0
KODING DATA WAWANCARA Berikut ini adalah contoh laporan wawancara dan koding data. Silakan dipelajari cara koding data sesuai aspek-aspek dan indikator wawancara. Sebagai informasi, materi untuk UAS adalah dari awal semester sampai akhir semester. Selamat belajar.
1
KETIKA AKU HARUS MEMILIH
Studi Kasus Tentang Proses Pemilihan Agama Anak Dari Pasangan Beda Agama
Disusun oleh: KUMALA WINDYA R
FAKULTAS PSIKOLOGI UGM YOGYAKARTA 2012
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Wawancara C. Manfaat Wawancara
II.
TINJAUAN TEORI A. Proses Pemilihan Agama B. Konflik Nilai C. Strategi Coping Masalah
III.
METODE WAWANCARA A. Pendekatan B. Fokus wawancara C. Subjek wawancara D. Metode pengambilan data E. Teknik analisis dan interpretasi data
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN A. Data Responden B. Data Verbatim dan Koding Data C. Temuan pada Responden
3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama bagi anak. Orangtua merupakan pihak yang pertama dan utama dalam pembentukan kepribadian anak. Anak belajar mengenai nilai, peran sosial, norma, serta adat istiadat yang ditanamkan orangtuanya. Salah satu nilai yang harus disosialisasikan pada anak adalah nilai agama. Orangtua memiliki kewajiban untuk mengajarkan nilai-nilai agama pada anak sehingga anak mampu menginternalisasikan nilai-nilai tersebut. Pada orangtua dengan nilai agama yang sama, hal tersebut akan lebih mudah dilakukan. Pada kasus perkawinan campur (beda agama), hal tersebut akan lebih sulit dilakukan. Setelah kelahiran anak, konflik biasanya muncul lewat perbedaan pola asuh dan nilai-nilai agama yang akan diajarkan pada anak. Anak-anak akan dididik menurut agama siapa? Kedua orangtua memang tinggal dalam satu rumah, tetapi ada way of life yang berbeda. Perbedaan ini dapat membuat anak bingung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Masalah pendidikan agama bagi anak menimbulkan konflik karena setiap pasangan akan memiliki keyakinan bahwa agamanya yang paling benar dan harus diajarkan pada anak. Hal ini akan semakin kompleks jika ada ada tarik menarik antar keluarga besar. Masing-masing agama pun menganjurkan agar setiap orangtua mengajarkan nilai-nilai agama pada anaknya. Misalnya dalam agama Katholik, orangtua harus menjaga imannya dan mendidik anak-anak dalam iman Katholik (Wulandari, 1998). Masing-masing agama juga memiliki cara-cara tertentu untuk mengajarkan nilai-nilai agama, baik secara konservatif maupun modern, secara doktrinasi atau intelektual (Ellison & Sherkat, 1993). Bahkan jika tidak hati-hati, adanya fanatisme agama akan mempengaruhi orangtua untuk memilih cara-cara tertentu untuk memaksa anak melakukan ibadah sesuai ajaran agama (Bottoms, Murray, & Filipas, 2003).
4
Ada berbagai kesepakatan yang dibuat pasangan beda agama untuk menentukan agama yang akan dianut anak-anak mereka. Misalnya, ada yang mengikuti agama ibu karena ibu memiliki kedekatan dengan anak untuk mengajarkan nilai-nilai agama. Pada kasus lain berdasarkan urutan kelahiran (anak pertama mengikuti agama ayah, anak kedua mengikuti agama ibu) atau jenis kelamin anak (anak perempuan mengikuti agama ayah, anak laki-laki mengikuti agama ibu). Perbedaan tersebut dapat menimbulkan kebingungan pada anak, karena nilai dan norma sudah dipelajari melalui proses imitasi, identifikasi, dan asimiliasi sejak dini. Anak akan mempunyai banyak pertanyaan yang jika tidak dijawab dengan bijaksana akan mempengaruhi pembentukan konsep diri anak saat dewasa. Pada kasus yang lain, ada juga orangtua yang menunda pemberian nilainilai agama pada anak atau memberikan kebebasan pada anak untuk memilih agama yang disukainya. Menurut Handoyo (Wulandari, 2008), hal ini menunjukkan bahwa orangtua kurang meyakini bahwa agama merupakan nilai yang penting dalam kehidupan sehingga harus diajarkan sejak dini. Pada saat anak beranjak remaja, anak mulai mengembangkan interaksi dengan lingkungan yang lebih besar. Jika nilai yang diinternalisasikan dalam keluarga tidak kuat, maka ia akan kehilangan pegangan dan kebingungan membentuk identitas dan konsep dirinya. Anak juga mulai menyadari bahwa keadaan keluarganya mungkin tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat. Misalnya adanya anggapan anak haram bagi anak dari pasangan muslim dan non muslim seperti dalam kasus di bawah ini. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan beda agama ternyata rawan dengan konflik yang tidak hanya dialami oleh pasangan suami-istri tetapi juga oleh anak dari pasangan tersebut. Dalam hal ini, anak tidak memiliki banyak pilihan karena ia dihadapkan pada situasi yang kompleks yang belum dapat dipahami dan dikuasainya. Peneliti tertarik untuk mengamati dinamika proses pemilihan agama, konflik nilai, dan coping yang dilakukan anak-anak dalam satu keluarga pasangan beda agama.
5
B. Tujuan Wawancara Tujuan wawancara ini adalah untuk mengetahui dan memahami proses pemilihan agama, konflik nilai, dan usaha untuk melakukan coping yang dilakukan anak-anak dalam satu keluarga pasangan beda agama.
C. Manfaat Wawancara Manfaat yang dapat diperoleh dari wawancara ini adalah: 1.
Manfaat teoritis adalah dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi perkembangan, psikologi sosial, dan psikologi keluarga khususnya pemahaman tentang sosialisasi nilai-nilai agama pada keluarga.
2.
Manfaat praktis adalah dapat memberikan gambaran tentang proses pemilihan agama dan konflik nilai yang dialami oleh anak dari pasangan beda agama. Hal ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mengambil tindakan sebelum atau selama perkawinan, terutama dalam pendidikan dan pola asuh terhadap anak.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Proses Pemilihan Agama
Menurut Allport (dalam Kristianingsih, 2000), nilai merupakan pendukung dasar-dasar sikap atau merupakan disposisi yang dapat mengarah pada perbuatan. Nilai berkaitan dengan apa yang diinginkan dan apa yang dipilih. Menurut Spranger (dalam Kristianingsih, 2000), agama adalah salah satu bentuk nilai yang berhubungan dengan Tuhan dan kehidupan rohani seseorang. Rokeach menjelaskan nilai sebagai keyakinan dapat dibedakan menjadi tiga macam (dalam Adisubroto, 1993) yaitu keyakinan yang deskriptif, keyakinan yang evaluatif (menilai baik dan buruk), dan keyakinan yang preskriptif (bersifat memerintah dan melarang). Nilai memiliki 3 komponen yaitu: a. Komponen kognitif, nilai adalah kesadaran atau pengertian tentang konsepsi yang diinginkan. b. Komponen afektif, nilai sebagai acuan untuk menilai baik dan buruk dengan cara merasakannya secara emosional. c. Komponen konatif, nilai merupakan variable perantara yang menimbulkan perilaku. Agama merupakan suatu bentuk moral. Dalam agama, diatur tentang nilai perilaku sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk perilaku yang harus dilakukan dan harus dihindari. Agama dianggap bisa mengendalikan atau mengontrol tingkah laku manusia sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma masyarakat. Keluarga adalah lingkungan pertama dimana anak mengenal nilai. Pembentukan nilai melalui proses yang panjang dan lama. Nilai terbentuk sejak anak menyadari kehadiran orang lain dalam dirinya dan semakin kuat seiring kemampuan
komunikasi
dan
interaksinya
dengan
orang
lain.
Tahap
perkembangan nilai agama dalam diri seseorang berhubungan dengan tingkat perkembangan kognitif dan moralnya.
7
Pada masa anak-anak, nilai dan norma diperoleh melalui proses imitasi, identifikasi, dan sosialisasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Menurut Kohlberg (Delamater, 2006) ada tiga tahap penalaran moral manusia yaitu: a. Tahap Prakonvensional Tahap ini berlangsung sejak anak lahir hingga berumur 7 tahun. Pada tahap ini anak berperilaku dengan pedoman reward dan punishment dari orangtua. Kontrol keluarga sangat berpengaruh. Anak hanya melihat yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hampir semua ide-ide agama pada anak berasal dari orang lain dalam bentuk doktrin-doktrin agama. b. Tahap Konvensional Tahap ini berlangsung pada saat usia sekolah anak. Anak mendasarkan perilaku pada pengharapan sosial. Anak menilai suatu perbuatan baik apabila bisa menyenangkan orang lain dan melihat nilai yang ada sebagai sesuatu yang harus dijaga dan ditaati. c. Tahap Postkonvensional Pada tahap ini, seseorang akan memandang nilai yang ada pada masyarakat bersifat relative dan sebagai control dalam berperilaku. Tahap penalaran moral postkonvensional sering dikaitkan dengan tahap perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget yaitu tahap abstrak operasional. Pada tahap ini, individu mulai dapat berpikir abstrak. Ia mulai memikirkan kembali nilai-nilai yang selama ini diterimanya. Ia juga mulai mengembangkan nilai baru yang didapatkannya dari lingkungan sosialnya yang semakin meluas. Saat dewasa, proses pembentukan dan perkembangan nilai-nilai agama semakin mendalam. Individu mulai bertanya tentang eksistensinya dan mulai memikirkan nilai-nilai mana yang akan tetap dianut, diganti, dan dikembangkan. Umumnya pada anak yang orangtuanya beragama sama akan memiliki identitas sama dengan orangtuanya. Identitas agama tersebut terbentuk seiring proses sosialisasi yang dilakukan orangtua. Tetapi jika orangtua memberikan dua model yang berbeda, maka proses seperti apa yang akan dialami anak? Apakah proses yang dialami pada satu anak akan sama dengan anak yang lain dalam satu
8
keluarga? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses tersebut? Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengeksplorasi proses pemilihan agama pada anak-anak dalam satu keluarga pada pasangan beda agama.
B.
Konflik Nilai pada Anak dari Perkawinan Pasangan Beda Agama Konflik biasa terjadi pada individu ketika berhadapan dengan beberapa
hal yang berbeda atau bertentangan. Haurtup dan Laursen (Delamater, 2006) mengatakan bahwa konflik yang dialami seseorang dapat berupa konflik internal dan konflik sosial. Konflik internal adalah konflik yang terjadi pada diri seseorang. Konflik sosial adalah konflik yang merupakan pertentangan antara persepsi seseorang dengan orang lain di sekitarnya, pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku seseorang yang tidak selaras dengan pola yang diharapkan oleh masyarakat akan bisa mengakibatkan terjadinya konflik. Menurut intensitasnya, konflik dapat dibedakan menjadi dua yaitu konflik ringan yang dapat diselesaikan dengan mudah dan konflik berat yang menimbulkan emosi dan akibat jangka panjang. Pada perkawinan beda agama, konflik dapat muncul dari hubungan dengan pasangan, hubungan dengan keluarga besar, dan pada pengasuhan anak. Konflik pada pengasuhan anak dapat terjadi jika tidak ada keselarasan pada orangtua dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Hal ini dapat terjadi jika masing-masing orangtua menganggap nilai agamanya yang paling benar dan berusaha mengajarkannya pada anak. Anak pun dapat mengalami kebingungan jika ada 2 model perilaku agama yang harus ditaatinya. Hal inilah yang dapat memicu konflik nilai pada anak dan dapat terbawa hingga dewasa.
C.
Strategi Coping Masalah
Ketika individu mengalami konflik, maka ia akan melakukan aktivitas untuk mengurangi ketegangan yang dialaminya. Aktivitas ini dikenal dengan sebutan perilaku coping, yaitu suatu aktivitas yang dilakukan individu untuk mengurangi tekanan dan ketegangan yang dihadapi, baik berupa sikap, perasaan,
9
atau pikiran individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan, atau menurunkan efek negative dari situasi yang mengancam (Myers, 2008). Menurut Lazarus, coping mempunyai fungsi untuk mengatur emosi atau tekanan (emotion focus coping) dan untuk mengatur masalah yang menyebabkan tekanan (problem focus coping). Penjelasan cara coping tersebut adalah: a. Problem focus coping yaitu strategi coping yang menitikberatkan pada pemecahan masalah. Bila perilaku ini berhasil, maka tidak ada lagi permasalahan dan perasaan stress yang mengikuti. Jika perilaku ini tidak berhasil maka akan memicu stress dan mempengaruhi hubungan dengan lingkungan sekitar. b. Emotion focus coping yaitu coping yang menitikberatkan pada pengurangan atau pengaturan keadaan emosi yang stress. Coping ini tidak berarti perilaku pasif, tetapi berhubungan dengan melakukan penyusunan kembali secara internal hingga mengubah komitmen yang tidak dapat dilakukan Kedua bentuk strategi tersebut memang memiliki fungsi yang berbeda. Penggunaan PFC akan meningkat pada situasi yang dinilai bisa diubah. Apabila suatu situasi dinilai individu tidak bisa diubah, maka individu cenderung berusaha menggunakan EFC untuk meredakan emosi semata.
D.
Pertanyaan Wawancara
Berdasarkan pemaparan masalah dan tinjauan pustaka di atas, peneliti berkeinginan untuk meneliti fenomena perkawinan beda agama ditinjau dari penanaman nilai-nilai agama pada anak. Peneliti mencoba mengeksplorasi pemilihan agama pada anak-anak dari pasangan beda agama dalam 1 keluarga. Adapun pertanyaan yang ingin dijawab dalam wawancara ini adalah: 1.
Bagaimana proses pemilihan agama pada anak dari pasangan beda agama?
2.
Apa saja konflik nilai yang dialami?
3.
Bagaimana cara coping yang dilakukan?
10
BAB III METODE WAWANCARA
A.
Metode Wawancara
Peneliti menggunakan metode wawancara dalam mengumpulkan data. Pedoman wawancara yang digunakan adalah wawancara semi-terstruktur yang memungkinkan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan sesuai dengan situasi dan kasus yang dialami masing-masing responden, namun masih berpegang pada tujuan wawancara.
B.
Subjek Wawancara
Menurut Patton (Poerwandari, 2005), tidak ada aturan pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk wawancara. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui peneliti, tujuan wawancara, konteks saat itu, apa yang dianggap bermanfaat, dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam wawancara ini adalah 1 orang dengan pertimbangan keterbatasan waktu dan tenaga peneliti. Adapun karakteristik responden adalah sebagai berikut: 1. Berusia dewasa awal atau tengah (antara 25-35 tahun) 2. Kedua orangtua beda agama sejak menikah hingga saat wawancara dilaksanakan 3. Suku Jawa 4. Beragama (sedang atau sudah memutuskan agama apa yang dianut)
C.
Tujuan & Pedoman Pertanyaan Wawancara
Tujuan dalam wawancara ini adalah proses pemilihan agama, konflik nilai, dan strategi coping pada anak-anak pasangan beda agama dalam satu keluarga. Pedoman wawancara yang digunakan adalah: 1. Apa identitas agama dalam keluarga (subjek, orangtua, saudara)? 2. Kapan usia saat pertama kali sadar perbedaan agama?
11
3. Bagaimana kondisi dan perasaan subjek dengan adanya perbedaan agama dalam keluarga? 4. Bagaimana pengalaman menjalankan ibadah saat masih kecil, remaja dan saat ini? 5. Apa saja masalah atau konflik yang dihadapi? 6. Apa strategi coping yang digunakan dalam menghadapi konflik tersebut? 7. Bagaimana pemahaman tentang perkawinan beda agama? 8. Bagaimana kehidupan beragama dalam keluarga? 9. Bagaimana hubungan dan penilaian terhadap pengasuhan Ayah? 10. Bagaimana hubungan dan penilaian terhadap pengasuhan Ibu? 11. Bagaimana hubungan dan penilaian terhadap saudara kandung? Wawancara mengenai perkawinan beda agama merupakan hal yang cukup sulit dilakukan karena akan mengungkapkan konflik yang sensitif dalam keluarga. Oleh karena itu diperlukan building rapport dengan responden. Observasi juga dilakukan selama wawancara berlangsung. Peneliti akan mencatat data non-verbal responden untuk mendukung keakuratan data yang diambil saat wawancara. Alat bantu yang digunakan adalah tape recorder dan alat tulis.
D. Teknik Analisis Data Wawancara Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber kemudian mereduksi data dengan cara membuat abstraksi, yaitu usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya (Poerwandari, 2005). Langkahlangkah analisis data yang dilakukan adalah: 1.
Transcription yaitu data ditulis dalam bentuk transkrip verbatim.
2.
Coding dan categorization yaitu data dipilah berdasarkan topik wawancara yang dikodekan berdasarkan kata dari transkrip (open coding) kemudian dicari kaitan atau hubungan antar kategori (axial coding).
3.
Menyajikan data dalam bentuk teks naratif, table, dan gambar.
4.
Menyimpulkan data
12
DAFTAR PUSTAKA
Bottoms, B. L.; Murray, R. & Filipas, H., 2003. Religion-related Child Physical Abuse: Characteristics and Psychological Outcomes. Journal of Aggression, Maltreatment, and Trauma; No. 6/2003. Delamater, J., 2006. Handbook of Social Psychology. New York: Springer. Ellison, C.G., and Sherkat, D. E., 1993. Obedience And Autonomy: Religion And Parental Values Reconsidered. Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 32, No. 4, pp. 313-329. http://www.jstor.org/stable/353409 Kristianingsih, S.A. 2000. Hubungan Persepsi tentang Keselarasan Orangtua dengan Konflik Nilai pada Remaja Awal. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Myers, D. G. 2008. Social Psychology. New York: McGraw-Hill Poerwandari, E. K. 2005. Wawancara Kualitatif untuk Wawancara Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3. Sekarwangi. 2005. Laporan PKL Psikologi Sosial: Perkawinan Beda Agama. Laporan Praktek Kerja Lapangan (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Ummi. 2001. Nikah beda Agama, Awal Konflik Berkepanjangan. Edisi 11/XII/2001. Wulandari, B. N. D., 1998. Religiusitas dan Sikap pada Perkawinan Campur pada Mahasiswa Katholik. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
13
LAMPIRAN A. DATA RESPONDEN 1. Identitas responden: Nama (inisial) : Ana (29 tahun) Agama
: Islam
Agama Ayah : Islam Agama Ibu
: Katholik
Saudara
: 1 orang kakak laki-laki (Islam) 1 orang kakak perempuan (Katholik)
Status
: menikah (suami beragama Islam)
Anak
: 2 anak perempuan
2. Keterangan: Wawancara dilakukan di rumah orangtua subjek di kota W pada hari Selasa, 27 Desember 2010 pukul 16.00-18.00. Kode: P (peneliti); S (subjek) Aspek yang diteliti: 1. Usia saat pertama kali sadar perbedaan agama 2. Kondisi dan perasaan subjek dengan adanya perbedaan agama 3. Proses memilih suatu agama 4. Konflik nilai yang dihadapi 5. Strategi coping yang digunakan dalam menghadapi konflik 6. Pemahaman tentang perkawinan beda agama 7. Hubungan dan penilaian terhadap Ayah 8. Hubungan dan penilaian terhadap Ibu 9. Hubungan dan penilaian terhadap Saudara Contoh koding: A1 aspek 1
14
B. DATA VERBATIM DAN KODING DATA Line 1
P S P S
5 P S 10 P S 15
P 20
S
25
P S
30
35
40
P S
P S P
45 S
50
P S
Keterangan Ayah dan Ibu Ana berbeda agama ya? Apa agama ayah dan ibu? Ayah beragama Islam, Ibu beragama Katholik. Bagaimana dengan saudaramu? Apa agama mereka? Aku punya dua kakak. Yang pertama laki-laki, agamanya Islam. Yang kedua kakak perempuan, agamanya Katholik. Bagaimana penanaman nilai-nilai agama dalam keluargamu? Hingga Akhirnya kedua kakakmu menganut agama yang berbeda? Sebenarnya ayah dan ibuku tidak sakklek menanamkan agama tertentu pada anak-anaknya. Katanya sih dulu ayahku ingin semua anak-anak beragama Islam, tetapi waktu ditanya sama ayah, Mbakku nggak mau. Jadi ya cuma aku dan masku yang beragama Islam. Dari dulu bapak dan ibu memang berbeda agama ya? Ya.. dari dulu mereka berbeda agama. Aku juga gak tau kok akhirnya mereka bisa menikah. Keluarga besar ibuku tinggalnya di Jogja, sebagian besar adalah penganut Katholik yang kuat dan taat. Sedangkan ayahku, keluarganya sebagian besar tinggal di Jakarta, mereka muslim tapi ya gak gitu kuat dan taat banget. Tapi ya kalo untuk salat dan ngaji bisa ya rajin. Kalau gitu, sejak kecil sudah ditanya mau beragama apa ya? Kira-kira umur berapa Ana menjawab pertanyaan tentang agama itu? Kayaknya sih sejak kecil. Aku juga lupa tepatnya kapan mulai menjawab beragama Islam. Kayaknya seingatku waktu aku SD, ditanya sama guruku, apa agamamu? Trus aku jawab Islam. Ya sudah sejak saat itu aku kalo ditanya agama ya jawabnya Islam.. (tertawa)... sudah terlupakan je Lalu bagaimana pengalamanmu menjalankan ibadah saat kecil? Dari kecil aku tu di Jakarta, jadi tinggalnya sama kakek dan emak, dari bapakku. Nah mereka Islamnya cukup kuatlah dibandingkan bapakku waktu itu. Nah mereka yang ngajari aku salat dan ngaji. Jadi waktu itu yang ngajari salat dan ngaji ya kakekku yang sekarang ini sudah meninggal. Kalo bapakku sih sejak kecil gak ngajarin dan berperan apa-apa (tertawa..) waktu itu bapak memang gak begitu kuat Islamnya jadi gak ngajarin. Hm.. tapi mungkin waktu puasa aja, aku disuruh puasa, nanti kalo puasa dikasih duit sama bapak. (tertawa..). Kalo ngaji ya tempatnya tetangga, yang ngajari kakek. Kalo salat ya gak ada yang nyuruh, salat ya terserah, mau 2 waktu atau 3 waktu terserah. Trus bagaimana pengalaman beribadah waktu SMP, SMA, dan kuliah? Waktu SMP dan SMA sih salatnya ya salat tapi masih ada bolong dan tidak lima waktu. Tapi waktu SMA lebih rajin daripada waktu SMP. Lha gak ada yang nyuruh, gak ada yang ngasih contoh, jadi ya masih kayak gitu. Waktu kuliah ya agak mending, lebih rajinlah salatnya. Bagaimana kalau sekarang? Kalo sekarang ya lebih baik. Setelah menikah ya gak cuma salat wajib saja. Kalo bisa salat sunat juga dikerjakan. Lalu nilai-nilai apa yang ditanamkan dalam keluarga, maksudnya, bapak ibu dan kakak kan berbeda agama, jadi apa yang perlu dilakukan? Apakah ada nilai-nilai khusus yang ditanamkan orangtua? M... apa ya... mungkin ya nilai-nilai yang universal ya, bukan nilai-nilai agama tertentu. Ya misalnya saling menghormati antar agama. Tapi ibuku juga kadang-kadang mengajak aku ke gereja. Bapakku cuma diam aja. Waktu kecil sempat mengalami kebingungan tentang agama? Kalo aku sih gak bingung. Karena sejak kecil memang tertanam kalo aku
Koding
A3
A3
A1
A3 A8 A9
A3
A3
A3 A7 A8 A3
15
55
P 60 S
65 P S 70 P S 75 P S 80
P S 85
90
100
105
110
P S
P S
Islam. Dan kalo diajak ke gereja gak mau. Jadi ya sudah. Aku sudah agak lupa je.. hehehehe... ya seingatku ya kakek yang ngajarin salat karena bapak memang gak pernah salat. Trus waktu kecil kan aku tinggalnya di Jakarta sampai kelas 5 SD, trus kakek meninggal jadi pindah ke Jogja. Nah kalo di Jakarta memang keluarga besar mayoritas Islam, keluarga dari bapak. Sedangkan kalo di Jogja sebagian besar Katholik, keluarga dari ibu. Jadi mungkin ya kebingungannya ya waktu pindah ke jogja, tapi ya gak juga ding, kayaknya aku gak bingung tu.. heheheh.... Hm... berdasar ceritamu, bapak tidak memberi contoh melakukan salat ya, bagaimana dengan ibu? Apakah ibu termasuk rajin beribadah ke gereja? Kalo ibu sih, biasa-biasa saja, waktu masih di Jakarta lo, paling ya ke gereja tiap Minggu, tapi waktu balik ke Jogja ibu lebih memperdalam agamanya, ya mungkin karena keluarga besar di Jogja termasuk yang kuat dan taat beragama Katholik, makanya ibu jadi terbawa. Dulu sih tidak fanatik, tapi sekarang ya mulai mendalami agama, jadi mulai fanatik. Berarti waktu itu dirimu masih remaja ya, apakah ibu juga mengajakmu untuk belajar agama Katholik? Kalo waktu masih kecil ya ngajak ke gereja. Trus waktu SMP, SMA, atau kuliah juga ngajak ke gereja atau ikut persekutuan doa, kayak pengajian kalo di Islam, tapi ya aku biasanya gak mau. Nek aku gak mau ya gak dipaksa juga, ya sudah kalo gak mau, tapi ya besok-besoknya lagi ya diajak. Apakah ibu juga berusaha untuk berdiskusi tentang masalah agama? Gak pernah sih, ibu gak pernah ngajak diskusi, tapi piye ya... aku sudah lupa je... sudah tambah tua.. hehehehe... tapi kayaknya dulu aku sih yang malah mendebat keyakinan ibu, jadi waktu itu cukup seru perdebatannya. Kayaknya waktu SMA deh, waktu itu sudah mulai banyak bertanya... Hm... jadi waktu SMA sudah mulai banyak masukan tentang ilmu agamanya ya? Hehehe... ya gak juga sih. Waktu SMA memang sering ikut rohis, pengajian, trus baca buku-buku tentang agama, sebenernya ya masih awam ilmunya tapi ya pengennya ikut mendebat. Kan ada to buku tentang perbandingan agama, nah trus sok tau gitu... Trus bagaimana saat perayaan natal atau lebaran? Apakah dirayakan juga? Kalo dulu ya ikut merayakan, kalo natal ya ada pohon natal, ikut menghias. Ya waktu kecil seneng, karena kan banyak kue, trus tanggal 24 nya biasanya saudara-saudara datang dari gereja, trus mengucapkan selamat natal. Nah kalo lebaran juga merayakan, ibuku juga masak ketupat, opor, trus ada kue-kue juga. Kalo sungkeman ya ikut sungkeman. Ya semuanya dirayakan.. Nah perbedaannya ya beberapa tahun ini, setelah aku menikah, ternyata gak boleh ya ikut mengucapkan selamat natal atau ikut merayakan. Nah kalo dulu kan ikut mengantar aneka kue natal, dan ternyata kan gak boleh, jadi ya... sekarang tidak mengucapkan dan tidak ikut merayakan atau membantu merayakan... gitu... Memang sejak kecil sudah disuruh memilih agama sendiri ya? Hm... jadi kata ayahku, dulu sebelum menikah tu ada kesepakatan bahwa tidak boleh ngusik-ngusik agama, masing-masing tidak boleh menyuruh pindah, bapak gak boleh menyuruh ibu pindah, ibu juga gak boleh nyuruh bapak pindah, tapi kata bapak sih dulunya anak-anak disuruh Islam semua, tetapi Mbakku gak mau, jadinya ya ia tetap Katholik. Diberi kebebasan memilih itu sejak kecil ya? Iya, jadi memang disuruh memilihnya sejak kecil, kalo gak mau ya gak dipaksa. Kayak Mbakku yang gak mau Islam ya gak dipaksa. Ya kalo udah jawab, ya gak diganggu gugat. Tapi ya tetep diajak. Sampai sekarang juga tetep diajak... tapi hm... kayaknya mulai tidak diajak lagi tu sejak aku pake jilbab gedhe, sekitar tahun 2009 apa ya...
A8 A9
A3
A5
A5
A3 A4
A3 A7 A8
A3 A4 A5 A9
16
P S 115 P S
120
125
P
S 130
135
P
S 140
145
150 P S
155
160
165
Lalu bagaimana pendapatmu tentang pengasuhan bapak dan ibumu tentang penanaman nilai agama? terutama... waktu kecil... Waktu kecil ya sangat kurang. Misalnya mau salat ya terserah, gak salat juga gak pa-pa. Soalnya pemahaman agamanya bapak dan ibuku ya gak gitu dalam. Kalo dulu ya biasa aja pelaksanaan nilai-nilai agamanya. Kalau sekarang bagaimana? Kalo aku sih sekarang malah inginnya menarik semua ke dalam agama yang sama. Penginnya satu agama semuanya. Misalnya saat lebaran, kalo disini tu sepi banget, gak ada keluarga yang berkunjung. Sekarang kan biasanya aku lebaran di Blitar, tempat suami yang semua keluarganya Islam, ya beda rasanya, semuanya berkunjung, kalo disini kan ada yang puasa ada yang makan seperti biasa, jadinya saat lebaran itu kurang berkesan. Nah, biasanya setelah lewat hari lebaran baru balik ke Jogja. Rasanya kan beda ya kalo kita puasa bareng trus ibadah bareng. Hm.. jadi rasanya ada yang kurang ya, saat ada perayaan agama, tetapi anggota keluarga yang lain tidak ikut merayakannya atau tidak ikut melakukan ibadah yang sama. Dan perbedaan agama itu sangat terasa saat bulan Ramadhan, atau saat hari-hari biasa juga terasa? Ya, hari-hari biasa ya juga terasa. Misalnya kalo aku di rumah dengan anakanak dan suami, biasanya kan Mas pergi salat di masjid, trus nanti pulangnya ngaji bersama... ah.. rasanya indah sekali, kebersamaannya dan suasananya indah sekali.. itu gak ada di Jogja. Rasanya jadi sedih... ya sedih karena berbeda rasanya. Memang sih diingatkan sudah salat belum, tapi kan tetep beda rasanya. Hm... jadi lebih banyak terasa sedihnya. Kalo konflik dalam beribadah atau larangan untuk beribadah gak ada ya, tapi lebih merasa sedih karena tidak bisa beribadah bersama-sama. Trus bagaimana caramu selama ini untuk menghadapi atau menyelesaikannya? Iya, karena memang komitmennya sejak awal seperti itu. Ya akhirnya diterima saja. Habis mau bagaimana lagi, gak ada yang bisa dilakukan lagi toh. Tapi akhir-akhir ini ibu kan ikut semacam perkumpulan yang cukup mempengaruhi, karena perkumpulan itu sering menjelek-jelekkan Islam. Jadi ibu suka bertanya yang macam-macam tentang Islam. Wong pernah ngomong ke aku, waktu itu ada insiden di Bekasi tentang ada Romo yang menjelek-jelekkan Islam lewat buku, trus ibu bilang, “itu ya katanya kalo orang Islam itu boleh membunuh ya dan dengan alasan jihad, kamu jangan ikut-ikut kayak gitu ya”... nah aku kan kaget kok tahu-tahu ngomong kayak gitu. Lha apa to ini? (tertawa..) Nah.. ini pasti karena teman-temannya di perkumpulan. Ini dapet info darimana to? Nah sekarang itu sering tiba-tiba nyeletuk. Hm... gitu ya... trus bagaimana dirimu menanggapinya? Ya kalo aku biasanya trus tak ajak ngomong-baik-baik, tak jelasin yang aku tahu seperti apa, aku tanya dapet info darimana. Kalo yang itu, aku jelasin bahwa kalo di negara yang mayoritasnya muslim, maka darah orang non muslim itu ditanggung oleh orang muslim, jadi tidak bisa sembarangan menganiaya orang non muslim, nah yang kayak gitu kan tidak dipahami oleh orang awam, mereka tahunya Islam didapat melalui pedang dan kekerasan, padahal itu hanya oknum, Islam sendiri sebenarnya tidak mengajarkan kekerasan. Nah yang sering terjadi perdebatan ya hal-hal seperti itu. Kadang-kadang ibu nyeletuk. Atau kadang-kadang aku sendiri yang malah penasaran dan bertanya pada ibu, misalnya tentang bahasa roh. Ibu kan sering seperti itu. Jadi pakdhe itu kan sering ngomong kayak itu, wah, bahasanya tidak dimengerti, nah menurut keyakinannya sih katanya itu tingkatan iman yang tinggi karena sudah bisa berbicara dengan Tuhan melalui malaikat, jadinya memakai bahasa roh. Nah aku kan
A3 A7 A8 A4 A5
A4
A4 A5 A8
A4 A5 A8
17
P 170
S
175
180
185 P S 190
P S 195
200
P S
205 P S 210
215
220
P
penasaran , jadi kutanyakan itu logikanya seperti apa, karena dalam Islam kan ada penjelasan logikanya. Hm.. jadi kakaknya ibu ya yang sering memakai bahasa roh. Hanya dia yang bisa mengerti atau ada orang lain yang bisa mengerti? Ya hanya dia yang bisa mengerti. Nah bapak kadang-kadang juga ikutikutan. Soalnya pakdhe itu kan kalo kaget sedikit, trus bicaranya hwes hwes hwes... gak ngerti apa itu artinya. Nah trus bapak pesan sama ibu, untuk kasih tau pakdhe kalo dia seperti itu sebaiknya pas sendiri saja, kalo pas di depan umumkan malu, lha aku juga cuma tertawa saja.. hehehehe. Sebenernya sih temennya ibuku yang sukanya mempengaruhi. Jadi ibuku tu punya teman yang menjadi tempat untuk bertanya segala sesuatu, jadi ibu suka bertanya tentang ini kalau begini bagaimana kalo begitu bagaimana, padahal ibuku kan orangnya gampang terpengaruh, terbujuk, dan terdogma. Dan akhirnya cenderung ke takhayul, ramalan gitu. Trus selama ini dirimu menanggapinya dengan mengajaknya diskusi? Ya, biasanya ya diajak ngomong, tapi karena pada dasarnya ngeyel ya ujung-ujungnya pokoknya, paling nanti bilang kalo iman itu pada dasarnya percaya, kalo di agama Katholik kan iman itu percaya, jadi tidak ada logika seperti itu. Misalnya Tuhan itu tiga tapi satu, satu tapi tiga. Ya intinya percaya. Trus yang lainnya adalah kalo ada sesuatu trus bilangnya Tuhan yang bicara, jadi percaya saja. Trus apa pendapat ayahmu tentang hal itu Na? Ayahku berpikiran seperti apa yang kupikirkan, jadi biasanya aku kan deket dengan papa. Jadi ya suka bertanya kok seperti ini jadinya. Maksudnya dulu kayaknya sebelum aku nikah gak kayak gini, tapi setelah aku menikah dan tinggal dengan suami, trus pulang ke Jogja, kok sudah sampai di tingkatan ini. Ya sudahlah, dimaklumi saja. Papamu cukup terbuka untuk diajak diskusi ya? Ya, bisa, pada dasarnya pikiranku dan papa sama, jadi nyambung kalo diajak diskusi. Biasanya papa juga emosi kalo mama terpengaruh omongannya temennya, trus biasanya ya bilang jangan bergaul sama temennya itu. Tapi ya karena sudah ada kesepakatan sebelum nikah ya papa gak berbuat banyak, maksudnya gak ngajak mama untuk pindah ke Islam atau menasihati agar tidak terlalu terpengaruh. Trus dalam melaksanakan ibadah atau ajaran agamamu, apakah ada tentangan dari mama? Hm... mungkin waktu pake jilbab. Ng... nggak sih, tidak ada larangan, waktu pake jilbab biasa ya boleh. Cuma waktu pake jilbab besar, yang ditanyain, ngapain pake jilbab kayak gitu, tapi gak usah ikut yang teroris itu lo, paling bilangnya gitu. Jangan pake yang item lo, nanti kayak orang yang demo. Ya umumnya gak ada larangan sih, karena sudah ada kesepakatan dari awal kalo anak diberi kebebasan. Rasanya berat ya kalo ada konflik dengan keluarga. Ya sedih kalo ada konflik. Jadi ada majalah yang namanya apa ya... lupa aku. Aku kan belajar dari situ juga. Biasanya ada saran-saran kalau ada pertanyaan tentang islam dari orang Nasrani, nah, itu ada cara-cara menjawabnya. Dikasih tahu tips-tips untuk menangkisnya. Jadi sedikitsedikit aku tahu bagaimana menjawab pertanyaan yang ada, karena latar belakang keluargaku kan begini, jadi musti siap-siap menjawab, ada ilmunya. Trus ada lagi buku The Choice, isinya juga seperti itu. Itu juga untuk meyakinkanku juga sih kalau aku ada di jalan yang tepat. Kalo dari suamiku sih bilangnya gak usah baca buku kayak gitu, yang penting mendalami agama, bisa mengamalkan, nanti kan bisa menjelaskan berdasarkan pengalaman. Tapi kalo aku sendiri kan kalo belajarnya kan lama, sedangkan sudah ditanyain kayak gitu, jadi ya musti punya ilmunya. Lalu, bagaimana dengan ayahmu? Apakah ada usahamu untuk
A8
A5
A5 A7
A5 A7
A3 A5 A8
A3 A4 A5
18
S
225
230
235
240
245
P S
250
P S 255
260
265 P S 270
275
mempengaruhi ayahmu agar bisa beribadah dengan lebih baik? Kalau sekarang sih sudah lebih baik ya, maksudnya, salatnya juga mulai rajin, kalau dulu kan nggak. Seingatku waktu aku SMP SMA tu salat idul Fitri itu ya sendiri. Aku jalan sendiri ke masjid untuk salat Idul Fitri, masku dan bapakku nggak salat. Ya yang sekarang masih parah tu ya masku, masih belum salat lima waktu. Dan ayahku juga takut untuk menekan menyuruhnya beribadah karena takut masku tidak suka ditekan untuk salat trus malah pindah ke Katolik. Aku kan pernah nanya, bukankah kalo anaknya baik dan taat beragama, orangtuanya juga akan diberi pahala? Kalo seorang pemimpin kan ditanyai tentang yang dipimpinnya, jadi orangtua akan ditanya tentang anaknya. Trus bagaimana jawabnya? Kata bapak, ya nanti tambah runyam kalo bapak menekan dan mas jadi tidak suka. Mbakku juga gitu kok. Tidak ada tekanan untuk ke gereja, dari mama ya membiarkan saja, tidak menyuruh ke gereja atau bagaimana. Nah baru setelah menikah ini, ia kan mendapat suami yang cukup rajin ke gereja, jadinya ya rajin ke gereja sekarang, kalo dulu sih gak gitu rajin, ya ogah-ogahan kalo disuruh ikut perkumpulan. Jadi itukan seperti menjaga biar tidak ada konflik ya. Kalo ada konflik karena agama kan membuat hubungan menjadi retak, jadi ya usahanya konfliknya ditekan sedalam-dalamnya agar tidak keluar dan menjadi masalah. Jadi misalnya ada ketidakpuasan ya ditekan. Jadi bukan karena demokratis atau bagaimana, jadi memang sengaja ditekan, agar tidak timbul masalah, gak usah dibahas kalo masalah itu, lebih baik membahas masalah yang lain, misalnya ekonomi atau yang lain. Jadi masalah agama dalam keluarga itu direpres, ditekan.. Hm... begitu ya ternyata. Maksudnya masing-masing keluarga memiliki masalah yang berbeda dan penanganan yang berbeda ya. Ya gitu... masalah itu pasti ada, tapi ya diterima saja. Pasrah aja. Mau ngapain lagi, wong sudah berbeda. Kalo dulu ya aku repres, soalnya dulu aku gak tau banyak ilmu agama, Islamnya juga masih awam, kalo membantah ya cuma mbantah aja tapi tidak tau dasarnya. Paling ya nangis, trus nanti lupa masalahnya apa. Ya agak hopeless karena belum tau ilmunya. Kalo sekarang ya lumayanlah sudah tau arahnya. Jadi, ada rasanya hopeless juga ya.. Ya, kalo dulu gak tahu musti ngapain. Kalo sekarang aku punya harapan baru. Kalo dulu kan gak bisa ngapa-ngapain. Mendoakan saja gak boleh, trus bagaimana ibu dan kakakku. Ya Allah bagaimana ini, masak ibu yang membesarkanku, menyayangiku, besok masuk neraka. Kalo dalam Islam kan memang tidak boleh mendoakan orang yang bukan muslim, maksudnya doa untuk orangtua pun tidak boleh. Aduh rasanya sedih sekali. Bagaimana ini. Nabi Muhammad sendiri kan juga tidak boleh to mendoakan ayah dan ibunya juga kakeknya yang bukan muslim. Tapi sekarang aku jadi tahu, bahwa aku bisa mendoakan ibu dan mbakku agar mereka mendapat hidayah. Jadi ya itu yang kulakukan sekarang, maksudku usahaku baru mendoakan mereka agar mendapat hidayah untuk beragama Islam. Karena berdoa untuk yang lain, misalnya diberi rahmat dan sebagainya kan gak boleh. Sejauh ini itu, belum ada usaha yang lain. Lalu sejauh ini, bagaimana pandanganmu tentang pernikahan beda agama? Menurut agamamu mungkin, atau bisa pendapatmu pribadi... Ya menurutku itu akan sulit sekali, jadi lebih baik jangan dilakukan. Kalo menurut Islam kan itu memang boleh ya, maksudnya antara laki-laki Islam dengan wanita non muslim, karena kan harapannya si laki-laki dapat mengajak si perempuan pada kebaikan, karena laki-laki itu kan pemimpin, tetapi itu kan sulit ya pada kenyataannya. Misalnya kayak bapakku ini, dia kan gak bisa berbuat apa-apa untuk mengajak ibuku pindah ke Islam, karena sudah kesepakatan sejak awal sebelum menikah untuk tidak mengusik
A3 A4 A5 A9
A5
A5
A6 A4 A5
19
280
285 P S P 290
S
295
P S
masalah agama. Nah yang gak boleh kan malah yang kayak gitu.. yang gak boleh kan kalo masing-masing tetap pada agamanya dan tidak saling mengajak pada kebaikan.. itu kan berarti pernikahannya tidak sah ya menurut islam, berarti kan aku anak haram, trus bagaimana ya ini, kalo mbiyen ya sempat nangis-nangis... tapi lama-lama aku berpikir aku kan gak bisa mengubah takdir, karena menurutku walaupun pernikahannya tidak sah tapi kan setiap bayi lahir adalah fitrah, suci, jadi ya sudah, aku Cuma bisa pasrah, nerima saja, gak bisa ngapa-ngapain, wis diterima saja, menjalani takdir... aku juga gak berani ngomong sama bapak kalo berarti aku anak haram dong, aku gak berani... Hm... berarti itu tahunya atau pahamnya waktu SMA atau... Hm... itu waktu kuliah... Kalau dulu pernah terbersit kekhawatiran bahwa ketika teman-temanmu tahu keadaanmu, mereka akan menjauhimu? Ya gak tuh... karena teman-temanku kan gak begitu religius, mereka ya tahu, tapi ya biasa saja. Jadi aku ya gak khawatir... Ya.. intinya ya diterima saja, berdamai dengan takdir, yang bisa kulakukan ya mendoakan agar diberi hidayah, trus kalau ada pertanyaan yang nylekit ya bisa aku luruskan dan bisa aku jawab... Baiklah Na, terimakasih atas kesempatannya. Kalau masih ada informasi yang belum lengkap, mungkin bisa kita lanjutkan lain waktu. Ya... sama-sama...
A4 A5
20
C. TEMUAN DATA PADA RESPONDEN No Aspek 1. Usia saat pertama kali sadar perbedaan agama 2. Kondisi dan perasaan subjek dengan adanya perbedaan agama dalam keluarga 3. Proses memilih suatu agama
4.
Konflik nilai yang dihadapi
Keterangan Waktu ditanya oleh guru SD
Sedih, tidak ada kebersamaan saat lebaran Rasanya lebih indah kalo bisa beribadah sama-sama Walopun diingatkan untuk salat, tapi tetap rasanya beda Inginnya agamanya satu saja Diberi kesempatan untuk memilih agama sendiri (saat kecil) Mas beragama Islam, Mbak beragama Katholik Hingga sebelum menikah sering diajak ibu ke gereja; diajak ikut kebaktian; menghias pohon Natal Merayakan lebaran; mengucapkan selamat Natal Orangtua tidak mengajarkan cara beribadah, hanya mengajarkan untuk saling menghormati Diajari kakek dan nenek (dari pihak bapak) untuk salat dan ngaji Senang ikut nenek tarawih Diberi uang jajan oleh bapak kalo puasa ramadhan Ibu sering bertanya dan nyeletuk tentang ajaran Islam, jadi muncul rasa ingin tahu agar bisa menjawab pertanyaan ibu Muncul rasa ingin tahu tentang ajaan agama Katholik Saat SMA, belajar agama lewat teman, pengajian, rohis, dan membaca buku Kuliah memakai jilbab Menikah dengan laki-laki Islam Setelah menikah, ikut pengajian, semakin rajin membaca buku tentang Islam, dan memakai jilbab besar Mendoakan ibu dan Mbak agar mendapat hidayah Membaca buku tentang tips menjawab pertanyaan dari orang Nasrani tentang Islam Ingin semua anggota keluarga beragama Islam Ingin bapak dan Mas menjalankan ajaran Islam dengan baik Ingin bapak agar mengajak ibu pindah ke agama Islam Merasa sedih saat merayakan lebaran di Jogja Merasakan kebersamaan yang indah jika semua anggota keluarga beribadah bersama dan merayakan hari raya bersama
21
5.
Strategi coping yang digunakan
6.
Pemahaman tentang perkawinan beda agama
7.
Hubungan dan penilaian terhadap ayah
8.
Hubungan dan penilaian terhadap ibu
Tidak mau mengucapkan selamat Natal pada ibu dan Mbak Kadang kaget jika ibu bertanya tentang isu-isu yang menyudutkan Islam Sebelum memakai jilbab besar masih merasa ibu berusaha untuk mengajak pindah agama Saat SMA hanya menangis jika ada pertanyaan tentang agama yang tidak bisa dijawab Saat kuliah, hanya menangis ketika tahu anak dari perkawinan beda agama adalah anak haram Saat SMA, berusaha membaca buku dan mengajak ibu berdebat tentang masalah agama Jika putus asa, tidak punya jawaban, cuma bisa pasrah menerima takdir Menghibur diri bahwa semua anak terlahir fitrah Merepres dan menekan jika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan Berusaha diam saja dan tidak membahas masalah agama di tengah-tengah keluarga Setelah menikah, ikut pengajian rutin, rajin membaca buku dan majalah Islam Dalam Islam, diperbolehkan dengan tujuan suami diharapkan bisa mengajak istri pindah ke Islam Suami adalah pemimpin, harus lebih dalam ilmu agamanya Perkawinan beda agama banyak masalahnya, lebih baik menikah dengan yang seagama saja Dalam keluarga, seharusnya anak diajari untuk beribadah Pengasuhan demokratis yang membebaskan anak untuk memilih tetap bukan jalan terbaik, yang terbaik adalah anak diberi kebebasan tetapi juga diajari nilainilai agama Pemahaman agama yang dimiliki bapak masih kurang Saat ini pemahaman agama bapak sudah lebih baik Bapak jarang salat dan menjalankan ibadah yang lain Tidak begitu dekat dengan bapak Bapak tidak berperan apa-apa dalam penanaman nilai agama Ingin bapak lebih rajin salat Ingin bapak menasihati Mas agar mau salat Ingin bapak mengajak ibu pindah agama Ibu lebih religious daripada bapak Ibu sering mengajak ke gereja, mengajak berdebat tentang agama, bertanya atau nyeletuk tentang isu-isu
22
9.
Hubungan dan penilaian terhadap saudara
yang menyudutkan Islam Ibu tidak memaksa Mbak ke gereja atau mengajari Mbak beribadah lebih rajin Ibu terlalu percaya pada perkataan teman dan mudah terpengaruh dengan ucapan teman Keluarga ibu sangat fanatic sehingga ibu juga terpengaruh menjadi fanatic Ibu percaya pada bahasa roh dan hal-hal takhyul lainnya Ingin mendoakan ibu agar mendapat hidayah Ingin agar ibu pindah agama Islam Sayang pada ibu, tetapi tidak dekat dengan ibu Ingin mengingatkan mas agar salat dan mengajaknya diskusi agar menjalankan ibadah dalam Islam Ingin mendoakan Mbak agar mendapat hidayah agar masuk Islam Tidak dekat dengan mas maupun mbak