Jurnal At-Tajdid
KONSEP TAZKIYATUN NAFS TERPADU SEBAGAI UPAYA MENGEMBALIKAN SAKRALITAS PROFESI GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER Ikhwan Fuad ∗ Abstract: This article elaborates on how to restore the scredness of teaching profession through the concept of integrated tazkiyatun nafs. Scredness in the teaching profession is considered essential to bring education that has soul and can inspire students in accordance with the purpose of education. Efforts to restore the teaching profession scredness with the concept of integrated tazkiyatun nafs using two approaches, normative-theological and juridical-sociological. In the normative-theological approach Tazkiyah understood as a concept of self-purification of the properties reprehensible and adorn themselves with noble character according to the guidelines of al-Quran and asSunnah. While the socio-juridical approach tazkiyah interpreted as teacher capacity development efforts both individually by the teacher concerned as well as from outside the educational environment includes government as education providers, as the administrator of the policy holder at the unit level of education, and the community as users of educational services. Keywords: tazkiyatun nafs, scredness, the teaching profession.
PENDAHULUAN Dalam ajaran Islam, profesi guru merupakan profesi yang luhur dan amat mulia. Guru memegang peranan yang sangat penting dan tanggung jawab yang besar dalam pembentukan sebuah generasi. Islam datang dengan pendidikan sebagai salah satu tema sentral ajarannya. Rasululullah SAW sebagai pembawa risalah Islam dikenal sebagai ‘pendidik kemanusiaan’ (educator of mindkind).1 Dalam sabdanya Rasulullah menyata* Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Pacitan
91
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...
kan ‘Al-Ulama’ Waratsatul Anbiya’ (Ulama adalah pewaris para Nabi).2 Ahmad Syauki Bek, seorang penyair berkebangsaan Mesir menggambarkan ‘sosok guru’ dalam syairnya:3
قـــــم للمعلم وفــه التبجــــــــــي ل كاد املعــــــــــلم أن يكون رسوال “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaaan, seorang guru itu hampir-hampir saja menyerupai seorang rasul”.
Konsep guru dalam pandangan Islam tersebut di atas tampaknya menjadi suatu hal yang sulit ditemukan dewasa ini. Profesi guru dalam masyarakat kontemporer jauh berbeda dengan guru di masa lampau sebagai profesi yang memiliki kedudukan lebih dibanding profesi yang lain. Guru sebagai sosok yang arif dan bijaksana, kini tidak lebih dari sekedar fungsionaris pendidikan yang bertugas mengajar dengan kualifikasi keilmuan tertentu. Guru melaksanakan ‘pekerjaan mengajar’ kemudian memperoleh imbalan materi dari negara sebagai penyelenggara pendidikan atau pihak swasta pengelola pendidikan lainnya. Selain itu, guru yang semestinya menjadi teladan bagi siswanya, justru menjadi salah satu “penyakit pendidikan” yang harus diobati. Kasus-kasus seperti anjuran menyontek masal oleh oknum guru, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak didik, demonstrasi kenaikan gaji dan lainnya semakin memperburuk citra profesi guru. Nilai ‘sakral’ yang selama ini melekat pada profesi guru dirasakan mulai luntur seiring dengan berkembangnya pandangan bahwa profesi guru sama dengan profesi lainnya. Akibatnya, pendidikan menjadi kehilangan ruh dan tidak mampu lagi menginspirasi generasi bangsa karena dijalankan tanpa adanya keteladanan yang cukup (nirketeladan). Pengajaran di kelas-kelas tidak ubahnya sebuah transaksi jual beli jasa/ ilmu pengetahuan yang kosong akan nilai (values) meskipun beragam model pembelajaran dan kurikulum diterapkan. Pada taraf berikutnya, pendidikan hanya mampu menghasilkan manusia pintar-pintar budak industrialisasi yang jauh dari tuhan dan kemuliaan adab. Desakralisasi profesi guru dalam pandangan penulis akan membawa dampak yang tidak baik bagi dunia pendidikan. Tujuan pendidik92
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
an kepada pembentukan pribadi yang unggul akan sulit tercapai, sebab guru sebagai figur sentral pendidikan telah kehilangan idealismenya. Lembaga pendidikan akan mudah menyerah dan berkompromi dengan realitas jika tidak memiliki guru-guru yang teguh memegang prinsip dan kebenaran. Pendidikan juga takut untuk memasang target-target yang ideal dan cenderung menuruti kemauan siswa (baca: pasar pendidikan) untuk sekedar lulus dan mencari ijazah. Padahal, pendidikan dikonsep dalam rangka menambah ilmu, membentuk sikap, karakter dan pribadi yang mulia.4 Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji tentang kesakralan profesi guru yang mulai luntur. Ada kegelisahan pada benak penulis tentang apa yang menyebabkan fenomena kesenjangan ini terjadi dan bagaimana solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalah an tersebut. Intinya bagaimana mengembalikan sakralitas profesi guru.
PROFESI GURU DALAM PERADABAN ISLAM DAN BANGSA-BANGSA DI DUNIA Guru dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang pekerjaannya atau mata pencahariannya mengajar.5 Berdasarkan pe ngertian ini guru dalam kehidupan masyarakat merupakan salah satu dari profesi-profesi yang ada, misalnya profesi dokter, petani dan lainnya. Sebagai suatu profesi maka sebenarnya guru tidak dapat dilaksanakan oleh sembarang orang yang tidak memiliki keahlian di bidang keguruan, meskipun pada kenyataannya masih banyak ditemukan. Hal ini senada dengan definisi yang diajukan oleh Laurence dan Jonathan Mc sebagaimana dikutip Ummi Mahmudah dan Abdul Wahab Rasyidi yang menegaskan bahwa teacher is professional person who conduct classes (guru adalah pribadi yang profesional dalam mengatur kelas).6 Dalam Islam ada banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan makna guru antara lain ustadz, mu’allim, murobbi, mursyid, mudarris dan muaddib.7 Secara umum makna dari istilah-istilah tersebut sama, namun secara spesifik masing-masing memiliki makna yang membedakan satu sama lain. Istilah ustadz misalnya memiliki makna Mu’allim yaitu orang yang mengajar, namun dalam tradisi di Timur Tengah kata Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
93
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...
ustadz sering digunakan untuk penyebutan profesor atau guru besar. Sementara istilah murobbi dari kata robba yang artinya mendidik dan menumbuhkembangkan dekat dengan makna mu’addib yaitu orang melatih dan mendidik akhlak. Adapun mudarris dari kata darasa yang maknanya menghadap dan fokus pada sesuatu serta menjaganya.8 Dari istilah-istilah tersebut, di Indonesia istilah ustadz lebih familiar digunakan dari istilah lainnya yaitu untuk menyebut guru agama laki-laki.9 Sebagai sebuah profesi yang khusus, jabatan guru memiliki syarat dan kriteria tertentu dalam sebuah komunitas masyarakat. Misalnya National Education Association (NEA) menyarankan kriteria untuk profesi keguruan antara lain: 1. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual. 2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus. 3. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan yang bersifat umum belaka. 4. Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan. 5. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaannya permanen. 6. Jabatan yang menentukan baku/standarnya sendiri. 7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi. 8. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.10 Dengan memenuhi kriteria-kriteria di atas maka wajar jika profesi guru dianggap sebagai profesi yang khusus, bahkan sering disebut sebagai ibu dari semua profesi. Tingginya kedudukan seorang guru terkait erat dengan pemenuhan kriteria-kriterianya. Hanya orang-orang khusus dan terpilih yang dapat menjadi guru sehingga ia patut dihormati dan diberikan kedudukan istimewa. Profesi guru dalam peradaban Islam memiliki kedudukan yang tinggi. Banyak ayat al-Quran dan Hadits Nabi yang memuji guru seba94
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
gai orang yang dikarunia Ilmu oleh Allah dan menjadi pelita dalam kehidupan manusia. Allah meninggikan derajat orang-orang yang diberikan Ilmu beberapa derajat di atas orang beriman lainnya, seperti yang difirmankan Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan Memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan Mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan”.11
Penghargaan Islam yang begitu tinggi terhadap profesi guru sebenarnya merupakan realisasi ajaran Islam sendiri. Islam datang dengan pendidikan sebagai salah satu tema sentralnya dan Rasulullah adalah guru pertama dalam sejarah Islam. Rasulullah menegaskan dalam sabdanya: “innamaa bu’itstu liutammima makarima al-akhlaq” (Bahwasanya aku diutus untuk tujuan menyempurnakan akhlak yang mulia).12 Dalam hadits lain disebutkan: ... innama bu’itstu mu’alliman (aku hanya diutus untuk menjadi seorang pendidik).13 Guru sebagai sumber ilmu dan moral memiliki kedudukan khusus dalam masyarakat Islam sepanjang sejarah. Guru memiliki hak-hak istimewa yang wajib ditunaikan oleh masyarakat, khususnya orang-orang yang mengambil ilmu darinya. Hal ini tergambar dari penjelasan sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai berikut: “Diantara hak orang berilmu (guru) atas dirimu adalah: hendaknya engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir (dalam majelisnya), memberi salam hormat kepadanya secara khusus, duduklah tenang dihadapannya, jangan menunjuk jari ke arahnya, jangan memandang tajam ke arahnya, jangan terlalu banyak mengajukan pertanyaan kepadanya, tidak membantunya dalam memberi jawaban, tidak memaksakannya ketika ia letih, jangan mendebatnya jika dia tidak menginginkannya, jangan memegang bajunya ketika ia hendak bangkit, janganlah engkau membocorkan rahasianya, janganlah menggunjingnya di hadapan orang lain, jangan mencari-cari kesalahannya, jika ia berbicara salah maka hendaklah engkau memakluminya, eng-
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
95
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ... kau tidak boleh berkata di hadapannya “kudengar Fulan berkata begini yang berbeda dengan pendapatmu”, jangan katakan di hadapannya bahwa dia adalah seorang ulama, jangan terus menerus menyertainya, janganlah sungkan-sungkan berbakti kepadanya, jika diketauhi dia memiliki suatu keperluan, maka hendaknya engkau segera memenuhinya. Kedudukan guru seperti pohon kurma, sedang engkau menunggu-nunggu apa yang akan jatuh darinya”.14
Penghargaan Islam terhadap guru dengan hak-hak yang istimewa sebagaimana disebutkan di atas menjadi tradisi dalam peradaban Islam yang dijaga sepanjang sejarah. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu seorang guru Al-Quran diberikan gaji oleh negara sebesar 15 dinar setara dengan 33.870.000,- (1 dinar = 4,25 gram/ Rp. 2.258.000,-).15 Selain itu ulama dalam tradisi pemerintahan Islam dari masa khulafaurrasyidun hingga kekhalifahan Turki Utsmani, ulama dijadikan penasehat para khalifah dengan gelar kenegaraan Syaikul Islam yang berfungsi memperkuat legitimasi pemerintahan Islam.16 Dalam kebudayaan Romawi dan Yunani, sejak era paganisme sampai masa kristen menempatkan guru pada kedudukan terpandang. Sejarah mencatat nama seperti Aristoteles, Plato, Isokrates dan lainnya, merupakan guru-guru mulia di publik Yunani. Setelah Kristen datang, guru masih memiliki peran yang sentral dalam kehidupan masyarakat mendidik manusia menjadi ‘santo’ (kudus) seperti tuhan yang oleh orang-orang kristen disebut dengan virtus cristiana dan charitas christiana. Surat-surat yang ditulis oleh para pendeta seperti Paulus dijadikan acuan dalam mengembangkan masyarakat dengan pendidikan yang lebih baik.17 Dalam kebudayaan Cina Tionghoa dianggap sebagai pengajar yang menurunkan patokan etika moral, pengetahuan dan konsep nilai. Menghormati guru dan mementingkan ajarannya adalah tradisi kebajikan bangsa tionghoa. Untuk melindungi martabat guru, tidak hanya menuntut murid berprilaku hormat dan sopan, akan tetapi lebih dari pada itu murid harus berbakti dengan tulus melakukan segala hal sesuai perintah guru. Sejarah mencatat beberapa nama guru masyhur di kalangan
96
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
bangsa Tionghoa seperti Kongfutse (Konghucu), Zengshen yang muridnya tersebar ke semua negara.18 Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, guru pernah mempunyai kewibawaan yang tinggi di tengah masyarakat karena dianggap sebagai orang yang serba tahu. kata Guru tidak hanya mendidik anak di kelas, tetapi juga mendidik masyarakat, tempat bertanya baik untuk menyelesaikan masalah pribadi atau pun masalah sosial. Tidak heran jika kata guru dalam masyarakat Indonesia sering diartikan yang digugu dan ditiru. Ketulusannya dalam menyampaikan ilmu dan mendidik bangsa disejajarkan dengan pahlawan yang mengorbankan harta, jiwa dan raga untuk memerdekakan bangsa dengan satu predikat pahlawan tanpa tanda jasa. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa profesi guru adalah profesi yang prestise hampir di semua peradaban manusia. Penghargaan terhadap guru sebagai sumber ilmu dan moral tersebut diwujudkan dengan memberikan hak-hak istimewa, memenuhi segala kebutuhannya hingga memberikan posisi dalam struktur politik pemerintahan sebagai penasehat khalifah atau raja.
SAKRALITAS PROFESI GURU DAN PENYEBAB KELUNTURANNYA Sakral secara etimologis memiliki pengertian: keramat, suci, dan kerohanian.19 Kesakralan menurut Emile Durkheim memiliki pengertian superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan normal dan pantas mendapatkan penghormatan tinggi. Sedangkan Micca Eliade mengartikan kesakralan sebagai wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan dan penting, penuh substansi dan realitas, wilayah keteraturan dan kesempurnaan, leluhur, pahlawan dan dewa.20 Adapun secara terminologis sakralitas merupakan keadaan yang mempromosikan perjumpaan dengan-Nya untuk membawa seseorang keluar dari alam duniawi atau historisnya, memproyeksikan ke suatu alam yang berbeda kualitasnya, suatu dunia yang benar-benar berbeda, bersifat transenden dan suci.21 Kesakralan profesi guru sebagaimana definisi di atas dalam praktiknya dapat disaksikan secara nyata dalam sejarah pendidikan Islam
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
97
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...
di Indonesia. Dalam tradisi di sebagian pesantren (utamanya pesantren salaf) misalnya masih didapatkan kebiasaan santri membungkuk dan mencium tangan Kyai. Bahkan. konon ada santri yang tidak berani buang air kecil menghadap rumah Kyai meskipun dalam ruangan tertutup karena takut kualat apalagi doa Kyai diyakini mujarab. Jika tidak menghormati guru atau Kyai maka ilmu yang dipelajari akan sia-sia karena tidak barakah. Nilai sakral profesi guru ini bila ditelisik melalui pendekatan normatif dengan melihat nash-nash dari al-Quran dan as-Sunnah disimpulkan sumbernya tidak lepas dari Ilmu itu sendiri yang berasal dari sisi Allah SWT. Allah dalam hal ini adalah murabbi seluruh alam sehingga hubungan guru dengan murid dalam Islam lebih pada suatu hubungan yang memiliki nilai kelangitan. Demikian pula dengan pendekatan budaya, unsur keyakinan yang transenden nampak kuat dalam memandang sosok guru yang dianggap memiliki kelebihan dibandingkan manusia pada umumnya. Bahkan pada sebagian peradaban seperti kristen Romawi atau Cina Konghucu guru merupakan representasi sifat kesempurnaan Ilahi. Kesakralan profesi guru dalam Islam berbeda dengan kesakralannya dalam ajaran agama lain yaitu tidak bersifat mutlak pada dzat atau sosok individu guru, tetapi bersifat muqoyyad dengan ilmu yang dikuasai dan diamalkannya. Artinya hanya dengan menguasai ilmu dan mengamalkan ilmu yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka seorang guru dihormati dan dimuliakan. Adapun dalam ajaran Hindu, Budha, Konghucu dan mitisisme lain yang meyakini guru sebagaimana juga raja yang merupakan representasi tuhan yang mutlak diikuti dan ucapannya selalu dianggap benar. Kewibawaan dan kesakralan profesi guru bagaimana pun itu lambat laun mulai memudar. Di era sekarang, profesi guru bukan lagi profesi yang sakral, bahkan dianggap kalah gengsi dari jabatan lainnya yang memiliki pendapatan dan prestise yang lebih baik. Menurut Adian Husaini, memudarnya kewibawaan dan tidak adanya lagi penghormatan kepada guru (ulama) sebagai pendidik dan pembimbing umat tidak lain di-
98
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
sebabkan oleh masuknya sistem keilmuan Barat yang sekuler ke dalam sistem pendidikan Islam. Sistem Barat tersebut berakar dari tradisi keilmuan Yunani cenderung memisahkan antara orang-orang pintar dengan orang-orang shalih.22 Di Barat, banyak ilmuwan yang pintar dan dihormati oleh masyarakat meskipun amal dan akhlaknya bejat. Paul Jahnson dalam bukunya Intelectuals sebagaimana dikutip Adian memaparkan kehidupan dan moralitas sejumlah ilmuwan besar yang jadi rujukan keilmuan seperti Jean Jaques Ruosseau, Henrik Ibsen, Karl Max, Ernest Hemingway, Sigmund Freud dan lainnya yang kacau bahkan tidak jelas agama apa yang dianut dan bagaimana amalan-amalan dan ritual ibadahnya. Adapun dalam ajaran Islam, ada tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Hal ini tergambar dari konsep fasiq dalam ilmu jarh wa tadil (bagian dari ilmu hadits) dimana seorang yang meskipun berilmu tinggi tetapi berbuat jahat dan akhlaknya rusak terkenal kategori fasiq maka ilmu dan khabar yang ia bawa perlu diklarifikasi. Dari tradisi inilah lahir ilmuwan yang berilmu tinggi seperti para imam madzhab, Imam Bukhari, Al Ghazali dan lainnya. Mereka dikenal bukan hanya sebagai ilmuwan, tetapi juga sebagai mujahid dan ahli ibadah.23 Pendapat lain dikemukakan oleh Sanusi sebagaimana dikutip Soetjipto dan Raflis Kokasi bahwa kewibawaan guru memudar sejalan dengan antara lain kemajuan zaman, perkembangan teknologi, dan kepedulian guru masa kini meningkat tentang imbalan atau balas jasa.24 Di era teknologi informasi seperti sekarang ini, guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu dan tempat bertanya bagi masyarakat. Televisi dan internet misalnya diakui telah banyak memberikan pengaruh bagi manusia dan kebudayaan. Arus informasi yang cepat dan instan berperan penting dalam merubah tatanan nilai dalam masyarakat modern. Tradisi dan nilai-nilai budaya Barat diterima tanpa filterisasi membawa masyarakat yang religius dan sarat dengan nilai-nilai yang sakral kepada masyarakat yang rasional dan materistis. Motivasi dan faktor-faktor ekonomis telah benar menggeser konsep dan citra guru. Nilai sakral pahlawan tanpa tanda jasa kehilangan subJurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
99
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...
stansi menjadi lirik-lirik formal dalam lagu-lagu pujian terhadap guru. Pemogokan dan demonstrasi guru menuntut kenaikan gaji menunjukkan turunnya kualifikasi moral guru yang tidak ada bedanya dengan buruh pabrik dan pembantu rumah tangga. Menonjolnya motivasi ekonomi dan hilangnya keikhlasan dalam profesi guru juga dicerminkan melalui ngobjek ke sana sini guru honorer yang digaji tidak manusiawi. Sofyan Sauri berpendapat bahwa peran guru dalam mengajar saat ini hanya sekedar menggugurkan kewajiban tanpa disadari bahwa mendidik adalah tugas dari Allah yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.25 Hilangnya rasa tanggung jawab dari seorang guru berimplikasi pada kualifikasi keilmuan dan moral serta penurunan skill keguruan seperti rendahnya keterlibatan guru dalam kegiatan intelektual, minimnya latihan dan persiapan dalam mengajar dan lain sebagainya. Dari uraian pendapat para pakar pendidikan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa faktor penyebab memudar atau lunturnya sakralitas profesi guru dapat dikategorikan menjadi faktor-faktor yang berasal dari dalam diri guru (faktor internal) dan faktor-faktor yang berasal dari luar (faktor eksternal). Faktor-faktor internal penyebab lunturnya sakralitas profesi guru antara lain hilangnya keikhlasan pada diri guru, kurangnya kesadaran rasa jawab bahwa mendidik adalah amanat tugas dari Allah, kurangnya rasa tanggung jawab terhadap amanah dan melemahnya skill keguruan. Adapun faktor-faktor yang berasal dari luar antara lain masuknya sistem keilmuan Barat yang sekuler dalam pendidikan Nasional dan pendidikan Islam secara umum, pergeseran nilai akibat arus perkembangan zaman dan teknologi informasi.
KONSEP TAZKIYATUN NAFS TERPADU DALAM PROFESI KEGURUAN Dalam paparan sebelumnya telah dijelaskan bahwa menjadi seorang guru merupakan panggilan jiwa (nafs) sebagai tugas mulia dari Allah yang menciptakan kehidupan. Tanggung jawab yang diemban dalam profesi guru dalam pendidikan Islam berkaitan erat dengan nilai-nilai sakral yang transenden. Permasalahaan tentang memudarnya wibawa guru dan lunturnya sakralitas di dalamnya disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Apabila diperhatikan, faktor-faktor 100
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
tersebut tidak lepas dari persoalan jiwa (nafs), maka penulis berpendapat bahwa tazkiyatun nafs adalah metode yang tepat dalam mengatasi persoalan. Tazkiyah merupakan kunci kesuksesan pendidikan dan pengajaran Nabi SAW sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran:
ِّ ُْ ُ َ َ ْ ْ اب َ ُه َوالَّذِي بََع َث ِف المي َني َر ُسوال منُْه ْم يَتلو َعليْهِْم آيَاتِهِ َويَُزكيهِْم َويَُعل ُمُه ُم ال ِكت ِّ ِّ ِّ ِّ ْْ َ ُ ٍَوالِك َم َة َوإِن كانوامِن قبْل لَفِي َضَللٍ ُّمبِني Dia-lah yang Mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Al Jumuah: 2).
Kata tazkiyah berasal dari bahasa Arab yaitu mashdar dari kata zakka yang berarti pembersihan dan penyucian serta pembinaan dan jiwa menuju kepada kehidupan spiritual yang tinggi. Menurut Said Hawwa, tazkiyah secara etimologi memiliki dua makna pokok yaitu penyucian dan pertumbuhan/perkembangan. Tazkiyah dalam arti pertama bermakna membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, sedangkan tazkiyah dalam arti kedua bermakna menumbuhkan dan memperbaiki jiwa dengan sifat terpuji.26 Kata lain yang dekat dengan makna tazkiyah adalah kata tathhir dari kata thahara yang artinya juga membersihkan, hanya saja tathhir lebih kepada makna membersihkan jiwa sesuatu yang bersifat material yang bisa diindra seperti kotoran, najis dan sebagainya, sedangkan makna tazkiyah mengarah kepada pembersihan yang bersifat immaterial misalnya membersihkan diri dari angan-angan kosong, nafsu jahat, dan sebagainya.27 Hampir dalam semua kamus Arab dinyatakan bahwa kata tazkiyah memiliki dua arti yaitu penyucian dan pengembangan sebagaimana disebutkan di atas. Namun demikian para ahli bahasa berbeda pendapat mana di antara kedua makna tersebut yang lebih mendasar. Frase tazkiyatun nafs seperti banyak diakui oleh para ahli tafsir (mufassir) dapat diartikan penyucian jiwa atau pun penumbuhan/pengembangan jiwa, Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
101
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...
akan tetapi dalam banyak ayat makna yang pertama lebih ditekankan dengan alasan-alasan teologis. Hal itu tidak lain dikarenakan kewajib an primer seorang Muslim adalah tunduk kepada Allah, dan ini tidak mungkin tercapai kecuali dengan membersihkan diri dari hal-hal yang dibenci Allah.28 Maka terkait dengan topik pembahasan mengenai upaya mengembalikan sakralitas profesi guru ini, penulis mengakomodasi keduanya sebagai konsep tazkiyatun nafs terpadu.
TAZKIYATUN NAFS DALAM MAKNA PENYUCIAN JIWA (PENDEKATAN NORMATIF-TEOLOGIS) Tazkiyatun nafs dalam makna penyucian jiwa mencakup segala usaha yang dilakukan guru sebagai pribadi yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya. Guru harus terlebih dahulu membersihkan jiwanya dari noda-noda ruhani dan penyakit-penyakit hati sebelum mendidik dan mengajari umat. Allah mengecam guru (pemuka agama) Yahudi yang menyuruh pengikutnya melakukan kebajikan sedang mereka lupa pada diri mereka sendiri untuk berbuat kebajikan.29 Oleh karena itu dalam pendidikan Islam, konsep tazkiyah dan ta’dib lebih diutamakan dari konsep tarbiyah dan ta’lim. Adapun metode tazkiyatun nafs menurut al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana disarikan Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim30 mencakup 4 langkah antara lain: 1. Memperbanyak taubat yaitu menyucikan diri dari dosa dan maksiat dengan menyesali segala dosa yang dilakukan dan bertekad untuk tidak kembali kepada dosa tersebut (dalil QS. An-Nur: 31). 2. Muraqabah yaitu merasakan bahwa setiap gerak-geriknya dalam kehidupan selalu diawasi oleh Allah SWT, ia yakin bahwa Allah mengetahui segala yang ia rahasiakan dan memerintahkan malaikat untuk mencatatnya. 3. Muhasabah yaitu mengadakan introspeksi terhadap apa yang telah ia lakukan sepanjang hidupnya apakah amalannya pantas diterima oleh Allah dan mendapatkan balasan. Jika tidak ia merasa tidak pantas ia akan memperbaikinya dengan istighfar dan mujahadah.
102
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
4. Mujahadah yaitu sikap bersungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu yang cenderung menyeretnya kepada kejahatan dan membuatnya malas dalam berbuat kebajikan. Apabila seorang guru melakukan langkah-langkah di atas, niscaya akan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik yang telah ditetapkan antara lain: 1. Ikhlas menerima segala problem peserta didik dengan hati yang tabah dan sikap yang terbuka. 2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. Ali Imran: 159) 3. Menjaga wibawa dan kehormatan dalam bertindak. 4. Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama (QS. An Najm: 32). 5. Bersifat rendah hati ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat (QS. Al Hijr: 88). 6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia. 7. Meninggalkan sikap amarah dalam menghadapi masalah. 8. Menerima kebenaran yang berasal dari orang lain. 9. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan yang ia lakukan. 10. Mencegah dan mengontrol peserta didik agar tidak mempelajari ilmu yang membahayakan. 11. Menghias diri dengan akhlak mulia seperti khusyu, iffah (menjaga diri), zuhud terhadap dunia.31 Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tazkiyatun nafs dalam arti penyucian jiwa berkaitan dengan norma-norma pendidikan (kode etik), penanaman adab (ta’dib) dan penyempurnaan diri serta menghias diri (tahalli) dengan akhlak-akhlak mulia.
TAZKIYATUN NAFS DALAM MAKNA PENGEMBANGAN DIRI (PEN DEKATAN YURIDIS-SOSIOLOGIS) Tazkiyatun nafs dalam makna pengembangan diri diarahkan pada upaya membentuk dan meningkatkan skill dan profesionalisme guru da-
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
103
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...
lam memberikan layanan pendidikan. Pengembangan diri pada profesi guru meliputi tiga bagian32 yaitu: 1. Pengembangan diri guru sebagai seorang pengajar Yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi profesinal-religius antara lain dengan melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan intelektual khususnya bidang yang ia ajarkan, melatih dan mempersiapkan diri dalam penyampaian ilmu (transfer of knowledge), menerapkan metode-metode baru dalam pengajaran, menemukan keunikan metode dalam mengajar yang membedakannya dengan pengajar lain dan lain sebagainya. 2. Pengembangan diri guru sebagai seorang pendidik Yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi personal-religius misalnya pengembangan atitude yang dapat diteladani, internalisasi nilai yang hendak diinternalisasikan kepada peserta didik seperti nilai kejujuran, kebersihan, keadilan, kedisiplinan, musyawarah, tanggung jawab dan sebagainya. 3. Pengembangan diri guru sebagai seorang pemimpin Yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi sosial-religius seperti peningkatan kemampuan berkomunikasi, retorika dan memberi pengaruh, kepedulian sosial, dan sebagainya. Tazkiyah dalam arti pengembangan diri guru dalam praktiknya juga membutuhkan keterlibatan banyak pihak lain yaitu pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, stakeholder dan administrator pendidikan, dan masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan. 4. Peran Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan. Pemerintah memiliki tanggung jawab dan peran yang besar untuk melindungi profesi guru yaitu dengan menetapkan Undang-Undang yang menjamin harkat dan martabat guru. Peraturan dan perundang-undangan tentang guru yang tidak jelas arahnya seperti sekarang ini secara tidak langsung berpengaruh kepada kewibawaan dan sakralitas profesi guru. Misalnya mengenai managemen tenaga guru
104
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
dalam UU. No 32 tahun 2004 tentang pendidikan tentang urusan mana yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah pusat dan mana yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah, kriteria yang digunakan adalah efisiensi, akuntabilitas, dan eksternalitas tetapi maknanya yang dikaburkan dan arah yang bertentangan satu sama lain.33 Pengelolaan tenaga guru yang meliputi perencanaan dan sistem informasi, rekrutasi, pengembangan kapasitas, distribusi, penilaian kerja, dan pengembangan profesi serta penggajian dihadapkan pada pilihan sentralisasi atau desentralisasi. Masuknya motif-motif politis yang multi-interest untuk mengakses kekuasaan dan anggaran sering kali mengacaukan pembangunan dan pengembangan profesi guru sebagai profesi yang independen dan bermartabat. Kasus migrasi guru kepada jabatan-jabatan non-guru di berbagai jabatan struktural SKPD di luar dinas pendidikan tentu memiliki efek negatif. Demikian pula dengan politisasi profesi guru oleh calon kepala daerah pada musim kampenye mencedari sakralitas profesi guru. Sistem penggajian guru yang tidak berkeadilan antara guru ber status negeri dan swasta adalah permasalahan berikutnya yang harus menjadi perhatian pemerintah. Kebijakan sertifikasi yang bertujuan mengembangkan kapasitas justru menjadi ajang menumpuk harta bagi guru PNS sementara guru honorer mendapat upah yang tidak manusiawi seperti buruh atau di bawah buruh. 5. Peran administrator pendidikan pemegang kebijakan di tingkat satuan pendidikan Kepala sekolah di sekolah-sekolah negeri dan pemiliki yayasan di sekolah-sekolah swasta memiliki andil yang besar untuk menjaga dan mengembalikan kehormatan profesi guru. Guru hendaknya tidak dipandang sebagai karyawan atau bawahan yang harus mengikuti kehendak administrator tanpa diberi ruang untuk memberikan pandangan tentang pendidkan yang dijalankan. Dalam hal ini bagaimana seorang administrator pendidikan gaya kepemimpinan yang luwes, terbuka dan demokratis.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
105
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...
Di antara upaya yang dapat dilakukan oleh para administrator demi mengembangkan profesi keguruan misalnya dalam bentuk supervisi pendidikan yang baik dan akuntabel, penjaminan mutu guru (quality assurance) dengan memberikan pelatihan-pelatihan upgrading untuk meningkatkan skill mengajar guru secara berkala, dan memberikan penghargaan yang sesuai kepada guru yang berprestasi dan mampu menjadi teladan yang baik bagi siswa. 6. Masyarakat sebagai pengguna layanan jasa pendidikan Masyarakat sebagai pengguna jasa layanan pendidikan merupakan partner guru dalam mendidik anak. Peran orang tua sangat besar dalam membentuk kepribadian dasar anak sebelum diserahkan kepada lembaga pendidikan untuk dididik lebih lanjut oleh guru yang ada di sekolah, madrasah atau pesantren. Pengajaran adab sejak dini sangat penting untuk menjaga kewibawaan guru di hadapan murid-muridnya, sebagai orang tua kedua yang membimbing siswa meraih kesuksesan. Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, masyarakat dapat memberikan masukan, saran, dan menjalin komunikasi yang baik dengan guru. Keluhan-keluhan yang datang dari murid dapat disampaikan orang tua kepada guru sehingga guru dapat memperbaiki dan mencari jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi oleh murid.
PENUTUP Konsep tazkiyatun nafs terpadu pada hakikatnya adalah sebuah pemaknaan yang lebih luas dan mendalam dari konsep tazkiyatun nafs yang dikenal umum sebagai konsep tentang pembersihan jiwa. Kata tazkiyah memiliki dua makna pokok yaitu: pertama, pembersihan jiwa dari noda-noda keburukan dan sifat-sifat tercela; kedua, pengembangan diri yaitu dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan meningkatkannya ke arah kesempurnaan. Tazkiyatun nafs dalam makna penyucian jiwa sebagai sebuah upaya mengembalikan sakralitas profesi guru sebagai profesi yang dilakukan oleh guru secara individu dengan menempuh empat tahapan yaitu memperbanyak taubat (menyadari kesalahan), muraqabah (merasa 106
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
diawasi oleh Allah), muhasabah (introspeksi diri) dan mujahadah yaitu bersungguh-sungguh menjahui prilaku tercela dan menghiasi diri dengan akhlak mulia antara lain membangun keikhlasan dalam hati, bersikap santun, menjaga wibawa, rendah hati, meninggalkan perbuatan yang sia-sia, mau menerima kebenaran dari orang lain dan sebagainya. Tazkiyatun nafs dalam makna pengembangan diri dilakukan oleh guru dengan meningkatkan profesionalismenya dan kompetensinya meliputi pengembangan diri sebagai seorang pengajar (kompetensi profesional-religius), guru sebagai pendidik (kompetensi personal-religius) dan guru sebagai pemimpin (kompetensi sosial-religius). Selain dilakukan oleh guru secara individu, pengembangan diri guru membutuhkan keterlibatan pihak luar antara lain pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, administrator sebagai pemegang kebijakan di tingkat satuan pendidikan dan masyarakat luas sebagai pengguna layanan pendidikan. [ ]
ENDNOTES 1
2 3
4
5
6
7
8
9 10
Azumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 167. HR At-Tirmidzi dari Abu Dar’da Radliyallahu ‘Anhu. Fuad Syalhub, Guruku Muhammad (terj.), diterjemahkan oleh Nashirul Haq ( Jakarta: Gema Insani Pres, 2006), hlm. Ix. Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkatakter dan Beradab (Bogor: Komunitas NUUN dan UIK, 2011), hlm. 61. WJS Poerdarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Depdiknas, 2002), hlm. 377. Ummi Machmudah dan Abdul Wahab Rosyidi, Pembelajaran Bahasa Arab Aktif (Malang: tnp., 2008), hlm. 9. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 209. Louis Ma’luf, Al Munjid fie al-Lughat wa al-‘Ilm (Beirut: Darul Masyriq, 1986), hlm. 5, 10, 211, 247, 261, 526. WJS Poerdarminto, Kamus., hlm. 1255. Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan ( Jakarta: Reanika Cipta, 2009), hlm. 18.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
107
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ... 11 12
13
14
15
16
17
18
19
20
21 22
23 24 25
26
27
QS. Mujadillah: 11. Ahmad al-Hasyimi Bek, Mukhtar Ahadits al-Nabawiyah (Kairo: Mathba’ Al Hijazi, 1948), hlm. 128. Hadits ini didhaifkan oleh Albani dalam Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah Al-Qozuni dan Fuad Abdul Baqi’, Takhrij Sunan Ibnu Majah (Beirut: Darul Fikr, t.t.), hlm. 83. Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qasidin, Jalan Orang-orang Yang Diberi Petunjuk (Terj.), diterjemahkan oleh Kathur Rahardi ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 18. Rahmat Resmiyanto “Khalifah Umar Menggaji Guru 33 Juta per Bulan” dikutip dari http://fkip.uad.ac.id/khalifah-umar-menggaji-guru-33-juta-per-bulan, akses 20 Juni 2014. Muhammad Faisal “Ulama dan Politik” dikutip dari http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35245:ulamadan-politik&catid=59:opini&Itemid=215, akses 20 Juni 2014. Sergio Lay “ Sejarah Pendidikan: Dari Yunani Kuno s.d 4 Abad Pertama Kekristenan” dikutip dari http://giuslay.wordpress.com/2009/01/30/sejarahpendidikan-dari-yunani-kuno-sd-4-abad-pertama-kekristenan/, akses 20 Juni 2014. Chen Mei Ing “Menghormati Guru Mementingkan Ajaran” dikutip dari http://traditionghoanews.blogspot.com/2011/04/menghormati-guru-mementingkan-ajaran-2.html, akses 29 Mei 2014. Pius A. Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 689. Daniel L. Pals., Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B Taylor, Mate rialisme Karl Max Hingga Antropologi Budaya Geerts. (Terj.), diterjemahkan oleh Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 167. Ibid, hlm. 278. Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi ( Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 139. Ibid, hlm 140. Soetjipto dan Raflis Kosasi, hlm. 29. Sofyan Sauri “Menghormati Guru Mementingkan Ajaran” Jurnal ISLAMIA Republika, Edisi Kamis 21 Oktober 2010. Said Hawwa, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu (Terj.), diterjemahkan oleh Shaleh Tahmid ( Jakarta:Robbani Press, 1999), hlm. 2. M. Sholihin, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 153.
108
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad 28
29
30
31 32
33
William C. Chithick, Tasawuf dimata Kaum Sufi (Terj.), diterjemahkan oleh Zainul (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 84. Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? (QS. Al Baqarah: 44). Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Minhajul Muslim (Kairo: Darus Salam, 2004), hlm. 67-73 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir., hlm. 98-99. HM Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum ( Jakarta: Bumi Aksara, 1991). Hal. 163. Agus Dwiyanto, “Penataan Kembali Managemen Tenga Guru di Daerah: Desentralisasi Kepegawaian Guru” Makalah Seminar Ikatan Sarjana Pendidikan bekerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta 21-22 Januari 2012.
DAFTAR PUSTAKA Al Barry, Pius A Partanto & M. Dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Al Jazairi, Abu bakar Jabir, Minhajul Muslim, Kairo: Darus Salam, 2004. Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Azra, Azumardi, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1994. Baqi’, Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah Al-Qozuni dan Fuad Abdul, Takhrij Sunan Ibnu Majah, Beirut: Darul Fikr, t.t. Bek, Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar Ahadits al-Nabawiyah, Kairo: Mathba’ Al Hijazi, 1948. Chithick, William C., Tasawuf dimata Kaum Sufi (Terj.), diterjemahkan oleh Zainul, Bandung: Mizan, 2002. Dwiyanto, Agus, “Penataan Kembali Managemen Tenga Guru di Daerah: Desentralisasi Kepegawaian Guru” Makalah Seminar Ikatan Sarjana Pendidikan bekerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta 21-22 Januari 2012. Faisal, Muhammad, “Ulama dan Politik” dikutip dari http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
109
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...
=35245:ulama-dan-politik&catid=59:opini&Itemid=215, akses 20 Juni 2014. Hawwa, Said, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu (Terj.), diterjemahkan oleh Shaleh Tahmid, Jakarta:Robbani Press, 1999. Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani Press, 2006. ---------------------, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkatakter dan Beradab, Bogor: Komunitas NUUN dan UIKA, 2011. Ing, Chen Mei, “Menghormati Guru Mementingkan Ajaran” dikutip dari http://traditionghoanews. blogspot.com /2011/04 /menghormatiguru-mementingkan-ajaran-2.html, akses 29 Mei 2014. Kosasi, Soetjipto dan Raflis, Profesi Kegurua,. Jakarta: Rhenika Cipta, 2009. Lay, Sergio, “ Sejarah Pendidikan: Dari Yunani Kuno s.d 4 Abad Pertama Kekristenan”dikutip dari http://giuslay.wordpress. com/2009/01/30/sejarah-pendidikan-dari-yunani-kuno-sd4-abad-pertama-kekristenan/, akses 20 Juni 2014. Ma’luf, Louis, Al Munjid fie al-Lughat wa al-‘Ilm, Beirut: Darul Masyriq, 1986. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002. Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B Taylor, Materialisme Karl Max Hingga Antropologi Budaya Geerts (Terj.), diterjemahkan oleh Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001. Poerdarminto, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdiknas, 2002. Qudamah, Ibnu, Mukhtashar Minhajul Qasidin, Jalan Orang-orang Yang Diberi Petunjuk (Terj.), diterjemahkan oleh Kathur Rahardi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Resmiyanto, Rahmat, “Khalifah Umar Menggaji Guru 33 Juta per Bulan” dikutip dari http://fkip.uad.ac.id/khalifah-umar-menggaji-guru33-juta-per-bulan, akses 20 Juni 2014.
110
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Ikhwan Fuad
Rosyidi, Ummi Machmudah dan Abdul Wahab, Pembelajaran Bahasa Arab Aktif, Malang: UIN Malang Press, t.t. Sauri, Sofyan, “Menghormati Guru Mementingkan Ajaran” Jurnal ISLAMIA Republika, Edisi Kamis 21 Oktober 2010. Sholihin, M., Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002. Syalhub, Fuad, Guruku Muhammad (Terj.), diterjemahkan oleh Nashirul Haq. Jakarta: Gema Insani Pres, 2006.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
111