Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
Halaman 69 - 77
KONFLIK LAHAN PEGARAMAN DI KECAMATAN GAPURA KABUPATEN SUMENEP TAHUN 1975-1985 (SALT LAND CONFLICT IN THE GAPURA SUBDISTRICT, SUMENEP REGENCY, 1975-1985) Novi Aristin Yulinda, Bambang Samsu Badriyanto, Parwata Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember Jl, Kalimantan 37, Jember 68121 Email :
[email protected] ABSTRACT This article investigates salt land conflict in the Gapura subdistrict, Sumenep regency, Madura. It applied a historical method, consisting of four major working procedures: source materials collection, external and internal criticisms, interpretation, dan historiography. The argument is built on the basis of conflict theory developed by Marx deviding society into two broad classes, the capitalists and the workers and also a theory by Coser categorizing conflict into two categories, reality conflict and non-reality conflict. The former category arises from upset feeling coming from their unfulfilled demands and jealousy to those who gain benefits. The latter category arise from the needs to reduce tensions. The salt farmers were dissatisfied by the PT Garam, which was regarded as taking over the salt lands inherited from their ancestors. They protested against the take over and this conflict remains unresolved until today. Keywords: conflict, salt lands, PT Garam, salt farmers, Sumenep ABSTRAK Tulisan ini membahas konflik antara petani garam dengan PT Garam yang terjadi di Kecamatan Gapura di Kabupaten Sumenep, Madura. Metode yang dipakai di sini adalah metode sejarah, yang meliputi empat tahap utama, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tulisan ini menggunakan teori konflik yang dicetuskan oleh Karl Marx yaitu tentang kelas-kelas sosial, dimana dalam masyarakat terdapat dua kelas yaitu kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin (proletar). Menurut Lewis A Coser, konflik dibagi menjadi dua, yaitu konflik realitas yang berasal dari rasa kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan dan merasa para pertisipan yang mendapat keuntungan, kedua konflik non realitas bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan. Para petani garam merasa kecewa kepada pemerintah atau dalam hal ini PT Garam, yang telah mengambil lahan garam yang dianggap warisan dari leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka melancarkan aksi protes atas pengambilan hak tersebut. Konflik lahan garam tersebut masih belum terselesaikan. Kata Kunci: Konflik, Lahan Pegaraman, PT Garam, petani garam, Sumenep
1. Pendahuluan Garam, jagung, dan karapan sapi merupakan ciri khas masyarakat Madura. Sejak abad XIX Pulau Madura merupakan penghasil garam terbesar di Nusantara, dan muncul sebagai produsen garam satu-satunya. Produksi garam di Madura tersebar di beberapa daerah di Maura, salah satunya adalah Sumenep yang merupakan daerah penghasil garam terbesar di Madura. Terdapat enam kecamatan penghasil garam di Fakultas Sastra Universitas Jember
daerah Sumenep yakni, Kecamatan Kalianget yang memiliki areal lahan garam terluas milik PT Garam, Kecamatan Gapura, Kecamatan Pragaan, Kecamatan Saronggi, Kecamatan Gili Genting, dan Kecamatan Dungkek. Garam adalah komoditas utama bagi masyarakat Madura, maka tidak salah apabila Madura terkenal sebagai pulau garam. Produksi garam menjadi sumber mata pencaharian hidup 69
Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
yang vital bagi sebagian masyarakat, terutama penduduk yang bermukim di daerah pesisir Kabupaten Sumenep. Dalam konteks Pulau Madura secara keseluruhan, prodiksi garam hanya salah satu alternatif penghidupan selain pertanian. Tetapi bagi sebagian masyarakat Madura yang tinggal di pesisir yang kelangsungan hidupnya sangat terkait dengan aktifitas produksi garam, garam merupakan penyangga ekonomi rumah tangga. Pembuatan garam di Madura sudah berlangsung lama, sejak jaman kerajaan yang dipimpin oleh raja-raja lokal. Sejak jaman VOC raja-raja di Madura telah mempunyai cara tersendiri dalam mengeksploitasi garam. Dari sisi ekonomi pembuatan garam di pantai Madura membuka jalan bagi sirkulasi uang yang beredar di Madura. Pada akhir abad ke XIX, penjualan ladang garam sudah menjadi sesuatu yang lazim. Penjualan ladang garam hampir sama tingkatnya dengan pewarisan (Kuntowijoyo, 1985: 40) Dunia Pegaraman sampai saat ini sarat dengan konflik yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan secara tuntas, sehingga sangat potensial mencuat kepermukaan dalam bentuk gejala sosial. Potensi konflik sebenarnya mempunyai akar historis yang panjang sejak jaman kolonial, ketika pemerintah kolonial Belanda merampas hak-hak kepemilikan ladang garam rakyat. Perjanjian antara pemerintah kolonial dengan rakyat setempat yang diwakili oleh kepala desa pada tahun 1936, yang membuat penguasaan ladang garam rakyat kepada pemerintah kolonial berupa hak sewa dalam jangka waktu 50 tahun. Dengan perjanjian itu ladang garam itu dikuasai dan dijadikan ladang garam pemerintah. Ketika negara Indonesia merdeka semua ladang-ladang garam di Indonesia yang dikuasai pemerintah kolonial diambil-alih oleh pemerintah RI termasuk perusahaan garam di Sumenep. Pada awalnya pemerintahan RI meneruskan politik monopoli yang semula diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Ladang-ladang garam tersebut diambil alih oleh pemerintah RI yang kemudian diserahkan kepada perusahaan PT Garam dan statusnya berubah menjadi tanah negara tanpa sepengetahuan rakyat. Rakyat yang merasa hanya menyewakan lahannya bermaksud meminta kembali lahan tersebut ketika masa berlakunya Fakultas Sastra Universitas Jember
Halaman 69 - 77
kontrak sewa dipandang habis. Persoalan semakin rumit ketika pemerintah mencanangkan program renovasi atau modernisasi dalam pengelolaan garam. Pada tahun 1975 sesuai dengan keputusan PT Garam, dilakukan pembebasan tanah oleh PT Garam dalam rangka proyek modernisasi. Keputusan ini membuat petani garam menjadi terancam dan tertekan sehingga membuat mereka tidak mempunyai pilihan lain. Pemerintah juga melakukan intimidasi kepada petani garam yang melakukan protes dengan cara menuduh bahwa petani garam yang melakukan protes tersebut adalah kelompok penghambat pembangunan dan dituduh sebagai bekas anggota PKI. Pada sengketa lahan pegaraman di Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep memiliki historis yang cukup panjang. Selain karena faktor keyakinan masyarakat terhadap petuah dari para leluhurnya, faktor dari adanya proyek renovasi atau modernisasi yang telah membawa dampak besar terhadap sosial ekonomi petani garam. Pembebasan lahan garam rakyat yang dilakukan oleh PT Garam, telah merubah kedudukan petani garam, dimana pada awalnya petani garam adalah sebagai pemilik tanah kemudian berubah menjadi pekerja atau buruh. Perubahan status kepemilikan tanah pegaraman tersebut telah mempengaruhiterhadap perekonomian petani garam di Kecamtan Gapura. Berdasarkan Latar Belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian skripsi yang berjudul “ Konflik lahan Pegaraman di Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep Tahun 1975 – 1985. Meskipun konflik ini terjadi di bebearapa kecamatan di Sumenep, namun konflik di Kecamatan Gapura merupakan konflik yang berkepanjangan dan merupakan banyak desa-desa di Kecamatan gapura yang dibebasakan. 2. Metode Penelitian Metode penulisan yang dipakai adalah metode sejarah, yang menurut Louis Gottschalk yang merupakan langkah penting agar tercipta penulisan yang obyektif. Adapun tahap-tahapnya meliputi: 1. Heuristik adalah tahap awal dari proses penulisan sejarah atau proses dalam meletakkan pencarian sumber sejarah yang sesuai dengan topik yang akan dibahas dan kemudian 70
Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
mengumpulkannya baik dalam, bahan tercetak, tertulis dan lisan yang relevan. 2. Kritik terhadap data atau sumber, yang terdiri dari kritik ekternal dan kritik internal. Kritik ekternal untuk menentukan otentisitas sumber, sedangkan kritik internal digunakan untuk menguji kredibillitas sumber. 3. Interpretasi merupakan proses analisis dari data atau sumber sejarah yang telah didapat. Proses ini dapat disebut sebagai penafsiran data atau sumber sejarah. 4. Historiografi merupakan penyusunan sumber yang di anggap otentik dan telah melalui tiga tahap di atas. (Gottschalk, 1986: 32) Untuk mempertajam metode penelitian penulis menggunakan penelitian sejarah kritis, yaitu prosedur analistis yang ditempuh oleh sejarawan untuk menganalisis kesaksian yang ada, yaitu data sejarah sebagai bukti yang dapat dipercaya mengenai masa lampau manusia (Gottschalk, 1986: 18-19). 3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan catatan sejarah sejak tahun 1920 masyarakat wilayah pesisir pantai Kabupaten Sumenep telah membudidayakan lahannya sebagai ladang garam. Intervensi Pemerintah Hindia Belanda terhadap usaha pegaraman rakyat dimulai dengan ikut campurnya pemerintah Hindia Belanda yang dengan mendasarkan UndangUndang No. 25 tahun 1936 tentang Zout Monopoli telah melakukan tindakan pengambil alihan usaha pegaraman rakyat ini dengan cara perampasan dan pembakaran perkampungan petani garam (Artikel LBH Surabaya). Petani garam rakyat Kecamatan Gapura khususnya dan Kabupaten Sumenep umumnya secara turun temurun sejak jaman Belanda sampai sekarang sangat tergantung sumber nafkahnya kepada hasil pegaraman. Ladang garam merupakan satu-satunya sumber pendapatan tempat mereka menggantungkan kehidupannya. Disamping tidak memiliki keahlian lain, mereka sudah sangat menyatu dengan warisa dari nenek moyangnya. Sehingga dengan pengelolaan tanah garam yang sudah merupakan kebiasaan bagi mereka, dan tingkat kehidupan yang berkecukupan, namun setelah adanya pembebasan tanah, mereka telah kehilangan sumberdaya ekonomi yang berarti ancaman bagi kelangsungan Fakultas Sastra Universitas Jember
Halaman 69 - 77
hidup para petani garam. Seiring dengan berkembangnya Industri, khususnya industri kimia dasar di Indonesia, permintaan akan garam industri mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Kenaikan permintaan garam industri pada kenyataannya tidak dapat dipenuhi oleh PT Garam sebagai satu-satunya Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan garam di negara ini. Untuk itulah maka PT Garam melaksanakan kegiatan renovasi atau modernisasi pegaraman dengan melaksanakan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi sarana produksi yang dimilikinya. Dalam upaya menjamin keberhasilan usaha renovasai atau modernisasi pegaraman, Pemerintah Republik Indonesia atau PT Garam lebih tepatnya melaksanakan kerjasama dengan pemerintah Belanda yang bersedia memberikan bantuan sebesar U$ 18.124.000. Untuk melaksanakan proyek modernisasi Pemerintah Belanda menunjuk Akzo Zout Chemis Belanda (AZC) sebagai konsultan dalam proyek. Dalam pelaksanaan kegiatan modernisasi pegaraman, ternyata PT Garam tidak sepenuhnya melaksanakan saran dari AZC, khususnya dalam sistem ekstensifikasi lahannya, dimana pilihan PT Garam ternyata bukan melaksanakan upaya integralisasi pegaraman rakyat tetapi PT Garam melakukan pembebasan ladang garam milik rakyat. Pada tahun 1975-1976, ladang garam yang dikelolah petani garam tradisional dibebaskan dengan cara intimidasi dan tekanan terhadap petani garam. Hampir seluruh petani garam yang lahannya akan dibebasakan menolak dan merasa keberatan sebab ladang garam merupakan satusatunya sumber pendapatan sekaligus tempat mereka mencari nafkah. Pada tahun 1975, tanah pegaraman yang dibebaskan oleh PT Garam di Kabupaten Sumenep kurang lebih 1.184,92 ha, Kabupaten Pamekasan kurang lebih 2.466,49 ha, dan Kabupaten Sampang 1.239,33 ha. Pembebasan lahan garam yang dilakukan oleh PT Garam hampir seluruh lahan garam milik petani garam.Tanah pegaraman yang dibebaskan meliputi dua puluh satu desa dari empat kecamatan yaitu: Kecamatan Kota, Kecamatan Kalianget, Kecamatan Saronggi, dan Kecamatan Gapura. Dengan luas tanah keseluruhan kurang lebih 982 ha dari 700 KK sebagai petani pemilik 71
Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
tanah (Laporan Yayasan Al-jihad, 1999: 2). Terdapat dua pandangan sehubungan dengan proses pembebasan tanah pegaraman milik rakyat yang terkena proyek modernisasi, yaitu dari pihak PT Garam dan petani garam. Bagi PT Garam, proses itu dinilai telah melalui prosedur yang semestinya. Langkah pertama terlebih dahulu dilakukan pengajuan surat permohonan pembebasan tanah dari Dirjen Industri Kimia kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jatim dengan surat No. 793/DJ/1974 tahun 1974 seluas 4100 ha termasuk tanah pegaraman rakyat yang masih belum dikuasai oleh PT Garam. Tanah pegaraman rakyat itu harus tergabung dengan tanah pegaraman milik PT Garam paling lambat tahun 1976 setelah pengajuan surat tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan pertemuan antara Dirjen Industri Kimia, Gubernur Jawa Timur, Pembantu Gubernur untuk Madura, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sumenep dan Direksi PT Garam (LBH Surabaya). Pertemuan tersebut menghasilkan sejumlah keputusan tentang pembentukan sejumlah tim yang bekerja untuk pelaksanaan pembebasan tanah pegaraman rakyat. Menurut tim pembebasan tanah, harga dasar tanah pegaraman mempunyai beberapa klasifikasi dengan harga standar yang berbeda. Menurut petani garam mereka menolak dan merasa keberatan terhadap pembebasan tanah mereka. Sikap ini dilakukan oleh mereka yang hanya memiliki tanah satu-satunya sebagai sumber penghidupan. Sementara itu mereka juga merasa kecewa akibat tidak adanya transparansi, khususnya yang menyangkut wilayah Kecamatan Gapura. Pada tahun 1975-1976 tanah pegaraman yang dibebaskan di Kecamatan Gapura dengan luas tanah keseluruhan kurang lebih 639,6 ha dari 395 KK sebagai petani pemilik ladang pegaraman. Tanah tersebut tersebar di 12 desa dalam Kecamatan Gapura yaitu: Desa Poja 37,9 ha, Desa Braji 2,9 ha, Desa Karangbudi 101,5 ha, Desa Baban 108,2 ha, Desa Batudinding 84,3 ha, Desa Banjar Barat 95,9 ha, Desa Banjar Timur 95,4 ha, Desa Palo'loan 81,9 ha, Desa Gapura Barat 11,3 ha, Desa Gapura Tengah 5,9 ha, Desa Andulang 10,2 ha, dan Desa Mandala 3,7 ha. Proses pembebasan tanah diwarnai adanya tekanan yang bersifat fisik maupun mental terhadap orang-orang yang menolak pembebasan Fakultas Sastra Universitas Jember
Halaman 69 - 77
lahan pegaraman. Tekanan yang bersifat mental misalnya terjadi pada waktu penyuluhan yaitu tepatnya pada bulan April 1975. Teluk Gersik Putih dan Sungai Saroka akan ditutup. Surat PN Garam yang memuat ancaman secara tidak langsung mengendurkan sikap penolakan para petani terhadap pembebasan lahan. Petani garam terpaksa menerima ganti rugi mengingat apabila rencana tersebut dilaksanakan maka lahan para petani akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan air laut sehingga tidak dapat melakukan proses pembuatan garam. Selain itu, ada ancaman bagi mereka yang tidak mau menerima pembebasan dianggap sebagai penentang pembangunan dan tergolong PKI. Tekanan fisik yang dilakukan PT Garam yaitu adanya penahanan terhadap para petani garam yang telah menolak adanya pembebasan lahan. Untuk melunakkan sikap para petani garam yang merupakan pemilik tanah pegaraman maka Direktur Finek PN Garam menerbitkan surat No.1222 tertanggal 29 Oktober 1975 yang lahir atas kesepakatan bersama petani garam pemilik tanah dan PT Garam yang merupakan salah satu syarat terlaksananya pembebasan tanah pegaraman. Tetapi PT Garam melakukan rekayasa dengan menerbitkan surat No. 370 tertanggal 10 Mei 1976 dengan maksud untuk mencabut secara sepihak surat No. 1222. Pada kenyataannya surat tersebut tidak pernah beredar dan baru diterima oleh Camat Gapura tanggal 31 Januari 1984. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah PT Garam dalam merampas hak garam rakyat (Yayasan Petani Garam Al Jihad, 1999). Penolakan pembebasan lahan yang dilakukan oleh para petani garam, dikarenakan adanya perbedaan pandangan dari kedua belah pihak, tentang besarnya ganti rugi tanah yang dibebaskan. Menurut para petani garam, uang ganti rugi ditentukan secara sepihak tanpa melakukan musyawarah dengan para pemilik tanah. Hal ini dianggap melanggar hak para petani garam, karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 tahun 1975. Adapun harga tanah sebagai berikut: tanah produktif seharga Rp. 100-120 /meter persegi, tanah setengah produktif seharga Rp. 40-80 /meter persegi, dan tanah tidak produktif seharga Rp. 20 /meter persegi. Pada tahun 1985 sekitar bulan Mei beberapa 72
Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
Halaman 69 - 77
karyawan PT Garam dengan bantuan aparat 1) Tanah- tanah tersebut merupakan tanah yang setempat merampas dan mengusir para petani secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat garam rakyat yang sedang bekerja di ladangnya sebagai warisan keluarga. dan diganti dengan para pekerja dari PT Garam 2) Hubungan masyarakat dengan tanah tidak sendiri, dengan pengelolaan tetap secara semata-mata bermakna ekonomi tapi tradisional. Sejak tanah dirampas dan dikuasai merupakan bagian dari sosial budaya oleh PT Garam maka rakyat petani garam telah masyarakat yang ditandai dengan adanya menempuh jalan birokrasi bersama-sama LBH nama-nama: tanah bilah pora, tanah kaet, Surabaya dan Jakarta untuk membantu petani tanah lentean, tanah rangghun, tanah garam merebut kembali tanahnya menjadi hak ambeng-ambeng, tanah paser pote, tanah lekmereka tetapi sampai saat ini para petani garam kolek, tanah sebenges, tanah padeng-padeng tidak mendapatkan tanggapan penyelesaian yang tanah bun-rabun, tanah ajir, tanah kajuh layak dan adil. Bagi rakyat petani garam yang ojen, tanah ternis, dan lain-lain. Hal tersebut tanahnya belum dibebaskan pada tahun 1975-1976 sesuai dengan keinginan pemerintah yang karena pembebasan proyek modernisasi habis, bertujuan untuk mensejahterakan rakyat maka pada tahun 1988 pembebasan dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 dalam bentuk ruislag (membeli tanah dan ongkos Undang-Undang no. 5 tahun 1960. penggarapan sebesar Rp. 1.700.000 /ha), hal ini 3) Tanah rakyat tersebut dibebaskan oleh dianggap tidak adil bagi rakyat petani garam. Pemerintah Zaman Penjajah yang nota bene Pada tanggal 10 April 1985 pematokan lahan bangsa Belanda bukan bangsa Indonesia. yang dibebaskan oleh PT Garam mulai dilakukan 4) Sejarah pembebasan tanah diakibatkan adanya dan selesai pada tanggal 20 Mei 1985. pematokan Kebijakan Zout Monopoli (Monopoli garam, ini dilakukan dalam rangka penyertifikatan tanah tahun 1904) yang berakibat pada dilarangnya yang sudah berhasil dibebaskan. Akan tetapi rakyat biasa memproduksi garam di tanah pematokan yang dilakukan oleh PT Garam, mereka sendiri. mendapat tentangan dari petani garam rakyat. 5) Tanah tanah rakyat (di Kecamatan Gapura) Berbagai gugatan mulai bermunculan terhadap dibebaskan dengan cara pemaksaan desertai pematokan tersebut, terutama yang berasal dari intimidasi dan penipuan secara hukum pada para penduduk yang tanahnya terkena proyek masyarakat yang tidak mengerti hukum (pada modernisasi atau lebih tepatnya renovasi. saat itu beberapa orang dinyatakan hilang, Beberapa orang yang mengadakan tuntutan pada ditangkap, ditahan, dan ada yang dibuang di umumnya menyatakan bahwa mereka tidak Digul dan tidak pernah kembali). merasa menjual tanah miliknya. Selain itu, para 6) Perjanjian sewa tanah oleh Pemerintah Hindia petani garam mengkritik bahwa pelaksanaan Belanda selama 50 tahun kepada masyarakat pembebasan tanah dilakukan melalui tekananyang diwakili oleh Bupati Sumenep pada tekanan dan harga tanah ditentukan secara sepihak tanggal 7 Agustus 1936. Berdasarkan tanpa melalui musyawarah. perjanjian tersebut tanah itu justru Persoalan status hak atas tanah yang masih disertifikatkan oleh PT. Garam (Persero) belum baku dan jelas kriterianya telah melaui Surat Keputusan Gubernur Daerah menimbulkan banyak konflik di dunia pegaraman. Tingkat I Jawa Timur 1987. Belum adanya acuan mengenai pengertian dan Radikalisasi petani garam di Kecamatan pembuktian status penguasaan tanah terutama Gapura Kabupaten Sumenep merupakan tanah-tanah dengan hak adat yang dibebaskan fenomena perlawanan atau protes yang muncul secara sepihak oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam masyarakat pedesaan. Menurut Sartono terus menghantui pikiran rakyat untuk tetap kartodirjo, protes petani pedesaan Jawa tipologi memperjuangkan tanah tersebut yang merupakan gerakannya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, hak waris dari leluhurnya bisa dikembalikan yaitu pertama, gerakan protes menentang kepada pemilik yang sah. Adapun beberapa alasan pemaksaan baik dari tuan tanah maupun yang mendasari tuntutan rakyat yaitu: pemerintah; kedua, gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru yang serba adil; dan Fakultas Sastra Universitas Jember
73
Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
ketiga, gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan atau kesentausaan masa lampau atau revivalisme. Protes yang dilakukan oleh petani garam di Kecamatan Gapura merupakan gerakan protes petani garam dalam menentang pengalihan hak atas tanah yang dilakukan oleh pihak PT. Garam (Sartono Kartodirjo, 1973: 1-10). Pada tahun 1985-1987 aksi protes petani garam semakin mencuat. Aksi protes yang dilakukan oleh para petani garam dikarenakan adanya sertifikat hak pakai yang dikeluarkan oleh PT Garam yang dalam proses pengajuannya tidak transparan. Rakyat yang merasa tertipu oleh PT Garam, menolak keputusan dari PT Garam tentang penyertifikatan hak pakai tersebut. Para petani garam beranggapan penyertifikatan yang dilakukan oleh PT Garam adalah sebuah langkah untuk menguasai lahan pegaraman rakyat. Dalam tahun yang sama merupakan batas akhir dari perjanjian antara Kalebun Palebunan dan Bupati Sumenep dengan Belanda, yang seharusnya lahan pegaraman yang dikuasai oleh PT Garam dikembalikan kepada petani garam selaku hak waris dari nenek moyang mereka (Laporan tahunan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, 1999). Setelah mengetahui banyak kejanggalan dan bukti-bukti akurat yang menunjukkan bahwa tanah tersebut memang benar-benar milik rakyat (ahli waris), maka masyarakat secara serentak di seluruh Madura (Pamekasan, Sampang dan Sumenep) sepakat untuk menuntut tanah tersebut kembali. Akan tetapi selama memperjuangkan haknya petani garam tidak mendapatkan kepastian yang jelas dari Pemerintah dan DPR, maka rakyat Sumenep melakukan reclaiming. Gerakan reclaiming terhadap tanah pegaraman di Kecamatan Gapura adalah suatu gerakan petani garam untuk mengambil kembali hak tanah rakyat yang dirampas oleh penguasa kolonial Belanda pada tahun 1936-1937. Reclaiming yang dilakukan oleh petani garam adalah suatu upaya petani garam untuk membangun usaha pegaraman yang kini justru dikelola oleh PT Garam dimana tata niaganya rusak, harga garam terpuruk akibat permainan PT Garam dengan pihak importir garam luar negeri, utang membengkak dan petani garam semakin terseok-seok karena harus menanggung beban bayang-bayang hutang PT Garam yang Fakultas Sastra Universitas Jember
Halaman 69 - 77
dibebankan kepada Negara. Langkah petani garam pada dasarnya selain memperjuangkan kembalinya hak tanah sekaligus membangun usaha pegaraman masa depan bukan merusak seperti yang dilakukan oleh PT Garam. (Wijardjo, Boedi dan Herlambang Perdana, 2001: 20) Radikalisasi petani yang di antaranya berwujud penjarahan dan reclaim atas tanah-tanah yang dianggap milik moyang mereka yang dijarah penguasa atau konglomerat, sebenarnya adalah bentuk refleksi ketidakpuasan kepada strategi pembangunan yang tidak membawa perbaikan apa pun kepada mereka. Dalam situasi ketidakmelekan hukum, para petani melakukan tindak kekerasan yang pada akhirnya justru membuat situasi semakin tidak menentu. Pemerintah pun kehilangan kemampuan untuk mengendalikan situasi, kalau tidak dapat dikatakan governmentless. Gerakan perlawanan petani biasanya terjadi pada konteks di mana basis legitimasi kekuasaan politik negara mulai ada tanda-tanda penurunan. Karena itu, gerakan perlawanan petani acapkali menjadi bagian tahapan persiapan menuju transisi keera baru. Fenomena perlawanan petani kemudian menjadi marak di mana-mana. Sesuai dengan teori tentang perubahan sosial, gerakan perlawanan petani yang sesungguhnya sudah ada sejak munculnya ketidakadilan terhadap petani yang dilakukan negara maupun kapital, atau keduanya secara bersama-sama. Pilihan petani atas format protes, mereka melakukan pengaduan ke LBH, DPR, Mendagri dan Komnas HAM. Hal ini dapat diartikan sebagai aktualisasi pertimbangan rasional dalam preferensi tindakan mereka, juga dapat dilihat sebagai pilihan di luar determinan otoritas moral tercetusnya aksi radikal. Sebab, serendah apapun tawaran ganti rugi (dari pemerintah dan swasta) petani masih memiliki alternatif bertahan subsistensi dari pada ancaman kehilangan sama sekali sebagaimana terjadi pada kasus Jenggawah (karena lahirnya HGU PTP XXVII). Dengan demikian, ganti rugi atas kehilangan tanah adalah faktor yang memperluas toleransi subsistensi untuk tercetusnya protes, atau kalau protes itu harus dilakukan pilihan formatnya lebih moderat. Semakin besar nilai ganti rugi, toleransi subsistensi atas protes akan semakin melebar.
74
Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
Perjuangan petani garam dan tokohtokohnya tidak pernah ada habisnya, segala cara mereka lakukan demi kembalinya lahan yang merupakan hak mereka. Salah satunya adalah adanya pengaduan yang dilakukan oleh perwakilan petani garam dan H. Ahmad Zaiti selaku tokoh penggerak, mereka mengadu ke DPRD Sumenep (diterima langsung oleh KH. Busro Karim selaku ketua DPRD Sumenep), mereka mengadu tentang adanya pengerusakan lahan garam yang dilakukan oleh PT Garam. Ketua DPRD Sumenep menyepakati akan memberi tindak lanjut kepada PT Garam, namun kesepakatan yang terjadi antara perwakilan petani garam dan H. Ahmad Zaiti bersama ketua DPRD Sumenep yang dijanjikan oleh ketua DPRD tidak pernah terlaksana. Para petani garam hanya mendapatkan janji-janji dari pemerintah. (Surabaya Pos, 11 Januari 2001) Kegiatan pembebasan ladang garam pada kenyataannya telah menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi kependudukan diwilayah Kecamatan Gapura, hal ini berkaitan dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi dari para petani garam kepada ladang garamnya. Pembebasan ladang garam yang berarti pemutusan dan hilangnya sumber pendapatan satu-satunya para petani garam menimbulkan pengangguran yang sangat besar di Kecamatan Gapura karena jumlah tenaga kerja produktif yang terserap dalam aktifitas pegaraman rakyat mencapai jumlah 2400 orang. Banyaknya pengangguran tersebut tentunya akan membawa pengaruh yang sangat besar kepada tingkat keamanan dan ketertiban serta kesejahteraan penduduk. Selain itu dengan adanya pembebasan lahan garam memaksa para petani garam untuk melakukan kegiatan migrasi kedaerah penghasil garam lainnya seperti: Gersik, Pasuruan dan Surabaya. Migrasi tersebut tentunya akan membawa dampak negatif terhadap kehidupan para petani garam, karena ikut sertanya anak-anak mereka dalam migrasi akan sangat merugikan bagi kehidupan pendidikan dan masa depan mereka. Banyak anak-anak petani garam yang putus sekolah dan ikut bekerja dengan orang tuanya. Kegiatan migrasi yang dilakukan oleh para petani garam juga membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan sosial buadaya masyarakatnya yakni rusaknya dan hilangnya norma-norma sosial Fakultas Sastra Universitas Jember
Halaman 69 - 77
budaya yang menyertai kehidupan petani garam rakyat, termasuk didalamnya upacara-upacara adat khas petani garam, misalnya upacara Nyader. Hilangnya suatu budaya masyarakat berarti hilangnya masyarakat yang bersangkutan, yang berarti pula hilangnya suatu khasanah budaya kekayaan bangsa (Laporan tahunan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya) 4. Kesimpulan Terkait dengan upaya pemerintah dalam memberantas penyakit gondok secara endemik dan beberapa penyakit yang timbul akibat kekurangan yodium, maka pemerintah merencanakan adanya proyek modernisasi atau renovasi di lahan pegaraman. Proyek modernisasi atau renovasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kwantitas produksi garam, baik garam untuk keperluan produksi maupun untuk konsumsi. Dalam upaya melaksanakan dan menjamin keberhasilan usaha proyek modrenisasi PT Garam mencoba bekerjasama dengan beberapa Negara yaitu menjalin kerjasama dengan Investor Prancis, namun kerjasama yang dilakukan mengalami kegagalan dikarenakan luas ladang garam yang dimiliki PT Garam tidak sesuai dan dianggap tidak layak. Setelah mengalami kegagalan PT Garam mencoba menjalin kerjasama dengan Pemerintah Belanda. PT Garam berhasil menjalin kerjasama dengan Pemerintah Belanda yang bersedia menanamkan modalnya sebesar USD 18.124.000. Untuk melaksanakan modernisasi pegaraman Pemerintah Belanda menunjuk Akzo Zout Chemis (AZC) sebagai konsultan dalam proyek ini. Berbagai cara dilakukan oleh Akzo Zout Chemis, namun pada kenyataannya proyek modernisasi tersebut tidak pernah terwujud. Lebih parah lagi, PT Garam melakukan pembebasan tanah pegaraman rakyat sebagai salah satu terwujudnya proyek modernisasi. Sebagai konsekuensi dari proyek modernisasi yang melibatkan pegaraman, maka tanah pegaraman rakyat harus dibebaskan. Pada tahun 1975 sesuai dengan keputusan surat PT Garam No. 1222 tertanggal 29 Okteber 1975 dilakukan pembebasan tanah ladang garam yang dikelolah oleh para petani garam tradisonal. Tanah pegaraman yang dibebaskan meliputi dua puluh satu desa dari empat Kecamatan, yaitu Kecamatan 75
Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
Kota, Kecamatan Kalianget, Kecamatan Saronggi, dan Kecamatan Gapura. Pembebasan tanah pegaraman yang dilakukan oleh PT Garam dilakukan dengan cara intimidasi, teror, pemaksaan dan kekerasan, bahkan masyarakat yang menolak pembebasan tanah pegaraman dituduh sebagai golongan PKI. PT Garam juga melakukan penekanan mental (psikis) dan tekanan fisik. Represi mental ditandai dengan adanya isu penutupan Gresek Putih dan Sungai Sarokka, hal ini diperkuat dengan surat keputusan PT Garam No. 30 tanggal 18 Januari 1976. Tekanan fisik ditandai dengan adanya penahanan terhadap para petani garam rakyat. Tekanan dan ancaman-ancaman yang dilakukan oleh PT Garam telah mengendorkan sikap penolakan petani garam dan membawa dampak yang besar bagi perekonomian para petani garam dan bagi ladang-ladang garam rakyat. Pada tahun 1985 tepatnya bulan Mei, beberapa karyawan PT Garam dibantu dengan aparat keamanan mengusir para petani garam rakyat yang sedang bekerja di ladangnya. Perlakukan beberapa karyawan PT Garam dan para aparat yang muncul dalam tindakan kekerasan yang menyudutkan rakyat menimbulkan aksi yang reponsif terhadap petani garam. Aksi sebagai bentuk perlawanan itu bermotif untuk mempertahankan diri antara lain tercermin dalam bentuk penolakan terhadap proyek modernisasi atau renovasi dan pembebasan tanah pegaraman yang dilakukan oleh PT Garam. Aksi yang dilakukan oleh para petani garam yaitu berupa demo dan orasi sebagai bentuk perlawanan kepada PT Garam. Pada tahun yang sama, sekitar tahun 1985, Bupati Daerah Tingkat II Kabupaten Sumenep mengeluarkan surat keputusan yang bernomer 700/1245/47422/1985 yang menyatakan agar para petani garam memperoleh uang ganti rugi untuk mengosongkan lahannya. Selain itu, pada tahun 1986, PT Garam juga melakukan pematokan atau penyertifikatan tanah di ladang-ladang garam milik rakyat. Ganti rugi yang tidak sesuai dan ditambah dengan adanya penyertifikatan tanpa sepengetahuan para petani garam rakyat, maka membuat rakyat merasa terbodohi dan menimbulkan kemarahan para petani garam rakyat. Aksi-aksi yang sempat redah mulai kembali memanas, para petani garam mulai Fakultas Sastra Universitas Jember
Halaman 69 - 77
kembali turun di jalan untuk melakukan aksi menuntut pengembalian tanah mereka. Berbagai upaya dilakukan oleh para petani garam rakyat di antaramya mengirim laporan ke Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, mengadukan permohonan bantuan hukum ke LBH Surabaya, menjadikan permasalahan ke Menteri dalam Negeri dan Dirjen Agraria, dan melakukan pertemuan dengan Gubernur Kepala Daerah Tingakat I Jawa Timur. Namun uapaya-upaya tersebut tidak memperoleh jalan keluar atas permasalahan ladang pegaraman, bahkan para petani garam memperoleh rasa kekecewaan. Setelah menempuh perjalanan panjang dalam menyelesaikan kasusnya, maka para petani garam rakyat melakukan aksi pengaduan masal permasalahan ladang garam ke DPR Pusat di Jakarta. Aksi tekat para petani garam rakyat untuk mendatangi Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia di Jakarta pada kenyataannya telah menyadarkan semua pihak bahwa permasalahan garam Sumenep masih belum selesai. Gejolak sosial yang terjadi di Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep walaupun bersifat lokal, namun akhirnya mancuat menjadi kasus nasional bahkan internasional. Hal tersebut tak lepas dari peran kelas menengah yang turut membantu dalam proses penyelesaian gejolak-gejolak sosial. Daftar Pustaka Buku dan Surat Kabar Abdullah, Taufik. Di Sekitar Pencarian dan Penggunaan Sumber. Jakarta: Lembaran Berita Sejarah Lisan, 1982. Abdulrachman. Sejarah Madura Selayang Pandang. Sumenep: The Sun, 1971. Budiono. “Tradisi Nyader Bagi Masyarakat Pinggirpapas di Madura”, dalam Soegianto (ed), Kepercayaan, Magi, dan Tradisi Dalam Masyarakat Madura. Jember: Tapal Kuda, 2003. De Jonge, H. (ed.). Agama, Kebuudayaan, dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali, 1989.
76
Volume 2 (1) Maret 2014
PUBLIKA budaya
De Jonge, H. (ed.) Madura Dalam Empat zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta: Gramedia, 1989. Divisi Tanah dan Lingkungan YLBHI. Perampasan Tanah dan Sumber Daya Alami Milik Rakyat. Jakarta: Buletin Petani, 1999. Fauzi, Noer (ed.). Tanah dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah (terj). Nugroho Notosusanto. Jakarta: YPUI, 1975. Hajarini. Nur dkk. Kerusuhan Sosial Di Madura Kasus Waduk Nipah dan Ladang Garam. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional, 2005. Haraerah, Abu dan Purwanto. Dinamika Kelompok (Konsep dan Aplikasi). Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Landsberger, Henry A. dan Y.U.G Alexandrov. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV. Rajawali. Pelzer, Karl J. 1990. Sengekta Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Sinar Harapan. Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1984a.
Halaman 69 - 77
Parwata. Monopoli Garam Di Madura. Jember: Visart Global Media, 2010. Samsu, Bambang. Tanah, Rumah, dan Leluhur di Madura Timur Jember. Makalah seminar hasil penelitian bidang kajian Madura di Universitas Jember, 1992. Scott, James C. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1989. Suhendar, Endang dan Ifdal Kasim. 1996. Tanah sebagai Komoditas: Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru. Jakarta: Elsam. Surabaya Pos. “Warga Sumenep Tuntut Ladang Garam”. Tanggal 11 Januari 2001. Serambi Madura, “Asinnya Garam Petani”. Tanggal 3 Januari 1999.
Pahitnya
Arsip Dinas Pariwisata Jawa Timur. 1993. Madura Pulau Pesona. Surabaya: Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Timur Laporan Yayasan Al-Jihad Kecamatan Gapura Madura Laporan dari Tim DRPT Desa Gapura tahun 2004. Wawancara
Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984b. Kuntowijoyo. Agama, Islam,dan Politik: Gerakan-Gerakan Sarekat Islam Lokal Di Madura, 1913-1920. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Fakultas Sastra Universitas Jember
Wawancara dengan Bapak H. Achmad. Wawancara dengan Bapak H. Mansyur. Wawancara dengan Bapak Herlambang Pradana. Wawancara dengan Bapak Lukman Hakim.
77