BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas dari kajian utamannya yakni kajian tentang otonomi daerah yang dalam hal ini berbicara pula tentang pembagian kewenangan dan wilayah dalam suatu negara. Pembagian kewenangan dalam sebuah negara kesatuan tentu jauh berbeda dengan pembagian kewenangan yang dianjut dalam sebuah negara federasi dan serikat. Dalam negara kesatuan seperti hal Indonesia, otonomi tidak dapat disamakan dengan kebebasan suatu daerah untuk melaksanakan fungsi pemerintahannya sesuai dengan kehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional bangsa. Konflik kepentingan antara melaksanakan fungsi otonomi dengan mempertahankan kesatuan bangsa sering terjadi manapun terutama dinegara negara berkembang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka dalam hal ini pemerintah mengemban sedikitnya tiga fungsi yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi.
Suatu pendapat mengatakan bahwa fungsi distribusi dan
stabilisasi pada umunya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan kondisi dan situasi yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah1. Mengenai 1 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.hal.105
1
susunan Pemerintahan Daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah secara tegas menyatakan pemerintahan Daerah terdiri dari eksekutif daerah yang di pegang oleh pemerintah daerah ( kepala daerah), Dewan Perawakilan Rakyat Daerah sebagai badan legislatif daerah, yang selanjutnya akan disebut DPRD. Sebagai suatu organ yang bertanggungjawab dalam penyelenggraan pemerintahan daerah, kedua organ tersebut ( Kepala Daerah dan DPRD) memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing di samping saat tertentu ada hubungan satu sama lain, untuk mewujukan suatu pemerintahan yang baik. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUDNKRI 1945, bila di telah ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 pasca perubahan UUDNKRI 1945, yakni ketentuan Pasal 18 yang semula hanya terdiri dari satu pasal berubah menjadi tiga pasal yaitu pasal 18 yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat, Pasal 18 A yang terdiri 2 (dua) ayat, dan Pasal 18 B Juga terdiri dari 2 (dua)ayat. Sejalan dengan perubahan Pasal 18 tersebut, tampak sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. paradigma yang dimaksud adalah2: 1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan (belaka). Yang diharapkan di masa depan tidak ada lagi pemerintahan dekosentrasi dalam pemerintahan daerah.
2 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat studi Hukum ( PSH) fakultas Hukum UII Yogyakarta,2001,hal.229
2
2. Pemerintahan daerah disusun dijalankan atas dasar otonomi seluasluasnya.
Semua
fungsi
pemerintahan
dibidang
administrasi
negara
(administratief regelen en bestuur) dijalankan oleh pemerintahan daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat. 3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah. Urusan rumah tangga tidak perlu seragam atau sama. Perbedaan harus dimungkinkan baik atas dasar cultural, sosial ,ekonomi, geografi dan lain sebagainya. 4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan menghormati satu kesatuan masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap) dan berbagai hak teradisionalnya. Satuan pemerintahan yang asli dan hak-hak masyarakat asli atas bumi,air dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesarbesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat. 5. Pemerintahan daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau keadaan khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti Ibu Kota Negara ), kesejahteraan (seperti D.I.Yogyakarta)atau karena keadaan sosial cultural (seperti D.I. Aceh) 6. Anggota DPRD dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum. 7. Hubungan Pusat dan Daerah dilaksanakan selaras dan adil. Ketujuh pokok pikiran dari paradigma yang di gariskan dalam Pasal 18, 18A dan Pasal 18B. Perubahan kedua UUDNKRI 1945 tersebut diatas sama sekali tidak dijumpai pengaturan tentang hubungan kewenangan DPRD dengan Kepala Daerah. Sekurang-kurangnya tidak ada indicator yang dapat di jadikan pegangan
3
mengenai kewenangan DPRD dalam hal mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah akan tetapi dalam DPRD juga mempunyai hak untuk mengusulkan pemberhentian terhadap Kepala Daerah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jika dilihat dalam ketentuan-ketentuan Pasal 18, 18A dan pasal 18 B yang meletakan / menggariskan paradigma baru penyelenggaraan pemerintah daerah, pada giliranya bergantung pada undang-undang untuk mengaturnya lebih lanjut. Selain UUD 1945 (sebelum dan Pasca Perubahan) belum mengatur hubungan kewenangan antara organ pemerintah daerah dimaksud secara jelas, juga beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah ada masih menunjukan pasang-surut sehingga dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu mengalami perubahan. Artinya pada suatu saat masa atau periode lainnya terjadi perubahan yaitu kewenangan DPRD yang lebih kuat ( dominan ) dibandingkan dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Indria Samego3 mensyinyalir bahwa dengan posisi menguatnya fungsi DPRD, DPRD dengan Relatif mudah melakukan “pemerasan” terhadap pihak eksekutif.
Kedua pola diatas, belum
dapat memberikan harapan untuk terselenggaranya substansi otonomi yang dicitacitakan karena keduanya dapat menciptakan hubungan yang koluktif yang berkelanjutan. Berangkat dari otonomi daerah tersebut,dalam undang-undang 32 Tahum 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu yang dosoroti dalam Undang3 .Indria Samego,Masalah Good Govermance Di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah, Jurnal demokrasi & HAM vol 2.NO.2, Juni- September 2002.hal.63
4
undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemberhentian kepala Daerah, jika Kepala Daerah melanggar sumpah dan janjinya maka tindak lanjutnya DPRD mengusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD.
Undang-undang No 32 Tahun 2004 tidak mengatur
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang berimplikasi pada pemberhentian kepala daerah. Dalam hal meminta laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD yang diatur dalam pasal 42 ayat (1) huruf (h)yang dimaksudkan sebagai pemberdayaan DPRD, untuk mewujudkan Cheks and balances, Namun, dalam peraktiknya tidak jarang menjadi salah satu sumber potensi konflik antara DPRD dengan kepala Daerah. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang mengatur pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD jika pertanggungjawaban Kepala Daerah ditolak untuk kedua kalinya maka implikasinya adalah pada usulan pemberhentian kepala daerah tersebut. Dalam Undang-undang No 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah juncto
Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah dua hal tersebut mengatur perihal pemberhentian kepala daerah. Yang diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 dalam pasal 27 ayat (2) bahwa “ Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud Pada ayat(1) Kepala Daerah mempunyai
kewajiban
untuk
memberikan
laporan
penyelenggaraan
pemerintahan kepada pemerintah dan memberikan laporan keterangan pertanggungjwaban
5
kepada
DPRD,
serta
menginformasikan
laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat” . Jadi dalam isi pasal ini Kepala Daerah memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban Kepada DPRD. Laporan pertanggungjawaban kepala daerah juga telah diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah
Kepada
Pemerintah,
Laporan
Keterangan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perawakilan Rakyat Daerah, Dan
Inforamasi
Laporan
Penyelengaraan
Pemerintah
Daerah
Kepada
Masayarakat, dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2007 bahwa untuk terwujudnya pelakasanaan otonomi daerah
sejalan dengan
menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik, maka kepala daerah wajib melaporkan peneyelenggaraan pemerintahan. Yang menjadi persoalan,jika seorang kepala daerah tidak mampu mempertanggungjawakan penyelenggaraan pemerintahan kepada DPRD maka untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik yang dicita-citakan tidak dapat terwujud sebab tidak memungkinkan terciptanya Check and Balances 4. Dalam hal melakukan pemberhentian kepala daerah dapat dilakukan dalam dua mekanisme yaitu Pertama, kepala daerah diberhentikan dengan usulan dan atau keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan disetujui oleh 4 Sri Soemantri M. Konseprualitas Dasar-Dasar Konstitusi Bagi Demokrasi Yang Berlanjut. Dalam Laporan Konfrensi : Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Di Indonesia.Oktober 2001, IDEA Kumpulan Makalah, hal.53
6
presiden, kedua, pemberhentian kepala daerah oleh presiden tanpa usulan dan atau keputusan
DPR. Apabila
kepala
daerah
diperkirakan
telah
melakukan
penyelewengan, maka, harus diadakan penyelidikan dengan persetujuan presiden. Pemberhentian kepala daerah dapat dilaksanakan hanya berdasarkan atas hukum dan peraturan yang diberlakukan tanpa adanya kepentingan. Pemberhentian atas usulan DPRD apabila terjadi krisis kepercayaan maka DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya, penggunaan hak angket setelah mendapat persetujuan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Dalam hal ditemukan bukti tindak pidana dimaksud, DPRD menyerahkan proses penyelesaianya kepada aparat peneggak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman paling singkat 5 (lima tahun) atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keptusan DPRD. Berdasarkan
keputusan
DPRD
tersebut,
presiden
menetapkan
pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian berdasarkan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil
7
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRD tersebut, presiden memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, sedangkan pemberhentian tanpa melalui usulan DPRD,bahwa kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh presiden, karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pada prinsipnya pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dapat dilakukan pada masa jabatannya dan pada akhir masa jabatan. Namun dalam hal ini yang perlu dikaji adalah jika seorang kepala daerah diberhentikan sebelum masa jabatannya selesai, sebab jika seorang kepala daerah diberhentikan apabila memenuhi alasan dalam pasal 29 Undang-Undang 32 Tahun 2004 . Dalam hal Pemberhentian kepala Daerah yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah . Bahwa Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah berhenti karena : a. Meninggal dunia, b. Permintaan sendiri c. Diberhentikan karena: Dalam pembahasan ini yang diperosoalkan jika seorang kepala Daerah diberhentikan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Kepala Daerah dan/atau Wakil kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf c diberhentikan karena: a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru.
8
b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut selam enem bulan. c. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan/atau wakil Kepala Daerah. d. Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala Daerah dan/atau wakil kepala Daerah. e. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. f. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Apabila salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang 32 Tahun 2004 dilanggar oleh Kepala Daerah, maka dalam hal ini DPRD mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun ditingkat kabupaten dan Kota, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota” . Berdasarkan isi dari pasal tersebut DPRD diberi kewenangan dalam mengsulkan pemberhentian Kepala Daerah, dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daearah diusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung Atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah tidak lagi memenuhi syarat
9
melanggar sumpah dan janji/jabatan,tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan. 2. Pendapat DPRD diputusakan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. 3. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPRD paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima mahkamah agung dan putusannya bersifat final. 4. Apabila mahkamah agung memutusakan bahwa Kepala daerah dan /atau kepala daerah terbukti melanggar sumpah /janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban. DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekuarang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada presiden. 5. Presiden wajib memperoses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.5
5 Siswanto Sunarno,2005.OpCit.,hal.59
10
Jika telaah dalam pasal ,adapun kelemahannya dalam pasal 29 Undangundang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 29 ayat ( 2) huruf a bahwa kepala daerah diberhentikan bila “ Berakahir masa jabatanya dan telah dilantik pejabat yang baru” jika dipahami maka masa jabatan dari seorang kepala daerah adalah lima tahun tentunya hal ini sudah jelas, akan tetapi yang menimbulkan persoalan adalah kata “dan” yang menimbulkan berbagai macam persepsi bahwa seorang kepala daerah baru diberhentikan apabila sudah ada pejabat pengantinya. Jika dianalogikan bagaimana jika dalam masa jabatan seorang kepala daerah melakukan tindakan melawan hukum sementara belum ada pejabat baru yang dilantik, hal ini tentunya menimbulkan persoalan dikemudian hari. Sebab jika kepala daerah diberhentikan maka untuk menggisi kekosongan kepala daerah maka tindak lanjutnya adalah DPRD mengadakan sidang paripurna untuk melantik wakil kepala daerah untuk menjadi pejabat kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya. Perihal rapat paripurna DPRD tentunya membutuhkan proses, sementara secara hukum kekosongan jabatan itu tidak boleh terjadi karena dapat menimbulkan siapa yang bertanggung jawab dalam masa kekosongan tersebut, tentunya hal ini dapat menimbulkan persolan. Berbicara dugaan kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya sebenarnya merupakan masalah hukum yang memerlukan pembuktian hukum terlebih dahulu. Namun, Undang-Undang No 32 Tahun 2004 mengatur pengecualian tidak ditempuh melalui pengadilan negeri, pengadilan tinggi, tetapi langsung ke Mahkamah Agung. Proses pemberhentian kepala daerah, menurut Undang-Undang No 32 Tahun2004, lama, berbelit, dan
11
agak sulit dilaksanakan. Bisa saja putusan Mahkamah Agung yang menyatakan benar bahwa kepala daerah melanggar sumpah dan janji dan tidak melaksanakan kewajibannya maka tindak dilanjutnya oleh DPRD mengadakan rapat paripurna untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung. Pada sisi lain rapat paripurna DPRD bisa saja terjadi oleh karena timbulnya perubahan politik di DPRD, Anggota DPRD tidak lagi berpandangan bahwa kepala daerah melanggar sumpah dan janji dan atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah. Sebab, setelah putusan Mahkamah Agung disampaikan ke DPRD, DPRD akan melaksanakan rapat paripurna kembali untuk memutuskan pendapat tersebut dalam hal ini tentunya dapat menimbulkan persoalan sebab putusan Mahkamah Agung yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap akan diputusan lagi dalam rapat paripuna DPRD. Dalam hal ini dapat terjadi konflik kepentingan yang memunculkan adanya sebuah supremasi hukum dimana hukum harus ditegakan dan supremasi politik yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta dilaksanakan begitu saja akan tetapi harus diputuskan lagi dalam rapat paripurna DPRD. Bila tidak didukung 2/3 (dua pertiga) anggota DPRD, apakah putusan Mahkamah Agung dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum. 6 Sebagai contoh. pemberhentian Tengku Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan dilakukan menyusul Keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor 736/k/pid.sus/2009 tanggal 3 Agustus 2009 yang menyatakan Tengku Azmun Jaafar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi 6 Otong Rozadi. Jalan panjang Pemberhentian Kepala Daerah. serial online 30 Juli 2007, avaible from:URL:http//202.146.kompas-cetak
12
dan divonis 11 tahun penjara . Majelis hakim menyatakan Azmun bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada 15 perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga merugikan negara Rp 1,2 triliun. Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar. Azmun dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-undang No 31 Tahun1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan sengaja menerbitkan IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun waktu Desember 2002 sampai Januari 2003, padahal mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan itu tidak kompeten dalam bidang kehutanan. Berdasarkan hal tersebut Permerintah Provinsi Riau mengeluarkan SK bernomor 131.14-590/2009. SK tersebut berisi tentang pengesahan pemberhentian Bupati Pelalawan dan pengesahan pengangkatan Wakil Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati menggantikan Tengku Azmun Jaafar. Jika dilihat dari contoh kasus ini maka seorang kepala daerah baru dapat diberhentikan apabila sudah ada pejabat pengantinya, hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah hukum sebab jika belum ada pejabat
pengantinya
maka
kepala
daerah
tersebut
tidak
dapat
diberhentikan serta yang siapa yang mengisi kekosongan jabatan kepala
13
daerah selama proses rapat paripurna DPRD untuk mengangkat wakil kepala Daerah menjadi pejabat kepala daerah. Sebagaimana isi dari pasal 29 ayat (2) huruf a, Undang-undang No.32 Tahun 2004 dapat menimbulkan penafsiran yang salah yang tentunya dapat menimbulkan masalah hukum. Begitu pula Walikota Pemantang Siantar RE sihaan yang dituduh melakukan penyelewengan proyek bangsal rumah sakit umum daerah oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, atas dasar itulah DPRD kota Pematang siantar mengadakan sidang paripurna untuk mengusulkan memberhentikan RE Sihaan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No 01 P/ KHS/ 2009 tanggal 3 Maret 2009.7
Dalam pengambilan keputusan rapat paripuna oleh DPRD dinilai cacat
hukum sebab tidak dari 2/3 anggota DPRD yang hadir. Rapat paripurna yang diadakan oleh 16 orang dan satu tidak hadir itu dari 30 anggota DPRD Pematang Siantar jelas tidak qourum, sehingga keputusan yang diambil adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat8. Jika dilihat dari contoh kasus tersebut menunjukan bahwa pemberhentian Kepala daerah berawal dari usulan DPRD, berdasarkan atas putusan Mahkamah Agung dan tindak lanjutnya DPRD mengadakan rapat paripurna. Dalam pengambilan keputusan oleh DPRD
7 AndyFaizal . Dipecat DPRD, Bupati Menghilang. Serial Online 22 Januari 2009, available from:URL:http://www.nersandy.blogspot.com.html 8 Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com
14
walaupun tidak didukung oleh 2/3 anggota DPRD dari 3/4 anggota DPRD yang hadir sehingga kepala daerah tersebut diberhentikan. Sebagai perbandingannya yang diatur dalam UUDNKRI 1945 mengatur mengenai pemberhentian Presiden bedasarkan pada pasal 7A Bahwa Presiden dan wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/ atau wakil presiden. Presiden sebagai kepala Pemerintah yang proses pemilihannya melibatkan seluruh warga negera yang memenuhi syarat oleh UUD dimungkinkan untuk diberhentikan dalam masa jabatannya jika memenuhi syarat. Menurut Richard A. Posner dalam buku The Investigation, Impeachment, and Trial of President Clinton, secara historis impeachment berasal dari abad ke-14 di Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang amat powerful, yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa. Dalam praktek, The House of Commons bertindak sebagai a grand jury yang memutuskan apakah akan meng-impeach seorang pejabat. Apabila pejabat itu diimpeach, maka The House of Lords akan mengadilinya. Apabila dinyatakan bersalah, maka pejabat tersebut akan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan yang telah diatur, termasuk memecat dari jabatannya.9 Di Inggris, impeachment 9 .M.P. Pangaribuan, “’Impeachment’, Pranata untuk Memproses Presiden”, Kompas, edisi Senin, 19 Februari 2001.
15
pertama kali digunakan pada bulan November 1330 di masa pemerintahan Edward III terhadap Roger Mortimer, Baron of Wigmore yang kedelapan, dan Earl of March yang pertama.10 Ketentuan ini juga membawa implikasi pada Kepala
Daerah
sebagai
penyelenggara
pemerintah
daerah
yaitu
dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya apabila memenuhi syarat untuk itu. Begitu juga dengan proses pemberhentianya yang tentunya memerlukan suatu mekanisme yang jelas sehingga tidak memunculkan konflik kepentingan diantara kedua organ tersebut. Bilamana terjadi konflik kepentingan diantara elit pemerintahan dan elit politik didaerah mengingat kedua organ pemerintahan ini sama-sama dipilih oleh rakyat, ini dipicu beberapa faktor yang melatarbelakangi antara lain: Pemilihan umum yang mendadak, system umum yang proporsional, lemahnya system peneggakan hukum dan menonjolnya kepentingan elit politik dan pemerintah. Selain itu, ada kaitanya dengan kualitas sebagian anggota DPRD yang masih dibawah standart, baik aspek pendidikan, pegalaman politik, latar belakang sosial dan ekonomi maupun aspek komitment moral terhadap kepentingan yang diwakilinya. Pemberhentian kepala daerah jika dilihat dalam pasal 29 ayat (2) huruf a. dan d, dapat menimbulkan penafsiran yang salah,sebagaimana telah dijelasakan sebelumnya sehingga hal ini menunjukan adanya kekaburan norma yang perlu dikaji secara hukum. Dalam hal pemberhentian Kepala Daerah atas usulan DPRD 10 Naf’an Tarihoran, “Makna Impeachment Presiden bagi Orang Amerika”, Tesis Magister Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, (Jakarta: Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, 1999), hal. 75 yang mengutip berbagai sumber.
16
yang perlu dikaji adalah implikasi dari usulan DPRD serta akibat hukum dari pemberhentian
kepala
daerah.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebutlah
yang
melatarbelakangi dilakukanya penelitian ini, maka dalam penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban-jawaban dari beberapa
persoalan yang telah
diraikan diatas. B . Rumusan Masalah Bertitik
tolak
dari
uraian
diatas
maka
dapatlah
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian
Kepala Daerah? 2. Bagaimanakah Akibat hukum Pemberhentian Kepala Daerah ?
C . Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian kepala daerah. 2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pemberhentian Kepala daerah . Sedangkan manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat akademis; untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum di bidang
pemerintahan
daerah
pemberhentian Kepala Daerah.
17
khususnya
yang
berkenaan
dengan
2. Manfaat Praktis; sebagai masukan bagi pemerintah daerah, dan DPRD khususnya dalam rangka mewujudkan fungsi kontrol antara DPRD dan Kepala Daerah. D .Krangka Teoritis Untuk dapat lebih memahami permasalahan tersebut diatas , maka akan dikemukakan teori , konsep dan asas-asas hukum yang relevan serta dilengkapi pula dengan pandangan-pandangan para sarjana yang berpengaruh. 1.Konsep Negara Hukum Berdasarkan sejarah perkembangan dan jenis-jenis Negara hukum yang tumbuh dan berkembang pada dunia barat, maka negara hukum yang dianut Negara Indonesia tidakalah dalam arti formal, namun negara hukum dalam arti materil yang juga distilahkan dengan negara kesejahteraan
(welfare state,
welfaarstaat ) atau Negara kemakmuran. Sebagai konsekuensi Negara Indonesia beradasarkan atas hukum, maka Negara Indonesia
telah berkomitmen untuk
menempatkan hukum sebagai acuan tertinggi dalam peneyelenggaraan Negara dan pemerintahannya ( supremasi hukum ).
11
Supremasi berasal dari bahasa
Inggris “supreme” yang berarti “highest in degree”, yang dapat diterjemahkan “mempunyai derajat tinggi”. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hukum harus berada di tempat yang paling tinggi, hukum juga dapat mengatasi kekuasaan lain termasuk kekuasaan politik. Dengan kata lain, negara yang dapat dikatakan telah mewujudkan Supremasi Hukum 11 Bagir Manan,1994. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 .Universitas Padjadjaran, Bandung .Hal.18
18
adalah negara yang sudah mampu menempatkan hukum sebagai panglima, bukannya hukum yang hanya menjadi “pengikut setia kekuasaan” dan kepentingan politik tertentu yang jauh dari kepentingan rakyat secara keseluruhan.12 Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedalautan hukum”13 yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan guiding principle bagi segala aktifitas organ-organ Negara,pemerintahan,pejabat-pejabat beserta rakyatnya.
Dengan demikian,Negara melalui pemerintahan ditingkat
pusat maupun ditingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban masayarakat memerlukan adanya suatu system pengendalian masyarakat salah satunya upaya hukum.14 Suatu negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rechtstaat) Menurut Burkens, Sebagai yang dikutip Yohanes Usfunan antara lain sebagai berikut.15 a. Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan ( Wettelijke gronslag). Dengan Landasan ini, Undang-Undang dalam arti formil dan Undang-Undang Dasar sendiri
12 M. Satria.2009,Dalam Jurnal.Fenomena Penegakan Supremasi Hukum Pada Pemilihan Umum Pasca Penetapan Calon legislatif Tahun 2009.hal.7 13 Ismail Suny.1984.Mekanisme Demokrasi Pancasila,Aksara Baru.Jakarta.Hal, 8 14 Lili Rasjidi dan B, Arief Sidarta(ed) 1989,filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya,Bandung. Hal. 11 15 Usfunan,1988,Kebebasan Berpendapat Diindonesia, Disertasi dalam Meraih Doktor Pada Program Pasca sarjana UNAIR, Surabaya Hal.111
19
merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Dalam hubungan ini pemebentukan Undang-Undang Merupakan bagian penting negara hukum. b. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makana bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. c. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pemebentuk undang-undang. d. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia. Sesuai dengan persyaratan tersebut, kiranya jelas bahwa sayarat pertama dan ketiga yang relevan dengan obyek penelitian ini, syarat pertama menunjukan bahwa, dalam hal pemberhentian kepala daerah kiranya dalam mengambil keputusan harus mempunyai dasar hukum yang jelas, yang merupakan tumpuan dasar dalam setiap mengambil keputusan. Asas legalitas ini diwujudakan dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainya untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum
dalam pemberhentian kepala
daerah. Sedangkan syarat ketiga menunjukan bahwa , dalam hal pemberhentian kepala daerah hendakanya juga harus memperhatikan hak-hak dari Kepala daerah,guna mendapat perlindungan hukum serta kepastian hukum. Sejalan dengan Burkens, Frederich Julius Stahl Mengemukakan 4 unsur negara hukum sebagaimana dikutip Sudargo G., sebagai berikut:16 a. Asas Legalitas (Pemerintahan berdasarkan undang-undang) 16 Sudargo G,1983 .Pengertian Tentang Negara Hukum.Alumni Bandung.Hal,8-9
20
b. Pembagian Kekuasaan. c.
Perlindungan hak-hak azasi manusia.
d. Adanya peradilan administrasi. Tidak jauh berbeda, Bagir Manan Mengemukakan ciri-ciri Minimal dari negara berdasarkan atas azas hukum yaitu:17 a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum. b.
Adanya ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainya.
c.
Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terahadap masayarakat (badan peradilan yang bebas) d. Adanya pembagian kekuasaan Adapun Av Dicey dari Anglo Saxon Memberikan ciri-ciri Rule Of law sebagai berikut: a. Supremasi hukum,dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. b. Kedudukan sama didepan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat. c. Terjaminya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan pengadilan.18 17 Bagir Manan,1994. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 . Makalah Ilimiah disampaikan kepada mahasiswa Pasca sarjana Universitas Padjadjaran Tahun 1994/1995., Bandung.hal.19 18 E.C.S.Wade dan G, GOgfrey.1965. Constitutional Law: An Outline of law and Practise of the Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and State and Administrative Law, Edition,Longman,London.hal.50-51
21
Dalam kaitanya dengan obyek penelitian ini maka unsur pertama dari konsep kedua tersebut diatas yang relevan, diaman mensyaratkan setiap tindakan pemerintah harus beradasarkan
atas hukum. Negara Indonesia adalah negara
hukum (recthstaat) berdasarakan pancasila.19 Negara hukum yang dianut Indonesia tidaklah dalam artian formal, namun
Negara hukum dalam artian
material, yang juga distilahkan dengan negara kesejahteraan( Welfare state) atau “ Negara kesejahtraan”20 Untuk mewujudkan Tujuan tersebut, negara hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut turut serta secara aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Kewajiban ini merupakan amanat para pendiri negara (the founding father) Indonesia, seperti dikemukakan pada alinea ke-4 pembukaan undang-undang dasar 1945 seabagi negara beradasarkan atas hukum, maka segala aktivitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Disamping perundang-undangan negara hukum seperti tersebut diatas kiranya perlu juga dilihat berapa pendapat lainya untuk diapakai sebagai pembanding dan memperkaya pengertian negara hukum sebagai berikut: Abud Daud Busroh dkk., menyatakan bahwa negara hukum adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Maksudnya adalah segala kewenangan dan
19 Sjachran Basah,1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Penerbit Alumni, Cetakan Ke-3,Bandung. 20 E.Utrecht,1960,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit FHPM Unpad, Bandung,hal 21-22.
22
tindakan-tindakan alat-alat negara atau penguasa semata-mata berdasarkan atau dengan kata lain diatur oleh hukum.21 Dasril radjab mengemukakan untuk sebuah negara yang mengandung prinsip negara hukum, bukan sekedar diatur dalam hukum (formal) saja, namun lebih dari itu. Hukum itu yang terpenting adalah mencapai keadilan
dalam
masyarakat. Keadilan dapat diacapai dengan hukum, apabila hukum itu merupakan kaidah-kaidah yang mempunyai nilai.22 D.Notohamidjojo menyebutkan, negara hukum ialah diamana pemerintah dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari presiden, para menteri, kepalakepala lembaga Pemerintahan lain, pegawai, Hakim, Jaksa dan kepala lembaga pemerintahan yang lain, anggota legislatif semuanya dalam menjalanka tugasnya didalam dan diluar jam kantor taat kepada hukum, mengambil keputusankeputusan,jabatan-jabatan menurut hati nurani sesuai hukum.23 Dari ketiga pendapat diatas penadapat Dasril Radjab terlalu umum, tidak menjelaskan unsur-unsur Negara Hukum secara konkrit. Sedangkan pandangan Abu Daud Busroh dkk.,dan D.Notohamidjojo nampaknya lebih konkrit, hanya saja ditujukan pada subyek hukum pejabat penegak hukum dan tidak menyentuh
2 Abu Daud Busroh,dkk.,1985.Asas-Asas Hukum Tata Negara.Ghalia 21 Indonesia, Jakarta, hal.110. 22 Dasril Radjab,1994.Hukum Tata Negara Indonesia, PT.Rineka Cipta, 2 Jakarta Hal.65. 2 D.Noto Hamidjojo,1970, Makna Negara Hukum,BPK,Jakarta,Hal.36. 23
23
subyek hukum warga masyarakat secara keseluruhan. Hukum yang berlaku (dasar hukum) inilah yang menentukan cara untuk memperoleh kewenangan pemerintah. 2.Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam melakukan tindakan pemerintahan khususnya dalam kaitanya dengan penyelenggaraan pemerintahan, selain beradasarkan peraturan perundangundangan, akan tetapi juga harus mengacu dan memperhatikan juga asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, H.A.Muin Fahmal mengemukakan bahwa awalnya teradapat dalam Algemene Beginselen Van BehoorlijkeBestuur yang dikemukakan De’ Monchy yang diajukan dalam parlemen Belanda pada tahun 1950.24 Kemudian oleh komisi Vander Grinten pada Tahun 1952 oleh crice le Roy menyebutkan Sembilan asas dan diakomodasikan dalam yurisprudensi Belanda tahun 1957 menjadi sepuluh. Selanjutnya oleh Koentjoro Poerbopranoto, menyebut 13 (tiga belas) asas yakni sebagai berikut: 1. Asas kepastian hukum 2. Asas keseimbangan 3. Asas Kesamaan 4. Asas bertindak cermat 5. Asas Motivasi 6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan 7. Asas fire play 24 H.A.Muin Fahmal,2006. Peran Asas-asaa Umum Pemerintahan Yang Layak 2 Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta.hal.49.
24
8. Asas kedailan atau kewajaran 9. Asas menanggapi pengaharapan yang wajar 10. Asas meniadakan Akibat-akibat suatu keputusan yang batal 11. Asas perlindungan dan pandangan hidup 12. Asas kebijaksanaan 13. Asas Kebijaksanaan Asas penyelenggaraan kepentingan umum Keberadaan
asas-asas
penyelenggaraan
pemerintahan
tersebut
sebagaimana yang dikemukan koentjoro Poerbopranoto tersebut diatas,pada prinsipnya adalah untuk menghindari adanya tindakan kolusi,korupsi dan nepotisme dalam peneyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, Philipus M.Hadjon juga mengemukakan beberapa asas umum pemerintahan yang baik, yakni sebagai berikut: 1. Asas perasamaan 2. Asas kepercayaan 3. Asas kepastian hukum 4. Asas kecermatan 5. Asas pemeberian Alasan(Motivasi) 6. Larangan “detournament de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang) 7. Larangan bertindak sewenang-wenang.25 Bertitik tolak beberapa asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang dikemukakan oleh koentjoro Poerbopranoto dan yang dikemukakan oleh 25 .Philipus M.Hadjon,et.al,2005, Pengantar Hukum Admonistrasi 2 Indonesia,Gajah Mada University Press, Yogyakarta,hal.270
25
Philipus
M.Hadjon,
pada
prinsipnya
merupakan
suatu
kaidah
dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dari beberapa asas tersebut diatas yang mempunyai relevansi dalam penulisan ini adalah : Asas Kepastian Hukum. Dimana dalam Asas kepastian hukum dalam asas dalam Negara hukum yang melandaskan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggraan negara. Sebab tanpa adanya suatu aturan hukum yang jelas akan menimbulkan masalah-masalah dikemudian hari. Asas ini berkaitan Pemberhentian Kepala Daerah serta pengambilan keputusan oleh DPRD Untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah kepada Presiden melalui menteri dalam Negeri. 3. Konsep Pemberhentian Ketentuan Pasal 29 ayat ( 1) seorang Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti
karena:
Pemberhentian
meninggal sebagai
dunia,
Permintaan
kepala daerah
sendiri,
diberhentikan.
adalah pemberhentian yang
menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi berkedudukan sebagai Seorang Kepala Daerah. Pemberhentian dari jabatan sebagai kepala daerah adalah pemberhentian yang menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi bekerja pada suatu satuan organisasi Negara. Jenis-Jenis Pemberhentian Sebagai Kepala daerah. Pemberhentian sebagai Kepala daerah atas usulan DPRD dan pemberhentian kepala derah tidak melalui usulan. Kepala Daerah yang diberhentikan melalui
26
usulan DPRD Pemberhentian atas usul DPRD ini dibagi dalam dua kelompok alasan sebagai berikut: a. Karena alasan berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat
yang
baru
dan
karena
alasan
karena
tidak
dapat
melaksanakan tugas secara, berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan (pasal. 29 ayat (2) a dan b.). Pemberhentian karena alasan ini diusulkan DPRD kepada Presiden . b. Pemberhentian Kepala Daerah dan/ atau Wakil Kepala Daerah karena alasan : a) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah dan
atau
Wakil
sumpah/janji
Kepala
jabatan
Daerah
Kepala
;
Daerah
b)
dinyatakan dan/atau
melanggar
Wakil
Kepala
daerah;c) tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah; dan d) melanggar larangan hagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Pemberhentian karena alasan ini diputuskan dalam Rapat Paripurna DPRD berupa "pendapat DPRD" untuk diajukan ke Mahakamah Agung guna diperiksa, diadili dan diputuskan.
Sedangkan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tanpa melalui usulan DPRD. Pemberhentian model ini dilakukan secara langsung olch Presiden dengan dua sifat Sebagi berikut: a. Pemberhentian sementara. Pemberhentian sementara dilakukan langsung oleh Presiden karena alasan: a) apabila dinyatakan
27
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan (sesuai dengan penjelasan pasal ini, pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan pertama/pengadilan negeri). b) karena diduga melakukan tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Pemberhentian model ini dilakukan melalui usulan DPRD. b. Pemberhentian. Pemberhentian dilakukan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena alasan : a) terbukti melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; b) terbukti melakukan tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Djohermansyah Djohan , mengemukakan sesuai aturan dalam UU No 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005, maka pemberhentian sementara kepala daerah yang terjerat hukum tidak harus melalui usulan DPRD.lebih lanjut dikatakan bahwa “Secara etika pemerintahan, memang tidak elok seorang kepala daerah yang sudah ditahan masih mengendalikan pemerintahan dari balik penjara. Tetapi, bila masih berstatus tersangka, kita masih
menganut
azas
praduga
tak
bersalah
sehingga
dimungkinkan seorang gubernur atau bupati untuk memimpin dari rumah tahanan”26. 26 Djohermansyah Djohan,Pemberhentian Kepala Daerah Tak Berkasus Tak Mesti Lewat DPR.serial online 7 maret 2010.available from:
28
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nursyahbani Katjasungkana27, merumuskan beberapa alasan mengapa ada kewenangan presiden berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang
Pemda
tersebut.
Pertama,
pemberhentian
sementara
dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya proses pemerintahan di daerah, karena proses hukum akan memakan waktu yang cukup lama. Kedua, pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memudahkan urusan-urusan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga tugas-tugas kepala daerah yang dialihkan ke pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah tidak akan terpengaruh proses hukum pejabat daerah yang berstatus sebagai terdakwa. Ketiga, kepala daerah dapat diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD. 4. Teori Kewenangan Secara teoritik Hukum Administrasi Indonesia berkolerasi erat dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia dan demokrasi, bahkan sangat esensial dalam memberikan corak bagi pertumbuhan dan perkembangan Hukum Administrasi Indonesia. Hanya dengan akar demokrasi yang kuat dibawah pohon negara Hukum Indonesia serta dibawah naungan Hukum Administrasi Indonesia, dapat diwujudkan penyelenggaraan negara yang bersih ( clean government )
URL:http://matanews.com 27 Nursyahbani Katjasungkana.Pemeberhentian Sementara Kepala Daerah vs Persumption Of Innocent.serial online 27 oktober2008.availablefrom:URL:http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php ?newscode=63
29
Asas demokrasi merupakan dasar dari Negara Hukum Indonesia dan Hukum Administrasi Indonesia, karena secara substansial asas demokrasi meletakan dan menjunjung tinggi superioritas kedalautan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintah. Demokrasi dan Hukum Administrasi Indonesia sebagai pelaksanaan cita-cita pemerintah dari yang di perintah akan menimbulkan konsekwensi bagi badan / pejabat tata usaha negara di mana setiap tindakan badan / pejabat tata usaha negara “ harus’’ terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang di perintah ( rakyat ) Dalam sebuah Negara Hukum modern, persetujuan dari rakyat tersebut di berikan melalui wakil-wakilnya, di parlemen (DPR) yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, sehingga melahirkan asas legalitas. Asas Demokrasi dan asas legalitas inilah yang kemudian menjadi dasar kewenangan atau legitimasi bagi badan /pejabat tata usaha negara dalam bertindak yang di perolehnya melalui atribusi. Dasar kewenangan atau atribusi ini sangat penting dalam sebuah negara demokrasi, terutama bagi badan / pejabat tata usah negara dalam melakukan tindakan-tindakan hukum yang sifatnya membebankan sesuatu kepada seseorang atau masayarakat, misalnya, pembebanan pajak. Di Indonesia secara formal asas legalitas atau asas keabsahan ditemukan ketentuannya dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan : Badan atau pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
30
Asas legalitas tersebut dapat di temukan dalam setiap negara hukum, misalnya di Inggris asas legalitas itu disebut asas the rule of law,di Belanda disebut wet matigheid van bestuur atau rechmatigheid van bestuur,sedangkan di Perancis disebut asas Ie principe de la legelite de I’administration dan di Jerman disebut asas gesetzmassigkeit der varwaltung. Asas legalitas tersebut sebagai dasar kewenangan atau keabsahan dalam menyelenggarakan pemerintahan ,dapat terjadi karena diberikan oleh badan administrasi negara melalui attribusi atau diberikan oleh administrasi negara kepada administrasi negara lainnya melalui peraturan perundang-undangan dengan cara delegasi atau mandat. Dilihat dari asalnya atau sumber wewenang attributive (legislators) dapat dibedakan, asalnya diperoleh dari pemerintah tingkat pusat ( MPR dan / atau DPR / DPD) serta dari pemerintah di tingkat daerah (DPRD) atau di tingkat desa (BPD). Asal wewenang itu di sebut original legislator atau dari pembuat undangundang asli (originale ivetgever). Selanjutnya, apabila presiden berdasarkan suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu peraturan pemerintah (PP) yang menciptakan wewenang pemerintah kepada badan / pejabat tata usaha negara, maka wewenang itu disebut delegated legislator atau gedelegeerde attributie. Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa28 Authority right to exercise poers; to implament and enforce laws; to e’ast obedoce; to command; to judge. control over; jurisdiction; often syimonyomus whit power deleted by a 28 .Hery Cambeli Black, Black’s Law Dictionary,St.Paul Minn, West 2 Publishing Co,1997,h.119
31
pricial I his agent to effect legal of principal by acts done in accordance whit pripical’s manifestation of conttens to agent. Philipus M.Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan bevoegheid, tetapi mempunyai perbedaan karakter. Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat. sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian, wewenang sejajar dengan bevoegheid dalam hukum publik29. Dalam hukum perdata jika seseorang atau suatu badan telah memenuhi kualifikasi tertentu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, maka berwenang mengadakan perjanjian menurut hukum perdata. Hal itu dalam hukum perdata di sebut dengan istilah mampu untuk berbuat ( handelingsbekwaam). Hubungan-hubungan dalam hukum perdata dapat dilakukan sejauh tunduk pada hukum positif30. Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan inti dari hukum tata negara dalam hukum adminstrasi negara. Dalam hukum tata negara, wewenang didekskripsikan sebagai kekuasaan hukum. jadi wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Wewenang terdiri atas minimal tiga unsur yaitu pengaruh, dasar hukum dan konfronitas hukum, wewenang dapat pula dilukiskan sebagai suatu kemampuan yang diberi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk 29 .Hadjon, Philipus M. Tentang Wewenang, Dalam Yuridis, Nomor 5 dan 2 6 Tahun XII September -Desember 1997 selanjutnya Disebut Hadjon, Philipus, M 3 .Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradailan 30 Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Pustaka Sianar Harapan Jakarta.2004. hal. 94
32
menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah. Dengan adanya unsur kekuasaan, maka wewenang merupakan legitimasi bagi dikeluarkanya keputusan-keputusan sepihak yang bersifat mengikat terhadap orang lain. pelaksanaan wewenang itu dapat melahirkan norma-norma hukum material maupun formal. Philipus M. Hadjon mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh wewenang yaitu attribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa acapkali, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi, dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan, Philipus M Hadjon juga menegaskan bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu attribusi dan delegasi31. Sementara itu, Suwoto Mulyosudarmo menggunakan istilah kekuasaan, mengemukakan bahwa ada dua macam pemberiaan kekuasaan yang sifatnya atributif dan prolehan kekuasaan yang sifatnya derifatif. Perolehan kekuasaan secara derivative dibedakan atas delegasi dan mandat32 Attribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan
peraturan
perundang-undangan.
Pembentukan
dan
distribusi
wewenang terutama ditetapkan didalam konstitusi atau UUD. Pembentukan wewenang pemerintahan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.Disini 31 . Hadjon, Philipus M,dkk, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara (Introduction To The Indonesian Administration Law),cet. I Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997. hal.128-129 32 Mulyosudarmo, Suwono, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Utama, Jakarta.1997.hal.3948
33
terjadi pemberiaan wewenang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundangundangan sehingga dilahirkan suatu wewenang baru.
Dengan demikian, pembentukan wewenang yang berdasarkan pada atribusi nampak dari ciri-ciri sebagai berikut : a. Melahirkan wewenang baru b. Dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Legislator
berkompeten
untuk
memberikan
atribusi
wewenang
pemerintahan dibedakan atau original legislator, seperti MPR menetapkan UUD, dan presiden bersama DPR membuat undang-undang dan delegated legislator, seperti : Presiden menetapkan PP yang menciptakan wewenang pemerintah organ tertentu33. Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat sesuatu putusan oleh pejabat pemerintahan (delegans) kepada pihak lain (delegantaris) dan wewenang itu menjadi tanggung jawab dari delegantaris. Syarat-syarat delegasi adalah: a. Harus difinitis, artinya bahwa delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah diserahkan. b. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya bahwa delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundangundangan. 33 .Indroharto,2004.Op.Cit.,hal.17
34
c. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan ada delegasi. d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans berwenang meminta penjelasan tentang peleksanaan wewenang tersebut. e. Merupakan peraturan kebijakan (beleids-regel), artinya bahwa delegans memberikan instruksi tentang pemberiaan wewenang tersebut. Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang. Tripel membedakan delegasi atas primare dan secundare delegation. Pembedaan dilakukan berdasarkan aspek kuantitas dan kualitas (sifat) primare delegation berkaitan dengan jumlah atau keleluasaan kewenangan yang didelegasikan, yang dapat bertambah atau berkuarang. Sedangkan secundare delegation berkaitan dengan sifat kewenangan yaitu adakalanya bersifat zefstanding atau zakelijk. Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atas nama yang memberikan mandat (mandans).Disini tidak perlu ada peraturan perundang-undangan yang melandasi, karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern. Dengan demikian, disini tidak terjadi pemberiaan wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari organ atau pejabat TUN yang satu kepada Pejabat TUN yang lain. Jadi ,wewenang pemerintahan yang dilakukan oleh mandataris atas nama dan tanggung jawab mandans.
35
Namun demikian, mandat dapat terajadi kepada bukan bahwahan , tetapi hal itu baru dianggap sah apabila mandataris mau menerima pemberiaan mandat tersebut. a. Wewenang itu menimpakan sehari-hari dari mandans b. Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan bentuk pemberiaan mandat tersebut. Oleh karena itu, unsur-unsur dari mandat (pemeberiaan kuasa) adalah: 1)
Hanya dapat dilakukan oleh organ yang memperoleh wewenang
secara atributif atau pemegang delegasi 2)
Tidak membawa konsekwensi bagi mandataris untuk bertanggung
jawab kepada pihak ketiga, namun dapat diwajibkan untuk memberikan laporan atas pelaksanaan wewenang kepada mandans 3)
Mandataris harus bertindak atas nama mandans
4)
Pelimpahan wewenang kepada pihak ketiga hanya atas seizin
mandans. Berdasarkan paparan teori tersebut, maka dibedakan antara pembentuk wewenang yang diperoleh secara atributif dengan pembentuk wewenang secara atributif dilakukan oleh pembentuk konstitusi ( pembentuk negara) yaitu PPKI. Lembaga-lembaga negara (state institutions) memperoleh wewenang yang ditentukan didalam UUD 1945 berdasarkan pengesahan yang dilakukan oleh PPKI. sedangkan pembentukan wewenang dilakukan oleh pemegang wewenang atributif.
36
Pemahaman mengenai pembentuk wewenang berdasarkan pada teori-teori pembentukan wewenang atau cara memperoleh wewenang merupakan merupakan salah satu masalah dalam HTN dan HAN yang akan tetap aktual dan menarik perhatiaan para ahli hukum . Terlebih lagi dengan dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 yang menyebabkan perubahan struktur ketatanegaraan RI. Perkembangan mengenai lembaga-lembaga negara sangat mencolok, terutama menyangkut hubungan antara legislatif dengan eksekutif dan yudikatif yang dilandasi oleh suatu paradigma baru bagi Indonesia yaitu system pemisahan kekuasaan berdasarkan perinsip pengawasan
dan keseimbangan (check and
balances system) yang dipandang sebagai urat nadi pemerintahan demokratis yang berdasarkan atas hukum. Pendelegasian wewenang perundang-undangan justru menimbulkan ketegangan yang berkaitan dengan masalah politis konstitusional. Oleh karena itu, produk hukum yang berupa peraturan perundang-undangan harus jelas mengatur mengenai hal itu. Jika tidak , persoalan sengketa antar wewenang tidak akan terelakan. 5.Teori Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah pengakuan bahwa semua manusia itu memiliki martabat yang sama. Disamping itu memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama pula. Hak-hak yang paling fundamental itu adalah aspek-aspek manusia Indonesia sendiri. Semua hak yang berakar dalam kodratnya sebagai manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan eksistensi manusia dan merupakan konsekwensi hakiki dari kodratnya. Dalam kaitanya dengan penyelenggraan pemerintahan,Good governance, dewasa ini menjadi
37
sebuah cita bersama yang selalu didengungkan pada hampir setiap kesempatan, namun yang menjadi pertanyaan kita apakah sesungguhnya “pemerintahan (governance)” Istilah governance secara harafiah dapat diartiakan sebagai suatu kegiatan pengarahan, pembinaan , atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Guiding. Governance adalah suatu proses dalam mana suatu system social ekonomi atau system organisasi social kompleks lainya yang dikendalikan dan diatur34 . Menurut Paquet “Governance is the process through wich a ocio -economy or any Other Complex organization is steered”35.Sementara itu Pinto mendefinisikan Governance Sebagai “Paraktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam penyelengaraan Urusan pemerintah secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya”36. Kaitannya dengan substansi tulisan ini, maka tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu variable mutlak terciptanya pemerintahan
yang
bersih
adalah
keharusan
adanya
sebuah
pertanggungjawaban. Good Governance berkaitan erat dengan hak-hak asasi yang berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah yaitu: 3 Karhi Nisjar S, Beberapa catatan tentang Good Governance, Dalam 34 jurnal Administrasi dan Pembangunan , Vol.1 No.2, PERSADI LP3ES, Jakarta 1997, hal.155 3 Paquet, Gilles “Paradigms Of Governance” dalam Canadian Center 35 For Managemen Development, Rethinking Governance, The Dewar Series : Perspektive On Publik Management 1994 Exploration No.2 36 Pinto, Regerio F, Profecting The Governance Aproach To Civil 3 Servisce Rewform An Intitusional Enveriroment Assesment For Freparing a Sectoral Adjusment Loans at The Gambia, Word Bank Disccusion Paper, Africa Technical Departement series,hal.252
38
a. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat ( to
guarantee the
sevcurity of all persons and society it self ) b. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sector sewasta dan masyarkat ( to manange an effective framework for the public sector, the private sector and civil society ). c. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainya sesuai dengan kehendak rakyat ( to promote economic, social and otheraims in accordance with the wishes of the population)37 Demokrasi mempunyai arti penting dalam suatu negara untuk menjamin jalannya suatu organisasi negara.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi
pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupanya termasuk dalam menilai kebijasanaan negara karena kebijaksanaan negara tersebut menentukan kehidupan rakyat.38 Jadi,negara demokrasi adalah negara yang diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu perorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuaan rakyat karena kedalautan berada dalam tangan rakyat. Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan penadapat dari
Hendry B. Mayo yang memberikan pengertian
sebagai berikut:
3 G.H.Addink,Reader,Principles of Good Governance,hal.1.3 37 38 Deliar Noer,1983. Pengantar Pemikiran Politik, Rajawali, Cet. Ke-1 3 .Jakarta.hal 207
39
A democratic political system is one which publik policies are made on majority basis, by representatives subject to effective popular control periodic elections which are conducted on the principle of political freedom.39 6.Teori Desentralisasi Di negara Belanda teori desentralisasi dalam arti pandangan yang proposisinya menjelasakan konsep desentralisasi, dan kutip oleh pakar-pakar Belanda seperti F.A.M Stroink, J.S.Steenbeck, J.M.De Mij, A.D. Balifante adalah Pandangan Van der Pot,. Yang ditulis dalam bukunya “Handboek Van Nederlande Staatsrecht” Van der Pot membedakan konsep desentralisasi ke dalam dua kategori, yaitu “ desentralisasi territorial” dan “ desentralisasi fungsional”. Desentralisasi territorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah(gebeidcorporatie), berbentuk “otonomi” dan “tugas pembantuan”. Desentaralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan tertentu (doelcorporatie)40 Letak perbedaannya pada” desentralisasi fungsional” berbentuk badan-badan yang menjalankan kewenangan dalam rangka desentralisasi berdasarkan tujuan sesuai fungsi yang diemban. Contoh “subak” oraganisasi perairan diBali yang menjalankan fungsi pengairan atau irigasi non teknis.
39 Hendry B. Mayo,1960. An Introduction To Democratic Theory.Oxford 3 Univesity Press,New York.hal.70 4 Bagir manan,Op.Cit.,1993.hal.29 40
40
Di Belanda, badan yang menjalankan kewenangan berdasarkan “ delcorporatie”, desntralisasi fungsional “ Waterchap” untuk mengurus penolakan air (Waterkering) dan pembuangan air (waterlozing) pada suatu wilayah tertentu. Pada desntaralisasi teritoril disebut “ desentralisasi kenegaraan” badanbadan yang menjalankan kewenangan didasrkan dalam lingkup wilayah tertentu atau batas territorial.Baik berbentuk “Otonomi” maupun \ “ medebewind” (tugas pembantuan ). Otonomi daerah mengnandung arti hak mengatur ( legislative), hak mengurus (eksekutive) rumah tangga sendiri, dengan kekayaan (anggaran) sendiri. Tugas pembantuan atau medebewind mengandung arti tugas untuk membantu apabila di perlukan melasanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Asas medebewind dimasukan kedalam bentuk desentralisasi karena di dalam menjalankan tugas pembantuan, daerah memiliki “ kebebasan” tentang cara bagaimana tugas itu harus dijalankan, meskipun daerah tetap bertangung jawab kepada pemerintahn pusat. BC Smith menjelaskan desentralisasi merupakan hal yang universal, “The need for sam form of decesntralization of tobe universal”41.J.H Warren menyebutkan “A bove everthing however local geverment is a fundamental is
41 B.C.Smith, Decentralization ( the territorial dimension Of the 4 state),George Allan & Onwin Ltd, London WCIA ILU UK,1985,hal.2
41
institutional because of it education effect upon the mass of ordinary cirtixzans”.42 Pakar pemerintahan di Indonesia, Irawan soedjito,membedakan desentarlisasi
kedalam
tiga
kategori,
yaitu
desentralisasi
teritorial,
desentralisasi fungsional, desentralisasi administrative atau dekosentrasi.43 Pengertian “desentralisasi territorial” dan “ desentralisasi fungsional” sama dengan pengertian yang telah lazim diikuti ( pendapat Van der Pot)di atas, sedangkan “ desentralisasi administrative atau dekosentrasi ” (ombtelijk
decentraliatie)
mengandung
arti:
pemerintah
pusat
melimpahkan sebagian dari kewenangannya kepada alat perlengakapan atau organ pemerintah sendiri di daerah yakni pejabat-pejabat pemerintah yang ada di daerah untuk dilaksanakan.44 Mengenai hubungan antara desentralisasi dan dekosentrasi, di akui oleh Irawan Soedjito ada dua pendapat. Pendapat pertama, kelompok yang berpendapat ,bahwa dekosentrasi sebagai bentuk dari desentralisasi. Yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain Rodinelli yang membagi desentaralisasi kedalam bentuk utama, yaitu : 1)
Deconcentration
2)
Delegation to semi-outonomuous or parastatal agencies
3)
Devolution to local development
4 J.H.Waren, The local Government service, George Allen & Onwin Ltd, 42 Museum Street, London,1952.hal. X 43 Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan 4 daerah, Bina Aksara, Jakarta,1981.hal.29 4 Irawan Soedjito, Ibid,.33-34 44
42
4)
Transfer of function from public non-government institution Begitu
pula
pandangan
dari
Litvack
dan
Sedon,
senada
mengakategorikan konsep desentralisasi menjadi empat, meliputi: 1)
Desentralisasi politik
2)
Desentralisasi administratif, memiliki tiga bentuk : a. Dekosentrasi b. Delegasi c. Devolusi
3)
Desentralisasi fiscal
4)
Desentralisasi ekonomi45 Pendapat kedua, menganggap dekosentrasi hanyalah pelunakan dari
sentralisasi bukan bagaian dari desentralisasi. Pendapat ini dianut oleh UUD 1945 ( perubahan kedua). Dalam pasal 18 ayat 2 ditentukan: “ pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas pembantuan” Dekosentrasi tidak diatur dalam penyelenggraan pemerintah daerah, karena dipandang sebagai bagaian dari penyelenggaraan pemerintah pusat melekat pada kewenangan pemerintah pusat, secara teoritis dekosentrasi merupakan pelunakan sentralisasi menuju desentralisasi.Andi Mustari Pide mendefinisikan Desentaralisasi sebagai“pelimpahan kekuasaan dan wewenang dibidang tertentu secara vertical dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada instansi/lembaga/pejabat fungsional dibawahnya, sehingga diserahi wewenang 4 Sadu Wasistiono,Op,Cit .,hal,18 dan 23 45
43
tertentu tidak berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu”46 Desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hoessein adalah pembentukan daerah otonom dan /atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat.47 Kaitannya dengan kajian ini adalah bahwa dalam Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas memosisikan kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan. Implikasi pasal ini, aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan ini meliputi tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketentuan pasal ini menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan menekankan pada service sphere bukan pada political sphere. Pemahaman politik dalam perspektif Undang-Undang No. 32 Tahun2004 tidak menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam Undang-Undang ini tidak dikenal dengan sistem parlementer. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan (impeachment) terhadap kepala daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab, tidak ada aturan yang memungkinkan masyarakat dapat secara langsung meng-impeach kepala daerah. Namun, DPRD bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada 4 Andi Mustari Pide, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki 46 Abad XXI. Gaya Media Peratama, Jakarta,1999,hal.33 47 Benyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Mempenagruhi Besarnya 4 Otonmi Daerah di Tingkat II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Jakarta.Program PPS Universitas Indonesia,1993
44
Presiden jika memenuhi ketentuan Pasal 29 Undang-undang No 32 Tahun 2004 atau diberhentikan sementara oleh Presiden apabila melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 30--32 Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).48 E. Metode Penelitian 1.Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normative yang mengakaji hukum positif dan asas-asas hukum serta aspek teoritiknya, menurut Soerjono Soekanto, jenis penelitian normatif meliputi : penelitian hukum positif, asas-asas hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum49.Penelitian hukum normative mengkaji bahan-bahan hukum baik primer dari sumber yang mengikat, sekunder yang menjelasakan bahkan hukum primer seperti karya ilmiah para sarjana, dan bahakan hukum tersier yang menjelasakan kedua bahan hukum primer maupun sekunder yakni kamus hukum. 2. Pendekatan yang Dipergunakan Pendekatan yang di perggunakan dalam penelitian ini adalah: a. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) yaitu dengan mengkaji peraturan penrundang-undangan yang relevan dengan masalah yang di bahas. 48 Syarief Makhya. Pencampuradukan Politik Dengan 4 Pemerintahan.Serial Online 27 Maret 2006.Availablefrom:URL.http://fisippemerintahan.unila.ac.id 49 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, 4 Jakarta,1984
45
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yang mengkaji pandangan para ahli yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. c. Pendekatan perbandingan ( comparative approach) dilakukan dengan membandingkan antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. 3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum Bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer , bahan hukum sekunder dan tertier. a. Bahan hukum Primer, yakni bahan hukum yang bersifat mengikat karena bersumber dari peraturan perundang- undangan di bidang pemerintahan daerah khususnya Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, karena itu bahan hukum ini di peroleh dari bukubuku, makalah, jurnal yang ditulis oleh para ahli. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari kamus hukum. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum di lakukan dengan menginventaris, menyusun berdasarkan subyek, selanjutnya dikaji / atau di pelajari kemudian diklasifikasi sesuai dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum menurut Winarno Sukahman disebut teknik studi dokumentasi dengan
46
menggunakan alat bantu kartu titipan (card system ) berdasarkan pengarang / penulis ( subyek) maupun tema atau pokok masalah (obyek)50. 5. Analisis Bahan Hukum Setelah bahan hukum terkumpul selanjutnya diklasifikasi seemikian rupa selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan penelitiaan. Bahan-bahan hukum dianalisis dengan pemaparan secara sistematis dan runtut dengan teknik argumnetatif. Terhadap ketentuan hukum yang tidak jelas ditafsirkan sesuai mentode interpretasi hukum. Interpretasi hukum yang digunakan adalah penalaran analogi dan penalaran acontrario51. F. Sistematika Penulisan Sistematika penelitian ini terdiri dari Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan dan kegunaan penelitian,rumusan masalah, krangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bab II Tinjauan umum tentang pemberhentian kepala daerah yang terdiri dari kedudukan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemberhentian Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,dan Mekanisme pemberhentian Kepala Daerah.
50 Wirnano Sukahman, Pengantar Penelitian ilmiah, Dasar Metode dan 5 Teknik, Tarsito Bandung. 1985.,hal.257 5 Soedjono Diokdjo Sisworo, Pengantar ilmu Hukum, Rajawali Press, 51 Jakarta.,hal.156
47
Bab III Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian kepala daerah,yang terdiri dari, usulan DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah dan Pelaksanaan putusan DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah Bab IV Akibat hukum terhadap pemberhentian kepala daerah yang terdiri dari, kekosongan jabatan Kepala Daerah dan mekanisme pengisian kekosongan jabatan Kepala Daerah. Bab V Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH A. Kedudukan Kepala Daerah Dalam System Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Sebelum membahas mengenai pemberhentian Kepala Daerah menurut Undang-Undang 32 Tahun 2004, terlebih dahulu dikemukakan kedudukan Kepala Daerah dalam struktur pemerintahan daerah menurut Undang-Undang 32 Tahun 2004. Pada daerah ditentukan adanya lembaga eksekutif pemerintah dan lembaga legislatif yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Hubungan antara kepala Daerah dan DPRD ditata sedemikian rupa sehingga benar-benar sederajad dan tidak di dominasi salah satu diantar keduanya. Masing-masing badan atau lembaga menjalankan peran sesuai dengan kedudukan, tugas pokok dan fungsinya dalam system pemerintahan negara Indonesia. Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan kesatuan integral yang memberikan pelayanan publik sesuai dengan
48
ketentuan hukum yang diamanatkan oleh UUDNKRI 1945. Kepala Daerah menyelenggarakan pemerintahan di daerahanya hal ini tersirat dari ketentuan pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2004, yang menyatakan : “Pemerintahan daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan daerah oleh pemerintah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Menurut Montesquieu pemerintahan dalam arti luas meliputi bidang legislatif,eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit menunjuk pada aparatur atau alat perlengkapan negara yang melakasanakan tugas dan kewenagan pemerintah dalam arti sempit yaitu bidang eksekutif saja. Menurut Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh sadjino, pemerintahan dalam sempit hanya meliputi bidang bestuur saja ,yaitu segala tugas dan kewenangan negara dikurangi bidang perundang-undangan ( wetgeving), peradilan (rechtspraak) dan bidang kepolisian ( politie).52 Selanjutnya mengenai istilah pemerintahan daerah tidak dapat dilepaskan dari pengertian pemerintahan seperti yang telah diuraikan diatas. Pemerintahan daerah meruapakan sub system dari pemerintahan yang bersifat nasional. persoalan hubungan antara pemerintahan pusat
dan daerah
di Indonesia
merupakan konsekuensi dari pembagian kekuasaan negara secara vertikal dalam 52 Sadjino.Fungsi kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, 5 LaKsBang PRESSindo, Yogyakarata,2005.hal.24
49
negara kesatuan RI, sehingga melahirkan adanya pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Menurut Carl J Frederich sebagaimana yang dikutip Miriam Budiarjo, pembagian kekuasaan secara vertikal atau disebut juga dengan territorial division of power adalah pembagian kekuasaan menurut beberapa tingkatan kekuasaan pemerintahan yaitu antara pusat dan pemerintah daerah( local government)53
Lebih lanjut dalam pasal 2 Undang-undang No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: 1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. 2) Pemerintahan daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-seluasnya kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah,
dengan
tujuan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat,
pelayanan umum dan daya saing daerah. Berikutnya dalam pasal 3 Undang-undang No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: 1) Pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 aayat (3) adalah: 53 Miriam Budiarjo,Dasar-dasar Ilmu Politik, Garmedia, 5 Jakarta.1988.hal138
50
a.
Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah
provinsi dan DPRD; b.
Pemerintahan daerah kabupaten kota terdiri atas pemerintah
daerah kabupaten kota dan DPRD kabupaten kota. Ketentuan senada juga dapat kita lihat dalam pasal 19 ayat (2) UndangUndang No.32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “ penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah dan DPRD” Dari ketentuan diatas terlihat bahwa
DPRD dan Kepala Daerah merupakan unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang
keduanya mempunyai kedudukan
sederajat, tidak dapat saling menjatuhkan. Hubungan antara Kepala Daerah dan DPRD terjalin secara fungsional dan kemitraan. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa peraturan daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Kepala Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra kerja dalam membuat kebijakan daerah dan melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga perlu membangun suatu sinergi hubungan kerja yang saling mendukung, bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah mempunyai fungsi legislasi, fungsi budgetair dan fungsi pengawasan (controlling). Terkait dengan pengawasan kepada Kepala Daerah, DPRD menurut UU No.32 Tahun 2004 tidak lagi diberi kewenangan untuk memberhentikan Kepala Daerah sebagaimana yang pernah diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1999. Kendati demikian, tetap
51
mempunyai sedikit posisi tawar dihadapan kepala daerah dengan hak mengawasi kinerja Kepala Daerah dalam peneyelenggaraan pemerintahan Di daerah propinsi, pihak pemerintah dipimpin oleh Gubernur yang mempunyai kedudukan sebagai kepala daerah dan sekaligus sebagai kepala wilayah mewakili pemerintah pusat. Sedangkan di daerah kabupaten, pihak pemerintah di pimpin oleh Bupati dan didaerah kota dipimpin oleh walikota yang berkedudukan sebagai Kepala Daerah otonom. Baik Gubernur didaerah propinsi maupun Bupati dan Walikota di daerah kabupaten dan kota mempunyai kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing untuk daerah propinsi ataupun untuk daerah kabupaten dan daerah kota. Karena itu dalam Undangundang Nomor 32 Tahun 2004, istilah daerah Tinggkat I dan Daerah Tinggkat II tidak digunakan lagi agar tidak mengesankan adanya hirarki antar daerah yang lebih tinggi dan daerah yang tingkatanya lebih rendah. Setiap daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah yang berdasarkan asas desentralisasi, yang merupakan kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah propinsi disebut gubernur karena jabatannya juga merupakan Wakil kepala Pemerintah pusat di daerah berdasarkan asas dekosentrasi. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menurut asas desentralisasi. Reformasi yang dilakukan pemerintah melalui Undang-undang No.32 tahun 2004 adalah Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata caranya ditetapakan dalam peraturan perundang-undangan.
52
Reformasi tersebut untuk memenuhi amanat konstitusi sebagaimana yang dimuat dalam pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UUDNKRI 1945 yang berbunyi: (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masaing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagaimana diintrodusir Undang-undang No .32 Tahun 2004 dirasakan masih belum benar-benar demokratis karena yang boleh mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hanyalah partai politik atau gabungan partai politik, sementara calon perseorangan/ independen tidak dimungkinkan mengikuti pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/ PPU-V/2007 kemudian diberikan ruang/ peluang kepada calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian dilakukan perubahan terhadap pasal 56 Undang-undang No.32 Tahun 2004 dan telah disahkan oleh DPR pada rapat paripurna tanggal 2 April 2008. Dalam Undang-undang No.32 Tahun 2004 diatur mekanisme dan tata cara pengajuan pasangan calon pereseorangan dalam pemilihan Kepala daerah Di Indonesia. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memperoleh sejumlah kursi tertentu dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan atau memperoleh dukungan suara dalam pemilu legislatif dalam jumlah tertentu.
53
Syarat-syarat untuk dapat dipilih dan ditetapkan menjadi Kepala Daerah adalah: a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Setia Kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat; d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun pada saat pendaftaran; e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter; f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
pengadilan
karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih; g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
54
j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara; k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela; m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang
belum
mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak; n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri; o. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan p. Tidak dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah. Pada pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa kepala daerah adalah pemimpin daerah. Dengan demikian, kepala daerah mempunyai tugas untuk memimpin daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang didalamnya terdapat pemerintahan daerah dan komunitas-komunitas otonomi lainya. Ada dua jenis kepemimpinan yang dijalankan oleh kepala daerah
yakni kepemimpinan
organisasional dan kepemimpinan
sosial54.
kepemimpinan oraganisasional karena kepala Daerah memimpin organisasi pemerintah daerah yang terdiri dari para birokrat. Kepala daerah dapat 54 .Sadu Wasistiono. Meningkatkan Kinerja DPRD.Fokus Media,Bandung, 2009. 5 hal.42.
55
mengguanakan fasilitas manajemen seperti kewenagan,anggaran,logistic untuk menggerakan bawahanya. Pada sisi lain, kepala daerah juga harus menjalankan kepemimpinan sosial, yakni memimpin masyarakat luas sebagai pengikutnya. Dalam menjalankan kepemimpinan sosial, kepala daerah lebih banyak mengendalikan kapasitas dan kapabilitas sebagai panutan bagi pengikutnya. Dalam system pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Istilah ini dikokordan dengan istilah unsur penyelenggara negara pada tingkat nasional yang bisa digunakan dalam bahasa konstitusi. Sebagai Unsur penyelenggara pemerintahan daerah, kedudukan DPRD adalah sejajar dan merupakan mitra kepala daerah dengan fungsi masing-masing. DPRD lebih banyak menjalankan fungsi mengatur dalam bentuk membuat kebijakan berupa peraturan daerah, sedangkan kepala daerah lebih banyak menjalankan fungsi mengurus, dalam bentuk pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan oleh DPRD. Pada pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang: a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebiajakan yang ditetapakan bersama DPRD. b. Mengajukan perda. c. Menetapakan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. d. Menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. e. Menguapayakan terlaksananya kewajiban daerah
56
f. Mewakili daerahnya didalam dan diliuar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan. g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pada sisi lain menurut Pasal 1 butir keempat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: “ Dewan
Perawakilan Rakyat Daerah yang
selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perawakilan rakyat sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah” . Pasal tersebut menunjukan bahwa DPRD mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 menempatkan DPRD sebagai komponen penyelenggraan pemerintahan daerah. Penempatan kedudukan DPRD seperti itu berangkat dari pemikiran bahwa apa yang diselenggrakan di daerah dalam rnagka otonomi merupakan
deivasi atau turunan urusan pemerintahan
bidang eksekutif yang dipancarkan oleh Presiden. Dengan demikian apa yang dikerjakan oleh pemerintah daerah dan DPRD merupakan ranah eksekutif. Cabang-cabang pemerintahan lainya seperti legislatif, yudikatif dan auditif tidak pernah memancarakan kekusaannya untuk di desentralisasikan kepada daerah otonom. Kerancuan kedudukan DPRD dalam system pemerintahan daerah dan system pemerintahan negara timbul karena tiga hal:55 55 Sadu Wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Pewakilan Rakyat 5 Daerah (DPRD). Fokus Media.Bandung. 2009.hal.36
57
1. Nama yang digunakan adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga berkonotasi seperti DPR-nya daerah otonom, sehingga pengaturanyapun disamakan dengan DPR. Hal tersebut terlihat dari pengaturan mengenai susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPRD selalu menjadi satu dalam undang-undang yang mengatur mengenai susuanan, kedudukan,tugas dan wewenang DPR. 2. Proses pengisian anggota DPRD yang dilakukan melalui pemilihan umum bersama-sama dengan pemilihan anggota DPR,sehingga para anggota DPRD merasa seperti anggota DPR di tinggkat daerah. Hal tersebut secra tegas diatur pada Pasal 23E ayat (2) UUDNKRI 1945 yang menyebutkan bahwa, “ pemilihan umum adalah pemilihan untuk Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah , Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 3. Fungsi-fungsi yang dijalankan DPRD sama dengan fungsi-fungsi yang dijalankan DPR hanya berbeda cakupanya saja, sehingga memperkuat anggapan bahwa DPRD adalah DPR-nya daerah otonom. Adapun cara mengatasi adanya kerancuan mengenai kedudukan DPRD dalam system pemerintahan daerah dan sistem pemerintahan negara, perlu dilakukan pelurusan konsep berpikir sebagai berikut:56 1.
Mengganti nama DPRD misalnya dengan Dewan propinsi Untuk
DPRD propinsi, Dewan Kabupaten untuk DPRD kabupaten serta Dewan
5 Ibid,hal.,37 56
58
Kota untuk DPRD Kota. Penggantian nama ini tidak harus mengurangi makna demokrasi, sepanjang pengisiannya tetap menjunjung tinggi kedalautan di tangan rakyat. 2.
Proses Pengisian anggota DPRD tidak dilaksanakan melalui
pemilihan umum bersama-sama DPR dan DPD, tetapi dilakukan bersamasama pemilihan kepala daerah, sehingga masa bakti anggota DPRD akan sama dengan masa jabatan kepala daerah. Perubahan ini tentunya memerlukan amandemen konstitusi. 3.
Penamaan fungsi DPRD khususnya fungsi legislasi diganti menjadi
fungsi pengaturan supaya sesuai dengan penegertian desentralisasi yang menyangkut hak unutk mengatur dan mengurus urusan setempat. Secara sederhana fungsi legislasi adalah fungsi membuat undang-undang. Produk yang dihasilkan DPRD bersama-sama Kepala Daerah bukanlah undang-undang(law), melainkan peraturan daerah( local regulation). Peraturan daerah tersebut apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingakatanya atau bertentangan dengan kepentingan umum dibatalkan oleh Presiden ,bukan oleh Mahkamah Agung. Hal ini semakin mempertegas bahwa apa yang dikerjakan oleh pemerintahan daerah merupakan derivasi dari kekuasaan eksekutif di tingkat nasional. B. Pemberhentian
Kepala Daerah
Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan di Bidang Pemerintahan Daerah Dalam Persepsi Sejarah.
59
1. Pemberhentian Kepala Daerah Menurut Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Jika ditinjau secara historis perundang-undangan dalam Undang- Undang No.22 tahun 1999 pemberhentian Kepala Daerah disebabkan karena penolakan pertanggungjawaban kepala daerah.
Menyimak pasal-pasal dalam Undang-
undang No.22 Tahun 1999: 1. Pasal 46 (1) Kepala
Daerah
sebagaimana
ditolak
dimaksud
pertanggungjawabannya
dalam
pasal
45,
baik
pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun pertanggungjawaban
keuangan,
harus
melengkapi
dan/atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari. (2) Kepala
Daerah yang sudah melengkapi dan/atau
menyempurnakan pertanggungjawabannya menyampaikan kembali kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Bagi Kepala Daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk
kedua
kalinya,
DPRD
dapat
mengusulkan
pemberhentiannya kepada Presiden. (4) Tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapakan oleh pemerintah 2. Pasal 49 huruf “g” Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena: g. mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan pertanggungjawaban, dan keteranagannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD
60
3. Pasal 54 Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya oleh DPRD, sebagaimana dimaksud dalam pasal 53, tidak dapat dicalonkan kemabali sebagai Kepala Daerah dalam masa jabatannya berikutnya. Dari ketiga pasal Undang-undang No.22 Tahun 1999 tersebut dapat diketahui, bahwa akibat hukum terhadap penolakan pertanggungjawaban Kepala Daerah adalah dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan Kepala Daerah oleh Presiden bagi Gubernur dan oleh Menteri Dalam Negeri terhadap Bupati/ Walikota. Tentang akibat penolakan pertanggungjawaban Kepala Daerah yang ditentukan oleh Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tersebut dijabarkan lebih lanjut didalam Peraturan pemerintah No.108 tahun 2000. Didalam PP No.108 tersebut dinyatakan: 1. Pertanggungjawaban Kepala Daerah dapat di tolak apabila terdapat perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi APBD yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidaka dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan tolok ukur Renstra. Penilaian pertanggungjawaban Kepala Daerah dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD. Penolakan DPRD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir mencakup seluruh fraksi (pasal 7) 2. Apabila
Pertanggungjawabannya
ditolak,
Kepala
Daerah
harus
melengkapi dan/atau menyempurnakan dalam waktu paling lambat 30
61
hari. Apabila Kepala Daerah tidak melengkapi dan menyempurnakan dokumen pertanggungjawaban dalam jangka waktu paling lama 30 hari,DPRD dapat mengusulkan pemeberhentian kepada Presiden melalui menteri dalam
Negeri dan otonomi Daerah bagi Gubernur, kepada
Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah
melalui
gubernur
Bupati/walikota.(pasal 8) 3. DPRD melakukan penilaian atas lapran pertanggungjawaban akhir tahun anggaran yang telah disempurnakan paling lambat selesai 1 (satu) bulan setelah lapotan tersebut diserahkan. Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang telah disempurnakan dapat ditolak apabila dalam laporan yang telah disempurnakan masih tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolok ukur Renstra. Penilaian DPRD atas pertanggungjawaban yang telah disempurnakan, dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD. Penolakan atas laporan yang telah disempurnakan hanya dapat diputuskan atas dasar persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir dana mencakup seluruh fraksi.(pasal 9) 4. Apabila laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur ditolak
untuk
keduakalinya.
DPRD
mengusulkan
pemeberhentian
Gubernur Dan Wakil Gubernur Kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Apabila laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Bupati/ walikota ditolak untuk keduakalinya, DPRD mengusulkan pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota Dan
62
Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur ( Pasal 10) 5.
Dalam hal pertanggungjawaban akhir tahun anggaran ditolak untuk keduakalinya, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah membentuki komisi peneyelidik Independen untuk Propinsi: Gubernur membentuk komisi peneyelidik Independen Untuk kabupaten/ kota( pasal 11)
6. Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban Gubernur oleh Komisi disamapaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan tembusan kepada Presiden. 7.
Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban Bupati/ Walikota oleh komisi disamapaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (pasal 13)
8.
Apabila
Komisi
menilai
keputusan
DPRD
atas
penolakan
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur telah usai dengan ketentuan yang berlaku, usul pemberhentian sebagaiamana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) diteruskan kepada presiden untuk disahkan .Apabila
komisi
menilai
keputusan
DPRD
atas
penolakan
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Bupati/Walikota telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, usul pemberhentian ssebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk disahkan.(pasal 4) 9. Apabila
Komisi
menilai
keputusan
DPRD
atas
penolakan
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur tidak sesuai dengan
63
ketentuan yang berlaku, Presiden membatalakan keputusan DPRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1). Apabila Komisi menilai keputusan DPRD atats penolakan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Bupati/walikota tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah membatalkan keputusan DPRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2). ( Pasal 15) 10.Dengan
dibatalkannya
keputusan
DPRD
atas
penolakan
pertanggungjawaban akhir tahun Gubernur atau Bupati/ Walikota, usul pemeberhentian sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dinyatakan ditolak DPRD merehabilitasi nama baik gubernur atau Bupati/Walikota. (Pasal 16) 11.Pertanggunjawaban akhir masa jabatan Kepala Daerah ditolak, apabila terdapat perbedaan yang nyata antara pelaksanaan peneyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolok ukur Renstra.( Pasal 19) 12.Apabila pertanggungjawaban akhir masa jabatan Kepala Daerah ditolak, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bersangkutan tidak dapat dicalonkan kemabali sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk masa jabatan berikutnya. (Pasal 20) 13.Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat dipanggil oleh DPRD atau dengan inisiatif sendiri untuk memberikan keteranagan atas dugaan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.(Pasal 21) 14.Apabila
DPRD
tidak
menolak
pertanggungjawaban
sebagaimana
dimaksud dalam pasal 24 ayat (2), DPRD menyerahkan peneyelesaiannya
64
kepada pihak yang berwenang seseuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Penyelidikan dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari Presiden bagi Gubernur dan Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah bagi Bupati/ Walikota. Apabila Gubernur dan atau Wakil Gubernur berstatus sebagai terdakwa, Presiden memberhentikan sementara Gubernur dan /atau Wakil Gubernur dari jabatannya. Apabila Bupati/ walikota dan /atau Wakil Buapati/Wakil walikota bersetatus sebagai terdakwa, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memberhentikan
sementara
Bupati/walikota
dan
/atau
Wakil
Buapati/Wakil walikota dari jabatannya. (Pasal 25) 15. Apabila keputusan Penagadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan menyatakan
kepala daerah dan atau wakil kepala daerah
bersalah, DPRD mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan /atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menyatakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tidak bersalah, Presiden mencabut pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik Gubernur dan Wakil Gubernur. Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai kekkuatan hukum tetap dan menyatakan Bupati/ Walikota dan/atau wakil Bupati/Wakil Walikotataidak bersalah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah mencabut pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik Bupati/Wakil Walikota dan /atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.(Pasal 26)
65
Dari ketentuan PP Nomor 108 Tahun 2000 tersebut dapat diketahui, bahwa akibat dari suatu penolakan LPJ Kepala Daerah adalah: 1. Pemberhentian sementara terhadap Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah apabila keterangan Kepala Daerah terhadap dugaan tindak pidana ditolak oleh DPRD dan menyebabkan Kepala Daerah diajukan ke sidang Pengadilan sebagai terdakwa. 2. Pemberhentian tetap terhadap Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah apabila: a. Kepala daerah/ wakil Kepala Daerah dinyatakan bersalah oleh Keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, bahwa kepala daerah/wakil Kepala Daerah telah melakukan tindak pidana yang dianggap dapat menyebabkan timbulnya krisis kepercayaan b. Kepala Daerah ditolak pertanggungjawaban akhir tahun untuk kedua kalinya. 3.
Pengusulan oleh DPRD untuk pemberhentian Kepala Daerah kepada Presiden bagi Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri bagi Bupati/ Walikota dalam pertanggungjawaban akhir tahun Kepala Daerah ditolak oleh DPRD untuk kedua kalinya atau apabila Kepala Daerah yang pertanggungjawabannya ditolak pertama kali namun tidak memperbaiki laporanya.
66
4. Tidak dapat dicalonkan kembali Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk
periode
berikutnya
dalam
hal
Kepala
Daerah
ditolak
Pertanggungjawaban akhir masa jabatan. 2. Pemberhentian Kepala Daerah Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berberda dengan Undang-undang No.22 tahun 1999, semenjak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004, seringkali terdengar terjadinya konflik kepentingan antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal disebabkan beberapa kondisi yang sering melatarbelakangi dominasi konflik kekuasaan di daerah adalah: Pertama,kepentingan partai tidak terpenuhi misalnya kandidat Gubernur/Bupati/ walikota yang diajukan dan restui pipimnan pusat partai tidak terpilih. Kedua,kepentingan DPRD tersumbat peluangnya karena pimpinan daerah menutup peluang konspirasi. Berbagai tuntutan fasilitas bagi legislatif tidak seluruhnya terpenuhi dalam anggaran daerah, misalnya. Atau pimpinan daerah tidak membuka akses untuk bekerja sama melakukan “ korupsi” yang dilegalkan dengan consensus dilegislatif seperti pemerintah daerah diharuskan menandai perjalanan studi banding ke daerah atau mengadakan fasilitas pribadi anggota dengan dana nonbgjeter atau diluar anggaran. Ketiga, pimpinan daerah secara hukum benar-benar melanggar Undang-undang atau terlibat tindak pidana dan dituntut ke pengadilan.
67
Jika hal ini benar-benar terjadi pada suatu lembaga DPRD, maka akan memunculkan persoalan-persoalan antara lain: 1) Mematikan mekanisme yang sehat, sehingga menghambat terjadinya Clean and strong government. 2) DPRD dan Kepala Daerah akan lebih banyak berorientasi kepada kepentingan partai daripada kepentingan rakyat. 3) Terbuka pintu yang lebar terhadap terjadinya kolusi antara eksekutif dan legislatif Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah dan/atau Wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Dalam hal kepala daerah daerah yang diberhentikan dari jabatannya kerena: a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru. b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut selam enem bulan. c. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan/atau wakil Kepala Daerah. d. Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala Daerah dan/atau wakil kepala Daerah. e. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. f. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
68
Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau kepala daerah, dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan, yakni sebagai berikut:57 a. Melanggar sumpah / janji. 1.
Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah diusulkan
kepada presiden berdasarakan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerahdan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah / janji jabatan dan/atau tidak melasanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2.
pendapat DPRD diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang
dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. 3.
Mahkamah wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
DPRD paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima mahkamah agung dan putusan bersifat final. 4.
Apabila mahkamah agung memutusakan kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah telah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan /atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemeberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada presiden. 5 Siswanto Sunarno,2005.Op,Cit.,hal.,59 57
69
5.
Presiden wajib memperoses usul pemeberhentia Kepala daerah dan
atau wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut. b Melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau Lebih. Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberehentikan sementara oleh presiden tanpa melalui DPRD, apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Melakukan Tindak pidana korupsi, Tindak pidana Terorisme, Makar, dan /atau Tindak Pidana Terhadap keamanan Negara. Kepala daerahdan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD kerena terbukti melakukan maker dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
.
d. Menghadapi krisis kepercayaan. Dalam hal Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah mengahadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angketnya untuk menanggapinya. Penggunaan hak angket dilaksanakan setelah mendapat persetujuan rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD danputusan diambil dengan persetujuan sekurang-
70
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Dalam hal ditemukan bukti tindak pidana dimaksud, DPRD menyerahkan proses penyelesaiaannya kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap,DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD. Berdasarkan Keputusan DPRD tersebut, presiden menetapakan pemberhentian sementara Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pimpinan DPRD mengusulkan berdasarkan berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan dapat diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRD tersebut presiden memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara karena dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan diancam pidana penjara lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi,tindak pidana,makar,dan/atau tindak pidana terhadap keamanan
71
negara yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta berdasarkan keputusan DPRD yang menetapkan pemberhentian sementara daerah,setelah
melalui
sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala proses
peradilan
ternyata
terbukti
tidak
bersalah,berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 hari, presiden merehabilitasikan dan mengefektifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya. Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberehentikan sementara telah berakhir masa jabatannya, preiden merehabilitasikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali. Apabila kepala daerah tersebut diberhentikan sementara, wakil kepala Daerah tersebut diberhentikan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya keputusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian pula, apabila wakil kepala daerah diberhentikan sementara maka tugas dan kewajiban kepala daerah dilaksanakan oleh kepala daerah sampai dengan adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekutan hukum yang tetap. Apabila kepala Daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara, presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri , atau penjabat bupati/walikota atas usul Gubernur dengan pertimbangan DPRD samapai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
72
Apabila
kepala
daerah
diberhentikan
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah samapai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD dan disahkan oleh presiden. Apabila terjadi kekosongan wakil kepala daerah yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan, kepala daerah mengsulkan dua orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh rapat paripurna DPRD berdasarkan usul paratai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau diberehentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, rapat paripurna DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, paling lambat enem bulan terhitung sejak ditetapkanya pejabat kepala daerah. Dalam hal terjadi kekososngan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah sampai dengan presiden mengangkat pejabat kepala daerah. e. Tindakan penyidikan Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik. Dalam persetujuan tertulis tersebut, tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat
73
dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan dengan persetujuan tertulis dari presiden, dan dalam persetujuan tertulis tidak diberikan oleh presiden, dalam waktu 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penahanan dapat dilakukan. Hal-hal yang dapat dikecualikan dari ketentuan diatas, apabila tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Tindakan penyidikan itu wajib dilaporkan kepada presiden paling lambat 2x 24 jam. Tindakan penyelidikan dan penyidikan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintahan No.6 Tahun 2005 Pasal 113: (1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah,dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas Permintaan Penyidik. (2) Dalam persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 ( enem puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. (3) Penyampaian
permohonan
peneyelidikn
dan
penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat(2) disertai ujian yang jelas tentang tindak pidana yang diduga telah dilakukan oleh Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
74
(4) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sabagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (5) Penyampaian permohonan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai uraian yang jelas tentang tindak pidana yang diduga dan alasan penahanan Kepala Daerah dan /atau Wakil Kepala Daerah. (6) Hal-hal yang
dikecualikan
dari ketentuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan b. Disangka
telah
melakukan
tindak
pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan Negara. (7) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan, wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2(dua)kali 24(dua puluh emapat)jam. Dalam penjelasan lebih lanjut istilah pemberhentian sering disebut dengan Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black,
75
“Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan58 Menurut Webster’s New World Dictionary, istilah “to impeach”, berarti, “to bring (a public official) before the proper tribunal on the charges
of
wrongdoing”.
Sementara
itu,
Encyclopedia
Britanica
menjelaskan pengertian impeachment sebagai, “a criminal proceeding instituted against a public official by a legislative body”59 Impeachment menurut Black Law Dictionary adalah60: A criminal proceeding against a public officer. Before a quasi political court, instituted by a written accusation called “article of impeachment”. For example a written accusation by the house of representatives of the United States to the Senate of the United States, against the President, Vice President, or an officer of the United States. Lebih jelas, menurut Marsilam Simanjuntak impeachment adalah61 Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang 58 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. 5 Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 600. 5 Winarno Yudho, dkk (tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian 59 Mahkamah Konstitusi), Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (laporan penelitian), Jakarta, 2005, hal. 27. 60 Kunthi Dyah Wardani, Impeachment Dalam Ketatanegaraan 6 Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2007, hal. 16. 6 Ibid., hal,16 61
76
ditentukan Undang-undang Dasar. Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya. Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban. Contoh kasus adalah peristiwa yang dialami oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang diimpeach oleh House of Representatives, tetapi dalam persidangan Senat tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton tidak berakhir dengan pemberhentian. Melihat dari contoh yang telah terjadi, maka haruslah dibedakan antara perkataan “impeachment” dengan “removal from office” yang berarti pemberhentian dari jabatan. Seperti dikatakan oleh Jethro K. Lieberman, “impeachment is the means by which the federal officials may be removed from office for misbehavior”62. Lembaga impeachment ini hanyalah sarana untuk melakukan pemberhentian terhadap pejabat
6 Winarno Yudho, dkk., Op.Cit, hal. 28 62
77
publik. Namun hasilnya masih tergantung pada proses hukum dan politik yang melingkupinya. Impeachment merupakan proses politik. Sehingga di dalamnya tidak terdapat sanksi pidana ataupun sanksi kurungan. Yang ada hanyalah sanksi pemberhentian dari jabatannya. Namun bila terbukti ada tindak pidana di dalamnya, maka prosedur penyelesaian tindak pidana seperti biasanya tetap dapat dilakukan, hanya saja hal tersebut dilakukan setelah pemberhentian tersebut terlaksana. Proses impeachment merupakan salah satu kekuasaan yang dipegang oleh parlemen. Ini adalah sebagai bentuk dari fungsi kontrol parlemen terhadap para pejabat publik yang telah diberikan amanat oleh rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Sehingga apabila seorang pejabat publik dalam masa jabatannya terbukti melakukan pelanggaran baik yang telah diatur dalam konstitusi maupun hukum positif yang berlaku, kepadanya dapat dihadapkan pada proses impeachment dengan tujuan memberhentikan yang bersangkutan dari jabatannya. C. Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah a. Pemberhentian Kepala Daerah Berdasarkan Usulan DPRD Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam
78
Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota.” Berdasarkan isi dari pasal tersebut DPRD mempunyai kewenangan
untuk
mengusulkan
pemberhentian Kepala Daerah. Prihal pemberhentian kepala daerah melalui usulan DPRD,apabila kepala daerah mengahadapi krisis kepercayaan yang luas
karena
melakukan
tindak
pidana
yang
melibatkan
tanggungjawabnya,maka dalam hal ini DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya.Pelaksanaan hak angket,dilakukan sebagai kelanjutan hak interpelasi yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4(tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan peneyelidikan terhadap kepala daerah. Dalam menggunakan hak angket,akan dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lambat 60 (enem puluh) hari dan akan menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD. Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana,maka DPRD akan menyerahakan prosesnya kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila kepala daerah dinyatakan berasalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) Tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan
yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap,maka sebagai tindaklanjutnya DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.
79
Berdasarkan
Keputusan
DPRD
tersebut,Presiden
menetapkan
pemberhentian sementara terhadap kepala daerah dan Menteri Dalam Negeri menetapakan pemberhentian sementara kepala daerah paling lamabat 30(tiga puluh) sejak usulan pemberhentian. Apabila kepala daerah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian Kapala Daerah dengan Keputusan pimpinan DPRD. Berdasarkan keputusan Pimpinan DPRD, Presiden menetapkan pemberhentian kepala daerah tersebut. Apabila kepala daerah ,setelah melalui proses peradilan dinyatakan tidak bersalah,berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,maka paling lambat 30 (tiga puluh ) hari Presiden telah merehabilitasikan
dan
telah
mengaktifkan
kembali
kepala
daerah
bersangkutan sampai akhir masa jabatannya. Apabila Kepala daerah yang diberhentikan sementara telah berakhir masa jabatannya, maka Presiden merehabilitasikan kepala daerah bersangkutan dan tidak mengatifkannya kembali. b.Pemberhentian kepala Daerah Tanpa Melalui Usulan DPRD Dalam Pasal 31 Undang-Undang No.32 Tahun 2004: (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidanaterhadap keamanan negara (2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti
80
melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap . Pemberhentian Kepala daerah oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRDdijabarkan lebih lanjut dalam PP No 6 Tahun 2005 yang dinyatakan dalam pasal 127: (1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberehentikan tanpa melalui usulan DPRD, karena terbukti malakukan tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan Negara yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Presiden memperoses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan putusan pengadilan yang telaha mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur terbukti melakukan tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Menteri Dalam Negeri. (3) Menteri Dalam Negeri memperoses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan Putusan Penagadilan yang telaha mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Bupati dan /atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Gubernur. Kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD,apabila melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan
pengadilan.
Presiden
memperoses
pemberhentian
sementara
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan kepala daerah terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan melalui usulan dari Menteri
Dalam Negeri. Proses pemberhentian sementara Kepala Daerah, dilakukan
81
apabila
berkas
perkara
dakwaan
melakukan
tindak
pidana
korupsi,terorisme,makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara telah melimpahkan ke pengadilan dan dalam proses penututan dengan dibuktikan register perkara. Berdasarkan bukti register perkara
Presiden
memberhentikan sementara kepala daerah melalui usulan Menteri Dalam Negeri. Bahwa Kepala Daerah diberhentikan secara langsung oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD,karena kepala daerah tersebut terbukti melakukan tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindakan pidana terhadap keamananan negara yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai
pemberhentian
kekuatan
hukum
tetap.
Presiden
memperoses
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap yang menyatakan bahwa kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah disebutkan diatas,melalui usulan Menteri Dalam Negeri. Menteri Dalam Negeri memperoses berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Gubernur.
BAB III
82
IMPLIKASI USULAN DPRD TERHADAP PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH
A. Usulan DPRD Terhadap Pemberhentian Kepala Daerah Berbicara tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas dari peran DPRD dalam mengusulkan pemberhentian tersebut, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota” kewenangan yang diberi undang-undang tentunya berdampak pada pemberhentian
kepala
daerah.
Kewenagan
DPRD
dalam
mengusulkan
pemberhentian kepala daerah diatur juga dalam pasal 293 ayat (1) huruf d Undang- Undang
Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan,
DPRD Provinsi memiliki tugas dan wewenang untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Mendagri. Dalam ketentuan pasal 29 ayat (3) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 “Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD”.
83
Berdasarkan isi pasal tersebut,bahwa usulan untuk memberhentikan kepala daerah diputuskan lagi dalam rapat paripurna. DPRD dalam pasal 43 Undangundang No.32 Tahun 2004 telah diatur mengenai hak DPRD yaitu : (1) . a. Interpelasi; adalah hak DPRD untuk meminta keterangan Kepala Daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdapak luas pada kehidupan masyarakat. b. Angket; adalah fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang dan strategis serta berdampak luas kepada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. c. Menyatakan pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau sebagai lembaga mengenai kejadian luar biasa yang terjadi didaerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiaannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan
hak
interpelasi dan hak angket. (2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
84
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. (3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD. (4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki. (5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. (6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia. (8) Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
85
Pemberian hak-hak tersebut dinilai terkesan sebagai bonus kepada DPRD yang kewenagannya dan hak-haknya telah direduksi oleh Undang-undang No.32 tahun 2004. Terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut biasanya Kepala Daerah hanya sekedar mendengarkan “ uneg-uneg” dan “curahan hati” DPRD terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah. melaksanakan
Kepala Daerah tidak berkewajiban
dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi uneg-uneg DPRD
tersebut, tetapi biasanya menjawab dengan kalimat bersayap seperti “ akan diperhatikan” atau “akan ditindaklanjuti”. Apabila janji tersebut tidak ditepati oleh kepala daerah, maka DPRD hanya dapat sekedar “memanggil” untuk dimintai keterangan tanpa kewenangan untuk memberikan sanksi. Hal itu terjadi karena hak-hak DPRD tersebut tidak tegas dan tidak jelas apa akibat hukum atau sanksinya jika saran atau rekomendasi DPRD tidak di indahkan oleh Kepala Daerah. Situasi dan kondisi demikian mirip dengan suasana Orde Baru dimana kepala daerah lebih dominan terhadap DPRD dalam penyelengaraan pemerintahan daerah.63 Bila dilihat dalam menanggapi usulan
pemberhentian Kepala Daerah
tersebut DPRD menggunakan hak angket yang dilakukan setelah diajukan hak interpelasi untuk mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan persetujuan diambil sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam menggunakan hak angket tersebut dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua 63 Sudono Syueb.Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi.laksbang Mediatama,Surabaya.2008.hal.88
86
unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD. Selanjutnya, panitia angket memangil mendengar dan memeriksa Kepala Daerah yang dianggap mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta diminta untuk menunjukan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sah menurut perundang-undangan. Kepala Daerah yang dipanggil,didengar dan diperiksa wajib memenuhi panggilan tersebut, dalam hal ini juga panitia dapat memanggil secara paksa juga dengan bantuan Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemanggilan seorang kepala daerah oleh DPRD jika kepala daerah tersebut dianggap telah melakukan tindakan melawan hukum, maka dalam hal ini sebagai organ pemerintahan daerah DPRD juga mempunyai fungsi pengawasan sebagai cita-cita dan menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur memerlukan kemapanan,harmonisasi sinergis antara hubungan antar unsur penyelenggara Pemerintahan
daerah guna terciptanya saling kontrol antara
DPRD dan kepala daerah. Penggunaan hak angket oleh DPRD lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 128 Peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yaitu: 1. Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil Kepala Daerah mengahadapi krissi kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana yang melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya.
87
2. Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sebagai kelanjutan hak interpelasi yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. 3. Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lambat 60 hari (enem puluh ) dan menyampaiakan hasil kerajanya kepada DPRD. 4. Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), DPRD menyelesaikan proses penyelesaiannya kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5. Apabila Kepala Daerah dan /atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan berasalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima ) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD. 6. Berdasarkan Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), presiden menetapkan pemeberhentian sementara Gubernurdan /atau Wakil Gubernur, dan Menteri Dalam Negeri meetapkan pemberhentian sementara
88
Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau wakil walikota paling lambat 30 (tiga puluh )hari sejak usulan pemberhentian. 7. Apabila Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau wakil Kepala Daerah dengan keputusan Pimpinan DPRD. 8. Berdasarkan keputusan Pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) presiden menetapkan pemberhentian Gubernur dan / atau Wakil Gubernur dan Menteri Dalm Negeri Menetapkan Pemberhentian Bupati dan/atau Wakil bupati atau Walikota dan/atau wakil walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari. Adapun mekanisme atau tata cara penggunaan hak menyatakan pendapat, hak interpelasi dan penggunaan hak angket dapat dikemukakan sebagaimana dijelaskan bagan - bagan berikut:64
64 Diolah dari Sadu Wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Pewakilan Rakyat Daerah( DPRD).FokusMedia.Bandung.2009.hal.141
89
usulan disampaikan Pimpinan DPRD pada Pemakarsa mengusul 5 anggota DPRD rapat Paripurna
Dijadikan bahan untuk DPRD dalam melaksanaka n fungsi
Rapat Paripurna -Gubernur,Bupati/walikota memberikan keterangan lisan atau tertulis - Setiap anggota rapat mengajukan pertayaan atas keteranagan Gubernur,Bupati/ walikota - DPRD menyampaikan pendapatnya
Bagan 2. Mekanisme
90
Rapat Paripurna -Pengusul memberikan penjelasan -Pandangan Anggota DPRD lainya melalui fraksi -Para pengusul memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD -keputusan DPRD menerima Usul prakarsa atau menolak usul prakarsa.
Pengusulan penyelidikan penjelasan secara tertulis dan ditandatangani Disampaikan Kepada pimpinan DPRD Anggota DPRD
Tidak disetujui Disetujui
Disamapaikan secara resmi kepada Gubernur,Bupati / walikota
Penggunaan Hak Angket DPRD
Pemakarsa/pen gusul. Minimal 5 Anggota DPRD
Memberhentikan secara tetap
Terbukti Ada Indikasi Disampaikan kepada aparat penegak hukum Mengusulkan Kepada Presiden Untuk memberhentikan sementara
Tidak Disampaikan terbukti secara Resmi Kepada Gubernur,Bupati Rapat /Walikota Paripurna
Rapat paripurna -Pengusul memberikan Rapat panmus penjelasan DPRD -Pandangan Anggota Pembahasan DPRD lainya jadwal -Pengusul Mengusulkan memberikan kepada Presiden jawaban atas untuk mencabut pandangan anggota pemberhentian DPRD Apabila disetujui sementara dan -Keputusan DPRD keputusan DPRD serta Menerima usul Apabila usul merehabilitasi Prakarsa atauditolak perakarsa Rapat Paripurnamenolak nama baiknya Pansus mengadakan dapat usul -pengusul prakarsa penyelidikan mengajukan memberikan penjelasan atasperubahan atau usul yangmenarik kembali
disampaikan -Anggota DPRD lainnya memberikan pandangan melalui fraksi Bagan 3.Mekanisme Penggunaan Hak Gubernur,Bupati /walikota Menyatakan Pendapat DPRD memberikan pendapat - Para pengusul Memberikan jawaban atas pandangan anggota dan Pemakarsa/pengusul Usulan pendapat mengajukan secara disampaikan Gubernur tertulis dan ditanda dalam rapat Bupati/Walikot tangani minimal 5 paripurna a anggota DPRD setelah Keputusan mendapat DPRD pertimbangan menerima Usul dari panitia Prakarsa atau musyawarah menolak usul prakarsa
91
MENERIMA USULAN MENOLAK USULAN Keputusan DPRD Pernyataan Pendapat -Saran Penyelesai an peringatan
Sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan di daerah, DPRD juga mempunyai fungsi legislasi,anggaran dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan DPRD Secara khusus tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 24 ayat 1C yang berbunyi : “DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainya, peraturan Kepala Daerah, APBD, Kebijakan Pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerja sama internasional daerah” Pengawasan ini bertujuan mengembangkan kehidupan demokrasi menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
92
rakyat. Konsep dasar Pengawasan DPRD meliputi pemahaman tentang arti penting pangawasan,syarat pengawasan yang efektif, ruang lingkup dan proses pengawasan. Menurut Stoner dan Freeman65 contoroling is the process of assuring that actual activities conform to planed activities. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai dengan rencana kegiatan, artinya bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dibutuh suatu pengawasan dari DPRD guna tercapai tujuan barsama yaitu mensejahterakan masyarakat ,sebab tanpa adanya suatu
pengawasan dapat
memunculkan penyalahgunaan wewenang pada eksekutif daerah. Pengawasan memilki arti penting bagi pemerintah daerah karena akan memberikan umpan balik untuk perbaikan pengelolaan pembangunan.Sementara bagi pelaksana, pengawasan merupakan aktivitas untuk memberikan kontribusi dalam proses pembangunan agar aktivitas pengelolaan dapat mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien. Secara spesifik, hasil pengawasan DPRD terhadap Pemerintah Daerah di tujukan; a) Untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b) Untuk menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan dalam upaya mencegah berlanjutnya kesalahan dan atau penyimpangan.
65 Stoner dan Freman dalam Sadu wasistiono. Meningkatkan Kinerja Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). FokusMedia.Bandung.2009.hal.147
93
c)
Untuk menumbuhkan motivasi, memperbaiki, mengurangi dan atau
meniadakan penyimpangan. d) Untuk menyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.66 Melalui pengawasan tersebut, DPRD dapat membangun sebuah early warning system atau sitem peringatan dini apabila terjadi kejanggalan atau penyimpangan dalam proses pengelolaan tata pemerintahan. Melalui Instrumen pengawasan, anggota DPRD dapat menggunakan hak bertanya kepada Kepala Daerah. Jika atas pertanyaan tersebut Kepala Daerah tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan DPRD dapat mengajukan interpelasi untuk meminta keterangan kepada Kepala Daerah. Jika masih juga tidak memuaskan atas interpelasi tersebut,DPRD dapat menggunakan hak angket. Hasil dari pelaksanaan hak angket itu dapat bermuara kepada penggunaan hak menyatakan pendapat. Setelah semua hak-hak DPRD digunakan dapat saja berujung pada pemberhentian Kepala Daerah. Dalam perjalannya juga tidak jarang kedua organ pemerintahan daerah ini, menimbulkan masalah yang menunjukan menguatnya kewenangan DPRD dalam hal mengsulkan pemberhentian kepala daerah ,sebab hal ini bisa saja memicu terjadinya perubahan politik diantara kaum elit politik daerah sehingga menimbulkan permasalahan diantara kaum eksekutif dan legislatif. Ada beberapa
66 Sadu Wasistiono,2009.Op.Cit.,hal. 145
94
hal yang menyebabkan disharmonisasi antara eksekutif daerah dengan DPRD menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 antara lain:67 1. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan membuat Kepala Daerah lebih kuat dibandingkan akuntabilitas DPRD. Akibat dari kondisi tersebut akan terjadi shift titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD/legislative heavy menujukan kea rah executive heavy. Kondisi tersebut diperkuat lagi dengan adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah, sehingga akan memperkuat posisi Kepala Daerah. 2. Konsekuensi dari pemilihan langsung, DPRD maupun Kepala Daerah akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Kepala Daerah tidak lagi menyampaikan laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan (LPJ) kepada DPRD, namun menurut pasal 27 ayat (2) Undangundang No 32 Tahun 2004 mekanisme pertanggungjawaban Kepala Daerah diatur sebagai berikut: a.
Ke atas kepada Presiden cq. Mendagri berupa LPPD ( Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah) b.
Ke samping kepada DPRD berupa LKPJ( Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban ) c.
Ke bawah kepada masyarakat berupa IPPD ( Informasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah).
67 Made Suwandi,dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah.Jakarta.2005.hal ,21
95
3. DPRD akan tetap mempunyai otoritas dalam bidang legislasi,anggaran dan kontrol. Bila DPRD mampu menggunakan kewenangan tersebut secara efektif, maka diharapkan DPRD sedikit banyak akan mampu mengimbangi kekuatan eksekutif (kepala daerah) 4. Terjadinya perubahan signifikan terhadap konstruksi pemerintah daerah yang ada sekarang, dimana terdapat kejelasan antara pejabat politik (kepala daerah dan DPRD) dengan pejabat karir. Pejabat politik bertugas merumuskan kebijakan politik, sedangkan pejabat karir mengoprasikan kebijakan tersebut kedalam bentuk pelayanan publik. Berdasarkan uraian diatas, nampak bahwa dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat akan dapat meningkatkan legitimsi politiknya dalam memimpin pemerintahan daerah, dan sekaligus menciptakan check and balances dalam hubungannya dengan DPRD. Namun apabila DPRD terlampau lemah atau dikuasai oleh partai yang sama dengan kepala daerah, akan menciptakan “ power shift” ke arah “ executive heavy” . Oleh karena itu perlu adanya upaya kearah penciptaan tata hubungan kerja dalam rangka menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya tujuan bersama yakni mensejahterakan masyarakat. Pencapai tujuan bersama tersebut akan lebih baik apabila kinerja pemerintahan daerah dan kinerja DPRD dapat secara sinergi menciptakan pelayanan masyarakat sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana yang dikemukan koentjoro Poerbopranoto, pada prinsipnya adalah untuk menghindari adanya tindakan kolusi,korupsi dan nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan.
96
B. Pelaksanaan Putusan DPRD Terhadap Pemberhentian Kepala Daerah Dalam usulan pemberhentian Kepala Daerah tentunya melalui rapat paripurna anggota DPRD. Ketentuan pasal 29 ayat (4) dikatakan bahwa Pemberhentian kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan dengan ketentuan: a. Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Makamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah permintaan DPRD itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final. d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya
97
2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden. e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut. Tentang usulan Pemeberhentian Kepala Daerah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dinyatakan dalam Pasal 123 ayat 4 Pemeberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e,dilaksanakan dengan ketentuan: a. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah diusulkan kepada Presiden
berdasarkan
putusan
Mahkamah
Agung
atas
pendapat
DPRD,bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah Melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya. b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a, diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4(tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3( dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili,dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 ( tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD diterimah Mahkamah Agung dan Putusannya bersifat final.
98
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dana atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden. e. Presiden wajib memperoses usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh ) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
Dalam penjelasan isi Pasal 29 ayat (4)Undang-Undang No.32 tahun 2004 maupun Pasal 123 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005 ,diatas bahwa usulan pemberhentian kepala daerah disampaikan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung,atas pendapat DPRD bahwa Kepala Daerah tersebut dinyatakan telah melanggar sumpah dan janji jabatan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah. Dalam pengambilan keputusan rapat paripurna DPRD untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dihadiri sekurangkurangnya 3/4 anggota DPRD dan diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota DPRD, artinya keputusan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala daerah harus disetujui 2/3 dari anggota DPRD, tentunya hal ini dapat menimbulkan persoalan sebab tanpa dihadiri 3/4 dari anggota DPRD serta tidak
99
disetujui oleh 2/3 dari anggota DPRD maka putusan
tersebut tidak bisa
dilaksanakan sementara Kepala Daerah jelas-jelas telah melanggar sumpah dan janji jabatannya. Sebagai contoh Rapat Paripurna DPRD Kebumen beragendakan Usulan Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Kebumen Periode 2005 – 2010, gagal menghasilkan keputusan akibat tak mencapai kuorum dan diboikot oleh 3 fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi Partai Golkar (FPG)68. Anggota DPRD telah ada acuannya yakni tata tertib DPRD yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2004 tentang pedoman penyusunan peraturan tata tertib dan telah dirubah dengan Pemerintah Pemerintah Nomor 53 tahun 2005. Setiap pembuatan tata tertib DPRD tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tersebut. Dalam, pasal 58 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 dinyatakan rapat paripurna DPRD dinyatakan sah apabila dihadiri secara fissik sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD untuk memutuskan usul DPRD mengenai pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam penjelasan dan ayat pasal tersebut juga dinyatakan yang dimaksud dihadiri secara fisik adalah dihadiri langsung oleh anggota DPRD dan berada dalam ruangan sidang.69
68.Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi.Serial online 30 Juli 2010 availablefrom:URL.http://purwekertonews.com 69 Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com
100
Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) juga, bahwa Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD, berdasarkan ketentuan ini Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, Putusan Mahkamah Agung ini diserahkan lagi kepada DPRD untuk menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden. Dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan Mahkamah Agung tidak bisa dijalankan apabila tidak disetujui 2/3 anggota DPRD, sebab bisa saja dalam perjalanan rapat paripurna anggota DPRD, terjadi perubahan politik. Dimana dalam putusan Mahakamah Agung supremasi hukum lebih di junjung sebab Negara Indonesia adalah Negara hukum ,menyadari bahwa untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan dalam amandemen UUDNKRI 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUDNKRI 1945 menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUDNKRI 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2)
101
UUDNKRI 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan integritas hakim, amandemen UUDNKRI 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman menyatakan, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan Pasal 24 Ayat (1) UUDNKRI 1945, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang No 48 tahun 2009 jelas berbeda karena terjadi penambahan kata/frasa: “negara”, “berdasarkan Pancasila”, dan “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Kalau ditelusuri lebih jauh, bunyi Pasal 1 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 persis sama dengan bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Yang berbeda hanya dalam memberikan penjelasan70. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 menyebutkan: Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali
70 Saldi Isra.Keterbukaan Pengadilan Dan Akses Terhadap Keadilan. Serial Online.9 Mei 2010. Availablefrom: URL.http://saldiisra.web.id
102
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Sementara itu, Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970 menyebutkan: Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum
dan
keadilan
berdasarkan
Pancasila
dengan
jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi
landasannya,
melalui
perkara-perkara
yang
dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.71 Dalam pandangan Hakim Agung 71 Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI, hal 7
103
Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.72 Sementara dilain pihak juga, dikalangan anggota DPRD lebih mengutamakan supremasi politik, yang lebih mengutamakan kepentingan fraksinya yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta dijalankan begitu saja. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan kehakiman atau peradilan begitu mudah tunduk pada kekuasaan lain, Secara konseptual, dalam pandangan Bagir Manan ada beberapa jawaban, yaitu:73 1) Kekuasaan kehakiman memang sangat lemah dibandingkan kekuasaan legislatif dan yudikatif, 2) Tatanan politik. Dalam kenyataan, kehakiman selalu tidak berdaya menghadapai tekanan politik untuk menjaga agar kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap utuh, dan 3) Sistem administrasi, misalnya anggaran belanja. Selama sistem anggaran belanja kekuasaan kehakiman tergantung pada “kebaikan hati” pemerintah
72 Artidjo Alkostar, 2005, Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta. 73 Bagir Manan, 2005, Restrukturisasi Badan Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Jakarta .Tahun XX. No. 239.
104
sebagai pemegang kas negara, maka berbagai upaya memperkuat kekuasaan kekuasaan kehakiman akan mengalami berbagai hambatan. Karena berbagai penyebab di atas, upaya membebaskan kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan lain merupakan perjuangan terus-menerus. Bagaimanapun, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive independence (independensi dalam memutus perkara), personal independence [misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)], internal independence (misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja) dan collective
independence
(misalnya
adanya
partisipai
pengadilan
dalam
administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan)74. Memang tidak dapat dihindari bahwa menguatnya pendapat DPRD, tentunya tidak bisa disalahkan sebab pandangan politik dari anggota DPRD merupakan hak politik anggota DPRD. Sebab anggota DPRD juga tidak terlepas dari fraksi yang
memegang peranan penting dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang DPRD baik secara kelembagaan maupun terhadap masing-masing individu anggotanya. Fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik dapat mewarnai berbagai proses politik yang terjadi di tingkat alat kelengkapan DPRD 74 Shimon Shetreet, 1995, Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.
105
dan lobby di luar kelembagaan formal DPRD. Fraksi tidak hanya sekedar sebagai wadah berhimpun para anggota partai politik yang duduk sebagai wakil rakyat di parlemen. Tetapi lebih dari itu, fraksi juga dapat mengarahkan setiap pilihan sikap dan keputusan yang diambil dalam proses politik pemerintahan secara keseluruhan. Mengingat besarnya peranan fraksi, maka bagi setiap anggota parlemen akan sukar menentukan sikapnya untuk dapat terlepas dari ketentuan atau aba-aba politik yang disampaikan oleh fraksinya. Perbedaan sikap memang dapat berkembang dalam konteks yang konstruktif, ketika pilihan yang diambil individu tetap berada dalam batas toleransi atau garis ketentuan fraksi. Batas toleransi yang ditetapkan menjadi wilayah yang tidak boleh dilanggar, karena merupakan hal prinsipil dalam menjaga ruang kebebasan para anggotanya. Konsekuensi dapat dihadapi ketika terjadi pelanggaran atas batas-batas prinsipil tersebut dan yang terberat adalah berupa pemberian sanksi pergantian antar waktu (PAW) atas usul partai atau populer dengan istilah recall75. Pandangan, Mahfud MD menegaskan, penegakkan supremasi hukum tidak akan pernah berjalan baik selama model politik yang diterapkan adalah oligarki. "Hukum dalam arti produk politik sangat dipengaruhi sistem politik, apakah demokratis atau tidak," Oligarki adalah suatu sistem politik dimana berbagai keputusan diambil hanya oleh elite-elitenya dan bukan anggota partai.Demokrasi penting untuk membangun bangsa ini. Demokratis atau tidaknya suatu pengambilan keputusan politik, akan menggambarkan baik-buruknya wajah hukum di suatu negara.76 75 Hasil penelitian lapangan dengan mengambil studi kasus di DPRD Propinsi Sumatera Selatan dan DPRD Propinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Politik Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat email:
[email protected]. 2 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008
106
Jika dilihat dalam kasus Walikota Pemantang Siantar RE sihaan yang dituduh melakukan penyelewengan proyek bangsal rumah sakit umum daerah oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, atas dasar itulah DPRD kota Pematang siantar mengadakan sidang paripurna untuk mengusulkan memberhentikan RE Sihaan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No 01 P/ KHS/ 2009 tanggal 3 Maret 2009 ,yang tidak didukung 2/3 anggota DPRD dalam pengambilan keputusan pemberhentian Kepala daerah, akan tetapi putusan tersebut tetap dijalankan. Jika dilihat dari contoh kasus tersebut menunjukan bahwa pemberhentian Kepala daerah berawal dari usulan DPRD, berdasarkan atas putusan Mahkamah Agung dan tindak lanjutnya DPRD mengadakan rapat paripurna,apabila dihadiri 3/4 anggota DPRD yang hadir serta diambil keputusan 2/3 dari anggota DPRD,sehingga kepala daerah tersebut diberhentikan. Sementara yang terjadi dalam kasus tersebut adalah keputusan tidak didukung oleh 2/3 anggota DPRD (quorum),tentunya keputusan ini cacat hukum. Apabila terjadi demikian maka, untuk itu rapat paripurna DPRD tentang pemberhentian kepala dan wakil kepala daerah tersebut cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam hal ini walikota dan wakil walikota Pematang Siantar dapat melakukan perlawanan (verzet) terhadap pelaksanaan rapat paripurna dan keputusan yang diambil oleh DPRD Pematang Siantar tersebut. Presidenlah nantinya mempertimbangkan secara hukum apakah mekanisme atau proses usulan pemberhentian oleh DPRD Pematang Siantar sudah berdasarkan peraturan 76 Mahfud MD.Oligarki Politik Hambat Supremasi Hukum.Serial Online 11 februari 2010 available From:URL:http://www.sinarharapan.co.id.
107
perundang-undangan atau tidak. Dan apakah perlawanan walikota/wakil walikota diterima atau tidak. Karena tidak serta merta setiap usulan pemberhentian kepala dan wakil kepala daerah dari DPRD terus dikabulkan Presiden. Masih ada telaah juridis oleh staf bidang hukum kepresidenan.77 Jika demikian yang menjadi problem adalah apabila kepala daerah tersebut melanggar
sumpah
dan
janji
jabatannya
sementara
untuk
usulan
pemberhentiannya harus didukung atau disetujui 2/3 dari jumlah 3/4 anggota DPRD yang hadir sehingga usulan tersebut bisa disampaikan kepada Presiden, sehingga presiden dapat mengambil keputusan untuk memberhentikan sementara Kepala Daerah tersebut sampai proses hukumnya selesai dan telah mempunyai putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebab asas legalitas dalam Negara hukum menyatakan bahwa setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan ( Wettelijke gronslag), dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formil dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Dalam hubungan ini pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting dari negara hukum. Dalam menanggapi usulan DPRD presiden wajib memperoses usulan pemberhentian kepala daerah tersebut, atau melakukan pemberhentian sementara terhadap kepala daerah, sementara secara hukum
pemberhentian sementara
kepala daerah merupakan tindakan yang melanggar asas kepastian hukum, sebab tidak adil dan demokratis seorang yang belum ada kepastian hukum (inkrach van 77 Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com
108
gewijh) tetapi sudah diusulkan untuk di skorsing (pemberhentian sementara). 78 Pemberhentian sementara oleh presiden, seperti yang dikemukan oleh Djohermansyah Djohan dalam pendapatnya mengatakan bahwa; “Secara etika pemerintahan, memang tidak elok seorang kepala daerah yang sudah ditahan masih mengendalikan pemerintahan dari balik penjara. Tetapi, bila masih berstatus tersangka, kita masih menganut azas praduga tak bersalah sehingga dimungkinkan seorang gubernur atau bupati untuk memimpin dari rumah tahanan” Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nursyahbani Katjasungkana, merumuskan beberapa alasan mengapa ada kewenangan presiden berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan daerah tersebut: 1. Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya proses pemerintahan di daerah, karena proses hukum akan memakan waktu yang cukup lama. 2. Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memudahkan urusan-urusan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga tugas-tugas kepala daerah yang dialihkan ke pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah tidak akan terpengaruh proses hukum pejabat daerah yang berstatus sebagai terdakwa. 3. Kepala daerah dapat diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD. Pengaturan ini merupakan bentuk penegasan adanya supervisi pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah. 78 hhtp://www. Mahkamahkonstitusi.go.id. Pemberhentian sementara vs presumtion of innocent
109
4. Untuk menjamin kepastian hukum serta memudahkan aparat penegak hukum
melakukan
proses
peradilan
terhadap
terdakwa
yang
telah
dibebastugaskan dari jabatannya. Dengan bebas tugas, pejabat tersebut tidak dapat melakukan intervensi atau menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik menyangkut kasus yang didakwakan padanya. 5. Pemberhentian dilakukan selama dia masih menjabat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah agar tidak menimbulkan kekhawatiran atau
konflik
kepentingan
terdakwa
yang
dapat
merusak
dan/atau
menghilangkan barang bukti. Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut maka sesungguhnya perumusan pasal dan penjelasan ketentuan pasal tersebut adalah untuk menjamin kepastian hukum atau due process of law dan tidak menganggu proses hukum yang sedang dilaksanakan. Dalam hal ini pengambilan keputusan oleh presiden memunculkan dua pemikiran yaitu ; Pertama ,pemberhentian sementara merupakan keputusan yang melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Kedua
,pemberhentian sementara kepala daerah untuk mempermudah dalam proses
hukum,serta
tidak
menghambat
keberlangsungan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menurut Zairin Harahap, kepala daerah yang diberhentikan sementara alias nonaktif dari jabatannya punya implikasi luas. Pejabat yang bersangkutan tak lagi punya kewenangan dalam pengambilan kebijakan. “Kalau sudah nonaktif
110
maka tidak bisa mengambil kebijakan strategis” yang dimaksud dengan kebijakan strategis ,seperti mengangkat pejabat baru, menandatangani penetapan APBD, maupun meneken surat keterangan otorisasi (SKO). “Semua kewenangan itu harus ditanggalkan sejak statusnya nonaktif,”
Senada dengan pendapat Zairin
harahap Zaki Sierrad menilai, pejabat nonaktif tak lagi punya otoritas membuat keputusan terkait jabatannnya. Dari sisi fatsun atau etika politik, pejabat bersangkutan secara moral tak lagi berhak menerima fasilitas-fasiltas yang berhubungan dengan jabatannya. “Ini karena pejabat itu tak lagi bisa melaksanakan kewajibannya”,. Dengan dinonaktifkan itu kepala daerah atau wakil kepala daerah tak lagi menjalankan tugas-tugasnya. “Secara etika berkantor pun sudah tidak bisa,” Pemberhentian sementara pejabat berbeda dengan pemberhentian
secara
permanen.
Hak-hak
pejabat
bersangkutan
dapat
dikembalikan mana kala dakwaan tidak terbukti dan memiliiki kekuatan hukum tetap. “Prosesnya memang panjang dan tidak mudah,”79 Berbicara tentang Kepala Daerah melanggar sumpah dan janji jabatan merupakan tindakan melawan hukum, sebab kepala daerah telah melanggar isi dari dalam konsep tindakan pemerintah dimaksudkan setiap kebijakan kepala daerah untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintahan atau administrasi negara.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah
tentunya harus data dipertanggungjawabkan. Berdasarkan pengertian ini, tampak
79 Zairin Harahap. Korupsi APBD Purworejo: Serial online.4 Juni 2009. availablefrom:URL.http://infokorupsi.com
111
ada beberapa unsur yang terdapat didalamnya. Muchsan menyebutkan unsurunsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut :80 1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri. 2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan. 3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang administrasi 4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat. Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Muchsan ini perlu ditambah, terutama dalam kaitannya dengan negara hukum yang mengedepankan asas legalitas, yaitu perbuatan hukum administrasi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada prinsipnya, tindakan hukum administrasi hanya dapat dilakukan dalam hal dan dengan cara yang telah diatur dan diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam prinsip asas penyelenggaraan pemerintahan kepala daerah yang melanggar sumpah dan janji jabatan ,tentunya hal ini sangat bertentangan dengan asas kebijaksanaan asas penyelenggaraan kepentingan umum, sebab kepala daerah
80 Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hal. 18
112
Pasal 25 Undang-undang No.32 tahun 2004 ,Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. Mengajukan rancangan Perda; c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan;dan g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan Berdasarkan isi pasal tersebut tentunya, Kepala Daerah sangat bertanggungjawab penuh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, mengingat tugas dan kewajibannya lebih mengutamakan daerah, lebih khususnya lagi mengutamakan kepentingan rakyat.
BAB IV
113
AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH A. Kekosongan Jabatan Kepala Daerah Dalam perspektif ketatanegaraan, pemilihan kepala daerah berkaitan erat dengan pengisian jabatan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah, yakni bagaimana proses, mekanisme dan tata cara yang dilakukan untuk mengisi suatu jabatan dengan pejabat Sehingga, pemilihan kepala daerah dalam perspektif tersebut, menunjuk pada 3 (tiga) hal, yaitu : a. Adanya jabatan, dalam hal ini Kepala Daerah; b. Adanya tata cara (mekanisme) tertentu untuk pengisian jabatan, yang dapat dilakukan melalui pengangkatan (appointment) atau pemilihan (election); dan c. Adanya pejabat, dalam hal ini Gubernur (untuk daerah provinsi), dan Bupati/Walikota untuk daerah kabupaten/kota. Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu yang menjadi sorotan adalah mengenai pemberhentian Kepala Daerah, artinya jika kepala daerah diberhentikan maka hal ini tentunya dapat menyebabkan kekosongan jabatan kepala daerah, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 29 ayat (2) huruf a Kepala Daerah dan /atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan karena “ berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru”. Mengenai seorang Kepala Daerah yang di berhentikan sebelum masa jabatannya selesai, tentunya melalui usulan DPRD kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa kepala daerah telah melanggar sumpah/janji jabatan dan /atau tidak melaksanakan
114
kewajiban kepala daerah. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang 32 tahun 2004 : “apabila Kepala Daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapa sebagaimana dimaksud pasal 30 ayat (2),pasal 31 ayat (2),dan pasal 32 ayat (7) jabatan kepala daerah diaganti oleh wakil
kepala
daerah
sampai
berakhir
masa
jabatannya
dan
proses
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden”. Dalam contoh kasus Tengku Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan dilakukan
menyusul
Keputusan
Mahkamah
Agung
(MA)
nomor
736/k/pid.sus/2009 tanggal 3 Agustus 2009 yang menyatakan Tengku Azmun Jaafar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan divonis 11 tahun penjara. Majelis hakim menyatakan Azmun bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada 15 perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga merugikan negara Rp 1,2 triliun. Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar. Azmun dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-undang No 31 Tahun1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan sengaja menerbitkan IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun waktu Desember 2002 sampai Januari 2003, padahal mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan itu
115
tidak kompeten dalam bidang kehutanan. Bedasarkan hal tersebut Permerintah Provinsi Riau mengeluarkan SK bernomor 131.14-590/2009. SK tersebut berisi tentang
pengesahan
pemberhentian
Bupati
Pelalawan
dan
pengesahan
pengangkatan Wakil Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati menggantikan Tengku Azmun Jaafar. Dalam contoh kasus di atas bahwa kepala daerah diberhentikan apabila sudah mendapat keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan demikian tindak lanjutnya adalah wakil kepala daerah harus bersedia untuk memangku jabatan sebagai kepala daerah melalui rapat paripurna DPRD. Prihal rapat paripurna tentunya menyita waktu yang tidak singkat sementara kekosongan jabatan tidak boleh terjadi. Pegisian jabatan kepala daerah tersebut merupakan Pemberian wewenang yang atributif dimana peraturan perundang-undangan sudah mengaturnya.
Apabila
kepala daerah diberhentikan maka untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut DPRD mengadakan Rapat Paripurna untuk melantik wakil kepala daerah sebagai pejabat kepala daerah. Dalam konsep negara hukum kekosongan jabatan tidak boleh terjadi, karena hal ini menyangkut dengan asas tertib penyelenggaraan pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat,untuk menjaga kesinambungan dan keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,oleh karena ada beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling) yang hanya dilakukan dalam
116
kapasitas sebagai kepala daerah, seperti pengesahan Peraturan daerah dan Peraturan kepala daerah.81 Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum). Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup de etaat). Sebagai contoh, Peristiwa ini pernah terjadi. Saat menjelang Pemilu 2009, Presiden SBY ke luar negeri dalam lawatan resmi ketatanegaraan. Wapres Jusuf Kalla yang menggantikan Presiden ad interm berada di Aceh dalam kampanye Partai. Jakarta Kosong selama 48 jam. Kalangan akademisipun teriak. Dan kemudian akibat dari “kelalaian” sehingga Jusuf Kalla kemudian segera pulang ke Jakarta sehingga tidak dapat digunakan kaum pemberontak menguasai negara (coup de etaat ) dalam pendapatnya M Musri Nauli, bagaimana pentingnya dan tidak dibenarkan adanya kekosongan kekuasaan (rechvacuum). Dalam diskursus hukum ketatanegaraan, tidak dibenarkan kekuasaan kosong walau sedetikpun. .82 Dalam mengisi kekokosongan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ,adapun pejabat sementara yang mengisi kekosongan kepala daerah tersebut, akan tetapi jika dicermati isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005, membatasi wewenang dari pejabat
sementara kepala daerah,seperti yang
digaris dalam Pasal 132 A:
81 Umbu Rauta.Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Negara. Serial online.27 februari 2007. availablefrom:URL.http://beriman-hati.blogspot.com 82 M.Musri Nauli. Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum) Serial online.16 Juli 2010. availablefrom:URL.http://www.jambiekspres.co.id
1. Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang: a.
Melakukan mutasi pegawai;
b.
Membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya
dan/atau mengeluarkan perijinan c.
Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan
kebijakan pejabat sebelumnya; dan d.
Membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Ketentuan ini , setidaknya dapat diketahui bahwa pejabat pengganti (PJS) kepala daerah tidak dapat melakukan hal sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 132 A Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008. Pergantian jabatan kepala daerah memang telah diatur juga dalam Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah nampak sejumlah pasal yang mengatur pengisian kekosongan jabatan kepala daerah yakni: 1. Pasal 34
(1) . Pergantian jabatan kepala daerah telah diatur juga dalam Undangundang No.32 Tahun 2004 pasal 34 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (5); wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. Pasal 35 (1). Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimaksud dalam pasal 30 ayat (2),pasal 31 ayat (2),dan Pasal 32 ayat (7) jabatan kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah samapai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya berdasarkan kepurusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden. Pergantian jabatan kepala daerah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tersebut dinyatakan : 1. Pasal 129
2. Pasal 130
(1). Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), dan Pasal 128 ayat (6), setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya. (1).Apabila Kepala Daerah diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), dan Pasal 128 ayat (6), Wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Pasal 131 (1). Apabila Kepala Daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 127 ayat (2), dan Pasal 128 ayat (7), jabatan Kepala Daerah diganti oleh Wakil Kepala Daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden.
Dalam hal kekosongan jabatan
tersebut sangat berkaiatan erat dengan
penyelenggaraan pemerintahan menginggat proses rapat paripurna DPRD untuk mengangkat seorang wakil kepala daerah menjadi kepala daerah bukanlah hal yang mudah, sebab hal ini juga menyangkut kemampuan dari seorang wakil kepala daerah untuk memimpin dalam waktu jabatan yang tersisa dari kepala daerah sebelumnya, akan tetapi hal ini merupakan konsekwensi logis bahwa seorang wakil kepala daerah wajib mengisi kekosongon jabatan kepala daerah. Jika seorang wakil kepala daerah diangkat menjadi kepala daerah maka tugas berikutnya adalah untuk memimilih seorang wakil kepala daerah yang baru, sebab apabila Wakil kepala daerah diangkat menjadi Kepala Daerah,maka persoalan akan muncul adalah kosongnya jabatan Wakil Kepala Daerah.
B. Mekanisme Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Daerah Dalam penjelasan sebelumnya dimana seorang kepala daerah yang diberhentikan diganti oleh wakil kepala daerah namun yang perlu dikaji dalam hal ini adalah proses pengisian jabatan tersebut mengingat dalam konteks asas -asas umum pemeriatahan yang baik (AAUPB) penyelenggaraan pemerintahan lebih mementingkan kepentingan umum, demikian juga dalam konsep negara hukum artinya segala tindakan harus berdasarkan hukum. Dalam pasal 35 Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur prihal prosedur pengisian jabatan kepala daerah jika kepala daerah diberhentikaan apabila mengalami krisis kepercayaan publik . Dalam Pasal 24 (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil kepala daerah membantu kepala daerah menjalankan dan memimpin pemerintahan daerah (pemda).
Wakil kepala daerah dalam peraturan ini memang sifatnya hanya membantu kepala daerah melaksanakan tugas tertentu dan menggantikan kepala daerah jika berhalangan.
Namun, patut diperhatikan juga keberadaan wakil kepala daerah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yaitu dipilih secara berpasangan oleh rakyat dan secara bersamaan memimpin pemerintahan daerah sesuai perintah UndangUndang Nomor 32 tahun 2004. Berbeda dengan pengisian jabatan kepala daerah ,apabila diperdalam lagi pengisian jabatan wakil kepala daerah diatur juga dalam Pasal 35 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 26 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan "Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah, sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan, kepala daerah mengusulkan dua calon wakil kepala daerah untuk dipilih Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usul partai atau gabungan partai yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah-wakil kepala daerah . Jika diamati pengisisian jabatan wakil kepala daerah lebih mudah prosesnya dibandingkan dengan pengisian jabatan kepala daerah. Dalam pengisian wakil kepala daerah, kepala Daerah mengusulkan dua calon wakil kepala daerah untuk dipilih Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usulan dari partai atau gabungan partai yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerahwakil kepala daerah. Meski demikian tidak diatur secara eksplisit perihal pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah karena menggantikan Kepala Daerah yang diberhentikan, namun berdasarkan tafsiran sistematis dan analogi dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 maka kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah merupakan kemestian untuk dilakukan pengisian jabatan kepala daerah.
Penafsiran sistematis digunakan karena Pasal 35
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tidak dapat dilepaskaitkan dengan pasal-pasal sebelumya mulai Pasal 29 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang mengatur alasan dan prosedur pemberhentian serta pergantian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah
Sementara tafsiran analogi digunakan karena terjadi keadaan yang serupa yaitu kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah akibat Wakil Kepala Daerah menggantikan Kepala Daerah karena salah satu alasan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.32 Tahun 2004.
Alasan pendukung lainnya yaitu: 1. Demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. 2. Adanya pembagian kewenangan secara atributif dan eksplisit antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 – 26 yaitu tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah, sehingga akan terjadi persoalan dari perspektif hukum administrasi negara; 3. Dalam rangka menjaga kedaruratan berikutnya (yaitu jika terjadi keadaan berhalangan terhadap kepemimpinan puncak ditubuh pemerintah (eksekutif), sehingga akan memakan biaya lebih besar karena harus dilakukan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Akankah waktu yang ada tersita hanya dengan urusan pengisian jabatan pemerintahan, sementara tugas utama untuk layanan masyarakat menjadi tersita dan terkesampingkan.83
83 Umbu Rauta.Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Negara. Serial online.27 februari 2007. availablefrom:URL.http://beriman-hati.blogspot.com
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Asas demokrasi merupakan dasar dari Negara Hukum Indonesia dan Hukum Administrasi Indonesia, karena secara substansial asas demokrasi meletakan dan menjunjung tinggi superioritas kedalautan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintah, artinya dalam memilih seorang wakil kepala daerah untuk menggantikan kepala daerah campur tangan rakyat sangat diperlukan untuk menghindari kolusi di kalangan elit politik ,dan tentunya hal ini dapat dilakukan melalui wakil rakyat yang ada di parlement. Pandangan Hans Kelsen84, yang menjelaskan bahwa:” Democracy, that all power should be exercised by one collegiate organ the members of which are elected by the people and which should be legally responsible to the people ( demokrasi secara konseptual bahwa semua kekuasaan harus dilaksanakan oleh suatu badan kolegial yang anggotannya dipilih oleh rakyat dan secara hukum harus bertangung jawab kepada rakyat ). Seiring dengan pendapat Hans Kelsen Pendapat C.F. Strong tentang esensi demokrasi sebagai system pemerintahan yang tidak dapat di pisahkan dengan rakyat dan kedalautan rakyat. Dijelaskan bahwa: “ The term democracy,. .is variously used, some times to means a from of government,and some times to cannote a condition of society. . . By democracy in this sense we therefore mean a system of government in which the majority of the grown members of political community participate trough a method of representation which secures the government is ultimately responsible for ist action to that majority. In other words, the words, thecontemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guarantes the sovereignty of the people”.85 84 .Hans Kelsen, General Theory Of Law State, Russell&Russell, New York, 1961, h.282 85 C.F Strong, Modern Political Constitution An Introduction To The Comparative Study of Their History And Existing, Soddgwiick & Jacktos Limited,London Revised Edition,1952.h.11
Apa yang dijelaskan ini menunjukan konstitusi negara modern system pemerintahan tentu termasuk pemerintahan daerahnya, memilki badan perwakilan rakyat yang merupakan pencerminan dijaminnya “ kedalautan rakyat”. Pada negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat), tidak ada jabatan ataupun pemangku jabatan yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau bahwa pelaksanaan kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol, karena dalam kontrol itu sendiri terkandung asas pertanggungjawaban. Pengawasan ini menjadi aspek yang sangat penting bagi berjalannya pemerintahan. Pemerintahan yang baik hanya bisa tercipta dengan jajaran pejabat pemerintah yang baik pula. Jabatan yang lebih luar biasa lagi tentu saja dimiliki oleh kepala daerah. Sesuatu yang menjadi idealisasi dari hukum administrasi negara adalah terciptanya pemerintahan yang memegang teguh pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga gagasan mengenai pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Dimungkinkannya kepala daerah dan/atau Wakil kepala daerah diberhentikan dalam masa jabatannya merupakan bentuk mekanisme kontrol hukum atas akuntabilitas publik dari pejabat publik86. Tiap jabatan yang secara langsung dipertanggungjawabkan kepada publik dan semestinya berada dibawah pengawasan langsung dari publik, maka pengisian jabatannya senantiasa memerlukan keikutsertaan ataupun pengukuhan publik. Dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 berdasarkan kebijakan politik yang mengarah kepada prinsip kesetaraan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, 86 Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.hal.25
maupun dalam pemerintahan daerah itu sendiri, sebagai suatu system pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem kesetaraan ini mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan khususnya dipemerintahan daerah, antara kepala daerah dengan DPRD memiliki kewenangan masing-masing adalah sarana kontrol yang seimbang dan sinergis yang bersifat checks and balances
sehingga dapat dihindari
adanya pemusatan kekuasaan dan kewenangan yang pada akhirnya menjurus kepada penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan kekuasaan. Disinilah prinsip-prinsip dalam system pemerintahan daerah, hal mana masyarakat ikut serta dalam mengawasi kegiatan kinerja pemerintahan melalui kelembagaan DPRD. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas dapat simpulkan sebagai berikut : 1.Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian Kepala daerah, yang menyebabkan seorang kepala daerah diberhentikan dalam masa jabatannya, tentunya tidak terlepas dari kewenangan yang dimiliki DPRD yang diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota” kewenangan yang diberi undang-undang, tentunya berdampak pada pemberhentian kepala daerah. Berdasarkan isi pasal tersebut, bahwa usulan untuk memberhentikan kepala daerah diputuskan lagi dalam rapat paripurna. DPRD dalam pasal 43 Undang-undang No.32 Tahun 2004 telah diatur mengenai hak DPRD yaitu : Interpelasi; Hak angket; Menyatakan pendapat .
Dalam
menanggapi
usulan
pemberhentian
Kepala
Daerah
tersebut
DPRD
menggunakan hak angket yang dilakukan setelah diajukan hak interpelasi untuk mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan persetujuan diambil sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan di daerah, DPRD juga mempunyai fungsi legislasi,anggaran dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan DPRD Secara khusus tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 24 ayat 1C, Pengawasan ini bertujuan mengembangkan kehidupan demokrasi menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Makamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam
pengambilan
keputusan
rapat
paripurna
DPRD
untuk
mengusulkan
pemberhentian Kepala Daerah dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota DPRD dan diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota DPRD, artinya keputusan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala daerah harus disetujui 2/3 dari anggota DPRD , tentunya hal ini dapat menimbulkan persoalan sebab tanpa dihadiri 3/4 dari anggota DPRD serta tidak disetujui oleh 2/3 dari anggota DPRD maka putusan tersebut tidak bisa dilaksanakan sementara Kepala Daerah jelas-jelas telah melanggar sumpah
dan janji jabatannya. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang 32 Tahun 2004 juga, bahwa Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD, berdasarkan
ketentuan ini Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, Putusan Mahkamah Agung ini diserahkan lagi kepada DPRD untuk menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden. Ketentuan ini menunjukan bahwa keputusan Mahkamah Agung tidak bisa dijalankan apabila tidak disetujui 2/3 anggota DPRD, sebab bisa saja dalam perjalanan rapat paripurna anggota DPRD terjadi perubahan politik. Dimana dalam putusan Mahakamah Agung supremasi hukum lebih di junjung sebab Negara Indonesia adalah Negara hukum, sementara dilain pihak juga dikalangan anggota DPRD lebih mengutamakan supremasi politik, yang lebih mengutamakan kepentingan fraksinya yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta dijalankan begitu saja. Dalam menanggapi usulan DPRD presiden wajib memperoses usulan pemberhentian kepala daerah tersebut, atau melakukan pemberhentian sementara terhadap kepala daerah, sementara secara hukum pemberhentian sementara kepala daerah merupakan tindakan yang melanggar asas kepastian hukum , sebab tidak adil dan demokratis seorang yang belum ada kepastian hukum (inkrach van gewijh) tetapi sudah diusulkan untuk di skorsing (pemberhentian sementara)
2. Akibat hukum terhadap pemberhentian kepala daerah, adalah terjadinya kekosongan jabatan kepala daerah, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang 32 tahun 2004, dimana jabatan kepala daerah diaganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden. Prihal rapat paripurna DPRD untuk melantik wakil kepala daerah tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat, artinya dalam proses tersebut telah terjadi kekosongan jabatan kepala daerah ,dalam konsep negara hukum kekosongan jabatan tidak boleh terjadi, karena hal ini menyangkut dengan asas tertib penyelenggaraan pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat,untuk menjaga kesinambungan dan keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,oleh karena ada beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling) yang hanya dilakukan dalam kapasitas sebagai kepala daerah, seperti pengesahan Peraturan daerah dan Peraturan kepala daerah. Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah yang diberhentikan diganti oleh wakil kepala daerah namun yang perlu dikaji dalam hal ini adalah proses pengisian jabatan tersebut mengingat dalam konteks asas -asas umum pemeriatahan yang baik (AAUPB) penyelenggaraan pemerintahan lebih mementingkan kepentingan umum, demikian juga dalam konsep negara hukum artinya segala tindakan harus berdasarkan hukum. Dalam pasal 35 Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur prihal prosedur pengisian jabatan kepala daerah jika kepala daerah diberhentikaan apabila mengalami krisis kepercayaan publik. Dalam Pasal 24 (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil kepala daerah membantu kepala daerah
menjalankan dan memimpin pemerintahan daerah (pemda). Wakil kepala daerah dalam peraturan ini memang sifatnya hanya membantu kepala daerah melaksanakan tugas tertentu dan menggantikan kepala daerah jika berhalangan.
Namun, patut
diperhatikan juga keberadaan wakil kepala daerah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yaitu dipilih secara berpasangan oleh rakyat dan secara bersamaan memimpin pemerintahan daerah sesuai perintah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. B. Saran- Saran 1. Hendaknya dalam hal Pemberhentian Kepala Daerah seharusnya yang diutamakan adalah supremasi hukum. 2. Pengambilan keputusan rapat paripurna DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah, harus mematuhi mekanisme hukum yang berlaku. 3. Hendaknya
putusan
Mahkamah Agung
harus
menjadi acuan
terhadap
pemberhentian Kepala Daerah.
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
Alkostar ,Artidjo , 2005, Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta. Budiarjo,Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Garmedia, Jakarta.1988. Cambell, Black Hery,Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, West Publishing Co,1997. Diokdjo Sisworo, Soedjono, Pengantar ilmu Hukum, Rajawali Press, Jakarta.1986. Wade. E.C.S. dan G, GOgfrey. Constitutional Law: An Outline of law and Practise of the Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and State and Administrative Law, Edition,Longman,London.1965 G.Sudargo., Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung Alumni, 1983 Gilles, Paquet, “Paradigms Of Governance” Canadian Center For Managemen Development, Rethinking Governance, The Dewar Series : Perspektive On Publik Management 1994. G.H.Addink Dalam Siswanto Sunarno,Reader,Principles of Good Governance,2005 Hadjon, Philipus M,dkk, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara (Introduction To The Indonesian Administration Law),cet. I Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997. Hadjon, Philipus M. Tentang Wewenang, Dalam Yuridis, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September -Desember 1997. Hoessei, Benyamin, Berbagai Faktor yang Mempenagruhi Besarnya Otonmi Daerah di Tingkat II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Jakarta. Program PPS Universitas Indonesia,1993. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradailan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Pustaka Sianar Harapan Jakarta.2004. Ismail, Sunny,. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif( suatu penyelidikan Dalam Hukum Tata Negara). Aksara Baru, Jakarta,1983. Kantaprawira Rusai, Pengaruh Pemilihan Umum Terhadap Prilaku Politik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia : Dimensi Budaya Politik Dan Budaya Hukum. Disertasi Pascasarajana Unpad, Bandung,1992.
Kaloh, J, kepala Daerah; Pola kegiatan dan prilaku kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, PT Garamedia Pustaka Utama.Jakarta .2003. Kelsen ,Hans, General Theory Of Law State, Russell&Russell, New York, 1961. Manan ,Bagir , perjalanan historis pasal 18 UUD 1945. Unsika Karawang 1993. ------------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat studi Hukum ( PSH) fakultas Hukum UII Yogyakarta,2001. Manan, Bagir , Restrukturisasi Badan Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 239, Jakarta.2005. Manan, Bagir,1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, makalah Ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad Bandung. Muschab, Mashuri, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945. Bina Aksara Jakarta 1981. Muchsan,
Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty,1981.
Mahfud MD, Moh, ketika Gudang Kehabisan Teori Ekonomi” dalam pemerintahan yang bersih,UII Press, Yogyakarta,2000. ------------------ Oligarki Politik Hambat Supremasi Hukum.Serial Online 11 februari 2010 available From:URL:http://www.sinarharapan.co.id. Mayo, Hendry B. An Introduction To Democratic Theory.Oxford Univesity Press,New York.1960. M.Musri Nauli. Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum) Serial online.16 Juli 2010. availablefrom:URL.http://www.jambiekspres.co.id Nisjar S, Karhi, Beberapa catatan tentang Good Governance, Dalam jurnalAdministrasi dan Pembangunan , Vol.1 No.2, PERSADI LP3ES, Jakarta 1997. Noer, Deliar . Pengantar Pemikiran Politik, Rajawali, Cet. Ke-1 .Jakarta.1983 Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com Sarundjang, Arus Balik Kekuasaan Kedaerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1998.
Syarifudin Ateng , Dalam Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif Eksekutif dalam Rangka pelaksanaan otonomi Daerah. Alqaprint Jatinangor Sumedang,2002. Samego Indria ,Masalah Good Govermance di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah, Jurnal demokrasi & HAM vol 2.NO.2, Juni- September 2002. Soemantri ,Sri M.2001. Konseprualitas Dasar-Dasar Konstitusi Bagi Demokrasi Bagi Demokrasi Yang Berlanjut. Dalam Laporan Konfrensi : Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Di Indonesia. IDEA Kumpulan Makalah. Suswono ,Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Utama, Jakarta.1997. Smith ,B.C., Decentralization ( the territorial dimension Of the state),George Allan & Onwin Ltd, London WCIA ILU UK,1985. Strong ,C.F , Modern Political Constitution An Introduction To The Comparative Study of Their History And Existing, Soddgwiick & Jacktos Limited,London Revised Edition,1952. Soedjito, Irawan , Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah, Bina Aksara, Jakarta,1981. Soekanto ,Soerjono , Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1984. Sukahman ,Wirnano , Pengantar Penelitian ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tarsito Bandung. 1985. Smith, dalam Johanes Fernandes,Dari Otonomi Ke Integrasi. JIIS UI,Jakarta, 1992. Sunarno, Siswanto Sunarno,Hukum Pemerintahan Grafika.Jakarta.2005.
Daerah di Indonesia.Sinar
Sadjino. Fungsi kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LaKsBang PRESSindo, Yogyakarata,2005. Syueb ,Sudono .Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi.laksbang Mediatama,Surabaya.2008. Soehino, Ilmu Negara,Liberty, Yogyakarta, 1980 Suwandi,Made ,dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah.Jakarta.2005.
Waren ,J.H., The local Government service, George Allen & Onwin Ltd, Museum Street, London,1952. Wasistiono ,Sadu, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,ed.II, Fokus Media ,Bandung,2002. ----------------Meningkatkan Kinerja Dewan (DPRD).FokusMedia.Bandung.2009.
Pewakilan
Rakyat
Daerah
Wardani, Kunthi Dyah , Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2007. Stoner dan Freman Dalam Sadu Wasistiono.Meningkatkan Kinerja Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). FokusMedia.Bandung.2009 Shimon Shetreet, 1995, Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia. Faizal,Andy.Dipecat DPRD, Bupati Menghilang. Serial Online 22 januari2009,availablefrom:URL:http:/www.nersandy.blogspot.com.html Regerio, Pinto,F, Profecting The Governance Aproach To Civil Servisce Rewform An Intitusional Enveriroment Assesment For Freparing a Sectoral Adjusment Loans at The Gambia, Word Bank Disccusion Paper, Africa Technical Departement series. Umbu
Rauta. Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Serialonline.27februari2007.availablefrom:URL.http://berimanhati.blogspot.com
Negara.
Yudho,Winarno.dkk (tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi), Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (laporan penelitian), Jakarta, 2005. Zairin Harahap. Korupsi APBD Purworejo: Serial online.4 Juni 2009 availablefrom:URL.http://infokorupsi.com Hasil penelitian lapangan dengan mengambil studi kasus di DPRD Propinsi Sumatera Selatan dan DPRD Propinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Politik Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat email:
[email protected]. 2 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008
Pemberhentian sementara vs presumption of innocent hhtp : // www . Mahkamah konstitusi .go.id. Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005. Departemen dalam Negeri RI “ Politik Lokal/Nasional, Kepemimpinan dan Good Govenance” Makalah pada saat rapat Konsulidasi Pemerintahan dalam negeri 4 september 2001. Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi.Serial online 30 Juli 2010 availablefrom:URL.http://purwekertonews.com
UNDANG-UNDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN,PENGESAHAN,PENGANKATAN DAN PEMBERHETIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH . (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4480)
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 92) UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUSAAN KEHAKIMAN. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5076) UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUANKETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG MAHKAMAH AGUNG.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4359) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH KEPADA PEMERINTAH. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 19) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DPRD. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomo 4417)
CONTOH - CONTOH KASUS PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi Rapat Paripurna DPRD Kebumen beragendakan Usulan Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Kebumen Periode 2005 – 2010, gagal menghasilkan keputusan akibat tak mencapai kuorum dan diboikot oleh 3 fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi Partai Golkar (FPG), Senin (5/7). Rapat tersebut hanya dibuka dan ditutup lagi oleh Ketua DPRD Kebumen, Ir Budi Hianto. Menurut Kasubag Humas DPRD Kebumen, Titi Widagni, berdasarkan Tata Tertib DPRD Kebumen, Rapat Paripurna semacam itu harus dihadiri oleh minimal tiga perempat dari jumlah anggota atau 38 orang. Sampai rapat ditutup, anggota yang hadir hanya hanya 29 orang, maka rapatpun dinyatakan tak mencapai kuorum dan harus ditunda sampai tiga hari berikutnya atau menunggu keputusan Banmus DPRD Kebumen. “Rapat ini sebenarnya agenda kelembagaan DPRD yang memang sudah sesuai dengan mekanisme perundang-undangan, yaitu 2 minggu sebelum jabatan bupati dan wakil bupati habis DPRD harus sudah mulai mempersiapkan proses pemberhentiannya. Rapat
ini benar-benar bukan agenda politik untuk mendiskreditkan seseorang, jadi seharusnyalah anggota ketiga fraksi itu menyadari aturan itu dan hadir di sini,” ujar Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kebumen, Tatag Sujoko di Aula DPRD Kebumen. Sedangkan Ketua FKB DPRD Kebumen, Ir Sri Harry Susanto MM, ketika dihubungi menyatakan bahwa boikot ketiga fraksi terhadap Rapat Paripurna tersebut memang sudah kesepakatan ketiga fraksi yang berasal dari 3 partai pengusung pasangan calon bupati – wakil bupati (cabup-cawabup) dalam Pemilukada 2010 Kebumen, KH M Nashirudin AM – H Probo Indartono SE Msi. Alasan ketiga fraksi memboikot agenda tersebut menurut Sri Harry Susanti disebabkan usulan mereka agar DPRD Kebumen membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kebumen telah ditolak mentah-mentah oleh Ketua DPRD Kebumen. Usulan pembentukan Pansus Pilkada itu dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap banyaknya pelanggaran dalam Pemilukada 2010 Kebumen lalu, sehingga DPRD sebagai lembaga pengawas terhadap penggunaan dana APBD berhak untuk melakukan pengkajian terhadap pelaksanaan Pemilukada 2010 Kebumen. “Berdasarkan Tata Tertib DPRD Kebumen, anggota DPRD Kebumen berhak mengusulkan pembentukan pansus. Bukankah Pemilukada 2010 Kebumen menggunakan dana APBD 2010
Kebumen,
sehingga sangat wajar
bila DPRD
Kebumen
mempertanyakan pelaksanaan Pemilukada. Sebagai lembaga yang berhak melakukan pengawasan terhadap APBD, kami pun berhak mengawasi Pemilukada,” ujar Sri Harry Susanti. Sri Harry Susanti mengakui bila penolakan pembentukan Pansus Pillkada itu benar-benar mengecewakan para anggota 3 fraksi tersebut, sehingga mereka pun sepakat untuk memboikot Rapat Paripurna yang digelar Senin (5/7) itu. Jalan Panjang Pemberhentian Kepala Daerah Oleh Otong Rosadi Akhirnya, setelah berminggu-minggu Garut diingarbingarkan dengan unjuk rasa berbagai elemen masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Garut Agus Supriadi sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi
APBD
Garut,
Kamis
(26/7).
Sebelumnya
DPRD
Garut
telah
menyampaikan hasil dari Panitia Hak Angket dan rekomendasi DPRD Garut ke
Mahkamah Agung perihal usulan pemberhentian Bupati untuk diperiksa lebih lanjut oleh MA. Partai
Golkar
Garut
bersikap
dengan
"memecat"
Agus
Supriadi
dari
kepengurusan partai. Sejumlah partai, ormas, dan elemen masyarakat juga meminta Bupati Garut mundur dari jabatannya. Kasus Bupati Garut ini menarik untuk ditelaah dari sudut hukum tata negara. Bagaimana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur pemberhentian kepala daerah? Mengapa pula mekanisme penyelesaian kasus ini terkesan rumit, panjang, dan berliku. Kasus ini berawal dari pengaduan sejumlah kasus dugaan korupsi di Kabupaten Garut. KPK menemukan bukti kuat dugaan kasus tindak pidana korupsi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut, termasuk dugaan keterlibatan Bupati. Pemeriksaan KPK ini mendorong pengunduran diri beberapa pejabat teras Pemkab Garut dengan alasan untuk memudahkan pengusutan dugaan korupsi. Dari sinilah "Bupati Garut Gate" bermula. Kisah pun bergulir cepat. Beberapa pejabat mundur dari jabatannya (24 Juni 2007). Massa dari berbagai lapisan masyarakat menyatu dalam gelombang unjuk rasa. Unjuk rasa pun mengarah pada Bupati. Bupati dipandang harus bertanggung jawab atas dugaan korupsi dan atas kinerja buruknya memimpin Garut. Gayung bersambut. Pada 27 Juni 2007 rapat pimpinan DPRD membentuk Panitia Khusus Hak Angket DPRD. Pansus Hak Angket DPRD Garut menghasilkan rekomendasi. Rekomendasi itu berisi usulan pemberhentian sementara Bupati dari jabatannya pada 11 Juli 2007. Rekomendasi ini lalu disampaikan ke MA untuk mendapat putusan. UU No 32/2004 Berbeda dengan UU No 22/1999 yang mengatur pertanggungjawaban kepala daerah
kepada
pemberhentian
DPRD kepala
yang
dapat
daerah,
UU
membawa No
implikasi
32/2004
pada
tidak
usulan
mengatur
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang berimplikasi pada pemberhentian kepala daerah. Meski demikian, UU No 32/2004 juncto PP No 6/2005 mengatur perihal pemberhentian kepala daerah dengan empat model.
Pertama, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden apabila dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai kepala daerah (Pasal 123 PP No 6/2005). Prosedurnya dimulai dengan adanya pendapat DPRD bahwa kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah atau janji dan atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah. Pendapat DPRD tersebut diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat jumlah anggota DPRD, dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD yang hadir. Pendapat DPRD hasil rapat paripurna itu diajukan kepada MA untuk diputuskan. MA wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRD paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima MA, dan putusannya bersifat final. Apabila MA memutuskan kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajibannya, DPRD menyelenggarakan kembali rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat jumlah anggota DPRD, dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD yang hadir. Pemberhentian kepala daerah yang terbukti melanggar sumpah/janji dan atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah diusulkan DPRD kepada Presiden, dan Presiden wajib memproses usul DPRD tersebut paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut. Dugaan kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya sebenarnya merupakan masalah hukum yang memerlukan pembuktian hukum terlebih dahulu. Namun, UU No 32/2004 mengatur pengecualian tidak ditempuh melalui pengadilan negeri, pengadilan tinggi, tetapi langsung ke MA. Proses pemberhentian kepala daerah, menurut UU No 32/2004, lama, berbelit, dan agak sulit dilaksanakan. Bisa saja putusan MA yang menyatakan benar bahwa kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya tidak dilanjutkan oleh DPRD karena terjadi perubahan politik di DPRD. Anggota DPRD tidak lagi
berpandangan bahwa kepala daerah melanggar sumpah/janji dan atau tidak melaksanakan
kewajiban
kepala
daerah.
Sebab,
setelah
putusan
MA
disampaikan ke DPRD, DPRD akan melaksanakan paripurna kembali untuk memutuskan pendapat tersebut. Bila tidak didukung dua pertiga anggota DPRD, putusan MA tidak bermakna. Model kedua, apabila memunculkan krisis kepercayaan publik kepada kepala daerah (Pasal 128 PP No 6/2005), krisis terus berlanjut dan menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan dan pembangunan, DPRD dapat menggunakan hak angket sebagai kelanjutan dari hak interpelasi untuk menyikapinya. Jika melalui mekanisme hak angket DPRD berpandangan bahwa kepala daerah melakukan
tindak
pidana
yang
melibatkan
tanggung
jawabnya,
DPRD
menyerahkan proses penyelesaiannya kepada penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika pengadilan memutuskan kepala daerah melakukan tindak pidana, dengan ancaman pidana penjara paling sedikit lima tahun atau lebih, sekalipun belum merupakan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, DPRD dapat mengusulkan "pemberhentian sementara" kepala daerah kepada Presiden. Presiden memberhentikan sementara kepala daerah berdasarkan usulan DPRD tersebut. Apabila terbukti bersalah melalui keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden dan Presiden memberhentikan kepala daerah bersangkutan. Pada model ketiga dan keempat, kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 125 PP No 6/2005). Model ini diawali "pemberhentian sementara" apabila pengadilan telah memutuskan bahwa kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana. Presiden memproses pemberhentian sementara gubernur atas usulan Menteri Dalam
Negeri. Adapun Mendagri memproses pemberhentian sementara bupati/wali kota atas usulan gubernur. Dalam model keempat, kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 127 PP No 6/2005). Model keempat ini diawali dengan "pemberhentian sementara" apabila berkas perkara telah dilimpahkan ke pengadilan dan dalam proses penuntutan dengan dibuktikan register perkara. Kembali ke hukum Berdasarkan pemberitaan media massa, dalam kasus Bupati Garut, proses pemberhentian dilakukan dengan menggunakan campuran model pertama dan kedua. Dari dugaan korupsi muncul krisis kepercayaan publik, lalu DPRD membentuk panitia untuk menjalankan hak angket. Hasil rekomendasi hak angket DPRD yang seharusnya diserahkan kepada penegak hukum (KPK atau jaksa dan kemudian pengadilan) untuk diperiksa lebih lanjut justru diserahkan ke MA. Padahal, campur tangan MA hanya untuk model pertama, bukan untuk model kedua. KPK "bertindak cepat" dengan memeriksa Bupati Garut dan menetapkannya sebagai tersangka. Artinya, KPK kemudian mendorong proses "Bupati Garut Gate" menuju pada pilihan model keempat. Langkah KPK ini diharapkan dapat sementara
waktu
meredakan
gelombang
unjuk
rasa
di
Garut
dan
memindahkannya kepada prosedur hukum yang semestinya (due process of law). Model keempat ini lebih tepat dipilih asal tetap berjalan sesuai prosedur yang benar, termasuk keharusan meminta persetujuan tertulis dari Presiden sesuai ketentuan Pasal 133 PP No 106/2005. Sebab, bagaimanapun prosedur penegakan hukum yang benar merupakan prasyarat bagi penegakan hukum yang berkepastian dan mendekati rasa keadilan. Semoga. OTONG ROSADI Dosen Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang; Berdomisili di Pamanukan, Subang
Mendagri Pecat Bupati Pelalawan "SK pemberhentian Bupati Pelalawan sudah diterima oleh Pemerintah Provinsi Riau," kata Kepala Biro Tata Pemerintahan Setdaprov Riau Alimudin di Pekanbaru, Jumat (4/9). SK bernomor 131.14-590/2009. Ia menyebutkan, SK tersebut berisi tentang pengesahan pemberhentian Bupati Pelalawan dan pengesahan pengangkatan Wakil Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati menggantikan Tengku Azmun Jaafar. Ia juga menambahkan bahwa pelantikan Rustam Effendi sebagai Wakil Bupati Pelalawan akan digelar dalam waktu dekat melalui rapat paripurna istimewa DPRD Kabupaten Pelalawan. Sementara itu, pemberhentian Tengku Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan dilakukan menyusul Keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor 736/k/pid.sus/2009 tanggal 3 Agustus 2009 yang menyatakan Tengku Azmun Jaafar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan divonis 11 tahun penjara. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memvonis mantan Bupati Pelalawan tersebut dengan 16 tahun penjara. Sedangkan di pengadilan tingkat pertama, mantan Bupati Pelalawan divonis 11 tahun penjara. Majelis hakim menyatakan Azmun bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada 15 perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga merugikan negara Rp 1,2 triliun. Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar. Azmun dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan sengaja menerbitkan IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun waktu Desember 2002 sampai Januari 2003, padahal mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan itu tidak kompeten dalam bidang kehutanan. [*/sss]
Oleh:M. Musri Nauli * PERSETERUAN antara Yusril Ihza Mahendra dengan Jaksa Agung dimulai dalam kasus korupsi Sisminbakum. Kasus Sisminbakum telah menetapkan tersangka terhadap Prof. Romli Atmasasmita dan pejabat penting lainnya di Depkumham. Prof. Romi Atmasasmita kemudian telah menjalani proses hukum dan dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut. Saat pemeriksaan proses hukum terhadap para tersangka, sebagian kalangan menyesalkan terhadap proses hukum tersebut. Adanya kecurigaan “rekayasa” kasus ini tidak terlepas dari “seringnya” Prof. Romli mengkritisi kebijakan negara dalam persoalan hukum pidana. Pernyataan ini yang kemudian dianggap sebagai salah satu alasan kemudian kasus ini mengemuka di permukaan. Terlepas dari pernyataan bahwa kasus ini tidak berdimensi politik, namun bacaan publik tidak serta merta dapat dimentahkan dengan pernyataan tersebut. Persidangan terhadap Prof. Romli kemudian menyeret Yusril Ihza Mahendra. Perseteruan antara Prof. Romli dengan kejaksaan Agung kemudian melebar antara Yusril dengan Kejaksaan Agung. Apabila sebelumnya Prof. Romli “mempersoalkan” tentang rekayasa kasus, bukti-bukti yang tidak kuat, namun disaat ketika perseteruan dengan Yusril, Yusril kemudian mempersoalkan keabsahan Jaksa Agung. Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum) Sebelum diperiksa sebagai tersangka, Yusril mengeluarkan “jurus ampuh” dengan menyatakan Jaksa Agung illegal. Jurus ampuh ini ternyata efektif. Dunia Politik geger. Perdebatan dalam ilmu hukum membuat banyak pihak tersentak. Wacana tentang tidak diangkatnya Hendarman Supandi sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Indonesia Bersatu periode II menimbulkan persoalan yang serius dalam lapangan hukum ketatanegaraan. Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum). Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup de etaat).
Peristiwa ini pernah terjadi. Saat menjelang Pemilu 2009, Presiden SBY ke luar negeri dalam lawatan resmi ketatanegaraan. Wapres Jusuf Kalla yang menggantikan Presiden ad interm berada di Aceh dalam kampanye Partai. Jakarta Kosong selama 48 jam. Kalangan akademisipun teriak. Dan kemudian akibat dari “kelalaian” sehingga Jusuf Kalla kemudian segera pulang ke Jakarta sehingga tidak dapat digunakan kaum pemberontak menguasai negara (coup de etaat). Peristiwa lain tentang Kekosongan kekuasaan (rechtvacuum) tidak terjadi dalam peristiwa dicopotnya Komandan Kopassus menjelang kejatuhan orde baru. Sebelum ditetapkan Komandan Kopassus tetap, pengganti sementara Komandan Kopassus menjabat selama 16 jam. Dan setelah 16 jam, barulah ditetapkan Komandan Kopassus tetap. Begitu juga saat Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda pasca agresi II. Sebelum ditangkap, Soekarno dan Hatta kemudian memberikan kewenangan Presiden kepada Syafruddin Prawiranegara yang saat itu sedang berada di Bukit tinggi. Surat resmi melalui kawat diterima oleh Syafruddin Prawiranegara dan kemudian Syafruddin Prawiranegara menyatakan memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Bukittinggi. Hubungan diplomatikpun berjalan. Mesir dan berbagai negara-negara lain tetap membangun komunikasi ketatanegaraan dengan Pemerintahan Syafruddin Prawiranegara walaupun Soekarno dan Hatta ditawan oleh Belanda. Sehingga kampanya Belanda yang menyatakan bahwa kekusaaan Indonesia telah jatuh dengan ditangkapnya Presiden dan wakil Presiden, terbantahkan dengan mandat yang diterima Syafruddin Prawiranegara. Sehingga dalam diplomasi internasional, kampanya Belanda kemudian ditertawakan oleh dunia internasional. Dan salah satu peristiwa penting yang membuat Indonesia tetap diakui sebagai negara yang berdaulat dan membuat Belanda kemudian hengkang dari Indonesia 30 Desember 1949. Beberapa peristiwa penting disampaikan penulis, sekadar gambaran, bagaimana pentingnya tidak dibenarkan adanya kekosongan kekuasaan (rechvacuum). Dalam diskursus hukum ketatanegaraan, tidak dibenarkan kekuasaan kosong walau sedetikpun.
PERGANTIAN KEPALA DAERAH MENURUT HUKUM TATA NEGARA (Kasus Meninggalnya Walikota Salatiga) Oleh : Umbu Rauta, SH.MH. Belum genap setahun menjabat sebagai Walikota, tanggal 9 Februari 2007, warga Salatiga telah berduka dengan meninggalnya Walikota H. Totok Mintarto. Sosok Walikota tersebut cukup terkesan di hati warga karena figur kedekatan dengan semua lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai latarbelakang dan aliran. Pasca meninggalnya Walikota, terjadi kekosongan jabatan Walikota, yang secara yuridis patut dilakukan pengisian jabatan lewat peristiwa pergantian. Saat ini, meski agak “malu-malu kucing”, suhu perpolitikan di Kota Hatti Beriman mulai hangat seputar percakapan tentang pergantian jabatan Walikota. Setidaknya agenda perbincangan memusat pada (a) siapa dan bagaimana prosedur pengisian jabatan Walikota; dan (b) wajibkah jabatan Wakil Walikota dilakukan pengisian apabila Wakil Walikota John Manoppo dikukuhkan menjadi Walikota. Terhadap keadaan yang terjadi di Salatiga, dapat disoroti dari perspektif Hukum Tata Negara, terutama perangkat perundang-undangan yang mengatur perihal pemberhentian dan pergantian jabatan Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala Daerah (WKDH). Perihal Pemberhentian & Pergantian Jabatan Dalam Pasal 29 – 35 UU No. 32 Tahun 2004 (telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2005) maupun Pasal 123 – 133 PP No. 6 Tahun 2005, telah diatur beberapa alasan
pemberhentian KDH dan atau WKDH, yaitu meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan. Fakta di Salatiga yaitu Walikota meninggal dunia, sehingga beralasan untuk dilakukan pemberhentian dan pergantian jabatan. Selanjutnya, apabila terjadi pemberhentian KDH karena meninggal dunia, permintaan sendiri, diberhentikan, maka Wakil KDH menggantikan KDH sampai habis masa jabatannya. Pergantian KDH dilakukan melalui usulan pengesahan pemberhentian & pergantian KDH oleh DPRD ke Presiden. Beranjak dari ketentuan tersebut, Wakil Walikota “diperintahkan” mengganti Walikota sampai habis masa jabatannya. Perintah ini tidak dapat dielakkan. Lantas, bagaimana jika Wakil Walikota tidak berkeinginan untuk menggantikan Walikota? Meski tidak ada sanksi, namun semangat dari ketentuan di atas yaitu (a) menjaga kesinambungan atau keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, oleh karena ada beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling) yang hanya dilakukan dalam kapasitas sebagai Walikota, seperti pengesahan Perda & Peraturan Walikota; dan (b) proses seleksi jabatan yang dilakukan secara paket, sekaligus memungkinkan Wakil Walikota sewaktu-waktu mengemban jabatan sebagai Walikota jika terjadi keadaan yang tidak memungkinkan Walikota melanjutkan kepemimpinannya. Agenda pemberhentian Walikota diawali dengan pemberitahuan Pimpinan DPRD untuk diputus dalam Rapat Paripurna DPRD. Selanjutnya diajukan ke Mendagri melalui Gubernur Jawa Tengah untuk pengesahan. Sementara agenda pergantian dibahas & diputus dalam Rapat Paipurna DPRD agar Wakil Walikota diusulkan ke Mendagri melalui Gubernur Jawa Tengah untuk mengganti Walikota sampai habis masa jabatan. Meski tidak diatur kapan waktu pemberhentian dan pergantian KDH dan atau WKDH, namun
dengan
pertimbangan
keberlanjutan
dan
kelancaran
penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, DPRD secepatnya menyelenggarakan Rapat Paripurna dengan agenda pemberhentian & pergantian jabatan Walikota.
Perihal Kekosongan Jabatan Wakil KDH Dalam Pasal 35 ayat 1 – 2 UU No. 32/2004 mengatur prosedur pengisian jabatan WKDH jika KDH diberhentikan dengan alasan melakukan tindak pidana & menghadapi krisis kepercayaan publik. Apabila kekosongan jabatan Wakil KDH masih dalam rentang waktu
lebih dari 18 bulan, KDH mengusulkan 2 orang calon WKDH untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usul Parpol/gabungan Parpol yang pasangan calonnya terpilih dalam Pilkadal. Meski demikian tidak diatur secara eksplisit perihal pengisian jabatan WKDH karena menggantikan KDH yang meninggal dunia, namun berdasarkan tafsiran sistematis dan analogi dari UU No. 32/2004 maka kekosongan jabatan Wakil KDH merupakan kemestian untuk dilakukan pengisian. Penafsiran sistematis digunakan karena Pasal 35 tidak dapat dilepaskaitkan dengan pasal-pasal sebelumya mulai Pasal 29 yang mengatur alasan dan prosedur pemberhentian serta pergantian KDH dan WKDH. Sementara tafsiran analogi digunakan karena terjadi keadaan yang serupa yaitu kekosongan jabatan WKDH akibat WKDH menggantikan KDH karena salah satu alasan dalam Pasal 29 ayat 1. Alasan pendukung lainnya yaitu (1) demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kota Salatiga, (2) adanya pembagian kewenangan secara atributif dan eksplisit antara KDH dan WKDH sebagaimana diatur dalam Pasal 25 – 26, sehingga akan terjadi persoalan dari perspektif hukum administrasi negara; (3) dalam rangka menjaga kedaruratan berikutnya (yaitu jika terjadi keadaan berhalangan terhadap kepemimpinan puncak ditubuh pemerintah (eksekutif), sehingga akan memakan biaya lebih besar karena harus dilakukan pemilihan KDH dan WKDH. Akankah waktu yang ada tersita hanya dengan urusan pengisian jabatan pemerintahan, sementara tugas utama untuk layanan masyarakat menjadi tersita dan terkesampingkan. Prosedur Pengisian Jabatan Wakil KDH Prosedur pengisian jabatan WKDH dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat 2, dimana basis pencalonan adalah Parpol/Gabungan Parpol yang memenuhi syarat dalam Pilkadal. Parpol/Gabungan Parpol perlu melakukan penjaringan dan penyaringan bakal calon Wakil Walikota sesuai mekanisme internal partai maupun kepenuhan terhadap syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 58. Sumber calon yang akan diajukan Parpol/Gabungan Parpol ke KDH tidak dilakukan pengaturan secara eksplisit, sehingga kewenangan ada pada Parpol/Gabungan Parpol. Oleh karenanya, ada 2 alternatif yang dapat digunakan yaitu : menggunakan hasil penyaringan saat Pilkadal, yaitu calon WKDH urutan berikutnya (untuk kasus Salatiga adalah calon Wakil Walikota urutan
berikutnya setelah John Manoppo dari gabungan PDIP dan PAN), atau dilakukan penjaringan & penyaringan baru oleh Parpol/Gabungan Parpol. Selanjutnya, apakah ada peran dari KDH dalam penjaringan dan penyaringan calon WKDH yan dilakukan Parpol/Gabungan Parpol? Meski tidak diatur, namun dalam rangka kerjasama yang bermakna antara KDH dan WKDH, tidak keliru jika dilakukan konsultasi intensif dengan KDH. Hasil penyaringan yang telah dilakukan Parpol/Gabungan Parpol diajukan ke KDH untuk disampaikan ke DPRD. DPRD akan melakukan pemilihan terhadap 2 calon yang diajukan KDH. Prosedur pemilihan menggunakan ketentuan internal DPRD yaitu Peraturan Tata Tertib DPRD. Potensi masalah hukum akan terjadi jika calon yang diajukan Parpol/Gabungan Parpol kurang dari 2 calon (1 calon). Akankah KDH atau DPRD menolak agar dilakukan proses ulang sampai memperoleh minimal 2 calon? Meski tidak diatur, dengan pertimbangan kedaruratan pergantian jabatan dan penghargaan akan peran Parpol/Gabungan Parpol, maka proses tetap dapat dilanjutkan oleh KDH dan DPRD untuk dilakukan pemilihan. Catatan Akhir Apabila DPRD Kota Salatiga telah mengusulkan pengesahan pemberhentian dan pergantian Walikota maupun akan dilakukan pengisian terhadap jabatan Wakil Walikota, demi mewujudkan Kota Salatiga Hatti Beriman, maka beberapa hal berikut patut menjadi perhatian bersama. Pertama, mewujudkan terjadinya perimbangan politik (terutama kesukuan dan keagamaan) dalam jabatan Walikota dan Wakil Walikota. Fakta menunjukan hal semacam ini tak terhindarkan, apalagi memperhatikan persyaratan figur yang berkembang khususnya untuk bakal calon Walikota. Kedua, masyarakat hendaknya mengawasi Parpol/Gabungan Parpol maupun anggota DPRD agar tidak terjadi permainan politik uang yang mencederai semangat dan gerakan pemberantasan korupsi.Ketiga, menghargai dan mendukung hasil dari proses pergantian dan pengisian jabatan yang dilakukan secara jujur dan adil oleh Parpol/Gabungan Parpol, Walikota dan DPRD. Semoga....... Dipecat DPRD, Bupati HST Menghilang Kamis, 22 Januari 2009 | 20:00 WITA BARABAI, KAMIS - Sejak keluarnya keputusan DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) yang mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri RI untuk memecat Bupati Kabupaten HST, sejak kemarin sore, Bupati Saiful Rasyid menghilang dan sulit ditemui.
Bahkan bupati yang dijadwalkan memimpin rapat internal pembahasan RAPBD dari tim eksekutif pun batal hadir. Untuk menggantikan posisi bupati memimpin rapat digantikan Sekda Igb Dharma Putra. "Bapak belum masuk, mulai sejak kemarin," kata salah satu Staf Ajudan Bupati HST. (Khairil Rahim)
Pemberhentian Kepala Daerah Berlaku Adagium Ubi Eadem Ratio, Ibi Idem Jus[Senin, 03 April 2006]. Tidak ada pelanggaran konstitusi ketika Mendagri atas nama Presiden memberhentiukan Bupati Sarolangun. Pemberhentian sementara itu justeru untuk memberikan kepastian hukum. Demikian antara lain pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi ketika memutus perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang diajukan oleh Muhammad Made. Bupati Sarolangun itu merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 31 ayat (1) UU dimaksud beserta penjelasannya. Pasal 31 ayat (1) merugikan karena atas dasar itulah Mendagri atas nama Presiden memberhentikan pemohon untuk sementara dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun, Jambi. Surat pemberhentian itu dibuat atas permintaan Gubernur Jambi setelah Madel dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan ponton senilai Rp2,5 miliar. Dalam permohonananya, tim kuasa hukum Madel menegaskan bahwa pemberhentian sementara itu tidak memberikan kepastian hukum. Apalagi tidak melalui mekanisme DPRD. Lebih tegas lagi, melanggar asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). "Pemberhentian itu justeru menerapkan praduga bersalah. Padahal klien kami belum tentu terbukti bersalah," ujar Suhardi Somomoeljono, pengacara Madel. Suhardi menunjuk contoh kasus Akbar Tanjung. Meskipun sudah duduk sebagai terdakwa dan divonis bersalah di tingkat pertama, Akbar tak kunjung lengser dari kedudukannya sebagai Ketua DPR. Dalam praktek, pemohon berdalih ada banyak pejabat setingkat bupati atau gubernur yang tidak diberhentikan sementara meskipun sudah dinyatakan
sebagai tersangka atau terdakwa. Apa yang dialami Madel dianggap sebagai bentuk diskriminasi hukum. Namun, dalam persidangan Rabu (29/3) lalu, Mahkamah menolak permohonan pemohon. Mahkamah menganggap apa yang didalilkan pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon dinilai Mahkamah telah mencampuradukkan antara rezim hukum administrasi dengan hukum pidana, juga menyamakan dakwaan dengan putusan. Apa yang dilakukan Mendagri adalah tindakan administratif, bukan suatu putusan pidana. Putusan pidana hanya ada di tangan hakim di pengadilan tempat pemohon duduk sebagai terdakwa (sudah divonis �red). Dalam hubungan dengan pemberhentian sementarai, berlaku adagium yang berbunyi Ubi eadem ratio, ibi idem jus, pada alasan yang sama berlaku hukum yang sama. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila pemberhentian sementara terhadap Pemohon dari jabatan Bupati Sarolangun dikatakan bersifat diskriminatif dengan cara membandingkannya dengan pejabat publik atau pihak lain dalam kualifikasi yang berbeda dan diatur oleh undang-undang yang berbeda. Kasus Akbar Tanjung, misalnya, selaku Ketua DPR RI yang pernah berstatus sebagai terdakwa di pengadilan, tetapi tidak diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI, bukanlah merupakan diskriminasi karena tunduk pada undang-undang yang berbeda dan bukan tergolong pejabat tata usaha negara sebagaimana halnya kepala daerah. MK menegaskan, benar bahwa dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan diskriminasi. Dalil pemohon mengenai adanya pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) juga ditepis Mahkamah. Menurut Mahkamah, berdasarkan ketentuan baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional telah nyata bahwa prinsip atau asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam bidang hukum pidana, khususnya dalam rangka due process of law. Asas tersebut sesungguhnya berkaitan dengan beban pembuktian (burden of proof, bewijslast) di mana kewajiban untuk membuktikan dibebankan kepada negara, c.q. penegak hukum, sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana prinsip pembuktian terbalik (omgekeerde bewijslast) telah dianut sepenuhnya. GUBERNUR JANGAN DIAMKAN WAKO SIANTAR
Jum'at, 14 Agustus 2009 , 18:11:00 JAKARTA…Mendagri Mardiyanto meminta Gubernur Sumut Syamsul Arifin untuk cepat melakukan klarifikasi di lapangan terkait situasi politik di Kota Pematang Siantar. Hasil klarifikasi harus segera disampaikan ke Mendagri Mardiyanto. Juru Bicara Depdagri Saut Situmorang menjelaskan, Depdagri sudah menyurati Syamsul Arifin terkait persoalan di Pematang Siantar itu. Surat Depdagri ditandatangani Direktur Jenderal Otonomi Dearah (Dirjen Otda) Sodjuangon Situmorang. Surat itu bernomor 131.12/2100/Otda tertanggal 4 Agustus 2009."Surat tertanggal 4 Agustus yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara itu, mengharapkan agar Gubernur Sumatera Utara dapat segera melakukan klarifikasi lapangan terhadap permasalahan Walikota Pematang Siantar dimaksud dan melaporkan hasilmya kepada Mendagri kepada kesempatan pertama,"
terang
Saut
Situmorang
di
kantornya,
Jumat
(14/8).
Disebutkan Saut, hingga saat ini Depdagri masih menunggu laporan klarifikasi Syamsul Arifin. Saut membantah informasi yang beredar yang menyebutkan Mendagri Mardiyanto sudah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian Wali Kota Pematang Siantar RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap. "Itu tidak benar," ucap Saut.Pada akhir Juli lalu, Saut Situmorang sudah menjelaskan, Depdagri masih terus mengkaji persoalan politik di Siantar itu. Depdagri juga sudah berkoordinasi dengan Sekretaris Negara (Setneg) Hatta Radjasa. Setneg juga sudah menyurati Mendagri, yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka penanganan dan penyelesaian permasalahan walikota dan wakil walikota Pematang Siantar. Surat Setneg yang dikirim ke Mendagri Mardiyanto bernomor B-3283/SETNEG/D tanggal 2 Juli 2009. Di surat itu juga dilampirkan berkas usul pemberhentian Walikota dan Wakil Walikota Pematang Siantar periode 2005-2010 yang dimohonkan DPRD setempat. Saut menjelaskan, berkas yang dari Setneg itu akan dijadikan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan kasus ini.Saut juga sudah menjelaskan, rapat paripurna DRDP Pematang Siantar tanggal 25 Juni 2009 yang merupakan tindak lanjut keputusan Mahkamah Agung RI No. 01/P/KHS/2009 tanggal 3 Maret 2009 yang pemberhentian Walikota dan Wakilnya, sampai saat ini belum pernah quorum.Dijelaskan Saut, pemerintah tidak akan gegabah dalam membuat keputusan. Penyelesaian kasus ini tetap akan diambil berdasarkan ketentuan yang berlaku, terutama pasal 123 Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005. PP itulah yang
menjadi acuan karena mengatur tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan bersifat incraht. PP ini juga sekaligus mengatur mekanisme pengusulan pemberhentian. Usul pemberhentian harus terlebih dahulu disampaikan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh Gubernur, usul dimaksud disampaikan kepada Mendagri yang kemudian meneruskannya kepada Presiden. “Ada prosedur yang harus dilalui. Bukan DPRD yang menyampaikannya langsung ke Presiden,” tegas pejabat Depdagri asal Balige itu. Berita Depdagri Sunday, 03 August 2008 15:29:00 Pjs Tak Boleh Lakukan Mutasi Kategori: Berita Depdagri(48 view) Di antara jumlah tersebut, 72 kepala daerah sudah diberi surat persetujuan Mendagri. ‘’Sisanya yang 13 tinggal beberapa hari lagi. Jangan khawatir, pasti disetujui,’’ ujar Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang pada acara penjelasan PP 49/2008 di Bandung kemarin. Proses pengajuan pengunduran diri itu memang diwajibkan dalam UU 12
Tahun
2008
bagi
kepala
daerah
yang
akan
mencalonkan
lagi.
Sesuai ketentuan, incumbent harus mengundurkan diri sejak tanggal pendaftaran. ‘’Ketika incumbent hendak mendaftarkan diri dalam pilkada, dia wajib menyerahkan pernyataan pengunduran diri dan persetujuan dari pejabat yang berwenang, dalam hal ini Mendagri,’’ jelasnya. Setidaknya ada empat manfaat jika pejabat mundur. ‘’Pertama, menghindari penyalahgunaan fasilitas, misalnya rumah dinas yang digunakan untuk konsolidasi tim sukses, atau mobil dinas yang digunakan untuk mobilitas kampanye,’’ ujar doktor Australian National University, Canberra, Australia, tersebut. Lalu, pegawai negeri sipil terjamin netralitasnya. ‘’Mereka tidak bingung dan takut jika tidak mendukung incumbent. PNS memang harus tidak berpihak,’’ katanya. Yang ketiga, incumbent tidak bisa lagi menggunakan kewenangan jabatannya untuk pemenangan diri sendiri. ‘’Dengan begitu, asas fairness dalam pilkada akan tercapai,’’ kata Saut. Dia mengingatkan, pejabat yang sudah mundur harus segera meninggalkan segala fasilitas dinasnya terhitung setelah
pemberhentian itu disahkan. ‘’Jadi, setelah mengajukan (surat mundur, red) harus sudah persiapan,’’ jelasnya. Direktur Pejabat Negara Sapto Supono yang juga memberikan materi menambahkan, kebijakan itu berlaku final dan tak dapat ditawar lagi. ‘’Memang banyak incumbent yang kaget karena mesin birokrasi tak bisa lagi didayagunakan. Mereka tak menyangka akan secepat itu,’’ kata pejabat kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, itu. Sapto mencontohkan di Lampung dan Jawa Timur. ‘’Sudah tak sempat lagi konsolidasi karena harus mundur. Efek positifnya, mesin birokrasi terpantau dan sangat terkontrol,’’ papar kandidat doktor IPB itu. Sapto mengingatkan, pejabat kepala daerah yang menggantikan atau wakil kepala daerah yang naik jabatan dilarang melakukan kebijakan strategis. Misalnya, memutasi pegawai. Itu diatur dengan PP 49 Tahun 2008 yang baru keluar 5 Juli lalu. ‘’Karena pernah terjadi, begitu wakilnya naik, langsung terjadi penggantian personel besar-besaran. Itu membahayakan pemerintahan,’’ terangnya. Selain itu, pejabat pengganti atau pejabat sementara (pjs) juga dilarang membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya. Atau, sebaliknya, mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang sudah dikeluarkan sebelumnya. ‘’Juga pernah terjadi, PT yang sudah dilarang beroperasi karena melanggar analisis syarat-syarat izin, tiba-tiba boleh beroperasi,’’ ungkapnya. Sapto mencontohkan salah satu kabupaten di Indonesia bagian Timur. ‘’Ada lahan yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan usaha malah kemudian diizinkan oleh si pengganti. Itu
tidak
boleh,’’
jelasnya.
Pejabat baru juga tak boleh membuat kebijakan pemekaran wilayah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya. ‘’Pada prinsipnya, kepala daerah dan wakilnya harus harmonis, satu tubuh, tapi memang kenyataannya di lapangan cukup sulit,’’ katanya. Karena itu, lanjut Sapto, PP 49/2008 berusaha meminimalisasi peluang kepala daerah dan wakilnya untuk berkompetisi. ‘’Akan sangat berbahaya jika mereka tidak mesra. Jadi, jangan mentang-mentang jadi pengganti kepala daerah lalu membuat kebijakan yang seolah-olah balas dendam,’’ tuturnya.(rdl/nw/jpnn)
Pencampuradukan Politik dengan Pemerintahan *) Oleh Syarief Makhya **) Abdulah Fadrie Auli, Ketua Komisi C DPRD, beberapa kali menyampaikan undangan rapat dengar pendapat (hearing), tetapi tidak pernah dihadiri pejabat Pemerintah Provinsi Lampung karena tidak mendapat izin Gubernur Sjachroedin Z.P. (Lampost, 21-3). Ketidakhadiran dinas-dinas menghadiri undangan DPRD, hanyalah salah satu akibat dampak disharmonisasi hubungan DPRD dengan Gubernur yang berlangsung satu tahun lebih. Dampak lain, yaitu tidak dibahasnya RAPBD 2006, pencekalan dana perjalanan anggota DPRD, sampai kegiatan seremonial ulang tahun Provinsi Lampung yang gagal dilaksanakan. Jika, konflik DPRD dengan Gubernur Sjachroedin Z.P. tidak kunjung selesai, dampak perjalanan tiga tahun ke depan bisa diperkirakan akan jauh lebih dahsyat, antara lain terganggunya proses penyelenggaraan pemerintahan. Hingga sekarang, belum ada tanda-tanda yang memberikan harapan konflik akan berakhir, bahkan belakangan ini konflik itu kian meruncing. Potret yang terjadi sekarang, yaitu ada upaya saling menjatuhkan. Anggota DPRD yang mendukung SK No. 15/2005 berupaya mencari celah korupsi atau penyimpangan anggaran yang dilakukan pemerintah daerah, seperti kasus dana bantuan Rp124 miliar, sementara Gubernur berupaya mengehentikan dana-dana jatah anggota DPRD. Dalam kasus konflik DPRD dengan Gubernur, DPRD memang menjadi kuat, tetapi kekuatan kekuasaan tersebut tidak dipakai untuk men-check and balance. DPRD kemudian memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan merobohkan kepala daerah. Sementara itu, Gubernur juga memiliki posisi yang kuat karena mampu mempertahankan kekuasaan dari tekan politik DPRD, tapi kekuatan Gubernur menjadi kurang efektif karena tidak memiliki dukungan politik DPRD. Melihat fakta akibat konflik tersebut, ruang konflik seperti tidak bisa lokalisasi, sehingga berdampak pada proses penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Pada hal jika dicermati, akar konflik berawal dari proses pemilihan gubernur yang dianggap bermasalah sampai terjadi hilangnya kepercayaan DPRD terhadap Gubernur Sjachroedin Z.P. dan kemudian merembet pada aktivitas pemerintahan. Jadi, subtansi konflik bersumber pada persoalan politik. Namun, dampaknya, kedua belah pihak memanfaatkan aktivitas pemerintahan sebagai alat unjuk kekuasaan. DPRD dengan otoritasnya tidak mau membahas RAPBD 2006 dan mengelar ulang tahun Lampung. Sementara itu, Gubernur Sjachroedin Z.P. juga dengan kewenangannya mengeluarkan instruksi agar dinas-dinas tidak perlu menghadiri undangan hearing dengan DPRD dan pencekalan dana anggota DPRD. Dalam konteks fenomena tersebut, terjadi pencampuradukan antara persoalan politik dan urusan administrasi pemerintahan. Pembahasan RAPBD, hearing, dan alokasi dana untuk DPRD adalah urusan administrasi pemerintahan yang harus berjalan sebagaimana mestinya, tanpa harus terpengaruh persoalan
konflik. Sementara itu, SK No. 15/2005 adalah urusan politik karena terkait masalah dukungan dan legitimasi politik. Mungkinkah dalam persoalan konflik antara Gubernur Sjachroedin Z.P. dengan DPRD bisa dipilah antara persoalan politik dengan persoalan pemerintahan, sehingga keberlangsungan proses penyelenggaraan pemerintahan bisa terjaga dengan sewajarnya? Dan, apakah bisa dibenarkan ada intervensi politik dalam proses penyelenggara pemerintahan? Politik dan Pemerintahan Antara aktivitas politik dengan aktivitas pemerintahan dalam praktek pemerintahan bisa ditelaah dalam dua bentuk. Pertama, dalam internal pemerintah daerah. Di lingkungan pemerintah daerah, dikenal ada yang namanya pejabat politik, yaitu gubernur dan wakil gubernur yang dipilih rakyat/DPRD, dan pejabat birokrasi yaitu jabatan karier di birokrasi pemerintahan, seperti sekretaris daerah, kepala dinas, dsb. Intervensi politik dalam birokrasi di negeri ini mempunyai catatan panjang. Pada masa Orde Baru intervensi bersifat monolitik oleh Golongan Karya (Golkar). Pada zaman Orde Baru, antara pejabat politik dan pejabat karier tidak bisa dipisahkan. Artinya, mereka yang menduduki jabatan di birokrasi juga aktif dan berafiliasi ke Golkar. Setelah reformasi, dengan banyaknya partai, intervensi terhadap birokrasi bersifat polisentris. "Intinya sama saja: Memanfaatkan birokrasi untuk partai." Jadi, walaupun birokrasi ditempatkan dalam kedudukan yang netral, dalam prakteknya muncul birokrasi partisan karena mereka sangat loyal dan berafiliasi politik kepada parpol yang menduduki jabatan politik, padahal secara formal PNS tidak menjadi salah satu anggota partai politik. Berkembangnya birokrasi partisan, berakibat birokrasi tidak mandiri dan tidak memiliki kekuatan penyeimbang kekuasaan dengan kedudukan pejabat politik. Implikasinya, pejabat birokrasi kemudian dijadikan alat untuk memperkuat dukungan dan legitimasi terhadap para pejabat politik. Kasus instruksi Gubernur Sjachroedin Z.P. terhadap kepala-kepala dinas agar tidak datang untuk hearing dengan DPRD adalah wujud birokrasi partisan. Kedua, aktivitas politik, secara kelembagaan lebih banyak diperankan lembaga perwakilan rakyat (DPRD) karena lembaga ini adalah pencerminan kedaulatan rakyat. Pemahaman politik dalam konteks aktivitas politik di DPRD harus dipahami dalam politik kebijakan, yaitu sebatas melakukan fungsi formulasi kebijakan dan kontrol terhadap implementasi kebijakan. UU No. 32/2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas memosisikan kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan. Implikasi pasal ini, aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan ini meliputi tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketentuan pasal ini menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan menekankan pada service sphere bukan pada political sphere. Pemahaman politik dalam perspektif UU No.
32/2004 tidak menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam UU ini tidak dikenal dengan sistem parlementer. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan (impeachment) terhadap kepala daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab, tidak ada aturan yang memungkinkan masyarakat dapat secara langsung mengimpeach kepala daerah. Namun, DPRD bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden jika memenuhi ketentuan Pasal 29 atau diberhentikan sementara oleh Presiden apabila melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 30--32). Kajian tersebut menunjukkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebenarnya ada pemisahan yang tegas antara sifat wewenang kepala daerah sebagai pejabat politik dan fungsi birokrasi. Artinya, spirit UU No. 32/2004 menekankan pada terwujudnya tertib pemerintahan sehingga fungsi pelayanan pada masyarakat tidak terganggu. Oleh sebab itu, kendati terjadi konflik antara DPRD dan Gubernur, proses penyelenggaraan pemerintahan harus terjaga dan bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Politik 'Ngambang' Konflik DPRD Provinsi Lampung dengan Gubernur Lampung belum menemukan titik temu akan ada penyelesaian secara tuntas. Upaya kedua belah pihak agar pemerintah pusat segera mengambil keputusan yang tegas untuk penyelesaian konflik tersebut hingga sekarang juga belum bisa dilakukan. Singkat kata, terjadi kebuntuan untuk mencari jalan ke luar dalam penyelesaian konflik tersebut. Dari berbagai informasi, sikap pemerintah dalam penyelesaian konflik sampai pada suatu kesimpulan akan diambangkan sampai berakhirnya masa jabatan Sjachroedin sebagai gubernur Lampung pada 2008. Jika simpulan ini benar, penyelesaian konflik hanya dimungkinkan bisa dilakukan pada tingkat daerah, yaitu sangat bergantung pada Sjachroedin dengan DPRD, tidak lagi bergantung pemerintah pusat. Namun, jika tidak ada keinginan kedua belah pihak untuk rekonsiliasi, suasana disharmonisasi akan berlangsung panjang selama tiga tahun ke depan. Akhirnya, selain persoalan penyelesaian konflik harus diselesaikan Sjachroedin dengan DPRD, juga pemisahan antara politik dan pemerintahan menjadi penting dilakukan, sehingga dampak konflik bisa diminimalisasi dan tidak berakibat terganggunya aktivitas pemerintahan sehari-hari serta tidak hancurhancuran. Untuk merealisasikan gagasan ini, kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan di antara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Selain persoalan penyelesaian konflik harus diselesaikan Sjachroedin dengan DPRD, juga pemisahan antara politik dan pemerintahan menjadi penting untuk dilakukan agar dampak konflik bisa diminimalisasi. *) Dimuat di Lampung Post, 27 Maret 2006 **) StaPengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung