,016 90% 1,001,224,100,346 1,173,213,711,868 85% 773,432,149,232 908,133,645,026 85% 909,138,559,357 1,109,885,631,168 82% Daerah LKPD
2012 Belanja Operasi Total Belanja Analisis Belanja Operasi 1,702,391,874,016 2,053,334,797,225 83% 912,909,531,318 1,215,522,162,545 75% 420,234,638,866 551,634,845,320 76% 867,888,565,140 1,208,566,951,943 72% 1,011,625,790,736 1,203,540,602,867 84% 970,478,926,571 1,163,988,889,310 83%
Lampiran 4 Tabel Analisis Belanja Modal Terhadap Total Belanja Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 2008 2009 Belanja Modal Total Belanja Analisis Belanja Modal Belanja Modal Total Belanja Analisis Belanja Modal Kota Semarang 155,065,660,985 1,325,301,609,216 12% 216,893,611,808.00 1,505,502,336,136.00 14% Kab. Semarang 164,116,606,798 794,396,380,841 21% 91,708,193,078.00 789,795,015,474.00 12% Kota Salatiga 126,481,274,235 368,393,972,667 34% 150,495,407,426.00 432,656,545,412.00 35% Kab. Demak 112,693,548,627 691,470,037,742 16% 153,085,933,849.00 747,264,037,992.00 20% Kab. Grobogan 183,054,245,219 870,652,060,324 21% 97,471,895,670.00 813,339,696,881.00 12% Kab. Kendal 116,591,445,808 756,328,308,161 15% 110,891,483,760.00 786,579,282,580.00 14% 2010 2011 Belanja Modal Total Belanja Analisis Belanja Modal Belanja Modal Total Belanja Analisis Belanja Modal 216,489,091,097 1,732,662,151,376 12% 305,708,572,973 2,036,582,638,750 15% 76,038,688,450 845,505,204,179 9% 160,539,363,035 1,042,026,783,589 15% 89,642,823,676 418,615,915,631 21% 77,409,470,909 458,618,399,163 17% 127,763,109,661 826,979,926,402 15% 234,922,115,885 1,086,724,995,437 22% 91,688,215,123 902,227,716,016 10% 161,321,536,776 1,173,213,711,868 14% 134,270,964,886 908,133,645,026 15% 199,989,941,811 1,109,885,631,168 18% Daerah LKPD
2012 Belanja Modal Total Belanja Analisis Belanja Modal 351,853,782,249 2,053,334,797,225 17% 264,416,603,227 1,215,522,162,545 22% 124,905,280,107 551,634,845,320 23% 339,017,860,052 1,208,566,951,943 28% 190,074,980,581 1,203,540,602,867 16% 192,581,645,739 1,163,988,889,310 17%
76
Lampiran 5 Tabel Analisis Efisiensi Belanja Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 2008 2009 REALISASI BELANJA ANGGARAN BELANJA EFISIENSI BELANJA REALISASI BELANJA ANGGARAN BELANJA EFISIENSI BELANJA Kota Semarang 1,325,301,609,216 1,506,915,771,455 88% 1,505,502,336,136 1,731,100,342,291 87% Kab. Semarang 794,396,380,841 838,884,367,511 95% 789,795,015,474 826,686,450,000 96% Kota Salatiga 368,393,972,667 482,466,340,530 76% 432,656,545,412 485,111,548,463 89% Kab. Demak 691,470,037,742 747,597,068,023 92% 747,264,037,992 777,834,526,500 96% Kab. Grobogan 870,652,060,324 949,085,225,898 92% 813,339,696,881 830,319,056,053 98% Kab. Kendal 756,328,308,161 792,829,605,412 95% 786,579,282,580 842,430,636,555 93% 2010 2011 REALISASI BELANJA ANGGARAN BELANJA EFISIENSI BELANJA REALISASI BELANJA ANGGARAN BELANJA EFISIENSI BELANJA 1,732,662,151,376 1,898,877,510,618 91% 2,036,582,638,750 2,260,097,665,000 90% 845,505,204,179 900,550,185,000 94% 1,042,026,783,589 1,120,626,497,000 93% 418,615,915,631 472,104,586,200 89% 458,618,399,163 518,883,551,889 88% 826,979,926,402 911,415,493,000 91% 1,086,724,995,437 1,180,451,767,000 92% 902,227,716,016 951,743,425,000 95% 1,173,213,711,868 1,240,184,215,721 95% 908,133,645,026 976,484,321,507 93% 1,109,885,631,168 1,180,653,574,822 94% Daerah LKPD
2012 REALISASI BELANJA ANGGARAN BELANJA EFISIENSI BELANJA 2,053,334,797,225 2,418,386,486,000 85% 1,215,522,162,545 1,330,657,904,000 91% 551,634,845,320 628,860,331,000 88% 1,208,566,951,943 1,302,570,059,000 93% 1,203,540,602,867 1,319,679,394,000 91% 1,163,988,889,310 1,266,188,689,685 92%
Lampiran 6.Tabel Analisis Total Belanja Terhadap PDRB Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012
2008 2009 Realisasi Belanja PDRB ADHB(juta) Rasio Realisasi Belanja PDRB ADHB(juta) Rasio Kota Semarang 1,325,301,609,216 34,541,218.97 4% 1,505,502,336,136 38,465,017.28 4% Kab. Semarang 794,396,380,841 9,284,507.64 9% 789,795,015,474 10,069,045.33 8% Kota Salatiga 368,393,972,667 1,541,682.44 24% 432,656,545,412 1,660,786.91 26% Kab. Demak 691,470,037,742 4,931,378.19 14% 747,264,037,992 5,334,222.61 14% Kab. Grobogan 870,652,060,324 5,185,205.33 17% 813,339,696,881 5,764,639.16 14% Kab. Kendal 756,328,308,161 8,675,477.98 9% 786,579,282,580 9,555,940.73 8% 2010 2011 Realisasi Belanja PDRB ADHB(juta) Rasio Realisasi Belanja PDRB ADHB(juta) Rasio 1,732,662,151,376 43,398,190.77 4% 2,036,582,638,750 48,461,410.41 4% 845,505,204,179 11,071,609.32 8% 1,042,026,783,589 12,335,446.51 8% 418,615,915,631 1,849,275.56 23% 458,618,399,163 2,029,266.37 23% 826,979,926,402 5,932,795.43 14% 1,086,724,995,437 6,517,206.95 17% 902,227,716,016 6,499,594.27 14% 1,173,213,711,868 7,141,461.62 16% 908,133,645,026 10,778,561.33 8% 1,109,885,631,168 12,130,057.82 9% Daerah LKPD
2012 Realisasi Belanja PDRB ADHB(juta) Rasio 2,053,334,797,225 54,384,654.53 4% 1,215,522,162,545 13,845,496.17 9% 551,634,845,320 2,239,538.12 25% 1,208,566,951,943 7,168,401.57 17% 1,203,540,602,867 8,045,458.09 15% 1,163,988,889,310 13,431,609.62 9%
77
Lampiran 7 Tabel Analisis Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 2008 2009 Belanja Pegawai Realisasi Anggaran Rasio Belanja Pegawai Realisasi Anggaran Rasio Kota Semarang 713,841,204,263 1,325,301,609,216 54% 804,747,657,952 1,505,502,336,136 53% Kab. Semarang 442,033,933,177 794,396,380,841 56% 449,510,118,477 789,795,015,474 57% Kota Salatiga 181,687,845,024 368,393,972,667 49% 201,556,249,542 432,656,545,412 47% Kab. Demak 360,293,806,373 691,470,037,742 52% 388,724,975,943 747,264,037,992 52% Kab. Grobogan 489,034,341,312 870,652,060,324 56% 529,926,108,121 813,339,696,881 65% Kab. Kendal 401,379,807,907 756,328,308,161 53% 431,591,526,597 786,579,282,580 55% 2010 2011 Belanja Pegawai Realisasi Anggaran Rasio Belanja Pegawai Realisasi Anggaran Rasio 997,070,395,943 1,732,662,151,376 58% 1,112,309,887,428 2,036,582,638,750 55% 553,451,800,350 845,505,204,179 65% 616,807,144,311 1,042,026,783,589 59% 241,205,368,023 418,615,915,631 58% 278,029,858,532 458,618,399,163 61% 441,843,573,194 826,979,926,402 53% 565,160,672,587 1,086,724,995,437 52% 590,338,062,586 902,227,716,016 65% 725,217,929,433 1,173,213,711,868 62% 533,312,205,995 908,133,645,026 59% 609,210,784,331 1,109,885,631,168 55% Daerah LKPD
2012 Belanja Pegawai Realisasi Anggaran Rasio 1,215,248,166,972 2,053,334,797,225 59% 698,331,117,434 1,215,522,162,545 57% 309,315,405,554 551,634,845,320 56% 590,987,384,980 1,208,566,951,943 49% 749,901,302,406 1,203,540,602,867 62% 703,687,498,312 1,163,988,889,310 60%
Lampiran 8 Tabel Analisis Belanja Modal Terhadap Jumlah Penduduk Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 2008 Belanja Modal Jumlah Penduduk Kota Semarang 155,065,660,985 Kab. Semarang 164,116,606,798 Kota Salatiga 126,481,274,235 Kab. Demak 112,693,548,627 Kab. Grobogan 183,054,245,219 Kab. Kendal 116,591,445,808 2010 Belanja Modal Jumlah Penduduk Rasio 216,489,091,097 1,744,119 124,125.18 76,038,688,450 917,745 82,853.83 89,642,823,676 170,332 526,282.93 127,763,109,661 1,055,579 121,036.05 91,688,215,123 1,413,336 64,873.61 134,270,964,886 900,313 149,138.09 2012 Belanja Modal Jumlah Penduduk Rasio 351,853,782,249 1,629,924 215,871.28 264,416,603,227 968,383 273,049.61 124,905,280,107 177,480 703,771.02 339,017,860,052 1,091,379 310,632.57 190,074,980,581 1,339,127 141,939.47 192,581,645,739 926,325 207,898.57 Daerah LKPD
2009 Rasio Belanja Modal Jumlah Penduduk Rasio 1,511,236 102,608.50 216,893,611,808 1,719,479 126,139.15 911,223 180,105.87 91,708,193,078 933,716 98,218.51 178,451 708,773.13 150,495,407,426 182,226 825,872.31 1,034,286 108,957.82 153,085,933,849 1,042,932 146,784.19 1,336,322 136,983.64 97,471,895,670 1,345,879 72,422.48 952,011 122,468.59 110,891,483,760 965,808 114,817.32 2011 Belanja Modal Jumlah Penduduk Rasio 305,708,572,973 1,701,330 179,687.99 160,539,363,035 933,764 171,927.13 77,409,470,909 173,056 447,308.80 234,922,115,885 1,062,446 221,114.41 161,321,536,776 1,421,609 113,478.13 199,989,941,811 908,533 220,124.03
78
Lampiran 9 Tabel Analisis Belanja Operasi Terhadap Jumlah Penduduk Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 2008 2009 Belanja Operasi Jumlah Penduduk Rasio Belanja Operasi Jumlah Penduduk Rasio Kota Semarang 1,170,235,948,231 1,511,236 774,357 1,288,608,724,328 1,719,479 749,418 Kab. Semarang 594,207,675,588 911,223 652,099 656,265,875,384 933,716 702,854 Kota Salatiga 241,853,726,432 178,451 1,355,295 282,027,667,986 182,226 1,547,681 Kab. Demak 577,802,039,971 1,034,286 558,648 594,178,104,143 1,042,932 569,719 Kab. Grobogan 686,832,058,005 1,336,322 513,972 689,545,059,235 1,345,879 512,338 Kab. Kendal 639,736,862,353 952,011 671,985 675,655,443,480 965,808 699,575 2010 2011 Belanja Operasi Jumlah Penduduk Rasio Belanja Operasi Jumlah Penduduk Rasio 1,516,173,060,279 1,744,119 869,306 1,730,283,309,977 1,701,330 1,017,018 731,855,915,729 917,745 797,450 843,961,846,185 933,764 903,828 328,973,091,955 170,332 1,931,364 380,076,035,954 173,056 2,196,260 697,877,148,016 1,055,579 661,132 816,880,905,661 1,062,446 768,868 809,159,332,529 1,413,336 572,517 1,001,224,100,346 1,421,609 704,289 773,432,149,232 900,313 859,070 909,138,559,357 908,533 1,000,667 Daerah LKPD
2012 Belanja Operasi Jumlah Penduduk Rasio 1,702,391,874,016 1,629,924 1,044,461 912,909,531,318 968,383 942,715 420,234,638,866 177,480 2,367,786 867,888,565,140 1,091,379 795,222 1,011,625,790,736 1,339,127 755,437 970,478,926,571 926,325 1,047,666
Lampiran 10 Tabel Analisis Belanja Hibah Terhadap Total Belanja Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 2008 2009 Belanja hibah Realisasi Anggaran Rasio Belanja hibah Realisasi Anggaran Rasio Kota Semarang 8,597,289,160 1,325,301,609,216 1% 56,844,697,538 1,505,502,336,136 Kab. Semarang 20,087,238,125 794,396,380,841 3% 62,128,560,772 789,795,015,474 Kota Salatiga 368,393,972,667 0% 7,890,030,000 432,656,545,412 Kab. Demak 15,000,000 691,470,037,742 0% 2,507,000,000 747,264,037,992 Kab. Grobogan 12,489,000,000 870,652,060,324 1% 22,434,565,000 813,339,696,881 Kab. Kendal 5,272,350,000 756,328,308,161 1% 4,892,905,887 786,579,282,580 2010 2011 Belanja hibah Realisasi Anggaran Rasio Belanja hibah Realisasi Anggaran Rasio 32,681,440,321 1,732,662,151,376 2% 50,113,503,179 2,036,582,638,750 2% 33,720,121,375 845,505,204,179 4% 25,182,164,000 1,042,026,783,589 2% 8,954,166,355 418,615,915,631 2% 10,292,912,725 458,618,399,163 2% 10,502,699,635 826,979,926,402 1% 19,616,976,625 1,086,724,995,437 2% 31,425,159,609 902,227,716,016 3% 26,065,640,186 1,173,213,711,868 2% 15,021,918,701 908,133,645,026 2% 10,355,921,313 1,109,885,631,168 1% Daerah LKPD
2012 Belanja hibah Realisasi Anggaran Rasio 30,708,338,580 2,053,334,797,225 44,445,404,797 1,215,522,162,545 15,823,569,000 551,634,845,320 74,838,180,000 1,208,566,951,943 29,530,353,825 1,203,540,602,867 11,991,595,000 1,163,988,889,310
1% 4% 3% 6% 2% 1%
79
4% 8% 2% 0% 3% 1%
Lampiran 11 Tabel Analisis Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Se Eks-Karesidenan Semarang 2008-2012 2008 2009 Belanja Bantuan Sosial Realisasi Anggaran Rasio Belanja Bantuan Sosial Realisasi Anggaran Rasio Kota Semarang 91,132,593,650 1,325,301,609,216 7% 84,377,223,625 1,505,502,336,136 6% Kab. Semarang 8,649,650,000 794,396,380,841 1% 8,086,482,211 789,795,015,474 1% Kota Salatiga 10,388,207,886 368,393,972,667 3% 11,182,034,047 432,656,545,412 3% Kab. Demak 109,596,021,467 691,470,037,742 16% 126,258,406,555 747,264,037,992 17% Kab. Grobogan 22,519,381,937 870,652,060,324 3% 15,624,735,859 813,339,696,881 2% Kab. Kendal 24,344,811,754 756,328,308,161 3% 37,356,024,663 786,579,282,580 5% 2010 2011 Belanja Bantuan Sosial Realisasi Anggaran Rasio Belanja Bantuan Sosial Realisasi Anggaran Rasio 105,517,732,817 1,732,662,151,376 6% 104,553,067,830 2,036,582,638,750 5% 8,529,457,995 845,505,204,179 1% 13,339,992,645 1,042,026,783,589 1% 8,181,675,864 418,615,915,631 2% 6,825,816,368 458,618,399,163 1% 48,081,950,603 826,979,926,402 6% 74,203,584,183 1,086,724,995,437 7% 28,255,753,480 902,227,716,016 3% 23,609,166,778 1,173,213,711,868 2% 39,295,790,025 908,133,645,026 4% 15,952,090,000 1,109,885,631,168 1% Daerah LKPD
2012 Belanja Bantuan Sosial Realisasi Anggaran Rasio 7,485,436,900 2,053,334,797,225 0.36% 10,660,579,866 1,215,522,162,545 1% 498,856,802 551,634,845,320 0.09% 6,077,041,250 1,208,566,951,943 1% 12,746,595,330 1,203,540,602,867 1% 6,732,083,224 1,163,988,889,310 1%
Lampiran 12 Tabel Inflasi di Jawa Tengah 2008-2012
Tahun Anggaran 2008 2009 2010 2011 2012
Kota Semarang per Desember per Tahun Anggaran -0.42 10.34 0.27 3.19 0.7 7.11 0.38 2.87 0.41 4.85
BPS Provinsi Jawa Tengah No. 01/01/33/th. VII, 02 Januari 2013
80
Jawa Tengah per Desember per Tahun Anggaran -0.04 9.55 0.3 3.32 0.95 6.88 0.37 2.68 0.4 4.24
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap
: MUCHAMAD SHIDQI ADHIATMA
NIM
: 23 2010 109
Alamat Asal
: Krajan 01 Bener, Kec. Tengaran Kab. Semarang, Jawa Tengah.
Judul Kertas Kerja : SPENDING BEHAVIOR PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SE EKS-KARESIDENAN SEMARANG TAHUN ANGGARAN 2008-2012 Riwayat Pendidikan :
- 2010 – 2014
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
- 2007 – 2010
SMA Negeri 2 Salatiga
- 2004 – 2007
SMP Negeri 3 Salatiga
- 1998 – 2004
SD Negeri 01 Karangduren Tengaran
-
1996 – 1998
TK Kemala Bhayangkari Ampel
Pelatihan / Kepanitiaan :
-
Menjadi panitia “Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM 2013) di Universitas Kristen Satya Wacana
-
Menjadi panitia “Social Evening Fushion 2013” di Universitas Kristen Satya Wacana
-
Menjadi anggota Senat Mahasiswa Fakultas Fakultas Ekonomika dan Bisnis 2012/2013 sebagai Sekretaris Bidang.
-
Mengikuti penelitian Bank Indonesia dari CEMSED UKSW sebagai surveyor dalam penelitian Klaster se Jawa Tengah 2012
-
Mengikuti penelitian dari CEMSED UKSW sebagai surveyor dalam pendataan Pajak Daerah, Retribusi dan Tanah Bengkok di Kota Salatiga 2012
-
Panitia dalam Kegiatan Kelompok Studi Akuntansi “National Seminar on Accounting 2011” di Universitas Kristen Satya Wacana
-
Mengikuti penelitian Bank Indonesia dari CEMSED UKSW sebagai surveyor dalam penelitian Klaster se Jawa Tengah 2011
-
Mengikuti penelitian dari CEMSED UKSW sebagai surveyor dalam pendataan jumlah korban bencana alam Erupsi Merapi 2010 di wilayah Boyolali 81