46
Hukum dan Pembangunan
KOMISI PENGAWAS EKSTERNAL PADA POLRI: PEMBATASKEWENANGAN AT AUKAH PENDORONG PROFESIONALISME? Harkristuti Harkrisnowo
Penulis artikel ini membahas dilema yang dihadapi polisi dalam melaksanakan lugas penegakkan hukum. Posisi polisi sebagai bagian dari ABRJ lelah banyak memberi pengaruh pada pelaksanaan lugas kepolisian. Kultur mililer yang dilanamkan pada masa pendidikan lelah membenluk walak mililerislik pada perwira polisi.
Pendahuluan
Sulit rasanya untuk mengingkari kenyataan bahwasanya kondisi yang menyelimuti bangsa Indonesia pada satu tahun terakhir ini menunjukkan betapa kritisnya integrasi bangsa, betapa rapuhnya sendisendi kenegaraan yang selama ini ditopang dengan berbagai perangkat politik, sos ial dan hukum. Tidak mudah pula untuk bergeser dari persepsi bahwasanya kondisi ini merupakan kulminasi dari ketidak percayaan rakyat pada hukum (baik proses pembentukan, penerapan maupun penegaknya sendiri) yang selama ini telah terakumulasi namun tersimpan di bawah permukaan (repressed). Ledakan-Iedakan yang terjadi secara sporadis maupun tidak, bahkan yang juga: telah membangkitkan gerakan sentrifugal , merupakan ancaman bagi seluruh bangsa, yang akar permasalahannya tidak jauh dari masalah yang berkorelasi dengan "hukum." Tidak seorangpun dapat membantah bahwa dewasa ini belum terlihat bahwa hukum telah berfungsi dengan baik. Sejumlah kondisi, yang terutama mewarnai pemerintahan mas a lalu (dan entah bagaimana kelak lanuari - Maret 2000
Komisi Pengawas Ekternal paLla Polisi
47
dengan pemerintahan kini) , yang mendasari pernyataan ini yang layak dicatat antara lain adalah: • sistem peradilan yang kurang independen dan imparsial • perangkat hukum yang belum sepenuhnya mencerminkan keadilan sosial • penegakkan hukum yang masih inkonsisten • perlindungan hukum terhadap masyarakat yang masih lemah; telah memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan semua atributnya (pembuat, penegak dan simbol-simbol hukum). Mudah difahami bahwa kondisi semacam ini juga mereduksi kepastian hukum. Idealnya, hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pad a orang-orang yang akan diaturnya. Akan tetapi lama sudah orang meragukan keadilan hukum buatan manusia, sebagaimana dikatakan Anarchasis bahwa :
... written laws ... were like spiders and would catch. it is true, the weak and the poor but easily be broken. by the mighty and rich ..... 1 Teringatlah kita akan John Locke yang dalam the Second Treatise of Government (1690), tiga abad lalu telah memperingatkan kita bahwa "wherever Law ends. Tyranny begins," sehingga makin menegaskan bahwa hukum yang berlaku mencerminkan ideologi, kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, dan tidak semata-mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka. Hukum bukan hanya merupakan pedoman berperilaku bagi rakyat, tapi juga bagi aparat pemerintahan dan seluruh penyelenggara kegiatan kenegaraan. Selama ini nampaknya hukum seringkali dipergunakan sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang dijadikan acuan bagi diri-sendiri oleh pemerintah. Hal inilah yang pertama-tama harus disadari oleh semua pihak, agar dapat mencapai kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat yang sejahtera, yakni bahwa hukum harus diperlakukan sebagai panglima dalam negara hukum: supremasi hukum Dalam penyelenggaraan kegiatan negara di Indonesia saat ini, kedaulatan hukum telah dicanangkan oleh Presiden dalam pidato pertamanya beberapa waktu lalu. Alangkah melegakannya, apabila memang kemudian diwujudkan dalam kenyataan. Salah satu faktor penentu dalam membuahkan masyarakat yang adil, aman dan makmur adalah lembaga pemerintah yang memelihara keamanan rakyat, yakni kepolisian. I
Ditulis dalam Plutarch: Lives, Life of Solon.
Nomor J Tahun XXX
48
Hukum dan Pembangunan
Berbagai tuduhan negatif pada, lembaga ini telah mengakibatkannya mempunyai citra yang juga negatif di mata masyarakat, yang menuntut dilakukannya pembaruan dan revitalisasi terhadap lembaga ini.
Citra Kepolisian Sebagaimana dikatakan di atas, kondisi saat ini masih diwarnai oleh pengalaman masa lalu akan adanya pengabaian dan ketidakhormatan atas hukum (disregarding and disrespecting law), yang sekaligus diakibatkan dan mengakibatkan ketidak percayaan terhadap hukum (distrusting law). Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun terakhir ini misalnya, cukup sudah menunjukkan bahwa hukum seakan dianggap non-eksisten oleh anggota masyarakat, dan juga oleh polisi sendiri (yang membiarkan terjadinya pelanggaran tanpa ditindak) Oleh karenanya jelaslah bahwa lembaga kepolisian, yang merupakan salah satu simbol dari adanya hukum, mengalami pula derita pengabaian, tidak dihormati dan tidak dipercayai oleh masyarakat. Namun harus diingat bahwa tidak ada asap jika tiada api yang menyala. Kontribusi kepolisian terhadap citra semacam ini, tidak lebih kecil daripada kontribusi penegak hukum lain serta masyarakat sendiri dalam menghasilkan situasi kekisruhan hukum yang tengah kita alami sekarang. Citra dan kondisi semacam ini seringkali diberikan justifikasi dengan adanya "ketidakmandirian" Polri dalam melaksanakan tugasnya karena menjadi bagian dari ABRI. Pasal 5 ayat (I) UU no. 28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik ' Indonesia berbunyi: "Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri. ,,2 Posisi Polri sebagai bagian dari ABRI, memang telah memberikan pengaruh yang tidak sedikit pad a peran dan operasionalisasi tugas mereka. Misalnya saja, kulrur militer yang di-inkulkasikan pada (calon) anggota kepolisian karena dilatih bersama-sama dengan unsur ABRI lairmya, telah membuat personnel Polri menjadi militeristik dalam hubungannya dengan anggota masyarakat. Secara internal, mungkin kultur semacam demikian diperlukan , mengingat disiplin yang dituntut terhadap anggota organisasi yang herhak untuk memegang senjata yang lethal. Akan tetapi , mengingat
2
Suatu inkonsistensi lclah dibiarkan teljadi dalam pembentukan UU ini , karena Penjelasan
alas Pasal 5, ayat (1) ini menyatakan bahwa .. ... walaupun merupakan unsur Angkatan
Bersenjata, namun KepoLisian Negara Republik Indonesia bukan miliIer. "
lanuari - Maret 2000
Komisi Pengawas Eklernal pada Polisi
49
militer adalah kombatan, sikap seperti ini tidak dapat diterapkan dalam menghadapi rakyat, kecuali dalam pemerintahan junta mil iter. Sering dianggap sebagai "anak tiri" dalam ABRI, kepolisian sering mengeluhkan keterbatasan peralatan yang mereka miliki, padahal merka merupakan barisan terdepan dan terpenting dalam menjaga keamanan dalam negeri. Oleh karena posisinya yang subordinatif dalam ABRI, tidak jarang pula muncul intervensi dalam tugas kepolisian yang kemudian memang mengganggu kemandirian Polri. Meskipun demikian, keberadaan Polri dalam ABRI juga mempunyai manfaat bagi POLRI sendiri , misalnya dalam memperoleh pelatihan bersama , dalam kepangkatan, dan juga posisiposisi tertentu (walau tidak posisi kunci utallla) dalam berbagai kelembagaan struktural.
Kepolisian sebagai ujung tombak keamanan dalanl negeri Kepolisian merupakan ujung tombak penyelenggara kealllanan dalam negeri, dan juga sebagai "the gatekeeper of the criminal justice system." Keseluruhan sistem peradilan pidana (kalaupun dapat disebut sebagai sistelll-karena nampaknya lebih kental warna non-sislelllnya), menyangkut pula lembaga kejaksaan, pengadi lan dan pemasyarakatan serta kepengacaraan. Sebagai lembaga pertama yang langsung berhadapan dengan masyarakal d" lam hal terjadinya tindak pidana, tidak Illengherankan apabila sorotan lllasyarakat pada lelllbaga ini luar biasa besarnya. "Kehilangan kambing, lapor polisi , menjadi hilangnya seekor sapi " ll1erupakan ungkapan sarkas yang dilemparkan pad a polisi. Dengan sorotan selllaCall1 di atas, layaklah bila Polri dituntut, antara lain: a. untuk memiliki personil-personil yang berkualitas, dalam arti bukan hanya sekedar memahall1i hukull1 , akan letapi juga menegakkan llUkulll dan keadilan tanpa adanya diskriminasi; b . untuk ll1enerapkan pola proses rekrutment, proll1osi dan placemenr yang transparan dan bersih, dengan menekankan pada kualifikasi individual untuk dapat menjadi pengayom Illasyarakat. Berkaitan dengan hal ini perlu pula dipikirkan prosedur yang transparan untuk meyakini obyektivitas penilaian terhadap personnel penegak hukum, disertai dengan reward and punishment system yang diharapkan dapat Illeningkatkan produktivitas dan kualitas produk ll1ereka. Bagi mereka yang ll1enunjukkan kinerja yang baik dan produk yang berkualitas harus diberikan reward dalam beragam bentuk, sedang yang melanggar
Nomor I Tahun XXX
50
Hukum dan Pembangunan
ketentuan harus dijatuhi punishment atau hukuman. Hukuman ini bukan hanya dimaksudkan untuk menunjukkan pada subyek bahwa ia bersalah dan harus mendapat sanksi atas perilakunya, akan tetapi juga sebagai "kaca benggala" bagi orang-orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sarna, c. Untuk memiliki proses pendidikan yang profesional d. Untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang/air dan demokratis. e. Untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, termasuk sarana dan prasarana ya g dapat membantu mereka dalam melaksanakan tugas dengan lebih baik. Berkaitan dengan hal yang disebut terakhir ini, memang benar bahwa secara intenal kepolisian telah memiliki mekanisme pengawasan; akan tetapi tidak mudah untuk dengan yakin menyatakan bahwa mekanisme ini telah berjalan dengan baik. Apalagi kalau diingat ballWa dalam mekanisme pengawasan internal seperti ini, data dan keputusan tidak boleh disebarluaskan pada publik, sehingga seringkali publik tidak mengetahui akan proses yang ada di dalamnya. Mengingat banyaknya keluhan masyarakat terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum (yang seringkali disebut "oknum"), telah berulang kali diajukan perlunya pembentukan suatu lembaga pengawasan eksternal, yaag khusus didirikan untuk lembaga kepolisian. Konsep Komisi Pengawas Polisi, suatu lembaga independen yang beranggotakan sejumlah warga masyarakat yang mempunyai pemahaman hukum dan integritas yang tinggi. Tugas utama lembaga independen seperti ini adalah menerima keluhan atau pengaduan dari masyarakat dan kemudian meneliti kebenaran pengaduan tersebut. Hasil penelitian tersebut kemudian akan diserahkan pada lembaga yang mereka anggap berwenang untuk melakukan tindak lanjut (misal nya atasan langsung atau ke pengadilan).
Perlukah Komisi Pengawas Polri? Tuntutan masyarakat akan dibentuknya Komisi Pengawas Polri pad a dasarnya berasal dari persepsi masyarakat yang tidak dapat mempercayai bahwa polisi akan dapat melakukan investigas i yang obyektif dan transparan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya. Dalam Buku Biru yang dikeluarkan Polri akhir-akhir ini, pemikiran akan adanya Komisi Pengawas Polri inipun telah
Januari - Marel 2000
Komisi Pengawas Ekrernal pada Polisi
51
diajukan, yang menunjukkan bahwa lembaga ini telah mulai responsif pada perkembangan yang ada dalam masyarakat. Namun sebelum memasuki lebih jauh mengenai Komisi Pengawas Polisi, perlu disimak terlebih dahulu sejumlah argumentasi yang mendasari pendapat pro dan kontra atas berdirinya pranata eksternal ini di samping adanya pranata pengawas internal yang sudah incorporated dalam tubuh Polri. Pendapat yang pro-Komisi Pengawas Polisi mengajukan argumentasi antara lain: 1. Jarang sekali ada penjelasan dari kepolisian mengenai hasil akhir pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggota polisi; 2. produk dari mekanisme pengawasan internal pada umumnya tidak untuk konsumsi publik, tapi hanya bersifat internal; 3. polisi tidak mungkin dapat bersifat obyektif dalam melakukan investigasi terhadap anggotanya sendiri yang l11elakukan pelanggaran (solidaritas, in-group feeling, esperit de corps); 4. pelanggaran oleh polisi mencerl11inkan kelel11ahan ataupun keburukan lembaga kepolisian, termasuk fungsi pendidikan dan pelatihannya, sehingga sulit diharapkan bahwa hal semacam ini akan diekspose oleh suatu lembaga internal kepolisian; 5. proses investigasi oleh lembaga internal kepolisian terhadap angotanya akan dinodai oleh conflict of inferers sehingga hasilnya kurang credible; 6. KOl11isi Pengawas Polri dapat l11embantu manajel11en informasi dan memberikan rekomendasi yang konstruktif bagi kepolisian 7. Komisi Pengawas Polri dapat meningkatkan citra kepolisian melalui pemberdayaan masyarakat madani. 8. Komisi Pengawas Polri dapat sekaligus l11eningkatkan profesionalisl11e Polri melalui pemberian penghargaan bagi polisi yang melakukan tugasnya dengan sempurna Oi lain pihak, kelompok yang tidak l11enyetujui pembentukan Komisi Pengawas Polri pun mempunyai seperangkat argumentasi. Oalam kepustakaan antara lain layak dicatat pel11ikiran John Keker, seorang bekas jaksa yang menuntut Oliver North dan diangkat l11enjadi Police Commission di San Fransisko pada tahun 1987-1991. [a mengajukan alasan-alasan berikut ini untuk l11enentang adanya Komisi Pengawas Polisi: 1.
pcnyelidik dari warga sipil tidak dapat dijamin akan bekerja lebih baik daripada polisi;
Nomor 1 Tahun XXX
52
Hukum dan Pembangunan
2 . Komisi Pengawas Polri akan membangkitkan antagonisme terhadap polisi, dan merupakan simbol dari adanya konflik amara polisi dan masyarakat; 3. pelanggaran oleh anggota polisi adalah tanggung jawab Kepala Kepolisian semata-mata, sehingga ialah yang seharusnya mengambil tindakan terhadap peristiwa semacam ini; 4. investigasi dan telaah Komisi Pengawas Polri tidak akan efektif 5. keberhasilan Komisi Pengawas Polri yang selama ini diidamkan oleh masyarakat hanyalah Ilusi dan kalaupun ada , hanya bersifat sementara. Selain itu , dapat pula diidentifikasi beberapa masalah lain seperti: 6.
warga masyarakat biasa tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk melakukan investigasi, karena mereka dipilih berdasarkan representaliveness, bukan pada kemampuan mereka; 7. Komisi Pengawas Polri akan mendapat tekanan publik dalam melakukan investigasi, sehingga mereka cenderung untuk mencari kesalahan polisi; 8. Komisi Pengawas Polri akan lebih banyak lagi mem\Jebani keuangan pemerintah. Pendapat pro dan kontra di atas tentunya tidak dapat dilepaskan dari kondisi masyarakat sendiri , termasuk bagaimana masyarakat mempersepsi kinerja Polri , bagaimana pula Pemerintah dan lembagalembaga Tinggi Negara memandang kinerja Polri sendiri dalam penyelenggaraan kegiatan negara.
Tiga Model Komisi Pengawas Polisi Lembaga pengawas tugas-tugas pemerintahan, pad a awalnya banyak diilhami oleh lembaga ombudsman Model Komisi Pengawas Polri yang akan dipilih dalam suatu negara (atau negara bagian-jika Indonesia disepakati untuk menjadi Negara Federasi?) akan sang at tergantung dari jawaban yang diinginkan atas sejumlah pertanyaan , yakni: I.
siapakah yang kelak berwenang melakukan investigasi dan pencarian fakta awal? 2. siapakah yang akan memeriksa dan mengkaji laporan penyelidikan daan pencarian fakta? 3. adakah diperlukan pemberian hak dari orang yang mengadu dan orang y2.ng diadukan untuk banding?
Januari - Maret 2000
Komisi Pengawas Ekternal pada Polisi
53
4 . siapakah yang akan menjatuhkan sanksi pada anggota polisi yang terbukti melakukan pelanggaran? Jerome Skolnick dan James Fyve menyitir Wayne Kerstetter yang mengajukan tiga model Komisi Pengawas Polri, yakni: l.
Civilian Review Model, -misalnya dijumpai di Berkeley, California, dengan karakteristik sebagai berikut: a. terdiri sepenuhnya dari warga masyarakat sipil; b. menerima pengaduan dari warga masyarakat yang merasa pol isi telah melanggar hak-haknya; c. melakukan investigasi atas kebenaran pengaduan tersebut; d. memberikan keputusan terhadap kasus tersebut; e. mengajukan rekomendasi pada Kepala Kepolisian tentang sanksi yang dijatuhkan pada anggota polisi yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut. f. sanksi dijatuhkan oleh Kepala Kepolisian
2. Civilian Input model, seperti yang dilakukan di Chicago, mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. terdiri dari anggota kepolisian yang berstatus sipil; b. menerima pengaduan dari warga masyarakat yang merasa polisi telah menggunakan excessive force; c. melakukan investigasi atas kebenaran pengaduan tersebut; d. memberikan keputusan terhadap kasus tersebut; e. sanksi terhadap pada anggota polisi yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut dijatuhkan oleh Kepala Kepolisian. f. sanksi dijatuhkan oleh Kepala Kepolisian 3. Civilian Monitor Model, yang sangat diwarnai oleh konsep Ombudsman dari Scandinavia, berkarakteristik: a. terdiri sepenuhnya dari warga masyarakat sipil; g. menerima .pengaduan dari warga masyarakat yang merasa polisi telah melanggar hak-haknya; h. melakukan investigasi atas kebenaran pengaduan tersebut; I. menjadi mediator atas pengaduan dari masyarakat terhadap polisi Tentunya dimungkinkan adanya variasi-variasi dari model di atas. Komisi semacam ini pertama kali dibentuk di Philadelphia pada tanggal 1 Oktober 1958, yang dinamakan Police Advisory Board oleh walikota
Nomor 1 Tahun XXX
54
Hukum dan Pembangunan
Richardson Dilworth,' yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat. Civilian Compalint Board yang didirikan di Oakland, terdiri dari 7 orang anggota yang diangkat oleh walokota, dan dibantu oleh dua pembantu, salah satunya adalah investigator. Ada pula lembaga yang tugasnya dibatasi untuk empat bentuk pengaduan warga, yakni I) brutality, penggunaan kekerasan yang berlebihan; 2) penggunaan kata-kata yang tidak sopan dan melecehkan; 3) penyalahgunaan kewenangan, dan 4) perlakuan yang diskriminatif oleh polisi: The National Public Safety Commission di Jepang, terdiri dari 6 anggota yang diangkat Perdana Menteri dengan persetujuan kedua lembaga di Diet. Pada intinya lembaga ini dibentuk untuk "ensuring the political neutrality of the police, by insulating it from the influence of national politicians. 5 Apapun model yang akan dipilih, harus sejak dini diantisipasi sejumlah masalah yang mungkin muncul dalam pengajuan dan penerapan Komisi Pengawas Polri ini, misalnya: 1. resistensi dari sebagian anggota kepolisian karena menganggapnya sebagai pembatas kewenangan mereka, sehingga menyebabkan anggota kepolisian tidak bebas dalam menerapkan discretionary power, suatu kewenangan yang amat signifikan dalam operasionalisasi tugas Polri; 2. apabila ditentukan bahwa Komisi Pengawas Polisi mempunyai fungsi investigatif, memadaikah kemampuan anggotanya untuk melakukan tugas ini? 3. tuntutan masyarakat untuk menjatuhkan sanksi pad a polisi , bukannya tidak mungkin akan membuat lembaga ini dalam keputusannya cenderung untuk memenuhi tuntutan semacam ini , dan bukannya didasarkan pada kondfisi opbyektif yang mereka temukan 4. kemungkinan adanya pengaduan dari masyarakat yang tidak berdasar , akan tetapi sekedar sebagai pelampiasan ketidaksl:lkaan mereka pad a Polri akibat pengalaman masa lalu , sehingga beban awal Komisi
James R. Hudson (1975). Organizational Aspectys if Internal and External Re vie w of the Police, dalam Police in America. Yang di sunting oleh Jerome Skolnick & Thomas C. Gray. Boston: Little, Browm & Co., hal 279-287.
3
4 Gerald D. Robin (1980). Introduction to the Criminal Justice System. New New ork: Harper & Row, hal 83 dst.
5
Walter A. Ames (1981).
Police and Community in Japan.
Berkeley: Uni versity of
California Press, hal 218 dst.
lanuari - Maret 2000
Komisi Pengawas Ekternal pada Polisi
55
Pengawas Polisi akan sangat berat karena harus melakukan screening terlebih dahulu . 5. Masalah pemilihan staff 6. Masalah pendanaan Kontribusi kepolisian pada Komisi Pengawas Polisi sebenarnya dapat merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi kedua pihak. Hal ini terutama apabila kewenangan investigatif diserahkan pad a kepolisian, ' dalam hal mana: setiap Komandan (dalam tingkat apapun) harus bertanggungjawab atas perilaku para anggotanya, dan mereka harus dengan segera memproses pengaduan yang diajukan oleh masyarakat 2. laporan harus dengan lengkap mencakup ten1Uan dan rekomendasi, mengenai apakah perilaku anggota polisi tersebul layak atau tidak; 3. transparansi metode dan hasil proses harus dapat dirasakan oleh masyarakat melalui berbagai mekanisme yang dapat dipi lih untuk ini. I.
Pada akhirnya ... Kondisi yang tengah dialami kepolisian saat ini seharusnya telah cukup untuk menimbulkan "sense of urgency" --terutama pada aparat kepolisian sendiri-untuk membenahi dirinya sendiri. Tentu harus diingat bahwa melakukan pembaruan lembaga kepolisan dan aparatnya tidak dapat dilakukan dengan cepat. Pembentukan Komisi Pengawas Polri sebagai suatu lembaga yang pad a dasarnya menjadi pembatas kewenangan dan sekaligus pendorong profesionalisme, merupakan salah satu langkah yang dipastikan akan memperbaiki citra POLRI di mata masyarakat. Keberadaan Komisi Pengawas Polri ini dapat pula dilihat sebagai salah satu cerminan partisipasi masyarakat untuk memberdayakan Polri. Pada akhirnya diharapkan sinergi antara masyarakat yang mafhum dan partisipatif dengan penyelenggara fungsi kepolisian yang demokratis, transparan, bertanggung jawab dan berorientasi pada HAM, dapat benarbenar mewujudkan masyarakat madani Indonesia yang berkeadilan sosial. Memang tidak mudah untuk membudayakan Komisi Pengawas Polri ini terutama bagi anggota polisi sendiri, namun langkah ini harus diambil sebagai cerminan kedewasaan POLRI dalam masa ini. Selanjutnya tidak boleh pula dilupakan bahwa masyarakat perlu memahami tujuan dan fungsi pembentukan Komisi Pengawas Polri , yang bukan menjadi wadah untuk balas dendam terhadap Polri, tapi justru untuk memberdayakannya. Dan tentu saja, pada akhirnya, semuanya terserah anda ... Nomor J Tahun XXX