-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
KONTESTASI KEKUASAAN DALAM ARENA PRODUKSI KULTURAL SASTRA MEMPERKUAT BUDAYA INDONESIA Ali Nuke Affandy FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya
[email protected]
Abstract Indonesian literature ield is power of practice space contestation between agencies in ighting various types of modalespecially in symbolic modal which the form is consecration or legitimacy. The Legitimacy obtained becuse the writer’s ability for choosing strategy and the principle of legitimacy. Literature ield is not ix and single, but luid and ambiguous. In this part where the attraction between market interests and art interests for artis happened. One of the principles choice by the author for his work is legitimate. Art is a matter of inspiration, imajenasi and human rights, is a matter of taste, and taste create colors in the literary ield. The born of literature is in luenced by power and the beauty of aesthetic. At this postmodern era, aesthetic harmony can turn into an aesthetic con lict and differences. The tighter power contestation in production of literary culture, the more visible the variants view of different society. Thus, it will enrich and strengthen cultural modal of the Indonesian culture. Keywords: Literature ield, Contestation, Legitimacy, aesthetic con lict
Abstrak Arena sastra Indonesia merupakan ruang praktik kontestasi kekuasaan antara agen-agen dalam memperebutkan berbagai jenis modal terutama modal simbolik yang berupa konsekrasi atau legitimasi. Legitimasi yang diperoleh itu berkat kemampuan penulis dalam memilih strategi dan prinsip legitimasi. Arena sastra tidak bersifat ix dan tunggal, melainkan luid dan mendua. Di sinilah tarik-menarik antara kepentingan pasar dan kepentingan seni untuk seni terjadi. Pilihan salah satu prinsip oleh penulis untuk karyanya adalah sah-sah saja, seni adalah soal inspirasi, imajinasi dan hak asasi, seni itu soal selera, dan selera menciptakan warna-warna dalam arena sastra. Sastra lahir dipengaruhi kekuasaan dan estetika keindahan. Pada era postmodern ini, estetika keselaran bisa berubah menjadi estetika pertentangan atau perbedaan. Semakin ketat kontestasi kekuasaan dalam arena produksi kultural sastra, semakin terlihat varian gambaran masyarakat yang berbeda-beda. Dengan demikian, akan semakin memperkaya modal budaya dan memperkuat budaya Indonesia. Kata Kunci: Arena sastra, kontestasi, legitimasi, estetika pertentangan
Pendahuluan Setiap manusia (agen) hidup dalam satu arena sosial tertentu. Arena sebagai tempat pertarungan memperebutkan modal yang berupa kekuasaan, harta, tahta, jabatan, uang, kehormatan, ketenaran, prestise, simbol budaya, popularitas, dan pengakuan. Perebutan modal itu tidak mudah, karena mereka harus bersaing, saling bergesekan, bertanding dan berjuang memperebutkan makna, tanda dan mengidenti ikasi diri. Sebuah arena sosial sebagai tempat orang bermanuver dan berjuang, dalam mengejar kekuasaan yang didambakan agar berubah menjadi lebih baik. Untuk mencapai hal itu, manusia harus berkompetisi atau melakukan praktik kontestasi kekuasaan. Fenomena sosial perebutan kekuasaan yang berupa modal, baik modal ekonomi, modal sosial, modal budaya bahkan modal simbolik selalu mengitari hidup kita sehari-hari. Kontestasi dipahami sebagai upaya penggambaran adanya persaingan dan perjuangan dalam hubunganhubungan atau interaksi di mana nantinya akan muncul ‘pemenang’ yang tetap bertahan (Foucault, 2000:221). Dalam kontestasi terdapat beberapa pihak dengan kepentingannya masing-masing saling bernegosiasi maupun berkompetisi. Kontestasi ini berlangsung dalam sebuah relasi sosial di dalamnya: saling mendukung, berjuang, bersaing dan menghancurkan (Pradipto, 2007:220). 195
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Seperti arena sosial yang lain, arena seni dan sastra (arena produksi kultural) sebagai ruang perebutan dan pergulatan melibatkan agen-agen dengan masing-masing posisi yang menghuni arena tersebut. Dalam hal ini, agen bisa berarti seniman, kritikus, wartawan, dosen, mahasiswa, penerbit, editor, dan segala yang terlibat dalam arena dengan posisi dan fungsi yang berbeda. Oleh karena itu, yang seharusnya dipikirkan oleh agen (penulis) adalah memaksimalkan modal dan memilih strategi kekuasaan yang akan digunakan pada arena produksi kultural sastra. Bagi sastrawan status quo, arena sebagai kekuatan mempertahankan kekuasaan yang sudah ada, sedangkan bagi penulis pendatang baru harus sadar potensi dan dengan sangat cerdik meracik strategi yang memungkinkan dirinya meraih kekuasaan agar bisa mendapatkan legitimasi sebagai sastrawan. Perburuan atas legitimasi tersebut adalah praktik sastra, praktik kontestasi, suatu praktik yang di dalamnya terakumulasi modal dan strategi tertentu yang berimplikasi pada perubahan struktur arena. Sastra, dan seni pada umumnya, tidak lagi dipahami sekadar wilayah artistik, melainkan juga politik, yang mekanismenya pun tidak jauh berbeda dengan politik pemerintahan. Jika dalam politik pemerintahan pencapaian tertinggi adalah siapa yang menjalankan amanat konstitusi, maka dalam sastra pencapaian itu adalah siapa yang berhak meraih legitimasi dan konsekrasi (pengakuan). Status atau legitimasi ‘kesastrawanan’ seorang penulis menjadi hal krusial sebab melalui de inisi itulah seorang penulis mendapatkan konsekrasi atau derajat pengakuan yang memberinya peluang untuk meraih posisi tertentu di arena sastra tersebut. Dalam bahasa Bourdieu (2011: 193), hal tersebut disebutnya sebagai “tiket masuk yang sifatnya kurang lebih absolut.” Sosiolog-seni asal Perancis itu menyebutkan bahwa menjadi sastrawan merupakan proses kompleks yang terjadi dalam lingkup tertentu yang ia sebut sebagai arena. Seseorang yang menulis dan mempublikasikan puisi tidak secara otomatis menjadi sastrawan, karena status ‘sastrawan’ sesungguhnya diberikan oleh pihak-pihak tertentu yang ada dalam arena sastra. Arena sastra, ujar Bourdieu (2010: 22), adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan di mana yang dipertaruhkan adalah kekuasaan untuk mengimposisi atau memaksakan de inisi dominan tentang tentang penulis sebagai taruhan utama dalam pergulatan sastra adalah monopoli legitimasi sastra. Hal itu secara konkret ditunjukkan oleh pergulatan antara penulis muda dan penulis senior yang sudah terkonsekrasi. Penulis muda relatif belum memiliki legitimasi dan sedang berusaha memburu legitimasi. Di saat yang sama, penulis senior berusaha mempertahankan legitimasi dan posisi yang ia miliki dalam arena tersebut. Bourdieu (2010: 35) mengklasi ikasikan legitimasi dalam arena sastra menjadi tiga jenis legitimasi yakni: (1) legitimasi spesi ik, yaitu pengakuan yang diberikan oleh sekelompok seniman kepada seniman lain—legitimasi yang setara dengan seni untuk seni,yang otonom dan cukup-diri; (2) legitimasi borjuis; legitimasi yang berkesesuaian dengan selera borjuis yang diberikan fraksi-fraksi dominan dalam kelas dominan atau alat-alat (institusi) negara;(3) legitimasi populer, yaitu konsekrasi yang diberikan oleh pilihan-pilihan konsumen umum atau audien-massal. Ketiga prinsip legitimasi di atas sekaligus menunjukkan posisi serta relasi arena sastra dengan arena lainnya. Arena sastra memiliki struktur dan tingkat otonomi tertentu yang ditunjukkan dengan agen-agen yang memberikan legitimit spesi ik, namun di saat yang sama, intervensi kaum borjuis pada legitimasi-borjuis yang merepresentasikan pengaruh dari arena kekuasaan; serta legitimasi-populer dari audiens massal yang mengarah pada ruang sosial dalam arti seluas-luasnya, menunjukkan sifat ‘mendua’ yang dikandung arena sastra. Kontestasi dalam Arena Sastra Indonesia Membincang kontestasi tak bisa dilepaskan dari adanya pengecaman terhadap buku (baca karya sastra) sama halnya dengan berbicara tentang kontroversi. Sebuah kontroversi 196
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
menoleransi munculnya dua sisi penilaian, hitam dan putih. Bergantung dari terminal pemikiran mana ia mengapresiasinya. Arena sastra tidak bersifat ix dan tunggal, melainkan luid dan mendua. Di sinilah tarik-menarik antara kepentingan pasar dan kepentingan seni-untuk-seni terjadi. Bourdieu (2010: 17) menjelaskan prinsip legitimasi dan situasi ‘kemenduaan’ arena sastra tersebut melalui apa yang disebut prinsip hierarki heteronom, yakni pengakuan yang didasarkan pada kesuksesan sebagaimana dapat diukur dari indeks-indeks angka penjualan, yang mendudukkan penulis pada posisi subjek yang patuh pada hukum yang berlaku di arena kekuasaan dan ekonomi. Dalam arena ini, prestasi seorang penulis bukan pada seartistik apa karya yang dibuat, melainkan selaris apa karya sastra itu diserap oleh pasar. Tetralogi LaskarPelangi, novel ‘Islami’ Ayat-ayat Cinta, atau bacaan gaul Dea Lova, misalnya, berada dalam subarena ini. Pada saat yang sama, arena sastra juga memiliki prinsip hierarki otonom yakni derajat konsekrasi spesi ik (prestise kesusasteraan atau artistik) yakni derajat pengakuan yang diterima oleh mereka yang mengakui tidak ada lagi kriteria yang legitimasi dan otonominya didasarkan dari hukum-hukum pasar. Prinsip yang berlaku adalah prinsip sastra untuk sastra: sejauh mana karya yang dihasilkan menawarkan kebaruan atau setidaknya upaya pembaruan gagasan dan estetika dalam sastra. Novel Hubbu atau Cala Ibi, puisi-puisi Gunawan Muhammad dan Sutardji, mungkin penjualannya tak selaris karya-karya di atas, namun mereka yang tersebut terakhir inilah yang disebut sastrawan, bukan lagi penulis novel atau penulis puisi. Pilihan salah satu prinsip oleh penulis untuk karyanya tentu saja tidak salah, seni adalah soal inspirasi, imajinasi dan hak asasi, seni itu soal selera, dan selera menciptakan warna hingga tampil aliran-aliran dalam khazanah dalam dunia seniman. Hal ini pulalah yang menjadikan arena sastra Indonesia semakin menarik untuk diikuti. Pro dan kontra selalu ada, sebagai contoh, penulis-penulis yang sealiran Ayu Utami seperti Clara Ng, Dinar Ayu, hingga Djenar Mahesa Ayu tetap berada pada pendirian mereka bahwa tak ada pagar dalam seni. Hal ini berbenturan dengan pemahaman Tau ik Ismail, Gola Gong, hingga Saut Situmorang bahwa moral harus juga dikedepankan dalam setiap tulisan (http://regional.kompasiana.com/2010/08/03/ayuutami-jogja-dan-selembar-kisah-yang tersisa-213881.html). Kecaman Tau iq Ismail terhadap maraknya karya sastra yang ia sebut beraliran SMS (Sastra Mazhab Selangkangan) yang dipunggawai Hudan Hidayat, Ayu Utami, dan kawan-kawan, tentu tak akan pernah sealur dengan optik penilaian yang dipakai para penentangnya. Selama ini unsur SARA (suku, agama, dan ras), moral, pendidikan, dan seksualitas masih menjadi barometer guna mengukur responsibilitas kaum pembaca buku. Harus tertanam kehatihatian agar penulis tak tergelincir untuk mempermainkan zona yang dianggap berbahaya, semisal batas-batas akidah dengan mengumbar imajinasi liarnya, terkadang ada yang perlu dikeluarkan dan ada pula yang perlu untuk ditahan terlebih dahulu. walaupun pada akhirnya kembali pada hak asasi penulis itu sendiri. Selalu saja ada hikmah dari setiap pertentangan dan kontroversi, kontroversi justru menjadi iklan gratis bagi penulis maupun karyanya, yang memancing rasa penasaran khalayak ramai. Lihat saja novel Saman yang sempat memicu kontroversi berhasil menembus angka penjualan lebih dari 55.000 eksemplar, ini tentu sebuah cerita cukup fantastis untuk karya sastra “berat” dari seorang penulis pemula. Kontestasi antara Sastra dan Kekuasaan Dalam perjalanan kesusastraan di Indonesia, kehadiran wawasan estetika karya sastra yang berkembang tidak bisa dilepaskan dari peran pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas sastra, memiliki kekuasaan pada produksi cultural sastra. Kritikus sastra H.B. Jassin, sejak awal perjalanan kesusastraan Indonesia menjadi acuan pembaptisan layak/tidaknya kesastrawanan dan kebernilaisastraan suatu karya sastra sampai-sampai beliau dijuluki Paus Sastra Indonesia. Pada perjalanan berikutnya, sejumlah media yang diredakturi sastrawan-sastrawan ternama, seperti antara lain majalah sastra Horison menjadi acuan berikutnya. 197
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Seorang pengarang baru akan merasa dan diakui kesastrawanannya jika karyanya berhasil menerobos media tersebut dengan dimuatnya karya itu. Seiring dengan peran media massa berupa surat kabar yang banyak membuka ruang untuk sastra, maka otoritas dan kekuasaan pun beralih pada media-media tersebut, terutama pada media yang memiliki bona iditas tersendiri, baik dalam kualitas karya sastra yang dimuat, maupun pemberian honorariumnya. Rubrik budaya/sastra di harian umum Kompas, baik yang terbit setiap Minggu, maupun setiap bulan lewat lembaran Bentara sempat menjadi target para sastrawan dalam publikasi karyakaryanya. Ada semacam prestis tersendiri jika dapat dimuat di media itu. Hal ini terjadi, selain karena sistem seleksinya yang lumayan ketat, juga karena setiap tahun Kompas memberi penghargaan terhadap karya-karya cerpen terbaik. Selain berupa media, otoritas pun dipegang oleh lembaga-lembaga yang kerap menyelenggarakan even-even sastra, antara lain DKJ. Di luar lembaga pemerintah, Komunitas Utan Kayu, dengan sejumlah perannya, baik dengan penerbitan jurnal, maupun penyelenggaraan even-even sastra yang berskala internasional, turut menjadi alasan pengarang Indonesia. Seolah ada perasaan merasa sah sebagai sastrawan apabila pernah diundang komunitas ini, atau karyanya dimuat dalam jurnal mereka. Lembaga-lembaga yang dianggap sebagai pemegang otoritas sastra itu tentu saja hadir dengan sejumlah kriteria estetikanya, yang hal ini akan berpengaruh pada perkembangan sastra secara umum. Ada estetika yang diusung oleh otoritas tertentu yang didasarkan atau menjadi acuan bagi para pengarang yang ingin diakui pemegang otoritas tersebut. Dengan kriteria estetika yang dikuasai oleh pihak tersebut, maka komunitas sastra pun akan berdasar pada kriteria estetika yang diusung oleh pihak tersebut. Inilah yang kemudian oleh Saut Situmorang (2007: 385) disebut politik kanon sastra. Bahkan, dalam pandangan Saut, Komunitas Utan Kayu paling serius berambisi untuk mendominasi dunia sastra Indonesia. Berkaitan dengan karya sastra-karya sastra para pengarang perempuan yang mengupas seksualitas dan tubuh, banyak pihak menilai bahwa merebaknya karya-karya demikian, tidak lepas dari politik kanoni sastra yang dilakukan komunitas ini. Di antara sekian banyak realitas itu, terbukti bahwa politik dan kekuasaan termasuk unsur yang banyak mewarnai karya sastra. Sastra seperti menyatu dengan dua aspek tersebut. Setidak-tidaknya, keadaan seperti itu dialami oleh khazanah sastra Indonesia yang bertumbuh dalam berbagai dinamika sosial politik. Sejarah sastra di Indonesia sangat dekat dengan sejarah politik. Pada masa Orde Baru, para penggiat sastra Indonesia berada dalam berbagai tekanan politis yang ditandai dengan “pemasungan kreativitas’ para penulis, tetapi justru memunculkan beragam “karya perlawanan”. Bahkan setiap zaman memiliki “penguasa” dengan ideologi sendiri-sendiri yang ikut berpengaruh terhadap kehidupan kesusastraan Indonesia. Seorang pengarang atau penulis sastra dalam melakukan perlawanan terhadap kekuasaan itu juga bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan pula di arena sosialnya sendiri. Perjuangan pada arena sosial kepengarangan itu untuk memperebutkan berbagai modal juga. Modal yang diperebutkan itu bisa berupa modal ekonomi, modal budaya, modal sosial atau terutama modal simbolik, karena penulis atau sastrawan umumnya lebih mengejar pengakuan kekuasaan mikro (legitimet). Kontestasi Estetika Keselarasan dengan Perbedaan Era globalisasi ini, estetika kembali menjadi bahan kupasan yang luas sebagai bagian dari kajian ilsafat nilai. Hal ini karena penampakannya semakin terasa dan sejalan pula dengan fenomena sosial yang tengah dihadapi berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Tumbuhnya subkultur baru dan spirit multikulturalisme menjadikan runtuhnya sekat-sekat dalam wacana estetika, karena tidak ada lagi Timur-Barat, atas bawah, lokal-global, pusat pinggiran. Semua hal itu masuk dalam percaturan posmodernisme. (Sachari, 2002 : 8-9).
198
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Posmodernisme di era globalisasi ini tidak dapat dihindarkan karena teknologi komunikasi dan informasi telah lebih dahulu memasuki pranata kebudayaan masyarakat (Indonesia). Meskipun demikian posmodernime dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomenafenomena yang berkembang di masyarakat, seperti estetika posmodernisme yang dijadikan wahana estetis bagi posmodernisme itu sendiri. Namun tidak dapat dihindarkan adanya politik yang akan mempengaruhi pemikiran estetika ini. Wellbery (1985: 235) menjelaskan bahwa eksperimentasi estetika posmodernisme memiliki dimensi politik yang tidak dapat direduksi. Dimensi politik itu berkaitan erat dengan kritik dominasi. Pertentangan ini tidak hanya terjadi pada persoalan sastra dan kekuasaan, tetapi juga pada konsep estetika atau keindahan dalam karya sastra yang semakin kabur. Konsep estetika yang semula berkaitan dengan moral, etika, ilsafat dan religi tergoyahkan. Estetika semacam ini merupakan estetika keselarasan. Namun, estetika itu telah tergantikan dengan estetika pertentangan yang merupakan estetika yang berkeyakinan bahwa ketegangan dan kebaruan merupakan sifat dasar atau cirinya. Dengan kalimat lain, bobot karya sastra diukur dari kemampuan menimbulkan ketegangan dan kebaruan (Saryono, 2006: 3). Aspek estetika itu terletak pada keseimbangan antarunsur di dalam sebuah karya, dengan ketentuan bahwa keseimbangan itu bukanlah statis, tetapi dinamis. Ratna (2007: 141) mengutip Capta (2002) menjelaskan Bertalanffy pernah mengatakan bahwa keseimbangan dinamis merupakan keseimbangan yang mengalir. Secara de initif keseimbangan yang mengalir dicirikan oleh adanya aliran dan perubahan secara terus menerus. Estetika pertentangan dalam sastra Indonesia sampai pada taraf hegemoni yang memarginalkan estetika lain yang muncul sebagai tandingannya dan begitulah terus menerus. Apabila perkembangan karya sastra itu mengalami perubahan, maka konsep estetika juga berubah, terus berdinamika. Gothe (Darma, 1995: 188-189) mengatakan bahwa konsep estetika (keindahan) itu adalah abstrak. Konsep ini tidak dapat berkomunikasi, bahkan dengan penciptanya, sebelum penciptanya memberikan bentuk. Karena itu, ia berkali-kali menekankan bahwa meskipun seni itu ekspresif, akan tetapi seni tidak mungkin menjadi ekspresi jika tidak formatif. Jadi keindahan hanyalah sebuah konsep yang baru berkomunikasi setelah mempunyai bentuk (Darma, 1995: 179; Hartoko, 1986: 135). Akan tetapi, bentuk itu harus dapat diinterpretasikan dan memiliki makna (Fokema dan Elrud, 1998: 53). Estetika posmodernisme merupakan estetika yang menggambarkan ketidakuniversalan nilai estetis itu sendiri. Hal ini terjadi karena sebenarnya estetika itu sifatnya sangatlah individual. Estetika posmodernisme ini merupakan perkembangan dari estetika modernism yang selalu menilai secara universal suatu objek. Hal inilah yang membedakan karya posmodernisme (kontemporer) dengan karya modernism, sebagaimana yang dikatakan Barret (2000: 41), “modernism mendukung universal, sedangkan posmodernisme mengidenti ikasi perbedaan”. Simpulan Tak ada alasan untuk menyalahkan satu jenis dan prinsip karya sastra karena setiap karya adalah hasil hasil perjuangan kreatif penulisnya. Pilihan selera penulisan adalah sebuah praktik kontestasi di arena produksi kultural sastra. Kontestasi untuk mendapatkan pengakuan atau legitimasi, baik legitimasi spesi ik, borjuis ataupun popular sebagai strategi yang dipilih seorang penulis. Tujuan penulisan karya sastra bisa mendasarkan pada prinsip hierarki heteronom atau otonom, karena pada era globalisasi postmodern ini penilaian karya sastra tidak hanya dipengaruhi hubungan sastra dan kekuasaan tetapi ditentukan juga oleh estetika pertentangan (perbedaan).
199
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Daftar Pustaka Barret, Terry. 2000. Criticizing Art: Understanding The Contemporary. Mountain View, California 94041: My ield Publising Company. Bourdieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural Production: Essays on Art and Leissure, New York: Columbia University Press. Bourdieu, Pierre. 2006. Distinction, A Sosial Critique of the Judgement of Taste, New York: Routledge, hlm. 114. Bourdie, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. (penerjemah Yudi Santoso). Jogyakarta: Kreasi Wacana. Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Foucault, Michel. 2000. Seks dan Kekuasaan (diindonesiakan oleh Rahayu S. Hidayat). Jakarta: Gramedia. Pradipto, Yosef Dedy. 2004. “Pendidikan dan Negara sebagai Konstelasi Kekuasaan; Studi Kasus SDKE Mangunan Sebagai Fenomena Pendidikan Alternatif di Indonesia” Ringkasan Disertasi Program Pascasarjana Antropologi FISIP UI, Depok (tidak dipublikasikan). Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: pustaka Pelajar. Sachari, Agus. 2002. Estetika: Makna, Simbol dan Daya. Bandung: ITB. Saryono, Djoko. 2006. Pergulatan Estetika Sastra di Indonesia. Malang: Pustaka Kayutangan Situmorang, Saut. 2009. Politik Sastra. Yogyakarta: Sic. Wellbery, David E. 1985. “Posmodernisme in Europe on Recent German Writing” dalam Stanley, Trachtenberg. The Posmodern Moment: A Handbook of Contemporary Innovation in The Arts. Westport, Corn: Greenwood Press
200