KONDISI GEOLOGI DAN SPELEOLOGI KARST AKETAJAWE Resort Binagara dan Sekitarnya, Kecamatan Wasile Selatan Halmahera Timur Oleh: Andy Setiabudi Wibowo Acintyacunyata Speleological Club (
[email protected] / http://www.asc.or.id) Jl. Kusumanegara no. 278, Yogyakarta TIM EKSPEDISI :Andy SW,Fauzan,Yohanis Setitit,Ataul Mujib,Muh. Yunus,Ahmad Syahroni,Maulid Akbar,Husain.
2016
PENDAHULUAN Pulau Halmahera secara geologi memiliki potensi sebaran kawasan yang cukup luas. Salah satunya adalah di kawasan karst Aketajawe, yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Halmahera. Beberapa kali kegiatan penelitian speleologi sudah pernah dilakukan di kawasan karst Halmahera, yaitu organisasi penelusur gua dari perancis (1989 dan 1995), HIMAKOVA IPB (2014), RIMPALA IPB (2015), SILVAGAMA UGM (2014) dan mungkin masih ada beberapa peneliti yang melakukan penelitan speleologi namun belum terpublikasi hasil penelitiannya. Penelitian yang menyangkut tentang kondisi speleology di kawasan karst Halmahera masih sangat jarang dilakukan. Maka dari itu, data tentang kondisi speleology yang mencakup tentang gua dan sungai bawah tanah di kawasan karst Halmahera masih sangat sedikit sekali. Dengan melihat data awal hasil dari penelitian sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa perkembangan karts Aketajawe berkembang sangat baik, dan besar kemungkinan masih banyak gua-gua yang memiliki potensi sungai bawah tanah yang belum ditemukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi, dan kondisi speleologi yang berkembang, dengan harapan dengan mengetahui potensi speleologi di kawasan karst Aketajawe, dapat membantu semua pihak terutama pihak para pengambil kebijakan dalam melakukan pengelolaan kekayaan sumber daya alam, sehingga kelestarian kawasan karst Aketajawe dapat terjaga.
LOKASI DAN KESAMPAIAN DAERAH Lokasi penelitian berada di dalam Resort Binagara, Blok Aketajawe, Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Secara administrasi masuk dalam Desa Akejawi, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupeten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara. Total luas area penelitian sebesar ± 2.000 Ha.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Lokasi penelitian dapat ditempuh dengan rute perjalanan sebagai berikut :
1. Yogyakarta – Surabaya, lewat jalur darat menggunakan kereta api, dengan waktu tempuh ± 7 Jam. 2. Surabaya – Ternate, lewat jalur laut menggunakan Kapal Laut, dengan waktu tempuh ± 84 Jam.
3. Ternate
– Sofifi, lewat jalur laut menggunakan speedboat, dengan waktu tempuh ± 40 menit. 4. Sofifi – Resort Binagara, lewat jalur darat menggunakan kendaraan roda empat, dengan waktu tempuh ± 1.5 Jam. Kondisi jalan beraspal baik, hanya setempat ada jalan berlubang. METODOLOGI Penelitian ini meliputi beberapa kegiatan, yaitu survey mulut gua dan fenomena eksokarst, pemetaan gua, pengukuran debit air, dan pemetaan geologi. 1. Survey mulut gua dan eksokarst Sebelum melakukan survei dilapangan, telah dilakukan interpetasi keberadaan mulut gua berdasarkan data awal yang telah dikumpulkan. Survei mulut gua dan eksokarst ini dilakukan untuk mengetahui lokasi-lokasi mulut gua baik yang sudah pernah di data, maupun mulut gua yang baru ditemukan, dan juga untuk mengetahui gejala eksokarst yang berkembang seperti ponor, doline, kerucut karst, mata air, dll. Survei permukaan ini dilakukan oleh 3 tim, masing-masing tim terdiri dari 3 orang. Alat yang di gunakan untuk menentukan posisi adalah GPS Garmin 76 CSX dan Garmin 62S. 2. Pemetaan Gua Pemetaan gua dilakukan dengan sistem “top to bottom” dan juga “bottom to top” tergantung pada kondisi lorong gua yang dipetakan, dengan pemilihan jalur survei “center of passage survey” yaitu tim survei memilih titik stasiun disekitar tengah lorong, meski tidak selalu demikian, dan melakukan pengukuran diatas titik tersebut dengan berdiri, jongkok, maupun tiarap. Pemetaan gua ini dilakukan oleh 2 tim, masingmasing tim terdiri dari 3 orang yang terbagi sesuai job desk nya, yaitu, shooter, stationer, dan descriptor, dengan metode pemetaan yang dipakai adalah “forward method (foresight)”.
Peralatan yang digunakan adalah : 1) Kompas merk Suunto K14/360 2) Klinometer merk Suunto PM-5 3) Laser Distometer merk Leica 4) Meteran fiber glass 30 meter 5) Buku catatan dan alat tulis tahan air. Pengukuran peta gua berdasarkan grade BCRA, yaitu grade 5B yang berarti survei magnetis, akurasi sudut horisontal dan vertikal diukur hingga ± 1°, jarak diukur dan dicatat hingga ke satuan cm (sentimeter) terdekat dan posisi stasiun ditentukan hingga kurang dari 10 cm, kesalahan posisi stasiun kurang dari 10cm (Buku Stasiun Nol edisi 2, Erlangga Esa Laksmana, 2016). 3. Pengukuran debit air Pengukuran debit air menggunakan teknik “velocity-area techniques” atau teknik kecepatan-luasan. Alat yang di gunakan adalah meteran, penggaris, pelampung, dan stopwatch. 4. Pemetaan Geologi Pemetaan geologi meliputi pendataan singkapan litologi batuan, kedudukan lapisan batuan, dan struktur geologi yang berkembang. Alat yang di gunakan adalah kompas geologi, palu, lup (kaca pembesar), larutan HCl, dan GPS garmin 62S.
GEOLOGI REGIONAL 1. Karst Regional Berdasarkan Peta Geologi Regional lembar Ternate, lembar Morotai, dan lembar Bacan keluaran Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, sebaran kawasan karst pulau halmahera berdasarkan urutan stratigrafi dari tua – muda terdiri dari anggota batugamping formasi dodoga (kapur), batugamping (paleosen), anggota batugamping formasi dorosagu (paleosen – eosen), anggota batugamping formasi tutuli (oligosen – miosen), anggota batugamping formasi amasing (miosen),
Gambar 2. Peta kawasan karst regional pulau Halmahera dan sekitarnya. (geologi regional lembar Ternate, Morotai, dan Bacan, P3G)
anggota batugamping formasi ruta (miosen), anggota batugamping formasi tingteng (miosen – pliosen), anggota batugamping formasi weda (miosen – pliosen), dan batugamping terumbu (kuarter). Sedangkan kawasan karst aketajawe terdiri dari anggota batugamping formasi tingteng berumur miosen akhir – pliosen awal, dan anggota batugamping formasi weda berumur miosen tengah – pliosen. 2. Tektonik Regional Tektonik halmahera cukup unik, karena pulau ini terbentuk dari pertemuan tiga lempeng, yaitu Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia yang terjadi sejak zaman kapur. Diselatan Halmahera pergerakan miring sesar sorong ke arah barat bersamaan dengan Indo – Australia, struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin terlihat jelas pada formasi weda yang berumur miosen tengah – pliosen awal. Sumbu lipatan berarah utara selatan, timur laut - barat daya, dan barat laut tenggara.
Struktur sesar terdiri dari sesar normal dan sesar naik, umumnya berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara. Kegiatan tektonik dimulai pada kapur awal dan awal tersier, ketidak selarasan antara batuan berumumur paleoseneosen dengan batuan berumur eosen-oligosen awal, mencerminkan kegiatan tektonik sedang berlangsung kemudian diikuti kegiatan gunung api. Sesar naik akibat tektonik terjadi pada zaman eosen – oligosen. Tektonik terakhir pada zaman holosen berupa pengangkatan dan adanya sesar normal yang memotong batu gamping. Sedangkan tektonik pada lengan timur pada miosen tengah, plio-plistosen, dan akhir holosen terjadi kegiatan tektonik berupa perlipatan, sesar naik secara intensif dengan arah utama timur laut – barat daya. Sesar normal berarah barat laut - tenggara yang terjadi pada fase tektonik memotong semua sesar naik.
HASIL PENELITIAN 1. Geomorfologi Daerah Penelitian Sebagian besar daerah penelitian terdiri dari perbukitan dan lembah. Berdasarkan dari bentukan morfologi, litologi yang berupa batugamping dan batupasir karbonat, adanya sungai bawah tanah, dan ditemukannya banyak gua, maka pembagian bentukan lahannya dibagi menjadi lima bagian bentuk lahan, yaitu : Bentukan lahan perbukitan karst , Bentukan lahan dolina , Bentukan lahan uvala, Bentukan lahan lembah karst, dan Bentukan lahan perbukitan sinklin. a. Bentukan Lahan Perbukitan Karst Merupakan bentukan lahan yang membentuk jajaran perbukitan hasil dari pelarutan batugamping. Batugamping dengan tingkat kekerasan tinggi akan tahan terhadap pelapukan dan pelarutan oleh air. Batuan yang tahan tersebut akan membentuk perbukitan karst. Penyebaran bentuk lahan ini merupakan yang paling luas dan dominan didalam lokasi penelitian, yaitu menempati 83% dari total luas
daerah penelitian. Ketinggian bentuk lahan ini berkisar 90 mdpl – 440 mdpl, dengan morfologi yang bergelombang, dan dengan kemiringan lereng yang cukup terjal yaitu 30° - 80°. b. Bentukan Lahan Dolina Bentuk negatif dengan morfologi cekungan membundar atau depresi tertutup yang diapit dengan perbukitan yang ada disekitarnya. Dolina ini disebabkan oleh adanya pelarutan oleh air. Kedalaman dari dolina pada lokasi penelitian beraneka ragam, berkisar dari 15 – 50 meter. Kemiringan lerengnya juga beraneka ragam, kenampakannya dapat dilihat dari kemiringan
Kedalamannya pun sangat beragam, yaitu 15 - 30 meter. Kemiringan lereng 20° - 40°, dengan ketinggian 68 mdpl – 175 mdpl. Penyebaran bentuk lahan ini menempati 5% dari total luas daerah penelitian. d. Bentukan Lahan Lembah Karst Merupakan bentukan lahan karst yang membentuk lembah hasil dari pelarutan dan erosi pada batugamping. Lembah karst pada daerah penelitian memiliki kemiringan lereng agak curam sampai terjal yaitu 17° - 50°. Terdapat sungai permukaan yang mengalir, yaitu sungai Majamisun. Penyebaran bentuk lahan ini menempati 4% dari total luas daerah penelitian.
Gambar 4. Foto lembah karst di lokasi penelitian.
Gambar 3.Foto lereng terjal pada bentukan lahan perbukitan karst di lokasi penelitian.
bukit-bukit karst yang mengelilinginya, kemiringannya berkisar 20°-60° dengan ketinggian berkisar 75 mdpl – 260 mdpl. Penyebaran bentuk lahan ini menempati 1% dari total luas daerah penelitian. c. Bentukan Lahan Uvala Merupakan bentukan lahan negatif mempunyai bentukan menyerupai dolina hanya saja uvala merupakan bentuk perkembangan dari beberapa dolina yang menjadi satu. Bentuknya lonjong dan kadang berbentuk tidak beraturan menyerupai alur sungai yang berkelok - kelok.
e. Bentukan Lahan Perbukitan Sinklin Litologi penyusun bentukan asal ini adalah batupasir karbonat. Bentukan lahan pada bentukan asal struktural ini adalah perbukitan sinklin. Bentukan lahan ini dicirikan dengan adanya struktur geologi perlipatan berupa sinklin. Kemiringan lereng pada bentukan lahan ini berkisar 10° - 21° dan bentukannya mengikuti arah dari sayap lipatanya. Ketinggian pada bentukan lahan ini 37 mdpl – 112 mdpl. Penyebaran bentuk lahan ini menempati 7% dari total luas daerah penelitian.
Gambar 5. Peta geomorfologi daerah penelitian (Andy Setiabudi, 2016)
2. Stratigrafi Daerah Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan geologi di lapangan, pada lokasi penelitian dapat di kelompokkan menjadi 3 (tiga) satuan batuan tidak resmi dari tua ke muda, yaitu satuan batugamping, satuan batupasir karbonat, dan satuan alluvial. a. Satuan Batugamping Penyebaran satuan ini menempati 93% dari total luas daerah penelitian. Satuan batuan ini tersingkap dengan baik hampir di seluruh area penyebaranya. Satuan ini dicirikan dengan litologi
berupa batugamping, putih, perlapisan, fosil berupa foram besar, setempat ditemukan batugamping terumbu, dan batugamping mudstone. Bidang perlapisan dapat di amati dengan baik pada satuan ini, terutama bidang perlapisan didalam gua, yaitu di gua Sogili, gua Toto, dan gua Tata. Berdasarkan struktur perlapisan ini maka disimpulkan bahwa satuan batugamping ini berumur lebih tua dibandingkan dengan satuan batupasir karbonat.
Gambar 6. Foto struktur perlapisan pada satuan batugamping.
b. Satuan Batupasir Karbonat Penyebaran satuan ini menempati 6% dari total luas area penelitian. Satuan betuan ini tersingkap dengan baik di hilir sungai Majamisun dan juga di sepanjang jalan setapak untuk menuju ke lokasi camp bidadari. Satuan ini dicirikan dengan litologi berupa batupasir, pasir sedang–kasar, putih kecoklatan, perlapisan, karbonatan, sisipan laminasi perselingan antara napal dan pasir halus. Bidang perlapisan dapat diamati dengan baik pada satuan ini. Dari data struktur perlapisan ini yang memiliki kontak selaras dengan satuan batugamping, disimpulkan bahwa satuan ini masuk dalam formasi Tingteng. c. Satuan Alluvial Penyebaran satuan ini menempati 1% dari total luas area penelitian. Satuan batuan ini tersingkap dengan baik di tubuh dan sebagian bantaran sungai Majamisun. Satuan ini terdiri dari endapan material lepas hasil dari rombakan batuan yang lebih tua yang berukuran lempung sampai dengan bongkah, material tersebut terdiri dari batugamping, batupasir, dan napal. Satuan ini memiliki hubungan yang tidak selaras terhadap satuan batuan yang ada di bawahnya.
Gambar 7. Foto satuan batupasir karbonat di lokasi penelitian.
3. Struktur Geologi Daerah Penelitian a. Kekar Pada lokasi penelitian, kekar dapat dijumpai di beberapa tempat pada satuan batugamping. Dari pengukuran kekar gerus yang dijumpai dilapangan didapatkan arah umumnya N 155° E dengan tegasan utama N 125° E, dan tegasan terkecil N 035° E .
Gambar 8. Foto pengukuran kekar di lokasi penelitian
lipatannya. Dari pengolahan data bidang perlapisan, didapatkan kedudukan sumbu lipatan yaitu 6° / N352°E, serta bidang sumbu dengan kedudukan N173°E / 84°.
Gambar 9. Diagram roset kekar dilokasi penelitian
b. Sesar Turun Sesar turun yang terdapat dilokasi penelitian dapat diamati dengan jelas di koordinat N 0° 43’ 44.2”, E 127° 47’ 26.2”, yaitu terdapat pergeseran turun pada bidang perlapisan di satuan batugamping. Berdasarkan pengamatan dilapangan, didapatkan data bidang sesar dengan kedudukan N 300° E/ 84°.
Gambar 11. Proyeksi stereografi lipatan sinklin dilokasi penelitian.
d. Antiklin Kedudukan bidang perlapisan sayap lipatan ini bisa di jumpai di satuan batugamping, di bagian utara dekat dengan kontak satuan batupasir karbonat. Kemenerusannya di perkirakan sesuai dengan penunjaman sumbu lipatannya. Dari pengolahan data bidang perlapisan, didapatkan kedudukan sumbu lipatan yaitu 5° / N 154° E, serta bidang sumbu dengan kedudukan N 154° E / 83°.
Gambar 10. Foto kenampakan bidang sesar turun pada satuan batugamping dilokasi penelitian.
c. Sinklin Kedudukan bidang perlapisan sayap lipatan ini banyak ditemukan pada satuan batupasir karbonat. Kemenerusannya di perkirakan sesuai dengan penunjaman sumbu
Gambar 12. Proyeksi stereografi lipatan antiklin dilokasi penelitian.
Gambar 13. Peta geologi daerah ekspedisi (Andy Setiabudi, 2016)
Gambar 14. Penampang geologi daerah ekspedisi (Andy Setiabudi, 2016)
4. Speleologi Daerah Penelitian Dari hasil penelitian didapatkan 65 gua dan 18 ceruk. Dari 64 gua yang ditemukan, ada beberapa gua yang dieksplorasi dan dipetakan. Gua – gua yang telah dipetakan ada beberapa yang saling berhubungan membentuk sistem pergua-an dan memiliki potensi sungai bawah tanah, berikut akan dijelaskan kondisi gua yang telah di eksplorasi dan dipetakan saat melakukan penelitian. a. Gua Tata Gua tata merupakan gua vertikal, dengan mulut gua yang berada di lereng bukit. Koordinat mulut gua adalah N 0° 43’ 36.4” dan E 127° 48’ 0”, dengan elevasi 109.5 mdpl. Pada saat hujan, air yang mengalir di lereng melalui alur liar/sungai musiman akan masuk kedalam gua ini melewati mulut gua. Gua ini memiliki total panjang 610.10 meter, dan total kedalaman -38.62 meter. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah utara barat laut – selatan tenggara. Terdapat dua pitch (sumuran) pada gua ini, yaitu pitch-1 sedalam 8.7 meter, dan pitch-2 sedalam 6.4 meter. Gua Tata memiliki tipe lorong bertingkat, yaitu : Lorong atas Tipe lorong ini merupakan lorong aktif, dibuktikan dengan masih berkembangnya ornamen gua. Terdapat sebuah chamber dengan luas ± 450 m², dan tinggi atap lorong ± 10 – 13 meter. Pada chamber ini ornamen flowstone dan pilar yang berukuran besar banyak di jumpai. Pertumbuhan ornamen stalaktit pada lorong ini secara umum mengikuti arah kelurusan kekar yaitu mengarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Kenampakan batugamping perlapisan terlihat sangat jelas pada lorong ini, kedudukan bidang perlapisan yang dijumpai adalah N 121° E/11°. Beberapa tempat terdapat runtuhan batuan dari dinding dan atap gua yang berukuran bongkah – boulder.
Lorong bawah Lorong ini merupakan lorong aktif, dibuktikan dengan terdapatnya aliran sungai bawah tanah. Pada lorong ini terdapat percabangan, yaitu cabang kiri / up-stream, dan cabang kanan / down-stream. Pada cabang down-stream memiliki ukuran atap yang pendek, yaitu ± 1 – 1.5 meter, sehingga harus berjongkok dan merayap untuk menelusurinya. Panjang lorong atap pendek ini ± 190 meter, dan berakhir pada sebuah sump down-stream dengan kondisi lorong semakin menyempit. Aliran sungai ini muncul kembali di permukaan sebagai mata air dan menyatu dengan sungai Majamisun. Sedangkan pada cabang up-stream memiliki ukuran atap 1.9 – 2.5 meter. Setempat dijumpai endapan sedimen dan lempung yang terletak pada tepi sungai dan dinding gua, dan juga banyak terdapat material batu berukuran bongkah – boulder. Panjang lorong ini ± 270 meter dan berakhir pada sebuah sump up-stream. Ornamen gua yang dijumpai pada gua ini adalah stalaktit dan stalakmit. Sedangkan biota gua yang dijumpai berupa kelelawar, burung sriti, ular, udang, dan jangkrik gua.
Gambar 15. Peta gua Tata.
Gambar 16. Kondisi entrance gua Tata. (Foto : Rozi)
b. Gua Hinangir Gua Hinangir merupakan gua horisontal, yang memiliki tiga mulut gua, dan lokasi mulut gua berada di lereng bukit. Koordinat mulut gua-1 adalah N 0° 43’ 16.2” dan E 127° 47’ 50.4”, dengan elevasi 164.7 mdpl. Gua ini memiliki total panjang 56.4 meter, dan total kedalaman -10.58 meter. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah barat – timur, dan tenggara – barat laut. Tipe lorong adalah lorong aktif, dibuktikan dengan masih berkembangnya ornamen gua dan terdapat aliran air pada ornamen gua. Air yang masuk pada gua ini sebagian menggenang menjadi kolam, diserap kembali oleh lantai gua dan sebagian keluar menjadi aliran sebelum menghilang/masuk kedalam ponor. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit, goursdam, dan flowstone. Sedangkan biota gua yang dijumpai berupa kelelawar. Gambar 17. Aliran air pada ornamen di gua Hinangir. (Foto : Yunus)
Gambar 18. Peta gua Hinangir
Gambar 19. Goursdam dan kolam air di gua Hinangir. (foto : yunus)
Gambar 20. Kelelawar di atap gua Hinangir. (foto : Rozi)
c. Gua Amoko Gua Amoko merupakan gua vertikal, dengan lokasi mulut gua yang berada di ujung dasar sebuah alur liar (sungai periodik). Koordinat mulut gua adalah N 0° 43’ 06.9” E127° 47’ 46.9”, dengan elevasi 174.331 mdpl. Pada saat hujan mulut gua ini berperan sebagai swallow hole, yaitu air hujan yang terakumulasi pada catchment area akan mengalir melaui alur liar dan masuk ke gua ini melewati mulut gua. Gua ini memiliki total panjang 93.43 meter, dan total kedalaman -40.153 meter. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah barat daya – timur laut, dan tenggara – barat laut. Gua ini merupakan satu sistem dengan gua Sogili, namun lorongnya tidak terdapat sungai bawah tanah. Terdapat tiga pitch (sumuran) pada gua ini, yaitu pitch-1 sedalam 21.55 meter, pitch-2 sedalam 4.25 meter, dan pitch-3 sedalam 5.04 meter. Tipe lorong adalah lorong aktif, dibuktikan dengan ornamen gua yang berkembang cukup baik dan kemungkinan masih akan terus berkembang. Setempat banyak terdapat pecahan batu dengan ukuran kerikil – bongkah, dan memiliki bentuk butir membundar membundar tanggung. Hal ini membuktikan bahwa material batu ini merupakan material dari permukaan yang tertransport / terbawa oleh arus air yang masuk kedalam lorong ini. Melihat dari ukuran material batu-nya, membuktikan bahwa aliran air yang masuk ke dalam lorong ini memiliki debit dan arus air yang cukup besar. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit, sedangkan biota gua yang dijumpai berupa jangkrik gua, dan siput. Ujung lorong ini bertemu dengan lorong gua Dorolamo.
Gambar 21. Peta gua Amoko.
sedangkan cabang ke-kiri sepanjang ± 114 meter akan bertemu dengan lorong gua Sogili. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit, sedangkan biota gua yang dijumpai berupa jangkrik gua dan laba-laba gua.
Gambar 22. Entrance gua Amoko. (Foto : Yunus)
d. Gua Dorolamo Gua Dorolamo merupakan gua vertikal, dengan lokasi mulut gua yang berada di lembah. Koordinat mulut gua adalah N °0 43’ 09.9” E 127° 47’ 47.3”, dengan elevasi 174.88 mdpl. Ukuran entrance cukup sempit, yaitu panjang ± 1.2 meter, dan lebar ± 1 meter. Gua ini memiliki total panjang 145.57 meter, dan total kedalaman 53.7 meter. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah barat daya – timur laut. Gua ini merupakan satu sistem dengan gua Sogili, namun lorongnya tidak terdapat sungai bawah tanah. Terdapat dua pitch (sumuran) pada gua ini, yaitu pitch-1 sedalam 10 meter, dan pitch-2 sedalam 13 meter. Tipe lorong adalah lorong aktif, dibuktikan dengan ornamen gua yang berkembang cukup baik pada gua ini. Setelah menuruni pitch-2 akan menjumpai percabangan, cabang ke-kanan menuju lorong gua Amoko, Gambar 23. Peta gua Dorolamo tampak atas.
Gambar 24. Peta gua Dorolamo tampak samping.
Gambar 25. Karst window di gua Dorolamo.(Foto : Yohanis)
Gambar 26. Lorong sempit di dalam gua Dorolamo.
e. Gua Sogili Gua Sogili merupakan gua vertikal, dengan lokasi mulut gua yang berada pada dasar sebuah morfologi cekungan tertutup (doline) yang tidak begitu luas. Koordinat mulut gua adalah N 0° 43’ 19.2” E 127° 47’ 46.7”, dengan elevasi 155.932 mdpl. Gua ini memiliki total panjang 619.85 meter, dan total kedalaman - 27.213 meter. Gua Sogili merupakan salah satu gua yang memiliki potensi sungai bawah tanah, potensi tersebut saat ini sudah di manfaatkan oleh penduduk sekitar untuk pengairan irigasi, mandi, dan cuci. Daerah yang memanfaatkan potensi gua Sogili mencapai tiga Desa. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah barat daya – timur laut. Tipe lorong adalah lorong aktif, yaitu terdapat aliran sungai bawah tanah yang terus mengalir meskipun di musim kemarau. Setelah menuruni entrance sedalam 8.7 meter akan dijumpai percabangan, yaitu : 1. Cabang kiri/down-stream Sepanjang lantai lorong ini banyak terdapat ornamen goursdam yang membendung aliran sungai, sehingga hampir sepanjang lorong sungainya cukup dalam, yaitu ± 2 – 4 meter. Dijumpai 2 (dua) percabangan ke arah kanan, kedua lorong cabang ini belum di ekplorasi dan di petakan. Pada lorong cabang 1, ukuran lorongnya tidak terlalu besar, yaitu lebar ± 1 meter dan tinggi atap ± 1.2 meter. Sedangkan pada lorong cabang 2 memiliki ukuran lebar ± 6 meter dan tinggi atap ± 4 meter, dan banyak dijumpai koloni kelelawar di atap gua. Lorong cabang 2 ini kemungkinan besar mengarah ke permukaan / menuju mulut gua baru, dengan bukti banyak ditemukan endapan sedimen lumpur, pasir,dan juga pecahan batuan yang di perkirakan merupakan material dari permukaan. Panjang lorong ini ± 267 meter dan berakhir pada sebuah sump downstream, aliran sungai bawah tanah ini muncul
kembali di permukaan sebagai mata air dan menyatu dengan sungai Majamisun. 2. Cabang kanan/up-stream Pada lorong ini beberapa tempat sungainya dalam, dan juga kondisi atap ada yang pendek ± 0.8 meter dan atap yang tinggi ± 13 meter. Terdapat percabangan, cabang kanan menuju ke arah lorong gua Dorolamo, dan cabang kiri berakhir di sump up-stream. Panjang lorong ini ± 349 meter . Ornamen gua berkembang cukup baik pada gua Sogili, ornamen yang dijumpai berupa stalaktit, stalakmit, pilar, dan goursdam. Biota gua yang dijumpai berupa kelelawar, burung seriti, jangkrik gua, laba-laba gua, udang, belut air, dan ikan lele.
Gambar 27. Lorong gua Sogili yang memiliki atap tinggi, dan memiliki sungai bawah tanah. (Foto : Yunus)
Gambar 28. Peta gua Sogili tampak Atas.
Gambar 29. Foto bentuk lorong dan sungai bawah tanah gua Sogili. (Foto : Yunus)
Gambar 30. Foto bentuk lorong dan sungai bawah tanah gua Sogili. (Foto : Yunus)
Gambar 31. Foto bentuk lorong dan sungai bawah tanah gua Sogili. (Foto : Yunus)
Gambar 32. Foto bentuk lorong dan sungai bawah tanah gua Sogili. (Foto : Yunus)
f.
Gua Misteri Gua Misteri merupakan gua vertikal, dan memiliki dua mulut gua dengan lokasi mulut gua yang berada di lereng bukit, ukuran diameter entrance-1 ± 7.5 m. Koordinat mulut gua-1 adalah N 0° 43’ 48.9” dan E 127° 47’ 33.7”, dengan elevasi 175 mdpl. Gua ini memiliki total kedalaman - 43 meter. Gua ini merupakan satu sistem dengan gua Toto, namun lorongnya merupakan lorong fosil di buktikan dengan ornamen gua-nya sudah tidak aktif / tidak berkembang lagi. Pada gua ini terdapat tiga pitch (sumuran), yaitu pitch-1 sedalam 9.7 meter, pitch-2 sedalam 17 meter, dan pitch-3 sedalam 6.5 meter. Pada lorong terakhir, setelah menuruni pitch-3, kondisi lorong yang menghubungkan dengan lorong gua Toto tidak bisa dimasuki dikarenakan sangat sempit sekali, namun lorong gua Toto dapat terlihat jelas dari lorong terakhir ini. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit, dan biota gua yang dijumpai berupa jangkrik gua.
Gambar 33. Lorong sempit di gua Misteri. (Foto : Husain)
Gambar 34. Peta gua Misteri tampak samping
g. Gua Seriti Gua Seriti merupakan gua vertikal dengan lokasi mulut gua yang berada pada ujung lembah alur liar. Koordinat mulut gua adalah N 0° 43’ 48.7” dan E 127° 47’ 30.7”, dengan elevasi 135.871 mdpl. Pada saat hujan mulut gua ini berperan sebagai swallow hole, yaitu air yang mengalir di lereng melalui alur liar akan masuk kedalam gua ini melewati mulut gua. Gua ini memiliki total panjang 123.68 meter, dan total kedalaman - 47.167 meter. Gua ini merupakan satu sistem dengan gua Toto. Tipe lorong adalah lorong fosil di buktikan dengan ornamen gua-nya sudah tidak aktif / tidak berkembang lagi. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah barat daya – timur laut dan tenggara – barat laut. Pada gua ini terdapat empat pitch (sumuran), yaitu pitch-1 sedalam 4.4 meter, pitch-2 sedalam 4.5 meter, pitch-3 sedalam 3.1 meter, dan pitch-4 sedalam 5 meter. Ujung lorong ini bertemu dengan lorong gua Toto. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit, dan biota gua yang dijumpai berupa jangkrik gua dan laba-laba gua.
Gambar 35. Peta gua Seriti.
Gambar 36. Laba-laba gua yang di jumpai di dalam gua Seriti. (Foto : Yunus)
Gambar 37. Jangkrik gua yang di jumpai di dalam gua Seriti. (Foto : Yunus)
h. Gua Toto Gua Toto merupakan gua horisontal, dan mulut gua-nya berupa swallow hole yaitu terdapat sungai permukaan yang masuk ke dalam mulut gua, mulut gua memiliki lebar ± 7.5 meter dan tinggi atap ± 1.5 meter. Lokasi mulut gua berada di ujung dasar sebuah lembah uvala. Koordinat mulut gua adalah N 0° 43’ 42.5” dan E 127° 47’ 50.6”, dengan elevasi 162.5 mdpl. Gua ini memiliki total panjang 1872.97 meter, dan total kedalaman – 54.25 meter. Tipe lorong adalah lorong aktif, yaitu terdapat aliran sungai bawah tanah. Kondisi atap lorong dari mulut gua sepanjang ± 443 meter memiliki tinggi atap ± 0.4 meter – 1.5 meter dan hanya sedikit tempat yang memiliki tinggi atap lebih dari 2 meter, sehingga harus berjongkok dan merayap dalam menelusuri lorongnya. Setelah itu kondisi lorong sepanjang ± 1429 meter rata-rata memiliki tinggi atap ± 3 meter – 12 meter dan hanya bebe rapa tempat
Gambar 38. Kondisi lorong gua Toto yang memiliki atap tinggi, dan memiliki sungai bawah tanah. (Foto : Yunus)
yang memiliki tinggi atap kurang dari 3 meter. Dijumpai percabangan aliran sungai, cabang kekanan yang merupakan aliran sungai lainnya yang menyatu dengan aliran sungai utama, dan ujung lorongnya berakhir pada sebuah sump up-stream dengan tinggi atap yang pendek. Pada lorong utama juga berakhir pada sebuah sump downstream dengan kondisi lorong yang semakin menyempit, dan air sungai yang tenang dan dalam ± 5 - 6 meter. Aliran sungai bawah tanah ini muncul kembali di permukaan dan menyatu dengan sungai Majamisun. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit, stalakmit, soda straw, flowstone, dan pilar. Sedangkan biota gua yang dijumpai berupa kelelawar, burung sriti, jangkrik gua, laba-laba gua, udang, ikan lele, kepiting, dan belut air.
Gambar 39. Kondisi lorong gua Toto yang memiliki atap tinggi, dan memiliki sungai bawah tanah. (Foto : Yunus)
Gambar 40. Peta gua Toto.
Gambar 41. Kondisi lorong gua Toto. (Foto : Yunus)
Gambar 42. Kondisi lorong gua Toto. (Foto : Yunus)
i.
Gua JPG Gua JPG merupakan gua vertikal, dengan lokasi mulut gua yang berada di ujung dasar sebuah lembah uvala. Koordinat mulut gua adalah N 0° 42’ 39.5” dan E 127° 48’ 36.4”, dengan elevasi 87.5 mdpl. Pada saat hujan mulut gua ini berperan sebagai swallow hole, yaitu air yang mengalir di lereng melalui alur liar akan masuk kedalam gua ini melewati mulut gua. Gua ini memiliki total panjang 878.3 meter, dan total kedalaman – 29.86 meter. Gua ini merupakan satu sistem dengan gua Kilotin. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah tenggara – barat laut. Pada gua ini terdapat dua pitch (sumuran), yaitu pitch-1 sedalam 10 meter dan pitch-2 sedalam 8.4 meter. Setelah menuruni pitch-2 akan di jumpai 3 percabangan, cabang kekiri/down-stream merupakan lorong yang bertemu dengan lorong gua Kilotin, cabang tengah merupakan tipe lorong fosil sepanjang ± 85 meter yang ujungnya juga bertemu dengan lorong gua Kilotin, sedangkan cabang kekanan/up-stream merupakan tipe lorong aktif, yaitu terdapat aliran sungai bawah tanah. Aliran sungai ini merupakan aliran sungai yang lainnya / berbeda dengan aliran sungai utama gua Kilotin, tetapi ujung down-stream nya menyatu dengan aliran sungai utama gua Kilotin. Pada lorong ini terdapat lima air terjun, air terjun-1 setinggi ± 1.8 meter, air terjun-2 setinggi ± 3 meter, air terjun-3 setinggi ± 2.2 meter, air terjun-4 setinggi ± 2.6 meter, dan air terjun-5 setinggi ± 7 meter. Sebelum sampai di air terjun-5 dijumpai satu percabangan ke-kiri yang belum dieksplorasi dan di petakan. Air terjun-5 merupakan ujung dari lorong yang sudah di eksplorasi dan di petakan, setelah air terjun masih terdapat lorong lagi yang belum di eksplor dan di petakan yang dimungkinkan masih cukup panjang lorongnya. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit, stalakmit, pilar, soda straw, dan flowstone. Sedangkan biota gua yang dijumpai berupa kelelawar, burung sriti, udang, dan belut air.
Gambar 43. Kondisi entrance gua JPG.
Gambar 44. Kondisi lorong dan sungai bawah tanah gua JPG. (Foto : Yunus)
Gambar 45. Peta gua JPG.
Gambar 46. Kondisi lorong fosil pada gua JPG. (Foto : Yunus)
j.
Gua Ngotiri Gua Ngotiri merupakan gua vertikal, dengan lokasi mulut gua yang berada di kaki bukit. Koordinat mulut gua adalah N 0° 42’ 33.3” dan E 127° 48’ 32.9”, dengan elevasi 101.744 mdpl. Gua ini memiliki total panjang 70.8 meter, dan total kedalaman – 24 meter dan merupakan satu sistem dengan gua Kilotin, namun lorongnya merupakan lorong fosil di buktikan dengan ornamen gua-nya sudah tidak aktif / tidak berkembang lagi. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah utara timur laut – selatan barat daya. Pada gua ini terdapat dua pitch (sumuran), yaitu pitch-1 sedalam 6.3 meter dan pitch-2 sedalam 10.5 meter. Setelah menuruni pitch-2 akan bertemu dengan lorong gua Kilotin. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit. Gambar 47. Peta gua Ngotiri.
k. Gua Kilotin Gua Kilotin merupakan gua horisontal dengan mulut gua yang berupa swallow hole yaitu terdapat sungai permukaan yang masuk ke dalam mulut gua. Koordinat mulut gua adalah N 0° 42’ 30.2” dan E 127° 48’ 30.9”, dengan elevasi 120.956 mdpl. Gua ini memiliki total panjang 522.65 meter, dan total kedalaman - 60.4 meter. Tipe lorong adalah lorong aktif, yaitu terdapat aliran sungai bawah tanah. Arah umum perkembangan lorong gua ini adalah utara timur laut – selatan barat daya. Kondisi atap lorong rata-rata cukup tinggi, yaitu ± 2 - 17 meter, terdapat satu air terjun setinggi ± 1.6 meter, dan setempat juga terdapat air yang dalam ± 2-3 meter. Terdapat dua percabangan pada lorong ini, cabang pertama ke-kanan bertemu dengan lorong gua JPG, sedangkan cabang kedua juga kekanan dan bertemu juga dengan lorong gua JPG yang berupa lorong fosil. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit dan stalakmit, sedangkan biota gua yang dijumpai berupa kelelawar, burung sriti, kepiting, udang, dan belut air.
Gambar 48. Kondisi lorong dan sungai bawah tanah gua Kilotin. (Foto : Yunus)
Gambar 49. Kondisi lorong dan sungai bawah tanah gua Kilotin. (Foto : Yunus)
Gambar 50. Peta gua Kilotin.
Gambar 51. Kondisi lorong dan sungai bawah tanah gua Kilotin. (Foto : Yunus)
Gambar 52. Ornamen gua berupa stalaktit dan stalakmit di gua Kilotin. (Foto : Yunus)
Gambar 53. Kelelawar yang dijumpai di dalam gua Kilotin. (Foto : Rozi)
l.
Gua Dudiha Gua Dudiha merupakan gua horisontal, dengan lokasi mulut gua yang berada di kaki bukit. Koordinat mulut gua adalah N 0° 42’ 51.7” dan E 127° 48’ 34”, dengan elevasi 46 mdpl. Gua ini memiliki total panjang 18 meter. Tipe lorong adalah lorong aktif, dikarenakan ornamen gua berkembang cukup baik. Lorong gua memiliki atap yang pendek, yaitu ± 0.5 – 1.3 meter, sehingga harus berjongkok dan merayap untuk menelusurinya, lorong gua berakhir pada sebuah tumpukan bongkah batuan yang menutupi lorong. Ornamen gua yang dijumpai berupa stalaktit, soda straw, dan pilar. Gambar 54. Peta gua Dudiha.
KESIMPULAN 1. Geomorfologi pada daerah penelitian dibagi menjadi lima bentuk lahan, yaitu Bentukan Lahan Perbukitan Karst, Bentukan Lahan Dolina, Bentukan Lahan Uvala, Bentukan Lahan Lembah Karst, dan Bentukan Lahan Pebukitan Sinklin. 2. Stratigrafi daerah ekspedisi dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan berdasarkan satuan litostratigrafi tidak resmi. Berdasarkan urutan dari tua ke muda adalah satuan batugamping, satuan batupasir karbonat, dan satuan alluvial. 3. Struktur geologi yang berkembang di daerah ekspedisi terdiri dari Sesar Turun, Sinklin, dan Antiklin. 4. Dari hasil penelitian didapatkan 65 gua, dan 18 ceruk. 5. Pada daerah penelitian telah di dapatkan 4 sistem perguaan yang memiki potensi sungai bawah tanah, yaitu : a. Gua Tata, dengan total panjang 610.10 meter, dan total kedalaman -38.62 meter. Dari pengukuran debit air sungai yaitu sebesar 15 liter / detik. b. Sistem gua Sogili, dengan total panjang 928.47 meter, dan total kedalaman - 60.73 meter. Dari pengukuran debit air sungai yaitu sebesar 69.39 liter / detik. c. Sistem gua Toto, dengan total panjang 2001.53 meter, dan total kedalaman - 41.931 meter. Dari pengukuran debit air sungai yaitu sebesar 19.418 liter / detik. d. Sistem gua Kilotin, dengan total panjang 1518.80 meter, dan total kedalama - 60.4 meter. Dari pengukuran debit air sungai yaitu sebesar 135.923 liter / detik.
DAFTAR PUSTAKA Erlangga Esa Laksana, 2016. Stasiun Nol Edisi-2 : Teknik-teknik pemetaa dan survei hidrologi gua. Alfred Bögli, 1980, Karst Hidrology and physical Speleology, Springer – Verlag, Berlin Heidelberg, New York. Ford D.C. dan P.W. Williams, 1989, Karst Geomorphology and Hydrology, Chapman and Hall, London. T. Apandi dan D. Sudana, 1980. Geologi Regional Ternate, Maluku Utara. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi.