KONSEP FIGUR PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN YANG TERUNGKAP DALAM SKRIPTORIUM NASKAH SUNDA BUHUN KABUYUTAN CIBURUY
Makalah ini disajikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara,
Oleh: Elis Suryani NS Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
MASYARAKAT PERNASKAHAN NUSANTARA
YOGYAKARTA September, 2012
0
KONSEP FIGUR PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN YANG TERUNGKAP DALAM SKRIPTORIUM NASKAH SUNDA BUHUN KABUYUTAN CIBURUY ABSTRAK Andai kita simak dengan saksama, kearifan lokal yang terungkap dalam naskah-naskah Sunda buhun ‘kuno’ berbahan lontar, beraksara dan berbahasa Sunda buhun, yang terungkap dalam skriptorium naskah Sunda koleksi Kabuyutan Ciburuy Bayongbong Garut, sebenarnya sudah menyiratkan ‘konsep’ serta hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang pemimpin. Menurut teks naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, seseorang digelari pemimpin, jika dalam pribadinya sudah melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau pelengkap untuk mempunyai kharisma/pamor, yakni Emét ‘tidak konsumtif’. Imeut
‘teliti, cermat’. Rajeun
‘rajin’. Leukeun
‘tekun’. Paka
Pradana ‘beretika’. Morogol-rogol ‘beretos kerja tinggi’. Purusa ning Sa ‘berjiwa pahlawan, jujur, berani’. Widagda ‘bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa’. Gapitan
‘berani berkorban’, Karawaléya
‘dermawan’, Cangcingan
‘terampil’, serta Langsitan ‘rapekan’/cekatan’. Selain pangimbuhning twah, seorang pemimpin dituntut memiliki sifat Dasa prasanta, yakni: Guna ‘ bijaksana’, Ramah ‘bijak, atau bestari’, Hook ‘kagum’, Pésok ‘memikat hati’, Asih ‘sayang, cinta kasih’, Karunya ‘iba/belas kasih’, Mupreruk ‘membujuk dan menentramkan hati’, Ngulas ‘memuji dan mengoreksi’, Nyecep ‘membesarkan hati dan memberikan kata-kata yang menyejukkan’, Ngala angen ‘mengambil hati’. Di samping itu, seorang pemimpin harus mampu menjauhi empat karakter yang negatif, yang dikenal dengan sebutan ‘opat paharaman’ atau empat hal yang diharamkan, yakni sifat babarian, pundungan, humandeuar, dan kukulutus serta menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia, yang dikenal Catur Buta, yaitu Burangkak, Mariris, Maréndé, dan Wirang. Seorang pemimpin, menurut teks naskah Sanghyang Hayu, adalah pemimpin yang menjiwai konsep ‘tiga rahasia’, terdiri atas lima bagian, yakni lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri seorang pemimpin, yaitu
1
Budi-Guna-Pradana (bijak-arif–saleh), Kaya-Wak-Cita (sehat/kuat-bersabda-hati), Pratiwi-Akasa-Antara (bumi–angkasa-antara), Mata-Tutuk-Talinga (penglihatanucapan-pendengaran), Bayu-Sabda-Hedap (energi–ucapan/sabda-itikad/kalbu dan pikiran). Tiga rahasia itu harus berpegang teguh kepada prinsip astaguna ‘delapan kearifan’, terdiri atas: Animan (lemah lembut), Ahiman (tegas/panceg hate), Mahiman (berwawasan luas), Lagiman (gesit/cekatan/trampil), Prapti (tepat sasaran), Prakamya (ulet/tekun), Isitwa (jujur), Wasitwa (terbuka untuk dikritik). Konsep figur pemimpin dan kepemimpinan Sunda menurut Sanghyang Siksakandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Carita Parahiyangan, juga Sanghyang Hayu, koleksi skriptorium Kabuyutan Ciburuy, setidaknya harus mampu berperan sebagai leader (adanya kesepahaman dalam satu pikiran, perkataan, dan perbuatan dengan benar),
manajer (kemampuan dalam hal
manajerial),
entertainer (kaitannya dengan human relations/bernegosiasi), entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan), commander (menjadi pendorong atau motivator), designer (sebagai perancang ideal), father (bertindak kebapakan), servicer (pelayan yang baik & bertanggung jawab), dan teacher (guru, pendidik, dan pengajar serta menjadi ‘teladan’ bagi masyarakat/bawahannya). Kesembilan kriteria tersebut selayaknya harus mampu diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan kepemimpinannya, yang akhirnya menuju kepada pemimpin ideal yang mampu bertindak sebagai “master/tokoh” yang dicintai, dikagumi, dan disegani masyarakatnya, serta mampu memerdayakan dan menyejahterakan orang banyak.
2
KONSEP FIGUR PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN YANG TERUNGKAP DALAM SKRIPTORIUM NASKAH SUNDA BUHUN KABUYUTAN CIBURUY
1. Pendahuluan Gonjang ganjing berkenaan dengan pergantian pucuk pimpinan, baik di lingkungan pejabat maupun di institusi pemerintahan
yang kini melanda
masyarakat, tampaknya layak juga untuk dicermati. Mengapa demikian? Karena, masalah kepemimpinan berkelindan erat dengan sifat, sikap, karakter, dan kebijakan seorang ‘pimpinan’ dalam menangani suatu masalah yang terjadi di masyarakat atau dalam sebuah komunitas tertentu. Sehubungan dengan itu, perlu ditelusuri dan dikaji secara mendalam apa dan bagaimana sikap dan perilaku seorang pimpinan agar kepemimpinannya sesuai dengan yang diharapkan oleh komunitasnya. Tulisan ini sekadar mengungkap sebagian kearifan lokal kepemimpinan yang dikenal dengan istilah “parigeuing”, sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16 Masehi yang terungkap dalam Skriptorium Naskah Sunda Buhun Kabuyutan Ciburuy, khususnya yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil dan dicintai, baik oleh rakyat maupun oleh bawahannya. Masalah kepemimpinan yang terungkap dalam naskah Sunda abad ke-16 Masehi koleksi Skriptorium Naskah Sunda Buhun Kabuyutan Ciburuy, dalam tulisan ini meliputi naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Fragment Carita Parahiyangan, Carita Parahiyangan, dan Sanghyang Hayu, yang kini sebagian sudah tercatat dalam Katalogus Naskah Sunda maupun Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah-naskah tersebut berbahan lontar, beraksara serta berbahasa Sunda buhun ‘kuno’, yang mungkin saja sudah tidak dikenali dan dipahami lagi oleh sebagian masyarakat Sunda masa kini. Karena orang yang menguasai aksara dan bahasa Sunda kuno tersebut hanya segelintir orang.
3
Sehubungan dengan itu, data-data diambil dari teks naskah yang sudah ditrasliterasi dan diterjemahkan, untuk memudahkan pemahaman teks dimaksud.
2. Konsep Kepemimpinan 2.1 Pengantar Ada hal menarik dari teks naskah Lontar abad ke-16 Masehi, baik itu ajaran moral, sistem pemerintahan, kepemimpinan, kosmologis, maupun unsur budaya lainnya, dapat memberi
gambaran kearifan lokal masa lampau yang
masih sangat relevan untuk diketahui dan dimanfaatkan di masa kini. Tulisan ini mencoba mengulas
Konsep Kepemimpinan yang Tersirat dalam Naskah,
khususnya naskah Sunda Buhun abad XVI Masehi. Masalah kepemimpinan (Parigeuing), akan dicoba dikaji berdasarkan konsep, figur dan karakter ‘raja sebagai pemimpin’ yang dianggap sebagai master/tokoh yang legendaris, yang mumpuni, dicintai serta dikagumi oleh rakyatnya. Seseorang disebut pemimpin, jika memiliki konsep ( idea, pemikiran), norma (aturan), dan tampak aktualisasinya (perilaku) kepemimpinannya. Intisari kepemimpinan adalah kualitas tingkah laku dan kemampuan individu
dalam
berinteraksi sosial untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Gaya kepemimpinan dapat berorientasi kepada hubungan yang harus dibina dengan kelompoknya (concern for people) dan berorientasi kepada hasil yang ingin dicapainya (concern for production). Semua ini perlu dikaji secara menyeluruh, yang mencakup tataran IQ (Intelectual Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dan AQ (Actional Quotient) sebagai sinergi pragmatiknya (Suryalaga, 2009: 129-130). Gaya atau seorang pemimpin
style
kepemimpinan sangat
mempengaruhi keberhasilan
dalam mempengaruhi perilaku para pengikut atau
bawahannya. Istilah gaya secara mendasar sama dengan ‘cara’ yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi para pengikut atau bawahannya.
4
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang Ia lihat (Thoha, 2009: 49).
2.2 Konsep Parigeuing Ala Sunda 2.2.1 Konsep Parigeuing dalam Naskah Sanghyang Hayu Naskah lontar abad ke-16 Masehi yang berjudul Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), Sanghyang Hayu, Carita Parahiyangan, Fragment Carita Parahiyangan, Carita Ratu Pakuan, Amanat Galunggung maupun naskah Sunda lainnya sebagai salah satu peninggalan karuhun orang Sunda, yang keberadaannya kini mungkin oleh sebagian orang sudah tidak dikenal lagi, masih sangat menarik kita gali, ungkap, bahkan dapat kita jadikan sekadar tuntunan moral dalam kehidupan kita saat ini. Penggalian teks naskah-naskah Sunda buhun tersebut dapat membantu kita mengungkap kearifan lokal budaya Sunda masa silam yang berkaitan dengan masalah “konsep kepemimpinan”, sesuai dengan kajian tulisan ini. “Parigeuing”
atau kepemimpinan ala Sunda yang terungkap dalam
naskah Sanghyang Hayu (SH), yang berasal dari Kabuyutan Ciburuy Bayongbong Garut, yang ditulis pada abad ke-16 Masehi, terbuat dari nipah. Secara umum isinya mengisahkan tuntunan atau tatacata dalam upaya mencapai kebaikan hidup. Kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang Hayu harus menjiwai konsep tiga rahasia, seperti tri tangtu di buana dalam SSKK maupun Fragment Carita Parahiyangan yang teridiri atas lima bagian, yakni:
1. Budi (bijak) – guna (arif) – pradana (saleh) 2. Kaya (sehat/kuat) – wak (bersabda) – cita (hati) 3. Pratiwi (bumi) – akasa (angkasa) – antara (antara) 4. Mata (penglihatan) – tutuk (ucapan) – talinga (pendengaran)
5
5. Bayu (energi) – sabda (ucapan/sabda) – hedap (itikad/kalbu dan pikiran).
Kelima belas karakter seperti tersurat dalam naskah Sanghyang Hayu harus mendarah daging dalam diri seorang pemimpin. Figur seorang pemimpin ideal harus berpegang teguh kepada prinsip astaguna ‘delapan kearifan’, sehingga kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis. Kedelapan kearifan tersebut sebagaimana dikemukakan Darsa (1998) adalah sebagai berikut: a. Animan (lemah lembut), seorang pemimpin harus memiliki sifat yang lemah lembut, dalam arti tidak berperilaku kasar, agar orang yang dipimpinnya merasa diperhatikan. b. Ahiman (tegas), seorang pemimpin harus bersikap tegas, dalam pengertian tidak plin plan (panceg hate) c. Mahiman (berwawasan luas), seorang pemimpin tentu saja harus memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar tidak kalah dari bawahannya. d. Lagiman (gesit/cekatan/trampil), seorang pemimpin pun dituntut agar Dia trampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau melakukan suatu pekerjaan e. Prapti (tepat sasaran), seorang pemimpin harus memiliki ketajaman berpikir serta tepat sasaran, karena jika keliru atau berspekulasi hal itu akan menghambat suatu pekerjaan. f. Prakamya (ulet/tekun), seorang pemimpin juga tentu saja harus memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi. Pemimpin tidak boleh putus asa agar semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik dan berhasil guna. g. Isitwa (jujur), seorang pemimpin dituntut memiliki kejujuran, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan agar dipercaya oleh orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) maupun bawahannya, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis. h. Wasitwa (terbuka untuk dikritik), seorang pemimpin harus memiliki sikap ‘legowo’ dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan terbuka untuk
6
dikritik jika pemimpin itu berbuat salah atau menyimpang dari aturan yang ditetapkan.
2.2.2 Konsep Parigeuing dalam Naskah Siksakandang Karesian Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) mengulas dan mengungkap “parigeuing” yang meliputi sepuluh pedoman atau tuntutan yang harus dimiliki serta dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam rangka membina serta memimpin bawahannya, yang dikenal dengan sebutan Dasa Prasanta. Sepuluh pedoman tersebut adalah sebagai berikut: a. Guna ‘ bijaksana/ kebajikan, perintah yang diberikan oleh seorang pemimpin dipahami manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. b. Ramah ‘bertindak
seperti orang tua yang bijak dan ramah/bestari’,
keramahan seorang pemimpin akan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja dan beraktifitas. Iklim yang kondusif dan mengesankan adanya keramahtamahan
akan
menjadi
‘habitat’
yang
sangat
baik
dan
menyenangkan. c. Hook ‘sayang atau kagum’, perintah seorang pemimpin dianggap sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang diperintahnya. d. Pésok mampu
‘memikat hati atau reueus/bangga’, seorang pemimpin harus memikat
hati
bawahannya
serta
merupakan
‘kareueus’
kebanggaan juga bagi bawahannya. Perintah yang disampaikan oleh seorang pemimpin disampaikan dengan cara yang menimbulkan kebanggaan bagi yang diperintah. Hal demikian akan mampu mendorong kepercayaan bawahan yang diperintah. e. Asih ‘kasih, sayang, cinta kasih, iba’, perintah pemimpin harus dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.
7
f. Karunya ‘iba/sayang/belas kasih’, sebenarnya hampir sama dengan asih, namun dalam karunya perintah pemimpin harus terasa sebagai suatu kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya g. Mupreruk ‘membujuk dan menentramkan hati’, seorang pemimpin seyogyanya mampu membujuk dan menentramkan hati yang dipimpinnya dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya. h. Ngulas ‘memuji di samping mengulas, mengoreksi’. Seorang pemimpin tidak ada salahnya memuji pekerjaan atau keberhasilan yang dipimpinnya sebagai penghargaan dan pendorong ke arah yang lebih baik. i. Nyecep ‘membesarkan hati dan memberikan kata-kata pendingin yang menyejukkan hati’, bisa juga diartikan memberi perhatian merupa moril maupun materiil walau hanya berupa ucapa terima kasih atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati juga di kala yang dipimpinnya mendapat musibah atau tidak berhasil dalam suatu pekerjaan. j.
Ngala angen ‘mengambil hati’, mampu menarik hati dan simpati bawahannya atau yang dipimpinnya, sehingga tersambung ikatan silaturahim yang kental dan harmonis.
Dasa Prasanta tersebut, apabila kita cermati secara seksama, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia, tetapi tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Dalam proses komunikasinya tetap menggunakan asas silih asih, silih asah, dan silih asuh. Konsep, figur dan gaya kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian sesuai tugasnya, bahwa seorang Prabu sebagai pemimpin roda pemerintahan (eksekutif) harus ngagurat batu 'berwatak teguh' serta harus mampu ngretakeun bumi lamba, dalam arti bahwa seorang prabu atau pemimpin harus mampu mensejahterakan dan memberdayakan semesta dunia kehidupan. Kita paham benar bahwa dunia kehidupan tersebut meliputi semesta alam dan mencakup kesejahteraan lahir batin. Dengan demikian, tugas pemimpin adalah mewujudkan lingkungan hidup dan kehidupan yang sejahtera, bermatabat
8
dan penuh dengan rahmat dan ridha Sang Pencipta, Allah SWT yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang. Fungsi Pemimpin dalam SSK berkaitan dengan beberapa kelompok pemimpin berdasarkan fungsi dan kedudukannya yang disebut Tri Tangtu di Buana, yakni tiga ketentuan (yang menentukan) di dunia (sama sebagaimana terungkap dalam naskah Fragment Carita Parahiyangan). Tiga fungsi yang menentukan kesejahteraan kehidupan di dunia yang masing-masing memiliki tanggung jawab, yang terdiri atas: a. Sang Prabu, sama dengan pemimpin formal, birokrat, pemerintah (presiden), para pengambil kebijakan serta seluruh unsur Trias Politica. Siapa pun pemimpinnya yang sedang berfungsi sebagai Prabu, harus berfilosofi Ngagurat Batu 'berwatak teguh', yakni taat dan patuh dalam menjalankan hokum serta apa adanya tanpa rekayasa. Jika dilaksanakan secara taat asas, maka komunitas yang dipimpinnya akan selalu berjalan dalam koridor yang benar dan terarah b. Sang Rama, termasuk ke dalamnya keluarga dan pemuka masyarakat. Keluarga sebagai unsur terkecil dalam struktur masyarakat sangat menentukan
terwujudnya
kesejahteraan
bangsa.
Daya tahan
dan
kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kekuatan dan kesejahteraan di tataran masyarakat. Dalam naskah Fragment Carita Parahiyangan, Sang Rama harus berfilosofi Ngagurat Lemah ‘'berwatak menentukan hal yang mesti dipijak'. Fungsi Sang Rama adalah mewujudkan keluarga sakinah ma’waddah warohmah. c. Sang Resi, diartikan sebagai orang yang berilmu, cerdik cendekiawan, ulama, para pendidik dan pengajar, serta orang-orang yang mampu mencerdaskan bangsa yang harus Ngagurat Cai 'berwatak menyejukkan dalam
peradilan'.
Mengandung
pengertian
bahwa
para
cerdik
cendekiawanlah yang harus mampu mendorong daya hidup untuk tumbuhkembangnya kualitas Sumber Daya Manusia agar bermanfaat. Tugas Sang
9
Resi menuntut dan mengarahkan perjalanan masyarakat ke arah yang lebih baik dan sejahtera lahir batin. Dasa Prasanta, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia (human relationship) namun tidak dalam kondisi hubungan majikan-buruh yang kaku dan otoriter. Dalam proses komunikasinya menggunakan silih asih, silih asah, dan silih asuh. Berdasarkan SSK seseorang dapat dikatakan memiliki keahlian Dasa Prasanta apabila kualitas dirinya telah ‘mumpuni’. Dalam arti, seorang pemimpin harus ‘kharismatik’, ‘pamor ‘ atau ‘tuah’ yang terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak ciri kepemimpinannya.
Paparan
dasa
prasanta
merupakan
intisari
‘ilmu
memimpin/manajemen’, meskipun secara tersirat dikatakan bahwa seseorang baru bisa menjadi pemimpin apabila dalam pribadinya melekat karakter kepemimpinan yang disebut
pangimbuhning twah atau pelengkap untuk mempunyai
tuah/kharisma/pamor). Ada dua belas unsur pangimbuhning twah yang harus menjadi penanda karakter seorang pemimpin. Kedua belas pelengkap ini menitikberatkan kepada aspek-aspek karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin berupa karakter positif yang harus dipertahankan dan dikembangkan sebagaimana tertuang dalam naskah SSK (bandingkan Suryalaga 2009: 141), yang meliputi : a. Emét artinya ‘tidak konsumtif’. Seorang pemimpin yang terbiasa untuk tidak konsumtif, akan mampu mengendalikan keserakahannya. Pemimpin demikian akan terhindar dari perilaku korup yang tentu saja harus dihindari oleh seorang pemimpin. b. Imeut ‘teliti, cermat’. Jika seorang pemimpin ceroboh dan kurang teliti terhadap pekerjaannya, maka banyak waktu yang terbuang untuk memperbaiki
kekeliruannya
karena
ketidakcermatan
yang
telah
diperbuatnya. c. Rajeun
‘rajin’. Selama hidupnya tetap berkarya, pemimpin yang
demikian mampu memanfaatkan durasi usianya dengan pekerjaan yang
10
ditekuninya, bagi pemimpin seperti ini tidak ada hari yang terbuang secara percuma. d. Leukeun ‘tekun’. Ketekunan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Ketekunan selalu berkaitan erat dengan kesabaran. e. Paka Pradana ‘berani tampil/berbusana sopan, beretika’. Seorang pemimpin yang tanpa berbekal etika dalam pergaulan, perasaan simpati dan empati pun akan menghilang secara perlahan. f. Morogol-rogol ‘bersemangat, beretos kerja tinggi’. Keinginannya untuk berkarya dengan kualitas unggul dan terbaik, akan mendorong kemampuan ruhaniah yang memompa talenta positif seorang pemimpin untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata. g. Purusa ning sa
‘berjiwa pahlawan, jujur, berani’. Kreasi dan inovasi
serta pembaharuan yang berkualitas prima hanya terlahir dari pemimpin yang berjiwa pahlawan. Para pembaharu yang berani menantang kemandegan pemikiran manusia. Kejujuran diibaratkan jarum kompas penunjuk arah yang benar. h. Widagda
‘bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa’.
Kesombongan rasio yang kadang-kadang sangat mendominasi pemikiran manusia perlu diimbangi dengan rasa sejati kemanusiaan. i. Gapitan merupakan
‘berani berkorban untuk keyakinan dirinya’. Keyakinan satu-satunya cara untuk mencapai visi hidup seorang
pemimpin. j. Karawaléya ‘dermawan’. Hidup adalah kebersamaan dengan orang lain. Kesalehan sosial sangat diperlukan dari seorang pemimpin. k. Cangcingan ‘terampil, cekatan’. Hanya pemimpin yang cekatan yang mampu memanfaatkan kesempatan yang ada karena kesempatan tidak datang dua kali. l. Langsitan ‘rapekan’ , segala bisa, multi talenta dan pro aktif. Pemimpin yang pro aktif lah yang berkesempatan meraih sukses.
11
Selain karakter baik, ada juga empat karakter yang negatif yang tidak boleh dimiliki serta harus dijauhi oleh seorang pemimpin jika ingin berkharisma. Keempat karakter negatif tersebut dikenal dalam SSK sebagai ‘opat paharaman’ atau empat hal yang diharamkan, yakni: 1. Babarian
‘mudah tersinggung’. Pemimpin yang demikian berpikiran
sempit, arogan, cepat marah, dan selalu ingin menang sendiri serta mudah dipengaruhi orang lain. 2. Pundungan ‘mudah merajuk’, pemimpin yang demikian akan kehilangan kesempatan dalam segala hal. Karena tidak bisa bekerja sama. 3. Humandeuar ‘berkeluh kesah’, pemimpin yang berperangai demikian akan kehilangan etos kerja, tidak disenangi dan tidak bisa bekerja sama. 4. Kukulutus
‘menggerutu’, Pemimpin yang demikian menandakan
berkarakter rendah, karena selalu berfikir negatif, tidak bertanggungjawab. Pemimpin seperti ini memiliki sifat ‘munafik’.
Naskah SSK
selain mengupas sifat
baik dan
buruk
seorang
pemimpin, juga tertuang watak manusia yang membuat kerusakan di dunia yang disebut
Catur Buta,
yaitu empat watak manusia yang berkarakter raksara
perusak kehidupan, yakni: a. Burangkak, dikenal sebagai mahluk maha gila yang sangat mengerikan, tidak ramah, sering membentak. Burangkak berkelakuan kasar, berhati panas, tidak tahu tatakrama dan sering melanggar aturan. Merasa derajatnya lebih tinggi dari orang lain. b. Mariris,
orang yang menjijikan lebih dari bangkai binatang yang
membusuk; manusia yang suka mengambil hak orang lain, korup, menipu, berdusta. c. Maréndé,
dalam SSK
adalah sebangsa raksasa bermuka api. Pada
awalnya rakyat menduga bahwa pemimpin tersebut berwatak dingin menyejukkan, mampu membawa masyarakat hidup damai dan tentram,
12
namun setelah menjadi pemimpin ternyata malah membawa panas dan menimbulkan bencana di masyarakat. d. Wirang, dalam SSK
ditampilkan sebagai binatang yang menakutkan,
yaitu orang yang tidak mau jujur, tidak mau mengakui kesalahan dirinya, tidak mau berterus terang, serta selalu menyalahkan orang lain.
2.2.3
Konsep
Parigeuing
dalam
Naskah
Fragment
Carita
Parahiyangan Masalah kepemimpinan juga terungkap dalam naskah Fragmént Carita Parahiyangan (FCP). Konsep kepemimpinan yang tersirat dalam FCP, adalah bahwa Trarusbawa sebagai prebu 'pemimpin roda pemerintahan pusat’' membawahi beberapa penguasa wilayah yang diangkat atas kesepakatan bersama dengan pihak rama 'tokoh masyarakat wakil rakyat' dan pihak’ resi 'penentu kebijakan hukum'.
Sistem pembagian kekuasaan
seperti itu dikenal dengan
sebutan Tri Tangtu di buana 'tiga unsur penentu kehidupan di dunia', terdiri atas prebu, rama dan resi. Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif yang saat ini dipegang oleh pemerintah) yang harus ngagurat batu 'berwatak teguh'. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat lemah 'berwatak menentukan hal yang mesti dipijak'. Resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum agama dan darigama 'negara' (yudikatif atau saat ini dipegang oleh Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai 'berwatak menyejukkan dalam peradilan'.
13
2.2.4 Konsep Parigeuing Masa Kini Konsep
kepemimpinan
yang
tersirat
dalam
naskah
Sanghyang
Siksakandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Carita Parahiyangan, juga Sanghyang Hayu, maupun naskah lainnya seperti Amanat Galunggung, dan Carita Ratu Pakuan, setidaknya harus mampu berperan sebagai leader (adanya kesepahaman dalam satu pikiran, satu perkataan, dan satu perbuatan dengan benar), manajer (memiliki kemampuan dalam hal manajerial), entertainer (ada kaitannya dengan masalah human relations. Seorang pemimpin harus dapat membina hubungan baik dengan sesama manusia secara horizontal dengan pimpinan manapun, di samping dapat membina hubungan baik dengan bawahannya serta dengan lingkungan sekitarnya), entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan. Seorang pemimpin memerlukan jiwa marketing, kejuangan yang tinggi serta keuletan yang tahan banting agar kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik tak tersisihkan), commander (mampu menjadi pendorong (maker) atau pemberi motivasi bagi bawahannya), designer (mampu berperan sebagai perancang di berbagai bidang bagi kemajuan yang dipimpinnya), father (bertindak kebapakan, layaknya seorang ayah terhadap anak-anaknya dengan penuh kasih), servicer (harus mampu menjadi pelayan yang baik, karena pada dasarnya seorang pemimpin adalah seorang ‘pelayan’ yang bertanggung jawab kepada masyarakatnya),
dan teacher (mampu menjadi guru, pendidik, dan
pengajar yang baik serta menjadi ‘tauladan’ bagi masyarakat/bawahannya). Kesembilan kriteria tersebut selayaknya harus mampu diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin, yang akhirnya menuju kepada pemimpin ideal yang mampu bertindak sebagai master, yakni seorang “tokoh” yang dicintai, dikagumi, dan disegani masyarakatnya, serta mampu mensejahterakan orang banyak (bandingkan, Charliyan, 2009). Pada zaman bihari sebagaimana terungkap dalam naskah-naskah buhun lewat fakta filologis, fakta arkeologis, fakta sosial, maupun fakta mental dan fakta
sastra,
adalah
seorang
figur
14
pemimpin
ideal
yang
sudah
ngarajaresi/legendaris (istilah penulis, diartikan sudah mumpuni & sudah marén/léngsér dari keprabuannya, dan digelari Siliwangi (Silih Wangi) ‘raja yang harum namanya’, karena raja sebagai master telah mampu memberdayakan serta menyejahterakan orang banyak). Masalah kepemimpinan, berkelindan erat dengan unsur silih asih, silih asah, dan silih asuh, yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Silih asih, silih asah, dan silih asuh, selayaknya diejawantahkan oleh seorang pemimpin sebagai master dalam kepemimpinannya sebagaimana yang dilakukan oleh raja Sunda yang bergelar “Prabu Siliwangi”, raja yang legendaris, dicintai serta dicintai masyarakatnya, karena mereka telah berhasil memberdayakan serta menyejahterakan rakyatnya.
3. Penutup Konsep kepemimpinan yang terungkap dalam Naskah Sunda Buhun abad XVI Masehi, berkelindan erat dengan ‘Pemimpin sebagai master’, yakni pemimpin yang sudah ngarajaresi/legendaris’ yang mampu berperan sebagai leader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer, teacher, serta
father,
servicer,
yang menurut SSKK adalah pemimpin yang dalam
kepemimpinannya memiliki sifat Dasa prasanta, yaitu sepuluh penenang atau cara memberi perintah yang baik agar yang diperintah atau bawahan merasa senang serta pemimpin yang dalam pribadinya sudah melekat karakter kepemimpinan yang disebut mempunyai
pangimbuhning twah atau pelengkap untuk
tuah/kharisma/pamor.
Di
samping
itu,
pemimpin
sebagai
tokoh/master yang melegenda, adalah pemimpin yang menjauhi empat karakter yang negatif agar kepemimpinannya berkharisma, yang dikenal dengan sebutan ‘opat paharaman’ atau empat hal yang diharamkan. Pemimpin sebagai ‘master’ pun, harus menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia yang disebut Catur Buta. Sementara itu, berdasar naskah Sanghyang Hayu, seorang
15
pemimpin legendaris, adalah pemimpin yang menjiwai ‘tiga rahasia’ yang terdiri dari lima bagian, yakni lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri seorang pemimpin. Figur seorang pemimpin legendaris harus berpegang teguh kepada prinsip astaguna ‘delapan kearifan’, sehingga kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis. Pemimpin sebagai master sebagaimana terungkap dalam naskah-naskah Sunda buhun abad XVI Masehi, lewat fakta filologis, fakta arkeologis, fakta sosial, maupun fakta mental dan fakta sastra, adalah seorang figur pemimpin ideal yang sudah ngarajaresi/legendaris (istilah penulis, diartikan sudah mumpuni & sudah marén/léngsér dari keprabuannya, dan digelari Siliwangi (Silih Wangi)
‘raja
yang
harum
namanya’,
karena
raja
sebagai
‘tokoh/master/melegenda’ telah mampu memberdayakan serta menyejahterakan orang banyak).
ACUAN: Atja & Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakanda ng Karesian (Naskah Sunda Kuno. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseumam Jawa Barat. Charliyan, Anton. 2009. Pemimpin Sebagai Master. Garut: Polwil Priangan. Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Sundanologi Darsa, Undang A. 1998. Sanghyang Hayu. Naskah Jawa Kuno di Sunda. Bandung: Program Pascasarjana Unpad (Tesis) Darsa, Undang A. 2011. “Apa dan Siapa”. Bandung: Pikiran Rakyat. Darsa, Undang A. 2011. “Serpihan Warta Terpendam”. Bandung: Pikiran Rakyat. Darsa, Undang A. 2011. “Prebu-Rama- Resi”. Bandung: Pikiran Rakyat. Ekadjati, Edi Suhardi. 2007. Nu Maranggung Dina Sajarah Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-raja Jawa. Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Rosidi, Ajip. 2011.“Prabu Siliwangi: Sejarah atau Mitos”. Bandung:Pikiran Rakyat.
16
Sujamto. 2000. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara Prize. Suryalaga, Hidayat RH. 2009. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Yayasan Nur Hidayat Suryani NS, Elis. 1990. Wawacan Panji Wulung: Sebuah Kajian Filologis. (Tesis). Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Suryani NS, Elis, dkk. 2006. Kamus Bahasa dan Seni Budaya Sunda Buhun Abad 11 sd 20 Masehi. (Laporan Penelitian). Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Suryani NS, Elis. 2006. “Filologi”. (Diktat Penunjang Materi Perkuliahan Pengantar Filologi, Sejarah Perkembangan, Sejarah Naskah, Metode Penelitian, dan Seminar Filologi). Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Suryani NS, Elis. 2007. Mengenal Aksara, Naskah, dan Prasasti. Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya. Suryani NS, Elis. 2008. Merumat Warisan Karuhun Orang Sunda yang Terpendam dalam Naskah dan Prasasti. Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya. Suryani NS., Elis. 2009 Kearifan Lokal Budaya Sunda yang Tercermin dalam Naskah dan Prasasti. Bandung. Suryani NS, Elis & Anton Charliyan.. 2010. Menguak Tabir Kampung Naga. Bandung: CV Dananjaya. Suryani NS, Elis. 2010. Kearifan Budaya Sunda. Tasikmalaya: Dinas Pariwisata Budaya Kota Tasikmalaya & Kabupaten Ciamis Suryani NS, Elis. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Ghalia Indonesia. Suryani NS, Elis. 2011. Calakan Aksara, Basa, Sastra, katut Budaya Sunda. Bogor: Ghalia Indonesia. Thoha, Miftah. 2009. Kepemimpinan Dalam Manajemen.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
17