HIDUPKU ADALAH
IBADAH
KOMITE NASIONAL - LUTHERAN WORLD FEDERATION (KN-LWF) 2013 HIDUPKU ADALAH IBADAH
1
HIDUPKU ADALAH IBADAH Penulis John W.Kleinig Pdt.Jaharianson Saragih dan Vicaris Parulihan Sipayung Pdt DR JR Hutauruk Batara Sihombing Dearlina Sinaga Pdt Gloriati Ndraha PENERBIT KOMITE NASIONAL - LUTHERAN WORLD FEDERATION (KN-LWF) Jalan Soetomo No. 9, Gedung KN-LWF Lantai III, Pematangsiantar Sumatera Utara Telp: (0622) 431243; www.kn-lwf.org; ISBN: Cetakan I: Oktober 2013 Tata Letak dan Perwajahan Edwin Paulus P. Saragih, STh Dicetak oleh CV TRIED ROGATE - MEDAN 2
HIDUPKU ADALAH IBADAH
DAFTAR ISI
HIDUPKU ADALAH IBADAH
3
4
HIDUPKU ADALAH IBADAH
KATA SAMBUTAN
Merupakan sukacita bagi KN LWF untuk menerbitkan Buku ketiga dari Seri Identitas Lutheran ini. Buku yang berjudul Hidupku adalah Ibadah yaitu pergumulan KN LWF menyikapi banyaknya suara warga yang mengatakan kurang menghayati dan kurang menikmati Ibadah gereja-gereja anggota Lutheran. Sepanjang setiap gereja dapat menjelaskan dengan benar dan baik makna Ibadah dan hidup dalam penghayatan Firman Tuhan, gereja tersebut tidak perlu khawatir akan adanya suara warga jemaat sedemikian. Identitas Lutheran dari gereja-gereja Lutheran di Indonesia adalah FIRMAN TUHAN. Dalam penghayatan akan Firman Tuhan inilah kita dapat merasakan anugerah yang disampaikan kepada seluruh umat yang percaya kepadaNya tatkala Yesus menebus dengan darahNya. Kekayaan suatu gereja diukur oleh kwalitas iman gereja (baca: persekutuan umat yang percaya) itu sendiri. Pembangunan megah gedung gereja dan banyaknya jumlah warga belumlah jaminan bagi suatu gereja mengenal Tuhan dengan dekat dan benar. Namun tatkala Ibadah diselenggarakan dan seluruh umat menikmati serta terberkati olehnya dan dapat mengimplementasikan dalam kehidupan seharihari, disanalah pertumbhan iman berproses. Terima kasih kepada Lutheran Church of Australia yang mendorong KN LWF untuk penerbitan buku-buku Seri Identitas HIDUPKU ADALAH IBADAH
5
Lutheran ini. Terima kasih kepada para Penulis baik yang senior maupun Junior yang telah bersusah payah meluangkan waktunya menjadikan buku ini sebagai suatu bukti kekayaan warga jemaat gereja Lutheran di Indonesia. Terima kasih kepada Emeritus Ephorus Pdt DR Jubel Raplan Hutauruk yang tidak jemu-jemunya menaburkan pentingnya sejarah dalam kehidupan bergereja. Kepada Rev.John W Kleinig dari Evangelical Lutheran Church of Australia yang mau memberikan sumbangan pemikiran dari perspektif teologia. Kepada Ephorus GKPS Pdt Jaharianson Saragih Sumbayak PhD yang terus menerus mengajak gereja kembali kepada yang hakiki yaitu berdoa. Juga kepada Pdt DR Batara Sihombing, Pdt Gloria Ndraha dan ibu Dearlina Sinaga. Harapan kita buku ini akan menyemangati setiap warga jemaat untuk beribadah dengan sungguh kepada Tuhan. Ketua KN LWF - Indonesia Pdt DR Langsung Sitorus
6
HIDUPKU ADALAH IBADAH
PENGANTAR
Lebih dari seratus lima puluh tahun kekristenan telah ada di Sumatera Utara khususnya dan di Indonesia umumnya, berarti selama itu juga seyogianya ibadah dihayati. Ibadah dilakukan agar penghayatan akan Tuhan semakin dipertajam. Atau paling tidak melalui ibadah iman percaya kepada Tuhan semakin bertumbuh hari demi hari. Ibadah yang dimengerti banyak orang adalah Kebaktian di gereja; kebaktian keluarga, itu sebabnya ada Tata Ibadah dimana kesatuan ibadah itu diatur sedemikian rupa sehingga membawa setiap orang, percaya dan lebih percaya kepada Tuhan. Tata Ibadah gerejagereja Lutheran di Indonesia berbeda satu dengan lainnya. Walaupun tidak terlalu menonjol perbedaan tersebut, hakekat dari liturgi itu sendiripun masih tetap ada. Memang diperlukan percakapan dan kesepakatan bersama untuk pengadaan Liturgi/Tata Ibadah yang sama sebab bersama sebagai keluarga Lutheran. Buku ini tidak membahas soal kesamaan Tata Ibadah itu namun mencoba memahami arti Ibadah dalam konteks kekinian dengan tetap mengingat latar belakang denominasi kita yaitu Lutheran. Sebagai apakah warga jemaat khususnya orang tua memahami Ibadah? Banyak warga jemaat menyadari bahwa ibadah itu memberikan sukacita dalam kehidupan sehari-hari. Dengan beribadah kita mengetahui bagaimana bersyukur kepada Tuhan, menyadari HIDUPKU ADALAH IBADAH
7
kuasa Tuhan dalam kehidupan sendiri. Namun sangat sulit kadangkala menghubungkan maksud Tuhan dalam kehidupan sehari-hari termasuk pekerjaan, lingkungan hidup terlebih-lebih kemajuan zaman kini. Sehingga disinilah terjadi perbedaan antara mengikuti kebaktian Minggu dengan bekerja di kantor – hal yang provan dan sekular. Penampilan warga jemaat diluar hari Minggu sangat berbeda dengan hari Minggu di gereja. Menyimak hal ini sebenarnya perlu dipertanyakan mengapa harus berbeda penampilan umat pada hari Minggu dengan di luar hari Minggu? Sebagai apakah umat melihat Tuhan dan bagaimana hubungan Tuhan dengan umat dalam kehidupannya? Banyak orang berkata selama manusia di dunia ini dia tidak akan terpisahkan dengan Tuhan, seperti layaknya seorang bayi dalam kandungan yang terus mempunyai hubungan pernafasan dengan ibunya melalui tali pusarnya, begitu jugalah hubungan umat dengan Tuhan – tidak dapat terpisahkan. Namun mengapa banyak praktek perilaku yang jauh dari gambaran Tuhan itu sendiri? Umat Tuhan ingin melakukan sesuatu yang baik demi Tuhan, namun ibadah berarti juga mendengarkan Tuhan dan membiarkan Tuhan bekerja dalam diri dan hidup kita. Seorang anak kecil berdoa kepada Tuhan bagaikan Tuhan berada di depannya. Semua yang ada dalam pikirannya disampaikan kepada Tuhan. Seakan Tuhan bagaikan teman dekat yang dapat diajak setiapsaat untuk mendengarkannya. Tetapi juga sebagai sesuatu yang supranatural, dimana walau tidak kelihatan namun dapat menjawab bahkan memberikan sesuatu yang diharapkannya. Doa bukanlah salah satu unsur dalam ibadah. Doa adalah nafas dari pada ibadah itu sendiri dimana Roh Kudus merupakan sumber utamanya. Itu sebabnya ketika umat memasuki ruang ibadah, ada tempat bagi umat untuk berdoa secara pribadi. Hal ini bukan 8
HIDUPKU ADALAH IBADAH
bermaksud mengundang Tuhan hadir dalam kebaktian, sebab Tuhan sebelum diundang Dia sudah hadir, tetapi menyatukan perhatian atau konsentrasi umat di dalam bersekutu bersama dengan Tuhan dan umat percaya lainnya. Namun kerap yang kita amati adalah, ketika masuk ke ruang ibadah atau gereja, umat membiarkan dirinya mempercakapkan hal-hal lain bersama dengan teman lainnya. Kesempatan untuk berjumpa dengan Tuhan dalam keheningan terlewatkan begitu saja. Hal inilah yang berdampak sehingga ibadah di gereja bukanlah perjumpaan atau penyembahan kepada Tuhan, tetapi dimengerti sebagai ceremony berjumpa dengan umat beriman lainnya. Begitulah seterusnya sampai ketika kembali ke rumah, umat tidak membawa sesuatu yang mendasari kehidupannya selama seminggu ke depan. Memang ibadah juga dimengerti sebagai suatu aktivitas persekutuan. Namun yang dimaksud dengan hal ini adalah dimana setiap anggota persekutuan itu mengalami pertumbuhan iman karena Tuhan bersama dengan mereka. Kehadiran Tuhan adalah sentral dari pada ibadah itu sendiri. Menyimak perjalanan Israel (Kel.29: 42 – 26; 1 Raja 6: 11 -12; 8: 10 - 21) memperlihatkan bahwa ketika umat Tuhan itu berkumpul, Allah yang menjadi sentral atau pusat perhatian Israel. Sebenarnya Ibadah adalah suatu kesatuan pemujian dan penyembahan kepada Tuhan, pengakuan dosa dan penerimaan pengampunan dosa dan pada saat ibadah itu jugalah umat diajak untuk mendengarkan suara Tuhan melalui khotbah yang disampaikan. Setelah mendengarkan Suara Tuhan diharapkan partisipasi dari seluruh arga jemaat dari apa yang didengarkannya melalui doa dan pengumpulan kolekte. Maka ketika umat bernyanyi, bernyanyilah bagi Tuhan karena Tuhanlah yang dimuliakan disana. Ketika umat membaca dan mendengarkan pembacaan Alkitab, dengarlah dengan konsentrasi HIDUPKU ADALAH IBADAH
9
tinggi dan sebaik-baiknya karena Tuhanlah yang diengarkan disana. Ketika umat berdoa, sampaikanlah dengan kepasrahan dan kesungguhan hati. Ketika umat menyampaikan persembahannya (baca = kolekte, sampaikanlah dengan kerendahan hati sebab yang diberikan itu merupakan apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita. Dengan penjelasan dalam buku ini kita dapat dihantar oleh suatu pemahaman akan ibadah menurut Alkitab. Apa hubungan ibadah dengan kehidupan keseharian kita? Dengan demikian paling tidak kita menghayati kehidupan yang Tuhan berikan selama kita tinggal di dunia ini. Inilah yang mendasari Komite Nasional Lutheran World Federation (KN LWF) untuk mengeluarkan buku ini. Buku ini masih dalam seri Identitas Lutheran – yang terus menerus mendalami serta menyegarkan ulang Identitas gereja-gereja Lutheran di Sumatera Utara. Sebagian dari unsur di dalam Ibadah akan disoroti dalam buku ini, misalnya Pemahaman Khotbah; Makna karunia; dan Doa. Permulaan Buku ini dihantar oleh topik pandangan alkitab mengenai Ibadah. Sengaja KN LWF meminta dari mitra luar negeri yaitu Lutheran Church of Australia untuk membahas topik ini dengan maksud agar dimiliki perspektif yang lebih luas. Namun tidak kalah pentingnya seorang warga jemaat juga memaparkan pikirannya mengenai apa yang diharapkan oleh warga jemaat dalam Ibadah. Apakah ibadah yang berlangsung di gereja mengajak warga jemaat berpartisipasi dan sejauh apakah partisipasi tersebut serta apa makna partisipasi warga bagi Tuhan dan jemaat itu sendiri. Menyikapi komentar warga jemaat mengenai Ibadah atau kebaktian gereja-gereja Lutheran akhir-akhir ini, agaknya diperlukan percakapan bersama dari seluruh lapisan kategorial, untuk meluruskan pemahaman walaupun dalam buku ini telah dituangkan 10
HIDUPKU ADALAH IBADAH
beberapa pikiran mengenai apa dan bagaimana kebaktian kategorial yang ada dalam gereja-gereja Lutheran saat ini. Buku ini dimulai dengan pandangan Alkitab mengenai Ibadah, kemudian dilanjutkan dengan Doa yang menjadi bagian terpenting dalam Ibadah itu sendiri. Peranan khotbah bagi gereja-gereja Lutheran adalah peran sentral, dimana dalam setiap Ibadah dilakukan – harus juga dilayankan pewartaan Firman. Sambutan warga jemaat setelah mendengarkan Pewartaan Kabar Baik dari Tuhan, diungkapkan dalam persembahan karunia atau yang sering disebut dengan Kolekte. Buku ini sengaja memunculkan pikiran warga jemaat dan pendeta mengenai kondisi ibadah di gereja-gereja Lutheran saat kini. Banyak orang memperbincangkan partisipasi warga jemaat dan bagaimana sebaiknya pelayanan yang dilakukan oleh masing-masing kategorial. Semoga Buku ini dapat semakin membuka pikiran dan penghayatan kita agar terus menerus meminta dan berharap kepada Tuhan akan Ibadah yang sungguh-sungguh berkenan dihadapanNya. Dan ketika itu terjadi maka Ibadah itu bermakna bagi setiap umatNya dan perlahan-lahan negara dan bangsa inipun menikmati buahnya – menghadirkan bangsa yang Takut akan Tuhan, benci akan kemunafikan, benci akan kebohongan dan mau berdamai dalam kenyataan. Kemuliaan Bagi Allah Bapa di tempat yang Maha Tinggi. KN LWF - Indonesia Sekretaris Eksekutif Pdt Basa Hutabarat
HIDUPKU ADALAH IBADAH
11
12
HIDUPKU ADALAH IBADAH
THE BIBLICAL VIEW OF WORSHIP Concordia Theological Quarterly 58/4 (1994): 225-254 John W.Kleinig
A. Tuning In Imagine a colour television set which has never been used. There it sits in the living room of a house, sheltered from the sun and rain. Since it occupies such a prominent place in the living room, it has developed rather inflated notions about its own importance. It has met all the visitors that have come to the house; it has eavesdropped on all the conversations in the room; it has watched everything that has happened in the house. But it has never been used. It has never let its owners push in its plug and switch on the electricity. No one has ever turned on its speaker, so that it could sing and speak properly. No one has ever adjusted its vision, so that it could display a clear, coloured image. And so it has sat there undisturbed and has never functioned as a television set. It has lived all its life in that room and has never discovered what goes on elsewhere outside its immediate range. It has never caught a vision of the world outside and has never brought it back into its home. It has never become a receiver and so could never become a transmitter of words and visions. It is nothing but a useless piece of furniture. Well that’s how people are who never worship God. They do not fulfil the purpose for which they were created. They never become
HIDUPKU ADALAH IBADAH
13
receivers and transmitters of God’s heavenly transmission to us in this world. They lead lives that are spiritually frustrated and unfulfilled. There is only one activity which we do here on earth that will also be done in heaven. Whatever else we do lasts only for a while, or, at best, for as long as we live here on earth. But this lasts forever and will occupy us through all eternity. In fact, we rehearse this for as long as we live and even then we never get it completely right. This activity is worship, which is the beginning of a heavenly life here on earth and a preparation for our life with God in heaven. Our worship here is practice for the real thing, like learning to play a musical instrument, like attending school to prepare for our job, like going steady to get ready for married life. It’s a heavenly activity which is done perfectly only in heaven. Worship then is something supernatural, and it is supernatural in three ways. First, it does not come naturally to us human beings. If we were left to our own devices, we would never worship God properly, as it goes against our grain. We would rather worship ourselves, or some homemade idols, than the living God. So God himself has to teach us how to worship. In fact, he doesn’t just show us how it is done; he actually does it together with us, so that we get the hang of it from him. It is then a divine activity, and we join in with it, like a horseman who rides a racing horse. But more about that later. Secondly, worship is supernatural, because it has to do with what is out of this world. It has to do with God and what connects us with God, just as an umbilical cord joins the baby to its mother and nourishes the life of the baby from its mother. Worship is the divine lifeline of the Church and that’s what makes it so important. Now that is something that those who aren’t Christians can’t understand. 14
HIDUPKU ADALAH IBADAH
The ordinary, secular person is utterly bamboozled by worship. It is unlike anything else we do. It isn’t useful for anything else. It seems a waste of time and energy. It is rather boring as nothing much seems to happen in it. In short, it makes no earthly sense to anybody who is merely an earthling. So, since they can’t appreciate the great importance of worship for the Christian, atheists sometimes commit monumental blunders. For example, the Russian communists banned all Christian activities except worship without ever realising that they thereby helped the Church survive and even thrive in Communist Russia. Thirdly, worship is supernatural, because it is, at core, a divine activity. The chief celebrant is Jesus our great high priest in the heavenly sanctuary. He leads us in our worship by representing us before the Father in intercession and thanksgiving (Heb 7:25; 9:25) and by representing God the Father to us in proclamation and praise (Heb 2:12). By his service in the heavenly sanctuary he leads us together with the angels and the whole communion of saints in the performance of the heavenly liturgy (Heb 2:11; 8:2; 12:22-24; 13:15). Since it is supernatural, Christian worship is a matter of mystery. Now a mystery differs from a secret in that it remains hidden and inexplicable, even when you are let in on it and know a lot about it. St. Paul sums it up in Colossians 1:24 as ‘Christ in (or among) you, the hope of glory’. It has to do with the mysterious, hidden presence of Christ who is with us and among us. We are in him and he is in us. He comes to us and does things for us when we gather together in his name. He brings the Holy Spirit with him and ushers us bodily into the presence of his heavenly Father. So in worship we come into contact with the Holy Trinity. We come into the presence of the Triune God and share in the ongoing work of Jesus here on earth. HIDUPKU ADALAH IBADAH
15
But worship also has to do with our hope of glory, that is, with our life as sons and daughters of God in heaven. This life is not yet apparent to us. It is ‘hid with Christ in God (Col. 3:3). The wonder of it is that in worship heaven comes down to earth in Jesus and we earthlings are taken up together with him into heaven. We join in with the angels and saints in heaven as they gather round God’s throne and sing: “Holy! Holy! Holy!” So by faith we get a foretaste of heaven; we anticipate the glory we shall share as children of our heavenly Father and members of God’s royal family. Wilhelm Loehe, a Lutheran theologian of the nineteenth century, says this about the mystery of worship: In its worship the congregation feels closest to its Lord. There as close to the Bridegroom as it can get, it leads an heavenly life on earth, an earthly life in heaven. Worship then is a mysterious tuning into heaven here on earth. By it we human beings become receivers and transmitters of heavenly life together with other Christians and our risen, ascended Lord Jesus. When we worship, we begin to do what we were created for. We fulfil God’s ultimate purpose for us and his whole creation. We become fulfilled with the fullness of God. It is therefore the chief thing that we ever learn in this life. That’s why the first three of the Ten Commandments cover various aspects of it. Apart from worship, our Christian faith remains notional, theoretical and ultimately unreal. The early Christians spoke a lot about ‘orthodoxy’. Now we normally define orthodoxy as correct teaching about the Triune God, but it also means ‘correct worship’ or ‘right praise’. Both belong together. Correct doctrine is teaching the right worship of the living God. All doctrine achieves nothing, no matter how good and correct and inspiring, unless it comes from worship and leads back to worship of the Triune God, for, when we worship properly, we let God be our 16
HIDUPKU ADALAH IBADAH
God and have his way with us. In orthodox worship we join in with Jesus in his ministry as the great high priest in the heavenly sanctuary. B. Receiving We call worship ‘divine service’, but we usually get it back to front when we do so. We, naturally enough, dwell on what we have to do, when we come to Church, or hold our devotions. But that is not really what worship is all about; it is more a matter of receiving than doing; it is first and foremost what God does for us, not what we do for God. The activity of God lies at the heart of Christian worship. Human activity is secondary and dependent on God’s initiative with us in it. This comes out most clearly for me in Luke 22:24-27. The context here is important for the understanding of this passage. The story is set on the Thursday night before the crucifixion of Jesus. Jesus has just instituted His Holy Supper and has just announced his impending betrayal by one of the twelve. This is what happens then: A dispute arose among them, which of them was to be regarded as the greatest. And he said to them, The kings of the Gentiles exercise lordship over them; and those in authority over them are called benefactors. But not so with you; rather let the greatest among you become as the youngest, and the leader as one who serves. For which is the greater, one who sits at the table, or one who serves? Is it not the one who sits at the table? But I am among you as one who serves. The last sentence interests me here. Note the present tense of the verb. It indicates continuous activity. The service of his disciples is based on their ongoing service by Jesus. In Holy Communion Jesus is present as the servant of His disciples. Even though he is their host and they sit as guests at his table, he waits on them and serves them.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
17
He attends to them; he sees to their needs; he fulfils their wishes; he nourishes them; he puts himself at their disposal. And not just then. As our risen Lord he continues to serve us, whenever we visit him as guests in his house. Just let the enormity of that sink in for a moment! Jesus serves you in worship. He works for you; he ministers to you. Unless you see that, you wont make any sense of the architecture of our churches, our orders of worship, and the whole business of worship itself! Here your Lord Jesus rolls up his sleeves, lends a helping hand and puts himself to work for us. Well, what does he do for us in the divine service? There are two simple ways of looking at God’s service of us in worship. First, our order of worship is designed to show what God does for us there. Secondly, the gospel stories tell us how Jesus ministers to us in worship as he once ministered to the people in Palestine. Take the common order of worship. It bears witness to the mysterious presence and activity of the Triune God with us. It begins with the Invocation that announces the presence of the Triune God. After that the main accent falls on what God does. Hemakes us his children in baptism, forgives our sin in the Absolution, and receives us as beggars of favours from him in the Introit and Kyrie. In the Salutation we acknowledge our Lord Jesus as the chief celebrant and liturgist in our worship. After that our heavenly Father speaks powerfully to us in the Readings from the Scriptures and in the Sermon. He listens to our requests for his help in the Prayer of the Church, gives us the body and blood of Jesus for the healing of our bodies and souls in Holy Communion, and dismisses us with the blessing of His Son. So worship is always first and foremost God’s gracious doing. He does, to be sure, judge us, but only in order to give us more of himself and his blessings. Here the Gospel happens 18
HIDUPKU ADALAH IBADAH
for us as we receive a portion of God’s measureless grace. Here we are encouraged and invigorated, healed and helped, revitalised and enriched by God. God is the doer and we are the objects of his activity; God is the giver and we are the receivers of his spiritual gifts to us. The Gospel stories also tell us how Jesus serves us in worship. That’s why they were remembered, retold, and included in the New Testament which reports only a small fraction of all that Jesus said and did. They don’t just tell us what Jesus did for people some 2,000 years ago, but also inform us about what he continues to do right now in the church through the operation of his holy word and the life-giving sacraments. His ministry, his work, you see, did not end with his death, resurrection and ascension. That was merely the inauguration of it. St. Luke makes that quite clear in his two-volumed history of the EarlyChurch. In his Gospel Luke had shown how Jesus served people by teaching the good news and healing the sick in body and soul. When he begins Acts, the second part of this history, he refers to what he wrote in the Gospel. He says: “In the first book, o Theophilus, I have dealt with all that Jesus began to do and teach until the day when he was taken us, after he had given commandment through the Holy Spirit to the apostles whom he had chosen”. In other words, Jesus continues his ministry through the means of grace in the church. He continues to teach the good news of God’s grace and to heal broken people in his hospital, the church. So then, each Gospel story has its obvious point of application in worship, for we believe that the same Jesus is now physically present and active in worship as he was then in Palestine (Matt 18:20). With Christ’s service of us in our worship comes a most remarkable reversal of roles. In the Old Testament, God had commanded David to institute the Levitical choir to sing his praises HIDUPKU ADALAH IBADAH
19
as daily the burnt offering was presented on the altar in the temple. The choir announced his presence, proclaimed his acceptance of his people and rejoiced in his grace. Well, this order is reversed in the worship of the new age. According to Zephaniah 3:17, God delights in his people and rejoices over them with singing. The prophecies of Isaiah come true wherever the gospel is proclaimed. God rejoices over his people as a bridegroom rejoices over his bride (Isa 62:5; 65:1 9 Whenever we meet for worship, God is overjoyed to have us with him. He rejoices in us and expresses his approval of us. He voices his delight in us and enjoys our company. And his enjoyment of us doubles our enjoyment of him, so that our joy is full. He then has instituted the divine service, so that he can rejoice in us as his dear children. Worship is God’s service of us. It is what the Triune God does for us and gives to us who have confidence in Him. In worship he gives us as much of himself as we can receive this side of heaven so as to prepare us for eternal intimacy with him in heaven. It is the place where he communicates his wonderful grace to human beings. C. Transmission A television set does not remain inert as it receives its transmission. The same electricity that transmitted the vision helps it receive and reflect the transmitted vision. We, too, cannot remain passive and inert in worship. We are affected by God’s impact on us. We are, in fact, bound to react and respond either negatively or positively to God’s dealings with us. That’s rather obvious, even though the priority of divine activity does not always receive enough emphasis in our understanding of worship. We tend to emphasise the human side of worship too much to the detriment of the divine side, which should, however, always receive most weight. What we 20
HIDUPKU ADALAH IBADAH
do in worship stems from what God does and corresponds with it. We don’t take the initiative in this, but merely go along with Jesus; we follow his lead. He’s our leader in worship, our chief celebrant. What’s more, we can’t do this by ourselves without the help of the Holy Spirit, any more than the television set creates its vision by itself without the help of the electricity which can alone enable it to receive and transmit its vision. Our service of God in worship depends on his service of us. It is empowered by the Holy Spirit. Our order of worship makes this quite clear to us. In it we first react to God’s invitation by gathering in His presence; then we react to the offer of forgiveness by confessing our sins; we react to God’s acceptance of us by singing the great Gloria and other hymns of praise; we react to God’s speaking by listening faithfully to Him and confessing our faith; we react to God’s generosity by offering ourselves and some of our money to Him; we react to God’s offer of help by asking Him for help in prayer; we react to our entry into the presence of our heavenly Father by joining together with the heavenly hosts in singing the Sanctus; we react to the gift of Christs healing body and cleansing blood by gratefully receiving these gifts and surrendering our lives to him in the Song of Simeon; we react to God’s blessing by going out into the world and serving him in our daily lives. So our order of worship not only tells us how to respond, but also helps us to respond appropriately to God’s presence and grace. We aren’t left to our own devices in all this. We join in with our fellow Christians and are led by the Holy Spirit who prompts us and empowers us in our worship of the Father through the Son (Eph 2:18). The Holy Spirit helps us react appropriately and respond properly. He directs our worship, so that it lets God be God and is rightly attuned to the ongoing ministry of Jesus. What’s more, he turns our whole HIDUPKU ADALAH IBADAH
21
life into a single act of worship, a continual song of praise about our gracious heavenly Father for the whole world to hear. So by helping us receive God’s heavenly transmission, the Holy Spirit makes us into living transmitters of that transmission. There are many people who participate faithfully in worship but complain that they don’t get anything out of it. I guess we’ve all felt that way at times. What we forget is that the work of God is invisible to us. We don’t notice it, but only know about it, because he himself tells us about it in his word. We may sense the results of it, as we sense the results of our nourishment from breathing and eating, but we don’t see it happening. I feel that it is just as silly to complain about how boring, useless, and unpleasant church worship is as to complain about how boring good food is, or how useless sleep is, or how unpleasant medicine is. Like good food, proper worship is not meant to entertain but to nourish us, and we can often be best nourished by what we most dislike, like broccoli or liver. Like sleep, worship may seem dull and its benefits often escape our attention, as they can be as much physical as mental or emotional. After all, God instituted the Sabbath in the Old Testament for physical, and not just spiritual rest, refreshment and fellowship. Like medicine, worship is at times unpleasant and uncomfortable, just because it attacks, destroys, and heals the evil in us. God does not necessarily give us what we want, but what we need in worship. So, though I, for one, am always grateful if I feel that I have got some blessing from worship, I am not unduly disturbed if I feel that I’ve got nothing. The benefits of worship are a matter of faith and not of sight. Our worship of God here on earth is unfortunately always rather clumsy and inadequate. Our reception is poor and our transmission is poorer. Our worship is more like learning to play a musical 22
HIDUPKU ADALAH IBADAH
instrument than playing a symphony. But that does not matter. The validity of it does not depend on our ability and performance but on Christ’s expertise and skill. What matters is that he gets it right for us. We won’t be able to get it all right this side of eternity. Our whole life then is a matter of learning, bit by bit, how to appreciate, enjoy and worship God. None of us is an expert in worship; we are all beginners. At best we can support and encourage each other as we learn to worship by worshipping together. Conclusion To conclude, let me tell three stories to illustrate the purpose, nature and importance of worship. First a story about the purpose of worship. The story is told about Prince Vladimir of Kiev in Russia. At about 1,000 AD he decided that the ancestral religion of his people was no longer good enough. So he sent ambassadors around the world to assess the claims of various great religions. First they went to Mecca where they examined the worship of Islam. But they found it too severe, drab and gloomy for their liking. Then they went to Rome where they learned about Roman Catholicism. They found it better than Islam, but it lacked a sense of heavenly mystery and beauty. Then finally they went to Constantinople where they experienced Orthodox worship in the great Cathedral of Holy Wisdom. They came back from there, all excited, and reported to their King: We did not know whether we were in heaven or on earth, for surely there is no such splendour or beauty anywhere upon earth, We cannot describe it to you only this, we know, that God dwells there among men and their service surpasses the worship of all other places.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
23
So Orthodoxy became the religion of Kiev and Russia. I like that legend, because it reminds me about what worship is, the mystery of God’s heavenly presence with us on earth. The second story comes from Luke 24:13-35. It is the story of the appearance of Jesus to two disciples on the road to Emmaus. You remember how Jesus joined them as they travelled from Jerusalem and discussed the events of Good Friday and that Easter morning. They did not at first recognise him. Even when he showed them from the Old Testament that the Christ had to suffer and die before his coronation as the heavenly King of he world, they still did not catch on. They only recognised him when he took over the meal in their home, as if he were their host, took bread, blessed, broke, and gave it to them. Then their eyes were opened and he disappeared from their sight. Luke calls this the breaking of bread, which is his name for the Lord’s Supper in the book of Acts. He does this, because he wishes to suggest that we are in the same boat as those two men that Easter Eve. Like them we have heard about the resurrection of Jesus but are unaware of his presence with us until he teaches us about himself from the Holy Scriptures and reveals himself to us in Holy Communion. So every time two Christians meet together in the name of Jesus, the risen Lord comes to them and makes himself known to them. Every act of worship is an Easter celebration where we meet with our Lord and get to know him as he sets our hearts aflame by his speaking to us and opens our eyes to his presence with us by hosting his meal for us. Every Sunday the risen Lord appears to us as he did to them. Lastly, an incident which illustrates the importance of worship and the folly of its neglect! Some time ago my wife met up with an old friend whom she hadn’t seen for years. In the course of their conversation my wife discovered that she was living with her two 24
HIDUPKU ADALAH IBADAH
children in Adelaide, while her husband lived more or less permanently in Canberra. They saw each other occasionally, but they lived mostly apart. It occurred to me that many Christians are like that. They are like a married couple that refuses to live together after marriage and so does not share a common life. These Christians are baptised and confirmed but seldom worship, pray, or receive the Lord’s Supper, because they regard all that as an unnecessary business and burdensome obligation, rather than a marvellous privilege and the highlight of the Christian life. Surely a Christian who doesn’t interact with God and doesn’t enjoy the lively intimacy with him that comes from worship is as stupid as a married man who lives apart from his wife. Ultimately, worship is nothing but our enjoyment of God. The Westminster Catechism begins with the question: “What is the chief end of man?” The answer is apt: “The chief end of man is to worship God and enjoy Him forever.’ In the final count, they amount to the one and the same thing.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
25
DISIPLIN DOA MARTIN LUTHER DAN AKTUALISASINYA DI TENGAHTENGAH GEREJA PROTESTANT (LUTHERAN) DI SUMUT SAAT INI Pdt.Jaharianson Saragih dan Vicaris Parulihan Sipayung I.
Pengantar Martin Luther adalah orang yang masuk dalam daftar 10 orang yang paling berpengaruh sepanjang millennium ke 2.1 Ia adalah reformator gereja dan sosial yang pemberani. Ia berdiri di antara gereja dan kerajaan, di antara dua institusi yang terbesar dalam sejarah Eropa pada abad pertengahan. Ia berkotbah dengan kuasa (power), menulis dengan jernih dan mencerahkan (clarity) serta berpikir dengan mendalam (profundity). Sayangnya banyak yang tidak mengetahui bahwa dampak, keberanian dan kejernihan Martin Luther ini adalah buah yang bertumbuh dari akar ketahanan (endurance) dan ketekunannya dalam berlutut berdoa.2 Dalam pemikiran Luther, karena Kristus mengajar untuk berdoalah maka ia berdoa. Ia juga mengajarkan orang lain untuk berdoa. Biasanya Luther berbicara dan menulis tentang doa, dalam upaya menghubungkan kehidupan sehari-hari masyarakat umum dengan Firman Tuhan.
1
William R. Russel, Praying For Reform: Luther, Prayer and The Christian Life (Lutheran Voice), Minneapolis: Augsburg Fortress, 2005, p. 13 2 Ibid, p. 12
26
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Dalam pergumulan modern (dalam penelitian Yancey) sudut pandang tentang doa sudah mulai diabaikan. Contohnya saja, dalam buku Hans Kung: On Being A Christian dengan tebal 702 halaman,3 tidak dicantumkan sebuah bab-pun atau bahkan dalam entri indeks mengenai doa. Saat kemudian ditanyakan Kung minta maaf atas kelalaiannya itu. Ia merasa begitu terusik dengan sensor Vatikan dan tenggang waktu penerbitnya sehingga menjadi lupa akan masalah doa.4 Yancey juga merasa kebingungan mencari tahu apa yang menyebabkan Luther dapat berlutut berdoa selama berjam-jam sementara pendoa modern gelisah di kursinya setelah mengikuti doa yang baru berlangsung selama 10 menit.5 Sebuah pertanyaan harus diangkatkan, ada apa dengan kehidupan berdoa gereja postmodern saat ini? Lalu bagaimana fenomena ini pada gereja Lutheran? Ada baiknya dalam menyambut peringatan Reformasi Luther yang 500 pada tahun 2017 mendatang kita melihat ke belakang bagaimana posisi doa dalam teologi Luther dan bagaimana ia berdisiplin dalam doa. II.
Doa Sebagai Buah Dari Lawatan Tuhan Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben. Ayahnya bernama Hans Luther dan ibunya bernama Margareth. 6 Huns Luther adalah orang yang sangat ambisius, ia ingin melihat Luther menjadi seorang pengacara. Untuk mencapai cita-cita itu, ia menyekolahkan Luther ke Mansfeld, kemudian ke Magdeburg (1497)
3
Hans Kung, On Being A Christian, New York: Image Book Doubleday, 1984 Philip Yancey, Doa: Bisakah Membuat Perubahan ?, Jakarta: BPK GM, 2012, hal. 7 5 Ibid, hal. 7 6 Martin, Brecht, Martin Luther, James L. Schaaf (translator), Philadelphia: Fortress Press, 1985, pp. 3–5
4
HIDUPKU ADALAH IBADAH
27
dan Eisenach (1498). Tiga sekolah ini fokus pada tata bahasa, retorika dan logika.7 Pada tahun 1501, diumurnya yang ke- 19 tahun ia memasuki Universitas Erfurt, di sini dia dikondisikan untuk bangun jam 4 pagi setiap hari, Luther menyebut latihan ini sebagai moment menghafal dan latihan rohani yang melelahkan. Kecekatan Luther terlihat jelas, terbukti tahun 1505 Ia sudah menyelesaikan master degree-nya.8 Untuk memenuhi harapan ayahnya, pada tahun itu juga (1505) ia melanjutkan studinya di universitas yang sama. Tapi ia langsung keluar dari universitas itu karena baginya hukum itu merepresentasikan sesuatu yang tidak pasti. Ia lebih tertarik pada teologi dan filosofi untuk mencari makna hidup.9 Sepintas Luther sangat tertarik dengan pemikiran Arostoteles, William dari Okham dan Gabriele Biel. Tapi setelah ditekuni, ia melihat bahwa filsafat terlalu berkonsentrasi pada nalar (reason) dan tidak membahas bagaimana kasih kepada Allah, yang mana hal ini sangat penting bagi Luther.10 Bagi Luther nalar hanya tepat dipakai untuk menjelaskan relasi manusia dan institusi tapi tidak dapat menjelaskan Allah. Allah hanya dapat dimengerti lewat pewahyuan illahi, yaitu Alkitab. Dari sinilah kecintaan dan penghargaan Martin Luther pada Alkitab mulai meningkat.11 Perubahan radikal dalam hidup Luther terjadi pada tanggal 2 Juli 1505 saat ia hendak kembali ke Universitas, kilat dan petir yang kuat menyambar di dekatnya. Peristiwa itu membuat Luther sangat takut. Ia takut akan kematian dan penghukuman illahi. Dengan suara 7
Martin, Marty, Martin Luther, New York: Viking Penguin, 2004, pp. 2–3. Ibid, p. 5 9 Ibid, p. 5 10 Ibid, p. 6 11 Ibid, p. 6 8
28
HIDUPKU ADALAH IBADAH
yang keras ia berteriak, “Santa Anna, tolonglah aku, aku akan menjadi biarawan”.12 Sejak saat itu ia keluar dari Universitas Erfurt dan menjual semua buku-bukunya, kemudian ia mendaftar sebagai biarawan di Ordo Agustinian di Erfurt pada 17 Juli 1505.13 Kilat dan petir ini tidak bisa dimaknai sebagai hal yang biasa. Ada makna dan pesan yang khusus dalam peristiwa ini. Setidaknya tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa Tuhan memakai kilat dan petir ini sebagai media melawat Luther. Petir dan kilat yang kuat itu adalah awal dari panggilan Martin Luther. Sebuah perjumpaan dengan yang Illahi yang menumbuhkan komitmen dalam sebuah pengabdian. Saya kira tidak berlebihan kalau kita melihat persamaan bagaimana Tuhan memanggil Musa melalui lidah api (Kel. 3: 2-4), Tuhan memanggil Samuel melalui suara saat ia tertidur (1 Sam. 3:1-15), Tuhan memanggil Yesaya dengan sebuah penglihatan (Yes. 6:1-13). Tuhan memanggil Paulus dengan cahaya terang (Kis. 9:1-9) dan Tuhan memanggil Luther dengan kilat dan petir. Dari peristiwa inilah Tuhan melawat Luther dan lawatan ini pulalah yang membuat Luther begitu setia pada tugasnya, setia pada doanya dan tentu juga setia pada Tuhan yang memanggilnya. III.
Doa Dalam Teologi Luther Dalam katekismus tulisan Luther – sebagai handbook teologi dan doa - ia mendesain bagaimana sebenarnya hidup orang Kristen dan hidup pemimpin orang percaya memahami bahwa seluruh hidup mereka adalah doa.14 Sebagai seorang akademisi dan pengkotbah
12
Martin, Brecht, Op. Cit, p. 48. E.G., Schwiebert, Luther and His Times, St. Louis: Concordia Publishing House, 1950, p. 136. 14 William R. Russel, Op. Cit, p. 14
13
HIDUPKU ADALAH IBADAH
29
dalam kesehariannya Luther berusaha sekuat tenaga untuk mereformasi katekismus yang ada untuk menempa relasi yang tak terpatahkan (unbreakable link) antara doa dan teologi. Bagi Luther doa adalah bagian yang sangat penting dalam agenda reformasinya. Teman Luther bernama Johann Agricola mengumpulkan kotbah-kotbah Luther mengenai Doa Bapa Kami di City Church Of Wittenberg dan menerbitkannya dengan judul Exposition Of Lord’s Prayer, yang sangat luar biasa adalah buku ini terjual lima edisi pada tahun pertamanya saja (1518). Namun Luther belum puas ia meminta temannya bernama Nicholas von Amsdorf untuk menerbitkan sekali lagi buku yang sama, namun kali ini adalah tulisan versi Martin Luther sendiri (1519).15 Inti dari perjuangan reformasi Martin Luther adalah doa. Dalam hidup dan pekerjaan Luther, doa dan teologi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Baginya, doa menyatakan teologi dan teologi menyatakan doa (prayer implies theology and theology implies prayer).16 Luther juga menegaskan bahwa teologinya adalah buah dari rangkaian doanya. Bapak Reformasi ini menyatakan bahwa doa adalah keistimewaan khusus dari komunitas orang Kristen. Dalam karyanya On Council and The Church, Luther mengatakan bahwa doa adalah tanda eksistensi sebuah gereja. Sebuah gereja disebut eksis atau berada kalau gereja tersebut berdoa. Bagi persfektif Luther Reformasi Protestan juga termasuk reformasi doa (from Luther perspective the reformation of Protestant included a reformation of prayer).17 Luther melihat reformasi sebagai usaha bagaimana gereja memahami dirinya sendiri di hadapan Allah 15
Ibid, p. 14 Ibid, p. 92 17 Ibid, p. 92
16
30
HIDUPKU ADALAH IBADAH
dan bagaimana gereja memahami keterlibatan Allah dalam dunia ini melalui gerejaNya. Itu mengapa jika kita ingin memahami Martin Luther, kita harus lebih dulu memahami dengan baik mengapa dan bagaimana ia menghabiskan hidupnya untuk berdoa bagi reformasi.18 Marba J. Dawn dalam bukunya Morning By Morning, menyebutkan demikian: “Martin Luther said, that he had so much work to do for God that he could never get it done unless he prayed three hours a day”19 Kutipan Martin Luther tentang doa ‘yang tidak kalah familiarnya kita dengar di atas’ juga dituliskan dalam buku John R. Rice, Prayer: Asking and Receiving, Murfreesboro: Sword Of The Lord, 1942, p. 280. Ini menunjukkan ketekunan Luther dalam berdoa. Sebuah tema yang jarang diajarkan oleh teolog Lutheran bukan? Memang jika kita menghayati apa yang dikerjakan dan dihadapi Luther kita akan sangat bertanya-tanya apa yang menggerakkan Luther begitu luar biasa, radikal, tidak goyah dan berani mengatakan here I stand, ia seorang diri menghadapi kerajaan dan kepausan. Menentang dogma yang telah ratusan tahun ada. Di sini kita menemukan jawabannya, ‘I could never get it done unless I prayed three hours a day’. Yang menggerakkan, memberi keberanian, yang mendorong kerja kerasnya, yang memberi kejernihan pikiran,yang menjadi sumber kekuatan dan pengharapan akan pembaharuan bagi Luther adalah doa. Kita harus melihat doa sebagai tinta emas sejarah reformasi dan sejarah orang yang mereformasi. Dalam buku Katekismus Besar Luther juga menjelaskan hal penting tentang doa: 18 19
Ibid, p. 92 Marva J. Dawn, Morning By Morning, Grand Rapids: Eerdmans, 2001, p. 242
HIDUPKU ADALAH IBADAH
31
Kita berdoa karena Allah memerintahkan kita berdoa, Allah menghendaki kita berdoa dan Allah berkenaan pada doa-doa kita. Selain itu Luther dalam Large Catechism juga menegaskan bahwa doadoa kita berarti karena perintah Allah bukan karena kita. Kita tidak boleh meremehkan doa karena Allah sendiri berjanji untuk mejawab doa-doa kita. Bahkan Allah sendiri mengajar kita berdoa, Luther mendorong umat di Jerman kala itu agar berdoa secara teratur.20 Ini menunjukkan betapa mendasarnya doa bagi teologi Luther . Doa bagi Luther bukanlah hal yang pasif, doa itu aktif dan mewujud dalam kegiatan nyata setiap hari. Berdoa dan belajar sangat penting dan utama bagi Luther dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pengkotbah. Pada masanya, Luther sangat tidak suka pada pastor yang bermalas-malasan dan tidak mau belajar, berulang kali dalam Katekismusnya ia mengecam mereka. Spiritualitas Luther sangat mewujud dalam doa dan belajar. Dalam Katekismus Besar Luther mengatakan:21 Saya juga seorang doktor teologi, seorang pengkotbah dan lebih dari itu, pengetahuan saya juga sama luasnya dengan semua orang yang berkedudukan tinggi dan berkuasa itu, mereka yang merasa begitu yakin akan diri sendiri. Namun saya melakukan seperti apa yang dilakukan seorang anak yang sedang belajar Katekismus. Setiap pagi dan setiap ada kesempatan, saya membaca Doa Bapa Kami, Kesepuluh Firman, Pengakuan Iman Rasuli, Mazmur-Mazmur dan sebagainya. Saya mengucapkannya dengan suara nyaring, kata demi kata. Sebagai tambahan saya masih membaca dan mempelajari Katekismus setiap hari. Meskipun demikian saya tidak dapat menguasainya seperti yang saya inginkan. Saya mesti terus menjadi anak-anak yang belajar 20 21
Martin Luther, Katekismus Besar, Jakarta: BPK GM, 2001, hal. 145-152 Ibid. hal. 3-4
32
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Katekismus – saya sama sekali tidak keberatan untuk itu. Tetapi orang-orang yang merasa serba tahu dan tinggi hati ini menyangka, mereka dapat melihatnya sepintas lalu, kemudian menjadi doktor yang melampaui doktor-doktor teologi. Mereka pikir mereka sudah tahu segalanya, tidak memerlukan apa-apa lagi. Justru ini merupakan suatu tanda pasti bahwa mereka kurang memperdulikan pekerjaan mereka serta jiwa orang banyak, apalagi memperdulikan Allah dan FirmanNya. Tidak ada peluang untuk kejatuhan mereka lagi, sebab mereka telah jatuh terlalu dalam. Yang mereka butuhkan adalan menjadi kanakkanak kembali dan belajar mengeja dari dasar, sesuatu yang dalam anggapan mereka telah mereka lampaui jauh sebelumnya. Ada juga komentar lain yang menarik dari Luther mengenai doa: It may well be that you may have some tasks which are as good or better than prayer, especially in an emergency. There is a saying ascribed to St. Jerome that everything a believer does is prayer and a proverb, “He who works faithfully prays twice.” This can be said because a believer fears and honors God in his work and remembers the commandment not to wrong anyone, or to try to steal, defraud, or cheat. Such thoughts and such faith undoubtedly transform his work into prayer and a sacrifice of praise.22 Di sini kuta melihat dengan jelas bahwa dalam teologia Luther doa dan tindakan adalah hal yang tidak terpisahkan. Berdoa dan bekerja. Bekerja tidak menjadi alasan untuk tidak berdoa dan berdoa tidak membenarkan untuk tidak bekerja. Bekerja bukan asal bekerja, tapi kerja keras. Berdoa juga bukan asal berdoa, tapi berdoa dengan sungguh-sunggu, tekun dan berdisiplin. Karena discipline is the root of discipleship, tanpa disiplin tidak mungkin menjadi seorang murid yang baik bagi Kristus. 22
Martin, Luther, Luther’s Works, (Devotional Writings II) Vol. 43, Helmut T. Lehmann, (general editor), Philadelphia : Fortress Press, 1999, pp. 193-194
HIDUPKU ADALAH IBADAH
33
Walaupun Luther terkenal sebagai raksasa pembaharuan, bapa reformasi, doktor teologi dan pengkotbah yang berapi-api, bukan berarti ia menempatkan dirinya seperti malaikat yang sedikit di bawah sempurna. Dalam surat-suratnya Luther sendiri mengaku kelemahannya. Misalnya dalam suratnya kepada Dr. Justus Jonas Pembantu Rektor di University Of Wittenberg, Luther menyebutkan kelemahan dan kemanusiaan dalam disiplin doanya. Sesaat setelah kematian putrinya Magdalen, Luther mengatakan kepada Jonas bahwa ia tahu bahwa seharusnya ia harus tetap berterimakasih dan berdoa walaupun faktanya putrinya telah meninggal. Hanya ia dan istrinya tidak bisa berdoa kalau tidak di dalam tangis dan duka (he and his wife can not do so (praying) without crying and grieving).23 Artinya Luther tetap berdoa walaupun berdoa dalam tangis dan duka. Sebegitu commit-nya Luther pada doa sehingga duka yang dalampun tidak bisa merenggut jam doanya. Dalam surat-suratnya kepada Melanchton, Spalatin dan Nicholas von Amsdorf, Luther beberapa kali juga meminta agar sahabatsahabatnya itu turut mendoakan dia.24 Karena tantangan, ancaman dan keletihan yang dihadapinya. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa doa adalah sentral teologi Luther. Bagi Luther Reformasi doa adalah bagian dari reformasi gereja. Luther berdoa dengan tekun. Namun baginya, doa tidak
23 We are unable to do this without crying and grieving in [our] hearts, or even without experiencing death ourselves. Martin, Luther, Luther’s Works, (Letters III) Vol. 50, Helmut T. Lehmann (general editor), Philadelphia : Fortress Press, 1999, p. 238 24 My constipation has become bad.ÿþ The Lord afflicts me. But pray for me, because I always pray for you, that God may strengthen your heart. Martin, Luther, Luther’s Works, (Letters I) Vol. 48, Helmut T. Lehmann (general editor), Philadelphia : Fortress Press, 1999, pp. 219 cf. 255, 257, 268, 276, 291, 316.
34
HIDUPKU ADALAH IBADAH
terpisah dari kerja. Dalam teologi Luther seperti yang dikutipnya dari Jerome, everything a believer does is prayer dan seperti kata orang bijak, he who work faithfully prays twice. Di sini kita melihat integrasi antara doa dan kerja yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dalam teologi Luther. IV.
Doa dan Kuasa Dalam Pelayanan Luther Dalam pelayanan Martin Luther kita tidak hanya melihat ketekunan dalam hal berdoa, tapi juga dampak dari hidup berdoa yang terimpartasi dalam pelayanan yang berkuasa (Yun: dunamai = power not authority). Sebuah peristiwa yang mendebarkan ketika Luther diperhadapkan dengan penyakit yang diderita sahabatnya yaitu Philip Melanchton, seperti dikutip Peter Wagner: Martin Luther anguish with the medical prognosis that his associate, Philip Melanchton, had a sickness that would take his life. Luther knelt, prayed for his recovery, and the condition was reversed instantly.25 Di sini dapat kita perhatikan bagaimana Luther berdoa dengan sungguh-sungguh dan Tuhan memberi kuasa yang dijanjikanNya pada orang percaya. Untuk berdoa dan menyembuhkan orang yang sakit (Mark. 16:18; Mat. 10:8; Luk. 9:1; 10: 9 dll.). Di pihak lain Luther juga mengakui dan merasakan kuasa roh jahat yang hadir mengganggu saat dia berdoa. John R. Rice dalam bukunya Asking and Receiving mengatakan demikian: Once as he prayed, satan become so real to him, taunting, tempting, interfering, that Martin Luther threw the ink bottle 25
Peter Wagner, How To Have A Healing Ministry In Any Church, Mandaluyong: OMF Literature Inc. 1993, pp.140-141. it is also written in Morton Kelsey, Healing and Christianity, New York: Harper and Row, 1973.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
35
at him. And the splash on the wall has long been shown to visitors to remind us of how real was prayer to Martin Luther.26 Di sini Luther mengakui bahwa setan itu begitu nyata, mengejek, mencobai dan menentang Luther. Sehinggal Luther menjadi kesal dan menyiram tinta botol ke dinding dan percikan tinta itu sampai sekarang sering ditunjukkan kepada pengunjung untuk mengingatkan betapa nyatanya peristiwa itu. Dalam katekismus besar (Large Catechism) Luther juga menyebutkan ancaman dari kuasa jahat tersebut dan tidak ada jalan lain yang dapat melindungi orang percaya dari sengat si iblis kecuali kuasa doa. Luther menuliskan: Kita harus menyadari bahwa seluruh keselamatan dan perlindungan kita hanya terletak dalam doa. Sebab kita terlalu lemah untuk menghadapi iblis. ….., cobalah pikirkan apa yang sampai saai ini dapat mencegah rencana-rencana iblis dan mengagalkan rancangan-rancangannya untuk membunuh dan memberontak demi untuk menghancurkan kita dan Kabar Baik juga? Tidak lain adalah doa. Doa ibarat dinding baja yang melindungi kita dari musuh-musuh kita. Kita juga hanya dapat melawan iblis dengan doa, dan dengan terus-menerus berdoa sedapat-dapatnya tanpa kendur. Sebab bilamana orang Kristen yang benar berdoa, “Bapa jadilah kehendakMu”, maka dari surga Allah menjawab, “ya, anakKu yang terkasih, kehendakKu pasti terjadi meskipun iblis dan seluruh dunia menentangnya”.27 Dalam surat Luther dari Coburg, tertanggal 4 Oktober 1530, kepada Louis Senfl seorang musisi kenamaan pada masa itu. Luther mengatakan:
26
John R. Rice, Prayer: Asking and Receiving, Murfreesboro: Sword Of The Lord, 1942, p. 280 27 Martin, Luther, Katekismus Besar, Op. Cit, Hal. 153.
36
HIDUPKU ADALAH IBADAH
For we know that music, too, (in addition to sound theology) is odious and unbearable to the demons. Indeed I plainly judge, and do not hesitate to affirm, that except for theology there is no art that could be put on the same level with music, since except for theology [music] alone produces what otherwise only theology can do, namely, a calm and joyful disposition. Manifest proof [of this is the fact] that the devil, the creator of saddening cares and disquieting worries, takes flight at the sound of music almost as he takes flight at the word of theology.28 This is the reason why the prophets did not make use of any art except music; when setting forth their theology they did it not as geometry, not as arithmetic, not as astronomy, but as music, so that they held theology and music most tightly connected, and proclaimed truth through Psalms and songs (See e.g., Isa. 5:1; I Sam. 10:5;).29 Dalam surat ini Luther bahkan meyetarakan teologi dengan musik (musik gerejawi). Iblis lari mendengar musik gerejawi sebagaimana iblis juga lari mendengar teologi (firman Tuhan). Hal ini juga sejalan dengan temuan Kenneth W. Osbeck, ia menjelaskan bahwa: Music is a gift and grace of God, not an invention of men. Thus it drives out the devil and makes people cheerful. Then other forgets all wrath, impurity and all devices. Again, the devil, the originator of sorrowful anxieties and restless troubles, flees before the sound of music almost as much as before the Word of God.30 Sebenarnya Ini adalah cerita dibelakang terciptanya lagu A Mighty Fortress Is Our God, buah tangan Luther. Lagu ini diciptakan 28
Luther, Martin, Luther’s Works, (Letters II) Vol. 49, Helmut T. Lehmann (general editor), Philadelphia : Fortress Press, 1999, p. 428 29 Ibid, p. 428 30 Bait awal dari lagu ini yaitu, “A Mighty Fortress Is Our God” dituliskan pada tiang kuburan Martin Luther, sang bapa Reformasi, di Wittenberg, Jerman. Kenneth W. Osbeck, 101 Hymn Stories, Grand Rapids: Kregel Publications, 1995, pp. 14-15
HIDUPKU ADALAH IBADAH
37
pada abad ke 15. Ini kemudian menjadi lagu nasional bagi Kristen Protestan di Jerman. Di sini dapat kita lihat bagaiman Luther mempolai pelayanan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru yaitu preaching, teaching, healing, casting out demons and diaconia. Seorang teolog bernama Derek Prince bahkan mengatakan demikian: Jadi sungguh mengherankan jika pelayanan ini sekarang diabaikan oleh gereja di banyak penjuru bumi. Penginjilan, terutama di dunia Barat, seringkali dilakukan dengan sikap seakan-akan setan itu tidak ada. Dengan sesantun mungkin saya katakan bahwa penginjilan yang tidak mengikutkan pengusiran setan-setan bukanlah penginjilan Perjanjian Baru.31 Sekarang pelayanan dengan doa dan kuasa yang dilakukan dan dialami oleh Luther nampak lebih marak dipraktekkan di gereja-gereja Pentakostal-Karismatik, nampaknya sekarang ini kita harus belajar mengakui bahwa khusus dalam topik ini mereka lebih Lutheran dari pada kita. Bercermin dari pergumulan Luther ini, aktualisasinya terasa agak berbeda dengan teolog modern yang mengaku Lutheran pada abad ke 18 dan sesudahnya. Bahkan terkesan topik tentang kehadiran kuasa jahat ini diabaikan dalam orientasi arus utama teologi Luther. Di telinga kita lebih sering nama Luther diasosiasikan dengan doktrin salvation by faith, sakramen, sola scriptura, sola gratia dan sola fidei. Tapi secara khusus topik tentang pelayanan kesembuhan dan pengusiran roh jahat, seperti yang dialami Luther di atas, tampak seperti asing dan seperti ‘sesuatu yang berada di luar sana’. Mungkin dalam hal ini kita perlu mewacanakan reformasi kedua bagi gereja-gereja Lutheran.
31
Derek Prince, Mereka Akan Mengusir Setan-Setan, t.t.p: t.p, 1998, hlm. 13
38
HIDUPKU ADALAH IBADAH
V.
Disiplin Doa Luther Apa yang menjadi disiplin doa Luther disebutkannya dalam salah satu suratnya. Surat ini dikirim Luther kepada tukang pangkas rambutnya yang juga adalah sahabatnya, yaitu Peter Baskendorf. Peter adalah salah satu teman lama dan teman terbaik yang telah mengenal Luther sejak umur 18 tahun atau bahkan lebih. Peter sudah sangat dikenal di seluruh kota sebaga ahli potong rambut, para frofesor dari Universitas juga kenal dan hormat padanya. Peter pernah membedah pangeran Joachim dari Anhalt, sewaktu pangeran ini jatuh sakit.32 Ini membuat Peter menjadi orang yang dekat dengan berbagai lapisan kelas sosial pada masa itu. Dalam surat Luther kepada Peter disebutkan: Dear Master Peter: I will tell you as best I can what I do personally when I pray. May our dear Lord grant to you and to everybody to do it better than I! Amen. First, when I feel that I have become cool and joyless in prayer because of other tasks or thoughts (for the flesh and the devil always impede and obstruct prayer), I take my little psalter, hurry to my room, or, if it be the day and hour for it, to the church where a congregation is assembled and, as time permits, I say quietly to myself and word-for-word the Ten Commandments, the Creed, and, if I have time, some words of Christ or of Paul, or some psalms, just as a child might do. It is a good thing to let prayer be the first business of the morning and the last at night.33
32
Martin, Luther, Luther’s Works, (Devotional Writings II) Vol. 43, Op. Cit, pp. 187, 193-194 33 Ibid, pp. 193-194
HIDUPKU ADALAH IBADAH
39
Dalam surat ini jelas sekali Luther menyebutkan bahwa ia menjelaskan perihal doa kepada Peter, persis seperti yang telah dia lakukan. Luther berdoa mengawali aktifitas di pagi hari dan dalam mengakhiri kegiatan di malam hari. Ini sesuai dengan apa yang ditulis Luther dalam Katekismus Kecilnya. Dalam tulisan lengkapnya kepada Peter, Luther meyebutkan bahwa ia membaca kata per-kata Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, Sepuluh Taurat, Kutipan Perkataan Yesus dan Paulus atau beberapa Mazmur. Dalam Luther Works Volume 43 jumlah halaman doa ini saja (tidak termasuk kutipan perkataan Yesus, Paulus dan Mazmur) mencapai 21 halaman (hal. 191-211 edisi e-book). Maka bisa kita bayangkan membacanya saja berapa menit waktu yang dibutuhkan, belum lagi merenungkannya. Namun Luther sendiri juga mengatakan: You should also know that I do not want you to recite all these words in your prayer.34 Ini menujukkan bahwa pola doa di atas bukan untuk diikuti sebabagi doktrin baru. Karena seperti surat di atas Luther berkata bahwa: “our dear Lord grant to you and to everybody to do it better than I” berarti bagaimana model dan panjangnya adalah sesuai dengan bagaimana Roh Kudus menggerakkan Peter untuk berdoa. Luther juga mengingatkan agar memberi ruang bagi Roh Kudus untuk berbicara dalam setiap doa. Ia menuliskan: I do not bind myself to such words or syllables, but say my prayers in one fashion today, in another tomorrow, depending upon my mood and feeling. I stay however, as nearly as I can, with the same general thoughts and ideas. It may happen occasionally that I may get lost among so many ideas in one petition that I forego the other six. If such an abundance of good 34
Ibid, p. 198
40
HIDUPKU ADALAH IBADAH
thoughts comes to us we ought to disregard the other petitions, make room for such thoughts, listen in silence, and under no circumstances obstruct them. The Holy Spirit himself preaches here, and one word of his sermon is far better than a thousand of our prayers. Many times I have learned more from one prayer than I might have learned from much reading and speculation.35 Dalam prakteknya Luther berdoa dengan demikian: When your heart has been warmed by such recitation to yourself [of the Ten Commandments, the words of Christ, etc.] and is intent upon the matter, kneel or stand with your hands folded and your eyes toward heaven and speak or think as briefly as you can: O Heavenly Father, dear God, I am a poor unworthy sinner. I do not deserve to raise my eyes or hands toward thee or to pray. But because thou hast commanded us all to pray and hast promised to hear us and through thy dear Son Jesus Christ hast taught us beth how and what to pray, I come to thee in obedience to thy word, trusting in thy gracious promise. I pray in the name of my Lord Jesus Christ together with all thy saints and Christians on earth as he has taught us: Our Father who art, etc., through the whole prayer, word for word.36 Bagi Luther berdoa harus penuh konsentrasi: As the proverb says, “Pluribus intentus, minor est ad singula sensus”—”He who thinks of many things, thinks of nothing and does nothing right.” How much more does prayer call for concentration and singleness of heart if it is to be a good prayer!37
35
Ibid, p. 198 Ibid, pp. 194-195 37 Ibid, pp.199-200 36
HIDUPKU ADALAH IBADAH
41
Dalam kutipan Marba J. Dawn dan John R. Rice di atas, disebutkan bahwa Luther berdoa 3 jam perhari. Ini nampaknya sangat wajar mengingat contoh doa yang dipraktikkan Martin Luther dalam suratnya kepada Peter ini juga cukup panjang. Walaupun demikian harus pula diingat bahwa Luther sendiri meyakinkan Peter bahwa Roh Kudus akan membimbing Peter berdoa lebih baik dari apa yang dilakukan Luther. Luther juga berulang-ulang mengingatkan bahwa contoh doanya itu bukanlah dogma yang kaku. Tapi dapat berubah hanya prinsipnya sebisa mungkin mengikuti Doa Bapa Kami (as general idea). Dan jangan lupa memberi ruang pada Roh Kudus untuk berbicara dalam saat doa kita. Menarik sekali Luther mengatakan, ‘one word of his sermon is far better than a thousand of our prayers’. Jadi dari data di atas kita dapat mengetahui bahwa Luther berdoa dengan membacakan Doa Bapa Kami dengan penjelasan yang tertera dalam Katekismus, dan kalau masih ada waktu dan ia merasa doanya belum cukup ia membaca Sepuluh Taurat,38 lalu kalau masih merasa doanya kurang, ia membaca Pangakuan Iman Rasuli, mengutip perkataan Yesus, Paulus dan membaca beberapa Mazmur. Tapi sekali lagi, ini kalau ia masih merasa kurang. Tapi kalau sudah merasa cukup Luther menghentikan doanya pada bagian manapun juga. VI.
Aktualisasi Disiplin Doa Luther Di tengah-tengah Gereja Protestant (Lutheran) di Sumatera Utara Saat Ini. Sewaktu penulis studi di Philippines seorang rekan penulis dari yayasan Itiga Batu Malang pernah mengatakan hal berikut ini kepada penulis: “Kalian Pendeta-Pendeta Protestant ini kurang berdoa”. Saya agak kesal dan bertanya kepada beliau tentang apakah yang menjadi 38
If I have had time and opportunity to go through the Lord’s Prayer, I do the same with the Ten Commandments. Ibid, p. 200
42
HIDUPKU ADALAH IBADAH
dasar kesimpulannya di atas. Saya bertanya dengan nada agak emosional tentang adakah data ilmiah hasil survey yang bisa mendukung kesimpulannya itu . Beliau mengatakan bahwa dia tidak memiliki data yang valid untuk mendukung pernyataannya itu. Apa yang dia katakan hanya sekedar observasinya saja. Setibanya di Indonesia dan mulai melayani sebagai dosen di STT Abdi Sabda sejak tahun 2003 apa yang beliau katakan tetap tergiangngiang di benak penulis, “kalian Pendeta-Pendeta gereja Protestant kurang berdoa”. Penulispun lalu melakukan survey demi survey tentang disiplin doa dan saat teduh sejak tahun 2004 hingga 2013 atau hingga saat ini. Tradisi doa Luther sebagaimana disebutkan di atas adalah minimal berdoa dan bersaat teduh di pagi dan malam hari. Tradisi di ataslah yang tampaknya diwariskan kepada umat Lutheran melalui ayat-ayat harian di pagi dan malam hari yang terdapat di almanak gereja-gereja Lutheran/UEM di Sumut. Inilah juga indikator yang digunakan peneliti tentang sejauh manakah baik umat maupun Pendeta-Pendeta gereja Protestant (Lutheran) masih setia mengikuti disiplin doa Martin Luther, setia berdoa/bersaat teduh di pagi dan malam hari. Penelitian pertama tentang sejauh mana aktualisasi disiplin doa Luther masih hidup di tengah-tengah umat protestant dilakukan sejak tahun 2004-2007. Lebih kurang 1600 jemaat ikut ambil bagian dalam survey. Hasilnya adalah hanya 37 % dari respondent yang setia setiap pagi dan malam hari berdoa/bersaat teduh. Mayoritas tidak melakukannya. Temuan di atas menunjukkan bahwa dalam hal mengaktualisasikan disiplin doa Martin Luther umat masih di tahapan buruk. Penelitian ke dua dilakukan dikalangan para hamba Tuhan di salah satu gereja Lutheran di Sumut pada tahun 2010. Jumlah HIDUPKU ADALAH IBADAH
43
respondent sejumlah 149 orang. Dari 149 respondent, 54 orang mengatakan bahwa mereka berdoa di pagi dan malam hari seperti yang menjadi disiplin rohani Martin Luther atau 36,2 %. Hasil ini tidak berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya bahkan lebih rendah sedikit. Survey menunjukkan bahwa tingkat disiplin doa para hamba Tuhan di atas masih berada di level buruk. Survey dengan tujuan yang serupa kembali dilakukan di tahun 2011 di kalangan 700 pelayan dari gereja Lutheran di Sumut. Dari 700 respondent hanya 22,5 % atau 157 orang yang dengan setia berdoa/ bersaat teduh di pagi dan malam hari. Data di atas menunjukkan kondisi kerohanian yang buruk yang jauh dari disiplin doa Luther. Survey yang sama dilakukan atas 28 respondent yang keseluruhannya adalah Pendeta-Pendeta gereja Lutheran. Indikator yang digunakan adalah kesetiaan/kedisiplinan berdoa dan bersaat teduh di pagi dan malam hari. Temuan survey sebagai berikut. 16 dari 28 respondent atau 57,14 % mengaku setia/disiplin berdoa di pagi dan malam hari. Sementara itu hanya tiga dari 28 respondent atau 10,7 % yang setia bersaat teduh di pagi dan malam hari. Kalau indikator setia/disiplin pada disiplin doa Luther adalah setia/disiplin berdoa dan bersaat teduh maka hasilnya adalah 33,92 % atau berada di kategori buruk. Setelah penulis menemukan hasil survey yang konsisten sejak tahun 2004 – 2013 perihal kesetiaan/kedisplinan berdoa/bersaat teduh tetap berada di kategori buruk penulis baru manggut-manggut dan setuju dengan apa yang rekan penulis katakan di Philippines sebagaimana sudah disebutkan di atas, “kalian Pendeta-Pendeta Protestant kurang berdoa. Survey menunjukkan baik umat maupun para pelayanan non pendeta juga para Pendeta-Pendetanya dalam hal mengikuti teladan 44
HIDUPKU ADALAH IBADAH
rohani Luther yakni setia/disiplin/teratur berdoa/bersaat teduh di pagi dan malam hari masih jauh panggang dari api. Hasil survey memperlihatkan bahwa umat/pelayan di gereja-gereja Protestant (lutheran) masih jauh dari disiplin rohani yang Luther wariskan. Dengan kata lain dalam soal aktualisasi doa Luther dikalangan pengikut-pengikutnya di gereja Protestant/Lutheran di Sumut bak jauh panggang dari api. Para bapak reformator termasuk Luther mengatakan more prayer more power, less prayer less power, and no prayer no power. Kalau power bisa diartikan sebagai kuasa (dunamai) dan juga pengaruh maka pantaslah gereja-gereja Protestant (Lutheran ) di Sumut kurang berpengaruh dalam kehidupan umat. Buktinya tingkat kehadiran jemaat ke gereja hanya di kisaran 45% ke bawah. Disamping itu, tingginya umat gereja Protestant (Lutheran) yang menjadi simpatisan gereja-gereja Kharismatik dan bahkan menjadi anggota gereja mereka semakin menunjukkan melamahnya pengaruh gereja atas mereka . Hasil survey menunjukkan bahwa akarnya terletak pada kurang disiplin, kurang setia, kurang teraturnya para pelayan-pelayan gereja Protestant (Lutheran) dalam berdoa dan bersaat teduh, kurang berserah kepada Tuhan yang empunya gereja. Akarnya terletak pada less prayer less power. Saran penulis berangkat dari temuan survey di atas gereja-gereja perlu semakin sering mengadakan baik itu retreat-retreat maupun pelatihan-pelatihan tentang hidup doa baik di kalangan umat maupun para Pendeta. Saatnya gereja-gereja Prostestant (lutheran) bangkit untuk menjadi more prayer and more power.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
45
Kepustakaan Brecht, Martin, Martin Luther, James L. Schaaf (translator), Philadelphia: Fortress Press, 1985 Kelsey, Morton, Healing and Christianity, New York: Harper and Row, 1973. Kung, Hans, On Being A Christian, New York: Image Book Doubleday, 1984 Luther, Martin, Luther’s Works, (Devotional Writings II) Vol. 43, Helmut T. Lehmann, (general editor), Philadelphia : Fortress Press, 1999 Luther, Martin, Luther’s Works, (Letters I) Vol. 48, Helmut T. Lehmann (general editor), Philadelphia : Fortress Press, 1999 Luther, Martin, Katekismus Besar, Jakarta: BPK GM, 2001 Luther, Martin, Luther’s Works, (Letters III) Vol. 50, Helmut T. Lehmann (general editor), Philadelphia : Fortress Press, 1999 Martin, Luther, Luther’s Works, (Letters II) Vol. 49, Helmut T. Lehmann (general editor), Marty, Martin, Martin Luther, New York: Viking Penguin, 2004 Marva J. Dawn, Morning By Morning, Grand Rapids: Eerdmans, 2001 Osbeck, Kenneth W., 101 Hymn Stories, Grand Rapids: Kregel Publications, 1995 Prince, Derek, Mereka Akan Mengusir Setan-Setan, t.t.p: t.p, 1998 Rice, John R., Prayer: Asking and Receiving, Murfreesboro: Sword Of The Lord, 1942 Russel, William R., Praying For Reform: Luther, Prayer and The Christian Life (Lutheran Voice), Minneapolis: Augsburg Fortress, 2005 Schwiebert, E.G., Luther and His Times, St. Louis: Concordia Publishing House, 1950 Wagner, Peter, How To Have A Healing Ministry In Any Church, Mandaluyong: OMF Literature Inc. 1993 Yancey, Philip, Doa: Bisakah Membuat Perubahan ?, Jakarta: BPK GM, 2012
46
HIDUPKU ADALAH IBADAH
KHOTBAH DALAM IBADAH: ARTI DAN MAKNANYA Pdt DR JR Hutauruk
Pendahuluan. Ketika kita mulai membaca judul tulisan ini “Khotbah Dalam Ibadah”, maka kita menanyakan akan arti dari kata “ibadah”, khususnya ibadah Kristen. Menentukan apa yang kita artikan dengan “ibadah”, bukanlah suatu pekerjaan mudah, namun kita sebaiknya memilih satu dari banyak pengertiannya, lalu kemudian menentukan apa yang membuat ibadah itu disebut “Kristen”. Banyak ibadah yang dilakukan oleh persekutuan Kristiani, lalu apakah itu semuanya wajar diberi label “Kristen”? Itulah beberapa pertanyaan yang sulit dijawab oleh para pengamat ibadah Kristen, seperti yang diakui oleh James W.White (2002: 2). Untuk memasuki masalah di atas, White memilih beberapa metode, a.l. metode fenomenologis, yaitu sebuah metode yang dapat menjelaskan apa yang biasanya dilakukan orang-orang Kristen kalau mereka berkumpul bersama untuk beribadah. Dan kemudian metode yang memeriksa beberapa kata kunci yang paling sering dipakai untuk menyatakan apa yang dimaksud dengan ibadah itu. Di bawah ini kita akan mencatat beberapa hasil metode fenomenologis dan etimologis itu, yaitu mencari beberapa kata kunci yang sering kita gunakan dalam memahami ibadah Kristiani itu, yang di dalamnya khotbah mengambil peranan penting, khususnya dalam gereja yang memakai bahasa local bahasa Batak (Toba).
HIDUPKU ADALAH IBADAH
47
Khotbah dalam ibadah Kristiani itu telah dilayankan oleh para pengkhotbah zaman Sending dulu di kalangan kaum Batak (18611940an). Bagaimana mereka mempersiapkan diri untuk menjadi pengkhotbah dalam ibadah Kristiani itu, akan menjadi cermin buat kita seperti apa khotbah dalam ibadah tempo dulu dan apa bedanya dengan khotbah yang kini dilayankan pada ibadah itu. Kita akan mengakhiri uraian ini dengan melihat perkembangan khotbah sekitar kehidupan beribadah di sekitar kita, dan kita mempertanyakan apakah setiap firman yang dikhotbahkan itu tetap berpusat pada firman Allah yang kita ambil dari Kitab Suci orang Kristen. Seberapa jauh kita sudah meninggalkannya karena godaan dunia global kita saat ini. I.
Beberapa Catatan.
1.
Beragam cara memberitakan firman Tuhan kita temukan dalam sejarah kekristenan. Salah satu ialah melalui apa yang kita kenal dengan “khotbah”. Berkhotbah di dalam sebuah ibadah minggu biasa atau pada hari-hari raya gereja tertentu berarti ikut bersama jemaat memasuki sebuah ibadah liturgis yang terususun rapi dalam kalender gereja. Intinya ialah mengingat peristiwa-peristiwa sekitar kehidupan Yesus Kristus, yang dimulai dari kebangkitanNya hingga kedatanganNya kedua kalinya ( eskatologi ). Kapan waktunya khotbah itu disampaikan dapat dilihat pada tata ibadah yang tertulis pada buku ibadah gereja tertentu (mis. Agenda HKBP ). Kalender gereja itu mencerminkan peristiwa- peristiwa sekitar hidup Yesus Kristus, yang dimulai dari “periode Paskah” (termasuk Kenaikan dan Pentakosta ), memasuki “periode
48
HIDUPKU ADALAH IBADAH
biasa”, yaitu masa sesudah Pentakosta, yang diikat oleh dua perayaan akhir: Minggu Trinitatis dan Minggu Kristus Raja ( HKBP : “Ujung Taon Parhuriaon”). Minggu-minggu antara Paskah dan Minggu Kristus Raja cukup panjang, yang dilanjutkan dengan Minggu Epifani; minggu-minggu sesduah Epifani adalah “periode biasa” kedua: minggu I dan II sesudah Epinafia, Septuaginta (70 hari sebelum kebangkitan), Sexagesima (60 hari sebelum kebangkitan), Estomihi, Invocavit, Reminiscere, Okuli, Letare, Judica, Palmarum dan Jumat Agung. Ibadah liturgis yang tersusun rapi dalam kalender gereja itu adalah sarana pastoral membimbing setiap orang yang beribadah itu memasuki riwayat hidup Tuhan Yesus Kristus. Liturgi atau pelayanan firman itu pada waktu Paskah mengedepankan kehadiran Kristus di tengah-tengah kita. Hari Kenaikan merayakan pemuliaan Yesus sebagai Tuhan atas gereja dan dunia. Hari Pentakosta dan minggu-minggu sesdudahnya merayakan tema pencurahan Roh Kudus dan pengukuhan kerygma dan gereja. Kerygma adalah pemberitaan mengenai kehidupan, kematian, kebangkitan, pemuliaan, dan kedatangan kembali Yesus Kristus di masa yang akan datang. Seorang pengkhotbah wajar membedakan kerygma dari didache, karena didache adalah pengajaran moral di tengah-tengah jemaat. Minggu Trinitatis dan minggu-minggu sesdudahnya adalah minggu-minggu untuk mengkhotbahkan ajaran atau doktrin gereja. Minggu Advend pertama memebri kesempatan untuk berkhotbah mengenai eskatologi. Minggu Advent kedua dan ketiga memusatkan diri pada persiapan kelahiran dan pelayanan Yesus. Minggu Advend keempat memusatkan diri pada kelahiran Yesus yang berada di ambang pintu sejarah, di HIDUPKU ADALAH IBADAH
49
mana Maria dan Yusuf jadi pusat perhatian / perenungan jemaat. Epifani menekankan tema baptisan Yesus dan perjalanan para orang Majus. Dan periode pasca Epifani berakhir dengan transfigurasi yang menyejajarkan pemuliaan Kristus dengan kedaanganNya ke Yerusalem (John S.McClure, Firman Pemberitaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia,2012,125). Ibadah Kristiani juga tidak lepas dari pengadaan gedung dan penataan ruang di dalamnya di mana ibadah itu dilakukan. Gedung gereja sebagai tempat ibadah sudah dikenal sejak abad ke-4; struktur gedung dan bagian interiornya ikut membantu tercapainya tujuan dari ibadah itu. Bagaimana seorang pendeta berkhotbah melawan semangat triumfalisme dalam satu gedung gereja “barok” yang megah – bangunan pada akhir abad pertengahan. Atau mengkhotbahkan imamat semua orangorang percaya dari atas sebuah mimbar “gothic”, yang tidak pernah digunakan siapa pun kecuali rohaniwan yang sudah diordinasi. Kedua bangunan itu akan mencerminkan bentukbentuk dan gaya ibadah kita. Sampai kini kita tidak mengenal bentuk gedung gereja megah seperti itu, mungkin karena tidak sesuai dengan spiritualitas khotbah yang dilayankan pada ibadah berbahasa Indonesia atau daerah (bahasa Batak). Atau tidak sesuai dengan suasana lingkungan masyarakat yang terdiri dari masyarakat petani dan masyarakat mayoritas bukan Kristen. Gedung gereja yang dibangun pada zaman Zending Jerman (1860an-1940an) sangat sederhana, namun memancarkan kekudusan dan penuh hikmat. Namun soal akustik dan penataan tempat duduk dan yang lainnya telah diperhatikan. Karena gedung gereja yang termasuk besar seperti gedung gereja di Pearaja,Tarutung atau di Balige, tidak butuh alat penegras suara, 50
HIDUPKU ADALAH IBADAH
karena soal akustik yang diperhatikan oleh para penginjil Jerman dulu. Mereka bertindak sebagai arsitektur. Kesulitan dalam beribadah mestinya dihindarkan oleh karena kesalahan arsitektur bangunannya, demikian James White (2002:78). 2.
Ibadah Kristiani itu juga ditentukan oleh pembacaan Kitab Suci dan khotbah, dan itu sebabnya ibadah itu sering disebut pelayanan firman. Seluruh ibadah itu disebut pelayanan firman. Dan kegiatan itulah yang oleh Gereja Protestan sebutkan ibadah hari Minggu, termasuk di dalamnya ekaristi atau Perjamuan Tuhan. Ibadah itu fokus pada pembacaan firman Tuhan, khotbah, dan perjamuan kudus; itulah ciri-ciri khasnya ibadah Krstiani di kalangan kaum Protestan. Kita dapat menemukan banyak definisi ibadah Kristiani dalam buku James White. Salah satu diantaranya ialah definisi seorang teolog Lutheran Peter Brunner (2002:7) dengan menggunakan kata “Gottesdienst” – bahasanya sendiri bahasa Jerman – menjelaskan apa artinya ibadah Kristaini itu. Kata itu mencakup baik pelayanan Allah kepada manusia maupun pelayanan manusia kepada Allah. Namun White menambahkan, bahwa kita harus melihat bahwa Allah berkarya dalam keduanya. “Allah sendirilah yang membuat ibadah itu suatu kemungkinan”, artinya “Pemberian Allah mengundang penyembahan manusia kepada Allah.” (2002:8). Pemberian diri Allah terjadi dalam peristiwa-peristiwa historis masa lampau dan juga dalam “realitas-firman peristiwa itu” pada masa kini yang didalamnya terdapat karya pemberitaan manusiawi kita sekalipun sebenarnya adalah perbuatan Allah. Brunner ingin melanjutkan pemahaman M.Luther tentang ibadah Kristiani itu
HIDUPKU ADALAH IBADAH
51
dengan mengutipnya: “bahwa tidak ada satu pun yang terjadi di dalamnya kecuali bahwa Tuhan kita yang pengasih itu berbicara kepada kita melalui firman-Nya dalam doa dan nyanyian pujian.” (2002:8) Berangkat dari definisi di atas kita dapat memahami lebih mudah terjadinya pelayanan firman itu di Gereja yang lahir di dunia Barat, yang dikenal dengan ritus Romawi di Barat, yang perkembangannya tidak selalu berjalan lurus, tetapi sering berbelok-belok. Dalam perjalanannya ada unsur baru yang lahir, tetapi ada pula unsur lama yang menghilang. Dan kalau kita bandingkan dengan tata ibadah atau liturgy (Agenda) yang kita kenal, maka unsur-unsur ini dapat kita kenal: salam, pembacaan Surat, Mazmur yang bersahut-sahutan, Injil dan khotbah, demikian juga nyanyian dan doa. Kemudian pada perkembangan selanjutnya kita mengenal ritus pembuka (introductory rite) seperti “introitus” (pembuka ibadah). Susunan itu hampir sama dengan tata ibadah yang kita pakai di Indonesia – di Sumut. Unsur-unsur lain seperti: Kyrie, Gloria in excelsi, dan collect ( doa singkat), dapat kita lihat dalam tata ibadah di gereja-gereja Protestan (Lutheran) di Barat. Perkembangan pada abad-abad Pertengahan yang perlu kita catat ialah muculnya unsur Pengakuan Iman Nicea yang diucapkan setelah khotbah. Mungkin penambahan ini adalah upaya untuk membedakan ibadah itu dengan ibadah di kalangan Arianisme, yang mengakui hanya keilahian Kristus tanpa kemanusiaan-Nya (2002: 145147). Semua perkembangan liturgi di atas bermuara pada pelayanan firman yang diwarisi abad ke-16 dengan sedikit perubahannya oleh para Reformator (M.Luther, Calvin, dll). 52
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Dalam bukunya “Formula Missae” 1523 kita melihat ketertarikannya pada unsur-unsur musikal yang alkitabiah: introitus, Kyrie, Gloria in excelsis (kemuliaan di tempat yang maha tinggi) , gradual (mazmur yang diucapkan berbalasan), dan alleluia ( pujilah Tuhan ) dan pengakuan iman yang dinyanyikan. M.Luther mendorong nyanyian jemaat masuk dalam pelayanan firman itu. Dalam bukunya “Deutsche Missae” ( Missa Jerman) 1525 M.Luther memperkenalkan lebih banyak nyanyian berbahasa Jerman dan pengucapan Doa Bapa Kami setelah khotbah. Terkadang M.Luther menyebutkan bahwa khotbah dapat mendahului seluruh ibadah. Yang penting bagi M.Luther ialah bahwa seluruh ibadah itu haruslah alkitabiah, berpusat pada firman Allah. 3.
Ada yang perlu kita catat di sini, bahwa pelayanan firman atau ibadah itu tidak terpisahkan dari sakramen perjamuan malam/ kudus, sehingga pelayanan firman atau ibadah itu bagi M.luther sekaligus adalah “pra-komuni”. Namun dalam perjalanannya yang melalui proses panjang, maka pelayanan firman atau “prakomuni” itu berkembang menjadi ibadah hari Minggu tanpa sakramen. Itulah yang terjadi pada umumnya dikalangan gerejagereja Lutheran: firman dan sakramen menjadi dua hal yang telah lama menyatu, tetapi kemudian seolah-olah terpisahkan, karena pelayanan perjamuan kudus yang langka . Keterpisahan ini bagi gereja-gereja kita berlatarbelakang Zending RMG tidaklah disengaja atau tanpa alas an teologis, hanya oleh karena alasan-alasan praktis, misalnya karena ketiadaan pelayan pendeta, yang ditugaskan melayankan firman dan sakramen itu. Namun bisa juga muncul keseganan melakukan lebih sering
HIDUPKU ADALAH IBADAH
53
perjamuan kudus, karena pengaruh teologi yang mengedepankan perasaan-perasaan kesalehan pribadi, yang introspektif- moralistik , sehingga sakramen perjamuan kudus itu mendapat tekanan berlebihan akan kemampuan manusia untuk membersihkan dirinya dari segala noda dosa. Sebaliknya, unsur sukacita dalam sakramen itu jadi sirna. Kalau kita simak dan perhatikan nyanyian-nyanyian rohani yang kita kenal dalam pelayanan firman di gereja kita, maka kita akan mendapat kesan bahwa kebanyakan, bahkan hampir seluruhnya nyanyiannyanyian itu bersifat introspektif dan sangat individualistis, yang mengekspresikan persaan-perasaan kesalehan. James White menemukan hal serupa di dalam Protestantisme Amerika masa kini sebagai pengaruh dari tradisi gereja abad ke-19 di Barat (2002:153). Dalam konteks gereja-gereja berlatarbelakang Zending RMG, lebih tepat kalau kita melihat itu sebagai bagian dari Tradisi kaum penginjil Eropa yang semuanya adalah anakanak pewaris semangat gerakan Pietisme, yang memang kental dengan individualisasi iman melalui pertobatan atau lahir kembali atau hidup baru. Iman Kristiani itu telah digeser oleh kesalehan pribadi dan juga kesalehan social ( misi, diakonia, pendidikan ). Tidak ada gunanya ajaran murni kalau tidak dibarengi oleh kesalehan social atau dikenal dengan sebutan “praksis pietatis”. 4.
Dalam pelayanan firman di gereja-gereja kita di Indonesia – Sumut, kita mengenal pembacaan Hukum Taurat. Kita tidak menemukannya dalam “Deutsche Messe” (1525) M.Luther atau gereja-gereja Lutheran kini. Namun di kalangan Reformator Anglikan (Anglican Reformers) 1525 kita menemukannya:
54
HIDUPKU ADALAH IBADAH
mazmur-mazmur introitus digantikan oleh Dekalog (2002:151). Hal serupa kita temukan juga dalam “Book of Common Prayer” (BCP) Amerika kini (2002:152). Pelayanan firman diberi nama “Firman Allah” , yang meliputi salam, doa singkat untuk penyucian, Dekalog atau Ringkasan Hukum, Kyrie, dan Gloria in excelsis, collexc untuk hari itu, dua atau tiga pembacaan, khotbah, Pengakuan Iman Nicea, doa-doa umat, pengakuan dosa opsional. Perubahan-perubahan serupa telah dibuat dalam BCP dari Negara-negara lain dan Alternative Service Book 1980. Alasan mengapa ada pembacaan Hukum Taurat dalam ibadah hari Minggu di gereja-gereja yang kita kenal di Sumut, jawabannya dapat kita temukan pada pengalaman para pelayan firman pribumi abad ke-20 lampau di Tanah Batak. Jawaban itu terbungkus dalam sebuah tradisi kekristenan Abad ke-17,18, yang kita sebut di atas dengan nama “pietisme” suatu panggilan berupa ejekan dari pihak ortodoks Lutheran atau Calvinis, dari mereka yang sangat gidih mempertahankan doktrin murni dalam gereja masing. Ada tiga tokoh pietis Jerman yang memengaruhi kehidupan rohani dan social kaum Kristen Protestan di Eropa Barat dan Britania Raya , a.l. Philip Jacob Spener (1635-1705), August Hermann Franke (1663-1727), dan Nikolas von Zinzendorf ( 1700-1760). 5.
Khusus tentang “khotbah” dalam konteks bahasa Indonesia dan Batak. Kalau kita simak uraian di atas maka dapat kita lihat bahwa khotbah tidak lepas dari ibadah, bahkan khotbah adalah bagian yang tak terpisahkan dari ibadah di gereja setiap minggu atau pada hari raya Kristiani. Tradisi berkhotbah diambil alih dari
HIDUPKU ADALAH IBADAH
55
tradisi Yahudi, yang berpusat pada Tora dan buku para nabi, yang menceritakan perbuatan-perbuatan Allah dalam sejarah. Khotbah lebih banyak berupa pengajaran dan itulah yang sering kita jumpai dalam Gereja zaman Perjanjian Baru, pengajaran yang berpusat pada kehidupan Yesus Kristus, yaitu pemberitaan tentang perkembangan komunitas baru di kalangan kaum Yahudi yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Mesias Allah, jadi sebuah khotbah Injili, maksudnya khotbah yang menyakinkan umat Yahudi tentang siapa Yesus Kristus. Inti khotbah itu ialah tentang kehidupan, kematian, kebangkitan dan pengharapan akan kedatangan Yesus Kristus. Gereja-gereja perdana tidak membedakan khotbah dengan pengajaran. Artinya pengajaran adalah khotbah. Khotbah sebagai pengajaran dilayankan bukan hanya pada ibadah minggu atau hari-hari raya gerejawi, tetapi pada setiap waktu dan di setiap tempat. Dan kalau kita perhatikan apa isi khotbah dalam ibadah hingga kini masih melanjutkan khotbah yang bersifat pengajaran itu. Khotbah yang bersifat pengajaran itu dapat pula kita lihat di tengah bahasa yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia. Kata “khotbah” adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia, yang nampaknya berasal dari bahasa Arab “khutbah” . “Kamus Umum Bahasa Indonesia” ( W.J.S.Poerwadarminta,2005:592) menjelaskan bahwa kata “khotbah” adalah padanan kata “pidato” , terutama yang menguraikan suatu ajaran agama. Jadi “berkhotbah” sama artinya dengan “berpidato”. “Mengkhotbahkan” sama artinya dengan “mengajarkan” atau “membicarakan dalam khotbah”. “Pengkhotbah Injil” adalah pendeta Kristen. Demikian dapat kita pelajari dari Kamus Umum tersebut. Bagi kita kaum Kristen, kita 56
HIDUPKU ADALAH IBADAH
membedakan “pidato” dan “khotbah”, sekalipun dalam khotbah itu kita juga “menguraikan ajaran Kristiani”. Jadi yang dapat kita ambil dari persamaan kata “pidato” dan “khotbah” ialah bahwa keduanya dipakai untuk menjelaskan ajaran agama yang kita anut. Setiap orang yang berkhotbah itu pada saat dia berkhotbah, dia tidak lepas dari ajaran gereja yang dia pelajari dan anut sebagai ajaran yang benar. Namun khotbah itu bukan suatu ajang pertempuran antara ajaran-ajaran yang dianut oleh si pengkhotbah. Seorang pengkhotbah di gereja harus sadar bahwa dia bukan mengkhotbahkan ajaran agamanya, tetapi mengkhotbahkan Yesus Kristus, Juru Selamat seluruh umat manusia. Itulah pada umumnya pandangan atau sikap setiap pengkhotbah di kalangan gereja-gereja Protestant di Indonesia. Padanan kata “khotbah” dalam bahasa Batak ialah kata “jamita” , namun kata “jamita” masih mengandung arti yang lain. Johannes Warneck dalam kamusnya 1905 memperkenalkan kata “jamita” yang mengandung beragam arti. Dalam pemahaman umum “jamita” berarti “berita” atau “cerita” dan dalam konteks gereja kata itu berarti “ berkhotbah” (“Predigt”). Dalam konteks bahasa Batak, kata marjamita sama artinya bercerita ( “erzaehlen” ) dan berkhotbah (“predigen”). “Manjamitai” artinya “menceritakan sesuatu” – “mamaritahon” atau “ berkhotbah untuk seseorang”. Tetapi juga “jamita” punya padanan kata seperti “sejarah”. Ini merujuk pada arti dari kata “jamita” sebagai “sejarah” Yesus Kristus sebagaimana disaksikan oleh para penyaksi dalam Kitab Suci orang Kristen, Perjanjian Lama yang diwarisi dari umat Israel dan Perjanjian Baru sebagai kitab yang mengumpulkan cerita-cerita kesaksian tentang Yesus Kristus, yang ditujukan kepada jemaat-jemaat HIDUPKU ADALAH IBADAH
57
perdana yang lahir di wilayah luas di Timur Tengah (Palestina, Turki, Arabia, Koptik-Mesir, Alzajair, dll). “Jamita Huria” itu masih berlanjut hingga kini. J.Warneck menyebut bukunya “Jamita Huria” (1913), yang menceritakan perjalanan Gereja dari zaman para rasul hingga “masa kini” (1913). Gereja menceritakan dan memberitakan serta menyaksikan bahwa Tuhan Allah telah mengutus seorang Juruselamat dunia yaitu Yesus Kristus, Mesias yang dituturkan dalam Perjanjian Lama. Yesus Kristus mengkhotbahkan diriNya sendiri sebagaimana dituturkan dalam kitab-kitab Injil dan dilanjutkan oleh orang-orang yang percaya padaNya, seperti diceritakan dalam Kitab Para Rasul dan pada surat-surat para rasul. Kedua kata itu adalah bagian dari bahasa manusia, bagian dari budaya manusia, yang hingga kini masih dipakai oleh para menuturnya. Kalau kita lihat kata-kata yang dipakai dalam dunia Barat, asal kelahiran para pengktobah Injil yang datang ke Indonesia, khususnya ke Tanah Batak di Sumatra bagian Utara, maka kita akan memperoleh pemahaman yang hampir sama seperti yang kita uraikan sebelumnya. Kata “Predigt” ( bahasa Jerman ) berasal dari bahasa kuno dunia Barat dulu, dari bahasa Latin “praedicatio” dan kata “Sermon” ( bahasa Inggris dan Perancis) berasal dari bahasa Latin “sermo”, artinya dialog, pembicaraan atau ceramah. Kedua kata itu sudah menjadi istilah teologis di kalangan gereja-gereja di dunia Barat, yang menyatakan pemberitaan iman Kristiani baik dalam kata-kata, maupun dalam perbuatan dan tingkah laku setiap orang Kristen. Itulah artinya secara umum, dan secara khusus adalah bentuk
58
HIDUPKU ADALAH IBADAH
pengungkapan melalui kata-kata sebagai bagian dari “Gottesdienst” / ibadah kepada Tuhan Allah. Pengertian kata “sermon” di kalangan gereja-gereja berlatarbelakang Zending Rhein Jerman (RMG atau kini VEM) sudah bergeser dari pengertian aslinya “khotbah”. Kita pergi “marsermon”, artinya kita pergi ke pertemuan para majelis jemaat ( a.l. sintua / penatua, guru, pendeta, dll) untuk mengikuti pertemuan para pelayan gereja yang akan mempersiapkan khotbah dan acara gerejawi yang akan mengisi ibadah pada minggu berikutnya, seperti nyanyian-nyanyian gereja, liturgy sesuai dengan agenda tahunan gerejawi ( buku tata ibadah ), warta jemaat, doa syafaat, epistle, nats khotbah, dll. Kalau kita merujuk pada kata yang dipakai dalam Alkitab Perjanjian Baru, maka kata yang paling dekat dari semua kata yang telah kita sebutkan di atas, adalah kata “memberitakan”. Kata itu digunakan untuk menerjemahkan kata “kerussein” ( bahasa Yunani ). Baiklah kita lihat beberapa teks Alkitab Perjanjian Baru bahasa Indonesia dan Batak. Mat 10:7 : “Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.” Bahasa Batak: “Alai borhat ma hamu mamaritahon hata on: Nunga songgop harajaon banua ginjang i!” Mk 13:10:”Tetapi Injil harus diberitakan dahulu kepada semua bangsa.” Bahasa Batak: “Alai ingkon jumolo do baritahononhon barita na uli i tu ganup bangso.” Mk. 6:12 “Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat”. Bahasa Batak: “Jadi borhat ma nasida marjamita mandokkon paubahon roha.”Di sini Bibel Toba memakai kata “marjamita”. Pemakaian kata ini akan menjadi HIDUPKU ADALAH IBADAH
59
perhatian dari Tim Revisi Bibel Toba yang dibentuk oleh LAI sejak beberapa tahun silam. Tetapi di sini nampak bahwa pemakaian kedua kata tersebut ( “mamaritahon” dan “manjamitahon” ) selalu berkonotasi “menceritakan” cerita tentang Yesus. Dan kalau kita telusuri ke zaman Sending di Tanah Batak (1850an1940an), maka bentuk bercerita itu sangat kental dalam khotbah-khotbah penginjilan kepada para pendengar yang bukan Kristen, kepada mereka yang masih menganut agama animis-magis. Para penginjil menceritakan isi Kitab Suci itu, sejarah umat Israel, tokoh-tokoh seperti Adam dan Eva, Abraham dan Lot, Nuh, Musa, para raja Israel, dll, di mana seluruhnya merujuk pada kedatangan Yesus Kristus ketengah umat manusia di dunia ini, termasuk kaum Batak. Khotbah pada zaman awal pengkristenan di Tanah Batak sering dilakukan sebagai pengajaran, di mana sang pengkhotbah bukan hanya berdiri di podium, tetapi kadang-kadang keluar dari podium mendekati para pendengarnya, serta mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh seseorang. Atau para pendengarnya disuruh menghafalkan secara bersama isi dari hukum Taurat. Berkhotbah itu bukan monolog tetapi dialogis, bukan hanya memberitakan, tetapi mengajarkan serta menghafalkan isi Bibel itu. II. 1.
60
Pendeta Pribumi Dan Khotbah Pada Zaman Sending RMG Dan Pasca 1940an Pdt Peter Hinrich Johannsen dari Seminari Pansurnapitu 1880an1890an. Sekolah Pendeta dibuka di Pansurnapitu 1883. Sejak awalnya Peter Hinrich Johannsen sebagai pendiri dan Sekolah Tinggi Pansurnapitu,Tarutung tersebut telah menyumbangkan HIDUPKU ADALAH IBADAH
beberapa buku untuk para calon pendeta itu, a.l. sebuah buku tentang “Podapoda Homiletik”. Ada tiga ragam khotbah yang diperkenalkan PH Johannsen kepada para siswanya selama beliau mengajar di Pansurnapitu (1877-1984): “jamita Mission”, “jamita Liturgik” dan “jamita Casual”. Para calon pendeta dipersiapkan sedemikian rupa selama proses pendidikan mereka di Seminari Pansurnapitu dan kemudian di Sipoholon sejak 1901. “Jamita Mission” ialah “parjamitaon tu angka na so tardidi” - khotbah kepada mereka yang dipersiapkan masuk Kristen, menjadi angota jemaat. Khotbah di sini lebih banyak bersifat pengajaran, bimbingan. “Parjamitaon Liturgik” adalah “parjamitaon tu angka naung tardidi”, artinya khotbah yang ditujukan kepada mereka yang sudah dibaptis. Dan “jamita Casual” adalah khotbah yang disamapaikan dalam beberapa kejadian, seperti khotbah pada saat baptisan, naik sidi, persiapan perjamuan kudus, pemberkatan nikah, pemakaman, dan pada pesta-pesta tahunan gerejawi (P.H.Johannsen: 3-4). Nats Kitab Suci untuk “jamita Mission” dan “jamita Casual” dapat dipilihkan oleh pengkhotbah sesuai dengan tujuannya. Tetapi nats untuk “jamita liturgik” / khotbah Liturgis telah ditentukan lebih dahulu , dan teks itulah yang harus dikhotbahkan. Daftar teks khotbah liturgis itu dapat diterima dari para “tuan pandita”, para penginjil Eropa, dan kemudian dapat mereka baca dalam buku gerejawi yang dikenal dengan nama “Almanak”. Teks itu dikenal juga dengan nats perikop, suatu tradisi yang telah lama dikenal di kalangan Gereja Barat. Khotbah ditengah gereja-gereja Injili itu yang berdasarkan perikop itu mencerminkan sebuah potongan atau pikiran dari Bibel, yang berulang sekali dalam enam tahun dikhotbahkan HIDUPKU ADALAH IBADAH
61
dalam ibadah minggu dan hari-hari raya gerejawi lainnya. Nats khotbah di kalangan gereja-gereja Batak sejak zaman Sending hingga kini masih dipersiapka dengan memakai buku Almanak Herrnhut “Losungen”, yang sudah terbit sejak 1731 di daerah Sakson, Jerman. “Jamita Liturgik” harus mengambil nats dari perikop yang sudah ditentukan, bukan dipilih oleh pengkhotbah. Para calon pendeta dipersiapkan juga dari bidang etika khotbah, siapa seseorang itu sebagai pengkhotbah. P.H. Johannsen mengingatkan mereka bahwa mereka adalah :”Partonaan ni Kristus do parjamita I, parhitean ni Debata. Hata ni Debata do mual pambuatanna, laho patorangkon nasa hapataran ni Debata, asa ingkon ido dioranna gumodang laho marjamita…” (hlm.11). Artinya, mereka adalah pembawa pesan Kristus, sebagai penghubung Allah. Dan mereka diingatkan, bahwa sumber khotbah mereka adalah firman Allah; mereka harus memperkenalkan Allah melalui firmanNya. Oleh karena itu firman Allah adalah sumber utama saat memperispakan khotbah. Setiap guru pengajar di Seminari Pansurnapitu dan kemudian di Sipoholon, selalu mempersiapkan para calon pendeta menjadi liturgis yang baik. Untuk itu mereka mengharuskan para calon pendeta itu menuliskan setiap bahan pelajaran mereka dalam buku catatan mereka. Itulah yang mereka buka pada saat mereka mempersiapkan diri dalam pelayanan mereka, termasuk pelayanan khotbah yang tiga ragam: jamita mission, jamita liturgik dan jamita kasual. Bagaimana respon para alumni Sekolah Pendeta Pansurnapitu dan Sipoholo pengalaman mereka , dapat kita lihat dari bukubuku catatan kuliah mereka, a.l. Ernst Pasaribu (alumni 18871888) , Jetro Hutauruk (1917-1919), Justin Sihombing ( 192362
HIDUPKU ADALAH IBADAH
1925) ), Gomar Sihombing (1933-1935) dan Joseph Simorangkir (1939-1941) 2.
Pdt.Ernst Pasaribu. Pdt.Ernst Pasaribu adalah angkatan Sekolah Pendeta 1887-1888 di Seminari Pansurnapitu. Selama pelayanannya tahun 1894 dan 1895, beliau telah menuliskan puluhan khotbah, yang menurut mata pelajaran tentang Homiletik tergolong pada “jamita liturgik”, yaitu khotbah pada hari Minggu yang teksnya sudah ditentukan lebih dahulu. Mengingat ajaran dari sang guru, beliau telah memperiapkan khotbahnya secara tertulis, sehingga beliau merasa lebih berani tampil berkhotbah karena di depannya sudah ada tersedia secara tertulis, sekalipun itu tidak pernah dibacanya. Tetapi pada saat dia menulis, dia sudah menemukan kata-kata yang tadinya sulit ditemukannya. Pada saat menulis, beliau sudah memersiapkan dirinya juag secara mental/rohani. Bagi Pdt.Ernst Pasaribu, khotbahnya itu harus menyampiakan firman Tuhan dan bukan pikiran dan pandangannya, atau memberitakan pengalamannya, tetapi hanya jalan untuk menyampaikan firman Tuhan sebagai tertulis dalam nats khotbah itu. Pusat ibadah Minggu itu ialah firman Tuhan yang dikhotbahkan. Pada masa pelayanan beliau, setiap pengkhotbah masih mengakhiri khotbahnya dengan kata: “Botima”. Itulah kata yang biasanya dipakai orang Batak mengakhiri pidato adat-budayanya di dalam pertemuan adat. Dan I.L.Nommensen pun pada konsep awalnya untuk menyusun Doa Bapa Kami dalam bahasa Batak, beliau belum memakai kata “Amen”, tetapi masih memakai kata “Botima”.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
63
Sebagai alumni angkatan kedua, Pdt. Ernst Pasaribu menerima kuliah bidang sejarah gereja. Dalam buku diktatnya, kita bisa membaca garis-garis besar dari sejarah gereja mulai dai abad I hingga abad ke-19. Beliau mencatat latarbelakang dari Katekhismus Besar dan Kecil dari Martin Luther: “… lumlam jala bodo situtu didapot angka na magodang dohot angka dakdanak ro di angka pandita. Jadi disurat Tuan Luther ma Katekhismus na bolon 1528 baen parsiajaran ni angka pandita dohot guru; disurat muse Katekhsimus Luther 1529 baen parsiajaran ni na torop dohot dakdanak, ingkon pampeonna be tu rohana didok.” ( pasal 26 ). Pdt.Ernst Pasaribu juga menuliskan lahirnya dan berkembangnya ajaran “Zwingli-Calvin” di Jerman, yang dikenal dengan kaum “Reformirt”, yang punya “Katehismus Heidelberg” yang disusun oleh dua professor tahun 1562. Ada tiga pokok ajaran Reformirt itu: “1.Taringot tu pardangolan na niahap ni jolma ala ni dosa; 2.Taringot haluaon sian I marhitehite Kristus;3.Taringot tu roha hamauliaten ala ni i.” Pdt.Ernst Pasaribu dan rekan-rekannya di kemudian hari mengetahui ragam dari kaum Protestant, a.l. kaum Lutheri dan kaum Reformirt, juga kaum Unirt. Tetapi para siswa Sekolah Pendeta itu diingatkan supaya khotbah dan pengajaran mereka tidak memilih salah satu dari aliran itu jadi titik tolak khotbah dan ajaran mereka, tetapi selalu berpusat pada firman Tuhan yang tertulis dalam Bibel. Namun untuk menjaga supaya jangan ada kebingugan dan kesulitan bagi kaum pengkhotbah dan pengajar, maka telah menjadi keputusan yang tak tertulis, bahwa Katekhismus Kecil Martin Luther menjadi buku pokok dalam hal pengajaran Kristiani. Dalam hal ini para pendeta Batak diingatkan supaya jangan mengkhotbahkan ajaran gerejawi abad 64
HIDUPKU ADALAH IBADAH
ke-16 itu, tetapi mengkhotbahkan firman Tuhan yang tertulis pada setiap nats khotbah yang sudah ditentukan itu. 3.
Pdt.Jetro Hutauruk (1881-1937). Pdt. Jetro Hutauruk adalah angkatan Sekolah Pendeta 1917-1919 di Seminari Sipoholon. Salah satu dari buku diktatnya diberi judul :”Hapanditaon”. Buku tersebut terdiri dari empat bagian, a.l. tentang “Homiletik” , yang dipelajari dari sang guru Tuan Mindermann 1918-1919. Yesus Kristus dan para rasul adalah pengkhotbah pada zaman mereka. Tidak seorang pun yang dapat menyamakan dirinya dengan Kristus, karena Dia sendirilah yang Dia khotbahkan: “…Ibana sandiri dijamitahon.” Tetapi setiap pengkhotbah dapat meneladani cara Yesus Kristus berkhotbah, yaitu ketika Yesus memberikan banyak contoh dan kiasan pada khotbahNya: “sitiruon do Ibana martudosan, marumpama.” Seorang pengkhtobah tidak mampu juga menandingi para rasul dulu, namun setiap pengkhtobah dapat meneladani mereka, ketika mereka mengkhotbahkan firman Tuhan yang selalu ada kaitannya dengan Perjanjian Lama. Tuan Mindermann sebagai guru Homiletik mengajarkan kepada para siswanya, bahwa ada tiga “patik” yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh setiap pengkhotbah: 1. “Naeng sintong jamita I, mandok: Ingkon hombar tu hata ni Debata.”; 2. Naeng domu na jinamitahon ni parjamita I tu parangena.”; dan 3. “Tubu sian rohana jamita i. Naeng panindangion do I, apala sian dirina. Dibahen I naeng ma marngolu sian Debata ibana jala marsihohot di haporseaon na sintong.” Untuk mencapai ketiga “patik” itu, seorang pengkhotbah harus sedini mungkin mempersiapkan khotbahnya:”Ingkon manipat saminggu do
HIDUPKU ADALAH IBADAH
65
pausungusungon jamita I tu manang dia pe nilangkahon. Molo songon I binahen, godang do isina dapot di ulaon hasotaon tu kuria.” Disamping itu, setiap pengkhotbah harus menuliskan khotbahnya; ini bukan saja berlaku kepada pengkhotbah muda/ pemula, “dohot do angka naung leleng marjamita manuratnurati jamitana”. Namun,ketika tiba saatnya mengkhotbahkan, baiklah disampaikan tanpa membacanya kalimat demi kalimat. Demikian dengan singkat tentang bagaimana para pendeta dulu mempersiapkan dan menyampaikan khotbahnya. Fungsi khotbah bagi para pendeta dulu sedemikian penting, karena kepada mereka diajarkan, bahwa khotbah menempati kedudukan yang terpenting dalam ibadah Kristiani:”Ala nunga gabe ulaon parginjang parjamitaan I di ulaon parmingguon di huria Protestant…” Saya menduga, tidak seorang pun dari kita kini mau menolak ketiga “patik” tentang “parjamitaon” itu, karena setiap pengkhotbah bukan hanya saluran firman itu, supaya firman itu sampai kepada para pendengar, tetapi seluruh hidupnya adalah khotbah pada saat dia berkhotbah. Apa yang dikhotbahkan itu harus seirama dengan “parange” setiap pengkhotbah; khotbahnya itu adalah kesaksiannya sendiri. Demikian identitas para pengkhotbah pribumi pada zaman Zending itu dan pada puluhan tahun berikutnya. Generasi mereka kini sudah tiada lagi, karena andaikata kata mereka masih hidup hingga kini, mereka sudah mencapai usia 100 tahun lebih. 4.
Pdt.Gomar Sihombing 1930an Pdt Gomar Sihombing adalah salah seorang dari angkatan Sekolah Pendeta yang belajar di Seminari Sipoholon tahaun 1933
66
HIDUPKU ADALAH IBADAH
– 1935. Pdt.Gomar Sihombing mencatat dalam buku diktatnya apa artinya “tohonan” ( jabatan ) pandita; di dalamnya kita menemukan infomasi tentang “Jamita” secara panjang lebar ( “Poda Tohonan”:185-327). Kepada beliau diajarkan, bahwa “tohonan hapanditaon” itu mencakup tiga hal atau unsur, yang satu sama lain tidak terpisahkan, dan setiap saat melekat pada pribadi si pendeta: “1.Parjamita / Pangajari; 2.Siradoti Sakrament; 3.Siparmahan Huria.” Ketiga tugas ini harus menjadi bagian dari kehidupannya, artinya dalam segala tindakan dan perilakunya, harus tercermin ketiga unsur jabatan kependetaan itu. Setiap saat dia adalah pendeta, jadi beda dengan jabatan “Ambtenar”/ pegawai negeri ( hlm.188), yaitu jabatan dalam bidang pemerintahan, yang melayani warga masyarakat. Jabatan “ambtenar” atau pegawai negeri itu menunuaikan tugasnya selama waktu kerja yang sudah ditentukan, misalnya dari jam 09.00 pagi sampai jam 17.00 sore. Selesai melakukan dinasnya, dia dapat melepaskan diri dari tugas pelayannya sebagai “ambtenar”, tetapi seorang pendeta tidak mengenal waktu dinas tertentu, seluruh hidupannya adalah dinas:”Pandita, manongtong do pandita! Ambtenar martingki; nang marhutasada, haruar sian gareja tong do pandita hita.” Pendeta harus memerhatikan setiap saat bahwa dia adalah pendeta ( 1 Tim 4,16; 2 Kor.13,5), termasuk memerhatikan di mana yang terbaik menyinggahi sebuah lapo ( kedai kopi ) untuk istirahat sejenak. Jangan pernah mengambil harta gereja atau memalsukan laporan keuangan gereja : “Dungo manjaga, mangaramoti ugasan huria. Unang nilaum arta ni huria. Marhatorangan sasude.” Menjauhkan diri dari segala macam godaan tidak mungkin dilakukan hanya dengan tenaga HIDUPKU ADALAH IBADAH
67
sendiri, karena itu seorang pengkhotbah harus meminta pertolongan dari Tuhan Allah. Seorang pengkhotbah harus dengan sukacita menjalin “parsaoran” ( komunikasi ) yang yang dengan sesame :”Patut sorta, saor parbarita na uli; tama tarida di ibana 1 Petr 3,8.9. Naeng idaon ni huria di parjamita sintong ni jamitana…” Dan banyak lagi nasehat yang harus diperhatikan setiap pengkhotbah, yang dicatat oleh Pdt.Gomar Sihombing. Bagi dia dan rekan-rekannya seangkatan dan angkatan-angkatan zaman Zending itu bahwa sikap pribadi itu sangatlah penting, karena setiap pengkhotbah harus mengkhotbahkan kebenaran Injil bagi para pendengar dan baginya sendiri. Khotbah itu sendiri adalah kesaksian nyata : “Naeng ‘pangkatindanghon’ do nasa jamita: Tuhan Jesus, asi ni rohaNa do na tau mangaroro hita sian hamagoan ni portibi on, I do na tuk pabadiahon, mangaramoti hita jala pamasukhon hita tu punguan na badia. Ido sihatindanghonon ni nasa jamitanta, hombar tu pangalehon ni teks ni jamita, na tinurpukhonna tu hita manang na tapillit.” Sang pengkhotbah sendiri ikut mendengarkan khotbahnya dan ikut mengakukannya: “Patut hita parjamita do jumolo (hian) manghalashon gogo ni hata I …, I pe asa tarjamitahon hita hata I marhiras ni roha.” Setiap khotbah mestinya khotbah yang memebri kehidupan, yaitu khotbah yang menegdepankan kebenaran yang datangnya dari Tuhan Allah:”Jamita dia do na tau pangoluhon? Sandok jamita na mangondolhon hatigoran na sian Debata…” Pdt.Gomar Sihombing mencatat bahwa setiap pengkhotbah harus jujur kepada teks Alkitab yang sudah ditentukan sebelumnya : “ … Intap na diboan, dipatorang, dipasangap jamitanta ‘teks’, intap I do dapotan baga-baga nang 68
HIDUPKU ADALAH IBADAH
jamitanta.” Seorang pengkhotbah harus bergumul mencari pesan dari teks itu: “Songon batu na pir do teks I, sienggeon ni tangiangta, … songon paruhum siparhurajaanta.” Atau dengan penjelasan lain: “Ia teks sijamitahononhon, naeng gabe songon aleale di hita, naeng gabe gurunta sipinsang, sipalumba , jala sipahosa hita.” Namun seorang pengkhotbah diingatkan pula, supaya bahasa yang dipakai janganlah mengeluarkan nada sindiran atau menghakimi: “Alai unang mangalingi jamitanta manang patudutuduhon pardosa i…” Seorang pengkhotbah harus memahami apa arti sebuah “liturgi” atau “Ulaon di langgatan”, karena dialah pelayan utama dalam sebuah liturgi itu:”Diparbadiai do haroro ni huria I tu jolo ni Tuhanna. Patut masa disi tangiang ni huria tu jolo ni Tuhanna, manghamham panopotion di dosa dohot panghatindanghon ni huria I di haporseaonna, angka i do diboan liturgis I tu jolo ni Debata, singkat, patujolo ni huria i. Laos pamangan ni Debata do ibana , manghatindanghon asi ni rohaNa, hataNa, pasupasuNa tu huria i.” (Poa Tohonan: 281-282 ). Artinya, pelayan liturgis itu memuliakan kedatangan jemaat ke depan Tuhan Allah. Pada ibadah liturgy itu kedengaran doa yang diucapkan jemaat ke hadapan Tuhan Allah, demikian juga pengakuan dosa dan pengakuan percaya jemaat. Semuanya itu dibawakan oleh liturgis ke hadapan Tuhan Allah. Dan pada pihak lain, dialah adalah mulut Allah untuk menyampaikan cinta kasih Allah, firmanNya dan bwerkatnya kepada jemaat. Uraian ini ibarat sebuah rumusan teologis tentang arti dan makna tata ibadah itu, yang seirama dengan pemahaman yang diungkapkan oleh kata “Gottesdienst” sejak era pelayanan dan kepemimpinan I.L.Nommensen 1860an dan para liturgis HIDUPKU ADALAH IBADAH
69
pribumi lainnya. Rumusan abad ke-19 dan awal abad ke 20 di atas di atas mencerminkan arti dan makna “Gottesdienst” seperti yang dirumuskan oleh teolog abad ke-20 bahkan abad ke-21 ini, seperti yang telah diuraikan di atas oleh Peter Brunner, yaitu pelayanan Allah kepada manusia maupun pelayanan manusia kepada Allah, atau ibadah sebagai pelayanan Allah kepada manusia dan Ibadah sebagai pelayanan jemaat di hadapan Allah. Ibadah itu dilayankan oleh seorang liturgis sebagai yang mewakili jemaat di hadapan Allah dan sekaligus sebagai “pamangan” / mulut Allah terhadap jemaat. Seorang litugis dalam buku Agende melakukan fungsi ganda di hadapan Allah dan bersama jemaat. Seorang pendeta sebagai liturgis siap mewakili jemaat di hadapan Tuhan Allah dan pada pihak lain siap mewakili jemaat di hadapan Tuhan Allah. Setiap saat seorang pendeta siap melayankan liturgy ibadah , karena pada saat itu dia dapat memberikan contoh kepada para sintua dan guru setempat. Sebab kalau tidak ada pendeta, maka liturgy itu harus dilayankan oleh guru atau sintua setempat. Dan seorang pendeta sedini mungkin telah mempersiapkan apa saja yang mengisi liturgy itu dari awal sampai akhoir kebaktian: “ayat, tangiang, sipajojoron I, bagabaga dohot angka na sing, nang angka ende ro di ayat ni angka enden na hombar tu bagian ni angka liturgy. Tongka dilanggatan pe ni luluan tusi, tusan, gabe ngolngolan huria i. …” Juga seorang pengkhotbah / liturgis harus mampu membantu jemaat menyanyikan lagu-lagu gereja yang sudah ditentukan itu, karena bisa saja sebuah buku Ende tidak selalu ada di tangan para majelis jemaat. Dengan kata lain, pengkhotbah yang paling mengetahui jalannya dan alurnya 70
HIDUPKU ADALAH IBADAH
perjalanan jemaat selama ibadah liturgis itu. Jemaat mengikuti alur liturgy dari awal sampai akhir. 5.
Pdt.Joseph Simorangkir (1910 – 1996). Pdt. Joseph Simorangkir adalah salah seorang dari angkatan Sekolah Pendeta di Seminari Sipoholon 1939-1941. Salah satu dari buku diktat beliau berjudul “Liturgiek”, di dalamnya ada mata pelajaran tentang “Homiletiek” atau “Poda Parjamitaon” (165-200). Angkatan ini yang terakhir belajar di Seminari Sipoholon, karena pada tahun 1940 (Mei) seluruh pendeta Jerman diperlakukan sebagai musuh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga mereka ditangkap dan dikeluarkan dari “Hindia Belanda” ( Indonesia kini). Kepada angkatan Sekolah Pendeta tersebut diberikan mata pelajaran tentang “Rhetorik”, yang diartikan sebagai “ hamaloon manghatahon na masa di hatopan” / seni menyampaikan peristiwa-peristiwa yang terjadi ditengah publik. Pada awalnya gereja di Eropa masih hidup tanpa pengaruh dari pengaruh “Rhetorik” itu, tetapi pada perkembangan kekristenan itu, maka kaum rhetoric masuk ke kekristenan,termasuk para tokohnya, dan kemudian jadi pemimpin atau teolog gereja,seperti Basilius dari Kaisarea atau Augustinus dari Hipporegius. Khotbah yang tadinya tidak mengenal “rethorik”, akhirnya disesuaikan dengan seni berbicara. Seorang pengkhotbah dan sekaligus seorang ahli pidato, telah menyusun kata-kata yang indah menjadi kalimat yang indah dan halus, yang dapat menambah minat para pendengarnya untuk mendengar dan menyimaknya. Di Gereja Barat keahlian berpidato itu diterima sebagian jemaat dan sebagian menolak. Beberapa nama pengkhotbah rhetoric yang
HIDUPKU ADALAH IBADAH
71
terkenal pada abd ke-19 di Eropa telah disebutkan dalam buku diktat tersebut, seperti Fr. William Kruemacher , yang pernah pendeta di Barman, pusat lembaga PI RMG, Spurgeon di London. Bagaimana keahlian seorang pengkhotbah rethoris dapat kita simak dari kutiban ini:”Gara jala hinsa rohanasida laho marjamita, malo marhata jala sursuran di hata, na malo mangatur sian pangalaho ni jolma dohot sian ragamragam ruhut na jumpang di hasiangan on.” Kalau halnya hanya sampai disini, belum ada alasan menolak unsur rethorik itu, demikian dijelaskan kepada para siswa Sekolah Pendeta itu. Tetapi apa dibaliknya, itulah yang membuat ada nasehat supaya angkatan sekolah pendeta itu waspada mengenali bahayanya yaitu “naeng mambuat roha ni jolma. Ala ni i ma umbahen na gok gabus dohot reherehe hata ni parretorik i.” Bahayanya ialah para rethorika itu ingin mengambil hati orang dengan beragam dusta dan kata-kata yang menjelekjelekkan. Seorang parjamita rethorik ialah Felicks, yang kepribadiannya digambarkan sebagai berikut, yaitu dalam sebuah buku sejarah Israel tulisan Yosephus: “’.… parroha hepeng do si Felicks, parroha pangahution jala na sai mambahen roharoha sandiri; borat situtu do pambahenna di halak Yahudi.’” Ketika Imam Yordan mengkritik khotbah rethorisnya dan perbuatannya, maka Yordan dibunuh oleh Feliks, dan karena banyaknya tuduhan dan pengaduan terhadap dirinya yang sampai ke Kaisar Klaudius , maka dia dipecat dari jabatannya . Berdasarkan penggambaran di atas tentang parjamita rethoris atau ahli pidato rethoris, maka diambil kesimpulan bahwa keahlian rethoris sedemikian rupa janganlah terjadi dalam jemaat. Alasannya ialah demikian: “ …ianggo pambuatan 72
HIDUPKU ADALAH IBADAH
ni hata ni jamita na masa di hita halak Kristen, I ma hata ni Debata, jala na tinuju na i, i ma naeng manogunogu roha ni jolma I tu hasintongan dohot tu hamubaon ni roha, dohot tu haporseaon…. Ala ni I ndang tarbahen so ginohan ni hasintongan dohot holong ni roha hata jamita na sinuru ni Debata.” Sumber penggalian khotbah ialah firman Allah, dan tujuannya ialah memimbing manusia menuju kebenaran dan pertobatan. Demikian sisi buruk dari “ruhut retorik” itu dalam kehidupan kaum Kristen sepanjang abad mulai dari abad-abad ke-IV hingga awal abad ke-20. Sisi negatif itu tidak serta merta dapat dibuat jadi alasan menolak “ruhut rethorik” itu dalam perjamitaon para luturgis dan parjamita di tengah jemaat. Itulah yang disarankan kepada para pendeta alumni Seminari Sipoholon melalui mata pelajaran Homiletik itu. Karena “rhetoric” itu adalah juga “silehonlehon partondion naung tinumpak ni Debata tu jolma i.” – rethorik adalah pemberian rohani oleh Tuhan Allah kepada manusia. Yang harus ditolak dan dijauhkan oleh parjamita ialah: “… I ma gabus dohot reherehe, huhut bisuk ni roha laho mangaithon laho mambuat roha ni jolma. Ingkon ias jala polin sian dosa jamita i. Tung na so jadi hata gertep ni ende dipangke parjamita I laho marjamita. Ingkon tongtong hombar tu lomo ni roha ni Debata binahen jamita I, ai tung hata ni Debata do sijamitahononna, sintong, tigor, tutu mardongan asi dohot holong ni roha na tau pangkeon ni tondi dohot hagogoon ni Debata laho manogunogui roha ni jolma sian haliluon tu hasintongan, tu parhusoran dohot hamubaon ni roha, tu haporseaoan, tupangkirimon na mangolu, anggiat marparange jolma I hombar tu lomo ni roha ni Debata. “ Seorang HIDUPKU ADALAH IBADAH
73
pengkhotbah hanganlah pernah mengucapkan kebohongan dan sindiran-sindiran, keahlian untuk mengambil hati orang. Khotbah itu harus tehindar dari segala macam dosa, harus mengkhotbahkan firman Allah secara murni, benar dibarengi cinta kasih demi membimbing manusia keluar dari kebohongan dan masuki kebenaran, serta membawa orang ke pertobatan dan iman, ke pengharapan, supaya manusia itu hidup sesuai dengan kemauan Allah. Seorang parjamita harus mengingat dua hal ini: 1. Percaya dan yakin akan kekuatan firman Allah sendiri, dan dengan demikian si pengkhotbah tidak akan menggantungkan dirinya pada kekuatannya berbicara seperti seorang ahli rethorik, tetapi pada kekuatan Allah, yang menggerakkan hati dan pikiran para pendengar khotbah (Ibr. 4,12); 2. Si pengkhotbah harus tahu betul apa yang hendak dikotbahkan, supaya jangan seperti nabi palsu (“panurirang pargapgap”), yang mengkhotbahkan buah hasil pikiran sendiri, tetapi sebaliknya yang harus dia lakukan, ialah memberitakan firman Allah sendiri Rom 15,18-19). Jika kedua hal tersebut sudah terpenuhinya, maka pengkhotbah itu layak disebut: “’Sijnergos Teu’ mandok ‘dongan pangula ni Debata do parjamita I …Huhut tardok ….’ulaula di tangan ni Debata do parjamita i. … I ma tutu hasangapon ni parjamita I na tau mambahen gomos ibana maradophon jolma, alai serep maradophon Debata na marmulia i” (Homiletik:176 - 177) “Hasangapon” atau Kehormatan seorang pendeta terletak pada pelayannya seumur hidup di depan Tuhan Allah tanpa mengandalkan keahlian rethoris dan kekuatan duniawi lainnya dan tanpa takut menghadapi kekuasaan dunia ini.
74
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Kepada angkatan 1939-1941 diajarkan pula bahwa inti sari dari khotbah ialah Tuhan Allah sendiri, namaNya dipanggilkan oleh Israel dan Gereja, jadi bukan hanya perbuatannya yang beragam itu dan kemudian “Patik” atau Hukum Allah sendiri. Jadi mengkhotbahkan nama pada Tuhan Allah ( Maz.22,23 dan itu pula yang disaksikan pertama “Patik” ni Debata (Kel.20,3). Kepribadian atau Kedirian Allah yang menjadi alamat doa,pujian dan kesaksian umat Israel dan Gereja tidak terpisahkan dari Hukum Tuhan. Dan Hukum Tuhan yang berlaku buat Gereja ialah Hukum Tuhan yang dipahami dalam Buku Perjanjian Baru, bukan lagi yang dalam Buku Perjanjian Lama, artinya “ndada be ulaon patik, alai tahe haporseaon di Jesus” (hlm 185-186), sekalipun kepercayaan atau iman terhadap Yesus tidak meniadakan “Patik”. Patik tetap berguna. Ada empat kegunaan “Patik” itu: 1. Kita mengenal dosa itu - “Tatanda dosa I”; 2. Patik adalah pengasuh atau “siparorot”; 3.Yang memberitahukan kemauan Allah –”sipaboa lomo ni roha ni Debata”; 4.Hukum Allah adalah hukum yang menghidupkan – ”patik na mangolu do patiki ni Debata (Homiletik: 185-187). Hubungan antara firman Tuhan dan hukum atau patik ni Debata perlu diperhatikan setiap pengkhotbah dan pengajar, hal itu seharusnya diingat saat mengajarkan atau mengkhotbahkan hukum Tuha kepada jemaat. Hukum itu tidak mampu membawa kelepasan dari dosa, tetapi sungguh bermanfaat mengingatkan setiap anggota jemaat agar hati-hati jangan jatuh ke dalam dosa. Hubungan antara firman Tuhan melalui karya pelepasan Kristus dan hukum taurat yang selalu dibacakan di depan jemaat setiap kali beridadah, harus menjadi perhatian para liturgis, dan itulah sebabnya, maka selama era HIDUPKU ADALAH IBADAH
75
pelayanan para pendeta HKBP angkatan pertama 1885 hingga angkatan 1939-1941, Hukum Taurat sebagai bagian dari Agende 1904 dan 1918 tidak pernah diganti dengan nats-nats Alkitab atau dari buku-buku lainnya. 6.
Pdt.Dr.Justin Sihombing (1890-1979). Bagi Justin Sihombing bukan kehadiran Tuhan Allah yang menonjol, tetapi persekutuan antara Allah dengan jemaatNya, persekutuan yang timbal balik. Posisi sedemikian rupa tercermin pada setiap mata acara ibadah itu. Dan karena itu setiap pengkhotbah harus menempatkan dirinya dalam persekutuan orang-orang seiman kepada Yesus Kristus. Jemaat tiba pada mata acara mendengar “jamita” – khotbah. Berkhotbah bukan sama dengan berpidato, atau berceramah. Karena dalam khotbah itu Tuhan Allah yang berbicara melalui pengkhotbah, yang menyampaikan rencana Allah dan berita kesukaan kepada jemaat. J.Sihombing mengingatkan jemaat dan terutama pengkhotbah, bahwa suara manusialah yang terdengar di sana, tetapi yang sebenarnya yang terdengar ialah suara Tuhan, karena Tuhan meminjam mulut sang pengkhotbah untuk menyampaikan firmanNya. Sebagai mulut Allah, maka pengkhotbah harus sadarkan diri akan beban yang ditimpakan padanya saat dia menyampaikan khotbahnya itu. Pengkhotbah harus mengenyampingkan pribadinya atau keoentingannya dan menegdepankan kehadiran Allah. Pengkhotbah harus “manompa”- menempa teks Alkitab yang dkhotbahkan itu sehingga Allah menyapa jemaat masa kini, dan bukan jemaat semasa teks itu lahir.
76
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Kalau kita memerhatikan apa arti kata “kultus” yang dianut J.Sihombing, maka semakin jelas bahwa pusat perhatian teologisnya, yaitu “parsaoran” atau persekutuan. Ada tiga ragam: “parsaoran ni angka na porsea, parsaoran ni huria dohot Debata, parsaoran ni ruas tu badan.” (hlm.46). Dan kalau dilihat dari arti dan manka firman Allah yang dibacakan dan dikhotbahkan, maka beliau menagtakan bahwa :” Sandok parsaoran ni Debata dohot huria I do tujuan ni parpunguan i. Dibahen I tung ingkon panangkasion di hata ni Debata do pusat ni parpunguan i.” Jemaat harus mengingat, agar jemaat jangan lebih banyak berbicara atau sama sekali hanya jemaat yang terdengar berbicara, tetapi Allah harus lebih banyak berbicara. Pada hal karena Allah menyapa jemaat itu, maka jemaat itu hidup: “Ndang jadi gumodang manang holan huria mangkuling, ingkon Debata do. Ai ala ni na pinangkulingan ni Debata do umbahen na mangolu huria i.” Dan kalimat di bawah ini semakin meyakinkan kita, bahwa jemaat yang membuka ibadah itu bukan Allah: “Ditopot huria I do Debata anggiat dipatatar Debata diriNa tu nasida, anggiat dipangkulingi jala diasii Ibana nasida”. Dalam persekutuan yang timbal balik antara jemaat dan Allah, jemaat harus juga menyediakan waktu untuk Allah berbicara: “Ndang sintong tujuan ni parpunguan I molo holan huria I na naeng mandok hata disi manang molo holan mangido manang paboahon hagogotanna manang mandok mauliate do nasdia umbahen na marpungu.” Atas dasar teologis di atas, maka seorang liturgis itu adalah: ”Wakil ni Debata paradophon jolma manag huria I”, dan
HIDUPKU ADALAH IBADAH
77
“wakil ni jolma manang huria I maradophon Debata. yaitu dihidupkan litugurgis dalam tua tahapan. 7.
Rangkuman. Baiklah kita ambil beberapa pesan dari pengalaman para pengkhotbah dulu yaitu para pendeta pribumi yang belajar Homiletik dan kemudian berkhotbah dan mengajar para warga jemaat di mana mereka ditempatkan. Pertama, teori dan metode berkhotbah itu telah mereka terima dan praktekkan selama masa pelayanan mereka. Dan pada waktu yang sama mereka sadar betul bahwa khotbah dan pengajaran itu mestinya sudah mereka berlakukan pada diri sendiri, baru mereka berani mengkhotbhkannya kepada jemaat. Introspeksi diri sangatlah kental dalam pelayanan firman yang mereka lakukan itu. Kedua, sebagai liturgis mereka tahu betul apa artinya liturgi itu atau susunan tata ibadah mingguan itu. Sebagai pengkhotbah, mereka mempersiapkan diri untuk menjadi liturgis. Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menyusun sebuah ibadah liturgis harus dipersiapkannya sedini mungkin. Membaca teks Alkitab ( epistel dan evangelium ) sedini mungkin, memilih nyanyian gereja yang sesuai dengan nama minggu tertentu, memilih doa sesuai dengan agenda gereja, memeriksa warta jemaat, dll. Ketiga, seorang pendeta harus mampu mempersiapkan khotbahnya sebagai “khotbah mission”,”khotbah liturgis” dan “khotbah kasual”. Artinya dia harus menyampaikan firman Allah pada bebagai situasi gereja dan situasi warga jemaat, firman Allah yang selalu mendampingi manusia itu sejak lahir hingga
78
HIDUPKU ADALAH IBADAH
akhir khayatnya. Itulah tugasnya yang utama dan terutama, dan bukan tugas administrasi sekalipun itu tidak dapat diabaikan. Keempat, pelayanan firman yang dikenal oleh para pendeta pribumi itu telah bergeser dari pelayanan firman zaman Reformasi M.Luther. Pelayanan firman yang berfungsi sebagai pendahuluan dari sakramen perjamuan kudus telah ditiadakan, karena alas an-alasan praktis, bukan karena alas an teologis. Artinya para pendeta pribumi dulu melihat bahwa firman Allah yang diucapkan melalui khotbah itu tidak terpisahkan dari firman Allah yang diterima melalui perjamuan kudus. III. Khotbah Dalam Ibadah Pada Masa Kini: Suatu Refleksi. Pertama: Musik Band. Ibadah Minggu di kalangan gereja-gereja Protestan pada 30 tahun terakhir ini sudah mengalami banyak perubahan. Tahun 1970an ibadah Minggu itu belum mengenal music band, bahkan memainkan sebuah instrument gitar pun masih diharamkan. Alasannya dulu ialah karena gitar itu adalah alat music duniawi, yang dipakai pada pestapesta secular atau oleh orang yang suka duduk di kedai sambil minum tuak. Jemaat masih menyukai ibadah yang nyaman, teduh, hening, tanpa suara music yang mengganggu keheningan beribadah. Tetapi kini 30 tahun kemudian, setiap jemaat yang berada di ibu kota kabupaten apalagi di ibu kota provinsi, kita sudah biasa melihat kelompok music band, yang umumnya dilayankan oleh kaum muda jemaat. Nyanyian gereja yang tadinya dinyanyikan dengan ritmus biasa sudah dirubah dengan ritmus music band itu. Nyanyian-nyanyian yang disukai ialah nyanyian yang dinyanyikan penuh dengan perasaan. Nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan dengan nada-nada yang luruslurus, tidak lagi sering terdengar. Suara music band telah HIDUPKU ADALAH IBADAH
79
mendominasi suara jemaat, seolah-olah yang bernyanyi adalah music band itu. Mungkin bukan mereka yang memainkannya yang salah, tetapi sound systemnya yang tidak memadai dan ruangan gereja yang tidak memadai pula, sehingga tujuan music band tidak tercapai, yaitu mendampingi jemaat untuk bernyanyi memuji, berdoa, bertemu dengan Tuhannya melalui pelayanan firman dari awal hingga akhir. Artinya, ibadah liturgis yang tadinya hening, kini sudah diganti dengan ibadah liturgis yang sedapat mungkin penuh dengan suara music. Jemaat diundang menjadi penonton dan pendengar music band, ketimbang mendengar firman Allah yang dibacakan sebagai Epistel dan teks Alkitab yang dikhotbahkan dari mimbar. Bagaimana menggunakan musik band itu, sehingga tujuan ibadah liturgis itu tercapai, yaitu jemaat berada di hadapan Tuhan Allah dan Tuhan Allah berada di hadapan mereka. Dan jemaat berpusat pada firman Allah, yang dilagukan, didengar dan dihayati; jemaat yang mengaku dosa, menerima pengampunan dosa dan menyatakan imannya melalui Kredo iman orang-orang percaya. Kedua: Arsitektur bangunan gereja. Dulu bangunan gereja itu sederhana tetapi indah dan membawa kesejukan bagi orang yang memasuki ruangan gedung gereja itu. Altarnya sederhana, hanya Agenda dan Alkitab yang terletak di atasnya. Podium tempat berkhotbah ada yang ditempatkan sebelah kiri atau sebelah kanan altar, tetapi ada pula yang berada di tengah, persis di belakang altar. Penempatan podium yang beragam itu adalah tradisi dari gereja-gereja Protestan asal kedatangan para pengkhotbah dulu ke Tanah Batak. Penempatan kelengkapan-kelengkapan gedung gereja itu bukan asal dilakukan, tetapi ada maknanya, ada pesannya. Di dalam ruangan gereja itu kita kadang-kadang melihat gambar80
HIDUPKU ADALAH IBADAH
gambar atau lukisan-lukisan tentang riwayat Yesus, kala lahir di Betlehem, di kayu salib, memegang seekor domba, memberi makan 3000 ribu orang, kebangkitan, kenaikan, dll. Semuanya itu juga punya pesan, yaitu supaya jemaat ingat akan karya penyelamatan Yesus di dunia ini. Kini tradisi itu tetap hidup, tetapi sering kita lihat wajah dalam foto-foto itu adalah wajah menampakkan orang selebriti, dan tidak lagi membawa pesan religi yang sederhana. Demikian pulalah Nampak pada bentuk bangunan gedung gereja yang kini bermunculan, yaitu gaya “Gotik” dan gaya “Barok”, keduanya menampakkan semangat triumfalisme raja-raja yang medirikan gedung gereja itu pada zaman kekuasaan mereka di dunia Romawi atau dunia barat kini. Mungkin mereka para arsitekturnya tidak terpikirkan ke sana, tetapi mungkin juga ada motif triumfalisme di situ, namun tidak dipikirkan tentang kemampuan jemaat untuk perawatannya yang jauh lebih mahal ketimbang bentuk gedung gereja yang tadinya sederhana, yang dibangun oleh para pengkhotbah dulu beserta jemaat-jemaat setempat pada awal abad ke-20 lalu. Hidup sederhana sebagaimana dipesankan oleh gedung-gedung gereja lama, mestinya kita pertahankan. Keheningan dalam ibadah patut kita pertahankan, dan untuk itulah pengadaan music band itu. Mungkin kita belum mempunyai arsitek gereja, tetapi siapapun yang sudah belajar di fakultas ilmu bangunan bisa mempelajari apa fungsi sebuah gedung gereja buat umat. Ketiga: Jualan Firman? “Jualan Firman?” Apa maksudnya? Apa firman Tuhan itu bisa dijual dan kepada siapa? Demikian reaksi seorang yang kebetulan membaca sebuah buku yang salah satu babnya mengajak orang menjual firman. Penulis menyaksikan banyak orang menjual firman di TV. Kiatnya HIDUPKU ADALAH IBADAH
81
memang ada, dan itulah yang dijelaskan penulis. Pertama, kita harus mengadakan riset pemasaran. Kita harus mengetahui, hendak masuk ke segmen mana? Seberapa besar pasar yang ada? Siapa pesaing kita? Siapa target pasar yang kita tuju? Dalam ilmu pemasaran ini disebut Segmentation & Targeting. Untuk menggaet konsumen menegah ke bawah cukup kalau ala Musa di bawah tenda. Tetapi kalau ingin menggaet golongan the have atau kelas papan atas, sebaiknya mencari hotel berbintang . Lokasi usaha ( baca jadi “gereja”) menetukan omset dari penjualan firman. Seperti layaknya orang duduk di hotel berbintang, santapan rohani yang disajikan pun harus diberi garnis, bukan hanya mempercantik santapan, tetapi bisa juga menambah enak rasanya, membuat para pelanggan lebih tertarik untuk menikmatinya. Garnis itu bermacam-macam jenisnya, mulai dari yang lucu sampai yang sedih. Yang penting customer bisa duduk gembira. Tujuan para penjual firman itu: Harus laris! Demikian penulis melukiskan sikap segolongan pemberita Injil di dunia ini, termasuk Indonesia: Rumah ibadah sudah merupakan suatu industri hiburan dengan omset miliaran dollar. Mereka saling bersaing dengan mengundang artisartis ternama untuk memberikan kesaksian maupun para penjual firman selebritis. Peralatan musiknya jauh lebih canggih dari konser atau tempat karaoke di mana pun juga. Pada bab berikutnya si penulis mengatakan, bahwa jualan Firman itu tidak membutuhkan pendidikan khusus. Yang penting punya diploma, dan yang paling baik dari universitas luar negeri, sehingga tidak begitu mudah dilacak keasliannya. Tiap pengusaha akan selalu menentukan target yang ingin dicapai, begitu pula dengan penjual Firman. Tentu lebih keren kedengarannya kalau si penjual firman mempunyai gelar “Pendeta Ribuan Umat”. Lihat saja iklan para 82
HIDUPKU ADALAH IBADAH
penjual firman di Koran tempat mereka mempromosikan diri: “Aku telah membaptis 3000 orang!” Untuk mencapai target sebaiknya dicari jalan untuk mencuri domba tetangga, karena itulah jalan satu satunya supaya target tercapai. Di Jakarta, demikian penulis, banyak pencuri domba “professional”. Mereka menuntut komisi untuk tiap jemaat yang bisa mereka gaet pindah ke gereja sang penjual firman. Komisinya tergantung dari kualitas domba yang digaet. Perlu diketahui bahwa jumlah domba itu adalah asset Anda yang Anda miliki itu, sebab formulanya adalah Income = jumlah domba x 10% + kolekte ( Mang Ucup: 17-24). Dari kritik reflektif di atas kita semakin sadar bahwa ibadah Kristiani itu sudah pindah tempat dari gedung gereja resmi ke gedung berupa hotel, yang disewa oleh “penjual firman” itu. Di sana tidak ada lagi ibadah liturgis dan khotbah liturgis, yang ada ialah sebuah pertunjukan agamawi, yang dipimpin oleh penjual firman tersebut. Di sana tidak ada lagi jemaat sebagai persekutuan, tetapi kumpulan orang-orang yang datang untuk mendapat penghiburan berupa ragam pertunjukan rohani itu. Para penjual firman yang trendi dapat memainkan sulap seperti beberapa tokoh agama di India, bisa menyajikan berbagai macam mujizat penyembuhan juga mampu menurunkan hujan serbuk emas maupun berlian. Dan para penjual firman mampu juga membersihkan hati dari segala macam dosa. Prinsip ibadah Kristiani yaitu “Coram Deo”, Di hadapan Tuhan Allah sudah digantikan oleh kehadiran sang penjual firman. Inilah kecenderungan paling mutakhir yang terjadi di dunia peribadahan banyak agama, termasuk agama Kristen. Menjual firman Tuhan sama halnya mengkhianati misi Yesus Kristus datang ke dunia ini. Sebab itu kita harus waspada supaya warga jemaat kita mengenal
HIDUPKU ADALAH IBADAH
83
keberadaan kebaktian-kebaktian yang dilakukan di gedung-gedung seperti hotel, yang dikritik oleh penulis “Mang Ucup”. Keempat: Khotbah Liturgis. Seluruh ibadah adalah pelayanan firman, dan khotbah adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan liturgis yang di dalamnya jemaat memuji Tuhan, berdoa kepadaNya dan menyaksikan kehadiran, penyertaan dan kemuliaanNya. Seorang pengkhotbah harus memberitakan firman Tuhan Allah saja dan bersama-sama dengan jemaat yang sedang berada dalam pelayanan firman atau ibadah itu. Karena pengkhotbah adalah pemberita firman dan sekaligus liturgis (HKBP: “paragenda”), maka dia adalah pembicara Tuhan kepada jemaat dan pembiacara jemaat di hadapan Tuhan. Maka dia sering disebut bahwa dia membawakan khotbah liturgis. Juga khotbah liturgis berarti bahwa teks khotbah itu diambil dari teks yang sudah ditentukan dalam kalender Gereja. Di tengah jemaat-jemaat berlatarbelakang Sending Jerman RMG pada awalnya pengkhotbah dan liturgis itu adalah pendeta ( penginjil Jerman ), tetapi karena alasan alasan praktis maka khotbah itu sering dilayankan oleh guru jemaat dan liturgy (HKBP:”Agenda”) dilayankan oleh seroang penatua (“sintua”) Pengkhotbah tidak dapat memilih teks khotbahnya sesuai dengan keinginannya, tetapi diambil dari teks Alkitab yang sudah ditentukan oleh gereja. Demikian refleksi kita terhadap kehidupan beribadah, khususnya khotbah dalam ibadah itu. Ibadah yang berpusat pada firman Tuhan. Seluruhnya ibadah itu adalah pelayanan firman, dan salah satu ialah pelayananan firman melalui khotbah.
84
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Kepustakaan: 1. James F.White, Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia,2002. 2. Rasid Rahman, Hari Raya Liturgi. Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja. Jakarta:BPK Gunung Mulia,2009. 3. John S.McClure, Firman Pemberitaan. 144 Istilah Penting dalam Homiletika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. 4. Johannes Warneck, Tobabataksh-deutsches Woerterbuch. Wuppertal-Barmen:
Verlag
der
Rheinischen
Missionsgesellschaft, 1906. 5. Johannes Warneck, Jamita Huria. Laguboti: Pangarongkoman Mission Laguboti, 1913. 6. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989. 7. Mang Ucup, Hamba Duit Hamba Allah. Yogyakarta: Kairos Books,2005. 8. Helge Nyman, Preaching (Lutheran) History, dalam : “The Encyclopedia Of The Lutheran Church” Vol III , editor:Julius Bodensieck. Minneapolis,Minnesota: Augsburh Publishing House, pp 1940-1949. 9. Gomar Sihombing, Poda Tohonan, dalam Buku Catatan hlm.185-330. 10. Jetro Hutauruk, Homiletik, dalam Buku Catatan hlm.3-70. 11. Joseph Simorangkir, Liturgie/Homiletik, dalam Buku Catatan, hlm.165-201.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
85
KARUNIA DALAM IBADAH DAN BERSYUKUR KEPADA TUHAN Batara Sihombing
Pengantar Umat yang percaya menyadari anugerah yang dilimpahkan Tuhan kepada mereka. Secara khusus karunia diterima dalam ibadah di mana Tuhan melayani umatNya dalam ibadah itu. Sebagai respon atas anugerah Tuhan yang diterima maka umat bersyukur kepada Tuhan. Bagaimana umat percaya mempunyai pemahaman yang tepat untuk bersyukur, dan menghindari praktek yang kurang tepat adalah uraian yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pertama akan dibahas bagaimana Tuhan melayani dan memberkati dalam ibadah, kemudian diikuti dengan pembahasan memberi secara alkitabiah. Bagian terakhir membahas praktek lelang yang banyak dipraktekkan oleh GerejaGereja Lutheran Batak di Indonesia. 1.
Karunia di dalam Ibadah Lutheran memahami bahwa beribadah adalah menerima karunia Tuhan. Di dalam ibadah Tuhan melayani umatNya. Kleinig1 dengan tegas mengatakan bahwa ibadah yang ilahi bukanlah kita melayani Tuhan tetapi Tuhanlah yang melayani kita. Karena tujuan utama ibadah di Bait Allah di Jerusalem adalah agar umat menerima 1
John W. Kleinig, The Glory and the Service. Worship in the Old Testament. A Transcript of the Lecturers Given by Dr. John W. Kleinig at Westfield, Cambridge, England, June 20-23, 1989, 49-51.
86
HIDUPKU ADALAH IBADAH
anugerah Allah. Demikian juga dengan ibadah kita sekarang, kita menerima anugerah dari Allah dalam pelayanan Allah itu. Inilah dasar atau pusat dari ibadah Lutheran. Bila kita baca Roma 9:4 di ayat ini disebutkan bahwa ibadah yang kita lakukan adalah pelayanan ilahi (divine service). Dan memanglah demikian pemahaman Lutheran bahwa peristiwa ibadah adalah peristiwa Allah Tritunggal melayani umat manusia. Jadi sangat berbeda dengan anggapan sebagian orang yang berpendapat bahwa mereka pergi ke Gereja untuk melayani Allah. Pertanyaan sekarang adalah mengapa kita harus beribadah kepada Tuhan? Inilah pertanyaan yang sering dikemukakan oleh umat manusia khususnya orang muda di dunia Barat, dan juga sebagian orang di masyarakat kita. Untuk menjawab pertanyaan di atas akan disajikan dua jawaban yang kontrast satu dengan yang lain dari dunia Perjanjian Lama. Pertama, bila kita pergi ke Babel dan bertanya kepada orang Babel, “Mengapa kalian beribadah kepada dewa-dewa kalian?” Mereka akan menjawab dengan jawaban yang singkat, jelas, dan tepat, “Bacalah Enuma Elish,”2 suatu kitab yang menceritakan awal dunia. Menurut kitab ini, pada mulanya sebelum penciptaan, sebelum segala sesuatu ada, maka yang ada hanyalah para dewa atau illah. Sistem yang berjalan pada waktu itu adalah bahwa para dewa dikelompokkan ke dalam dua kelas, golongan dewa senior dan golongan dewa junior. Dewa junior adalah budak dari dewa senior. Mereka bekerja melayani para dewa senior. Akan tetapi kemudian para dewa junior bosan dengan pekerjaannya sebagai budak yang terus menerus memenuhi perintah dan kebutuhan dewa senior. Dewa junior menyatakan kebosanannya sehingga diadakanlah perundingan, tetapi perundingan
2
John W. Kleinig, The Glory and the Sevice, 50.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
87
tidak membuahkan hasil yang akhirnya membawa kepada kesulitan dan konflik. Untuk jalan keluarnya, maka para dewa sepakat untuk membebaskan para dewa junior dari beban pelayanan di mana mereka menciptakan manusia yang akan menggantikan pekerjaan para dewa junior. Jadi menurut orang Babel bahwa manusia diciptakan untuk menjadi budak para dewa. Para dewa menjaga kesehatan manusia agar manusia dapat bekerja melayani dewa. Manusia bekerja untuk menyediakan dan memberi makanan para dewa sehingga dewa perlu menjaga kesehatan manusia itu agar manusia maksimal bekerja. Manusia yang sehat akan maksimal melayani para dewa, dan bila dilayani dengan maksimal maka kehormatan para dewa juga terpelihara. Jadi jelas dewa harus menjaga dan melindungi manusia itu agar manusia sehat dan mampu untuk melayani para dewa. Bila kita perhatikan maka orang Babel melakukan pekerjaan mereka sebagai pelayanan yang mereka lakukan untuk dewa mereka, sebagai budak kerja. Bagi mereka ibadah adalah adalah pelayanan kepada dewa. Nah, di sini orang Israel menggunakan istilah yang sama tetapi yang total sama sekali berbeda. Mazmur 50 menyaksikan perbedaan itu dengan menyodorkan suatu pertanyaan, “Mengapa umat Israel beribadah kepada Allah?”. Maka ayat 7-12 berbunyi sebagai berikut: Dengarlah, hai umatKu, Aku hendak berfirman hai Israel, Aku hendak bersaksi terhadap kamu: Akulah Allah, Allahmu! Bukan karena korban sembelihanmu Aku menghukum engkau; bukankah korban bakaranmu tetap ada di hadapanKu? Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu, sebab punyaKulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasa-Ku. Jika Aku lapar, 88
HIDUPKU ADALAH IBADAH
tidak usah Kukatakan kepadamu, sebab punya-Kulah dunia dan segala isinya (TB). Kemudian di ayat 13 disebutkan, “Daging lembu jantankah Aku makan, atau darah kambing jantankah Aku minum?” Jawabnya adalah tidak. Di ayat 14-15 dikatakan, “Persembahkanlah syukur sebagai korban kepada Allah dan bayarlah nazarmu kepada Yang Mahatinggi! Berseralah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku”. Jadi umat Israel menyampaikan kurban syukur kepada Allah. Apakah Allah membutuhkan ibadah umat Israel? Jawabnya adalah tidak. Siapakah yang mendapat manfaat dalam beribadah kepada Allah? Jawabnya adalah manusia, bukan Allah. Manusia mendapatkan keuntungan dengan beribadah kepada Tuhan. Inilah konsep teologi ibadah yang disuarakan oleh Perjanjian Lama. Konsep ibadah sebagai ibadah sebagai pelayanan Allah di mana manusia mendapat anugerah juga dapat dibaca di Perjanjian Baru, khususnya di Lukas 22 yang melaporkan institusi Perjamuan Kudus yang dilakukan Yesus Kristus.3 Laporan Lukas begitu penting karena penulis Injil lain tidak memuatnya. Demikianlah Injil Lukas 22:24-27 memberitakannya: Terjadilah juga pertengkaran di antara murid-murid Yesus, siapakah yang dapat dianggap terbesar di antara mereka. Yesus berkata kepada mereka: “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindungpelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan. Sebab
3
John W. Kleinig, “The Biblical View of Worship”. Concordia Theological Quarterly 58/4 (1994): 225-254.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
89
siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan”. Kalimat yang terakhir, “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” hanya ditemui di Lukas. Memang dalam Injil lain (Matius 20:20-28; Markus 10:35-45) juga memuat diskusi mengenai siapa yang terbesar. Hanya, kalimat terakhir ini ditemui di Lukas. Apakah arti kalimat itu, khususnya dalam konteksnya? Pertama, kita harus ingat bahwa ucapan itu disampaikan Yesus tepat pada saat Kamis Putih (Maundy Thursday). Yesus ada di antara para muridNya sebagai pelayan. Jadi dengan jelas Yesus menunjukkan pelayanannya dengan mati demi mereka. Kemudian bila kita lihat dalam konteks Perjamuan Kudus, konteks di mana ada meja, mereka yang duduk mengelilingi meja dan menunggu di dekat meja, apakah yang mau dikatakan Yesus? Di Dalam Perjamuan Kudus maka Yesus hadir tidak hanya sebagai tuan rumah, yang ditunggu atau dilayani oleh umatNya, tetapi pertama-tama sebagai yang melayani umatNya dalam perjamuan itu. Dia menunggu dan melayani mereka yang datang. Di dalam Perjamuan Kudus kita melihat dengan terang hakekat dari ibadah di mana Allah Tritunggal, melalui Yesus Kristus, melayani umatNya. Yesus melayani sepenuhnya setiap orang dengan memberikan tubuh dan darahNya. Perlu diperhatikan di sini hubungan antara kematian pengorbananNya dan Perjamuan Kudus dan pelayananNya kepada murid-muridNya. Berikut ini ada cerita yang menarik dengan ibadah di Singapura yang disoroti oleh Dr. Simon Chan, dosen di Trinity Theological College, dalam suatu seminar sewaktu saya studi di sana (1999-2003). Menurut Simon Chan, dengan semaraknya dan hiruk pikuknya ibadahibadah yang dilakukan oleh Gereja di Singapura, maka perlu
90
HIDUPKU ADALAH IBADAH
direnungkan cerita tentang seekor induk ayam yang sedang mengerami telurnya. Seekor induk ayam mengerami telurnya berharihari di sebuah keranjang bambu sebagaimana banyak ditemui di desa. Akan tetapi pada suatu hari datanglah seekor tikus yang mencari makan, tikus ini datang menyusup dari bawah keranjang tadi dan sampai ke telur yang sedang dierami. Maka tanpa disadari oleh induk ayam tadi, tikus tadi membocori telur dengan giginya dan menghisap telur yang dieraminya itu satu butir satu hari. Demikianlah hingga tujuh hari, habislah isi telur yang tujuh butir itu dihisap tikus itu. Induk ayam tidak menyadarinya, dan ia terus mengeraminya dengan harapan akan mendapatkan anak ayam dari telur yang dieraminya. Telur tidak akan berubah jadi anak ayam karena isinya telah kosong dihisap oleh tikus yang datang mencuri. Demikianlah, kata Simon Chan, kritiknya terhadap semarak, besar, dan megahnya ibadah-ibadah yang dia perhatikan terjadi di Gereja-Gereja Singapura, tetapi isinya telah kosong karena telah dicuri oleh iblis. Sebagai pengikut Pentakosta, Simon Chan khawatir orang yang datang beribadah dengan gembira, bertepuk tangan, semangat, dan sorak sorai akan pulang dengan kosong tanpa isi karena arti ibadah itu telah bergeser. Tentulah umat yang telah bekerja seminggu, penuh dengan tantangan, kesungguhan, dan kebosanan di tempat kerja akan gembira diminta untuk bersorak-sorak dan bertepuk tangan sewaktu ibadah karena aktivitas itu memberi mereka kelepasan secara psikologis dari kepenatan kerja. Orang yang beribadah bukanlah semata bersorak dan bernyanyi untuk Tuhan karena pusat ibadah menurutnya adalah Perjamuan Kudus di mana Tuhan memberikan tubuh dan darahNya sebagai anugerah keselamatan bagi umat. Dalam ibadah-ibadah yang diperhatikannya justru Perjamuan Kudus tidak atau jarang diselenggarakan. Akhirnya, umat datang beribadah tanpa HIDUPKU ADALAH IBADAH
91
menerima anugerah Tuhan melalui tubuh dan darahNya, mereka hanya asyik dan gembira untuk bertepuk, bersorak dan berteriak. Bukankah ibadah tersebut kosong? Jadi menjadi jadi jelas dalam ibadah umat dilayani oleh Tuhan dan mendapat anugerah dari Tuhan maka umat yang beribadah bersyukur kepada Tuhan. Ucapan syukur ini disampaikan dalam ibadah dan dalam kehidupan sehari-hari setelah ibadah itu. Dalam kaitan ini saya sengaja akan membahas bagaimana bersyukur atau memberi kepada Tuhan dan membahas praktek lelang yang banyak dipraktekkan oleh Gereja-Gereja Lutheran di Indonesia sebagai sarana memberi atau bersyukur kepada Tuhan. 2. a.
Beberapa Prinsip Memberi Secara Alkitabiah Memberi karena telah menerima Judul di atas mengindikasikan bahwa kita telah terbiasa memberi. Hanya, perlu kita sadari bahwa sebagai umat yang beriman kita sebaiknya memberi dengan membawa berkat. Mengapa? Sebab pemberian yang membawa berkatlah yang disuarakan Alkitab (2 Kor 9:6-15). Di dunia ini kita mengenal berbagai pemberian: pemberian suap, pemberian yang menjerat, pemberian yang terpaksa atau diperas, pemberian yang tidak tulus, dan lain sebagainya. Alkitab menegaskan bahwa orang percaya memberi karena sudah menerima. Demikianlah pengakuan raja Daud ketika memberi persembahan untuk pembangunan Bait Suci, “Sekarang ya Allah kami, kami mau bersyukur kepadaMu... Sebab siapakah aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberikan persembahan sukarela seperti ini? Sebab dari padaMulah segala-galanya dan dari tanganMu sendirilah persembahaan yang kami berikan kepadaMu (1 Taw 29:1314)”. Doa yang sama juga selalu kita sampaikan setiap ibadah Minggu 92
HIDUPKU ADALAH IBADAH
ketika Doa Persembahan, kita mengakui bahwa persembahan yang kita berikan adalah pemberian Tuhan. Kita hanya mengucapkan terimakasih melalui persembahan itu. Artinya, kita terlebih dahulu menerima berkat Tuhan, maka kemudian kita memberi syukur kepada Tuhan. Terlebih sebagai orang yang telah diselamatkan oleh Yesus dengan darahNya di kayu salib maka kita seharusnya terus bersyukur kepada Tuhan (Flm 1:1-3; 1 Kor 1:4; Flp 1:3-11). Kita memberi bukan seperti orang yang memancing, kita beri ikan kecil sebagai umpan dengan harapan kita mendapatkan ikan yang besar. Tuhan tidak perlu dipancing untuk memberkati kita karena Tuhan bertindak dengan dasar kasih dan memberi lebih dahulu, bukan karena terjebak oleh pancingan pemberian kita seperti terjebaknya ikan oleh umpan kecil yang disodorkan para pemancing. b.
Kerelaan hati memberi, bukan jumlahnya. Tuhan tidak melihat berapa banyak yang kita beri, tetapi Dia melihat kerelaan hati sewaktu memberi. Mata manusia boleh terpesona dengan apa yang diberikan manusia tetapi Tuhan melihat hati pemberi: tuluskah, relakah, dan sukacitakah? (bnd. 1 Taw 29: 1617; Mat 19:21-24; 2 Kor 9:6-15). Oleh sebab itu raja Daud dengan jelas mendoakannya, “Aku tahu, ya Allahku, bahwa Engkau penguji hati dan berkenan kepada keikhlasan, maka akupun mempersembahkan semuanya itu dengan sukarela dan tulus ikhlas” (1 Taw 29:17). Pemberian kita diterima bila hati kita rela mempersembahkan, “Sebab jika kamu rela memberi, maka pemberianmu akan diterima” (2 Kor 8:12). Jadi pemberian yang menjadi berkat adalah pemberian yang disampaikan dengan hati yang rela, tulus, dan sukacita dan bukan karena besarnya pemberian itu. Pemberian boleh saja besar bila diminta dengan cara pemerasan tetapi itu bukan berkat (2 Kor 9:5). HIDUPKU ADALAH IBADAH
93
Renungan, apakah kita mencari pemberian yang besar tetapi diberi dengan terpaksa atau pemberian kecil tetapi diberikan dengan kerelaan? Kita harus memilih mana yang membawa berkat! Dalam memberi Alkitab tidak hanya mengajarkan apa yang harus kita beri tetapi juga bagaimana cara yang tepat untuk memberi. Isi dan cara pemberian sama-sama penting. Seorang muda yang kaya (Mat 19:16-26) bertanya kepada Yesus apa yang perlu diperbuatnya agar beroleh hidup yang kekal. Semua perintah Allah telah diturutinya sehingga dia bertanya kepada Yesus, “Apa lagi yang masih kurang?” (ay 20). Nah, Yesus mengetahui hatinya, maka Yesus berkata kepadanya, “Jikalau kau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan brikanlah kepada orang-orang miskin...” (ay 21). Lantas, apa yang terjadi, apakah orang muda yang kaya itu melakukannya? Menurut ayat 22, orang muda itu meninggalkan Yesus dan sedih hatinya karena banyak hartanya. Di sini terlihat bahwa suara orang muda itu mengatakan bahwa dia mau melakukan perbuatan yang baik agar beroleh hidup yang kekal tetapi hatinya sendiri lebih tunduk kepada hartanya yang banyak itu. Suara mulut berbeda dengan suara hati. Yesus melihat hati orang muda itu, Yesus tidak terkecoh dengan perkataannya. c.
Memberi dengan murah hati Nasehat Yesus mengenai harta cukup jelas pada pasal sebelumnya (Mat 6:19-21). Janganlah kita mengumpulkan harta di bumi, tetapi marilah kita mengumpulkan harta di sorga. “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (ay 21). Artinya bila hati kita diarahkan ke Allah yang berada di sorga maka kita akan mengelola harta pemberian Allah itu sesuai kehendak Allah. Bagaimana caranya? Kita sanggup bermurah hati untuk memberi (Luk 94
HIDUPKU ADALAH IBADAH
11:33-34). Sebaliknya bila manusia asyik mengumpulkan harta di bumi maka di samping harta itu akan lenyap dirusakkan ngengat dan hilang, maka manusia itu akan tunduk kepada sifat-sifat duniawi yang kikir, mengabdi kepada harta/Mamon, dan penuh kegelapan (Mat 6:2224). Jadi orang yang percaya harus menyadari perkataan Tuhan Yesus, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kisah Para Rasul 20:35). Itulah sebabnya pepatah nenek moyang orang Batak juga menyuarakan suara yang sejajar di mana lebih sakit memberi namun tidak diterima dari pada meminta tetapi tidak diberi: Hansit mulak manjalo, hansitan mulak mangalean. Jadi jelas bahwa nilai memberi lebih besar bahagianya, dan bila ditolak lebih besar sakitnya. Pertanyaan sekarang, bagaimana dengan pengalaman Gereja kita? Apakah Gereja kita lebih berbahagia memberi dari pada menerima? Pemberian yang disampaikan dengan rela pasti jauh dari sifat untuk mengontrol pemberian itu. Kerelaan atau ketulusan adalah suatu ciri khas dalam bersyukur kepada Tuhan. Pemberian syukur kepada Tuhan tidak hanya rela tetapi juga sukacita, jauh dari sifat keterpaksaaan dan sedih. Itulah sebabnya tidak pada tempatnya bila pemberi masih mau mengontrol apa yang telah disampaikannya kepada Tuhan. Dalam perjalanan sejarah Gereja Batak, sikap mau mengontrol apa yang telah diberikan kepada Tuhan melalui GerejaNya telah menimbulkan banyak persoalan. Dalam Alkitab kita mengenal kasus Ananias dan Safira (Kis 5:1-11), suami-isteri, yang menahan atau mengontrol sebagian dari hasil penjualan sebidang tanah yang akan diberikan kepada Gereja Tuhan. Akibat dari ketidaktulusan mereka itu dalam memberi maka mereka tewas seketika. Ketidakrelaan dalam memberi dalam nats itu dipahami sebagai mendustai Allah (Kis 5:4).
HIDUPKU ADALAH IBADAH
95
d.
Memberi dari apa yang kita miliki. Kita perlu jujur dalam memberi sesuai dengan apa yang kita miliki. Artinya, kita hanya memberi dari apa yang kita miliki, bukan dari apa yang tidak kita miliki (1 Kor 8:12). Tidak perlu kita berhutang agar ada yang kita beri kepada Gereja. Tuhan tidak pernah meminta kita berhutang agar ada yang kita berikan kepadaNya. Bukankah Tuhan itu kaya? CiptaanNya-lah bumi dan segala isinya. Yang Tuhan lihat bukanlah jumlah yang kita berikan tetapi apakah hati kita jujur dan rela dalam memberi. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata bahwa pemberian seorang janda miskin, hanya dua peser, lebih besar dari pemberian orang yang lain yang jumlahnya lebih banyak (Matius 21:14). Oleh sebab itu kita tidak perlu malu atau kecil hati bila memberi sedikit selama itu berdasarkan apa yang kita miliki. Sebaliknya janganlah kita cenderung memberi sedikit padahal yang kita miliki banyak. Sikap demikian juga tidak jujur. Alkitab dengan tegas mendorong orang untuk memberi banyak sesuai dengan yang mereka miliki. Dan mereka “yang menabur banyak akan menuai banyak juga” (1 Korintus 9:6). Adalah hal yang sangat menyedihkan bila ada Gereja yang mengharuskan para orang tua untuk membayar iuran mereka ke Gereja terlebih dahulu agar anaknya dapat dibaptis. Dengan adanya keharusan untuk membayar uang iuran maka akan membuat orang tua yang hidupnya pas-pasan enggan membawa anaknya dibaptis. Dan bilapun terpaksa mereka membayar uang iuran yang mungkin telah beberapa tahun belum dibayar, boleh jadi mereka terpaksa harus meminjam. Pembayaran yang mereka berikan akan diwarnai keterpaksaan dan ketidakrelaan. Lebih hebatnya lagi, peristiwa baptisan yang merupakan peristiwa anugerah di mana Allah menerima manusia menjadi anggota kerajaanNya dengan tangan 96
HIDUPKU ADALAH IBADAH
terbuka telah bergeser kepada peristiwa ekonomi, bayar dulu iuran baru terima baptisan. Bagaimanakah Gereja berperan sebagai Tubuh Kristus yang mengundang orang datang menerima anugerah Tuhan? e.
Memberi tetapi berkelimpahan Memberi kepada Gereja bukanlah kerugian, dan orang yang memberi tidak akan kehilangan hartanya. Tetapi justru sebaliknya yang terjadi, “maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah (Amsal 3:10; 2 Korintus 9:8). Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kita agar hidup kita berkecukupan dan berkelimpahan. Tidak perlu takut akan rugi bila bersyukur atau memberi kepada Tuhan. Tidak perlu ragu memberi banyak untuk pelayanan Tuhan karena Tuhan telah berfirman bahwa Dia akan membuat hidup kita sampai berkelimpahan. Sangat perlu Gereja membina warga jemaat untuk ingat bersyukur atau memberi kepada Tuhan karena dengan cara itulah hidupnya akan berkecukupan. Jadi jelas, tidak ada alasan rugi untuk memberi kepada pelayanan Tuhan. Namun manusia itu akan rugi dengan sendirinya bila mereka lupa bersyukur kepada Tuhan melalui pemberian. Pendeta dan para parhalado harus membuang rasa enggan dan malu untuk membicarakan topik memberi kepada Tuhan dalam khotbah dan pengajaran mereka. Kesadaran warga jemaat untuk memberi dapat bertumbuh bila pembinaan atau pengajaran untuk memberi disampaikan dengan sunguh-sungguh. Kesadaran memberi tidak datang secara otomatis. Nah, kalau Gereja selalu kekurangan dalam dana pelayanan, maka yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana pembinaan yang diterima warga Gereja tentang memberi. Jangan-jangan banyak warga Gereja yang kurang paham mengapa memberi kepada Gereja. Untuk itu perlu mereka dibekali mengenai
HIDUPKU ADALAH IBADAH
97
arti dan manfaat memberi sebagai umat yang percaya. Kalau hati warga Gereja sudah paham tentang arti memberi maka Gereja akan jauh dari kekurangan. Marilah kita buka hati mereka, bukan dompet mereka, agar rasa syukur mengalir dengan baik ke pundi-pundi Gereja. f.
Gereja yang besar adalah Gereja yang murah hati memberi Hal yang sama perlu tetap disadari oleh Gereja agar jangan enggan untuk mengeluarkan dana bagi pelayanan. Gereja tidak akan rugi, tetapi justru berkecukupan. Gereja adalah Tubuh Kristus untuk pelayanan. Oleh sebab itu Gereja harus murah hati memberikan dana untuk mengalirkan pelayanaan karena dana yang Gereja terima dari Tuhan adalah untuk keperluan pelayanan, bukan untuk ditabung. Secara pribadi saya merasa sedih bila dalam laporan akhir tahun, banyak warga jemaat yang tidak bersukacita bila laporan keuangan tidak surplus besar. Gereja dianggap bank atau lembaga ekonomi yang diharapkan beruntung keuangannya. Tuhan tidak mendirikan Gereja sebagai badan ekonomi, tetapi sebagai tubuhNya yang mengalirkan kasih, termasuk kasih mengalirkan danaNya untuk melayani jemaatNya. Perlu dipahami bahwa Gereja yang besar bukan karena dananya besar, bukan pula karena gedungnya besar/mega church, dan tidak pula karena jumlah anggotanya besar. Gereja yang besar adalah bila pelayanannya besar (2 Kointus 8:1-7). Marilah kita dikenal bukan karena gedung kita yang besar, dan bukan pula karena anggota kita yang besar, tetapi biarlah orang lain mengenal Gereja kita karena pelayanan. Untuk apalah kita mempunyai gedung yang besar di mata manusia tetapi di mata Tuhan kita terlihat kecil karena pelayanan kita tetap kecil. Kita perlu meniru Gereja Makedonia yang miskin secara ekonomis tetapi kaya dalam memberi (2 Kor. 8:1-5). Kemurahan hati 98
HIDUPKU ADALAH IBADAH
untuk memberi perlu tumbuh subur dari warga Gereja dan pada saat yang sama mengalir deras juga dari Gereja bagi pelayanan Kristus. Kalau Gereja kurang bermurah hati memberi dana, bagaimana mungkin Gereja dapat menerima dana yang berkelimpahan? (bnd. 2 Kor 9:8). Prinsipnya adalah godang mangalehon godang dapotan, otik mangalehon bah otik dapotan. 3.
Pengumpulan Dana di Gereja Paulus dan Pengumpulan Dana Lewat Lelang di Gereja Batak.4 Di Alkitab kita menemukan bahwa Gereja mula-mula, yaitu komunitas Paulus, pernah menyelenggarakan proyek pengumpulan dana untuk kebutuhan pelayanan. Kita perlu membaca bagaimana Gereja di Alkitab melaksanakan pengumpulan dana agar Gereja kita juga dapat mengambil hikmat pada saat sekarang ini. Pada bagian ini kita pertama-tama membahas bagaimana Paulus mengajak jemaatnya untuk memberi dalam proyek pengumpulan dana itu. Selanjutnya dalam terang itu kita akan membahas praktek lelang di Gereja Lutheran Batak di Indonesia secara kritis sebagai usaha pengumulan dana. 3.1. Pengumpulan Dana di Gereja Paulus 3.1.A. Latar Belakang Paulus Mengumpulkan Dana A.1. Sidang Para Rasul Pengumpulan dana untuk jemaat di Yerusalem merupakan aktivitas pelayanan yang penting bagi Rasul Paulus dan jemaatjemaatnya yang non-Yahudi. Ini terbukti dengan banyaknya data yang
4
Batara Sihombing, “Paul’s Fund-Raising Project and the Practice of Auction in the Batak Church in Indonesia” dalam Asia Journal of Theology 51 (2003): 91-114. Bangalore, India: AJT Press.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
99
kita temui dalam surat-surat Paulus berkaitan dengan proyek pengumpulan dana itu (Rm. 15:25-27; 1 Kor. 16:1-4; 2 Kor. 8-9; Gal.2:10). Kemudian Lukas juga menyinggung beberapa peristiwa yang berhubungan dengan proyek dana ini (Kis. 20:16,22; 24:17). Dalam Galatia 2:10 kita menemukan bahwa ketika Paulus bersidang dengan para rasul yang lain di Yerusalem dia setuju untuk mengingat orang-orang miskin, suatu aspek pelayanan yang memang sunguh-sungguh dilakukannya. Dalam sidang itu juga Paulus ditetapkan menjadi rasul bagi orang-orang yang tidak bersunat (orangorang bukan Yahudi), sedangkan Petrus bagi orang-orang yang bersunat (orang-orang Yahudi, Gal. 2:7,9). Selanjutnya Paulus mulai melaksanakan kampanye pengumpulan dana ini dengan serius. Suatu pelayanan yang meminta waktu cukup lama dan melibatkan wilayah yang luas: Galatia, Makedonia, dan Akhaia (1 Kor. 16:1; 2 Kor. 9:1-5). A.2. Orang-Orang Miskin Gereja Yerusalem disebut sebagai “orang miskin” (Gal. 2:10; Rm. 15:26). Pertanyaan yang penting adalah apakah istilah itu berarti miskin secara finansial atau miskin dalam arti kesalehan (Ibrani: anawim). Di tempat lain gereja Yerusalem disebut “orang-orang kudus”; bahkan Roma 15:26 menyebut gereja itu lebih lengkap: “kepada orang-orang miskin di antara orang-orang kudus di Yerusalem”. Jadi sangat mungkin istilah “miskin” mengacu kepada kemiskinan dalam hal finansial dan kesalehan. Alasan mengapa orang-orang kudus di Yerusalem menjadi miskin tidak kita temui dalam surat Paulus. Untuk mencari jawabnya kita hanya bisa membuat praduga berikut ini. Sementara gereja Yerusalem semakin besar dalam jumlah maka sejajar dengan itu jumlah para janda juga bertambah (bnd. Kis. 6:1-7). Kemudian orang100
HIDUPKU ADALAH IBADAH
orang Yahudi yang lanjut usia dan berbagai wilayah pulang ke Yerusalem dan tinggal di sana sampai akhir hayat mereka. Mereka ingin dikuburkan di sana dengan harapan akan adanya kebangkitan. Demikian juga menurut laporan bahwa orang-orang percaya dan Galilea berziarah ke Yerusalem untuk menunggu kedatangan Mesias. Kemungkinan yang lain adalah musim panen yang buruk di Yudea pada sekitar tahun empat puluhan dalam abad pertama Masehi (Kis. 11: 27-30). Selanjutnya penganiayaan yang dihadapi Gereja Yerusalem dan penguasa Yahudi mungkin juga turut menjadi faktor penyebab penderitaan ekonomi dan sosial mereka. Yang terakhir, pengalaman dalam hidup “kasih ala komunisme”5 selama hampir dua puluh tahun juga mengakibatkan kemiskinan. Orang-orang percaya yang hidup setelah pengalaman Pentakosta yang dramatis mengorganisir hidup bersama mereka dalam pengharapan akan akhir zaman. Mereka saling berbagi milik masing-masing (Kis. 2:42-47; 3:6; 4:32-5:11). Di dalam komunitas yang demikian dapat dimengerti bahwa mereka yang sebelumnya memiliki harta akan segera menjadi miskin. Sekarang menjadi jelas bahwa kita tidak bisa memastikan mana penyebab utama yang membuat Gereja Yerusalem miskin. Kesimpulan yang dapat ditarik untuk sementara mungkin kombinasi dan berbagai keadaanlah yang membuat gereja itu miskin. 3.1.B Tujuan Pengumpulan Dana B.1. Pertolongan Untuk Orang Miskin Paulus bertujuan menolong orang-orang miskin di Yerusalem (Gal. 2:10; Rm. 15:26). Pertolongan ini dimaksudkan untuk 5
B. Holmberg, Paul and Power: The Structure of Authority in the Primitive Church as Reflected in the Pauline Epistles. Philadelphia: Fortress Press, 1978, hl. 35.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
101
menampakkan kasih Allah yang telah diterima jemaat Paulus di dalam Kristus (2 Kor. 8:8-9,19; 9:12-15). Mereka yang telah merasakan kasih Allah terpanggil untuk mengasihi Allah melalui ucapan syukur dan ketaatan (Rrn. 8:28; lKor. 8:3; Gal. 5:6) ini berarti pengumpulan dana tidak hanya sebatas ungkapan kasih kepada saudara seiman tetapi juga sebagai ungkapan syukur kepada Allah (2 Kor. 9:12). Pelaksanaan pengumpulan dana ini bagi Paulus benar-benar suatu kepedulian untuk mereka yang membutuhkannya. Faktor utarna dan kepedulian mi adalah kasih (Rom. 12:9; l Kor. 13). Paulus merninta jemaatnya agar tidak memberikan bantuannya dengan terpaksa tetapi dengan sukacita (2 Kor. 9:7). Kasih, menurut Paulus tidak hanya sekedar sikap baik kepada orang lain tetapi juga mencakup itikad untuk bertindak. Perlu dicatat bahwa perhatian kepada kaum miskin adalah ciri khas hukum dan tradisi Yahudi (Ul. 15:11; 24:10-22; Mzm. 10:2; 12:5; 16:6; Yes. 3:14-15; 10:1-2; 58:6-7). Di dalam Perjanjian Lama Allah dipahami sebagai Go’el (“pelindung”) dan kaum papa seperti anak yatim-piatu, para janda, dan orang miskin (Ams. 23:11; Yer. 50:34; Mzm. 149:9). Dalam Yudaisme pemberian derma dipahami sebagai ungkapan yang penting akan perjanjian kebenaran (Dan. 4:27; Sir. 3:30; 29:12; 40:24; Tob. 4:10; 12:9; 14:11). Derma dimengerti sebagai aspek terpenting dalam memenuhi hukum Taurat. Seorang yang melakukan pemberian derma berarti melakukan pekerjaan Allah. Para pemberi derma dijanjikan akan mendapat hidup yang baik sedangkan yang sebaliknya akan mendapat hukuman6. Akan tetapi, motivasi dalam pelaksanaan derma di Yudaisme berbeda dan proyek dana Paulus. Kepedulian untuk orang miskin dalam proyek Paulus tidak didasarkan pada etika Yahudi tetapi
6
Nickle, Paul’s Collection. Philadelphia: Fortress Press, 1966, hl. 94-95.
102
HIDUPKU ADALAH IBADAH
didasarkan pada pengajaran dan pelayanan Yesus sendiri (Mat. 5:3; 5:47; 11:5; 25:34; Luk. 4:18; 19:2; Mrk. 12:41; 10:21; Yoh. 13:29). Dalam hidupnya Yesus tidak hanya peduh kepada kaum miskin tetapi dia juga secara sukarela hidup dalam kemiskinan (Mat. 8:20. Mengingat bahwa Paulus mengklaim dirinya sebagai peniru Kristus di segenap cara Kristus hidup (l Kor. 4:10-13; 4:17), dimana dia juga mempersembahkan segenap hidupnya melayani Tuhan (l Kor. 2:2; Flp. 1:21-24), maka cukup logis beranggapan bahwa kehidupan Paulus sebagai pemberita Firman yang merana juga didasarkan pada kehidupan Kristus yang miskin secara sukarela (l Kor. 4:11-13). B.2. Kesatuan Gereja Pengumpulan dana Paulus dimaksudkan untuk menampakkan kesatuan antara orang Kristen Yahudi dan KristenYunani. Galatia 2:114 menginformasikan bahwa ada dua kubu gereja pada waktu itu. Surat 2 Korintus 2:8-9 dan Roma 15: 25-32 memaparkan bahwa Paulus memahami proyek bantuan ini sebagai sarana untuk mempromosikan kesatuan dari dua kubu Gereja yang ada. Konsep pengakuan Paulus terhadap satu Tuhan, satu tubuh, dan satu keluarga dengan jelas berada di belakang gagasan kesatuan gereja ini (Ef. 4:1-6). Proyek dana bagi Paulus mempunyai arti yang oikumenis. Dia membandingkan partisipasi jemaatnya di dalam proyek tersebut dengan pengorbanan Kristus bagi umat manusia (2 Kor. 8-9). Yang utama bukanlah uangnya dan bukan pula jumlahnya, tetapi penampakkan kesatuan Gereja. Cukup menarik melihat konsep Paulus sendiri tentang gereja. Kata ekklesia7 yang digunakannya berkaitan dengan konsep pertemuan umat Allah dalarn Perjanjian Lama. Siapa 7
K.L. Schmidt, “ekklesia” dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Kittel. Volume 3. Michigan:Eerdmans, 1965, hl. 502-505.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
103
yang dipanggil oleh Allah maka masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus. Orang Kristen adalah umat Israel (Gal. 6:16). Kesatuan mereka adalah solidaritas yang organik: satu tubuh di dalam Kristus (Rm. 12:1; l Kor. 10:17; 12:12; Gal. 3:28) atau tubuh Kristus sendiri (l Kor. 12:27). Konsep tentang anggota satu tubuh terlihat berada di belakang proyek dana Paulus yang menampakkan kesatuan ini. 2.1.C. Sifat Proyek Pengumpulan Dana Dalam membahas “sifat” proyek pengumpulan dana kita berupaya menentukan sikap yang dikehendaki Paulus dari jemaatnya dalam berpartisipasi di dalam proyek tersebut, yakni sukarela dan keseimbangan. Sedangkan bagaimana jemaat-jemaat itu ikut dalam pengumpulan dana maka Paulus meminta mereka agar menyisihkan penghasilan mereka setiap minggu. Ketika Paulus nanti datang maka pemberian yang telah disisihkan itu diserahkan kepadanya (1 Kor. 16:1-4). C.1. Sukarela Proyek pengumpulan dana adalah perihal sukarela (2 Kor. 8:1112; 9:5-7). Paulus meminta jemaat Korintus untuk memberi dan apa yang mereka miliki, bukan dan apa yang tidak mereka miliki. Pemberian itu bukan masalah jumlahnya tetapi sukarelanya. Penerimaan pemberian mereka tidak terletak pada besarnya tetapi pada kesukarelaan. Pemberian kristiani bukan masalah paksaan sebab Allah hanya mengasihi mereka yang memberi dengan sukacita (2 Kor. 9:7). Sikap bermurah hati kepada orang-orang yang membutuhkan merupakan ajaran yang populer dalam tradisi hikmat (Ams. 3:27-28; bnd. Tob.4:8). Dengan mengingat konsep sukarela inilah Paulus mengutus beberapa temannya untuk mendahuluinya ke Korintus. 104
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Dengan demikian, orang Korintus disiapkan untuk menyediakan pemberian mereka sehingga pemberian itu siap sebagai “berkat” dan jauh dan kesan sebagai kerakusan Paulus (pleonexia “greed”; 2 Kor. 9:5). Dalam literatur Hellenistik istilah “rakus” berkaitan dengan keinginan untuk memiliki lebih banyak. Suatu dosa sosial yang menyebabkan ketidak-harmonisan di masyarakat8. Paulus tidak mau pemberian jemaat Korintus dilihat sebagai sikap kerakusannya. Maka pemberian tersebut harus menjadi persembahan sukarela bukan sesuatu yang dipaksakan. Pemberian yang bersifat berkat adalah jawaban terhadap berkat yang diterima, sedangkan kerakusan menandakan kegagalan menjawab berkat yang diterima (bnd. 1 Kor. 4:7). Paulus juga menyatakan bahwa orang Korintus tidak perlu takut kehilangan harta bila mereka berpartisipasi dalam proyek dana itu. Allah akan memberkati mereka yang bermurah hati dan mereka akan berkelimpahan dalam segala sesuatu (2 Kor. 9:6,8,11). Dengan demikian, pemberian pada proyek dana akan membawa berkat pada orang percaya di Yerusalem dan juga pada jemaat Korintus sendiri. Selanjutnya lagi, dana itu tidak hanya untuk menolong kebutuhan orang miskin di Yerusalem tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah (2 Kor. 9:12). Orang percaya di Yerusalem akan memuji Allah atas apa yang mereka terima melalui proyek dana ini sebab mereka sadar bahwa Allah adalah sumber berkat yang memampukan bangsa non-Yahudi memberi melalui proyek dana tersebut9. Ucapan syukur di dalam perkataan Paulus adalah suatu respon, pemberian
8 G. Delling, “pleonexia” dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Friederich. Vol. 4. Michigan: Eerdmans, 1968, hl. 266-269. 9 V. Pfitzner, Strength in Weakness. A Commentary on 2 Corinthians. Adelaide: Luther Publishing House, 1992, hl. 134.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
105
kurban pada Allah atas semua kebaikan yang diterima dan Allah sendiri. 3.2. Keseimbangan Proyek pengumpulan dana Paulus adalah juga masalah keseimbangan. Ketika Paulus mengajak jemaatnya untuk memberikan kontribusi mereka, dia tidak bermaksud memberikan beban finansial bagi si pemberi (2 Kor. 8:13). Proyek dana tersebut bukan untuk menjadi beban tetapi justru untuk menjaga keseimbangan. Keseimbangan antara kelebihan jemaat Yunani dan kekurangan jemaat di Yerusalern. Kata yang digunakan untuk menyebut konsep keseimbangan adalah isotes, biasanya diterjemahkan dengan “equality” (“persamaan”). Kata tersebut cukup populer penggunaannya di bidang retorika, politik, dan moral di dunia Yunani. Aristoteles misalnya mengatakan bahwa isotës adalah fondasi dan suatu kota atau masyarakat, yang menjadi basis untuk kerukunan dan damai (Politico 2.1, 1261 30-31). Sedangkan lawannya adalah pleonexia (“kerakusan”). Keseimbangan dirumuskan Paulus sebagai berikut: ‘. . .tetapi supaya ada keseimbangan maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2 Kor. 8:13b-14). Paulus memhandingkan ungkapan kasih dalam proyek dana dengan pengorbanan Kristus (2 Kor. 8:9). Partisipasi di dalam penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus menghasilkan persekutuan yang mengasihi dan peduli (Flp 3:10-11; 2 Kor. 1:5-7). Prinsip keseimbangan merupakan ciri khas dalam memberi pertolongan baik di jemaat-jemaat Paulus maupun orang Kristen. Orang Kristen tidak mengikuti konsep komunisme dan tidak pula 106
HIDUPKU ADALAH IBADAH
menerapkan prinsip siapa yang kuat yang bertahan hidup. Menjadi bagian dan keluarga Allah maka mereka yang berkecukupan sebaiknya berbagi dengan yang berkekurangan sehingga keseimbagan terpelihara. Dalam bahasa yang sederhana: “Orang yang mengumpulkan banyak tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit tidak kekurangan”. 3.2. Pengumpulan Dana Lewat Lelang10 Lelang merupakan bentuk pengumpulan dana yang dikenal di Gereja Lutheran Batak termasuk di Gereja penulis sendiri yaitu Huria Kristen Indonesia (HKI). Lelang sering diadakan pada waktu pesta di Gereja. Lelang diadakan untuk mendapatkan dana untuk menopang pelayanaan, membangun gedung Gereja, dan juga menolong orang. Berapa banyak lelang diadakan oleh suatu Gereja dalam setahun biasanya bergantung kepada kebutuhannya. 3.2. A. Jenis Lelang Dilihat dari para peserta pesta lelang yang hadir maka dapat kita kategorikan dua kategori. Pertama, pesta lelang yang diikuti oleh hanya anggota satu Gereja. Biasanya lelang ini diadakan di dalam Gereja itu. Kedua, lelang yang dihadiri para tamu undangan dan juga anggota Gereja itu sendiri. Para tamu undangan datang dari anggota Gereja yang lain, baik yang satu organisasi dan yang beda organisasi, pejabat pemerintah, dan juga tamu yang non-Kristen.
10 Batara Sihombing, “Mission for the Practice of Auction in the Batak Church in Indonesia”. Exchange 34 (2005): 376-386. Leiden, Netherlands: Brill. Lihat juga, Batara Sihombing, “Praktek Lelang di Gereja Batak: Suatu Tinjaun Kritis” dalam Memelihara Harta Yang Indah. Buku Penghargaan kepada Pdt. Dr. A. Gintingsuka. Ed. Morandi Saragih dkk., 2006, hl. 457-470. Medan: PGIW Sumatera Utara.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
107
Bahan yang dilelang antara lain makanan (roti, nasi, ikan, minuman, buah, daging, dsb), alat elektronik (radio, lampu, televisi, organ, dsb.), perkakas rumah tangga (kursi, lukisan dinding, dsb.), pertunjukan (puisi, nyanyian, koor, tarian, dsb.), dan juga barang milik Pendeta (pulpen, dasi, jam tangan, dsb.). Jenis lelang dapat digolongkan ke dalam tiga jenis. Yang pertama adalah lelang biasa. Dalam lelang ini juru lelang melelang bahan dengan menyebutkan harga awal dan kemudian para hadirin berlomba menawarkan harga yang tertinggi. Pemenang adalah yang memberikan harga tertinggi. Kedua adalah lelang gotong royong. Lelang ini dilaksanakan dalam rangka menunjukkan kerjasama. Hadirin diminta untuk memberikan kontribusi mereka atas bahan yang dilelangkan. Sejajar dengan itu maka bahan yang dilelang biasanya yang dapat dinikmati oleh semua peserta seperti nyanyian, koor, makanan, dan lainnya. Tidak ada perlombaan untuk pemenang dalam lelang ini. Juru lelang hanya mengumumkan nama pemberi dan jumlah uang yang diberikan. Yang ketiga adalah lelang berhadiah. Juru lelang tidak menyebutkan hadiah yang akan diberikan tetapi dapat dipahami bila hadiahnya biasanya barang yang mahal dan bergengsi. Juru lelang menyebutkan harga awal, kemudian para peserta berlomba menawarkan harga yang lebih tinggi. Jalannya perlombaan lelang agak seru dan itulah sebabnya jenis lelang ini biasanya hanya diikuti oleh sekelompok kecil mereka yang kaya. Sepanjang yang saya amati memang para pemenangnya selalu mereka yang kaya di pesta lelang itu. Mereka yang menang, pertama sampai ketiga, diundang untuk tampil ke depan menerima hadiah. Untuk memberi hadiah biasanya diminta pejabat Gereja yang hadir seperti Ephorus, Praeses, dan Pendeta, atau para pejabat Pemerintah yang hadir. Tampil ke depan 108
HIDUPKU ADALAH IBADAH
menerima hadiah tentulah suatu hal yang menjadi pusat perhatian hadirin yang secara alamiah dapat menaikkan prestise atau kehormatan para pemenang. Mengingat salah satu cita-cita ideal orang Batak adalah kehormatan (hasangapon) maka dapat dipahami bila jenis lelang berhadiah ini terus berjalan hingga sekarang meskipun bukan dayak tarik kehormatan ini motivasi awalnya. 3.2.B. Kelemahan Terhadap Lelang Berikut ini kita akan mengkritisi pelaksanaan lelang itu. Pertama, dalam Alkitab kita tidak menemukan preseden melaksanakan lelang sebagai sarana menyampaikan pemberian atau persembahan kepada Allah (bnd. 1 Kor 16:2). Ketika Paulus mengumpulkan dana maka dia meminta jemaatnya agar setiap minggu menyisihkan sesuatu dari apa yang mereka peroleh dan menyimpannya di rumah. Ketika Paulus datang, maka pemberian itu diserahkan (1 Kor 16:1-4). Praktek lelang di Gereja Batak ditiru dari kebiasaan di dunia bisnis, hukum, dsb. Lelang yang dapat mengumpulkan dana dengan banyak dalam waktu yang singkat sejajar dengan salah satu cita-cita ideal orang Batak, kekayaan. Kesejajaran itu membuat lelang dipraktekkan dengan subur. Selain itu, suasana lelang yang diwarnai perlombaan cocok pula dengan sifat orang Batak yang menyukai perlombaan. Arti kata “batak” sendiri adalah “berlomba”11. Mendapatkan dana terlihat lebih mendominasi dari pada cara bagaimana dana itu didapatkan. Tradisi hikmat di Alkitab menyebutkan bahwa cara bagaimana mendapatkan uang dengan benar, adil, dan jujur sangat penting diperhatikan (Amsal 8:18-21; bnd. Sirakh 31:1-7). Itulah sebabnya Tuhan Yesus juga menasehatkan bahwa kita pertama-tama mencari kerajaan Allah dan 11
J. Warneck, Toba-Batak – Deutches Woterbuch. Den Haag, Martinus Nijhoff, 1977, hl. 30.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
109
kebenarannya (Mat 6:33-34) yang dapat diartikan mencari kehendakNya yang benar, sehat, jujur, dan damai sejahtera maka semua kebutuhan kita akan disediakan, termasuk kebutuhan dana untuk GerejaNya. Kedua, mengumpulkan dana lewat lelang mengaburkan arti persembahan kepada Tuhan padahal orang Batak meyakini bahwa apa yang diberikannya kepada Gereja lewat pesta lelang adalah pemberian kepada Tuhan. Kekaburan itu antara lain terlihat pada penekanan jumlah pemberian dan bukan pada kerelaan hati. It is a matter of amount, not of goodwill. Ini dapat dimengerti karena sejak awal panitia pelaksana lelang telah mempunyai target berapa banyak dana akan diperoleh. Itulah sebabnya juru lelang melakukan upaya yang semaksimal mungkin agar target dana diperoleh. Cukup sering panitia pesta lelang membayar pembawa acara profesional (master of ceremonies) atau penyanyi untuk membawakan acara lelang. Tidak jarang para Pendeta juga diminta menjadi juru lelang, dan bahkan tamu istimewa yang hadir juga diminta menjadi juru lelang agar dana yang diharapkan diperoleh. Menempatkan dana sebagai tujuan untuk diperoleh dengan target tertentu tidak sejajar dengan nasehat Alkitab agar jangan mengejar uang karena uang tidak dapat memuaskan kebutuhan manusia atau organisasi yang terdalam (Pkh 5:9-11). Penekanan pada jumlah pemberian tentulah tidak tepat dalam memberi kepada Gereja Tuhan (2 Kor 8:11-12; 9:5-7). Pemberian diterima bukan karena jumlahnya yang besar tetapi karena hati pemberi rela dan bersukacita. Memang dalam lelang dapat disaksikan hati yang bersukacita tetapi untuk sebagian orang itu hanya sesaat saja. Mengapa? Setelah lelang selesai sebagian orang mulai berpikir bagaimana membayar kwintasi lelang yang belum dibayar. Jelas ini merupakan beban, bukan lagi kerelaan dan sukacita sebab beberapa 110
HIDUPKU ADALAH IBADAH
orang begitu lambat untuk melunasi hutang lelangnya. Beban seperti inilah yang dihindari Paulus ketika dia melaksanakan pengumpulan dana ((2 Kor 8:13). Panitia lelang biasanya memberi waktu kepada peserta lelang untuk membayar lelang yang tidak dapat dibayar cash. Tetapi cukup sering panitia lelang tidak berhasil meminta hutang lelang dibayar tuntas meskipun telah diangkat panitia penagih hutang lelang untuk memintanya. Terlihat di sini bahwa sebagian peserta lelang tidak mengerti bagaimana memberi dengan rela kepada Gereja sewaktu mereka menyuarakan harga lelangnya. Boleh jadi suara pemberian mereka karena terpaksa disebabkan peran juru lelang yang lihai. Akhirnya pemberian yang mereka suarakan bukanlah “berkat” tetapi “keterpaksaan” (2 Kor 9:5), yang dinampakkan dengan sulitnya mereka membayar. Padahal Paulus sewaktu mengumpulkan dana dengan jelas menyuarakan agar mereka memberi dari apa yang mereka miliki, bukan dari apa yang tidak mereka miliki (2 Kor 8:12). Hal lain yang mengabaikan konsep kerelaan dalam lelang adalah konsep pertukaran (give and take). Ketika hadirin memenangkan suatu lelang maka dia akan menerima bahan lelang itu. Beri harga yang tinggi, maka bahan akan diberi. Konsep pertukaran ini lebih jelas lagi terlihat pada lelang berhadiah. Ketika hadirin berlomba memberi harga yang tinggi itu disebabkan mereka mau mendapatkan hadiah yang telah dipersiapkan. Secara sadar atau tidak sadar, telah terjadi pergeseran motivasi dari memberi kepada menerima. Padahal memberikan kepada Tuhan bukanlah persoalan give and take tetapi merupakan ucapan syukur atas berkat yang diterima dari padaNya (2 Kor 9:11-13). Ketiga, komposisi persekutuan umat yang percaya menjadi terbagi status sosialnya dalam praktek lelang. Oleh karena lelang HIDUPKU ADALAH IBADAH
111
memberikan kesempatan berkompetisi, maka tak dapat dihindari hal itu menjadi ajang rivalitas mereka yang kaya untuk berlomba menawarkan harga yang tinggi secara khusus dalam lelang berhadiah. Jadi anggota yang kaya akan terlihat dari harga tawaran yang mereka suarakan, dan juga dari jenis lelang yang mereka dominasi yaitu lelang berhadiah. Anggota yang miskin hanya dapat menonton, merasa kagum kepada mereka yang kaya, dan juga merasa inferior atas ketidakmampuannya berpartisipasi. Dengan demikian lelang tidak hanya memberi kesempatan agar pemberian seseorang diketahui banyak orang tetapi juga menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan status sosial seseorang dalam persekutuan keluarga Allah. Dalam pengamatan saya, praktek lelang dapat digunakan mereka yang kaya untuk pamer kekayaannya, dan juga sekaligus mendapatkan kehormatan dari anggota jemaat karena mereka telah memberikan kontribusi yang besar. Padahal Tuhan Yesus menasehatkan, “Tetapi jika engkau memberi..., janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” (Mat 6:3). Artinya, pemberian kepada Tuhan, cukuplah Tuhan yang tahu, tak perlu orang banyak mengetahuinya karena Tuhanlah tujuan pemberian kita. Dalam lelang mereka yang kaya selalu diharapkan dan disambut, sedangkan yang miskin cenderung terabaikan. Oleh karena lelang bertujuan mengumpulkan dana maka mereka yang memberikan sedikit juga mendapat perhatian sedikit. Dalam pengalaman, saya sering melihat jemaat yang miskin tidak datang pada cara pesta lelang di Gereja karena malu tidak punya uang atau karena hanya punya sedikit uang. Ketika mereka memaksakan diri untuk datang maka setelah kebaktian mereka akan segera pulang sebelum lelang dimulai. Pesta lelang, tanpa disadari, dapat mengisolasi mereka yang kecil atau miskin. Alkitab menyuarakan bahwa persekutuan keluarga Allah 112
HIDUPKU ADALAH IBADAH
adalah persekutuan di mana Allah hadir sebagai Bapa dan di mana perbedaan sosial status, jenis kelamin, suku, dsb., para anak-anakNya tidak perlu dinampakkan (Gal. 3:26-28; 1 Kor 12:13; Kol. 3:10-11). Dari sorotan kritis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa parktek lelang mempunyai beberapa kelemahan sebagai sarana pengumpulan dana di Gereja. Keinginan untuk mendapatkan dana dengan cepat agaknya telah membuat Gereja Batak kurang sadar sepenuhnya akan kelemahan lelang itu sendiri dalam persekutuan anak-anak Allah. Terlebih, lelang tidak menjamin bahwa Gereja akan berkecukupan tetapi justru cenderung kekurangan. Justru Gereja yang tanpa lelang terlihat berkecukupan karena Gerejaanya dapat dibangun lebih cepat, pelayanannya berjalan, dan anggota jemaatnya harmonis karena sama-sama ikut berkontribusi tanpa ada yang besar dan kecil. Secara pribadi saya mengusulkan agar Gereja Batak yang Lutheran meninjau ulang pelaksanaan lelang ini. Sebab meskipun lelang berguna menampakkan kerjasama dan mengumpulkan dana tetapi lelang kurang sesuai dengan prinsip memberi secara sukarela dan bersyukur kepada Tuhan. Singkatnya, lelang tidak berjalan sejajar dengan perkataan Tuhan Yesus: “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu di sorga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan (dengan terompet) itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah menerima upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang HIDUPKU ADALAH IBADAH
113
tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Matius 6:14). Dalam nasehat itu Yesus tidak hanya meluruskan motivasi memberi (jangan agar dilihat, didengar, dan dipuji orang – sikap munafik) tetapi Dia juga memberi arahan bagaimana cara memberi yang tepat sebagai orang percaya (tidak diketahui tangan kiri atau tersembunyi). Dan itulah juga cara yang diikuti oleh para pengikut Lutheran dalam bersyukur kepada Tuhan, Sang Kepala Gereja dan sumber karunia itu. Kesimpulan Umat Lutheran adalah umat yang beribadah kepada Tuhan. Dalam ibadah umat dilayani oleh Tuhan dan mendapat karunia dari Tuhan. Itulah sebabnya ibadah merupakan ungkapan iman yang esensial bagi umat percaya. Sebagai umat yang menerima karunia dari Tuhan Yang Mahapengasih maka kita mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat yang kita terima. Jadi memberi persembahan kepada Tuhan adalah respon kita atas berkat yang kita terima. Oleh sebab itu dalam memberi kepada Tuhan hati kita harus rela, ikhlas, dan sukacita (2 Kor 9:1-5). Untuk menopang pelayanan, Gereja Paulus melakukan pengumpulan dana yang akan diberikan kepada orang miskin di Jerusalem. Paulus menegaskan agar jemaatnya memberi dari apa yang mereka miliki dan hati mereka juga harus rela dan sukacita, tidak sedih atau merasa terpaksa. Pengumpulan dana itu tidak hanya menolong orang miskin tetapi juga menampakkan kesatuan Gereja. Dalam membangun pelayanan Gereja Batak yang Lutheran juga sering mengumpulkan dana lewat lelang. Meskipun lelang dapat menampakkan kerjasama dan juga mendapatkan dana tetapi lelang 114
HIDUPKU ADALAH IBADAH
juga mempunyai beberapa kelemahan. Dengan mendasarkan prinsip memberi kristiani pada Alkitab dan mencontoh bagaimana Gereja di Perjanjian Baru mengumpulkan dana maka sebaiknya praktek lelang di Gereja ditinjau untuk dihentikan.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
115
PARTISIPASI WARGA JEMAAT Dearlina Sinaga
Pendahuluan Kata “gereja” bukan hanya, diartikan sebagai bangunan sebuah gedung gereja saja, namun lebih dari pada itu. Bila kita membandingkan konsep “gereja” yang dibicarakan dalam Alkitab dengan konsep “gereja” umumnya. akan terdapat perbedaan yang cukup besar. Gereja (ecclesia) yang dimaksud dalam Perjanjian Baru adalah “sekelompok orang yang dipanggil” dan sekelompok orang tersebut merupakan sekelompok orang yang memiliki persekutuan yang indah. Oleh sebab itu, “gereja” yang dimaksud dalam Perjanjian Baru bukan suatu bangunan gedung atau sistem organisasi melainkan sekelompok umat Allah, tubuh Kristus dan persekutuan yang sesungguhnya dalam Tuhan. Demikian juga hal yang dimaksud dengan “orang Kristen”, yang terpenting adalah hubungan dengan Yesus Kristus dalam hidupnya. Firman Tuhan mengajar kita untuk bergabung menjadi satu dengan “kepala” ,Yesus Kristus, dan juga harus menjadi satu dengan “tubuhNya” - gereja. Efesus 4: 12, 15 - 16. Karena kita adalah bagian dari tubuh, maka menjadi “orang Kristen” bukan hanya menjadi seseorang yang menghadiri kebaktian di hari Minggu pagi atau sore, melainkan seseorang yang berperan dalam kehidupan gereja. Jadi kehidupan orang Kristen akan mencerminkan bagaimana perannya secara pribadi dalam kegiatan gereja, karena melalui perannya tadi di 116
HIDUPKU ADALAH IBADAH
dalam gereja merupakan refleksi dari penyatuannya dengan Tubuh Kristus. Perspektif Warga Jemaat Gereja atau jemaat mempunyai konsep yang berbeda dengan organisasi normative-formal, seperti perusahaan pada umumnya. Namun gereja memenuhi kriteria-kriteria untuk digolongkan dalam organisasi normatif-formal. Jemaat adalah organisasi yang unik, persekutuan orang percaya yang dihimpunkan oleh Tuhan. Jemaat dipimpin dan dituntun oleh Roh Kudus bukan oleh manusia dengan kemampuannya. Dinamika gereja tidak hanya berpijak pada prinsip-prinsip organisatoris seperti demokrasi, efisiensi dan efektivitas dalam pencapaian tujuan, melainkan terutama pada Firman dan kehendak Allah. Itu sebabnya fenomena jemaat ini merupakan sesuatu yang amat menarik bahkan bagi sosiolog (organisasi). Salah satu di antaranya adalah Mady A. Thung, seorang pakar sosiologi agama dari Nederland, yang menyebut gereja sebagai: “…an organization which is focusing on deep-seated orientations, which have far-reaching consequences for the lives of its members… yet the normative orientations to which it is geared are more fundamental and reach further than occurs in any other normative organization… they encompass the whole of life…” Tentang ini Karl Barth, teolog besar itu mengajukan retorika yang amat menyejukkan hati: “Siapakah sang pembangun sejati dari gereja/ jemaat-Nya?” Tak pelak lagi, “sang pembangun sejati” adalah Allah dan hanya Dia yang dapat melakukannya! Dan Ia melakukannya melalui Yesus Kristus dan kuasa Roh-Nya. Oleh karena itu bila Allah dalam Kristus dan kuasa Roh-Nya adalah pembangun subyek, karena HIDUPKU ADALAH IBADAH
117
Ia selalu melibatkan manusia, orang-orang percaya, bahkan bekerja melalui mereka (1 Pet 2:9; Kis 2:17). Dua hal mendasar yang membedakan (organisasi) gereja/jemaat dengan organisasi biasa. Pertama sumber keberadaannya (source for being) yang bukan dari manusia tetapi dari Tuhan. Kedua dasar keberadaannya (reason for being) bukan sekadar visi manusia tetapi Yesus Kristus sendiri dan tugas pengutusan-Nya. Maka pertanyaannya, bila demikian siapakah yang harus membangun gereja/jemaat-Nya? Yesus Kristus sang pembangun itu “membangun” (baca: memberdayakan) jemaat-Nya agar dapat membangun dirinya sendiri. Jemaat yang diumpamakan sebagai bejana yang fana dan rentan itu, namun oleh Roh Kudus dikaruniakan segala bentuk untuk memberdayakannya. Memberdayakan “bejana” yang fana dan rentan itu, karena Ia menganggapnya berharga di mata-Nya. Karena Ia “percaya” bahwa walaupun fana dan rentan bejana itu dapat dipakai untuk menyimpan “harta” yang tak ternilai harganya. Ia punya keyakinan pada jemaat-Nya, dan itu sangat berarti pada warga jemaatNya, bahwa mereka dapat melaksanakan tugas panggilan yang berasal dari Kristus sang pembangun itu sendiri. Dalam terang itulah pembangunan jemaat dilaksanakan. Pembangunan Jemaat sebagai usaha yang secara sistematis menolong jemaat agar sungguh-sungguh bertumbuh menjadi jemaat Yesus Kristus pada masa kini. Peran Warga jemaat Kita dapat mengetahui ada prinsip umum dan model gereja dari Perjanjian Baru. Tiga fungsi utama dalam kehidupan gerejawi seorang Kristen menurut Perjanjian Baru adalah: l) ibadah 2) persekutuan 3) 118
HIDUPKU ADALAH IBADAH
kesaksian. Selain itu masih ada fungsi lainnya seperti berdoa, pemahaman Alkitab, pengajaran dan sebagainya. Agar kerohanian dapat bertumbuh, orang Kristen seharusnya berperan di dalam gereja sebagai berikut: 1.
Ibadah: Tanpa jemaat, tidak mungkin ada persekutuan dan ibadah. Allah pernah memberi perintah kepada kita untuk menjadi anggota dalam persekutuan. Perjanjian Lama mencatat bangsa Israel setiap tahun mempunyai banyak hari raya, pertemuan kudus dan hari peringatan tradisional. Allah dengan jelas berfirman, “Kamu adalah umatKu. Kamu harus datang ke hadapanKu mempersembahkan diri untuk beribadah kepadaKu”.(Imamat 23). Bila kita memasuki ibadah dalam persekutuan orang Kristen, kita telah mengambil bagian dalam empat fungsi ibadah: perayaan, pendidikan, pertobatan dan penyerahan diri: q Dalam ibadah terdapat unsur pendidikan. Dalam ibadah, Allah berfirman kepada kita melalui Roh Kudus. Dia membimbing kita ke jalan yang benar. Tatkala Firman Tuhan dibacakan, diceritakan atau disampaikan, Roh Kudus juga berkarya menggerakkan kita, berfirman kepada kita, mendidik dan membimbing kita agar kerohanian kita juga dapat bertumbuh. q Ibadah merupakan suatu perayaan. Dari ibadah bangsa Israel dalam Perjanjian Lama dan ibadah jemaat dalam Perjanjian Baru, sampai ibadah jemaat gereja masa kini, seluruhnya meninggikan dan merayakan kuasa abadi dan kasih setia Allah. Melalui Yesus Kristus. q Melalui ibadah kita sadar akan dosa kita dan bertobat. Mendengar Firman Tuhan dalam ibadah, kita akan memberi respon terhadap Firman Allah biasanya berupa puji-pujian dan
HIDUPKU ADALAH IBADAH
119
q
2.
120
perayaan. Tetapi ada juga respon lebih khusus yakni kesadaran akan dosa dan pertobatan pribadi. Contohnya, ketika nabi Yesaya melihat Kemuliaan Allah, dia menyadari kenajisan dan dosa dalam dirinya. (Yesaya 6) Penyerahan diri dalam ibadah. Tatkala kita melihat dosa dan kenajisan yang ada dalam diri kita dan Allah dengan kasih setiaNya mengampuni dosa kita, menyucikan dan menerima kita, sepatutnya kita sekali lagi menyatakan komitmen kita mempersembahkan diri untuk hidup bagi Tuhan. Persekutuan: Kehidupan persekutuan berfungsi sebagai Terang dan Garam. Dalam persekutuan di gereja, jemaat harus berperan sebagai Terang dan Garam. Dalam persekutuan jemaat timbul wujud masyarakat baru. Dalam Alkitab tertulis, “Demikian juga kita, walaupun banyak,adalah satu tubuh di dalam Kristus, tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (Roma,12 : 5 ). Persekutuan jemaat merupakan model kehidupan baru dari persekutuan umat Allah. Di dalamnya terdapat berbagi rasa, pengajaran, penghiburan dan nasehat. Orang Kristen tidak dapat hidup sendiri, terutama dalam hal sharing rohani. Mereka tidak dapat bertumbuh sendiri tanpa menghiraukan orang lain, seperti penyelam menghirup oksigen sendiri tak ada kaitan satu dengan yang lain. Kehidupan jemaat seperti bara api, bila berpisah dari sumber api akan kehilangan energi panasnya. Dalam Alkitab dikatakan “menjadi satu dengan Kristus” artinya adalah menjalin hubungan erat dengan anggota tubuh Allah lainnya. Saling berpengaruh dalam karunia roh agar hidup berkelimpahan. Terutama kepada Hamba-hamba Allah, Karunia roh yang dimilikinya tidak bisa hanya dimiliki sendiri, HIDUPKU ADALAH IBADAH
tetapi juga harus masuk ke dalam persekutuan dan membagikan kelebihannya, harus dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan akal budi, berusaha bertumbuh bersama jemaat. Alkitab berkata;”Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitahukan perkataan kebenaran itu”. (II Timotius 2:15) 3.
Kesaksian: Peran jemaat di dalam gereja adalah ‘saksi’. Memberi kesaksian tentang Allah yang penuh kasih, mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal Jesus Kristus, disalibkan demi dosa manusia, mati menanggung dosa manusia, dan bangkit dari kematian supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup yang kekal. Selain itu juga memberi saksi hidup dalam kehidupan memuliakan nama-Nya. Dalam Alkitab tertulis, “Jika engkau makan, atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” (I Korintus 10:31), memberi kesaksian bahwa kita “saling memperhatikan, supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (Ibrani 10:24). Inilah makna keberadaan gereja yang nyata. Kita mengetahui bahwa hal-hal tersebut di atas masih ada kekurangannya, namun kita harus berusaha menjadi komunitas orang Kristen yang dinamis.Oleh karena itu marilah kita sama-sama beribadah, mengambil bagian dalam persekutuan, memberi kesaksian, saling mendoakan, saling membangun, saling membantu dan saling melengkapi agar dapat memperlengkapi orang-orang kudus.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
121
Alkitab mengatakan bahwa jemaat di hadapan Allah adalah suatu kerajaan dan imam, “dan telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin.”(Wahyu 1:6). “ Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi”. Di sini tidak membedakan siapa hamba Tuhan dan siapa bukan. Di dalam gereja, kita bukan mau menjadi orang penting, melainkan menjalin tali persaudaraan yang lebih erat, agar dapat membawa lebih banyak orang yang belum percaya kepada Tuhan. Apakah gereja mempunyai seorang hamba Tuhan sangat berpengaruh bukanlah suatu masalah. Allah juga dapat memakai kita dan rekan kerja orang Kristen lainnya, dan mengajar kita bagaimana melakukan pekerjaan pelayanan. Gereja harus dipimpin oleh Roh Kudus dan melengkapi setiap jemaat agar mereka dapat menjadi murid Yesus Kristus, dan dapat “ memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Efesus 4:12). Inilah yang dimaksud dengan “Bertumbuh dalam kebenaran, membangun diri dalam Kasih” Kehidupan Spiritual Warga Jemaat Menciptakan kehidupan spiritual, adalah tugas jemaat kepada para anggotanya. Ini adalah tugas yang berat. Sering dalam gereja pemeliharaan dan pengawasan kepada para anggota jemaat kurang memadai. Barangkali pendeta senang apabila banyak orang datang ke kebaktiannya, sedangkan bagaimana keadaan rohani orang-orang itu kurang mendapat perhatian. Ada pula pendeta yang sibuk menjaga agar tidak ada seorang pun anggota gerejanya yang sesat terhilang ke kandang orang lain. Ini semua baik, tetapi jangan hanya itu saja! 122
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Pemeliharaan dan pengawasan kepada para anggota lebih dari pada ini. Apakah maksudnya pemeliharaan? Pemeliharaan bagi para orang kudus di dalam jemaat Kristus ini mencakup beberapa faktor. Pertama, persekutuan adalah satu unsur penting dalam pemeliharaan (Kis.Ras.4:23; 2:42; Ibrani 10:24,25). Persekutuan ini bukan melulu dalam kebaktian di gereja, tetapi juga dalam kunjungan, dalam doa, dalam saling menasihati dan saling melayani. Tetapi mengenai persekutuan ini (atau biasa disebut: kebaktian) jangan sampai mengambil seluruh waktu orang Kristen! Memang persekutuan penting sekali, tetapi tidak usah setiap hari atau setiap malam ada persekutuan atau kebaktian. Kalau orang-orang Kristen setiap waktu “dipaksa” ikut persekutuan saja, kapan ia dapat bersekutu dengan keluarganya? Nanti tanggung jawab dalam keluarga masing-masing akan terabaikan dan rumah tangga bisa berantakan. Kalau selalu persekutuan saja, kapan akan keluar menginjil? Kekristenan tidak terdiri dari “kesibukan dalam persekutuan” belaka. Hendaknya ada keseimbangan dengan yang lain-lain. Kedua, pengajaran Firman Allah juga penting dalam pemeliharaan (Kis,2:42; Efesus 4:12-16). Para anggota jemaat seharusnya sungguh memperhatikan acara Bible Study di gereja. Sedangkan jemaat yang tak mempunyai Bible Study bagi para anggotanya, harus mengadakannya. Jemaat mestinya juga berfungsi sebagai Sekolah Alkitab praktis yang membawa orang percaya baru kepada kedewasaan rohani. Tuhan Yesus tidak membuka sekolah Alkitab. Kedua belas rasulpun tidak membuka sekolah Alkitab. Tetapi Tuhan Yesus dan rasul-rasul sungguh mengajarkan Firman Allah kepada orang-orang percaya! Ini tidak berarti kita tidak boleh HIDUPKU ADALAH IBADAH
123
mendirikan sekolah Alkitab. Boleh-boleh saja! Hanya, hendaknya setiap jemaat Kristus menjadi tempat di mana Firman Allah sungguh diajarkan. Ketiga, pelayanan upacara-upacara, yaitu baptisan dan perjamuan Kudus, juga termasuk dalam tugas pemeliharaan jemaat. Keempat, pelayanan sosial, yang menyangkut kebutuhan jasmani anggota jemaat setempat juga perlu diperhatikan,yang dimaksudkan di sini adalah terhadap para anggota yang kurang mampu dan benar-benar membutuhkan pertolongan jasmani. Dalam Kisah Para Rasul 6:1-6 ada contoh dimana kebutuhan sosial janda-janda di dalam jemaat itu sangat diperhatikan dan diurus dengan baik. Malah kedua belas rasul itu membentuk semacam panitia yang anggota-anggotanya dipilih dari jemaat itu sendiri untuk menolong para janda tersebut. Ayat-ayat lain yang menyebutkan hal ini ialah antara lain, I Timotius 5:3-6; Roma 12:13; Kis.Ras 11:27-30; dan sebagainya. Rasul Paulus pun menganjurkan agar apabila sebuah jemaat di suatu tempat sedang menderita kekurangan, maka jemaat di tempat lain harus berusaha menolongnya (II Korintus 8:1-5). Mengapa Alkitab menganjurkan demikian? Seperti kata Paulus, “supaya ada keseimbangan” di antara orang Kristen! Jangan sampai di dalam jemaat duduk dua orang bersama-sama, di mana yang satu datang ke kebaktian naik mobil dengan perut kenyang dan kantong penuh uang, sedangkan yang lain berjalan kaki dengan perut lapar dan kantong kosong, dan tidak diperhatikan sama sekali oleh yang berkelebihan itu! Kasih Kristus di antara sesama orang Kristen seyogyanya jangan cuma di bibir saja, melainkan harus dinyatakan dalam perbuatan. Dan saya yakin, apabila dunia melihat bagaimana di antara sesama orang 124
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Kristen ada satu kasih yang nyata, yaitu saling menolong dan saling memperhatikan kebutuhan yang lain, akan ada lebih banyak orang yang mau bertobat kepada Tuhan Yesus dari pada sekarang ini di mana orang-orang Kristen dalam jemaat masing-masing kebanyakan hanya memikirkan kepentingannya sendiri! Hanya, perlu dicacat bahwa pelayanan sosial ini harus dilaksanakan atau diberikan dengan hati-hati & bijaksana agar bantuan jasmani itu tidak disalahgunakan oleh sebagian orang. Harus dijaga betul, agar orang tidak lantas menggantungkan dirinya kepada bantuan gereja, melainkan supaya ia tetap berharap dan memandang kepada Tuhan Yesus. Orang-orang Kristen Injili yang “terlalu injili” sering menutup mata terhadap kebutuhan jasmani orang lain. Mereka berpendapat bahwa yang terpenting adalah jiwa. Memang betul, tetapi mereka lupa bahwa kebutuhan jasmani juga diperlukan. Hanya sekali lagi, untuk melayani kebutuhan jasmani bagi orang lain ini jemaat perlu memakai banyak hikmat bijaksana. Pemberdayaan Warga Jemaat Pembangunan Jemaat sebagai fungsi dasar jemaat, karena jemaatlah subyek dan pembangun. Dan untuk itu “Sang Pembangun sejati” mengaruniakan berbagai karunia yang mesti dimanfaatkan dalam segenap proses pembangunan. Asset terbesar di situ adalah memakai istilah H. Kraemer, kaum awam. Kraemer menyebut mereka sebagai asset gereja yang beku (the frozen asset of the church). Yang dimaksudkannya dengan “kaum awam” adalah warga jemaat (yang terutama bukan “pejabat gerejawi”), Beliau menyatakan bahwa warga jemaat sesungguhnya adalah subyek dan pembangun gereja/jemaat
HIDUPKU ADALAH IBADAH
125
dalam segenap proses transformasinya adalah sesuatu yang dalam kenyataannya masih merupakan idealisme yang belum tercapai. Hal pertama yang mesti dipertimbangkan untuk diubah adalah paradigma subyek jemaat. Mestinya disadari, dipegangi serta diejawantahkan bahwa subyek jemaat bukanlah pejabat gerejawi, tetapi warga jemaat secara keseluruhan, termasuk di dalamnya para pejabat gerejawi dan para penggiat dalam badan pelayanan. Pembangunan Jemaat adalah pemberdayaan warga jemaat yang adalah “asset utama” gereja/jemaat yang terlalu lama dibiarkan membeku. Pemberdayaan haruslah menuju kepada upaya sengaja dan sistematis untuk mencairkannya demi dibangunnya gereja/jemaat menjadi “Tubuh Kristus” yang sesuai dengan kehendak-Nya, sang Kepala Gereja, sang Pembangun Sejati. Untuk itu dua hal prinsipil yang harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh gereja/jemaat. Bagaimana warga jemaat diperlakukan dan dihargai akan menumbuhkan iklim bergereja yang menyenangkan, sehingga warga jemaat bukan hanya merasa “memiliki” jemaatnya, tetapi dengan senang hati turut membangunnya. Hal inilah yang mesti dipikirkan dan ditata ulang, yakni: q Prinsip dan gaya kepemimpinan yang diterapkan, yang mestinya bukan memerintah dan mengandalkan wibawa/ kuasa, tetapi sungguh-sungguh melayani (dalam jiwa Ef. 4:11-15). q Sebagai konsekuensi dari hal di atas proses pengambilan keputusan yang diberlakukan mestinya bukan lagi gerakan dari atas ke bawah tetapi meluas dari lingkup tersempit yang partikular menuju ke lingkup yang lebih luas, dengan selalu melibatkan semua pihak yang terkait.
126
HIDUPKU ADALAH IBADAH
q Alur komunikasi dan informasi yang tidak lagi menggumpal
pada para pemimpin (Majelis Jemaat, pengurus badan pelayanan) tetapi mengalir ke segala arah: dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dan ke samping. q Untuk itu struktur jemaat yang ada sekarang ini mestinya tidak lagi dilihat memadai, mengingat struktur yang ada sekarang ini akan menyebabkan penggumpalan kuasa dan peran pejabat gerejawi, serta tidak menyediakan ruangan yang cukup bagi partisipasi warga jemaat yang seluasluasnya. Hal kedua yang harus dipertimbangkan untuk diubah adalah upaya pemberdayaan warga jemaat yang meliputi pembinaan warga jemaat, pemberitaan dan penggembalaan. Hal ini mesti diupayakan juga secara sengaja dan sistematis melalui kegiatan antara lain: q Adanya mekanisme pembinaan warga jemaat yang utuh/ menyeluruh (mencakupi kategori umur bahkan profesi) yang berkesinambungan, yang melayani visi-misi jemaat yang disepakati bersama. q Pemberitaan Firman, khususnya yang berpusat pada khotbah dalam ibadah Minggu, juga perlu disinkronkan dengan seluruh gerak pembangunan jemaat dan pembinaan warga jemaat. q Penggembalaan yang tidak hanya “menunggu bola tetapi menjemput bola” yang direncanakan dengan sistematis dan yang mempertimbangkan konteks jemaat yang khas, dalam terang pembangunan jemaat, seperti yang dikatakan dengan indah oleh M. Bons-Storm: “…tujuan terakhir dari penggembalaan adalah supaya jemaat Yesus Kristus dibangun.” HIDUPKU ADALAH IBADAH
127
Pendekatan Baru: Pembangunan Jemaat Lokal Pembangunan Jemaat merupakan tema baru yang kini dikembangkan secara lintas ilmu: antara Teologi dan Manajemen, khususnya praktik kepemimpinan. Arah perhatian difokuskan pada gereja lokal atau jemaat. Pembangunan Jemaat adalah proses transformasi hidup berjemaat itu sendiri, dari penekanan jabatan ke praksis warga jemaat. Di sini jemaat berkarya, melalui pelayanan kepemimpinannya, membuka diri bagi karunia kehidupan dan pertumbuhan, dan dengan bantuan metode-metode yang tersedia yang cocok, berusaha mewujudnyatakan hakikatnya sebagai jemaat yang sesuai dengan maksud Yesus Kristus di dunia. Dengan demikian ada beberapa penekanan khasnya: Pembangunan Jemaat itu bersifat aktual, artinya sangat tergantung pada situasi yang ada dan tidak dapat disamaratakan begitu saja dengan jemaat lainnya. Jemaat harus dibangun dengan melihat dari keadaan jemaat secara nyata (misalnya: kalau riwayat jemaat itu berjuang berdiri di tengah tetangga yang mayoritas muslim, pasti pembangunan jemaat itu tidak lagi menambah gedung gereja baru di daerah itu. Pembangunan Jemaat lokal di situ dengan demikian akan amat terkait dengan karya sosial bertetangga, kerukunan lintas agama dan persaudaraaan oukumenis lintas gereja). Pemberdayaan Jemaat Maka untuk itu, pertama-tama perlu upaya pemberdayaan dan partisipasi warga jemaat dalam kegiatan-kegiatan yang menentukan arah dan kinerja jemaat. Warga Jemaat kini menjadi “aset utama” dari gereja/jemaat, sehingga pemberdayaannya haruslah menuju kepada upaya sengaja dan sistematis untuk mengikutsertakan seluruh warga jemaat bekerjasama membangun jemaat. Untuk itu ada 2 hal penting 128
HIDUPKU ADALAH IBADAH
yang harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh gereja/ jemaat Pertama, yang mesti dipertimbangkan untuk diubah adalah paradigma tentang “siapa itu” subyek jemaat. Mestinya disadari, dipahami serta diberlakukan bahwa subyek jemaat bukanlah para pejabat gerejawi, tetapi warga jemaat secara keseluruhan. Maka perlu ditumbuhkan iklim bergereja yang menyenangkan, sehingga warga jemaat bukan hanya merasa “memiliki” jemaatnya, tetapi dengan senang hati turut membangunnya. Untuk itu mesti dipikirkan dan ditata ulang adalah: (a) Prinsip dan gaya kepemimpinan yang diterapkan, yang mestinya bukan memerintah dan mengandalkan wibawa/kuasa, tetapi sungguh-sungguh melayani. (b) Sebagai konsekuensi dari hal di atas proses pengambilan keputusan yang diberlakukan mestinya bukan lagi gerakan dari atas ke bawah tetapi meluas dari lingkup tersempit yang partikular menuju ke lingkup yang lebih luas, dengan selalu melibatkan semua pihak yang terkait. (c) Alur komunikasi dan informasi tidak lagi menggumpal pada para pemimpin (Pendeta -Majelis Jemaat- Pengurus ) tetapi mengalir ke segala arah: dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dan ke samping. Kedua, ialah “cara kerja” membangun jemaat haruslah sistematis dan berkesinambungan, dengan melakukan: (a) Bertindak Imani dan Rasional. Dalam pembangunan jemaat perlu senantiasa terjadi kombinasi antara bertindak berdasar iman dan rasio. (b) Bertindak Fungsional dan Terarah pada Hasil. Jemaat merupakan organisasi sosial yang bertumpu pada kualitas kepemimpinan HIDUPKU ADALAH IBADAH
129
dan manajemennya, dimana efektifitas kerja pemimpinnya amat dibutuhkan. Jemaat, dibantu oleh Pimpinan Majelisnya, perlu memahami situasi masyarakat tempat ia berada saat ini. Pembangunan Jemaat ingin meningkatkan pelayanan jemaat lokal agar dapat bergerak secara efektif dalam situasinya. Maka pen-diagnosa-an secara berkala keadaan jemaat lokal cukup diperlukan. Dan kemudian jemaat perlu menyesuaikan tindaktanduknya dengan hasil diagnosis tersebut, dengan tujuan agar tujuan dapat dicapai dan membuahkan hasil yang baik. (c) Bertindak Mengatasi Diagnosa. Kalau diagnosa telah dilakukan, maka perlu intervensi guna perbaikan jemaat. Ada tiga tahap intervensi yang perlu terjadi: 1). Membuka peluang perubahan; 2). pelaksanaan program demi perubahan; 3). Menciptakan kondisi agar hasilnya tampak menetap (d) Bertindak Mengembangkan Organisasi. Prioritas penting bagi jemaat adalah usaha menciptakan relasi yang baik antar manusia, maka perlu diciptakan komunikasi terbuka yang memungkinkan jemaat mendukung pola kepemimpinan yang akan menumbuhkan iman warga jemaatnya. Intinya: Membangun jemaat masing-masing, adalah bagaimana warga tumbuh secara unik dan mengesankan di tempatnya yang khas, dan menunjukkan kesaksian dan kinerjanya yang maksimal di tempatnya masing-masing. Akhirnya warga jemaat itu akan merasa bahwa “merekalah gereja” itu! A.
Dalam Diakonat (melayani) Istilah “diakonia” dari bahasa Yunani, artinya pelayanan. Istilah itu berasal dari kata kerja “diakonein” atau “diakoneo”, artinya melayani. Orang yang melayani disebut “diakonos” (laki-laki) atau 130
HIDUPKU ADALAH IBADAH
“diakones” (perempuan). Diakonia semula berarti pelayanan seorang budak kepada tuannya di meja makan (Luk. 17:7-10). Pengertian dan Definisi “Diakonia” mempunyai beberapa arti. Secara umum, kehidupan orang Kristen dan pekerjaan para pejabat gereja juga disebut pelayanan (Ef. 4:12). Paulus menyebut semua pekerjaannya memberitakan Injil itu adalah diakonia (2 Kor. 3:3; 5:18). Secara khusus, pelayanan berarti pertolongan kepada sesama manusia (2 Kor. 9:1; 8:4; Rm. 15:25). Orang Kristen dan jemaat melayani karena Yesus datang untuk melayani (Mat. 20:28, Mrk. 10:45). Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya dan selanjutnya meminta supaya mereka saling membasuh kaki. Artinya, supaya mereka saling melayani (Yoh. 13:14). Ciri khas orang Kristen dan jemaat ialah melayani. Orang Kristen dan jemaat yang tidak mau melayani adalah sungguh aneh! Muridmurid harus saling mengasihi karena Allah telah terlebib. dahulu mengasihi mereka. Jadi, dasar pelayanan ialah kasih Allah. Kasih itu disebut aga-pe. Agape adalah kasih yang memberi dengan tulus, tanpa pamrih seperti kasih Bapa kepada Kristus (1 Kor. 13:3). Dalam hal ini diakonia diartikan secara sempit dan dapat dirumuskan sbb: Diakonia ialah kegiatan mewujudnyatakan kasih kepada orang-orang yang menderita sesuai dengan teladan Kristus sebagai Hamba. “Mewujudnyatakan”’berarti menjadikan sesuatu yang tidak berwujud menjadi berwujud. Perkataan “kasih” itu tidak berwujud, hanya pikiran/ perkataan. “Kasih” yang tidak diwujudkan dengan perbuatan nyata, misalnya:
HIDUPKU ADALAH IBADAH
131
memberi bantuan bibit tanaman dan pupuk kepada petani; q memberi makanan kepada yang lapar; q bantuan SPP kepada anak-anak putus sekolah. Dalam 1 Yoh. 4:20 secara tajam disebutkan: “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya”. Wujud nya-ta dari kasih itu sangat penting. Bagi orang yang kelaparan, sebungkus nasi jauh lebih berdayaguna daripada khotbah. Di dalam masyarakat banyak pelayanan kemanusiaan (filantropi) yang berdasarkan belas kasih perikemanusiaan. Bedanya dengan diakonia adalah bahwa diakonia itu berdasarkan kasih Kristus. Seharusnya kita bersikap kooperatif (bekerjasama) dengan semua pelayanan kemanusiaan itu (LSM dan lembaga-lembaga lainnya). q
Subjek (Pelaku) Diakonia Subjek (=pelaku) pertama adalah Kristus. Artinya, Kristus, melalui Roh Kudus menggerakkan kita dan jemaat supaya menolong sesama manusia. Kristus itu bekerja di dalam kita dan melalui kita menuju kepada sesama. Gereja bertugas supaya meneruskan berkat Kristus itu. “Damai sejahtera bagi kamut Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga Aku sekarang mengutuskamu” (Yah. 20:21). Subjek kedua: setiap orang percaya dan jemaat. Kita adalah subjek, pelaku yang secara sadar menjalankan diakonia. Sebab kita bukan wayang di tangan dalang atau bukan boneka. Ada hal pertanggungjawaban kita dalam diakonia ini. Apakah kita tanggap (responsif) atau tidak terhadap perintah dan masalah-masalah sesama (=orang-orang yang memerlukan pertolongan) di sekitar kita. Kris-tus itu datang kepada kita melalui sesama (yang terpenjara, lapar, 132
HIDUPKU ADALAH IBADAH
telanjang dll. Sikap kita terhadap sesama sama dengan sikap kita terhadap Kristus (Mat. 25:31-46). Sasaran 1. Sesama Warga Geieja Warga gereja satu sama lain hendaknya saling memperhatikan dalam kekurangan/penderitaan, yang kuat hendaknya membantu mereka yang lemah. Jurang golongan kaya-miskin dalam jemaat sesungguhnya merupakan hal memalukan dan pertanda bahwa mekanisme saling peduli dan saling menolong ini tidak berjalan nor-mal sebagaimana Kristus kehendaki (bnd. 2 Kor. 8:1-15). Pelayanan sesama warga gereja ini sebenamya hanya merapakan kegiatan yang mengkonkretkan persekutuan jemaat secara nyata. 2.
Sesama manusia dalam masyarakat Sasaran ini tidak pandang agama, suku dll. Artinya, siapa pun, beragama apa pun, suku apa pun. Sasaran ini sama pentingnya dengan sesama warga gereja. Ketika Yesus menolong orang yang menderita, Dia tidak mempertanyakan apa agama mereka. Tidak benar bila kita menganggap bahwa sesama orang Kristen itu itu lebih penting daripada sesama yang beragama lain. Anggapan yang salah itu mungkin didasarkan pada Gal. 6:10: “... marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman”. Ayat ini tidak bepesan supaya kita lebih mengasihi kawan seiman tetapi jangan hanya melayani sesama dalam masyarakat sehingga melupakan saudaranya seiman. Kalau ada pendapat bahwa sesama warga gereja itu lebih penting, pikiran itu bertentangan dengan perintah supaya mengasihi semua orang (Yoh. 3:16).
HIDUPKU ADALAH IBADAH
133
Paulus, penulis surat Galatia, bukan orang yang sedang bingung. Mengasihi kawan seiman, kapan selesainya? Tidak pernah selesai! Akibatnya, kita tidak bakal bisa mengasihi mereka yang ti-dak seiman. Kalau kasih itu hanya dilaksanakan di antara orang seiman, jemaat akan menjadi kelompok yang mementingkan diri, tidak menjadi berkat bagj masyarakatnya! Kasih kepada kawan seiman itu menjadi semacam latihan untuk mengasihi mereka yang tidak seiman. Jika di antara kawan seiman saja tidak ada kasih, mustahil jemaat/warganya mengasihi mereka yang tidak seiman? Ayat-ayat lain yang menjelaskan kasih kepada sesama, dunia/masyarakat penting kita pahami, misalnya Yoh. 3:16. Dalam Mat. 25:31-46 disebutkan bahwa Kristus datang kepada kita melalui orang-orang yang menderita. Bila kita melayani mereka, itu berarti kita menyambut Kristus. Sebaliknya bila kita ti-dak menolong mereka, itu berarti menolak Kristus yang datang (Mat. 25:31-46)! Janganlah kita menjadikan agama sebagai alat pemisah dalam kekeluargaan umat manusia. Pelayanan kepada sesama di Iuar gereja ini juga tidak perlu bersyarat: mengenal sasaran. Misalnya pelayanan kepada pengungsi, korban bencana alam, penganggur, korban bencana kelaparan di Afrika dll. Tidak ada syarat mengenal terlebih dahulu pihak sasaran. Tujuan diakonia Tujuan diakonia ialah penyataan kasih Allah di dalam Kristus kepada orang-orang yang menderita. Tujuan itu bukan untuk menghapuskan penderitaan. Tujuan seperti itu tidak mustahil tercapai, selamanya ada penderitaan karena dosa. Tujuan itu juga bukan untuk mengkristenkan orang-orang. Kita tidak boleh
134
HIDUPKU ADALAH IBADAH
memperalat bantuan atau pertolongan kasih supaya orang tertarik menjadi Kristen. Bentuk-bentuk Diakonia 1. Diakonia karitatif “Karitatif’ berasal dari bahasa Inggris “care” yang artinya memelihara. Diakonia karitatif ialah diakonia atau pelayanan kasih untuk membantu orang-orang yang memerlukan pertolongan dengan barang, uang dll. Misalnya untuk orang-orang sakit, jompo, korban bencana alam, bantuan darah dll. 2. Diakonia reformatif “Reformatif’ berasal dari bahasa Inggeris “reform”, artinya memperbaiki. Diakonia reformatif adalah pelayanan kasih untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi dengan jalan menumbuhkan prakarsa kelompok sasaran. Pelayanan ini juga disebut Pengembangan Masyarakat atau CD (Community Development). Misalnya dengan pelatihan ketrampilan, bimbingan menyelenggarakan koperasi atau UB (Usaha Bersama) Simpan Pinjam, bimbingan pertanian, peternakan, perikanan dll. Diakoni ini tidak memasalahkan ketidakadilan tetapi biasanya hanya untuk meningkatkan pendapatan. 3. Diakonia Transformatif “Transformatif” berasal dari kata transform, bahasa Inggeris, yang artinya mengubah atau membaharui. Pelayanan transformatif dilakukan dengan menganalisa keadaan untuk menemukan akar masalahnya. Akar masalah itu yang ditangani dengan menumbuhkan prakarsa dan partisipasi kelompok sasaran. Berkenaan dengan masalah ketidak adilan, kelompok sasaran disadarkan tentang hakhak mereka dan memampukan mereka memperjuangkan hak-hak itu. Misalnya, perbaikan peraturan upah buruh yang lebih adil, menuntut HIDUPKU ADALAH IBADAH
135
agar perusahaan memakai pengolahan limbah, motivasi dan mengorganisasikan masyarakat menentang penggusuran tanah secara sewenang-wenang dll. B.
Dalam Apostolat (Bersaksi= marturia) Istilah “bersaksi” berasal dari kata “saksi” (kata ini dipinjam dari dunia pengadilan). Saksi ialah orang yang lebih dahulu melihat sesuatu dan meminta orang-orang lain supaya melihat apa yang dilihatnya itu. Itulah saksi yang benar. (Perhatikan bahwa ada saksi-saksi palsu). Istilah “kesaksian” (=marturia) yang kita pakai adalah terjemahan dari “marturein” (bahasa Yunani, bahasa asli Perjanjian Baru). Dari kata itu muncul kata “mar-tyr”, yaitu orang yang mati syahid. Istilah marturein berhubungan dengan “kerussein” (=pemberitaan). Dari yang terakhir ini lahir kata “kerygma” yang artinya berita. “Marturein” berhubungan dengan “euanggelisesthai” (=pemberitaan kabar gembira) dan “euanggelion” (=kabar gembira karena kedatangan Mesias atau Injil). Dalam bahasa Indonesia kita juga mengenal istilah “evangelisasi”, artinya penginjilan. Berbagai istilah itu dilatar belakangi kebudayaan Romawi. Dalam kerajaan Romawi sering ada pembawa berita kemenangan perang bah-wa suatu wilayah telah ditaklukkan atau berita suka cita lainnya. Utusan yang keliling dengan tugas kerajaan ini disebut bentara. Pengertian itu kemudian “dikristenkan”. Dalam Kerajaan Allah ada Injil (=inti berita/kerygma), pemberitaan Injil (kesaksian), pemberita Injil (=saksi, penginjil, bentara). Sejak zaman Perjanjian Lama, Roh Allah, yang adalah Allah sendiri, telah berada dan bekerja di dunia. Dia telah mengeluarkan Israel dari Mesir, telah berkata melalui nabi-nabi, telah memenangkan Daud melawan Goliat dll. Dalam Perjanjian Baru, Roh Allah itu kita 136
HIDUPKU ADALAH IBADAH
sebut Roh Kudus. Ketika Yesus dibaptis, Roh itu turun ke dunia (Mrk. 1:9-11). Sejak peristiwa Pentakosta, la telah menumbuhkan gereja yang pertama (Kis. 2:1-13). la juga telah menggerakkan Paulus memberitakan Injil ke banyak negara. Selanjutnya la memimpin semua orang percaya untuk bersaksi tentang Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat dunia, menyongsong kesempurnaan Kerajaan Allah yang akan terjadi bersamaan dengan kedatangan Kristus yang kedua kelak. Tugas bersaksi dan kesaksian dari gereja-gereja adalah kesinambungan tugas rasuli. Bersaksi ialah menyaksikan Yesus Kristus baik secara lisan, tulisan dan perbuatan agar orang-orang lain mengenal bahwa Kristus itulah Juruselamat yang dicari orang sepanjang sejarah. Masyarakat mengadakan selamatan. Melalui selamatan itu orang mencari keselamatan dunia akhirat Apa yang dicari itu sebenamya terdapat pada diri Kristus. Sasaran kesaksian ini ke dalam (lingkungan warga gereja) dan ke luar (masyarakat). Baik ke dalam maupun ke luar, kesaksian dimaksudkan untuk membawa orang-orang lain mengenal Kristus. Orang Kristen yang benar itu bagaikan akan selalu bersaksi dengan segala cara, dan tidak ada kekuatan yang dapat membungkamnya. Hal-hal yang perlu kita tolak adalah: a. Tuduhan Kristenisasi. Bersaksi dan kesaksian bukan kristenisasi. Kristenisasi yaitu rencana untuk menjadikan sejumlah orang menjadi Kristen. Di Indonesia ini tidak pemah dan tidak mungkin ada rencana seperti itu. Kristenisasi adalah isu bohong. Kalau rencana seperti itu memang ada, dari mana saja, bukan hanya pihak lain tetapi kita pun harus menentangnya. Tugas kita hanya bersaksi. Hanya Roh Kudus yang memungkinkan seseorang menjadi Kristen dalam arti mengikuti Kristus. HIDUPKU ADALAH IBADAH
137
Kita pun juga harus menolak paham yang menyamakan kesaksian dengan penaklukan atau memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus seperti disuarakan gereja-gereja dan gerakan Pentakostal. Paham seperti itu tidak hanya menyakiti masyarakat, tetapi juga tidak memahami Injil Kristus secara utuh. Injil tidak hanya menyelamatkan rohani tetapi menyelamatkan manusia seutuhnya, jasmani-rohani sekaligus.Memang benar bahwa selama ini gereja-gereja hanya memberitakan “kepingan-kepingan” Injil. Misalnya, pemberitaan bahwa Kristus hanya menyalamatkan rohani saja. Tidak ada dasar untuk mengatakan bahwa yang terpenting ada-lah rohani atau bahwa yang rohani lebih penting daripada jasmani. Kesaksian atau Pekabaran Injil yang benar berarti menyampaikan Injil yang utuh untuk manusia yang utuh. Injil yang utuh berarti ti-dak hanya mempersoalkan rohani tetapi juga jasmani (kesejahteraan hidup, kemajuan pendidikan, hidup sehat, bertani dengan lebih produktif, maju dalam usaha dll). Manusia yang utuh berarti tumbuh berkembang secara seimbang dalam empat aspek besar: jasmani, mental, spiritual, sosial. Hak orang Kristen dan jemaat untuk bersaksi dijamin dalam negara Pancasila ini. UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menjamin kebebasan beragama. Yang tidak boleh dilupakan, semua usaha memberitakan Injil itu harus dilaksanakan dengan menghormati pihak-pihak lain. Tetapi di sisi lain, kita pun tidak dapat menyetujui pembatasan kebebasan beragama, termasuk pembatasan orang untuk berpindah agama karena keyakinan pribadinya. b.
138
HIDUPKU ADALAH IBADAH
C.
Dalam Pastoral (bersekutu= Koinonia) Persekutuan jemaat itu harus selalu dibangun. Basis persekutuan jemaat ialah persekutuan setiap warganya dengan Kristus. Persekutuan jemaat maupun antar gereja (oikumene) itu adalah salah satu buah persekutuan orang percaya dengan Kristus. Kita dipanggil supaya selalu memelihara hubungan dengan Kristus. “Allah yang memanggil kamu kepada per-sekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita ...” (1 Kor. 1:9). Bersekutu dengan Kristus berarti juga bersekutu dengan Roh yang memungkinkan ada kasih mesra dan belas kasihan (Flp. 2:1; 2 Kor. 13:13). Kita tidak hanya bersekutu dengan saudara-saudara seiman. Tuhan memanggil supaya kita menjadi terang dan garam dunia (Mat. 5:13-16). Karena itu kita juga harus bersekutu dengan semua orang yang bukan Kristen. Tugas menjadi garam dan terang itu mustahil terlaksana apabila kita terasing dari masyarakat umum. Yesus bergaul dengan semua orang tanpa pandang keyakinan atau agama. Hal itu hendaknya menjadi teladan untuk kita bersikap luwes/supel dengan siapa pun dalam masya-rakat. Dalam hubungan dengan sesama Kristen dan non Kristen kita harus mengembangkan wawasan, sikap dan solidaritas (berbela rasa, senasib sepenanggungan). Keluwesan tanpa solidaritas tidak punya arti! Pidato tentang kasih yang terbaik sekalipun segera menjadi sampah bila tanpa solidaritas! Kita harus berusaha agar anggota betah dalam persekutuan. Mereka tidak betah dan terus saja gelisah bila kasih dalam persekutuan itu hanya semu. Kapankah orang betah dalam persekutuan? Orang akan merasa betah dalam persekutuan bila persekutuan itu memberi keuntungan bagi dirinya. Beberapa contoh dari “keuntungan” dalam persekutuan: • Perhatian dan pertolongan pada saat sakit; HIDUPKU ADALAH IBADAH
139
• • • • • •
Peringatan bagi yang salah; Dikuatkan bagi yang lemah/frustrasi/ragu-ragu/takut; Pertolongna fisik (uang, barang) bagi yang miskin; Pujian bagi yang sukses; Ucapan selamat pada hari ulang tahun; Saling menghargai satu sama lain. (Semua orang ingin dihargai. Kata orang, “luwih becik kalah wang, katimbang kalah wong” (bhs. Jawa). Bila ada yang dilecehkan pasti tidak kerasan dalam persekutuan. Persekutuan jemaat dilakukan dengan banyak cara. Misalnya kebaktian (ibadah), PA (Pemahaman Alkitab), perkunjungan keluarga, penggembalaan dll. Di atas telah disebutkan pentingnya membangun persekutuan dengan masyarakat non Kristen. Karena itu betapa pun nikmatnya persekutuan jemaat,kita harus menjaga agar persekutuan itu tidak berubah menjadi “benteng persembunyian”, “tempat pelarian” atau “tempat pengasingan” dari dunia ini. Hambatan Dalam Bersekutu Dapat terjadi banyak hambatan dalam membangun persekutuan, antara lain budaya sungkan atau ewuh pakewuh. Rintangan budaya ini populer baik di lingkungan warga/pimpinan jemaat maupun masyarakat. Jarang orang yang mau berterus terang. Akibatnya, tidak ada persekutuan yang sejati, satu sama lain hanya baik secara kulit, tidak secara isi. Bagaimana pemecahannya? Mengacu kepada jemaat pertama (Kis. 2:41-46), kita seharusnya mengembangkan hubungan-hubungan yang makin lugas (=sederhana dan seadanya atau perikara) Pembagian lain menjadi dua macam saja, yaitu 1. Tugas ke dalam (intern) gereja. 140
HIDUPKU ADALAH IBADAH
2.
Tugas ke luar, yaitu tugas ke tengah masyarakat dll. Dengan tugas ke dalam dan ke luar ini proses kehidupan gereja itu kumpul-mencar- kumpul-mencar dst. Kegiatan kumpul adalah kegiatan persekutuan (ke dalam) seperti PA, ibadah, kebaktian keluarga, kebaktian kelompok atau blok, peringatan hari raya dst. Kegiatan mencar ialah penyebaran “ke luar” dari persekutuan dimana warga memasuki “dunia” sehari-hari seperti hidup bertetangga dalam masyarakat, hidup dan bekerja sebagai pegawai kantor, pedagang, pengusaha, buruh dll. Mereka “mencar”, hidup dan bekerja dengan iman masing-masing. Di dalam dunia mereka itu semua warga memiliki masalah, pengalaman dan pengalaman iman. Pengalaman iman ini me-reka bawa masuk ke persekutuan (ini gerak kumpul) dan dibagi-bagikan untuk saling menguatkan saudarasaudaranya seiman. Pengalaman lainnya, masalah-masalah dari dunia luar itu dibahas, dikembangkan, dicari titik tolak landasan-landasan teologis untuk mengatasinya bersama de-ngan saudara-saudara seiman. Kita perlu dilatih, dibina, ditrampilkan dalam menghadapi masalah/kesulitan di “dunia” masing-masing. De-ngan membawa masukan dari persekutuan itu kita berpencar kembali. Demikian proses kumpul mencar ini berlangsung terus menerus dan makin meningkat kadar dan intensitasnya sepanjang kehidupan kita mengikuti Tuhan. Proses itu bagaikan spiral, yaitu gerak maju secara melingkar, tak berujung, bersifat dinamis, menuju kepada kepenuhan Kerajaan Allah. Penutup Tentang ibadah. Kata “ibadah”berasal dari kata “abodah” atau “avoda” (bahasa Ibrani) yang artinya hasil kerja mencari nafkah atau melaksanakan perintah dari orang-orang Mesir sebagai majikan ketika HIDUPKU ADALAH IBADAH
141
Israel menjadi budak di sana (Kel. 1:14). Sesudah Israel beribadah di Bait Allah, kegiatan itu juga mereka sebut “ibadah”. Dengan demikian mereka meng-agama-kan istilah yang sebelumnya murni istilah duniawi. Dalam Perjanjian Baru, ibadah berorientasi kepada tindakan Yesus yang selalu melawan ibadah yang formalitas (serba resmi), legalistis dan ritualistik (asal memenuhi peraturan, mementingkan upacara). Orang merasa dirinya beres kalau ia sudah mengikuti ibadah (=upacara). Tingkah laku di luar ibadah dianggap tidak berhubungan dengan ibadah. Di mata Yesus ibadah seperti itu sia-sia belaka karena mengabaikan kasih sebagai inti agama. Kritik serupa itu telah dilancarkan oleh nabi-nabi pada zaman Perjanjian Lama. Misalnya, Amos yang mengatakan bahwa Allah membenci Israel, ibadah mereka sia-sia sebab mengabaikan keadilan (Am. 5: 21). Disebutkan bahwa Allah berdiri di dekat mesbah siap untuk memukul mereka (Am. 9:14). Nabi Hosea mengecam ibadah Israel. Disebutkan bahwa sekalipun mereka memberikan korban kambing domba dan lembu tetapi tidak menjumpai Tuhan, mereka berkhianat (Hos. 5:6-7). Dewasa ini kebanyakan umat Kristen memahami dan mempraktikkan ibadah sebagai ritual (upacara) rohani model Parisi di zaman Yesus. Banyak orang Kristen yang merasa puas bila sudah beribadah di gereja. Sering baik buruknya kekristenan seseorang hanya diukur dari rajin tidaknya beribadah. Usaha penggembalaan juga dimaksudkan agar warga rajin beribadah. Perihal bagaimana tingkah laku di luar ibadah seperti di kantor, dalam masyarakat dianggap tak terjangkau oleh ibadah. Banyak gereja sekarang sedang merohanikan segala urusan dan melaksanakan ibadah menurut seleranya sendiri. Seharusnya ibadah rutin itu berlanjut dengan
142
HIDUPKU ADALAH IBADAH
melayani (=menyatakan kasih secara konkrit) di dalam masyarakat. Kita harus mewaspadai trend (kecenderungan) yang baru ini. Dalam Pekabaran Injil, kita bersaksi tentang kasih Allah yang menyelamatkan dan suruhan “beritakanlah” kepada setiap orang yang mendengar Injil. (Isi Injil dua macam, yaitu berita keselamatan dan perintah supaya memberitakan Injil itu). Caranya? Dengan bahasa, tulisan, perilaku, kehadiran, film dll. Kegiatan bersaksi adalah kelanjutan dari kegiatan beribadah. Ibadah tanpa kelanjutan itu hanya mementingkan/memuaskan diri Diakonia sebagai pelayanan kasih yang bersumber dari Kristus merupakan ibadah yang dipraktekkan di luar ruang kebaktian, yaitu di tengah masyarakat Melalui diakonia berita kasih Allah dalam Yesus itu diwujudnyatakan. Tidak hanya bicara tentang kasih tetapi mengasihi secara nyata. Mereka yang lapar tidak membutuhkan khotbah tetapi membutuhkan nasi; mereka yang sakit membutuhkan obat dan bukan ayat-ayat Pengertian ini menuntut agar ibadah, termasuk khotbah, selalu mengarahkan umat untuk memperhatikan dan melayani, menjumpai mereka yang papa dan menderita dalam masyarakat. Pekabaran Injil dan diakonia itu dwitunggal. Pekabaran Injil tanpa diakonia, sama dengan omong kosong. Diakonia tanpa pemberitaaan Injil sama dengan usaha-usaha departemen sosial atau LSM kemanusiaan. Kebanyakan orang Kristen dan gereja melaksanakan tritugas ini secara berat sebelah, yang lebih mementingkan tugas bersekutu. Mementingkan persekutuan berarti mementingkan ritual atau upacara, termasuk kebaktian. Menyanyi sering lebih dipentingkan daripada menolong orang miskin.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
143
Diakonia sering dianggap sebagai tugas tambahan atau sambilan saja. Jumlah Diaken hampir selalu lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah Penatua. Diaken pun banyak yang larut dalam tugas Penatua, mereka lebih banyak memikirkan khotbah daripada memikirkan diakonia. Akhimya, sulit dibedakan mana yang Penatua dan mana yang Diaken. Kita harus mengajak kembali kepada paham yang benar dan praktik yang benar. Diakonia adalah tugas inti gereja. Gereja adalah diakonia, sebab tugas gereja ialah melayani. Kita harus mendorong agar tritugas gereja ini dilaksanakan secara seimbang: sungguh-sungguh bersekutu, bersaksi, dan melayani! Keseimbangan paham dan pelaksanaan ini harus mengakibatkan keseimbangan dalam program dan pembiayaannya. Kelemahan dalam pemahaman tentang warga jemaat Pertama-tama, upaya pemberdayaan warga jemaat melalui pembinaan warga jemaat, pemberitaan dan penggembalaan di jemaat-jemaat pada umumnya masih jauh dari optimal, bahkan kerap kali insidental sifatnya. Kalaupun ada pemikiran dan upaya untuk menjadikannya sebagai upaya yang utuh dan sinambung, biasanya hal itu tidak didukung dengan adanya program atau bahkan “kurikulum” yang jelas. Yang kedua, partisipasi warga jemaat dalam kegiatan-kegiatan terutama yang menentukan arah dan kinerja jemaat amat kurang. Misalnya dalam proses perumusan visi-misi, penentuan tujuan-tujuan antara, dan penyusunan program, biasanya yang amat berperan adalah Majelis Jemaat, terutama pendeta, dan pengurus badan-badan pelayanan. Prof. Schippers menyebut gejala seperti itu sebagai”pola dasar pendeta” (het pastorale grondmodel) dalam jemaat, yaitu pola dinamika hidup bergereja yang berpusat pada pendeta. Contohnya 144
HIDUPKU ADALAH IBADAH
adalah syarat pelembagaan pendeta yang “mengharuskan” cukupnya dana untuk memanggil pendeta, atau ketetapan (lokal) bahwa ketua Majelis Jemaat haruslah seorang pendeta. Dan penyebab yang lain adalah tidak tersedianya cukup “ruangan” bagi warga jemaat untuk terlibat, baik secara praktis maupun dalam hal-hal penentuan kebijakan. Yang ketiga, yang amat erat kaitannya dengan yang kedua, warga jemaat kerap kali tidak didengar dalam pengambilan keputusankeputusan, terutama yang menyangkut mereka sendiri secara langsung. Terlalu sering ungkapan seperti ini diperdengarkan: “Ini sudah diputuskan oleh Majelis Jemaat dalam rapat majelis jemaat…” Pernyataan ini bukan hanya tidak bijaksana, tetapi juga tidak sesuai dengan jiwa kepemimpinan kolegial dan pasti bertentangan dengan prinsip kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Terlalu banyak kuasa untuk menentukan kebijakan yang menggumpal dalam Majelis Jemaat, dalam Persidangan Majelis Jemaat, bahkan Badan Pekerja Majelis Jemaat. Alur komunikasi dan informasi kerap kali hanya beredar dalam Majelis Jemaat. Kalaupun mengalir ke badan-badan pelayanan, hal itu hanyalah karena tidak bisa lain.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
145
Referensi: Blake, Robert R. and Jane S. Mouton,2009: Managerial Grids III. Houston, Gulf Publishing Co. Blanchard Ken & Hodges Phil, 2007, Lead Like Jesus, Belajar dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman, penerjemah: Dinonisius Pare, Jakarta: Visi Media. Covey R. Stephen, 1997, Principle Centered Leadership (Kepemimpinan yang Berbrinsip), alih bahasa: Julius Sanjaya, Jakarta: Binarupa Aksara. _________________, 1997, The 7 Habits of Highly Effective People, penerjemah: Budijanti, Jakarta: Bina Rupa Aksara. _________________, 2006, The 8th Habit, Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan, penerjemah: Brata S. Wandi & Isa Zein, Jakarta: Gramedia. Danin Sudarwan., 2003, Menjadi Komunitas Pembelajar, Kepemimpinan Transformasional dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara. ___________________, 2006, Visi Baru Manajemen Sekolah, Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta: Bumi Aksara. D’Souza Anthony., Ennoble, Enable, Empower, Kepemimpinan Yesus Sang Almasih, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Firmanto Antonius Denny, 2005, Pengelolaan dan Pemberdayaan Jemaat, Malang: Dioma. Hall John, et al., 2002, Transformational Leadership: The Transformation of Managers and Associates, www.edis.ifas.ufl.edu.com. Junaidi W., 2010, Model Kepemimpinan Transformasional (Models of Transformational Leadership), 6 Januari 2010, Blogspot.com.
146
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Konperensi Wali Gereja Indonesia, 2006, Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Jakarta: KWI. Konsili Vatikan II, 1993, Dokumen Konsili Vatikan II, penerjemah: Hardawirayana, DOKPEN KWI, Jakarta: Obor. Koontz H., O’Donnell & Weihrich H., 1990, Manajemen, Jilid I, Jakarta: Erlangga. Lowney Chris, 2005, Heroic Leadership, alih bahasa: Alfons Taryadi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Maxwell C. John, 2001, The 21 Indispensable Qualities of A Leader (21 Kualitas Kepemimpinan Sejati), alih bahasa: Saputra Arvin, Batam: Interaksara. _______________, 2006, 5 Teladan Kpemimpinan, Jakarta: Gramedia. O’Leary Elizabeth, 2001, Kepemimpinan, Yogyakarta: Andi. Piet Go, Pastoral Sekolah, Visi-Tugas-tugas Pokok-Operasionalisasi, Malang: Dioma1991. _______, Katolisitas Sekolah Katolik, 2005, Dioma: Malang. Sudrajat A., 2008, Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah, 15 April 2008, Blogspot.com. Sujoko Albertus, 2008, Belajar Menjadi Manusia, Berteologi Moral menurut Bernard Haring CSsR, Yogyakarta: Kanisius. Wirawan, 2008, Teori Kepemimpinan Transformasional, 9 Juli 2008, Blogspot.com.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
147
AKTIVITAS KATEGORIAL DALAM MENGHIDUPI IBADAH Pdt Gloriati Ndraha
I.
Pendahuluan Di dalam gambaran pikiran umat Kristen jika kata ibadah disebutkan, maka yang terlintas adalah suatu ritual keagamaan yang sering dilaksanakan setiap hari Minggu atau hari-hari raya gerejawi saja. Ibadah dimaknai sangat terbatas, sehingga kebanyakan umat Kristen merasakan perjumpaan dengan Allah hanya di dalam lingkup gereja melalui ibadah, kebaktian atau liturgi tiap hari-hari tertentu. Ibadah yang dimaknai sebagai suatu ritual keagamaanpun masih jarang dimaknai oleh warga jemaat dengan baik, sehingga pertemuan dengan Allah dalam kegiatan peribadahan inipun tidak terasa, maka ketika ibadah berakhir, jemaatpun tidak merasakan ada suatu hal positif yang sangat bermakna di dalam kehidupan dan jiwanya. Untuk mendapat makna yang sesungguhnya, maka dalam pelaksanaan ibadah dalam bentuk ritual keagamaan penting agar terlebih dahulu dimaknai setiap langkah-langkah ibadah (unsur-unsur liturgi) tersebut oleh jemaat. Rasul Paulus menuliskan nasihatnya kepada Timotius: “Latihlah dirimu beribadah” (I Tim. 4:7b). Lebih lanjut Rasul Paulus berkata: “.... ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini, maupun untuk hidup yang akan datang”.
148
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Dengan demikian ibadah adalah suatu hal yang sangat penting dalam hidup orang-orang Kristen. Bahkan harus dipahami, bahwa ibadah merupakan identitas orang-orang percaya. Kosa kata ibadah dalam Alkitab sangat luas, tetapi konsep asasinya ialah “pelayanan”. Ibadah dalam bahasa Ibrani adalah ‘avoda’ dan dalam bahasa Yunani adalah ‘latreia’. Di dalam Perjanjian Lama (PL), pada masa para bapa leluhur, ibadah dimaknai sebagai persekutuan pribadi dengan Tuhan dan perjumpaan pribadi dengan Allah. Misalnya Abraham, berkali-kali Abraham mengalami pertemuan dengan Allah dan beberapa kali pula Abraham mendapat janji (perjanjian) dari Allah (band. Kej. 12). 1 Dalam riwayat Bapa Leluhur secara keseluruhan, yang ditentukan dalam hal ibadah bukanlah upacara-upacara dan ritus-ritus yang mereka langsungkan, melainkan hubungan pribadi mereka dengan Allah. Maka yang menjadi inti utama cerita Bapa Leluhur adalah pertemuan, bukan tempat keramat yang ditempat itu kebetulan mereka beribadah, atau nama ilahi yang mereka pakai. Persekutuan dengan Allah sangat erat hubungannya dengan ibadah dalam kehidupan sehari-hari para bapa leluhur. 2 Meskipun upacara-upacara ibadah tidak menjadi hal yang utama pada masa Bapa Leluhur, namun dalam perkembangannya unsurunsur ritual dalam ibadah sangat bermakna bagi pendalaman keimanan umat. Jika umat memahami dan memaknai rangkaian ibadah dalam bentuk ritual yang terdiri dari beberapa unsur-unsur (sering disebut unsur-unsur liturgi), maka melalui dasar pemahaman ibadah inilah maka umat akan berkembang hingga mengimplementasikan imannya dalam seluruh eksistensi kehidupannya. 1 2
H.H Rowley, Ibadat Israel Kuno, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 22-24 Ibid, hlm. 25-26
HIDUPKU ADALAH IBADAH
149
Seiring dengan pemahaman ibadah pada PL, jika kita merujuk ke PB maka pemahaman Marthin Luther menjadi salah satu penghubung pemahaman ibadah PL dengan PB. Marthin Luther memahami bahwa ibadah adalah persekutuan dengan Allah oleh iman. 3 Yang terpenting dalam ibadah menurut Luther adalah bagaimana agar jemaat mengalami dengan nyata tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus. Gereja (jemaat) dewasa ini mengalami krisis memaknai ibadah. Tidak kita pungkiri banyak juga dari warga jemaat gereja-gereja arus utama merasakan kekrisisan makna ibadah. Banyak jemaat yang berpikir bahwa ibadah itu hanyalah hari Minggu saja dan esensi ibadah yang diikuti setiap hari minggu adalah sebuah rutinitas dan tradisi yang sangat malu jika tidak diikuti.4 Datang beribadah ke Gereja, duduk dan mengikuti ritual (liturgy) seperti robot karena sudah bertahun-tahun dilaksanakan tanpa meresapi makna dari setiap bagian liturgy itu sendiri. Alhasil keluar dari gedung gereja seluruh yang telah dilakukan, diakui dan didengarkan hilang dan tidak berarti dalam kehidupan setiap hari sepanjang minggu. Ibadah bagi jemaat itu sebenarnya esensinya sangat penting. Seperti yang dinyatakan Marthin Luther, bahwa ibadah adalah persekutuan dengan Allah oleh iman. Ibadah adalah saat dimana jemaat mengalami dengan nyata tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus dan Firman Tuhan diberitakan dengan murni dengan bahasa yang dimengerti jemaat dan sakramen yang dilayankan dengan benar akan membuat jemaat masuk ke dalam esensi ibadah tersebut. 3 Vilmos Vajta, Ibadah Menurut Luther: Sebuah Tafsiran, Akademi Lutheran Indonesia, 2012, hal.18 4 Rasa malu ini mempengaruhi pemikiran jemaat (khususnya di Nias) yang mayoritas adalah umat Kristen. Malu jika tidak ke Gereja (ibadah) hari Minggu karena bisa dianggap kafir.
150
HIDUPKU ADALAH IBADAH
II.
Memahami Ibadah Yang Hidup Eka Darmaputera di dalam bukunya “Pemimpin Yang Memimpin” mengutip McCracken tentang beberapa model sikap gereja dan warga jemaat, yakni:5 1. Rutinisme Secara sederhana, terjadi ketika gereja secara mekanis menjalankan apa yang rutin. Artinya, apa yang telah ‘biasa’ ia lakukan dari waktu ke waktu. Orang-orang masih ke gereja pada hari Minggu, mengaku Kristen, tetapi kegiatan di gereja hanya ‘numpang tidur’ saja. 2. Formalisme Secara sederhana, formalism diterjemahkan sebagai sikap serba ‘resmi-resmi’. Semua mesti resmi dan sah. Harus berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. sampai titik dan koma. Eka Darmaputera memberi contoh; ada orang kecelakaan persis di seberang sebuah gedung gereja. Ia membutuhkan darah segera. Gereja sebenarnya bisa menolong, sebab mempunyai sejumlah donor. Namun tidak dilakukan segera karena Surat Keputusan (SK) untuk menolong korban belum ada. Sedangkan untuk penerbitan SK mesti diadakan rapat terlebih dahulu. Agar rapat dapat sah maka undangan rapat harus memenuhi quorum, undangan rapat sudah harus disebarkan paling sedikit tiga hari sebelumnya. Dan ketika akhirnya SK resmi diterbitkan dan donor sudah bisa diberikan, tetapi pada saat itu sudah tidak diperlukan pertolongan lagi. Gereja terlambat, karena si korban telah meninggal dunia tiga hari sebelumnya.
5
Eka Darmaputera, Pemimpin Yang Memimpin, Yogyakarta: Kairos, 2011, hal. 3435
HIDUPKU ADALAH IBADAH
151
3.
Verbalisme Verbalisme dapat disederhanakan dengan hanya bicara saja, omong doang. Gereja-gereja yang terperosok dalam verbalisme adalah gereja-gereja yang omongannya dan pernyataanpernyataannya tinggi tetapi praktiknya tidak ada. Ketiga sikap tersebut di atas membuat gereja mandul bahkan Eka Darmaputera mengatakan “skandal besar”. Yang diteriakkan kasih, tetapi yang ditebarkan kebencian. Yang dianjurkan kerendahan hati, tetapi yang tampak adalah arogansi. Inilah kegagalan kita, agama (ibadah) akhirnya hanya sekedar formalisme, ritualisme dan seremonialisme yang pada gilirannya membuat kehidupan cenderung sangat individualistic, egoistic dan kurang peduli terhadap lingkungan sosialnya. Moral yang berkembang akhirnya merupakan moral ganda: moral hari Minggu/ibadah dengan moral Senin sampai Sabtu yang berbeda.6 Keadaan dimana warga nampak saleh dan giat di dalam kegiatan ritualisme keagaamaan Ibadah) tetapi dalam kehidupan sehari-hari sangat jauh dari kesalehannya menjadi warna khusus bagi kehidupan umat. Umat terperangkap hanya di dalam kegiatan ritualistic. Ritus, kultus ataupun seremoni tidak salah. Kegagalan kita adalah ketidakmampuan umat untuk mengimplementasikan makna ibadahnya dalam kehidupan sehari-harinya yang merupakan rangkaian ibadah itu sendiri. Untuk memahami arti dan makna ibadah yang sesungguhnya, ada beberapa kata yang dari beberapa bahasa yang digunakan untuk kata ibadah. Dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah Gottesdienst yang dimaknai “Pelayanan Allah dan pelayanan kita kepada Allah”, 6 Fridolin Ukur, Ibadah dan Tantangan Etik, Victor Silaen (ed) dalam “Gereja dan Reformasi”, Jakarta: Yakoma-PGI, 1999, hal. 175
152
HIDUPKU ADALAH IBADAH
bahasa Inggris yang dekat dengan makna ini adalah service yang berarti “pelayanan”, pelayanan yang dilakukan untuk orang lain.7 Konsep ibadah ini dalam bahasa Inggris modern adalah liturgy. Makna kata liturgy sering dipersempit dengan hal-hal seremonial, padahal makna iliturgy ini sangat luas jika kita memahami asal-usulnya dalam dunia sekuler. Liturgy berasal dari kata Yunani leitourgia yang terdiri atas kata-kata “ergon” yang berarti bekerja, dan “laos” berarti umat atau rakyat. Jadi, dalam dunia Yunani kuno, liturgy adalah pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat, sesuatu yang dilakukan demi kepentingan kota atau negara. Tetapi, dalam dunia religi liturgy dimaknai sebagai pelayanan yang diberikan secara ikhlas. Seperti yang disampaikan Paulus dalam Roma 15:16 a liturgist of Christ Jesus to the Gentiles (Paulus menyebut dirinya sebagai pelayan Kristus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi).8 Paulus juga menyebutkan bahwa para penarik pajak juga sebagai pelayan (leitorgoi) Allah (Rm.13:6). Liturgi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang demi manfaat orang lain. Dengan kata lain, liturgi adalah contoh sejati dari imamat semua orang percaya yang didalamnya seluruh imamat komunitas Kristen mengambil bagian. Menyebut suatu ibadah bermakna “liturgis” adalah untuk mengindikasikan bahwa orangorang yang beribadah itu turut aktif mengambil bagian dalam menyajikan ibadahnya.9 Selain kata liturgy, bahasa Inggris juga memakai kata worship yang juga mempunyai akar sekuler. Kata worship berasal dari kata Inggris kuno weorthscipe yang secara hurufiah terdiri atas weorth
7
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 12-13 Ibid, hlm. 14 9 Ibid 8
HIDUPKU ADALAH IBADAH
153
(worthy) dan scipe (-ship) yang berarti memberi penghargaan atau penghormatan kepada seseorang.10 Perjanjian Baru memakai pelbagai istilah untuk ibadah. Salah satu kata yang biasa dipakai adalah latreia, yang sering diterjemahkan sebagai pelayanan atau ibadah. Dalam Roma 9:4, Ibr. 9:6, Yoh. 16:2 (Ibadah Yahudi dalam sinagoge dan kegiatan agama), Roma 12:1, kata itu biasanya diterjemahkan benar-benar sebagai ibadah dan mempunyai arti yang serupa dalam Fil.3:3 (beribadah oleh Roh Allah). Dari beberapa kata yang dipakai untuk mendefenisikan dan memaknai ibadah, maka kata leitourgia atau liturgy (Kis.13:2) yang sering dipakai Paulus dalam surat-suratnya dapat menolong kita untuk memahami makna ibadah yang sesungguhnya. Liturgi sebagaimana pemahaman Paulus adalah pengabdian kepada Allah dan juga sikap beriman sehari-hari, tidak hanya terbatas pada perayaan gereja dan ritual-ritual keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari umat Kristen pemakaian kata ibadah sering sekali hanya diartikan sebagai kegiatan ritual keagamaan seperti ibadah Minggu yang terbatas pada sisi selebrasi atau upacara bagi Tuhan saja (walau itu penting!). Tetapi makna ibadah yang sesungguhnya sangat dekat dengan makna latreia yang disampaikan Paulus di dalam Roma 12:1 “Karena itu saudara-saudaraku, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati”. Dalam nats ini Paulus menggunakan kata latreia untuk ibadah. Kata latreia sama dengan kata avoda yang berarti dan bermakna sebagai suatu pelayanan yang dipersembahkan sebagai ketaatan
10
Ibid, hlm. 15
154
HIDUPKU ADALAH IBADAH
kepada Allah, makna ini tidak hanya berarti beribadah di Bait Suci saja, tetapi ibadah dalam kata latreia dan avoda juga bermakna pelayanan kepada sesama, Kis. 10:25 tentang orang Samaria yang baik hati, Mat. 5:23 tentang hal berdamai dengan sesama, Yoh. 4:20-24 tentang berita keselamatan kepada perempuan Samaria, Yak.1:27 tentang ibadah yang murni yakni mengunjungi janda dan para yatim dalam kesusahan mereka.11 Berdasarkan pada makna ibadah ini, maka Paulus menasihatkan agar manusia mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup, artinya seluruh dimensi kehidupan manusia haruslah dipersembahkan kepada Tuhan, dan Tuhan dapat dijumpai manusia melalui sesamanya manusia (band. Mat. 25:40). Dari penjelasan di atas berarti ibadah tidak hanya sekedar seremoni setiap hari Minggu. Dan pesan Firman Tuhan tidak hanya berhenti di hari Minggu saja tetapi dihidupi di dalam kehidupan sehari hari. Bagaimana agar pesan Firman Tuhan bisa mendarat ke hati dan kehidupan seluruh warga jemaat dalam satu gereja jika hanya sekali seminggu pendeta/pelayan menyampaikan Firman Tuhan untuk jemaat yang berjumlah ratusan bahkan ribuan dan dengan berbagai kategori usia dan kebutuhan, maka dampaknya memang amat sulit bagi para pelayan untuk memfokuskan aplikasi Firman Tuhan yang disampaikan pada kategori dan kebutuhan yang beragam itu. Lalu apa yang harus dilakukan? Membangun kelompok kategorial atau biasa disebut komisi-komisi di dalam gereja adalah salah satu langkah yang menolong pelayan dan jemaat untuk lebih bisa mendalami Firman Tuhan yang setiap minggu disampaikan dan dilanjutkan lagi melalui Penelaahan Alkitab (PA) dan Persekutuan Doa (PD) dihari lainnya setiap minggu. beberapa kelompok kategorial ini adalah; kategorial 11
Band. J.D. Douglas (peny.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, Jakarta: YKBK/ OMF, 2002, hlm. 409
HIDUPKU ADALAH IBADAH
155
anak, kategorial remaja dan pemuda, kategorial perempuan dan kaum bapak. Kelompok kategorial ini bertujuan juga untuk melibatkan warga yang mempunyai kesamaan minat dalam bidang-bidang tertentu misalnya kategorial musik gerejawi. Apapun jenis kelompok kategorial ini inti kegiatannya adalah ibadah dalam bentuk PA dan PD, dan lebih dari pada itu, tujuan dan bentuk ibadah kegiatan kategorial ini yakni ‘koinonia’ dan ‘diakonia’. Mengapa koinonia dan diakonia sangat penting? Koinonia dan diakonia sangat penting sebab saat ini kita berada di tengah era globalisasi yang cenderung individualistis dan apatis sehingga rasa empati kepada sesama dan seluruh ciptaan menjadi pudar. A.A. Yewangoe dalam tulisannya yang berjudul tantangan gereja memasuki abad XXI12 mengutip pernyataan John Nisbit tentang era globalisasi yakni, bahwa revolusi komunikasi akan mengubah begitu rupa relasi antar manusia yang selama ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Telekomunikasi akan menjadi kekuatan penggerak yang secara serentak menciptakan ekonomi global yang sangat besar dan menjadikan bagian-bagiannya lebih kecil dan lebih kuat. Terjadilah apa yang disebutnya pembauran teknologi saat computer, telepon dan televisi bergabung menjadi satu industry telekomunikasi dengan kemampuan yang dahsyat. dan masyarakat kita akan cenderung menjadi masyarakat mekanis. Demikianlah akhirnya warga jemaatpun menjadi individualis, bahkan beribadah Minggupun tidak perlu ke Gereja lagi karena di televisi sudah banyak suguhan kebaktian-kebaktian Minggu yang spektakuler. Hal itu tidak salah, tetapi kurangnya adalah ‘persekutuan’ 12
A.A. Yewangoe, Tantangan Gereja Memasui Abad XXI, dalam Weinata Sairin, ‘Visi Gereja Memasuki Millenium Baru”, Jakarta: BPK-GM, 2002, hal. 2-3
156
HIDUPKU ADALAH IBADAH
dengan sesama menjadi tereliminir dan ada banyak bagian dari ‘liturgy’ tidak tersentuh langsung dan terlebih lagi jika warga jemaat tersebut menganggap bahwa ibadah adalah hanya sebatas mendengar firman Tuhan dan lagu-lagu rohani saja maka warga jemaat tersebut sangat kurang beruntung, karena ibadah yang sesungguhnya tidak hanya di hari minggu saja dalam gedung gereja atau televisi tetapi di setiap waktu, di setiap tempat, di setiap keadaan dan kepada seluruh makhluk agar kita bisa mengalami dengan nyata tindakan penyelamatan Allah kepada kita. Persekutuan adalah salah satu doa Yesus kepada Bapa, “Ya, Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yoh. 17:11b). III.
Aktivitas Kategorial Dalam Membangun Ibadah Yang Hidup Biasanya sebuah gereja sangat bangga jika jumlah warga jemaatnya banyak dan apalagi jika gedung gerejanya megah. Setiap hari Minggu gedung gereja dipenuhi oleh warga jemaat (tetapi sebahagian warga jemaat duduk di depan televisi saja setiap Minggu) dan liturgy disusun sedemikian rupa. Setelah ibadah Minggu selesai, maka bubarlahlah seluruh warga jemaat dan gedung gereja kosong hingga minggu depannya lagi. Terkadang juga karena begitu banyaknya warga jemaat bahkan Pendeta dan para Pelayan tidak mengenal dan mengetahui kondisi tiap warga jemaatnya dengan baik. Atau di sisi lain ada gereja yang hanya sibuk dengan kegiatan orang dewasa dan menganggap anak-anak Sekolah Minggu cukup diurus Guru Sekolah Minggu dengan nyanyian-nyanyian saja, karena toh anak-anak “tidak penting”. Atau terkadang para pelayan sebal dengan para pemuda-pemudi yang hanya memusingkan kepala orang tua saja dan permintaan pemuda-pemudi sangat tidak masuk akal, maka HIDUPKU ADALAH IBADAH
157
pemuda-pemudi di dalam gereja dianggap sebagai “hiasan” gereja saja. Atau terkadang perempuan dianggap remeh dan hanya diperlukan jika ada kegiatan yang membutuhkan ‘seksi konsumsi’ saja. Apakah gereja kita masih melakukan hal seperti itu? Jika ya, berarti gereja kita sedang sakit dan mungkin sekarat menuju kematian. Marilah kita perhatikan sedikit contoh-contoh kategorial yang membutuhkan perhatian dan membutuhkan tekanan pemahaman ibadah yang sesungguhnya agar jemaat kita pulih dan hidup kembali; a. Kategorial Anak13 Kategori anak-anak ini biasanya mulai dari 3-12 tahun.14 Pada usia 3-5 (sebenarnya 0-5) adalah usia emas bagi balita kita, kita perhatikan di usia 3-5 tahun anak-anak kita yang sudah ikut di play group dalam kegiatan gereja mulai menampakan rasa ingin yahu yang sangat besar. Bertanya ini dan itu seperti para filsuf yang mencari kebenaran. Dan di usia ini anak-anak yang masih balita ini senang menjiplak kata-kata dan perbuatan orang yang lebih dewasa darinya terutama keluarga batihnya. Dan bagi anak yang berusia 6-12 tahun dapat pengaruh juga dari orang-orang di luar keluarga batihnya kerena sudah berbaur dengan banyak orang dan kegiatan di luar rumah. Maka, ana-anak balita hingga usia 12 tahun inipun akan menjadi generasi yang tidak baik dan tidak cerdas jika orang-orang dewasa di sekitarnya tidak mengajarkan nilai-nilai etis, bahkan orang-orang dewasa di sekitarnya mengajarkan hal-hal yang tidak etis. Orang tua
13 Umumnya disebut Komisi Sekolah Minggu. BNKP memakai Komisi Pelayanan Anak, karena pelayanan yang dilakukan tidak hanya pada hari Minggu saja, tetapi ada hari-hari tertentu dalam Minggu diadakan kegiatan bagi anak-anak dan atau kunjungan ke rumah anak-anak. 14 Anak-anak usia 0-2 tahun (BATITA) juga termasuk di dalam kategorial Anak (SM) dalam gereja), hanya di dalam dampak perubahan ini saya berpikir bahwa anak mulai usia 3 tahun yang mulai berpotensial untuk terpengaruh.
158
HIDUPKU ADALAH IBADAH
tidak mengontrol berita-berita yang di dengarkan anak dari media massa dan media elektronik. Penggunaan gadget yang tidak terkontrol oleh orang dewasapun berakibat buruk bagi anak-anak. Sangat disayangkan jika saat ini anak-anak usia 3- 12 tahun lebih senang dengan cerita kartun (animasi) disbanding cerita tentang Yesus Kristus. Bahkan gadget membuat anak-anak tidak senang lagi bersekutu dan bermain dengan teman-temannya setiap hari dan khususnya di hari Minggu di gereja, karena gadget menyita hampir seluruh waktu bermainnya dan kondisi ini menciptakan anak menjadi manusia yang individualis kelak. Ini adalah tantangan bagi gereja dan para guru sekolah Minggu bagaimana untuk membangun ibadah Minggu Anak yang menarik dan bermakna. Dan tentu saja yang terpenting lagi adalah bagaimana agar nilai-nilai kekristenan ditanamkan kepada anak sejak usia dini dengan metode yang baik, menarik dan bermakna dan tidak cukup hanya satu kali dalam seminggu.15 Kategorial Pemuda16 Di dalam suatu gereja, kategori atau komisi pemuda ini pada setiap gereja pasti ada. Pada umumnya kategori pemuda yang menjelang dewasa adalah orang yang berumur 15 tahun ke atas. Pada masa ini biasanya pemuda merasa bebas untuk berlaku b.
15 Di BNKP pendidikan Kekristenan di usia dini mulai menjadi perhatian khusus. Maka tim Kurikulum Katekisasi dan Sekolah Mingu mengusulkan agar para pengajar Sekolah Minggu dan Guru-guru Katekisasi haruslah berlatarbelakang Teologi (Pendeta dan Guru Agama), atau Guru-guru Sekolah Minggu yang tidak berlatarbelakang Teologi harus mengikuti sermon setiap minggunya yang dipimpin oleh Pendeta atau Guru Agama Kristen. 16 Di BNKP kategori pemuda adalah warga jemaat yang berusia 21-35 tahun. Tetapi pada persidangan Badan Pekerja Majelis Sinode September 2013 diputuskan bahwa komisi pemuda menjadi Komisi Pendampingan Remaja dan Pemuda, usia remaja hingga 35 tahun termasuk dalam anggota komisi ini.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
159
sekehendaknya. Ia tidak menghiraukan akibat-akibat tindakannya atau menganggap ada orang lain yang akan bertanggungjawab atas kelakuannya, entah itu orang tua atau walinya atau siapa saja yang menjadi pelindungnya.apa ia sadar atau tidak, masyarakat menganggapnya sudah akilbalig atau dewasa pada umur 21 tahun. Artinya, ia dapat dihadapkan pada pengadilan.17 Para pemuda di dunia ini sedang diperhadapkan juga dengan era yang bebas dan kompleks. Era dimana narkotika dan obat terlarang dengan mudah diedarkan dan diperoleh oleh anak-anak muda. Pergaulan bebas hingga sex bebas. Situs-situs yang tidak layak dan kita anggap tabu bergerak bebas di dunia maya dengan kecanggihan alat teknologi saat ini. Kita tidak dapat membendung kecanggihan iptek dan tidak mudah menghentikan peredaran narkoba di bumi ini. Lalu dengan tantangan seperti di atas, bagaimana gereja dapat menanggapinya? Atau kita mengatakan bahwa itu adalah tanggung jawab pemerintah dan aparat kepolisian saja? Lalu bagaimana dengan pemuda pemudi di gereja kita? Tantangan ini juga harus menjadi catatan bagi gereja terlebih khusus untuk mendampingi dan menolong pada pemuda-pemudi Kristen. Baiklah di dalam gereja kita menghargai, membangun komunikasi dan relasi yang baik dengan para pemuda-pemudi kita di gereja. Hal ini bukan hanya tanggung jawab pengurus gereja saja tetapi terlebih-lebih tanggung jawab orang tua. Sulitnya, gereja dan persekutuan komisi pemuda bagi para pemuda kita dirasa tidak menjadi jawaban bagi mereka. Para pemudapemudi malah banyak yang merasa bosan, karena ada banyak gereja yang tidak menghiraukan pemuda-pemudinya. Jika dilaksanakan
17
O.E.Ch. Wuwungan, Bina Warga, Jakarta: BPK-GM, 1997, hal. 139
160
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Penelaahan Alkitab dan Persekutuan Doa biasanya para sintua atau pendeta menyampaikan renungan seperti ceramah yang tidak menarik dan tidak menyentuh kondisi kehidupan para pemudapemudi. Tidak adanya kegiatan dan aksi yang menantang dan membangun kreatifitas para pemuda-pemudi juga membuat para pemuda di dalam komisi pemuda di gereja menjadi enggan mengikuti persekutuan di komisi pemuda ini. Sehingga dalam praktik hidupnya para pemuda-pemudi Kristenpun banyak yang hidup menyimpang dari kehendak Tuhan. Hari Minggu berlalu, Senin sampai Sabtu pemuda-pemudi hidup dalam ketidakbaikan. Jika kondisinya seperti di atas, maka sulitlah gereja mendampingi dan menolong para pemuda-pemudi gereja yang sedang berada di era kebebasan ini, karena para pemuda-pemudi itu menjauh dari kegiatan gerejani yang kebanyakan bagi mereka gereja dan seluruh kegiatannya tidak menolong dan membangun mereka. Dalam hal ini gereja (para pelayan) harus mulai membenahi dirinya untuk membangun komunikasi yang baik kepada para pemudapemudi gereja dan menciptakan kegiatan kristiani yang berdampak positif bagi diri pemuda sendiri dan bagi seluruh lingkungannya. Misalnya saja gereja mendampingi dan mendukung pemuda dalam kegiatan kemanusiaan seperti; membuat pagelaran music yang bertujuan untuk menghimpun dana bagi penanggulangan bencana, kegiatan pendampingan dan penguatan orang yang terinfeksi HIV/ AIDS, kegiatan penyelamatan hutan, dan sebagainya yang kegiatannya tidak melulu berdoa dan berkhotbah, tetapi kegiatan-kegiatan yang kreatif dan menantang dan kegiatan itu adalah ‘ibadah’ yang hidup karena merupakan kegiatan pemberitaan kabar sukacita.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
161
c.
Kategorial Perempuan Perempuan dalam dunia sosial sering sekali dianggap sepele. Salah satu alasannya adalah seperti pikiran Aristoteles (384-322 SM) menyatakan “perempuan adalah manusia yang tidak sempurna”. Aristoteles menyatakan bahwa laki-lakilah manusia yang telah sempurna, terutama dari segi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, sedangkan perempuan hanya memiliki kecerdasan yang sangat lemah, maka perempuan bukan manusia sempurna atau makhluk setengah manusia.18 Konstruksi budaya, sosial dan politik menetapkan peraturanperaturan yang pada hakekatnya melemahkan keberadaan dan status perempuan. Sehingga gereja ikut menjadi bagian yang melemahkan perempuan, atau bahkan gereja yang menciptakan kelemahan itu, sehingga dalam kegiatan gerejani perempuan hanya diikutsertakan di bidang domestic seperti seksi konsumsi, dekorasi dan penerima tamu.19 Pandangan di atas merupakan tantangan bagi gereja dan bagi perempuan sendiri khususnya. Meskipun demikian syukurlah pada masa ini status perempuan sudah semakin baik di beberapa sisi. Jika sebelumnya perempuan dilarang menjadi imam dalam sebuah gereja berdasarkan ajaran Paulus yang salah ditafsirkan dalam 1 Tim. 2:12 yang berbunyi” Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri”. Berdasarkan ayat tersebut maka di dalam gereja sulitlah perempuan mendapat pengakuan. Menanggapi hal ini, maka J.B
18
Band. Ali Hosein, Membela Perempuan: Menakar Feminisme Dengan Nalar Agama, Jakarta: Al Huda, 2005, hlm.1 19 Kita bisa perhatikan dalam susunan kepanitian setiap hari-hari raya gerejawi, biasanya perempuan hanya berada di seksi konsumsi, dekorasi dan penerima tamu.
162
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Banawiratma menyatakan bahwa ketidakadilan gender bertumbuh subur di dalam gereja, sebab tradisi yang dianut dan yang diyakini adalah tradisi patriarkhi, sehingga perempuan menjadi tersubordinasi dan terjadi pendiskriminasian terhadap perempuan di dalam segala bentuk persekutuan.20. Marilah sebentar kita mengingat keberadaan gereja kita. Pada hari Minggu pada saat ibadah mingguan misalnya, siapakah yang lebih banyak memenuhi kursi gereja? Di Nias biasanya 2/3 dari jumlah warga jemaat adalah perempuan. Pertanyaannya, kemanakah laki-laki? Dan apalagi yang hadir di dalam ibadah mingguan itu adalah perempuan-perempuan yang sudah menikah. Pertanyaan lagi, dimanakah suami-suami mereka? Apakah setengah dari perempuan-perempuan tersebut janda? Jawabannya, tentu saja tidak. Tetapi fenomena yang terjadi di Nias khususnya di daerah pedesaan, pada hari Minggu para laki-laki bermain volley dan bapak-bapak duduk diwarung tuak, dan akhir-akhir ini togel juga marak di Nias. Mungkin fenomena yang sama terjadi di beberapa daerah Sumatera Utara. Kondisi inipun menjadi tantangan bagi gereja dan bagi perempuan pada khususnya. Apabila perempuan di dalam gereja masih didiskriminasikan itu berarti kegiatan gereja kita masih belum menerapkan ibadah yang sesungguhnya, karena masih ada unsure yang dipinggirkan dan terabaikan. Gereja yang hidup adalah gereja yang menerapkan ibadahnya setiap waktu, gereja yang menghargai setiap ciptaan Tuhan. Pada kondisi ini ada baiknyalah jika para perempuan di dalam gereja harus di damping, dikuatkan dan didik agar menjadi perempuan yang cerdas, baik dan bisa menjadi pedoman di dalam keluarganya. 20
J.B. Banawiratma, SJ, Masalah Gender dan tali Temalinya, Jakarta: LPPS, 1997, hlm.1-3
HIDUPKU ADALAH IBADAH
163
Gereja harus menyediakan wadah bagi perempuan-perempuan yang banyak menghadapi tantangan baik dari keluarganya maupun dari tempat pekerjaannya21, agar perempuan-perempuan di gereja bisa tetap kuat dan beriman dalam setiap kehidupannya dan menjadi perempuan-perempuan Kristen pembawa kabar Injil dimanapun ia berada. Biasanya kegiatan kategorial perempuan ini selain kegiatan PA dan PD juga diadakan kegiatan diakonia karitatif seperti kunjungankunjungan kepada orang sakit, kepada keluarga duka dan bahkan mengunjungi dan berbagi ke panti-panti social. Kegiatan yang sederhana tetapi menjadi bagian yang hidup dalam sebuah jemaat. d.
Kategorial Bapak (komisi Ama) Sudah hampir semua gereja sudah memiliki komisi kaum bapak ini. Bagi kaum bapak, era globalisasi ini merupakan tantangan yang cukup besar. Mengapa? Karena para bapak notabene menjadi penopang keluarga yang memiliki beban yang cukup berat dalam mempersiapkan kehidupan dan masa depan keluarganya. Kesulitan perekonomian sering mempengaruhi dan membujuk pikiran para bapak untuk melakukan hal yang menyimpang dari hokum Tuhan. Misalnya saja korupsi dan berjudi. Pada saat ini ada banyak warga jemaat yang mendekam di penjara karena telah melakukan tindak korupsi dan berjudi (togel). Mereka melakukan itu dengan dalih demi memenuhi kebutuhan keluarga, dan memilih jalan pintas yang mereka sadari itu adalah salah dan berakibat buruk. Lalu apakah tanggung jawab gereja pada kondisi ini? Tidak sedikit gereja yang menjadi hakim, membiarkan warganya dan hanya mendoakan saja ketika sudah dipenjarakan. 21
Pada saat ini banyak ibu rumah tangga yang juga bekerja di lingkup public.
164
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Sebenarnya tanggung jawab gereja tidak hanya pada saat itu saja, jika pembinaan iman warga sejak awal sangat baik, maka kemungkinan kemungkinan buruk akan sangat kecil sekali. Untuk kondisi saat ini maka gereja perlu memberi program bina profesi selain PA dan PD kepada para jemaat khususnya para bapak. Agar di dalam pekerjaannya para bapak tetap teguh beriman, jujur, ikhlas dan bertanggungjawab dalam pekerjaannya, sebab keikhlasan dan tanggung jawab terhadap pekerjaan adalah ibadah kita kepada Tuhan. Melihat dan merasakan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh warga jemaat yang telah dipaparkan sebahagian secara kategorial di atas, maka sepertinya saat ini sulit bagi warga jemaat untuk menjadikan gereja sebagai tempat persekutuan sekaligus tempat teraphi jika kegiatan peribadahan hanya sekedar ibadah mingguan. Pada saat ini kita harus terus menerus mengingatkan dan mengajak warga jemaat kita untuk hadir dan berkarya dalam ibadah kepada Tuhan yaitu dengan menyebarkan berita tentang pertobatan, pengampunan dosa dan keselamatan (Mark. 1:15; Luk. 24:47) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, damai sejahtera kepada segala bangsa dan segala makhluk (Mar. 16:15), sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8) di seluruh alam di bawah kolong langit (Kol. 1:23) dan sampai ke akhir zaman (Mat.28:20). Inilah gereja yang sehat, gereja yang memberitakan berita Injil melalui perkataan, perbuatan dan pemikiran. IV.
Jemaat Yang Sehat Jemaat Yang Mengimplementasikan Ibadahnya Kita menyadari sepenuhnya dan menghormati bahwa ibadah adalah bagian hakiki dari kehidupan kita. Tapi tidak menyadari bahwa menurut keyakinan kristiani, ibadah itu mengandung dua aspek HIDUPKU ADALAH IBADAH
165
pokok: aspek seremonial ritual dan aspek spiritual. Aspek seremonialritual adalah segala tindak penyembahan, puji-pujian, nyanyian, dsb. Sedangkan aspek spiritual adalah keterkaitan antara ibadat dengan tindak perbuatan keadilan, kesetiaan dan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari (lih, Amos 5:14, 21-24 dan Zef.2:3. Kita perlu kembali menyadari bahwa melalui ibadah iman kita diperkuat dan diperkaya yang sekaligus memuat konsekwensi memperdalam dan mempertinggi tanggung jawab untuk berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah (Mikha 6:8). Demikianlah hendaknya ibadah gereja yang bersekutu menyadari dirinya. Terlebih-lebih berbagai aktivitas di setiap kelompok kategorial di dalam jemaat baiklah seluruh kegiatannya tidak hanya rutinitas seperti biasa saja seperti PA dan PD atau hanya beraktifitas jika hari-hari besar gerejawi saja. Hendaknya seluruh aktifitas kategorial di dalam jemaat adalah aktifitas yang menghidupi ibadah yang hidup, artinya setiap jemaat yang tergabung di dalam kelompok kategorial tersebut memaknai dan menghidupi ibadahnya dalam setiap kegiatannya, agar ibadah itu menjadi ibadah yang hidup. Agar setiap kelompok kategorial ini bisa hidup maka gereja harus sehat dan harus bisa menjadi garam (salty church). Jika sudah menjadi garam maka bisa menyebabkan rasa enak dan bahkan mencegah pembusukan. Gereja yang hidup adalah gereja yang bekerja seperti jantung dimana darah yang mengalir ke seluruh tubuh mengumpul di jantung dan baru akan menyebar mengalir ke seluruh tubuh kita. Artinya gereja harus terus menerus bergerak, mengalir seimbang dan berirama, seperti aliran darah yang masuk dan keluar dipompa jantung, dalam arti menyebar – berkumpul – menyebar – berkumpul,
166
HIDUPKU ADALAH IBADAH
dan begitu seterusnya agar umat benar-benar bisa memaknai dan mengimplementasikan ibadahnya setiap saat. V.
Penutup Ibadah adalah suatu jalan bagi umat untuk dapat berhubungan secara pribadi kepada Allah. Ibadah membawa umat untuk bertemu kepada Allah dan menerima perjanjian dari Allah. Ibadah merupakan suatu ritual dan perayaan untuk menapaktilas sejarah karya Allah dalam penciptaan dan penyelamatan melalui Yesus Kristus, dan lebih dari pada sebuah ritual, ibadah adalah suatu implementasi rasa hormat umat percaya kepada Allah melalui seluruh eksistensi kehidupannya. Ibadah yang selama ini lebih dipahami sebagai selebrasi atau perayaan pada waktu-waktu tertentu harus dimaknai ulang agar tergali makna yang lebih dalam dan bermanfaat bagi pertumbuhan iman warga jemaat. Tidak salah jika kata ibadah, kebaktian dan liturgi dipakai untuk ungkapan rangkaian ritual keagamaan seperti: ibadah Minggu, ibadah Natal dan hari-hari besar gerejawi lainnya, sebab rangkaian dalam ibadah Minggu dan ibadah lainnya merupakan bagian dari tapak tilas karya Allah dan bertujuan baik dan positif bagi umat untuk mengingat dan mengucap syukur kepada Allah. Ini berarti rangkaian ritual ini yang disebut ibadah, kebaktian atau liturgi adalah bagian dari ibadah dan menjadi landasan setiap umat untuk mengimplementasikan ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi yang perlu dipahami bahwa ibadah tidak hanya terbatas rangkaian ibadah ritual keagamaan semata, tetapi ibadah adalah pelayanan yang hidup kepada Allah. Pelayanan yang menyangkut tabiat, perbuatan, karakter, atau pola pikir yang ditujukan secara utuh dan nyata oleh orang percaya di dalam dunia. HIDUPKU ADALAH IBADAH
167
Di dalam Amos 5:21-24: “ Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korbankorban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari padaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulunggulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang mengalir” Nats ini merupakan peringatan Allah melalui nabi-Nya Amos kepada umat Israel yang telah meninggalkan sikap hidup yang baik. Umat Israel mulai menyatu dengan kehidupan orang asing di sekitar mereka. Mereka tidak mengasihi sesama mereka, ada ketidakadilan dalam pemerintahan dan agama, ada ketidakadilan (penipuan) dalam bidang ekonomi saat itu. Maka Allah marah dan dan memberi peringatan kepada umat Israel, bahwa ibadah yang Allah inginkan tidak hanya sebatas perayaan dan pemberian korban, tetapi Allah meminta umat-Nya juga beribadah dalam kehidupan sehari-hari melalui tindakan keadilan, kejujuran dan kasih. Dengan memahami dan memaknai ibadah secara mendalam dalam seluruh persekutuan kita, baik secara komunal (seluruh warga), secara kategorial dan pribadi maka dengan mutlak terimplementasi keimanan yang meningkat dalam Tuhan melalui seluruh aktivitas hidupnya. Pemahaman ibadah dengan baik dan benar akan membantu warga jemaat juga untuk membangun kualitas umat yang berhati dan berpikiran baik. Dengan demikian, Gereja (pelayan dan pelayanan) mempunyai tangung jawab dan peran penting dalam membina warga jemaatnya. Pelayanan kategorial cukup penting dalam pendidikan persekutuan 168
HIDUPKU ADALAH IBADAH
dan tentu saja pelayanan kategorial ini tidak hanya sampai dibatas mendengar tetapi mengimplementasikannya, sehingga setiap personal melakukan aktivitas ibadahnya dengan benar di hadapan Tuhan di setiap waktu, di setiap tempat dan di setiap kondisi. Jemaat yang hidup adalah jemaat yang beribadah!
HIDUPKU ADALAH IBADAH
169
170
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Biodata Para Penulis:
Pdt. Dr. Batara Sihombing, MTh adalah Pendeta Huria Kristen Indonesia (HKI) yang melayani sebagai dosen di STT Abdi Sabda Medan. Dia menyelesaikan studi Sarjana Theologia (STh) di STT HKBP Pematangsiantar pada tahun 1990, kemudian studi Master of Theology (MTh) di Luther Seminary, Adelaide, Australia tahun 1995. Studi Doctor of Theology (DTh) diselesaikan di Trinity Theological College Singapura tahun 2005 di mana dalam studi doktoral ini dia juga dikirim studi di Cambridge University and Tyndale House Biblical Library, Cambridge, Inggris selama 3 semester (20012002). Studi Post Doctoral-nya sebagai Research Scholar dilakukan di Overseas Mission Study Center (OMSC) dan Universitas Yale, New Haven, USA selama setahun (August 2008 - July 2009). Beliau juga pernah menjadi dosen Biblika di Divinity School of Silliman University, Dumaguete, Filipina selama tiga tahun, 2009-2012. Dearlina Sinaga adalah seorang dosen tetap di FKIP Nommensen Medan. Lahir di Medan, tanggal 25 Juli 1966. Mendaoatkan gelar doktor Manajement Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta tahun 20018. Sebelumnya mendapatkan gelar Magister manajemnt PPs dari Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 1999. Manajement yang ditekuninya, melatih dirinya untuk lebih berpartisipasi dalam gereja GKPI. Sebagai Ketua Badan Pendidikan pusat GKPI beliau memberikan perhatian kepada kwalitas pendidikan sekolah gereja. Ibu Dearlina juga aktif sebagai instruktur dalam sertifikasi guru di Rayon 133 UHN. Pernah juga sebagai tenaga pengajar di
HIDUPKU ADALAH IBADAH
171
Universitas Tarumanegara; Darma agung Medan dan Univ.Methodist. Beberap tulisannya adalah: Buku Manajemen Keuangan, . - Sistem Perencanaan Pembelajaran - Kewirausahaan - Komunikasi Bisnis Pdt Jaharianson Sumbayak PhD adalah seorang pendeta muda yang menjadi Ephorus GKPS masa pelayanan 2010 - 2015. Lahir tanggal 7 September 1962, menyelesaikan studi teologianya di STT Jakarta pada tahun 1987. Abdi Sabda Medan. dan kemudian melanjutkan studi di ASI dan De la Salle Filipina. Gelar PhD didapatkan dari Filipina. Dan dari sanalah menggeluti masalah pastoral counseling. Dalam berbagai khotbah dan pengajaran Okultisme, beliau dengan tegas menyuarakan pentingnya DOA dalam hidup umat Kristen. Pernah menjadi dosen pada Intitut Abdi Sabda Medan, serta kerap diundang untuk sebagai pembicara seputar masaah Okultisma. Kini duduk sebagaiWakil Ketua KN LWF periode 2010 – 2014. Motto: prayerfull powerfull, prayerless powerless. Pdt DR Jubel Raplan Hutauruk adalah Emeritus Ephorus HKBP periode1998 -2004. Sebelum menjabat sebagai Ephorus pada zaman rekonsiliasi HKBP, waktunya lebih banyak sebagai dosen STT HKBP Pematang Siantar. Sejarah gereja itulah bidang studi yang diajarkannya. Kemahiran mengurai dan merangkai secara sistematik tahun-tahun sejarah gereja, memberikan pengertian kepada banyak mahasiswa dan warga jemaat akan berharganya suatu sejarah. Menghabiskan masa pensiunnya bersama isteri br Simorangkir,belia tetap menulis disamping sebagai pembicara bagi gereja-gereja yang mengundangnya.
172
HIDUPKU ADALAH IBADAH
Pdt Gloriati Ndraha adalah seorang pendeta pemudi BNKP. Saat ini sedang mengambil program S2 di STT HKBP Pematang Siantar. Bekerja sebagai staf di Biro Program dan Oikumene BNKP – Gunung Sitoli Nias.
HIDUPKU ADALAH IBADAH
173
174
HIDUPKU ADALAH IBADAH
HIDUPKU ADALAH IBADAH
175
176
HIDUPKU ADALAH IBADAH