Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
KONTEKS HADIS (ANTARA ASBĀB AL-WURŪD DAN SĪRAH NABAWIYAH) Ahmad Musya iq Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Abstrak Salah satu alasan pentingnya memperhatikan konteks dalam mamahami hadis adalah agar terhindar dari pemahaman yang tidak proporsional. Karena pemahaman hadis yang tidak proporsional dapat mengakibatkan munculnya masalah-masalah yang merugikan kemanusiaan dan kebangsaan. Konteks hadis umumnya dikaitkan dengan asbāb al-wurūd. Tetapi asbāb alwurūd dengan kedua jenisnya sama-sama mengandung kelemahan. Di satu sisi, asbāb al-wurūd al-khaṣṣah terlalu sedikit jumlahnya dibanding dengan banyaknya hadis yang membutuhkan penjelasan mengenai konteksnya. Di sisi lain, asbāb al-wurūd al-‘āmmah terlalu luas, sehingga menyulitkan upaya untuk mengaitkan antara satu hadis dengan peristiwa tertentu sebagai konteksnya. Tulisan ini menawarkan Sīrah Nabawiyah sebagai konteks selain asbāb alwurūd karena beberapa alasan. Antara lain, pertama, dibanding asbāb al-wurūd al-khaṣṣah, sirah nabawiyah menyediakan data yang lebih banyak tentang konteks. Kedua, dibanding asbāb alwurūd al-‘āmmah, sirah nabawiyah lebih jelas dan lebih valid. Kata kunci: asbāb al-wurūd al-khaṣṣah, asbāb al-wurūd al-‘āmmah, Sīrah Nabawiyah, konteks sosio-historis
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
269
Ahmad Musyafiq
A. Pendahuluan Salah satu alasan pentingnya memperhatikan konteks dalam mamahami hadis adalah untuk menghindari pemahaman yang tidak proporsional. Karena pemahaman yang tidak proporsional ini dapat mengakibatkan munculnya masalah-masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Misalnya hadis tentang perintah Nabi Muhammad saw. untuk memperbanyak anak, sebab beliau kelak di akherat akan membanggakan banyaknya jumlah umat. Bila hadis ini dipahami tanpa memperhatikan konteksnya, bisa saja muncul masalah demogra i, termasuk lahirnya generasi yang tidak berkualitas. Karena dengan pemahaman seperti itu, seseorang hanya berpikir tentang banyaknya anak, tanpa memikirkan kemampuan mendidik mereka sebagaimana mestinya. Contoh lainnya adalah hadis tentang perintah merubah kemungkaran. Bila dipahami tanpa memperhatikan konteksnya, maka bisa saja muncul masalah, antara lain tindakan merubah kemungkaran oleh pihak-pihak tertentu tanpa berkoordinasi dengan aparat, bahkan mungkin dengan cara yang destruktif. Ujung hadis yang menilai lemah respon batin semata, menambah semangat orang untuk merubah kemungkaran dengan tangan. Ketika membicarakan konteks hadis, maka umumnya yang segera muncul dalam benak adalah asbāb al-wurūd. Lebih-lebih asbāb al-wurūd telah menjadi disiplin ilmu tersendiri, sebagai salah satu cabang dari ulumul hadis. Tetapi asbāb al-wurūd dengan kedua jenisnya sama-sama mengandung kelemahan. Asbāb al-wurūd alkhaṣṣah terlalu sedikit jumlahnya dibanding dengan banyaknya hadis yang membutuhkan penjelasan mengenai konteksnya. Akibatnya banyak hadis yang tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang konteksnya. Apalagi bila dicermati, banyak riwayat dari asbāb alwurūd itu yang ternyata tidak mengandung informasi yang dibutuhkan, melainkan sekadar tambahan informasi teknis. Sedang asbāb al-wurūd al-‘āmmah terlalu luas. Luas bukan hanya dalam pengertian kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Data itu tidak hanya merentang dari masa sebelum dan sesudah beliau, tetapi juga meliputi wilayah-wilayah di sekitar Arab. Selain itu, tidak ada indikator yang jelas untuk mengaitkan antara suau hadis dengan peristiwa tertentu. 270
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
Tulisan ini menawarkan Sīrah Nabawiyah sebagai konteks selain asbāb al-wurūd karena beberapa alasan. Antara lain, pertama, dibanding asbāb al-wurūd al-khaṣṣah, Sīrah Nabawiyah menyediakan data yang lebih banyak tentang konteks. Banyaknya data tentang konteks yang termuat di dalam Sīrah Nabawiyah dapat dikatakan sejajar dengan jumlah hadis. Hal ini bisa dibuktikan melalui jumlah koleksi Sīrah Nabawiyah yang tidak jauh berbeda dengan jumlah koleksi Hadis Nabawi. Kedua, dibanding asbāb al-wurūd al-‘āmmah, Sīrah Nabawiyah lebih jelas dan lebih valid. Kejelasannya antara lain didukung oleh adanya indikator yang cukup kuat untuk mengaitkan antara suatu hadis dengan peristiwa tertentu. Apalagi koleksi-koleksi Sīrah Nabawiyah awal tidak jarang menyertakan hadis pada peristiwaperistiwa tertentu. Sedang validitasnya bisa dilihat pada persyaratan kesahihan yang relatif ketat, meski tidak seketat kesahihan hadis. Tawaran menjadikan Sīrah Nabawiyah sebagai konteks ini dibatasi pada aspek argumentasi. Yakni membuktikan pentingnya Sīrah Nabawiyah sebagai konteks selain asbāb al-wurūd dengan membandingkan antara keduanya. B. Sekilas tentang Asbāb al-wurūd Kadang-kadang asbāb al-wurūd disingkat dengan asbāb alwurūd saja. Karena pengertiannya secara otomatis merujuk kepada Hadis. Bahkan kata al-wurūd ini digunakan sebagai pembeda antara latar belakang turunnya al-Qur’an dan latar belakang munculnya Hadis. Bahkan kadang-kadang juga disebut asbāb Ḥadīs saja.1 Menurut al-Ḥusainı̄2, Asbāb al-wurūd sama dengan Asbāb Nuzūl al-Qur’an. Dengan demikian, untuk mendapatkan gambaran mengenai de inisi Asbāb al-wurūd, dapat dirujuk de inisi Asbāb Nuzūl al-Qur’an. Selain de inisi yang dianalogkan dengan Asbāb al-Nuzūl, terdapat de inisi yang dikaitkan dengan fungsinya. Dalam hal ini, Ismā ‘ı̄l Aḥ mad,3 mengemukakan bahwa asbāb al-wurūd adalah sesuatu yang 1
al-Khatib, al-Kifayah i al-Ilmi ar-Riwayah, (Beirut: Dar al-Kutub, 1986), h.
290. Ibnu Hamzah al-Husainı̄ al-Dimasyqı̄, al-Bayān wa al-Ta‘rīf ī Asbāb Wurūd al-Hadīṡ, juz ke-1, (Beirū t: Dā r al-Fikr, 1982), h. 32 3 Mus ir ‘Azmullā h ad-Damı̄nı̄, Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah, (Riyā ḍ : Jā mi‘ah Muhammad bin Sa‘ū d, 1984), h. 11 2
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
271
Ahmad Musyafiq
menjadi cara untuk membatasi maksud suatu hadis, baik umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, nasakh dan lain-lain. Yang dimaksud sesuatu dalam de inisi ini mengacu pada tiga bentuk asbāb al-wurūd, yakni ayat al-Qur’an, Hadis atau peristiwa yang terkait dengan para sahabat. 1. Tujuan dan manfaat Berdasarkan de inisi fungsional di atas, dapat dikemukakan bahwa tujuan dan manfaat utama dari asbāb al-wurūd adalah membatasi dan menentukan maksud dari suatu hadis. Menurut Ismā ‘ı̄l Aḥ mad,4 pembatasan dan penentuan itu terwujud ke dalam beberapa hal: Pertama, men-takhṡīṡ al-‘Āmm. Misalnya hadis yang berbunyi:
صلاة القاعد نصف صلاةالقائم
“Salat orang yang duduk (pahalanya) adalah separoh dari salat orang yang berdiri.”
Hadis ini memiliki makna umum dan merujuk kepada semua orang yang salat sambil duduk. Tetapi dengan memperhatikan sabab wurūd-nya, tampak jelas bahwa yang dimaksud bukanlah semua orang yang salat sambil duduk, melainkan khusus orang yang mampu salat sambil berdiri, tetapi memilih untuk salat sambil duduk. Kedua, men-taqyīd al-Mutlaq. Misalnya sabda Nabi Muhammad saw:
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له ٔاجره ومثل ٔاجورهم من غير ٔان ينقص من ٔاجورهم ومن سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل ٔاوزارهم من غير ٔان.شيئا .ينقص من ٔاوزارهم شيئا
Siapa yang mentradisikan ‘sunnah’ yang baik yang dilakukan oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan sebanyak pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa mentradisikan ‘sunnah’ yang buruk, lalu dilakukan oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan dosanya dan sebanyak dosa mereka tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
Kata ‘sunnah’ itu meskipun telah diberi keterangan baik dan buruk, tetap berlaku mutlaq, mencakup sunnah yang memiliki dasar 4
272
Mus ir ‘Azmullā h ad-Damı̄nı̄, Maqāyīs Naqd…, h. 11-17
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
dari agama dan yang tidak. Sabab wurūd-nya membatasi pengertiannya hanya sunnah yang memiliki dasar dari agama. Ketiga, men-tafṡīl al-Mujmal. Misalnya hadis yang di-takhrīj oleh al-Bukhā rı̄ dan Muslim dari Anas, ia berkata:
ٔامر بلال ٔان يشفع الأذان ويوتر ال ٕاقامة
“Bilāl diperintahkan untuk menggenapkan azān dan mengganjilkan iqāmah.”
Makna hadis ini jelas tidak sesuai dengan pemahaman yang telah dipegang teguh oleh Jumhū r Ulama untuk membaca takbir sebanyak empat kali dan membaca iqamah dua kali. Tetapi dengan memperhatikan sabab wurūd-nya, hilanglah kemujmalan hadis tersebut, sehingga tidak ada pertentangan dengan pemahaman yang telah dipegang teguh oleh Jumhū r Ulama. Keempat, membatasi masalah nasakh dan menentukan nāsikh dan mansūkh. Misalnya Hadis:
ٔافطر الحاجم والمحجوم
“Yang membekam dan yang dibekam sama-sama batal puasa.”
Dan hadis: “Nabi saw berbekam dan beliau sedang berpuasa.”
احتجم النبي وهو صائم
Serta hadis: “Tidak batal puasa orang yang muntah, orang yang mimpi basah dan orang yang berbekam”. Ketiga hadis tersebut tempak jelas menunjukkan adanya nasakh. Tetapi masalahnya, mana yang Nāsikh dan mana yang Mansūkh? Ada Ulama yang berpendapat bahwa hadis yang pertamalah yang me-nasakh. Pendapat ini diambil dari ‘Alı̄ bin al-Madı̄nı̄, dan diikuti oleh Imā m Aḥ mad, Isḥ ā q dan Ibn al-Munzir.5 Ada juga Ulama yang mengatakan bahwa yang me-nasakh adalah yang kedua. Ini adalah pendapat al-Syā i‘ı̄6 dan Ibnu Ḥazm.7 Sabab wurūd-nya menunjukkan tidak adanya nasakh pada ketiga hadis tersebut. Kelima, menjelaskan ‘Illah hukum. Misalnya hadis yang berisi larangan Nabi Muhammad saw terhadap minum dari mulut wadah air8. Ibnu Qudā mah, al-Mugnī, jld. Ke-3, h. 103 Muhammad bin Idris asy-Sya i’i, al-Umm, (Beirut: Dâ r al-Ma‘rifah, 1393), juz ke- 2, h. 83 7 al-Ihkā m, jld. Ke-3, h. 224 8 Yang dimaksud wadah air di sini adalah wadah air yang umumnya terbuat 5 6
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
273
Ahmad Musyafiq
Sabab wurūd-nya adalah ada seseorang yang minum dari mulut wadah air, lalu merasa sakit perutnya. Sehingga Rasulullah saw melarang minum dari mulut wadah air.9 Keenam, menjelaskan ke-musykil-an Hadis. Misalnya sabda Nabi Muhammad saw:
من حوسب عذب يوم القيامة
“Siapa yang didetailkan hisabnya pada hari kiamat nanti pasti akan diazab”.10
Sabab wurūd-nya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘A’isyah ra, bahwa ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang dihisab pada hari kiamat kelak pasti akan diazab.” Lalu aku bertanya: “Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla ber irman: “Kelak ia akan dihisab dengan hisab yang mudah.” Lalu beliau menjawab: “Itu bukan hisab, melainkan dilihat sepintas. Siapa yang didetailkan hisabnya pasti akan diazab.” 2. Kelemahan Kelemahan yang dimaksud di sini adalah kelemahan menggunakan asbāb al-wurūd saja sebagai konteks historis hadis. Dalam hal ini, kelemahan utama terletak pada keterbatasan jumlahnya. Sejauh yang dikemukakan oleh para Ulama, jumlah kitab tentang asbāb al-wurūd ini tidak banyak. Dari empat kitab tentang asbāb al-wurūd, praktis hanya dua yang masih bisa dibaca sampai sekarang, yaitu al-Luma‘ karya alSuyū tı̄ dan al-Bayān wa al-Ta‘rīf karya al-Ḥusainı̄. Berdasarkan taḥqīq yang dilakukan oleh Ismā ‘ı̄l Aḥ mad, diketahui bahwa jumlah hadis yang dikemukakan oleh al-Luma‘ hanya Sembilan puluh delapan hadis. Bila jumlah itu digabung dengan hadis-hadis yang menjadi asbāb alwurūd, maka jumlahnya hanya dua ratus tiga puluh tiga hadis. Jumlah ini menunjukkan bahwa sebagian besar hadis memiliki sabab wurūd lebih dari satu, yang dalam konsep ‘Ulū m al-Qur’an dikenal dengan
dari kulit binatang yang ditaruh di luar, sehingga dimungkinkan ada serangga berbahaya yang masuk ke dalamnya atau bersembunyi di bagian dalam mulut wadah tersebut. 9 al-Suyū ṭı,̄ Asbāb Wurūd al-Hadīṡ Au al-Luma‘ ī Asbāb al-Hadīṡ, (Beirū t: Dā r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984), h. 211-212 10 Muhammad bin Ismail al-Bukhā rı̄, Shahih al-Bukhārī, (Beirut: Dā r al-Kutub, 1995), juz ke-1, h. 37
274
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
istilah ta‘addud al-riwāyah ī sabab al-nuzūl.11 Dalam hal ini istilahya menjadi ta‘addud al-riwāyah ī sabab al-wurūd. Sedang al-Bayān wa al-Ta‘rīf terdiri atas tiga jilid, dimana jilid pertama memuat lima ratus empat puluh sembilan hadis, jilid kedua memuat enam ratus sembilan belas hadis dan jilid ketiga memuat enam ratus enam puluh dua hadis. Sehingga total seluruhnya adalah seribu delapan ratus tiga puluh dua hadis. Bila jumlah ini ditambahkan dengan jumlah hadis yang termuat di dalam al-Luma‘, maka jumlah keseluruhan baru mencapai sekitar dua ribu enam puluh lima buah hadis. Jumlah ini tentu sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah hadis secara keseluruhan yang mencapai puluhan ribu. 3. Asbāb al-wurūd al-‘Āmmah Berdasarkan kelemahan dari asbāb al-wurūd di atas, maka ada yang berusaha mengembangkan konsep asbāb al-wurūd. Yaitu bahwa asbāb al-wurūd sebagaimana yang telah dikemukakan di atas dipahami sebagai asbāb al-wurūd al-khaṣṣah (mikro), yakni asbāb alwurūd yang khusus. Disebut khusus karena antara hadis dan sabab wurūd-nya sudah ditentukan riwayat-riwayatnya dan jumlahnya yang sangat terbatas. Dengan penyebutan asbāb al-wurūd al-khaṣṣah itu, maka ditawarkan apa yang disebut sebagai asbāb al-wurūd al-‘āmmah (makro). Menurut Sa‘id Agil Munawar dan Abdul Mustaqim asbāb alwurūd al-‘āmmah adalah situasi dan kondisi secara umum dalam konteks apa dan kapan serta dimana Nabi saw menyampaikan sabdanya. Ini penting karena dimaksudkan sebagai solusi ketika suatu hadis tidak ditemukan sabab wurūd-nya yang khusus. Sebagai contoh adalah hadis-hadis tentang larangan menggambar, membuat patung, wanita menjadi pemimpin, wanita pergi sendirian tanpa mahram, dan lain-lain.12 Berdasarkan rumusan tersebut di atas, dapat dikemukakan tujuan dan manfaat dari asbāb al-wurūd al-‘āmmah adalah sebagai solusi ketika suatu hadis tidak ditemukan sabab wurūd-nya yang Manna’ al-Qattā n, Mabāhiṡ ī Ulūm al-Hadīs, (Riyad: Dā r al-Kutub, 1973),
11
h. 78 Munawar, Said Agil dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual: Asbabul Wurud,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 2339 12
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
275
Ahmad Musyafiq
khusus, sehingga semua hadis yang memerlukan penjelasan mengenai konteks sosio-historisnya dapat dipenuhi. Dengan diketahuinya konteks suatu hadis, maka pemahaman dan pengamalan terhadap hadis yang bersangkutan bisa lebih tepat, lebih apresiatif dan lebih akomodatif terhadap perubahan zaman dengan tidak mengabaikan unsur (meminjam konsep Fazlur Rahman) ratio legis-nya. Implementasi dari penggunaan asbāb al-wurūd al-‘āmmah setidaknya bisa dilakukan melalui dua hal. Pertama, melalui pengembangan berbagai pendekatan yang didasarkan pada ilmuilmu sosial. Kedua, melalui pengembangan yang didasarkan pada ada tidaknya isyarat dari hadis yang bersangkutan. Terkait dengan pengembangan berbagai pendekatan yang didasarkan pada ilmu-ilmu sosial, Syuhudi Ismail menawarkan pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendekatan historis.13 Sementara Sa‘id Agil Munawar dan Abdul Mustaqim hanya menawarkan tiga bentuk, yaitu historis, sosiologis dan antropologis.14 Tentu jumlah itu bisa berkembang, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Pemilihan pendekatan mana yang paling tepat digunakan sangat terkait dengan materi hadis yang sedang dikaji. Selanjutnya, berkenaan dengan ada tidaknya isyarat dari hadis, asbāb al-wurūd al-‘āmmah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asbāb yang dikembangkan dari isyarat yang ada pada hadis atau asbāb alwurūd-nya dan asbāb al-wurūd yang dikembangkan dari qarinah yang ada pada hadis. Pertama, Asbāb al-wurūd al-‘āmmah Berdasarkan Isyarat Hadis atau Asbāb al-wurūd al-khaṣṣah. Misalnya hadis tentang perintah mencukur kumis dan memanjangkan jenggot. Diriwayatkan dari ‘Abdullā h bin Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Cukurlah kumis dan panjangkan jenggot.”15 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 128 14 Munawar, Said Agil dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis …, h. 23-39 15 Menurut penelusuran yang dilakukan oleh Isma‘il Ahmad (1984: 207208), hadis ini ada pada Sahih Muslim Kitab al-Taharah Bab Khisal al-Fitrah (I/542) dan al-Tirmizi Abwab al-Isti’zan wa al-Adab bab Ma Ja’a i I‘fa’ al-Lihyah. Al-Tirmizi berkata: Hadis ini sahih (IV/187). Hadis ini juga ditakhrij oleh al-Nasa’i pada Kitab 13
276
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
Ada tiga riwayat berkenaan dengan sabab al-wurūd dari hadis tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh al-Suyutı̄.16 Pertama, Ibnu al-Najjā r mentakhrı̄j sebuah riwayat di dalam Tārikh-nya dari Ibnu ‘Abbā s, ia berkata: Datang kepada Rasulullah saw utusan dari daerah non-Arab (al-‘ajam) yang mencukur jenggot dan membiarkan panjang kumis mereka. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Berbedalah dengan mereka, cukurlah kumis dan panjangkan jenggot.” Kedua, Ibnu Sa‘d mentakhrı̄j sebuah riwayat dari ‘Ubaidillā h bin ‘Abdullā h, ia berkata: Seorang Majusi yang telah memanjangkan kumisnya dan mencukur jenggotnya datang kepada Rasulullah saw. Lalu beliau bertanya kepadanya: “Siapa yang memerintahkanmu seperti itu?” Ia menjawab: “Tuhanku.” Beliau bersabda: “Tetapi Tuhanku memerintahkanku untuk memanjangkan jenggotku dan mencukur kumisku.” Ketiga, Abū al-Qasim bin Bisyr di dalam Amā lı̄-nya mentakhrı̄j sebuah riwayat dari Abū Hurairah ra, ia berkata: “Datang kepada Rasulullah saw seorang Majusi yang telah mencukur jenggotnya dan memanjangkan kumisnya. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Celaka engkau, siapa yang memerintahkanmu seperti itu?” Ia menjawab: Yang memerintahkanku adalah Tuan Kisra. Beliau bersabda: “Tetapi Tuhanku ‘Azza wa Jalla memerintahkanku agar memanjangkan jenggotku dan mencukur kumisku.” Berdasarkan ketiga riwayat tersebut, maka dapat diketahui bahwa tujuan Nabi Muhammad saw adalah agar para pengikut beliau memiliki penampilan yang berbeda dengan tamu beliau yang Majusi dan merupakan utusan dari Kisra tersebut. Selain itu juga tampak bahwa secara psikologis Nabi Muhammad saw berada dalam keadaan memberi respon terhadap sikap tamu beliau itu yang membanggakan penampilannya di hadapan beliau. Namun demikian, masih ada beberapa hal yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, yang tidak dikemukakan melalui asbāb alwurūd tersebut. Misalnya, mengapa Nabi Muhammad saw sedemikian jengkel kepada tamunya yang berpenampilan memanjangkan kumis al-Taharah Bab Ihfa’ al-Syarib wa I‘fa’ al-Liha (I/19), Ahmad (II/16, 356, 365, 366) dari Abu Hurairah, Abu Dawud Kitab al-Tarajjul Bab i Akhz al-Lihyah (II/402). Juga ditakhrij oleh Imam al-Bukhari Kitab al-Libas Bab Taqlim al-Aza ir. Imam Ahmad juga mentakhrijnya (II/52) dari Ibnu ‘Umar. 16 Al-Suyuti, Asbāb Wurūd …1984, h. 208 Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
277
Ahmad Musyafiq
dan mencukur jenggot? Apakah beliau mengurusi aspek-aspek yang bersifat aksesoris? Padahal pada kesempatan lain beliau pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk kalian dan tidak akan melihat postur tubuh kalian, tetapi Allah akan melihat hati kalian.” Sangat mungkin ada faktor tertentu yang membuat beliau jengkel seperti itu dan meminta kepada para sahabat untuk berpenampilan berbeda dengan tamu tersebut. Sebab terhadap kaum ka ir Quraisy Nabi Muhammad saw, sejauh riwayat yang diketahui, tidak pernah meminta kepada sahabat agar berbeda dengan mereka dalam masalah yang bersifat sangat aksesoris seperti ini. Selain itu, perlu dicari pula, bila memungkinkan, informasi mengenai trend penampilan kumis dan jenggot saat itu, apakah menjadi bagian dari identitas pengikut Nabi Muhammad saw atau tidak. Lebih mungkin bila identitas yang hendak dibangun oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabat identitas yang lebih bersifat substantif. Kedua, Asbāb al-wurūd al-‘āmmah berdasarkan Qarı̄nah Hadis adalah adanya ketidaksejalan antara makna tekstual dari hadis yang bersangkutan dengan prinsip-prinsip ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw sendiri. Terhadap gejala seperti ini, para Ulama telah mengembangkan cabang ilmu tersendiri, misalnya Ilmu Mukhtalif alḥadīs dan Ilmu Musykil al-ḥadīs. Selain memanfaatkan cabang-cabang ilmu yang telah dikembangkan oleh Ulama, dapat juga diterapkan pula konsep asbāb al-wurūd al-‘āmmah, sehingga suatu hadis dapat dipahami secara lebih komprehensif. 4. Problematika dan Kelemahan Asbāb al-wurūd al-‘āmmah Di samping ada hal-hal positif dari munculnya konsep asbāb al-wurūd al-‘āmmah ada juga sejumlah problem. Salah satunya adalah sulitnya memperoleh data historis yang relevan dengan hadis yang bersangkutan. Sebab sejauh ini, data tentang sejarah Nabi Muhammad saw dan sejarah masa Nabi Muhammad terdokumentasi secara terpisah dari data tentang hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Karena itu, mengaitkan suatu peristiwa kesejarahan dengan hadis tertentu tanpa dukungan data tertulis mengenai keterkaitan antara keduanya, mengandung unsur tebakan (spekulasi), apropriasi dan 278
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
rekonstruksi imajinatif mengenai gagasan yang hendak dipahami dan diungkapkan.17 Berdasarkan problem yang telah dikemukakan di atas, tampak ada tiga kelemahan asbāb al-wurūd al-‘āmmah ini. Pertama, dominasi sifat rekonstruktif. Penggunaan asbāb al-wurūd al-‘āmmah dalam prakteknya mengandung sejumlah unsur rekonstruktif, yaitu pada aspek mengaitkan antara suatu hadis dengan situasi sosio-historis masa Nabi Muhammad saw dan sekitarnya, dan penyusunan situasi sosio-historis itu agar sejalan dengan makna substantif yang hendak dicari dari hadis yang bersangkutan. Kedua, tingginya unsur subyektif yang merupakan bagian dari sifat sejarah. Menurut Kuntowijoyo18, salah satu kaidah penjelasan sejarah adalah multi-interpretable. Bahwa ilmu sejarah yang dipahami sebagai menafsirkan, memahami dan mengerti cukup menunjukkan adanya subyekti isme dan relati isme dalam penjelasan sejarah. Ketiga, adanya kesan bahwa seakan-akan semua hadis harus dicarikan asbāb al-wurūd-nya atau konteksnya. Padahal tidak semua hadis bisa, apalagi harus dicarikan konteksnya, misalnya hadis-hadis yang terkait dengan akidah dan ibadah yang bersifat prinsipil (al-uṡūl). Karena kedua bagian tersebut tidak terkait dengan ruang dan waktu.19 C. Sekilas Tentang Sirah Nabawiyah Menurut al-Zuḥ ailı̄, seperti dikutip oleh Badri Yatim, Sīrah adalah ilmu yang mempelajari kehidupan Nabi Muhammad saw, kepribadiannya, sifat-sifatnya, tingkah lakunya, metode yang digunakannya dalam berdakwah, bertablig dan mendidik.20 Menurut Azyumardi Azra, format Sīrah yang umumnya ditulis oleh para historiografer muslim klasik seperti al-Zuhrı̄ (w 125 H) adalah dimulai dengan a) informasi tentang masa pra-Islam sejauh relevan dengan kehidupan Nabi Muhammad saw; b) penguraian tentang aspek-aspek penting periode Makkah dalam kehidupan Nabi Muhammad saw dan hijrahnya ke Madinah; c) pembahasan tentang eskpedisi militer, penaklukan Makkah, beberapa utusan yang dikirim Suryadi, Ilmu Jarh wa Ta’dil, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 98 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 16-
17 18
17 Muhammad Zuhri, Ilmu Hadis, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 62-63 Badri Yatim, Historiogra i Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 197
19 20
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
279
Ahmad Musyafiq
dan delegasi yang datang kepadanya, hingga uraian tentang sakit dan wafatnya.21 Sebagaimana istilah Hadis, istilah Sīrah juga memiliki sejumlah kata sinonim (murādifāt). Kata-kata lain yang semakna (murādif) jumlahnya banyak, di antaranya al-syamā’il, al-magāzī, al-dalā’il, alḥayāt, al-manāqib, al-maulid dan al-ayyām. Semuanya menunjukkan makna biogra i Baginda Nabi Muhammad saw. Hanya saja dalam perkembangannya, masing-masing memiliki makna dasar dan tekanan yang berbeda. Dalam sejarahnya, perkembangan Sīrah Nabawiyah dapat dikelompokkan ke dalam tiga fase. 5. Fase Sīrah Nabawiyah Masih Menyatu dengan Hadis Nabawi22 Fase ini dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw sampai masa berdirinya Sīrah Nabawiyah sebagai ilmu tersendiri, yakni pada masa Ibnu Isḥ ā q. Penyatuan antara Sīrah Nabawiyah dan Hadis Nabawi di masa awal ini bisa dibuktikan melalui tiga hal. Pertama, melalui de inisi Hadis Nabawi yang masih menyertakan unsur Sīrah Nabawiyah, yakni de inisi yang dikemukakan oleh para muḥaddis. Menurut mereka Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrīr, sifat isik dan non isik, atau Sīrah baik sebelum bi‘ṡah seperti taḥannuṡ beliau di Gua Ḥirā ’ maupun sesudahnya.23 Kedua, masih adanya tema-tema Sīrah Nabawiyah dalam koleksi-koleksi Hadis dan sebaliknya, adanya materi-materi Hadis dalam koleksi-koleksi Sīrah Nabawiyah. Sebagai contoh, kitab Hadis yang paling awal yang sampai ke generasi sekarang, yaitu Muwatta’ Mālik (w. 179 H), menyebut sejumlah Hadis yang terkait dengan Sīrah Nabi Muhammad saw, sifat-sifat dan nama-nama beliau serta hal-hal yang terkait dengan jihad. S{aḥ ı̄ḥ al-Bukhā rı̄ (w. 265 H) menyebutkan sejumlah besar Hadis tentang kehidupan Nabi Muhammad saw sebelum dan sesudah diutus, di samping menyebut al-magāzī, hal-hal yang Azyumardi Azra, Historiogra i Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 34 22 Dalam fase ini tidak digunakan ungkapan “Sirah menjadi bagian Hadis”, untuk menghindari kesan subordinasi Hadis Nabawi atas Sīrah Nabawiyah karena keduanya pada awalnya memang benar-benar setara. 23 al-Khatı̄b Al-Baghdadi, Taqyīd al-Ilmi, ditahqiq oleh Yusuf al-’Isy, (Damaskus: t.tp., 1949), h. 19. 21
280
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
terkait dengan karakteristik beliau, keutamaan-keutamaan beliau dan keutamaan-keutamaan para sahabat beliau. Semua itu tidak kurang dari sepuluh kitab (seperti kitab al-jihā d, kitab al-magāzī, kitab alfaḍ ā ’il dan lain-lain). Demikian pula Sahı̄ḥ Muslim (w. 261 H), memuat sebagian besar Sīrah Nabi Muhammad saw, keutamaan-keutamaan beliau, keutamaan para sahabat dan jihad. Imam Aḥ mad (w. 241 H) juga melakukan hal yang sama di dalam Musnad-nya, demikian pula Abū Dā wū d, al-Nasā ’ı̄ dan Ibnu Mā jah, kitab-kitab mereka tidak lepas dari uraian mengenai jihad yang merupakan bagian dari materi Sīrah Nabawiyah. Semua itu menunjukkan hubungan yang sangat erat antara Hadis Nabawi dan Sīrah Nabawiyah, yakni Sīrah Nabawiyah menjadi bagian dari Hadis Nabawi. Ketiga, tokoh-tokoh penulis Sīrah juga merupakan tokohtokok penulis Hadis, seperti ‘Abdullā h bin ‘Abbā s, ‘Urwah bin al-Zubair, Abbā n bin ‘Usmā n dan yang paling terkenal adalah Muslim bin Syihā b al-Zuhrı̄. Tokoh yang terakhir ini di samping dikenal sebagai tokoh yang mula-mula mengkodi ikasikan Hadis atas perintah Khalı̄fah ‘Umar bin ‘Abdul Azı̄z juga dikenal sebagai peletak dasar sistematika Sīrah Nabawiyah. Tokoh-tokoh yang menulis Sīrah pada fase ini ada yang hidup pada abad pertama dan ada yang hidup sampai paroh pertama abad kedua Hijrah. Yang hidup pada abad pertama Hijrah di antaranya adalah ‘Abdullā h bin ‘Abbā s ra (w. 78 H), Sa‘ı̄d bin Sa‘d bin ‘Ubā dah al-Khazrajı̄ orang tua Syurahbil bin Sa‘ı̄d, Sahal bin Abı̄ Khaiṡ amah al-Madanı̄ al-Anṣ ārı̄ (lahir tahun 3 H dan wafat pada masa Mu‘ā wiyah), ‘Urwah bin al-Zubair bin al-‘Awwā m (w. 92/94 H), Sa‘ı̄d bin al-Musayyab alMakhzū mı̄ (w. 94 H), Abbā n bin ‘Usmā n bin ‘Affā n (wafat antara tahun 86-105 H), Abū Faḍ ā lah ‘Abdullā h bin Ka‘b bin Mā lik al-Anṣ ārı̄ (w. 97 H). Sedang yang hidup sampai abad kedua Hijrah di antaranya adalah al-Qā sim bin Muḥ ammad bin Abū Bakar al-Ṣ iddı̄q (w. 107), Wahb bin Munabbih (w. 114 H), Syurahbı̄l bin Sa‘ı̄d (w. 123 H), Muḥ ammad bin Syihā b al-Zuhrı̄ (w. 123 H), ‘Abdullā h bin Abı̄ Bakar bin Ḥazm (w. antara 130-135 H) dan Abū Rauḥ Yazı̄d bin Rummā n al-Asadı̄ (w. 130 H).24 Badri Yatim menyebut mereka sebagai generasi awal penulis Mahdı̄ Rizqullā h Ahmad, al-Sīrah al-Nabawiyyah ī Ḍau’ al-Maṣādīr alAṣliyyah: Dirāsah Tahlīliyyah, (Riyā ḍ : Markaz al-Mā lik Faiṣ al li al-Buhū ṡ wa al-Dirā sā t al-Islā miyyah, 1992), h. 20-21. 24
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
281
Ahmad Musyafiq
Sīrah Nabawiyah masa peralihan dari Hadis ke Sīrah.25 Walaupun istilah peralihan perlu diperjelas, karena yang terjadi bukan peralihan melainkan pembedaan. Karena mereka yang menulis Sīrah juga masih tetap menulis Hadis. Di samping itu, selain dikenal sebagai penulis Sīrah, mereka juga masih tetap dikenal sebagai penulis Hadis. 6. Fase Sīrah telah Berkembang sebagai Ilmu yang Mandiri Secara material, benih-benih pemisahan antara Sīrah Nabawiyah dari Hadis Nabawi sudah terjadi sejak awal. Abbā n bin ‘Usmā n bin ‘Affā n (wafat antara tahun 95-105 H) dinilai sebagai lambang dari pembedaan antara ilmu Hadis dan kajian al-magāzī, tema pertama sejarah Islam.26 Pemisahan Sīrah Nabawiyah dari Hadis Nabawi sehingga menjadi ilmu yang mandiri dalam pengertian yang sebenarnya baru terjadi pada Muḥ mmad bin Isḥ ā q (w. 151 H). Hal ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, mereka yang disebut sebagai orang-orang yang merintis pemisahan Sīrah Nabawiyah dari Hadis Nabawi masih menekuni keduanya sekaligus. Karena itu, yang terjadi sebenarnya barulah pemilahan antara Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum di satu sisi dan Hadis-hadis yang berkaitan dengan aspek-aspek di luar hukum di sisi lain. Jadi kedua bagian itu masih masuk ke dalam lingkup Hadis Nabawi. Kedua, pada diri Ibnu Isḥ ā q, sebutan yang diberikan kepadanya adalah ahli al-magāzī wa al-siyar. Bahkan beberapa ahli Hadis secara terang-terangan menolak mengakuinya sebagai bagian dari para ahli Hadis. Penolakan ini selain disebabkan adanya faktor subyektif, juga karena apa yang dilakukan oleh Ibnu Isḥ ā q secara metodologis berbeda dengan yang dilakukan oleh para ahli Hadis. Para penulis Sīrah Nabawiyah pada fase ini yang terkenal di antaranya adalah Mū sā bin ‘Uqbah (w. 141 H), Muḥ ammad bin Isḥ ā q bin Yassā r al-Muṭṭalibı̄ al-Madanı̄ (w. 151 H), Yū nus bin Yazı̄d al-Ailı̄ (w. 152 H), Muḥ ammad bin Rasyı̄d al-Baṣ rı̄ (w. 154 H), Abū Ma‘syar al-Sandı̄ (w. setelah tahun 170 H), Abū Isḥ ā q al-Fazā rı̄ (w. 186 H) dan al-Walı̄d bin Muslim al-Dimasyqı̄ (w. 195 H), Ibnu Hisyā m al-Ma‘ā irı̄ dan Muḥ ammad bin Sa‘d (168-230 H).
Badri Yatim, Historiogra i Islam…, h. 199 Badri Yatim, Historiogra i Islam…, h. 57
25 26
282
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
Setelah mereka muncul banyak ulama yang menulis Sīrah, di antaranya.27 a. Jawāmi‘ al-Sīrah karya al-Imā m al-Ḥa iẓ Abū Muḥ ammad ‘Alı̄ bin Muḥ ammad bin Ḥazm al-Andalusı̄ al-Ẓ ā hirı̄, wafat tahun 456 H. b. Al-Sīrah karya al-Ḥā iẓ al-Kabı̄r ‘Abdul Mukmin bin Khalaf alDimyā tı̄ al-Miṣ rı̄, wafat tahun 705 H. c. ‘Uyūn al-Aṡār ī Funūn al-Magāzī wa al-Syamā’il wa al-Siyar dalam dua jilid, karya Abū al-Fatḥ Muḥ ammad bin Muḥ ammad yang dikenal dengan Ibnu Sayyidin Nā s al-Andalū sı̄, wafat tahun 734 H. d. Mukhtaṣar al-Sīrah karya al-Imā m al-Ḥā iẓ Aḥ mad bin ‘Alı̄ bin Ḥajar al-‘Asqalā nı̄, yang wafat tahun 852 H. e. Al-Mawāhib al-Ladunniyyah bi al-Minaḥ al-Muḥammadiyyah karya al-Syeikh al-‘Allā mah Syihā buddı̄n Abı̄ al-‘Abbā s Aḥ mad bin Muḥ ammad al-Qasṭalā nı̄ al-Syā i‘ı̄ al-Miṣ rı̄ (w. 923 H). f. Subul al-Hudā wa al-Rasyād ī Sīrah Khair al-‘Ibād yang lebih dikenal dengan al-Sīrah al-Syāmiyyah, karya Syeikh Muḥ ammad bin Yū suf al-Ṣ ā lihı̄ (w. 942 H). g. Insān al-‘Uyūn ī Sīrah al-Amīn al-Ma’mūn yang lebih dikenal dengan al-Sīrah al-ḥalabiyyah karya Syeikh ‘Alı̄ bin Burhā nuddı̄n al-Ḥalabı̄ (w. 1044 H). Selain itu ada kitab-kitab yang berisi sejarah umum, tetapi di dalamnya tercakup juga materi Sīrah, di antaranya: a. Tārikh al-Umam wa al-Mulūk karya al-Ḥā iẓ al-Mufassir alFaqı̄h al-Mu’arrikh Muḥ ammad bin Jarı̄r al-Ṭ abarı̄ (w 310 H). b. Murūj al-Żahab karya al-Imā m al-Mu’arrikh al-Rahhā lah (yang banyak melakukan perjalanan ilmiah) Abū al-Ḥusain ‘Alı̄ bin alḤusain al-Mas‘ū dı̄ (w. 346 H). c. Tārīkh al-Islām karya al-Imā m al-Ḥā iẓ al-Kabı̄r Mu’arrikh alIslā m Abū ‘Abdillā h Muḥ ammad bin Aḥ mad bin ‘Uṡ mā n alDimasyqı̄ yang lebih dikenal dengan sebutan al-Zahabı̄ (w. 748 H). d. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah karya al-Imā m al-Ḥā iẓ Ismā ‘ı̄l bin Kaṡ ır̄ al-Dimasyqı̄ (w. 774 H). Muhammad ibn Muhammad, al-Sīrah al-Nabawiyyah ī Dlau’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, (Damaskus: Dā r al-Qalam, 1992), h. 35-37 27
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
283
Ahmad Musyafiq
7. Fase Mendekatkan Sīrah Nabawiyah kepada Hadis Nabawi Upaya untuk mendekatkan Sīrah Nabawiyah kepada Hadis Nabawi ini dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama, munculnya sejumlah kritik terhadap Sīrah Nabawiyah terkait dengan obyekti itasnya. Kedua, munculnya kecenderungan untuk melakukan penulisan Sīrah Nabawiyah dengan pendekatan ilmiah. Kedua faktor itu kemudian ditanggapi dengan cara mendekatkan kembali Sīrah Nabawiyah kepada Hadis Nabawi dan sumber-sumber lain yang lebih valid. Kritik terhadap kitab-kitab Sīrah berkisar pada dua hal, yaitu pembuangan sanad dan dominasi unsur interpretasi. Pembuangan sanad, maksudnya adalah bahwa setelah Sīrah Nabawiyah berdiri sendiri sebagai ilmu, ada sebagian penulis Sīrah yang tidak lagi menyertakan sanad. Hal ini kemudian melahirkan kritik yang sangat tajam, terutama dari kalangan ahli Hadis. Karena bagi para ahli Hadis, validitas sebuah riwayat haruslah mula-mula dilihat dari sanadnya. Kalau sanadnya dibuang, maka otomatis tidak ada lagi unsur penyangga validitasnya. Selanjutnya, pendekatan ilmiah yang dimaksud adalah menulis kembali Sīrah Nabawiyah dengan menggunakan pendekatan sebagaimana yang digunakan dalam penulisan sejarah pada umumnya. Ada dua implikasi dari pendekatan ilmiah ini, yang kemudian melahirkan tanggapan balik dari para penulis Sīrah Nabawiyah lainnya. Yang pertama, memandang fenomena keluarbiasaan yang terjadi pada diri Nabi Muhammad saw bukan dalam konteks posisinya sebagai mukjizat, tetapi dalam posisinya sebagai kejeniusan beliau (‘abqariyyah). Misalnya ‘Abqariyyah Muḥammad karya ‘Abbā s Maḥ mū d al-‘Aqqā d. Kedua, penggunaan teori-teori ilmu sosial untuk memahami fenomena-fenomena yang dikemukakan dalam Sīrah Nabawiyah. Misalnya al-Manhaj al-Ḥarakī li al-Sīrah al-Nabawiyyah karya Munı̄r Muḥ ammad al-Gaḍ bā n (1985). Kedua faktor yang telah dikemukakan di atas mendorong para ulama untuk mendekatkan kembali Sīrah Nabawiyah kepada Hadis Nabawi atau sumber-sumber lain yang lebih valid. Upaya itu dilakukan dengan menulis kembali Sīrah Nabawiyah yang didasarkan kepada sumber-sumber yang dinilai lebih valid karena mengikuti metode standar yang digunakan oleh para ulama Hadis dalam menyeleksi riwayat. Upaya ini dinilai dapat meningkatkan kembali validitas Sīrah 284
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
Nabawiyah, yang memang diakui juga merupakan bagian dari sumber untuk mengetahui hal-ihwal Nabi Muhammad saw. Muncullah sejumlah karya tentang Sīrah Nabawiyah yang bisa dimasukkan ke dalam kategori ini, antara lain Fiqh al-Sīrah alNabawiyyah karya Sa‘ı̄d Ramḍ ā n al-Bū ṭı̄ (1968), al-Sīrah al-Nabawiyyah ī Ḍau’ al-Qur’an wa al-Sunnah karya Abū Syuhbah (1992), al-Sīrah al-Nabawiyyah i Ḍau’ al-Maṣādir al-Aṣliyyah karya Mahdı̄ Rizqullā h Aḥ mad, al-Jāmi‘ al-Sahih li al-Sīrah al-Nabawiyyah karya Sa‘d al-Murṣ ifı̄ (1994) dan al-Sīrah al-Nabawiyyah al-Sahiḥah: Muḥāwalah li Taṭbīq Qawā‘id al-Muḥaddiṡīn ī Naqd Riwāyah al-Sīrah al-Nabawiyyah karya Akram Diyā ’ al-‘Umarı̄ (1994). D. Perbandingan Antara Sīrah Nabawiyah dengan Asbab al-Wurud Dengan membandingkan antara Sirah Nabawiyah dan asbāb al-wurūd, ditemukan adanya perbedaan, di samping persamaan. Agar lebih rinci dan lebih mendalam, perbandingan dilakukan antara Sirah Nabawiyah dengan kedua jenis Asbāb al-wurūd, yaitu asbāb al-wurūd al-khaṣṣah dan asbāb al-wurūd al-‘āmmah. 1. Persamaan dengan Asbāb al-wurūd al-khaṣṣah Setidaknya ada dua hal yang bisa dianggap sebagai persamaan antara Sīrah Nabawiyah dan asbāb al-wurūd al-khaṣṣah. Pertama, keduanya sama-sama menyediakan data tentang konteks sosio-historis. Data ini akan sama-sama berguna bagi upaya untuk menemukan pemahaman yang lebih utuh dan lebih proporsional terhadap suatu hadis yang problematis (musykil). Dalam prakteknya, hadis yang sama bisa didukung sekaligus oleh data dari asbāb al-wurūd al-khaṣṣah dan data dari Sīrah Nabawiyah. Sebab kadang-kadang data yang tersedia dari asbāb alwurūd al-khaṣṣah belum lengkap. Dalam hal ini, data dari asbāb alwurūd al-khaṣṣah bisa menjadi qarīnah (indikator) bagi upaya untuk mencari data tentang konteks yang lebih luas yang tersedia di dalam Sīrah Nabawiyah. Misalnya sabda Nabi Muhammad saw: “Perang adalah tipu daya.”
الحرب خدعة
Menurut Ismā ‘ı̄l Aḥ mad, hadis ini ditakhrı̄j oleh Imā m Aḥ mad, III/297, 308; Imā m al-Bukhā rı̄ Kitāb al-Jihād Bāb al-Ḥarb Khud‘ah, Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
285
Ahmad Musyafiq
IV/77; Imā m Muslim Bāb Jawāz al-Khadā‘ ī al-Ḥarb, IV/338, 339; Imā m Abū Dā wū d Kitāb al-Jihād Bāb al-Makr ī al-Ḥarb, II/41 dan Imā m al-Tirmiż ı̄ Abwāb al-Jihād Bāb Mā Jā’a ī al-Rukhṣah wa al-Kiżb wa al-Khadī‘ah ī al-Ḥarb, III/112. Imā m al-Suyutı̄28 mengemukakan tiga riwayat berkenaan dengan sabab al-wurūd hadis tersebut. Pertama, diriwayatkan oleh Ibnu Abı̄ Syaibah dari ‘Urwah, ia berkata: Pada waktu terjadi peperangan melawan Banı̄ Quraiẓ ah, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Perang adalah tipu daya.” Dulu ceritanya ada seorang sahabat Nabi yang pandai mengadu domba para musuh dalam peperangan. Pada waktu perang Khandaq, dia mengutus orang-orang Banı̄ Quraiẓ ah agar datang kepada Abū Sufyan supaya mengirimkan pasukan perangnya untuk bergabung bersama-sama memerangi Nabi Muhammad saw di sekitar Kota Madı̄nah. Padahal itu adalah siasat yang dilakukan oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw tadi. Pada saat itu juga Abū Sufyan diminta memerangi Muhammad di sekitar Khandaq saja. Namun siasat itu dirasa kurang tepat oleh Nabi Muhammad saw, sebab nantinya beliau harus memerangi musuh dari dua penjuru. Beliau lalu menyuruh Mas‘ū d seraya bersabda: “Wahai Mas‘ū d, orang-orang Banı̄ Quraiẓ ah supaya meminta kepada Abū Sufyan mengirimkan pasukannya. Siasat itu dimaksudkan agar kalau nanti mereka datang akan lebih mudah memeranginya. Karena peperangan itu memang memerlukan siasat atau tipu daya. Kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Jarı̄r dalam kitab Tahżīb al-Āṡār dari Ibnu Syihā b, ia berkata: Saya telah mengutus seseorang dari Banı̄ Quraiẓ ah kepada Abū Sufyan dan kawan-kawannya yang tergabung dalam suatu kelompok pada waktu perang Khandaq dengan pesan agar mereka tetap tegar dalam pendirian, tidak tergoyahkan oleh tipu daya orang lain. Sesungguhnya kami akan tetap menguasai sepenuhnya kekuatan kaum muslimin dari belakang. Nu‘aim bin Mas‘ū d al-Asyja‘ı̄ mendengar hal tersebut, waktu itu dia juga bersama ‘Uyainah bin Ḥiṣ n ketika dikirim Banı̄ Quraiẓ ah kepada kelompok tersebut. Nabi Muhammad saw lalu bersabda: “Kamilah yang memerintahkan demikian.” Maka Nu‘aim mengucapkan ucapan Rasul saw tersebut. Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi: CIIR, 1984), h.
28
242-243
286
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
Itulah pesan Rasul untuk disampaikan kepada Gaṭfā n. Nu‘aim adalah seorang yang tidak pandai bicara. Ketika Nu‘aim diperintahkan untuk pergi ke Gaṭfā n, ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata: Wahai Rasulullah, jika memang ini yang engkau katakan dari Allah, maka aku menyetujuinya. Tetapi jika ini pendapatmu, maka kondisi Banı̄ Quraiẓ ah lebih mudah dari itu. Rasulullah saw bersabda: “Itu pendapatku, sesungguhnya perang itu tipu daya.” Ketiga, diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarı̄r dari Ibnu ‘Abbā s, Rasulullah saw pernah mengutus seseorang dari kalangan sahabatnya untuk datang kepada orang Yahudi dan membunuhnya. Orang tadi lalu berkata kepada Nabi saw: “Ya Rasulallah, saya terus terang keberatan melakukan hal ini, kecuali atas ijin engkau.” Nabi saw lalu bersabda: “Sesungguhnya perang itu tipu daya, maka lakukan apa yang engkau inginkan.” Ketiga riwayat tersebut tidak memberikan informasi tambahan tentang hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa perang adalah siasat. Artinya, makna hadis itu sudah dapat dipahami dengan baik meski tanpa melihat riwayat-riwayat mengenai asbāb al-wurūd-nya. Riwayat-riwayat itu sekadar memberikan informasi lebih mengenai peristiwa yang melingkupi munculnya sabda tersebut. Seandainya tidak ada informasi tentang pertiswa tersebut, sabda Nabi saw itu sudah bisa dipahami dengan baik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak semua asbāb al-wurūd memiliki fungsi sebagaimana yang telah disebutkan. Namun demikian, riwayat tentang asbāb al-wurūd itu bisa menjadi indikator bagi usaha untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak lagi tentang rincian atau bentuk-bentuk dari siasat atau strategi perang yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Misalnya dengan membuka informasi mengenai al-magāzī, yakni perang-perang Nabi Muhammad saw. Kedua, keduanya sama-sama bertumpu pada riwayat. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa karya-karya Sīrah Nabawiyah awal semuanya sangat memperhatikan sanad, meski tidak seketat koleksi-koleksi Hadis Nabawi. Demikian pula asbāb alwurūd al-khaṣṣah, sangat ketat bertumpu pada riwayat. Bahkan untuk menentukan apakah suatu riwayat merupakan asbāb al-wurūd atau
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
287
Ahmad Musyafiq
tidak, dasarnya juga harus jelas dan tegas. Artinya, harus ada qarīnah (indikator) yang jelas dan tegas bahwa riwayat itu merupakan sabab al-wurūd bagi hadis tertentu. Inilah salah satu faktor terbatasnya karya mengenai asbāb al-wurūd. Pentingnya posisi sanad dalam riwayat, baik berkenaan dengan Sīrah Nabawiyah maupun asbāb al-wurūd al-khaṣṣah terkait dengan validitas riwayat yang bersangkutan. Sanad bukan sekadar rangkaian nama para periwayat, tetapi lebih dari itu sanad mencerminkan kesinambungan transmisi riwayat dari sumber aslinya. 2. Persamaan dengan Asbāb al-wurūd al-‘Āmmah Setidaknya ada dua persamaan antara Sirah Nabawiyah dengan asbāb al-wurūd al-‘āmmah. Pertama, keduanya sama-sama menyediakan data tentang konteks sosio-historis. Hampir semua data mengenai sejarah masa Nabi Muhammad saw maupun sejarah bangsabangsa di sekitar masa Nabi Muhammad saw bisa menjadi asbāb alwurūd al-‘āmmah ini. Misalnya, hadis mengenai kepemimpinan wanita, data yang dibutuhkan bisa sangat luas, antara lain meliputi sejarah wanita pada masa Nabi Muhammad saw dan sejarah wanita pada masa sebelum Nabi Muhammad saw. Bahkan bisa masuk pula semua data mengenai sejarah tentang wanita, termasuk informasi mengenai wanita di era kontemporer. Kedua, keduanya sama-sama menyediakan jumlah data yang lebih banyak dibanding asbāb al-wurūd al-khaṣṣah. Bila ketiganya dibandingkan, maka asbāb al-wurūd al-khaṣṣah yang paling terbatas informasinya. Keterbatasan ini lalu dilengkapi oleh data dari Sīrah Nabawiyah. Yang paling luas adalah data dari asbāb al-wurūd al‘āmmah. Dengan kata lain, asbāb al-wurūd al-‘āmmah adalah Sīrah Nabawiyah plus, dan Sīrah Nabawiyah adalah asbāb al-wurūd alkhaṣṣah plus. 3. Perbedaan dengan Asbāb al-wurūd al-khaṣṣah Berdasarkan persamaan yang telah dikemukakan di atas, tampak pula adanya perbedaan antara Sīrah Nabawiyah dan asbāb al-wurūd al-khaṣṣah. Pertama, Sīrah Nabawiyah menyediakan lebih banyak data tentang konteks sosio-historis karena riwayatnya yang relatif lebih longgar. Jumlah karya-karya mengenai Sīrah Nabawiyah sebanding dengan jumlah karya-karya mengenai Hadis Nabawi. 288
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
Sementara jumlah karya mengenai asbāb al-wurūd al-khaṣṣah sangat terbatas. Kedua, Sīrah Nabawiyah bisa menjadi sumber istinbāṭ, yakni sumber penggalian hukum, yang dikenal dengan iqh al-Sīrah. Istilah iqh al-Sīrah sebanding dengan iqh al-sunnah, yakni penggalian hukum terhadap al-sunnah atau al-ḥadīs. Hal ini karena posisi Sīrah Nabawiyah memang sejajar dengan posisi Hadis Nabawi, meski dengan sejumlah perbedaan. Sedang asbāb al-wurūd al-khaṣṣah, istinbāṭ lebih dikaitkan pada hadis pokoknya, yakni hadis dimana asbāb al-wurūd tersebut menjadi latar belakang sosio historisnya. Namun demikian, data yang lebih lengkap dari asbāb al-wurūd juga akan membantu proses istinbāṭ itu. 4. Perbedaan dengan Asbāb al-wurūd al-‘Āmmah Pertama, Sīrah Nabawiyah lebih ketat bertumpu pada riwayat, sehingga validitasnya lebih tinggi. Sedang asbāb al-wurūd al-‘āmmah lebih longgar tumpuannya kepada riwayat, karena mengikuti kaidahkaidah dalam ilmu sejarah. Salah satu kritik tajam yang dilontarkan oleh muhaddisin terhadap Sīrah Nabawiyah adalah karena Sīrah Nabawiyah lebih longgar bertumpu pada sanad. Sehingga secara hipotetis dapat dikatakan, bahwa muhaddisin akan memberikan kritik yang lebih tajam lagi terhadap asbāb al-wurūd al-‘āmmah. Kedua, cakupan Sīrah Nabawiyah lebih terbatas, sehingga lebih mudah menggunakannya. Jika Sīrah Nabawiyah dapat diketahui dengan jalan periwayatan, maka asbāb al-wurūd al-‘āmmah hanya dapat diketahui dengan jalan rekonstruksi sejarah yang melingkupi hadis yang sedang dikaji. Satu hal yang harus disadari, terkait dengan asbāb al-wurūd al-‘āmmah ini adalah adanya kendala besar untuk memperoleh data historis yang bersifat rekonstruktif itu secara obyektif, apalagi dari suatu discourse yang sudah terlembagakan dalam bentuk teks. Kendala ini dapat teratasi bila yang dijadikan sebagai data historis adalah Sirah Nabawiyah. Ketiga, Sīrah Nabawiyah bisa menjadi sumber istinbā ṭ , yang lebih dikenal dengan iqh al-sirah, seperti telah disebutkan. Asbāb al-wurūd al-‘āmmah tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai sumber istinbā t karena longgarnya riwayat dan lebih dominannya unsur interpretasi. Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
289
Ahmad Musyafiq
Tabel: Perbandingan Antara Sīrah Nabawiyah dengan Asbāb al-wurūd
P E R S A M A A N
P E R B E D A A N
SĪRAH NABAWIYAH
ASBĀB AL-WURŪD AL-KHAṢṢAH
ASBĀB AL-WURŪD AL-ĀMMAH
1. Menyediakan data tentang konteks sosio-historis Hadis Nabawi
1. Menyediakan data tentang konteks sosio-historis Hadis Nabawi
1. Menyediakan data tentang konteks sosio-historis Hadis Nabawi
2. Bertumpu kepada riwayat (sanad)
2. Bertumpu kepada riwayat (sanad) 2. Menyediakan data yang lebih banyak tentang konteks sosio-historis Hadis Nabawi
3. Menyediakan data yang lebih banyak tentang konteks sosio-historis Hadis Nabawi 1. Menyediakan data yang lebih banyak tentang konteks sosio-historis Hadis Nabawi 2. Bisa digunakan sebagai sumber istinbāṭ 3. Lebih mudah digunakan karena cakupannya lebih terbatas 4. Lebih ketat bertumpu kepada riwayat (sanad)
1. Menyediakan data yang sedikit tentang konteks sosio-historis Hadis Nabawi 2. Tidak bisa digunakan sebagai sumber istinbāṭ 3. Mudah digunakan karena cakupannya yang paling terbatas 4. Paling ketat bertumpu kepada riwayat (sanad)
1. Menyediakan data yang paling banyak tentang konteks sosio-historis Hadis Nabawi 2. Tidak bisa digunakan sebagai sumber istinbāṭ 3. Paling sulit digunakan karena cakupannya paling luas 4. Longgar tumpuannya kepada riwayat (sanad)
E. Penutup Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa memang sangat penting menjadikan Sīrah Nabawiyah. Tentu keberadaannya bukan menggantikan Asbāb al-wurūd, tetapi melengkapinya, baik pada hadis-hadis yang telah memiliki Asbāb alwurūd secara eksplisit, apalagi yang tidak memilikinya. Karena jumlah Asbāb al-wurūd tidak banyak bila dikaitkan dengan jumlah hadis, maka keberadaan Sīrah Nabawiyah akan banyak dibutuhkan. 290
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Konteks Hadis (Antara Asbab Al-Wurud dan Sirah Nabawiyah)
Karena itu, ketika memahami sebuah Hadis yang mengandung potensi problematis bila dipahami secara tekstual, pertama-tama harus dilihat bagaimana Asbāb al-wurūd-nya. Bila telah ditemukan sabab alwurūd-nya, tetapi masih juga mengandung pontensi problematis, maka perlu dilihat bagaimana informasi yang berasal dari Sīrah Nabawiyah. Karena tulisan ini baru sebatas menunjukkan pentingnya Sīrah Nabawiyah sebagai konteks selain Asbāb al-wurūd, maka dibutuhkan kajian lebih lanjut berkenaan dengan bagaimana menggunakan Sīrah Nabawiyah dalam memahami hadis, sebagai konteks melengkapi Asbāb al-wurūd dengan kedua bentuknya dan bagaimana implikasinya.
Daftar Pustaka ‘Abd al-Mutṭṭalib, Rif‘at Fauzı̄, Tauṡīq al-Sunnah ī al-Qarn al-Ṡāni alHijrī: Ususuh wa Ittijāhātuh, Mesir: Dā r al-Khā nijı̄, tth. Abū Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Sīrah al-Nabawiyyah ī Dlau’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, Damaskus: Dā r al-Qalam, 1992 al-Adlabi, Shalahuddin bin Ahmad, Metodologi Kritik Matan Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004 Ahmad, Mahdı̄ Rizqullā h, al-Sīrah al-Nabawiyyah ī Ḍau’ al-Maṣādīr alAṣliyyah: Dirāsah Tahlīliyyah, Riyā ḍ : Markaz al-Mā lik Faiṣ al li al-Buhū ṡ wa al-Dirā sā t al-Islā miyyah, 1992 al-‘Aqqā d, ‘Abbā s Mahmū d, ‘Abqariyyah Muhammad, Beirut: Ṣ aida, tth. Azami, Muhammad Mustafa, Studies in Hadis Methodology and Literature, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, tth. Azra, Azyumardi, , Historiogra i Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, Jakarta: Gramedia, 2002 Badri Yatim, MA, Historiogra i Islam, Jakarta: Logos, 1997 al-Bū t}ı̄, Sa‘ı̄d Ramḍ ā n, Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyyah, Beirū t: Dā r alFikr, 1996 al-Damı̄nı̄, Mus ir ‘Azmullā h, Dr., Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah, Riyā ḍ : Jā mi‘ah Muhammad bin Sa‘ū d, 1984
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
291
Ahmad Musyafiq
al-Dimasyqı̄, Ibnu Hamzah al-Husainı̄, al-Bayān wa al-Ta‘rīf ī Asbāb Wurūd al-Hadīṡ, Beirū t: Dā r al-Fikr, 1982 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi: CIIR, 1984 Haekal, Muhammad Husein, Hayat Muhammad, Kairo: Maktabah alNahdlah al-Mishriyyah, 1968 Isma’il, M. Syuhudi, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, Jakarta, 1989 --------, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994 Al-Jawā bı̄, Muhammad Ṭ āhir, Juhūd al-Muhaddiṡīn ī Naqd Matn alHadīṡ al-Nabawī al-Syarīf, Mu’assasā t ‘Abd al-Karı̄m: Riyā ḍ , 1986 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008 al-Ma‘ā irı̄, Abū Muhammad ‘Abd al-Mā lik ibn Hisyā m, al-Sīrah alNabawiyyah, Mesir: Dā r al-Turā ṡ , t.th. al-Mubā rakfū rı̄, ‘Abdurrahmā n, Muqaddimah Tuhfah al-Ahważī ī Bi Syarh Jāmi‘ al-Tirmiżī, Beirū t: Dā r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990 al-Mubā rakfū rı̄, Ṣ afı̄ al-Rahmā n, al-Rahīq al-Makhtūm: Bahṡ ī al-Sīrah al-Nabawiyyah, Beirū t: Mu’assasah al-Risā lah, 1999 Munawar, Said Agil dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual: Asbabul Wurud,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Ramadan, Tariq, In the Footsteps of the Prophet: Lesson from the Life of Muhammad, London: Oxford University Press, 2007 al-Ṣ ā lih, Ṣ ubhı̄, ‘Ulūm al-Hadīṡ wa Muṣṭalahuh, Beirū t: Dā r al-‘Ilm li alMalā yı̄n, 1988 al-Suyū ṭı,̄ Asbāb Wurūd al-Hadīṡ Au al-Luma‘ ī Asbāb al-Hadīṡ, Beirū t: Dā r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984 Syaltū t, Mahmū d, al-Islām: ‘Aqīdah wa Syarī‘ah, Kairo: Dā r al-Syurū q, 2001 al-‘Umarı̄, Akram Ḍ iyā ’, al-Sīrah al-Nabawiyyah al-S{ahīhah: Muhāwalah li Tat}bīq Qawā‘id al-Muhaddiṡīn ī Naqd Riwāyah al-Sīrah alNabawiyyah, Madı̄nah: Maktabah al-‘Ulū m wa al-Hikam, 1994 292
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits