TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Khnia Gambut Tanah gambut tebal di Indonesia umumnya mengandung kurang dari 5 %
fraksi inorganik dan sisanya ftaksi organik yaitu lebih dari 95 %. Fraksi organik terdiri senyawaaenyawa humat sekitar 10 hingga 20 94, sebagian besar terditi dari
senyawa-senyawa non humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejurnlah kecil protein dan lain-lain. Sedangkan senyawa-
senyawa humat terdiri dari asam humat, himatomelanat dan humin (Stevenson,
1994; Tan, 1993). Sebagian besar gambut tropika mempunyai kemassman yang relatif tinggi (pH 3
- 5) dan umumnya mengandung kurang dari 5 % fraksi inorganik
(Driessen, 1978).
Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. OLeh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya mebbihi 60 % dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa,
hemiselulosa dan protein umumnya tidak melebihi 11% (Tabel 1). Tabel I . Komposisi Gambut Hutan Tropika Tipe Sangat Masam (Hardon dan Polak, 1941 dalam Polak, 1975)
Asal gambut
Komponen Komponen gambut Larut dalam: Eter Alkohol Air Hemiselulosa Setulosa Lignin Protein
Sumatera
4,67 4,75 1,87 1,95 10,61 63,99 4,41
Kalimantan % bahan kering 2,50 6,65 0,87 1,95 3,61
73,67 3,85
Kesuburan Tanah Gambut Kesuburan alamiah tanah gambut sangat beragam, tergantung pada
bebempa faktor. (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi, (b) komposisi tanaman penyusunan gambut, (c) tanah mineral yang berada dibawah lapisan tanah gambut (Andriesse, 1974). Polak (1949) menggolongkan gambut kedalarn tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan P a a CaO, K20
dan kadar abunya, yaitu: (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi, (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang dan (3) gambut
oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah (Tabel 2).
Tabel 2. Kandungan Hara pada Tiga Tingkat Kesuburan Gambut (Polak, 1949) Kandungan ( % bobot Icering gambut)
Tingkat Kesuburan P205
CaO
K20
Abu
> 0,25
>4
> 0,l
> 10
Mesotrofik
0,20- 0,25
1-4
0,1
5 - 10
Oligotrofik
0,05 - 0,20
0,25 - 1
0,03 - 0,1
2-5
Eutrofik
Tingginya
kandungan
basa-basa
gambut
eutrofik
disebabkan
pernbentukannya dipengaruhi oleh air payau (campuran air iaut dan air sungai).
Gambut mesotrofik pembentukannya dipenganrhi okh air sungai, sedangkan gambut oligotrofik pernbentukannya dipngaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, f 978).
Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, tenrtama
gambut pedalaman yang terdiri dari gambut tebal dan miskin akan unsur ham,
digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik (Radjaguguk, 1997). Sedangkan pada
gambut pantai pada umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya
penganrh air pasang sumt. Air pasang sumt mengandung bahan-bahan halus dan bahan terlarut lain yang berasal dari daratan karena terbawa oleh aliran air sungai pada waMu banjir atau berasal dari lautan karma naiknya air laut pada saat terjadinya pasang (Andriesse, 1974; Leiwakabessy, 1978).
Sifat Kimia Tanah Gambut
Kernasaman Tanah Tingkat kernasaman tanah gambut bemubungan erat dengan kandungan
asamasam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat (Andriesse, 1974; Miller dan Donahue, 1990). Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai
gugus reaMif seperti karboksil (-COOH) dan fenot (GhOH) yaflg mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat
terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 sampai 95 persen muabn pada bahan organik disebabkan kamna kedua gugus karboksil dan fenol tersebut. Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dad 4,O. Hasil penelitian Halim (1987) dan Salarnpak (1999) dipemleh nilai kisaran pH H a (1:s) yaitu tanah gambut pedalaman
Berengbengkel Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga 3,75. Sedangkan pH H20 tanah gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatsn kbih tinggi yaitu sebesar 4,l 4,3 (Hartatik ef at., 2000).
-
Kapasitas Tukar Kation dan Basa&asa Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut berkisar antara 100 hingga 300
me1100 g tanah, ha1 ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan
Soepraptohardjo, 1974). Menurut Andriesse (1974) dan Driessen (1978), KTK tanah gambut ombrogen di Indonesia sebagian b s a r ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat (Tabel 3). Tanah gambut di Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut yang didominasi oleh
tumbuhan yang berasal dari bahan kayu-kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak rnengandung senyawa lignin yang dalam proses degradasinya akan
menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994).
Tabel 3. Komposisi Gambut Ombrogen di Indonesia dan Kapasitas Tukar Kation
(Driessen,1978) Komposisi Lignin
Bobot (84) 64-74
KTK (me11OOg) 150-180
Senyawa homat
10-20
40-80
Selulosa Hemiselulosa
0,2-10 1-2
7 1-2
Lainnya Total gambut
<5
-
t 00
190-270
Kandungan kation basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut,
kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai KTK yang tinggi, sehingga ketersediaan basa-
basa menjadi rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada gambut pedalaman
bemubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978).
Kejenuhan basa (KB) tanah gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut pedalaman Berengbngkel Kalimantan Tengah mempunyai
nilai KB kurang dari 10 % (Tim lnstitut Pertanian Bogor (19741, demikian juga nilai KB tanah gambut dataran rendah Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976). Fosfor
Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk P
organik, yang selanjutnya akan mengalami proses rnineralisasi menjadi P inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P organik berada dalam bentuk ester
ortofosfat, sebagian iagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri dari inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida dan gula
fosfat. Ketiga senyawa pertama bersifat dominan. Fraksi P organik diperkirakan mengandung 2 % P sebagai asam nukleat, 1 %
sebagai fosfolipid, 35 % inositol fosfat dan sisanya belum teridentifikasi. Di dalam
tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadamya didalam tanah menempati bbih dari setengah P organik atau kira-kira sepemrnpat total P tanah. Senyawa inositol
heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian, gamm ini sukar didegradasi
oleh mikroba (Stevenson, 1994). Penelitian pada tanah Histosol yang tidak diusahakan, dan didrainase yang
mengandung bahan mineral yang tinggi, termasuk besi feri dan Ca yang tinggi akan menurunkan mobilitas dan degradasi fosfat serta fosfat terekstrak. Dari total P, fraksi
terbesar yaitu fraksi P organik Mak hbil dan yang resisten. Asam fulvat berasosiasi dengan P sebesar 12 % dari total P. Fosfat residu berturut-tuntt sebesar 13; 29; dan 8 % dari total P tanah pada Histosol yang diusahakan, tidak diusahakan dan yang
digenangi (hranoff et a/., 1998).
Proses mineralisasi P organik obh jasad mikro sangat dipengaruhi oleh nisbah C dan P. Bila nisbah C dan P mencapai 300 akan teQadiimmbilisasi P oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun stnrktur sel jasad
mikro. Sedangkan bila nisbah C dan P mencapai 200, proses mineralisasi akan
berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi, sehingga P akan dapat lebih tersedia bagi tanaman. Menurut T i a l e eta/.,(1985) proses mineralisasi akan kbih konstan bila nisbah C, N dan P mencapai nilai sebesar 100:10:1. Oengan demikian
proses mineralisasi y ang tejadi pada tanah gambut berlangsung lambat, karena nisbah C dan P sangat lebar (Miller dan Donahue, 1990).
Unsur Mikro Pada tanah gambut kandungan unsur mikro umumnya terdapat dalamjumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkangejala defisiensi bagi tanaman. Tanah yang berkadar bahan organik tinggi seperti gambut, sebagian besar hara mikro,
terutama Cu dikhelat cukup kuat obh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972). Grup karboksilat dan fenolat pada tapak reaktif tanah
gambut dapat membentuk senyawa kumpleks dengan unsur rnikro, sehingga mengakibatkan unsur rnikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Disamping itu
adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bemuatan.
Menurut Driessen (1978) kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan
bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih mgi apabila b j a d i
pencampuran dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut tersebut.
Asamsarn Fenoht dalam Tanah Gambut Dekornposisi bahan organik dalam keadaan anaemb akan menghasilkan
beberapa senyawa dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen suffida, etilen, asam asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti asam-
asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi tanaman (lsutsuki
dan Ponnamperuma, 1987, Tsutsuki dan Kondo, 1995). Tanah-tanah
gambut di Indonesia rnernpunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah yang beriklim sedang (Driessen
dan Suhardjo, 1976; Driessen. 1978). Lignin tersebut akan mengalami proses degradasi menjadi senyawa humat, dan selarna proses degradasi tersebut akan
dihasilkan asam-asam fenolat (Kononova, 1968).
Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah adalah asam vanilat, pkumarat, p-hidroksihnzoat, salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan asam siringat (Tsutsuki, 1984). Asam-asam fenolat tersebut brpenganrh langsung terhadap proses biokimia dan fisiologi tanaman, s e a penyediasn hara di dalam tanah. Beberapa hasil penelian menunjukkan bahwa asamssam fenolat bersifat
fitotoksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Tsutsuki, 1984).
Konsentrasi asam fenolat sebsar 0,6
- 3,O
mM dapat menghambat
pertumbuhan akar padi sampai 50 %, sedangkan pada konsentrasi 0,001 hingga 0,1 mM dapat mengganggu pertumbuhan beberapa tanaman (Takijima 1960, dalam Tsutsuki, 1984). Pengaruh asam p-hidroksibenzoat yang diberikan terus-menerus
sampai panen dengan konsentrasi >O,1 mM menufunkan bobot kering tanaman bagian atas dan biji pada saat panen (Tadano et al., 1992). Wang et al. (1967)
mendapatkan pada konsentrasi asam phidroksibenzoat sebesar 7-70 mM dapat menekan pertumbuhan tanaman jagung, gandum, dan kacang-kacangan. Sedangkan pada konsentrasi 180 mM tidak berpengaruh terhadap tanarnan tebu, tetapi pada konsentrasi asarn phidroksibenzoat 360 mM berpengaruh terhadap pertumbuhan akar tanaman tebu. Hartley dan Whitehead (1984) mengemukakan bahwa asamasam fenolat
pada konsentrasi 250 pM menurunkan sangat nyata serapan kalium oleh tanaman barley. Asam salisilat dan ferulat menyebabkan terhambatnya serapan kalium dan
fosfor oleh tanaman gandum serta asam ferulat pada konsentrasi 500 hingga 1000 phi menurunkan serapan fosfor pada tanaman kedelai.
Bahan-bahan fitotoksik hasil dekomposisi bahan organik berpengatuh terhadap perubahan permeabilitas sel tanarnan, sehingga asam-asam amino dan
bahan lain mengalir keluar dari sel, nekrosis pada sel akar, menghambat dan
menunda perkecarnbahan. Disamping bahan fitotoksik ini dapat mematikan biji, menghambat pertumbuhan akar, pertumbuhan tanaman kerdl, mengganggu
serapan hara, klorosis layu dan akhirnya dapat mernatikan tanaman (Patrick, 1971).
Bahan Tanah Mineral sebagat Ameiioran Pengertian dan Pernbentukan O x h l
Bahan tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan tanah mineral yang mengandung besi tinggi dad odo Oxisol. Umumnya Oxisol mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah dan digolongkan sebagai tanah-tanah yang
marginal dengan tingkat pmduktias yang rendah (Hardjowigeno, 1993). Penyebaran Oxisot di Indonesia menempati k 15.446 juta ha atau 8,4 % dari Luas
daratan Indonesia (Soekardi, 1993). Oxisol adalah tanah mineral yang kaya akan seskuioksida, telah mengalami
pelapukan lanjut, dan banyak terdapat di daerah sekitar khatulistiwa (intertropical
region), Oxisol meliputi sebagian ksar dad tanah-tanah yang dulu disebut Laterit, Ground Water Lateflte (Laterit Air Tanah) dan Latosol (Hardjowigeno, 1993). Tanah
ini dicirikan adanya horison oksik pada kedalaman kurang dari 1,5 m atau mempunyai horison bndik yang jumlah mineral mudah lapuk memenuhi syarat horison oksik, yaitu < 10 % dan tidak mempunyai horison spodik atau argilik di atas horison oksik (Soil Sutvey Staff, 1994).
Oxisol umumnya terdapat di daerah upland tua yang stabil, teras alluvial tua, benrmur tua, karena pelapuksn sangat lanjut maka cadangan mineral sangat sediki,
unsur hara sangat rendah, kandungan aluminium dapat ditukar tinggi, perrneabilitas baik, sifat yang baik dari tanah ini adatah gembur dan mempunyai agregat cukup stabil sehingga lebih tahan terhadap erosi (Hardjowigeno, 1983). Menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1994), yang dimaksud dengan Oxisol adalah tanah yang mempunyai salah satu:
1. Horison oksik yang batas atasnya berada pada kedalaman 150 cm atau
kurang dari pemurkaan tanah mineral, dan tidak mempunyai hodson kandik yang batas atasnya berada pada kedalaman tersebut, atau
2. Pada fraksi tanah halus antara permukaan tanah dan kedalaman 18
cm
(setelah dicampur) kadar liatnya 40 % atau bbih (berdasar berat) dan
horizon kandik yang mempunyai mineral mudah lapuk memenuhi syarat horison oksik dan batas atasnya b m d a pada kedalaman 100 cm atau kurang dari permukaan tanah mineral.
Berdasarkan batasan yang tebh disebutkan diatas horison penciri tanah Oxisol ialah horison oksik atau kandik. Proses pembentukan tanah yang Mama pada
Oxisol adalah proses desilikasi dan konsentrasi besi bebas dan kadang-kadang gibsit yang kemudian mempengaruhi jenis mineral dominan pada tanah tersebut. Proses desilikasi merupakan proses pencucian silika dad profil tanah, dirnulai sejak
permulaan dekomposisi mineral dipermukaan batuan induk, dan terus berlanjut
selama proses pembentukan tanah berjalan. Silika dapat tercuci dari tanah karena suhu yang tinggi seperti yang terdapat di daerah tmpika dapat meningkatkan daya larut silika, disamping itu karena curah hujan yang tinggi penwcian bejalan cepat
sehingga lamtan tanah tidak pemah jenuh silika, akibatnya daya lanrt siiika tetap tinggi (Hardjowigena, 1993). Akibat proses ini tejadi dekomposisi hampir seluruh mineral mudah lapuk termasuk mineral liat 2 : 1, fraksi liatnya ddominasi muatan
variable, kapasitas tukar kation rendah, kapasitasjerapan fosfat tinggi (Sanchez dan Logan, 1992).
Sifat Mineral Oxisol
Oksida besi di dalam tanah dapat dibagi menjadi oksida besi yang bersifat
amorf dan kristalin. Oksida besi yang bersifat kristalin terdiri atas hidroksida besi, yaitu goetit (a -FeOOH) dan lepidokrasit (y -FeOOH) dan oksia besi yaitu hematit
(a-Fef13}dan maghemit (y -Fe203).Sedangkan ferihiirit (FesHOe4Hfl) menrpakan hidroksida besi amorf (Tan, 1993). Khusus pada tanabtanah berliat aMivitas rendah
seperti Oxisol, oksia besi yang banyak dijumpai adalah goetii dan hematit (Segalen, 1971).
Besi yang terikat dalam struktur mineral silikat, pelepasannya selama proses pelapukan melalui proses protolisis dan oksiiasi. Selanjutnya b s i yang dibebaskan metalui protolisis dapat segera teroksdasi bila ada oksigen, atau terangkut sampai mencapai daerah yang mengandung oksigen (Schwettmann dan Taylor, 1989). Oksidasi besi dapat terjadi di dalam struMur silikat sendid. Karena perubahan ukuran dan muatan dari fern rnenjadi feri, maka mineral tersebut menjadi hancur. Jika Fet3terlepas, segera terhidrolisis membentuk oksiida bita kontak dengan air.
Pengangkutan besi lebih mudah dalam keadaan reduktif, karma besi fero lebih mudah larut, kemudian besi dapat teroksidasi kembali diempat tersebut atau dapat diangkut dan mengalami oksidasi pada Ungkungan baru, mungkin membentuk fase
mineral baru. Jadi besi dalam suatu oksida dapat mengalami psriode mobilisasi dan imobilisasi yang beheda-beda, yang dapat metupakan oildus dalam waktu yang cukup pendek (Bemer dan Scot, 1982).
Pembentukan goetii dan hematit sangat dipenganrhi oleh temperatur dan kelembaban. Pada daerah dingin dan lembab umumnya tidak dijumpai hematit akan tetapi hanya goetit, sedangkan pada daerah yang lebih panas banyak dijumpai
tanah merah dan mengandung banyak hematit. Mineral tersebut terbentuk melalui berbagai proses pernbentulcan tanah, namun memerlukan lingkungan drainase baik atau agak baik. Terbenhrknya oksida besi dapat melalui proses ferralitisasi atau deslikasi. Pada proses tersebut terjadi pelepasan silika dari mineral silikat dan
kuarsa. Disamping itu dilepaskan pula logamlogam alkali dan alkali tanah selanjutnya unsur-unsur tersebut tercuci. Mineral lain yang banyak dijumpai pada Oxisol yaitu gibsil dan mineral liat tipe l:t terutarna kaolinit. Gibsit dan berbagai polimorf lain dari oksida dan
hidroksida besi biasanya berada mma-sama sebagai pmduk akhir dari suatu
pelapukan yang telah lanjut. Secara umum oksida dan hidroksida b s i akan terlihat lebih dulu dan lebih wring dari pada gibsit dalam suatu proses genesis tanah.
Banyak horison otcsik mengandung goetit dan atau hematit tanpa gibsit, akan tetapi horison oksik yang hanya terdiri dari gibsit saja jarang dijumpai (Hsu, 1982). Oxisol dari Tugumulyo Sumatera Selatan mengandung mineral besi dominan
yaitu goetit dan sediki hematit dengan derajat kristatisasi yang tinggi (perbandingan FeolFed sebesar 0,07). Kadar Fe (kristalin) ekstrak dithionit sitrat bikarbonat 2,60 %, Fe (amorf) ekstrak asam oksalat 0,17 %, Fe terikat bahan organik eksttak Na-
pirofosfat 0,04 % (Hartatik, 1988). Oxisol yang mempunyai kadar besi tinggi, mempunyai potensi yang besar
untuk digunakan sebagai bahan amelioran pada tanah gambut dalam rneningkatkan retensi fosfat dan menumnkan r e a W i s asam fenolat yang selanjutnya dapat meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat (Rachim, 1895; Saragih, 1996; Salampak,
1999).
Deposit fosfat ditemukan dalam berbagai formasi geologi yaitu sebagai
deposit sedimen, batuan beku dan deposit metamorfosa sebagai mineral pengikut.
Secara ekonomi deposit sedimen yang paling utama dan hampir 85 % fosfat atam
yang ditambang di dunia berasal dari jenis ini. Menurut tejadinya deposit fosfat daemukan dalam berbagai bentuk yaitu: deposit endapan laut, apati batuan beku, fosfat sisa pelapukan, batuan terfosfatisasi, dan guano (Sedjrarso, 1999).
Produksi fosfat alam di dunia sekir empat perlirna berasal dari deposit
endapan hut. Deposit yang terbesar dan terluas terdapat pada lintang subtropis dan di laut Mediteran di dekat palung equator. Deposit ini juga ditemukan pada pantai timur daratan kontinen (Amerika Utara).
Mineral apatit kadang-kadang diternukan sebagai deposit yang berasal dari batuan beku yang merupakan mineral awal. Biasanya merupakan suatu bentuk
flourapati yang berasosiasi dengan syenit, pyroxenit, alaski, karbonat atau magnetit. Tebal deposit berkisar antara puluhan sampai ratusan meter dan kadar fosfat sampai 35 % P a 5 . Deposit apaM batuan beku yang ditarnbang sudah dapat
diperdagangkan sebagai apatit yang berkualitas tinggi.
Deposit fosfat sisa pelapukan berasal dari batu gamping yang kaya batuan fosfat melalui hancuran iWim dan tertinggal deposit yang diperkaya oleh mineral fosfat, kuarsa, dan mineral lain yang tahan pelapukan seperti oksida besi dan
aluminium. Deposit fosfat yang ditinggalkan sebagai deposit Ca-fosfat atau (Ca,AI)fosfat.
Deposit guano adalah suatu bahan yang rnengandung n - m e n dan fosfat berasal dari akumulasi hasil ekskresi binatang laut dan kelelawar. Ratusan ribu ton
dari Yosil" guano dari ekskresi burung terdapat di Venezuela, Equador, Brazil, Madagaskar dan P. Seychelles. Sedangkan deposit guano dari ekskresi kelelawar antara lain di Taiwan, Muangthai, Philipina, Malaysia, Indonesia, Jamaika dan
Anguila. Kandungan N dan P dalam deposit guano umumnya 15 % N, (4,4-5,2) % P (10-12 %
P205)
sebagai bentuk yang mudah larut dan 1,7 % K (2% K D ) .
Diperkirakan fosfat alam di Jawa tejadi dengan proses semacam ini, tetapi gua asli sebagai tempat keblawar menimbun ekskresinya telah hilang akibat erosi dan pelapukan, sehingga tinggal deposit fosfat yang diperkaya saja. Deposit batuan terfosfatisasi dapat krasal dari guano atau batuan sedimen. Fosfat guano mudah terlarwt oleh air hujan, kemudian fosfat tersebut akan tehawa
aliran yang dapat bereaksi dan bersenyawa dengan unsur-unsur dalam batuan yang ada pada lapisan di bawahnya. Bila terdapat batuan kapur, maka akan te-ntuk
Ca-fosfat (apatit). Bila di bawah guano terdapat batuan vulkanis atau batuan beku akan terjadi deposit Fe atau AI-fosfat. Deposit Ca-fosfat jenis ini yang terkenal terdapat di pulau-pulau karang di lautan Pasifik seperti P. Nauru (50 juta ton), di kepulauan Oceania lain sekitar 2 sampai 10 juta ton tiap lokasi dan
P. Chrismas
(100 juta ton).
Deposit batuan terfosfatisasi dari batuan sedirnen merupakan mineral apatit
dari batuan sedimen (karbonat apatit) tidak larut dalam air kecuali dalarn larutan
asam. Dalam kondisi masam mineral apatit dapat terlarut dan brutan fosfat dapat terbawa aliran air serta dapat diendapkan atau menggantikan senyawa dalam
batuan di bawahnya.
:
Susunan Kimia Fosfat Alam Menurut McClellan (7978) bentuk senyawa fosfat yang biasanya terdapat dalam batuan fosfat alam ditinjau dari kationnya (Ca, Fe atau Al) dapat digolongkan datam aluminium (besi) fosfat (AI(Fe)-P), kalsium-aluminium (besi) fosfat (Ca, A1
(Fe)-P), kalsiurn fosfat (Ca-P). Jenis aluminium (besi) fosfat merupakan jenis fosfat yang tidak terlalu penting dalam industri pupuk terutama industri superfosfat, karena kandungan fosfatnya yang rendah. Pada kalsium-aluminium (besi) fosfat unsur Fe dan Al merupakan unsur dengan kadar yang cukup tinggi. Sedangkan pada kalsium fosfat
dapat berupa apatit, batuan fosfat sedirnen yang terjadi pada lingkungan yang kaya Ca. Jenis batuan ini merupakan sumber utama dalam pembuatan superfosfat dan pupuk fosfat lain.
Sifat Mineral Batuan Fosfat Di alam terdapat sekitar 150 jenis mineral fosfat dengan kandungan fosfat
sekitar
1-38%
P&.
Sebagian
besar fosfat
rnerupakan
mineral apatit
{ C ~ , O { P O ~ ) ~ (Dalam F ) ~ ) . mineral apatit terdapat berbagai subtiiusi isomorfik. Kation
Ca umumnya disubtitusi oleh Al dan Fe dan dalam jumlah sedikit oleh logam lain seperti Mg, Sr, Pb, Na, Ce, Mn, dan I. Sedangkan tetrahedron PO4dapat disubtitusi
oieh C03 datam jumlah yang besar serta F-, CI-, atau OH- sehingga dikenal dengan
nama flour apatit, chlor-apatit dan hidroksi-apatit (Chien, 1995). Subtiiusi isornorfik berpenganrh besar pada mineral fosfat (apatit) terutama
C0s4 dan kation ~ g " ,Na' dan K' karena dapat mernpengaruhi sifat geofisik dan geokemik mineral fosfat. Besamya C0i2 yang mensubtitusi PO;'
berpengaruh
besar terhadap reaktivitas atau kelarutan mineral apatit dari fosfat alam. Makin besar subtitusi Po4 oleh C03makin tinggi reaktivis pupuk fosfat alam atau ion fosfat lebih mudah larut dalam pengekstmk (Lindsay dan Moreno, 1960; Chien, 1995; Rajan et
at., 1996). Pengaruh tersebut terutama karena teQadi perpendekan sumbu a dari mineral hexagonal apatit yang dapat ditentukan dengan sinar X atau inframerah. Nilai sumbu a betiisar dari 9,318 A0 (substitusi CO, tertinggi) hingga 9,369 A0
(su bstitusi C03terendah). Berdasarkan niiai sumbu a, dibedakan francotii reaktivitas tinggi (9,318
- 9,335 A?,
rendah (9,352
reaktiviis sedang (9,335
- 9,352 A?
dan reaMivitas
- 9,369 A 4 (Lehr dan McClellan, d972). Rajan, Watkinson dan
Sinclair (1996) mendefinisikan reaktiviis sebagai kombtnasi dari sifat-sifat fosfat alam yang menentukan tingkat kelarutannya di dalam tanah dalam kondisi tertentu. Ada beberapa cara untuk menentukan reaktivitas fosfat alam, antara lain dengan
mengukur kelanttannya di dalam tanah, kelarutannya di dalam asam atau garam, mengukur dimensi kristal unit sel. Kelarutan Kimia Mineral Fosfat
Chien (1995) mengemukakan dalam penilaian kualitas pupuk fosfat secara
kimia umumnya ditakukan dengan menentukan kelarutan fosfat dalam asam h a t , asam lemah atau air. Umumnya kadar P S 5 total ditentukan dengan asam keras
(asam mineral) yaitu dengan menggunakan campuran asam nitrat, asam sulfat, atau perklorat dengan konsentrasi yang agak pekat. Sedangkan untuk ketersediaan P&5 digunakan amoniom sitrat pada pH netral, asam sitrat 2 % atau asam format 2 %.
Asam lemah lebih banyak digunakan sebagai indikator P yang tersedia bagi tanaman. Nilai yang diperoleh rnempunyai korelasi yang tinggi dengan tanggap tanaman (efektivitas agronomi relatif). Kelemahan dari kelarutan P dalam sitrat
sangat dipengaruhi oleh kuafitas batuan abu terdapatnya mineral lain seperti sdikat,
kalsit, dolomitik, liat dan oksida+ksida. Makin banyak mineral lain dalam batuan,
makin besar pula gangguan pada penetapan kelarutan P dalam sitrat. Penilaian mutu pupuk fosfat alam berdasairkan kelarutannya dalam asam sitrat 2 % dibedakan menjadi fosfat alam kualitas A (min. 10 %), k u a l i s B (min. 8 %) dan kualitas C (rnin. 6 %) (Sediyarso, 1999).
Untuk menghindari kelemahan diatas tefah dikembangkan cara penilaian
indeks kelarutan sitrat absolut (USA), yaitu persentase kelamtan P dalam sitrat terhadap kadar P pada minerat apatit yang terdapat dalarn batuan. Besarnya subtitusi C01 mempehesar nilai indeks KSA. Subtitusi COsdari yang terendah pada
Fluor Apatit dari batuan beku, diikuti yang berasal dari metamorfosa dan tertinggi pada batuan sedimen. Sehingga k u a l i s fosfat atam untuk penggunaan langsung mempunyai urutan fosfat alam dari batuan sedimen lebih baik dari batuan
metamorfosa dan batuan beku (Lehr and McClellan, 1972). Pupuk fosfat alam yang digunakan secara langsung keefektifannya
dipengaruhi oleh sifat fisik dan kirnia pupuk, faktor tanah dan lingkungan serta faktor tanaman (Rajan et a]., 1996). Sifat kimia dan fisik pupuk yang penting adalah reaktivitas, kelarutan, dan ukuran butir pupuk. Khasawneh dan Doll (1978) mengemukakan bahwa peningkatan kelarutan fosfat alam akibat kehalusan butir pupuk hanya bedaku untuk fosfat alam yang r e a W i s n y a tinggi dan tidak berlaku
bagi fosfat alam yang tidak reakti. Peningkatan kelarutan fosfat alam sudah tidak nyata bila ukuran butir < 100 mesh. Ciriciri tanah yang hams dipethatikan bila menggunakan pupuk fosfat alam yaitu kadar air tanah, kernasaman tanah, konsentrasi dan status ~ a ' *dan P serta kadar bahan organik tanah.
Berdasarkan kemampuan kation-kation polivalen, tenrtama Fe dalam meningkatkan retensi P, maka dalam penetitian ini untuk mengetahui sampai sejauh mana kadar besi dalam fosfat alam dapat meningkatkan retensi fosfat pada tanah gambut digunakan bebrapa jenis fosfat alam yang mengandung besi rendah
(Maroko),sedang (Ciamis) dan tinggi (Chrismas). Pembentuka n Senyawa Kompleks Organo-Kation Pembentukan Senyanra Kompleks
Menurut Tan (f993) pembentukan senyawa kompleks mentpakan suatu reaksi antara ion logam dan ligan melatui penggunaan pasangan elektron. Ion logam atau kation berfungsi sebagai penerima pasangan ekktron (aseptor) dan bertinda k sebagai atom pusat, sedangkan ligan sebagai penyumbang pasangan elektron
(donor). Jumlah ligan yang terikat pada atom pusat disebut sebagai bilangan koordinasi.
lkatan logam pada gugus fungsi Iogam organik dapat tejadi karena elektrostatik, reaksi kompleks (khelat) dan ko-adsorbsi. Disamping ada ikatan kovabn dan Van der Waals (Bohn. McNeal dan O'connor, 1979).
Beberapa ligan organik mampu mengikat lagam dengan lebih dari satu gugus fungsi donor yang dimilikinya, sehingga mernbentuk cincin heterosiklik yang
disebut khelat. Pembentukan kelat dapat bersifat unidentat, yaitu apabila suatu molekul ligan berikatan dengan satu kation: bidentat, tridentat, apabiia molekul ligan masing-masing sebanyak dua, tiga berikatan dengan kation yang sama. Pembentukan kompleks antara rnolekul organik dengan ion logam dengan lebih dari
satu ikatan akan meningkatkan kestabilan kompleks tersebut. Contoh reaksi
pembentukan khelat disajikan dalam Gambar 1. Stevenson (1 994) mengemukakan bahwa kationkation yang terlibat dalam pembentukan senyawa kompleks dan berkaitan dengan unsur ham tanaman, dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Kation-kation yang esensial bagi tanaman, tetapi tidak membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik, yaitu: K', Na',
ca2', Mg*.
2. Kation-kation yang esensial bagi tanaman dan mampu membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik, yaitu CU*, Zn*, Mn*, ~ e * , ~ e =dan ' , co2'. 3. Kation-kation yang belum diketahui fungsinya secara jelas bagi tanarnan,
tetapi dapat membentuk kompleks dengan senyawa organik dan
terakumulasi, yaitu: A?+, NiZ+,pb2+,~ d dan * Hg2*.
Gambar 1. Contoh Dua Tipe Reaksi Pengkhelatan (Tan, 1993)
Erapan Kation padr Tanah Gambut dan S t a M l i s Kompleks
Schnitzer dan Skinner (1967) mengemukakan bahwa stabilitas (log K)
senyawa kompleks yang terbentuk antara sernbilan kation divalent dengan asam fulvat yang diekstrak dad horizon Bh tanah Podzol rnenghasilkn urubn sebagai berikut:
Pada pH 3.5: Cu > F e > Ni> P b > C o > C a >
LogK
Zn> Mn>Mg
5.78 5.06 3.47 3.09 2.20 2.09 1.73 1.471.23
Pada pH 5.0:
Cu > Fe > Ni> P b > Co > Ca > Zn>Mn > M g LogK 8.69 6.13
5.77 4.14 3.78 3.69 2.92 2.34 2.09
Unrtan ini menunjukkan bahwa ion Cu menempati ikatan terkuat dengan
senyawa organik dan terendah dijumpai pada Mg. Kenaikan konstata stabilitas akibat perubahan pH disebabkan meningkatnya ionisasi gugus fungsi, terutama gugus karboksilat (-Cooti).Selain itu adanya kompetisi antara ion H' dengan kation
tapak erapan ligan, sehingga pada pH yang lebih tinggi afinitas erapan kation
dengan asam fulvat meningkat (Stevenson, 1994). Stevenson, Fitch, dan Brar (1993) menemukan bahwa kompleks yang terbentuk antara asam humat dan ion CU~'dipengaruhi kekuatan ion (I) dan konsentrasi asam humat. Pada nilai kekuatan ion yang sama (I = 0.005), konstanta
stabilitas kompleks rneningkat dengan pH, seperti terlihat dibawah ini. pH
: 4.0
4.5
5.0
LogK :7.62 7.80 8.50
Sedangkan bila pH diusahakan tebp (pH 4.0) nilai Log K menurun dengan rneningkatnya kekuatan ion, sebagai berikut: I
: 0.005
Log K : 7.62
0.025
0.05
0.10
7.10
7.00
6.81
Schnitzer dan Hansen (1970) menyarankan bahwa ketentuan konstanta stabilitas kompleks asam humat dengan kation Fe* dan AI'' sebaiknya ditakukan
pada pH rendah. Hal ini disebabkan kation-kation tersebut dapat terendapkan pada kisaran pH tinggi. Dikemukakan pula bahwa pada I = 0.1, kation ~ e *dan At3'
membentuk kompleks dengan asam fulvat masing-masing pada pH 1.70 dan pH
2.35. Urutan stabilias kompleks logam asam fulvat pada pH rendah adalah sebagai berikut: Fe9+> ~ 1 ' ' > cu2+> ~ i * >' co2'.:ca2' >
zn*> Mn2"> ~
g *
Pola erapan kation pada asam humat menunjukkan pola yang berbeda biia dibandingkan dengan interaksi asarn fuhrat-kation. Kerdorff dan Schinitzer (1980,
dalam Schnilzer, 1986) menyatakan bahwa interaksi asam humat dengan kation meningkat dengan naiknya pH dan kandungan asam humat ser& menurunnya konsentrasi kation. Urutan erapan pada berbagai nilai pH adalah sebagai berikut:
pH2.4:Hg>Pb>CuaAl>Ni>Cra:Zn=Cd=Co.:Mn
pH3.7:Hg>Fe>Al>Pb>Cu>Cr>CdmZn=NimCo.:Mn pH4.7:Hg-FemPb=Al=Cu=Cr>Cd>Ni.:Zn=Co>Mn pH5,8:Hg=Fe=PbmAl=CrwCu>Cd>Zn>Ni>Co>Mn Kation ~ e dan * AI" mempunyai kemampuan menggantikan kedudukan ion hidrogen dari gugus fungsi asarn humat dan asam fulvat untuk membentuk garam
kompbks. Erapan maksimum ~ e pada * asam fuhrat dan asam humat adalah 250
mglg dan 50 - 150 mglg; sedangkan erapan maksimum AI~' pada asam fulvat dan asam humat adalah 140 mglg dan 27 - 55 mglg (Aleksandrova, 1967). Stevenson (1994) menyatakan bahwa koloid asam-asam humat dan asam fulvat diendapkan dengan e l e h l i i yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pH. sifat elektrolit dan konsentrasi koloid. Dari beberapa hasil penelitian yang teiah diiakukan (Salampak, 1993; Prasetyo, 1996; Rachim, 1995; Saragih, 1996) menunjukkan ~ ~' e dapat * mengurangi pengaruh bumk asamkation cu2',2n2+,Na', AI*, ~ e dan
asam organik dalam tanah gambut metalui mekanisme erapan kation pada tapak reaktif gambut dan pembentukan senyawa kompleks. Hasil penelitian Rachim (19951, pada tanah gambut Air Sugihan Sumatera Selatan menunjukkan bahwa erapan kation mengikuti poia: AI> > ~ e >~cu2+, ' 12611, 12319 dan 1553 pg/g atau 1.40, 0.66 dan 0.49 mdg. Dari hasil penelitian
Saragih (1996), kapasitas erapan ~ e adalah * yang paling kuat di antara tujuh kation yang diwbakan pads tanah gambut Jambi. Urutan kestabilan kompleks kation
organik adalah sebagai brikut: ~ e > * Fe2' > AI* > Cu2' > ca2' > Mn2' > ~ n * ,
dengan nilai erapan maksimum ~ e dan * A!* bertunrt-turut adalah sebesar 23706 dan 4500 pglg atau 1.27 dan 0.5 melg. Secara umum jumlah ~ e tererap * pada tapak aktif gambut mengikuti pola gambut saprik > hemik > fibrik. Pola ini berkaitan dengan kandungan asam humat yang tinggi dengan meningkatnya tingkat hurnifikasi.
Tapak ligan sebagai pengikat kation pada asam humat dan asam fuhrat terdapat pada gugus yang mengandung oksigen seperti karboksilat, hidroksil dari
fenolat, alkohol dan enol, seda karbonil. Selain itu gugus amino dan gugus yang mengandung S dan P juga dapat mengkhelat kation (Stevenson dan Fitch, 1986).
Adanya fenomena ikatan antara logam dan senyawa organik memungkinkan beberapa kation dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan reaktiviis asam-asam fenolat, sehingga tidak meracuni tanaman. Dengan demikian bahan-bahan yang kaya akan katbn polivalen dapat digunakan untuk mengatasi keracunan asam-asam
organik, seperti tanah mineral kaya Fe, At dan Cu akan meningkatkan erapan P pada tanah gambut, karena terbentuknya senyawa kompkks kation Fe
- organik
yang mampu mengerap P dari pupuk akibatnya pencucian dapat dikurangi.