1
KONSEP TASAWUF SAID NURSI: SATU PENYEGARAN WACANA SUFISME KONTEMPORER1 Oleh : Muhammad Faiz
PENDAHULUAN Said Nursi (1877-1960 M) yang dikenal dengan julukan Bediuzzaman (keajaiban zaman) lahir dan besar di Desa Nurs, wilayah Isparit, sekitar kawasan Anatolia bagian Timur. Dikenal dari kecil sebagai anak yang semangat dalam menimba ilmu ia mengawali belajar dengan sang kakak Abdullah kemudian menuntaskan pelajaran dasar ilmu-ilmu agama dengan ulama dan tokoh agama setempat. Anak ke-4 dari tujuh bersaudara pasangan dari Mulla Mirza dan Nuriyah ini sudah akrab dengan nuansa sufistik dari semasa kecil, yakni dari kalangan Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Di samping mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dan gairah yang kuat dalam mendalami ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu sains moderen, menjadikan Nursi sebagai tokoh yang diperhitungkan di Turki pada masa-masa menjelang runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah dan masa peralihan menjadi Republik Turki. Tulisan singkat ini akan memberikan sorotan pada pemikiran dan gagasan-gagasan Said Nursi di dalam wacana tasawuf yang dia tuliskan di dalam karya masterpiece-nya Risale-i Nur. Terdapat satu kumpulan dari koleksi tulisan-tulisan Nursi yang terhimpun di dalam satu buku saku yang berjudul “Anwar al-Hakikat” yang menjadi rujukan utama penulisan artikel ini. Meski demikian buku kecil ini cukup lengkap mengumpulkan ide-ide dan konsep Said Nursi tentang tasawuf, hal ini dapat dilihat dari cakupan kutipan-kutipan dan pembahasan tema yang diambil dari beberapa koleksi Risale-i Nur tersebut. Di antaranya pembahasan dari jilid al-kalimat, al-maktubat, al-lama’at, al-matsnawi al-arabi al-nuri, dan al-malahiq. Beberapa tema pembahasan yang akan diketengahkan di sini antara lain: a) Pengertian dan makna tasawuf dari perspektif Said Nursi dan komentar-komentar Nursi tentang amalan tarekat kesufian. b) Pemaknaan waliyullah (kewalian) dan sikap Said Nursi dalam menyikapi masalah kewalian. c) Gagasan Said Nursi tentang ikram ilahi serta perbedaannya dengan karamah dan istidraj. d) Sikap dan penjelasan Said Nursi mengenai faham wahdatul wujud. e) Konsep jalan pintas menuju makrifat kepada Allah swt yang menjelaskan ide-ide Said Nursi tentang empat langkah mendekatkan diri kepada Allah swt.
TASAWUF DALAM KONSEP SAID NURSI Di dalam buku “Anwar al-Hakikat” Said Nursi memaparkan pemahaman dan pandanganpandangannya tentang tasawuf dengan memberikan sembilan catatan (al-talwihat al-tis’ah) yang merumuskan konsep dan perspektifnya dalam memaknai tasawuf dan tarekat. Pada catatan pertamanya (al-talwih al-awal) Nursi memberikan definisi tasawuf sebagai “jalan untuk mengenal hakikat keimanan dan hakikat al-Quran melalui jalan ruhani di bawah 1
Makalah ini sebagai pemenang kedua, Lomba Karya Tulis al-Zehra oleh Dershane Mesir, pada 2015.
2
panduan sunnah Nabi Muhammad saw yang dimulai dari langkah hati sehingga mencapai satu rasa (dzauq) yang mendekatkan diri pada tingkat penyaksian (syuhud) kepada Allah swt”1. Definisi tasawuf yang dijelaskan Said Nursi di atas menekankan pada objek dan target ilmu tasawuf itu sendiri, yaitu tercapainya hakikat keimanan dan terkuaknya hakikat kalamullah ( al-Quran) sebagai landasan dan panduan hidup umat manusia. Selain itu dapat difahami pula bahwa sunnah Nabi saw merupakan guideline yang memandu perjalanan sufistik seseorang hingga mencapai pada satu tingkat kedekatan kepada Allah Ta‟ala yang dikenal di dalam lingkungan sufisme dengan istilah muraqabatullah dan ma’rifatullah. Menurut pandangan Nursi, ruhani seseorang dapat tergerak dan terus hidup melalui jalan zikir kepada Allah dan tafakur yang terus-menerus. Aktifitas tersebut akan dapat melenyapkan kemurungan, ketakutan dan rasa keterasingan yang dahsyat yang dirasakan oleh setiap jiwa manusia2. Zikir pada umumnya dimaknai sebagai perbuatan lisan sedangkan tafakur adalah perbuatan fikiran, namun begitu pada dasarnya zikir tidak hanya terbatas dilafalkan oleh lisan akan tetapi hati juga semestinya melantunkan amalan zikirnya tersendiri3, yakni dengan selalu merasakan kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Hal inilah yang ditekankan Nursi melalui catatan keduanya (al-talwih al-tsani). Sehubungan dengan aturan dan adat tarekat Nursi mengingatkan bahwa amalan zikir atau wirid yang menghasilkan dzauq di dalam hati seyogyanya menjadi jalan pembuka kepada suatu kesadaran yang tinggi dan mulia yakni untuk melaksanakan segala perintah Allah swt (fardhu) dan mempraktikkan sunnah Rasulullah saw, bukan sebaliknya seperti kebiasaan sebagian penganut awam tarekat yang lebih mengutamakan zikir dan wirid tarekat dibandingkan amalan fardhu dan sunnah4. Di dalam konsep Nursi, tasawuf dan tarekat merupakan wasilah (perantara) saja dan bukan tujuan dalam perjalanan kesufian. Karena itu ia mengingatkan kembali bahwa pelaksanaan satu amalan fardhu atas dasar kepatuhan terhadap syariat Allah swt adalah lebih agung dan utama. Hal ini tidak bisa disamakan dengan praktik zikir dan amalan tarekat apalagi meyakini bahwa amalan tarekat lebih utama daripada perintah agama (syariat)5. Meskipun demikian Said Nursi memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap tarekat sufi, apalagi dengan melihat fakta sejarah yang tak dapat dinafikan bahwa ukhuwwah (persaudaraan) antarumat Islam yang terbangun dengan peran besar persaudaraan tarekat dapat mempertahankan markas khilafah Islamiyyah yang mampu bertahan lebih dari 550 tahun pada masa Dinasti Utsmaniyyah berkuasa di Istanbul berhadapan dengan imperium besar Nasrani yang memusuhi Islam6. Di samping hal itu pada catatan terakhirnya (al-talwih al-tasi’) dalam membahas isu tasawuf dan tarekat Nursi juga menyebutkan beberapa faedah dan manfaat kelompok tarekat yang lebih berkesan spiritual dan berdampak positif secara sosial, di antaranya: 1
Lihat Anwar al-Hakikat, hlm. 59. Ibid, hlm. 60. 3 Lihat Abd Bari, Bayna al-tasawwuf wa al-hayat. hlm. 55. 4 Lihat Anwar al-Hakikat, hlm. 83. 5 Ibid, hlm 81-82. 6 Ibid, hlm. 65. 2
3
a. Melalui organisasi tarekat akan lebih mudah menguak hakikat keimanan dan membebaskan diri dari kebingungan dan syubhat-syubhat. Hal Ini akan mengantarkan diri ke tingkat ain al-yaqin (keyakinan inti), akan tetapi dengan syarat harus melalui tarekat yang benar dan tidak menyimpang. b. Seseorang akan mampu menyadari hakikat wujud (eksistensi) dirinya yang hakiki dengan cara mengerahkan setiap bagian tubuh dan panca indranya untuk melaksanakan tugas yang karenanya dia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah swt semata-mata. c. Melalui tarekat orang akan dapat membebaskan dirinya dari keterasingan dalam perjalanan menuju Allah swt. Dia akan dapat merasakan pertautan hati dengan saudara satu kafilah perjalanan (sufistik) dengan rasa persahabatan hakiki dan nuansa kasih sayang yang tulus ketika menuju alam yang kekal abadi (alam akhirat). d. Tarekat dapat membebaskan jiwa manusia dari belenggu duniawi dan dapat mengantarkannya keluar dari alam keterasingan yang menyakitkan yang dia rasakan terhadap alam semesta ini. e. Seseorang akan dapat merasakan hakikat taklif (beban) syariat yang dipikulnya. Dia akan dapat merasakan kesan yang tepat terhadap hukum syara‟ melalui hatinya yang hidup dan berdenyut dengan zikir kepada Allah swt. f. Melalui pendidikan tarekat yang benar, tingkatan tawakkal (menyerahkan diri kepada Allah swt sepenuhnya) dan tingkat ridha akan mudah dicapai. Tingkatan-tingkatan ini adalah jalan perantara kepada kelezatan dan kebahagiaan yang hakiki dan hiburan sejati yang kekal di akhirat. g. Tarekat sufi dapat menyelamatkan manusia dari syirik khafiy (tersembunyi) atau pun riya' (sifat pamer), kepura-puraan dan sifat-sifat yang tercela lainnya. Oleh karena itu, keikhlasan adalah syarat dan juga merupakan hasil terpenting amalan setiap tarekat. Hal itu juga dapat membimbing serta membebaskan diri dari belenggu dan bahaya nafsu amarah yang senantiasa mendorong orang kepada kejahatan, di samping itu tarekat juga membantu membersihkan jiwa dari segala sikap mementingkan diri yang amat hina. h. Seorang penganut tarekat akan berhati-hati dan senantiasa berusaha menjadikan setiap kebiasaan dan kesehariannya sebagai ibadah dan setiap urusan dunianya menjadi urusan akhirat. i. Tarekat adalah amalan yang dapat membentuk al-insan al-kamil (manusia paripurna) dengan cara ber-tawajjuh (menghadapkan hati) kepada Allah swt selama perjalanan ibadahnya dalam usaha meningkatkan kehidupan maknawinya. Tarekat yang benar adalah jalan dalam mencapai tahap mukmin yang hakiki dan muslim yang sejati. Pandangan dan komentar-komentar di atas1 merupakan hasil buah fikir dari pengalaman panjang Said Nursi dalam membaca sejarah tasawuf dan buah dari interaksi dengan wacana sufisme pada masanya. Pada bagian ini lebih menunjukkan sikap penerimaan dan permisif Nursi terhadap aliran tarekat secara umum selama ia tidak bertentangan dengan syariat. Namun begitu, perlu sekiranya dilihat bagian lain dari pemikiran Nursi yang memberikan warning atau peringatan tegas bagi orang yang akan memasuki dunia tarekat. Beberapa hal yang Nursi jelaskan sebagai penyeimbang pandangannya tentang sufisme dan sekaligus menunjukkan objektifitasnya dalam masalah tarekat adalah ketegasan dan 1
Lihat penjelasan lengkapnya dalam Anwar al-Hakikat, hlm. 94-97.
4
keseriusan Nursi dalam menjauhkan umat Islam dari praktik tarekat yang tidak sesuai syariat. Di sini Nursi menjelaskan tantangan dan sisi negatif tarekat sebagaimana dituangkan dalam catatan kedelapan (al-talwih al-tsamin) dalam Anwar al-Hakikat1, yaitu: a. Jika seseorang bertarekat tanpa mengikuti panduan sunnah Nabi saw dalam jalan keruhanian maka akan beresiko terjebak pada sangkaan bahwa derajat wali adalah lebih tinggi dari Nabi. Padahal telah tercapai kesepakatan di kalangan para ulama tentang keutamaan tingkatan nubuwwah atau kenabian daripada kewalian2. b. Apabila ahli tarekat dan tasawuf telah memuliakan para wali lebih dari para sahabat Rasulullah saw, atau bahkan terhadap kedudukan para Nabi itu sendiri. c. Apabila ada di kalangan ahli tarekat yang ta’asub (fanatik) mengutamakan wirid-wirid tarekat dan mendahulukan disiplin amalan tarekat lebih daripada sunnah Nabi saw. d. Memahami secara salah mengenai ilham (petunjuk Allah), seperti menyangkanya sebagai wahyu kemudian terjebak ke dalam lubang kesesatan yang berbahaya. Sebab wahyu hanya diperuntukkan para Nabi yang mana teramat suci dan mulia daripada ilham. e. Tarekat bukanlah tujuan utama dalam perjalanan tasawuf. Akan tetapi bagi anggota tarekat yang tidak memahami rahasia ini, maka akan mudah terjebak dengan fitnah karamah, dzauq dan nur. Kemudian berlomba-lomba mendapatkannya, sedangkan semua hal tersebut sejatinya adalah anugerah Allah swt bukan untuk dikejar-kejar dan diperebutkan. f. Terdapat sekumpulan pengamal tasawuf yang mengalami kerancuan dan kebingungan kemudian mengira bahwa maqam atau tingkatan wali dan segala gambaran (alam) yang terlihat adalah maqam yang hakiki dan sebenarnya. Bahkan terdapat segelintir dari mereka yang merasakan dirinya lebih hebat dan lebih tinggi dari derajat wali-wali besar, bahkan terkadang merasa lebih tinggi derajatnya dari para Nabi. g. Jurang kebinasaan dan kerusakan ini menjerumuskan segelintir anggota tarekat yang telah mencapai sedikit dzauq, kemudian mereka berbangga-bangga dan membusungkan dada dengan apa yang mereka capai. Mereka mulai menyebarluaskan keajaiban atau syatahat3 yang terjadi dan lupa bahwa asas dan rahasia sebuah penghambaan sejati ialah rasa tadharru’ (rendah hati), tahmid (memuji Allah), doa, khusyuk, al-ajz (lemah di hadapan Allah), al-Faqr (butuh pada Allah), dan tidak mengharapkan kepada manusia. h. Terdapat pengamal tarekat dan tasawuf yang ingin mencapai taraf dan derajat wali ketika di dunia. Mereka lalai bahwa satu hasil di akhirat lebih utama dari seribu kebaikan di dunia. Namun lain masalahnya jika derajat itu diberikan Allah swt tanpa diminta, maka hal itu harus diterima dengan penuh adab dengan rasa syukur dan pujian kepada Allah swt serta tidak sama sekali menganggapnya sebagai suatu upah.
1
Ibid, hlm. 89-93. Lihat Zahir Syafiq al-Kabby, Fiqh al-Tasawwuf li Syaikh al-Islam Ibn al-Taymiyyah, hlm. 128. 3 Syatahat ialah ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut seseorang yang mungkin mengandungi makna-makna yang menyalahi ajaran-ajaran Islam (rujuk Yusri, Indahnya Tasawuf dan Hidup Sufi, 2011). 2
5
KEWALIAN MENURUT SAID NURSI Jalan kewalian menurut Said Nursi sebagaimana ia jelaskan dalam catatan keempat (altalwih al-rabi’) adalah merupakan jalan mudah yang diiringi kepayahan, jalan pintas yang amat panjang, jalan ketinggian dan kemuliaan yang penuh marabahaya serta jalan luas yang amat sempit. Sejatinya rahasia perjalanan tersebut amat halus sehingga mengakibatkan banyak pengamal tarekat kesufian yang tenggelam, ada yang tersiksa karenanya, ada pula yang berpatah balik ke dunia asalnya lantas menyesatkan orang lain1. Untuk memahami permasalahan ini, menurut Nursi perlu difahami dua macam jalan kewalian seperti berikut. Pertama: al-Sair al-Anfusiy (perjalanan jiwa), yaitu jalan taqarrub (pendekatan) kepada Allah swt melalui pembersihan jiwa. Melalui perantaraan jalan ini seseorang akan dapat memfokuskan kepada hati dan menjauhkan pandangan dari dunia luar. Sehingga dia akan menembus alam di luar setelah hatinya bersih dan dapat melihat tanpa hijab (penutup) dari hakikat keimanan. Sedangkan dunia luar hanya membenarkan apa yang telah dilihat di dalam hatinya. Ini adalah jalan sebagian besar ahli tasawuf yang berlandaskan kepada usaha untuk meruntuhkan sifat madzmumah (tercela) kemudian merekonstruksi sifat mahmudah (terpuji) di atas reruntuhan tadi. Jalan kedua: al-Sair al-Afaqiy (perjalanan semesta) ialah jalan taqarrub melalui pemerhatian terhadap alam (ayat kauniyyah). Melalui metode ini pengamal tasawuf dapat melihat ketinggian Asma al-Husna pada setiap penjuru alam. Setelah hanyut lebur dalam kebesaran Allah swt, maka apa yang dilihat di alam maya ini akan kembali ke dalam hatinya rasa kewajiban untuk menghambakan diri secara total kepada Allah swt. lalu merintih atas segala kealpaan yang pernah diperbuatnya. Kehebatan ayat-ayat Allah swt di segenap penjuru alam yang besar ini mulai disaksikan di dalam hatinya yang kecil. Dia akan dapat merasakan bahawa hatinya adalah cermin dari keagungan Allah swt. Pengakuan kewalian atau syatahat yang mungkin terjadi pada seseorang bisa dimaafkan dan dianggap sebagai sesuatu di luar batas kontrol, jika ia terjadi pada seseorang yang benar-benar memegang syariat dan dikenal sebagai orang yang menyisihkan diri dari tipu daya dunia dan terkenal dengan kelembutan akhlak dan ketakwaannya. Maka dia bisa dianggap terlepas cakap dan tidak perlu dipersoalkan2. Namun jika hal ini terjadi pada seseorang yang masih berambisi besar terhadap dunia maka itu sesuatu yang buruk dan akan mengantar ke jurang kehinaan serta menyebabkan kebaikan yang pernah dilakukannya menjadi sia-sia. Lebih buruk dari itu ia akan menyebabkan dua akibat yang sering terjadi pada kalangan anggota tarekat dan tasawuf yaitu menjadi gila nama atau menjadi ajaran sesat karena mengakui dirinya setaraf dengan para wali. Jalan kewalian yang lurus dan aman untuk dilewati menurut Said Nursi memiliki tiga persyaratan, yaitu pertama: berpegang teguh kepada Sunnah Nabi saw, yakni apabila seseorang itu memahami sunnah Nabi kemudian menjadikannya landasan dalam segenap tindakan dan perilaku, dia juga menjadikan syariat sebagai panduan dalam muamalah dan segala tindak tanduknya.
1 2
Lihat Anwar al-Hakikat, hlm. 65-66. Muh Mahfudz al-Tarmasy, Bughyat al-Adzkiya fi al-Bahts an Karamat al-Awliya, hlm. 116)
6
Syarat kedua: ikhlas, sebagai landasan yang sangat penting ketika melalui jalan kewalian dan aliran semua tarekat. Hal ini karena hanya ikhlas saja yang mampu menghindarkan seseorang dari jebakan syirik khafiy, yakni sifat riya‟. Syarat ketiga: dunia ini harus disadari sebagai tempat beramal dan memperoleh hikmah sebagai hamba Tuhan (ubudiyyah), bukan tempat balasan baik dan buruk. Ganjaran baik dan balasan buruk di dunia hanya akan diterima di alam barzakh dan akhirat. Di sanalah tempat memetik dan menuai amalan selama di dunia. Seseorang yang ingin menyusuri jalan kewalian dan tarekat dalam waktu yang sama memimpikan ganjaran kewalian dalam perjalanan ini (seperti karamah, kasyaf, dzauq,) atau dia senantiasa mengharapkan hasilnya di dunia maka anugerah itu akan menjadi suatu hasil yang bernilai keduniawian juga, oleh karena itu dia akan kehilangan ikhlas dan ketulusan dalam segala amal ibadahnya. Di dalam permasalahan kewalian menurut pengamatan Nursi terdapat perkara khilaf atau perselisihan di kalangan umat Islam, yaitu apakah kewalian hanya dapat muncul dari golongan Ahlussunnah saja atau tidak? Masalah ini menurut Nursi telah menyebabkan pandangan umat terpola kepada tiga kelompok: Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa kewalian hanya dapat muncul dari golongan Ahlussunnah saja. Pendukung utama kelompok ini adalah dari kalangan ahli zhahir. Kelompok kedua menganggap bahwa kebenaran bukan saja milik Ahlussunnah. Konsekuensi pendapat seperti ini akan mendorong terbentuknya aliran bid'ah yang menyeret kepada kesesatan. kelompok ini lupa bahwa orang yang memberi petunjuk kepada dirinya sendiri tidak selalu mampu memberi petunjuk kepada orang lain. Meskipun gurunya (syekh) mungkin dimaafkan atas kesalahan yang dilakukan tanpa sadar, namun murid tidak akan dimaafkan jika mengikuti kesalahan guru dengan sengaja. Kelompok ketiga adalah yang mengambil jalan tengah. Mereka tidak menolak munculnya kewalian dari golongan di luar Ahlussunah dan tidak juga menolak sifat kesalehan mereka, namun demikian mereka tidak bisa menerima kesesatan mazhab dan tarekat yang mereka ikuti. Hujah mereka tentang kesesatan itu adalah bahwa apa yang disebut dengan ucapan yang bertentangan dengan syara‟ mungkin disebabkan seseorang itu tenggelam dalam ahwal (keadaan) di luar kontrol sehingga menjadikan mereka salah. Atau mungkin juga karena munculnya syatahat yang tidak difahami makna dan hakikatnya. Melihat perbedaan pandangan tersebut Nursi mempunyai pendirian bahwa sebagian para wali meskipun kelihatan seperti waras dan normal serta mereka mempunyai kemampuan akal yang memahami logika, namun mereka terkadang juga mudah ditarik ke alam yang mereka tidak mampu mengontrol diri (majzub). Sebagian mereka ini ada yang mengalami kebingungan dan tidak mampu membedakan antara dua hal yang serupa tetapi tidak sama. Apa yang dilihatnya ketika mabuk makrifat (fana’) digunakan ketika mereka dalam keadaan sadar sehingga kadang lupa tentang dirinya dan orang atau keadaan di sekelilingnya1. Golongan majzubin ini terpelihara di sisi Allah swt, sebab mereka bukanlah dari golongan sesat seperti sesatnya golongan lain. Mereka sama seperti orang gila yang baik-baik bahkan diberkati. Hukum gila itu menempel kepada mereka sehingga bebaslah
1
Yusri, Indahnya Tasawuf dan Hidup Sufi, hlm. 101.
7
melakukan apa yang dianggap sebagai di luar batas manusia yang waras karena sebenarnya mereka tidak lagi mukallaf. Dikarenakan status mukallaf tidak lagi menempel pada diri mereka, maka mereka tidak boleh dijadikan ukuran hukum atau dihukum1. Hal itu karena kewalian mereka adalah kewalian yang tidak normal seperti mendukung golongan ahli bid'ah bahkan melakukan perbuatan bid'ah itu sendiri. Inilah yang menjadi sebab mengapa banyak pendukung kebenaran dan orang yang beriman merasa kebingungan lantas tanpa sadar terlibat dengan jalan yang salah ini2.
PERBEDAAN KARAMAH, IKRAM ILAHI DAN ISTIDRAJ Pengertian karamah menurut para ulama adalah munculnya perkara luar biasa dari seorang yang shalih yang tidak diikuti dengan pengakuan kenabian, maka jika tidak disertai dengan perbuatan baik akan berupa istidraj sedangkan jika disertai risalah kenabian disebut mukjizat3. Karamah merupakan kemuliaan yang Allah swt anugrahkan kepada hambahamba pilihan-Nya yang memegang teguh syariat, dan bukanlah menjadi syarat utama bahwa kemunculan karamah berupa kejadian di luar nalar manusia atau mempunyai wujud dan sifat-sifat kejadian tertentu4. Para ulama membagi karamah menjadi dua macam, iaitu karamah yang zahir (hissiyyah) dan karamah yang bersifat batin (maknawiyyah)5. Karamah yang zahir adalah jenis karamah yang umum diketahui orang awam, yakni berupa kejadian luar biasa pada diri orang-orang shalih yang nampak secara kasat mata. Contohnya seperti riwayat masyhur tentang sahabat Rasul saw Umar bin Khattab yang memberi suara peringatan yang terdengar oleh Sariyah yang ketika itu berada di medan pertempuran agar menaiki gunung menghindari musuh, sedangkan jarak keduanya seperti perjalanan satu bulan jauhnya6. Sedangkan karamah maknawiyyah merupakan kelebihan yang Allah swt berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang berupa petunjuk dan taufik-Nya dalam menjaga syariat Islam, istiqamah dijalan-Nya secara lahir batin dan terjaganya akhlak dan perilakunya serta berupa perkara-perkara lain yang bersifat maknawi7. Seperti dipaparkan al-Qusyairi di dalam al-Risalah nya bahwa jenis karamah ini merupakan karamah teragung yang Allah swt berikan dalam bentuk konsistensi seseorang dalam ketaatan kepada-Nya dan senantiasa terjaga dari perbuatan maksiat dan perkara dosa lainnya. Sedangkan dalam pandangan Said Nursi karamah juga terbagi kepada dua macam, pertama adalah karamah biasa (i’tiyadiyyah) yang pengertiannya lazim diketahui orang awam. yakni kemuliaan dan kehormatan yang Allah swt berikan kepada sebagian hambahamba shalih-Nya yang terkadang berupa kejadian di luar kewajaran (khawariq lil ‘adah) yang wajib ditutupi dan disembunyikan dari penglihatan orang banyak agar terhindar dari fitnah nafsu amarah ataupun egoisme dan tipudaya diri (al-ananiyyah wa al-ghurur) sehingga dikhawatirkan berubah menjadi istidraj. 1
Ibid, hlm. 102. Lihat Said Nursi, al-maktubat, hlm. 426-428. 3 Muh Abdullah al-Tarmasy, hlm. 62. 4 Umar abdullah, al-Tasawwuf bayna al-Ifrath wa al-Tafrith, hlm. 98. 5 Ibid, hlm. 100. 6 Lihat al-Thusi, al-luma’, hlm 277 dan al-Qusyairy, al-risalah al-Qusyairiyyah, hlm. 521. 7 Umar abdullah, hlm. 100. 2
8
Jenis karamah kedua menurut Nursi adalah karamah yang aman dan selamat (salimah) dari tipudaya dan fitnah yang terjadi pada kalangan mukmin yang sejati (shiddiqin) yang muncul tanpa sadar dan tanpa sepengetahuan dirinya sendiri. Contohnya seperti seseorang yang dicerca pertanyaan namun tiba-tiba terbersit di dalam hatinya semua jawaban demi mempertahankan kebenaran. Jenis karamah ini tidaklah berbahaya sehingga seseorang yang mendapatinya tidak wajib menyembunyikannya akan tetapi dia perlu berhati-hati agar tidak timbul kesombongan dan kebanggaan pada diri, hal itu karena perkara yang di luar kebiasaan ini pada lahirnya terdapat sedikit peran diri di dalamnya sehingga dikhawatirkan timbul rasa ujub1. Sedangkan ikram ilahi adalah jenis karamah yang lebih halus dan tinggi dari jenis karamah yang kedua di atas. Perbedaannya di sini, ikram ilahi tidak wajib ditutup-tutupi bahkan menampakkannya merupakan upaya mensyukuri nikmat Allah swt (tahadduts bi alni’mah). Hal ini karena di dalam ikram ilahi tidak terdapat peran seseorang dalam kemunculannya dan nafsu bukanlah sandarannya2. Sebagai contoh adalah seperti apa yang Nursi paparkan bahwa penulisan buku Risale-i Nur adalah ikram ilahi yang Allah swt berikan sebagai pengukuhan atas upaya Nursi dalam menyelamatkan keimanan dan menguak hakikat keimanan melalui penafsiran maknawi al-Quran al-karim. Bahkan kemuliaan ini menurut Nursi dapat dirasakan pada setiap aktifitas yang berhubungan dengan penulisan risalahnya, seperti penyalinan, penyebaran bahkan dalam pemahaman buku-bukunya terdapat banyak cerita luar biasa yang seakan menjadi pembenaran atas segala upaya Nursi dalam menjaga dan menyelamatkan keimanan umat Islam3.
PANDANGAN SAID NURSI TENTANG WAHDATUL WUJUD Di dalam catatan kelima (al-talwih al-khamis) Said Nursi memaparkan makna wahdatul wujud sebagai “penumpuan hati kepada wujud Allah swt yang wajibul wujud (wajib adanya) dan melupakan yang lain. Setiap makhluk adalah bayangan atau khayalan yang tidak mempunyai sifat wujud hakiki dan tidak layak diberikan sifat wujud dalam konteks wajibul wujud Allah swt. Ia tidak lebih dari refleksi sifat-sifat Allah swt yang agung melalui Asma al-Husna”. Wahdatul wujud yang merangkum wahdatus syuhud (kesatuan penyaksian) adalah suatu persinggahan tasawuf yang amat penting4. Hakikat pemahaman wahdatul wujud adalah meyakini setiap benda dan setiap makhluk (mumkinat) akan diluluhkan dari pandangan sehingga semua yang nampak ini sebenarnya tiada, maknanya di sini terdapat pengingkaran terhadap kewujudan selain dari Allah swt. Adapun bahaya pemahaman ini menurut Nursi dapat mempengaruhi keyakinan terhadap rukun iman yang enam. Di dalam rukun iman selain keimanan kepada Allah swt, terdapat juga rukun lain yang wajib diimani seperti adanya hari akhirat yang menunjukkan wujudnya yang mumkinat yang tidak boleh dibangun atas dasar khayalan dan bayangan semata-mata. Lantaran itulah seseorang yang mengalami tahap wahdatul wujud tidak boleh melakukan apa-apa dengan keyakinan menafikan wujud selain Allah swt ketika sadar (bukan dalam keadaan fana’) agar tidak menyelisihi hukum syara‟. Begitu pun juga tidak boleh mencampuradukkan tahap pengalaman jiwa ini dengan dasar-dasar logika ilmiah dan 1
Lihat al-maktubat, hlm. 39-40 Ibid, hlm. 40. 3 Ibid, hlm. 465. 4 Anwar al-Hakikat, hlm. 72. 2
9
terjemahan makna. Sebab disiplin ilmu dan logika yang berdasarkan al-Quran dan alSunnah tidak mampu menjelaskan hal ini apa lagi untuk mempraktikkannya secara jasmani. Karena hal itu golongan sahabat dan khulafa al-rasyidin (empat sahabat utama Rasulullah: Abu Bakar, Umar, Uthman dan Ali) tidaklah menyusuri perjalanan ini. Hal ini sekaligus menunjukkan bahawa wahdatul wujud bukanlah suatu keistimewaan dan puncak dalam perjalanan tasawuf1. Itu juga menunjukkan pemandangan seketika yang nampak luhur namun ia timpang dalam kebenaran, meski begitu banyak juga penganut tarekat yang menganggap wahdatul wujud suatu tingkatan tasawuf yang tinggi. Menurut Nursi, jalan wahdatul wujud ini hanya boleh dilalui oleh “khawashul khawash” (orang-orang khusus) di kalangan ahli tasawuf2. Itu pun ketika seseorang dalam suasana diluar kesadaran sepenuhnya yakni ketika seseorang ingin menyisihkan jiwa dari kotoran materialisme dan keduniaan. Dalam keadaan itu dia telah memutuskan hubungan dengan selain Allah swt, cuma apabila ajaran kejiwaan ini terlepas dari ahli tasawuf kepada mereka yang menganut pemahaman logika dan mantiq maka akan mudah terseret dalam jerat tobi’iyyah (naturalisme) dan materialisme yang jauh dari sudut pandang Islam3. Golongan yang meyakini konsep tobi’iyyah dan mempercayai sebab dan musabbab (cause and effect) sebagai satu-satunya tolok ukur setiap kebenaran ditambah rasa tamak akan dunia, maka akan membuatnya mulai meletakkan kepercayaan bahwa dunia ini kekal. Sebab terlalu sulit bagi mereka untuk melihat dunia ini lebur dan hancur di depan matanya. Bermula dengan konsep wahdatul wujud tadi mereka pun akan meletakkan dunia ini sebagai sesembahan dan puncak kelangsungan hidup. Maka ketika itu terbukalah ruang di hadapan mereka untuk mengingkari Allah swt sedikit demi sedikit. Golongan materialisme (maadiyyah) menurut Nursi berhujah di depan orang-orang beriman (ahlul iman) dengan menyatakan bahwa mereka juga mempercayai wahdatul wujud. Kenyataan ini tentu tidak benar karena pemikiran materialisme bertentangan dengan wahdatul wujud. Mereka yang mengalami keadaan wahdatul wujud beriman kepada Allah swt dengan iman yang amat mendalam sehingga menganggap tiada wujud sesuatupun di hati mereka selain-Nya. Wujud Allah telah menafikan wujud yang lain, sedangkan faham materialisme mempertuhankan kebendaan dan menafikan wujud Allah swt. Maka dari itu orang yang melewati jalan wahdatul wudud ini jika jiwanya benarbenar kosong dari hubungan kebendaan, ia akan dapat menghancurkan tirai asbab (sebabsebab) dan membebaskan diri dari ikatan tersebut lalu dia mengalami maqam syuhud (tingkat penyaksian hati) yang menenggelamkan keseluruhan akalnya. Pengamal tasawuf seperti ini bisa sampai ke tingkat wahdatul wujud yang bersifat pengalaman dan bukan yang berlandaskan ilmu. Dalam pendirian Nursi sebenarnya jalan yang lurus hanyalah jalan para Sahabat, Tabiin dan golongan Sholihin yang lurus akidahnya dan senantiasa melihat bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah tetap. Itulah kaidah umum dalam perjalanan (thariqah atau suluk) tasawuf. Mereka ini tahu bahwa adab yang tertinggi dalam memahami zat Allah swt adalah keyakinan bahwa tiada satu pun yang seumpamanya (al-Syura:11). Dengan demikian 1
Lihat kautsar Azhari, Tasawuf Perennial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 147. Lihat juga Zakaria Stapa, Pendekatan Tasawuf dan Tarekat Wadah Pemerkasaan Jati Diri Umma, hlm 15. 3 Anwar al-Hakikat, hlm. 75. 2
10
jelaslah bahwa ungkapan „tiada yang wujud selain Dia‟ adalah tidak tepat. Sebaliknya yang tepat adalah „tiada yang wujud melainkan dari-Nya‟, sebab segala yang terjadi kemudian itu tidaklah qadim (terdahulu) sifatnya seperti qadim nya sifat Allah swt, artinya segala sesuatu selain dari Allah bukan bersifat azali1. Oleh karena itu mengajak dan mengajar khalayak awam tentang faham wahdatul wujud pada waktu kini akan membawa kemudharatan yang amat besar apalagi jika ajaran ini berpindah dari tangan golongan khusus kepada golongan awam atau berpindah dari tangan ilmuwan kepada tangan kejahilan maka tersesatlah hakikatnya. Atas dasar itulah Nursi mengkhawatirkan akan timbul tiga mudharat besar sebagaimana dia jelaskan dalam al-lama’at2. Yaitu pertama: faham wahdatul wujud secara umum mempunyai maksud pengingkaran terhadap wujud alam dan makhluk lain di samping wujud zat Allah swt. Namun apabila faham ini menyebar sampai ke tangan orang-orang yang lalai (ahlul ghaflah) khususnya mereka yang hanyut dalam materialisme akan menjadikan mereka mengingkari ketuhanan dan mengagungkan materi saja. Kemudharatan kedua: faham wahdatul wujud menolak dengan keras ketuhanan selain dari Allah swt sehingga sampai menolak wujud selain-Nya dan juga menolak wujud nafsu amarah dan apa saja selain itu. Akan tetapi pada zaman sekarang ini faham kebendaan (materialistik) telah mencengkram dunia Islam dan nafsu amarah pula semakin menggila khususnya bagi mereka yang sudah mulai menjadikan nafsu amarah nya sendiri untuk disembah selain Allah swt. Kemudharatan ketiga: faham ini akan melahirkan bibit-bibit pemikiran dan khayalan yang tidak layak bagi zat Allah swt, sedangkan Zat Allah ini adalah terbersih dan tertinggi serta paling kudus dari perubahan, penggantian, pembagian dan pemihakan. Maka pemikiran seperti inilah yang menjadi sebab kepada munculnya aliran sesat. EMPAT LANGKAH MENUJU ALLAH Di sepanjang proses bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt yang dikenal di dalam wacana tarekat sufisme sebagai tahap menapaki tangga ma‟rifatullah mempunyai banyak bentuk dan aturan masing-masing. Beberapa di antaranya yang disebutkan Said Nursi di dalam Risale-i Nur adalah konsep langkah sepuluh (al-lathaif al-‘asyr) dan konsep martabat tujuh3. Al-lathaif al-Asyr merupakan satu istilah yang digunakan di dalam metode penyucian jiwa dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah swt yang lazim dipraktikkan oleh aliran tarekat tasawuf, terutama tarekat Naqsyabandiyah4. Konsep ini seperti disebut oleh Imam al-Rabbani5 terdiri dari al-qalb (hati), al-ruh (ruh), al-sirr (rahasia), al-khafiy
1
Lihat al-maktubat, hlm. 108-109. Lihat al-Lama’at, hlm. 407-408. 3 Ibid, hlm. 157. 4 Didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaysi al-Bukhari (1318-1389M) pertama kali tersebar di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Syria, Afghanistan dan India (Sri Mulyati, hlm. 90) 5 Ahmad bin Abd Ahad al-Sirhindi al-Faruqi (971-1034H) merupakan sosok ulama yang memiliki peran besar dalam mengubah ideologi Daulah Mongol dari Komunis dan Brahma menjadi ideologi Islam. Dia mendapat julukan pembaharu milenium kedua. (Al-Lama’at, hlm. 548). 2
11
(tersembunyi) dan al-akhfa (lebih tersembunyi)1. Menurut Nursi, konsep ini merupakan pemanfaatan potensi-potensi jiwa yang bertingkat-tingkat yang terdapat pada setiap insan. Penyebutan sepuluh tingkatan di sini karena hitungan ini yang paling dikenal oleh kalangan ahli tasawuf dan menjadi dasar atas bentuk potensi lainnya, misalnya: panca indra yang zahir merupakan cermin terhadap lima indra batin2. Sebagaimana potensi yang diketahui oleh orang awam yang terdapat pada tubuh manusia seperti al-wujdan (perasaan), al-a’sab (saraf), al-hiss (indra), al-‘aql (akal), alhawa (hawa nafsu), al-quwwah al-syahawiyyah (potensi syahwat) dan al-quwwah alghadhabiyyah (dorongan amarah) juga berhubungan dengan al-lathaif al-asyr dalam wacana ilmu tasawuf sehingga memunculkan potensi dalam bentuk lainnya seperti alsaiqah, alsyaiqah dan al-hiss qabla al-wuqu’ (menebak peristiwa sebelum terjadi)3. Sedangkan martabat tujuh merupakan tahap perjalanan jiwa untuk mengenal lebih dekat hakikat Allah swt4 yang sesuai dengan tujuh tingkatan jiwa manusia. Konsep penyucian jiwa ini mendapat pengaruh dari faham wujudiyah atau wahdat al-wujud5. Dalam wacana tasawuf di Nusantara martabat tujuh merupakan doktrin penting bagi pengamal tasawuf falsafi, konsep ini mendapat pengaruh utamanya dari buku karangan Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri al-Hindi yang bertajuk “al-tuhfah al-mursalah ila ruh al-Nabi” pada sekitar abad ketujuh belas Masehi6 dan disebarkan juga melalui buku buku ulama tasawuf setelahnya yaitu Abd Shamad al-Palimbani (w. 1788M) melalui bukunya yang berjudul “sair al-salikin”7 dan Daud Fathani melalui karyanya al-manhal alal-shofi8. Di antara isi kandungan ajaran martabat tujuh adalah dikenalnya tingkatan jiwa yang berjumlah tujuh tingkat, yaitu martabat al-ahadiyyah (Indeterminasi/ke-Esa-an absolut), alwahdah (hakikat al-Muhammadiyyah), al-wahidiyyah (hakikat al-insaniyyah), ruh (nur muhammad), ide (alam misal), kebendaan (alam ajsam), dan martabat manusia (alam alinsan/martabat al-jami’ah)9. Dalam komentarnya Nursi menyatakan bahwa langkah sepuluh (al-lathaif al-asyr) yang dipraktikkan oleh para salik (pengamal) tarekat tasawuf melalui cara tersembunyi, maupun martabat tujuh yang diamalkan melalui jalan nyata merupakan tahapan dan jalan yang amat sulit dilewati oleh orang awam, oleh karena itu Nursi menggagas empat langkah untuk mencapai hakikat Allah s.w.t. yang dapat dengan mudah dilalui oleh orang awam karena lebih dekat kepada hakikat syariah (al-haqiqah al-syar’iyyah) daripada hakikat tasawuf10. Keempat jalan itu adalah al-ajz, al-faqr, al-syafaqah dan al-tafakkur. 1
Sebagian ulama Naqsyabandiyah juga menambahkan dua lagi potensi, yaitu: al-nafs al-nathiqah dan kull al-jasad (Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. ,hlm. 108; Thubbash, Rihlah al-Haq Min al-Iman ila al-Ihsan, hlm. 94-95). 2 al-Lama’at, hlm. 157. 3 Ibid, hlm. 157. 4 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Indonesia, hlm. 94. 5 Mohd Nidzam, Tasawuf Kontemporari: Implementasi Tasawuf dalam Dunia Kini, hlm. 200. 6 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi, hlm. 171. 7 Lihat M. Sholihin , hlm .94 8 Lihat Mohd Nidzam, hlm 201. 9 Alwi shihab, hlm 119-121 ; M. Sholihin, hlm. 94-95. 10 Lihat al-Kalimat, hlm. 549.
12
Said Nursi menjelaskan makna dan keistimewaan empat jalan yang pintas dan aman membawa salik kepada hakikat Allah swt tersebut, seperti berikut: Jalan pertama: al-ajz yang mempunyai arti lemah, merupakan sifat yang dapat membawa seorang hamba kepada Allah swt, jalan ini berupa laluan yang amat singkat dan selamat, karena al-ajz ini akan membawa hamba kepada "yang tercinta" melalui wadah ubudiyyah. Sifat ini sejatinya seperti al-ishq (rasa rindu) yang mencerminkan sifat ((alQadir)) Allah swt. Jalan kedua: al-faqr yang mempunyai maksud rasa fakir (bergantung dan butuh kepada Allah) merupakan sifat yang bisa membawa hamba sampai kepada makna sifat ((alRahman)) Allah swt. Adapun yang dimaksud dengan al-ajz dan al-faqr di sini adalah mempersembahkan perasaan itu di hadapan Allah swt dan bukan menampakkannya di hadapan manusia (makhlukNya). Jalan ketiga: al-syafaqah mempunyai arti kasih sayang, merupakan sifat yang akan membawa seorang hamba ke jalan yang luas dan lengang menuju Allah Ta‟ala, karena dengan sifat ini salik akan sampai kepada sifat Allah swt yang berupa ((al-Rahim)). Jalan keempat: al-tafakkur yakni berfikir dan menggunakan potensi akal untuk beribadah secara maksimal hanya kepada Allah swt. Sifat ini memunculkan rasa asyiq yang lebih menonjol, lebih bercahaya dan luas jalannya. Sifat ini akan membawa seorang salik kepada sifat Allah swt ((al-Hakim)). Sedangkan tatacara zikir dalam konsep Said Nursi ini adalah mengamalkan segala sunnah-sunnah Nabi Muhammad saw, melakukan semua perintah Allah swt yang bersifat fardhu seperti melaksanakan ibadah shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, dilanjutkan dengan membaca zikir seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw serta dengan meninggalkan dosa-dosa besar1. Langkah yang mudah diamalkan oleh orang awam ini merupakan tarekat yang umum dan berbeda dengan tahapan dalam tarekat tasawuf yang panjang dan sukar dilewati. Konsep Said Nursi yang digagas di sini adalah jalan yang aman, tidak mengandung syatahat, atau pengakuan yang di luar batas kuasa insani karena manusia sudah pasti akan menemui sifat-sifat al-ajz, al-faqr dan al-taqsir (kekurangan) dalam dirinya yang tidak mungkin dihindari. Jalan ini seumpama jalan tol yang mudah disusuri yang tidak memerlukan anggapan keyakinan bahwa makhluk ini tidak wujud sama sekali seperti yang disangka oleh golongan penganut wahdat al-wujud, yang mengatakan: "Tiada yang maujud kecuali Allah swt" yang mana hal ini semata-mata ditunjukkan untuk mencapai ketenangan ubudiyyahnya dan mencapai kesadaran hati (al-hudhur al-qalbiy). Demikian juga golongan penganut wahdat al-syuhud apabila mereka menyisihkan makhluk ke alam nisyan (alam lupa/ketidaksadaran) untuk memperoleh ketenangan keyakinannya yang merupakan jalan sulit dan membingungkan bagi orang awam2.
1 2
Lihat al-Kalimat, hlm. 549. Ibid, hlm. 552.
13
PENUTUP Gagasan, ide-ide dan pandangan baru Bediuzzaman Said Nursi turut menyegarkan wacana tasawuf dan tarekat di masa moderen sekarang ini. Di mana tantangan kaum agamawan (ulama) khususnya semakin besar dalam menghadapi zaman yang serba materialistis bahkan atheis. Nursi ikut menyumbangkan konsep tasawufnya yang moderat mudah dicerna dan diikuti oleh orang awam, karena dalam prinsip Nursi menyelamatkan keimanan umat di masa kini lebih penting daripada amalan tarekat yang bersifat eksklusif dan nyaris menjadi hidangan mewah bagi khalayak awam umat Islam. Hakikat keimanan dalam prinsip Nursi adalah seperti nasi atau makanan pokok lainnya, sedangkan amalan tasawuf dan tarekat seumpama buah-buahan yang menjadi suplemen pelengkap saja. Hal ini karena realita masyarakat muslim dunia saat ini lebih membutuhkan asupan pokok ruhani daripada makanan tambahan (vitamin) bagi jiwa. Nursi berusaha mengembalikan paradigma muslim kontemporer untuk merujuk langsung kepada nilai-nilai dasar al-Quran dan sunah Rasulullah saw. Dengan demikian kajian tentang konsep dan pandangan Said Nursi dalam wacana tasawuf di sini perlu terus digali dan dikembangkan agar praktik amalan tasawuf di era moderen sekarang ini lebih aplikatif dan mengenai sasaran. Risale-i Nur sebagai sumber utama yang mendokumentasikan pemikiran, gagasan dan pembaharuan Nursi perlu terus didiskusikan agar wacana penggalian hakikat cahaya al-Quran terus memandu dan menerangi umat pada zaman penuh fitnah ini.
Bibliografi
al-Kabby, Zahir Syafiq.1993. Fiqh Al-tashawwuf li Shaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah. Beirut: Dar al-fikr al-arabi. Alwi Shihab. 2009. Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi. Depok: Pustaka IIMaN. al-Nadwi, Abdul Bari. 1963. Bayna al-Tasawuf wa al-Hayat. Damaskus : Dar al-fath al-Thusi, Abdullah Ibn Ali al-Sarraj. 2001. al-Luma’ fi Tarikh al-Tasawwuf al-Islamiy. Beirut: Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah. al-Qusyairi, Abu al-Qasim. 2003. al-Risalah al-Qusyairiyyah. Damaskus: Dar al-Khair. Mohd Nidzam, Abd Kadir. 2010. Tasawuf Kontemporari: Implementasi Tasawuf dalam Dunia Kini. Kuala Lumpur: Telaga Biru Sdn. Bhd. Muhammad Mahfudz Bin Abdullah Al-Tarmasiy. 2008. Bughyat al-Adzkiya fi al-Bahts An Karamat al-Awliya. Jakarta : Kementerian Agama Republik Indonesia. M. Solihin. 2005. Melacak Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
14
Said Nursi. 2011. Kulliyyat Rasail al-Nur (al-Kalimat, al-Maktubat & al-Lama’at). Terj.Kaherah: Syarikat Sozler. Said Nursi. 2002. Anwar al-Hakikat: Mabahits fi al-Tasawwuf wa al-Suluk. Terj. Ihsan Qasim. Kairo: Sozler Publication. Sri Mulyati (et.al). 2011. Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana. Thubbash, Utsman Nuri. 2012. Rihlah al-Haq Min al-Iman Ila al-Ihsan. Terj. Istanbul: Mathba‟ah Dar al-Arqam. Yusri Abd Karim. 2011. Indahnya Tasawuf dan Hidup Sufi. Selangor: Yamani Angle.