KONSEP KEAGAMAAN WARGA GUNUNG WUNGKAL KABUPATEN PATI
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Metode Penelitian Aqidah dan Sosial Dosen : Irzum Farihah, S.Ag.,M.Si.
Disusun oleh : Sholichul Gunawan
(1430210014)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS JURUSAN USHULUDDIN PROGRAM STUDI ILMU AQIDAH TAHUN 2015
A. Latar Belakang Islam merupakan agama yang berasal dari firman Allah. Islam adalah agama yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Agama Islam memiliki ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan agama sendiri memiliki dua fungsi, yaitu agama sebagai pemersatu dan agama sebagai pemicu konfik. Indonesia merupakan negara besar dengan masyarakat multikultur yang terdiri atas beragam agama, etnis, dan budaya yang berbeda. Perbedaan itu juga termasuk perbedaan pikiran dan pandangan politik didalam demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia. Sebagai negara demokratis, sudah seharusnya Indonesia sangat menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban diantara warga negaranya tanpa memandang perbedaan agama, etnis dan budaya dari setiap warga negaranya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, negara memperlakukan warga negaranya dengan tidak adil dan berat sebelah (diskriminatif) untuk etnis, agama dan budaya tertentu. Pada Desa Gunung Wungkal disini terdapat suatu permasalahan mengenai diskriminasi agama. Ini dilakukan oleh lurah Desa Gunung Wungkal terhadap warganya. Diskriminasi tersebut memang tidak secara langsung namun membuat warga menjadi tertekan. Para warga tertekan hingga melakukan pindah agama menurut agama lurah mereka.
B. Fokus Penelitian Penelitian ini berfokus pada konsep keagamaan warga Gunung Wungkal Pati. Keagamaan warga Gunung Wungkal Pati ini beragama mengikuti agama lurah yang memimpin. Maksudnya adalah apabila lurah Gunung Wungkal itu beragama Islam mereka juga beragama Islam, apabila yang menjadi lurah beragama Budha mereka ikut beragama Budha. Peristiwa ini unik sebab mereka beragama mengikuti lurah atau pemimpin desa mereka.
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hubungan agama dan politik ? 2. Bagaimana konsep keagamaan warga Gunung Wungkal Pati?
1
D. Tujuan Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai konsep keagamaan warga Gunung Wungkal Pati. 2. Memberi wawasan mengenai hubungan agama dan politik.
E. Manfaat Penelitian Secara teoritis
:
memberi
informasi
serta
pengetahuan
mengenai
keagamaan warga Gunung Wungkal Pati Kabupaten Pati. Secara praktis
:
memberi
informasi
serta
pengetahuan
mengenai
keagamaan warga Gunung Wungkal Pati.
F. Kajian Pustaka 1. Hubungan Agama dan Politik Agama berasal dari bahasa Sansekerta “a” dan “gama”. A berarti tidak dan gama berarti berubah. Maka dari itu agama adalah tidak berubah. Definisi dari agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. 1 Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. 2 Sedangkan menurut pandangan
sosiolog,
Emile Durkheim
mengemukakan makna agama, merupakan sebuah perbedaan yang sakral 1 2
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983, hlm. 34. Raga Maran Rafael , Pengantar Sosiologi Politik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 231.
2
dan profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral yang kemudian menjadi syarat mutlak bagi keberadaan agama sehingga terciptanya ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok.3 Syarat-syarat lain dari agama adalah kepercayaan, ritual agama dan gereja (tempat ibadah. Dalam pandangan sosiologi Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas atau fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local, regional, nasional, maupun mondia maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani) Mendefinisikan
agama
secara
komprehensif
yang mampu
merangkum semua aspek nampaknya menjadi suatu permasalahan yang pelik bahkan mustahil untuk dilakukan mengingat luasnya aspek yang terkandung dalam agama itu sendiri. , misalnya ada tidak ada definisi tentang agama yang benar-benar memuaskan karena agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Agama menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. 4 Menurut Sutan Takdir Alisyahbana agama adalah suatu system kelakuan dan perhubungan manusia dengan rahasia kekuasaan dan kegaiban yang tiada terhingga luasnya, dan dengan demikian member arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengililinya. Secara etimilogis, politik berasal dari bahasa Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi 3
Abdullah, Taufik & Der Leeden , Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia , Jakarta, 1986, hlm. 45. 4 Hasan.Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta, 2007, hlm. 78.
3
polites yang berarti warga negara, politiea yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika berarti pemerintah negara, dan politikos berarti kewarganegaraan. Secara umum, politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penetuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan adalah kemampua seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku. 5 Secara umum, hubungan agama dengan politik selalu diwarnai oleh sejarah hubungan tradisi religius mayoritas dengan tradisi religius minoritas. Oleh sebab itu, kita bisa mengkonseptualisasikan adanya benang merah sosial yang menghubungkan kerangka religius monopolistik (Italia) dengan keadaan plural di mana tidak ada Gereja resmi dan baku (Amerika)
atau
dengan
kebajikan
duopolies
dimana
pengaruh
Protestanisme dengan Katholikisme hampir sama terhadap populasi (Belanda). Hubungan Gereja/negara dan oleh karena karakter oposisi politis akan sangat beragam sesuai dengan konteks monopoli religius, duopoli atau semata. Sisi penting
lainnya dari teori
umum
sekularisasi
yang
dikemukakan Mrtin ini terletak pada masalah apakah agam dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang dicangkokkan dari luar ataukah agama berfungsi sebagai alat sentimen kebanggsaan dalam menghadapi serangan luar. Bila dijelaskan lebih mudahnya bahwa pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaranajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama di 5
http://akank-sutha.blogspot.co.id/2012/04/hubungan-politik-dan-agama.html diposting tanggal 6 Januari 2012
4
seluruh
pelosok; Kedua,Memberagamakan
warga
masyarakat
yang
dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama. Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan entitas
spiritual.
Jika
kita
menggunakan
definisi
yang
lebih
kompleks. maka agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsikonsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada. Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrument kekuasaan. Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar dari agama. Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya.
5
Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan
unsur-unsur
lain.
Kebijakan
kebijakan
yang
merupakan
konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali. 6 Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik. Telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya harus berlabel Islam. Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme” keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk 6
Soedjatmoko, Etika Pembebasan Pilihan Karangan tentang Agama, LP3ES Cet.I, Jakarta , 2005, hlm. 34.
6
kemaslahatan umat. Negara harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama, agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan ideologis.Di lain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran keimanan haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada masa-masa yang akan datang hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan melalui dialog budaya yang hidup dan berlingkup luas. Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara
agama (din), akal (aql), jiwa(nafs), harta (mal)
dan
keturunan (nasl). Sementara pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural juga
disebut
pemimpin.
Kepemimpinan
politik
kultural
mempunyai fungsi yang strategis yakni sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass root).7 Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa) dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan. Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri 7
Ali Mudhofir, Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo, Jakarta, 2001, hlm. 53.
7
maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik. Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent. Uraian di atas memperlihatkan hubungan antara agama dan politik secara teoretis konseptual. Padahal hubungan antara keduanya dalam realitas faktual sangat kompleks.Tidak ada formulasi yang disepakati sejak era kenabian sampai di era modern. Keberagaman formulasi tentang hubungan antara agama dan politik, sesungguhnya terjadi pula pada bangsa lain tergantung pada ideologi yang dianut. Kompleksitas bahkan kekacauan nalar tentang hubungan antara agama dan politik tidak lepas dari kesalahpahaman dalam memahami istilah agama ( itu sendiri. Kemudian diperparah dengan tidak adanya diskusi yang sehat antar berbagai aliran pemikiran. Mereka tidak mau bahkan tidak berusaha untuk saling memahami konsep yang dikemukakan oleh masing-masing. Apalagi mereka juga mencampuraduk antara pengertian kata al-dîn yang bersifat khusus dan yang bersifat umum. Banyak yang berpendapat bahwa politik dan agama harus dipisahkan. Politik dibangun atas kehendak masyarakat sipil yang tidak terkait dengan spritual. Agama menurut mereka bersifat absolut sedangkan politik bersifat relatif. Pendapat ini dibangun atas dasar bahwa agama adalah hubungan ritual (ruhiyah) antara seorang hamba dengan Tuhan. Hakikat agama adalah keimanan yang melekat pada nurani
8
dan hati seseorang. Sebaliknya muncul pendapat lain bahwa agama tak terpisahkan dari politik karena Islam adalah agama komprehensif sehingga tidak mungkin memisahkan kehidupan politik dari agama. Perbedaan tersebut muncul karena kurangnya pemahaman terhadap berbagai istilah dan konsep yang ada. Banyak orang ketika mendengar “pemisahan antara agama dan politik” memahaminya dengan memisahkan politik dari nilainilai etis religius. Politik kemudian seakan dikemas berdasarkan selera subyektif dengan melakukan kebohongan dan penipuan. Meninggalkan prinsip keadilan dan kesetaraan untuk kebaikan bersama. Pada sisi lain mereka
yang
menafikan
pemisahan
politik
dari
agama
tidak
mengapresiaisi berbagai keputusan politik yang dilakukan oleh pihak penguasa atau pemerintah. Hubungan ideal antara politik dan agama bukan pemisahan yang bersifat permanen, dan bukan pula bersifat kombinatif secara total. Tetapi antara keduanya selalu berdampingan yang tak dapat dipisahkan. Masingmasing memiliki sisi perbedaan dan persamaan. Adalah sulit untuk mengapresiasi konsep yang memisahkan secara total antara agama dan politik dalam masyarakat manapun, baik muslim maupun non-muslim, beragama atau tidak beragama. Karena bagaimanapun, agama telah memberikan sistem nilai dan tolok ukur yang menjadi tujuan mulia bersama,
seperti keadilan,
kebebasan,
kesetaraan,
ketransparanan,
musyawarah dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Bahkan agama menunggu dari orang-orang yang meyakininya agar mencerminkan akhlak yang terpuji dan menghindari akhlak yang buruk dalam berbagai aktivitas politik. Selanjutnya nilai-nilai sakral dan universal dari agama harus hadir dalam diri seseorang sebabagi pengarah sekaligus pengontrol dalam aktivitas politiknya. Meski demikian, praktik politik harus bebas dan independen dari kekuatan manapun yang mengatasnamakan agama atau otoritas agama. Pembedaan antara agama dan politik, bukan berarti pemisahan secara total atau penyamaan secara total.
9
Dengan pemahaman seperti ini kita akan dapat mengapresiasi temuan-temuan konseptual dan teoritis dalam bidang politik, dan dalam waktu yang sama akan memposisikan agama sebagai sumber nilai tertinggi yang selalu mengontrol praktik politik di suatu Negara. Agama dalam konteks kemaslahatan ukhrawi, ajaran dan hukumnya bersifat pasti. Tetapi agama dalam konteks kemaslahatan duniawi selalu bersifat dinamis dan baru. Artinya agama dalam maknanya yang umum ini tidak termasuk wahyu atau ketentuan hukum ilahi yang bersifat permanen. Jadi politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beragama yang dinamis. Dengan kata lain, politik harus tunduk pada visi keagamaan secara umum. Pelaku politik praktis harus berkomitmen pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai universal yang terkandung di dalam agama. Teori kelas Maxisme bertumpu pada pemikiran bahwa sejarah dari masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Dengan kata lain, teori kelas berperaanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Misalnya saja keterasingan manusia adalah hasil penindasan suatu kelas oleh kelas lainnya. Teori yang dikemukakan oleh Karl Marx ini bukanlah teori yang eksplisit, melainkan sebuah latar belakang uraian Marx tentang hukum perkembangan sejarah, kapitalisme dan sosialisme. Dalam teori ini, Marx membedakan masyarakat berdasarkan mode produksi
(teknologi
dan
pembagian
kerja). Dari
masing-masing
mode produksi tersebut lahir sistem kelas yang berbeda dimana suatu kelas mengontrol sistem produksi (kelas pemilik modal) dan kelas yang lain merupakan produsen langsung serta penyedia layanan untuk kelas dominan (kelas buruh). Faktor ekonomi inilah yang akhirnya mengatur hubungan sosial pada masyarakat kapitalisme. Menurut Lenin, kelas sosial dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Marx bahwa kelas berakar dalam hubungan sosial produksi, bukan hubungan
10
dalam distribusi dan konsumsi. Menurut Marx, pelaku utama dalam perubahan sosial bukanlah individu, tetapi kelas-kelas sosial. Dalam setiap masyarakat terdapat kelas yang menguasai dan kelas yang dikuasai atau dengan kata lain terdapat kelas atas dan kelas bawah. Marx membagi kelas sosial ke dalam tiga kelas, yakni kaum buruh, kaum pemilik modal dan tuan tanah. Namun, dalam masyarakat kapitalis, tuan tanah dimasukkan ke dalam kaum pemilik modal.
Pemilik modal (borjuis) Kaum pemilik modal merupakan pemilik alat-alat produksi, membeli dan mengeksploitasi tenaga kerja serta menggunakan nilai surplus (nilai lebih) dari pekerja untuk mengakumulasi atau memperluas modal mereka.
Buruh (proletariat) Kaum buruh merupakan tenaga kerja yang hanya memiliki kemampuan untuk bekerja dengan tangan dan pikiran mereka. Para pekerja ini harus mencari penghasilan kepada para pemilik modal. Dalam sistem kapitalis, kaum buruh dan pemilik modal memang
saling membutuhkan. Buruh hanya dapat bekerja jika pemilik modal membuka tempat kerja. Pemilik modal membutuhkan buruh untuk mengerjakan kegiatan usahanya. Akan tetapi, ketergantungan ini tidak seimbang. Buruh tidak dapat bekerja jika pemilik modal tidak memberikan lapangan pekerjaan, tetapi pemilik modal masih bisa hidup tanpa buruh karena ia bisa menjual pabriknya kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa kaum buruh adalah kelas yang lemah, sedangkan kaum pemilik modal adalah kelas yang kuat.Pembagian masyarakat dalam kelas atas dan kelas bawah merupakan ciri khas masyarakat kapitalis. Hubungan antarkelas tersebut pada hakikatnya merupakan hubungan eksploitasi.
2. Konsep Keagamaan Warga Gunung Wungkal Pati Agama
merupakan
kebutuhan
manusia.
Agama
memiliki
supranatural yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Keagamaan
11
adalah bentuk ritual manusia kepada Tuhan. Namun warga Desa Gunung Wungkal melakukan atau mengikuti agama menurut lurah atau pemimpin desa mereka. Warga desa Gunung Wungkal ini sudah melakukan ini bertahuntahun lamanya. Apabila lurah mereka itu beragama Islam mereka beragama Islam dan apabila lurah mereka beragama Budha mereka juga beragama Budha. Mereka melakukan ini pasti ada sebab yang melatar belakagi ini semua.
G. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Judul Skripsi
: Relasi Sosial Dukuh dan Masyarakat Padukuhan
Sorowajan Kelurahan Banguntapan Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Yogyakarta Peneliti
: Muhammad Adhi Satria (UIN Yogyakarta)
Hasil Penelitian
: Masyarakat di padukuhan Sorowajan Kelurahan
Banguntapan Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Yogyakarta terdiri dari beragam komposisi agama. Namun justru masyarakat Padukuhan Sorowajan tidak menciptakan agama mayor dan agama minor pada kehidupan sosial mereka. Keragaman tadi tidak lantas membuat mereka selalu berkonflik. Justru perbedaan tadi telah dilebur dalam interaksi sosial masyarakat Padukuhan Sorowajan. Pemimpin yang mereka sebut sebagai dukuh memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga masyarakatnya dari konflik agama. Relasi pemimpin dan rakyat yang harmonis berpotensi pada terjaga dan terbangunnya kerukunan agama di antara mereka. 8 2. Judul Jurnal : Propaganda Kiai Salih Darat dan Harmoni Nusantara (Telaah Kitab Minhaj Al-Atqiya)
8
Muhammad Adhi Satria, Relasi Sosial Dukuh dan Masyarakat Padukuhan Sorowajan Kelurahan Banguntapan Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Yogyakarta, UIN Yogyakarta, Yogyakarta, 2013, hlm. xvi.
12
Penulis : Aflahal Misbah (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Nuskhan Abid (STAIN Kudus) Hasil tulisan : Akhir abad 19, Jawa menjadi panggung propaganda Kiai Ṣāliḥ Darat untuk mewujudkan harmoni di masyarakat. Berbagai pandangan yang dapat menumbuhkan semangat anti kolonial disisipkan dalam karya tulisnya, seperti dalam kitab Minhāj Al-Atqiyā`. Bukan hal aneh jika Kiai Ṣāliḥ melakukan aksi demikian. Pasalnya, pemerintah kolonial merupakan pemerintahan ẓālim yang menjajah agama dan bangsanya. Untuk mewujudkan masyarakat harmoni, berbagai penindasan, pemiskinan,
serta
pembodohan
dari
pemerintah
kolonial
harus
dihilangkan. Lebih dari itu, propaganda Kiai Ṣāliḥ tidak terbatas pada lingkup eksternal untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan bangsa dan negara. Dalam lingkup internal, Kiai Ṣāliḥ terus berupaya untuk mengonsolidasikan antar kelompok keagamaan dalam Islam, yang mengalami perkembangan cukup intensif di masyarakat. Ini dilakukan untuk menciptakan suatu kekuatan yang sinergis dan kokoh untuk menghadapi kolonial. Penelitian ini ingin mengkaji teknik propaganda yang dilakukan Kiai Ṣāliḥ dalam kitab Minhāj Al-Atqiyā`. Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (library research), dengan pendekatan interaksionisme
simbolik.
Dalam
kitab Minhāj
Al-Atqiyā, teknik
propaganda yang dilakukan Kiai Ṣāliḥ dalam lingkup eksternal adalah teknik plain
folks,
name
calling,
card
stacking,
bandwagon,
testimonial,dan fear arousing. Sedangkan dalam lingkup internal, teknik yang digunakan adalah Glittering Generalities. Beberapa teknik ini memberikan pesan tentang pentingnya kekuatan harmoni-internal, sebelum membangun kehidupan yang benar-benar harmoni secara lebih luas, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 9 Beda penelitian saya dengan penelitian di atas adalah dalam hal pembahasan agama sipil. Disini saya membahas mengenai pemimpin atau lurah 9
Aflahal Misbah & Nuskhan Abid, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 4 Nomor 1, Jurusan Ushuluddin Prodi Ilmu Akidah, Kudus, 2016, hlm. 96.
13
Desa Gunung Wungkal yang melakukan diskriminasi terhadap warganya. Diskriminasi tersebut berupa perlakuan yang berbeda antara warga yang beragama sama dengan dirinya dengan warga yang berbeda agama dengan dirinya. Diskriminasi ini membuat warga memiliki konflik batin dan keimanan mereka.
H. Kerangka Berfikir Pemerintahan
Agama
Kekuasaan
Rakyat Miskin
Rakyat Kaya
Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Wungkal Pati. Desa Gunung Wungkal memiliki jumlah penduduk 34.950 Jiiwa. Di desa tersebut terdapat berbagai macam agama, yaitu Islam, Budha, Kristen, Hindhu. Warga Desa Gunung Wungkal melakukan atau mengikuti agama menurut lurah atau pemimpin desa mereka. Warga desa Gunung Wungkal ini sudah melakukan ini bertahun-tahun lamanya. Apabila lurah mereka itu beragama Islam mereka beragama Islam dan apabila lurah mereka beragama Budha mereka juga beragama Budha. Mereka melakukan ini pasti ada sebab yang melatar belakagi ini semua. Peristiwa ini bermula ketika lurahnya dulu yang bernama X beragama Budha. Warganya muslim meminta bantuan lurahnya dalam mengurus surat. Namun lurah mempersulit pengurusannya. Apabila warga Budha yang meminta bantuan mengurus surat dipermudah. Selain itu warga menganggap bila mengikuti agama lurahnya mereka akan mendapat keuntungan. Dari pengalaman itu mereka melakukan keagamaan seperti itu hingga sekarang walaupun tidak semua warga hanya sekitar 30% dari jumlah penduduk yang ada.
14
Warga Desa Gunung Wungkal melakukan atau mengikuti agama menurut lurah atau pemimpin desa mereka. Peristiwa ini bermula ketika lurahnya dulu yang bernama X beragama Budha. Warganya muslim meminta bantuan lurahnya dalam mengurus surat. Namun lurah mempersulit pengurusannya. Apabila warga Budha yang meminta bantuan mengurus surat dipermudah. Selain itu warga menganggap bila mengikuti agama lurahnya mereka akan mendapat keuntungan. Disitu bisa disimpulkan bahwa kaum borjuis menekan pada kaum protelan, dan disitu juga kaum protelan yang belum memegang teguh pada agamanya dia akan seperti kapal yang di terjang oleh badai di tengah laut, dia akan terombang ambing tak tau arah yang akan dituju.
I. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini saya menggunakan pendekatan antropologis. Pendekatan antropologis dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 10 2. Sumber Data Data penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber melalui narasumber dan keadaan kehidupan di Desa Gunung Wungkal Kabupaten Pati. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Wungkal Kabupaten Kudus. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi adalah proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis mengenai gejala-gejala yang diteliti. Observasi ini menjadi sala satu dari teknik pengumpulan data. Dalam observasi ada 2 indra yang diutamakan ketika melakukan pengamatan yaitu 10
Dede Ahmad Ghazali & Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdidipliner, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015, hlm. 67.
15
telinga dan mata. Telinga untuk mendengarkan informasi dari narasumber. Sedangkan mata untuk melihat objek yang diamati ketika observasi. 11 Dalam observasi ini saya melakukan observasi dengan melihat kehidupan warga serta bertanya-tanya dengan warga setempat. b. Wawancara Wawancara adalah suatu kegiatan tanya jawab antara penulis dan narasumber terpecaya yang membahas tentang sesuatu yang spesifik. Wawancara ini dilakukan untuk mencari suatu informasi dari seseorang yang mengetahui lebih jelas mengenai informasi tersebut atau narasumber. Narasumber ada banyak misalnya saksi mata suatu kejadian atau peristiwa, pengusaha, pejabat pemerintahan, guru, dan lain-lain. Saya melakukan wawancara dengan beberapa warga setempat baik beragama Islam maupun non muslim. c. Dokumentasi Dokumentasi adalah mengumpulkan data dengan cara mengambil data-data dari catatan, dokumentasi administrasi yang sesuai dengan masalah yang diteliti. 12 Dokumentasi tidak hanya berupa data-data dari catatan dan dokumentasi administrasi bisa berupa foto-foto tentang hal yang diteliti. Dalam penelitian ini saya menggunakan dokumentasi foto. Foto tersebut hanya foto saya dengan narasumber ketika wawancara. Ini disebabkan permasalahan observasi yang telah dijelaskan di atas pada poin observasi. 5. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini saya menggunakan metode fenomenologi. Metode fenomenologi merupakan sebuah metode filsafat yang berpusat 11 12
Husaini Usman & Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta, Bumi Aksara, 2008, hlm. 25 Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2003, hlm. 143
16
pada analisis gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat subjektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman, dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomenal). 13
13
Ibid, Studi Islam..., hlm. 78.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik & Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia , Jakarta, 1986. Aflahal Misbah & Nuskhan Abid, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 4 Nomor 1, Jurusan Ushuluddin Prodi Ilmu Akidah, Kudus, 2016 Ali Mudhofir, Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo, Jakarta, 2001. D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983. Dede Ahmad Ghazali & Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdidipliner, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015 Hasan.Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta, 2007. Husaini Usman & Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta, Bumi Aksara, 2008 Muhammad Adhi Satria, Relasi Sosial Dukuh dan Masyarakat Padukuhan Sorowajan Kelurahan Banguntapan Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Yogyakarta, UIN Yogyakarta, Yogyakarta, 2013 Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2003 Raga Maran Rafael , Pengantar Sosiologi Politik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007. Soedjatmoko, Etika Pembebasan Pilihan Karangan tentang Agama, LP3ES Cet.I, Jakarta , 2005. http://akank-sutha.blogspot.co.id/2012/04/hubungan-politik-dan-agama.html
18