Kisah Perjuangan Melawan Stigma: Sebuah Cerita Mengenai Orang Dengan Skizofrenia (ODS) dan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Jakarta Galih Bramudyas Yogaswara Program Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang sering dipahami secara keliru. Mispersepsi atas gangguan skizofrenia selanjutnya berpotensi untuk melahirkan stigma sehingga memposisikan penderitanya sebagai korban. dari ketiga penderita skizofrenia yang menjadi informan, pelajaran berharga terkait dengan stigma negatif tentang penderita gangguan jiwa dapat dipahami melalui pengalaman menjalani hidup dengan skizofrenia. Ketidaktahuan tentang penyakit skizofrenia akhirnya memunculkan stigma negatif terhadap penderitanya. Ketidaktahuan tentang penyakit skizofrenia selanjutnya mendorong sekelompok orang untuk membentuk suatu komunitas yang bergerak dalam isu kesehatan jiwa melalui Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) untuk memberikan dukungan sosial. Penderita skizofrenia mengikuti berbagai macam kegiatan KPSI yang bertujuan mendorong proses pemulihan. Dari cerita penderita skizofernia yang berhasil pulih, stigma negatif tentang gangguan jiwa skizofernia diharapkan dapat berkurang atau hilang sama sekali. Kata kunci: Skizofrenia, Misunderstood Illness, Stigma, Dukungan Sosial.
A Story of A Fight Against Stigma: A Story about People with Schizophrenia and Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Jakarta Abstract Schizophrenia is a type of mental disorder that is often misunderstood. Misperceptions on the disorder have the potential in creating stigma that will left people with schizophrenia as victims. From the three people with schizophrenia who become informants to this research, a valuable lesson about the negative stigma associated with people with mental disorder can be understood through their experiences living with schizophrenia. The lack of knowledge about schizophrenia further encourages a group of people to form a community engaged in mental health issues through Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) that give social support. People with schizophrenia follow a variety of activities aimed to support the recovery process. From the stories of people that have successfully recovered, the negative stigma towards schizophrenia is hoped to diminish and even disappear altogether. Key words: Schizophrenia, Misunderstood Illness, Stigma, Social Support.
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
Pendahuluan Konsepsi tentang kesehatan secara holistik bukan hanya semata-mata memperhatikan kesehatan fisik tubuh, melainkan juga kesehatan jiwa sebagai sebuah faktor yang tidak kalah penting. Akan tetapi, kesehatan jiwa tampaknya belum menjadi suatu topik utama ketika membicarakan tentang konsepsi kesehatan secara keseluruhan (Hinshaw 2006). Hal ini mengakibatkan pengetahuan tentang kesehatan jiwa menjadi terbatas. Dengan begitu, suatu gangguan jiwa seringkali dipahami secara keliru. Pemahaman tentang gangguan yang dipahami secara keliru dapat mengakibatkan penderitanya rentan mendapat stigma negatif. Sebagai contoh, penderita gangguan jiwa sering menerima label “gila”, “sinting”, dan berbagai label lainnya. Pemakaian istilah orang gila dianggap memberikan stigma negatif, diskriminatif, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia (Widodo 2009:3). Stigma negatif ini kerap kali muncul pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS) sebagai salah satu jenis gangguan jiwa. Dalam displin antropologi, pandangan budaya tentang masalah kejiwaan pernah dikaji lewat konsep “normal” dan “abnormal” (Foster dan Anderson 1986). Dalam masyarakat terjadi pemberian label atas suatu fenomena atau kejadian tertentu. Tingkah laku “abnormal” di mana-mana diberi label. Label “abnormal” dapat dimaknai sebagai suatu hasil dari anggota-anggota masyarakat yang “beres” yang merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk menjelaskan, memberi sanksi dan mengendalikan tingkah laku sesama mereka yang menyimpang atau yang berbahaya, tingkah laku yang kadang-
kadang hanya “berbeda” dengan tingkah laku mereka sendiri (Foster dan Anderson 1986: 100). Seorang dengan masalah kejiwaan dapat melakukan tingkah laku yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Tingkah laku itu lalu diberi cap menyimpang. Betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan tetap dijadikan stereotip dan stigma bagi yang bersangkutan (Foster dan Anderson 1986: 101). Pemberian label terhadap penderita gangguan jiwa skizofrenia membuat ODS rentan menjadi obyek sasaran atas stigma negatif. Oleh karena itu dalam penelitian ini, ODS diposisikan sebagai subyek penelitian agar dapat menjelaskan pengalamannya menjalani hidup dengan skizofrenia yang rentan mendapatkan stigma. Pengalaman ODS terkait stigma dalam menjalani hidup dengan skizofrenia menjadi salah satu fokus dalam penelitian ini. Seorang antropolog Janis Jenkins menyebutkan “The subjective experience of schizophrenia has been a neglected area of research” (2004: 7). Jenkins menjelaskan bahwa selama ini pengalaman subyektif dari ODS telah diabaikan sebagai salah satu bidang penelitian. Padahal jika ingin dikaji lebih lanjut, pengalaman ODS sarat akan perjuangan menjalani hidup menerima serta melawan stigma terkait dengan gangguan jiwa yang dideritanya. Melakukan kajian tentang ODMK atau ODS bukanlah suatu hal mustahil dalam kajian antropologi. Hal ini pernah dilakukan oleh Vincent Crapanzano dalam bukunya berjudul Tuhami. Melalui seorang penderita skizofrenia, Crapanzano dapat mempelajari tentang kebudayaan Maroko. “The life history, like autobiography, presents the subject from his own
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
perspective.” (Crapanzano 1980: 8) Pengalaman ODS dapat menjadi pelajaran dalam suatu fenomena sosial. Dalam penelitian ini, pengalaman ODS lalu dijadikan suatu pelajaran untuk dikaitan dengan stigma yang pernah dialaminya semasa menjalani hidup dengan skizofrenia. Dalam kajian tentang kesehatan jiwa, antropologi sering memperhatikan dukungan sosial terhadap penderita yang dinilai dapat membantu proses pemulihan ODS. Oleh karenanya selain pengalaman hidup ODS, fokus penelitian lainnya disini adalah faktor healing melalui kelompok sosial pendukung yaitu Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Dalam proses pemulihan gangguan kejiwaan, upaya penyembuhan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua metode yaitu penyembuhan dengan melakukan pengobatan medis melalui psikiater dan upaya penyembuhan dengan memperhatikan aspek sosial. Oleh karena itu, Csordas & Kleinman mengatakan bahwa “Healing is a form of social support (1990:20).” Dengan begitu dapat dipahami bahwa dukungan sosial dalam rangka penyembuhan menjadi penting. Dalam konteks ini, dukungan sosial akan dilihat melalui berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh KPSI dalam rangka upaya pemulihan ODS. KPSI sebagai sebuah organisasi dalam bidang kesehatan jiwa menyelenggarakan berbagai macam kegiatan yang ditujukan bagi pemulihan ODS. Hal ini tentu menjadi perhatian menarik, sebab komunitas ini tidaklah lahir dengan inisiasi orang-orang yang memiliki latar belakang dalam bidang medis psikiatri saja. Masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada bidang kesehatan jiwa juga turut mengambil bagian dalam upaya pemulihan
ODS. Oleh karena itu, peran KPSI sebagai kelompok sosial pendukung dalam proses pemulihan menjadi menarik untuk dilihat melalui lensa antropologi.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan untuk melihat realitas terkait kompleksitas permasalahan dalam gangguan skizofrenia. Dalam penelitian kualitatif, gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, kemudian dianalisis kembali menggunkan teori yang objektif (Suparlan 1994:4). Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang gejala-gejala sosial budaya melalui pengalaman ODS dalam menderita gangguan skizofrenia. Melalui pengalaman ODS terkait dengan gangguan jiwa yang dideritanya, pengetahuan tentang penderita skizofrenia yang berkaitan dengan stigma dapat dipahami. Dalam penelitian ini, ODS diasumsikan sebagai suatu kelompok sosial. Dengan memperhatikan argumentasi dari Barret: ”The term schizophrenic is usually understood to refer to a disease, yet in actual usage it commonly refers to type of person ... I argue that because the schizophrenic is conceived as a category of person.(1998: 466)”. Dari kutipan diatas dapat dimaknai bahwa terminologi penderita skizofrenia biasa dipakai untuk mengacu pada orang yang memiliki masalah kejiwaan. Akan tetapi dalam konteks ini, penderita skizofrenia atau yang sering diistilahkan sebagai Orang Dengan Skizofrenia (ODS) juga dapat mengacu pada golongan atau macam jenis orang
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
sebagai subyek. Argumentasi Barret menjelaskan bahwa dari terminologi ODS sendiri mengandung arti sebagai sebuah kategori manusia. Oleh karena itu, kumpulan ODS dapat juga diasumsikan sebagai sebuah kelompok manusia. Pengelompokan orang dengan masalah kejiwaan selanjutnya rentan untuk menimbulkan stigma.
Stigma dan Skizofrenia Dalam kajian ilmu sosial, Erving Goffman adalah seorang intelektual yang pernah menulis mengena konsepsi stigma. Ia menyatakan bahwa “A stigma, then, is really a special kind of relationship between attribute and stereotype, altough I don’t propose to continue to say so, in part there are important attributes that almost everywhere in our society are dicrediting” (Goffman 1986: 14). Dari tulisannya dapat diartikan bahwa stigma adalah semacam relasi antara atribut dengan stereotip. Lalu, terdapat atribut tertentu yang menjadikan setiap orang dalam masyarakat memandang rendah. ODS menjadi obyek sasaran akibat ketidakberdayaannya dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan ODS cenderung menerima stigma karena gangguan jiwa yang dideritanya. “By definition of course, we believe the person with a stigma is not quite human” (Goffman 1986: 15). Kutipan Goffman di atas semakin menguatkan bahwa dari definisi mengenai stigma, orang atau individu yang memiliki stigma itu seperti dianggap bukan manusia. Dalam penelitian ini, stigma terhadap ODS muncul karena gangguan jiwa ini bersifat kronis. Artinya, skizofrenia tidak dapat sembuh dalam waktu dekat, sehingga penderitanya rentan mengalami
stigma. “Experiencing stigma is a common consequences of chronic illness and a constant threat in some ill individual’s view. If so, stigma makes person vulnerable to negative social identifications and selfdefinitions. Stigma result from being identified as flawed, discredit or spoiled.” (Charmaz 2000: 284). Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa stigma merupakan konsekuensi umum dari penyakit kronis. Stigma juga senantiasa menjadi ancaman bagi para penderita penyakit kronis. Stigma membuat seseorang mendapatkan identifikasi sosial negatif. Dengan begitu, penderita penyakit kronis rentan mendapatkan stigma, sehingga diidentifikasikan dalam suatu kelompok yang cacat atau rusak. Pengalaman stigma dapat diterima melalui interaksi. Seorang penderita penyakit kronis dapat mengalami stigma ketika berinteraksi dengan orang lain. “Whether the person experiences being stigmatized arised in interaction.” (Charmaz 2000: 284) Lebih lanjut lagi dalam kajian tentang stigma, Charmaz mengungkapkan bahwa terdapat dua kategori stigma yaitu enacted stigma dan felt stigma. “Enacted stigma means instance of discrimination against people because they are defined as different. Felt stigma derives from fear of discovery of this difference and shame about having it. Felt stigma reflects a person’s internalized social values about her condition or difference.” (Charmaz 2000: 284). Kathy Charmaz mengungkapkan bahwa terdapat dua kategori stigma yang dapat dialami oleh penderita penyakit kronis. Kata enacted dapat dipahami memainkan peran. Oleh karena itu, enacted stigma dapat dipahami stigma yang didapat
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
oleh penderita penyakit kronis karena mereka didefinisikan berbeda dengan orang ‘normal’. Sementara itu, felt sendiri dapat dipahami sebagai merasakan. Oleh karena itu, felt stigma dapat dipahami sebagai nilainilai serta konstruksi sosial tentang suatu penyakit kronis yang lalu diinternalisasikan oleh penderitanya. Stigma dapat menjelaskan pengalaman penderita penyakit kronis dapat dilihat melalui interaksi. Dampak dari stigma sama berbahayanya dengan efek langsung dari penyakit yang diderita. Dengan kata lain, jika gangguan kejiwaan sendiri sudah cukup melemahkan dan menciptakan penderitaan bagi pasien dan keluarga, stigma menimbulkan permasalahan tambahan dan konsekuensi lain baik pada tingkat struktural dan psikologis. Stigma bahkan mampu mengintervensi kemampuan seorang ODS untuk menyembuhkan dirinya dari penyakit yang diderita (Hinshaw, 2006:141). Dalam kehidupan nyata, stigma menciptakan jarak antara ODS dengan orang lain di sekitarnya (Torrey, 2006:396). Sebaliknya, sepanjang tahun 1960-1970an, gangguan kejiwaan merupakan bentuk disabilitas yang paling banyak ditampilkan di tayangan televisi. Penampilan ODS di televisi dan media lainnya pun lebih menitikberatkan pada sisi negatif dan seakanakan menyerukan keberbahayaan ODS (Hinshaw, 2006:118).
Stigma Melalui Pengalaman Hidup ODS
ODS dikategorikan sebagai ‘orang yang berbeda’ sebab tidak berperilaku
layaknya orang ‘normal’, sehingga memicu enacted stigma. Irwansyah pada masa akut gangguan kejiwaannya sering melakukan berbagai macam tindakan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Akibat tindakan yang dilakukannya itu, masyarakat sekitar tempatnya tinggal jadi terganggu. Masyarakat lalu melakukan serangkaian tindakan untuk meredam gangguan kejiwaan Irwansyah yang cenderung menghakimi, tanpa memperhatikan penanganan gangguan jiwa yang semestinya. Irwansyah pernah sampai dipasung di pelataran masjid akibat perlakuannya. Masyarakat sekitar mengaggap bahwa gangguan kejiwaannya sudah membahayakan dan juga meresahkan. Dengan dipasung, masyarakat beranggapan potensi bahaya yang ditimbulkan akibat perbuatan Irwansyah dapat dikurangi. Di pelataran masjid, terdapat suatu gubug dimana Ia dahulu pernah dipasung selama dua hari dua malam. Di gubug itu, ia diikat dengan rantai yang digembok agar tidak dapat melarikan diri.
“Saya pernah sampe dipasung. Saya dipasung bukan di tempat lain tapi disekitar sini juga. Masyarakat sini yang memberikan hukuman. Saya dipasung di masjid. Disitu ada bedeng. Saya dirantai juga, dirantai kayak monyet 2 hari 2 malem tuh.” (Wawancara dengan Irwansyah, 24 April 2013)
Pengalaman Irwansyah memberi pelajaran bahwa penderita skizofrenia rentan mengalami diskriminasi melalui interaksinya dengan masyarakat. Interaksi antara ODS dengan masyarakat yang terdapat unsur
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
enacted stigma memposisikan ODS sebagai pihak lemah sehingga rentan untuk diperlakukan secara diskriminatif. Dalam pengalaman menjalani hidup dengan skizofrenia, ODS juga rentan mengalami stigma karena menginternalisasi nilai-nilai atau konstruksi yang disepakati oleh masyarakat. Stigma dalam kategori ini dapat disebut sebagai felt stigma. Dua orang ODS yang menjadi informan Lili Suryadi dan Budhi Irawan mengalami hal ini. Melalui interaksi dengan keluarganya, keduanya merasa sebagai orang yang tidak berarti, sehingga menjalani peran sebagai sakit. Stigma tentang gangguan jiwa dapat muncul melalui interaksi antara penderitanya dengan orang lain. Dalam upaya menjelaskan felt stigma, Lili Suryadi mengalaminya melalui interaksinya dengan orang lain yang tidak menghargainya, sehingga ODS merasa tidak berarti. Lili merasa tidak berarti karena tidak dapat melakukan kegiatan produktif dan banyak menghabiskan uang untuk berobat psikiatri. Nilai-nilai tentang ketidakberdayaan karena gangguan jiwa itu lalu terinternalisasi oleh Lili Suryadi. Dengan begitu, Lili mengalami felt stigma karena gangguan jiwa yang diderita. Kondisi yang hampir serupa juga dialami oleh Budhi Irawan. Ia tidak mampu menyelesaikan program studi. Dalam kasus ini, keluarga Budhi kecewa karena anaknya tidak dapat menyelesaikan program studi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan Budhi semakin terlarut dalam kesedihannya. Kekecewaan keluarga kepada Budhi muncul dan diungkapkan dalam tataran interaksi sehingga kondisi ini dapat dikatakan sebagai felt stigma. Budhi merasa keluarganya berpikir bahwa ia merupakan orang yang tidak berarti karena
tidak dapat menyelesaikan studinya. Hal ini terinternalisasi dalam pemikiran Budhi. Felt stigma terjadi dalam tataran interaksi yang lalu nilai-nilai itu diinternalisasi. Dari pengalaman para informan mengalami skizofrenia juga dapat ditarik benang merah bahwa stigma seringkali terlihat dalam gangguan jiwa. Pengalaman mendapatkan stigma dapat dikatakan sebagai konsekuensi atas penyakit kronis. Dalam kasus ini, skizofrenia dapat dikatakan sebagai penyakit kronis karena sifatnya yang tidak dapat sembuh dalam waktu singkat. Dalam menjalani gangguan skizofrenia, para informan ternyata memiliki pengalaman stigma.
KPSI sebagai Faktor Sosial Pendukung dalam Perspektif Antropologi Dukungan sosial dari komunitas merupakan perihal penting dalam upaya pemulihan ODS. Sebagaiamana dikatakan Csordas & Kleinman “Healing is a form of social support (1990:20).” Proses penyembuhan merupakan suatu bentuk dukungan sosial. Dengan begitu dapat dipahami bahwa dukungan sosial dalam rangka penyembuhan menjadi penting. Dukungan sosial dalam proses penyembuhan terlihat dalam kegiatankegiatan yang dilakukan oleh komunitas. Dalam kegiatan Kelompok Swa-Bantu misalnya para ODS dapat berbagi pengalaman serta informasi tentang gangguan jiwa. Proses sharing merupakan suatu bentuk dukungan sosial. Dengan begitu, ODS tidak merasa sendirian dalam menjalani hidup dengan skizofrenia. Dengan dukungan sosial melalui komunitas, ODS
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
diharapkan dapat pulih dari gangguan jiwa yang dideritanya. Lilik Suwardi beranggapan bahwa dukungan komunitas menjadi penting dalam rangka proses penyembuhan ODS. Komunitas diibaratkan sebagai faktor pendukung dari pengobatan medis. Sebagai contoh, seorang psikiater hanya akan memberikan masukan melalui pendekatan medis saja. Melalui komunitas, ODS dapat berbicara mengenai pengalamannya yang mungkin teman-teman lain di komunitas pernah merasakan gejala serupa. Jadi, komunitas memberikan dukungan dalam faktor psiko-sosial bukan dari faktor medis. Oleh karena itu, penyembuhan ODS tidak bisa hanya memperhatikan medis dengan hanya menjalani terapi psikofarmaka saja. Akan tetapi, faktor psiko-sosial harus juga ada sebagai pihak pendukung dari upaya pemulihan yang dilakukan oleh ODS. Oleh karena itu, pengobatan medis dan dukungan komunitas dalam rangka mengisi aspek psiko-sosial harus saling berjalin satu sama lain.
“Besar sekali sih, jadi kalo dulu kan gak ada komunitas untuk berbicara misalnya masalah halusinasi aja kan sulit, harus kemana bicaranya gitu. Kalo dengan psikiater kan seringkali itu hanya jadi… apa… hanya jadi masuk ke medis aja. Gak jadi pembahasan secara intens, terus juga ehm apa, pengalamannya digali seperti apa gitu. Jadi kalo komunitas istilahnya lebih kearah psikososialnya daripada ke arah model medisnya gitu.” (Wawancara dengan Lili Suwardi, 23 April 2013)
Budhi Irawan bergabung dengan KPSI semenjak bulan Februari 2013. Menurutnya, komunitas menjadi tempat berkumpul bagi para ODS yang memiliki kesamaan atas gangguan skizofrenia. Atas dasar kesamaan ini, ODS dapat berbagi pengalaman tentang gangguan jiwa yang dialaminya. Dengan begitu, ia merasa dapat mendapatkan masukan dari orang-orang yang mengalami hal serupa dengannya. Ia juga dapat mengeluarkan pendapat tentang permasalahan kejiwaannya yang dapat dimengerti oleh orang-orang di komunitas juga karena kesamaan pengalamannya.
“Dukungan komunitas memang penting sih, jadi ada tempat selain dokter yang bisa digunakan untuk berbagi pendapat, saran, pengalaman.” (Wawancara dengan Budhi Irawan, 24 April 2013)
Irwansyah baru bergabung dengan KPSI sekitar dua bulan yang lalu. Pada bulan Februari 2013, Ia mulai sering datang mengikuti berbagai macam kegiatan yang diselenggarakan oleh KPSI. Melalui KPSI, Irwansyah dipertemukan dengan orang-orang yang pernah merasakan pengalaman serupa. Ia merasa dipersatukan sehingga tidak merasa sendirian manakala menyadari bahwa dirinya menderita gangguan jiwa. Perasaan senasib yang dirasakan melalui kumpulan orang di komunitas, membuat Irwansyah merasa dibantu dengan kegiatan saling tukar pengalaman.
“hmm pertama saya sih dipertemuin sama yang sama, Pokoknya sama yang pernah ngalamin ada hubungannya dennga pengalaman
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
kejiwaan yang penyakit, gitu tiba-tiba saya dipersatukan.“ (Wawancara dengan Irwansyah, 24 April 2013)
KPSI sebagai kelompok sosial pendukung juga berjuang untuk memerangi stigma tentang gangguan skizofrenia. Stigma dapat muncul dan terlihat dalam tataran interaksi yang dilakukan oleh ODS terhadap masyarakat. Pada bagian-bagian sebelumnya, penjabaran tentang stigma telah diuraikan. Pada hakikatnya terdapat dua kategori stigma yaitu: felt stigma dan enacted stigma. KPSI membantu ODS memecahkan permasalahan terkait felt stigma dengan melalui program kerjanya. Felt stigma lebih mengacu pada nilai-nilai dan konstruksi sosial tentang penyakit kronis diinternalisasi oleh penderitanya. Dalam kegiatan seperti Kelompok Swa-Bantu misalnya, para anggota mendiskusikan tentang gangguan kejiwaan yang dialaminya. Anggota yang kondisi kejiwaannya sedang terpuruk lalu dibangkitkan gairahnya oleh anggota lain agar menjadi lebih baik. Dalam situasi ini, para anggota komunitas membantu temannya yang sedang dalam kondisi kejiwaan buruk agar tidak mengalami felt stigma. KPSI juga berperan dalam memecahkan masalah stigma yang lain yaitu enacted stigma melalui program kerjanya. Enacted stigma lebih mengacu pada perlakuan diskriminatif yang diterima oleh penderita penyakit kronis akibat dianggap berbeda. KPSI secara nyata berperan dalam memecahkan masalah tentang enacted stigma. Dalam interaksi di komunitas, ODS tidak pernah dibedakan dengan orang normal apalagi didiskriminasi. Skizofrenia memang merupakan salah satu gangguan kejiwaan. Akan tetapi,
penderitanya tidak boleh dijauhi apalagi dimusuhi. Penderita gangguan skizofrenia justru perlu pertolongan dan perhatian khusus. KPSI melakukan berbagai macam usaha serta kegiatan yang memberikan perhatian pada masalah isu kesehatan jiwa. Berbagai macam usaha dari komunitas ini tentunya mendapat perhatian dari pihakpihak yang turut menaruh perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa. Perhatian dari berbagai macam pihak selanjutnya mengejawantah dalam bentuk penghargaanpenghargaan yang didapat oleh KPSI baik dari dalam maupun luar negeri. Penghargaan dari dalam negeri diberikan kepada KPSI dari institusi kesehatan negera melalui Kementrian Kesehatan RI. Penghargaan Kemenkes termaktub dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor YM/Menkes/2063/X/2011. Penghargaan itu diterima KPSI pada Oktober 2011 yang diberikan oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. Penghargaan ini diberikan oleh Kemenkes atas upaya KPSI memberikan informasi dan edukasi kepada mayarakat tentang masalah kesehatan jiwa melalui media internet. Kemenkes menilai bahwa upaya KPSI dalam menerjemahkan artikel-artikel tentang skizofrenia serta memberikan panduan bagi keluarga melalui blog dan website sebagai kegiatan yang sangat penting bagi perjuangan melawan stigma terhadap orang dengan masalah kejiwaan khususnya skizofrenia. Penghargaan dari Kemenkes diberikan kepada KPSI sebab telah melakuan aktivitas nyata yang sejalan dengan visi Pemerintah agar mencapai masyarakat mandiri dan berkeadilan.
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
Penghargaan ini diharapkan dapat memberi inspirasi bagi masyarakat luas agar dapat melakukan kegiatan-kegiatan sejenis. Penghargaan ini juga sebagai pemicu semangat bagi KPSI semoga di masa akan datang terus melakukan kegiatan yang bertujuan untuk memajukan bidang kesehatan jiwa di Indonesia. KPSI juga pernah mendapatkan penghargaan yang berasal dari luar negeri, tepatnya dari Belgia. KPSI mendapatkan penghargaan Dr. Guislain Award “Breaking the Chain of Stigma”. Penghargaan ini dapat dikatakan sebagai suatu pencapaian tertinggi dari anak bangsa dalam kancah internasional. Dr.Guislain Award diberikan kepada orang-orang atau instutusi yang telah melakan upaya besar dalam mengubah stigma negatif atas penyakit mental. KPSI melakukan berbagai upaya serta usaha untuk mematahkan mata rantai stigma yang lekat pada penderita penyakit jiwa sehingga berhak atas penghargaan ini. KPSI berhasil meraih penghargaan ini setelah mengalahkan sekitar 60 nominasi dari berbagai negara yang juga memperhatikan isu kesehatan jiwa. Pada tanggal 10 Oktober 2012, bertepatan dengan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, KPSI mendapatkan kehormatan untuk mengambil penghargaan dalam konteks isu kesehatan jiwa di Ghent, Belgia. Dari penghargaan ini, KPSI juga mendapatkan hadiah uang senilai US$ 50.000. Jumlah hadiah uang sebesar itu tentu saja bukan diberikan kepada anggota pendiri dan pengurus komunitas untuk memperkaya diri. Akan tetapi, hadiah uang dari Dr Guislain Award harus digunakan oleh KPSI untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi stigma sosial terkait dengan isu kesehatan jiwa. Suntikan
dana ini berguna bagi KPSI untuk melakukan program kerja guna mematahkan rantai stigma terkait dengan masalah kejiwaan. Hadiah uang sebesar US$ 50.000 ini nantinya harus dipertanggungjawabkan oleh KPSI dengan melakukan presentasi di Mumbai, India kembali dalam acara Guislain Award. Dari penghargaan itu, program kerja dari KPSI juga diharapkan mampu menginspirasi pihak-pihak lain yang turut menaruh perhatian dalam masalah kesehatan jiwa untuk berbuat lebih dalam usaha mematahkan rantai stigma tentang skizofrenia pada masyarakat luas. Berbagai penghargaan telah diraih oleh KPSI sebagai buah hasil atas kerja keras dalam usaha memerangi stigma terkait dengan masalah kesehatan jiwa. Penghargaan-penghargaan tentunya diberikan oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa. Berbagai macam penghargaan kiranya dapat dijadikan motivasi agar KPSI dapat meraih capaian yang lebih tinggi lagi.
Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah diakukan adalah sebagai berikut: Pertama, masyarakat menaruh stigma sebab skizofrenia menjadi misunderstood illness karena kurangnya pengetahuan dalam konteks kesehatan jiwa. Kurangnya pengtahuan menyebabkan masyarakat umum atau caregiver tidak langsung memberikan formula pengobatan yang tepat. Ketiga ODS nyatanya masih mengalami upaya penyembuhan yang salah akibat kurangnya pengetahuan tentang skizofrenia. Ketiga ODS pada awalnya masih menerima perawatan yang berbau spiritualistik seperti melakukan pengobatan
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
ke orang pintar atau dukun, alih-alih berobat ke psikiater sebagai praktisi dalam bidang kejiwaan. Dengan begitu, ODS seringkali mendapat penjelasan medis personalistik (Foster dan Anderson, 1986:63) terkait penyebab gangguan jiwa yang dideritanya. Pendekatan medis personalistik melihat suatu fenomena penyakit disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif di luar kekuatan manusia seperti makhluk gaib, roh jahat atau sihir. Cara pandang ini memang ada di masyarakat, tetapi tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Kedua, Tiap-tiap ODS ternyata memiliki pengalaman stigma atas gangguan skizofrenia yang dialaminya. Pengalaman stigma seperti yang dikemukakan Charmaz (2000: 284) merupakan konsekuensi yang kerap kali terjadi pada penderita penyakit kronis. Skizofrenia dapat digolongkan dalam kategori penyakit kronis karena tidak dapat sembuh dalam waktu singkat. Stigma dialami oleh penderita skizofrenia melalui interaksi dengan orang lain. Dalam konteks ini, pengalaman stigma yang dialami oleh ODS dapat dikategorikan menjadi dua yaitu enacted stigma dan felt stigma. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Ketiga ODS merasakan pengalaman enacted stigma dan felt stigma. ODS mengalami enacted stigma dengan diperlakukan secara diskriminatif serta dihakimi oleh masyarakat karena gangguan jiwa yang dideritanya. Selain itu, felt stigma juga dialami oleh ODS karena menginternalisasi nilai-nilai serta konstruksi budaya tentang gangguan kejiwaan. Kedua jenis stigma ini dialami para ODS melalui interaksinya dengan orang lain. Ketiga, KPSI sebagai sebuah institusi yang menaruh perhatian pada isu
kesehatan jiwa ternyata memegang peranan penting. KPSI menjadi kelompok sosial pendukung yang membantu pemulihan ODS di luar pranata medis psikiatri seperti rumah sakit jiwa dan poli psikiatri. Komunitas ini lalu berperan sebagai faktor sosial pendukung dengan melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk membantu pemulihan ODS. Dengan saling tukar informasi, para ODS akan merasa bahwa ia tidak sendirian karena ternyata ada juga orang yang mengalami hal serupa dengannya. Dengan adanya komunitas, banyak ODS berhasil pulih sehingga dapat melakukan kegiatan produktif. Dengan adanya faktor sosial pendukung, para ODS dapat berbagi pengalaman serta masukan terkait dengan gangguan jiwa yang dialaminya. Cerita dari ODS yang berhasil pulih selayaknya menjadi suatu bukti nyata bahwa skizofrenia bukanlah suatu penyakit yang menakutkan. Dengan begitu, ODS dan KPSI sama-sama berjuang dalam melawan (baik enacted, mau pun felt) stigma tentang masalah kejiwaan. Oleh karena itu, stigma tentang gangguan skizofrenia diharapkan dapat berkurang atau hilang sama sekali. Penelitian ini jug mengemukakan pokok-pokok sebagai saran atau rekomendasi untuk ditujukan pada pihakpihak yang menaruh perhatian dalam konteks kesehatan jiwa. Rekomendasi atas hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, sosialisasi tentang gangguan jiwa merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh pranata medis psikiatri. Dalam hal ini, sosialisasi tentang masalah kejiwaan dapat dilakukan oleh praktisi kedokteran jiwa dan juga Kemenkes sebagai perwakilan negara. Sosialisasi tentang gangguan kejiwaan dapat dilakukan dengan
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
menjelaskan gejala-gejala umum tentang skizofrenia itu sendiri. Hal ini harus dilakukan agar tidak ada lagi orang yang salah dalam memperlakukan penderita gangguan kejiwaan seperti dipasung. Oleh karena itu, sosialisasi melalui media secara ilmiah mengenai skizofrenia harus dilakukan. Dengan begitu, masyarakat atau keluarga dapat memiliki pengetahuan manakala harus menghadapi anggotanya yang menderita skizofrenia. Kedua, KPSI sudah melakukan upaya untuk membantu proses pemulihan ODS. Peran KPSI sebagai pemberi dukungan sosial memainkan posisi yang sangat signifikan bagi proses pemulihan ODS. Akan tetapi, bentuk komunitas bukanlah bentuk ideal dalam usaha untuk pemberian layanan dalam membantu pemulihan ODS. Oleh karena itu, KPSI sebaiknya membuat sistem untuk menjadi badan hukum berbentuk yayasan. Dengan bertranformasi menjadi yayasan, KPSI dapat menerima donor sehingga mendapat dana segar untuk melakukan berbagai macam kegiatan yang ditujukan bagi ODS. Kurangnya pendanaan memang tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu kendala penting. Oleh karena itu, KPSI juga perlu lebih gencar untuk mengkampanyekan perjuangannya agar lebih banyak lagi pihakpihak yang mau berkontribusi dalam isu kesehatan jiwa.
Daftar Referensi Sumber Buku Bateson, Gregory. (1972). Steps to An Ecology of Mind. San Francisco: Chandler Publications.
Crapanzano, Vincent. (1980). Tuhami: Potrait of a Moroccan. Chicago: The University of Chicago Press. Foster, George, & Barbara Anderson. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI Press. Goffman, Erving (1968). Stigma. Notes in the Management Spoiled Identity. Harmondsworth: Penguin Books. Hawari, Dadang. (2001). Skizofrenia: Pendekatan Holistik (BPSS) Bio-PsikoSosial-Spiritual. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hinshaw, Stephan. P. (2007). The Mark of Shame: Stigma of Mental Illness an Agenda for Change. Oxford: Oxford University Press. Hughes, Jennifer. (1991). An Outline of Modern Psychiatry. Chichester: John Wiley & Sons. Jenkins, Janis Hunter. (2007). “Anthropology and Psychiatry: The Contemporary Convergence.” Textbook of Cultural Psychiatry (eds Dinesh Bhugra and Kamaldeep Bhui) Cambridge: Cambridge Univeristy Press. Kahn, Ada. (2008). The Encyclopedia of Mental Health, 3rd Edition. New York: Facts On File. Levine, Jerome & Irene Levine. (2009). Schizophrenia for Dummies. Indianapolis: Wiley Publishing Inc. Prasetiawati, Tika & Bagus Utomo. (2010). Mozaik, Kisah Inspiratif tentang Mereka yang Hidup Bersama Orang Dengan Skizofrenia. Yogyakarta: Jejak Kata Kita. Samsara, Anta. (2012). Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Memoar Orang Skizofrenia. Jakarta: Gramedia. Sarah, S., L. Church and S. Davison. (2009). Psychiatry P.R.N: Principles, Reality, Next Steps. UK: Oxford University Press.
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.
Stefan, Martin et al. (2002). An Atlas of Schizophrenia. London: Parthenon Publishing Group. Suparlan, Parsudi. (1994). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Program Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia. Thong, Denny. (2011). Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Torrey, E. Fuller. (2006). Surviving Schizophrenia: A Manual for Families, Consumer, and Providers. New York: Harper Collins.
Skripsi Istikhara, Inka Nesya. (2011). Pembentukan Komunitas Luka Bakar dalam Proses Perawatan Kesehatan bagi Penderita Luka Bakar di Jakarta: Tinjauan Antropologi Medis. Depok: Skripsi tidak diterbitkan
Filmography Howard, Ron (director). (2001). A Beautiful Mind: Dreamworks Pictures. Park, Chan-wook (director). ( 2013). Stoker : Scott Free Production
Sumber Jurnal Barret, Robert J. (1998). “The Schizophrenic and The Liminal Persona in Modern Society” Culture, Medicine and Psychiatry Vol. 22, No 4. Kluwer Academic Publisher Hal 465-494 Charmaz, Kathy. (2000). “Experiencing Chronic Illness” Handbook of Social Studies in Health and Medicine London: Sage Publication Hal 277- 289. Setiawan, Pandu. (2009). “Sejarah Perlindungan ODMK (Orang dengan Masalah Kejiwaan) dalam Hukum di Indonesia”. Jurnal HAM. Jakarta: Komnas HAM. Suwardi, Lili. (2009). “Menembus Kabut Kehidupan”. Jurnal HAM. Jakarta: Komnas HAM. Widodo, Rusman. (2009). “Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Jurnal HAM. Jakarta: Komnas HAM
Kisah perjuangan..., Galih Bramudyas Yogaswara, FISIP UI, 2013.