KOMPARASI METODE HYBRID IMAGE WATERMARKING DWT-SVD DENGAN RDWT-SVD UNTUK PROTEKSI PADA CITRA DIGITAL RAHMAD ZAINUL ABIDIN ABSTRAK Metode watermarking terus berkembang, mulai dari penggunaan teknik watermaking yang berdasarkan pada domain spasial, domain frekuensi sampai dengan penggabungan dari beberapa metode watermarking. Untuk menghasilkan metode atau teknik watermarking yang lebih baik untuk proteksi pada file gambar atau citra digital dilakukan penggabungan atau kombinasi beberapa metode watermarking yang sudah ada. Teknik ini dikenal dengan istilah hybrid image watermarking. Tujuan dari hybrid image watermarking supaya bisa menghasilkan teknik watermarking yang memiliki kriteria robust dan imperceptibility yang tinggi. Dari berbagai kombinasi hybrid image watermarking yang dilakukan dalam bidang watermarking, kecendrungan menggabungkan metode Discrete Wavelet Transform (DWT) dengan teknik Singular Value Decomposition (SVD) banyak dilakukan karena bisa menghasilkan teknik watermarking yang memiliki kriteria robust dan imperceptibility yang tinggi. Penambahan unsur redudansi pada Discrete Wavelet Transform (RDWT) bisa menghasilkan teknik watermarking yang lebih robust lagi dibandingkan dengan teknik lain, dan hal ini yang ingin dibuktikan pada penelitian ini dengan melakukan komparasi hybrid image watermarking metode DWT-SVD dengan teknik RDWT-SVD. Dari hasil pengujian tingkat imperceptibility metode DWT-SVD menghasilkan nilai PSNR 44.5187dB, Q 4.9815 dan Corr 0.9987 sedangkan metode RDWT-SVD menghasilkan nilai PSNR 44.5237dB, Q 4.9816 dan Corr 0.9987. Pada pengujian tingkat robustness presentase keberhasilan ekstraksi watermark untuk metode DWT-SVD sebesar 82% sedangkan metode RDWT-SVD 83%. Dari hasil pengujian imperceptibility dan robustness memberikan rekomendasi bahwa metode RDWT-SVD lebih baik untuk proteksi pada citra digital. Kata kunci : Digital Watermarking, Hybrid Image Watermarking, Discrete Wavelet Transform (DWT), Redundant Discrete Wavelet Transform (RDWT), Singular Value Decomposition (SVD). PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data dari Pring (2014) terdapat sekitar 350 juta foto atau gambar yang diungah ke facebook setiap hari, ada sekitar 400 juta foto perhari diungah ke Snapchat, 3.500 foto perdetik yang diungah ke flickr, lebih dari 5 juta foto perhari yang diungah ke instagram dan belum lagi social media lainnya seperti twitter, patch, pinterest dan google plus. Dilihat dari data statistik tersebut, maka foto (file gambar atau citra digital) yang diungah ke media sosial atau internet sangat besar secara kuantitas. Dengan demikian kemungkinan terjadinya pelanggaran dan penyalahgunaan terhadap file gambar atau citra digital akan semakin besar.
Manipulasi terhadap citra digital sangat mudah dilakukan karena didukung oleh berkembangya teknologi dan perangkat lunak pengolah gambar baik yang berbasis bitmap maupun berbasis vektor. Untuk itu perlu cara untuk melakukan proteksi terhadap citra digital yang akan didistribusikan baik melalui jaringan kabel maupun jaringan tanpa kabel (nirkabel). Metode proteksi terhadap konten multimedia seperti Text, Image, Grafik, Audio, dan Video dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode seperti Digital Right Management (DRM), kryptography, steganography, fingerprint, biometric, digital signatural, enskripsi dan digital watermarking (Ariyus, 2009). Metode-metode proteksi tersebut selalu dikembangkan dengan tujuan bisa menghasilkan metode proteksi konten
multimedia yang jauh lebih baik dari metodemotede proteksi sebelumnya. Watermarking merupakan salah satu metode atau cara untuk melakukan proteksi keamanan file multimedia yang banyak digunakan saat ini, watermarking juga dapat digunakan untuk proteksi konten multimedia seperti file gambar (foto atau citra digital). Penggunaan watermarking pada file gambar analog dapat ditemukan pada surat-surat berharga seperti STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan), ijazah, sertifikat, uang kertas, dan foto atau gambar yang memiliki nilai seni dan nilai komersial yang sangat tinggi.
Gambar 1.1 Penggunaan watermarking pada gambar Watermarking pada file gambar digital atau citra digital dikenal dengan istlilah digital image watermarking atau watermarking file gambar atau citra digital. Watermarking citra digital digunakan untuk memberikan autentifikasi (identitas keaslian)
kepemilikan sah file gambar atau citra digital dengan menyisipkan tanda, tulisan, logo atau file gambar kedalam citra digital sebagai upaya untuk identifikasi pemilik sah dan perlindungan dari penyalahgunaan citra digital tersebut. Menurut Hidayat dan Udayanti (2011), metode watermarking citra digital terus berkembang, pengembangan metode ini memiliki tujuan untuk menghasilkan metode watermarking yang lebih baik, yaitu watermarking yang memiliki memenuhi syarat imperceptibility, robustness dan security yang tinggi untuk citra digital hasil dari proses watermarking. Robustness merupakan ketahananan file watermarking (watermark) dari berbagai serangan dan upaya menghilangkan watermark yang disisipkan pada file host atau citra digital yang menjadi tempat penyisipan watermark tersebut. Imperceptibility merupakan ketidaktampakan (visibility) perubahan citra asli akibat penyisipan watermark yang bisa dilihat dan dirasakan oleh panca indra manusia atau Human Visual System (HVS) sehingga tidak menimbulkan degradasi atau penurunan kualitas pada citra asli yang menjadi tempat penyisipan watermark. Security marupakan kerahasian atau penyisipan watermark sebaiknya tidak dapat dideteksi dengan analisis secara statistik atau metode lainnya. Namun aspek security tidak terlalu diperhatikan dalam implementasi proteksi citra digital dengan menggunakan metode watermarking karena aspek security tidak bisa mencegah siapapun untuk membaca dokumen atau citra asli tersebut. Untuk mengetahui tingkat imperceptibility pada hybrid image watermarking dapat dilakukan dengan menggukur parameter seperti PSNR (Peak Signal to Noise Ratio), Q (Perceptual Quality Metric) dan Corr (Correlation) citra digital hasil proses watermarking. Tingkat imperceptibility dipengaruhi oleh besarnya nilai alpha (factor embededd) yang merupakan derajad atau level ketidaktampakan (visibility) watermark yang disisipkan pada citra asli. Selain alpha tingkat
imperceptibility juga dipengaruhi oleh jenis wavelet yang digunakan pada proses watermarking citra digital. Sedangakan untuk mengetahui tingkat robustness dilakukan pengukur parameter Corr (Correlation) citra digital hasil ekstraksi watermark dari citra hasil watermarking yang diberi attack. Metode watermarking dikatakan robust jika tahan terhadap berbagai upaya manipulasi dan untuk menghilangkan watermark yang merupakan identitas pemilik sah citra digital tersebut. Perkembangan metode watermarking digital menurut Wijaya dan Prijono (2007) dimulai dari penggunaan metode yang berdasarkan domain spasial seperti teknik Least Significant Bit (LSB) yang menghasilkan metode watermarking yang sederhana dan mudah dalam mengimplementasikannya tetapi tidak tahan terhadap berbagai serangan atau attack seperti noise, filtering, copy, wavelet, rotation, kompresi, dan cropping. Kemudian dikembangkan lagi teknik digital watermarking yang berdasarkan pada domain frekuensi atau transformasi seperti Discrete Wavelet Transform (DWT), Discrete Cosine Transform (DCT), Discrete Fourier Transform (DFT), Fast Fourier Transform (FFT), Singular Value Decomposition (SVD) dan Fractal Transform. Untuk menghasilkan metode watermarking yang lebih baik untuk proteksi pada citra digital dilakukan penggabungan atau kombinasi dari beberapa metode watermarking yang sudah ada, baik metode yang berdasarkan pada domain spasial maupun metode yang berdasarkan pada domain transformasi. Metode ini dikenal No Hybrid Peneliti Tahun 1. DCT-Spread Yudi 2002 Spectrum Prayudi
2.
DWT-DCT
Viswanath am,Galma
2012
dengan istilah hybrid image watermarking. Tujuan dari hybrid image watermarking supaya bisa menghasilkan metode watermarking yang memiliki tingkat imperceptibility dan robustness yang lebih tinggi. Proteksi citra digital dengan menggunakan metode hybrid image watermarking, pernah dilakukan oleh Prayudi (2002) yang menggabungkan metode Discrete Cosine Transform (DCT) dengan metode Spread Spectrum, hybrid image watermarking lain juga pernah dilakukan oleh Viswanatham, Reddy dan Jagadessh (2012) yang menggabungkan metode watermarking Discrete Wavelet Transform (DWT) dengan Discrete Cosine Transform (DCT), Sharma dan Seema (2012) menggabungkan hybrid image watermarking metode Discrete Wavelet Transform (DWT) dengan Singular Value Decomposition (SVD), Padhihary (2013) menggabungkan watermarking metode Redundant Discrete Wavelet Transform (RDWT) dengan Singular Value Decomposition (SVD) dan Hidayat dan Udayanti (2011) menggabungkan tiga metode watermarking yang berbeda yaitu Discrete Wavelet Transform (DWT) Discrete Cosine Transform (DCT) - Singular Value Decomposition (SVD). Penelitian dengan implementasi hybrid image watermarking untuk proteksi pada citra digital dengan berbagai penggabungan atau hybrid, pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelunya dapat dilihat pada peta penelitian Tabel 1.1 Tabel 1.1 Peta Penelitian Hybrid Image Watermarking Hasil Mengelompokan hybrid image watermarking kedalam 4 (empat) type yaitu robust dengan imperceptibility baik, robust dengan imperceptibility kurang, kurang robust dengan imperceptibility baik dan kurang robust dengan imperceptibility kurang. Menghasilkan teknik watermarking yang robust karenanya DWT dan
3.
DWT-SVD
4.
RDWT-SVD
5.
DWT-DCT-SVD
Santosh,R eddy,Jaga dessh Sheetal Sharma dan Seema
imperceptibility karena adanya DCT
2012
Menghasilkan teknik watermarking yang robust karena adanya DWT dan imperceptibility karena adanya SVD
Sabyasach i Padhihary
2013
Erwin Yudi Hidayat, Erika Devi Udayanti
2011
Menghasilkan teknik watermarking yang lebih robust karena adanya RDWT dan imperceptibility karena adanya SVD Menghasilkan teknik watermarking yang robust karena adanya DWT dan lebih imperceptibility karena adanya DCT-SVD
Dari berbagai kombinasi hybrid image watermarking yang dilakukan dalam bidang watermarking untuk proteksi pada citra digital, kecendrungan menggabungkan metode Discrete Wavelet Transform (DWT) dengan metode Singular Value Decomposition (SVD) banyak dilakukan karena bisa menghasilkan metode watermarking yang memiliki tingkat robustness dan imperceptibility yang tinggi. Metode hybrid image watermarking RDWTSVD juga bisa menghasilkan metode watermarking yang memiliki tingkat robustness dan imperceptibility yang tinggi juga. Karena kedua hybrid image watermarking yaitu DWT-SVD dengan RDWT-SVD bisa menghasilkan tingkat robustness dan imperceptibility yang tinggi, maka pada penelitian ini ingin membuktikan mana yang lebih baik antara metode DWTSVD dengan RDWT-SVD dilihat dari sisi imperceptibility dan robustness. Hasil komparasi ini digunakan untuk memberikan rekomendasi metode atau teknik watermarking yang lebih baik digunakan untuk proteksi pada citra digital. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian komparasi hybrid image watermarking teknik DWT-SVD dengan RDWT-SVD untuk proteksi pada citra digital adalah : a. Bagaimana pengaruh alpha terhadap tingkat imperceptibility dari hybrid image watermarking dengan
menggunakan metode DWT-SVD dan RDWT-SVD ? b.
c.
d.
Bagaimana pengaruh jenis wavelet terhadap tingkat imperceptibility dari hybrid image watermarking dengan menggunakan metode DWT-SVD dan RDWT-SVD ? Bagaimana tingkat imperceptibility dan robustness pada metode DWT-SVD dan RDWT-SVD dengan menggunakan alpha dan wavelet yang sama? Metode hybrid image watermarking mana yang lebih baik dalam hal imperceptibility dan robustness antara metode DWT-SVD dengan metode RDWT-SVD untuk proteksi pada citra digital ?
1.3 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian komparasi hybrid image watermarking teknik DWT-SVD dengan RDWT-SVD adalah sebagai berikut : a. Metode hybrid image watermarking yang akan dibandingkan adalah teknik DWT-SVD dengan RDWT-SVD; b. Menggunakan citra digital dengan ukuran 512 x 512 piksel baik untuk citra color atau grayscale; c.
Parameter akan diukur adalah PSNR, Q dan Corr untuk mengetahui tingkat imperceptibility atau kualitas citra digital hasil dari proses hybrid image watermarking;
d.
e.
Menggunakan program checkmark untuk menghasilkan attack secara otomatis, yang akan digunakan untuk mengetahui tingkat robustness citra digital hasil implementasi dari kedua teknik yang akan dikomparasi; Menggunakan pemograman matlab untuk implementasi algoritma hybrid image watermarking yang akan dikomparasi.
1.4 Tujan Penilitian Tujuan melakukan penelitian komparasi metode hybrid image watermarking teknik DWT-SVD dengan RDWT-SVD adalah untuk : a. Memahami karakteristik imperceptibility dari hybrid image watermarking dengan menggunakan metode DWT-SVD; b. Memahami karakteristik imperceptibility dari hybrid image watermarking dengan menggunakan metode RDWT-SVD; c. Melakukan pengukuran dan analisis tingkat imperceptibility hasil watermarking dengan mengukur parameter PSNR (Peak Signal to Noise), Perceptual Quality Matric (Q) dan korelasi hasil watermarking (Corr) dari kedua metode hybrid image watermarking yang akan dikomparasi; d. Melakukan pengukuran dan analisis tingkat robustness hasil watermarking dengan mengukur parameter Corr hasil ekstraksi dan deteksi watermark dari teknik watermarking yang akan dikomparasi. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya sosialisasi penggunaan metode hybrid image watermarking untuk proteksi pada citra digital dan dapat memberikan rekomendasi teknik hybrid image watermarking yang lebih baik untuk proteksi pada citra digital sehingga citra digital yang memiliki nilai seni dan nilai komersial yang tinggi dapat dilindungi dari penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
1.6 Review Penelitian Dari review penelitian dan studi literatur, Prayudi (2002) membagi penelitian dalam bidang digital image watermarking menjadi 4 (empat) kelompok penelitian, yaitu penelitian dengan tujuan menghasilkan metode baru (new method), perbandingan atau komparasi metode (method comparison), perbaikan metode (method improvement) dan metode menjaga keutuhan data (data intigrity method). a. Metode Baru (New Method) Kelompok Peneliti ini melakukan riset untuk menemukan metode atau teknik watermarking baru yang memiliki memiliki criteria atau keunggulan tertentu dalam implementasinya. b. Perbandingan Metode (Method Comparison) Kelompok peneliti ini biasanya melakukan penelitian dengan cara membandingkan metode yang sudah ada, tujuan dari penelitian pada bidang ini untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dari metode image watermarking yang sudah ada. c. Perbaikan Metode (Method Improvement) Kelompok peneliti ini melakukan riset perbaikan atau penyempurnaan pada metode atau teknik yang telah ada dengan menggabungkan beberapa metode yang ada dan peningkatan level watermarking untuk menghasilkan metode watermarking yang lebih baik yaitu memiliki tingkat robustness dan imperceptibility yang tinggi. d. Metode Keutuhan Data (Intigrity Data Method) Kelompok peneliti ini melakukan riset untuk menjaga keutuhan data dari upaya modifikasi citra dengan menggunakan watermarking yang berdasarkan pada domain spasial yang memiliki sifat fragile watermarking. Tujuan peneliti pada bidang ini untuk mengetahui adanya usaha perubahan terhadap file gambar atau citra digital oleh pihak lain yang tidak memiliki hak akses sehingga keutuhan citra digital dapat terjaga. Penelitian ini termaksud dalam kelompok penelitian perbandingan metode (method comparison). Penelitian tentang
perbandingan metode selama ini hanya membandingkan teknik single image watermarking yang sudah ada dengan single image watermarking yang lain atau sigle image watermarking watermarking dengan hybrid image watermarking. Sementara yang membandingkan antara teknik hybrid image watermarking dengan hybrid image watermarking yang lain masih jarang dilakukan dalam bidang watermarking. Penelitian tentang komparasi teknik hybrid image watermarking dengan single image watermarking pernah dilakukan oleh Natarajan dan Govindarajan (2014), mengkomparasi single teknik dengan menggunakan metode atau teknik Discrete Wavelet Transform (DWT) dengan hybrid image watermarking dengan teknik DWTSVD dan dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dengan menggunakan metode hybrid image watermarking DWTSVD memiliki kualitas yang lebih baik dari sisi imperceptibility dan robustness dibandingkan dengan menggunakan single image watermarking metode Discrete Wavelet Transform (DWT). Penelitian lain yang dengan menggunakan metode atau teknik yang berbeda seperti yang pernah dilakukan oleh Kekre, Sarode dan Natu (2013) melakukan komparasi (Discreate Wavelet Transform) DCT dengan Discrete Wavelet Transform (DWT)-Singular Value Decomposite (SVD) dan memberikan rekomendasi bahwa hybrid image watermarking lebih baik digunakan untuk perlindungan dan proteksi terhadap citra digital. Teknik single image watermarking dengan Singular Value Decomposition (SVD), menghasilkan kualitas citra yang mudah terdegradasi dan tidak tahan terhadap serangan dibandingkan dengan teknik hybrid image watermarking SVD-DWT yang menghasilkan teknik watermarking yang lebih baik dalam hal parameter PSNR dan Corr yang menunjukan kualitas imperceptibility dari hybrid image watermarking yang lebih baik dari single image watermarking (Sunitha & Sudha, 2014). Penelitian ini terdiri 3 (tiga) tahapan yaitu melakukan analisis dari berbagai
kombinasi atau penggabungan beberapa motode watermarking, mengukur kinerja watermarking berdasarkan tingkat imperceptibility dan tingkat robust dan melakukan komparasi hybrid image watermarking. Pada penelitian ini lebih fokus melakukan perbandingan (komporasi) teknik hybrid image watermarking dengan teknik hybrid image watermarking lainnya dengan sedikit melakukan modifikasi pada salah satu metode atau teknik hybrid image watermarking yaitu dengan memberikan redudansi pada Discrate Wavelet Transform (RDWT). Komparasi dilakukan pada hybrid image watermarking dengan teknik DWTSVD dengan RDWT-SVD guna untuk mengetahui kualitas hasil proses watermarking yang lebih baik diantara teknik watermarking yang dikomparasikan tersebut. Hasil dari penelitian ini digunakan untuk memberikan rekomendasi teknik hybrid image watermarking yang lebih baik digunakan untuk proteksi pada citra digital. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Watermarking Metode proteksi konten multimedia (text, grafik, gambar, audio, dan video) menurut Ariyus (2009) dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode seperti kriptography (penyadian), steganography (pengkodean), digital watermarking (tanda air), finger printing (sidik jari digital) dan digital signature (tanda tangan digital). Implementasi dari metode-metode tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan masingmasing. Kriptography merupakan teknik pengamanan file multimedia dengan melakukan pengacakan data asli sehingga dihasilkan data baru yang sudah terenskripsi dan memerlukan kunci untuk bisa menyusunnya kembali sehingga bisa dipahami maksud dan artinya oleh pihak penerima data tersebut. Steganography merupakan proses proteksi dan perlindungan file multimedia dengan cara menyisipkan pesan rahasia yang berupa informasi pada file multimedia dengan tujuan menyembunyikan pesan rahasia (data hiding), sedangkan watermarking merupakan
cabang ilmu dari steganography, yang membedakan steganography dengan watermarking yaitu pada steganography yang dilindungi adalah pesan rahasianya sedangkan pada watermarking yang dilindungi adalah file multimedianya, sedangkan pesan rahasianya cuma sebagai identitas kepemilikan file (authentification) untuk proteksi dan perlindungan kepemilikan (copyright protection) file multimedia tersebut. Watermarking dapat diartikan sebagai teknik penyisipan informasi yang bersifat rahasia berupa identitas pada file data multimedia (file host), penyisipan file watermarking atau watemark diusahakan tidak mengurangi kualitas file gambar atau citra digital yang ditumpunginya sehingga file gambar atau citra digital sebelum dan sesudah proses watermarking memiliki kualitas yang hampir sama. Watermarking merupakan proses penyisipan sinyal low level (pesan rahasia) pada file multimedia seperti text, grafik, image, audio dan video dengan tujuan untuk proteksi dan perlindungan kepemilikan sah (identitas) file multimedia tersebut. Sinyal low level yang disisipkan pada citra induk (file host) disebut dengan file watermarking atau watermark yang menunjukan identitas kepemilikan sah file multimedia tersebut. Pada proses watermarking terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu proses penyisipan (embedded) merupakan penyisipan file watermarking atau watermark pada file gambar atau citra digital yang menjadi citra induk dan proses ekstraksi atau detector merupakan proses mendeteksi atau menemukan kembali file watermarking atau watermark yang disipkan pada file gambar atau file host tersebut. Proses watermarking dapat dijelaskan dengan Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Proses penyisipan (embedder) dan ekstraksi (detector) watermark (Sumber: Saxena, 2008) Watermarking sebagai teknik penyisipan file data pada file multimedia dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan : a. Autentifikasi (Tamper-proofing) Teknik Watermarking sebagai autentifikasi (tamper-proofing) digunakan sebagai alat utnuk mengidentifikasi keaslian citra digital yang telah mengalami perubahan dari file aslinya (tamper-proofing). Jika watermark hasil ekstraksi tidak sama dengan watermark aslinya, maka dapat disimpulkan bahwa citra digital yang beredar sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami modifikasi dari file aslinya (munir, 2004). b. Caption Teknik Watermarking digunakan sebagai keterangan tentang citra digital itu sendiri, seperti yang digunakan dalam dunia fotografer untuk identifikasi yang melakukan pengambilan foto (Munir, 2004). c. Copyright Protection Teknik Watermarking digunakan untuk proteksi pada citra digital sebagai bukti autentifikasi (kepemilikan) karya cipta terhadap data digital tersebut. Pada copyright protection penyisipan watermark biasanya berupa identitas pemilik file multimedia (nama, alamat, tulisan, logo, dan gambar). Klaim pihak lain yang mengaku sebagai pemilik data digital tersebut dapat dibantah dengan membandingkan watermark yang diekstrak dengan watermark aslinya (Supangkat, 2000).
d.
Fingerprinting Teknik Watermarking digunakan sebagai identitas digital (finger printing) untuk mengendalikan peredaran data digital untuk setiap penanggungjawab. Dengan menggunakan finger printing bisa diketahui yang melakukan penyebaran data digital secara ilegal dengan mengetahui nomor serial atau identitas yang disisipkan pada data
digital tersebut dan mengetahui yang melakukan penyebaran (Ariyus, 2009). e. Copy Control Teknik Watermarking digunakan untuk mencegah perangkat keras melakukan penggandaan suatu file yang tidak memiliki ijin. Watermarking sebagai copy conrol membutuhkan kolaborasi dengan perangkat keras dengan menyisipkan watermark detektor pada perangkat keras untuk membaca watermark pada data digital tersebut. Jika detektor mendeteksi adanya watermark maka proses pembacaan atau penggadaan dihentikan oleh perangkat lunak atau hardware (Ariyus, 2009). f.
Medical Record Teknik Watermarking digunakan dalam dunia medis seperti penyisipan watermark (berupa identitas) dalam foto rondgen dengan maksud untuk memudahkan mengidentifikasi identitas pasien dan hasil diagnosa penyakitnya. Hal ini akan memudahkan petugas di rumah sakit untuk memberikan data kesehatan yang sesuai dan menghindari terjadinya kesalahan data (Ariyus, 2009). 2.2 Sejarah Watermarking Ilmu watermarking lebih tua dibandingkan dengan ilmu komputer itu sendiri, watermarking analog sudah dikenal sekitar abad ke-13 dengan menggunakan perlatan manual seperti cap atau cetakan yang berupa tulisan, simbol, dan gambar dengan inisial tertentu untuk identifikasi kepemilikan atau authentifikasi karya atau ciptaan seniman pada saat itu. Penggunaan Watermarking yang pertama kali diketahui yaitu penggunaan watermarking pada pabrik kertas di Fabriano, Italia untuk membuat kertas yang diberi watermark dengan cara menekan bentuk cetakan gambar atau tulisan pada kertas yang baru setengah jadi. Ketika kertas dikeringkan terbentuklah suatu kertas yang sudah memiliki watermark. Kertas ini biasa digunakan oleh seniman atau sastrawan untuk menulis karya mereka pada saat itu. Kertas yang sudah dibubuhi watermark tersebut sekaligus dijadikan identifikasi bahwa karya
seni diatasnya adalah milik mereka (Ariyus, 2009). Watermarking dengan menggunakan perangkat digital atau elektronika dikenal dengan istilah digital watermarking. Digital watermarking mulai dikembangkan pada tahun 1990 di negara Jepang dan sekitar tahun 1993 di negara Swiss. Digital watermarking semakin berkembang untuk mengatasi penyalahgunaan terhadap file digital seiring dengan perkembangan jaringan internet yang semakin cepat dan murah untuk transfer dan penggadaan file multimedia tanpa ijin dengan menggunakan berbagai teknologi media yang sudah canggih. Tujuan pengembangan metode digital watermarking untuk mendapat kualitas watermarking yang baik dalam hal imperceptibility dan robustness. Diawal tahun 1970 metode digital watermarking menggunakan metode yang berdasarkan domain spasial, metode yang berdasarkan domain spasial proses penyisipan watermark langsung pada nilai bit dari piksel pada file gambar atau citra digital tersebut. Salah satu contoh metode digital watermarking yang berdasarkan domain spasial yang paling banyak digunakan adalah Least Significant Bit (LSB), metode ini dilakukan dengan mengganti bit terakhir pada byte data dengan bit watermark. Sebagai ilustrasi penyisipan dengan menggunakan metode LSB pada bit data : 01001101 00101110 10101110 10001010 01001111 10101111 10100010 101010111 Misalkan melakukan penyisipan karakter ‘H’ dengan bit data (01001000) pada file gambar atau citra digital. 01001100 00101111 10101110 10001010 01001101 10101110 10100010 101010110 Metode watermarking berdasarkan domain spasial tidak tahan tehadap berbagai serangan karena penyisipan watermark dilakukan pada bit piksel dari file gambar atau citra digital sehingga tidak tahan terhadap manipulasi citra digital. Teknik watermarking yang berdasarkan domain spasial biasanya digunakan untuk menjaga keaslian atau keutuhan data, jika sedikit saja ada modifikasi maka data tersebut akan rusak sehingga file hasil manipulasi tidak dapat digunakan lagi.
Metode watermarking berdasarkan domain spasial memiliki kelemahan tidak tahan terhadap berbagai serangan kemudian dikembangkan lagi metode watermarking yang berdasarkan domain frekuensi atau transformasi, metode ini ternyata menghasilkan watermarking yang lebih kuat terhadap berbagai serangan. Teknik watermarking yang berdasarkan domain frekuensi mulai dikembangkan pada tahun 1997, dimulai dari metode Spread Spectrum Watermarking. Perkembangan metode watermarking berikutnyan dengan menggunakan metode Discrete Wavelet Transform (DWT), Discrete Cosine Transform (DCT), Fast Fourier Transform (FFT), Singular Value Decomposition (SVD) dan Fractal Transform (Wijaya & Prijono, 2007). 2.3 Metode Watermarking Secara garis besar metode watermarking dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan domain kerja, type file watermarking, visibility, dan aplikasi watermark. Untuk lebih jelas tentang pengelompokan metode watermarking dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Metode watermarking (Sumber: Saxena, 2008) Metode watermarking berdasarkan domain proses atau area kerjanya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu metode watermarking yang berdasarkan pada domain spasial dan watermarking yang berdasarkan pada domain frekuensi atau transformasi. Metode watermarking yang berdasarkan domain spasial bekerja dengan
menyisipkan file watermarking atau watermark secara langsung pada bit piksel atau spasial dari suatu file gambar atau citra digital. Domain spasial sendiri mengacu pada piksel-piksel penyusun suatu gambar atau citra digital. Sedangkan Metode watermarking yang berdasarkan domain frekuensi proses penyisipan file watermarking atau watermark dilakukan pada koefisien frekuensi atau frekuensi hasil transformasi dari file gambar atau citra digital aslinya. Metode watermarking yang berdasarkan domain frekuensi atau transformasi antara lain Discrete Wavelet Transform (DWT), Discrete Cosine Transform (DCT), Discrete Fourier Transform (DFT), Fast Fourier Transform (FFT), Singular Value Decomposition (SVD) dan Fractal Transform. Menurut Hidayat dan Udayanti (2011) metode watermarking yang baik atau efektif harus memenuhi persyaratan yaitu harus memiliki kriteria atau tingkat imperceptibility dan robustness yang tinggi. a. Imperceptibility Imperceptibility merupakan ketidaktampakan file waterwarking atau watermark yang telah disisipkan pada file gambar atau citra digital. Semakin tinggi tingkat imperceptibility menandakan keberadaan watermark tidak mengganggu citra digital sebagai cover image (file host), sehingga kualitas citra digital sebelum dan sesudah proses watermarking hampir sama atau tidak mengalami perubahan. Tingkat imperceptibility suatu teknik watermarking bisa dilihat dari nilai PSNR, Corr, dan Q yang merupakan perbandingan kualitas file host dengan citra digital hasil proses watermarking.
b.
Robustness Robustness merupakan ketahanan file watermarking atau watermark dari berbagai serangan (attack) dan usaha-usaha untuk menghilangkan watermark pada citra digital hasil proses watermarking atau watermarked image. Untuk mengukur tingkat robust suatu teknik watermarking dapat dilakukan dengan memberikan attack atau
serangan berupa noise, jika file gambar hasil watermarking atau watermarked image masih tetap baik kualitasnya setelah diberi attack atau serangan maka tingkat robust dari teknik watermarking itu dianggap baik. Dalam kenyataannya pada metode single image watermarking pada domain transformasi tingkat imperceptibility berlawanan dengan tingkat robustness. Jika suatu metode watermarking memiliki nilai imperceptibility yang tinggi maka nilai robust akan yang rendah, begitu pula sebaliknya jika metode watermarking memiliki nilai imperceptibility-nya rendah maka nilai robust-nya akan tinggi. Oleh karena itu harus dalam implementasi metode watermarking dilakukan proses penggabungan metode guna untuk menutupi kekurangan masing-masing metode. Dilihat dari sifat watermark yang disisipkan pada citra digital, metode watermarking dibedakan menjadi Blind Watermarking, fragile dan Visible Watermarking (Ariyus, 2009). a. Blind Watermarking Blind Watermarking digunakan untuk mengetahui ada tidaknya sebuah watermark yang telah disisipkan pada citra digital. Dengan menggunakan metode ini tidak memerlukan adanya citra asli atau file host dalam proses ektraksi watermark b. Non Blind Watermarking Non Blind Watermarking digunakan untuk mengetahui ada tidaknya sebuah watermark pada citra digital, pada metode ini membutuhkan file host dan watermarked image untuk proses ekstraksi watermark. c. Fragile Watermarking Fragile (lemah) pada metode ini watermark tidak tahan dari berbagai serangan atau attack. Metode ini biasanya digunakan untuk authentifikasi atau ididentifikasi kepemilikan citra digital. Jika terjadi modifikasi atau perubahan walaupun sedikit menyebabkan watermark akan rusak. d. Visible Watermarking Berdasarkan daya tangkap panca indra manusia atau Human Visual System (HVS) watermarking terdiri dari visible
watermarking dan invisible watermarking. Pada visible watermarking, watermark yang disisipkan pada citra digital kelihatan atau tampak (visibel) oleh panca indra manusia. Sedangkan pada invisble watermarking watermark yang disisipkan tidak kelihatan (invisible). Pada penelitian ini menggunakan metode invisible watermarking. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Algoritma Hybrid Image Watermarking DWT-SVD dan RDWT-SVD 3.1.1 Algoritma Penyisipan Hybrid Image Watermarking DWT-SVD Pada hybrid image watermarking metode DWT-SVD, file host dan watermark didokomposisi sampai level 2 DWT (2DDWT) untuk mendapatkan koefisien frekuensi rendah (LL) yang berfungsi sebagai tempat penyisipan watermark pada file host. Algoritma penyisipan watermarking dengan metode atau teknik DWT-SVD seperti Gambar 3.1 dibawah ini. Alpha
File Host (I)
Watermark (W)
2D-DWT
2D-DWT
LL
LL
SVD
Penyisipan Watermark S_em = I_s + Alpha*W_s
ISVD 2DIDWT Watermarked Image
SVD
Gambar 3.1 Algoritma penyisipan watermarking dengan metode DWT-SVD (Sumber: Sharma & Seema, 2012) Prosedur penyisipan watermark pada citra digital (file host) dijelaskan sebagai berikut : 1. Menentukan faktor embedded (Alpha); 2. Menentukan citra digital yang akan dijadikan cover watermarking atau file host; 3. Dekomposisi (bagi) file gambar atau citra digital menjadi 4 (empat) bagian dengan menggunakan Discrete Wavelet Transform (DWT) sehingga mendapatkan 4 (empat) bagian yang berbeda yaitu LL 1 (koefisien approkmasi) yang merupakan sinyal frekuensi rendah, HL1 (koefisien detail horisontal) yang merupakan frekuensi tinggi, LH1 (koefisien detail horisontal) yang merupakan frekuensi tinggi, dan HH1 (koefisien detail diagonal) yang merupakan frekuensi tinggi; 4. Pilih koefisien detail approkmasi (LL1) dan terapkan level 2 DWT sehingga memperoleh 4 (empat) bagian yang berbeda yaitu LL2, HL2, LH2 dan HH2 5. Pilih koefisien detail approkmasi (LL2) sebagai tempat penyisipan watermark; 6. Terapkan SVD pada detail approkmasi (LL2) dengan rumus : II=UI S IVIT 7. Untuk watermark juga diproses dengan operasi SVD; W= Uw Sw VwT 8. Sisipkan watermark pada file host dengan menggunakan algoritma penyisipan dengan menjumlahkan matriks file host dengan matriks citra watermark yang sudah dikalikan dengan faktor alpha. S_em=I_s + Alpha*Ew_s; I_s = file host S_em = watermarked image (masih berupa matriks atau fungsi) Ew_s = watermark 9. Lakukan Inverse SVD pada watermarked image dengan modifikasi nilai singular; I*I=UI S* IVIT 10. Lakukan proses Invers DTW untuk merokonstruksi watermarked image yang berupa fungsi menjadi watermarked
image yang berupa file gambar atau citra digital. 3.1.2 Algoritma Ekstraksi Hybrid Image Watermarking DWT-SVD Pada proses ekstraksi membutuhkan citra watermark, file host, dan watermarked image untuk proses mengembalikan watermark, proses ini disebut juga non blink watermarking karena membutuhkan semua file yang terlibat dalam proses watermarking untuk proses ekstraksi. Algoritma ekstraksi untuk metode DWT-SVD seperti Gambar 3.2 dibawah ini. Alpha
Watermarked Image (Ew)
File Host (I)
2D-DWT
2D-DWT
LL
LL
SVD
SVD
Ekstraksi Watermark S_ew = Ew_s – I_s/Alpha
ISVD 2DIDWT
Watermark
Gambar 3.2 Algoritma ektraksi watermarking dengan metode DWT-SVD (Sumber: Sharma & Seema, 2012) Prosedur ekstraksi watermark dari citra digital (file host) untuk metode DWTSVD dijelaskan sebagai berikut : 1. Menentukan faktor (Alpha); 2. Watermarked image didekomposisikan dengan teknik DWT untuk mendapatkan subband LL; 3. Pilih koefisien detail approkmasi (LL2);
4. Terapkan SVD pada detail approkmasi (LL2) dengan rumus : I*I=U*I S* IV*IT 5. Terapkan SVD pada watermark W*w = U*w S*w V*wT 6. Ekstraksi watermark pada dari file host dengan menggunkan algoritma ekstraksi yaitu dengan mengurangi matriks watermarked image dengan file host kemudian dibagi dengan factor alpha; S_ew=(Ew_ s - I_s)/Alpha, I_s = file host, S_ew = watermark Ew_s = watermarked image 7. Terapkan Invers SVD dengan modifikasi nilai singular untuk memperoleh koefisien frekuensi rendah dari watermark yang masih berupa fungsi; 8. Dari watermark yang berupa fungsi lakukan proses Invers DTW untuk rekonstruksi citra watermark.
tampilan Graphical user interface (GUI) seperti Gambar 4.1. Tombol pilih file digunakan untuk memilih file host yang akan dijadikan cover image, tombol pilih watermark untuk memilih watermark, tombol embed digunakan untuk proses penyisipan watermark pada file host sehingga menghasilkan watermarked image, dan tombol ekstrak digunakan untuk proses ekstraksi watermark dari file host.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada penelitiaan tentang komparasi metode hybrid image watermarking DWTSVD dengan RDWT-SVD untuk proteksi pada citra digital, dalam melakukan pengambilan data menggunakan komputer dengan sistem operasi windows 7 dengan spesifikasi hardware System Manufacturer Acer, System Model TM8473T, Bios Acer System v2.2, CPU Intel (R) Core (TM) i52450M CPU @ 2,50 GHz, RAM 2 GB DDR 3 dan Harddisk 500GB. Pada penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu : a. Tahap pertama melakukan analisis beberapa motode hybrid image watermarking; b. Tahap kedua mengukur kinerja watermarking dengan mengukur tingkat robustness dan imperceptibility; c. Tahap ketiga melakukan komparasi hybrid image watermarking DWT-SVD dengan RDWT-SVD. 4.1 Tampilan GUI Aplikasi Hybrid Image Watermarking Pada proses watermarking dan pengukuran kinerja metode hybrid image watermarking DWT-SVD dan RDWT-SVD menggunakan pemograman matlab dengan
Gambar 4.1 Tampilan GUI Aplikasi hybrid image watermarking metode 4.1.1 Pengaruh Wavelet Terhadap Tingkat Imperceptibility Pengaruh jenis wavelet terhadap kualitas pengolahan citra digital sering digunakan pada penelitan pengolahan sinyal digital seperti proteksi citra dengan menggunakan metode watermarking. Priyoyudo (2010) melakukan penelitian watermarking dengan jenis wavelet yang berbeda yaitu wavelet biortogonal, daubechies dan dmeyer dengan menggunakan metode single image watermarking Discreate Wavelet Transform. Penelitian ini mencoba menggunakan jenis wavelet yang berbeda untuk mengetahui kualitas atau tingkat imperceptibility citra hasil proses watermarking terhadap jenis wavelet yang berbeda dengan menggunakan metode DWTSVD dan RDWT-SVD. Pada domain wavelet, jenis wavelet yang paling sering digunakan untuk implementasi metode watermarking adalah wavelet haar karena sifatnya yang sederhana dan mudah dalam hal
implementasi. Pada penelitian ini menggunakan wavelet haar, daubechies, symlets untuk mengetahui pengaruh jenis wavelet terhadap tingkat imperceptibility citra hasil proses watermarking dengan menggunkan metode hybrid image watermarking DWT-SVD dan RDWT-SVD. Penggunaan jenis wavelet haar, daubechies dan symlets karena ketiga jenis wavelet tersebut sudah mendukung berbagai proses pengolahan sinyal digital seperti discrete transform, cosines transform, filtering, orthogonal dan biorthogonal analysis. a. Pengaruh Wavelet terhadap tingkat imperceptibility metode DWT-SVD Implementasi dengan menggunakan matlab untuk Diskrit Wavelet Transform (DWT) dengan berbagai jenis wavelet adalah sebagai berikut : a. DWT dengan menggunakan wavelet haar [LL,LH,HL,HH] = dwt2(image,'haar'); ……………………………………….(4.1) b. DWT dengan menggunakan wavelet daubechies [LL,LH,HL,HH] = dwt2(image, 'db1'); ………………………………………(4.2) c. DWT dengan menggunakan wavelet symlets [LL,LH,HL,HH] = dwt2(image,'sym1'); ……………………………………...(4.3) Pengaruh jenis wavelet terhadap tingkat imperceptibility dapat dilihat pada nilai PSNR, Q dan Corr pada metode hybrid image watermarking DWT-SVD dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Nilai PSNR, Q dan Corr metode DWT-SVD dengan berbagai jenis wavelet Jenis motion01 North Island Wave (Grayscale) NAS let (Color) PS Q Co PS Q Cor NR rr NR r Haar 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 187 815 987 474 609 913 Daube 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 chies 187 815 987 474 609 913 Daube 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 chies 321 816 987 478 610 913 orde 2
Daube 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 chies 451 817 987 499 610 913 oede 4 Symle 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 ts 187 815 987 474 609 913 Symle 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 ts 187 815 987 474 609 913 orde 2 Symle 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 ts 202 816 987 462 610 913 orde 4 b. Pengaruh Wavelet terhadap tingkat imperceptibility metode RDWT-SVD Sedangkan untuk implementasi jenis wavelet haar, daubechies, symlets dengan menggunakan matlab untuk jenis transformasi Redudansi Diskrit Wavelet Transform (RDWT) sebagai berikut : a. RDWT dengan menggunakan wavelet haar [LL,LH,HL,HH] = swt2(image,1,'haar'); ……………………………………..(4.4) b. RDWT dengan menggunakan wavelet daubechies [LL,LH,HL,HH] = swt2(image,1, 'db1'); …………………………………….(4.5) c. RDWT dengan menggunakan wavelet symlets [LL,LH,HL,HH] = swt2(image,1,'sym1'); …………………………………….(4.6) Pengaruh jenis wavelet terhadap tingkat imperceptibility dapat dilihat pada nilai PSNR, Q dan Corr pada metode hybrid image watermarking RDWT-SVD dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Nilai PSNR, Q dan Corr metode RDWT-SVD dengan berbagai jenis wavelet (motion01) (North Island Jenis NAS) Wavel (Grayscale) et (Color) PS Q Co PS Q Cor NR rr NR r Haar 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 237 816 987 529 610 913 Daube 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 chies 237 816 987 529 610 913 Daube 44.5 4.9 0.9 33.0 4.9 0.99 chies2 293 816 987 443 610 913
Daube chies4 Symlet s Symlet s2 Symlet s4
44.5 282 44.5 237 44.5 237 44.5 237
4.9 817 4.9 816 4.9 816 4.9 816
0.9 987 0.9 987 0.9 987 0.9 987
33.0 448 33.0 529 33.0 529 33.0 529
4.9 610 4.9 610 4.9 610 4.9 610
0.99 913 0.99 913 0.99 913 0.99 913
Dari data pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 nilai PSNR citra grayscale (motion01) untuk metode DWT-SVD dan RDWT-SVD dengan menggunakan wavelet jenis Haar sebesar 44.5187 dB sama dengan dengan nilai PSNR dengan menggunakan wavelet jenis Daubechies dan Symlets sebesar 44.5187 dB. Begitu juga untuk citra color (North Island NAS) dengan menggunakan ketiga jenis wavelet Haar, Daubechies dan Symlets menghasilkan nilai PSNR yang sama yaitu sebesar 33.0474dB. Untuk nilai Q dan Corr juga menghasilkan nilai yang sama. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis wavelet tidak berpengaruh terhadap nilai PSNR, Q dan Corr hasil proses watermarking dengan menggunakan hybrid image watermarking dengan teknik DWT-SVD dan RDWT-SVD. Sedangkan peningkatan level atau orde wavelet menghasilkan perubahan nilai PSNR pada watermarking dengan metode DWT-SVD dan RDWT-SVD, untuk citra grayscale (motion01) nilai PSNR hasil hybrid image watermarking dengan metode DWTSVD dengan menggunakan wavelet daubechies mengalami pengingkatan sesuai dengan tingkat atau orde wavelet yaitu Daubechies orde 2 sebesar 44.5321 dB dan Daubechies orde 4 sebesar 44.5451 dB. Begitu juga pada hybrid image watermarking dengan teknik RDWT-SVD terjadi peningkatan nilai PSNR untuk wavelet jenis Daubechies orde 2 sebesar 44.5293 dB dan Daubechies orde 4 sebesar 44.5282 dB. Hal yang sama juga terjadi pada citra color (North Island NAS) yang mengalami peningkatan PNSR juga pada jenis wavelet dan orde yang sama. 4.1.2 Pengujian Tingkat Imperceptibility
Pengujian tingkat imperceptibility dengan menggunakan alpha dan jenis wavelet yang sama yaitu alpha sebesar 0.01 dan wavelet haar, penggunaan alpha sebesar 0.01 karena pada pengukuran pengaruh alpha terhadap tingkat imperceptibility citra hasil proses hybrid image watermarking metode DWT-SVD dan RDWT-SVD, nilai alpha sebesar 0.01 menghasilkan nilai PSNR, Q dan Corr paling tinggi. Sedangkan penggunaan wavelet haar karena wavelet haar merupakan induk dari wavelet (mother of wavelet) dan memiliki bentuknya yang sederhana sehingga lebih mudah dalam hal implementasi untuk metode watermarking. Wavelet haar merupakan bentuk sinyal yaitu berbentuk diskrit atau kota. Transformasi wavelet haar pada DWT dilakukan untuk menentukan bentuk sinyal yang akan digunakan untuk pengolahan citra pada transformasi tersebut. Pengingkatan orde atau level wavelet dapat mempengaruhi tingkat imperceptibility. Untuk mengetahui tingkat imperceptibility pada proses hybrid image watermarking metode DWT-SVD dan RDWT-SVD dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter seperti PSNR, Q dan Corr citra hasil proses watermarking atau watermarked image. Menurut Kutter dan Petitcola (1999), standar untuk tingkat imperceptibility teknik watermarking diupayakan untuk menghasilkan nilai PSNR diatas 35dB, rating kualitas image (Q) minimal 4 (good) dan Corr minimal 0.8. Pengukuran parameter imperceptibility dilakukan pada image hasil proses penyisipan watermark atau watermarked image. Skema atau cara melakukan pengujian sesuai dengan Gambar 3.10. terendah untuk citra color Lenna dengan nilai PSNR sebesar 30.4378 dB. Sedangkan untuk metode RDWT-SVD nilai PSNR tertinggi untuk citra grayscale motion01 sebesar 44.5237 dB dan nilai PSNR terendah citra color Lenna sebesar 30.4402 dB. Nilai PSNR sangat bergantung pada karakterisitik test image yang dijadikan file host.. Analisis karakteristik citra dapat dilakukan dengan melakukan analisis histogram citra tersebut. Histogram memiliki
hubungan dengan PSNR, semakin tinggi nilai level citra maka nilai PSNR akan semakin tinggi juga. Berdasarkan analisis histogram test image yang dilakukan pada bab 3, distribusi level citra dapat dikelompokan menjadi citra gelap, citra berkonsentrasi rendah, citra terang dan citra berkonsentrasi tinggi. File host yang digunakan pada penelitian dapat dipetakan berdasarkan level histogram citra sebagaiman Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Kelompok File host berdasarkan level histogram No Karakteristik/ Kelompok Citra Kelompok berdasarkan level Citra Histogram 1. Texture Citra Berkonsentrasi Rendah 2. Aerials Citra Terang 3. Miscellaneous Citra Terang 4. Sequences Citra Berkonsentrasi Tinggi Citra motion01 yang menghasilkan nilai PSNR tertinggi merupakan kelompok citra sequences yang memiliki level histogram citra berkonsentrasi tinggi karena memiliki nilai level citra yang mendekati nilai maksimal yaitu 255 yang merupakan tingkat fluktuasi yang digunakan untuk menentukan nilai PSNR sesuai dengan Persamaan 2.13. Sedangkan citra lena menghasilkan nilai PSNR terendah merupakan kelompok citra miscellaneous yang memiliki level histogram citra terang karena level citra yang cenderung berkumpul ditengah. Citra berkonsetrasi tinggi sangat direkomendasikan untuk digunakan pada proteksi citra dengan menggunakan metode hybrid image watermarking. Pada citra grayscale bisa menghasilkan nilai PSNR tertinggi sebesar 44.5187 dB untuk metode DWT-SVD dan 44.5237 dB untuk teknik RDWT-SVD, sementara pada citra mono menghasilkan nilai PSNR tertinggi 38.2557 dB untuk teknik
DWT-SVD dan 38.2577 dB untuk teknik RDWT-SVD dan pada citra color menghasilkan nilai PSNR tertinggi 33.0474 dB untuk teknik DWT-SVD dan 33.0529 dB teknik RDW-SVD. Dari segi jenis citra yang digunakan untuk file host (mono, grayscale dan color) juga menpengaruhi nilai PSNR. Citra mono (monochrome) terdiri dari 1 bit, citra grayscale terdiri dari 8 bit (1 Byte) dan citra color terdiri dari 24 bit (3 Byte). Pada hybrid image watermarking dengan menggunakan metode DWT-SVD dan RDWT-SVD proses penyisipan watermark dilakukan pada komponen citra digital red, green, blue atau grayscale. Penyisipan dilakukan pada byte gambar (8 bit) sehingga penyisipan watermark dengan menggunakan citra grayscale sangat efektif untuk algoritma penyisipan dengan menggunakan metode hybrid image watermarking DWT-SVD dan RDWT-SVD dan menghasilkan nilai PSNR yang lebih baik dari pada menggunakan citra mono maupun citra color. Untuk nilai Q dan Corr tidak terlalu berpengaruh terhadap karakteristik dan jenis citra inputan atau file host, hal ini dapat dilihat dengan dengan nilai Q hampir untuk semua karakteristik dan jenis file memiliki nilai kualitas hasil watermarking diatas 4,9 yang hampir mendekati nilai 5 atau sempurna. Kecuali pada citra watermarked lenna yang menghasilkan nilai 4.8346 untuk teknik DWT-SVD dan 4.8346 teknik RDWT-SVD dan nilai ini masih dianggap mendekati nilai sempurna. Sementara nilai Corr atau korelasi antara watermarked image dan file host memiliki nilai korelasi yang tinggi yaitu diatas 0,9 dan mendekati nilai sempurna atau nilai 1. 4.1.3 Komparasi Hybrid Image Watermarking DWT-SVD Dengan RDWT-SVD Dari Segi Imperceptibility Untuk melakukan komparasi antara metode hybrid image watermarking DWTSVD dengan RDWT-SVD dari segi imperceptibility, nilai PSNR dan Corr pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 perlu disederhanakan berdasarkan karakteristik dan jenis citra inputan atau file host yang digunakan pada
proses watermarking dengan mengambil perwakilan pada masing-masing karakter citra karena nilai PSNR dan Corr citra pada setiap karakter atau kelompok citra inputan memiliki nilai yang hampir sama. 4.1.4 Pengujian Tingkat Robustness Untuk mengetahui tingkat robustness pada metode hybrid image watermarking DWT-SVD dan RDWT-SVD dapat dilakukan uji robust dengan memberikan sejumlah attack terhadap citra hasil proses watermarking atau watermarked image. Pengukuran atau uji robust dilakukan terpisah dari implementasi algoritma hybrid image watermarking, pengukuran dilakukan tersendiri dengan menggunakan program freeware checkmark. Penggunaan checkmark karena mampu menghasilkan berbagai serangan (attack) secara otomatis seperti remodulation, filtering, map, jpeg, ml, resample, calor reduce, copy, wavelet dan ratation scala baik untuk citra graysclace maupun citra color. Teknik watermaking dikatakan robust jika watermark bisa bertahan terhadap berbagai upaya serangan, modifikasi, merusak atau menghilangkan watermark tersebut. Pada pengujian tingkat robustness meliputi dua test yaitu test image terhadap attack dan test benchmarking. Cara melakukan pengujian sesuai dengan Gambar 3.10. a. Pengujiant Tingkat Ekstraksi Watermark Pada penelitian ini menggunakan program automatic attack yaitu checkmark untuk melakukan serangan atau attack terhadap image hasil proses watermarking guna untuk mengetahui tingkat robustness pada teknik hybrid image watermarking dengan teknik DWT-SVD dan RDWT-SVD. Citra digital atau image yang digunakan pada penelitian ini adalah berasal dari file host yang terdiri dari (im1 (Lenna), im2 (Nort Island NAS), im3 (Brodatz), im4 (motion01)) penggunaan file host tersebut mewakili karakter citra miscellaneous, aerials, textures dan sequences sedangakan
watermarked image (imWM1 (watermarked Lenna), imWM2 (watermarked Nort Island NAS), imWM3 (watermarked Brodatz), imWM4 (watermarked motion01). Selanjutnya diproses dengan menggunakan checkmark untuk menghasilkan attack secara otomatis sehingga menghasilkan 108 attacked image. Nilai Corr hasil proses ekstraksi dari attacked image sebagaimana pada Lampiran 5. Nilai Corr hasil hybrid image watermarking dengan metode DWT-SVD dan RDWT-SVD untuk jenis attack remodulation, filtering, map, jpeg, ml, resample, calor reduce, wavelet menghasilkan nilai Corr diatas 0.8 hal ini menandakan bahwa kedua teknik teresebut tahan terhadap jenis attack tersebut. Sehigga jika ada serangan dengan type remodulation, filtering, map, jpeg, ml, resample, calor reduce dan wavelet maka watermark akan tetap terjaga atau robust. Namun untuk jenis serangan dengan type copy dan Ration scala pada kedua teknik hybrid image watermarking tersebut menghasilkan nilai Corr dibawah 0.8 hal ini menandakan bahwa hybrid image watermarking metode DWT-SVD dan RDWT-SVD tidak tahan terhadap jenis serangan berupa copy dan ration scala. Dalam Implementasi untuk proteksi pada citra digital dengan menggunakan hybrid image watermarking harus robust sehingga watermark pada file host tidak mudah untuk modifikasi atau dihilangkan, penyisipan watermark merupakan identitas kepemilikikan sah pada citra digital tersebut. Penyisipan identitas tersebut akan menjadi bukti kepemilikan dan menjerat para pennguna citra tersebut dengan cara tidak sah atau tanpa sepengetahuan pemilik citra digital tersebut. Ekstraksi watermark dari file host akan menjadi bukti yang menunjukan kepemilikan yang sah terhadap citra digital sehingga citra digital dapat diproteksi dari klaim dan penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.