e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015)
KONSEP AKUNTABILITAS KEUANGAN DALAM ORGANISASI KEAGAMAAN (Studi Kasus pada Gereja Kerasulan Baru di Indonesia, Distrik Jawa Timur dan Bali) 1
1
Komang Gede Suriani Suan Dewi, Ananta Wikrama Tungga Atmadja, 2 I Made Pradana Adiputra
Jurusan Akuntansi Pogram S1 Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia.
E-mail :{
[email protected],
[email protected],
[email protected]} @undiksha.ac.id Abstrak Gereja merupakan organisasi keagamaan yang bersifat “sui generis” yaitu tidak sama dengan organisasi lainnya sehingga Gereja memiliki konsep pengelolaan keuangan yang berbeda dari organisasi pada umumnya. Hal ini terjadi pada Gereja Kerasulan Baru Indonesia yang mampu mewujudkan akuntabilitas dengan konsep yang dilandasi oleh unsur teologis dan filosofi Gereja. Meskipun pengelolaan keuangan bersifat sentralistik dengan akuntabilitas yang bersifat terbatas pada beberapa pihak saja, namun pengelolaan keuangan di Gereja ini berjalan dengan baik. Untuk memahami konsep akuntabilitas keuangan yang diterapkan GKBI, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui : 1) Proses pengelolaan keuangan di Gereja Kerasulan Baru Distrik Jawa Timur dan Bali, dan 2) Sejauh mana proses pengelolaan keuangan di Gereja Kerasulan Baru Distrik Jawa Timur dan Bali dapat menjamin terselenggaranya pengelolaan keuangan yang akuntabel. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang menekankan pada pemahaman mendalam dari peneliti terhadap sebuah kasus. Analisis data dilakukan melalui tiga tahapan, antara lain : 1) Reduksi Data, 2) Penyajian Data, dan 3) Menarik Kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) Proses pengelolaan keuangan dilakukan oleh perwakilan masing-masing Gereja, yaitu pemangku jawatan, dan pertanggungjawaban keuangan disampaikan kepada Kantor Cabang Yogyakarta lalu Kantor Pusat Bandung. 2) Akuntabilitas keuangan dalam pengelolaan keuangan terlaksana dengan baik, karna konsep pengelolaan keuangan GKBI berbasis teologi dan melibatkan tenaga profesional. Kata Kunci : Konsep, akuntabilitas, gereja, akuntansi, teologi. Abstract Church is a religious organization that has a “sui generis” nature, that is, is not the same as other organizations that it has a different concept of financial management from other organizations in general. This is the case with Gereja Kerasulan Baru Indonesia that is capable of realizing accountability with the concept that is based on theological element and church philosophy. Although the financial management is centralistic with accountability limited to some parties only, the financial management in the church runs well. To understand the concept of financial management applied in GKBI, this study was conducted to find out 1) the financial management process in Gereja Kerasulan Baru in
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015) East Java and Bali district and 2) to what extent is the process of financial management accountable. This study was done using qualitative method that stressed on the in-depth understanding of a case. The data analysis was done through three stages: 1) data reduction, 20 data display, and 3) conclusion drawing. The study showed that 1) the process of financial management is done by the representative of each church, that is, person in charge, and financial accountability is communicated to branch offices in Yogyakarta and then to central office in Bandung. 2) financial accountability in financial management is done well, since the concept of financial manangement of GKBI is based on theology and involves professional people. Keywords: concept, accountability, church, accounting, theology
PENDAHULUAN Akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan organisasi merupakan hal yang paling dituntut oleh para stakeholder. Akuntabilitas adalah salah satu unsur dari pelaksanaan Good Governance yang harus dicermati oleh setiap organisasi agar dipercaya stakeholder. Organisasi Gereja merupakan salah satu bentuk organisasi nirlaba dalam bidang keagamaan yang mewujudkan akuntabilitas keuangannya melalui laporan dan pelaporan keuangan (PSAK No. 45 tahun 2011). Hasil penelitian Saerang (2001) menyatakan bahwa akuntabilitas dalam organisasi Gereja meliputi aspek spiritual, sosial, dan keuangan oleh para anggota jemaat dan pimpinan gereja lewat perilaku mereka setiap hari. Aspek spiritual dan sosial memberikan perbedaan tersendiri terhadap konsep akuntabilitas Gereja sebagai organisasi keagamaan yang sarat akan unsur teologis. Penelitian akuntansi Gereja telah banyak dilakukan karna organisasi gereja berkembang dengan pesat serta memiliki pengelolaan keuangan yang berbeda-beda. Gereja Kerasulan Baru adalah sebuah Gereja Protestan Internasional yang memiliki anggota sidang 10.002269 jiwa (data per 1 Januari 2013) tersebar di 181 negara di seluruh dunia (www.nak.org). Gereja Kerasulan Baru memiliki sistem keuangan sendiri. Gereja tidak memungut pajak atau iuran dari para anggotanya. Sumber kekayaan Gereja diperoleh secara sah dari persembahan dan bantuan sukarela serta bantuan pihak lain tanpa ikatan apapun (Anggaran Rumah Tangga GKBI, 2012:25). Tidak ada pemeriksaan dan pelaporan resmi kepada sidang jemaat, apakah seseorang membuat sumbangan atau tidak. Namun setiap
anggota memiliki kesadaran sendiri dan dasar yang jelas untuk memberikan sepersepuluh penghasilannya ke dalam Gereja, seperti yang ditunjukkan dalam Alkitab bagian Maleakhi 3 : 10 “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkanberkat kepadamu sampai berkelimpahan”. Jemaat percaya bahwa dengan memberikan persepuluhan dari penghasilan mereka ke peti kurban Gereja, mereka telah melakukan apa yang Allah perintahkan. Uang yang dimasukkan oleh jemaat ke dalam peti kurban disebut dengan kurban perpuluhan. Setiap akhir kebaktian, peti kurban di buka untuk kemudian uang kurban perpuluhan yang terkumpul diambil, dihitung, dicatat oleh pendeta yang berwenang. Tidak ada pengumuman siapa saja yang berkurban, berapa nominal yang terkumpul, dan bagaimana pengelolaannya dalam sidang jemaat. Tuntutan akan akuntabilitas yang memadai untuk organisasi non laba khususnya Gereja bukanlah hal yang mudah sebab menurut Susabda (1997:1) ada pemimpin Gereja yang sudah merasa cukup bertanggung jawab dengan hanya melaksanakan dan memimpin tugas rohani di gerejanya seperti berkhotbah, memimpin pelayanan persekutuan doa, dan sebagainya. Sehingga mayoritas dalam kehidupan iman anggota sidang jemaat terdoktrin secara pribadi bahwa pertanggungjawaban secara lisan atau tulisan untuk keuangan gereja
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015) menunjukkan ketidakikhlasan jemaat dalam memberikan uang kurban mereka. Terlepas dari akuntabilitas Gereja Kerasulan Baru yang bersifat terbatas, pada kenyataannya jumlah Gereja yang terbagi ke banyak distrik di setiap wilayah negara membuat sistem pengelolaan keuangan yang masih sentralistik namun hampir tidak pernah terjadi penyalahgunaan dana yang terkuak ke publik menjadi hal yang sangat menarik untuk diungkap bagaimana praktik dan konsep akuntabilitas keuangan dalam Gereja ini, dan bagaimana sidang jemaat mempercayai sepenuhnya pengelolaan keuangan yang bahkan mereka sendiripun tidak terlibat di dalamnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji dan dijawab dalam penelitian ini, antara lain : 1) Bagaimana proses pengelolaan keuangan di Gereja Kerasulan Baru Distrik Jawa Timur dan Bali, 2) Bagaimana proses pengelolaan keuangan di Gereja Kerasulan Baru Distrik Jawa Timur dan Bali dapat menjamin terselenggaranya pengelolaan keuangan yang akuntabel. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Analisis penelitian dilakukan dengan metode Studi Kasus. Dalam penelitian ini, data dikumupulkan dari sumber primer yaitu data yang didapatkan langsung dari informan di lapangan, serta sumber sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, tulisan/artikel. Informan kunci dalam penelitian ini ditunjuk secara purposive. Penunjukan ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa sejauh mana mereka memahami masalah yang dikaji sebagaimana yang dirumuskan dalam masalah penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik In-depth interview, Observasi dan Studi Dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini sejalan dengan teknik analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) dalam Sugiyono (2009: 92-99), yaitu: 1) Reduksi data (data reduction), 2) Penyajian Data (data display), dan 3) Menarik Kesimpulan (verifikasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Organisasi Gereja Kerasulan Baru di Indonesia Organisasi GKBI terbagi menjadi dua, yaitu organisasi dan organismus. Hal ini sesuai dengan Anggaran Rumah Tangga Gereja Kerasulan Baru Indonesia pasal 7 tentang Hubungan Gereja dengan Gereja Kerasulan Baru Internasional yang berbunyi: “Gereja sebagai organisasi adalah lembaga sosial keagamaan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan perundangundangan secara organisatoris gereja dikelola oleh orang-orang Indonesia. Dengan demikian, hubungan gereja dengan Gereja Kerasulan Baru Internasional sebatas hubungan organismus. Pengertian hubungan organismus tidak dimaksudkan untuk mengesampingkan asistensi Gereja Kerasulan Baru Internasional kepada gereja dalam berbagai bentuk baik material maupun non-material”. Penerapan gereja sebagai organisasi berkenaan dengan peran anggota gereja sebagai unsur penunjang administratif seluruh kegiatan gereja dalam hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat. Penerapan gereja sebagai organismus berkenaan dengan peran pemangku jawatan di bawah kepemimpinan Rasul Kepala dalam perawatan jiwa bagi seluruh anggota gereja di seluruh dunia. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, Distrik Jawa Timur dan Bali tidak memiliki struktur organisasi, karna GKBI Distrik Jawa Timur dan Bali merupakan bagian dari organisasi GKBI secara nasional. Proses Pengelolaan Keuangan pada Gereja Kerasulan Baru Indonesia Distrik Jawa Timur dan Bali. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, pengelolaan keuangan GKBI terbagi menjadi dua, yaitu pengelolaan uang persembahan/kurban dan dana sosial. Berdasarkan hasil observasi, persembahan adalah uang yang di masukkan ke dalam
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015) peti persembahan/kurban gereja. Setiap kebaktian, anggota sidang jemaat atau tamu akan memasukkan uang ke dalam peti yang letaknya berdekatan dengan pintu masuk ruang gereja. Uang yang dimasukkan oleh anggota sidang jemaat ke dalam peti persembahan/kurban dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perpuluhan dan kurban, sebagaimana ditegaskan oleh Priester Sukanada selaku Pemangku Jawatan Sidang Sambangan. ”Yang namanya perpuluhan itu dari penghasilan, misal gaji sebulan Rp. 1.000.000,itu mestinya dipersembahkan sepersepuluhnya yaitu Rp. 100.000,-. Kemudian di luar perpuluhan itu namanya kurban”. Sementara konsep kedua adalah kurban, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pemangku jawatan, kurban merupakan konsep persembahan sidang jemaat dengan usaha yang lebih banyak daripada perpuluhan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Evangelist Musadi sebagai penghantar Sidang Sambangan. “….Di dalam gereja kita diajarkan untuk berkurban itu bukan hanya kurban perpuluhan karna digambarkan secara teologis perpuluhan itu adalah milik Allah yang memang harus diserahkan dengan keikhlasan karna itu adalah milik Allah dan hak Allah, yang lain selain perpuluhan adalah kurban, disebut kurban karna seakan-akan kita memang memberikan dengan usaha yang lebih”. Uang dalam peti persembahan/kurban akan di catat dalam Oasys. Oasys adalah sebuah sistem yang dipergunakan seluruh Gereja Kerasulan Baru di 181 negara untuk mengumpulkan data statistik gereja yang penting seperti : (1) Uang kurban per sidang jemaat; (2) Jumlah kehadiran per sidang jemaat; (3) Para pemangku jawatan yang melaksanakan kebaktian-kebaktian; (4) Informasi anggota per orang; dan (5) Daftar bangunan gereja secara terperinci (Presentasi Laporan Uang Kurban GKBI, Juni 2009). Sampai saat ini, pengisian Oasys masih dilakukan secara manual.
Gereja Menyetor seluruh uang persembahan/kurban ke Kantor Pusat GKBI di Bandung. Untuk membiayai kebutuhannya, masing-masing Gereja akan mengajukan Rencana Anggaran dan Belanja kepada Kantor Pusat melalui tahapan berikut ini. 1. Tahap penyusunan Penyusunan anggaran dilakukan oleh penghantar sidang bersama dengan pemangku jawatan yang lain. Kantor pusat telah memberikan nomor akun yang hendaknya digunakan oleh seluruh sidang jemaat dalam penyusunan RAB-nya. 2. Tahap persetujuan Pihak-pihak yang memberikan persetujuan untuk RAB yang telah disusun di masingmasing sidang adalah penghantar distrik, yaitu Evangelist Distrik Setiardjo. Setelah dikaji di tingkat distrik, selanjutnya dikirim ke kantor pusat bagian keuangan untuk dikaji ulang. Apabila terdapat hal-hal yang tidak tepat dalam susunan RAB, maka akan dikembalikan ke sidang terkait. 3. Tahap pelaksanaan dan pengendalian Pelaksanaan dan pengendalian RAB dilaksanakan setelah RAB disetujui. Berdasarkan hasil wawancara, pelaksanaan realisasi anggaran diawali dengan pencairan dana dari Kantor Cabang Yogyakarta kepada masing-masing sidang tiap awal bulan. 4. Tahap pelaporan keuangan Setiap akhir bulan, penghantar sidang akan mengirim seluruh bukti transaksi terkait realisasi anggaran dan laporan realisasi anggaran selama bulan tersebut kepada Kantor Cabang Yogyakarta untuk di verifikasi. Laporan realisasi yang telah diverifikasi akan disampaikan Kantor Cabang kepada Kantor Pusat Bandung. Kantor Pusat Bandung memverifikasi kembali lalu memasukkan data-data dalam laporan tersebut ke laporan GKBI untuk kemudian di audit oleh auditor independen. Hasil audit akan disampaikan kembali oleh Kantor Pusat melalui Badan Pengurus Gereja kepada Penghantar Distrik dalam Rapat Para Wakil. 5. Tahap pemeriksaan Pada tahap pemeriksaan, dilakukan sepenuhnya oleh Kantor Cabang dan Kantor Pusat. Beberapa pernyataan dari informan menyatakan bahwa
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015) tanggungjawab mereka terkait RAB hanya sampai pada tahap pelaporan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa sumber kekayaan dan keuangan gereja yang sah selain uang persembahan menurut Anggaran Rumah Tangga GKBI Pasal 21 tentang Harta Kekayaan dan Keuangan Gereja adalah bantuan sukarela serta bantuan pihak lain tanpa ikatan apapun. Meskipun jumlah uang persembahan dan kurban sangat besar, namun penggunaannya dibatasi sesuai dengan fungsi penggunaannya. Data hasil wawancara dan observasi menyatakan bahwa fungsi dasar uang persembahan/kurban dalam GKBI adalah untuk pembangunan dan operasional gereja, serta mendukung misi pelayanan gereja. Sidang jemaat yang memiliki banyak kegiatan non-liturgi tidak dapat mengajukan pembiayaan kegiatan tersebut dalam anggarannya, sesuai dengan pernyataan dari Evangelist Distrik Setiardjo berikut ini. “Kalau itu untuk kepentingan sendiri silakan sidang usahakan sendiri jangan menggerogoti uang kurban, uang kurban jangan di utik-utik sing (digunakan) untuk kegiatan macammacam”. Untuk membiayai kegiatan non-liturgi yang dirancang berbeda oleh masingmasing sidang maka sidang jemaat memiliki kas sidang yang dalam hal ini disebut dengan dana sosial. Dana sosial inilah yang terbentuk berdasarkan aliran dana dari pihak ketiga atau anggota sidang jemaat secara sukarela. Keberadaan dana sosial ini menjadi kewenangan dan tanggungjawab sidang jemaat. Pengelolaan dana sosial di tiga sidang yaitu Sidang Sambangan, Denpasar, dan Malang masih menerapkan sistem Akuntansi Kekeluargaan, dimana kepercayaan menjadi dasar utama pengelolaan keuangan. Sementara, Sidang Surabaya sebagai Sidang Jemaat terbesar di wilayah Distrik Jawa Timur dan Bali mengelola dana sosialnya secara terstruktur. Sidang ini memiliki stuktur pengurus yang jelas dan Anggaran Dasar.
Penjamin Proses Pengelolaan Keuangan yang Akuntabel pada Gereja Kerasulan Baru di Indonesia Distrik Jawa Timur dan Bali. Gereja Kerasulan Baru sebagai sebuah organisasi keagamaan termasuk ke dalam kelompok organisasi nir-laba. Menurut PSAK No. 45 organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun. Berdasarkan PSAK No. 45 tersebut maka sumber daya Gereja berupa uang persembahan/kurban dan sumbangan dalam bentuk dana sosial berasal dari anggota gereja dan pihak ketiga. Sehingga, jika dikaitkan dengan teori keagenan, pihak agen adalah gereja sedangkan prinsipalnya adalah anggota sidang jemaat dan pihak ketiga. Prinsipal inilah yang kemudian membutuhkan suatu jaminan bahwa apa yang mereka percayakan kepada pihak agen telah dikelola sesuai dengan kebutuhan serta kepentingan mereka. Proses pengelolaan keuangan dalam Gereja Kerasulan Baru Distrik Jawa Timur dan Bali dibagi menjadi dua, yaitu proses pengelolaan keuangan untuk uang persembahan/kurban yang berasal dari anggota sidang jemaat dan proses pengelolaan keuangan dana sosial yang berasal dari anggota sidang jemaat serta pihak ketiga. Proses pengelolaan uang persembahan/kurban Gereja Kerasulan Baru menggunakan sistem sentralistik, masing-masing gereja di tempat yang berbeda tidak memiliki kewenangan untuk mengelola uang persembahan/kurban gerejanya. Proses pengelolaan keuangan yang sentralistik dilakukan untuk mengurangi keterlibatan pihak prinsipal dalam pengelolaan keuangan gereja. Sebaliknya, pihak agen yang dalam hal ini organisasi gereja melandasi praktik akuntabilitas keuangan gereja dengan landasan teologis/spiritual untuk membangun suatu konsep akuntabilitas yang sarat akan nilai Alkitab, sehingga dapat menumbuhkan dan memelihara kepercayaan anggota sidang jemaat kepada pengelola keuangan gereja. Akuntansi yang sarat akan nilai Alkitab, kontradiktif dengan pernyataan “Akuntansi adalah bagian ilmu dan praktik keduniawian
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015) yang terpisah dari kehidupan, nilai keagamaan atau spiritual, (Laughlin, 1993). Janets Silvia (2011:19) menyatakan bahwa Gereja adalah “sui generis” yaitu tidak sama dengan organisasi lain, dan juga dapat disebut sebagai “sui iuris” yaitu yang mempunyai hukumnya sendiri, maka Gereja Kerasulan Baru dengan sifat “sui generis” tersebut memiliki sistem pengelolaan keuangan yang berbeda dari organisasi pada umumnya. Evangelist Distrik Setiardjo menyampaikan pernyataan terkait kekhususan sistem pengelolaan keuangan GKBI secara keseluruhan. “Prinsip dalam sistem pengelolaan keuangannya tidak jiplak manapun tidak minta contoh manapun inilah Kerasulan. yang dikelola dari Pusat dari Swiss”. Gereja Kerasulan Baru yang secara organismus dipimpin langsung oleh Rasul Kepala memiliki pusat pengelolaan secara internasional di Jerman. Salah satu hal mendasar yang diatur langsung dari pusat internasional adalah penggunaan Oasys dalam sistem pencatatan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan masingmasing gereja. Sistem pengelolaan keuangan yang dimiliki oleh entitas keagamaan seperti Gereja Kerasulan Baru, menjelaskan bahwa entitas keagamaan mendasari praktik pengelolaan keuangan mereka dengan sistem yang dilandasi oleh spiritual dan teori praktik pengelolaan keuangan pada umumnya yang disesuaikan kembali dengan konsep spiritual yang ada. Ketiadaan sistem pengelolaan keuangan dalam praktik pengelolaan keuangan entitas keagamaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Dahnil Anzar (2011:6) dalam jurnalnya yang berjudul “Akuntabilitas Masjid Simanjuntak” tidak terjadi di dalam GKBI. Keberadaan sistem yang jelas dalam pengelolaan keuangan GKBI menjadi salah satu pendukung terwujudnya tata kelola yang baik (Good Governance) dalam Gereja. Pelaksanaan Good Governance adalah jaminan keberadaan akuntabilitas dalam pengelolaan suatu organisasi, mengingat bahwa salah satu unsur pelaksanaan Good Governance menurut United Nation
Development Program (dalam Mardiasmo, 2005:17) adalah akuntabilitas. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pihak agen kepada pihak prinsipal. Pertanggungjawaban ini dapat diwujudkan melalui banyak hal. Selanjutnya, hal-hal pembentuk keberadaan pertanggungjawaban / akuntabilitas menjadi semacam jaminan bagi pihak prinsipal untuk mempercayai keberadaan akuntabilitas itu sendiri. Hal-hal pembentuk akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan GKBI Distrik Jawa Timur dan Bali berasal dari sistem pengelolaan uang persembahan/kurban dan dana sosial. Sistem pengelolaan uang persembahan/kurban dilaksanakan melalui pengajuan Rencana Anggaran dan Belanja yang dibuat oleh masing-masing sidang jemaat. Dalam penyusunan anggaran, sidang jemaat tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri pos-pos anggaran dalam Rencana Anggaran dan Belanjanya. Pos anggaran sudah ditentukan oleh Kantor Pusat Bandung. Kebijakan ini mencegah persaingan antar gereja di setiap daerah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Evangelist Musadi ketika ditanya mengenai terbatasnya pemberian wewenang pengelolaan keuangan kepada masing-masing gereja. “Ya, itu bisa saja terjadi. Di sisi lain kalau kita bicara tentang denominasi lain, yang melakukan otonomi, bagi saya sendiri sebetulnya mereka berat karna mereka harus membiayai gerejanya sendiri seperti gaji pendeta, transportasi, dan lain-lain kalau dipikir-pikir dalam sebulan mungkin 10 jutaan. Kita sebetulnya dimudahkan karena kita hanya sebagai anggota GKBI untuk datang ke gereja hanya berbakti saja dan tidak memikirkan ini dan itu”. Pernyataan di atas juga menjelaskan bahwa kebijakan Kantor Pusat Bandung dalam penyusunan RAB Gereja, mendorong terciptanya subsidi silang antar Gereja, sehingga Gereja dengan uang persembahan/kurban yang kecil tidak perlu khawatir dengan pembiayaan kebutuhan Gereja mereka, karna sudah disubsidi oleh Gereja yang lain. Subsidi silang antar Gereja menciptakan suatu keadilan atau
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015) Equity dalam penggunaan uang kurban. Equity merupakan salah satu unsur pelaksanaan Good Governance dimana masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesetaraan dan keadilan (Mardiasmo, 2005:17). Dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan Kantor Pusat Bandung dalam penyusunan anggaran GKBI secara tidak langsung menciptakan konsep value for money dalam penyusunan anggaran gereja. Value for money merupakan sebuah konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (Anantawikrama, 2013:5). Elemen ekonomi (spending less) terkait dengan sejauh mana organisasi dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Subsidi silang antar gereja menjadi salah satu motivasi bagi setiap gereja untuk selalu berhemat dalam penggunaan sumber daya gereja terutama uang, sebagaimana yang ditegaskan oleh Evangelist Musadi berikut ini. “Karena kita memang berusaha untuk tidak menggunakan uang kurban dengan sembarangan kalau bisa itu dihemat, karna kita mengetahui kebutuhan gereja dilain tempat juga sangat banyak, sehingga dengan berhemat kita bisa membantu gereja yang lain”. Meskipun berhemat, tingkat efisiensi dan efektivitas pelaksanaan anggaran tidak diabaikan. Penentuan skala prioritas melalui pos-pos anggaran yang telah ditetapkan mendukung pelaksanaan anggaran yang efisien dan efektif. Efisien terwujud ketika pencapaian output mencapai batas maksimum dengan input tertentu. Efektif terwujud apabila output yang sudah dihasilkan mampu memenuhi tujuan yang ditetapkan. Adanya sebuah sistem yang kemudian menghasilkan output berupa laporan-laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan semakin mendukung tingkat kepercayaan pemangku jawatan kepada pengelolaan keuangan GKBI.
Sistem pengelolaan keuangan yang kedua adalah sistem pengelolaan dana sosial. Berbeda dengan pengelolaan uang persembahan / kurban, alur pertanggungjawaban dana sosial lebih pendek karna hanya dalam cakupan wilayah sidang jemaat itu sendiri. Sistem perwakilan dalam pengelolaan dana sosial dilakukan untuk mencegah timbulnya konflik sosial dan pemikiran sidang jemaat yang didominasi oleh uang yang dalam hal ini bersifat duniawi, sebagaimana dipertegas oleh Evangelist Musadi yang menyatakan…”karena alkitab juga menyebutkan bahwa uang adalah kejahatan”. Pengelolaan keuangan dana sosial cenderung dilakukan secara kekeluargaan yang kemudian dapat disebut sebagai Akuntansi Kekeluargaan (Ayu Komang, 2013:80). Kepercayaan antar pihak menjadi dasar utama dalam mendukung pelaksanaan akuntabilitas pengelolaan dana sosial. Kepercayaan ini semakin diperkuat dengan keterlibatan pemangku jawatan sebagai perwakilan mereka dalam pengelolaan dana sosial. Pemangku jawatan dianggap sebagai rohaniawan yang kejujurannya dijamin oleh tingkat keimanan mereka yang lebih baik daripada yang bukan rohaniawan. Landasan Teologis Sebagai Pembentuk Konsep Akuntabilitas Keuangan GKBI Distrik Jawa Timur dan Bali. Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan keuangan GKBI adalah para rohaniawan dengan pemahaman spiritualitas yang tinggi, oleh karena itu konsep akuntabilitas gereja sebagai entitas keagamaan akan dipengaruhi oleh pemahaman spiritualitas para rohaniawan tersebut. Koppell (2005) pada artikel Akuntabilitas Birokrasi Publik mengajukan lima unsur yang harus diterapkan sebuah organisasi dalam mewujudkan akuntabilitas yaitu transparansi, liabilitas, kontrol, responsibilitas, dan responsivitas. Transparansi adalah nilai utama dari akuntabilitas, karna transparansi adalah wujud dari keterbukaan agen kepada prinsipalnya. Di dalam Gereja Kerasulan Baru, transparansi keuangan dilakukan dengan konsep yang berbeda. Jika organisasi pada umumnya mewujudkan
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015) transparansi kepada semua pihak prinsipal, GKBI justru menerapkan konsep transparansi yang terbatas pada pihakpihak prinsipal tertentu saja. Misalnya, anggota sidang jemaat tidak diperbolehkan untuk mengetahui jumlah uang persembahan/kurban, sebab tertulis di dalam alkitab bagian Matius 6:3-4 sebagai berikut : “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu”. Ayat tersebut menghimbau agar setiap pemberian sesuatu baik itu kepada Allah dalam bentuk persembahan/kurban ataupun kepada manusia sebaiknya tidak diketahui orang lain. Hal ini kemudian diterapkan dalam penggunaan peti dalam pengumpulan persembahan/kurban jemaat. Tidak ada orang yang mengetahui siapa saja yang sudah memasukkan uang ke dalam peti dan berapa nominal yang dimasukkan. Selanjutnya gereja juga tidak mengijinkan pengumuman laporan uang persembahan atau kurban kepada sidang jemaat. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam sebuah kutipan wawancara, sidang jemaat yang ingin mengetahui mengenai pengelolaan keuangan gereja tetap memiliki akses yang luas untuk mengetahui informasi keuangan. Liabilitas merupakan konsepsi mengenai kesediaan individu atau organisasi untuk menerima pemberian reward dan punishment untuk setiap tindakan yang mereka lakukan. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, konsep liabilitas tidak pernah terjadi dalam proses pengelolaan keuangan GKBI. Seluruh kinerja yang dilakukan oleh agen menjadi tanggungjawab agen tersebut kepada Tuhan, bukan kepada sidang jemaat sebagai pihak prinsipal. Oleh karena itu, dalam hal ini, pihak prinsipal bukan hanya sidang jemaat, melainkan Tuhan. Ayat Alkitab dalam Lukas 16:2 “Berikanlah pertanggungjawaban atas urusanmu” menegaskan bahwa reward dan punishment tersebut berasal dari pihak
yang meminta pertanggungjawaban, yaitu Tuhan. Di dalam GKBI, kontrol terbagi menjadi dua, yaitu kontrol antar manusia dan kontrol dari Tuhan. Kontrol antar manusia diwujudkan melalui alur pertanggungjawaban keuangan yang berlaku dalam sistem pengelolaan keuangan GKBI. Penghantar sidang dikontrol oleh Penghantar Distrik yang kemudian dikontrol kembali oleh Kantor Cabang sebagai kepanjangan tangan Kantor Pusat. Sistem pencatatan keuangan gereja dalam Oasys menjadi penunjang pelaksanaan kontrol antar manusia ini. Responsibilitas memiliki pengertian yang lebih luas daripada akuntabilitas. Akuntabilitas dapat dilihat sebagai salah satu elemen konsep responsibilitas (Anantawikrama, dkk, 2013:13). Akuntabilitas dalam entitas keagamaan sangat dipengaruhi oleh konsep akuntabilitas yang disampaikan oleh Yulianita (2008) bahwa akuntabilitas secara intern disebut sebagai akuntabilitas spiritual karena merupakan pertanggungjawaban seseorang kepada Tuhannya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Priester Sukanada terkait pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan keuangan GKBI berikut ini. “…..uang itu yang sudah kita persembahkan djamin oleh setiap orang yang terlibat didalamnya baik yang menghitung maupun pengiriman dan pemakaiannya itu senantiasa ada rasa tanggung jawab yang melebihi tanggung jawab tertulis yaitu tanggung jawab kepada Allah, itu melebihi tanggung jawab yang tertulis”. Akuntabilitas belum cukup untuk mewujudkan responsibilitas, karna perwujudan responsibilitas disertai juga dengan kemampuan dan kesediaan pihak agen untuk dinilai pertanggungjawabannya oleh pihak lain, selain prinsipal. Sebagaimana yang dinyatakan Koppel (2005) dalam artikelnya, responsibilitas harus menggunakan keahlian yang dibatasi oleh standar profesional dan moral. Mengacu pada hal tersebut, maka responsibilitas di dalam GKBI diawali dengan pelibatan pihak-pihak yang
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015) berkompeten di luar rohaniawan dalam mengelola keuagan gereja sebagaiaman yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga Gereja Pasal 9 tentang BadanBadan Gereja tertulis bahwa “Anggota Badan Pengurus Gereja terdiri dari Rasul, Uskup, dan unsur anggota Gereja sesuai dengan keahlian dan kebutuhan”. Melalui pasal ini dan beberapa kutipan wawancara, jelas terlihat bahwa sumber daya manusia yang mengelola keuangan gereja memiliki profesionalitas sesuai dengan kebutuhan gereja, sehingga mampu menghasilkan pertanggungjawaban yang dapat dinilai oleh pihak lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Kantor Pusat Internasional dalam audit tahunan yang rutin dilakukan oleh GKBI. Unsur yang terakhir adalah Responsivitas, yang berkaitan dengan kemampuan pihak agen memenuhi kebutuhan dan kepentingan prinsipal. Kebutuhan sidang jemaat dalam GKBI dipenuhi melalui pengajuan anggaran, proposal, dan dana social. SIMPULAN DAN SARAN Proses pengelolaan keuangan Gereja Kerasulan Baru Distrik Jawa Timur dan Bali dilakukan oleh pemangku jawatan masingmasing Gereja. Uang yang diperoleh dari sidang jemaat akan dicatat dalam Oasys. Hasil pencatatan ini akan menjadi alat pertangungjawaban keuangan yang dimulai dari tingkat Gereja ke Penghantar Distrik, Penghantar Distrik kepada Kantor Cabang Yogyakarta, dan Kantor Cabang Yogyakarta kepada Kantor Pusat Bandung. Gereja membiayai kebutuhannya melalui pengajuan anggaran kepada Kantor Pusat Bandung, sementara biaya-biaya diluar dua akun anggaran yang telah ditentukan oleh Kantor Pusat Bandung, akan di cover melalui dana sosial yang pengelolaannya merupakan wewenang masing-masing Gereja. Proses pengelolaan keuangan GKBI dijamin oleh penerapan sistem akuntansi berbasis teologi dan pelibatan tenaga profesional dalam pengelolaan keuangan Gereja Pusat. Sistem pengelolaan keuangan terbagi menjadi dua, yaitu pengelolaan keuangan uang persembahan/kurban dan pengelolaan
keuangan dana sosial. Pengelolaan keuangan uang perembahan/kurban yang sentralistik memunculkan sistem subsidi silang yang mendorong terciptanya konsep value for money dalam penyusunan anggaran Gereja. Pengelolaan keuangan dana sosial dilakukan melalui penerapan Akuntansi Kekeluargaan yang berlandaskan trust agency sidang jemaat dan pihak ketiga. Konsep akuntabilitas pengelolaan keuangan Gereja Kerasulan Baru Distrik Jawa Timur dan Bali mencakup unsur transparansi, liabilitas, kontrol, responsibilitas, dan responsivitas. Pada akhirnya, norma spiritual, trust agency, dan Good governance menjadi tiga hal dasar yang menjamin pengelolaan keuangan GKBI yang akuntabel. Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai waktu yang terbatas untuk megggali informasi yang mendalam dengan para informan dan peneliti tidak memiliki akses untuk meneliti pengelolaan keuangan hingga Kantor Pusat di Bandung. Sehingga diharapkan agar selanjutnya keterbatasan ini dapat diatasi dengan cara menambah rentang waktu penelitian dan memperluas wilayah penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Atmadja, Ananta Wikrama Tungga, dkk. 2013. Akuntansi Manajemen Sektor Publik. Singaraja : Undiksha. Isnugroho, Edy. 2012. Anggaran Rumah Tangga GKBI 2012. Bandung : GKBI. Jonathan, Koppel. 2005. Pathologies Of Accountabilty ICANN and the Challenge of “Multiple Accountability Disorder”, Public Administration Review, January/February 2005, Vol. 65 No. 1. Laughlin, R. 1988. Accounting in its social context: an analysis of the accounting systems ofthe Church of England. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 1 No. 2,pp. 19-42.
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Volume 3 No 1 Tahun 2015)
LAN dan BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta : Penerbit LAN. Lembaga Alkitab Indonesia. 2006. Alkitab Deutrokanonika, Jakarta. Lestari, Ayu Komang Dewi. 2014. Membedah Akuntabilitas Praktik Pengelolaan Keuangan Desa Pakraman Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali (Sebuah Studi Interpretif pada Organisasi Publik NonPemerintahan). Skripsi Akuntansi yang tidak diterbitkan. Bali : Universitas Pendidikan Ganesha. PSAK No. 45 Tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba. 1998. Jakarta : Ikatan Akuntan Indonesia. Saerang,D.P.E, (2001) Accountability and Accounting in a Religious Organization: An Interpretive Ethnographic Study The Pentacostal Church Of Indonesia . Dissertation. Walonggong University. Silvia, Janets. 2011. Akuntabilitas dalam Perspektif Gereja Protestan (Studi Fenomenologis pada Gereja Protestan Indonesia Donggala Jemaat Manunggal Palu). Simposium Nasional Akuntansi Aceh 2011. Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. Susabda. 1997. Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama Dalam Administrasi Gereja. Malang : Gandum Mas.