KONTAMINASI LOGAM BERAT (Hg DAN Pb) PADA AIR, SEDIMEN DAN IKAN SELAR TETENGKEK (Megalaspis cordyla) DI TELUK PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH
MATIUS PAUNDANAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kontaminasi Logam Berat (Hg dan Pb) pada Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah adalah karya saya dengan arahan pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun oleh orang lain kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015 Matius Paundanan NIM P052130481
RINGKASAN MATIUS PAUNDANAN. Kontaminasi Logam Berat (Hg dan Pb) pada Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan SYAIFUL ANWAR. Masuknya logam berat ke dalam lingkungan perairan akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan perairan. Keberadaan logam berat yang menumpuk pada air laut dan sedimen akan masuk ke dalam sistem rantai makanan dan berpengaruh pada kehidupan organisme di dalamnya. Jika konsentrasi logam berat telah melebihi baku mutu dalam perairan dapat terakumulasi pada sedimen dan pada organisme perairan. Pada konsentrasi tertentu kontaminasi logam berat Hg dan Pb pada organisme perairan dapat berdampak toksik terhadap kesehatan organisme tersebut. Ikan dapat menjadi salah satu indikator pencemaran lingkungan dari limbah kimia, termasuk logam berat pada lingkungan perairan karena siklus hidupnya lebih lama dibanding organisme akuatik lainnya dan menempati peringkat teratas dalam rantai makanan akuatik serta dapat mengakumulasi logam berat. Perairan Teluk Palu merupakan perairan yang rentan mengalami kontaminasi logam berat akibat adanya aktivitas pertambangan emas tradisional yang beroperasi di kawasan aliran Sungai Pondo dan bermuara langsung ke Teluk Palu dan limbah dari aktivitas antropogenik masyarakat Kota Palu dan sekitarnya. Tujuan penelitian untuk menganalisis kontaminasi Hg dan Pb pada air, sedimen dan ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Teluk Palu Sulawesi Tengah; dan menganalisis kondisi histopatologi organ insang, daging, hati dan limpa ikan selar tetengkek. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2015. Penetapan titik sampling dan pengambilan sampel air, sedimen dan ikan selar tetengkek dilakukan secara sengaja pada 10 titik sampling dengan pertimbangan sumber pencemar di darat. Titik sampling dibagi menjadi tiga zona masing-masing terdiri dari tiga titik sampling dan satu titik sampling yang mewakili daerah yang jauh dari sumber pencemar. Zona 1 (Titik sampling 1, 2 dan 3) terdapat kegiatan di darat seperti PLTU, perhotelan, SPBU, pusat perbelanjaan dan pemukiman. Zona 2 (Titik sampling 4, 5 dan 6) terdapat kegiatan di darat seperti pertambangan, SPBU, perhotelan, pusat perbelanjaan, pemukiman dan lainnya. Zona 3 (Titik sampling 7, 8 dan 9) terdapat kegiatan di darat seperti pemukiman, SPBU, perbengkelan dan penggaraman. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dengan dua cara, yakni pengukuran langsung (insitu) untuk suhu, kecerahan, kekeruhan dan dissolved oxygen (DO) dan analisis laboratorium (exsitu) untuk salinitas, chemical oxygen demand (COD), ammonia dan nitrat. Analisis logam berat Hg dan Pb pada sampel dilakukan dengan menggunakan atomic absorption spectrofotometry (AAS) mengacu pada APHA dan Standar Nasional Indonesia (SNI). Konsentrasi logam berat dalam air dan kualitas air dibandingkan dengan KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Konsentrasi logam berat pada sedimen dibandingkan dengan standar baku mutu dari CCME, ANZECC/ARMCANZ 2000, and NOAA. Konsentrasi Hg dan Pb dalam ikan selar tetengkek dibandingkan dengan SNI No. 7387: 2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam Dalam Bahan Pangan. Preparat histopatologi dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi Hg dalam air, sedimen, organ insang, daging, hati dan limpa ikan selar tetengkek masing-masing 0,0008-0,0042 mg/l, 0,017-0,287 mg/l, 0,007-0,145 mg/kg, 0,014-0,046 mg/kg, 0,052-0,106 mg/kg dan 0,043-0,414 mg/kg. Konsentrasi logam Pb dalam air, sedimen, organ insang, daging, hati dan limpa ikan selar tetengkek masing-masing 0,0130-0,0392 mg/l, 2,647-8,987 mg/kg, 0,132-0,775 mg/kg, 0,005-0,734 mg/kg, 0,295-1,871 mg/kg dan 1,654-12,92 mg/kg. Konsentrasi rata-rata Hg dan Pb dalam air telah melebihi baku mutu yang ditetapkan, sementara konsentrasi dalam sedimen masih di bawah baku mutu. Konsentrasi rata-rata Hg dalam seluruh organ ikan yang diamati masih memenuhi baku mutu, sementara Pb dalam organ insang, hati dan limpa telah melebihi baku mutu. Adanya perbedaan konsentrasi Hg dan Pb dalam air dan sedimen pada masing-masing Zona diduga karena pengaruh dari sumber pencemar yang ada di darat, kedalaman, jenis sedimen dan arus laut. Tingginya kandungan logam Hg dalam air di Teluk Palu diduga bersumber dari aktivitas pertambangan emas tradisional di Kelurahan Poboya. Histopatologi organ ikan selar tetengkek yakni: insang terdapat peradangan lamella sekunder; pada daging terdapat timbunan mineral, degenerasi lemak dan nekrosis; hati terdapat timbunan mineral, degerasi hepatosit, dan nekrosis; serta pada limpa ditemukan timbunan mineral, degenerasi dan deplesi. Kata kunci: logam berat, air, sedimen, histopatologi, Teluk Palu
SUMMARY MATIUS PAUNDANAN. Heavy Metals Contamination of (Hg and Pb) On Water, Sediment, and Torpedo Scad Fish (Megalaspis cordyla) in Palu Bay, Province Central Sulawesi. Supervised by ETTY RIANI and SYAIFUL ANWAR. The entry of heavy metals into the aquatic environment will have an impact on the derease in the quality of aquatic environments. Presence of heavy metals that accumulate in marine water and sediment may enter into the food chain system and affect the life of the organism in it. If the concentration of heavy metals have exceeded the quality of the waters, it may accumulate in the sediment and in aquatic organisms. At certain concentrations of heavy metal contamination of Hg and Pb in aquatic organisms can be toxic to the organism. Fish can be an indicator of environmental contamination from chemical waste, including heavy metals in aquatic environments because of longer life cycle than other aquatic organisms, ranked top in the aquatic food chain, and can accumulate heavy metals. Palu Bay waters are waters susceptible to heavy metal contamination due to the traditional gold mining activity that operates in the upper region of Pondo River, and waste from anthropogenic activities of Palu City and surrounding communities. The aims of this research were to analyze the contamination of Hg and Pb in water, sediment and torpedo scad fish (Megalaspis cordyla) in Palu Bay Central Sulawesi; and to analyze the histopathology of gill, meat, liver, and spleen torpedo scad fish. The study was conducted from February to April 2015. Determination of sampling points and the sampling of water, sediment and torpedo scad fish is done deliberately at 10 sampling points with consideration of the sources of pollution on land. Sampling were divided into three zones, each consisting of three sampling points and a sampling point that represent areas far from pollutant sources. Zone 1 (point sampling 1, 2 and 3) might be affected by land activities such as power plants, hotels, gas stations, shopping centers and residential areas. Zone 2 (point sampling 4, 5 and 6) might be affected by land activities such as mining, gas stations, hotels, shopping centers, residential and others. Zone 3 (point sampling 7, 8 and 9) might be affected by land activities such as residential, gas stations, workshops and salting. Parameters of water quality measurements were done in the field for temperature, pH, brightness, turbidity, and dissolved oxygen (DO), and at laboratory analysis for salinity, chemical oxygen demand (COD), ammonia, and nitrates. Heavy metals were analized by following APHA, and Indonesian National Standard (SNI) methods. The concentration of heavy metals in water and water quality compared with MOE Decree No. 51/2004 on Sea Water Quality Standard. The concentration of heavy metals in sediment compared to the quality standards of CCME, ANZECC/ARMCANZ 2000, and NOAA. Hg, and Pb concentrations in torpedo scad fish compared to SNI No. 7387: 2009 on Limit of Metal Contamination in Food Ingredients. Histopathological preparations were analyzed descriptively. The results showed that Hg consentrations in water, sediment, gill, meat, liver, and spleen were 0.0008-0.0042 mg/l, 0.017-0.287 mg/kg, 0.007-0.145
mg/kg, 0.014-0.046 mg/kg, 0.052-0.106 mg/kg, and 0.043-0.414 mg/kg, respectively. Pb concentrations in water, sediment, gill, meat, liver, and spleen were 0.0130-0.0392 mg/l, 2.647-8.987 mg/kg, 0.132-0.775 mg/kg, 0.005-0.734 mg/kg, 0.295-1.871 mg/kg, and 1.654-12.92 mg/kg, respectively. The average of Hg and Pb concentrations in the water had exceeded the specified quality standards, while in the sediments were still below the quality standards. The average of Hg and Pb concentrations in all observed fish organs were below the quality standards, except for Pb concentrations in gill, liver, and spleen that had exceeded the quality standard. The difference in concentrations in water and sediment in each zone probably due to the influence of the sources of pollution in the upper land. The high content of Hg in the water in the bay of Palu probably sourced from traditional gold mining activities in the Village Poboya. Based on the histopathological analysis of torpedo scad fish organs, there is abnormality in each organ. There were gill showed inflammation in secondary lamella; meat contained mineral deposits, and showed fatty degeneration and necrosis; liver contained mineral deposits and showed hepatocytes degeneration and necrosis; whils spleen contained mineral deposits and showed degeneration and depletion. Keywords: heavy metals, water, sediment, histopathology, Palu Bay
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KONTAMINASI LOGAM BERAT (Hg DAN Pb) PADA AIR, SEDIMEN DAN IKAN SELAR TETENGKEK (Megalaspis cordyla) DI TELUK PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH
MATIUS PAUNDANAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sulistiono, MSc
Judul Tesis : Kontaminasi Logam Berat (Hg dan Pb) pada Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah Nama : Matius Paundanan NIM : P052130481
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Etty Riani, MS Ketua
Dr Ir Syaiful Anwar, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 18 September 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Topik penelitian yang dipilih yakni tentang pencemaran logam berat dengan judul penelitian ini adalah ―Kontaminasi Logam Berat (Hg dan Pb) pada Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah‖. Penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan kita memiliki kesadaran terhadap kelestarian lingkungan. Penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr Ir Etty Riani, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Syaiful Anwar, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing. 2. Ayahanda atas dukungan doanya dan Almarhuma Ibu meskipun telah tiada namun dukungannya selalu terasa. 3. Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc selaku rektor Institut Pertanian Bogor. 4. Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 5. Prof Dr Ir Sulistiono, MSc selaku penguji luar komisi. 6. DIKTI sebagai lembaga sponsor yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga bisa melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 7. Semua dosen-dosen yang telah mengajar di Program Studi PSL. 8. Rekan-rekan seperjuangan Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah atas doa dan kebersamaannya. 9. Rekan-rekan PSL 2013 atas dukungan doa, support dan kekompakannya selama dalam perkuliahan. 10. Wahyu Mohammad dan Zaenal Muchid yang telah membantu selama pengambilan sampel di lapangan. 11. Saudara-saudara saya Kak Petrus, Kak Rina, Kak Ludia dan Kak Fitri yang selalu mendoakan dan mensupport selama perkuliahan. 12. Keluarga besar yang selalu mendukung secara moril maupun materil. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2015 Matius Paundanan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan oleh Logam Berat Karakteristik Logam Berat Sumber Logam Berat di Perairan Kontaminasi Logam Berat pada Organisme Perairan Kontaminasi Logam Berat terhadap Manusia Histopatologi Ikan Selar Tetengkek
6 6 7 11 12 13 14 15
3 METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Penentuan Titik dan Pengambilan Sampel Prosedur Kerja Analisa Data
17 17 18 18 19 23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air di Teluk Palu Kandungan Hg dan Pb pada Air Kandungan Hg dan Pb pada Sedimen Kandungan Hg dan Pb pada Organ Ikan Selar Tetengkek Korelasi Logam Berat dalam Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek Histopatologi Organ Ikan Selar Tetengkek Rekomendasi dan Pengelolan Pencemaran
26 26 36 39 42 50 54 60
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
64 64 64
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
75 84
DAFTAR TABEL 1 Kadar normal dan maksimum beberapa logam berat yang masuk ke lingkungan laut 2 Koordinat titik sampling, jarak dari pantai dan kedalaman 3 Parameter kualitas air, sedimen dan ikan yang diamati 4 Jenis bahan kimia dan lama perprosesan contoh 5 Standar baku mutu logam berat Hg dan Pb pada air, sedimen dan ikan 6 Korelasi konsentrasi logam berat dalam air laut dengan kandungan logam berat dalam sedimen 7 Korelasi konsentrasi logam berat dalam air laut dengan kandungan logam berat dalam organ ikan selar tetengkek 8 Korelasi konsentrasi logam berat dalam sedimen dengan kandungan logam berat dalam organ ikan selar tetengkek
11 18 21 23 24 51 52 53
DAFTAR GAMBAR Diagram kerangka pemikiran penelitian Proses yang terjadi bila logam berat masuk ke lingkungan laut Ikan selar tetengkek Peta Lokasi Penelitian Suhu di setiap titik sampling Kecerahan di setiap titik sampling Kekeruhan di setiap titik sampling Konsentrasi salinitas di setiap titik sampling Konsentrasi pH di setiap titik sampling Konsentrasi DO di setiap titik sampling Konsentrasi COD di setiap titik sampling Konsentrasi ammonia di setiap titik sampling Konsentrasi nitrat di setiap titik sampling Konsentrasi merkuri (Hg) pada air Konsentrasi timbal (Pb) pada air Konsentrasi merkuri (Hg) pada sedimen Konsentrasi timbal (Pb) pada sedimen Konsentrasi merkuri (Hg) pada insang Konsentrasi timbal (Pb) pada insang Konsentrasi merkuri (Hg) pada daging Konsentrasi timbal (Pb) pada daging Konsentari merkuri (Hg) pada hati Konsentrasi timbal (Pb) pada hati Konsentrasi merkuri (Hg) pada limpa Konsentrasi timbal (Pb) pada limpa Histopatologi sampel insang ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diambil dari lokasi penelitian 27 Histopatologi sampel daging ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diambil dari lokasi penelitian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
4 7 15 17 26 28 29 30 31 32 33 34 35 37 38 40 41 43 44 45 46 47 48 49 50 54 56
28 Histopatologi sampel daging ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diambil dari lokasi penelitian 29 Histopatologi sampel limpa ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diperoleh dari lokasi penelitian
57 59
DAFTAR LAMPIRAN 1 Dokumentasi kondisi lokasi penelitian 2 Beberapa pedoman mutu logam Hg dan Pb pada sedimen 3 Kondisi kualitas air di perairan Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah saat penelitian dilaksanakan 4 Konsentrasi logam berat (Hg dan Pb) pada air dan sedimen di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah 5 Konsentrasi logam berat (Hg dan Pb) pada organ ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah 6 Perbandingan logam berat (Hg dan Pb) dalam air di perairan Teluk Palu dengan beberapa perairan di Indonesia 7 Perbandingan logam berat (Hg dan Pb) dalam sedimen di perairan Teluk Palu dengan beberapa perairan di Indonesia 8 Peta arah arus di Indonesia
75 77 78 79 80 81 82 83
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lingkungan memiliki peranan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan manusia. Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahkluk hidup lain (UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009). Ketergantungan manusia pada lingkungan merupakan hal yang tidak terpisahkan sehingga eksistensi lingkungan patut dijaga dan dilestarikan demi kelangsungan hidup manusia. Lingkungan secara umum terdiri dari komponen subsistem air, tanah dan udara merupakan suatu kesatuan yang saling berinteraksi (Arsad et al. 2012). Kualitas lingkungan saat ini sangat menentukan eksistensi di masa yang akan datang, sehingga perlu dijaga dan dipertahankan kelestariannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sering dikaitkan dengan menurunnya kualitas lingkungan, khususnya lingkungan perairan. Salah satu yang sering terjadi yaitu menurunnya kualitas air akibat pencemaran limbah organik maupun anorganik. Pencemaran terhadap lingkungan perairan berasal dari berbagai macam aktivitas manusia di darat seperti perindustrian, pertanian, transportasi, rumah sakit, perbengkelan, dan kegiatan domestik. Berbagai kegiatan yang menghasilkan limbah tersebut dan tidak diolah terlebih dahulu, sehingga langsung masuk ke dalam lingkungan, dan berdampak buruk bagi ekosistem khususnya ekosistem perairan (Riani 2012). Limbah hasil aktivitas manusia tersebut mengadung berbagai jenis zat kimia yang berbahaya bagi makhluk hidup. Salah satu zat kimia yang terkandung dalam limbah adalah logam berat. Masuknya logam berat ke dalam lingkungan perairan dapat berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan perairan (Zhang et al. 2009; Riani 2012). Keberadaan logam berat yang menumpuk pada air laut dan sedimen akan masuk ke dalam sistem rantai makanan dan berpengaruh pada kehidupan organisme di dalamnya (Hutagalung 1984; Takarina et al. 2013). Jika konsentrasi logam berat telah melebihi baku mutu dalam perairan dapat terakumulasi pada sedimen (Rochyatun et al. 2006) dan pada organisme perairan (Riani et al. 2014). Kontaminasi logam berat Hg dan Pb pada organisme perairan dapat berdampak toksik terhadap kesehatan organisme tersebut (Darmono 2001). Merkuri dalam organisme laut, pada umumnya dalam bentuk metil merkuri maupun merkuri ion (Suseno et al. 2007). Pada konsentrasi tertentu, kontaminasi logam berat pada organisme perairan dapat menyebabkan terjadinya kecacatan pada kerang hijau (Riani 2010; Riani dan Cordova 2011), cacat bawaaan pada larva Dicrotendipes simpsoni (Diptera: Choronomidae) (Riani et al. 2014), dan menyebabkan abnormalitas organ insang, hati, ginjal dan limpa pada ikan (Rajeshkumar dan Munuswamy 2011; Coulibaly et al. 2012; Authman et al. 2012; El-Kasheif et al. 2013; Riani 2015). Ikan dapat menjadi salah satu indikator pencemaran lingkungan dari limbah kimia, termasuk logam berat pada lingkungan perairan (Authman et al. 2015). Hal ini karena ikan merupakan organisme perairan yang siklus hidupnya lebih lama
2 dibanding organisme akuatik lainnya dan menempati peringkat teratas dalam rantai makanan akuatik (Farkas et al. 2001), serta ikan dapat mengakumulasi logam berat (Akan et al. 2012; El-Moselhy et al. 2014; Riani 2015). Kemudian apabila kerang dan ikan yang telah terkontaminasi logam berat dikonsumsi oleh manusia, dapat berdampak terhadap kesehatan karena logam berat bersifat karsinogenik (Darmono 2001). Perairan Teluk Palu merupakan perairan yang rentan mengalami kontaminasi logam berat akibat adanya aktivitas pertambangan emas tradisional yang beroperasi di kawasan aliran Sungai Pondo dan bermuara langsung ke Teluk Palu. Menurut Agus et al. (2005) dan Ning et al. (2011) bahwa pertambangan emas tradisional merupakan salah satu sumber masuknya logam berat ke dalam lingkungan perairan. Selain hal tersebut aktivitas masyarakat Kota Palu yang menghasilkan limbah juga berpotensi menjadi sumber masuknya logam berat ke dalam perairan Teluk Palu. Limbah dari kegiatan domestik, perhotelan, rumah sakit, SPBU, PLTU, perbengkelan dan pertanian berpotensi mencemari Teluk Palu. Oleh karena itu, maka potensi pencemaran di Teluk Palu bukan hanya dari kegiatan pertambangan emas tradisional, tetapi juga dari kegiatan-kegiatan lain yang semuanya berpotensi mengkontaminasi air, sedimen dan ikan yang hidup di dalamnya. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang kandungan logam berat di perairan Teluk Palu antara lain penelitian Said et al. (2009) melaporkan kandungan logam krom rata-rata 39,24±23,67 mg/kg dan kandungan timbal dalam sedimen rata-rata 15,89± 7,43 mg/kg. Arsad et al. (2012) juga melaporkan kandungan logam berat timbal dalam ikan belanak (Liza melinoptera) sebesar 1,746±1,673 mg/kg. Hal ini telah melebihi nilai maksimum kandungan logam berat dalam bahan makanan sesuai dengan ISO 01-2729.1-2006 yaitu 0,4 mg/kg. Selanjutnya dinyatakan bahwa tingginya kandungan logam berat di perairan Teluk Palu akibat dari kegiatan antropogenik dan limbah domestik penduduk di sekitar aliran Sungai Pondo. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas lingkungan di perairan teluk Palu, maka harus dilakukan langkah-langkah konkrit, mengingat perairan Teluk Palu memiliki peranan yang sangat penting bagi penduduk di sekitarnya. Salah satu langkah tersebut adalah penelitian tentang kontaminasi logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) pada air, sedimen dan ikan selar tetengkek di perairan Teluk Palu.
Kerangka Pemikiran Kehidupan manusia yang terus meningkat mendorong manusia untuk terus berusaha dengan berbagai macam cara untuk memenuhi kebutuhannnya. Berbagai aktivitas manusia yang ada di sekitar Kota Palu seperti perkebunan, perbengkelan, pertambangan dan berbagai kegiatan domestik dan antropogenik lainnnya. Besarnya pencemaran limbah organik maupun anorganik yang masuk ke dalam perairan tergantung pada kegiatan yang ada di sekitarnya. Aktivitas lain yang berpotensi mencemari perairan Teluk Palu adalah penambangan emas liar yang ada di hulu Sungai Pondo. Penggunaan merkuri pada proses amalgamasi yang dilakukan oleh masyarakat pada penambangan emas liar tersebut diduga sangat
3 berpotensi menjadi sumber pencemaran logam berat terutama merkuri (Hg) pada lingkungan. Hal ini akan berdampak buruk dan menimbulkan masalah terhadap menurunnya kualitas lingkungan khususnya lingkungan perairan di muara Sungai Pondo, Teluk Palu. Di lingkungan perairan, kontaminasi logam berat pada air, sedimen dan biota dipengaruhi oleh berbagai hal seperti faktor-faktor lingkungan, faktor sifat fisik kimia logam dan faktor fisiologis dari biota (ikan). Dampak negatif akibat tercemarnya suatu perairan oleh logam berat juga dapat terkontaminasi ke sedimen dan biota perairan sehingga ekosistem perairan menjadi tidak stabil. Kontaminasi logam berat pada biota akan masuk ke sistem rantai makanan dan pada akhirnya akan sampai ke manusia. Merkuri (Hg) dan timbal (Pb) merupakan logam berat yang sukar didegradasi, afinitas yang besar terhadap gugus protein organisme air, maka logam berat tersebut akan mudah terabsorbsi dan terakumulasi pada tubuh ikan (Widowati et al. 2008). Pengetahuan tentang seberapa besar kontaminasi bahan pencemar logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) pada air, sedimen dan biota (ikan) di muara Sungai Pondo, Teluk Palu perlu diketahui. Informasi ini dapat digunakan sebagai pedoman pengambilan keputusan bagi pihak-pihak terkait tentang pengelolaan penggunaan zat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) serta pengelolaan lingkungan demi menjaga dan melestarikan lingkungan yang berkualitas. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1
Perumusan Masalah Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan hidupnya. Hal ini mendorong manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannnya, misalnya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini telah mendorong manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya. Sumberdaya yang ada tidak semua dapat diperoleh dengan mudah dan langsung dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia, oleh karena itu membutuhkan teknologi untuk mengolah bahan-bahan tersebut sehingga dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi. Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang perindustrian akan menimbulkan dampak yang baru bagi menurunnya kualitas lingkungan. Berbagai kegiatan manusia yang tidak terkendali misalnya dalam bidang pertambangan, transportasi, pertanian dan domestik berdampak buruk terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidup. Tingginya aktivitas masyarakat Kota Palu di berbagai bidang akan menghasilkan limbah dan menimbulkan masalah baru bagi lingkungan khususnya lingkungan perairan dalam hal ini perairan Teluk Palu. Berbagai aktivitas tersebut misalnya di bidang perindustrian, pertambangan, perdagangan, pertanian, perbengkelan, rumah sakit, transportasi dan domestik berpotensi menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Salah satu kegiatan yang paling berpotensi menghasilkan limbah berbahaya adalah aktivitas pertambangan emas rakyat yang lokasinya di hulu Sungai Pondo, Palu. Hal ini karena masyarakat dalam pengolahan untuk mendapatkan biji emas menggunakan cairan zat merkuri yang bersifat toksik pada proses amalgamasi yang menghasilkan limbah dan
4 langsung dibuang ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu. Teluk Palu merupakan salah satu perairan yang diduga telah tercemar oleh merkuri dan timbal serta biota yang hidup di perairan tersebut juga diduga telah terkontaminasi logam berat Hg dan Pb. Dalam rangka mencegah hal itu, maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan langsung dengan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Sehingga dari permasalahan di atas muncul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapa besaran nilai kandungan merkuri (Hg) dan Timbal (Pb) pada air, sedimen dan ikan selar tetengkek di Teluk Palu, Sulawesi Tengah saat dilakukan penelitian? 2. Bagaimana korelasi kandungan logam berat (Hg) dan timbal (Pb) pada air, sedimen dan ikan selar tetengkek di Teluk Palu, Sulawesi Tengah? 3. Bagaimana kondisi histopatologi ikan selar tetengkek yang diduga terkontaminasi logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) di Teluk Palu, Sulawesi Tengah? Lingkungan
Aktivitas manusia
Industri/Pertambangan Organik dan anorganik
Pertanian
Domestik
Transportasi
Limbah Sungai Muara/Teluk Palu Kontaminasi Hg dan Pb Air
Sedimen
Sampel air, sedimen dan ikan
Biota/ikan Kondisi histopatologi insang, daging, hati dan limpa
Analisis kandungan Hg dan Pb dalam Sampel Hasil Analisis
KLB>KBM KBM
Rekomendasi Pengelolaan dan Pencegahan Pencemaran Lingkungan Keterangan : KLB = konsentrasi logam berat; KBM = konsentrasi baku mutu
Gambar 1.1. Diagram kerangka pemikiran penelitian
5 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis kontaminasi logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) pada air, sedimen dan ikan selar tetengkek di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. 2. Menganalisis korelasi antara kandungan logam berat Hg dan Pb pada air dengan kandungan logam berat (Hg dan Pb) pada sedimen dan ikan selar tetengkek di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. 3. Menganalisis kondisi histopatologi organ insang, daging, hati dan limpa ikan selar tetengkek yang diambil dari lokasi penelitian.
Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi ilmiah bagi pihak-pihak terkait mengenai nilai konsentrasi kontaminasi logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) pada air, sedimen dan ikan selar tetengkek di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. 2. Memberikan informasi ilmiah mengenai potensi pencemaran yang terjadi di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. 3. Memberikan informasi kondisi histopatologi sampel ikan selar tetengkek yang diperoleh dari lokasi penelitian. 4. Sebagai salah satu bahan masukan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk menerapkan berbagai pilihan kebijakan dalam rangka pencegahan, pengendalian dan pengelolaan lingkungan di Teluk Palu, Sulawesi Tengah.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan oleh Logam Berat Perairan adalah komponen lingkungan yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia, sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Sekitar 70% permukaan bumi diselimuti oleh air. Oleh karena itu, air dapat dikatakan sebagai bagian yang essensial dari sistem kehidupan. Hampir 97,2% dari air yang ada di bumi merupakan air laut (Manahan 1994). Setiap sistim perairan memiliki kapasitas terima (receiving capacity) yang terbatas terhadap bahan pencemar, sehingga peningkatan buangan bahan pencemar ke perairan akan mengakibatkan kerusakan ekosistem perairan (Sanusi 1985). Defenisi pencemaran adalah perubahan-perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak diinginkan pada udara, tanah dan air (Odum 1971). Perubahan tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan manusia atau makhluk hidup lain yang disebabkan adanya limbah dari proses industri dan kebiasaan hidup manusia. Menurut MEN-LH (2004) pencemaran laut adalah suatu keadaan, dimana suatu zat atau energi dan unsur lain diintroduksikan ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sendiri dalam kadar hingga menyebabkan terjadinya perubahan yang mengakibatkan lingkungan laut itu tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan hayati. Pencemaran logam berat pada perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya yaitu kondisi perairan yang mempengaruhi jumlah akumulasi logam Pb oleh karang lunak Sinularia polydactyla adalah kandungan padatan tersuspensi (Kadir et al. 2013). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2009, yang dimaksud dengan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Konsentrasi unsur logam berat pada air laut berkisar antara 10-5 – 10-2 ppm. Pada kondisi ini, logam berat dibutuhkan oleh organisme untuk pertumbuhan dan perkembangan dalam hidupnya. Konsentrasi ini akan meningkat bila limbah perkotaan, pertanian dan perindustrian yang banyak mengandung logam berat masuk ke dalam perairan laut dan mengendap ke dasar perairan yang pada akhirnya menjadi racun bagi organisme. Limbah industri logam lebih dominan sebagai penyumbang karena senyawa atau unsur logam berat ini sangat digunakan dalam industri sebagai bahan baku, bahan tambahan maupun katalis. Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya karena logam berat ini tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme di perairan yang membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara absorbsi dan kombinasi. Secara langsung maupun tidak langsung, perairan sudah sejak lama diketahui sebagai terminal buangan limbah dari berbagai kehidupan manusia (Nybakken 1988).
7 Zat Pencemar
Diencerkan dan disebarkan oleh
Adukan Turbulensi
Dibawa Oleh
Masuk ke Ekosistem Laut
Arus Laut
Arus Laut
Dipekatkan Oleh
Proses Biologis
Diserap oleh ikan
Biota beruaya
Proses Fisis dan Kimiawi
Diserap oleh plankton nabati
Diserap oleh rumput laut dan tumbuhan
Absorbsi
Pengendapan
Pertukaran Ion
Mengendap di dasar Avertebrata
Plankton Hewani Ikan dan Mamalia
Gambar 2.1. Proses yang terjadi bila logam berat masuk ke lingkungan laut (EPA, 1973 dalam Hutagalung 1984).
Karakteristik Logam Berat Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak disudut kanan bawah pada daftar berkala, memiliki afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 sampai 7 (Miettinen 1977). Berdasarkan sifat fisika dan kimianya, tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), cadmium (Cd), seng (Zn), timbal (Pb), krom (Cr), nikel (Ni) dan cobal (Co) (Sutamihardja et al. 1982). Menurut Darmono (2001), daftar urutan toksisitas logam berat paling tinggi ke paling
8 rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ > Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, dimana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dsb. Sedangkan jenis logam kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, dimana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya bahkan dapat bersifat racun seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dll. Logam berat ini dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Sedangkan menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990), sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu : 1. bersifat toksik tinggi yang terdiri atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn, 2. bersifat toksik menengah yang terdiri dari Cr, Ni, dan Co 3. bersifat toksik sangat rendah yang terdiri dari Mn dan Fe. Bila bahan cemaran masuk ke dalam lingkungan laut, maka bahan cemar ini akan mengalami tiga macam proses akumulai yaitu proses fisika, kimia dan biologi Akumulasi melalui proses biologi inilah yang disebut bioakumulasi. Sebagian besar logam berat masuk ke dalam tubuh organisme laut melalui rantai makanan, hanya sedikit yang diambil langsung dari air. Fitoplankton yang merupakan awal dari rantai makanan akan dimangsa oleh Zooplankton. Zooplankton dimangsa oleh ikan-ikan kecil, ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar. Sehingga pemangsa yang berukuran besar seperti ikan tuna, akan mengandung kadar logam berat yang tinggi. Tetapi kandungan logam berat yang tinggi umumnya ditemukan pada invertebrata jenis filter feeder, seperti kerangkerangan dan tiram (Hutagalung 1991). Dari Gambar 2 terlihat bahwa logam berat juga akan diendapkan di dalam sedimen, namun adanya aktifitas mikroorganisme akan menyebabkan logam berat tersebut larut dan kembali ke dalam kolom air. Akumulasi terjadi karena logam berat dalam tubuh organisme cenderung membentuk senyawa kompleks dengan zat-zat organik yang terdapat dalam tubuh organisme. Dengan demikian logam berat terfiksasi dan tidak diekstraksikan oleh organisme yang bersangkutan. Organisme air mempunyai kemampuan mengabsorpsi dan mengakumulasi logam berat yang berasal dari lingkungannya. Sifat akumulasi ini disebabkan adanya kebutuhan organisme terhadap unsur-unsur yang essensial. Logam berat yang essensial seperti Cu cenderung membentuk ikatan komplek dengan bahan organik. Demikian pula dengan logam toksik seperti Hg, Cd, Pb dan lain sebagainya (Waldichuk 1974). Menurut Darmono (2001), logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu pernapasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit. Absorpsi logam melalui saluran pernapasan biasanya cukup besar, baik pada biota air yang masuk melalui saluran insang, maupun biota darat yang masuk melalui debu di udara ke saluran pernapasan. Absorpsi melalui saluran pencernaan hanya beberapa persen saja, akan tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar, walaupun persentase penyerapannya kecil. Sedangkan logam yang masuk melalui kulit jumlah dan penyerapannya relatif kecil.
9 Logam berat bersifat toksik karena logam berat tersebut dapat berikatan dengan ligan dan struktur biologi. Sebagian besar logam menduduki ikatan tersebut dalam beberapa jenis enzim dalam tubuh. Ikatan-ikatan ini dapat mengakibatkan tidak akitifnya enzim yang bersangkutan, hal inilah yang menyebabkan terjadinya toksisitas logam tersebut. Logam yang terikat pada enzim sulit diidentifikasi karena tidak diketahui enzim mana yang menjadi target dari ikatan logam tersebut. Afinitas atau daya gabung dan ikatan logam dengan enzim biasanya sangat kuat (Darmono 1995). Biasanya logam tertentu terikat dalam daerah ikatan yang spesifik untuk setiap logam dan hasil ini dapat dilihat dari gejala dan tanda-tanda serta gangguan yang timbulkan. Tempat ikatan logam yang spesifik tersebut menjadi dasar perkiraan dari organ atau jaringan yang sensitif terhadap keracunan logam yang memiliki dosis rendah. Pada pemberian dosis yang lebih tinggi, jaringan lain mungkin akan terganggu juga, karena menduduki ikatan pada jenis enzim yang lebih banyak.
Logam Merkuri (Hg) Menurut Hutagalung (1985) raksa atau merkuri (Hg) adalah unsur kimia, yang mempunyai nomor atom 80, berat atom 200,61 dan jari-jari atom 1,48 A°. Merupakan satu-satunya unsur logam yang berbentuk cair pada suhu kamar (25°C ) dan sangat mudah menguap. Membeku pada suhu -38,87°C dan mendidih pada suhu 356,9°C. Warnanya tergantung pada bentuk fasenya. Hg mudah membentuk alloy amalgama dengan logam lainnya, seperti emas (Au), perak (Ag), platinum (Pt), dan tin (Sn). Garam merkuri yang penting antara lain HgC12 yang bersifat sangat toksik. Hg2C12 digunakan dalam bidang kesehatan, Hg(ONC)2 digunakan sebagai bahan detonator yang eksplosif, sedangkan HgS digunakan pigmen cat berwarna merah terang dan bahan antiseptik (Widowati et al. 2008). Pada perairan alami, merkuri hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada dalam bentuk cairan pada suhu normal. Merkuri terserap dalam buah-buahan partikulat dan mengalami prestisipasi. Merkuri terdiri dari merkuri anorganik dan merkuri organik. Merkuri anorganik adalah logam murni yang berbentuk cair pada suhu kamar 25ºC, sehingga mudah menguap. Uap merkuri dapat menimbulkan efek samping yang sangat merugikan bagi kesehatan. Di antara sesama senyawa merkuri anorganik, uap logam merkuri (Hg), merupakan yang paling berbahaya. Ini disebabkan karena uap merkuri tidak terlihat dan sangat mudah akan terhisap seiring kegiatan pernafasan yang dilakukan (Palar 2008). Contoh senyawa-senyawa merkuri organik adalah senyawa alkil-merkuri, sekitar 80% dari peristiwa keracunan merkuri bersumber dari senyawa-senyawa alkil-merkuri. Beberapa senyawa alkilmerkuri yang banyak digunakan terutama di kawasan negaranegara sedang berkembang metil merkuri khlorida (CH3HgCL) dan etil khlorida (C2H5HgCL). Senyawa-senyawa tersebut digunakan sebagai pestisida dalam bidang pertanian. Beberapa bentuk senyawa alkil-merkuri lainnya cukup banyak digunakan sebagai katalis dalam industri kimia (Palar 2008). Berbagai produk yang mengandung Hg diantaranya adalah bola lampu, penambal gigi, dan termometer. Hg di gunakan dalam kegiatan penambang emas, produksi gas klor dan soda kaustik, serta dalam industri pulp, kertas dan baterai.
10 Merkuri dengan klor, belerang, atau oksigen akan membentuk garam yang digunakan dalam pembuatan krim pemutih dan krim antiseptik. Logam tersebut digunakan secara luas untuk mengekstrak emas (Au) dari bijihnya. Ketika Hg dicampur dengan bijih emas, Hg akan membentuk amalgama dengan emas (Au) dan perak (Ag). Amalgama tersebut harus dibakar untuk menguapkan merkuri guna menangkap dan memisahkan butir-butir emas dari butir-butir batuan. Hg bersifat sangat toksik sehingga penggunaan Hg dalam berbagai industri sebaiknya dikurangi, termasuk dalam industri farmasai, kedokteran gigi, industri pertanian, industri baterai, dan lampu fluorecence (Widowati et al. 2008).
Logam Timbal (Pb) Timah hitam atau timbal dilambangkan dengan Pb (Plumbum), dalam sistem periodik, menduduki tempat dengan nomor atom 83, berat atom 207,9 g dan titik didih 1725 oC. Timbal dalam bentuk larutan ion Pb2+ pada kondisi yang tepat akan berubah menjadi senyawa alkil-lead. Bahan-bahan timbal sulfida dapat juga terbentuk di bawah kondisi anaerobik pada sedimen. Di perairan, Pb mempunyai dua bentuk keadaan oksidasi Pb2+ dengan bentuk utama di lingkungan laut adalah Pb2+ (Palar 2004). Agustina (2010), menyatakan bahwa timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena sifat-sifatnya antara lain: 1) Titik cair rendah sehingga jika digunakan dalam bentuk cair, maka akan membutuhkan teknik sederhana dan murah; 2) Timbal merupakan logam berat yang lunak sehingga mudah diubah keberbagai bentuk; 3) Sifat kimia timbal menyebabkan logam berat ini dapat berfungsi sebagai lapisan pelindung, jika kontak dengan udara lembab; 4) Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lain dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat berbeda dengan timbal yang murni; 5) Densitas timbal lebih tinggi dibandingkan dengan logam lain, kecuali jika dibandingkan dengan emas dan merkuri. Apabila Pb dalam badan perairan melebihi konsentrasi yang semestinya, dapat mengakibatkan kematian biota laut. Timbal merupakan salah satu logam non essensial yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas) pada makhluk hidup. Racun ini bersifat kumulatif, artinya sifat racunnya akan muncul apabila terakumulasi cukup besar dalam tubuh makhluk hidup. Timbal terdapat dalam air karena adanya kontak antara air dengan tanah atau udara tercemar timbal, air yang tercemar oleh limbah industri atau akibat korosi pipa (Riani 2012). Timbal dapat mempengaruhi organisme air yaitu mengganggu system organ seperti insangdalam proses respirasi dan ginjal dalam proses osmoregulasi, kemudian akan mempengaruhi keseimbangan energi dalam tubuh ikan sehingga mortalitas terganggu, pertumbuhan, reproduksi, system saraf dan dapat terakumulasi dalam tulang Lloyd 1992). Timbal mampu menembus membrane biologi dan terakumulasi dalam sel dan organel, selain itu timbal dapat mengganggu kerja enzim dan fungsi protein (Saeni 1989). Logam Pb banyak masuk ke dalam badan perairan melalui buangan air ballast, aspal dan emisi mesin bahan bakar minyak yang digunakan sebagai anti knock pada mesin. Konsentrasi Pb yang ditetapkan untuk biota laut adalah 0,008 mg/l (MEN-KLH 2004).
11 Sumber Logam Berat di Perairan Logam berat yang masuk ke perairan dan sumber-sumber seperti melaui buangan limbah industri dan rumah tangga akan terikat pada padatan tersuspensi dan pada akhirnya akan mengendap ke sedimen dasar perairan (Gomez-Parra et al. 2000). Logam berat biasanya ditemukan sangat sedikit dalam air secara alamiah, yaitu kurang dari 1 μg/l. Bila terjadi erosi alamiah, konsentrasi logam tersebut dapat meningkat. Beberapa macam logam biasanya lebih dominan daripada logam lainnya dan dalam air biasanya tergantung pada asal sumber air (air tanah dan air sungai). Disamping itu jenis air (air tawar, air payau dan air laut) juga mempengaruhi kandungan logam di dalamnya (Darmono 2001). Menurut Supriharyono (2000) secara ilmiah logam berat terdapat di alam, namun dalam kadar yang sangat rendah. Asal masuknya unsur logam berat ke dalam perairan secara alami dibagi tiga antara lain a) berasal dari pantai termasuk sungai-sungai serta hasil pengikisan oleh gelombang dan pelapukan batuan, b) berasal dari lautan akibat aktivitas vulkanik yang berada di dalam laut, c) berasal dari atmosfir dalam bentuk partikel atau debu yang jatuh ke dalam laut. Amin dan Nurrachmi (2005) juga mengatakan bahwa konsentrasi logam berat pada fraksi halus lebih tinggi dari fraksi kasar. Amin (2008) menyatakan bahwa konsentrasi logam berat tidak selalu terdapat pada partikel yang lebih kecil. Jumlah dari jenis logam berat yang terdapat dalam limbah industri tergantung dari jenis industri yang terdapat pada suatu daerah, dimana dapat diramalkan jenis pencemaran logam berat yang mungkin terjadi. Banyaknya masukan logam berat dalam sedimen terdapat di daerah galangan kapal/dock yard, pelabuhan kapal, dan daerah pembuangan karena logam berat akan mengendap dan terakumulasi dalam sedimen. Tabel 2.1 Kadar normal dan maksimum beberapa logam berat yang masuk ke lingkungan laut Kadar (ppm) Unsur Normal (A) Maksimum (B) Merkuri 0,15 0,1 Timbal 0,03 50 Kadmium 0,11 10 Mangan 1,9 100 Kromium 0,2 50 Sumber : (A) = Walddichuk (1974) dan (B) = EPA (1973) dalam Hutagalung (1984). Logam berat yang semula terlarut dalam air sungai diabsorbsi oleh partikel halus (suspended solid) dan oleh aliran air sungai dibawa ke muara. Air sungai bertemu dengan arus pasang di muara sungai, sehingga partikel halus tersebut mengendap di muara sungai. Hal inilah yang menyebabkan kadar logam berat dalam sedimen muara lebih tinggi dari laut lepas. Pada umumnya muara sungai mengalami proses sedimentasi, dimana logam yang sukar larut mengalami proses pengenceran yang berada di kolom air lama kelamaan akan turun ke dasar dan mengendap dalam sedimen. Kadar logam yang cukup tinggi dapat dilihat dari
12 nilai pH yang relatif bersifat basa (pH = 7,40-8,59) di lokasi tempat logam tersebut sukar larut dan mengendap ke dasar perairan (Hutagalung 1997). Logam berat timbal (Pb) adalah polutan di laut yang sangat berbahaya (Rompas 2010). Salah satu sumber Pb berasal dari bahan bakar minyak dari perahu-perahu nelayan. Logam ini masuk ke dalam tubuh biota laut melalui insang, permukaan tubuh dan juga rantai makanan. Logam Pb yang masuk ke dalam perairan laut akan merusak ekosistem terumbu karang (Manuputty 2002). Logam Pb yang terakumulasi dalam tubuh biota laut akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, meningkatnya mortalitas, penurunan laju metabolisme serta menurunkan kemampuan reproduksi biota laut (Nganro 2009). Logam berat Pb dapat dihasilkan dari berbagai kegiatan, seperti kegiatan industri. Industri yang berpotensi sebagai sumber pencemaran Pb adalah semua industri yang memakai Pb sebagai bahan baku maupun bahan penolong, misalnya industri pengecoran maupun pemurnian, industri baterai, industri bahan bakar, industri kabel, serta industri kimia yang menggunakan bahan pewarna. Selain itu sumber Pb dapat berasal dari sisa pembakaran pada kendaraan bermotor dan proeses pertambangan. Kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air laut. Hal ini menunjukkan adanya akumulasi logam berat dalam sedimen dan memungkinkan logam berat dalam air mengalami proses pengenceran dengan adanya pengaruh pola arus pasang surut. Rendahnya kadar logam berat dalam air laut, bukan berarti bahan cemaran yang mengandung logam berat tersebut tidak berdampak negatif terhadap perairan, tetapi lebih disebabkan oleh kemampuan perairan tersebut untuk mengencerkan bahan cemaran yang cukup tinggi. Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, padahal senyawa-senyawa logam berat lebih banyak terakumulasi dalam sedimen (karena proses pengendapan) yang terdapat kehidupan biota dasar. Biota dasar yang resisten terhadap perubahan kualitas lingkungan akibat tercemar oleh logam berat dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran (Amin dan Nurrachmi 2005).
Kontaminasi Logam Berat pada Organisme Perairan Logam berat berbahaya yang mencemari lingkungan diantaranya adalah Hg dan Pb. Selain air dan sedimen, logam berat Hg dn Pb dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam jangka waktu lama sebagai racun. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut seperti P. viridis (Purba 2014) maupun ikan. Kandungan logam berat Hg dan Pb yang ada di lingkungan perairan akan semakin meningkat seiring dengan meningkatkan beban masukan yang mengandung logam berat tersebut ke dalam perairan. Demikian pula konsentrasi logam berat di sedimen dimana logam berat yang tersuspensi dalam air lama kelamaan akan mengendap dan terakumulasi dalam sedimen. Keberadaan logam berat di lingkungan perairan sangat berbahaya bagi kelangsungan makhluk hidup di dalamnya maupun bagi manusia. Logam berat dapat terakumulasi pada ikan, tumbuhan air, maupun organisme air lainnya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya bioakumulasi dan
13 biomagnifikasi logam berat pada manusia apabila manusia mengonsumsi organisme air maupun air yang tercemar logam berat tersebut. Unsur-unsur logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme laut melalui rantai makanan, insang, dan difusi melalui permukaan kulit. Logam berat dapat mengumpul dalam tubuh organisme dan akan tetap tinggal dalam tubuh pada waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi (Palar 2004). Logam berat yang terkontaminasi ke organisme perairan juga dapat mengakibatkan kecacatan pada organisme perairan tersebut maupun keturunannya misalnya pada kerang hijau (Cordova 2010; Riani dan Cordova 2011) dan pada Chironomidae (Riani et al. 2014). Menurut Amin et al. (2011), pencemaran logam berat terhadap lingkungan laut berhubungan erat dengan penggunaan logam oleh manusia, yang esensial maupun non esensial yang secara alami selalu ditemukan dalam lingkungan laut, namun pada umumnya kadarnya masih di bawah nilai ambang yang membahayakan kehidupan organisme. Pengaruh aktivitas manusia melalui pembuangan limbah mengakibatkan meningkatnya kadar logam berat di lingkungan laut yang akan merusak lingkungan dan kehidupan organisme laut, bahkan menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Peningkatan kadar logam berat dalam air laut akan mengakibatkan logam berat yang semula dibutuhkan untuk berbagai proses metabolisme akan berubah menjadi racun bagi organisme laut. Selain berubah menjadi racun logam berat yang akan terakumulasi dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi, biokonsentrasi, bioakumulasi dan biomagnifikasi oleh biota laut. Peningkatan kadar logam berat dalam air laut yang terus berlangsung akan diikuti oleh peningkatan kadar logam berat dalam tubuh biota yang berada dalam lingkungan tersebut. Suatu logam berat dapat dipandang sebagai racun apabila logam-logam berat tersebut merugikan pertumbuhan atau metabolisme sel, bila logam berat tersebut berada di atas konsentrasi yang diperkenankan (Hutagalung 1991). Kadar logam berat yang terlalu rendah di perairan dapat menyebabkan organisme yang hidup di dalamnya menderita defisiensi. Namun unsur logam berat dalam jumlah yang berlebihan akan bersifat racun (Mulyani et al. 2012). Menurut Thoha (1991), bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan akan membunuh biota yang paling peka, sehingga mengganggu rantai makanan dalam perairan tersebut. Terputusnya salah satu rantai makanan dapat menyebabkan beberapa jenis biota tidak hidup normal. Selanjutnya Palar (2004) mengemukakan bahwa logam berat dapat megumpul dalam tubuh organisme dan akan tetap tinggal dalam tubuh pada waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi.
Kontaminasi Logam Berat Pada Manusia Menurut Darmono (1995) logam berat dapat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Selain pengaruh negatif toksitas logam berat, yang paling penting dan menjadi perhatian utama adalah akibatnya terhadap manusia. Beberapa kasus keracunan logam pada manusia telah banyak dilaporkan,
14 sehingga ada nama khusus terhadap keracunan logam tertentu, yaitu : "minamata disease" karena keracunan metil Merkuri, ―itai-itai disease" karena keracunan Cd dan "plumbism" karena keracunan Pb. Keracunan akut dari logam berbahaya tersebut biasanya terjadi pada orang yang termakan dalam atau karena pengaruh pemberian obat yang mengandung logam. Hal tersebut biasanya terjadi pada kelompok orang tertentu atau perorangan. Tetapi pada keracunan kronis yang disebabkan oleh orang yang mengkonsumsi logam dalam jumlah sedikit tetapi berlangsung lama, biasanya terjadi dalam komunitas atau penduduk yang tinggal dalam suatu lingkungan yang tercemar (Darmono 2001). Logam berat secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan manusia seperti Pb dapat mengakibatkan penghambatan sistem pembentukan hemoglobin (Hb) sehingga menyebabkan anemia, terganggunya sistem syaraf pusat dan tepi, sistem ginjal, sistem reproduksi, idiot pada anak-anak, sawan (epilepsi), cacat rangka dan merusak sel-sel somatik (Darmono 2001). Walaupun jumlah Pb yang diserap oleh tubuh hanya sedikit, logam ini ternyata menjadi sangat berbahaya. Hal ini disebabkan senyawa-senyawa Pb dapat memberikan efek racun terhadap banyak organ yang terdapat dalam tubuh (Palar 2004).
Histopatologi Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun atas makhluk hidup, melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk hidup mengalami pemejanan dengan racun. Berikutnya, setelah mengalami absorpsi dari tempat pemejanannya, racun atau metabolitnya kan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada di dalam diri makhluk hidup. Ditempat aksi ini, kemudian terjadi interaksi antara racun atau metabolitnya dan komponen penyusun sel sasaran atau reseptor. Adapun sebagai akibat sederetan peristiwa biokimia dan biofisika berikutnya, akhirnya timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu (Widowati et al. 2008). Ketoksikan racun ditentukan oleh keberadaan racun ditempat aksi, dan keadaan ini bergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasi racun tersebut. Keefektifan absorpsi racun menentukan kecepatan dan kadar atau jumlah racun yang ada dalam sirkulasi darah. Keefektifan distribusi menentukan kecepatan dan kadar jumlah racun yang ada dalam tempat aksi tertentu. Dan keefektifan eliminasi, menentukan kadar atau jumlah racun dan lama tinggal racun di tempat aksinya. Ada berbagai kemungkinan untuk menggolongkan toksikologi. Dapat dibedakan antara: 1. Efek toksik akut, yang mempunyai korelasi langsung dengan absorpsi zat toksik. 2. Efek toksik kronis, yang acapa kali zat toksik dalam jumlah kecil-diabsorpsi sepanjang jangka waktu yang lama-terakumlasi mencapai konsentrasi toksik dan karena itu akhirnya menimbulkan gejala keracunan. Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan yang ditimbulkan akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh ikan terutama pada organ pernafasan (insang), limpa dan hati. Histologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan. Patologi adalah kajian tentang penyakit atau kajian
15 tentang adaptasi yang tidak cukup terhadap perubahanperubahan lingkungan eksternal dan internal (Spector 1993).
Ikan Selar Tetengkek (Megalaspis cordyla) Ikan selar tetengkek merupakan salah satu ikan yang hidup di perairan Teluk Palu dan sering ditangkap oleh nelayan setempat. Hasil tangkapan nelayan selanjutnya dijual di pinggir pantai dan di Pasar Kota Palu. Dikenal dengan nama ikan kuli-kuli oleh masyarakat Kota Palu. Merupakan ikan pelagis yang hidup secara bergerombol di perairan pantai. Klasifikasi berdasarkan Nelson (1994) : Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Superclass : Gnathostoma Grade : Teleostomi Class : Actinopterygii Subclass : Neopterygii Division : Teleostei Subdivision : Eutelestei Superiorder : Ostariophysi Ordo : Perciformes Sub Ordo : Percoidei Familia : Carangidae Genus : Megalaspis Species : Megalaspis cordyla (Lynnaeus, 1758)
Gambar 2. 2 Ikan selar tetengkek (Sumber: Foto pribadi) Dideskripsikan oleh Lynnaeus tahun 1758 dengan nama Scomber cordyla, dalam publikasinya yang terkenal SYSTEMA NATURE, spesimen dikoleksi dari Amerika. Distribusi cukup luas mulai dari Afrika timur ke timur sampai ke Kepulauan Marshall dan Samoa, ke utara sampai Jepang bagian selatan (termasuk perairan Indonesia), ke arah selatan dari Australia Barat, New South Wales, New Macedonia dan Tonga.
16
-
-
Ciri-ciri morfologis ikan selar tetengkek antara lain: Ukuran tubuh maksimal sekitar 80 cm panjang total Tubuh bagian dorsal berwarna abu kebiruan atau kehijauan, warna tersebut memudar menjadi keperakan ke arah sisi dan perut. Di bagian belakang operkulumnya dijumpai noktah hitam yang besar. Tubuhnya memanjang dan subsilindris Sirip dorsal pertama dengan VII duri, sirip dorsal II dan I duri dan 18-20 jari-jari lemah. Sirip anal dengan II+I duri dan 16-17 jari-jari lemah Di belakang sirip dorsal dan sirip anal dijumpai 7-10 finlet Gurat sisinya melengkung di bagian anterior, sisik pada gurat sisi 21-28. Di bagian belakang sisik tersebut lurus dengan 51-59 scutes yang besar Matanya tertupi selaput transparan kecuali di bagian pupil Tergolong ikan pelagis yang berkelompok, jarang dijumpai di terumbu karang Makanan utamanya ikan-ikan kecil.
17
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari – April 2015 di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah dan di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari 2015 dan analisis di laboratorium dilakukan pada bulan Maret sampai April 2015. Pengambilan sampel air, sedimen dan ikan selar tetengkek dilakukan pada 10 titik sampling yang ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan sumber pencemar di darat, maka dibagi menjadi tiga zona masingmasing terdiri dari tiga titik sampling dan satu titik sampling yang mewakili daerah yang jauh dari sumber pencemar. Analisis salinitas, chemical oxigen demand (COD), ammonia dan nitrat dilakukan di Laboratorium Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Tadulako Palu. Analisis Hg dan Pb pada air laut, sedimen dan organ insang, daging, hati dan limpa ikan selar tetengkek dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas MIPA IPB, dan pembuatan preparat histopatologi, pengamatan, fotografi dan analisis dilakukan di Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Titik 10
Zona 3 (7,8,9)
Zona 2 (4,5,6)
Zona 1 (1,2,3)
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian (Sumber: BPS Kota Palu 2013)
18 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pH meter, DO meter, GPS, thermometer, turbiditymeter, sechidisk, peralatan pengambilan sampel air seperti botol sampel, dan peralatan di laboratorium seperti gelas kimia, gelas ukur, tabung reaksi, oven, pemanas (hotplate), timbangan analitik, pipet, batang pengaduk dan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) merek Shimadzu tipe ASC 7000 serta alat-alat untuk pembuatan preparat histologi seperti microtome, block holder, objeck glass dan Mikroskop dan optilab. Sampel sedimen diambil dengan menggunakan ekman grab. Sampel ikan diambil dengan menggunakan jaring nelayan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel air, ikan dan sedimen, aquadest, dan bahan kimia di laboratorium seperti alkohol, H2O2 dan HNO3. Pengamatan histopatologi menggunakan bahan seperti alkohol, formalin 10 %, paraffin, xyline dan minyak eosin. Tabel 3.1 Koordinat titik sampling, jarak dari pantai dan kedalaman Koodinat Titik Jarak dari Kedalaman sampling pantai (m) (m) S E 1 00o 53’ 00.5‖ 119o 51’ 03.9‖ 150 2 Zona 1
2 3 4
Zona 2
Zona 3
00o 52’ 53.6‖ o
00 52’ 44.3‖ o
00 52’ 44.8‖ o
119o 50’ 58.4‖
250
3
o
420
10
o
30
6
o
119 50’ 58.0‖ 119 52’ 12.7‖
5
00 52’ 45.5‖
119 52’ 08.8‖
80
11
6
00o 52’ 38.7‖
119o 52’ 02.6‖
150
17
7
00o 52’ 00.1‖
119o 52’ 23.7‖
8 9 10
o
00 51’ 56.8‖ o
00 51’ 51.7‖ o
00 48’ 20.4‖
50
3
o
100
12
o
200
19
o
30
15
119 52’ 15.6‖ 119 52’ 11.1‖ 119 52’ 33.8‖
Penentuan Titik dan Pengambilan Sampel Sebelum pengambilan sampel terlebih dahulu dilakukan penetapan titik pengambilan sampel menggunakan Geographic Positioning System (GPS) merek Garmin. Penetapan titik pengambilan sampel dilakukan secara sengaja yakni dengan pertimbangan sesuai kebutuhan dan sumber masukan bahan pencemar ke dalam perairan dari darat. Titik pengambilan sampel dibagi menjadi Tiga zona, masing-masing zona terdiri dari tiga titik sampling dan satu titik sampling yang mewakili daerah yang jauh dari sumber pencemar. Zona satu (Titik sampling 1, 2 dan 3) terdapat kegiatan di darat seperti PLTU, perhotelan, SPBU, pusat perbelanjaan dan pemukiman. Zona dua (Titik sampling 4, 5 dan 6) terdapat kegiatan di darat seperti pertambangan, SPBU, perhotelan, pusat perbelanjaan, pemukiman dan lainnya. Zona tiga (Titik sampling 7, 8 dan 9) terdapat kegiatan di darat seperti pemukiman, SPBU, perbengkelan dan penggaraman (Gambar 3.1).
19 Pada masing-masing titik dilakukan pengukuran parameter fisik-kimia air, pengambilan sampel air, sedimen dan biota ikan. Identifikiasi sampel ikan yang diambil dari lapangan dilakukan di Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong. Koordinat titik sampling dan kedalaman dapat dilihat pada Tabel 3.1. Kondisi dan dokumentasi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan botol polietilen mengacu pada SNI 6989.57:2008. Sebelum melakukan pengambilan sampel terlebih dahulu dilakukan pengukuran parameter fisik kimia seperti suhu, pH, kecerahan dan, DO. Pengambilan sampel air langsung menggunakan botol sampel pada kedalaman ± 30 cm di setiap titik. Sampel air yang akan diukur kadar logam beratnya (Hg dan Pb) ditambahkan HNO3 sebagai pengawet sampai pH < 2 kemudian disimpan dalam cool box selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Sampel sedimen diambil dengan menggunakan ekman grab. Sedimen diambil sebanyak 300 gram lalu dimasukkan ke dalam plastik polietilen dan dan disimpan dalam cool box selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kandungan Hg dan Pb. Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan jaring. Sampel ikan adalah ikan yang hidup secara liar di perairan Teluk Palu. Sampel ikan adalah salah satu jenis ikan yang dipilih dan hidup di lokasi penelitian. Sampel ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik, lalu disimpan dalam cool box dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kandungan logam berat (Hg dan Pb) pada organ insang, hati dan dagingnya.
Prosedur Kerja Analisis Kualitas Air Laut Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel air di setiap titik pengambilan sampel dengan menggunakan botol polietilen. Sebelum melakukan pengambilan sampel terlebih dahulu dilakukan pengukuran parameter fisik kimia seperti suhu, pH, kecerahan, DO dan untuk mengukur kekeruhan, ammoniak, nitrat, Salinitas, COD dilakukan di Laboratorium Analisis Sumberdaya Alam dan Lingkunga Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako Palu. Pengukuran logam berat Hg dan Pb akan dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas MIPA IPB dengan menggunakan AAS yang mengacu pada SNI 19-6964.2-2003 untuk Hg dan SNI 6989.8-2009 untuk Pb. Lebih jelasnya parameter-parameter kualitas air yang diamati, alat yang digunakan dan tempat analisis pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.2. Analisis Hg dan Pb pada Sedimen Adapun langkah-langkah analisis logam berat Hg dan Pb pada sedimen (Siaka 2008) mengacu pada SNI 06-6992.2-2004 untuk Hg dan SNI 06-6992.32004 untuk Pb. Perlakuan Sampel Pengayakan Sampel Sedimen Sedimen basah diayak dengan ayakan ≤ 63 µm dengan bantuan air yang diambil dari tempat pengambilan sampel. Ayakan dilakukan terhadap sedimen basah dengan tujuan agar semua butiran sedimen yang lolos dari ayakan mencerminkan ukuran yang sebenarnya di alam. Ukuran ≤ 63 µm dipilih karena
20 pada ukuran tersebut lebih banyak mengikat senyawa-senyawa logam (Siaka 2008). Butiran sedimen yang bercampur dengan air laut (ukuran ≤ 63 µm) diendapkan selama paling sedikit 24 jam. Selanjutnya, cairan yang jernih didekantasi dan endapannya dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 60 °C hingga diperoleh berat konstan. Sedimen kering yang diperoleh digerus kemudian disimpan dalam botol kering sebelum dianalisis lebih lanjut. Penyiapan Sampel Ditimbang dengan teliti 2 gram sedimen kering dan dimasukkan ke dalam gelas piala, kemudian ditambahkan 20 mL campuran HNO3 dan H2O2 (1:1) dan didestruksi selama tiga jam pada suhu 120 °C. Hasil destruksi ini disaring dan filtratnya ditampung dalam labu ukur 50 mL dan diencerkan dengan aquades sampai tanda batas. Filtrat ini kemudian diukur dengan AAS. Pembuatan Kurva Kalibrasi Kurva kalibrasi dibuat dengan cara mengukur absorbans dari sederetan konsentrasi larutan standar yang telah dibuat, kemudian dibuat grafik yang menunjukkan hubungan antara absorbans dengan konsentrasi larutan standar. Masing-masing larutan diukur absorbansinya pada λ = 217,0 nm untuk Pb dan λ = 324,7 nm untuk Hg Penentuan Konsentrasi Logam Hg dan Pb Filtrat hasil destruksi diukur dengan AAS menggunakan lebar celah 1 nm untuk Pb dan 0,5 nm untuk Hg. Penentuan konsentrasi logam Pb dan Hg pada sampel dilakukan dengan teknik kurva kalibrasi yang berupa garis linier, sehingga dapat ditentukan konsentrasi sampel dari absorbansi yang terukur. Setelah konsentrasi pengukuran diketahui, maka konsentrasi sebenarnya dari Pb dan Hg dalam sampel kering dapat ditentukan dengan perhitungan :
Ket : M C V F B
: : : : :
Konsentrasi logam (Hg atau Pb) dalam sampel (mg/kg), Konsentrasi yang diperoleh dari kurva kalibrasi (mg/L), Volume larutan sampel (mL), Faktor pengenceran, dan Bobot sampel (gram).
21 Tabel 3.2 Parameter kualitas air, sedimen dan ikan yang diamati. Parameter Fisika Air 1. Suhu 2. Kekeruhan 3. Kecerahan Kimia air 1. pH 2. DO 3. COD 4. Ammonia (NH3) 5. Salinitas 6. Nitrat Logam berat pada air 1. Hg 2. Pb Logam berat pada sedimen 1. Hg 2. Pb Logam berat pada biota (Ikan) 1. Hg 2. Pb
Satuan
Alat/Metode
Tempat Analisis
°C NTU cm
Termometer Turbiditymeter Sechi disk
Lapangan Lapangan Lapangan
mg/l mg/l mg/l psu mg/l
pH meter DO meter Spektrofotometri Spektrofotometri Spektrofotometri Spektrofotometri
Lapangan Lapangan Laboratorium Laboratorium Laboratorium
mg/l mg/l
AAS AAS
Laboratorium Laboratorium
mg/kg mg/kg
AAS AAS
Laboratorium Laboratorium
mg/kg mg/kg
AAS AAS
Laboratorium Laboratorium
Analisis Hg dan Pb pada Sampel Ikan Selar Tetengkek Berikut tahapan kerja untuk analisis logam merkuri (Hg) pada ikan yang mengacu pada SNI 06-6992.2-2004. 1. Timbang 1 gram contoh (insang, daging, hati dan limpa) ikan dari masingmasing ikan dari setiap titik sampling, masukkan ke dalam labu dekstruksi, tambahkan 2 ml HNO3 dan 1 ml H2O2 dan masukkan ke dalam oven microwave 2. Buat blanko dengan pemakaian pereaksi seperti yang digunakan pada contoh, kemudian siapkan deret standar. 3. Tambahkan 20 ml larutan pereduksi ke dalam, larutan dekstruksi dan larutan blanko. 4. Baca absorbansi larutan deret standar, larutan dekstruksi dan larutan blanko dengan menggunakan AAS tanpa nyala pada panjang gelombang 257,7 nm. 5. Buat kurva kalibrasi dengan sumbu Y sebagai absorbansi dan sumbu X sebagai konsentrasi (ppm). 6. Hitung kandungan merkuri dalam contoh dengan rumus sebagai berikut :
22 Berikut tahapan kerja untuk analisis logam timbal (Pb) pada ikan mengacu pada SNI 01-2354.6-2006. 1. Timbang contoh (insang, daging, hati, dan limpa) masing masing 1 gram dari masing-masing titik sampling, masukkan dalam cawan kuarsa 1 ml. 2. Tutup cawan tersebut dengan tutup kaca pyrek dan disangga, kemudian arangkan selama ± 24 jam di atas pemanas listrik pada suhu 300 °C. 3. Apabila contoh (insang, daging, hati, dan limpa) ikan sudah tidak berasap lagi, lanjutkan pengabuan pada suhu 400 °C selama dua jam dan sempurnakan pengabuan tersebut pada suhu 500 °C selama 20 jam. 4. Angkat cawan berisi abu dan dinginkan. 5. Larutkan dengan 5 ml asam nitrat 2 M dan hangatkan diatas pemanas air selama tiga menit. 6. Pindahkan larutan ke dalam labu ukur 10 ml. Bilas cawan dan impitkan ukur dengan HNO3 2 M. 7. Buat Larutan deret standar 1, 2, 4, 8, 10 dan 20 ppb. 8. Kerjakan blanko dengan menggunakan pereaksi yang samaseperti pada contoh. 9. Baca absorbansi larutan blanko, standard an contoh dengan menggunakan AAS pada panjang gelombang 293,3 nm. 10. Buat kurva kalibrasi dengan sumbu Y sebagai absorbansi dan sumbu X sebagai konsentrasi. 11. Hitung timbal dengan menggunakan rumus:
Pengamatan Histopatologi Berikut Langkah-langkah dalam mengamati jaringan histopatologi pada organ insang, daging, hati dan limpa ikan yang terkontaminasi logam berat Hg dan Pb (Setijaningsih 2009). 1. Contoh ikan Contoh ikan yang digunakan untuk keperluan pengamatan histologi adalah ikan yang diperoleh di masing-masing titik pengambilan sampel, kemudian diambil bagian insang, hati, limfa dan dagingnya. 2. Pengawetan (fixation) Organ insang, daging, hati, dan limpa ikan dimasukkan yaitu neutral bufferet formalin 10% dengan rasio sampel dan pengawet 1:10. 3. Pemotongan dan refiksasi Organ yang diamati dipotong dengan menggunakan pisau kira-kira 1x1x1 cm, kemudian diletakkan dalam kotak sampel atau kaset jaringan dan fikasasi dalam larutan formalin 10% selama 1 hari. Selama pemotongan organ, specimen direndam dalam air untuk melindungi spesimen dari kekeringan. 4. Tahapan proses jaringan Automatic tissue processor adalah alat yang digunakan untuk jaringan. Jenis bahan kimia yang digunakan, urutan dan lamanya proses berlangsung tertera pada Tabel 3.3. 5. Penanaman dalam paraffin
23 Penanaman contoh organ insang, daging, hati, dan limpa dalam paraffin dilakukan dengan alat Tissue Embedding Centre. Alat ini harus dinyalakan dua jam sebelum proses dimulai, agar paraffin yang ada di container mencair. Ambil contoh organ letakkan dalam blok paraffin isi dengan paraffin cair, proses ini berlangsung pada tempat yang alasnya panas (hot plate) pada suhu 65 °C. Kemudian didinginkan dengan cara diapungkan ke atas permukaan air sampai paraffin membeku atau dimasukkan dalam frezer selama 5-10 menit. 6. Pemotongan Pemotongan digunakan alat microtome, dimana contoh organ yang sudah membeku diletakkan pada block holder kemudian dipotong dengan ketebalan pemotongan sekitar 4-5 µm. Hasil potongan jaringan diletakkan dalam wadah yang berisi air pada suhu 40 °C. Langka berikutnya hasil potongan jaringan diletakkan pada kaca objek dipanaskan dengan alat pemanas (hot plate) pada suhu 60 °C selama 15 menit. 7. Pewarnaan (staining) Hematoksilin/Phloxin (HE) Sebelum pewarnaan, paraffin yang menempel pada kaca objek direndam dengan xilene dan alkohol. Kaca objek siap diamati dengan menggunakan mikroskop pada perbesaran 40x10. 8. Mikrofotografi Hasil pengamatan dilakukan mikrofotografi, yaitu pemotretan dan bagian yang akan difoto ditandai terlebih dahulu. Tabel 3.3 Jenis bahan kimia dan lama pemprosesan contoh. No Bahan Kimia Lama Proses (jam) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Alkohol 70% Alkohol 70% Alkohol 80% Alkohol 80% Alkohol 90% Alkohol 90% Alkohol 100% Alkohol 100% Xylene Xylene Parafin Parafain
1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 3
Analisa Data Kandungan Logam Berat (Hg dan Pb) dalam Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek Data kandungan logam berat Hg dan Pb yang diperoleh melalui analisis ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan histogram kemudian dibahas secara deskriptif. Hasil analisis logam berat Hg dan Pb dalam air pada titik pengambilan sampel dibandingkan dengan nilai standar yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang ―Penetapan Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut‖. Kandungan logam berat Hg
24 dan Pb dalam sedimen dibandingkan dengan standar baku mutu CCME, ANZECC dan NOAA. Standar baku mutu Hg dan Pb dalam sedimen dari beberapa pedomean mutu dapat dilihat pada Lampiran 2. Kandungan logam berat Hg dan Pb dalam organ ikan selar tetengkek dibandingkan dengan baku mutu SNI 7387:2009. Hasil pengamatan kondisi histopatologi dianalisis secara deskriptif. Standar baku mutu logam berat Hg dan Pb dapat dilihat pada Tabel 3.4. Korelasi Kandungan Logam Berat (Hg dan Pb) dalam Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek Keeratan hubungan antara kandungan logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) dalam air dengan kandungan logam berat merkuri (Hg dan timbal (Pb) dalam sedimen dan ikan dihitung dengan analisis korelasi (Matjik dan Sumartajaya 2000). Adapun Koefisien korelasinya dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
Keterangan : r : Koefisien korelasi Syx : Sebaran nilai pengamatan x dan y Sx2 : Keragaman nilai x Sy2 : Keragaman nilai y x : Kandungan merkuri (Hg) atau timbal (Pb) di air y : Kandungan merkuri (Hg) atau timbal (Pb) di sedimen/ikan
Tabel 3.4 Standar baku mutu logam berat Hg dan Pb pada air, sedimen dan ikan Logam Berat di Sampel Air Laut 1. Hg 2. Pb Sedimen 1. Hg 2. Pb Biota (Ikan) 3 Hg 4
Pb
Satuan
Baku Mutu
Sumber Baku Mutu
mg/l mg/l
0,001 0,008
KepMen LH No. 51/2004 KepMen LH No. 51/2004
mg/kg mg/kg
0,13 30,2
CCME CCME
ppm mg/kg ppm mg/kg
0,3 0,5 0,5 0,3
Belanda SNI 737:2009 Belanda SNI 737:2009
25 Analisis Histopatologi Disamping menganalisis kandungan logam berat yang ada dalam tubuh ikan, juga dilakukan analisis preparat histopatologi jaringan tubuh ikan dari organ insang, daging, hati dan limpa. Melalui cara ini dapat diketahui jenis-jenis kerusakan yang diduga diakibatkan oleh kontaminasi logam berat Hg dan Pb pada organ-organ tersebut. Analisis Deskriptif Keseluruhan data hasil pengukuran dan analisis kualitas air dan kontaminasi logam berat Hg dan Pb pada sedimen, badan air maupun pada ikan selar tetengkek disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan dianalisis secara deskriptif. .
26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Kualitas Air di Teluk Palu Suhu Hasil analisis kulitas air yang diukur di Teluk Palu disajikan pada Lampiran 3. Suhu perairan merupakan salah satu parameter fisika yang sangat penting, karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi badan air secara umum (Cahyana 2006), dan juga sangat penting bagi kehidupan biota air. Setiap biota memiliki batas toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu terendah dan tertinggi untuk kelangsungan hidupnya secara optimal. Suhu perairan berpengaruh terhadap kelarutan oksigen, komposisi substrat, kekeruhan maupun kecepatan reaksi kimia di dalam air. Suhu juga berpengaruh terhadap osmoregulasi dan pernapasan pada organisme parairan. Perubahan suhu pada permukaan air laut dapat menimbulkan penurunan dan peningkatan kerapatan air pada permukaan laut. Peningkatan dan penurunan suhu perairan juga dapat berpengaruh terhadap organisme perairan dan pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan kematian. Hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian berkisar antara 28 °C hingga 30,30 °C (Gambar 4.1). Suhu terendah terdapat di titik sampling 3 dan tertinggi di titik sampling 1, 2 dan 7 dengan rata-rata sebesar 29,7 °C. Menurut Hadikusumah (2008) suhu permukaan air laut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keseimbangan kalor dan keseimbangan masa air di lapisan permukaan laut. Lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi suhu dan salinitas di perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti penyerapan panas (heat flux), curah hujan (presipitation), aliran sungai (flux) dan pola sirkulasi arus.
Konsentrasi Suhu (oC)
30,5 30 29,5
Baku mutu
29 28,5 28 27,5 27 26,5
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.1 Suhu di setiap titik sampling Berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut suhu air laut berkisar 28 °C – 30 °C untuk ekosistem koral dan lamun, dan 28 °C – 32 °C untuk ekosistem mangrove. Ekosistem koral dan lamun merupakan
27 ekosistem yang umumnya ditemukan di perairan Teluk Palu, sehingga kisaran suhu yang diperoleh saat penelitian masih sesuai dengan ekosistem koral dan lamun. Sesuai dengan hal tersebut, maka suhu perairan di Teluk Palu masih sangat baik untuk mendukung kehidupan biota di dalamnya. Menurut Croteau et al. (2005), suhu air berpengaruh terhadap proses akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut. Tokisisitas logam berat juga meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Oleh karena itu suhu perairan merupakan salah satu parameter fisika yang sangat penting, karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi badan air secara umum (Cahyana 2006), dan juga sangat penting bagi kehidupan biota air. Setiap biota memiliki batas toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu terendah dan tertinggi untuk kelangsungan hidupnya secara optimal. Suhu perairan berpengaruh terhadap kelarutan oksigen, komposisi substrat, kekeruhan maupun kecepatan reaksi kimia di dalam air. Suhu juga berpengaruh terahadap osmoregulasi dan pernapasan pada organisme parairan. Perubahan suhu pada permukaan air laut dapat menimbulkan penurunan dan peningkatan kerapatan air pada permukaan laut. Peningkatan dan penurunan suhu perairan juga dapat berpengaruh terhadap organisme perairan dan pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan kematian.
Kecerahan Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan, semakin tinggi suatu kecerahan perairan semakin dalam cahaya menembus ke dalam air. Kecerahan air menentukan ketebalan lapisan produktif. Berkurangnya kecerahan air akan mengurangi kemampuan fotosintesis tumbuhan air, selain itu dapat pula mempengaruhi kegiatan fisiologi biota air, dalam hal ini bahan-bahan ke dalam suatu perairan terutama yang berupa suspensi dapat mengurangi kecerahan air (Effendi 2003). Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk yang dikembangkan oleh Profesor Secchi pada abad ke-19. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi dan kekeruhan serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Tingkat kecerahan air dinyatakan dalam suatu nilai yang dikenal dengan kecerahan secchi disk (Effendi 2003). Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan pada 10 titik sampling, kecerahan masing-masing titik memiliki nilai yang bervariasi tetapi perbedaannya tidak terlalu besar. Kecerahan air di Teluk Palu berkisar antara 0,9 – 7,85 meter (Gambar 4.2). Nilai Kecerahan terendah terukur pada titik sampling 1 dan tertinggi pada titik sampling 10 yang merupakan titik yang diduga jauh dari sumber pencemar. Nilai baku mutu kecerahan yaitu (<5 m untuk ekosistem koral, mangrove dan <3 meter untuk ekosistem lamun) sesuai KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Nilai rata-rata kecerahan air laut di Teluk Palu (2,41 m), hasil menunjukkan telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Rendahnya nilai kecerahan di Teluk Palu diduga karena pengaruh dari aliran Sungai Palu yang membawa partikulat berupa pasir dan lumpur sehingga memasuki perairan Teluk Palu. Penyebab lain rendahnya kecerahan di Teluk Palu karena minimnya kesadaran masyarakat sekitar Kota Palu, sehingga masih banyak masyarakat yang membuang sampah ke dalam
28 sungai selanjutnya akan terbawa ke muara sungai dan sampai ke laut. Limbah rumah tangga menjadi salah satu sumber rendahnya nilai kecerahan pada perairan. Apabila dalam suatu perairan tingkat kecerahannya rendah maka akan mempengaruhi biota laut yang ada di dalamnya. Seperti plankton terutama fitoplankton, karena fitoplankton sangat membutuhkan cahaya untuk melakukan fotosintesis. Apabila perairannya keruh maka akan menghambat pertumbuhan fitoplankton, apabila fitoplankton tidak dapat berfotosintesis akan berdampak pada zooplankton karena fitoplankton merupakan makanan dari zooplankton. Begitupun zooplankton merupakan makanan dari hewan-hewan kecil dan hewanhewan kecil merupakan makanan dari hewan-hewan besar dan seterusnya. Jadi apabila apabila perairan keruh akan berdampak buruk bagi seluruh biota laut yang ada di dalamnya. Selain itu keadaan perairan yang keruh juga akan mempengaruhi kadar oksigen yang ada di dalamnya, yang akan menyebabkan biota laut kekurangan oksigen dan mati. 9 8
Kecerahan (m)
7 6
Baku mutu
5 4 3 2 1 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.2 Kecerahan di setiap titik sampling Kekeruhan Kekeruhan merupakan gambaran optik air pada perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar yang dipancarkan yang diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air (Haryadi et al. 1992). Kekeruhan disebabkan oleh partikel tersuspensi, bahan organik dan mikroorganisme perairan. Semakin tinggi padatan tersuspensi semakin tinggi pula tingkat kekeruhan. Kekeruhan juga dapat mempengaruhi kehidupan biota air apabila telah melebihi batas yang bisa ditoleransi oleh biota air, karena dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan. Akibat terganggunya penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan akan menghambat terjadinya proses fotosintesis pada tumbuhan air. Hasil pengukuran yang dilakukan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kekeruhan berkisar antara 0,4 sampai 10,5 NTU dengan rata-rata 5,96 NTU (Gambar 4.3). Kekeruhan tertinggi terdapat pada titik 8 sedangkan yang terendah terdapat pada titik sampling 10. Terjadinya kekeruhan yang bervariasi disebabkan karena pada setiap lokasi memiliki kondisi dan topografi yang berbeda. Titik
29 sampling yang kekeruhannnya tinggi pada umunya terdapat di dekat muara Sungai Palu dan Sungai Pondo, sehingga terpengaruh langsung dari aliran sungai yang airnya relatif keruh karena membawa partikulat berupa pasir dan lumpur dari aktifitas penambangan pasir di sepanjang aliran sungai dan juga akibat limbah yang masuk ke dalam sungai. Titik sampling 10 memiliki tingkat kekeruhan yang paling rendah, karena pada lokasi ini merupakan perairan yang masih alami dan jauh dari pemukiman penduduk sehingga aktivitas yang berpotensi menimbulkan kekeruhan relatif tidak ada. 12
Kekeruhan (NTU)
10 8 6 4
Baku mutu
2 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.3 Kekeruhan di setiap titik sampling Rata-rata hasil pengukuran kekeruhan pada lokasi penelitian telah melewati ambang batas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dalam KepMen LH No. 51 tahun 2004 sebesar <5 NTU. Tingginya nilai kekeruhan air di lokasi penelitian diduga karena lokasi titik sampling merupakan ekosistem muara sungai. Muara adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut. Atau merupakan daerah pertemuan massa air asin dan air tawar, yang secara periodik berubah-ubah karena adanya percampuran. Percampuran ini menyebabkan zona lingkungan di kawasan muara sungai sangat labil. Walaupun demikian, kawasan ini merupakan daerah yang sangat produktif karena input nutrient dari daratan yang dibawa oleh aliran sungai (Thoha 2007). Kekeruhan yang tinggi pada perairan dapat menekan pertumbuhan tanaman air dan alga sehingga mempengaruhi produktivitas ikan maupun organisme perairan lainnya. Salinitas Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan (Dahuri et al. 1996). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 1987). Salinitas air laut berfluktuasi tergantung pada musim, topografi, pasang surut, dan jumlah air tawar. Vernberg dan Venberg (1977) melaporkan salinitas maksimum
30 terdapat pada lintang 20 oLU dan 20 oLS, salinitas mengalami penurunan ke arah kutub. Keadaan salinitas yang rendah pada daerah sekitar khatulistiwa disebabkan oleh tingginya curah hujan. Vernberg dan Venberg (1977) mengklasifikasikan konsentrasi salinitas pada perairan menjadi empat kategori. Pertama perairan hiperhaline dengan salinitas di atas 40 %, kedua euhaline (salinitas 30-40 o/oo), mixohaline dengan salinitas antara 0,5-30 o/oo, dan limnetic water dengan salinitas lebih kecil dari 0,5 o/oo. Barnes dan Hughes (1988) mengemukakan bahwa perairan yang memiliki salinitas lebih kecil dari 0,5 o/oo bersifat tawar sedangkan salinitas antara 0,5-30 o/oo bersifat payau. 40
Baku mutu
Salinitas (psu)
35 30 25 20 15 10 5 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.4 Konsentrasi salinitas di setiap titik sampling Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di setiap titik sampling menunjukkan bahwa salinitas di perairan Teluk Palu berkisar antara 22,8 hingga 34,5 psu dengan rata-rata 30,04 psu (Gambar 4.4). Nilai rata-rata hasil pengukuran yakni 30,04 psu, salinitas pada setiap titik sampling di lokasi penelitian masih tergolong aman bagi biota laut. Nilai tersebut masih sesuai dengan baku mutu berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut yakni baku mutu yang ditetapkan berdasarkan keadaan alaminya. Dalam KepMen tersebut disebutkan nilai baku mutu salinitas untuk ekosistem koral dan lamun berkisar 33-34 psu. Secara horizontal salinitas dipengaruhi oleh pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan air sungai sedangkan secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman tetapi perubahan ini tidak linier (Kalangi et al. 2013). Hal ini ini sesuai dengan hasil pengukuran ditemukan salinitas terendah terukur di titik sampling 4, 5 dan 6, karena letaknya paling dekat dengan muara sungai, kemudian salinitas tinggi terukur di titik sampling 1,2, dan 10, karena letaknya yang jauh dari muara sungai. Adanya pengaruh dari air sungai membuat variasi salinitas di perairan pantai lebih besar dibanding perairan lepas (Garrison 2004 dalam Kalangi 2013). Menurut Nybbakken (1988) salinitas di muara sungai berkisar antara 5-30 psu.
31 Derajat Keasaman (pH) Pada umumnya pH air laut lebih besar dari 7 dan cenderung bersifat basa, namun dalam kondisi tertentu nilainya dapat menjadi lebih rendah dari 7 sehingga menjadi bersifat asam. Derajat keasaman suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan nilai pH suatu perairan terhadap organisme akuatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi, tergantung pada suhu air laut, konsentrasi oksigen terlarut dan adanya anion dan kation (Pescod 1973) . Pada umumnya, nilai pH dalam suatu perairan berkisar antara 4-9, sedangkan di daerah bakau, nilai pH dapat menjadi lebih rendah disebabkan kandungan bahan organik yang tinggi. 7,3
Konsentrasi pH
7,2 7,1
Baku mutu
7 6,9 6,8 6,7 6,6
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.5 Konsentrasi pH di setiap titik sampling Kisaran nilai pH di lokasi penelitian setiap titik sampling cenderung bersifat netral dengan nilai yang tidak terlalu bervariasi. Nilai pH minimum yaitu 6,8 pada titik 5 dan maksimum pada titik 8 dan 9 sebesar 7,2 (Gambar 4.5). Ratarata nilai pH sebesar 7,03. Nilai rata-rata pH air di Teluk Palu masih sesuai dengan baku mutu air laut bagi biota laut dalam KepMen LH No. 51 tahun 2004 yaitu sekitar 7-8,5 sehingga masih dalam batas toleransi bagi biota laut. Menurut Barus (2001) dalam Setijaningsih (2009), pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Pada suatu perairan nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air. Oleh karena itu semakin banyak air sebagai pelarut akibat hujan, maka pengaruh untuk nilai pH air yang ditimbulkan oleh interaksi berbagai zat dalam air tersebut semakin kecil. Dampak yang ditimbulkan apabila kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi organisme pada suatu perairan.
32 Dissolved Oxigen (DO)
Konsentrasi DO (mg/L)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimum yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Oksigen di perairan bersumber dari difusi udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh organisme nabati, seperti fitoplankton dan tumbuhan air di zona eufotik (Effendi 2003). Selain itu, oksigen dapat masuk ke perairan karena terbawa oleh aliran air yang masuk ke dalam badan perairan (inflow). Berdasarkan hasil pengukuran nilai oksigen terlarut (DO) yang dilakukan di lokasi penelitian Teluk Palu menunjukkan, bahwa kadar oksigen terlarut dalam air berada pada kisaran antara 6,8 mg/L - 8,1 mg/L dengan rata-rata 7,43 mg/L (Gambar 4.6). Kandungan DO terendah terukur pada titik 3 yaitu sebesar 6,51 mg/L dan tertinggi di titik sampling Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa konsentrasi oksigen terlarut di perairan Teluk Palu pada setiap titik sampling masih sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah melalui KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut yakni nilai DO sebesar >5 mg/L, sehingga masih sangat baik untuk mendukung kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Baku mutu
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.6 Konsentrasi DO di setiap titik sampling Tingginya kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air laut di Teluk Palu diduga karena kondisi perairan tersebut masih belum tercemar oleh limbah dari daratan yang dapat menurunkan kandungan DO dalam perairan Teluk Palu. Hal ini karena di sekitar Kota Palu sendiri belum banyak terdapat industri yang dapat menyumbang limbah ke dalam perairan. Tingginya kandungan oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh adanya curah hujan yang mengakibatkan besarnya limpasan air yang berasal dari daratan baik melalui sungai maupun dari daratan langsung ke perairan laut. Akibatnya agitasi air yang tinggi terutama di permukaan meningkat. Meningkatnya agitasi dapat meningkatkan difusi oksigen dari atmosfir ke dalam perairan. Faktor pengaruh lainnnya adalah penguraian bahan organik terlarut menjadi anorganik oleh mikroorganisme.
33 Chemical Oxygen Demand (COD)
Konsentrasi COD (mg/L)
Parameter Chemical Oxygen Demand (COD) menggambarkan kebutuhan oksigen untuk penguraian bahan organik secara kimiawi dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Oksigen masuk ke dalam air ketika permukaan air bergolak dan berasal dari proses fotosintesis. Peningkatan salinitas dan suhu air akan menurunkan tingkat oksigen jenuh di dalam air. Perairan yang memiliki nilai COD kurang dari 20 mg/L termasuk perairan tidak tercemar, sedangkan untuk perairan yang tercemar mempunyai nilai COD lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (Effendi 2003). 6 5 4 3 2 1 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.7 Konsentrasi COD di setiap titik sampling Hasil pengukuran nilai COD di lokasi penelitian berkisar 4,28 mg/L-5,45 mg/L dengan rata-rata 4,86 mg/L (Gambar 4.7). Berdasarkan hasil yang diperoleh apabila ditinjau dari kandungan COD dalam air, maka perairan Teluk Palu masih dalam kondisi baik untuk mendukung kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Kandungan COD dalam perairan Teluk Palu masih rendah karena kotam palu bukan merupakan kota industri sehingga belum ada industri yang berkontribusi bisa menaikan konsentrasi COD dalam air. Limbah yang masuk ke Teluk Palu masih didominasi oleh limbah domestik dari rumah tangga. Dari sisi lain oksigen terlarut akan berkurang akibat organisme aerobik yang menghancurkan bahan organik di dalam air dan oleh proses respirasi berbagai organisme yang ada di dalam air. Tingkat konsumsi oksigen organisme air sangat bergantung pada suhu, bobot tubuh, tanaman, dan bakteria yang ada di dalam perairan. Akumulasi buangan padat akan meningkatkan biomas bakteri heterotropik, hasilnya meningkatkan kebutuhan oksigen. Setiap ikan mempunyai kebutuhan yang berbeda terhadap oksigen. Kebutuhan oksigen ikan atau organisme air lainnya sangat bergantung pada faktor-faktor suhu, pH, CO2 dan kecepatan metabolik ikan. Faktor pentingnya adalah suhu air dan berat tubuh. Kebutuhan oksigen meningkat dengan meningkatnya suhu air. Berat tubuh akan berkaitan dengan aktivitas dan akan meningkatkan respirasi. Semakin tingi berat akan semakin menurun kebutuhan oksigen. Di musim dingin ikan banyak mati akibat mati lemas, dan di musim panas suhu air meningkat dan kecepatan arus air menurun. Pada saat pagi hari
34 sering terjadi kekurangan oksigen akibat proses dekomposisi oleh bakteri di malam hari dan proses respirasi tumbuhan air. Ammonia (N-NH3) Ammonia berasal dari kandungan nitrogen yang bersumber dari limbah rumah tangga ataupun industri. Di lain pihak bisa berasal dari sisa pakan dan sisa feses (sisa metabolisme protein oleh ikan) yang dihasilkan ikan itu sendiri dan bahan organik lainnya. Ammonia di dalam air ada dalam bentuk molekul (non disosiasi/unionisasi) ada dalam bentuk NH3 dan ada dalam bentuk ion ammonia (disosiasi) dalam bentuk NH4+. Kedua bentuk ammonia tersebut sangat bergantung pada kondisi pH dan suhu air. Dinding sel tidak dapat ditembus oleh ion ammonia (NH4+), akan tetapi ammonia (NH3) akan mudah terdifusii melewati jaringan jika konsentrasinya tinggi dan berpotensi menjadi racun bagi tubuh ikan. Sehingga kondisi normal ada dalam kondisi asam seimbang pada hubungan air dengan jaringan. Jika keseimbangan dirubah, seperti nilai pH di salah satu bagian turun akan mengundang terjadinya penambahan molekul ammonia (Svobodova et al. 1993).
Konsentrasi (mg/L)
0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
TS 1 TS2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling
Gambar 4.8 Konsentrasi ammonia di setiap titik sampling Tingkat racun dari ammonia selain karena faktor pH dan ammonia juga dipengaruhi oleh kandungan oksigen di dalam air. Air dengan nilai pH rendah maka yang dominan adalah ammonium (NH4+), sebaliknya bila nilai pH tinggi yang dominan adalah ammonia (NH3). Hasil pengukuran di setiap titik sampling menunjukkan kandungan ammonia dalam air di Teluk Palu berkisar antara 0,038 mg/L – 0,48 mg/L dengan rata-rata 0,043 mg/L (Gambar 4.8). Nilai baku mutu ammonia dalam air laut diatur dalam KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut yakni 0,3 mg/L. Berdasarkan baku mutu tersebut, maka hasil yang diperoleh masih pada batas yang bisa ditoleransi dalam mendukung kehidupan biota yang hidup dalam perairan di Teluk Palu.
35 Tingkat racun dari ammonia dipengaruhi oleh keberadaan CO2 bebas di dalam air. Difusi CO2 di dalam insang akan menurunkan nilai pH, yang pada akhirnya akan mengurangi rasio unionisasi ammonia. Ammonia akan berakibat akut pada konsentrasi 1.0-1.5 mg/L khusunya pada jenis ikan tilapia dan 0.5-0.8 mg/L pada ikan Salmon, namun masih bisa ditoleransi pada konsentrasi 0.05 mg/L di tilapia dan 0.0125 mg/L pada Salmon (Svobodova et al. 1993). Menurut Boyd (1993) peningkatan konsentrasi ammonia dalam perairan akan menurunkan ekskresi ammonia oleh hewan akuatik. Akibatnya, tingkat amonia dalam darah dan jaringan lain akan mengalami peningkatan. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pH darah dan akan mempengaruhi reaksi enzimatis serta stabilitas membran pada hewan. Amonia juga menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen oleh jaringan, menimbulkan kerusakan pada insang dan menurunkan kemampuan transportasi oksigen dalam darah (Boyd 1990). Pada konsentrasi subletal, ammonia dapat menimbulkan perubahan histologis pada beberapa organ, seperti ginjal, thiroid dan darah. Colt dan Armstrong (1979) menyatakan bahwa pendedahan terhadap ammonia secara terus menerus menyebabkan hewan akuatik lebih rentan terserang penyakit dan cenderung mengalami penurunan pertumbuhan. Nitrat (NO3-N) Nitrat merupakan zat nitrogen yang mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Hasil penelitian menunjukkan kandungan nitrat dalam air laut di Teluk Palu berkisar antara 0,0028 mg/L – 0,0035 mg/L dengan rata-rata 0,00315 mg/L. (Gambar 4.9). Berdasarkan hasil analisis konsentrasi yang didapatkan masih berada di bawah ambang batas baku mutu yang diprasyaratkan oleh pemerintah sesuai dengan KepMen LH No. 51 tahun 2004 sebesar 0.008 mg/L. Oleh karena itu perairan Teluk Palu masih sangat mendukung bagi kehidupan biota laut.
Konsentrasi (mg/L)
0,004 0,0035 0,003 0,0025 0,002 0,0015 0,001 0,0005 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling
Gambar 4.9 Konsentrasi nitrat di setiap titik sampling Kandungan nitrat di perairan dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut (DO), jika oksigen terlarut dalam air tinggi maka nitrit dalam air akan teroksidasi
36 menjadi nitrat, sehingga konsentrasi nitrat dalam air akan relatif tinggi. Hasil pengukuran menunjukkan konsentasi nitrat pada masing-masing titik bervariasi tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang siknifikan.
Kandungan Logam Berat pada Air Hasil analisis logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) pada air disajikan pada Lampiran 4. Kondisi suatu perairan secara umum dapat berubah seiring dengan masuknya limbah dari aktivitas manusia baik di udara, darat, maupun di perairan. Perubahan yang terjadi pada air misalnya penuruna kualitas air yang dapat berdampak langsung maupun tidak langsung pada organisme di dalamnya. Limbah merupakan hasil sampingan dari kegiatan manusia yang dapat menurunkan kualitas air. Penelitian di Teluk Palu dikhususkan pada parameter logam berat Hg dan Pb karena kedua logam berat ini diduga berpotensi mencemari perairan Teluk Palu. Merkuri (Hg) Secara alamiah pencemaran merkuri (Hg) dan logam-logam lainnya ke lingkungan umumnya berasal dari aktivitas gunung berapi, rembesan-rembesan air tanah yang melewati daerah deposit merkuri dan lain-lain. Meskipun sangat banyak sumber alamiah logam merkuri di alam dan masuk dalam tatanan lingkungan tertentu seperti perairan laut namun tidaklah menimbulkan efek-efek yang merugikan bagi lingkungan tersebut karena masih dapat ditolerir oleh alam itu sendiri. Hasil analisis menunjukkan kandungan logam berat merkuri (Hg) dalam air laut di setiap titik sampling berkisar antara 0,0008 mg/L – 0,0042 mg/L dengan rata-rata 0,0024 mg/L (Gambar 4.10). Nilai baku mutu logam berat merkuri dalam air laut diatur dalam KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut bagi biota laut sebesar 0,001 mg/L. Apabila hasil analisis rata dibandingkan dengan baku mutu maka hasil yang didapatkan telah melewati baku mutu yang diprasyaratkan tersebut. Konsentrasi tetinggi terdapat pada titik 1, 3, 4 dan 5. Titik sampling 4 dan 5 tepat berada di muara Sungai Pondo. Sedangkan titik 1 dan 3 yang kandungan merkurinya juga tinggi terdapat di depan Taman Ria. Secara zonasi konsentrasi rata-rata Hg dalam air menunjukkan Zona 1 > Zona 2 > Zona 3. Adanya perbedaan masing-masing zona diduga karena konsentrasi Hg dalam air dipengaruhi oleh sumber pencemar yang ada di darat, yakni Zona 1 terdapat kegiatan seperti PLTU, perhotelan, pusat perbelanjaan dan pemukiman; Zona 2 terdapat kegiatan pertambangan di hulu, perhotelan, pusat perbelanjaan, pemukiman dan lainnya; Zona 3 terdapat kegiatan pemukiman, perbengkelan dan penggaraman. Tingginya konsentrasi Hg di Zona 1 (titik sampling 1, 2, dan 3) diduga berasal limbah aktivitas rumah tangga, perhotelan, SPBU, pusat perbelanjaan dan PLTU karena titik sampling ini berdekatan dengan lokasi tersebut. Tingginya kandungan merkuri di Zona 1 juga diduga karena Zona 1 lebih dangkal dibanding Zona 2 dan 3 sehingga proses pengenceran logam merkuri dalam air lebih lama. Zona 2 (titik sampling 4, 5, dan 6) diduga berasal dari aktivitas pertambangan karena titik sampling ini berdekatan dengan muara
37 Sungai Pondo yang diduga membawa limbah yang mengandung merkuri dari pertambangan emas tradisional di hulu Sungai Pondo.
Konsentrasi Hg (mg/L)
0,0045 0,004 0,0035 0,003 0,0025 0,002 0,0015
Baku mutu
0,001 0,0005 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.10 Konsentrasi merkuri (Hg) pada air Tingginya kandungan merkuri dalam air di muara Sungai Pondo Teluk Palu diduga berasal dari aktivitas pertambangan emas tradisional yang terdapat di hulu Sungai Pondo. Pengolahan emas yang menggunakan cairan merkuri pada proses amalgamasi berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak dikelola secara benar. Penggunaan merkuri secara liar pada pengolahan biji emas (tromol/tailing) tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pengolahan limbah akan berdampak buruk terhadap lingkungan khususnya tanah di sekitar daerah pengolahan. Hal ini sejalan dengan penelitian (Mirdat et al. 2013) yang menemukan kandungan merkuri (Hg) dalam tanah pada areal sekitar tromol/tailing di Kelurahan Poboya berkisar 0,57 ppm – 8,19 ppm sedangkan pada limbah berkisar 84,15 ppm sampai 575,16 ppm. Dalam air logam Hg mudah berikatan dengan klor yang ada di dalam air dan membentuk ikatan HgCl (Widowati et al. 2008). Sumber lain yang diduga menjadi sumber masuknya logam merkuri ke dalam perairan Teluk Palu yaitu dari aktivitas masyarakat yang menggunakan merkuri sebagai katalis dan kegiatan yang menghasilkan limbah seperti rumah sakit, perhotelan, dan PLTU di sekitar Kota Palu. Merkuri terserap dalam dalam bahan partikulat dan mengalami presipitasi. Merkuri dalam kelompok yang toksik, selain sifatnya yang tidak larut dalam air dan lemak, juga karena tekanan uap merkuri cukup tinggi sehingga pada suhu normal dapat menghasilkan konsentrasi uap yang sangat membahayakan, misalnya pada suhu 24 oC pada udara yang jenuh uap merkuri akan mengandung 18 mg/m3 (360 kali lebih besar dari nilai ambang batas yang dikeluarkan oleh The National Institutes of Safety and Health, USA 0,05 mg/m3). Uap merkuri mempunyai waktu tinggal di atmosfer antara 0,4 dan tiga tahun, sedangkan merkuri dalam bentuk terlarut memiliki waktu tinggal sekitar tiga minggu (WHO 1993). Tingginya konsentrasi logam berat merkuri dalam air laut di Teluk Palu akan berdampak pada organisme yang ada di dalamnya. Kandungan logam berat khusunya Hg dan Pb yang tinggi dalam air laut lama kelamaan akan mengendap
38 dan terakumulasi pada sedimen (Cordova dan Riani 2011). Hal ini juga dapat berdampak pada organisme yang hidup di dasar perairan seperti udang, rajungan dan kerang-kerangan (Rahman 2006). Konsentrasi Hg dan Pb pada penelitian ini dapat dibandingkan dengan beberapa perairan lain di Indonesia disajikan pada Lampiran 6. Timbal (Pb) Timbal (Pb) yang masuk ke dalam perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia ada berbagai bentuk. Diantaranya adalah air limbah buangan dari berbagai industri yang menggunakan Pb misalnya industri cat, baterai, dan barang-barang elektronik serta limbah dari pertambangan timah. Sumber lain yang menjadi masuknya timbal ke dalam perairan di sekita lokasi penelitian yaitu dari aktivitas pertanian, persawahan dan pemukiman penduduk. Selain itu selain kendaraan di darat yang menjadi sumber masukknya timbal ke dalam perairan perahu bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin yang mengandung timbal tetraetil menguap ke udara, kemudian adanya hujan akan terbawa dan masuk ke perairan. Jika kondisi perairan asam maka jatuhan timbal bersamaan air hujan akan bereaksi menjadi PbNO3. Sumber lain juga berasal dari bahan bakar kendaraan bermotor yang menggunakan campuran timbal juga berkontribusi menyumbang limbah ke dalam perairan. Limbah-limbah tersebut akan masuk ke dalam jalur-jalur air, got, anak sungai dan sungai dan akhirnya terus dibawah menuju ke perairan laut. Hasil pengukuran konsentrasi timbal dalam air laut pada 10 titik sampling berkisar antara 0,0130 mg/L – 0,0392 mg/L dengan rata-rata 0,0297 mg/L (Gambar 4.11). Konsentrasi tertinggi sebesar 0,0392 mg/L terdeteksi pada sampel di titik sampling 8.
Konsentrasi Pb (mg/l)
0,045 0,04 0,035 0,03 0,025 0,02 0,015
Baku mutu
0,01 0,005 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.11 Konsentrasi timbal (Pb) pada air Nilai baku mutu logam timbal pada air laut ditetapkan dalam KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut bagi biota laut sebesar 0,008 mg/l. Hasil yang didapatkan telah melebihi batas toleransi yang dianjurkan, sehingga tingginya kandungan timbal dalam air laut di Teluk Palu akan mengendap dan
39 terakumulasi ke dalam sedimen. Tingginya kandungan timbal dalam perairan Teluk Palu juga akan berdampak pada terganggunya kehidupan biota perairan. Logam berat dalam perairan tersebut akan terkontaminasi ke plankton dan biota mikrooranisme lainnya dalam air serta akan terkontaminasi ke ikan dan organisme makrobentos melalui proses rantai makanan sehingga menimbulkan bioakumulasi dan biomaknifikasi pada ikan maupun biota lainnya (Riani 2012). Secara zonasi konsentrasi rata-rata logam Pb dalam air yakni Zona 2 > Zona 3 > Zona. Tingginya kandungan Pb di Zona 2 diduga berasal dari limbah aktivitas antropogenik masyarakat kota Palu seperti rumah tangga, perbengkelan, rumah sakit, SPBU, perhotelan, perbengkelan dan juga dari polusi asap kendaraan bermotor. Tingginya kandungan logam berat Pb yang terdapat di lokasi penelitian Teluk Palu diduga disebabkan oleh pengaruh dari aktivitas penambangan yang berada di darat yang membuang tailing ke sungai. Hal ini sejalan dengan penelitian Ning et al. (2011), melaporkan bahwa air permukaan di kawasan penambangan emas Linglong di China telah tercemar logam berat Pb. Kurniawan (2013) juga mengatakan bahwa kandungan logam berat Pb di kawasan penambangan timah di Bangka telah melebihi baku mutu air laut untuk biota laut. Penelitian Arifin (2011), juga menyatakan bahwa tingginya kandungan logam Pb di Muara Sungai Layang karena berdekatan dengan penambangan tradisional. Bakar bakar perahu nelayan yang menggunakan bensin bertimbal, diduga juga berkontribusi terhadap tingginya konsentrasi Pb dalam perairan Teluk Palu.
Kandungan Logam Berat pada Sedimen Hasil analisis logam berat Hg dan Pb dalam sedimen di sajikan pada Lampiran 4. Konsentrasi logam berat di sedimen merupakan indikator yang baik pada suatu lingkungan yang tercemar logam berat. Konsentrasi logam berat pada sedimen diperlukan untuk mengetahui tingkat pencemaran logam berat di sedimen. Logam berat yang masuk ke perairan akan segera berasosiasi dengan partikel sedimen dan terakumulasi di dasar perairan. Akumulasi logam berat dari air permukaan ke dasar perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti pH, kekuatan ion, masukan limbah antropogenik, jenis dan konsentrasi ligand organik dan inorganik (Davies et al. 1991). Konsentrasi logam terlarut secara cepat hilang dari larutan pada saat berhubungan dengan permukaan materi partikulat melalui beberapa fenomena ikatan permukaan yang berbeda (ikatan koloid, adsorpsi, dan presipitasi). Pembentukan partikulat logam berat menyebabkan dekomposisi dan penambahan konsentrasinya di dalam sedimen (proses sedimentasi). Setelah proses sedimentasi, unsur-unsur logam berat akan mengalami proses diagenesis, melibatkan peningkatan bobot molekul dan hilangnya gugus fungsi. Sebagai akibatnya terbentuknya cadangan logam berat pada sedimen perairan yang relatif stabil dan kurang reaktif (Maslukah 2006).
Merkuri (Hg) Kandungan logam berat merkuri dalam sedimen di muara Teluk Palu hampir sama di setiap titik sampling, tetapi ada satu titik sampling yang kandungannnya tinggi yakni pada titik sampling 6. Hasil pengukuran setiap titik sampling menunjukkan konsentrasi logam berat merkuri pada sedimen berkisar antara 0,017 mg/kg – 0,028 mg/kg dengan rata-rata 0,0505 mg/kg (Gambar 4.12).
40 Berdasarkan konsentrasi rata-rata Hg dalam sedimen di masing-masing zona, menunjukkan Zona 2 > Zona 3 > Zona 1. Nilai baku mutu logam berat merkuri di Indonesia belum diatur sehingga hasil yang diperoleh dibandingkan dengan baku mutu CCME dari Negara Canada sebesar 0,13 mg/kg dan dari beberapa Negara seperti pada Lampiran 2. Hasil yang diperoleh tersebut masih berada pada batas aman sesuai dengan baku mutu yang diprasyaratkan. Penelitian Purnawan et al. (2013) melaporkan kandungan Hg dalam sedimen di muara Sungai Pondo Teluk Palu berkisar antara 0,0103 mg/kg–0,185 mg/kg (masih di bawah baku mutu). Konsentrasi logam berat merkuri dalam sedimen lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi dalam air karena logam merkuri memiliki massa jenis lebih besar dari air sehingga akan mengendap dan terakumulasi pada sedimen.
Konsentrasi Hg (mg/kg)
0,35 0,3 0,25 0,2 0,15
Baku mutu
0,1 0,05 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.12 Konsentrasi merkuri (Hg) pada sedimen Konsentrasi Hg di Zona 2 dan Zona 3 lebih tinggi dibanding Zona 1, karena kontaminasi merkuri diduga berasal dari aktivitas pengolahan emas (tromol/tailing) yang terletak di sekitar daerah aliran Sungai Pondo. Aktivitas pengolahan emas yang menggunakan cairan merkuri tanpa memperhatikan akibatnya akan menghasilkan lumpur yang kandungan merkurinya tinggi. Lumpur yang dihasilkan oleh aktivitas tailing tersebut tidak dikelolah secara benar, hanya ditampung dalam kolam penampungan yang kecil, sehingga ketika turun hujan maka akan terbawa ke sungai selanjutnya mengalir ke laut. Sebagian lainnnya akan menguap ke udara dan ketika turun hujan maka akan terbawa turun bersama air hujan. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab akan semakin bertambahnya kandungan merkuri dalam sedimen di Teluk Palu. Kontaminasi logam berat merkuri pada sedimen di Teluk Palu diduga juga berasal dari sumber lain seperti limbah rumah sakit, minyak dan batubara pada PLTU dan dari penggunaan pertisida oleh masyarakat pada bidang pertanian dan perkebunan di daratan. Timbal (Pb) Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di laboratorium, konsentrasi logam berat Pb pada setiap titik sampling sangat bervariasi. Konsentrasi logam timbal pada setiap titik berkisar antara 2,647 mg/kg – 8,987 mg/kg (Gambar 4.13).
41
Konsentrasi Pb (mg/kg)
Konsentrasi rata-rata timbal pada sedimen di Teluk Palu sebesar 4,872 mg/kg. Konsentrasi tertinggi terukur pada titik sampling 9 dan 10 dan terendah pada titik 2. Pada titik 10 merupakan daerah yang jauh dari aktivitas penduduk tetapi konsentrasi Pb dalam sedimen cukup tinggi dibanding titik sampling lain. Hal ini diduga kandungan Pb dalam sedimen di titik sampling 10 bersumber dari aktivitas pelabuhan yang terletak di sebelah utara dari titik sampling tersebut. Logam Pb diduga terbawa oleh arus laut dan mengendap dalam sedimen di sekitar titik sampling 10. Secara zonasi konsentrasi rata-rata Pb dalam sedimen yakni Zona 3 > Zona 2 > Zona 1. Konsentrasi timbal dalam sedimen yang diperoleh masih di bawah batas aman toleransi apabila dibandingkan dengan baku mutu (CCME 2002 = 30,2 mg/kg). Oleh karena itu konsentrasi logam berat dalam sedimen di Teluk Palu masih dalam batas toleransi bagi biota laut. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.13 Konsentrasi timbal (Pb) pada sedimen Logam timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada dalam badan perairan secara alamiah dalam konsentrasi kecil dan konsentrasinya dapat bertambah sebagai dampak dari aktivitas manusia di darat maupun di laut. Secara alamiah Pb dapat masuk ke dalam perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Disamping itu, korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin juga merupakan salah satu jalur Pb yang akan masuk dalam badan perairan secara alamiah. Logam Pb masuk ke dalam badan perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia terutama dalam bidang perindustrian bentuknya bermacam-macam. Diantaranya adalah air buangan (limbah) dari industri yang berkaitan dengan Pb (industri baterai, cat, pipa, dan barang-barang elektronik), air buangan dari pertambangan bijih timah hitam. Bahan bakar minyak kendaraan bermotor yang mengandung timbal (leaded gasoline) juga memberikan konstribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di dalam perairan. Buangan-buangan tersebut ada yang langsung jatuh pada jalurjalur air dan ada yang menguap ke udara kemudian jatuh bersama air hujan kemudian masuk ke jalur perairan seperti anak sungai untuk kemudian akan terbawa menuju lautan.
42 Hasil penelitian Said et al. (2009) di lokasi yang sama menemukan konsentrasi rata-rata logam timbal dalam sedimen sebesar 15,89 ± 7,43 mg/kg. Konsentrasi logam berat dalam sedimen tersebut diduga akan terus bertambah seiring dengan perkembangan industri yang berhubungan dengan timbal dan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Konsentrasi timbal dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan konsentrasi dalam air laut. Hal ini diduga karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, pH, salinitas dan juga faktor dari logam berat timbal itu sendiri yang susah untuk terdegradasi sehingga akan terakumulasi dalam sedimen. Tingginya akumulasi kandungan logam timbal dalam sedimen juga karena sifat dari logam berat yang tidak larut dalam air sehingga mengendap di dasar perairan dan logam berat mudah terikat oleh bahan-bahan organik yang ada pada sedimen (Connell dan Miller 1995). Logam berat yang masuk ke dalam air akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, yang selanjutnya akan diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut (Darmono 2001). Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat, hidroksil dan klorida (Hutagalung 1984). Pada (Lampiran 7) dapat dilihat perbandingan konsentrasi Pb dalam sedimen di Teluk Palu dengan beberapa perairan lain di Indonesia.
Kandungan Hg dan Pb Pada Organ Ikan Selar Tetengkek Kontaminasi logam berat pada organisme perairan dapat terjadi melalui tiga cara yaitu melalui pernapasan, masuk bersama makanan melalui saluran percernaan dan masuk melalui difusi permukaan kulit. Apabila kontaminasi berlangsung secara terus menerus maka dapat terjadi bioakumulasi logam berat dalam tubuh organisme misalnya pada ikan. Hasil analisis Hg dan Pb dalam organ insang, daging, hati dan limpa ikan selar tetengkek dijaikan pada Lampiran 4.
Insang Merkuri (Hg) Insang rentan terhadap kontaminasi logam berat karena organ organ insang yang paling pertama mendapat paparan langsung dari logam berat yang ada di dalam air. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di laboratorium konsentrasi logam Hg dalam insang ikan selar tetengkek pada setiap titik sampling berkisar antara 0,007 mg/kg – 0,145 mg/kg dengan rata-rata 0,0329 mg/kg (Gambar 4.14 ). Konsentrasi tertinggi diperoleh pada titik 1 dan terendah pada titik 5. Nilai baku mutu logam berat merkuri pada ikan sebesar 0,5 mg/kg (SNI 7387:2009) dan 1,0 mg/kg (BPOM). Konsentrasi Hg yg didapatkan dalam organ insang masih pada batas toleransi bagi biota, namun konsentrasi ini tetap berbahaya bagi biota karena akan terakumulasi dalam tubuhnya. Menurut Hutagalung (1984), semakin tinggi konsentrasi logam berat, semakin besar daya toksisitasnya. Selanjutnya dikatakan faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas logam berat pada organisme perairan seperti pH, kesadahan, suhu dan salinitas.
43
Konsentrasi Hg (mg/kg)
0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.14 Konsentrasi merkuri (Hg) pada insang Logam berat merkuri (Hg) adalah satu-satunya logam dalam bentuk cair pada suhu normal (Effendi 2003). Dalam lingkungan perairan khususnya di dasar merkuri (Hg) berikatan dengan sulfur. Pada kadar merkuri (Hg) anaerobik yang rendah dapat mengalami transformasi menjadi dimetil merkuri dan pada kadar Hg yang tinggi akan mengalami transformasi menjadi monometil dengan bantuan mikroba baik dalam kondisi aerob maupun anaerob. Kedua bentuk metil merkuri tersebut dapat dipecah oleh bakteri yang hidup pada dasar sedimen. Senyawa merkuri bersifat sangat toksik bagi ikan dan organisme akuatik lainnya karena dapat mengalami bioakumulasi dan biomaknifikasi pada rantai makanan. Kandungan logam berat pada perairan maupun sedimen akan terkontaminasi ke ikan dan organisme perairan lainnya baik melalui kulit maupun masuk bersamaan dengan makanan. Kandungan logam berat pada organ tubuh ikan dan organisme perairan dapat diketahui melalui proses analisis di laboratorium bagian organorgannya yakni insang, daging, hati, ginjal, limpa dan organ lain. Timbal (Pb) Berdasarkan hasil analisis di laboratorium konsentrasi logam berat timbal (Pb) pada insang ikan selar tetengkek di Teluk Palu didapatkan konsentrasinya antara 0,132 mg/kg – 0,775 mg/kg (Gambar 4.15). Rata-rata konsentrasi dari semua titik sampling sebesar 0,4704 mg/kg. Konsentrasi tertinggi didapatkan pada titik 4 dan 6 sedangkan tertinggi pada titik 7. Ikan yang ditangkap dititik 10 juga memiliki kandungan Pb cukup tinggi diduga akibat terkontaminasi dari air. Nilai baku mutu logam berat timbal yaitu 0,3 mg/kg (SNI 7387:2009) dan 0,4 mg/kg (BPOM). Berdasarkan hasil konsentrasi logam berat timbal dalam insang ikan selar tetengkek di Teluk Palu telah melewati baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena telah kadar merkuri dalam insang ikan telah melewati baku muku yang diprasyaratkan maka masyarakat lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi ikan yang diambil dari Teluk Palu karena dapat mebahayakan kesehatan.
44
Konsentrasi Pb (mg/kg)
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4
Baku mutu
0,3 0,2 0,1 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.15 Konsentrasi timbal (Pb) pada insang Logam timbal termasuk dalam logam berat toksik bagi ikan dan tersedia secara alamih dan akibat aktivitas manusia di perairan. Ikan merupakan sumber protein yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Pencemaran laut dapat meningkatkatkan konsentrasi logam berat yang sangat beracun bagi kesehatan ikan (Velusamy et al. 2014). Polusi logam Pb dapat disebabkan oleh berbagai sumber, termasuk drainase pertanian, limbah pembuangan industri, pembuangan limbah rumah tangga, tumpahan limbah kimia, dan bensin dari perahu nelayan (Kumara et al. 2015). Kontaminasi logam timbal pada ikan dapat meningkatkan akumulasi pada organ-organ ikan dan mempengaruhi kondisi histologis dan fungsi organ-organ tersebut. Organ insang merupakan salah satu organ yang dapat terpapar langsung oleh logam berat karena berfungsi sebagai alat pernapasan pada ikan yang secara langsung melakukan kontak dengan air Daging Merkuri (Hg) Berdasarkan hasil analisis di laboratorium konsentrasi logam berat merkuri (Hg) pada organ daging ikan selar tetengkek yang diambil dari lokasi penelitian Teluk Palu berkisar antara 0,014 mg/kg – 0,046 mg/kg (Gambar 4.16). Konsentrasi Hg pada daging ikan setiap titik sampling bervariasi. Konsentrasi rata-rata dari semua titik sampling sebesar 0,028 mg/kg. Konsentrasi Hg tertinggi pada organ daging diperoleh pada titik sampling 9 dan terendah pada organ ikan di titik sampling 5. Nilai baku mutu logam berat merkuri pada ikan sebesar 0,5 mg/kg (SNI 7387:2009) dan 1,0 mg/kg (BPOM). Rata-rata hasil analisis laboratorium logam merkuri pada daging ikan tetengkek yang diperoleh dari lokasi penelitian masih berada dibawah baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Meskipun kandungan logam merkuri (Hg) dalam sampel ikan masih dalam konsentrasi yang sangat kecil apabila dikonsumsi oleh manusia secara terus menerus tetap dapat menimbulkan dampak kesehatan bagi manusia karena sifatnya yang sangat toksik dan mudah terakumulasi dalam tubuh.
Konsentasi Hg (mg/kg)
45 0,05 0,045 0,04 0,035 0,03 0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.16 Konsentrasi merkuri (Hg) pada daging Merkuri (Hg) merupakan unsur yang secara alami terdapat dalam lingkungan perairan dan dimana saja dalam konsentrasi yang sangat kecil (Randall dan Chattopadhyay 2013). Logam merkuri (Hg) adalah logam yang sangat beracun, yang menyebabkan pencemaran yang parah melalui pembuangan limbah industri. Ikan memperoleh Hg melalui makanan yang dapat ditentukan oleh ukuran ikan, umur, faktor ekologi dan parameter kualitas air (Velusamy et al. 2014). Penelitian Autman (2012) menemukan kandungan konsentrasi merkuri pada daging ikan nila Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758) di Mesir sebesar 6,297 ± 0,004 mg/kg pada musim panas. Kontaminasi logam berat pada tubuh ikan dapat melalui sistem pernapasan, saluran pencernaan dan obsorbsi melalui kulit (Darmono 2001). Penelitian Onsanit et al. 2012, kontaminasi logam merkuri pada organ tubuh ikan lebih besar melalui saluran pencernaan lewat asupan makanan. Timbal (Pb) Hasil analisis laboratorium kandungan logam berat Pb pada daging ikan selar tetengkek yang diambil dari lokasi penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi tiap titik sampling. Konsentrasi logam Pb dalam daging ikan berkisar antara 0,005 mg/kg – 0,734 mg/kg (Gambar 4.17). Konsentrasi rata-rata dari semua titik sampling sebesar 0,232 mg/kg. Nilai baku mutu konsentrasi logam berat timbal pada ikan sebesar 0,3 mg/kg (SNI 7387:2009) dan 0,4 mg/kg (BPOM). Penelitian Arsad et al. (2012) pada spesies ikan belanak (Liza Melinoptera) di lokasi yang sama menemukan konsentrasi rata-rata logam timbal (Pb) dalam daging sebesar 1.746 ± 1.673 mg/kg. Konsentrasi logam berat timbal pada daging ikan yang diperoleh dari lokasi penelitian masih di bawah batas aman baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai SNI dan BPOM. Meskipun konsentrasinya masih di bawah batas aman tetapi apabila dikonsumsi oleh manusia secara terus menerus tetap berbahaya bagi kesehatan karena sifat logam Pb yang susah terurai dalam tubuh dan sifatnya yang terakumulasi dalam tubuh.
46
Konsentrasi Pb (mg/kg)
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4
Baku mutu
0,3 0,2 0,1 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.17 Konsentrasi timbal (Pb) pada daging Logam berat masuk ke dalam tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan dan penetrasi melaui kulit. Absorbsi logam melalui saluran pernapasan biasanya cukup besar, baik pada hewan air yang masuk melalui insang, maupun hewan darat yang masuk bersama debu dari udara ke saluran pernapsan. Absorbsi melalui saluran pencernaan hanya beberpa persen saja, tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar. Sedangkan logam berat yang masuk melalui kulit jumlah dan absorbsinya relatif kecil. Dibandingkan dengan organ lainnya konsentrasi Hg dan Pb dalam daging paling rengah. Hal ini sesuai dengan penelitian Squadron et al. (2012); ElMoselhy et al. (2014) dan Ghannam et al. (2015), juga melaporkan kandungan logam berat terendah terdeteksi dalam organ daging ikan. Selain pada hewan air lainnya (kerang dan udang) logam berat juga dapat terakumulasi pada ikan. Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat akumulasi logam berat sama dengan faktor yang mempengaruhi akumulasi pada hewan air yaitu tergantung pada konsentrasi logam dalam air, kadar garam, suhu dan pH (Darmono 2001). Dibandingkan dengan kerang, ikan lebih kecil mengakumulasi logam berat karena habitat hidupnya yang tidak menetap dan pergerakannnya tidak terbatas pada satu wilayah tertentu. Oleh karena itu ikan tidak terlalu tepat dijadikan sebagai indikator pencemaran dibanding dengan kerang. Hati Merkuri (Hg) Berdasarkan hasil analisis di laboratorium pada sampel yang diperoleh dari lokasi penelitian menunjukkan konsentrasi logam merkuri dalam sampel hati ikanj selar tetengkek setiap titik sampling sangat bervariasi. Konsentrasi logam merkuri pada organ hati berkisar antara 0,052 mg/kg – 0,016 mg/kg (Gambar 4.18). Ratarata konsentrasi dari semua titik sampling sebesar 0,073 mg/kg. Konsentrasi logam merkuri tertinggi pada sampel di titik sampling 3 dan terendah pada titik sampling 1. Nilai baku mutu logam berat merkuri pada ikan sebesar 0,5 mg/kg (SNI 7387:2009) dan 1,0 mg/kg (BPOM). Berdasarkan hasil yang diperoleh masih
47 pada konsentrasi yang ditoleransi jika dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Logam merkuri yang berbentuk metilmerkuri merupakan logam yang toksisitasnya sangat tinggi (Mela et al. 2007), oleh karena itu itu meskipun konsentrasinya dalam bahan makanan seperti ikan masih sangat kecil tetap berbahaya bagi kesehatan manusia apabila dikonsumsi secara terus menerus.
Konsentrasi Hg (mg/kg)
0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.18 Konsentrasi merkuri (Hg) pada hati Merkuri (Hg) merupakan logam berat yang terdistribusi secara luas dan telah terdaftar sebagai polutan utama oleh banyak lembaga internasional karena sifatnya yang menetap dalam lingkungan dan memiliki tingkat toksitas yang tinggi bagi organisme (Cardosa et al. 2013). Dalam lingkungan perairan yang terkontaminasi merkuri (organik dan anorganik) dapat ditransfer dari abiotik ke biotik kompartemen (Donkor et al. 2006). Kontaminasi merkuri pada organ hati ikan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, misalnya penelitian Riani (2010), melaporkan kandungan konsentrasi logam merkuri sebesar 0,00458 ppm dalam hati ikan petek (Leiognathus equulus) yang hidup di Perairan Ancol, Teluk Jakarta. Timbal (Pb) Berdasarkan hasil analisis laboratorium kandungan logam berat Pb pada hati ikan selar tetengkek yang diperoleh dari lokasi penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi setiap titik sampling. Konsentrasi logam Pb dalam hati ikan berkisar antara 0,295 mg/kg – 1,871 mg/kg (Gambar 4.19). Konsentrasi rata-rata dari semua titik sampling sebesar 0,993 mg/kg. Nilai baku mutu konsentrasi logam berat timbal pada ikan sebesar 0,3 mg/kg (SNI 7387:2009) dan 0,4 mg/kg (BPOM). Konsentrasi logam berat timbal pada hati ikan yang diperoleh dari lokasi penelitian telah melewati batas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai SNI dan BPOM. Konsentrasi Pb dalam hati ikan yang diperoleh dari titik sampling 10 juga telah melewati baku mutu. Hal ini diduga karena ikan yang ditangkap merupakan ikan yang telah terkontaminasi di tempat lain yang telah tercemar logam Pb.
Konsentrasi Pb (mg/kg)
48
2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Baku mutu TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.19 Konsentrasi timbal (Pb) pada hati Tingginya konsentrasi logam timbal dalam hati ikan yang diperoleh dari lokasi penelitian diduga karena terkontaminasi dari logam timbal dalam air yang kandungan timbalnya sangat tinggi pada saat ikan mengkonsumsi air. Menurut Yulaipi dan Aunurohim (2013), kontaminasi logam berat timbal pada organ hati ikan dapat terjadi karena adanya kontak antara medium yang mengandung toksik dengan ikan. Kontak berlangsung berlangsung dengan adanya pemindahan zat kimia dari lingkungan air ke dalam tubuh atau permukaan tubuh ikan, misalnya logam timbal masuk melalui insang. Logam berat timbal dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui tiga cara yaitu melalui makan/saluran pencernaan, insang dan melalui permukaan kulit (Sahetapy 2011). Selain itu, organ hati yang berfungsi sebagai organ detoksifikasi, sehingga akumulasi logam berat timbal yang diperoleh dalam organ hati cukup tinggi. Ikan yang mengandung logam timbal dalam konsentrasi tinggi sangat berbahaya bagi kesehatan manusia apabila dikonsumsi karena logam ini bersifat karsonogenik (Widowati et al. 2008; Riani 2012). Di dalam tubuh manusia, Pb bisa menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil Pb dieksresikan urin dan feses karena sebagian terikat oleh protein, sedangkan sebagian lagi terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku, jaringan lemak dan rambut (Widowati et al. 2008). Timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat beracun dan berbahaya, banyak ditemukan sebagai pencemar dan cenderung mengganggu kelangsungan hidup organisme perairan (Palar 2002). Adanya timbal (Pb) yang masuk ke dalam ekosistem perairan dapat menjadi sumber pencemar bagi lingkungan perairan itu sendiri dan dapat mempengaruhi biota di dalamnya seperti mematikan ikan dan organisme lain karena sifat toksisitasnya yang tinggi (Darmono 2001). Logam timbal yang masuk ke dalam lingkungan perairan dapat berasal dari limbah industri kimia, industi yang menhasilkan logam, pipa dan cat. Bahan bakar yang mengandung timbal juga menjadi sumber pencemaran timbal ke lingkungan.
49 Limpa Merkuri (Hg) Hasil analisis laboratorium kandungan logam berat merkuri (Hg) pada limpa ikan selar tetengkek yang diambil dari lokasi penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi setiap titik sampling. Konsentrasi merkuri pada sampel limpa berkisar antara 1,654 mg/kg – 13,923 mg/kg (Gambar 4.20). Rata-rata konsentrasi logam merkuri pada limpa dari semua titik sampling sebesar 7,873 mg/kg. Nilai baku mutu logam berat merkuri pada ikan sebesar 0,5 mg/kg (SNI 7387:2009) dan 1,0 mg/kg (BPOM). Berdasarkan nilai baku mutu tersebut maka konsentrasi logam merkuri dalam sampel ikan yang diperoleh dari lokasi penelitian telah melewati batas yang ditoleransi. Tingginya konsentrasi logam merkuri dalam organ limpa diduga karena organ ini memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat dan sifat dari logam itu sendiri yang mudah terakumalasi dalam tubuh ikan. Merkuri (Hg) adalah salah satu kontaminan yang paling berbahaya apabila mencemari lingkungan perairan, dan secara luas dianggap sebagai salah satu penyebab utama polusi lingkungan tertinggi oleh European Water Framework Directive (WFD) dan pada skala global (Pereira et al. 2008). Kontaminasi merkuri pada organ limpa ikan telah dilaporkan oleh beberapa penelitian misalnya penelitian Authman et al. (2012), mendapatkan konsentrasi merkuri sebesar 5,001 ± 0.003 mg/kg pada limpa ikan nila (Oreochromis niloticus) di Mesir, sedangkan penelitian Riani (2015), di Danau Cirata Jawa Barat mendapatkan konsentrasi Hg 1,084 ppm pada organ limpa.
Konsentrasi Hg (mg/kg)
0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.20 Konsentrasi merkuri (Hg) pada limpa Timbal (Pb) Berdasarkan hasil analisis di laboratorium, kandungan logam berat Pb pada limpa ikan selar tetengkek yang diperoleh dari lokasi penelitian menunjukkan konsentrasi yang sangat tinggi dan bervariasi setiap titik sampling. Konsentrasi logam Pb dalam limpa sampel ikan berkisar antara 1,654 mg/kg – 12,923 mg/kg (Gambar 4.21). Konsentrasi rata-rata dari semua titik sampling sebesar 7,873
50 mg/kg. Nilai baku mutu konsentrasi logam berat timbal pada ikan sebesar 0,3 mg/kg (SNI 7387:2009) dan 0,4 mg/kg (BPOM). Konsentrasi logam berat timbal pada limpa ikan yang diperoleh dari lokasi penelitian telah melewati batas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai SNI dan BPOM. Hal ini diduga karena organ limpa merupakan organ yang berperan dalam imunitas (Riani 2010).
Konsentrasi Pb (mg/kg)
14 12 10 8 6 4
Baku mutu
2 0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
Titik sampling Gambar 4.21 Konsentrasi timbal (Pb) pada limpa Pada penelitian ini konsentrasi Pb paling tinggi ditemukan dalam organ limpa. Hal ini sejalan dengan penelitian Riani (2015), melaporkan konsentrasi tertinggi logam Pb dalam organ limpa ikan mas dibandingkan organ hati, insang dan kulit. Kontaminasi logam timbal (Pb) pada ikan dapat menimbulkan keracunan bahkan kematian ikan. Keracunan akibat kontaminasi Pb dapat menimbulkan berbagai macam hal, misalnya meningkatnya kadar asam δaminolevulinat dehidratase (ALAD) dalam darah dan urin, meningkatnya kadar protoporphin dalam sel darah merah, memperpendek umur sel darah merah. Menurunkan jumlah sel darah merah, dan kadar sel-sel darah merah yang masih muda (retikulosit), serta meningkatkan kandungan logam Fe dalam plasma darah (Widowati et al. 2008). Selanjutnya penelitian Yancheva et al. (2014), menemukan konsentrasi logam Pb yang tinggi pada organ hati dan limpa ikan mas (Cyprinus carpio, L) di Bulgaria karena organ ini berfungsi sebagai tempat pembentukan limfosit baru, pemecahan sel darah merah tua, dan berperan dalam respon imunitas secara keseluruhan. Lebih lanjut dikatakan bahwa organ ini tepat digunakan sebagai sampel uji penilaian kontaminasi logam berat pada ikan.
Korelasi Logam Berat dalam Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek Korelasi Hg dan Pb dalam Air Laut dengan Sedimen Penentuan nilai korelasi antar variabel pengamatan bertujuan untuk melihat keeratan antara konsentrasi pengamatan logam Hg dan Pb dalam air laut terhadap kandungan logam Hg dan Pb pada sedimen. Semakin tinggi nilai korelasi atau nilai korelasi mendekati 1 dan -1 berarti keeratan antar variabel semakin erat.
51 Hasil uji korelasi logam berat dalam air laut dengan logam berat dalam sedimen disajikan pada tabel 4.1 berikut. Berdasarkan hasil uji korelasi didapatkan nilai korelasi antara logam Hg pada air dengan logam Hg dalam sedimen -0,2803. Hasil ini menunjukkan nilai korelasinya rendah artinya memiliki hubungan yang lemah dan negatif (berlawanan). Artinya bahwa apabila konsentrasi logam berat Hg dalam air meningkat maka konsentrasi logam berat Hg dalam sedimen akan menurun, demikian juga sebaliknya jika konsentrasi logam berat Hg dalam air menurun maka konsentrasi logam Hg dalam sedimen meningkat. Proses pengendapan logam berat dalam air membutuhkan waktu yang cukup lama dan banyak faktor fisika dan kimia perairan yang ikut mempengaruhi proses pengendapan dan pendistribusian logam berat tersebut di perairan. Tabel 4.1 Korelasi antara konsentrasi logam berat dalam air laut dengan kandungan logam berat dalam sedimen. Logam Korelasi (r) p Hg -0,2803 0,433 Pb -0,3871 0,269 Hasil korelasi konsentrasi logam Pb dalam air dengan logam berat Pb dalam sedimen senilai -0,3871. Hasil korelasinya rendah dan bernilai negatif artinya berkorelasi tetapi tidak nyata dan berlawanan arah. Artinya bahwa apabila konsentrasi logam berat Hg dalam air meningkat maka konsentrasi logam berat Hg dalam sedimen menurun, demikian juga sebaliknya jika konsentrasi logam berat Hg dalam air menurun maka konsentrasi logam Hg dalam sedimen meningkat. Hal ini diduga karena akumulasi logam berat dalam sedimen dipengaruhi oleh jenis tekstur sedimen dan pH sedimen serta salinitas air laut. Korelasi Logam Berat Hg dan Pb dalam Air Laut dengan dalam Organ Ikan Selar Tetengkek Hasil uji korelasi antara konsentrasi logam berat Hg dan Pb dalam air dengan konsentrasi dalam organ ikan dapat dilihat pada (Tabel 4.2). Berdasarkan hasil uji korelasi antara konsentrasi logam berat dalam air dengan konsentrasi logam berat pada organ insang senilai 0,648 dan p-value 0.043. Nilai korelasinya signifikan karena p-value <0,05 artinya konsentrasi logam Hg dalam air berpengaruh signifikan terhadap konsentrasi logam Hg dalam organ insang. Hasil korelasi tersebut menujukkan konsentrasi logam berat Hg dalam air memiliki hubungan yang kuat dengan konsentrasi logam berat Hg dalam organ insang ikan selar tetengkek. Artinya kenaikan konsentrasi logam Hg dalam dalam air disertai dengan kenaikan konsentrasi logam Hg dalam insang ikan selar tetengkek di lokasi penelitian. Hal ini diduga karena insang merupakan organ pernapasan pada ikan. Air yang telah terkontaminasi oleh bahan pencemar seperti logam berat baik secara langsung atau tidak langsung akan terkontaminasi pada insang ikan dan akhirnya terakumulasi. Hasil ini juga diduga karena tingginya kandungan logam berat Hg dalam air yang diperoleh dari lokasi penelitian sehingga pengaruhnya ke organ insang ikan cukup besar. Korelasi konsentrasi logam Pb dalam air dengan logam berat Pb dalam insang senilai 0,272. Nilai korelasinya bernilai rendah
52 (tidak nyata) dan positif (searah). Artinya kenaikan konsentrasi logam Pb dalam air juga disertai dengan kenaikan konsentrasi logam Pb dalam insang ikan. Tabel 4.2 Korelasi konsentrasi logam berat dalam air laut dengan kandungan logam berat dalam organ ikan selar tetengkek. p Logam Organ Ikan Korelasi (r) Hg Insang 0,648* 0,043 Daging 0,427 0,219 Hati 0,209 0,563 Limpa -0,335 0,344 Pb Insang 0,272 0,447 Daging 0,055 0,881 Hati 0,071 0,845 Limpa 0,281 0,431 *Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
Hasil uji korelasi antara konsentrasi logam Hg dalam air dengan Hg dalam daging/otot senilai 0,427. Interpretasi nilai korelasinya bersifat tidak nyata dan searah. Artinya bahwa apabila konsentrasi logam Hg dalam meningkat, maka konsentrasi logam Hg dalam daging ikan juga meningkat. Peningkatan konsentrasi logam Hg dalam air tersebut diduga terjadi karena meningkatnya bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan. Korelasi yang sangat kecil ditunjukkan antara konsentrasi logam Pb dalam air dengan dalam daging senilai 0,055. Artinya ada korelasi tetapi tidak nyata dan searah. Hal ini diduga karena proses masuknya logam berat ke dalam tubuh ikan dan akhirnya terakumulasi pada daging tidak hanya melalui air melainkan juga melalui proses biomaknifikasi pada rantai makanan serta terarbsorbsi melalui kulit. Nilai korelasi antara konsentrasi logam Hg dalam air dengan konsentrasi dalam hati 0,209. Nilai korelasinya sangat rendah (tidak nyata) dan positif (searah). Pada korelasi konsentrasi logam Pb dalam air dengan daging diperoleh hasil senilai 0,071. Makna dari hasil korelasi ini adalah hubungannya bersifat tidak nyata dan searah. Artinya bahwa peningkatan konsentrasi logam Hg dan Pb dalam air juga diikuti dengan peningkatan konsentrasi dalam hati. Nilai korelasinya sangat kecil diduga karena poses akumulasi logam berat dalam hati yang dipengaruhi oleh fungsi dari hati untuk detoksifikasi. Hasil uji korelasi konsentrasi logam Hg dalam air dengan Hg dalam limpa sebesar -0,335. Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa hubungan konsentrasi logam Hg dalam air dengan dalam limpa tidak nyata dan berlawanan arah (negatif). Artinya bahwa apabila konsentrasi logam Hg dalam air meningkat maka konsentrasi logam Hg dalam organ limpa menurun. Hal ini diduga karena fungsi organ limpa sebagai organ pertahanan terhadap zat-zat toksik yang masuk ke dalam tubuh ikan. Pada uji korelasi antara konsentrasi logam Pb dalam air dengan Pb dalam limpa diperoleh hasil 0,281. Nilai korelasi tersebut menunjukkan hubungan yang tidak nyata dan searah.
53 Korelasi Logam Berat Hg dan Pb dalam Sedimen dengan dalam Organ Ikan Selar Tetengkek Hasil uji korelasi antara konsentrasi logam berat Hg dan Pb dalam sedimen dengan konsentrasi dalam organ ikan dapat dilihat pada Tabel 4.3. Berdasarkan uji korelasi konsentrasi logam Hg dalam sedimen dengan logam Hg dalam insang diperoleh nilai korelasi -0,211. Nilai korelasinya rendah dan negatif (berlawanan arah), artinya bahwa apabila konsentrasi logam Hg dalam sedimen meningkat maka konsentrasi dalam air organ insang menurun, demikian juga sebaliknya. Pada uji korelasi konsentrasi logam Pb antara sedimen dengan insang menghasilkan nilai -0,007. Hasil korelasi tersebut menunjukkan korelasi yang tidak nyata dan negative (berlawanan arah). Artinya apabila konsentrasi logam Hg dalam sedimen meningkat maka konsentrasi dalam air organ insang menurun, demikian juga sebaliknya. Hasil uji korelasi antara konsentrasi logam Hg dan Pb dalam sedimen dengan logam Hg dan Pb dalam organ daging masing-masing senilai 0,083 dan 0,202. Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa korelasi antar variabel tidak nyata. Hal ini diduga karena kontaminasi logam berat pada daging ikan tidak secara langsung tetapi melalui proses metabolisme dalam tubuh ikan. Selanjutnya hasil uji korelasi antara logam berat Hg dan Pb dalam sedimen dan logam berat dalam organ hati masing masing -0,222 dan -0,554. Hasil korelasi ini menunjukkan logam Hg memiliki hubungan tidak nyata sedangkan logam Pb memiliki hubungan yang nyata. Hal ini diduga berhubungan dengan fungsi organ hati sebagai penawar atau detoksifikasi zat-zat toksik yang masuk ke dalam tubuh ikan. Tabel 4.3 Korelasi konsentrasi logam berat dalam sedimen dengan kandungan dalam organ ikan selar tetengkek. p Logam Organ ikan Korelasi Hg Insang -0,211 0,559 Daging 0,083 0,820 Hati -0,222 0,538 Limpa 0,159 0,661 Pb Insang -0,007 0,985 Daging 0,202 0,576 Hati -0,554 0,096 Limpa -0,776* 0,010 *Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
Terakhir hasil uji korelasi konsentrasi logam Hg dalam sedimen terhadap konsentrasi logam Hg dalam limpa ikan tetengkek 0,159. Hal ini menunjukkan korelasinya rendah dan searah. Kemudian korelasi antara konsentrasi logam Pb dalam sedimen terhadap konsentrasi logam Pb dalam limpa ikan tetengkek -0,776 dan nilai p-value 0,010. Korelasinya signifikan karena nilai p-value < 0,05, artinya konsentrasi logam Pb dalam sedimen berpengaruh signifikan terhadap konsentrasi logam Pb dalam organ limpa. Hasil korelasi tersebut menunjukkan korelasi yang nyata dan negatif (berlawanan). Hal tersebut mengandung arti
54 bahwa apabila konsentrasi logam Pb dalam sedimen meningkat maka konsentrasi logam Pb dalam organ limpa akan meningkat, atau sebaliknya.
Histopatologi Organ Ikan Selar Tetengkek Organ Insang Insang ikan merupakan organ respirasi utama yang bekerja dengan mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida) antara darah dan air (Saputra et al. 2013). Oksigen yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Sedangkan karbondioksida dikeluarkan dari sel dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Saputra et al. 2013). Oleh sebab itu, apapun perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan perairan akan secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada struktur dan fungsi insang serta hemoglobin. Hasil pengamatan di laboratorium pada sampel insang ikan selar tetengkek yang diperoleh dari lokasi penelitian, belum ditemukan adanya perubahan yang yang berarti. Hampir semua sampel yang diamati masih dalam kondisi normal. Hanya ditemukan satu sampel ada pembengkakan pada salah satu ujung lamella sekunder (Gambar 4.22). Hal ini diduga merupakan akibat dari kontaminasi logam berat Hg dan Pb, karena pada ananalisis logam Hg dan Pb diperoleh konsentrasi Pb yang telah melewati baku mutu. Salah satu kerusakan pada insang akibat kontaminasi logam berat adalah terjadi pembengkakan atau penebalan (edema) pada lamella sekunder (Natalia 2007; Zeitoun dan Mehana 2014).
a
b
Gambar 4.22 Histopatologi sampel insang ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diambil dari lokasi penelitian. (a). Kondisi insang normal pada sampel. (b) Insang yang mengalami penebalan pada salah satu lamella sekunder (panah). Perbesaran 400x pewarnaan (H&E). Tejadinya kerusakan mikroanatomi insang ikan berupa edema pada lamella sekunder diduga disebabkan oleh kontaminasi dari logam berat merkuri (0,0329 mg/kg) dan Pb (0,4706 mg/kg) yang terkandung dalam insang yang dikoleksi dari lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Robbins dan Kumar (1995);
55 Robert (2001), yang menyatakan terjadinya kerusakan insang dari edema sampai ke tingkat nekrosis sebagai bentuk adaptasi sel untuk bertahan hidup akibat pengaruh dari bahan toksik, seperti bahan kimia dan logam berat. Selain itu logam berat bersifat bioakumulatif, biomagnifikasi, toksik dan karsinogenik, sehingga logam berat yang terlarut bersama air akan terjadi akumulasi di dalam tubuh organisme dalam hal ini yakni organ insang ikan. Sehingga penggunaan bioindikator sebagai parameter kerusakan lingkungan khususnya perairan sangat dianjurkan, karena spesies indikator seperti ikan yang hidup di perairan tersebut dan memiliki mobilitas yang tinggi memungkinkan terjadinya akumulasi logam berat di dalam tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat pencemaran logam berat di dalam perairan yang diduga mengalami pencemaran. Penelitian-penelitian tentang struktur histologis insang ikan akibat kontaminasi logam berat sudah banyak dilakukan. Erlangga (2007) melaporkan bahwa pencemaran logam berat di sungai Kampar Riau telah menyebabkan perubahan histologist insang ikan baung (Hemibagrus nemurus). Penelitian Chavan dan Mulay (2014) pada ikan Cirrhinus mrigala melaporkan paparan logam berat merkuri pada insang mengakibatkan degenerasi lamela, mengangkat sel dan terjadinya nekrosis pada epitel intraselular. Organ Daging (Otot) Menurut Mumford et al. (2007), secara histologi otot pada tubuh ikan dapat dibedakan menjadi otot lurik atau otot rangka, otot licin atau otot halus, dan otot jantung. Sel otot lurik atau otot rangka memiliki banyak inti dan terletak tepat di bawah membrane sarcolemma. Beberapa myofibril longitudinal terdiri dari beberapa myofilamen. Otot lurik memiliki dua jenis yaitu red muscle atau otot merah dan white muscle atau otot putih. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada sampel organ hati, diperoleh hasil yang menunjukkan adanya kerusakan pada sel-sel hati ikan tetengkek yang diambil dari lokasi penelitian. Tingkat kerusakan yang ditemukan pada sampel hati seperti degenerasi melemak, timbunan mineral dan nekrosis. Menurut Landis et al. (2011), adanya logam berat dalam tubuh ikan akan menganggu sintesis hemoglobin (Hb), hemoglobin memiliki peran untuk mengikat oksigen, apabila sintesis Hb dihambat maka kemampuan utuk mengikat oksigen juga semakin kecil. Jika oksigen yang diikat sedikit maka akan mempengaruhi proses metabolisme. Enzim yang berperan aktif dalam sistesis Heme adalah ALA-D dan Ferrochelatase. Menurut Priosoeryanto et al. (2010), perubahan histopatologi yang terjadi pada otot ikan yaitu perubahan-perubahan yang melibatkan pertumbuhan berlebihan, pertumbuhan tidak sempurna, atau pola pertumbuhan abnormal pada jaringan otot. Perubahan secara histopatologi yang terjadi yaitu atropi, degenerasi, dan edema. Atropi adalah suatu proses berkurangnya ukuran dari suatu bagian tubuh atau organ karena pengurangan ukuran atau jumlah sel-sel yang ada dan biasanya brlangsung lambat. Atropi dapat disebabkan oleh kelaparan atau malnutrisi, kekurangan suplai darah yang cukup atau infeksi kronis (Plumb 1994). Degenerasi dapat disebabkan oleh kekurangan dari bahan esensial misalnya oksigen, kekurangan sumber energi yang mengganggu metabolisme, pemanasan mekanik, luka akibat listrik, akumulasi substansi yang abnormal di dalam sel (Hoole 2001). Perubahan awal biasanya terjadi adalah berupa migrasi nukleus,
56 nekrosis sarkoplasma, dan hemoragi atau edema yang terlokalisir yang disertai infiltrasi oleh makrofag. Degenerasi dapat berupa granuler, hyalin, vakola, dan degenerasi lemak (Priosoeryanto et al. 2010).
a
b
c
d
Gambar 4.23 Histopatologi sampel daging ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diambil dari lokasi penelitian. (a) Kondisi jaringan daging normal. (b) Kondisi jaringan daging ikan yang mengalami kerusakan berupa degenerasi melemak. (c) Degenerasi melemak. (d) Sel-sel daging/atot yang mengalami nekrosis. Perbesaran 400x pewarnaan (H&E).
Menurut Arain et al. (2008), kandungan logam berat pada ikan berbeda pada tiap bagiannya. Pada penelitian ini konsentrasi logam berat Hg da Pb dalam daging lebih rendah dibanding dalam organ insang, hati dan limpa. Hal ini sesuai dengan penelitian Squadron (2012), menambahkan bahwa akumulasi logam berat pada daging lebih rendah dibanding insang, karena sesuai dengan peran fisiologi dalam metabolisme ikan dimana jaringan yang diserang oleh logam berat merupakan salah satu jaringan yang berperan aktif dalam metabolisme. Kandungan logam berat pada ikan bersifat akumulatif, karena kandungan logam berat dalam tubuh ikan akan bertambah setiap waktunya tergantung lama paparan pada ikan.
57 Organ Hati Hati merupakan organ penting yang mensekresikan bahan untuk proses pencernaan. Organ ini umumnya merupakan suatu kelenjar yang kompak berwarna merah kecoklatan. Hati merupakan organ yang paling peka terhadap pengaruh zat kimia yang masuk ke dalam tubuh karena fungsinya sebagai pendetoksifikasi. Sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap sel epitel usus halus akan dibawa ke hati oleh vena porta hati. Organ hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan merupakan organ tubuh yang sering mengalami kerusakan (Lu 1995). Pengamatan kerusakan pada hati dapat dilakukan dengan pengamatan secara histopatologi.
a
c
b
d
Gambar 4.24 Histopatologi sampel hati ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diambil dari lokasi penelitian. (a) Jaringan hati ikan normal (Sumber : Mumford 2007). (b). Nekrosis (panah). (c) Degenerasi hepatosit (panah). (d) Timbunan mineral. Perbesaran 400x pewarnaan (H&E). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di laboratorium pada sampel hati ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diambil dari lokasi penelitian menunjukkan adanya gejala kerusakan jaringan (Gambar 4.24). Pada organ hati ditemukan adanya timbunan mineral, degenerasi melemak, kongesti dan terlihat adanya kerusakan sel hati atau nekrosis. Adanya nekrosis akan menyebabkan respon peradangan pada jaringan yang masih hidup di sekitar daerah nekrosis. Peradangan ditandai dengan adanya jendolan-jendolan darah serta jaringan berwarna merah karena banyak didapati eritrosit yang keluar dari pembuluh darah. Respon peradangan ini bertujuan untuk pemulihan jaringan serta menekan agen
58 penyebab nekrosis. Hal ini dikarenakan sel-sel yang mengalami nekrosis tidak mampu diabsorbsi oleh sel fagosit sehingga dapat melarutkan unsur-unsur sel sehingga dapat mengeluarkan enzim litik. Munurut Robbins dan Kumar (1992), respon peradangan dilakukan dengan regenerasi sel-sel hilang, pembentukan jaringan ikat serta terjadi emigrasi leukosit ke daerah nekrosis. Logam berat merkuri (Hg) dan Timbal (Pb) merupakan logam berat yang sangat toksik bagi organisme perairan apabila telah mencemari perairan dengan konsentrasi tertentu. Perairan yang telah tercemar Pb maupun Hg akan berdampak pada organisme perairan seperti ikan. Logam merkuri (Hg) dan timbal (Pb) dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui rantai makanan (biomaknifikasi), insang dan difusi melalui permukaan kulit. Logam berat yang telah masuk dalam tubuh ikan akan terserap dalam jaringan (bioakumulasi) dan pada konsentrasi tertentu dapat merusak organ-organ dalam jaringan tubuh ikan (Palar 1994). Adanya timbunan mineral dan kerusakan organ hati pada sampel ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diambil dari lokasi penelitian diduga merupakan dampak dari kontaminasi logam berat Hg dan Pb. Triadayani et al. (2010), dalam penelitiannya menemukan kerusakan pada hati berupa degenerari melemak, degenerasi hidrofik, hemoragi dan kongesti pada ikan yang terpapar Pb konsentrasi 0,05 ppm, kerusakan berupa hemoragi dan kongesti pada ikan yang terpapar Pb konsentrasi 0,10 ppm dan adanya nekrosis atau kerusakan sel pada ikan yang terpapar Pb konsentrasi 0,15 ppm. Pada penelitian ini konsentrasi ratarata Pb yang ditemukan pada hati ikan sebesar 0,993 mg/kg. Jika zat toksik yang masuk ke dalam tubuh relatif kecil atau sedikit dan fungsi detoksifikasi hati baik, maka tidak akan terjadi kerusakan, namun apabila zat toksik yang masuk dalam jumlah besar maka fungsi detoksifikasi akan mengalami kerusakan (Lu 1995). Sel hati ikan mempunyai bentuk poligonal dengan inti di tengah dan inti selnya umumnya mengakumulasi lemak dan glikogen pada sitoplasma. Degenerasi lemak terjadi karen adanya penumpukan lemak (lemak netral) dengan kerusakan inti sel dan mengecilnya jaringan sel hati. Degenerasi melemak ditandai dengan penampakan histologi berupa vakuolavakuala. Degenerasi hidrofik adalah pembengkakan sel hati stadium lanjut dimana terlihat adanya ruang-ruang kosong di dalam sitoplasma dari sel dengan vakuola tampak membesar sehingga mendesak nukleus ke tepi. Hemoragi atau pendarahan ditandai dengan adanya bintik darah dalam pembuluh darah. Kongesti adalah pembendungan darah yang disebabkan karena gangguan sirkulasi yang dapat mengaklibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. Kongesti pada hati dimulai dari vena sentralis yang kemudian meluas meluas sampai sinusoid yang tersusun tidak teratur dan di dalamnya terdapat eritrosit yang diduga akibat pecahnya sinusoid. Vena sentralis juga dipenuhi oleh banyak eritrosit akibat adanya penyumbatan pada vena hepatika. Apabila pembendungan ini berlangsung cukup lama, maka sel-sel hati tampak hilang karena tekanan dan gangguan-gangguan pembawaan zat gizi, hal ini disebabkan karena darah yang mengalir dari perifer lobulus hati ke pusat (vena sentralis) kebanyakan sudah kehilangan zat-zat gizi sewaktu tiba di pertengahan lobulus, sehingga di pertengahan lobulus menjadi kekurangan zat gizi (Ressang 1984 dalam Triadayani et al. 2010).
59 Organ Limpa Limpa ikan merupakan organ yang sangat bervariasi baik letak, bentuk maupun ukurannya. Limpa pada ikan gnathostomata terdiri dari bagian cortex (berwarna merah), pulva (berwarna putih) dan medula. Bagian cortex dari limpa membentuk eritrosit dan trombosit sedangkan limposit dan beberapa granulosit dibentuk di dalam medulla. Pada esophagus ikan hiu, memperlihatkan kumpulan jaringan pembentuk limposit. Pada ikan pari, limpa memanjang antara bagian kardial dan pyloric dari lambung, sedangkan pada ikan squalus limpa ini terletak di belakang persimpangan lambung dan berbentuk segi tiga. Pada ikan bertulang sejati limpa ini juga berfungsi dalam menghancurkan sel-sel darah merah tua.
a
c
b
d
Gambar 4.25 Histopatologi sampel limpa ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) yang diperoleh dari lokasi penelitian (a). limpa normal, R = Pulpa merah dan W = pulpa putih (sumber: Sharon dan Zilberg 2012). (b & c) deplesi (panah). (d) Timbunan mineral (panah). Perbesaran 400x pewarnaan (H&E). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di laboratorium pada sampel ikan memperlihatkan beberapa gangguan histopatologi. Dalam sampel ditemukan terdapat banyak timbunan mineral dan ditemukan kerusakan berupa deplesi (Gambar 4.25). Timbunan mineral tersebut diduga salah satunya merupakan partikel-partikel logam berat. Hasil penelitian kondisi histopatologi limpa pada ikan akibat kontaminasi logam berat pada ikan Clarias gariepinus di Mesir pernah dilaporkan oleh El-Kasheif et al. (2013). Riani (2015), melaporkan dampak kontaminasi logam berat pada organ limpa ikan mas yang dipelihara di
60 Danau Cirata, Jawa Barat mengalami kerusakan seperti kerusakan eritrosit dan hyperemia.
Rekomendasi dan Pengelolaan Pencemaran Perairan Teluk Palu merupakan perairan yang berperan penting dalam menunjang kehidupan organisme akuatik di dalamnya. Selain bagi organisme akuatik perairan Teluk Palu juga memberikan kontribusi penting bagi masyarakat Kota Palu khusunya masyarakat yang bermukim di pesisir Teluk Palu. Hal ini karena masyarakat pesisir memanfaatkan hasil laut untuk mencukupi kebutuhan mereka. Ketika perairan Teluk Palu mengalami pencemaran, maka hal ini akan berdampak langsung bagi masyarakat pesisir. Oleh karena itu, untuk menanggulangi potensi pencemaran di Teluk Palu agar tidak berdampak lebih lanjut, dibutuhkan suatu tindakan dari berbagai pihak. Menurut Herlambang (2006) rekomendasi pengelolaan yang dapat dilakukan dalam menanggulangi pencemaran perairan antara lain sebagai berikut: Monitoring dan Evaluasi Data perupakan penunjang yang sangat penting dalam mengevaluasi kondisi lingkungan dan penegakan hukum lingkungan. Terjadinya perdebatan yang berkepanjangan tentang permasalahan lingkungan dapat dihindari dengan adanya pusat data. Pengisian data diperlukan monitoring, terutama kawasan perairan-perairan yang dianggap rawan atau daerah industri dan pertambangan yang diduga mencemari lingkungan. Mengingat luasnya kegiatan dan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk monitoring, maka tidak setiap daerah dapat dimonitor kualitas air secara rutin. Dalam kondisi normal monitoring yang tidak rutin tidak menimbulkan masalah, tetapi ini merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh industri yang nakal untuk membuang limbahnya disaat lengah. Akibatnya sasaran kegiatan untuk perbaikan lingkungan tidak pernah tercapai. Penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan tegas tanpa didukung data pendukung hasil monitoring yang akurat dan kontinu. Data hasil monitoring juga harus diolah dalam database yang bagus dan format yang baku, mengingat demikian banyaknya permasalahan lingkungan yang ada membutuhkan kecepatan dalam proses pencarian berkas dan proses pembaharuan atau penambahan data. Dengan berkembangnya teknologi, proses monitoring dapat dilakukan secara online atau langsung, terutama pada wilayah atau daerah yang dianggap kritis dan perlu pemantauan secara kontinu. Pengukuran pada online monitoring dapat dilakukan secara regular dengan selang waktu yang ditentukan atau pada saat terjadi kejadian kritis dimana parameter yang diukur jauh melebihi standar baku yang ditetapkan. Data hasil monitoring sangat berguna untuk evaluasi kegiatan atau program yang telah dan sedang berjalan, apakah ada perbaikan kondisi lingkungan atau tidak. Sebagai contoh, pada suatu aliran sungai yang sedang dilakukan program kali bersih diukur kondisi awalnya, setelah program selesai apakah ada perbaikan dapat dilihat dari hasil monitoringnya apakah ada perubahan yang cukup berarti dari program yang dilaksanakan.
61 Pembinaan dan Penegakan Hukum Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan Kota Palu berperan sangat penting, terutama dalam penegakan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota. Peraturan lingkungan banyak berubah dan bertambah dari tahun ke tahun, oleh karena itu perlu terus dilakukan sosialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Pelanggaran lingkungan banyak terjadi karena sebagian masyarakat belum membaca atau memahami peraturan-peraturan yang ada, mengingat isu lingkungan masih relatif baru untuk Indonesia dan penegakan hukumnya masih sangat minim dibanding kasuskasus lain. Penegakan peraturan harus diikuti oleh monitoring yang handal untuk mendukung data-data pencemaran. Pembuktian kasus pencemaran merupakan salah satu kelemahan yang sering terjadi dan kondisi ini mempersulit dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan laboratorium lingkungan yang independen dan terakriditasi dan mempunyai sertifikasi secara nasional maupun internasional guna mendukung penegakan hukum. Dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dipergunakan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Dalam pasal 8, PP No 82 Tahun 2001 dikenal kriteria mutu air berdasarkan kelas, dimana klasifikasinya adalah sebagai berikut : - Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; - Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana prasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; - Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; - Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertamanan dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Baku Mutu Undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan adalah UndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 adalah merupakan standard badan air (stream standard), sedangkan standard buangan mengacu pada standard baku mutu. Untuk baku mutu buangan tergantung kepada jenis kegiatannya, sebagai contoh : 1) Baku mutu limbah cair bagi Kegiatan Industri diatur oleh KEPMEN LH Nomor 51/MENLH/10/1995; dalam Kepmen ini industri yang diatur : 1). Soda/klor, 2). Pelapisan logam, 3). Penyamakan kulit, 4). Minyak sawit, 5). Pulp dan kertas, 6). Karet, 7). Gula, 8). Tapioka, 9). Tekstil, 10). Pupuk urea, 11). Ethanol, 12). Monosodium glutamat, 13). Kayu lapis, 14). Susu
62 dan makanan yang terbuat dari susu, 15). Minuman ringan, 16). Sabun, deterjen dan produk minyak nabati, 17). Bir, 18). Baterei sel kering, 19). Cat, 20). Farmasi dan 21). Pestisida. 2) Baku mutu limbah cair bagi kegiatan hotel diatur oleh KEPMEN LH Nomor 52/MENLH/10/1995; 3) Baku mutu limbah cair bagi kegiatan rumah sakit diatur oleh KEPMEN LH Nomor 58/MENLH/12/1995; dan 4) Baku mutu limbah cair bagi kegiatan minyak dan gas serta panas bumi diatur oleh KEPMEN LH Nomor 42/MENLH/10/1996. 5) Baku mutu air laut bagi biota laut diatur oleh KepMen LH Nomor 51/2004 Sudah menjadi rahasia umum, walaupun lebih dari 75% pencemaran pada sungai-sungai besar berasal dari limbah domestik, seperti pemukiman dan perkantoran, namun demikian mengenai baku mutu limbah domestik belum database dan format yang baku, sehingga diatur secara khusus. Namun demikian baku mutu yang lebih mendekati untuk limbah domestik adalah bakummutu limbah hotel, yang diatur dalam KEPMEN LH Nomor 52/MENLH/10/1995. Namun demikian baku mutu yang lebih mendekati untuk limbah domestik adalah baku mutu limbah hotel, yang diatur dalam KEPMEN LH Nomor 52/MENLH/10/1995. Kelembagaan Kelembagaan sangat menentukan dalam pengelolaan lingkungan. Dalam skala nasional saat ini lembaga yang berwenang adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam skala provinsi dan kabupaten kota ada Badan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD). Dewasa ini masalah lingkungan telah menjadi perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian perlu adanya penguatan kelembagaan dengan dukungan sumberdaya manusia (SDM) sehingga permasalahan lingkungan yang demikian banyak dapat teratasi secara maksimal dan berkesinambungan. Kekurangan sumberdaya manusia (SDM) tersebut dapat di tanggulangi dengan member peran dan ruang gerak yang lebih besar kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), agar berperan lebih aktif dalam perbaikan lingkungan. Pemerintah hanya bertindak sebagai koordinator dan motivator dalam melaksanakan program-program pengelolaan lingkungan. Dengan demikian akan tercipta sinergitas dalam menciptakan kelestarian lingkungan. Pengaturan dan Penataan Ruang Pengaturan dan penataan ruang memegang peranan penting dalam pengelolan lingkungan. Tata ruang yang baik yakni mengatur pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan beban lingkungan yang akan muncul jika ruangnya sudah terpakai. Tata ruang yang berwawasan lingkungan akan menghasilkan model-model kota atau desa yang akrab dengan lingkungan. Kota-kota yang berwawasan lingkungan memiki ruang terbuka hijau sebagai kawasan resapan air dalam mencegah banjir. Kota Palu sebagai kota yang masih berkembang akan lebih mudah dalam proses pengaturan dan penataan ruang demi menciptakan kota berwawasan lingkungan.
63 Kota yang telah lama terbangun sulit untuk menata kembali, namun bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. Penegakan hukum dan pembinaan dapat digunakan secara terus menerus serta sosialisasi yang baik hal itu bisa dilakukan. Masyarakat yang mengerti tentang dampak lingkungan pasti dapat menerima solusi tersebut. Kesadaran Masyarakat Kesadaran masyarakat sangat mendukung dalam pengelolaan lingkungan. Lingkungan yang lestari tidak dapat tercipta tanpa adanya kesadaran langsung dari masyarakat yang memiliki akses langsung terhadap lingkungan. Kesadaran masyarakat dapat diwujudkan secara individu maupun berkelompok. Masyarakat dapat berkelompok dengan membentuk masyarakat sadar lingkungan (Darling). Hal ini dapat dilakukan dalam skala nasional maupun lokal. Berdasarkan pengalaman yang ada, kelompok sadar lingkungan dalam skala lokal hasilnya dapat dilihat lebih nyata. Hal ini karena koordinasinya lebih mudah berdasar faktor geografi. Kelompok yang sukses akan memotivasi kelompok lainnya. Penghargaan bagi kelompok yang sukses juga perlu dilakukan secara rutin dan konsisten oleh pemerintah sebagai langkah pembinaan. Permasalahan lingkungan cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring pertumbuhan penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena itu pemerintah tidak dapat berjalan sendiri. Dibutuhkan partisipasi dari masyarakat yang lebih kuat dalam bentuk swadaya masyarakat maupun investasi komersil yang difasilitasi oleh pemerintah. Kelompok lingkungan yang maju dapat berkembang ke arah industri lingkungan yang menjual produknya seperti kompos, tanaman hias atau kertas daur ulang, souvenir dari barang bekas yang mempunyai nilai komersil. Kesadaran lingkungan juga dapat diwujudkan dalam beberapa hal, misalnya produksi bersih; penerapan teknologi pengolahan limbah sebelum dibuang ke lingkungan; industri bersih; dan penerapan pajak dan bank lingkungan. Masyarakat dengan membiasakan diri untuk memelihara lingkungan dan hidup bersih diharapkan lingkungan akan berkembang lebih baik dan sehat dari waktu ke waktu.
64
5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konsentrasi rata-rata logam berat merkuri (Hg) dalam air 0,0024 mg/L dan konsentrasi timbal (Pb) 0,0297 mg/L telah melampaui baku mutu sesuai KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Konsentrasi rata-rata logam berat merkuri (Hg) dalam sedimen 0,050 mg/kg dan konsentrasi rata-rata timbal (Pb) 4,872 mg/kg masih memenuhi baku mutu sesuai standar ANZECC. Konsentrasi rata-rata logam berat merkuri (Hg) pada ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) dalam organ insang 0,033 mg/kg, daging 0,028 mg/kg, hati 0,173 mg/kg, limpa 0,166 mg/kg dan konsentrasi logam timbal (Pb) dalam organ insang 0,471 mg/kg, daging 0,232 mg/kg, hati 0,993 mg/kg, limpa 7,873 mg/kg. Konsentrasi logam merkuri (Hg) dalam seluruh organ ikan yang diamati masih di bawah baku mutu, sedangkan konsentrasi logam timbal (Pb) dalam organ insang, hati dan limpa telah melampaui baku mutu sesuai SNI dan BPOM, sedangkan Pb dalam daging masih di bawah baku mutu. Korelasi antara konsentrasi logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) dalam air laut dengan konsentrasi dalam sedimen rendah (tidak nyata). Pada korelasi antara konsentrasi logam berat merkuri (Hg) dan (Pb) dalam air dengan konsentrasi dalam organ ikan, logam Hg memiliki korelasi yang kuat (r = 0,648) pada organ insang, sedangkan pada organ lain berkorelasi rendah (tidak nyata). Kemudian korelasi antara konsentrasi logam berat Hg dan Pb dalam sedimen dengan konsentrasi logam berat Hg dan Pb dalam organ ikan, hanya logam Pb yang berkorelasi kuat (r = -776) pada organ limpa sedangkan pada organ insang, hati dan daging berkorelasi rendah (tidak nyata). Histopatologi organ ikan selar tetengkek yakni: insang terdapat peradangan lamella sekunder; pada daging terdapat timbunan mineral, degenerasi lemak dan nekrosis; hati terdapat timbunan mineral, degerasi hepatosit, dan nekrosis; serta pada limpa ditemukan timbunan mineral, degenerasi dan deplesi.
Saran 1. Kandungan logam berat dalam tubuh ikan sangat berbahaya apabila dikonsumsi kendati dalam konsentrasi kecil, karena sifatnya yang mudah terakumulasi dalam organisme akuatik dan sangat toksik, serta bersifat karsinogenik, teratogenik dan mutagenik sehingga disarankan untuk berhatihati mengkonsumsi ikan yang di tangkap dari perairan yang terkontaminasi/tercemar logam berat khususnya merkuri dan timbal. 2. Perlu dilakukan penelitian lain untuk menilai akumulasi logam berat dalam air, sedimen maupun biota di Perairan Teluk Palu dengan menggunakan objek lain misalnya kerang, karena kerang memiliki daya bioakumulasi yang baik terhadap logam berat dan juga dengan menggunakan rentang waktu misalnya antara musim hujan dan musim kemarau.
65
DAFTAR PUSTAKA Agus C, Sukandarrumidi, Wintolo D. 2005. Dampak limbah cair pengolahan emas terhadap kualitas air sungai dan cara mengurangi dampak dengan menggunakan zeolit: studi kasus pertambangan emas tradisional di desa Jendi kecamatan Selogiri kabupaten Wonogiri provinsi Jawa Tengah. Manusia dan Lingkungan. 12(1): 13-19. Agustina T. 2010. Kontaminasi logam berat pada makanan dan dampaknya pada kesehatan. Teknubuga. 2 (2): 53-65. Ahmad F. 2009. Tingkat pencemaran logam berat dalam air laut dan sedimen di Perairan Pulau Muna, Kabaena, dan Buton Sulawesi Tenggara. Makara Sains. 13(2): 117-124. Akan JC, Mohmoud S, Yikala BS, Ogugbuaja VO. 2012. Bioaccumulation of some heavy metals in fish samples from river Benue in Vinikilang, Adamawa State, Nigeria. Journal Analysis Chemistry. 3(11): 727-736. Doi.org/10.4236/ajac.2012.311097. [ANZECC/ARMCANZ] Australian and New Zealand Environment and Conservation Council and Agriculture and Resource Management Council of Australia and New Zealand. 2000. Australian and New Zealand guidelines for fresh and marine water quality. Volume 1, Australian and New Zealand Environment and Conservation Council. Canberra. 29p. Amin B, Afriani E, Saputra MA. 2011. Distribusi Spasial Logam Pb dan Cu pada Sedimen dan Air Laut Permukaan di Perairan Tanjung Buton Kabupaten Siak Provinsi Riau. Jurnal Teknobiologi. 2(1): 1-8. Amin B, Ismail A, Arshad A, Yap CK, Kamarudin MS. 2009. Anthropogenic impacts on heavy metal concentrations in the coastal sediments of Dumai, Indonesia. Environ Monit Ascess. 148: 291-305. Doi 10.1007/s10661-0080159-z. Amin B, Nurrachmi I. 2005. Distribusi logam berat dan korelasinya dengan bahan organik sedimen di Perairan Pulau Merak Karimun. Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. 32(1): 65-72. [APHA] American Public Health Association. 2012. Standard Methods For The Examination Of Water and Waste Water. 22th eds. Washington DC (US). American Water Works Assosiation and Water Pollution Control Federation. Arain MB, Kazi TG, Jamali MK, Jalbani N, Alfridi HI, Shah A. 2008. Total disolved and bioavailable Element in Water and Sediment Samples and Their Accumulation in Oreochromis mossambicus of polluted Manchar Lake. Chemsphere. 70(10): 1845-1856. Doi 10.1016/j. chemosphere. 2007. 08.005. Arifin, Zainal. 2011. Konsentrasi logam berat di air, sedimen dan bioa di Teluk Kelabat, Pulau Bangka. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 3: 104-114. Arifin Z, Puspitasari R, Miyazaki. 2012. Heavy metal contamination in Indonesia coastal marine ecosystem: A Historical Perspective. Journal Coastal Marine Science. 35(1): 227-233.
66 Arsad M, Said I, Suherman. 2012. Akumulasi logam timbal (Pb) dalam ikan belanak (Liza melionoptera) yang hidup di Perairan Muara Poboya. Jurnal Kimia Akademika. 1(4): 187-192. Authman MHN. 2012. Metals concentrations in Niletilapia Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758) from illegal fish farm in Al-Minufiya Province, Egypt, and their effects on some tissues structures. Ecotoxicology and Environmental Safety. 84: 163-172. Authman MMN, Zaki MS, Khallaf EA, Abbas HH. 2015. Use of fish as bioindicator of the effects of heavy metals pollution. Journal of Aquaculture Research & Development. 6(4): 1-13. Doi: 10.4172/2155-9546.1000328. Azhar H, Widowati I, Suprijanto J. 2012. Studi kandungan logam berat Pb, Cu, Cd, Cr pada kerang simping (Amusim pleuronectes), air dan sedimen di perairan Wedung, Demak serta analisis maximum tolerable intake pada manusia. Journal of Marine Research. 1(2): 35-44. Barnes RSK, Hughes RN. 1988. An Introduction to Marine Ecology. London: Blackwell Scientifik Publication. Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture,. Birmingham Publishing Co, Birmingham Alabama. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Palu. 2013. Kota Palu Dalam Angka 2013. Cahyana C. 2006. Implementasi model sebaran temperatur di Semenanjung Muria. Hasil Penelitian dan Kegiatan Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, Batan. 85-91. [CCME] Canadian Council of Ministers of the Environment. 2002. Canadian sediment quality guidelines for the protection of aquatic life: merucy. In: Canadian Environmental Quality Guidelines. 5p. Chavan VR, Muley DV. 2014. Effect of heavy metals on liver and gill of fish Cirrhinus mrigala. International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences. 3(5): 277-288. Colt J, Armstrong D. 1979. Nitrogen Toxicity to Fish, Crustacean and Molluscs. Dept of Civil Engineering, Univ. California, Davis. Connell W, Miller G. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. (diterjemahkan oleh Yanti Koestoer dan Sahati). UI Press, Jakarta. p. 366– 369. Cardosa PG, Sousa E, Matos P, Henriques B, Pereira E, Duarte AC, Pardal MA. 2013. Impact of mercury contamination on the population dynamics of Peringia ulvae (Gastropoda): Implications on metal transfer through the trophic web. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 129: 189-197. Doi:10.1016/j.ecss.2013.06.002. Cordova M R, Riani E. 2011. Konsentrasi logam berat (Hg, Cd, Pb) pada air dan sedimen Sungai Angke, Jakarta. Jurnal Hidrosfir Indonesia. 6(2): 107-112. Coulibaly S, Atse BC, Kouamelan EP. 2012. Histological alterations of gill, liver and kidney of black-chinned tilapia Sarotherodon melanotheron contaminated by heavy metals from Bietri Bay in Ebrie Lagoon, Cote d’Ivoire. International Journal of Science and Research (IJSR). 3: 19701975. Croteau MN, Luoma SN, Stewart AR. 2005. Trophic transfer of metals along freshwater food webs: Evidence of cadmium biomagnification in nature. Limnol and Oceanogr. 50(5): 1511-1519.
67 Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta (ID): Penerbit UI Press. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia. Davies CA, Tomlinson K, Stephenson T. 1991. Heavy metals in River Tees Estuary sediments. Environmental Technology. (12): 961-972. Davis ML, Cornwell DA. 1991. Introduction to Enviromental Engineering. second edition. New York (US). McGraw-Hill. Donkor AK, Bonzongo JC, Nartey VK, Adotey DK. 2006. Mercury in different environmental compartments of the Pra River Bay, Ghana. Science of Total Environment. 368: 164-176. Duruibe JO, Ogwuegbu MOC, Egwurugwu JN. 2007. Heavy metal pollution and human biotoxic effects. International Journal of Physical Science. 2(5): 112-118. Edward. 2014. Kandungan logam berat dalam sedimen di Perairan Teluk Wawobatu, Kendari, Sulawesi Tenggara. Depik. 3(2): 157-165. Effendi H. 2003. Telaahan Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius. El-Kasheif MA, Gaber HS, Authman MMN, Ibrahim SA. 2013. Histopathological and physiological observations of the kidney and spleen of the Nile catfish Clarias gariepinus inhabiting El-Rahawy drain, Egypt. Journal Applied Science Research. 9(1): 872-884. El-Moselhy KM, Othman AI, El-Azem HA, El-Metwally MEA. 2014. Bioaccumulation of heavy metals in some tissues of fish in the Red Sea, Egypt. Egyptian Journal of Basic Applied Sciences. 1: 97-105. Doi 10.1016/j.ejbas.2014.06.001. Erlangga. 2007. Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar di Provinsi Riau Terhadap Ikan Baung (Hemibagrus nemurus). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Farkas A, Salanki J, Specziar A, Varanka I. 2001. Metal pollution health indicator of lake ecosystems. International Journal Occupational Medicine and Environmental Health. 14(2): 163-170. Garrison T. 2004. Essentials of oceanography. Books/Cole, Australia, 352 pp. Ghannam HE, El-Haddad ESE, Talab AS. 2015. Bioaccumulation of heavy metals in tilapia fish organs. Journal Biodiversity & Environmental Science. 7(2): 88-99. Gomez-Parra A, Forja JM, DelValls TA. Saenz I, Riba I. 2000. Early contamination by heavy metals of the Guadalquriver estuary after the Aznalcollar mining spill (SW, Spain). Marine Pollution Bulletin. 40(12): 1115-1123. Doi:10.1016/S0025-326X(00)00065-5. Hadukusumah. 2008. Variabilitas suhu dan salinitas di Perairan Cisadane. Makara Sains. 12(2): 82-88. Haryadi S, Suryodiptro INN, Widigdo B. 1992. Limnologi; Penuntun Praktikum dan Metoda Analisa Air. Bogor (ID). Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Herlambang A. 2006. Pencemaran air dan strategi penanggulangannnya. Jurnal Air Indonesia. 2(1): 16-29.
68 Hoole D, Bucke D, Burgess P, Wellby I. 2001. Disease of Carp and Other Cyprinid Fishes. Blackwell Science Ltd: United Kingdom. Hutagalung HP. 1984. Logam berat dalam lingkungan laut. Oceania Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta. 9(1): 11-20. Hutagalung HP. 1985. Raksa (Hg). Oceana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta. 10(3): 93-105. Hutagalung HP. 1991. Pencemaran Laut oleh Logam Berat. Dalam Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. P30-LIPI. Jakarta. Hutagalung HP. 1997. Metode Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota, Buku 2. P3O - LIPI. Jakarta, hal 182. Kadir H, Samawi MF, Haris A. 2013. Akumulasi logam berat Pb pada rangka dan polip karang lunak Sinularia polydactyla. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 23(1): 1-7. Kalangi PNI, Mandagi A, Masengi KWA, Luasunaung A, Pangalila FPT, Iwata M. 2013. Sebaran suhu dan salinitas di Teluk Manado. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 9(2): 71-75. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Kumara B, Rita S, Mukherjee D. 2015. Geochemical distribution of heavy metals in sediments from sewage fed fish ponds from Kolkata wetlands, India. Chemical Speciation and Bioavailability. 23: 24-32. Doi: 10.3184/ 095422911X12966667026105 Kurniawan. 2013. Pengaruh kegiatan penambangan timah terhadap kualitas air laut dan kualitas ikan kakap merah (Lutjanus campechanus) hasil tangkapan di wilayah pesisir Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. [Tesis]. Semarang (ID): Magister Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Pantai, Universitas Diponegoro. Landis WG, Solfield RM, Yu M. 2011. Introduction to environmental toxicology molecular substructure to ecological landscapes 4th Edition. CRC Press Taylor & Franciss Group. Lestari, Budiyanto F. 2013. Konsentrasi Hg, Cd, Cu, Pb dan Zn dalam sedimen di Perairan Gresik. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 5(1): 182-191. Lloyd R. 1992. Pollution and Freshwater Fish, Oxford. Fishing News Boks Lu CF. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Manahan SE. 1994. Environmental Chemistry, Sixth Edition. Lewis Publishers. United State of America. Manuputty AEN. 2002. Karang Lunak (soft coral) Perairan Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Marambessy MD, Edward, Valentin FL. 2010. Pemantauan kadar logam berat dalam air laut dan sedimen di Perairan Pulau Bacan, Maluku Utara. Makara Sains. 14(1): 32-38. Maslukah L. 2006. Konsentrasi Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Pola Sebarannya di Muara Banjir Kanal Barat, Semarang. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Matjik AA, Sumartajaya M. 2000. Perancangan Percobaan dan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor (ID). IPB Press.
69 Mela M, Randi MAF, Ventura DF, Carvalho CEV, Pelletier E, Ribeiro CAO. 2007. Effects of dietary methylmercury on liver and kidney histology in the neotropical fish Hoplias malabaricus. Ecotoxicology and Environmental Safety. 68: 426-435. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1990. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: Kep02/MenKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Miettinen JK. 1977. Inorganic Trace Element as Water Pollution to Health and aquatic Biota dalam F. Coulation and E. Mrak, (Ed.) Water Quality Proceed of an Int. Forum. Academic Press, New York. Mirdat, Patadungan YS, Isrun. 2013. Status logam berat merkuri (Hg) dalam tanah pada kawasan pengolahan tambang emas di Kelurahan Poboya, Kota Palu. e-J Agrotekbis. 1(2): 127-134. Mulyani S, Lani TIGA, Arief SEN. 2012. Identifikasi cemaran logam Pb dan Cd pada kangkung yang ditanam di Daerah Kota Denpasar. Bumi Lestari. 12(2): 345-349. Mumford S, Heidel J, Marrison J, Smith C, MacConnell B, Blazer V. 2007. Fish Histology and Histopathology. National Conservation Training Center–US Fish and Wildlife Service. Tersedia pada http:// training.fws.gov/resources/ course-resources/fish histology/Fish_ Histology_Manual_v4. pdf. Murtini JT. Peranginangin R. 2006. Kandungan logam berat pada kerang kepah (Meritrix meritrix) dan air laut di Perairan Banjarmasin. Jurnal Perikanan. 7(2): 177-184. Natalia M. 2007. Pengaruh plumbum (Pb) terhadap struktur insang ikan mas (Cyprinus carpio, L). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 12(1): 42-47. Nelson JS. 1994. Fishes of the word. Third edition. John Wiley & Sons, Inc NY, Crichester, Brisbane, Toronto, Singapore. Nganro NR. 2009. Metode Ekotoksikologi Perairan Laut Terumbu Karang. Sekolah Ilmu dan Tekhnologi Hayati. Institut Teknologi Bandung. Ning L, Liyuan Y, Jirui D, Xugui P. 2011. Heavy metal pollution in surface water of Linglong Gold Mining Area, China. Procedia Environment Sciences. 10: 914-917. [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2007. Speciation in the Midwater Realm of the Indo-Pacific Archipelago. United States Department of Commerce. Nybakken JM. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. H.M. Eidmar, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan D. Sukardjo, penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia. Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecological Approach. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. W.B. Saunders Compeny Philadelphia. Onsanit S, Chen Min, Ke C, Wang W. 2012. Mercury and stable isotope signatures in caged marine fish and fish feeds. Journal of Hazardous Materials. 203-204: 13-21. Doi: 10.1016/j.jhazmat.2011.11.021. Palar H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta.
70 Palar H. 2002. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta. Palar H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta, hal 9-12, 23-37, 74-87, 116-124. Palar H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta (ID: PT. Rineka Cipta. Pereira ME, Lillebø AI, Pato P, Valega M, Coelho JP, Lopes CB, Rodrigues S, Cachada A, Otero M, Pardal MA, Duarte AC. 2008. Mercury pollution in Ria de Aveiro (Portugal): a review of the system assessment. Environt Monit Assess. Doi 10.1007/s10661-008-0416-1. Pescod MB. 1973. Investigation of Ration Effluent and Stream Of Tropical Countries. Bangkok (TH). AIT. 59p. Plumb JA. 1994. Health Maintenance of Cultured Fish: Principal Microbial Fish. CRC Press Inc. USA. Poernomo A. 1989. Faktor Lingkungan dominan pada budidaya udang sistim intensif dalam Budidaya Air (Alfred Brittner). Yayasan Obor, Indonesia. Priosoeryanto BP, Ersa IM, Tiuria R, Handayani SU. 2010. Gambaran histopatologi insang, usus, dan otot ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang berasal dari daerah Ciampea, Bogor. Indonesian Journal of Veterinary Science and Medicine. 2(1): 1-8. Priyono A. 1994. Parameter-Parameter Kualitas Air. Bogor (ID): Laboratorium Analisis Lingkungan, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Purba C, Ridlo A, Supriyanto J. 2014. Kandungan logam berat Cd pada air, sedimen dan daging kerang hijau (Perna viridis) di Perairan Tanjung Mas Semarang Utara. Journal of Marina Research. 3(3): 285-293. Purnawan S, Sikanna R, Prismawiryanti. 2013. Distribusi logam merkuri pada sedimen laut di sekitar Muara Sungai Poboya. Jurnal Natural Science. 2(1): 18-24. Purnomo T. 1998. Bioremediasi perairan tambak udang intensif mengunakan kerang hijau, kerang darah dan rumput laut Gracillaria folliifera, Forsk. [Tesis]. Yogyakarta (ID): Magister Jurusan Biologi, Universitas Gadjah Mada. Rahman A. 2006. Kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada beberapa jenis krustasea Di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Bioscientiae. 3(2): 93-101. Rajeshkumar S, Munuswamy N. 2011. Impact of metals on histopathology and expression of HSP 70 in different tissues of Milk fish (Chanos chanos) of Kaattuppalli Island, South East Coast, India. Chemosphere. 83: 415–421. Doi 10.1016/j.chemosphere.2010.12.086. Randall PM, Chattopadhyay S. 2013. Mercury contaminated sediment sites—An evaluation of remedial options. Environmental Reseach. 125: 131-149. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Denpasar: Bali Press. Triadayani AE, Aryawati R, Diansyah G. 2010. Pengaruh logam timbal (pb) terhadap jaringan hati ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Maspari Journal. 01: 42-47.
71 Riani E. 2009. Kerang hijau (Perna viridis) ukuran kecil sebagai ―vakum cleaner‖ limbah kawasan industri yang masuk ke dalam Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 14(3): 24-30. Riani E. 2010. Kontaminasi logam berat pada ikan budidaya dalam keramba jaring apung di Waduk Cirata. Jurnal Teknobiologi. 1(1): 51-61. Riani E, Cordova MR. 2011. The impact of heavy metal contamination on malformationof green mussel in Muara Kamal Area, Jakarta Bay. PPLH National Seminary. IICC –IPB, October 20, 2011, 11 pp. Riani E. 2012. Perubahan Iklim dan Kehidupan Biota Akuatik. Bogor (ID): IPB Press. Riani E, Sudarso Y, Cordova MR. 2014. Heavy metals effect on unviable larvae of Dicrotendipes simpsoni (Diptera: Chironomidae), a case study from Saguling Dam, Indonesia. Aquaculture, Aquarium, Concervation and Legislation International Journal of the Bioflux Society. 7(2): 76-84. Riani E. 2015. The effect of heavy metals on tissue damage in different organs of goldfish cultivated in floating fish net in Cirata Reservoir, Indonesia. Indian Journal Research. 4: 132-136. Robert RJ. 2001. Fish Pathology. USA: W. B. Saunders. Robbins, Kumar. 1995. Buku ajar patologi anatomi II.Edisi 4. WB Saunder Company 378-382. Rochyatun E, Edward, Rozak A. 2003. Kandungan logam berat Pb, Cd, Cu, Zn, Cr, Mn, dan Fe dalam air laut dan sedimen di perairan Kalimantan Timur. Oseanologi dan Limnologi Indonesia. 35: 51-71. Rochyatun E, Kaisupy MT, Rozak A. 2006. Distribusi logam berat dalam air dan sedimen di Perairan Muara Sungai Cisadane. Makara Sains. 10(1): 35-40. Rochyatun E, Lestari, Rozak A. 2004. Kondisi Perairan Sungai Digul dan Perairan Laut Arafuru dilihat dari kandungan logam berat. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36: 15-31. Rompas MR. 2010. Toksikologi Kelautan. Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia. Jakarta Pusat. Saeni. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. 151 hal. Salem DMSA, Khaled A, El-Nemr A, El-Sikaily A. 2014. Comprehensive risk assessment of heavy metals in surface sediments along the Egyptian Red Sea coast. Egyptian Journal of aquatic Research. 40: 349-362. Doi.org/10.1016/j.ejar.2014.11.004. Sagala LS, Brawanto R, Kuswardani ARTD, Pranowo W. Distribusi logam berat di Perairan Natuna. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 6(2): 297310. Sahetapy JM. 2011. Toksisitas logam berat timbal (Pb) dan pengaruhnya pada konsumsi oksigen dan respon hematologi juvenil ikan kerapu macan. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Said I, Jalaluddin MN, Upe A, Wahap AW. 2009. Penetapan konsentrasi logam berat krom dan timbal dalam sedimen Estuaria Sungai Matangpondo Palu. Jurnal Chemical. 10(2): 40-47.
72 Sanusi HS. 1985. Akumulasi logam berat Hg dan Cd pada tubuh ikan bandeng (Chanos chanos orskal). [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor. Saputra HM, Marusin N, Santoso P. 2013. Struktur histologis insang dan kadar hemoglobin ikan asang (Osteochilus hasseltii C.V) di Danau Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(2): 138144. Schludermann C, Konecny R, Laimgruber S, Lewis JW, Schiemer F, Chovanec A, Sures B. 2003. Fish macroparasites as indicators of heavy metal pollution in river sites in Austria. Parasitology. 126: 61-69. Doi 10.1017/ s0031182003003743. [SEPA] Swedish Environmental Protection Agency (SEPA). 2000. Environmental Quality Criteria, Coasts and Seas. Setijaningsih L. 2009. Kajian kandungan logam berat timbal (Pb) dan merkuri (Hg) pada air dan ikan budidaya keramba jaring apung (KJA) di Waduk Cirata Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sharon G, Zilberg D. 2012. Atlas of Histology and Histopathology. JCA Charitable Foundation, Ramat Negev and Central and Northen Arava Research and Development Centers. Tersedia pada http:// www. moprn.org/moprn2012/fish/fish1.pdf. Siaka IM. 2008. Korelasi antara kedalaman sedimen di Pelabuhan Benoa dan konsentrasi logam berat Pb dan Cu. Jurnal Kimia. 2(2): 61-70. Simbolon AR. 2014. Analisis Kualitas Lingkungan Hidup Simping (Placuna placenta) di Pesisir Kabupaten Tangerang dan Risiko Kesehatan yang Ditimbulkan. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Spector WG. 1993. Pengantar Patologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 310 hal. Squadron S, Prearo M, Bizio P, Gavinelli S, Pellegrino M, Scanzio T, Guarise S, Benedetto A, Abete MC. 2012. Heavy metals distribution in muscle, liver, kidney, and gill of European catfish (Silurus glanis) from Italian Rivers. Chemosphere. 90: 358–365. Doi 10.1016/j.chemosphere.2012.07.028. Sudarmaji J, Mukono, Corie IP. 2006. Toksikologi logam berat B3 dan dampaknya Terhadap kesehatan. Kesehatan Lingkungan. 2(2): 129 -142 Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 246 hal. Sureah N. 2009. Effect of cadmium chloride on liver, spleen and kidney melano macrophage centres in Tilapia mossambica. Journal Environmental Biologycal. 30(4): 505-508. Suseno H, Pangabean SH. 2007. Merkuri : Spesiasi dan bioakumulasi pada biota laut. Jounal of Waste Management Technology. 10(1): 66-78. Sutamihardja RTM, Adnan K, Sanusi HS. 1982. Peraian Teluk Jakarta ditinjau dari tingkat pencemarannya. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Svobodova Z, Richard L, Jana M, Blanka V. 1993. Water quality and fish health. EIFAC Technical paper 54. FAO. Roma.
73 Takarina ND, Bengen DG, Sanusi HS, Riani E. 2013. Geochemical fractionation of copper (Cu), lead (Pb), and zinc (Zn) in sediment and their correlations with concentrations in bivalve mollusc Anadara indica from Coastal Area of Banten Province, Indonesia. International Journal of Marine Science. 3(30): 238-243. Takarina ND. 2010. Geochemical fractionation of toxic trace heavy metals (Cr, Cu, Pb and Zn) from the estuarine sedimens of 5 river mouths at Jakarta Bay, Indonesia. Journal of Coastal Development. 13(2): 26-36. Tarigan Z, Edward, Rozak A. 2003. Kandungan logam berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni dalam air laut dan sedimen di muara Sungai Membramo, Papua dalam kaitannnya dengan kepentingan budidaya perikanan. Makara Sains. 7(3): 119-127. Thoha H. 1991. Pencemaran laut dan dampak terhadap lingkungan. Amerta. 6(2): 10-13. Triadayani AE, Aryawati R, Diansyah G. 2010. Pengaruh timbal (Pb) terhadap hati ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Maspari. 01: 42-47. Van Wyk P, Scarpa J. 1999. Water quality and management. p.128-138. In: Farming marine shrimp in recirculating freshwater systems. Van Wyk, P. et al., eds. Florida Department of Agriculture and Consumer Services, Tallahassee, FL, USA. Velusamy A, Kumar PS, Ram A, Chinnadurai S. 2014. Bioaccumulation of heavy metals in commercially important marine fishes from Mumbai Harbor, India. Marinne Polluttion Bulletin. 81: 218-224. Doi: 10.1016/ j. marpolbul.2014.01.049. Vernberg WB, Vernberg FJ. 1977. Environmental Physiology of Marine Animal. Springer Verlag. New York. 346 p. Doi: 10.1007/978-3-642-65334-6. Wahab AW, Mutmainah. 2005. Analisis kandungan logam berat timbal dan seng di sekitar perairan Pelabuhan Pare-pare dengan metode adisi standar. Marina Chimica Acta. 6(2): 21-24. Waldichuk M. 1974. Some Biological Concern in Metal Pollution. P1-15. in Verberg FJ (eds). Pollution and physiology of marine organism. Academic Press. London. [WHO] Word Health Organization. 1993. Environmental Health Criteria 101, Methyl Mercury. Finlandia. International Programme on Chemical Savety Word Health Organization. Widowati W, Sastiono A, Jusuf R. 2008. Efek Toksik Logam, Pencegahan dan Penanggulangannya. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Wulandari E, Herawati EY, Arfiati D. 2012. Kandungan logam berat Pb pada air laut dan tiram Saccostrea glomerata sebagai bioinkator kualitas Perairan Prigi-Trenggalek, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan. 1(1): 10-14. Wulandari SY. Yulianto B. Santosa GS, Suwartimah K. 2009. Kadungan logam berat Hg dan Cd dalam air, sedimen dan kerang darah (Anadara granossa) dengan menggunakan metode analisis pengaktifan neutron (APN). Ilmu Kelautan. 14(3): 170-175. Yancheva V, Stoyanova S, Velcheva I, Petrova S, Georgieva E. 2014. Metal bioaccumulation in common carp and rudd from the Topolnitsa reservoir, Bulgaria. Arh Hig Rada Toksikol. 65: 57-66. Doi: 10.2478/10004-1254-652014-2451.
74 Yulaipi S, Aunurohim A. 2013. Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Hubungannya dengan Laju Pertumbuhan Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus). Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2(2): 166-170. Yunnie Y, Murtini JT. 2005. Kandungan logam berat air laut, sedimen dan daging kerang darah (Anadara granosa) di perairan Mentok dan Tanjung Jabung Timur. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 12(1): 27-32. Zeitoun MM, Mehana EE. 2014. Impact of water pollution with heavy metals on fish health: overview and updates. Global Veterinaria. 12(2): 219-231. Doi: 10.5829/idosi.gv.2014.12.02.82219. Zhang M, Cui Lijuan, Sheng L, Wang Y. 2009. Distribution and enrichment of heavy metals among sediments, water body and plants in Hengshuihu Wetland of Northern China. Ecological engineering. 35(4): 563-369. Doi: 10.1016/j.ecoleng.2008.05.012.
75 Lampiran 1 Dokumentasi kondisi lokasi penelitian
Zona 1
Zona 2
Zona 3
Titik sampling 10
Aktivitas di Zona 1
Muara Sungai Pondo di Zona 2
76 Lampiran 1 Lanjutan…
Pengukuran kecerahan air
Pengambilan sampel sedimen
Pengambilan sampel air
Pengukuran kualitas air
Salah satu sampel ikan selar tetengkek
GPS
77 Lampiran 2 Beberapa pedoman mutu logam Hg dan Pb pada sedimen Baku mutu ANZECC/ARMCANZ 2000-Low CCME 2002-ISQG SEPA 2000 very low NOAA 2012 in Salem et al. 2014 Belanda 2000
Logam Berat Hg (mg/kg) Pb (mg/kg) 0,15 50 0,13 30,2 ≤ 15 ≤ 50 0,15 46,7 0,3 85
Lampiran 3 Kondisi kualitas air di perairan Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah saat penelitian dilaksanakan Titik sampling 1 2 3 4 Zona 2 5 6 7 Zona 3 8 9 10 Rata-rata Baku mutua Zona 1
a
Suhu o C 30,3 30,3 28,0 30,2 29,7 28,5 30,3 30 29,9 29,8 29,7 28-30
Kecerahan m 0,90 1,025 1,475 1,95 1,075 1,175 2,58 2,95 3,175 7,85 2,41b >3
Kekeruhan NTU 8,0 4,6 5,6 7,7 8,3 10,3 2,0 10,5 2,2 0,4 5,96b <5
Salinitas psu 33,9 34,5 31,9 25,5 24,0 22,8 31,6 33,0 29,9 33,3 30,04 ≤34
pH 6,9 7,1 6,9 7,1 7,1 7,1 6,8 7,2 7,2 6,9 7,03 7-8,5
DO mg/l 7,81 6,84 6,51 6,87 6,81 7,6 7,78 7,85 8,1 8,1 7,43 >5
KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut; bDi bawah dan di atas baku mutu
COD mg/l 5,45 4,82 5,10 5,25 4,28 4,52 4,52 5,40 4,86 4,44 4,87 -
Ammonia mg/l 0,048 0,043 0,045 0,046 0,038 0,040 0,040 0,048 0,043 0,040 0,043 0,3
Nitrat mg/l 0,0035 0,0031 0,0033 0,0034 0,0028 0,0029 0,0029 0,0035 0,0032 0,0029 0,0031 0,008
79
Lampiran 4 Konsentrasi logam berat (Hg dan Pb), pada air dan sedimen di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah Hg
Titik sampling Zona 1
1 2 3
Rerata Zona 2
4 5 6
Rerata Zona 3
7 8 9
Rerata 10 Rata-rata Baku mutu a
Air (mg/l) 0,0036a 0,0018a 0,0041a 0,0032a 0,0042a 0,0037a 0,0015a 0,0031a 0,0008 0,0015a 0,0014a 0,0012a 0,0011a 0,0024a 0,001b
Pb Sedimen (mg/kg) 0,024 0,020 0,017 0.020 0,021 0,018 0,287a 0,109 0,046 0,024 0,024 0,031 0,023 0,050 0,13c c
Air (mg/l) 0,0162a 0,0251a 0,0336a 0,0250a 0,0340a 0,0292a 0,0340a 0,0324a 0,0364a 0,0392a 0,0130a 0,0295a 0,0268a 0,0297a 0,008b
Telah melebihi baku mutu; bBaku mutu air laut: KepMen LH No. 51 Tahun 2004; Baku mutu sedimen: CCME 2002
Sedimen (mg/kg) 3,695 2,647 2,841 3,061 4,312 3,630 4,412 4,118 6,054 3,773 8,987 6,271 8,369 4,872 30,2c
80
Lampiran 5 Konsentrasi logam berat (Hg dan Pb) pada organ ikan selar tetengkek (Megalaspis cordyla) di Teluk Palu Provinsi Sulawesi Tengah Titik sampling 1 2 3
Zona 1 Rerata
4 5 6
Zona 2 Rerata
7 8 9
Zona 3 Rerata
10 Rata-rata Baku mutua a
Insang 0,145 0,046 0,037 0,076 0,026 0,007 0,009 0,014 0,016 0,012 0,014 0,014 0,017 0,033
SNI 7387:2009; bMelebihi baku mutu
Hg (mg/kg) Daging Hati 0,034 0,052 0,028 0,083 0,032 0,106 0,031 0,080 0,036 0,074 0,014 0,091 0,031 0,066 0,027 0,077 0,018 0,054 0,015 0,071 0,046 0,075 0,026 0,067 0,025 0,063 0,028 0,073 0,5
Limpa 0,121 0,414 0,108 0,214 0,043 0,113 0,208 0,121 0,203 0,187 0,145 0,178 0,117 0,166
Insang 0,304b 0,371b 0,180 0,285 0,775b 0,579b 0,775b 0,711b 0,132 0,634b 0,362b 0,376b 0,594b 0,471b
Pb (mg/kg) Daging Hati 0,119 0,740b 0,294 1,871b 0,158 1,306b 0,190 1,305b 0,261 1,394b b 0,406 1,266b 0,117 0,768b 0,261 1,143b 0,143 0,295 0,079 0,761b 0,005 0,517b 0,076 0,524b 0,734b 1,016b 0,232 0,993b 0,3
Limpa 11,451b 12,923b 9,766b 11,380b 9,049b 4,862b 7,511b 7,141b 10,755b 8,418b 1,654b 6,942b 2,346b 7,873b
81
Lampiran 6 Perbandingan logam berat (Hg dan Pb) dalam air di Teluk Palu dengan beberapa perairan di Indonesia.
Lokasi Teluk Palu Muara Angke Jakarta Muara Kamal
Waktu Riset Maret 2015
Perairan Natuna Muara S. Cisadane Teluk Jakarta Muara S. Membramo
April 2009 Agustus 2004Januari 2005 Nopember 2012 Juli dan Nop 2005 Sep-Nop 2004 Agustus 2003
Perairan Trenggalek
2012
Semarang Utara
Muara S. Angke Perairan Kaltim Maluku Utara Perairan Kab. Tangerang Tanjung Jabung Timur Tanjung Buton Riau Perairan Banjarmasin
Nop 2010-April 2011 Agus-Sep 1999 September 2005 April-Agustus 2013 Mei, Juli dan Oktober 2002 Nopember 2010 Juni 2002
Konsentrasi Logam Berat Dalam Air Hg Pb 0,0008-0,0042 mg/l 0,013– 0,039 mg/l 0,090–0,330 mg/l 0.0001-0.0002 mg/l, 0,0013–0,004 mg/l -
0,108-0,172 ppm <0,0002 mg/L) 0,075 - 0,210 ppb -
Penelitian ini Hutagalung dan Razak 2008 Putri et al. 2012 Wulandari et al. 2009
<0,005 mg/L ≤0,001–0,005 mg/L 0,005 ppm - 0,105 ppm 0,0034–0,0036 ppm 0,060±0,013 mg/l0,211±0,0135 mg/l
Sagala et al. 2014 Rochyatun et al. 2006 Riani 2009 Tarigan et al. 2003
0,105 mg/l
Cordova dan Riani 2011
-
0,00517 < 0,001 – 0,002 ppm
Rochyatun et al. 2003 Marasabessy et al. 2010
-
0,006 – 0,017 mg/l
Simbolon 2014
0,086 mg/l
1,49 ppb
-
6,05 ppb
Referensi
0,83 mg/l -
Wulandari et al. 2012
Yunnie dan Murtini 2005 Amin 2011 Murtini dan Perangiangin 2006
82
Lampiran 7 Perbandingan logam berat (Hg dan Pb) dalam sedimen di Teluk Palu dengan beberapa perairan di Indonesia.
Lokasi
Waktu Riset
Teluk Palu Teluk Jakarta Perairan Ancol Muara S. Angke Perairan Gresik Pelabuhan Pare-pare Demak P. Kabaena, Muna dan Buton Perairan Laut Arafuru Dumai Teluk Jakarta
Maret 2015 Sep-Nop 2004 Okt-Des 2004 Nop 2010-April 2011 Februari 2012 2005 Okt-Nop 2011
Konsentrasi Logam Berat dalam Sedimen Hg Pb 0,017 – 0,287 mg/l 2,647 – 8,987 mg/l 0,03 – 0,182 ppm 1,524 – 5,555 ppm < 0,00001 ppm 2,383 ppm 1,171 ppm 0,04 – 0,33 (0,13) mg/kg 1,74 – 12,7 (4,29) mg/kg 54,3331 – 93,8774 mg/kg 11,1272 – 13,0852 ppm
Referensi Penelitian ini Riani 2009 Riani 2010 Cordova dan Riani 2011 Lestari dan Budiyanto 2013 Wahab dan Mutmainnah 2005 Azhar et al. 2012
April 2006
-
0,059 – 11,207
Ahmad, 2009
Oktober 2002 Mei 2005 2009
-
0,54 – 9,86 32,34 (14,63-84,90) 39,7 – 303,42 ppm
Rochyatun et al. 2004 Amin et al. 2009 Takarina 2010
Perairan Kendari
Juni 2011
-
Edward 2014
Tanjung Buton Riau
Nopember 2010
-
3,704 – 21,892 ppm 20, 07 mg/kg
Perairan Banjarmasin
Juni 2002
17, 14 ppb
-
Amin et al. 2011 Murtini dan Peranginangin 2006
83
Lampiran 8 Peta arah arus di Indonesia
Sumber : NOAA
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Kayuosing Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Juni 1989. Putra bungsu dari seorang ayah bernama Sambo dan ibu bernama Pare’ (alm). Anak kelima dari lima bersaudara. Menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Palu pada tahun 2005 dan lulus tahun 2008. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus tahun 2012. Setelah lulus S1 penulis pernah bekerja di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Palu Anugerah dan pernah bekerja sebagai laboran di bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako Palu. Pada tahun 2013 penulis diterima di Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dengan mendapatkan beasiswa BPPDN calon dosen dari DIKTI dan lulus tahun 2015. Penulis menulis tesis dengan judul ―Kontaminasi Logam Berat (Hg dan Pb) pada Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Teluk Palu, Provinsi Sulawesi Tengah‖. Penulis juga menulis sebuah artikel dengan judul ―Kontaminasi Logam Berat Merkuri (Hg) dan Timbal (Pb) pada Air, Sedimen dan Ikan Selar Tetengkek (Megalaspis cordyla L) di Teluk Palu, Sulawesi Tengah‖. Artikel ini diajukan ke Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (JPSL), telah diterima dan ditelaah dengan ID Naskah: JPSL-2015-08.106 dan diterbitkan pada Jurnal JPSL Volume 5 Nomor 2 Tahun 2015.