Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
PENGARUH PNPM-MKP TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN KELOMPOK TANI IKAN DESA PERING KECAMATAN BLAHBATUH KABUPATEN GIANYAR Ida Ayu Ketut Murdini1, A.A.Putu Agung2, Ni GAG.Eka Martiningsih2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University of Denpasar 2 Postgraduate Program of and Environmental management, Mahasraswati University Denpasar, Bali, Indonesia Corresponding author email :
[email protected]
ABSTRACT The National Community Empowerment Program (NCEP) is a poverty reduction program that targets the areas of Maritime Affairs and Fisheries both coastal region and outside the coastal marine and fisheries activities in the field. The purpose of this study was to determine the effect of The National Community Empowerment Program on the economy of the fish farmers. This research was conducted in the Pering village of Sub district of Blahbatuh, Gianyar regency. Data collected by direct observation in the field and also used a questionnaire to all fish farmers group member who totaled 67 people. Descriptive data were analyzed using the statistical program R-GUI. Data analysis of fish farmers' income differences before and after the PNPM program M-KP computed X2. This study proves that before NCEP program implemented are as follows: (a). The proportion of fish farmers in the Pering village that maintains shrimp commodities dominate in the maintenance of commodities, namely 53.7%, while the smallest proportion was found that the carp maintains commodities, namely 7.5%. Other types of commodities that are maintained by fish farmers in the Pering village pomfret, tilapia, carp and catfish. (b). Average frequency of fish farmers harvest in a year that maintains a commodity type of shrimp is 1.58 times, and (c). Average income of fish farmer is Rp. 2,930,597.02; Meanwhile, after execution of the NCEP, it can be proved the following: (a). The proportion of fish farmers who maintain the type of commodity augmentation catfish dominate in the maintenance of commodities (68.66%) while the smallest proportion was found that the fish farmers who maintain the type of commodity augmentation carp (7.46%). Another type of commodity is maintained catfish hatchery and rearing tilapia. (b). Average frequency of fish farmers harvest in a year that maintains a commodity type of catfish is 2.63 times magnification, and (c). Average income of fish farmers is Rp. 3,539,552.24. This study also shows that the income of fish farmers in the Pering village after the implementation of the NCEP greater than before. (α <0.05). Keywords: NCEP, income, fish farmers, Pering village, Gianyar.
112
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
PENDAHULUAN Komunitas masyarakat yang berpencaharian di bidang perikanan dan kelautan di berbagai tempat sangat identik dengan kondisi miskin, hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia akan pengelolaan potensi lokal, keterbatasan permodalan, keterbatasan akses terhadap informasi teknologi dan pasar, peluang usaha serta tantangan iklim. Oleh karena itu di pandang perlu adanya suatu program yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat pesisir dan berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi, disamping mendorong masyarakat memiliki kekuatan untuk mengembangkan usahanya sesuai dengan potensi sumberdaya yang tersedia secara partisipatif yang melibatkan masyarakat sebagai stakeholder utama. Maka sebagai langkah konkrit untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2009 telah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan ( PNPM-MKP) yang merupakan integrasi dari kegiatan pemberdayaan Program PNPM Mandiri (Budi Utomo, 2011). Program PNPM-MKP berupaya melaksanakan pendekatan dengan model bottom-up, dimana masyarakat sendiri yang merencanakan program, melaksanakan dan melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan mekanisme yang ditentukan. Pengembangan program ini diberikan kepada masyarakat yang dibiayai dari Anggaran Tugas Pembantuan (TP), yaitu langsung dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota, yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh konsultan pelaksana dan tenaga pendamping yang bertugas sehari-hari mendampingi pembudidaya dalam proses pemberdayaan. Untuk Propinsi Bali alokasi kegiatan PNPM-MKP tahun 2009 meliputi 5 (lima) Kabupaten /Kota, yaitu Kabupaten Buleleng, Karangasem, Tabanan, Jembrana dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Gianyar merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. meskipun potensi sumberdaya alam tersebut sudah dimanfaatkan untuk jasa-jasa kelautan dan perikanan tetapi masih banyak yang belum dikelola dengan baik dan optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan potensi tersebut diatas bila dikelola dengan optimal dengan memperhatikan kaidahkaidah pelestarian lingkungan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Juknis PNPM Mandiri K-P DPPK Kabupaten Gianyar, 2009). Di Kabupaten Gianyar program ini ditujukan kepada pengembangan budidaya ikan komoditas tertentu seperti lele, gurami dan nila yang dilaksanakan di Desa Pering Kecamatan Blahbatuh, dengan pertimbangan berbagai aspek diantaranya aspek sosial, karakter masyarakat, dan minat serta dukungan masyarakat. Masyarakat Desa Pering yang memiliki minat dan kesungguhan untuk mengembangkan budidaya ikan terutama jenis ikan gurami,nila dan lele sangat layak untuk menerima program ini. Walaupun seperti diketahui bahwasannya Desa Pering merupakan desa yang dari sejak dulu berpotensi dalam usaha budidaya ikan seperti Patin, Bawal, Nila dan Gurami. Dan yang paling dikenal sebagai primadona adalah budidaya Udang Galah. Pelaksanaan PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan di Desa Pering di mulai tahun 2009 dengan sasaran 11 Kelompok Masyarakat Pemanfaat yang terebar di kelompok pembudidaya ikan. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam 113
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
pelaksanaan Bantuan Langsung Masyarakat dari Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan, kelompok pembudidaya ikan didampingi oleh Tenaga Pendamping (TP). Dengan demikian pemanfaatan dari BLM diarahkan bisa memperkuat Program Pemberdayaan masyarakat Kelautan dan Perikanan yang sudah berjalan dan diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan serta meningkatkan perekonomian masyarakat. Ruang lingkup bantuan langsung masyarakat bidang kelautan dan perikanan dilakukan melalui belanja bantuan sosial berupa sarana budidaya pembenihan dan pembesaran ikan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Desa Pering Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, dalam waktu 3 bulan kalender yaitu pada bulan September sampai dengan Nopember 2012. Adapun Populasi dalam penelitian ini, adalah semua anggota kelompok dari 11 Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) penerima PNPM-MKP dengan jumlah anggota 67 orang. Dalam penelitian ini digunakan pengambilan semua sampel responden dari jumlah kelompok yang dipakai sebagai obyek penelitian. Penelitian ini mengunakan Rancangan Deskriptif sebagai gambaran untuk mengetahui suatu kerangka acuan dalam penelitian melalui pengujian hipotesis. Selain data kuantitatif penggunaan data kualitatif juga dipakai sebagai penunjang. Data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari objek penelitian yang diamati. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode survey dengan teknik wawancara pada pembudidaya ikan berdasarkan kuesioner yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan mengenai budidaya ikan di Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung melalui studi kepustakaan yaitu dengan membaca kepustakaan seperti buku-buku literature, diktat-diktat kuliah, majalah-majalah, jurnal-jurnal, buku-buku yang berhubungan dengan pokok penelitian, surat kabar dan membaca serta mempelajari arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang terdapat di instansi terkait. paparan hasil penelitian juga digunakan rujukan dan referensi dari data lain yang relevan, misal dari laporan hasil penelitian terdahulu, serta publikasi yang relevan dengan penelitian ini. Data mengenai peningkatan ekonomi masyarakat, yakni untuk melihat perbedaan ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah program ini dilaksanakan akan dilakukan analisis statistic menggunakan chi-square test Rumus yang digunakan untuk menghitung x2 yaitu: ( fo fe ) 2 x2 fe x2 = Nilai chi-kuadrat fo = frekuaensi yang diobservasi (frekuensi empiris) fe = frekuensi tang diharapkan (frekuensi teoritis) Rumus mencari frekuensi teoritis (fe):
114
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
fe
Nomor ISSN: 2302-5514
( fk ) x( fb )
T
fe = frekuensi yang diharapkan (frekuensi teoritis) fk = jumlah frekuensi pada kolom
fb = jumlah frekuensi pada baris T = jumlah keseluruhan baris atau kolom
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Sumberdaya Manusia di Desa Pering Jumlah penduduk di Desa Pering tercatat 6.619 jiwa, dengan rincian laki-laki 3.325 jiwa dan perempuan 3.294 jiwa. Untuk sebaran dan jumlah KK miskin di Desa Pering tahun 2009 tercatat 130 KK miskin. Dilihat dari populasi penduduk, Desa Pering memiliki kepadatan penduduk dan jumlah RTM yang tinggi sehingga perlu penanganan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Tabel 01. sebaran dan jumlah KK miskin di Desa Pering No Nama Banjar Jumlah KK Miskin 1 Patolan 15 2 Sema 22 3 Pinda 5 4 Pering 15 5 Tojan Tegal 24 6 Tojan Kanginan 19 7 Perangsada 30 Jumlah 130 Sumber : Laporan Akhir Perencanaan Pembangunan Wilayah PNPM-MKP tahun 2009 Kabupaten Gianyar Bali. Potensi Budidaya di Desa Pering Kegiatan usaha budidaya di Desa Pering sebelum dana BLM program PNPM Mandiri K-P diluncurkan di desa pering mempunyai potensi budidaya udang galah dari beberapa kelompok dan perorangan yang tersebar hampir ke seluruh wilayah Desa Pering sejak tahun 80an, namun pola dan jenisnya masih sangat sederhana. Pada waktu itu hanya jenis ikan tertentu saja yang dipelihara seperti ikan Nila, patin dan Gurami. Perkembangan budidaya udang galah sangat pesat, namun setelah tahun 2000 pertumbuhan udang galah mengalami penurunan sehingga produksi udang galah juga menurun. Hal ini disebabkan oleh mutu bibit yang kurang bagus sebagai akibat dari persiapan calon induk yang kurang memenuhi persayaratan. Sebagai upaya meningkatkan penghasilan keluarga para pembudidaya ikan melaksanakan pemeliharaan ikan secara polycultur (memelihara lebih dari atu jenis ikan) seperti Patin, Gurami dan Nila. Setelah adanya BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mnadiri Kelautan dan Perikanan adanya peningkatan 115
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
jumlah kelompok pembudidaya. Dimana jumlah kelompok yang dulunya ada 8 Pokdakan (kelompok Pembudidaya Ikan) tahun 2009 berkembang menjadi 11 KMP (Kelompok Masyarakat Pemanfaat). Sedangkan Tahun 2010 bertambah 2 kelompok Pembudidaya Ikan dan 1 kelompok nelayan. Kriteria dan Penetapan Lokasi serta Penyerahan BLM kepada Kelompok Masyarakat Sesuai dengan hasil identifikasi dan analisis potensi dan pemanfaat lahan, lokasi pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009 adalah Kecamatan Blahbatuh, karena Kecamatan Blahbatuh memiliki potensi yang sangat besar dan hingga saat ini Kecamatan Blahbatuh merupakan sentral untuk kegiatan Perikanan khususnya kegiatan Perikanan Budidaya, yang meliputi komoditas Perikanan seperti Udang galah, Nilla, Lele, Patin dan lain sebagainya. Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Gianyar menetapkan Desa Pering dan Desa Bedulu sebagai daerah sasaran ditetapkan oleh Pengelola PNPM Mandiri Klautan dan Perikanan ( Satker Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan ) setelah melaui Proses identifikasi dan analisis Potensi serta Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang dilaksanakan oleh Tenaga Pendamping (TP), PPL Perikanan dan Kelautan, Konsultan Pendamping Perencanaan Wilayah serta aparat terkait di lapangan. Untuk Kabupaten Gianyar penetapan Tim BLM ini dituangkan dalam Keputusan Kepala Dinas Peternakan Perikanan dan Kelutan Kabupaten Gianyar Nomor : 519/05-M/HK/2009 tentang Pembentukan Tim Pemberdayaan Masyarakat Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Bidang Perikanan dan Kelautan Program Pengembangan Sumber Daya Perikanan Kegiatan Pemberdayaan Ekonomi, Sosial, Budidaya, Pelaku Usaha Perikanan dan Masyarakat Pesisir pada Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gianyar Tahun 2009. Identifikasi dan Verifikasi calon penerima BLM dilaksanakan terhadap kelompok-kelompok yang ada di daerah sasaran penerima BLM yaitu di daerah Desa Pering yang dibantu oleh Kepala Desa kemudian dituangkan dalam Berita Acara hasil Identifikasi Kelompok Calon Penerima BLM PNPM Mandiri-KP No. 523/1637a/DPPK pada hari Senin tanggal 14 September 2009. Dari data identifikasi ini oleh Tim BLM diadakan seleksi, yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Hasil Seleksi Kelompok Calon Penerima BLM PNPM Mandiri-KP No. 523/1648a/DPPK pada hari Selasa tanggal 15 September 2009, yaitu Desa pering sebagai Calon Penerima BLM. Sesuai dengan keputusan KPA/ Kepala Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gianyar, bahwa sebagai penerima BLM PNPM mandiri-KP untuk di Desa Pering ditetapkan 8 Kelompok Pembudidaya Ikan (POKDAKAN) dengan 11 Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP), yang kesemuanya telah dituangkan dalam keputusan KPA/Kepala DPPK Kabupaten Gianyar dengan Nomor 523/1661/DPPK/2009 pertanggal 17 September 2009 tentang Penetapan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP)/ Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) sebagai penerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM Mandiri –KP Kabupaten Gianyar Tahun Anggaran 2009. Jumlah dana BLM PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan yang diserahkan kepada Kelompok Masyarakat Pemanfaat sebesar Rp. 517.000.000. Untuk Kelompok 116
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Masyarakat Pemanfaat di Desa Pering sebesar Rp.246.000.000,- secara administrasi bahwa dana BLM PNPM Mandiri-KP bagi kelompok Masyarakat Pemanfaat dapat didistribusikan melalui rekening masing-masing kelompok pada PT.BRI (Persero) Tbk.Cab. Gianyar dan dicairkan secara bertahap oleh kelompok pelaksana sesuai dengan kebutuhan tahapan pembudidaya ikan. Luas Lahan, Jenis Komoditas dan Produksi Sebelum Diberi Bantuan PNPMMKP Penelitian ini berdasarkan hasil dari wawancara terhadap 67 orang anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) pembudidaya ikan yang ada di Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Wawancara ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bantuan melalui program PNPM-MKP yang dialokasikan di Desa Pering. Dari hasil wawancara dan observasi lapangan sebelum diberikan bantuan melalui program PNPM-MKP ini ditemukan bahwa, jenis komoditas yang dipelihara oleh anggota kelompok antara lain, 10 orang (14,9%) memelihara ikan bawal, 5 orang (7,5%) memelihara ikan gurami, 6 orang (9,0%) memelihara ikan nila, 10 orang (14,9%) memelihara ikan patin, dan 36 orang (53%) memelihara udang. Jenis komoditas ikan yang dipelihara oleh anggota kelompok pembudidaya ikan di Desa Pering sebelum adanya bantuan melalui program PNPM-MKP secara rinci disajikan dalam Tabel 02 berikut: Tabel 02. Proporsi pembudidaya ikan dan jenis komoditas ikan yang dipelihara sebelum diberi bantuan PNPM-MKP
No. 1 2 3 4 5
Jenis komoditas Bawal Gurami Nila Patin Udang Galah Jumlah
Jumlah 10 5 6 10 36 67
Proporsi (%) 14,9 7,5 9,0 14,9 53,7 100,0
Dari data yang diperoleh di lapangan yang merupakan hasil wawancara dan pengamatan langsung, ditemukan bahwa jenis komoditas udang galah yang mendominasi menjadi pilihan para pembudidaya ikan di Desa Pering, karena udang galah merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Gianyar artinya pembudidaya ikan lebih dominan memilih memelihara udang galah dibandingkan jenis komoditas yang lainnya. Hal ini disebabkan karena harga udang galah tiap-tiap kilogram lebih tinggi dan lebih stabil dari jenis komoditas yang lain. Karena harga udang galah yang lebih tinggi dan lebih stabil ini menyebabkan pembudidaya ikan lebih memilih memelihara udang galah, sekalipun dalam pemeliharaannya lebih rumit dibanding jenis komoditas yang lain. Di samping itu pemasaran yang relatif lebih cepat laku, juga menjadi penyebab pembudidaya ikan lebih memilih memelihara udang. Sebelum diluncurkannya program PNPM-MKP ini pembudidaya ikan Desa Pering telah memelihara udang galah dengan luas lahan rata rata setiap anggota adalah 6,33 + 1,37 are (rentang antara 5 -10 dengan CI 95% antara 3,64 – 9,02). Frekwensi panen dalam setahun ditemujkan rata-rata adalah 1,58 + 0,50 kali, dengan 117
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
rentang antara 1 – 2, dan CI 95% antara 0,60 – 5,26. Sedangkan untuk produksi satu kali panen rata rata 21,17 + 4,16 kg, rentang antara 15 – 28 dengan CI 95% antara 13,02 – 29,32 dan rata rata penghasilan satu kali panen masing masing anggota adalah 715,28 + 177,21 ( X Rp. 1000), dengan rentang antara 600,00 – 1.300,00 dengan CI 95% antara 367, 95 – 1.062,61. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap are lahan kolam udang dapat memproduksi 33, 45 kg udang/Tahun. Data terinci parameter pemeliharaan jenis komoditas udang disajikan dalam tabel 03. Tabel 03 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas udang sebelum diberi bantuan PNPM-MKP No
Parameter
Mean + SD
Range
CI 95%
1
Luas lahan (are)
6,33 + 1,37
5 - 10
3,64 - 9,02
2
Frekwensi panen dalam setahun
1,58 + 0,50
1 - 2
0,60 - 2,56
3
Produksi sekali panen (kg)/are Penghasilan satu kali panen (Rp. X 1000)
21,17 + 4,16
15 - 28
13,02 - 29,32
4
715,28 + 177,21 600 - 1300
367,95 – 1062,61
Untuk jenis komoditas ikan bawal luas rata rata lahan yang digunakan oleh setiap orang adalah 5,9 + 1,45 are (rentang antara 5 – 8, dengan CI 95% antara 3,06 8,74). Sedangkan rata rata produksi dalam satu kali panen adalah 249,00 + 12,87 kg (rentang antara 230 – 270, dengan CI 95% antara 223,78 – 274,22. Data terinci parameter pemeliharaan komoditas ikan bawal disajikan dalam tabel 04. Tabel 04 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas ikan bawal sebelum diberi bantuan PNPM-MKP No
Parameter
1 Luas lahan (are) Frekwensi panen dalam 2 setahun Produksi sekali panen 3 (kg)/are Penghasilan satu kali panen 4 (Rp. X 1000)
Mean + SD
Range
CI 95%
5,9 + 1,45
5–8
3,06 - 8,74
2,40 + 0,52
2–3
1,39 - 3,41
249,00 + 12,87
230 – 270
223,78 - 274,22
1300,00 + 141,42
1200 - 1500
1022,814 - 1577,18
Dengan Produksi yang mampu dihasilkan setiap are untuk komoditas ikan bawal adalah 249,00 kg, sehingga dalam satu tahun rata-rata dapat menghasilkan 498,00 kg. Hal ini menunjukkan produksi ikan bawal dalam setahun cukup tinggi dalam setiap are lahan kolam. Jika diperhatikan dalam satu kali panen dapat memberikan pendapatan sebesar Rp. 1.300.000 + 141,42 (dengan rentang antara 1.200.000 – 1.500.000,dan CI95% antara 1.022.814 sampai 1.577.180). Proporsi pembudidaya yang memelihara jenis ikan gurami adalah terkecil (7,5%) dibandingkan jenis komoditas ikan yang lain, menurut data ditemukan bahwa rata rata luas lahan setiap orang adalah 5,80 + 1,30, (dengan rentang antara 5 – 8, 118
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
dengan CI 95% antara 3,24 – 8,6, menghasilkan produksi dalam satu kali panen adalah 244,00 + 16,73 kg (rentang antara 230 – 270 dengan CI 95% antara 211,20 – 276,80). Sedangkan frekwensi panen dalam satu tahun bagi pembudidaya yang memilih gurami sebagai komoditas peliharaan adalah 1,60 + 0,55 yang rentangnya antara 1– 2 kali, dengan CI 95% antara 0,53 – 2,67 kali. Dengan rentang yang cukup besar mengindikasikan bahwa hal ini kurang efektif, karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk memproduksi komoditas jenis ini. Akan tetapi dari segi prosentase kehidupannya tinggi dengan tingkat mortalitas yang cukup rendah dan harga jual yang memadai. Data terinci tersaji pada Tabel 05. Tabel 05 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas ikan gurami sebelum diberi bantuan PNPM-MKP
No 1 2 3 4
Parameter Luas lahan (are) Frekwensi panen dalam setahun Produksi sekali panen (kg)/are Penghasilan satu kali panen (Rp. X 1000)
Mean + SD 5,80 + 1,30 1,60 + 0,55 244,00 + 16,73 1260,00 + 54,77
Range 5–8 1–2 230 – 270
CI 95% 3,24 - 8,36 0,53 - 2,67 211,20 -276,80
1200 – 1300 1152,65 - 1367,35
Tabel 06 memperlihatkan bahwa rata rata luas lahan yang dipergunakan oleh setiap orang pembudidaya ikan di Desa Pering adalah 6,33 + 0,41 are (rentang antara 4 – 8, dengan CI 95% antara 2,68 – 9,98. Dengan luas lahan sebesar yang disebutkan di atas pembudidaya ikan di desa Pering mampu memberikan penghasilan dalam satu kali panen sebesar Rp. 1.116.677 + 4.0823 (rentang antara 1.100.000 – 1.200.000, dengan CI 95% antara 1.036.500 – 1.196.680. Karena frekwensi panen setiap tahun terjadi 1,83 + 1,86 kali maka dalam setahun pembudidaya ikan dengan jenis komoditas ikan nila mendapatan penghasilan sebesar Rp 2.047.222,22 Tabel 06 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas ikan nila sebelum diberi bantuan PNPM-MKP No
Parameter
1 Luas lahan (are) 2 Frekwensi panen dalam setahun 3 Produksi sekali panen (kg)/are Penghasilan satu kali panen 4 (Rp. X 1000)
Mean + SD 6,33 + 1,86 1,83 + 0,41 245,00 + 15,17
Range
CI 95%
4–8 1 - 2 230 - 240
2,68 - 9,98 1,03 - 2,63 215,28 - 275,72
1116,67 + 40,82 1100 - 1200 1036,65 - 1196,68
Pembudidaya ikan Desa Pering sesuai data yang didapat di lapangan yang memilih ikan patin sebagai komoditas jumlahnya relatif kecil hanya 10 orang (14,9%). Dengan jumlah orang yang relative kecil memiliki rata rata luas lahan adalah 7,20 + 1,62 are, (rentang antara 5 – 10, dengan CI 95% antara 4,03 – 10,37). Sedangkan rata rata jumlah ikan patin yang mampu diproduksi dalam sekali panen adalah 247,00 + 12,52, dengan rentang 230 – 270, dan CI 95% anatara 222,47 – 271,53. Data terinci tersaji dalam tabel 07. 119
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 07 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas ikan patin sebelum diberi bantuan PNPM-MKP No
Parameter
1 Luas lahan (are) 2 Frekwensi panen dalam setahun 3 Produksi sekali panen (kg)/are Penghasilan satu kali panen (Rp. 4 X 1000)
Mean + SD
Range
CI 95%
7,20 + 1,62
5 - 10
4,03 - 10,37
2,50 + 0,53 247,00 + 12,52
2 - 3 230 – 270
1,47 - 3,53 222,47 - 271,53
1370,00 + 176,69
1200 - 1500 1023,67 - 1716,32
Penghasilan yang diperoleh oleh pembudidaya ikan yang membudidayakan ikan patin dalam satu kali panen adalah sebesar Rp. 1.370.000 + 176.690 (rentang antara 1.200.000 – 1.500.000, dengan CI 95% antara 1.023.6700 – 1.716.302. Sedangkan dalam setahun pembudidaya ikan dengan jenis komoditas ikan patin dapat melakukan panen dalan setahun sebanyak 2,50 + 0,53 kali. Ini berarti dalam satu tahun pembudidaya mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 3.425.000 + 176.690. Luas Lahan, Jenis Komoditas dan Produksi Sesudah Diberi Bantuan PNPMMKP Sejak dilaksanakannya program PNPM-MKP di Desa Pering, sesuai dengan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, jenis komoditas yang dipelihara oleh pembudidaya ikan di Desa Pering adalah 10 orang (14,93%) komoditasnya pembenihan lele, 46 orang (68,66%) pembesaran lele, 5 orang (7,46%) pembesaran gurami dan 6 orang (8,96%) pembesaran nila. Data terinci tersaji dalam tabel 08 Tabel 08 Proporsi pembudidaya ikan dan jenis komoditas ikan yang dipelihara sesudah diberi bantuan PNPM-MKP No 1 2 3 4
Jenis Komoditas Pembenihan lele Pembesaran lele Pembesaran gurami Pembesaran nila Jumlah
Jumlah (orang) 10 46 5 6 67
Proporsi (%) 14.93 68.66 7.46 8.96 100.00
Sesudah pelaksanaan bantuan PNM-MKP, nampaknya pembudidaya ikan di desa Pering dominan (68,66%) memelihara jenis komoditas ikan lele, terutama untuk pembesaran. Pemilihan jenis komoditas ini dilakukan setelah mendapat pembinaan dari PPL perikanan, bahwa ikan jenis lele ini masih layak dikembangkan karena waktu pemeliharaannya cukup singkat dan menguntungkan. Cara pemeliharaan lele lebih mudah daripada jenis ikan lainnya, daya hidup (survival) sangat tinggi, karena sangat tolerans terhadap lingkungan, lebih cepat mencapai berat panen, dan pemasarannya lebih mudah. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa rata rata produksi ikan lele dalam sekali panen adalah 274,46 + 39,57 kg (rentang antara 230–280, dengan CI 95% antara 196,90–325,01, sedangkan rata rata luas lahan kolam yang digunakan adalah 120
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
6,11 + 1,30 are. Karena frekwensi panen pembesaran ikan lele mencapai 2,63 + 0,64 kali setiap tahunnya, maka ini pula menggambarkan bahwa dalam satu tahun setiap are lahan untuk pembudidaya ikan lele dapat menghasilkan 721,83 kg. Data terinci parameter pemeliharaan jenis komoditas pembesaran ikan lele tersaji dalam Tabel 09. Tabel 09 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas pembesaran ikan lele sesudah diberi bantuan PNPM-MK No 1 2 3 4
Parameter
Mean + SD
Range
Luas lahan (are) 6,11 + 1,30 5 -8 Frekwensi panen dalam setahun 2,63 + 0,64 2–3 Produksi sekali panen (kg)/are 274,46 + 39,57 230 – 280 Penghasilan satu kali panen (Rp. X 1000) 1077,17 + 264,93 600 -1500
CI 95% 3,55 - 8,66 1,37 - 3,89 196,90 - 325,01 557,90 - 1596,44
Untuk pembenihan ikan lele rata rata luas lahan yang digunakann pembudidaya ikan Desa Pering adalah 6,50 + 1,84 (rentang antara 5 – 10, dengan CI 95% antara 2,89 – 10,11). Dengan luas yang cukup sempit ini pembudidaya ikan Desa Pering dapat memproduksi 12.480,00 + 379,47 ekor benih setiap pasang induk. Sedangkan frekwensi panen setiap tahun mencapai 13,80 + 0,79 kali (rentang antara 13 – 15, dengan CI 95% antara 12,25 – 15,35. Hal ini menggambarkan bahwa dalam setiap tahun sepasang induk ikan lele mampu memproduksi 172.224 ekor benih. Sedangkan penghasilan pembudidaya dengan komoditas pembenihan ikan lele dalam sekali produksi mencapai 660,580 + 151,620, rentang antara 455.000-910.000 dengan CI 95 % adalah 363.410-957.76. Data terinci mengenai parameter pemeliharaan jenis komoditas pembenihan ikan lele ini tersaji dalam Tabel 10 Tabel 10 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas pembenihan ikan lele sesudah diberi bantuan PNPM-MKP No 1 2 3 4
Parameter
Mean + SD
Range
CI 95%
Luas lahan (are) 6,50 + 1,84 5 -10 2,89 - 10,11 Frekwensi panen dalam setahun 13,80 + 0,79 13 – 15 12,25 - 15,35 Produksi sekali panen (ekor/pasang) 12480,00 + 379,47 12000 - 13000 11736,23 - 13223,77 Penghasilan per panen (Rp. X 1000) 660,58 + 151,62 455,0 – 910,0 363,41-957,76
Sementara itu untuk komoditas pembesaran ikan gurami yang dilaksanakan oleh 5 orang (7,46%) pembudidaya ikan, yang rata rata luas lahan yang digunakan adalah 6,80 + 2,17 are(rentang antara 5 – 10, dengan CI 95% antara 2,56 – 11,05), mampu memproduksi ikan dengan sekali panen sebesar 348,00 + 19,24 kg. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap tahun seorang pembudidaya ikan dengan jenis komoditas ikan gurami per are, mampu memproduksi ikan gurami sebesar 487, 2 kg. Data parameter pemeliharaan jenis komoditas ikan gurami i disajikan dalam Tabel 11
121
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 11 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas pembesaran ikan gurami diberi bantuan PNPM-MKP No 1 2 3 4
Parameter
Mean + SD
Range
sesudah
CI 95%
Luas lahan (are) 6,80 + 2,17 5 – 10 2,56 - 11.05 Frekwensi panen dalam setahun 1,4 + 0,55 1–2 0,33 - 2,47 Produksi sekali panen (kg)/are 348,00 + 19,24 320 – 370 310,30 - 385,70 Penghasilan satu kali panen (Rp. X 1000) 1460,00 + 54,77 1400 – 1500 1352,65 - 1567,35
Tabel 12 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas pembesaran ikan nila sesudah diberi bantuan PNPM-MKP No
Parameter
Mean + SD
Range
CI 95%
1
Luas lahan (are)
7,50 + 1,22
5–8
5,10 - 9,90
2
Frekwensi panen dalam setahun
2,5 + 0,55
2–3
1,43 - 3,57
3 4
Produksi sekali panen (kg) 368,33 + 40,70 240 – 360 288,56 - 448,19 Penghasilan satu kali panen (Rp. X 1000) 1483,33 + 147,19 1300 – 1600 1194,82 - 177,18
Untuk jenis komoditas ikan nila rata rata luas lahan yang digunakan masing masing pembudidaya ikan adalah 7,50 + 1,22 are (rentang antara 5 – 8 dengan CI 95% antara 5,10 – 9,90. Produksi ikan yang dapat dicapai dalam sekali panen adalah 368,33 + 40,70 kg. (rentang antara 240- 360, dengan CI 95% antara 288,56 – 448,19. Frekwensi panen dalam setahun dapat mencapai 2,5 + 0,55 kali (rentang antara 2 – 3, dengan CI 95% antara 1,43 – 3,57. Frekwensi panen dalam setahun sampai 2, 5 kali ini memungkinkan untuk mendapatkan produksi ikan yang lebih besar dengan waktu yang efektif. Jika dibandingkan antara penghasilan rata rata pembudidaya ikan di Desa Pering Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar sebelum dan sesudah dilaksanakannya program PNPM-MKP, maka rata rata penghasilan pembudidaya ikan sebelum menerima bantuan PNPM-MKP adalah sebesar Rp. 2.930.597,02 + 987.534, 25. Sesudah program PNPM-MKP dilaksanakan rata rata penghasilan pembudidaya ikan Desa Pering adalah Rp. 3.539.552,24 + 836.820,16. Data mengenai perbedaan rata rata penghasilan pembudidaya ikan Desa Pering sebelum dan sesudah dilaksanakannya program PNPM-MKP ditampilkan pada Tabel 13. Dari hasil analisis dengan Chi Square Test dipreoleh bahwa penghasilan pembudidaya ikan Desa Pering sebelum dan sesudah diberi bantuan melalui program PNPM-MKP secara statistik berbeda signifikan/nyata (α < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bantuan langsung kepada pembudidaya ikan Desa Pering terdapat pengaruh positif, artinya bahwa setelah diberi bantuan itu pengahasilan pembudidaya ikan Desa Pering secara nyata mengalami peningkatan.
122
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 13 Rata-rata penghasilan pembudidaya ikan sebelum dan sesudah meneriman bantuan melalui program PNPM-MKP
No 1 2 3 4 5 6
Parameter Mean SD Lower CI 95 % UP CI 95% Lower Range Up Range
Penghasilan sebelum bantuan PNPM-MKP (Rp) 2.930.597,02 987.534,24 995.029,89 4.866.164,13 1.800.000,00 4.500.000,00
Penghasilan sesudah bantuan PNPM-MKP (Rp) 3.539.552,24 836.820,16 1.899.384,73 5.179.719,75 1.800.000,00 4.800.000,00
KESIMPULAN 1. Dengan bantuan BLM dari Pelaksanaan Program PNPM Mandiri –KP yang dilaksanakan di Desa Pering memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan potensi budidaya perikanan dan pengembangan Kelompok Masyarakat Pemanfaat. 2. Dengan meningkatnya produksi hasil usaha budidaya perikanan akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pembudidaya Desa Pering yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pembudidaya ikan. DAFTAR PUSTAKA Bambang Budi Utomo, 2011, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Mandiri Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang Tahun 2010.http:// regional kompasiana.com/2011/06/20, diakses 30 Juli 2011. Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Gianyar. 2009. Petunjuk Teknis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan Dan Perikanan Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Gianyar. 2009. Laporan Perencanaan Pembangunan Wilayah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan Dan Perikanan. Soekartawi, 2003. Teri Ekonomi Produksi. PT raja Grafindo Persada. Jakarta.
123
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
OPTIMALISASI SUMBERDAYA HUTAN UNTUK KONSERVASI DAN KEMANDIRIAN DESA (Studi Inovasi Lokal dari Desa-Desa Indonesia Timur) Borni Kurniawan Researchers Institute For Research And Empowerment (IRE) Yogyakarta Email :
[email protected] ABSTRACT The welfare and prosperity are a great vision of Indonesian nation. One of strategies that have been taken by the government is to maximize the forest and land assets for the greatest prosperity of the people economically. But in one side, the unilaterally mastery that played by the country have many advantages for private groups and disadvantages for the village community. People want agrarian reform and redistribution assets as key policyto ensure the sustainability of village livelihoods. Unfortunately, the government was never realization of the policy completely. Currently, the innovation and emancipation local movement has been growing to develop the local resources as a response to the government's slowness to create national asset utilization policies that ensure the welfare of the village community. So, it is the time for the government to recognize the villages as the identity of the nations that whose ability to manage the natural resourcescan be accounted, even though the recognition is in theform of the delegation of local scale authority from the supra government of village to the village. Keywords: agrarian reform, forest, redistribution, local authority PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumber daya alam Indonesia yang menjanjikan keuntungan melimpah.Bagi masyarakat desa, hutan tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, tapi juga keuntungan konservasi.Ekosistem dan vegetasi hutan yang terjaga baik menjadi sumber kehidupan yang vital karena kemampuannya menjadi daerah penyimpan air, termasuk juga oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis berbagai jenis tanaman. Kekayaan hutan Indonesia yang melimpah ini, mengundang perhatian banyak investor swasta.Pemanfaatan hutan oleh para pengusaha, tak ubahnya sebagai ladang untuk mereproduksi akumulasi modal. Kayukayu gelondongan ditebang, diangkut ke kotasebagai bahan baku industri kertas (pulp industry). Ada pula yang mengembangkan hutan dengan tanaman produksi lainnya seperti sawit, kopi, cengkeh, trembesi, walikonang dan jati.Yang lebih ekstrem, perusahaan tambang juga merambah hutan.perusahaan tidak hanya menghilangkan vegetasi hutan namun bahan mineral dan tambang yang terkadung didalam perut bumi tempat pepohonan hutan tumbuh. Akibat aktivitas industri tersebut, hutan mengalami degradasi fungsi. Hutan kehilangan fungsinya sebagai tudung raksasa bola api yang disebut bumi. Konon aktivitas ekonomi yang diperankan para pelaku industri pengolahan kayu di Indonesia memberikan sumbangan yang tinggi terhadap PDB nasional. Dari luasan hutan nasional yang mencapai 120,35 juta hektar, pada tahun 124
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
2001 mampu menyumbang PDB 1,1% dari total PDB (gross domestic product) nasional (Rp. 1.490,0 triliun) atau setara US$ 5,1 miliar. Pada tahun 2005 dan 2009, pencapaian ekonomi tersebut menurun menjadi 1% dan 0,8%. Menurunnya angka ini, disinyalir oleh beberapa kalangan seperti pemerintah, pelaku usaha maupun organisasi masyarakat sipil, dikarenakan aktivitas penebangan liar (illegal logging) oleh masyarakat.Pada Januari 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa aktivitas penebangan liar menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30,24 trilliun (US$3,37 miliar). Menurut wakil sekretaris Asosiasi Pengusaha Kayu Indonesia, Agung Nugraha, sekitar 322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan yang diakibatkan penebangan liar. Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Longgena Ginting, sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu, setiap tahunnya diperjualbelikan secara illegal (illegal trading). Masih berdasar temuan Walhi, kayu-kayu hasil penebangan liar dari daerah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India. Jumlahnya, mencapai 10 juta meter kubik tiap tahunnya.Bahkan dari Papua bisa mencapai 600 ribu meter kubik (Williams, 2004). Dalam praktik penebangan liar, alih-alih masyarakat desa sekitar hutan khususnya, selalu menjadi pihak yang disalahkan.Padahal kalau dicermati lebih dekat masyarakat desa-desa hutan memiliki berbagai pranata sosial, aturan dan struktur pemerintahan adat yang mampu mencegah praktik penebangan liar.Masyarakat desa di Maluku memiliki pranata yang disebut ―sasi‖.Sasi adalah seperangkat aturan adat yang melarang warga untuk mengambil berbagai jenis sumber daya alam baik itu dari sektor pertanian, kehutanan maupun kelautan sebelum tiba waktunya. Desa-desa di Aceh memiliki perangkat bernama panglima laut dan panglima uten yang diberi tugas dan kewenangan untuk menjaga laut dan hutan dari perburuan ikan dan kayu secara liar. Jadi, sekalipun kondisi ekonomi masyarakat desa hutan jauh lebih rendah daripada ekonomi di kota, mereka tetap menghormati keberlanjutan dan kelestarian alam. Fakta ini menunjukan bahwa masyarakat lokal telah memiliki semacam system pencegahan degradasi hutan.Jadi, kecil kemungkinan bahwa praktik penebangan liar yang disematkan pada masyarakat lokal, semata-mata karena motivasi pragmatis masyarakat lokal sendiri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tulisan ini hendak mengangkat beberapa praktik inovasi lokal dari beberapa desa di Indonesia Timur dalam hal pengelolaan lingkungan hutan maupun laut.Tema ini sengaja diangkat dengan maksud menyodorkan jawaban atas tuduhan bahwa pelaku utama illegal logging adalah masyarakat desa.Padahal, kalau mau jujur, tali temali sistem yang mengitari praktik perburuan sumber daya secara liar tersebutberkelindan dengan sistem yang dibangun oleh kelompok swasta maupun pemerintah.Jadi tuduhan tersebut tidak bisa kita telan mentah-mentah.Bukan tidak mungkin ketika tingkat permintaan kayu dari negara-negara pengimpor kayu Indonesia meningkat, maka pengusaha-pengusaha di Indonesiaakan menggenjot tingkat produksi kayu pula. Maka, jika ada pembatasan produksi kayu yang dilakukan pemerintah, sangat mungkin sistem pasar yang dikendalikan oleh pengusaha kayu akan tetap dimainkan sekalipun dibawah tanah. Menggerakkan masyarakat lokal secara langsung maupun tidak langsung menjadi trik yang akan ditempuh agar target bahan baku terpenuhi. Asumsi ini sebangun dengan pendapat Bintang Simangunsong,
125
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
seorang dosen IPB yang berpendapat bahwa kelebihan kapasitas dari industri kayu adalah salah satu faktor yang mendorong praktik illegal logging (Williams, 2004). Perkiraan kapasitas produksi kayu tahunan Indonesia pada tahun 2004 mencapai 63 juta meter kubik. Jumlah ini sangat jauh dari jumlah produksi kayu nasional resmi yang sebesar 5,7 juta meter kubik untuk tahun yang sama. Artinya pada tahun 2004 ada kekurangan sebesar 57.3 juta meter kubik kayu.Karena itu, industri pengolahan kayu Indonesia yang bergantung pada hasil penebangan liar bisa dipastikan meningkatkan kapasitas produksinya.Meskipun perhatian nasional terpaku pada praktik illegal logging, kenyataannya industri pengolahan kayu Indonesia, misalnya untuk pengolahan kayu lapis mendapatkan keuntungan dari kenaikan permintaan kayu dan harga kayu lapis internasional. SEPUTAR KEBIJAKAN TATA KELOLA HUTAN Desa selalu menjadi arena konflik dan sekaligus menjadi korban atas tindak kekerasan berbasis isu agraria.Munculnya konflik agraria berpangkal pada disain pengelolaan sumber daya alam yang meminggirkan desa, tapi mengutamakan pemodal.Padahal semua sumber daya alam berada di desa.Apa yang terjadi dengan tragedi kemanusian di Mesuji, Kebumen, Kulonprogo maupun Bima pada kurun waktu 2011-2012 lalu, merupakan serangkaian contoh dampak ketidakberesan negara dalam mengatur kekayaan agraria nasional. Sumber-sumber daya alam penting yang mempunyai nilai strategis untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat malah menyengsarakan masyarakat desa.Masyarakat Mesuji harus berhadapan dengan kebijakan negara yang memberi konsesi berlebihan kepada perusahaan perkebunan.Petani Urut Sewu di Kebumen terancam kehilangan aset tanah mereka karena kebijakan sepihak TNI yang mencaplok tanah ulayat dan tanah masyarakat desa untuk industri penambangan pasir besi dengan menumpang kebijakan tata ruang sebagai pusat latihan tempur TNI. Demikian pula dengan masyarakat Bima yang lebih memilih mempertahankan hutan sebagai cagar alam daripada merelakannya menjadi objek produksi tambang. Karenanya mereka rela berhadapan dengan alat negara (TNI dan POLRI), demi mempertahankan kedaulatan atas potensi keagrariaan yang selama ini menjadi sumber penghidupan. Pemerintah belum pernah secara sempurna menepati janjinya meredistribusi aset negara kepada masyarakat desa.Padahal negara telah membuat beberapa perangkat program dan kebijakan yang intinya mengandung janji redistribusi asset.Pertama, Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai kebijakan politik yang mendorong pemberlakukan pembaruan agraria.Kedua, kebijakan yang disebut programPembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang diluncurkan pada tahun 2006, pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional RI (BPN-RI). Inti program ini yaitu menjalankan reforma agraria dengan prinsip ‖tanah untuk keadilan dan kemakmuran‖. Melalui program ini, pemerintah merencanakan pengalokasikan obyek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (Ha) yang terdiri dari: 8,15 juta Ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta Ha berasal dari tanah dibawah langsung kewenangan BPN. (Safitri et al., 2009) Ketiga, dalam bentuk statemen politik, Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 31 Januari 2007 dalam Pidato Politiknya menyatakan bahwa: 126
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
‖Program Reforma Agraria.......secara bertahap.....akan dilaksanakan mulai Tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat.........(yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan‖. Demikian pula dengan Pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 21 Oktober 2010 pada Peringatan Hari Tani Nasional, menyatakan: ‖……..agar di negeri kita ini, rakyat menjadi tuan tanah, menjadi keluarga yang memiliki bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ……………bahwa dengan distribusi yang lebih adil, rakyat kita yang tadinya tidak punya apa-apa sebagai sumber kehidupan mulai memiliki sesuatu yang bisa digunakan untuk kehidupannya. Oleh karena itu, bagi lahan-lahan yang terlantar dengan tatanan yang baik, dengan sistem yang baik, dengan perencanaan yang baik, itu bisa didistribusikan secara lebih adil bagi semua, termasuk kalangan rakyat kita‖ Beberapa kebijakan diatas, sebenarnya mengandunng penegasan urgensi implementasi atas kebijakan reforma agraria. Pihak yang paling berkepentingan terhadap agenda reforma agraria ini adalah petani dan desa. Untuk itu penguatan ruang kelola sumberdaya hutan bagi desa dapat dimulai melalui reforma agraria. Sayangnya, janji tersebut tak kunjung terealisasi. Dalam catatan Serikat Petani Indonesia (2003), dalam kurun waktu rata-rata kepemilikan tanah petani kecil menurun dari 0,26 hektar menjadi 0,17 hektar. Ketimpangan kepemilikan tanah antara kelompok kaya dengan kelompok miskin juga terlihat menganga. Indikatornya, ada 11 persen keluarga di Indonesia menguasai 45 persen dari total tanah nasional. Dalam perkebunan sawit, pihak swasta dan negara menguasai 66 persen dari total luasan kebun di Nusantara, sementara untuk rakyat hanya 30 persen aja. Persentase kepemilikan tanah ini menunjukkan ketimpangan yang luar biasa dalam tata kelola kebijakan agraria. (Pembaruan tani, 2010) Tanah dan hutan merupakan aset negara yang ada di desa, sekaligus jantung dan urat nadi yang memompa darah kehidupan bagi masyarakat desa.Desa, sebagai satu kesatuan masyarakat serta bagian dari pemerintah yang menempati hierarki terbawah, memiliki peran sangat strategis dalam berbagai upaya peningkatan kesejahteraan dan keadilan, serta keberlanjutan demokratisasi ekonomi NKRI.Secara territorial desa adalah ‗penguasa wilayah‘ yang berhubungan langsung dengan entitas masyarakat yang mendiaminya.Tapi, ketika pemerintah supradesa menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat yang hanya menjalankan perintah-perintah pemerintahan dari atas, tanpa kewenangan untuk mengelola sumber daya alam, berakibat desa hanya menjadi miniatur sekelompok warga negara yang hidup menderita ditengah bergelimangnya sumber kesejahteraan. Derita desa bertitik awal dari dominasi negara atas pengelolaan tanah dan hutan (sumber daya agraria) itu sendiri.Pada Undang-Undang No. 5/1967 pemerintah membekali dirinya dengan seperangkat aturan yang membuatnya 127
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
dominan.Berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5/1967, peran Kementerian Kehutanan memegang kewenangan dominan dalam pengelolaan hutan.Menteri Kehutanan mempunyai kewenangan untuk mendistribusikan lahan serta mengeluarkan izin konsesi HPH kepada pihak swasta dan pihak lainnya.Namun, pemberian izin tersebut tidak melibatkan masyarakat lokal dan komunitas adat secara aktif untuk mencegah terjadinya konflik lahan.Karenanya, di lapangan banyak terjadi konflik lahan antara masyarakat lokal dengan pengusaha yang disebabkan tidak jelasnya batas-batas pemetaan peruntukan lahan.Hutan adat seringkali dicaplok para pengusaha hutan.Paska reformasi, dominasi pemerintah atas pegelolaan hutan juga masih disuratkan kembali dalam Undang-Undang Kehutanan yang baru No. 41/1999. Pasal 4 mengenai ‗kewenangan kehutanan‘, menyebutkan bahwa semua lahan hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk didalamnya kekayaan alam, harus dikontrol oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Implikasi dari Undang-Undang ini adalah banyak sekali terjadi pembalakan liar yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan pemegang HPH di berbagai wilayah Indonesia yang berujung pada kerusakan hutan (deforestasi). Menurut Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, kerusakan hutan di Indonesia mencapai 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar dari total 180 juta hektar luas hutan Indonesia. Sementara itu, sekitar 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi sebagai akibat aktivitas ekonomi perusahaan pemegang HPH. Jadi total kesuluruhan hutan yang bisa dikatakan masih bebas dari kerusakan hanya sekitar 43 juta hektar saja. (http://alamendah.wordpress.com/2010) Deforestasi yang terjadi sebagai akibat aktivitas industri dan pertambangan tentu tidak hanya berakibat pada kerusakan vegetasi alam hutan, tapi menghilangkan kemampuan daya tampung hutan atas air tanah. Kelalaian fatal yang dilakukan negara dengan memberi konsesi pada perusahaan-perusahaan air minum kemasan yang banyak memanfaatakn sumber mata air di desa juga melemahkan aksesibilitas desa atas air bersih. Di salah satu desa di kabupaten Sukabumi harus kehilangan akses terhadap air bersih karena sumber airnya sudah dikuasai perusahaan air minum. Sementara, untuk mendapatkan air bersih layak minum masyarakat kebanyakan harus membeli air minum kemasan yang diproduksi perusahaan bersangkutan yang tidak lain berasal dari sumber air desa tersebut. Praktik tata kelola sumber daya agraria kepada kelompok pemodal selama ini tidak pernah melahirkan kemandirian dan kesejahteraan desa. Kalau toh ada persentasenya sangat kecil.Pemberian izin pengelolaan hutan untuk kelompok pemodal yang dilakukan pemerintah selama ini menyelenggarakan prosedur yang mudah dan tidak berkepanjangan.Tapi, sebaliknya pemerintah malah membuat rute yang sangat panjang dan rumit bagi desa, ketika desa berkeinginan untuk mengakses hutan sebagai bagian dari alat produksi desa untuk membangun kesejehtaraan mereka. Bagan berikut memperlihatkan bagaimana rumit dan panjangnya penyediaan alur perijinan pengelolaan hutan desa;
128
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Bagan 1 Alur Perizinan Hutan Desa
Pengurusan izin pengelolaan hutan desa melibatkan semua jenjang struktur pemerintahan, tidak hanya level bupati dan gubernur, tapi sampai di level pusat. Hal ini menunjukan bahwa trend sentralisasi masih kuat berkelindan dalam sistem pengelolaan sumber-sumber agraria nasional.Fakta tersebut juga menunjukan bahwa pemerintah supra desa tidak mau merekognisi kemampuan desa dalam kerja-kerja konservasi hutan. Demikian pual dengan alur perijinan hutan kemasyarakatan, masyarakat desa akan berhadapan dengan aturan perijinan yang panjang, rumit dan melibatkan banyak aktor-aktor pemburu rente. Patut kita pertanyakan, mengapa untuk mengelola lahan sendiri sebagai sumber kemakmuran, masyarakat desa harus bersusah payah mengantongi izin sampai ke pusat pemerintahan?. Berikut bagan/alur pengurusan izin untuk pengelolaan hutan kerakyatan (HKM); 129
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Bagan 2 Alur Perizinan Hutan Kerakyatan Masyarakat (HKM)
BELAJAR PADA PENGALAMAN BAIK DESA Sudah saatnya tata perundang-undangan merumuskan agenda-agenda perlindungan terhadap sumber-sumber agraria yang mempunyai nilai strategis untuk membangun kesejahteraan nasional dari desa.Salah satunya adalah dengan melipahkan kewenangan tata kelola hutan kepada desa dan meredistribusi hutan 130
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
kepada desa.Keraguan pemerintah terhadap kemampuan desa mengelola sumber daya hutan perlu dibarengi dengan upaya melihat secara lebih dekat peran dan emansipasi desa-desa di sekitar hutan. Upaya ini penting dilakukan karena akan membuka mata pemerintah bahwa desa memiliki kemampuan tersebut, asal diberi kepercayaan oleh pemerintah supradesa. Dengan pelimpahan kewenangan, sekalipun berskala lokal kepada desa untuk mengoptimalkan kemanfaatan sumber daya hutan bagi masyarakat, maka kerja pemerintah supra desa pun menjadi ringan dan kian mendekatkan peran Negara kepada warganya.Tidak sedikit desa yang mampu memaksimalkan potensi agraria yang dimilikinya untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan desa.Tidak sedikit pula desa yang berhasil membangun kemandirian sumber pendapatan desa karena kemampuannya mengelola sumber daya alam yang dimilikinya.Berikut ini kami paparkan beberapa pengalaman baik beberapa desa di Indonesia yang turut menyumbangsihkan kemampuannya membangun keberlanjutan sumber daya alam sekalipun pemerintah tidak memberi ruang kewenangan bagi desa untuk mengelola sumber agraria negara. Desa Tangkumaho di kabupaten Muna dahulu marak dengan kasus-kasus pembalakan liar dan perambahan jati.Tindakana ini secara umum terjadi sejak masa reformasi.Sampai sekarang belum ditangani secara serius.Sementara, alokasi APBD untuk pengamanan hutan yang mencapai Rp 300.000.000/tahun dengan personil pengamanan yang sangat banyak (lintas instansi), ternyata kurang efektif untuk penurunan angka kasus pembalakan liar.Bahkan dalam operasional pengamanan hutan di lapangan, terdapat oknum-oknum tertentu yang sengaja memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Proses pembalakan semakin meningkat karena dipicu oleh tumbuh suburnya industri saw mill/circle, IPKH dan pengusahapengusaha di bidang pengolahan hasil hutan. Akibatnya, hutan jati menjadi sasaran empuk aktivitas illegal logging oleh penduduk sekitar hutan dan para penganggur lainnya yang sering kali bekerjasama dengan oknum pejabat setempat. Pihak-pihak yang selama ini mengambil hasil hutan (kayu jati dan lainnya) adalah perseorangan dari masyarakat yang memperoleh ijin dari pemerintah daerah. Pihak yang menadah hasil hutan tersebut adalah badan-badan usaha dari dalam Muna sendiri ataupun yang berasal dari luar Muna. Informasi ini menunjukkan bahwa penyebab kerusakan hutan ini turut dipicu oleh Pemda yang mudah mengeluarkan izin pemanfaatan kayu tanah milik (IPKTM).Sebenarnya pihak Pemda melalui Dinas Kehutanan telah menjalankan program/kegiatan guna menanggapi degradasi hutan di Muna. Program/kegiatan tersebut, antara lain; patroli (pengamanan hutan), penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat hutan, kegiatan rehabilitasi hutan & lahan (RHL), pengadaan kebun bibit rakyat (KBR), pengembangan hutan tanaman rakyat (HTR), serta pemberian bantuan bibit swadaya kepada masyarakat pada umumnya. Namun, inisiatif pemerintah kabupaten tidak mampu meredam aksi pembalakan hutan yang sudah menggurita tersebut. Melihat aksi-aksi perampokan kayu di hutan tersebut, pemerintah desa setempat secara tegas menerapkan kebijakan penangkapan terhadap siapapun yang melakukan pencurian kayu hutan. Hasilnya, desa berhasil membongkar keberadaan aktor dibalik jaringan kerja pencurian kayu.Pemdes tidak segan-segan menangkap kepala desa dan seorang petinggi kepolisian kabupaten Muna yang terbukti membantu aksi pencurian kayu. Ketegasan pemerintah desa ini patut kita apresiasi karena mampu menunjukan kemampuan konservasi yang tinggi terhadap hutan 131
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
daripada fungsi-fungsi pengamanan hutan yang disandarkan kepada ―polisi hutan‖.Apa yang dilakukan desa Tangkumaho terhadap hutan tersebut juga bertujuan untuk mempertahankan debit air yang mengalir dari perut hutan di sekitar desa. Karena itulah, aksi perlindungan ini bukan hanya sekedar menghentikan tindak pencurian kayu secara sistematis, tapi juga membangun keberlanjutan supply air bersih untuk warga desa. Tidak hanya itu, pemerintah desa Tangkumaho bersama kelembagaan desa dan masyarakat berani menolak kehadiran pemodal yang hendak menanam investasi di sektor tambak. Namun karena dipandang akan berakibat serius terhadap ekosistem pantai (hutan bakau), maka inisiatif tersebut ramai-ramai ditolak. Sebagai bentuk konsistensi pemerintah terhadap kelestarian sumber daya alam, pemdes bersama organisasi rakyat dan masyarakat Tangkumaho menyelengarakan program dan kegiatan untuk menjaga kelestarian hutan bakau di desanya.Kini, pelan tapi pasti hasil kerja mempertahankan kelastarian ekosistem hutan bakau tersebut telah meningkatkan produk kepiting. Hasil studi IRE menunjukan bahwa hutan bakau di Tangkumaho mampu memproduksi kepiting tangkapan dengan bobot terberat sekitar 1,8 kg per ekor. Rata-rata bobot kepiting yang ditangkap pencari kepiting adalah sekitar 5 ons (1/2 kg) per ekor.Nilai jual kepiting dengan bobot 5 ons per ekor sebesar Rp 14.000 per ekor.Warga pencari kepiting rata-rata memperoleh tangkapan sebanyak 2 kg per hari.Sehingga pendapatan yang diperolehnya per hari sekitar Rp 56.000, atau sekitar Rp 800.000 per bulan. Kemitraan yang baik antara pemerintah desa Lapandewa di kabupaten Buton dengan organisasi masyarakat sipil mampu melahirkan kader-kader desa yang peduli pada keberlanjutan ekosistem laut sebagai sumber penghidupan keluarga nelayan. Ibu Saidah, salah satunya, mencoba membangun dan menggerakkan kesadaran kolektif warga untuk menghentikan sistem penangkapan ikan dengan menggunakan bahanbahan peledak. Perjuangan yang gigih dari kader-kader desa tersebut, kini mampu meminimalisasi jumlah nelayan yang menggunakan bahan peledak serta memulihkan ekosistem laut dan vegetasi pantai di desa tersebut dan desa-desa disekitarnya.Tanpa polisi hutan, ternyata kader-kader desa Lapandewa mampu melindungi hutan bakau dari kehancuran ekosistem dan penangkapan ikan secara liar. Desa Mbatakapidu di kabupaten Sumba Timur juga patut direkognisi oleh pemerintah supra desa karena kemampuannya membangun desa mandiri pangan tanpa menggantungkan diri pada intervensi pemerintah supra desa.Pemerintah desa Mbatakapidu secara sistematis membuat program penanamankomoditas jangka pendek.Strategi ini untuk mendorong perubahan tradisi bercocok tanam dari tradisi monokultur ke tradisi bercocok tanam multikultur.Pemerintah desa bersama dengan warganya mengidentifikasi berbagai jenis tanaman pangan umur jangka pendek dan merumuskan langkah-lankah penanamannya. Kemudian pemerintah desa memutuskan kebijakan setiap rumah tangga diwajibakn menami pekarangan dan kebunnya paling tidak dengan 5 s/d 10 jenis tanaman umur jangka pendek seperti jagung, ubi, padi, jemawut, sayur-sayuran, lombok dan jenis kacang-kacangan lainnya. Mbatakapidu juga mengembangkan program menanam tanaman jangka menengah, yakni dengan cara mewajibkan setiap rumah tangga untuk menanami pekarangan dan kebun yang dimilikinya setidaknya dengan 5 s/d 10 jenis aneka ragam tanaman jangka menengah, seperti pohon kelapa, pisang, sukun, sirsak, pepaya, 132
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
kemiri, jambu mete, nangka, mangga dan lainnya. Sementara, untuk menjawab kebutuhan jangka panjang warganya, pemerintah desa menggerakkan warganya untuk menanam aneka jenis tanaman jangka panjang, minimal sebanyak 1.000 pohon tanaman umur panjang per KK.Diantara jenis pohon yang termasuk kategori berjangka menengah adalah tanaman pohon mahoni, jati lokal, dan gamalina. Untuk memenuhi kecukupan bibit atau anakan berbagai jenis komoditas tanaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang tersebut pemerintah desa melakukan dua cara, yakni: pertama, secara swadaya mengumpulkan bibit pohon dan anakan dari pekarangannnya sendiri atau dengan cara mencari melalui jejaring pertemanan atau perkerabatan lainnya. Kedua, diambilkan dari dana alokasi desa untuk belanja bibit pohon. Ketiga, mengajukan proposal kerjasama bantuan dengan Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan Pemda Sumba Timur.Misalnya, pada tahun 2010, berhasil memperoleh bantuan bibit anakan pohon kelapa sebanyak 7.500 bibit.Juga pengadaan anakan sukun sebanyak 1.000 pohon. Tahun 2011 kembali memperoleh bantuan sebanyak 1.750 bibit pohon kelapa. Dari peta jalan yang diterapkan pemerintah desa Mbatakapidu dalam mengoptimalkan potensi lahan milik masyarakatnya menuju desa mandiri pangan menunjukann kemampuan desa menjalankan urusan pemerintah supra desa baik dibidang ketahanan pangan maupun konservasi hutan, khususnya hutan kerakyatan masyarakat. Sekali lagi, di tengah model tata kelola hutan yang diperankan Perum Perhutani (Departemen Kehutanan) yang lebih memprioritaskan kelompok pemodal desa Mbatakapidu telah menghadirkan evidence dan menyampaikan makna bahwa pengelolaan hutan oleh desa mampu mendekatkan kehadiran negara kepada masyarakat miskin serta menggugurkan klaim Perhutani yang mengatakan berhasil membantu peningkatan ekonomi masyarakat desa hutan. KESIMPULAN Ada beberapa pembelajaran penting yang dapat kita tarik dari pemaparan peta kebijakan serta pengalaman desa-desa di Indinesia timur diatas untuk tranformasi kebijakan nasional.Pertama, penyerahan tanah dan hutan kepada mekanisme pasar, tidak selamanya menjamin pertumbuhan dan kesejahteraan desa.Penguasaan dan tata kelola hutan oleh oleh negara (pemerintah pusat) juga berpotensi dibajak oleh elit-elit birokrasi yang berwatak pragmatis.Dalam konteks ini, pemerintah kiranya perlu segera mendesentralisasikan sebagian kewenangan dan meredistribusi sebagian asetnya kepada desa. Desa, dengan norma, tradisi dan aturan mainnya sendiri memiliki potensi besar dapat mengelola tanah dan hutan tanpa meninggalkan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. Kedua,praktik inovasi dan emansipasi yang muncul dari beberapa desa diatas, sekalipun berskala lokal, merupakan bentuk respon cepat dan cerdas atas keterlambatan pemerintah supradesa menyediakan layanan bagi masyarakat lokal dalam membangun kemandirian serta mitigasi kekurangan pangan.Secara simbolik respon tersebut merupakan teguran pada pemerintah supradesa yang selama ini menggelar aturan perijinan dengan alur yang rumit, panjang dan lentur pada pemodal tapi kaku kepada masyarakat dan desa.
133
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Ketiga, desentralisasi kewenangan dan redistribusi aset kepada desa secara tidak langsung akan menekan laju pembajakan elite atas sumber daya alam nasional yang selama ini banyak mengitari tata kelola hutan. Pertumbuhan (growth) dan kesejahteraan (welfare) yang selama ini dijanjikan pemodal atas pengelolaan hutan cenderung menumpuk diatas. Praktik keswadayaan, transparansi dan partisipasi pengelolaan hutan yang diperankan desa-desa diatas bisa menjadi prototype pengelolaan hutan yang akan menjamin kesejahteraan bersama. Redistribusi hutan menjadi aset desa, khususnya desa-desa di sekitar hutan berpotensi akan mendongkrak nilai konservasi hutan terhadap keberlanjutan sumber daya ekonomi yang lainnya. Desa dan warga bersama-sama menanam dan juga menikmati hasilnya.Berbeda dengan pengalaman sebelumnya, desa dan warga menanam, tapi para pemodal yang menikmati hasil hutannya. Sudah saatnya negara memberikan kepercayaan kepada desa untuk mengelola aset tanah dan hutan yang negara miliki. DAFTAR PUSTAKA Haryanto, Titok. 2012. Melawan Kemiskinan Berbasis Potensi Lokal: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Stock Take: Manfaat Program ACCESS Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Kerjasama Ire Yogyakarta dengan ACCESS Tahap II Pembaruan Tani/Edisi 80/Oktober 2010 http://www.wwf.or.id/berita_fakta/berita_fakta/?6040/Profil-Industri-Kayu-Indonesia, diakses pada Rabu, 13 Maret 2012 http://alamendah.wordpress.com/2010/03/09/kerusakan-hutan-deforestasi-diindonesia/, diakses pada Kamis, 14 Maret 2012 Rozaki, Abdur. 2012. Dari Desa Krisis Pangan Menuju Mandiri Pangan: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Stock Take: Manfaat Program ACCESS Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Safitri, Laksmi Adriani, Mohamad Shohibudin, Surya Saluang (Eds.). 2009. Memahami dan Menemukan Jalan Keluar Dari Problem Agraria dan Krisis Sosial dan Ekologi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)-Sajogyo Institute. Serikat Petani Indonesia. 2010. Ketegasan dan Kepemimpinan Presiden Kunci Sukses Pembaruan Agraria. Pembaruan Tani/Edisi 80/Oktober 2010 Zamroni, Sunaji. 2012. Keberdayaan Desa Melindungi Hutan: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Stock Take: Manfaat Program ACCESS Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Kerjasama Ire Yogyakarta dengan ACCESS Tahap II Williams, Felicity. 2004. http://www.wwf.or.id/berita_fakta/berita_fakta/?6040/ Profil-Industri-Kayu-Indonesia, diakses, 13 Maret 2013.
134
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
BUDIDAYA TERUMBU KARANG GUNA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI DESA SERANGAN DENPASAR SELATAN TAHUN 2012 I Gusti Agung Gede Dhyana Putra1, Wayan Maba2, Made Nada2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University of Denpasar 2 Postgraduate Program of and Environmental management, Mahasraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia
*Corresponding author email:
[email protected], Tel. +62.17.81338.321888.
ABSTRACT This study will determine how the cultivation of planting coral reefs with mediation (1) Traditional (2) Semi Modern, (3) Modern, as an effort to increase the income of farmers in Serangan village.Adult coral is an export commodity. To maintain continuity, the distinguished way of planting and harvesting coral by using a system of mediation. Traditional Mediation is a way to harvest the crop reef directly in nature, in this way of the damage to coral reefs. Modern Semi Mediation is a way of cultivating a friendly reef environment with business objectives for export, meaning that the goal is economic gain. Semi Modern Mediation cultivation is considered the best solution because it is economically profitable for farmers and maintains marine conservation. Modern Mediation is a way to cultivate coral that requires more complete equipment, which affects the high cost and also requires specialized skills. This study used a questionnaire method to accumulate data, which was then examined by comparative analysis. The results showed that cultivation can improve the quality of coral reefs by (41.8%), the selling price is more expensive by (65.5%), the economic benefits by (56.4%), more efficient operating costs by (43, 6%) and the offense is can be reduced by (76.4%). Conditions like these are positive for business and thrive in the waters of Serangan village. The result of planting reefs using Traditional Mediation shows a very small profit margin, breaks the law and causes damage to the environment. It is also difficult to sell these products as they are often rejected by the international market due to strict worldwide export regulations (CITES - Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora) in Appendix II category, which means the extinction of species that are highly protected. The analysis Semi Modern Mediation coral farming shows that the fishermen can increase their profits. Planting coral with Modern Mediation requires special skills or expertise in the manufacture of the concrete medium used. It also requires a large investment and the equipment is expensive as well as labor intensive to move the concrete to the location in the middle of the sea. This method is considered to be less efficient for commercial purposes. It is suggested that the coral reef farmers Serangan village continue to develop and improve their methods of farming. The government needs to strictly enforce the law for those who break the rules and at the same time provide guidance and counseling for reef farmers in the area. Keyword: mediation, semi modern, modern, economy 135
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
PENDAHULUAN Aktifitas pengambilan karang untuk bangunan dan Aquarium hias laut di Pulau Serangan (Bahtera Nusantara, 2009) Sejak tahun 1995/1997 wilayah pengambilan tidak hanya disekitar Pulau Serangan saja tapi meluas sampai ke Sanur dan Nusa Dua. Karena keterbatasan modal maka nelayan pada saat itu hanya dengan perahu dayung tanpa mesin untuk mencapai kedua lokasi tersebut. Selanjutnya mulai ada nelayan yang memiliki cukup modal untuk membeli perahu motor dan sejak saat itu mulai dilakukan pengambilan karang hias ke luar Pulau Bali seperti Nusa penida dan Nusa Tenggara Barat. Perluasan wilayah tangkap ini seiring dengan tingginya tingkat permintaan dari para eksportir. Pada kurun waktu 1998/2000 pada masa reformasi banyak pengusaha ikan hias laut memindahkan atau mengembangkan bisnis mereka ke Bali dari Jakarta.Tercatat ada12 perusahan baru yang membuka farm eksport mereka yang tersebar di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung termasuk di Pulau Serangan Sendiri yaitu PT Lintas Antar Nusa (LAN) yang masih ada sampai sekarang. Fenomena ini makin mendorong meningkatnya permintaan karang hidup sebagai primadona produk Aquarium hias laut di Pulau Serangan. Walaupun secara hukum pengambilan karang di perairan laut Bali adalah melanggar, pengambilan karang alam ini tetap berlangsung dengan cara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Peneggakan hukum terhadap Kegiatan pengambilan karang pada kurun waktu ini, sangat lemah sekali. Bahkan Protes dari pemerhati lingkungan di Bali ditanggapi dengan perlawanan oleh masyarakat, dengan alasan pada saat itu mega proyek BTID yang menguruk hektaran terumbu karang mejadi lahan untuk pengembangan Pulau Serangan justru dilegalkan oleh pemerintah (Bahtera Nusantara 2001). Seiring dengan berjalannya waktu ditambah dengan semakin banyak pihak yang peduli kurun waktu 2001/2002 beberapa pengusaha, Perguruan Tinggi dan LSM mendorong upaya budi daya karang sebagai alternatif pengambilan karang hias alam. Kegiatan ini dilakukan melalu penelitian dan uji coba budidaya yang di motori oleh CV. Dinar dengan 4 perusahaan lainnya yang tergabung dalam Asosiasi Karang Budidaya Bali. Pada tahun 2003-2004 usaha karang bididaya ini sudah mendatangkan hasil ada hampir 30 spcies yang bisa dibudidayakan dengan tekhnik propagasi. Walaupun demikian pengambilan karang alam masih terus berlangsung walaupun tidak segencar dahulunya sampai saat ini (Sudiarta, 2005). Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, Morfologi dan Fisiologi. Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi olehTentakel. Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3.Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya yang belum diketahui. Sedimentasi kapur di terumbu 136
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur ekosistemnya. Merupakan ekosistem laut tropis, Sebagai hewan yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya, karang merupakan komponen yang terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih. Airnya hangat (lebih dari 22 oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. (Guilcher, 1988). Secara aktif membentuk sedimen kalsium karbonat akibat aktivitas biologi (biogenik) yang berlangsung di bawah permukaan laut. Bagi ahli geologi, terumbu karang merupakan struktur batuan sedimen dari kapur (kalsium karbonat) di dalam laut, atau disebut singkat dengan terumbu.Bagi ahli biologi terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dibentuk dan didominasi oleh komunitas koral. Dalam peristilahan 'terumbu karang', "karang" yang dimaksud adalah koral, sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu. Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan koral. Kerangka karang mengalami erosi dan terakumulasi menempel di dasar terumbu. Penanaman karang dengan Mediasi Tradisional memperlihatkan hasil keuntungan yang sangat kecil, pelanggaran hukum, kerusakan lingkungan dan penjualan hasil produksi yang sulit karena penolakan pasar eksport akibat dari peraturan eksport dunia (CITES: Convension on International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna and Flora) dalam katagori Appendix II yang artinya dalam kepunahan dan sangat dilindungi. Perlakuan untuk memaksimumkan hasil terumbu buatan perlu dirancang bentuk dan bahan terumbu buatan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Wong (1991). menyebutkan bahwa secara umum bahan yang digunakan harus: (1) tahan lama; (2) tidak mengeluarkan bahan kimia beracun di air; (3) murah dan mudah diperoleh; dan (4) mudah ditangani dan diangkut ke tempat tujuan. Dari patokan di atas maka bahan-bahan yang selama ini telah digunakan kebanyakan berupa ban, konkret dan pipa PVC (Wong 1991). Karang dewasa ini sebuah komoditi eksport, untuk menjaga kelangsungannya maka dibedakan cara tanam dan panen karang dengan mempergunakan sistim mediasi. Mediasi Tradisional adalah cara panen karang dengan memanen langsung di alam, cara ini banyak mengakibatkan kerusakan terumbu karang. Mediasi Semi Moderen adalah cara budidaya karang yang ramah lingkungan dengan tujuan bisnis untuk pasar eksport, artinya tujuannya adalah keuntungan ekonomi. Mediasi Semi Moderen atau cara Budidaya dianggap sebagai solusi terbaik karena, secara ekonomi menguntungkan petani serta kelestarian laut tetap terjaga. Mediasi Moderen merupakan cara bertanam karang yang menuntut peralatan yang lebih lengkap, dimana ini berpengaruh terhadap mahalnya biaya dan juga memerlukan ketrampilan khusus. 137
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Kerusakan terumbu karang lebih banyak diakibatkan oleh ulah manusia. Penelitian ini akan mengetahui bagaimanakah usaha budidaya penanaman terumbu karang dengan mediasi (1) Tradisional, (2) Semi Moderen, (3) Moderen, sebagai suatu usaha meningkatkan pendapatan petani di desa Serangan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dimulai dari analisis permasalahan di lapangan yang didukung dengan melakukan studi kepustakaan, Permasalahan yang dianalisis adalah cara Penanaman beberapa jenis karang dalam upaya untuk menjadikan Terumbu Karang di Pantai Desa Serangan, Bali sebagai salah satu komuditi ekonomi dengan kualitas eksport. Lokasi Penelitian Dilakukan di Pantai Desa Serangan, Denpasar Selatan Bali. dilakukan disepanjang pantai yang tumbuhi dengan terumbu karang yakni pada panjang 400 m dan 75 m lebar.Waktu penelitian dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan system cross section di saat air laut agak surut, mulai bulan Oktober 2012 sampai Desember 2012. Jenis dan Sumber Data. Data primer adalah data yang bersumber dari koresponden langsung yaitu petani terumbu karang yang melakukan mediasi karang secara trdisional, petani terumbu karang dengan mediasi semi modern dan mediasi moderen. Data primer meliputi kecepatan pertumbuhan karang pada masing-masing media. Keuntungan ekonomis dan keuntungan lain yang di dapat oleh petani karang, Jenis karang yang tumbuh dengan baik dan arah kebijakan pengelolaan terumbu karang dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar. Data sekunder adalah data yang bersumber dari sumber kedua, yaitu instansi atau perusahaan terkait, dinas pemerintahan dan LSM serta literatur yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder tersebut seperti data perkembangan perdagangan terumbu karang di Indonesia, daftar eksportir terumbu karang di Indonesia, kondisi terumbu karang di Bali, peta status terumbu karang serta peta status perdagangan terumbu karang di Indonesia, data demografi Kelurahan Serangan, serta foto-foto jenis karang yang diperdagangkan. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dengan maksud pengumpulan data primer adalah : wawancara dan kuisioner..kamera, untuk memperoleh rekaman data fisik lokasi penelitian, alat tulis, untuk mencatat hasil pengamatan langsung di lapangan, snorkel dan fins untuk alat pengamatan di dalam air. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersifat primer maupun sekunder. Data primer didapat melalui wawancara maupun pengukuran langsung dilapangan dan laboratorium yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Analisis data dilakukan secara deskriftif komperatif. Analisis Deskriftif Komperatif digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi. Dalam analisis ini yang didapatkan ditampilkan secara tekstular, tabular maupun dalam bentuk grafik, dengan tujuan sebagai suatu perbandingan yang akan mempermudah didalam pembahasan serta pengambilan kesimpulan. 138
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Penanaman Karang Untuk Peningkatan Pendapatan Nelayan dengan Mediasi Tradisional. Petani karang di desa Serangan mengambil karang adalah sebagai mata pencaharian secara turun temurun. Sejalan dengan kemajuan jaman maka bahan bangunan dari batu karang laut semakin tidak populer dan dituding sebagai penyebab kehancuran karang dan habitat laut, lalu nelayan mengalihkan mata pencaharian mereka dengan menjual karang sebagai karang hias. Dibawah ini adalah tabel dari empat tempat harga yang berbeda dari petani karang yang melakukan mediasi tradisional. Tabel 1 Harga Jual Karang Hias Mediasi Tradisional Harga per unit (rupiah) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jenis Karang Akropora Babut Nanas/Otak Koreng Monti/Mangkok Sarang Burung Lunak Payungan Lunak Seroja Cokelat Batu Hidup Size S/M Batu Hidup Size L/Xl Sumber: data primer
Serangan 3.500 5.500 5.500 3.500 4.000 7.000 2.500 3.000 2.500 5.000 5.500
Nusa Penida 2.300 4.800 5.000 3.800 3.800 5.800 2.600 2.900 2.800 5.800 6.500
Muncar
Tejakula
2.500 5.000 5.000 3.500 4.000 6.000 2.500 3.000 3.000 6.000 6.500
2.500 5.200 5.100 3.400 4.700 6.200 2.200 3.100 2.800 5.700 6.300
Pada awalnya usaha ini menunjukan hasil yang baik, namun semakin banyak orang yang perduli dengan kelestarian alam, maka cara bertani dengan mengambil karang secara langsung di alam mendapatkan protes yang keras dan pasar dunia menolak untuk membeli segala bentuk karang yang diambil langsung di alam. Dengan adanya penolakan pasar, maka kebutuhan karang alam ini lebih banyak ditujukan hanya untuk pasar lokal, sehingga harga sangat menurun. Sebagai suatu perbandingan harga karang Sarang Burung dari empat tempat yang berbeda dapat ditunjukan seperti gambar 6 di bawah ini. Dari gambar itu dapat dikatakan harga di desa Serangan adalah yang paling mahal. Hal ini disebabkan oleh kualitas karang yang baik, kedekatan dengan bandara sehingga karang tidak mengandung resiko patah selama perjalanan dan waktu pengiriman yang lebih cepat sejak panen. Usaha ini berkembang dengan munculnya beberapa pengepul karang hidup untuk untuk bahan bangunan dan aquarium. Para pengepul ini memperoleh order dari pengusaha bangunan dan eksportir ikan hias laut. Menurut penduduk setempat, usaha 139
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
karang hias hidup dari alam untuk keperluan aquarium laut mulai booming di Pulau Serangan pada tahun 1995-2000. Ada sekitar 8 (delapan) pengepul aktif pada saat itu, masing-masing pengepul memiliki 3-10 nelayan sebagai anak buah. Alat yang mereka gunakan adalah perahu, alat selam dasar (fin, snorkle dan masker), ban dan besek (sebagai tempat penampung barang) dan martil serta alat pemotong untuk pengambil karang. Seiring dengan peningkatan permintaan maka nelayan menambahkan kompresor selam untuk pengambilan karang yang lebih menambah luas areal perburuannya. Semakin banyak permintaan, semakin jauh mereka melaut dan semakin luas areal karang yang rusak. Budidaya Penanaman Karang Untuk Peningkatan Pendapatan Nelayan dengan Mediasi Semi Moderen . Demikian pula dengan dengan petani karang yang melakukan mediasi Semi Moderen di empat tempat yang berbeda memiliki harga yang berbeda pula seperti yang ditunjukan oleh table 2 di bawah ini Tabel 2. Harga Jual Karang Hias Mediasi Semi Moderen di Desa Serangan. Harga per unit (rupiah) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jenis Karang Akropora Babut Nanas/Otak Koreng Monti/Mangkok Sarang Burung Lunak Payungan Lunak Seroja Cokelat Batu Hidup Size S/M Batu Hidup Size L/Xl
Serangan 11.000 17.500 20.000 24.000 15.000 28.000 12.000 12.000 13.000 18.000 18.000
Nusa Penida 11.000 17.000 18.400 25.900 14.200 26.000 10.200 12.000 11.800 16.200 17.100
Muncar
Tejakula
10.000 16.000 18.000 25.000 14.000 27.000 10.000 11.000 11.000 17.000 16.000
12.000 16.800 18.400 26.000 14.700 26.400 10.200 10.800 10.700 17.200 16.300
Sebagai sebuah perbandingan harga dengan bisnis yang sama yang dilakukan oleh nelayan di daerah Banyuwangi. Harga di Banyuwangi ternyata sedikit lebih murah, namun pengepul harus membawanya ke Surabaya untuk tujuan eksport. Perjalanan yang jauh berakibat karang mengalami penurunan kualitas, ongkos perjalanan yang mahal dan waktu yang lama untuk sampai di Negara tujuan. Walaupun dengan harga yang sedikit lebih mahal, para eksportir lebih menyukai berbisnis dengan petani karang di Bali. Hal lainnya yang menjadi pertimbangan adalah mudahnya berkomunikasi dan kualitas karang dari Bali memiliki kualitas karang yang bagus. Lokasi Budidaya Karang Dengan Mediasi Semi Moderen di Pulau Serangan berada di sisi timur dan utara bagian Timur Pulau. Tempat ini merupakan hamparan datar pada kedalaman 1 meter pada saat air surut hingga 2 meter pada saat air pasang, 140
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
merupakan ekosisitim perbatasan antara lamun dan terumbu karang. Susbstrat dasarnya berupa dataran (Sloop) berpasir keras bercampur pecahan karang. Lokasi ini berada pada bagian dalam setelah pecahan ombak, dengan air yang bersih dan berarus, dengan demikian lokasi ini terlindung dari hempasan ombak yang kuat. Untuk sampai kelokasi budidaya karang ini nelayan cukup dengan berjalan kaki atau mengunakan sepeda, dan selanjutnya berenang dan berjalan kaki dari pantai kelokasi budidaya mereka. Untuk semua proses kegiatan budidaya di lokasi ini nelayan biasanya melakukan pada waktu air surut kecuali pada saat-saat tertentu atau pada kondisi terpaksa saja pada saat air pasang. Jam kerja mereka juga lebih teratur dibandingkan dengan mengambil karang alam yaitu pada pagi hari atau sore hari saja tapi lebih banyak di pagi dengan jam kerja rata-rata antara 1-2 jam sehari. Pekerjaan harian ini adalah masa-masa perawatan seperti membersihkan karang dari algae yang menempel, membetulkan letak karang yang rusak kena ombak dan pemanenan dalam jumlah kecil jika ada order beberapa jenis karang yang siap dipanen. Untuk pekerjaan awal seperti pemasangan meja semai, penyemaian bibit awal dan pemanenan dalam jumlah besar nelayan sering kali bekerja seharian penuh dari pagi hingga sore. Lokasi budidaya ini mereka buat secara berkelompok dengan kesepakatan lokasi mana yang mereka pilih untuk masing-masing nelayan, sehingga dengan sendirinya ada kesepakatan luas kepemilikan lokasi sesuai besarnya investasi masing-masing kelompok mereka. Pada lokasi ini mereka meletakan meja-meja karang dengan ukuran 1-3 m2 yang berbentuk bujursangkar dan empat persegi panjang. Meja-meja ini terdiri dari meja (F0) untuk karang-karang yang digunakan sebagai koloni induk , Meja (F1) untuk karang-karang anakan pertama dan meja (F2) untuk karang-karang anakan kedua yang siap jual, yang ukuruannya sesuai permintaan. Kumpulan mejameja ini disebut satu unit lokasi budidaya yang mereka miliki secara berkelompok maupun perorangan atau keluarga. Kepemilikan lokasi kelompok perorangan atau keluarga ini biasanya punya para eksportir yang bekerjasama dengan nelayan setempat, sedangkan kelompok yang anggotanya lebih banyak tergabung dalam kelompok budidaya karang yang ada di Pulau Serangan. Masing-masing unit budidaya ini mendapat izin lokasi dari desa adat, kelurahan dan kecamatan Denpasar Selatan dengan meberikan kotribusi kedesa adat sesuai kesepakatan. Sedangkan izin budidaya diperoleh dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Bali. Budidaya Penanaman Karang Untuk Peningkatan Pendapatan Nelayan dengan Mediasi Moderen . Mediasi Moderen ini dianggap masih sangat mahal dalam sarana pembuatan biaya. Banyak petani nelayan menghindari cara ini karena keterbatasan biaya dan tenaga ahli yang diperlukan saat pembuatan media beton dan pengangkutan hasil ke tengah laut. Manfaat yang dirasakan para nelayan dalam menerapkan usaha budidaya karang dengan menggunakan mediasi modern adalah hasilnya masih cukup bagus dan masih ada pasar. Namun biaya peralatan dan pemeliharaan masih terbilang memerlukan modal yang besar, sementara dilain sisi penjualan tidak mendapatkan untung yang besar. Hasil pendapatan petani karang dengan mediasi Moderen di empat tempat yang berbeda dapat disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini. 141
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 3. Harga Jual Karang Hias Mediasi Moderen . Harga per unit (rupiah) No
Jenis Karang
1. Akropora 2. Babut 3. Nanas/Otak 4. Koreng 5. Monti/Mangkok 6. Sarang Burung 7. Lunak Payungan 8. Lunak Seroja 9. Cokelat 10. Batu Hidup Size S/M 11. Batu Hidup Size L/Xl Sumber: Data primer
Serangan 4.800 4.900 6.900 10.900 6.200 6.400 3.100 5.400 5.400 4.200 8.700
Nusa Penida 4.800 4.900 6.900 10.900 6.200 6.400 3.100 5.400 5.400 4.200 8.700
Muncar
Tejakula
4.800 4.900 6.900 10.900 6.200 6.400 3.100 5.400 5.400 4.200 8.700
4.800 4.900 6.900 10.900 6.200 6.400 3.100 5.400 5.400 4.200 8.700
Dari ketiga cara mediasi penanaman karang, selain keuntungan ekonomi juga ditinjau beberapa keuntungan lain yang diperolah oleh para petani. Seperti yang ditunjukan oleh tabel 4 di bawah ini yakni perbedaan hasil yang dapat dilihat secara jelas. Tabel 4. Perbandingan Prosentase Keuntungan Setiap Mediasi (%). No. Keuntungan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kematian Karang Keuntungan Ekonomis Mutu Karang Pasca Panen Harga Jual Peningkatkan Penghasilan Biaya Operasional Pelanggaran Hukum Sumber: Hasil Analisis
Tradisional 11,30 8,40 16,70 16,80 7,40 24,30 34,80 2,20
Semi Moderen 67,30 81,30 41.80 40.00 66,00 43,60 43,50 76,40
Moderen 22,40 10,30 41,50 43,20 27,60 32,10 21,60 22.40
KESIMPULAN 1. Penanaman karang dengan Mediasi Tradisional memperlihatkan hasil keuntungan yang sangat kecil. Ptani karang di desa Serangan hanya mendapatkan keuntungan ekonomis sebesar (18,30%), peningkatan penghasilan (24,30%) dan berkurangnya pelanggaran hukum yang sangat kecil (2,20%). Kesulitan penjualan hasil produksi karena penolakan pasar eksport akibat dari peraturan eksport dunia (CITES: Convension on International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna and Flora) 142
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
dalam katagori Appendix II yang artinya dalam kepunahan dan sangat dilindungi. 2. Dengan Mediasi Semi Moderen atau cara Budidaya Karang, dari hasil analisis menunjukan bahwa nelayan di desa Serangan dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomis (56,4%). Peningkatan penghasilan (43,6%) dan pelanggaran hukum berkurang (76,4%). Dari angka tersebut dapat dikatakan bahwa budidaya karang semakin dipahami oleh masyarakat nelayan sebagai suatu usaha yang secara ekonomis sangat menguntungkan dan tidak melanggar hukum, yakni memberikan ketenangan dalam berusaha. 3. Dengan Mediasi Moderen dari hasil analisis menunjukan bahwa nelayan di desa Serangan dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomis (26,30%). Peningkatan penghasilan (32,10%) dan pelanggaran hukum berkurang (22,40%). Dari angka tersebut dapat dikatakan bahwa dengan mediasi modern petani belum mencapai keuntungan secara maksimal. Daftar Pustaka Arsonetri, 2005. Reformasi Industri Ikan Hias di Kelurahan Serangan Kecamatan Tejakula Buleleng Bali. Label Hijau, Kompilasi Pengetahuan dan Pengalaman Sertifikasi Ekolabel di Indonesia. Hal 333-346. LEI CV. Qolam Yogyakarta. Bahtera Nusantara, 2009. Penguatan Dan Pengembangan Inisiatif Les untuk Reformasi Industri Perikanan Ikan Hias Sebagai Upaya Penyelamatan Ekosistem Terumbu Karang di Bali. Laporan Final Kegiatan. Bahtera Nusantara Dan GEF-SGP-UNDP. Bapedalda Bali, 2003. Status Lingkungan hidup daerah Propinsi Bali Tahun 2003. Bapedalda Propinsi Bali. Bann. C. 1998. The Economic Valuation of Mangroves, A Manual for Researchers. Economy and Environment Program for Southeast Asia. Burke, L, Elizabeth Selig and Mark Spalding, 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara. Ringkasan Untuk Indonesia. Coral Reef Under Threats. World Resource Institute. Cesar. H. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. Working Paper Series”Work In Progress”, The World Bank. Coremap, 1998. Kalawarta, Volume 2 No. 2. Coremap, Jakarta Dahuri. R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Easter, K William, Nur Becker and Sandra O Archibald, 1998. Benefit-Cost Analysis and Its Use In Regulatory Decissions. In: Better Environment Decissions, Strategies for Governments, Business and Communities. Island PressWashington DC. Field. C. 1994. Environmental Economics And Introduction. Mc Graw-Hill. Fossa. S. A dan Nilsen, Jacob A. 1996. The Modern Coral Reef Aquarium. Vol.1. Germany: J.C. C Bruns GmbH.
143
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
MODEL PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DI DESA TEGAL KERTHA KECAMATAN DENPASAR BARAT KOTA DENPASAR I Nyoman Artayasa1, I Wayan Wana Pariartha2, I Wayan Wiasta2 Master Programme on Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University of Denpasar Postgraduate Pro gram of and Environmental management,Mahasraswati University Denpasar, Bali, Indonesia *Corresponding author email:
[email protected]
ABSTRACT Production of household waste per day are increasing with the increase of population and consumption patterns. Things to be done to solve the increase in the volume of waste is by problem: reducing the volume of waste from its source through waste segregation. Model studies on waste management in the village of Tegal Kertha Denpasar Barat, Denpasar city aims to gain an description of Household Waste Management Model. This research type is qualitative descriptive, which describe phenomena that occur location research. Data collection techniques include interviews, questionnaires, and documentation, while the data analysis using qualitative descriptive techniques. The study concludes that the Household Waste Management Model in the village of Tegal Kertha is forming a group self-management of waste transport is coordinated directly by the Government of Tegal Kertha village. Waste transported and disposed of in the garbage cart TPS/Depo-Maning Monang. Waste brought to the TPS divided between the organic waste and an organic waste. An organic waste is collected according to its kind and sold to scrap collectors. While organic waste disposed of without being processed first. Household waste management model in the village of Tegal Kertha covers several aspects such as the operational technical aspects, institutional aspects, legal and regulatory aspects, financial aspects and aspects of community participation. Suggestions based on research results that this model is more effective and efficient it is expected that all families in the village of Tegal Kertha come into the garbage and in the future customers in order to process organic waste into compost. An organic waste process into items more valuable economically. Key words: Model, self-managed group of Garbage, Rubbish sorting PENDAHULUAN. Sampah umumnya merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi oleh kotakota sedang dan kota besar di Indonesia. Pengelolaan sampah khususnya di kota-kota besar merupakan salah satu kebutuhan yang mendesak dan sangat penting untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk kota yang relatif besar dengan tingkat kepadatan yang tinggi akan menghasilkan timbulan sampah yang besar yang harus ditanggulangi baik untuk kebersihan dan pelestarian lingkungan hidup. Volume sampah akan meningkat sesuai laju pertumbuhan penduduk, peningkatan teknologi 144
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
dan aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Masalah sampah bukan semata-mata menjadi tanggung jawab dari Pemerintah saja, akan tetapi harus ditangani secara bersama-sama antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran dan komitmen bersama menuju perubahan sikap, perilaku dan etika yang berbudaya lingkungan. Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kebersihan dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah dipandang baik, jika sampah tersebut tidak menjadi media berkembang biaknya bibit penyakit, tidak menjadi medium perantara menyebarluasnya suatu penyakit, tidak mencemari udara, air dan tanah, tidak menimbulkan bau ( tidak mengganggu nilaiestetika),tidak menimbulkan kebakaran dan lainnya (Aswar,1986). Pertumbuhan penduduk di Kota Denpasar cukup tinggi karena Kota Denpasar merupakan Ibu Kota Propinsi Bali, pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat perekonomian dan merupakan salah satu tempat tujuan wisata sehingga berdampak terhadap peningkatan volume sampah, utamanya sampah rumah tangga. Pengelolaan sampah di Kota Denpasar sudah diatur dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar nomor 15 tahun 1993 yang telah direvisi dengan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2000, tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar. Desa Tegal Kertha dengan Luas Wilayah 35 ha atau 0,35 km2, terdiri dari 8 dusun, dengan jumlah penduduk 14.015 jiwa (laki-laki : 6.961 jiwa dan perempuan : 7.054 jiwa) dengan jumlah KK sebanyak 3.360 KK dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi sekali yaitu 40.043 jiwa/Km2 (Profil Desa Tegal Kertha,2011). Pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Desa Tegal Kertha adalah dengan membentuk kelompok swakelola pengangkutan sampah yang dikoordinir langsung oleh Pemerintah Desa. Sistem pengangkutan sampah dimana sampah dari masingmasing rumah tangga yang menjadi pelanggan pengangkutan sampah diangkut oleh petugas pengangkut sampah dengan gerobak sampah dan dibuang ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) atau Depo Monang-Maning yang berlokasi di Jalan Merpati. Jadwal pengangkutan sampah telah ditetapkan oleh Pemerintah Desa Tegal Kertha. Volume sampah di Desa Tegal Kertha setiap harinya adalah sebanyak 72 m3 , terdiri dari Sampah Rumah Tangga sebanyak 60 m3, sampah Pasar sebanyak 4 m3 dan sampah jalan adalah sebanyak 8 m3. Dalam penelitian ini, penulis lebih focus pada pengelolaan sampah rumah tangga, karena sampah pasar ditangani langsung oleh Pengelola Pasar dan sampah jalan ditangani langsung oleh petugas penyapuan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar. Sehingga langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah Desa Tegal Kertha dalam pengelolaan sampah rumah tangga diantaranya dengan pengangkatan petugas pengangkut sampah yaitu Kelompok Swakelola pengangkut sampah yang sekaligus sebagai pemungut uang swakelola kebersihan di wilayah Desa Tegal Kertha yang beranggotakan 12 orang yang tersebar di tujuh Dusun (Kecuali Dusun Mertha Gangga). Disamping mengangkut sampah, kegiatannya juga memilah sampah antara sampah organik dan an organik di lokasi pembuangan sampah sementara, dan hasil pilahan sampah berupa sampah an organik yang masih mempunyai nilai ekonomis di jual ke pengepul barang bekas. Berdasarkan uraian di atas, sehingga muncul rumusan-rumusan masalah sebagai berikut : 145
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
1. Bagaimana Model Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa Tegal Kertha? 2. Bagaimana Sumber Daya manusia dalam mengelola sampah rumah tangga? 3. Apakah Sarana Prasarana Kebersihan dalam mengelola sampah rumah tangga sudah mencukupi? 4. Dari mana sumber pembiayaan dalam pengelolaan sampah tersebut? 5. Bagaimana respon atau tanggapan masyarakat terhadap model pengelolaan sampah rumah tangga tersebut? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang Model Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa Tegal Kertha . METODOLOGI PENELITIAN. Pengumpulan data dalam penelitian ini dibatasi pada data pimer dan data skunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari informan/ responden dalam pengelolaan sampah rumah tangga, yaitu dari aparat desa sebanyak 13 orang, anggota kelompok swakelola pengangkutan sampah sebanyak 12 orang serta masyarakat pelanggan pengangkutan sampah sebanyak 1.800 K. Untuk masyarakat pelanggan pengangkutan sampah diambil sampel sebanyak 10 % yaitu : 180 KK. Data sekunder yaitu merupakan rujukan yang akan dipergunakan untuk analisa berupa kajian referensi, literatur dan standarisasi yang menyangkut tentang pengolahan sampah. Teknik pengambilan data primer dan data sekunder dilakukan dengan beberapa cara yaitu : wawancara, dokumentasi, kuesioner dan observasi Methode analisis yang akan dilakukan adalah Metode Analisis Deskriptif Kualitatif, yaitu analisa yang melakukan pendekatan analisis dengan menggunakan sudut pandang peneliti sebagai analisis utama. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan skala pengukuran dengan Skala Likert, yaitu untuk mengukur bagaimana tanggapan masyarakat pelanggan pengangkutan sampah terhadap model pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Desa Tegal Kertha. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum Desa Tegal Kertha Desa Tegal Kertha Kecamatan Denpasar Barat merupakan salah satu desa yang ada di Kota Denpasar, dengan luas 35 ha atau 0,35 Km2 merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 20 meter diatas permukaan air laut, dengan kemiringan kurang dari 6 % kearah selatan. Curah hujan rata-rata 2,757 mm per tahun dan suhu rata-rata 22-34 derajat Celcius. Secara administrasi Desa Tegal Kertha terdiri dari 8 (delapan) Dusun yaitu :Dusun Tegal Wangi, Dusun Bhuana Asri, Dusun Muliawan, Dusun Bhuana Sari, Dusun Panca Kertha, Dusun Graha Santhi, Dusun Manut Negara, Dusun Mertha Gangga. Jumlah penduduk Desa Tegal Kertha tahun 2011 sebanyak 14.015 orang, dan jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 13.702 orang. Ada peningkatan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebesar 2,46 % dari tahun sebelumnya.
146
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 1. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011 No
Dusun
Jumlah Penduduk Laki-laki
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Perempuan
Jml Penduduk seluruhnya
Jml KK
Tegal Wangi Bhuana Asri Muliawan Bhuana Sari Panca Kertha Graha Santhi Manut Negara Mertha Gangga
463 1.184 464 585 1.026 457 1.937 845
506 1.331 4611 578 1.005 519 1.835 819
969 2.515 925 1.163 2.031 976 3.772 1.664
288 518 222 292 509 249 996 386
Jumlah.
6.961
7.054
14.015
3.360
Sumber : Profil Desa Tegal Kertha, Tahun 2011 Volume Timbulan Sampah Rumah Tangga Di Desa Tegal Kertha Volume sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh masyarakat di Desa Tegal Kertha dalam tahun 2011 adalah sebanyak 60 m3, dimana Dusun Manut Negara sebagai Dusun yang memproduksi sampah yang paling besar, yaitu sebesar 16,5 m3 per hari, sementara yang paling sedikit memproduksi sampah adalah Dusun Graha Shanti dan Dusun Muliawan, seperti dalam tabel 2 dibawah ini . Tabel 2. Volume Timbulan Sampah Rumah Tangga di Desa Tegal Kertha 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8
Dusun Jumlah Penduduk Volume (m3 )/hari Tegal wangi 969 4,5 Bhuana Asri 2.515 11,5 Muliawan 925 4,3 Bhuana Sari 1.163 4,5 Panca Kertha 2.031 7,9 Graha Santhi 976 4,3 Manut Negara 3.772 16,5 Merta Gangga 1.664 6,5 Jumlah 14.015 60 Sumber : Database Kebersihan Kecamatan Denpasar Barat, Tahun 2011 Kalau ditinjau dari segi jenis sampah yang dihasilkan oleh masyarakat di Desa Tegal Kertha, ternyata sampah organik lebih banyak dibandingkan sampah an organik, yaitu 57 % berbanding 43 % , seperti terlihat dalam tabel 3.
147
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 3. Rata-rata Timbulan sampah Rumah Tangga Desa Tegal Kertha dirinci per jenis sampah Tahun 2011. Jenis Sampah Jumlah( m3) Prosentase(%) Organik 35,60 57 An organik 24,40 43 Jumlah 60,00 100 Sumber : Database Sarana Kebersihan di Kecamatan Denpasar Barat,Tahun 2011 No 1. 2.
Model Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa Tegal Kertha . Model Pengelolaan sampah di Desa Tegal Kertha dikoordinir langsung oleh Pemerintah Desa, dengan mengacu pada beberapa aspek pengelolaan sampah sebagai berikut : Aspek Teknis Operasional. Sistem Pewadahan Sistem pewadahan sampah di Desa Tegal Kertha adalah menampung sampah rumah tangga dalam tempat sampah di masing-masing keluarga. Pada umumnya tidak dilakukan pemisahan antara sampah organik dan sampah an organik
Gambar 1. Wadah Sampah Rumah Tangga di Desa Tegal Kertha Untuk saat ini yang dilakukan di Desa Tegal Kertha adalah pengumpulan secara individual pada masing-masing rumah tangga. Wadah-wadah individual ini ditempatkan di depan rumah masing-masing dan mengenai bentuk dari pewadahan tersebut bisa dilihat pada gambar 5 diatas. Sistem Pengangkutan Sistem pengangkutan sampah yang dilakukan di Desa Tegal Kertha dengan Gerobak sampah sebanyak 12 gerobak sampah dengan kapasitas 1,5 m3. Adapun sarana prasarana pengangkutan sampah yang digunakan adalah berupa Gerobak sampah seperti gambar di bawah ini :
Gambar 2. Sarana Pengangkutan sampah / Gerobak sampah 148
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Sampah yang diangkut setiap hari dua kali jalan dengan gerobak sampah dengan rara-rata 1,5 M3 sebanyak 12 gerobak , adalah : 12 gerobak x 1,5 m3 x 2 kali = 36 M3(masih tercampur antara sampah organik dan an organik) . Di TPS/Depo Monang-Maning sampah kembali dipilah oleh anggota Kelompok Swakelola Pengangkut Sampah, sampah-sampah an organik seperti : botol plastik, botol kaca, kertas kardus, tas kresek dikelompokan sendiri-sendiri untuk memudahkan penjualan ke pengepul barang bekas. Hal ini berarti masih ada sekitar 24 m3 sampah yang belum terlayani pengangkutan sampahnya dari keseluruhan timbulan sampah rumah tangga di Desa Tegal Kertha yang sebanyak 60 M3. Hal ini disebabkan oleh karena tidak semua Kepala Keluarga berlangganan pengangkutan sampah, hanya 53,6 % dari 3.360 KK yaitu sebanyak 1.800 KK (termasuk seluruh masyarakat di Dusun Mertha Gangga tidak ikut berlangganan pengangkutan sampah). Sistem Pembuangan Sampah Sementara Sampah rumah tangga yang sudah dikumpulkan dengan gerobak sampah, kemudian diangkut dan dibuang ke Tempat Pembuangan Sementara atau Depo Monang-Maning . Pembuangan dilakukan setelah pukul 14.00 sampai dengan 19.00 Wita.
Gambar 3. TPS / Depo Monang-maning Sampah rumah tangga yang sudah dikumpulkan dengan gerobak sampah, kemudian diangkut dan dibuang ke Tempat Pembuangan Sementara(TPS) atau Depo Monang-Maning. Pembuangan dilakukan setelah pukul 14.00 sampai dengan 19.00 Wita. Sampah yang terkumpul di TPS/Depo Monang-Maning kemudian oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berlokasi di Suwung Kecamatan Denpasar Selatan dengan menggunakan Truk, Dump Truck, maupun Arm Roll. Pemilahan Sampah. Sampah yang dibuang di TPS/Depo Monang-Maning kemudian dipilah oleh kelompok pengangkut sampah itu sendiri, dipisahkan menurut jenis sampahnya yaitu sampah an organik berupa botol plastik, tas kresek, kardus, Koran, buku bekas, kaleng bekas, besi, kawat , botol kaca/gelas dan lain lain (Gambar 7b, adalah tempat menaruh sampah an organik yang telah dipilah sesuai jenisnya). Sedangkan sampah organik dibuang begitu saja tanpa diadakan pengolahan lebih lanjut. Kegiatan pemilahan sampah dilakukan oleh petugas Pengangkut sampah di TPS/Depo Monang-Maning, dan barang-barang yang bisa di daur ulang, atau 149
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
digunakan kembali diambil dan secara periodik dijual kepada pengepul barang bekas. Pengelompokan sampah yang dilakukan oleh Petugas Pengangkut Sampah adalah sebagai berikut : 1) Sampah Organik/sampah mudah busuk terdiri dari : sisa sayuran dan buah yang tidak termanfaatkan, sisa nasi dan sayur, kulit buah dan sisa makanan yang mudah membusuk (57 %). 2) Sampah Plastik, seperti : botol air kemasan, plastik pembungkus dan plastik rumah tangga yang sudah tidak terpakai (20 %). 3) Sampah Kertas, seperti : koran, buku bekas, kardus (15 %). 4) Sampah Logam dan Kaca: kaleng-kaleng bekas, besi, kawat,botol kaca.dan lainlain (8 %), seperti tabel 8 diatas. Barang-barang yang dipilah dan dikelompokan sesuai jenisnya, dijual kepada para pengepul barang bekas dengan harga yang berlaku dipasaran. Berikut ini ditampilkan harga barang rongsokan yang berlaku saat penelitian seperti tabel dibawah ini. Tabel 4. Harga Rata-Rata Barang Rongsokan yang di jual kepada pengepul barang bekas bulan agustus 2012 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis barang
Berat (kg) 165 60 15 5 100 75 80 50
Botol plastik bekas minuman Tas kresek Besi,kawat aluminium Kaleng minuman Koran bekas Kertas dan kardus bekas Plastik ember Jumlah Sumber : Kantor Desa Tegal kertha , Tahun 2012.
Harga/kg (Rp) 2.500,1.000,2000,8.000,3.000,1.000,1.500,700,-
Jumlah (Rp) 412.500 60.000 30.000 40.000 300.000 75.000 120.000 35.000 955.500,-
Aspek Kelembagaan. Secara kelembagaan, tanggung jawab kebersihan itu berada pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar. Namun karena tanggung jawab kebersihan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, maka peran serta masyarakat dalam mengelola sampah juga menjadi penting Pada tingkat Desa pengelolaan kebersihan menjadi tanggung jawab Kepala Desa, Desa bertanggung jawab atas kebersihan di wilayahnya. Kepala Desa memfasilitasi pembentukan Kelompok Swakelola Pengangkut Sampah, yang bertugas mengkoordinir melakukan pengangkutan sampah rumah tangga menuju TPS di wilayahnya dan termasuk menarik Retribusi kebersihan kepada masyarakat. Sedangkan hubungan kerja antara Kelurahan dan Kecamatan bersifat koordinatif dimana Kecamatan hanya melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah pada kelurahan-kelurahan di wilayahnya. Dalam surat Peraturan Walikota Denpasar Nomor 35 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Swakelola Kebersihan di Kota Denpasar, dimana memberikan kewenangan Desa ataupun Banjar untuk melaksanakan swakelola kebersihan dan 150
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
memberikan kewenangan untuk memungut retribusi untuk membiayai operasional/kegiatan swakelola tersebut. Penunjukan Petugas Pengangkut Sampah pada Kelompok Swakelola Pengangkut Sampah di Desa Tegal Kertha diangkat dengan Keputusan Kepala Desa Tegal Kertha Nomor 180/16/Kep/2012, tertanggal 5 Maret 2012. Adapun Nama-nama petugas Pengangkut sampah sesuai Keputusan Kepala Desa Tegal Kertha tersebut diatas adalah seperti tabel berikut : Tabel 5. Nama Petugas Pengangkut Sampah Desa Tegal Kertha, Tahun 2012. No Nama Petugas 1. Mustofa 2. Sanusi 3. Salam 4. Aki 5. Huris 6. Buhari 7. Tutik 8. Merta 9. Ansori 10. Junaedi 11. Urip 12. Rita Sumber : Kantor Desa Tegal Kertha,Tahun 2012.
Wilayah Pemungutan Dsn Tegal Wangi Dsn Bhuana Asri Dsn Bhuana Asri Dsn Muliawan Dsn Bhuana Sari Dsn Panca Kertha Dsn Graha Santi Dsn manut negara Dsn Manut Negara Dsn Manut Negara Dsn Manut Negara Dsn Manut Negara
Aspek Hukum dan Peraturan. Dasar hukum pengelolaan kebersihan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Kota Denpasar baik dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Walikota maupun keputusan Wali Kota Denpasar sebagai berikut : a. Peraturan Daerah Kota Denpasar No.15 Tahun 1993 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar yang sudah direvisi dengan Peraturan Daerah nomor 3 Tahun 2000, tentang Perubahan Perda nomor 15 tahun 1993. b. Peraturan Daerah Kota Denpasar nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Kebersihan Kota Denpasar . c. Peraturan Walikota Denpasar nomor 35 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Swakelola Kebersihan di Kota Denpasar. d. Peraturan Walikota Denpasar nomor 3 Tahun 2011 tentang Penetapan jadwal waktu membuang dan pengangkutan sampah, serta ketentuan dan tata cara pemotongan pohon perindang di Kota Denpasar. Khusus pada Peraturan Walikota Denpasar Nomor 35 Tahun 2006, tentang pelaksanaan Swakelola Kebersihan di Kota Denpasar, disini Pemerintah Kota Denpasar memberikan kewenangan kepada Desa/Kelurahan, Desa Pekraman, Dusun, Lingkungan, Banjar untuk membentuk Kelompok Swakelola Kebersihan di masingmasing wilayahnya.
151
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Dasar hukum dalam pelaksanaan Swakelola kebersihan di Desa Tegal Kertha adalah : 1) Peraturan Desa Tegal Kertha Nomor 01 tahun 2011 tentang APBDES Desa Tegal Kertha . 2) Peraturan Desa Tegal Kertha Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pungutan Desa. 3) Keputusan Kepala Desa Tegal Kertha Nomor 180/01a/Kep/2012 tentang Penetapan Tarif dan Jenis Pungutan Desa Tegal Kertha tahun 2012. 4) Dalam Keputusan Kepala Desa Tegal Kertha ini salah satu jenis pungutan yang diatur adalah retribusi kebersihan beserta besarnya tarif retribusi kebersihan, yaitu pada lampiran Keputusan Kepala Desa ini poin 12. 5) Keputusan Kepala Desa Tegal Kertha Nomor 180/16/Kep/2012 tentang Petugas Kebersihan/Pengangkut Sampah sekaligus sebagai Pemungut Uang Swakelola Kebersihan Desa Tegal Kertha. Aspek Pembiayaan. Setiap warga yang berlangganan pengangkutan sampah dipungut retribusi kebersihan oleh petugas pengangkut sampah yang sekaligus sebagai petugas pemungut retribusi kebersihan setiap bulannya sebelum tanggal 10 , kemudian di setorkan ke Bendahara Desa Tegal Kertha. Besarnya retribusi kebersihan adalah sebesar Rp 10.000,-.per KK Adapun pemasukan per bulannya adalah sebesar Rp. 18.000.000.- ,yang digunakan untuk membayar petugas pengangkut sampah, yaitu : Rp 4.400,- x. 1.800 KK =Rp.7.920.000,-, dan Rp.3.600 x 1800 KK = Rp.6.480.000,- dipakai Kas oleh masing–masing dusun (kecuali Dusun Merta Gangga) dan sisanya sebesar Rp.2.000,x 1800 KK = 3.600.000, dipakai untuk biaya pemeliharaan Sarana prasarana, biaya certak karcis retribusi dan biaya kesehatan tenaga kebersihan yang dikelola oleh Desa (Bendaharawan) seperti tabel berikut . Tabel 6. Perincian Pembagian Uang Retribusi Kebersihan, Tahun 2012. No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Dusun
Gaji Petugas
Kas Dusun
Biaya Pemeliharaan,Cetak karcis,Kesehatan
Jumlah
Tegal Wangi Bhuana Asri Muliawan Bhuana Sari Panca Kertha Graha Santhi Manut Negara Mertha Gangga
594.000,1.522.400,954.800,915.200,1.513.600,660.000,1.760.000,-
486.000,1.245.600,781.200,748.800.1.238.400,540.000,1.440.000,-
270.000,692.000,434.000,416.000,688.000,300.000,800.000,-
1.350.000,3.460.000,2.170.000,2.080.000,3.440.000,1.500.000,4.000.000,-
Jumlah
7.920.000,-
6.480.000,-
3.600.000,-
18.000.000 .-
Sumber : Kantor Desa Tegal Kertha, Tahun 2012.
152
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Besaran gaji yang diterima oleh petugas pengangkut sampah adalah tergantung berapa banyak pelanggan pengangkutan sampah yang dilayani oleh petugas tersebut. Artinya gaji mereka tidak sama satu dengan yang lain setiap bulannya. Aspek Peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat sangat menentukan kebersihan lingkungan di desa Tegal Kertha, karena bagaimanapun bagusnya suatu Model pengelolaan sampah, kalau tidak didukung oleh peran serta masyarakat, program itu tidak akan berjalan maksimal. Peran serta masyarakat disini adalah meliputi : a. Keikutsertaan sebagai pelanggan pengangkutan sampah, dimana jumlah KK yang berlangganan pengangkutan sampah adalah sebanyak 1.800 KK dari 3.360 KK (sekitar 53,6 %) yang ada di Desa Tegal Kertha. b. Kesadaran membayar retribusi kebersihan secara rutin, yaitu sebelum tanggal 10 setiap bulannya. Karena petugas pengangkut sampah sekaligus bertugas memungut retribusi kebersihan, masyarakat sebagian besar memenuhi kewajibannya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Mengenai kesadaran warga membayar retribusi kebersihan, penulis dapat mewawancarai salah seorang petugas pungut yang bernama Pak Buhari dari Dusun Panca Kertha. c. Kesediaan menyediakan tempat/tong sampah di masing-masing rumah tangga secara swadaya. d. Secara insidentil melakukan kerja bakti di masing-masing lingkungan, yang jadwalnya ditentukan oleh masing-masing dusun sesuai keadaan dan situasi di lapangan. Analisis Data Skala Likert. Untuk mengetahui respon atau tanggapan masyarakat terhadap Model pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Tegal Kertha, akan dianalisis mengenai aspek pengelolaan sampah yaitu : aspek teknis operasional, aspek kelembagaan, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan dan aspek peran serta akan kita analisis dengan Analisis Data skala likert. Berdasarkan hasil analisis data maka respon/tanggapan masyarakat terhadap model pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Tegal Kertha, adalah baik seperti terlihat dalam tabel di bawah ini. Table 7. Hasil Rekapitulasi Analisis Data tanggapan dari masyarakat terhadap pengelolaan sampah RT di Desa Tegal Kertha,Tahun 2012. No 1. 2. 3. 4.
Kategori Interval skor Sangat baik 46 – 60 Baik 31 - 45 cukup 16 - 30 kurang 1 - 15 Jumlah Sumber : Hasil Olahan Data, Tahun 2012.
Responden 27 87 66 0 180
Prosentase(%) 15 48 37 0 100
153
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Analisis data diatas menunjukan, bahwa tanggapan masyarakat terhadap Model pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa Tegal Kertha adalah yang paling besar prosentasenya adalah katagori baik, yaitu 48% atau sebanyak 87 orang , dan yang sangat baik adalah 15 % atau sebanyak 27 orang, sehingga dijumlahkan yang baik dan sangat baik adalah : 63 % atau sebanyak 114 orang. Karena sudah melebihi dari 50 %, maka ini berarti model pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Tegal Kertha dapat diterima oleh masyarakat dan perlu ditingkatkan kembali kedepannya, baik dalam pengelolaan maupun dalam kualitas pelayanan kepada masyarakat. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis serta merujuk pada tujuan penelitian Model Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa Tegal Kertha Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut : 1. Model pengelolaan Sampah rumah tangga di Desa Tegal Kertha adalah suatu sistem pengelolaan sampah dengan menekankan kepada pengangkutan dan pemilahan sampah oleh Kelompok Swakelola Pengangkutan Sampah. 2. Pengangkutan sampah di Desa Tegal Kertha dilakukan oleh Kelompok Swakelola Pengangkut Sampah dengan gerobak sampah yang beranggotakan sebanyak 12 orang. 3. Sarana dan prasarana pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Tegal Kertha terdiri dari tempat pewadahan sampah (tong sampah dari ban bekas, kampil, kaleng bekas cat) di masing-masing rumah tangga, gerobak sampah sejumlah 12 gerobak dan Depo Monang Maning/TPS yang berlokasi di Jalan Merpati. 4. Pengelolaan sampah di Desa Tegal Kertha dibiayai dengan Retribusi sampah sebesar Rp. 10.000,- per KK. 5. Respon atau tanggapan masyarakat Desa Tegal Kertha terhadap Model Pengelolaan sampah rumah tangga adalah katagori baik, sehingga model pengelolaan seperti ini dapat terus dilaksanakan untuk meningkatkan kebersihan lingkungan .
KEPUSTAKAAN Anwar Hadi.2005. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arikunto,S.2002. Prosedur PenelitiASN ,Jakarta: Rineka Cipta. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. Standar Nasional Indonesia (SNI) 192454-1992 tentang Tata cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan.Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Badan Standarisasi Nasional (BSN).1994. Standar Nasional Indonesia (SNI),1994, SIN 03-3241-1994, tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Jakarta:Departemen Pekerjaan Umum. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali.2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Denpasar: BLH Provinsi Bali. 154
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali.2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar: BLH Provinsi Bali. Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Persampahan Di Indonesia.Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Departemen Dalam Negeri.2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa: Depdagri Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar.2008. Budaya Bersih sebagai Landasan Denpasar Yang Bali (Bersih, aman, lestari dan indah).Denpasar: DKP Kota Denpasar. Fredy Rangkuti.2001. Analisis SWOT Teknik membedah Kasus Bisnis.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ginting, perdana.2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah. Bandung: Yrama Widya. Hadi, S.P. 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Marzuki.1983. Metodologi Riset.Yogyakarta:Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Mulyanto,H.R.2007. Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu. PPLH Bali.2010. Pilah Sampah Sanur, Contoh Swakelola Sampah , (http://www.sanitasi.or.id/index.php?option=com_content&view) diakses tanggal 19 September 2012.Rakhmat.1995. Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung,Remaja Rosdakarya Rochim. 2008. Penanganan dan Pengelolaan Sampah. Jakarta: Penebar Swadaya. Sudrajat.2007. Mengelola Sampah Kota.Jakarta: Penebar Swadaya. Sugandhy.2007. Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan.Jakarta: Bumi Aksara. Sugiyono.2011. Metode Penelitian Kuantitatif ,Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sukarni, Mariyati.1994. Kesehatan keluarga dan Lingkungan.Yogyakarta: Kanisius. Suryati T.2009. Bijak dan Cerdas Mengolah Sampah .Jakarta: Agromedia Pustaka. Syafrudin,Priyambada.2001.Pengelolaan Limbah Padat.Semarang: Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Diponogoro. www.olahsampah.multifly.com/journal/item/11 diakses pada hari senin tanggal 7 mei 2012
155
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
PERANAN IBU RUMAH TANGGA DALAM USAHA MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA PADA KERAJINAN TEDUNG DI DESA PAKSEBALI KEC. DAWAN KAB. KLUNGKUNG Ni Ketut Susanti1, Anak Agung Putu Agung2, I Made Legawa3 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Bali, Indonesia. *Corresponding author email:
[email protected], telp: 085337185758
ABSTRACT The purpose of the research to find out the role of housewife cobra craft in order to increase family income and determine the factors that affect it. Sample in this study is pengerajin fiery housewife of 40 people. Data obtained by interview using kuisioner and further analyzed with multiple linear regression test. The results showed a strong relationship between the availability of skills variables, age, level of formal education, an endless hours of work and motivation to increase family income indicated by the double correlation (R) of 0.862. Simultaneous influence of family income female workers craft cobra explained by age, level of formal education, skills, flushing hours of work and motivation is 74.20%, while the remaining 25.80% is influenced by other factors. Viewed from the contribution income crafting fiery housewife on total family income per month figures obtained 1,278,750 (38.50%) from 3,321,250 to the lowest range is 1050000 (37.50% and the highest is 1500 .000, - (38.46%). Given the very large role of housewife in the family expected to increase the revenue the government cant provide contruction and counseling so that they can produce more quality productions. Keywords: role of housewife, tedung craft, family income PENDAHULUAN Partisipasi wanita menyangkut peran domistik (tradisi) dan peran publik (transisi). Peran domistik atau tradisi mencakup peran wanita sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga, sedangkan peran publik atau transisi mencakup peran wanita sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan (Yusuf, P, 2008). Wanita sebagai pengelola dalam menyelesaikan proses pekerjaan domistik, karena dinilai lebih mampu bekerja dalam hal membersihkan dan memelihara lingkungan rumah tangganya seperti menyapu rumah, mencuci piring, memasak dan memelihara anak-anaknya. Pada keluarga yang kaya dan mampu, sering kali kerja domistik dibebankan pada pembantu rumah tangga yang biasanya bekerja tanpa perlindungan dan tidak memiliki batas waktu. Sedangkan pada keluarga yang miskin seluruh tanggung jawab kerja domistik harus dikerjakan oleh wanita itu sendiri dan seringkali wanita juga harus mencari nafkah untuk mencukupi kehidupan keluarganya (Fakih, M, 2008). 156
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Pada peran publik atau transisi, wanita sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomis diberbagai kegiatan, sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia. Keterlibatan wanita dalam pencarian nafkah menyebabkan waktu yang dicurahkan dalam kegiatan rumah tangga berkurang dan diperlukan adanya pembagian kerja diantara seluruh anggota keluarga. Waktu yang dicurahkan seorang wanita dalam kegiatan pencarian nafkah mendapatkan imbalan berupa pendapatan sehingga seorang wanita dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga (Mulyo dan Jamhari, 2003). Fenomena wanita bekerja telah menjadi hal yang menarik untuk dikaji, lebihlebih wanita yang tinggal di daerah industri kerajinan rumah tangga. Keterlibatan mereka bekerja sebagian besar dikarenakan tuntutan ekonomi. Kondisi perekonomian keluarga yang lemah dan serba kekurangan memaksa wanita untuk ikut bekerja membantu suaminya dalam rangka mendapatkan penghasilan tambahan. Mengingat mayoritas mata pencaharian penduduk dari hasil industri kerajinan rumah tangga maka kebanyakan ibu rumah tangga bekerja pada industri tersebut (Sajogyo,2008). Industri rumah tangga kerajinan tedung di Desa Paksebali adalah salah satu industri rumah tangga yang ada di Kecamatan Dawan. Kebanyakan tenaga kerja yang dipekerjakan di industri kerajinan tedung ini adalah pekerja wanita. Mereka kebanyakan adalah ibu rumah tangga yang ikut membantu perekonomian keluarga. Mereka bekerja setelah selesai mengerjakan tugas pokoknya sebagai ibu rumah tangga. Hasil industri yang dihasilkan adalah tedung atau payung dan perangkat busana pura seperti ider-ider, pedapa, dan lontek. Untuk industri kerajinan tedung, tidak hanya pria saja yang terlibat didalamnya, tetapi semua anggota keluarga juga ikut berperan, baik istri maupun anak-anaknya. Wanita disamping bekerja sebagai ibu rumah tangga juga harus bekerja sebagai tenaga kerja pada industri rumah tangga . Oleh karena itu perlu dikaji sejauh mana peranan ibu rumah tangga dalam usaha meningkatkan pendapatan keluarga pada industri kerajinan tedung di Desa Paksebali Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu rumah tangga yang menjalankan usaha pengerajin tedung di Desa Paksebali Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung. Sampel dalam penelitian ini adalah semua ibu rumah tangga yang menjalankan usaha pengerajin Tedung di Desa Paksebali. Pengambilan data dilakukan dengan cara sensus, hal ini dilakukan karena jumlah populasi hanya 40 orang, sehingga sampel penelitian adalah total populasi (Sugiyono, 2009). Penelitian ini dilaksanakan di Desa Paksebali Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung dari bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2012. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan pengerajin dengan menggunakan daftar pertanyaan (pedoman wawancara), yang meliputi: keterampilan(X1), umur(X2), tingkat pendidikan formal(X3), curahan jam kerja(X4), motivasi(X5) dan pendapatan keluarga(Y). Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait dengan penelitian seperti Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Klungkung. 157
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Analisis Data Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peranan ibu rumah tangga dalam meningkatkan pendapatan keluarga pada industri rumah tangga kerajinan tedung di Desa Paksebali menggunakan persamaan regresi linier berganda yang secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = a0 + a1X1 + a2X2 + a3X3 + a4X4 + a5X5 dimana Y = Pendapatan Keluarga a0 = koefisien intercept a1,a2,a3 = koefisien regresi X1 = keterampilan X2 = umur (tahun) X3 = tingkat pendidikan X4 = curahan jam kerja X5 = motivasi Untuk mengetahui peranan Ibu rumah tangga dalam meningkatkan pendapatan keluarga dengan statistik deskriptif yaitu: 1). Rata-rata (Mean), 2).Median, dan 3). Modus Uji hipotesis yang digunakan adalah analisis korelasi ganda (R), Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independent (Xi) terhadap variabel (Y) secara serentak. Koefisien R ini menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara variabel independent secara serentak terhadap variabel dependent. Nilai R berkisar antara 0 sampai 1, nilai mendekati 1 berarti hubungan yang terjadi semakin kuat, sebaliknya nilai semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi semakin lemah (Dwi Priyanto, 2009). Analisis Determinasi (R2) dalam regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui persentase pengaruh variabel independent (Xi) secara serentak terhadap variabel independent (Y). Koefisien R2 ini, menunjukkan seberapa besar persentase variasi variabel independent yang digunakan dalam model mampu menjelaskan variasi variabel dependent. Nilai koefisien determinasi R2 adalah antara 0 - 1. Model ini dianggap baik apabila nilai koefisien determinasi R2 = 1 atau mendekati 1. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah para pekerja wanita (ibu rumah tangga) yang bergerak dibidang kerajinan tedung, dengan usia yang beragam. Usia 15 - 24 tahun ada 4 orang (10%), usia 25 - 34 tahun ada 16 orang (40%), usia 35 - 44 tahun ada 14 orang (35%), dan usia 45 – 55 tahun ada 6 orang (15%). Umumnya seseorang yang berada pada usia kerja yang produktif yaitu umur 15 tahun keatas, akan mampu menghasilkan lebih banyak daripada yang berada di luar usia kerja produktif. Umur juga sangat berpengaruh terhadap tingkat partisipasi kerja. Tingkat partisipasi kerja meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan kemudian menurun kembali menjelang usia pensiun atau usia tua. Dilihat dari pendidikan formal responden kebanyakan tamatan SMP (50%), SMA (20%) dan Sd (30%), hal ini dapat disimpulkan bahwa penduduk di Desa 158
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Paksebali memilih langsung bekerja dibandingkan dengan mengikuti pendidikan formal, mereka lebih suka dengan pendidikan informal yang dapat meningkatkan produktivitas di dalam membuat kerajinan tedung. Deskripsi Variabel-Variabel Penelitian Dari hasil penelitian bahwa keterampilan para pekerja wanita kerajinan tedung berpengaruh positif terhadap pendapatan keluarga. Dari 5 item pernyataan keterampilan pekerja wanita, seluruh item memiliki jawaban dengan respon yang positif, yaitu wanita ikut bekerja di sektor industri rumah tangga kerajinan tedung memerlukan keterampilan khusus direspon positif sebesar 90%, memahami cara mengerjakan kerajinan tedung dengan mudah dapat menciptakan kemampuan untuk berkreasi direspon positif sebesar 92,5%, kedisiplinan sangat diperlukan dalam pengerjaan kerajinan tedung agar dapat menghasilkan kerajinan yang berkualitas direspon sebesar 97,5%, keterampilan mutlak diperlukan dalam memulai industri rumah tangga kerajinan tedung direspon positif sebesar 97,5% dan keterampilan yang dimiliki wanita pengerajin tedung dapat meningkatkan pendapatan keluarga direspon positif sebesar 97,5%. Untuk itu keterampilan memang sangat diperlukan oleh para pekerja wanita sehingga mereka bisa menghasilkan kualitas kerajinan yang lebih bagus. Curahan jam kerja pekerja wanita kerajinan tedung berpengaruh positif terhadap pendapatan keluarga. Dari 5 item pernyataan curahan jam kerja pekerja wanita, seluruh item memiliki jawaban dengan respon yang positif, yaitu wanita ikut bekerja di sektor industri rumah tangga kerajinan tedung untuk menambah penghasilan keluarga direspon sangat setuju sebesar 62,5% dan setuju sebesar 37,5%, walaupun bekerja disektor industri rumah tangga kerajinan tedung masih dapat mengatur waktu untuk mengurus keluarga direspon positif sebesar 92,5%, wanita merasa senang dapat membantu suami/keluarga bekerja disektor industri rumah tangga kerajinan tedung direspon setuju sebesar 52,5% dan sangat setuju direspon sebesar 45%, wanita yang bekerja disektor industri rumah tangga kerajinan tedung tetap dapat mengurus suami dan anak-anaknya direspon setuju sebesar 25% dan sangat setuju direspon sebesar 67,5%, walaupun bekerja disektor industry rumah tangga kerajinan tedung masih dapat mengatur waktu untuk mengurus keluarga direspon setuju sebesar 42,5% dan sangat setuju direpon sebesar 55%. Dari hasil penelitian menilai bahwa motivasi berpengaruh positif terhadap pendapatan keluarga. Dari 5 item pernyataan motivasi pekerja wanita, seluruh item memiliki jawaban dengan respon yang positif yaitu keadaan ekonomi pekerja wanita yang memotivasi untuk bekerja direspon setuju sebesar 37,5% dan direspon sangat setuju direspon sebesar 60%, kebutuhan keuangan yang semakin meningkat merupakan faktor yang memotivasi untuk bekerja direspon setuju sebesar 30% dan direspon sangat setuju sebesar 65%, tempat kerja yang dekat dapat menciptakan kenyamanan dalam bekerja direspon setuju sebesar 45% dan direspon sangat setuju direspon sebesar 55%, bila pekerja mendapat kesulitan dalam mengerjakan tugas maka pekerja yang lain akan membantu direspon setuju sebesar 30% dan direspon sangat setuju sebesar 65%, tempat bekerja yang nyaman untuk mengerjakan kerajinan tedung direspon setuju sebesar 42,5% dan direspon sangat setuju direspon sebesar 55%.
159
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Pekerja wanita kerajinan tedung menilai bahwa aspek-aspek pendapatan keluarga telah dimiliki dengan sangat baik. Dari 5 item pernyataan pengukuran pendapatan keluarga seluruh item direspon dengan sangat positif, yaitu penghasilan sebagai pekerja pada kerajinan tedung dapat meningkatkan pendapatan keluarga direspon sangat setuju sebesar 55%, direspon setuju 42,5%, penghasilan yang didapat melalui kerajinan tedung dipergunakan untuk biaya pendidikan anak direspon setuju sebesar 35% dan direspon sangat setuju sebesar 57,5%, penghasilan dari kerajinan tedung cukup untuk pemenuhan kebutuhan keluarga direspon setuju sebesar 47,5% dan direspon sangat setuju sebesar 52,5%, pendapatan yang diperoleh sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan direspon setuju sebesar 22,5% dan direspon sangat setuju sebesar 70%, kerajinan tedung dapat membantu dalam meningkatkan pendapatan keluarga direspon setuju sebesar 35% dan direspon sangat setuju direspon sebesar 57,5%. Dari hasil wawancara yang lebih mendalam yang didapat dari ibu rumah tangga pada kerajinan tedung di Desa Paksebali terdapat tiga peranan, (item) jawaban yaitu sangat setuju, setuju dan ragu-ragu. Dari tiga peranan tersebut dapat dijabarkan secara kualitatif yaitu peran partisipasi, kewajiban dan peran ikut-ikutan. Peran partisipasi artinya bahwa ibu rumah tangga tersebut bekerja pada kerajinan tedung atas kesadaran dari dalam diri sendiri dan motivasi yang tinggi untuk ikut membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Peran partisivasi ini bisa dilihat dari hasil jawaban item sangat setuju ada sekitar 58,48%. Peranan kewajiban artinya bahwa ibu rumah tangga pada kerajinan tedung merasa berkewajiban untuk ikut bekerja mencari nafkah dalam meningkatkan pendapatan keluarga, walaupun sebenarnya dari dalam dirinya tidak ingin melakukan pekserjaan tersebut. Peranan kewajiban ini bisa dilihat dari hasil jawaban item setuju ada sekitar 37,37%. Peranan ikut-ikutan artinya bahwa ibu rumah tangga yang bekerja pada kerajinan tedung tersebut tidak mengetahui untuk apa mereka ikut bekerja tanpa tujuan yang pasti, mereka bekerja hanya sekedar menghabiskan waktu luang mengikuti teman-temannya. Pada peranan ini biasanya keadaan ekonomi keluarga ibu rumah tangga pada kalangan menengah keatas. Peranan ikut-ikutan ini dapat dilihat pada jawaban item ragu-ragu ada sekitar 4,25%.
Pengaruh Umur, Tingkat Pendidikan Formal, Keterampilan, Curahan Jam Kerja, Motivasi terhadap Pendapatan Keluarga pada Pekerja Wanita Kerajinan Tedung Hasil analisis regresi linier berganda pengaruh faktor umur, tingkat pendidikan formal, keterampilan, curahan jam kerja dan motivasi terhadap pendapatan keluarga pekerja wanita kerajinan disajikan pada tabel 01 berikut:
160
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 01. Hasil Analisis Regresi Pengaruh Umur, Tingkat Pendidikan Formal, Keterampilan, Curahan Jam Kerja dan Motivasi terhadap Pendapatan Keluarga Pekerja Wanita (Ibu Rumah Tangga) Kerajinan Tedung Variabel Keterampilan Umur Pendidikan Cur Jm Kerja Motivasi Konstanta R = 0,862 R² = 0,742 F = 19,67 Sig.F = 0,000
Koefisien -.013 -.241 .162 .340 .785 -5.734
Std Deviasi 3.379 .011 .141 .094 .142 .140
Nilai t -1.143 -1.712 1.726 2.394 5.624 -1.697
Signifikan .261 .096 .093 .022 .000 .099
Analisis korelasi ganda (R) sebesar 0,862 ini menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara variabel independen (Xi) secara serentak terhadap variabel dependen (Y). Nilai (R) 0,862 mendekati angka 1 ini menandakan hubungan yang kuat antara variabel umur, tingkat pendidikan formal, keterampilan, curahan jam kerja dan motivasi dengan variabel dependen (pendapatan keluarga). Secara simultan pengaruh pendapatan keluarga pekerja wanita kerajinan tedung dipengaruhi oleh faktor umur, tingkat pendidikan formal, keterampilan, curahan jam kerja dan motivasi adalah sebesar 0,742 atau 74,20% sedangkan sisanya 25,80% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dilibatkan dalam model ini, seperti partisipasi, status pekerjaan suami, pendapatan diluar kerajinan tedung ini. Faktor umur, tingkat pendidikan formal, keterampilan, curahan jam kerja dan motivasi secara bersama-sama sangat nyata pengaruhnya terhadap pendapatan keluarga pekerja wanita kerajinan tedung (Sig.F = 0,000). Faktor keterampilan tidak nyata pengaruhnya terhadap pendapatan keluarga namun faktor curahan jam kerja nyata pengaruhnya terhadap pendapatan keluarga pekerja tedung. faktor motivasi memiliki pengaruh yang paling tinggi terhadap pendapatan keluarga pekerja wanita (ibu rumah tangga) kerajinan tedung. Hasil analisis seperti tabel 01 diatas diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Y = -5,734 – 0,241(umur) + 0, 162 (pendidikan) – 0,013(keterampilan) + 0,340(curahan jam kerja) + 0,785(motivasi). Produktivitas seseorang bekerja sangat dipengaruhi oleh umur. Umumnya seseorang yang berada pada usia produktif antara 15 – 45 tahun akan mampu menghasilkan lebih banyak daripada yang berada di luar usia produktif. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin pintar orang tersebut sehingga dapat berkreativitas lebih tinggi dan bisa menghasilkan produksi lebih banyak. Demikian juga semakin terampil orang tersebut dapat menghasilkan produksi yang lebih banyak sehingga lebih tinggi juga pendapatan keluarganya. Sebaliknya semakin tidak terampil seseorang maka hasil produksi semakin sedikit. Begitu juga semakin lama curahan jam kerja maka semakin tinggi pula dapat hasil produksinya sehingga 161
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
lebih banyak mendapatkan pendapatan. Motivasi yang tinggi dalam bekerja akan sangat mempengaruhi hasil produksi sehingga pendapatan keluarga juga semakin tinggi. Kontribusi Pendapatan Pekerja Wanita Pendapatan Rumah Tangga
Kerajinan Tedung Terhadap
Dari hasil penyebaran kuisioner kepada responden pekerja wanita pendapatan pekerja adalah berkisar antara 1.050.000,- (satu juta lima puluh ribu rupiah) paling kecil ada sebanyak 20% dan 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) paling besar ada sebanyak 17,5%. Rata-rata pendapatan pekerja wanita kerajinan tedung adalah 1.278.750,- (satu juta dua ratus tujuh puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) Untuk lebih jelasnya pendapatan pekerja wanita kerajinan tedung dapat dilihat pada tabel 02. Tabel 02. Distribusi Pendapatan Pekerja Wanita Kerajinan Tedung di Desa Paksebali Kecamatan Dawan tahun 2012 Jml Pendapatan Per Bulan (dlm rupiah) 1.050.000,1.200.000,1.350.000,1.500.000,Total
Frekuensi (orang)
Prosentase (%)
8 10 15 7 40
20% 25% 37,5% 17,5% 100%
Sedangkan pendapatan keluarga pekerja wanita yang paling rendah perbulannya adalah 1.750.000,- (satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) ada sebanyak 10% dan yang paling tinggi pendapatan perbulannya adalah 2.400.000,-. Ada sebanyak 12,5%. Rata-rata pendapatan kepala keluarga pekerja wanita kerajinan tedung adalah 2.042.500,- (dua juta empat puluh dua ribu lima ratus rupiah. Untuk lebih jelasnya pendapatan keluarga pekerja wanita kerajinan tedung dapat dilihat pada tabel 03 Tabel 03. Distribusi Pendapatan Kepala Keluarga Kerajinan Tedung di Desa Paksebali Kecamatan Dawan tahun 2012 Jml Pendapatan Per Bulan (dlm rupiah) 1.750.000,1.800.000,2.100.000,2.400.000,Total
Frekuensi (orang) 4 8 23 5 40
Prosentase (%) 10% 20% 57,5% 12,5% 100%
Dari Tabel 02 dan tabel 03 dapat diketahui kontribusi pendapatan pekerja wanita kerajinan tedung terhadap penghasilan keluarga seluruhnya pada tabel 04. 162
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 04. Pendapatan Keluarga, Pekerja Wanita Kerajianan Tedung serta Kontribusinya terhadap Pendapatan Keluarga Pendapatan Pekerja Wanita Kepala Keluarga Keluarga Kontribusi (%)
Mean 1.278.750,2.042.500,3.321.250 38,50%
Median 1.275.000,2.075.000,3.350.000,38,06%
Minimum 1.050.000,1.750.000,2.800.000,37,50%
Maximum 1.500.000,2.400.000,3.900.000,38,46%
Berdasarkan Tabel 04 diatas dapat diinterpretasikan bahwa rata-rata pendapatan pekerja wanita kerajinan tedung per bulannya adalah 1.278.750, dengan kisaran rata- rata pendapatan terendah adalah sebesar 1.050.000,- sedangkan pendapatan yang tertinggi adalah 1.500.000,- angka tengah dari pendapatan pekerja wanita kerajinan tedung adalah 1.275.000, dan pendapatan yang paling tinggi tingkat frekuensinya adalah 1.350.000,Pendapatan total keluarga pekerja wanita kerajinan tedung rata-rata perbulan adalah 3.321.250,- dengan kisaran rata-rata pendapatan yang paling rendah mencapai 2.800.000,- dan yang paling tinggi adalah mencapai 3.900.000,-. Angka tengah dari pendapatan total keluarga pekerja wanita adalah 3.350.000,- dan pendapatan yang paling banyak frekuensinya adalah 2.100.000,-. Dilihat dari kontribusi pendapatan pekerja wanita kerajinan tedung terhadap total pendapatan keluarga per bulan rata-rata sebesar 38,50%, dengan kisaran yang paling rendah adalah 37,50% dan yang paling tinggi adalah 38,46%. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh antara peranan ibu rumah tangga kerajinan tedung terhadap pendapatan keluarga. Variabel yang diteliti adalah umur, tingkat pendidikan formal, keterampilan, curahan jam kerja dan motivasi. Kelima variabel secara simultan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga sebesar 74,2% dengan nilai R = 0,862 (Sig.F = 0,000). 2. Faktor umur, tingkat pendidikan, keterampilan, curahan jam kerja dan motivasi secara bersama-sama sangat nyata pengaruhnya terhadap pendapatan keluarga pekerja wanita kerajinan tedung. Faktor keterampilan (Sig. F = 0,261) tidak nyata pengaruhnya terhadap pendapatan keluarga dan faktor motivasi (Sig. F = 0,000) memiliki pengaruh yang paling tinggi terhadap pendapatan keluarga pekerja wanita (ibu rumah tangga) kerajinan tedung. 3. Terdapat pengaruh kontribusi pendapatan ibu rumah tangga kerajinan tedung dengan pendapatan keluarga. Rata-rata pendapatan ibu rumah tangga pekerja tedung per bulan adalah 1.278.750,- (satu juta dua ratus tujuh puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah), sedangkan pendapatan keluarga pekerja wanita kerajinan tedung seluruhnya rata-rata 2.042.500,-, maka kontribusinya adalah sekitar 38,50%, namun kalau dari penghasilan kepala rumah tangga kontribusinya sebesar 62,61%.
163
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
DAFTAR PUSTAKA Achmad, S, 2008, Wanita Dalam Pembangunan, Jakarta : Kantor Mentri Negara Urusan Peranan Wanita. Ardana, K, 2008, Perilaku Keorganisasian, Yogyakarta: Graha Ilmu Bambang, J, 2009, Metode Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Jakarta : PT Bumi Aksara. Dwi Priyanto, 2009, Mandiri Belajar SPSS, Jogyakarta : Mediakom. Elizaberth, R., 2008, Peranan Ganda Wanita Tani dalam mencapai Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan. Fakih, M., 2010, Analisis Gender Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insistpres. Gujarati, 2007, Dasar-Dasar Ekonometrika. Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Erlangga. Gordon, 1994, Dasar-Dasar Ilmu Perilaku. Edisi Pertama, Jakarta: Rineka Cipta. Kartasasmita, G, 2006, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta CIDES. Luthan, 2008. The Effect of Market Orientation on Product Innovation, Journal of The Academy of Marketing Science, (alih Bahasa Bangbang Sarwiji). Jakarta: Penerbit Salemba Empat Mantra, 1985. Pengantar Studi Domografi, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Martiningsih, E, 2011, Perempuan Bali Dalam Ritual Subak, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Mudiono, 2004, Profil Industri Kecil Yogyakarta : Aditya Media bekerjasama dengan jurusan Sosiatri Fakultas Sosial Ilmu Politik Universitas Gajah Mada. Mulyo, 2003, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Notoatmojo, S, (2010) Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta, Rineka Cipta. Sajogyo, 2008, Peranan Wanita Dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Rajawali, Jakarta. Soekamto, S., 2008, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press. Sudarmini, N,N, 2006, Peranan Pekerja Perempuan dalam Menunjang Pendapatan Keluarga pada Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga di Kabupaten Gianyar. Denpasar : Universitas Udayana. Sugiono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung Alfabeta. Sumarsono, 2005, Peranan Wanita Nelayan Dalam Kehidupan Ekonomi Keluarga Di Tegal, Jawa Tengah. Eka Putri, Jakarta. Sumodiningrat, G, 2009, Pemberdayaan Masyarakat dan JPS, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Suratiyah, 2008, Peranan Wanita Dalam Pengambilan keputusan dalam Agro Ekonomi, Jurnal Sosek Vol.V/No.1 Des/2008. Trihendradi, 2009. 7 Langkah Mudah Melakukan Analisis Statistik menggunakan SPSS 17, Jogyakarta : Andi. Yusup, P, 2008, Karakteristik Dinamis Peran Ganda Wanita. (Online). (http://ejournal.unud.ac.id, diakses 23 Desember 2012).
164
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
MEMBANGUN KEBERDAYAAN EKONOMI DI TENGAH KETIMPANGAN GENDER (Studi Gerakan Perempuan Desa Membangun Kemandirian Ekonomi) Borni Kurniawan & Dina Mariana Researchers Institute For Research And Empowerment (IRE) Yogyakarta *Corresponding author email :
[email protected] ABSTRACT Women are a powerful creature. The double role was done. Work in the public sector was taken. The domestic sector was never left out. But, when related to the poverty and development discourses, women become to the most vulnerable groups. Women experience marginalization and gender injustice. The development which is permissive to the flow of capital to village eliminates women's accessibility to the basic needs that exist in the natural resources of village. The working worlds are also still not shown the equality in establishing job role between men and women. As a result, women are always in the minor position. Be thankful that in the part of the Nationwide there are still women village movements that build economic empowerment from inside so that the gender inequality gap can be minimized. The strategies that they employ to build a collective consciousness, economic networks, until the resistance to the market hegemony finally bear sweet fruit, where the women finally can enjoy the village resources. Keywords: poverty, gender inequality, local economy PENDAHULUAN Tulisan ini merupakan perluasan dari sebuah naskah yang pernah digunakan IRE untuk mempengaruhi pembahasan RUU Desa dalam bentuk policy brief. Pembentukan naskah tersebut berlatarkan serangkaian penelitian lapangan dan kajian literatur terhadap karya-karya pemberdayaan yang diperankan ACCESS ( Singkatan dari Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme). ACCESS adalah nama sebuah program inisiatif pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia melalui Australian Agency for International Development (AusAID). Tulisan ini berupaya memberikan sentuhan kembali dengan menyulam beberapa kajian teori, dan fakta-fakta terbaru sehingga kian memperkuat pemetaan masalah serta tawaran strategi pengembangan ekonomi lokal, khususnya bagi kalangan perempuan. Pembangunan, Pasar dan Perempuan Berdasarkan data BPS (2011), 63% penduduk miskin berada di desa. Bicara soal kemiskinan di desa, perempuan menjadi kelompok paling rentan. Secara umum, dilihat dari perspektif IPG (Indeks Pembangunan Gender), menurut badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA), IPG Indonesia mengalami peningkatan. Namun jika dilihat dari indikator-indikator komposit penyusun IPG sendiri, masih terdapat kesenjangan yang cukup curam antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam hal pendapatan karena jumlah upah yang diterima pekerja perempuan hanya berkisar 50 persen dari jumlah 165
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
upah pekerja laki-laki. Dilihat dari Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) atau Gender Empowerment Measurement (GEM) nilainya meningkat setiap tahun, namun tidak signifikan. GEM diukur berdasarkan angka partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan. Berdasarkan catatan BPS dan KPP&PA, GEM Indonesia meningkat dari 0,623 pada tahun 2008 menjadi 0,635 pada tahun 2009. Walaupun demikian, dalam pandangan pemerintah sendiri, angka tersebut masih mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan, ekonomi dan politik belum naik secara berarti. Di bidang ketenagakerjaan praktik subordinasi perempuan masih kental terlihat. Pembagian peran dalam sebuah rantai produksi secara umum masih didominasi pekerja laki-laki. Dominasi laki-laki atas perempuan dalam area kerja formal tersebut pada umumnya dipengaruhi kualitas pendidikan dan keterampilan pekerja perempuan yang lebih rendah dibanding pekerja laki-laki. Masih sedikit perempuan yang menduduki posisi-posisi penting dalam sebuah mata rantai produksi, termasuk juga struktur organisasi perusahaan tempat mereka bekerja. Hasil studi Cifor (2008) tentang pembagian peran dalam mata rantai produksi industri mebel di Jepara antara pekerja laki-laki dan perempuan memperlihatkan adanya ketimpangan. Tepatnya, dominasi peran laki-laki atas perempuan. Simak bagan dibawah ini; Pembelian Kayu
Penggergaji an
Ngemal dan Pemotongan Pengukiran
Pengerjaan Komponen Penyetelan
Finishing Sumber: Gender Study Cifor Presentation, 8 Desember 2009, dalam Legowo, et all, 2011
166
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Dalam rantai produksi kayu di Jepara sebagaimana tergambar pada figur diatas, sangat terlihat bahwa pekerja perempuan menduduki posisi pada dua unit produksi yakni unit pengukiran dan finishing. Padahal pekerja perempuan memiliki potensi dan hak yang sama dengan pekerja laki-laki. Perempuan memiliki kepampuan untuk melakukan tugas pembelian kayu. Perempuan bahkan juga mempunyai kemampuan untuk menggergaji kayu. Relasi pembagian kerja yang sudah berlangsung lama di sektor industri kayu di Jepara ini menunjukkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan didalamnya. Padahal, jenis pekerjaan tidak memiliki jenis kelamin. Artinya, laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan hak yang sama untuk mengerjakan jenis pekerjaan apapun. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan dalam sektor industri ini juga berlaku pada alokasi waktu kerja. Kesimpulan ini dapat kita telusuri pada hasil penelitian Murdianto (1999, dalam Hasanaudin, 2009). Hasanudin, melakukan studi gender dalam rumah tangga pengrajin gula aren lahan kering di Jawa Barat. Perempuan (istri) kebanyakan terlibat pada pada proses produksi yang banyak membutuhkan energi. Dengan menghitung alokasi waktu kerja, Hasanudin menyimpulkan bahwa curahan waktu total perempuan di sektor industri gula aren mencapai 2,5 kali lipat laki-laki. Di sektor industri tembaga kuning di desa Cepogo, Boyolali menunjukkan kondisi sebaliknya. Surahan waktu dari pekerja laki-laki mencapai 6 jam, sedangkan pekerja perempuan hanya 2 jam. Namun di sisi lain, perempuan harus mengerjakan semua urusan domestik rumah tangga, seperti mencuci, momong anak, memasak, mengambil air dan lain sebagainya (Hasanudin dan Maulana, 2009) Proses pembangunan diharapkan mampu melahirkan pertumbuhan, sehingga masyarakat dapat berproduksi untuk meningkatkan pendapatan. Dengan pendapatan, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya hingga mencapai kebahagiaan. Demikianlah, tujuan ideal penyelenggaraan pembangunan ekonomi. Namun, tidak selamanya pembangunan ekonomi selalu dapat memenuhi harapan masyarakat. Konsep pembangunan berorientasi pemusatan pertumbuhan di kota, yang pada awalnya dicanangkan sebagai skenario mengurangi penumpukan lapangan kerja di desa, ternyata hanya melahirkan buruh-buruh perusahaan berkualitas rendah. Transfer tenaga kerja dari desa ke kota yang menurut W. Arthur Lewis dimaksudkan untuk mengurangi zero marginal labor productivity (surplus labor) di satu sisi telah mengurangi penumpukan tenaga kerja di sektor ekonomi tradisional (subsistence). Tapi di sisi lain, dukungan sektor pendidikan yang masih melahirkan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, mengkondisikan desa menjadi semacam rumah produksi tenaga kerja perempuan yang berkualitas rendah. Karena kesempatan bersekolah perempuan lebih rendah dari laki-laki, akibatnya tidak sedikit tenaga kerja perempuan yang menerima gaji dibawah standar hidup layak. Urbanisasi di satu sisi berhasil. Pendapatan (income) sebagian penduduk meningkat sehingga sirkulasi transfer uang dari kota ke desa pun berlangsung cepat dan dalam jumlah yang tidak sedikit. Kesejahteraan penduduk desa terdongkrak karena derasnya arus remitensi dari kota ke desa. Tapi di sisi yang lain, arus modal dari kota ke desa menyebabkan berkurangnya kepemilikan aset warga desa karena beralih kepemilikian dari hak milik warga desa menjadi hak milik warga di kota ataupun swasta. Arus modal ke desa telah membuka ekspansi pasar yang semakin meluas. Privatisasi air yang akhir-akhir ini marak (misalnya kasus pembangunan perusahaan air minum kemasan di Sukabumi) secara nyata telah mengurangi 167
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
aksesibilitas perempuan terhadap air bersih. Padahal, air bersih adalah hak dasar yang sangat vital terutama bagi perempuan. Proyek-proyek raksasa bidang perkebunan sawit di Sumatera dan sebagian wilayah Kalimantan secara tidak langsung memutus akses perempuan terhadap air. Sifat tanaman sawit yang memiliki membutuhkan banyak air, secara otomatis menurangi sumber-sumber air rumah tangga-rumah tangga sekitar perkebunan. Kelompok paling rentan terkena dampak buruk ini tidak lain perempuan. Dalam pandangan kaum feminis sosialis kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Salah satu tokohnya, Nancy Fraser di Amerika Serikat mencotohkan keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Menurutnya, untuk memeranginya bisa dilakukan dengan menghapus kapitalisme dan system patriarki (Misiyah. 2006) Dalam konteks di Indonesia, SME sekilas tampak jelas dalam relasi Finance perempuan dan laki-laki dalam (Commer rantai produksi industri ukir di cial Jepara diatas. Dalam kebanyakan Banks, Le perusahaan, pekerja-pekerja asing) MicrofinanceOriented perempuan selalu dipimpin oleh Banks (BPR) laki-laki. Sekembali dari pabrik, para pekerja perempuan, juga Non-Bank Microfinace kembali di rumah dan dipimpin (Koperasi, LKM) seorang laki-laki mengerjakan urusan-urusan domestik. Business-Linked Credit (suppliers, buyers)
Desa memiliki alat produksi yang cukup melimpah, Informal Loans/Capital (teman/saudara, money lenders) minimal sumber daya alam dan tenaga kerja. Tapi, desa tidak memiliki alat produksi yang lainnya seperti modal dan teknologi. Disamping ketercukupan akses infrastruktur pedesaan, ada beberapa constraint yang dihadapi desa sehingga masyarakat didalamnya sulit meningkatkan kapasitas produksinya. Pertama, kekuatan modal supradesa jumlahnya lebih besar dan dengan mudah mematahkan tata organisasi dan kelembagaan ekonomi yang dibangun oleh masyarakat desa. Kelembagaan ekonomi supradesa memiliki akses yang lebih besar terhadap pasar maupun kebijakan ekonomi. Akibatnya, skema penawaran dan permintaan atas komoditas ekonomi pedesaan selalu dalam kuasa mereka. Selain itu ketersediaan informasi dan akses desa terhadap pasar juga lemah, sehingga daya tawar diatas panggung transaksi pasar pun lemah. Kedua, ketika permintaan pasar meningkat terhadap komoditas pasar pedesaan baik dari sektor farm maupun non farm, masyarakat desa tidak memiliki kemampuan untuk menggenjot permodalan. Alih-alih meminjam kepada bank komersial menjadi pilihan terakhir. Tetapi, prasyarat peminjaman yang dibuat pihak bank-bank komersial acapkali memberatkan mereka. Akhirnya, mau tidak mau para pelaku ekonomi di desa merelakan diri terjebak dalam permainan rente pasar yang dimainkan oleh lembaga-lembaga 168
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
permodalan illegal (bank titil, bank subuh, dll) dan para tengkulak. Dengan kata lain pembiayaan ekonomi secara mandiri banyak didominasi oleh antarpelaku ekonomi pasar yang sudah jelas memiliki kapasitas modal lebih besar. Sementara, bagi para pelaku ekonomi di desa lebih memilih agency seperti teman, keluarga, money lender, tengkulak, pembeli (buyer), koperasi dan lembaga keuangan mikro. Para pelaku ekonomi desa sangat sulit menembus lembaga-lembaga keuangan yang gradasinya lebih tinggi seperti bank-bank yang berorientasi pada keuangan mikro dan bank-bank komersial. Piramida diatas, kiranya dapat memvisualisasikan bahwa persentase aksesibilitas pelaku ekonomi desa terhadap modal, terutama yang diselenggarakan lembaga-lembaga perbankan semakin mengecil. Sebaliknya jejaring perkawanan, persaudaraan menjadi pilihan paling jamak dipilih masyarakat desa. Kegagalan Program Pemodalan dari Atas Upaya keluar dari kemiskinan dengan cara membangun akses permodalan bagi pengusaha kecil sebenarnya seringkali dilakukan pemerintah. Salah satu program tersebut yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sayangnya, visualisasi yang tertampil dari program tersebut malah memantulkan cerita negatif. Namun demikian secara tidak langsung menampilkan pembelajaran berharga untuk merevisi program-program alokasi pinjaman modal kepada pelaku ekonomi kecil di desa. Menurut Dhorifi Zumar (2009), ada beberapa kelemahan atas KUR; Pertama, yang paling menonjol dan kasat mata adalah penyaluran yang kurang tepat sasaran. Beberapa kasus, KUR diberikan kepada pengusaha yang sebetulnya tidak terlalu membutuhkan pinjaman KUR. Justru bagi pengusaha yang sangat membutuhkan sulit mengaksesnya lantaran tidak adanya hubungan emosional/kekerabatan dengan sang pejabat/petugas bank pelaksana (BRI, BNI, BTN, Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin). Dalam konteks ini sebenarnya dapat kita lihat bahwa lembaga perbankan yang ditunjuk belum menjalankan fungsinya secara profesional yang seharusnya menanggalkan faktor kekerabatan dan hubungan patron klien dalam melayani masyarakat. Kedua, pihak bank pelaksana seringkali memberikan syarat agunan tambahan dan mematok bunga di atas 24%. Padahal KUR jelas tanpa agunan karena ia sendiri telah dijaminkan oleh pemerintah kepada PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Sarana Pengembangan Usaha (SPU) sebesar Rp 1,4 triliun. Contohnya, ada beberapa bank pelaksana yang mensyaratkan debiturnya untuk menyerahkan sertifikat tanah/rumah maupun BPKB mobil/motor. Sementara bunga KUR sudah ditetapkan pemerintah maksimal 16% per tahun. Ketiga, proses pencairannya lambat dan terkesan berbelit-belit administrasinya. Ada kecurigaan bahwa prinsip ―kemudahan‖ dan ―kecepatan‖ pada KUR diselewengkan alias tidak diindahkan oleh pihak bank pelaksana. Pihak bank masih saja terjebak pada persyaratan adminsitrasi yang berbelit dan waktu pengucuran yang sangat lama. Padahal UMKM memerlukan akses yang cepat dan tidak berbelit. Keempat, penyaluran KUR disinyalir tidak merata ke seluruh segmen penerima, alias ada segmen tertentu yang menjadi penikmat terbesar sementara segmen yang lain tidak. Segmen pengusaha menengah dan koperasi yang jumlahnya minoritas, misalnya, malah menjadi penikmat terbesar. Sedangkan segmen pengusaha mikro dan kecil yang mayoritas justru menjadi penikmat terkecil. Populasi UMKM di Indonesia saat ini berjumlah sekitar 50 juta unit, terdiri dari 47.702.310 unit usaha mikro, 2 juta unit usaha kecil, dan 120.000 unit usaha menengah. Adapun koperasi berjumlah 144.527 unit. 169
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Potensi Ekonomi Kaum Perempuan Dalam arena pasar tiga sektor, negara berkontribusi terhadap produktifitas ekonomi suatu negara. Pengeluaran pemerintah (government expenditure) membawa dampak positif terhadap geliat ekonomi. Perempuan sering menjadi agency (subyek) belanja pemerintah dalam bentuk program-program penguatan kapasitas dengan tujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga pelaku ekonomi desa, terutama perempuan mampu bersaing dalam memperoleh keuntungan pasar. Pemerintah mempunyai pandangan bahwa perempuan merupakan sumber kemiskinan, sekaligus juga potensi dan kekuatan untuk keluar dari kemiskinan. Karena itu kebijakan dan program pemerintah lebih fokus ke perempuan. Namun pemberdayaan yang dijalankan hanya menempatkan perempuan sebagai penerima manfaat atas kredit dan pelatihan. Ruang-ruang partisipasi juga dibuka untuk kaum perempuan, dengan skema invited participation. Tidak sedikit program-program penyaluran kredit modal yang diselenggarakan pemerintah ditujukan kepada perempuan sebagai penerima manfaatnya. Tapi, dalam perjalanannya, pemerintah tidak memback up atau mendampingi secara serius terhadap para penerima modal (yang kebanyakan berbentuk pinjaman bergulir), sehingga modal berputar sebagaimana diharapkan yakni meningkatkan produksi, pendapatan, dan daya beli masyarakat. Sebaliknya, pemberdayaan yang hakiki terhadap penerima manfaat (berkait dengan kekuasaan, kesadaran, kemauan dan kapasitas) kurang diperhatikan. Kultur birokrasi yang menempatkan program dan kegiatan sebagai proyek menjadi pangkal buruknya implementasi program dan pemberdayaan ekonomi untuk perempuan. Alih-alih ketika masyarakat mampu membangun kemandirian ekonomi dari dalam, kebijakan ekonomi yang diselenggarakan pemerintah malah cenderung menghambat kecepatan pertumbuhannya. Pengadaan barang dan jasa misalnya, sebagai sebuah mekanisme pasar yang diselenggarakan pemerintah, acapkali melalaikan keikutsertaan masyarakat ekonomi bawah. Padahal, keikutsertaan pelaku ekonomi kecil akan mempercepat perputaran penjualan komoditas lokal, sehingga akan mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat desa (tabungan dan investasi). Industri rumahan adalah salah satu ciri geliat perekonomian desa. Aktor penggeraknya pada umumnya adalah kaum perempuan. Di Kupang, menurut data BPS setempat pertumbuhan rata-rata industri rumah tangga dari antara tahun 20072009 diatas rata-rata 90% (tabel 1). Angka ini menunjukan keikutsertaan yang luar biasa dari kaum perempuan dalam menggerakan ekonomi daerah, bahkan nasional. Tabel 1 Persentase Jumlah Industri Rumah Tangga di Kabupaten Kupang Tahun Persentase 93,06% 2007 93,04% 2008 92,70% 2009 Sektor ekonomi informal yang banyak tumbuh di desa dan digerakkan oleh perempuan seharusnya bisa dijadikan kekuatan dalam menggerakkan ekonomi perdesaan guna menjawab masalah kemiskinan. Akan tetapi, berdasarkan data 170
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Women’s World Banking, dana mikro kredit yang baru dikucurkan oleh pihak perbankan kepada perempuan di Indonesia masih berkisar 7% dari jumlah keseluruhan nasabah (Jurnal Perempuan, 2005). Data ini menggambarkan betapa masih lemahnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, meski di satu sisi ada data lain yang menunjukkan bahwa 46,23% pelaku ekonomi adalah perempuan. Artinya, ada kontradiksi antara kebutuhan dan kapasitas perempuan dengan kesempatan yang didapatkan perempuan. Perempuan belum dilihat sebagai potensi besar dalam menggerakkan ekonomi masyarakat mengingat konstruksi sosial yang masih bias gender. Muhammad Yunus, peraih nobel ekonomi dan pendiri Grameen Bank seringkali menyampaikan bahwa tidak mungkin berbicara kemiskinan jika tidak melibatkan perempuan. Perempuan dilihat sebagai peminjam produktif yang mampu menggunakan uangnya untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan, hal yang sama justru tidak terjadi pada laki-laki. Membangun Keberdayaan Modal Secara Mandiri Mencermati kegagalan program-program permodalan untuk rakyat diatas salah satu benang merah penyebab yang mungkin baik untuk kita cermati adalah bahwa program yang driven from the top cenderung tidak mampu beradaptasi atau bahkan abai terhadap modal sosial yang hidup di masyarakat. padahal, modal sosial jika diramu dan dioptimalkan dengan baik bukan tidak mungkin akan melahirkan cerita sukses sebagaimana diharapkan program bersangkutan. Salah satu pelajaran berharga yang dapat kita tarik dari cerita-cerita lokal keberhasilan program pemberdayaan masyarakat lokal di Indonesia timur oleh ACCESS adalah perempuan menjadi sentral pemberdayaan ekonomi dan kemampuan beradaptasi dengan modal sosial yang berkembang di desa. Pertama, ACCESS merekognisi organisasi di desa yang pada umumnya masih berkarakter tradisional dan komunal dengan menyemai kader-kader pembangunan untuk membangun kesadaran dari dalam sebagai langkah awal penyiapan menghadapi hempasan ekonomi pasar modern. Kedua, ACCESS membangun organisasiorganisasi rakyat (OR) atau Community Center (CC) sebagai jembatan penghubung yang kritis antara masyarakat (public) dengan pengampu kebijakan, sehingga masyarakat akan dapat dengan mudah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah di tengah kelangkaan lembaga pengaduan atas penyelenggaraan layanan publik di daerah. OR maupun CC ini, kebanyakan tumbuh diatas inisiasi kaum perempuan desa. Ketiga, OR-OR maupun CC yang tumbuh memperkuat kekuatan ekonomi warga sekalipun dengan langkah tradisional seperti arisan dan kegiatan simpan pinjam. Sejumlah perempuan di Lombok Tengah mengorganisisir diri dalam sebuah asosiasi yang kemudian diberi nama Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). ASPPUK sejak Tahun 1994 melakukan proses pemberdayaan Perempuan Usaha Kecil (PUK) tidak hanya untuk isu ekonomi, melainkan juga sosial dan politik di 22 provinsi termasuk Kabupaten Kupang. KPUK lahir dari kebutuhan PUK untuk memiliki wadah bersama. Segala kebijakan kelompok ditentukan oleh anggota sesuai dengan tujuan dan kapasitas mereka. KPUK tidak melakukan penyeragaman atas komoditas ekonomi anggotanya, sehingga menghasilkan warna organisasi pelaku ekonomi kecil desa yang beragam baik dari jenis barang atau jasa yang ditawarkan maupun dari aspek gradasi kepemilikan modalnya. Aturan main yang lebih fleksibel ini lah yang membuat banyak PUK tertarik untuk bergabung dalam KPUK. Dari awal 171
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
pembentukkannya hingga saat ini, jumlah KPUK di dua kabupaten ini terus berkembang, dan perkembangan yang paling pesat memang terjadi setelah masuknya program ACCESS Tahap II di masing-masing daerah yang turut mendorong penguatan local economic development (LED). Tabel 2 Perkembangan JarPUK di Kabupaten Kupang dan Lombok Tengah JarPUK 2001 2003 2006 2009 2010 2011 2012 PUK 30 11 96 145 164 JarPUK Rindang KPUK 160 1179 1745 269 180 JarPUK Ina PUK Fo’a KPUK 13 20 PUK 11 500 JarPUK Fetohamutuk KPUK 109 Ada beberapa langkah yang ditempuh ASPPUK dalam upaya mencukupi kebutuhan fungsi produksi ekonomi yang dijalankan anggota-anggotanya. Pertama, memperkuat kelembagaan melalui pelatihan managemen organisasi. ASPPUK mendorong agar kelembagaan KPUK mampu menjadi kuat sebagai modal dasar untuk pengembangan usaha. KPUK dikenalkan dengan managemen kelompok, managemen keuangan, pembuatan kebijakan organisasi serta penyusunan program kerja dan strategi usaha menjadi pengetahuan-pengetahuan dasar yang diberikan kepada kelompok. Kedua, memberikan bekal pengetahuan yang cukup tentang keuangan dan modal, agar PUK memiliki inovasi dan kreasi dalam menjawab persoalan finansial yang mereka hadapi baik secara individu maupun kelompok. KPUK diajak untuk memetakan potensi yang mereka miliki untuk dapat diolah menjadi modal guna menjawab kebutuhan para anggotanya. Ketiga, memperkuat kapasitas dengan pelatihan keterampilan serta penularan pengetahuan. Setelah organisasi tertata dan memiliki modal, pekerjaan selanjutnya adalah memperkuat kapasitas dari PUK terutama terkait dengan produksi. Anggota KPUK tidak selalu memiliki keterampilan yang mumpuni dalam hal produksi, dan tidak sedikit dari mereka yang hanya menjalankan usaha dengan keterampilan seadanya. Berjualan atau berdagang dinilai tidak membutuhkan keterampilan khusus dan hanya membutuhkan modal yang kecil, berbeda dengan mereka yang bekerja dalam bidang kerajinan. Akan tetapi ada kesadaran untuk bergerak maju, sehinggaantar anggota atau kelompok saling bertukar pengetahuan sehingga dapat meningkatkan kapasitas dari anggota KPUK. Keempat, memperkuat proses produksi. Proses produksi adalah bagian penting dalam kegiatan KPUK, mengingat pada tahap ini lah para PUK menghasilkan produk yang nantinya akan mereka pasarkan. Produk PUK diharapkan memiliki kualitas yang baik, sehingga ke depan dapat dipasarkan dengan harga yang layak. Kelima, memberikan pengetahuan tentang jaringan dan pasar dengan harapan jaringan dan pasar yang sudah terbentuk kuat akan membantu proses pemasaran yang seringkali menjadi faktor penghambat bagi usaha kecil. Jaringan dapat dibangun dengan pemerintah lokal, pihak swasta maupun kelompok-kelompok lain yang strategis. Sedangkan untuk pasarnya, ASPPUK juga memiliki jaringan yang dibangun bahkan hingga tingkat nasional, dan juga memiliki koperasi yang bisa dimanfaatkan untuk pemasaran produk PUK. Selain itu juga dilakukan promoting melalui berbagai event yang bekerjasama dengan pihak lain. 172
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Di Takalar terdapat organisasi ekonomi bernama Kelompok Usaha Perempuan (KUP). Pada fase-fase awal berdirinya, KUP Abbulosibatang mengalami kesulitan modal. Sekali lagi, hal ini tentu merupakan constraint yang jamak dihadapi kelompok usaha ekonomi kecil dan menengah. Berbekal pengelolaan modal sosial a la petani garam, anggota KUP Abbulosibatang yang baru berjumlah 29 orang (22 perempuan dan 7 laki-laki) menyiasati keterbatasan modal usaha tersebut dengan cara mengumpulkan modal melalui sebuah sistem permodalan sebagaimana yang lazim digunakan dalam koperasi. KUP memberlakukan kebijakan simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela. Akhirnya, terkumpul dana awal sebesar Rp. 440.000,-. Setelah diputar melalui sistem simpan pinjam, dalam kurun waktu 15 bulan, KUP Abbulosibatang sudah memiliki asset sebesar Rp. 6.508.000,-. Seiring berjalannya waktu KUP Abbulosibatang telah menjadi akses keuangan alternatif di tengah praktik bisnis uang yang diperankan lembaga keuangan komersial. KUP menyelenggarakan prosedur peminjaman yang mudah, bunga yang ringan kepada anggotanya. KUP tidak mengharuskan anggotanya agar bersusah payah menyediakan agunan jika hendak meminjam. Kebijakan bunga pinjaman yang hanya 1% juga kian meringankan anggota KUP. Kemudahan dan keringanan prasyarat seperti ini tidak dimiliki lembaga-lembaga keuangan supradesa. Daeng Salle seorang anggota KUP setempat menyatakan kemanfaatan yang diterimanya setelah ada KUP Abbulosibatang sebagai berikut; “...dulu untuk membeli seliter beras yang harganya Rp. 5.800,00/kg, orang harus menjual garam sekarung yang berisi sekitar 60 kg. Sekarung garam sudah dibeli oleh tengkulak atau semacam rentenir yang membeli pada saat panen, dan mengambil dari gudang menunggu saat harga garam naik. Tengkulak itu bisa memperoleh keuntungan 5 kali lipat. Pada saat kondisi memprihatinkan tersebut datanglah Yayasan Buana Samborita yang memfasilitasi untuk membuat kelompok. Kelompok tersebut terbentuk dengan beranggotakan 29 orang, mereka diajak untuk beriuran wajib, suka rela dan menabung, modal awal terkumpul sekitar Rp. 440.000,00. Dana yang terkumpul diputar sebagai modal untuk anggotanya. Petani garam Taipa tidak lagi menjual hasil panennya pada tengkulak, tetapi menunggu harganya tinggi, capaian mereka bisa berkali-kali lipat dari tahun sebelumnya bisa mencapai Rp. 7.085.000,00/karung. Saat ini asset kelompok mencapai hampir Rp. 7.000.000,00. Usaha KUP Abbulosibatang mampu memotong jeratan tali rentenir. Langkah penyediaan permodalan ekonomi secara mandiri juga diperankan masyarakat desa Lapandewa di kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Untuk menopang keberdayaan pembiayaan usaha ikan, kelompok tani nelayan Kaombo Labukutorende di desa Lapandewa membangun bank desa yang tentu tidak seideal bank-bank komersial pada umumnya. Pelan tapi pasti, kelompok tani nelayan ini berkembang pesat. Semula, pada 2010, anggotanya hanya 15 orang dengan modal awal Rp. 370.000,-. Tapi sekarang, jumlah anggotanya mencapai ratusan. Pada tahun 2011 anggotanya mencapai 149 orang (99 orang perempuan dan 50 orang laki-laki) dengan perkembangan aset modal mencapai Rp. 61.643.500,-. Bahkan menurut penuturan seorang informasinya, pada tahun 2012, aset modal telah mencapai Rp. 200.000.000,-. Sekalipun hanya kegiatan simpan pinjam, OR-OR di desa-desa wilayah kerja ACCESS tersebut sebenarnya dapat kita sepadankan dengan praktik pembiayaan usaha model Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Dalam kegiatannya, LKM 173
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
menyediakan jasa keuangan, terutama simpan pinjam, kredit dan jasa keuangan lainnnya yang dibutuhkan dan diperuntukkan bagi keluarga miskin berpenghasilan rendah. Keluarga miskin yang dimaksud juga mereka yang tidak memiliki akses terhadap bank komersial. Kemanfaatan kelembagaan-kelembagaan ekonomi simpan pinjam di desa-desa wilayah kerja ACCESS bagi masyarakat desa seirama dengan pengalaman Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali atau LKM lain daerah yang berbeda. LKM mampu menyalurkan dana pinjaman tidak besar namun berkelanjutan. Disamping karena rendahnya aksesibilitas warga miskin di desa terhadap bank komersil, ada beberapa keunggulan aspek yang dimiliki OR, hingga mengapa jasa simpan pinjam banyak menjadi pilihan layanan sosialnya. Pertama, OR memiliki informasi lebih banyak dan beragam tentang kondisi masyarakat desa sebagai calon atau nasabahnya dibandingkan bank-bank komersil yang berada di luar teritori desa. Petugas atau anggota OR dengan mudah saling berkunjung dan berinteraksi sehingga mendapatakan informasi yang cukup detail tentang realitas kemiskinan dan kemampuan ekonomi warga miskin di desa terkait. Kedua, kegiatan simpan pinjam di desa tidak membutuhkan banyak biaya administrasi maupun operasional yang tinggi. Salah satunya karena cakupan wilayah kerja yang kecil dan tidak membutuhkan teknik administrasi yang tumit sebagaimana bank komersil. Kesederhanaan operasi administrasi ini tentu tidak menuntut OR bersangkutan untuk menyediakan tenaga kerja dengan basic keterampilan dan pengetahuan formal yang tinggi (high educated labor). Ketiga, kegiatan simpan pinjam untuk masyarakat desa tidak menuntut aturan baku, formal dan ketat sehingga dapat beradaptasi dengan kehendak pasar. Dampak positifnya adalah kompetisi non-harga dapat ditekan hingga ke tingkat optimal. Keempat, tidak ada kewajiban bagi penyelenggara simpan pinjam untuk menyediakan dana atau modal cadangan (reserve requirements) sebagaimana diterapkan pada bankbank komersil. KESIMPULAN Perempuan adalah aktor strategis dalam menjawab kemiskinan. Peran ini harus didukung oleh pemerintah dengan membuat kebijakan-kebijakan responsive gender. Ada beberapa pembelajaran berharga yang dapat kita tarik dari cerita-cerita sukses gerakan ekonomi perempuan dari desa-desa di atas. 1. Gerakan ekonomi perempuan yang tumbuh dari dalam memiliki imunitas kelembagaan yang baik karena ditopang oleh konsensus dan kearifan-kearifan lokal dibanding dengan gerakan-gerakan perempuan yang digerakan dari atas (state driven). Ada baiknya pemerintah merekognisi dan memfasilitasi gerakangerakan ekonomi yang tumbuh dari bawah tersebut misalnya melalui penguatan modal untuk membiayai fungsi produksi ekonomi yang diperankan usaha kecil menengah di desa. Dalam inisiatif ini, pemerintah dapat memerankan organisasi rakyat yang ada tanpa harus membentuk kelembagaan baru. 2. Sekalipun berstatus modal kecil, tumbuhnya bank-bank desa memiliki peran yang cukup signifkan dalam membentengi warga dari jerat renteneer. Disamping itu, dapat menjadi lembagaan keuangan ekonomi alternatif yang berpotensi menopang akses modal bagi pelaku usaha ekonomi kecil di desa. Terhadap peran ini, pemerintah dapat memperkuatnya dengan mendirikan semacam lembaga penjamin modal daerah. Lembaga ini diproyeksikan siap menjadi mitra stategis 174
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
lembaga keuangan ekonomi desa, sehingga para nasabah bank-bank desa yang sebagian besar adalah warga miskin merasa terlindungi, khususnya dari inflasi maupun resesi ekonomi yang sewaktu-waktu terjadi. 3. Kelembagaan ekonomi lokal mempunyai kemampuan pengembangan jejaring antar pelaku ekonomi kecil yang cukup masif. Untuk memperbesar kapasitas ekonomi pelaku usaha ekonomi desa kepada jenjang yang lebih tinggi, pemerintah dapat mendorong lahirnya kebijakan yang pro terhadap ekonomi kecil, misalnya fasilitasi chaneling kerjasama antara lembaga keuangan pedesaan dengan pihak Perbankan. Sekalipun secara teknis KUR ada kekurangan, namun misinya sentuhan bisnisnya yang memperkuat kapasitas, kredibilitas dan daya saing (kompetisi) usaha kecil di aras lokal perlu dipertahankan. Strategi ini dimungkinkan akan melahirkan hubungan antara pelaku usaha kecil desa dengan perbankan yang lebih lentur, tidak memberatkan apalagi mengancam hilangnya aset rumah tangga yang biasanya dijadikan agunan. DAFTAR PUSTAKA Caroline O. N. Moser, “Gender Planning and Development (Theory, Practice & Training)”, London: Routledge. 1993, hlm. 40. Dhorifi Zumar. Prospek Kredit Usaha Rakyat. Koran Jakarta. Edisi, 31 Maret 2009 dalam http://dzumar.wordpress.com/2009/04/02/prospek-kredit-usaha-rakyat/, diakses, 12 September 2012 Haryanto, Titok dan Wa Ode Fitri. 2012. Melawan Kemiskinan Berbasis Potensi Lokal: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Stock Take: Manfaat Program ACCESS Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Kerjasama IRE Yogyakarta dengan ACCESS Tahap II Hasanudin, Tubagus Maulana. 2009. Relasi Gender dalam Perspektif Akses dan Kontrol Terhadap Sumber Daya: Kasus pada Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Jurnal Perempuan, ―Mengurai Kemiskinan, dimana Perempuan?‖, edisi 42, 2005. Legowo, Joko, Lilik Sudiyatno, Lusila Anjela Bodroani, Nick T. Wiratmoko, Pamerdi Giri Wiloso, Puji Santoso, Yakub Adi Krisanto. 2011. Kapitalisme Perkayuan dan Advokasi Buruh di Jepara: Sebuah Evaluasi Atas Advokasi Buruh Ukir di Jepara 2007-2009. Jepara-Yogyakarta: Yayasan Pamerdi Luhur-Insist Media Utama. Misiyah. 2006. Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan. Jakarta: Jurnal Perempuan Widuri, Diah dan Patje Saubaki, 2012. Partisipasi Warga dalam Pengentasan Kemiskinan: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Stock Take: Manfaat Program ACCESS Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Kerjasama IRE Yogyakarta dengan ACCESS Tahap II.
175
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
EFEKTIVITAS PROGRAM SARJANA MEMBANGUN DESA (SMD) DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DI KELOMOK TANI TERNAK SAPI WIBUH MANDIRI BATUBULAN KANGIN SUKAWATI GIANYAR Anak Agung Sri Manik Fatmawati1, Wayan Maba2, I Wayan Wana Pariartha2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia.
Corresponding author email :
[email protected] ABSTRACT The aims of the study is to determine the implementation effectiveness of the Sarjana Membangun Desa (SMD) comprehensively in the application aspects of agribusiness livestock of the Wibuh Mandiri cattle farmers' groups of the Batubulan Kangin Village, at Sukawati District. This study includes both qualitative and quantitative research. The population in this study were all members of the group of cattle farmers of Wibuh Mandiri as much as 19 persons, informants from the Department of Animal Husbandry, Fisheries and Marine of Gianyar Region 5 persons, and an undergraduate from the SMD program assistant. Data were collected using a questionnaire, both closed questionnaire for the group members and open questionnaire for the the informant. The scoring were as follows; score 3 for the most expected answer (a), while score 1 for the least expected answer (c), and score 2 for the average (b). The data were further analyzed using descriptive statistics to determine the effectiveness of the SMD programs. The results of the study indicated that the respondents 'assessment of farmers upstream aspects of agribusiness obtained the highest score which is in the percentage of 59.47% meaning very effective, respondents' assessment of aspects of agricultivation is 55.56% which also mean very effective, and similarly the farmer‘s assessment of downstream agribusiness were 54.73% which can also be interpreted very effective. Therefore, it can be concluded that the respondents' assessment of the upstream aspects of agribusiness, agribusiness aspects of cultivation, and the downstream agribusiness aspects stated that the SMD program is very effective, both totally as well as the average income per cattle which achieve a more than 50% increase. Given the increase in revenues occurred after the implementation of the SMD program it can be ascertained that the increase in revenue is a result of the very effective implementation of the SMD program. Therefore, it can be concluded that the Village Building Pathways (SMD) is a very effective to increase the income of livestock farmers of the Wibuh Mandiri of the Batubulan Kangin village. Keywords : SMD Effectiveness and Cattle Farmers Income
176
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
PENDAHULUAN Hakekat Pembangunan Nasional adalah merupakan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya. Sehingga Kebijakan Pembangunan Nasional memiliki visi memberdayakan manusia dan masyarakat dalam arti seluas-luasnya (Suharto,Edi,1997).Pada era globalisasi ini, hanya pelaku bisnis yang efissienlah yang akan memenangkan persaingan. Sebagian besar pelaku bisnis di Indonesia adalah para petani dan pengusaha kecil yang bila berhimpun dalam organisasi ekonomi yang kuat maka akan memperoleh manfaat (kesejahteraan) tidak hanya bagi dirinya melainkan bagi masyarakat dan bangsanya (Zakaria, 2008). Menurut Rachmat Setiadi (2011), perhatian pemerintah rendah terhadap pembudidayaan sapi lokal menyebabkan pasokan sapi berkurang, disamping lemahnya produktifitas ternak lokal ditengah konsumsi masyarakat yang tinggi berakibat ketersediaan ternak lokal terus menyusut. Berdasarkan data Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (IPSI),diprediksi pada tahun 2012 mendatang , selain masih belum mampu memenuhi kebutuhan daging domestik, tingkat pertumbuhan populasi sapi potong lokal juga cendrung stabil rendah.Dengan meningkatnya konsumsi selama ini belum ada perusahaan atau BUMN yang serius menangani pembibitan sapi. Peningkatan impor sapi sapi bakalan dan daging bukan solusi pemecah permasalahan kebutuhan daging nasional, diprediksi pada tahun 2012 mendatang , selain masih belum mampu memenuhi kebutuhan daging domestik, tingkat pertumbuhan populasi sapi potong lokal juga cendrung stabil rendah. Dengan meningkatnya konsumsi.Peningkatan permintaan daging memberikanpeluang yang besar untuk berkembangnya usaha agribisnis peternakan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani, telah menetapkan program pengembangan usaha agribisnis.Untuk menunjang pelaksanaan agribisnis, maka pada tahun 2006 Departemen Pertanian melalui Direktorat Jendral Peternakan meluncurkan program SMD (Sarjana Membangun Desa) yaitu program pemberdayaan usaha agribisnis peternakan petani peternak dengan model pendampingan secara penuh oleh sarjana peternakan selama 3 tahun. Sasaran program SMD ditujukan khusus untuk sarjana peternakan dan kedokteran hewan serta kelompok petani peternak di pedesaan. Peran sarjana dalam program ini menjadi sangat penting sebagai fasilitator perubahan dan agen perubahan (agent of change) dalam pengembangan usaha komuditi agribisnis ternak yang dikembangkan. Menurut data PDRB Kabupaten Gianyar (2009) menyebutkan bahwa pertumbuhan dan kontribusi sektor pertanian yaitu paling rendah (17,96 %) dibandingkan sektor perdagangan, hotel , restoran dan industri,kondisi ini memberikan gambaran bahwa pertanian dalam arti luas tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan, padahal Indonesia adalah negara agraris, khusus dibidang peternakan kontribusinya hampir tidak ada. Desa Batubulan Kangin yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sukawati yang wilayahnya sebagian besar terdiri dari lahan pertanian sehingga memberikan manfaat yang besar bagi masyarakatnya. Namun penggunaan lahan yang bukan sawah belum dimanfaatkan secara maksimal untuk menunjang sektor peternakan seperti penanaman padang rumput (Gianyar Dalam Angka, 2011). Mata pencaharian masyarakatnya terdiri dari sektor pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, pariwisata, industri kecil dan kerajinan. Sektor peternakan di Desa 177
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Batubulan Kangin belum dikelola dengan optimal, sebagian masyarakat mata pencahariannya sebagai pengrajin/tukang kayu dan usaha peternakan sebagai pekerjaan sampingan.namun peternakan babi, sapi, ayam dan itik sudah mulai dikembangkan, khususnya usaha ternak sapi dengan terbentuknya Kelompok Tani Ternak Wibuh Mandiri. Populasi ternak sapi di Desa Batubulan Kangin hanya 8 % di bandingkan dengan Desa lainnya di Kecamatan Sukawati dan terjadi penurunan dari 483 ekor menjadi 230 ekor yaitu sebanyak 47,6 % dari tahun sebelumnya (Kecamatan Sukawati Dalam Angka, 2011), sedangkan jumlah populasi di Kelompok sebanyak 56 ekor yaitu 24,3 % dari jumlah sapi yang ada di Desa Batubulan Kangin dan menurun 3,45 % dari tahun sebelumnya (Laporan Inventarisasi Kelompok DPPK Kab.Gianyar, 2011). Lahan terbatas, orientasi peningkatan pendapatan hanya pada kegiatan subsistem produksi (budidaya), kemampuan sumberdaya petani dalam pengembangan agribisnis ternak sapi masih rendah, inovasi teknologi masih kurang, terutama penanganan limbah ternak masih berserakan disekitar kandang yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Petani ternak dalam mengembangkan usahanya tidak memperhatikan kualitas maupun kontinuitas yang diharapkan konsumen, akses pasar rendah sehingga posisi tawar rendah. Dilihat dari pendapatan masyarakat Desa Batubulan Kangin, diketahui hanya 2,3 % bersumber dari sektor peternakan walaupun ada peningkatan 24,15 % dari tahun sebelumnya namun masih jauh dibandingkan dengan sektor lainnya (Profil Desa Batubulan Kangin, 2011). Dari uraian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektivitas Program Sarjana Membangun Desa (SMD) dalam menigkatkan pendapatan petani di kelompok tani ternak sapi Wibuh Mandiri Desa Batubulan Kangin Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar. METODE PENELITIAN Merupakan penelitian deskriptif dengan metode survey untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat (Nazir, 2005). Penelitian dilakukan di Kelompok Tani Ternak Sapi Wibuh Mandiri Desa Batubulan Kangin pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2012.Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan karena satu- satunya di Kecamatan Sukawati, kelompok tani ternak sapi Wibuh Mandiri yang mendapat program pendampingan secara penuh, yaitu Program Sarjana Membangun Desa (SMD) .Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara komprehensif tentang efektivitas pelaksanaan Program Sarjana Membangun Desa (SMD)dalam aspek penerapan agribisnis ternakpada kelompok tani ternak sapi Wibuh Mandiri, Desa Batubulan Kangin,Kecamatan Sukawati. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota kelompok tani ternak sapi Wibuh Mandiri sebanyak 19 0rang, informan dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gianyar sebanyak 5 orang dan 1 orang dari sarjana peternakan pendamping program SMD. Pada penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh (sensus) dimana semua anggota populasi dijadikan sampel, karena populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang (Sugiyono, 2011). Data dikumpulkan menggunakan kuesioner, dengan jawaban tertutup untuk anggota kelompok dan jawaban terbuka untuk informan, jawaban yang paling diharapkan dengan nilai a sedangkan yang tidak
178
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
diharapkan dengan nilai c dengan skor (a=3, b=2 dan c=1).Data dianalisis dengan analisis deskriftif untuk menentukan ke efektifan program SMD.. Untuk mengetahui efektivitas dari pelaksanaan Program Sarjana Membangun Desa (SMD) dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah ini : Interval kelas = (skor tertinggi (%) – skor terendah (%))/jumlah kelasInterval kelas = (100% - 0,00 %)/3 = 33,33% (Sugiono, 2011) Tabel 01. Rentang Skor No. 1 2 3
Rentang skor (%)
Kategori
>66,67 - 100,00 >33,34 - 66,67 ≥ 0,00 - 33,33
Sangat efektif Efektif Tidak efektif
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Aspek Agribisnis Ternak Sapi Analisis Aspek Agribisnis Hulu Secara keseluruhan penilaian petani responden tentang aspek agribisnis hulu diperoleh persentase skor tertinggi adalah 59,47 ini dapat diartikan bahwa penilaian petani responden tentang aspek agribisnis hulu adalah sangat efektif. Hasil Penilaian Responden atas Aspek Agribisnis Hulu dari kuesioner disajikan pada table 02. Tabel. 02. Analisis Aspek Agribisnis Hulu
Pertanyaan
No
Jawaban
Persen (%) Skor
Keterangan
1
Sistem Pengadaan Bibit
a 5
b 14
c 0
a 34,88
b 65,12
c 0,00
Efektif
2
Program Pemuliaan
0
3
16
0,00
27,27
72,73
Tidak efektif
3
Pedoman pemilihan bibit
1
17
1
7,89
89,47
2,63
Efektif
4 5
Program pembibitan Pengadaan hijauan pakan
1
3
15
12,50
25,00
62,50
Tidak efektif
16
3
0
88,89
11,11
0,00
Sangat Efektif
Lahan sumber hijauan Jenis-jenis hijauan pakan ternak Sistem pengadaan konsentrat Sistem pengadaan obatobatan Sistem pengadaan sarana penunjang
14
3
2
84,00
12,00
4,00
Sangat Efektif
15
4
0
84,91
15,09
0,00
Sangat Efektif
14
1
4
87,50
4,17
8,33
Sangat Efektif
16
0
3
94,12
0,00
5,88
SangatEfektif
19
0
0
100,00
0,00
0,00
Sangat Efektif
Total
101
48
41
594,69
249,23
156,07
59,47
24,92
15,61
6 7 8 9 10
Rata-rata
Sangat Efektif
179
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Analisis Aspek Agribisnis Budidaya Hasil penilaian mengenai aspek agribisnis budidaya lebih rinci disajikan pada tabel dibawah ini : Tabel 03. Analisis Aspek Agribisnis Budidaya Pertanyaan
No
a
Jawaban B c
a
Persen Skor b
c
Keterangan
1
Jarak kandang dengan rumah
18
1
0
96,43
3,57
0,00
SangatEfektif
2
Konstruksi kandang
17
2
0
92,73
7,27
0,00
SangatEfektif
3
Perlengkapan kandang
4
15
0
28,57
71,43
0,00
Efektif
4
Sistem pengolahan limbah
0
16
3
0,00
91,43
8,57
Efektif
5
Kebersihan kandang
17
1
1
94,44
3,70
1,85
SangatEfektif
6
Pemberian pakan penguat
15
2
2
88,24
7,84
3,92
SangatEfektif
7
Pemberian air minum
16
2
1
90,57
7,55
1,89
SangatEfektif
8 9
Pemberian mineral/vitamin Pencegahan penyakit (vaksinasi)
2
15
2
15,79
78,95
5,26
Efektif
2
2
15
24,00
16,00
60,00
Tidak efektif
10 11
Penanganan penyakit
17
2
0
92,73
7,27
0,00
SangatEfektif
Pemahaman terhadap penyakit
14
4
1
82,35
15,69
1,96
SangatEfektif
12
Program inseminasi buatan
1
10
8
9,68
64,52
25,81
Efektif
13
Pemahaman terhadap IB
11
7
1
68,75
29,17
2,08
SangatEfektif
14 15
Penyediaan inseminator
2
2
15
24,00
16,00
60,00
Tidak efektif
Kemampuan penyediaan semen
0
9
10
0,00
64,29
35,71
Efektif
16
Menyediakan perkawinan alam
3
2
14
33,33
14,81
51,85
Tidak efektif
17
Kontribusi kegiatan IB
0
17
2
0,00
94,44
5,56
Efektif
18
Pertambahan berat badan
16
3
0
88,89
11,11
0,00
SangatEfektif
19
Sapi yang tidak produktif
14
5
0
80,77
19,23
0,00
SangatEfektif
20
Tingkat kematian ternak
19
0
0
100,00
0,00
0,00
SangatEfektif
Jumlah
188
117
75
1111,26
624,27
264,47
55,56
31,21
13,22
Rata-rata
SangatEfektif
Secara keseluruhan penilaian petani responden tentang aspek agribisnis budidaya diperoleh persentase skor tertinggi adalah 55,56% ini dapat diartikan bahwa penilaian petani responden tentang aspek agribisnis budidaya adalah baik sehingg program ini adalah sangat efektif. Analisis Aspek Agribisnis Hilir Hasil penilaian mengenai aspek agribisnis hilir lebih rinci disajikan pada tabel 04 dibawah ini
180
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 04. Analisis Aspek Agribisnis Hilir No 1 2 3 4 5
Jawaban
Pertanyaan Sistem pengolahan hasil Sistem pemasaran Sistem kemitraan bisnis Perkembangan hasil ternak Sistem pengolahan Produk sapi potong Jumlah Rata-rata
Persen (%)Skor a
b
Keterangan
a
b
c
c
0 16
14 1
5 2
0,00 92,31
84,85 3,85
15,15 3,85
Sangat Efektif
15
4
0
84,91
15,09
0,00
Sangat Efektif
18
1
0
96,43
3,57
0,00
Sangat Efektif
0 49
0 20
19 26
0,00 273,64 54,73
0,00 100,00 107,36 119,00 21,47 23,80
Tidak Efektif
Efektif
Sangat Eferktif
Secara keseluruhan penilaian petani responden tentang aspek agribisnis hilir diperoleh persentase skor tertinggi adalah 54,73% ini dapat diartikan bahwa penilaian petani responden tentang aspek agribisnis hilir adalah baik sehingga program ini adalah efektif. Hasil Analisis Pendapat Informan Dari pendapat beberapa informan disebutkan dalam pelaksanaan program SMD , sudah sering dilaksanakan pembinaan baik tentang aspek agribisnis hulu, aspek agribisnis budidaya dan aspek agribisnis hilir, sehingga secara langsung dapat meningkatkan pengetahuan petani ternak dalam mengelola usahanya yang berakibat peningkatan produksi dan produktivitas dan secara signifikan nantinya dapat meningkatkan pendapatan , disamping itu dengan adanya program SMD, dapat meningkatkan populasi ternak dan juga menigkatkan aktifitas kelompok . Perkembangan kelompok juga sudah dipantau dengan dibuatnya laporan setiap bulannya.Pemerintah juga memfasilitasi dalam memasarkan ternak dengan mengimformasikan bila ada pembeli dan menyesuaikan dengan harga pasaran sedangkan untuk pelatihan mengenai pengolahan pasca panen tidak pernah dilaksanakan, hanya difokuskan pada budidaya ternak. Hasil Analisis Pendapatan Pendapatan usaha tani adalah besarnya manfaat atau hasil yang diterima oleh petani yang dihitung berdasarkan dari nilai produksi dikurangi semua jenis pengeluaran yang digunakan untuk produksi. Sedangkan untuk menghitung pendapatan menurut Soekarwati (1995), merupakan selisih antara penerimaan dengan pengeluaran. Untuk itu pendapatan usaha tani sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya sarana produksi, biaya pemeliharaan, biaya pasca panen, pengolahan dan distribusi serta nilai produksi. Menurut (Prawirokusumo, 1990) ada biaya tunai yaitu biayabiaya yang tidak diberikan sebagai uang tunai tetapi tidak diperhitungkan seperti biaya tenaga kerja keluarga. Pendapatan Total Petani Peternak Sebelum dan Sesudah Program SMD dalam Satu Periode Pemeliharaan8 bulan dapat dilihat pada tabel 05 : 181
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 05. Pendapatan total petani sebelum dan sesudah program SMD periode pemeliharaan (8 bulan) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. ∑
Pendapatan
dalam satu
Peningkatan
Sebelum 900,000 300,000 800,000 400,000 900,000 920,000 400,000 800,000 700,000 600,000 900,000 400,000 700,000 300,000 400,000 700,000 400,000 400,000
Sesudah 2,500,000 2,000,000 1,800,000 1,200,000 2,500,000 1,500,000 2,500,000 2,100,000 2,200,000 2,000,000 1,500,000 1,200,000 1,000,000 2,000,000 2,500,000 2,500,000 2,500,000 2,500,000
Nominal 1,600,000 1,700,000 1,000,000 800,000 1,600,000 580,000 2,100,000 1,300,000 1,500,000 1,400,000 600,000 800,000 300,000 1,700,000 2,100,000 1,800,000 2,100,000 2,100,000
11,720,000
37,800,000
26,080,000
Persen (%) 177.78 566.67 125.00 200.00 177.78 63.04 525.00 162.50 214.29 233.33 66.67 200.00 42.86 566.67 525.00 257.14 525.00 525.00 222.53
Berdasarkan Tabel di atas dapat dikatakan bahwa pendapatan total petani setelah diadakan program SMD sangat tinggi dibandingkan dengan sebelum ada program SMD. Penintgkatan yang sangat tinggi ini sangat beralasan karena dengan adanya program SMD banyak petani yang menambah jumlah ternaknya sehingga berdampak pada penambahan pendapatan mereka. Penambahan ternak peliharaan sangat mungkin sebagai akibat adanya program SMD dimana dengan program ini banyak kemudahan dan fasilitas serta pengetahuan yang diperoleh petani, sehingga petani termotivasi untuk menambah ternaknya. Bila melihat kondisi seperti ini maka program SMD sangat efektif dalam meningkatkan pendapatan petani. Kondisi ini akan berbeda bila dilihat dari peningkatan pendapatan petani ternak bila dilihat secara rata-rata atau peningkatan pendapatan setiap ekor ternak sapi sebagai akibat dari program SMD. Secara rata-rata peningkatan pendapatran petani dapat dilihat pada tabel 06 :
182
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Tabel 06. Pendapatan Rata-Rata/Ekor Petani Peternak Sebelum dan Sesudah Program SMD dalam Satu Periode Pemeliharaan 8 bulan Pendapatan Rata-Rata/Ekor
Peningkatan
No.
Sebelum .
Sesudah
Nominal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
300,000 300,000 400,000 400,000 300,000 460,000 400,000 400,000 350,000 300,000 450,000 400,000 350,000 300,000 400,000 350,000 400,000 400,000 400,000
500,000 500,000 600,000 600,000 500,000 750,000 625,000 700,000 550,000 500,000 750,000 600,000 500,000 500,000 625,000 625,000 625,000 625,000
200,000 200,000 200,000 200,000 200,000 290,000 225,000 300,000 200,000 200,000 300,000 200,000 150,000 200,000 225,000 275,000 225,000 225,000
7.060.000
37.800.000
4.215.000
∑
Persen (%) 66.67 66.67 50.00 50.00 66.67 63.04 56.25 75.00 57.14 66.67 66.67 50.00 42.86 66.67 56.25 78.57 56.25 56.25 59,70
Berdasarka tabel diatas terlihat bahwa secara rata-rata setiap ekor sapi yang dipelihara ternyata memberikan tambahan pendapat bagi petani setelah dilaksanakan program SMD. Tambahan ini cukup signifikan yaitu berkisar 42 persen sampai dengan 78,57 persen dengan rata-rata peningkatan 59,70 persen. berdasarkan pada kriteria yang diajukan mala peningkatan ini adalah efektif. Bila dilihat secara total peningkatan pendapatan petani adalah sangat efektif ternyata bila dilihat secara rata-rata setiap ekor ternak peningkatannya hanya efektif. Perbedaan ini sangat mungkin disebabkan oleh jumlah sapi yang dipelihara meningkat sehingga pendapatan petani meningkat sangat tinggi sebagai akibat jumlah ternak yang bertambah. Efektifitas SMD Dalam Meningkatkan Pendapatan Petani Berdasarkan jawaban kuesioner mengenai aspek agribisnis hulu, budidaya dan hilir dimana semua jawabannya menyatakan bahwa program SMD adalah sangat efektif serta dari analisis pendapatan baik sacara total maupun secara rata-rata diperoleh bahwa kenaikkan pendapatan mencapai 50 persen lebih maka dapat dikatakan bahwa kenaikkan pendapatan tersebut adalah sangat efektif. Mengingat kenaikan pendapatan tersebut terjadi setelah dilaksanakan program SMD maka dapat dipastikan bahwa kenaikan pendapatan tersebut adalah akibat dari pelaksanaan 183
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
program SMD yang sangat efektif di atas. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa program Sarjana Membangun Desa (SMD) adalah sangat efektif untuk meningkatkan pendapatan petani peternak pada Kelompok Tani Ternak Sapi Wibuh Mandiri Desa Batubulan Kangin ,Kecamatan Sukawati. KESIMPULAN Berdasarkan uraian terdahulu maka dapat dirumuskan suatu simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Penilaian petani responden tentang aspek agribisnis hulu diperoleh persentase skor tertinggi adalah 59,47 ini dapat diartikan bahwa penilaian petani responden tentang aspek agribisnis hulu adalah sangat efektif, karena skor tertinggi berada pada pilihan sangat efektif. 2. Penilaian petani responden tentang aspek agribisnis budidaya diperoleh persentase skor tertinggi adalah 55,56% ini dapat diartikan bahwa penilaian petani responden tentang aspek agribisnis budidaya adalah baik sehingga program ini adalah sangat efektif. 3. Penilaian petani responden tentang aspek agribisnis hilir diperoleh persentase skor tertinggi adalah 54,73% ini dapat diartikan bahwa penilaian petani responden tentang aspek agribisnis hilir adalah baik sehingga program ini adalah sangat efektif. 4. Dari hasil analisis pendapatan petani ditemukan bahwa pendapatan petani naik dengan signifikan setelah dilaksanakan program SMD, ini menunjukkan bahwa program SMD sangat efektif dilaksanakan khususnya di Kelompok Tani Ternak Sapi Wibuh Mandiri Batubulan. 5. Program SMD efektif dilaksanakan dalam bidang peternakan khususnya sapi mengingat dengan program ini peningkatan pendapatan petani cukup signifikan.
DAFTAR PUSTAKA BPS,Kabupaten Gianyar.2011. Kabupaten Gianyar Dalam Angka. BPS,Kabupaten Gianyar.2011. Kabupaten Gianyar Dalam Angka. Dinas DPPK. Kabupaten Gianyar .2011. Laporan Inventarisasi Kelompok. Nasir.M. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal 89. Prawirokusumo.S.1995. Ilmu Usahatani. BPIE Yogjakarta. Rachmat Setiadi.2011.Produksi Sapi Potong Masih Rendah,http.www.surabaya post.. Suharto, E, 1997.Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial : Spektrum Pemikiran, Bandung : Lembaga Studi Pembangunan STKS Soekarwati.A. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. Jakarta Zakaria, WA. 2008. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Fasilitas Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (FPPED) Bulan September 2008. Kerjasama dengan BI Bandar Lampung
184
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
PERSOALAN LINGKUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL: LESSONS LEARNED DARI INDONESIA BAGIAN TIMUR Sg. Yulianto Researchers Institute For Research And Empowerment (IRE) Yogyakarta Corresponding author email:
[email protected]
Nowadays, the issues of environment are increasingly disturbing. By regulations and the schemes of program, the governments (national and local) have made efforts to overcome the problems. The results however have yet met the public expectations. Amidts the increased pesimism of the public over the efforts, there have been several success stories of grassroots that can please and encourage the public optimism on the improvement and preservation of the natural environment. The efforts of local communities empowerment, through the program scheme launched by some local civil society organizations, have successfully made the communities to be aware of the enviromental crisis, and encouraged them to protect their environment from any destruction, perpetrated by both corporates and their fellow villagers. Such efforts also become the alternative breakthroughs to overcome their economic problems as well as promoting the protection and conservation of the environment, which can also make sure the sustainability of their livelihoods. Keywords:
environmental problem, community livelihood, and sustainability.
empowerment,
conservation,
Pendahuluan Secara global, isu lingkungan kian hari kian menguat. Demikian juga di tingkat nasional Indonesia, penguatan itu semakin terasa seiring dengan meningkatnya masalah sosial yang dipicu adanya persoalan lingkungan di tingkat daerah dan komunitas. Persoalan lingkungan tersebut menurut Supriyono (2012), disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: tingginya laju degradasi fungsi lingkungan, kerentanan dan kondisi geografis serta demografis Indonesia, tingginya angka kemiskinan dan ketidakadilan, serta kerap-terjadinya konflik pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) di daerah antara pihak pemodal dengan warga setempat. Menguatnya persoalan tersebut tentu saja mendorong berbagai pihak untuk mengambil langkah penting guna turut ambil bagian dalam mengatasi masalah lingkungan yang semakin pelik, serta telah menyita perhatian masyarakat luas. Di level nasional misalnya, Pemerintah Pusat telah mengambil langkah-langkah strategis. Yang paling mendasar, yaitu disyahkannya Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) pada 3 Oktober 2009. Peraturan ini sesungguhnya merupakan bentuk penyempurnaan dari regulasi serupa sebelumnya, yakni Undang-undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang telah diundangkan sejak 19 September 1997 (Hardjasoemantri 2009). Di level daerah, kendati lebih spesifik dan typical mengikuti karakter wilayahnya, setiap Pemerintah Daerah juga memiliki regulasi yang mengatur tata kelola lingkungan dan pemanfaatan SDA. Misalnya, adanya Perda tentang RTRW, 185
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
pengelolaan limbah padat dan limbah B3, pemanfaatan daerah aliran sungai dan danau, suaka marga satwa, hutan lindung, cagar alam, recharge area, penambangan, dst., yang seluruhnya berkaitan dengan upaya konservasi lingkungan hidup. Bahkan untuk daerah tertentu, misalnya Kabupaten Buton, telah merumuskan misi pembangunan yang sangat ‗ekologis‘ yaitu: “...meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan PAD dengan tetap mempertahankan dan meningkatkan kualitas keseimbangan dan keserasian lingkungan” (Hariyanto et al., 2012). Kemajuan di level daerah ini, tak lepas dari diberlakukannya UUPPLH, yang juga mengatur pembagian kewenangan yang jelas antara pusat dan daerah dalam upaya pengawasan lingkungan hidup. Bahkan, regulasi ini juga memberi amanat kepada pemerintah daerah dalam hal kebijakan tentang tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 63). Setali tiga uang, pada tingkat desa juga telah banyak Perdes yang bicara tentang lingkungan dan pemanfaatan SDA secara berkelanjutan. Keberlanjutan lingkungan, artinya bahwa sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya, yang tidak termasuk katagori sumber-sumber ekonomi (Haris, 2000 dalam Fauzi, 2004). Desa Langkomu, Kec. Mawasangka Tengah, Kab. Buton misalnya, sudah memiliki Perdes tentang pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Hebatnya, kelahiran Perdes tersebut merupakan hasil desakan komunitas perempuan (Kelompok Wanita Tani) yang mengandalkan Teluk Langkomu sebagai salah satu sumber penghidupan keluarga mereka. Capaian atau kemajuan-kemajuan yang sangat lokal tersebut tentu saja tak terlepas dari peran dan dukungan banyak stakholders yang selama ini telah bekerja secara intensif di tingkat lokal (grassroots). Pemberdayaan dan Peran Masyarakat dalam Penyelamatan Lingkungan Mengatasi persoalan lingkungan mutlak melibatkan banyak pihak. Selain melibatkan pemerintah atau para pengambil kebijakan, sektor swata, dan organisasi non pemerintah, masyarakat umum atau warga masyarakat kebanyakan juga harus diikutsertakan dalam setiap upaya untuk menyelesaikan persoalan lingkungan dan pelestarian sumber daya alam. Pandangan seperti itu juga diketengahkan Otto Soemarwoto, bahwa dalam upaya untuk menerapkan paradigma baru dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan konsep ―atur diri sendiri‖ atau ADS, prinsip partisipasi masyarakat harus dikedepankan. Masyarakat harus turut serta dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di antarnya, dalam hal pengawasan. Akan tetapi, masih menurut Soemarwoto, kendala yang barangkali masih kuat berakar di daerah-daerah rural dan pedalaman, masyarakat telah terbiasa dibimbing dan dibina oleh pemerintah. Ini kebiasaan yang telah sekian puluh tahun diwariskan oleh rezim Orde Baru. Saat itu, setiap ada peraturan selalu ditanyakan pula petunjuk pelaksanaan dari aturan tersebut. Warga masyarakat cenderung kurang percaya diri, kemandiriannya sangat lemah. Di sisi lain, dalam kendali euforia reformasi, kita kerap kali kebablasan dengan menafsirkan demokrasi sebagai pergeseran kekuasaan absolut dari pemerintah kepada masyarakat. Di banyak tempat, hingar-bingar tersebut juga merembet pada bidang pengelolaan lingkungan 186
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
hidup. Dampaknya, terjadi banyak kerusakan lingkungan yang dapat mengancam keberlangsungan sumber penghidupan warga dan mendatangkan bencana yang memusnahkan (Soemarwoto, 2009). Oleh karena itu, pemberdayaan warga masyarakat menjadi sangat penting. Karena berkaitan dengan persoalan lingkungan, menurut Susilo, model pemberdayaannya harus mencakup setidaknya, pembangunan kesadaran ekologis, penguatan kelembagaan lokal, pengembangan kemitraan, dan perlawanan sebagai bentuk pemberdayaan (Susilo et al., 2012). Semuanya, untuk meningkatkan kecerdasan ekologis, menumbuhkan kesadaran, dan mengembangkan praktik pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang tidak semena-mena, yang benar-benar dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat luas, serta terjamin keberlanjutannya. Peningkatan kecerdasan ekologis dan kesadaran masyarakat lokal akan memudahkan upaya-upaya mendorong warga masyarakat agar turut serta dalam proses pengawalan atau pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi yang memanfaatkan SDA. Hal itu menurut A. Sonny Keraf (2010), sejalan dengan apa yang telah diamanatkan dalam UUD 1945, dan juga terutama UU No. 32/2009, bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk ambil bagian secara aktif dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang salah satunya adalah pengawasan sosial (pasal 70). Namun demikian, dalam prosesnya, pemberdayaan masyarakat lokal harus mengedepankan penghargaan terhadap pengetahuan atau kearifan lokal. Seperti pandangan Jim Ife dan Frank Tesoriero, bahwa kendati para pegiat pemberdayaan tentu saja sudah punya bekal pengetahuan yang spesialis dalam bidangnya, akan tetapi mengistimewakan pengetahuan tersebut dan kemudian mendevaluasi pengetahuan lokal warga masyarakat, merupakan antitesis dari pengembangan masyarakat (community development). Menurutnya, menghargai pengetahuan lokal merupakan komponen penting dari setiap kerja pemberdayaan masyarakat, karena kenyataanya, sering kali masyarakatlah yang paling tahu karena pengalaman dari generasi ke generasi. Mereka mengerti benar tentang kemampuan, kelebihan, dan kebutuhannya, serta paham betul mengenai masalah-masalah yang harus dihadapi (Ife, Jim dan Frank Tesoriero. 2008). Gadgil dan Berkes dalam Mitchell, et.al. (2010) juga mengetengahkan fakta serupa tentang adanya pengetahuan lokal. Menurutnya, bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia selalu ada kelompok masyarakat yang begitu peduli terhadap penggunaan SDA yang berkelanjutan, yang mana kelompok tersebut telah mempraktikkan sistem konservasi sumber penghidupannya dengan tepat. Praktikpraktik ini biasanya didasarkan atas beberapa kesepakatan atau aturan sederhana tetapi dapat menjamin penggunaan SDA dalam jangka panjang. Aturan-aturan tersebut didapatkan melalui proses ―uji-coba‖, dengan melanjutkan upaya-upaya yang dianggap dapat mempertahankan SDA, serta menghindari kegiatan-kegiatan yang dianggap akan merusak lingkungan hidup mereka. (Mitchell, et al., 2010). Mengedepankan kearifan lokal yang sekaligus dapat mendorong partisipasi warga masyarakat dalam proses pembangunan, melalui skema pemanfaatan sumber daya alam dengan etika lingkungan, serta konsep pembangunan berkelanjutan, akan meningkatkan keberlanjutan sumber penghidupan (livelihood) masyarakat. Konsep pembangunan berkelanjutan telah menantang warga masyarakat dan pemerintah untuk mengubah cara pandang terhadap lingkungan alam, dari falsafah destruktif, 187
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
eksploitatif, menuju cara pandang merawat untuk perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan alam dan para penghuninya (Heinke, 1996). Etika lingkungan hidup, tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam. Etika lingkungan hidup juga mengulas tentang relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yakni antara manusia dengan manusia yang berdampak pada alam, dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap alam (Keraf, 2006). Keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat sudah tentu akan berdampak langsung pada keberlanjutan kehidupan sosial mereka, dan pada akhirnya juga akan meningkatkan ketahanan sosial. Sehingga mendorong partisipasi, dimana masyarakat lokal dapat ikut terlibat tidak hanya sebagai obyek tetapi sebagai pelaku, menjadi kebutuhan mendasar dalam upaya menjamin keberlanjutan sumber penghidupan mereka. Dengan demikian, menurut Jatna Supriatna, diperlukan konsep pelestarian lingkungan yang tidak lagi mengacu pada kajian ilmiah semata namun lebih luas mencakup kajian sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi (Supriatna, 2008). Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan pengelolaan SDA yang berbasis pada masyarakat (community based natural resources managementCBNRM). Masih menurut Supriatna, pendekatan ini mempertimbangkan aspek-aspek keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan masyarakat di sekitar SDA secara berkelanjutan. Skema ini memungkinkan warga masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dan berperan dalam menjaga serta menanggulangi masalah-masalah yang mempengaruhi kondisi SDA tersebut. Lebih maju lagi, warga masyarakat lokal juga diposisikan untuk berperan mulai dari fase perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap monitoring dan evaluasi. Mereka juga didorong agar mampu mengidentifikasi kebutuhannya, SDA yang tersedia, dan siapa saja yang bisa dilibatkan langsung dalam CBNRM. Dalam skema ini, maka peran komunitas lokal ditentukan oleh tiga hal; pertama, sejauh mana pengetahuan lokal dapat dihargai dan dimanfaatkan dalam membentuk sistem menejemen kawasan konservasi yang baik; kedua, seberapa besar kepedulian warga terhadap lingkungan hidupnya sehingga mampu mendorongnya untuk menjaga dan merawat SDA yang mereka miliki; dan ketiga, seberapa banyak manfaat yang bisa dinikmati dan membawa kesejahteraan bagi mereka sehingga aspek keberlanjutannya menjadi kebutuhan hakiki mereka. Dengan demikian, pelibatan lebih banyak stakeholders termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil (CSOs) setempat untuk turut mendampingi warga lokal akan memperlancar proses akselerasi penguasaan kecerdasan ekologis warga, dan membantu upaya-upaya mereka untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup, serta mewujudkan kesejahteraan dan keberlanjutan sumber penghidupannya. Pengalaman Lokal dalam Penyelamatan Lingkungan Di tengah banyaknya kasus degradasi lingkungan yang menyeruak hingga menjadi wacana nasional dan bahkan global, gerakan untuk mencintai dan melestarian lingkungan menjadi semakin menguat. Penguatan tersebut semakin kentara manakala perhatian kita arahkan lebih fokus pada isu-isu lingkungan di tingkat akar rumput. Hal itu terjadi karena warga masyarakat lokal kerap dihadapkan pada persoalan-persoalan lingkungan hidup yang berkaitan lansung dengan harkat hidup atau sumber 188
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
penghidupan mereka. Misalnya, adanya eksploitasi terhadap SDA oleh pihak luar secara tidak terkendali, sehingga menimbulkan keresahan warga dan memicu konflik sosial. Padahal, kalau berkaca pada substansi dari UUPPLH telah mengatur mengenai izin lingkungan, AMDAL, dan UKL-UPL untuk setiap usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup, yang sebelumnya belum kuat diatur dalam regulasi pendahulu. UKL kependekan dari Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UPL kependekan dari Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup. Kegiatan itu merupakan upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL. Prosedur tersebut mengikuti Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup. Jadi, Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia. UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan. (http://www.menlh.go.id/amdal/) Ketentukan ini mengusung semangat pencegahan, pengendalian, dan pemulihan. Ironisnya, karena birokrasi ‗berjiwa‘ korup instrumen-instrumen tersebut justru sering menjadi dokumen legal yang melapangkan jalan bagi predatory economy dalam menjarah potensi SDA. Warga lokal seringkali hanya menjadi penonton atau saksi mata tak berdaya, kemudian menjadi korban pertama dan paling menderita, ketika terjadi kerusakan lingkungan akibat aksi penjarahan itu. Namun demikian, situasi yang runyam tersebut ternyata juga melahirkan kisah-kisah sukses, dan ternyata cukup memberi harapan, karena selain jumlahnya semakin banyak, inisiatifnya murni dari lapisan paling bawah. Rupanya, kesadaran warga lokal mulai muncul, siap disemai di kawasan lain untuk gerakan perubahan yang lebih besar. Hembusan Perubahan dari Pinggiran Buton Tidak semua perempuan menyadari bahwa mereka adalah pihak yang paling dirugikan ketika lingkungan hidup mengalami kemerosotan (getting deteriorated). Kenyataannya, perempuan lah yang secara langsung terkait dengan menejemen pangan dalam keluarga. Sedangkan ketersediaan pangan bergantung sepenuhnya pada kelestarian lingkungan, termasuk di dalamnya tempat hidup (habitat) dan sistem lingkungan hidup (ecosystem). Sementara, perempuan selalu menjadi alamat pertanyaan ini, ―Mana makan dan minumnya, sudah siap?‖ Umumnya, secara tradisional perempuan diposisikan bertanggungjawab atas ketersediaan pangan untuk seluruh anggota keluarga. Sehingga, ketika krisis pangan melanda, perempuanlah yang paling direpotkan. Mereka harus berjuang dan mempertaruhkan segalanya demi ketercukupan pangan untuk keluarga. Di daerah-daerah tertentu misalnya, mereka harus menempuh jarak kiloanmeter berjalan kaki, untuk mencari sumber air bersih, yang terkadang penuh resiko dan rentan menghadapi pelecehan dan tindak kekerasan. Belum lagi adanya kecenderungan yang kerap melanda, seperti yang diungkapkan oleh Vandana Shiva bahwa manakala akses terhadap air mulai surut, sumber dan 189
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
cadangan air yang terkontaminasi pencemaran dan membahayakan kesehatan keluarga menjadi meningkat (Shiva dan Maria. 2005). Barangkali Saida, atau juga kerap disapa ‗Mama Juli‘, salah satu dari sedikit perempuan yang sudah memiliki kesadaran tentang betapa hakikinya kelestarian lingkungan bagi terjaminnya kelangsungan kehidupan. Karena itu, ketika nelayan di desanya semakin gemar menggunakan bahan peledak dan racun dalam mencari ikan, ibu yang memiliki tiga anak ini mulai kawatir dan tergerak untuk menghentikan cara yang tidak ekologis itu. Pasalnya, selama ini selain sumber daya darat, keluarganya dan warga Langkomu juga mengandalkan sumber daya perairan untuk menopang kehidupan mereka. Berkat dukungan warga lain, perjuangan Mama Juli berhasil menghentikan praktik tidak green dalam memanfaatkan SDA. Kendati, mereka musti menempuh jalan yang tidak mudah. Mereka bahkan harus berkali-kali menegur lansung dan melaporkan kejahatan tersebut ke pihak polisi dengan disertai barang bukti yang menyakinkan. Perjuangan ekologis yang dimotori oleh Mama Juli tentu saja sangat besar kontribusinya dalam menyelamatkan lingkungan hidup setempat, terutama biota laut. Apalagi kenyataanya, tingkat kerusakan biota laut—terutama terumbu karang di daerah pesisir Provinsi Sulawesi Tenggara sangat tinggi, mencapai sekitar 40% dari total terumbu seluas 396.915 hektar. Kerusakan terumbu karang utamanya berdampak pada menurunnya populasi biota laut, khususnya ikan karang, karena dan hilangnya habitat berupa terumbu karang (Keraf, 2010). Angka yang sangat tinggi tersebut, salah satunya dikaitkan dengan kebiasaan sebagian nelayan yang menangkap ikan secara sembarangan dengan menggunakan bahan peledak. Sementara, di wilayah Buton saja luas terumbu karang mencapai sekitar 22.522,99 hektar, yang kondisinya terus mengalami perubahan. Pada tahun 2006, terumbu karang yang kondisinya bisa dikatakan baik jumlahnya sekitar 34,26%, tahun 2007 meningkat menjadi 35,65%, sedangkan tahun 2011 membaik lagi menjadi 44,16%. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan pola penangkapan ikan yang mulai membaik, tidak lagi menggunakan bom ikan (Hariyanto, 2012) Perjuangan warga lokal di Desa Langkomu, Kecamatan Mawasangka Tengah, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara tersebut sangat inspiratif. Apalagi, berdasarkan studi IRE-ACCESS, upaya mereka juga berhasil mendorong lahirnya Perdes yang melarang cara penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun. Tidak hanya itu, semangat cinta lingkungan itu ternyata juga berhasil mendorong Pemdes Longkomu menfasilitasi terbentuknya Tim Penyadaran Kritis Pemanfaatan SDA. Yang lebih spektakuler lagi, Perdes dan spirit cinta lingkungan tersebut juga diadopsi oleh desadesa lain yang ada di sekitar Langkomu, yang turut tercerahkan dan ingin meniti jalan serupa. Belakangan, mereka juga berinisiatif mengembangkan budidaya sayur-sayuran organik. Inovasi yang demikian sangat cerdas dan visoner serta green. Selain dapat menyelamatkan keberlanjutan lingkungan hidup, mereka juga akan mempunyai sumber penghasilan yang lebih beraneka ragam. Inisiatif semacam itu potensial dalam meningkatkan kesejateraan keluarga. Logikanya, semakin beranekaragam sumber income mereka, maka akan semakin stabil kekuatan ekonomi mereka. Sedangkan, kekuatan ekonomi yang stabil merupakan kunci ketahanan pangan. Kecerdasan ekologis Mama Juli dan warga Langkomu lainnya tidak muncul begitu saja. Wawasan mereka mulai terbuka, kecintaannya pada lingkungan terus 190
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
tumbuh dan menguat seiring dengan intensitas mereka dalam mengikuti kegiatankegiatan yang diorganisir oleh Sintesa, sebuah LSM lokal yang menjadi mitra ACCESS Phase II. Program yang difasilitasi Sintesa antara lain Program Pengelolaan SDA dan Program Local Economy Development. Program-program ini berupaya memberdayakan masyarakat guna mendorong kemandirian warga dengan memanfaatkan potensi SDA secara berkelanjutan. Pengelolaan SDA secara berkelanjutan merupakan salah satu amanah UU No. 32/2009, yang landasan filosofisnya mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka mendongkrak kekuatan ekonomi rakyat. Perjuangan Mama Juli dan komunitasnya merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam mewujudkan amanat UUPPLH itu, sekaligus membantu peran negara yang kerap ‗absen‘ dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat guna mereduksi problem kemiskinan. Di bidang lingkungan, Bappeda Kabupaten Buton menggulirkan program pengembangan pesisir, termasuk di pesisir Langkomu. Program itu ditujukan untuk melindungi dan melestarikan hutan mangrove dan karang laut, sekaligus membantu warga setempat untuk memanfaatkan potensi ekonomi dari pesisir secara ramah lingkungan, untuk meningkatkan kesejahteraan dan memastikan kebelanjutan lingkungan hidup. Selain itu, pemerintah juga mendirikan ―Kaomu Bangkit‖ sebuah kelompok usaha bersama (KUB), yang salah satu misinya mendorong terselenggaranya sistem dan tata kelola SDA dan lingkungan yang baik, berkeadilan, serta berpihak pada kepentingan masyarakat miskin. KUB Kaomu Bangkit memiliki mempunyai empat misi, yakni: (1) melakukan pemberdayaan dan pengembangan ekonomi petani dan nelayan melalui wadah simpan pinjam KUB Kaomu Bangkit, (2) penguatan lembaga KUB Kaomu Bangkit melalui peningkatan kapasitas pengurus dan anggota dalam pengelolaan ekonomi kelompok usaha bersama, (3)mendorong terselenggaranya sistem dan tata kelola SDA dan lingkungan yang baik dan berkeadilan serta berpihak pada kepentingan masyarakat miskin, dan (4) peningkatan sosialisasi pelestarian kawasan hutan di wilayah pesisir. Sedangkan visinya adalah, terwujudnya pengelolaan sumber daya alam secara lestari guna menuju kesejahteraan dan kemandirian petani dan nelayan melalui pengembangan ekonomi mikro. Dengan suntikan modal Rp 40 juta, kelembagaan ini diharapkan dapat membangkitkan perekonomian warga Langkomu sekaligus meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya kelestarian kawasan hutan dan wilayah pesisir. Komitmen Kabupaten Buton di bidang konservasi lingkungan dapat pula dicermati dari data program dalam tabel di bawah ini. Data tersebut menggambarkan adanya peningkatan anggaran untuk konservasi lingkungan, kendati belum cukup signifikan. Bahkan untuk beberapa program, seperti Pengelolaan RTH, Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Perlindungan & Konservasi Hutan, dan Rehabilitasi Terumbu karang justru menurun cukup besar. Kenyataan ini menggambarkan bahwa komitmen pemerintah daerah, masih kurang sebanding atau bahkan dapat dikatakan tertinggal dibandingkan semangat warga dalam menyelesaikan persoalan lingkungan mereka.
191
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
DATA PROGRAM KONSERVASI SDA KABUPATEN BUTON TAHUN 2009-2011 Tahun Anggaran
No
Program
1
Prog. pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
2
Prog. Pengendalian Kerusakan Ling.
3
Prog. Perlindungan Konservasi SDA
4
Prog. Perencanaan Tata Ruang
5
Prog. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
6
Prog. Rehabilitasi Hutan & Lahan
2009
Pencemaran
&
2010
2011
45.000.000
18.000.000
-
1.119.250.000
988.830.000
1.174.429.500
59.575.000
240.535.000
386.700.000
-
300.000.000
440.167.750
149.950.000
93.329.500
89.700.000
1.200.460.000
1.210.595.000
1.264.810.000
7
Prog. Perlindungan Sumberdaya Hutan
Konservasi
220.800.000
111.125.000
70.000.000
Prog. Pengawasan & Penertiban Kegiatan Rakyat yang Berpotensi Merusak Lingkungan
45.039.000
28.100.000
22.500.000
8 9
Prog. Rehabilitasi Terumbu Karang
778.994.800
827.131.000
453.965.000
10
Prog. Peningkatan Pengendalian Potensi
-
-
59.000.000
11
Prog. Perencanaan Pengembangan Hutan
Total Sumber: Hariyanto (2012)
&
-
-
30.000.000
3.619.068.800
3.817.645.500
3.991.272.250
Warga Mollo Meperjuangkan Keberlanjutan Masyarakat Mollo yang bermukim di Pulau Timor, tepatnya di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, memiliki keyakinan bahwa leluhurnya berasal mula dari batu, kayu, dan air. Itulah mengapa hutan, batu, dan air merupakan simbol marga dan martabat masyarakat adat tersebut. Contohnya, marga Baun yang melekat pada nama seorang ‗Srikandi‘ lingkungan dari masyarakat Mollo, Aleta Baun, merupakan unsur air. Mereka juga percaya bahwa di bawah batu-batu besar yang menghiyasi gunung di daerah mereka terdapat cadangan air yang menjamin keberlangsungan kehidupan mereka. Karenanya, ketika PT So‘e Indah Marmer berupaya melakukan penambangan marmer pada tahun 1994, warga Mollo mulai resah. Tahun berikutnya, giliran PT Karya Asta Alam, perusahaan asal Thailand, mengantongi izin yang sama. Untuk kelancaran, perusahaan itu juga membuat jalan baru dengan membabat hutan, sehingga kawasan yang sebelumnya disesaki hutan kasuari menjadi rusak dan kering. Air bersih yang biasanya dengan mudah didapatkan menjadi sulit ditemukan. Ternak warga Mollo, seperti kuda, lembu, dan kerbau juga terkena imbasnya. Ternak-ternak mereka mulai terancam, kekurangan pakan dan air minum, sehingga produksinya semakin merosot. Situasi seperti itu membangkitkan kesadaran bahwa kehadiran penambang marmer telah menimbulkan banyak masalah yang merugikan dan menyengsarakan kehidupan mereka. (Majalah Tempo edisi 13 Mei 2012). Akhirnya, dimotori Aleta Baun, mereka mulai melakukan gerakan penolakan terhadap penambangan mamer. Kendati ditanggapi dengan bermacam teror dan intimidasi, bahkan ancaman pembunuhan terhadap Aleta. Ironisnya, ancaman pembunuhan tersebut datang dari aparat setempat. Mereka memberi stigma sebagai ―anti pembangunan‖ kepada Aleta. Karena itu, sempat muncul sayembara, ―Barang 192
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
siapa yang bisa membunuh Aleta akan diberi hadiah uang satu juta rupiah‖. Kontan saja, Aleta beberapa kali hampir menjadi sasaran tembak para pembunuh bayaran. Bahkan, kakinya sempat tersambar senjata tajam. Itulah mengapa, perjuangannya sempat dilakukan dengan cara bergerilya dari dalam hutan. Hebatnya, dukungan warga semakin menguat. Mereka tetap berjuang bersama-sama tanpa kekerasan. Para ibu-ibu melakukan kegiatan menenun di celah-celah gunung marmer yang akan ditambang para investor. Semakin hari semakin banyak ibu-ibu yang turut dalam aksi damai tersebut. Kata mereka, strategi itu dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya kelestarian hutan di sekitar kawasan penambangan itu bagi warga setempat. Baik kapas, pewarna, dan peralatan tenum mereka, semua berasal dari hutan. Pada saat itu, akibat kegiatan penambangan sebagian hutan Mollo rusak berat. Perjuangan tersebut berlanjut berbulan-bulan hingga kemudian kegiatan penambangan dihentikan. Aleta dan kawan-kawannya berhasil mengambil kembali tanah adat seluas 6.000 hektar, membebaskan gunung batu dan kampung halaman mereka, Desa Fatukoto, Lelobatan, Leloboko, Ajobaki, dan Bijaepunu dari kerusakan lingkungan lebih lanjut (Majalah Tempo edisi 13 Mei 2012). Perjuangan yang mendapat dukungan dari para tokoh adat, telah menyelamatkan lingkungan yang menjamin keberlanjutan masa depan mereka dan generasi selanjutnya. Perjuangan tersebut merupakan pergulatan untuk mepertahankan kedaulatan atas potensi SDA penopang kehidupan, dari incaran pemodal yang hanya mengedepankan keuntungan ekonomi jangka pendek dan sepihak, tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang mengancam keberlanjutan sumber penghidupan warga masyarakat lain. Warga Mollo memiliki kecerdasan ekologis bahwa hanya dengan berdaulat atas SDA, maka mereka akan dapat merawat dan melestarian SDA itu, untuk diwariskan kembali tanpa mengurangi kemampuan SDA itu dalam menjamin kebutuhan generasi berikutnya. Pandangan warga Mollo itu tentu saja sangat fundamental dan sesuai dengan konsep keberlanjutan dalam memanfaatkan potensi SDA. Konsep mereka juga sejalan dengan pandangan para penganut eco-socialism bahwa kerusakan lingkungan atau krisis ekologi pada hakikatnya merupakan sisi gelap yang dihadirkan oleh kegiatan ekonomi eksploitatif yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh kapitalisme. Lingkungan hidup, seperti halnya angkatan kerja yang tertindas dan teralenasi, telah membayar harga bagi keberhasilan kapitalisme. Ideologi kapitalisme telah menekankan individualisme dan hubungan yang eksploitatif dengan lahan dan sumber daya alam, layaknya kelas pekerja. (Jim dan Frank Tesoriero. 2008). Karena itu, sangat cerdas kiranya warga Mollo telah berhasil mengatasi problem kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah tanah ulayatnya dengan melakukan gerakan yang langsung menyasar pada penyembab atau sumber perusak. Mereka menghentikan kegiatan eksploitasi untuk memberikan perlindungan yang cukup bagi lingkungan dan SDA-nya dengan cara melibatkan semua warga (kolektif). Dengan kata lain, mereka telah berhasil mengamputasi model penguasaan SDA secara privat (kapitalistik) mengembalikannya kepada hak ulayat yang bisa dikelola secara bersama untuk keberlanjutan sumber penghidupan mereka. Keberhasilan tersebut tentu saja memberikan dua kemenangan sekaligus bagi masyarakat Mollo. Pertama, mereka bisa merebut kembali penguasaan atas warisan leluhur mereka, yang nantinya juga harus mereka wariskan kembali kepada anak-cucu generasi berikutnya, dalam kondisi yang tetap baik dan bisa memberikan sumber 193
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
penghidupan bagi generasi mereka berikutnya. Kedua, mereka berhasil mencegah kerusakan lingkungan menjadi lebih parah lagi, dan melakukan investasi ekologis untuk memastikan keberlanjutan sumber air di masa depan di daerah yang sudah terkenal karena iklim yang lebih panas dan keterbatasan sumber air. Apa yang sudah dilakukan masyarakat Mollo memberikan bukti (evidence) tambahan yang mendukung theori Gadgil dan Berkes tentang kapasitas atau kemampuan warga masyarakat yang selalu memiliki keahlian atau pengetahuan khusus dalam memanfaatkan dan merawat apa yang telah disediakan alam untuk komunitasnya, karenanya komunitas itu begitu mencintai lingkungannya dan peduli terhadap keberlanjutannya. Langkah ‘Hijau’ dari Mbatakapitu Mengembangkan sumber pangan lokal dalam program mandiri pangan, menurut perspektif ekologi, merupakan bentuk pengembangan sistem ekonomi ‗hijau‘ (ramah lingkungan). Argumentasi yang dapat menjadi pijakan; pertama, dengan program mandiri pangan warga masyarakat akan berupaya merevitalisasi potensi pangan lokal. Potensi bahan pangan lokal akan terdongkrak, dikembangkan menjadi makanan pokok untuk memenuhi kebutuhan nutrisi keseharian mereka. Tercukupinya kebutuhan nutrisi atau bahan pangan sehat, akan mengurangi kerentanan terjadinya kerusakan lingkungan. Kedua, mencukupi kebutuhan nutrisi sehari-hari dengan pangan lokal dapat dipastikan memangkas potensi pelepasan jejak karbon (carbon footprint) yang dihasilkan dari proses pengemasan, pengiriman, dan pendistribusian. Bila dikalkulasi secara sungguh-sungguh jejak karbon akan akumulatif menjadi angka yang sangat besar (Goleman 2010). Apalagi kalau bahan pangan itu merupakan produk impor dari tempat yang jaraknya ribuan kilometer. Tidak hanya itu, karena didatangkan dari jauh tentu produk itu memerlukan pengawetan agar tetap layak dikonsumsi. Proses pengawetan dapat menurunkan kualitas gizi makanan, belum lagi kalau prosesnya menggunakan bahan-bahan buatan (artificial). Dampaknya, kualitas kesehatan konsumen dapat menurun. Ketika kualitas kesehatan merosot, maka mereka akan menjadi sangat rentan terhadap infeksi benih penyakit, atau bisa berujung pada penderitaan penyakit serius yang mereduksi produktifitas dan kemampuan ekonomi mereka. Dalam kasus tertentu, kondisi seperti itu dapat menggiring mereka terperosok masuk ke dalam lembah kemiskinan yang melumpuhkan. Berdasarkan riset IRE-ACCESS di Kambata, Desa Mbatakapidu, Kec. Kota Waingapu, NTT, konsep food security dalam wadah program mandiri pangan telah diperkenalkan dan dikembangkan dengan baik (Rozaki. 2012). Pengembangan bahan pangan lokal tersebut dimotori oleh kelompok wanita tani (KWT) Tapa Walla Badi. Digerakkan oleh Marlina Rambu Meha dan Konda Ngguna, saat ini KWT itu mengelola lahan kering Jawa Wula seluas 4.200 m2 dan Walingga seluas 1,5 hektar, dengan aneka jenis bahan pangan lokal seperti jagung, kacang-kacangan, sorgum, jewawut, umbi-umbian, dan pisang. Bahkan, setelah didampingi BP3K, KWT dengan anggota 21 perempuan ini juga berhasil melakukan uji coba budidaya singkong Mukibat—hasil persilangan antara singkong jenis lokal dengan singkong Karet, yang mana satu batang singkong Mukibat biasanya menghasilkan sekitar 22kg umbi segar, sedangkan singkong jenis lokal kemampuan produksinya hanya bekisar 2kg per pohon per musim tanam (Harian Kompas , Edisi 6 Maret 2012).
194
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Dengan program mandiri pangan perempuan Kambata terbilang berhasil meningkatkan kondisi sosial ekonomi, sehingga turut mendongkrak harkat dan martabat mereka. Oleh sebab itu, cukup beralasan ketika pencapaian tersebut mampu memposisikan KWT Tapa Walla Badi menjadi salah satu dari 16 kelompok yang menjadi nominasi peraih Kehati Award ke-7 dari 100 peserta perseorangan/kelompok. Penghargaan untuk katagori ketahanan pangan pada perseorangan atau kelompok yang telah berjuang untuk mewujudkan food security dengan mengembangkan bahan pangan lokal. Salah satu bahan pangan lokal yang cukup potensial adalah sorgum. Sorgum merupakan tanaman serealia yang sangat potensial karena memiliki kandungan karbohidrat dan protein lebih tinggi dari pada beras, dan sangat cocok dengan kondisi alam setempat yang cenderung panas dan kering. Di NTB dan NTT sorgum biasanya ditanam secara tumpang sari atau sebagai tanaman sela di antara tanaman budidaya lain. Namun, pengembangannya masih belum maksimal, padahal jenis tanaman ini sangat toleran terhadap kondisi marjinal lahan, kekeringan, salinitas, dan laham masam. Artinya, sorgum mempunyai masa depan yang cerah di daerah-daerah di Indonesia bagian timur di masa depan, mengingat komoditas ini sangat laku di pasaran internasional, terutama di Amerika. Oleh karena itu, diperlukan terobosan atau rekayasa sosial dan bidang pertanian yang dapat mendorong warga untuk mengembangkan lebih intensif dan massal komoditas ini. Tentu saja, pemerintah setempat, LSM lokal, pihak swasta, dan petani dapat bergandengan tangan atau bersinergi lewat skema program, guna menghasilkan terobosan yang dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat lewat budidaya komuditas lokal potensial ini. Inspirasi dari Tangkumaho dalam Melindungi Mangrove Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, 95.181km (www.unep.org), sehingga begitu kaya akan potensi SDA perairan, di antaranya hutan mangrove. Hutan mangrove tidak hanya memberikan potensi ekonomi yang sangat besar, tetapi juga menjanjikan perlindungan paling efektif ketika gelombang pasang tsunami mengacam kehidupan di pinggiran pantai, mengingat besarnya potensi tsunami di Indonesia. Oleh karena itu, menjaga kelestarian hutan mangrove lebih merupakan kebutuhan ketimbang keharusan—a need instead of a must. Hal itu diyakini benar oleh sebagian besar warga masyarakat Tangkumaho, Kecamatan Kusambi, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Muna merupakan daerah kepulauan yang disangga oleh batuan karang, bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau Muna memiliki luas 2.963,97km2 atau 296.397 hektar, dan dikelilingi laut yang luasnya sekitar 3.937,5km2, serta memiliki 185 pulau kecil dengan total panjang garis pantai 519km (Zamroni, 2012). Studi tim peneliti IRE-ACCESS di kabupaten yang berbentuk kepulauan dengan total panjang garis pantai mencapai 519 km tersebut, memberikan konfirmasi bahwa kesadaran akan pentingnya fungsi hutan mangrove rupanya sudah dimiliki oleh warga Desa Tangkumaho. Kesadaran itu terutama kuat pada mereka yang aktif tergabung dalam organisasi rakyat Pertiwi Hijau dan Tolembo. Organisasi tersebut punya perhatian khusus terhadap isu-isu lingkungan hidup. Pada suatu kesempatan, kesadaran itu bahkan telah mendorong mereka untuk menolak upaya pihak luar— sebuah investor berbendera UD Reformasi—yang ingin menjamah hutan mangrove seluas 240 hektar di Tangkumaho, untuk dikonversi menjadi tambak ikan, pada tahun 195
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
2008. Sebenarnya pihak investor ini sudah berhasil mendekati La Ode Halio, Kades Tangkumaho, berkat bantuan lobby seorang mantan camat yang pernah bertugas di wilayah tersebut. Bahkan, UD Reformasi juga sudah dibekali dokumen AMDAL untuk rencana alih fungsi hutan mangrove Tangkumaho, kendati kemudian dokumen ilmiah tersebut ditengarai ‗aspal‘—asli tapi palsu (Zamroni, Sunaji. 2012). Untung saja, saat itu sebagian warga sudah mempuyai kecerdasan ekologis, berkat pemberdayaan dan pendampingan yang dilakukan oleh beberapa CSO lokal, sehingga dapat membedakan mana yang ‗emas‘ dan mana yang ‗loyang‘. Keberhasilan warga dalam mempertahankan hutan mangrove tak lepas dari kerja keras Pertiwi Hijau, yang dikomandani oleh seorang mantan aktivis mahasiswa, La Ida. Dalam upaya tersebut La Ida dengan Pertiwi Hijau-nya sukses memanfaatkan jaringan yang telah terbangun bersama Perkumpulan Swami dan para aktivis lain yang berkiprah di Muna. Sehingga, ketika pihak UD Reformasi secara tiba-tiba menancapkan patok-patok pembatas dan menempatkan escavator yang siap beroperasi di kawasan hutan mangrove, warga langsung menggelar serangkaian pertemuan guna menggalang solidaritas dan menghimpun seluruh potensi kekuatan guna meneguhkan penolakan terhadap upaya pencaplokan kawasan konservasi itu. Dengan segala bekal pengetahuan yang telah mereka timba selama proses pendampingan, dan pegulatan langsung ketika mengelola potensi alam yang mereka miliki, penolakan warga sangat argumentatif dan mengedepankan nalar konservasi lingkungan. Mereka telah belajar dari pengalaman buruk yang menimpa desa tetangga, Desa Kumbihono, yang menderita degradasi fungsi lingkungan akibat konversi hutan mangrove. Akibatnya, banyak sumur warga mengalami intrusi air laut menjadi payau. Selain itu, mereka juga kerap mengalami banjir air pasang. Tidak hanya itu, beberapa fungsi utama hutan bakau juga merosot, yakni fungsi sebagai peredam gelombang dan badai angin laut, pelindung abrasi, serta penahan lumpur sedimentasi; fungsi nursery ground atau tempat berkembangbiaknya ikan, udang, kerang-kerangan, kepiting, dan binatang lain yang bermanfaat bagi warga sekitar; dan juga fungsi mangrove sebagai penyedia kayu bakar, bahan baku arang, bahan baku obat-obatan dan kosmetik; serta fungsi eko wisata yang dapat menghidupkan sektor ekonomi warga sekitar (Sahubawa, 2010). Fungsi-fungsi tersebut sangat berperanan dalam menjaga keberlanjutan kekuatan ekonomi warga, karenanya jika dimanfaatkan secara benar dan optimal (tetapi ekologis) akan dapat mengangkat kesejahteraan dan menjamin keberlanjutan sumber penghidupan warga sekitar.
KESIMPULAN Nukilan kabar baik di atas memberikan semacam harapan bagi kita semua yang punya antusiasme terhadap isu-isu lingkungan, kemiskinan, kemandirian, dan keberlanjutan sumber penghidupan warga. Ternyata masih ada potensi yang berserak di luar sana, di kawasan-kawasan terpencil seantero Nusantara. Potensi dalam bentuk pengetahuan, kesadaran, dan kekuatan lokal yang dapat diangkat dan penting untuk dipromosikan melalui misi ‗scalling up’, guna memberi inspirasi dan menggugah kesadaran masyarakat di tingkat yang lebih besar demi transformasi nilai, di tengah semakin hilangnya kepercayaan publik terhadap peran negara dalam arus perubahan. Rupanya, ketlatenan (baca: ketekunan) dan energi yang lebih besar lagi menjadi kebutuhan untuk merekam praktik-praktik ekologis atau prestasi-prestasi warga lokal. Utamanya, kerja-kerja istimewa warga lokal dalam mengatasi persoalan lingkungan 196
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
dan kemiskinan, serta upaya-upaya mereka merintis kemandirian dalam melawan belitan kemiskinan dan menepis ancaman predatory economy yang terus mengintai potensi kekayaan alam yang mereka miliki. Di sisi lain, negera kerap dituding tidak berpihak kepada warga lokal. Kehadiran pemodal, dengan industri ekstraksinya seringkali menimbulkan masalah lingkungan dan mendatangkan kerugian bagi warga, ketimbang turut membantu memecahkan rumitnya persoalan kemiskinan di daerah. Ketika warga tergugah dengan kesadaran kritis, dan bergerak untuk melawan ketimpangan yang terjadi, serta ancaman bencana lingkungan akibat kegiatan ekonomi ekstraksi, negara (oknum) justru tampil sebagai pahlawan bagi para perusak lingkungan tersebut. Negara dan industri ekstraksi bagaikan sebuah ―grup paduan suara‖ melantunkan nada manis ―demi kemajuan ekonomi dan kemakmuran‖, yang terdengar begitu sumbang di telinga warga lokal. Akibatnya, warga kehilangan kepercayaan terhadap eksistensi negara. Mereka memilih bersiasat, bahkan melawan, kendati keselamatan mereka acap kali dipertaruhkan. Pada situasi yang lain, negara terbukti sering absen, justru ketika warga tengah dirundung nestapa karena ketidakberdayaan ekonomi. Sementara, pemodal dengan pengetahuan dan tehnologi ekstraksinya tak henti mencari-cari celah yang dapat ditembus untuk menggalang kolusi. Koalisi pemodal, oknum penguasa, dan kekuatan jahat lokal untuk merebut potensi SDA, yang merupakan penopang kehidupan warga secara berkelanjutan. Kendati demikian, masih ada berita baik yang patut diapresiasi. Masih banyak inisiatif murni dan kearifan (local genius) yang dimiliki warga yang dapat direvitalisasi untuk mengangkat derajat dan kemampuan ekonomi mereka secara berkelanjutan, sehingga tidak mengurangi kemampuan generasi selanjutnya dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu, masih ada pihak-pihak yang mempunyai counter pengetahuan dan mau meluangkan energinya untuk tak lelah mendampingi warga, memberdayakannya dengan menularkan pengetahuan, ketrampilan, dan kesadaran kritis guna mengubah keadaan sulit yang tengah menghadang warga lokal. Berpijak dari kenyataan-kenyataan tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah sebaiknya memberikan rekognisi terhadap potensi dan kecerdasan ekologis warga, dengan memberikan dukungan melalui skema green budget dan progam pemberdayaan yang nantinya dapat memberi energi tambahan sehingga arus bawah konservasi lingkungan dapat bekerja lebih kuat dan jangkauan yang lebih luas lagi. Pasalnya, kekuatan arus bawah sudah terbukti dapat mengatasi persoalan lingkungan dan mampu meningkatkan kemandirian warga. Disamping itu, pemerintah hendaknya lebih berkomitmen dalam mematuhi regulasi yang sudah ada. Ketika terjadi konflik antara warga lokal dengan pemodal, pemerintah sepatutnya berpihak kepada rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi (UUD 1945) yang mengharuskan pemanfaatan SDA untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga, ketegasan pemerintah mutlak diperlukan untuk menindak oknum pejabat dan preman lokal yang kerap dimanfaatkan pihak pemodal untuk melindungi dan melancarkan usaha bisnisnya yang tidak ramah lingkungan dan berdampak lansung terhadap kehidupan warga masyarakat, bahkan memangkas keberlanjutan sumber penghidupan warga. Selain itu, untuk memacu percepatan upaya mengatasi persoalan lingkungan, pemerintah seyogyanya mengembangkan dan meluaskan jangkauan program-program yang berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan, dengan menganekaragamkan bentuk program dan melipatgandakan besaran anggarannya. Selain itu, program197
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
program tersebut sebaiknya bersinergi atau mendukung emansipasi warga lokal yang sudah berjalan dengan baik, sehingga local genius tersebut dapat berkembang dan direplikasi di tempat lain yang memiliki karakter serupa. Yang tidak kalah penting lagi, pengetahuan dan kesadaran warga masyarakat perlu dikuatkan. Pemerintah jangan ragu-ragu untuk memberikan dukungan fasilitasi yang lebih hebat lagi terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh para aktivis CSO dan lembagalembaga sosial lain di tingkat lokal, dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan membangkitkan kesadaran warga mengenai isu lingkungan, membangun kapasitas kelembagaan, dan juga pengembangan ketrampilan warga dalam bidang pemberdayaan ekonomi kreatif yang ramah lingkungan. Bagi yang sudah berjalan, perlu adanya dukungan skema program jangka panjang, yang dapat memastikan kemandirian dan keberlanjutan usaha ekonomi ramah lingkungan, yang menopang sustainable livelihood mereka.
DAFTAR PUSTAKA Attfield, Robin. 2010. Etika Lingkungan Global. Kreasi Wacana Ofset. Yogyakarta. Fauzi, Akhamad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Penertbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Goleman, Daniel. 2010. Ecological Intelligence: Mengungkap Rahasia di Balik Produk-produk yang Kita Beli. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hardjasoemantri, Koesnadi. 2009. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hariyanto, Titok dan Wa Ode Fitiri. 2012. Melawan Kemiskinan Berbasis Potensi Lokal di Kabupaten Buton. Laporan Desk Study IRE Yogyakarta bekerjasama dengan ACCESS Phase II. Yogyakarta. Heinke, Gary W., et.al. 1996. Environemental Science ang Engineering. Second Edition. Prentice-Hall International, Inc. The United State of America. Ife, Jim dan Frank Tesoriero. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Edisi ke-3. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Jamison, Andrew. 2004. The Making of Green Knowledge: Environmental Politics and Cultural Transformation. Cambridge University Press. United Kingdom. Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Keraf, A. Sonny. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Mitchell, Bruce, B. Setiawan, dan Dwita Hadi Rahmi. 2010. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Neolaka, Amos. 2008. Kesadaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta Rozaki, Abdur. 2012. Dari Desa Krisis Pangan Menuju Mandiri Pangan: Pelajaran Berharga dari Desa Mbatakapidu Sumba Timur. Laporan Stocktaking Study IRE Yogyakarta bekerjasama dengan ACCESS Phase II: Manfaat Program ACCESS terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Yogyakarta. 198
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Sahubawa, Latif. 2010. Valuasi Sumberdaya Pesisir. Studi Kasus Pengembangan Kawasan Ekonomi Produktif Peisisir Pulau Kangean. MPL-UGM. Yogyakarta. Shiva, Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminism, Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkunan. Penerbit IRE Press. Yogyakarta. Soemarwoto, Otto. 2009. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Supriatna, Jatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Supriyono, Harry. 2011. Kajian Yuridis Sistem Penataan dan Penegakan Hukum Lingkungan Administratif dalam Pengendalian Dampak Lingkungan. Ringkasan Disertasi. Universitas Indonesia. Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam: Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. Yulinto, Sg. 2012. Arus Bawah Pengendali Lingkungan. Policy Brief yang diterbitkan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) dan ACCESS Phase IIAusAID. Yogyakarta. Zamroni, Sunaji. 2012. Keberdayaan Desa-desa di Muna Melindungi Hutan. Laporan Stocktaking Study IRE Yogyakarta bekerjasama dengan ACCESS Phase II: Manfaat Program ACCESS terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Yogyakarta. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
199
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
PEREMBANGAN PASAR TRADISIONAL DAN MODERN DI KOTA SEMARAPURA KLUNGKUNG I Gede Suartika Dyana1, Wayan Maba2, I Nyoman Suparsa2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Bali, Indonesia.
Corresponding author email:
[email protected] ., Tel. 081999777234.
ABSTRACT This study uses descriptive fact-finding with the appropriate interpretation. Descriptive research studying the problems in society and ordinances in force in the community as well as specific situations, including about relationships, activities, attitudes, perspectives, and processes that are in progress and the effects of a phenomenon. The results show the development of a modern market Semarapura City from 2005 to 2011 amounted to 87.50%. While the traditional market development in 2005 to 2011 there were no changes in the fixed 2 pieces. The influence of the modern market for traditional markets in the city Semarapura trader profits decline 20.1% food and beverage vendors and notion profit decreased 17.7% notions To maintain a presence in traditional markets offered some alternative solutions is to reform the market infrastructure that includes cleanliness, order, and comfort so as to meet and serve the needs of everyday people. In addition, the regulations need to be enforced distance between the construction of a modern market with traditional markets, the need for regulation of the market komodite so there is no overlap and competition between modern market with a traditional market which in turn may help the market's role in the economy of a region traditional. Keywords: development, traditional and modern markets PENDAHULUAN Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi antara penjual dengan pembeli secara langsung. Dalam pasar tradisional terjadi proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri atas kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual atau suatu pengelola pasar. Kebanyakan pasar tradisional menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa beras, ikan, kacang-kacangan, buah-buahan, sayursayuran, telur, daging, sarana upacara agama hindu dan lain-lain. Pasar modern berbeda dari pasar tradisional, dalam pasar modern penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung. Pembeli melihat label harga yang 200
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
tercantum dalam barang, berada dalam bangunan, dan pelayanannya dilakukan secara mandiri atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan seperti : buah, sayuran, daging, sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekwensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Keberadaan pasar modern tidak hanya di kota metropolitan, tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air, sangat mudah di jumpai pasar modern di sekitar tempat tinggal kita. Di Indonesia pangsa pasar dan kinerja usaha pasar tradisional menurun, sementara pada saat yang sama pasar modern mengalami peningkatan setiap tahunnya . Kontribusi pasar tradisional sekitar 69,9% pada tahun 2004, menurun dari tahun sebelumnya 2003 sekitar 73,7%. Kondisi sebaliknya terjadi pada pasar modern, kontribusi mereka kian hari kian besar (Anonimous, 2007) Kendati persaingan antar pasar modern secara teoritis menguntungkan konsumen, dan mungkin perekonomian secara keseluruhan, relatif sedikit yang diketahui mengenai dampaknya pada pasar tradisional. Mengukur dampak amat penting mengingat pasar modern saat ini secara langsung bersaing dengan pasar tradisonal, tidak hanya melayani segmen tertentu (Harmanto, 2007) Di Kota Semarapura terdapat dua buah pasar tradisional yaitu Pasar Umum Semarapura dan Pasar Umum Galiran Kontribusi pasar tradisional sekitar 60% pada tahun 2011, menurun dari tahun sebelumnya 2010 sekitar 66,41%. Kondisi sebaliknya terjadi pada pasar modern pada tahun 2011 sekitar 40% naik dari tahun sebelumnya 33,59% (Diskoperindag Kabupaten Klungkung, 2011). Di Kota Semarapura pasar modern juga berkembang pesat dengan jumlah pasar modern 16 buah. Hal tersebut seharusnya menjadi pusat perhatian baik pemerintah maupun swasta dan menjadi bahan penelitian karena dikawatirkan memberikan dampak negatif terhadap pasar tradisional. Posisi pasar tradisional terhadap pasar modern mulai terdesak karena pasar modern juga menjual barang yang sama dengan pasar tradisional, sehingga pasar tradisional mulai sepi peminat. Hal ini dapat mengkibatkan tenaga kerja / pedagang banyak menganggur yang berimbas pada keamanan dan ketertiban masyarakat Kabupaten Klungkung. Untuk itu perlu dibuatkan perda tentang komoditi pasar. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan di Kota Semarapura, Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung. Secara teritorial, penelitian ini akan mempunyai lingkup cakupan pasar tradisional di Kota Semarapura dan pasar modern yang letaknya cukup berdekatan. Adapun penentuan daerah sampel ditentukan dengan purposife yaitu dengan pertimbangan-pertimbangan, pasar tradisional di Kota Semarapura memiliki jumlah bangunan dan jumlah pedagang yang cukup banyak dan memiliki lokasi yang strategis dan mudah dijangkau. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan dari bulan Oktober sampai dengan bulan Nopember 2012 Penelitian ini mengambil sebagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi (representative) karena berdasarkan pertimbangan yang logis yaitu kepraktisan, keterbatasan biaya dan waktu, tenaga dan lain-lain, dalam penelitian ini 201
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
adalah pedagang yang terdapat di pasar tradisional, yang masih aktif berdagang sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern. Jumlah pedagang keseluruhan adalah sebanyak 964 orang. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakter yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan metode kuota random sampling yaitu penarikan sampel secara kuota dengan prosentase dan insidental. Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian adalah kata kualitatif mencakup gambaran umum daerah penelitian, situasi dan kondisi pasar, dengan observasi, data kuantitatif berupa jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah pedagang, jam buka pedagang, jumlah omset, sirkulasi barang, margin laba yang dilakukan dengan observasi dan wawancara dengan panduan kuisioner. Metode Analisis Data Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajarai masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikapsikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Deskripsi Daerah Penelitian Kota Semarapura merupakan ibukota dari Kabupaten Klungkung. Kota Semarapura berada di Kecamatan Klungkung terletak di antara 115 021‘28‘ – 115037‘43‖ BT dan 008027‘37‖-008049‘00‖ LS, dengan luas wilayah 315 kilometer persegi. Kota Semarapura berada pada ketinggian 93 meter di atas permukaan laut, rata-rata curah hujan 2155 mm dengan suhu minimum 23,20C- 24,30C dan suhu maksimum berkisar antara 84- 85%. Kota Semarapura memiliki batas-batas sebagai berikut : Sebelah utara : Desa Tegak Sebelah Selatan : Desa Satra Sebelah Timur : Tukad Unda Sebelah Barat : Desa Tihingan Kota Semarapura terbagi ke dalam 6 kelurahan yaitu: Kelurahan Semarapura Kaja, Kelurahan Semarapura Klod, Semarapura Kangin, Semarapura Kauh, Semarapura Klod Kangin, dan Semarapura Tengah. Pasar Tradisional Pasar Tradisional di Kota Semarapura berjumlah 2 buah yaitu Pasar Umum Semarapura dan Pasar Umum Galiran dibuka pada pagi hingga sore hari. Barangbarang yang dijual beraneka ragam di antaranya kebutuhan pokok seperti buahbuahan, hasil bumi, sayur-sayuran, makanan dan minuman, kain, palen-palen, sepatu,sandal, alat pertanian, perlengkapan upacara. Kondisi pasar tradisional sempit, kurang nyaman, bau, kotor, lahan parkir kurang memadai, fasilitas MCK kurang memadai dan keamanan pasar tidak terjamin. 202
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Pasar Modern Pasar modern di Kota Semarapura berjumlah 16 buah yang tersebar di Kota Semarapura yaitu : (1) Indomart di Jalan Plamboyan, (2) Alpha Mart di Jalan Plamboyan, (3) Swalayan Mini Arta Mandala, (4) Indomart di Jalan Untung Surapati, (5)Swalayan Mira Arta di Jalan Gajah Mada, (6) Indomart Jalan Gajah Mada, (7) Swalayan Inti Kopas Srinadi, (8) Cahaya Melati I di Jalan Puputan, (9) Cahaya Melati II di Jalan Puputan, (10) Indomart di Jalan Puputan, (11) Swalayan Kopas Srinadi di Jalan Rama, (12) Indomart Sampalan, (13) Indomart Banjarangkan, (14) Alpha Mart Banjarangkan, (15) Swalayan Cinta Mani (16) Swalayan Mini Kopas Srinadi . Pasar modern ini menjual segala keperluan sehari-hari, seperti : beras, susu, makanan, minuman dan lain-lain. Kondisi Pasar modern memiliki keunggulan yakni aman, nyaman, dan bersih. Perkembangan Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Kota Semarapura Pasar modern di Kota Semarapura telah mulai berkembang sejak tahun 2005. Pasar modern yang pertama berdiri saat itu adalah pasar modern Cahaya Melati yang hingga saat ini telah berumur 8 tahun setelah itu munculah pasar-pasar modern yang lain.
Perkembangan Pasar Modern di Kota Semarapura 20
14
15
10
10 5
16
2
3
5
7
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 1. Perkembangan Pasar Modern di Kota Semarapura. Tabel 1 Perkembangan Pasar Modern di Kota Semarapura Tahun 2005 – 2011 dalam Persen (%) Persentase Perkembangan setiap tahun No Tahun Minimarket 1 2005-2006 33,33% 2 2006-2007 40,00% 3 2007-2008 28,57% 4 2008-2009 30,00% 5 2009-2010 28,57% 6 2010-2011 12,50% Total (%) 87,50% Sumber : analisis data primer
203
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Dari tabel 1. diatas dapat dilihat perkembangan pasar modern di Kota Semarapura dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2011 sebesar 87,50% Tabel 2. Data Pasar Tradisional di Kota Semarapura tahun 2005-2011 No Nama Pasar 1 Pasar Umum Semarapura 2 Pasar Umum Galiran Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Jumlah(unit) 1 1
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada pasar tradisional tidak terdapat perubahan dalam jumlah sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2011 yaitu sebanyak 2 buah. Pengaruh Pasar Modern terhadap Eksistensi Pasar Tradisional di Kota Semarapura a. Kondisi Usaha Pedagang makanan dan minuman di Pasar Tradisional b. tidak terdapat perbedaan jam buka dan jam tutup sebelum dan sesudah adanya pasar modern. Terhadap sirkulasi barang sebelum dan sesudah adanya pasar modern juga tidak terjadi perubahan c. Kondisi Usaha Pedagang Palen-palen di Pasar Tradisional d. Pada pedagang palen-palen jam buka dan jam tutup sebelum dan sesudah adaanya pasar modern rata-rata jam buka adalah jam 06,00 Wita dan jam tutup 17.00 Wita. Dengan rata-rata jumlah sirkulasi barang setiap bulannya sebanyak 20 x 1bulan. e. Laba Pedagang Sebelum dan Sesudah Berdirinya Pasar Modern Laba Pedagang Makanan dan Minuman Penurunan yang cukup signifikan terjadi dalam jumlah rata-rata laba kotor pedagang makanan dan minuman antara sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern. Dengan rata-rata persentase penurunan sebesar 20,1%. Dengan kisaran penurunan laba terendah pada 2,8% dan tertinggi pada 48,7%. Laba Pedagang Palen-palen Penurunan yang cukup signifikan dalam jumlah rata-rata laba pedagang palen-palen antara sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern. Dengan rata-rata penurunan sebesar 17,7%. Dengan kisaran penurunan laba terendah pada 7,7% dan tertinggi 37,% Kondisi Pengunjung Pasar Tradisional dan Modern di Kota Semarapura. Hasil observasi langsung dan hasil wawancara kepada beberapa pengunjung pasar modern dan pasar tradisional di Kota Semarapura, menyatakan bahwa beberapa alasan utama melakukan perpindahan berbelaja dari pasar tradisional ke pasar modern diantaranya: 1). Karena kualitas produk yang diperdagangkan. Konsumen merasa produk yang diperdagangkan di pasar modern lebih dapat dipercaya dan terjamin kualitasnya bila dibandingkan pasar tradisional. Tingkat kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional menurun drastis. Pada akhirnya, konsumen akan lebih memilih untuk membeli barang bermerk di pasar modern dibandingkan di pasar tradisional. 204
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
2). Masalah kebersihan dan kenyamanan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tingkat kebersihan di pasar modern jauh lebih baik dibandingkan di pasar tradisional. Tidak akan terlihat sampah-sampah bertebaran di pasar modern, lain halnya dengan di pasar tradisional.
Upaya – upaya yang di lakukan agar Eksistensi Pasar Tradisional Tetap Eksis sehingga Mampu Bersaing dengan Pasar Modern Upaya-upaya yang dilakukan agar eksistensi pasar tradisional mampu bersaing dengan pasar modern Pasar tradisional juga merupakan salah satu pendongkrak perekonomian kalangan menengah ke bawah, dan itu jelas memberikan efek yang baik bagi pemerintah Kabupaten Klungkung, pasar tradisional memiliki kelemahan yang sangat urgen adalah pada kumuh dan kotornya lokasi pasar, cara pengemasan barang membuat kurang dilirik konsumen, dan jelas hal seperti itu cukup membahayakan keberadaan pasar tradisional. a. Kebersihan Pasar. Belum optimalnya kebersihan pasar, untuk menjaga kebersihan pasar Pemerintah Kabupaten Klungkung melalui dinas Kebersihan dan Pertamanan menempatkan petugas kebersihan ( cleaning cervice) dipasar Tradisional Galiran dan Pasar Semarapura. Tenaga claning service ini bekerja pagi dan sore hari, sampah yang terkumpul dibuang di TPA Sente. b. Parkir Perlunya penataan parkir karena kondisi parkir belum tertata dengan baik, karena masih banyak pengunjung parkir tidak sesuai dengan peruntukannya dan banyaknya pedagang diatas mobil yang menambah kumuh pasar. c. Kenyamanan Pasar Perlunya penataan pasar yang lebih baik, karena banyak pedagang memanfaatkan jalan untuk berjualan sehingga menggangu pengunjung yang lewat dipasar. Banyaknya pedagang kaki lima yang berjualan di pintu masuk pasar sehingga kenyamanan pasar terganggu dan kelihatan kumuh, hal ini dapat mengurangi minat pengunjung. d. Pasilitas Umum pasar Kurangnya pasilitas umum pasar seperti kamar mandi dan WC, Telpon Umum. Kamar mandi dan wc yang ada letaknya terlalu jauh dan kebersihannya sangat kurang dan bau kurang sedap. PEMBAHASAN Perkembangan Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Kota Semarapura Perkembangan pasar modern di kota Semarapura dari tahun 2005 sampai tahun 2011 sebesar 87,50%. Karena jumlah pasar modern pada tahun 2005 dua buah dan berubah menjadi 16 pada tahun 2011 berarti terjadi penambahan sebanyak 14 buah. Untuk perkembangan setiap tahunnya dapat dilihat pada tabel 14b. Pada tahun pertama terjadi peningkatan dari dua buah menjadi tiga buah atau sebesar 33,33%. Setelah itu terjadi perkembangan yang cukup besar tahun ke-2 yaitu sebesar 40,00%. Hal ini menunjukkan gaya hidup masyarakat yang mulai berubah, dan semakin banyak yang beralih ke pasar modern, sehingga untuk memenuhi itu muncullah pasarpasar modern yang baru, yang menyajikan, menawarkan tempat lebih luas, banyak 205
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
jenis barang yang dijual, manajemen lebih terkelola, harga pun sudah menjadi harga tetap. Ritel modern ini menggunakan konsep melayani sendiri atau biasa disebut swalayan. Kondisi ini telah menyulitkan para pedagang tradisional, karena dengan banyaknya pasar modern itu tidak banyak alasan lagi untuk pelanggan tetap mempertahankan berbelanja di pasar tradisional. Apalagi yang selama ini menjadi keunggulan pasar tradisonal yaitu harga yang cukup murah juga ditawarkan pada pasar modern. Tidak terdapat perubahan dalam jumlah sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2011 yaitu sebanyak 2 buah, yang berubah hanyalah jumlah pedagang. Penambahan pedagang di pasar tradisional sebesar 17,54 % (20 orang) untuk pedagang makanan dan minuman dan sebesar 19,05% (20 orang) untuk pedagang palen-palen. Penambahan tersebut terjadi karena semakin banyak penduduk Kota Semarapura yang tidak memiliki pekerjaan dan berusaha mencari nafkah dengan berdagang walaupun sebenarnya kondisi para pedagang tradisional saat ini sedang dalam ancaman, sebagian pedagang memang tidak menyadari hal itu, dan sebagian lagi sudah menyadarinya tetapi demi tetap bertahan hidup maka mereka tetap melakoni pekerjaan tersebut dengan segala resikonya. Pengaruh Pasar Modern terhadap Eksistensi Pasar Tradisional di Kota Semarapura a. Kondisi Usaha Pedagang makanan dan minuman di Pasar Tradisional Tidak terdapat perbedaan jam buka dan jam tutup sebelum dan sesudah adanya pasar modern. Terhadap sirkulasi barang sebelum dan sesudah adanya pasar modern juga tidak terjadi perubahan. Namun, dalam jumlah barang yang dipasok setiap bulannya berbeda sebelum dengan sesudah adanya pasar modern jumlah barang yang dipasok lebih besar daripada setelah berdirinya pasar modern, hal ini dapat diketahui dari jumlah penjualan sebelum dan sesudah adanya pasar modern. b. Kondisi Usaha Pedagang Palen-palen di Pasar Tradisional Demikian juga halnya pada karakteristik pedagang komoditi palen-palen, dimana jam buka dan jam tutup sebelum dan sesudah adaanya pasar modern rata-rata jam buka adalah jam 06,00 Wita dan jam tutup 17.00 Wita. Dengan rata-rata jumlah sirkulasi barang setiap bulannya sebanyak 20 x 1bulan. c. Laba Pedagang Sebelum dan Sesudah Berdirinya Pasar Modern 1). Laba Pedagang Makanan dan Minuman Penurunan yang cukup signifikan terjadi dalam jumlah rata-rata laba kotor pedagang makanan dan minuman antara sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern. Dengan rata-rata persentase penurunan sebesar 20,1%. Dengan kisaran penurunan laba terendah pada 2,8% dan tertinggi pada 48,7%. Penurunan ini disebabkan oleh jumlah pedagang yang tetap dan jumlah pembeli berkurang karena sebagian telah beralih ke pasar modern, hal ini dapat diketahui dari pengakuan yang dikemukakan oleh para pedagang makanan dan minuman. Dari 29 pedagang responden yang diwawancarai oleh penulis hanya beberapa pedagang yang mengatakan bahwa pasar modern tidak begitu berpengaruh untuk dagangannya karena pedagang tersebut beranggapan bahwa yang menyebabkan penurunan laba tersebut adalah semakin meningkatnya persaingan antar pedagang, baik dari segi kualitas dan harga. Sehingga yang bertahan menjadi pelanggan dipasar tradisional adalah penduduk yang memiliki jarak yang cukup dekat antara rumahnya 206
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
dengan pasar tradisional dan sebagian lagi adalah pelanggan tetap yang dimiliki oleh setiap pedagang.Sedangkan penyebab terjadinya perbedaan penurunan diantara setiap pedagang tersebut adalah dilatarbelakangi oleh masalah perbedaan jumlah pelanggan tetap yang dimiliki, harga beli dan harga jual masing-masing pedagang serta keberuntungan dari setiap pedagang. 2). Laba Pedagang Palen-palen Penurunan yang cukup signifikan dalam jumlah rata-rata laba pedagang palenpalen antara sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern. Dengan rata-rata penurunan sebesar 17,7%. Dengan kisaran penurunan laba terendah pada 7,7% dan tertinggi 37,% Penurunan ini sama saja dengan dialami oleh pedagang makanan dan minuman yaitu disebabkan oleh jumlah pedagang yang semakin bertambah dan pembeli yang berkurang karena sebagian telah beralih ke pasar modern. Sehigga yang bertahan menjadi pelanggan dipasar tradisional ini adalah penduduk yang memiliki jarak yang cukup dekat antara rumahnya dengan pasar modern dan sebagian lagi adalah para pelanggan tetap yang dimiliki oleh setiap pedagang. d. Kondisi Pengunjung Pasar Tradisional dan Modern di Kota Semarapura. Hasil observasi langsung dan hasil wawancara kepada beberapa pengunjung pasar modern dan pasar tradisional di kota Semarapura, menyatakan bahwa beberapa alasan utama melakukan perpindahan berbelaja dari pasar tradisional ke pasar modern diantaranya: 1). Karena kualitas produk yang diperdagangkan. Konsumen merasa produk yang diperdagangkan di pasar modern lebih dapat dipercaya dan terjamin kualitasnya bila dibandingkan pasar tradisional. Tingkat kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional menurun drastis. Pada akhirnya, konsumen akan lebih memilih untuk membeli barang bermerk di pasar modern dibandingkan di pasar tradisional. 2). Masalah kebersihan dan kenyamanan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tingkat kebersihan di pasar modern jauh lebih baik dibandingkan di pasar tradisional. Tidak akan terlihat sampah-sampah bertebaran di pasar modern, lain halnya dengan di pasar tradisional. Kebersihan itulah yang kemudian akan membentuk mindset konsumen akan kualitas produk yang dijual di pasar tersebut. Konsumen akan merasa kualitas produk yang mereka beli di pasar modern lebih baik karena kondisi tempat penjualannya yang lebih higienis. Berikut deskripsi dari hasil observasi langsung terhadap pasar tradisional dan pasar modern di Kota Semarapura tentang perbedaan identifikasi antara pasar tradisional dan pasar modern. Penelitian AC Nielsen tahun 2007 menyatakan bahwa 93% konsumen mengatakan kegiatan berbelanja adalah hiburan dan rekreasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada saat melakukan pembelian aktual, konsumen tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga memenuhi kebutuhan emosionalnya, seperti ingin berekreasi, kebutuhan akan rasa gengsi pada saat berbelanja, sehingga konsumen cenderung mencari tempat perbelanjaan yang memuaskan harapannya. Pengaruh pasar modern terhadap pasar tradisional berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan para pedagang dipasar tradisional di Kota Semarapura ada beberapa akibat yaitu : 1. Menunjukan adanya penurunan kinerja pedagang pasar tradisonal secara keseluruhan dengan kehadiran pasar modern di Kota Semarapura.
207
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
2. Lokasi pasar modern yang berdekatan dengan pasar tradisional yang berdampak pada kegiatan bisnis pasar tradisional yaitu dengan secara tidak langsung lebih menyerap sejumlah besar konsumen. 3. Dapat menyebabkan penurunan omset dan keuntungan pasar tradisional karena sebagian besar konsumen lebih memilih untuk berbelanja di pasar modern. 4. Para pedagang yakin bahwa dimasa mendatang, keberadaan pasar modern bakal mengganggu keberadaan pasar tradisional karena produk yang dijual tidak berbeda dengan harga yang sama atau bahkan lebih rendah.
Upaya – upaya yang di lakukan agar Eksistensi Pasar Tradisional Tetap Eksis sehingga Mampu Bersaing dengan Pasar Modern Pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh Pasar Modern, lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan sikap keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan tersendiri yang dimiliki pasar tradisional. Selain keunggulan yang tadi, pasar tradisional juga merupakan salah satu pendongkrak perekonomian kalangan menengah ke bawah, dan itu jelas memberikan efek yang baik bagi pemerintah Kabupaten Klungkung Pasar tradisional memiliki kelemahan yang sangat urgen adalah pada kumuh dan kotornya lokasi pasar, cara pengemasan barang membuat kurang dilirik konsumen, dan jelas hal seperti itu cukup membahayakan keberadaan pasar tradisional. Dengan semakin banyaknya pasar-pasar modern di Kota Semarapura itu semua bisa atasi salah satunya dengan cara lebih memperhatikan keadaan pasar tradisional, baik itu dari lingkungan ataupun dengan cara membatasi pembuatan pasar modern, letak pasar juga jangan berdekatan, dan sebisa mungkin pasar tradisional harus dibentuk serapi dan seindah mungkin agar bisa menarik perhatian para pembeli, sehingga pasar tradisional tetap bisa bertahan. Perlu adanya rekomendasi kebijakan dalam rangka menjamin berkembangnya pasar tradisional dalam upaya peningkatan daya saing pasar tradisional. Hal ini melibatkan beberapa strategis : a. Perbaikan bangunan pasar dan pasilitas umum seperti kamar mandi dan wc yang mencakup terjaminnya kesehatan yang layak, peningkatan kebersihan pasar, cahaya yang cukup dan kenyamanan pasar, dan penyediaan lahan parkir yang memadai. Pengelola pasar harus secara konsisten melakukan koordinasi dengan para pedagang untuk mencapai pengelolaan pasar yang lebih baik. Usaha bersama (dalam bentuk perjanjian kerja) antara Pemda dan sektor swasta juga dapat menjadi solusi terbaik untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional di Kota Semarapura. b. Pengelola pasar seharusnya mengorganisasikan para pedagang kaki lima , baik dengan menyediakan kios didalam pasar atau dengan menegakkan aturan yang melarang mereka membangun lapaknya disekitar pasar. Hal yang sangat penting juga adalah bahwa para pedagang kaki lima tidak diperkenankan untuk berjualan di pintu masuk pasar sehingga menghalangi akses ke dalam pasar. c. Berkaitan dengan para pedagang sendiri, kebanyakan pedagang tidak memiliki pilihan kecuali harus membayar tunai kepada para pemasok dan 208
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
menggunakan modal sendiri untuk kegiatan bisnisnya. Mengingat tidak lazimnya penyediaan jaminan bagi sebuah usaha, maka para pedagang menjadi kelompok yang rentan terhadap setiap guncangan kecil sekalipun. Karena itu upaya mengkaji jenis asuransi yang cocok bagi para pedagang menjadi penting artinya dan membantu mereka bila membutuhkan modal tambahan untuk pendanaan perluasan usahanya. d. Perlu adanya kebijakan menyeluruh mengenai pasar modern, termasuk peraturan untuk isu-isu seperti hak dan tanggung jawab pengelola pasar dan Pemda, serta sanksi kepada mereka yang melanggar peraturan. Demi menjamin persaingan yang sehat antara pedagang pasar tradisonal dan peritel modern, Pemda perlu memiliki mekanisme kontrol dan pemantauan untuk menjaga agar arena persaingan tetap adil. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Perkembangan pasar tradisional dan modern Pasar modern di Kota Semarapura mengalami perkembangan dalam jumlah sejak tahun 2005 sampai tahun 2011 yang cukup besar yaitu sebesar 87,50%. Sedangkan untuk jumlah pasar tradisional di Kota Semarapura tidak terdapat perubahan yaitu sebanyak 2 buah. Namun disisi lain dipasar tradisional terjadi peningkatan jumlah pedagang dan jenis produk barang.sedangkan dilihat dari jumlah pengunjung lebih sedikit dari sebelumnya karena diperkirakan beralih ke pasar modern. 2. Pengaruh pasar modern terhadap eksistensi pasar tradisional di Kota Semarapura : a. Pasar tradisional mengalami penurunan seiring dengan semakin besarnya daya tarik pasar modern, penurunan kinerja pasar tradisional di sebabkan oleh maraknya pasar modern , juga disebabkan karena kelemahan manajemen pasar tradisional, masalah bangunan dan lemahnya daya dukung permodalan dan ketidak mampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen. b. Tidak terdapat pengaruh yang nyata antara jumlah jam buka, rata-rata sirkulasi barang, rata-rata margin laba pedagang di pasar tradisional di Kota Semarapura sebelum dan setelah berdirinya pasar modern . c. Terdapat pengaruh yang nyata antara pendapatan bersih pedagang di pasar tradisional di Kota Semarapura sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern. 3. Upaya-upaya yang dilakukan agar eksistensi pasar tradisional tetap eksis sehingga mampu bersaing dengan pasar modern : a. Daya dukung peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tegas, perbaikan bangunan pasar, sarana dan prasarana lainnya seperti kamar mandi,WC , penguatan manajemen pasar, dukungan permodalan. b. Peningkatan kebersihan pasar dengan menambah petugas kebersihan pasar dan menyediakan tempat-tempat sampah di sekitar pasar c. Meningkatkan kenyamanan dan keamanan pasar sehingga mampu menarik pengunjung untuk datang ke pasar tradisional. d. Menyediakan lahan parkir yang nyaman bagi pengunjung.
209
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
DAFTAR PUSTAKA Angel,et al.2001. Perilaku Konsumen. Edisi Keenam. Jilid 1 Jakarta: Binarupa Aksara Anonimous, 2007. Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket terhadap Ritel/Pasar Tradisonal BPS Kabupaten Klungkung Chotimah,H.2010. Analisis Aksibilitas Konsumen pada Pasar Tradisional dan Modern(Study Pada Tradisional Pasar Wonokromo dan Dtc/Darmo Trade Center Surabaya.Skripsi S1 Jurusan Manajemen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Daniel,W. 2007. Peran Pasar Tradisional Memudar, DPD Tuding pemodal besar.Detiknet.Jakarta.http://jkt6a.detikspot.com/read/2007/08/23/10543 1/820634/4/peran-pasar-tradisonal-memudar-dpd-tuding-pemodal-besar. Darmawan,A.S.2007. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta Harmanto. 2007. http://harmanto.blog.detik.com/index.php/archives/.61 diakses 12 Desember 2012 Leksono.S, 2009. Runtuhnya Modal Sosial pasar Tradisional. CV.Citra.Malang Nielsen,C. 2003. Pasar Modern Terus Geser Peran Pasar Tradisional. Dalam http://bandungkab.go.id.php?option=com.Bandung Rully,I. 2008. Kebijakan Publik yang Mengatur Sinergitas Pasar Modern dan Tradisional Wildan,E. 2007. Pasar Modern : Ancaman Bagi Pasar tradisional Wordpress. Jakarta Wikipedia.2007.http:id.wikipedia.org/wiki/pasar/pertumbuhanritelModern dan DampaknyabagiRitelTradisional.http://appsijatim.multiply.com/reviews/it em/3
210
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
SINERGI PKBL PERTAMINA DAN PERGURUAN TINGGI MELALUI PROGRAM MP3D (MITRA PERTAMINA PENGGERAK PEMBANGUNAN DESA) DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI NTT I Ketut Widnyana1 dan Gatot Siswowijono2 1
Lecturers on the program for regional development planning and environmental management graduate program Mahasarsawati University Denpasar 2 PKBL manager of PT Pertamina (Persero) Tbk. Eastern Indonesia Regional: Corresponding author email :
[email protected]
ABSTRACK The territory of the Republic of Indonesia stretches from Sabang to Merauke by the number of 17,504 islands comprising 7,870 islands that already have a name and the 9,634 islands that do not have names. This condition causes the Development imbalance between urban and rural areas, as well as on those areas of the Outer, Frontier, and the Disadvantaged. In the Development equalization efforts in all parts of Indonesia it is not enough just to rely on the government alone, but the various agencies that have concern for the marginalized community groups need to cooperate and work together in improving the lives of people in all parts of Indonesia. Science and technology for the Public Services Forum (FLipMas) is a collection of lecturers Higher Education Affairs and Private Universities that have a high concern for the use of knowledge for the betterment of society. FLipMas been established in almost all parts of Indonesia and is a nonprofit organization but is professionalism in improving the nation's reasoning starts from the village belonging to disadvantaged Partnership Program and Community Development (PKBL) PT Pertamina (Persero) Tbk has given to the lecturers who are members of FLipMas in various regions of Indonesia to cooperate to build a poor village in a program called Partners Pertamina Village development Activator (MP3D). For the NTT MP3D activities undertaken by NTT FLipMas (FLipmas Hetfen) and for the year 2012 has been working to advance 24 villages in four districts namely Belu, TTU, TTS and Kupang Key words: the outer villages, poor, FLipMas, MP3D, Pertamina PENDAHULUAN Karakter bangsa Indonesia saat ini sedang berada di titik nadir, menandai keterpurukan bangsa Indonesia di berbagai bidang. Perbaikan karakter bangsa akan menjadi kunci utama bagi bangsa Indonesia untuk bisa bangkit dari berbagai keterpurukan guna menyongsong peradaban baru yang lebih baik ke depan. Demikian juga perekonomian tingkat bawah menjadi program yang harus diprioritaskan untuk lebih dintingkatkan guna menangkal keterpurukan perekonomian di tingkat ekonimi 211
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
kecil menengah. Berbagai lembaga harus bersinergi untuk dapat melepaskan masyarakat Indonesia dari belenggu keterpurukan, kemiskinan, dan keterbelakangan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa dengan luasnya wilayah RI, maka ketimpangan pembangunan pasti akan terjadi. Ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat menjadi pemicu konflik deintegrasi bangsa sehingga dapat menggangu persatuan dan kesatuan RI. Pertamina sebagai salah satu BUMN yang terbesar mempunyai komitmen yang tinggi dalam pengentasan kemiskinan masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu BUMN yang mempunyai keuntungan dan dibawah kementerian BUMN wajib untuk mengalokasikan keuntungan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, oleh sebab itu PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) PT.Pertamina mendapat tugas untuk membangun desa-desa tertinggal diseluruh wilayah Republik Indonesia dan menjadikan desa tersebut menjadi desa mandiri. Program pengembangan desa tertinggal tersebut disebut dengan program Pertamina Membangun Desa (PMD). Dalam melaksanakan program PMD, Pertamina membutuhkan bantuan dari mitra dari berbagai lembaga, diantaranya adalah dari Forum Layanan Ipteks bagi Masyarakat (FLipMAS) yang digagas dan dibentuk oleh Prof Sundani Nurono Soewandi, yang sudah terbentuk diberbagai wilayah Indonesia. Mitra tersebut disebut dengan Mitra Pertamina Penggerak Pembangunan Desa (MP3D). Program Bina Lingkungan Pertamina dilaksanakan sejak tahun 2004. Program ini ditujukan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat di sekitar wilayah operasi Perusahaan. Cakupan kegiatan Program Bina Lingkungan meliputi pemberian bantuan untuk bencana alam, bantuan pendidikan dan pelatihan, bantuan prasarana umum, bantuan kesehatan masyarakat, bantuan sarana ibadah serta bantuan pelestarian alam. Dalam menjalankan program Bina Lingkungan ini, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Pertamina juga melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain seperti KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), Perguruan Tinggi, Organisasi-organisasi, Anak Perusahaan dan Konsultan. Program-program yang dilaksanakan melalui kerja sama diantaranya adalah Pelatihan Guru dengan TEQIP (Teacher Quality Improvement Program), Bedah Desa Mandiri Pertamina yang dibuka di Desa Klamono dan Salawati Sorong, Program Deteksi Dini Kanker Serviks, Bhakti Sosial dan MP3D (Mitra Pertamina Penggerak Pembangunan Desa), Program Beasiswa Khusus dan sebagainya. Di samping program-program tersebut terdapat program bantuan, yang pelaksanaannya didasarkan pada instruksi Kementerian BUMN, yang dinamakan dengan Bantuan BUMN Peduli. Bantuan Bina Lingkungan telah memberikan kontribusi besar bagi peningkatan kehidupan masyarakat serta kemajuan dalam bidang pendidikan. Selain itu program Bina Lingkungan juga telah menunjukkan keberadaannya dalam bidang kesehatan, keagamaan, prasarana umum dan pelestarian alam, serta bantuan bencana alam. Realisasi penyaluran dana program Bina Lingkungan selama tahun 2011 mencapai lebih kurang Rp 125 miliar atau mencapai 43% dari anggaran yang disediakan sebesar Rp 294 miliar (Pertamina, 2013). Penyaluran tersebut terdiri dari: Penyaluran Bina Lingkungan Sendiri sebesar Rp 110,3 miliar atau sebesar 53,5% dari anggaran yang seharusnya disalurkan sebesar Rp 206 miliar, Penyaluran Bina Lingkungan BUMN Peduli mencapai sebesar Rp 14,7 miliar, atau 16,7% dari anggaran yang seharusnya disalurkan sebesar Rp 88 miliar.
212
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
Daerah Tertinggal Daerah tertinggal merupakan Kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relative kurangberkembangdibandingkan daerah lain dalamskalanasional. Penentuan daerah tertinggal menggunakan 6 (enam) kriteria dasar, yaitu : 1)perekonomian masyarakat, 2)sumberdaya manusia, 3)infrastruktur, 4)kemampuan keuangan lokal, 5)aksesibilitas, dan 6) karakteristik daerah. Masalah Pembangunan Daerah Tertinggal disebabkan oleh : Disparitas pembangunan wilayah, ada kesenjangan yang sangat mencolok (seperti Jawa vs luar Jawa, Kota vs Desa, Daerah Tertinggal vs Daerah Maju), Disparitas tersebut merupakan residu pembangunan masa lalu. Butuh kebijakan yang sangat affirmatif untuk memperkecil kesenjangan dimaksud. Tiga realitas di Daerah Tertinggal adalah menonjol dalam:kemiskinan, pengagguran, ketertinggalan (Helmy Faisal Zaini, 2010). Sebaran Kabupaten daerah tertinggal di Indonesia disajikan pada gambar 1 dan gambar 2
Gambar 1. Sebaran kabupaten daerah Gambar 2. Jumlah kabupaten daerah tertinggal tahun 2007 (Menteri Pembangunan tertinggal di daerah perbatasan dan non Daerah Tertinggal, 2010) perbatasan (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, 2010)
Tiga Strategi Penegmbangan wilayah dalam pengentasan kemiskinan secara Nasional adalah Pro Growth, Pro Job, dan Pro Poor, dengan target masing – masing untuk program PRO GROWTH menuju pertumbuhan 7 % tahun 2014 yang akan dicapai melalui :Peningkatan Kapasitaskegiatan Ekonomi melalui peningkatan arus investasi, Peningkatan ketersediaan infrastruktur: (Jalan, Jembatan, Energy danAir), Peningkatan kualitas manusia dan Peningkatan Birokrasi yang efisien; PRO JOB pengurangan pengangguran menjadi 5%-6% akan dapat dicapain melalui program Peningkatan kapasitas produksi melalui pengembangan komoditas primer yang mampu menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya, Penciptaan nilai tambah, engembangan Infra struktur desa, Peningkatan kualitas manusia; PRO POOR menuju pengurangan angka kemiskinan yang akan dicapai melalui : Peningkatan Pemberdayaan masyarakat, Mendorong Perbaikan Kesejahteraan TenagaKerja, Mendorong Ketersediaan Infrastruktur Pelayanan Dasar. prioritas nasional RPJM 213
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
nasional 2010-2014, meliputi : Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, Pendidikan, Kesehatan, Penanggulangan Kemiskinan, Ketahanan Pangan, Infrastruktur, Iklim Investasi dan Iklim Usaha, Energi, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik, Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi (Helmy Faisal Zaini, 2010). Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup (Davies and Quinlivan, 2006). IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia: Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga). Standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli. Menurut data tahun 2007 Indonesia menduduki IPM ke 111 dari 182 negara, sementara Malaysia urutan ke 66, Singapura urutan ke 23, dan Jepang yang merupakan Negara maju menempati urutan ke 10 (Wikipedia, 2013). Program MP3D/ Mitra Pertamina Penggerak Pembangunan Desa Program MP3D PKBL PT Pertamina (Persero) Tbk. bekerjasama dengan Forum Layanan Ipteks bagi Masyarakat (FLipMAS) mulai mulai digulirkan pertengahan tahun 2012, yang diawali dari provinsi Sulut meliputi 10 desa, Papua Barat 16 desa, dan NTT meliputi 24 Desa. Menjelang akhir tahun 2012, wilayah yang disasar sudah semakin banyak, seperti Aceh, Sumut, Riau, Jateng, Kalteng dengan jumlah desa yang semakin bertambah. PT pertamina memberikan kepercayaan kepada FLipMAS yang sudah menyebar di 25 provinsi di Indonesia (sesuai data akhir Maret 2013). Koordinator Small Medium Enterprice dan Sosial Responsibility (SME & SR), PT. Pertamina, Wahyu Suswinto mengatakan bahwa program MP3D menyasar desadesa diseluruh Indonesia yang tergolong desa 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dengan menggunakan 3 (tiga) strategi yaitu Pro Growth yaitu mendorong peningkatan investasi dan ekspor serta produksi komoditi primer dan industry pengolahan, Pro Job dan Pro Poor yaitu perlindungan social, pemberdayaan masyarakat , dan penguatan ekonomi rakyat. Kerangka Berpikir dari program MP3D adalah Program Pengembangan Desa Tertinggal menjadi Desa Mandiri dengan Goal : Meningkatnya kualitas hidup masyarakat pedesaan. Untuk dapat menilai keberhasilan program MP3D maka indikatornya adalah: Meningkatnya pendapatan masyarakat, Meningkatnya kualitas pendidikan dasar, dan meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat 214
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
A. Output Bidang Ekonomi 1. Terbangunnya pemberdayaan masyarakat dan berbagai kelompok usaha yang ada di desa 2. Berkembangnya usaha para pedagang kecil, tani, ternak dan tenun 3. Meningkatnya daya saing usaha sektor-sektor Indikator : a. Tersedianya usaha kreatif masyarakat lokal b. Tersedianya jenis-jenis pengembangan usaha yang dibutuhkan di desa c. Terlaksananya berbagai jenis pelatihan keterampilan bagi para pelaku dan pekerja industri kecil di desa d. Terbentuknya kelembagaan bagi usaha masyarakat e. Terbangunnya jejaring pendukung bagi usaha masyarakat f. Tersedianya bantuan usaha dan pelatihan penambahan nilai bagi produk unggulan daerah bagi kaum wanita g. Tersedianya kebutuhan para pelaku pedagang kecil di desa h. Tersedianya fasilitas usaha masyarakat pedagang kecil, tani, ternak dan tenun di desa i. Tersedianya bantuan usaha bagi masyarakat pedagang kecil, tani, ternak dan tenun di desa j. Tersedianya pelatihan kerajinan untuk pemberdayaan perempuan sesuai dengan potensi lokal daerah k. Terlatihnya nelayan tradisional dalam mengelola hasil perikanan l. Tersedianya alat-alat penangkapan ikan yang memadai bagi nelayan m. Tersedianya alat-alat pengolahan hasil ikan n. Tersedianya informasi peluang pasar B. Output Bidang Pendidikan 1. Meningkatnya kemampuan dan pengetahuan guru dan siswa di sekolah dasar percontohan 2. Meningkatnya fasilitas buku bacaan di sekolah dasar 3. PAUD, SD, SLTP, SLTA, Asrama (SLTA atau Mahasiswa) Indikator: a. Terlaksananya semua pelatihan peningkatan kapasitas guru sekolah dasar b. Pendampingan dan monitoring implementasi pelatihan c. Terdatanya sekolah dasar unggulan yang akan dikunjungiTerlaksananya studi banding ke sekolah dasar unggulan d. Tersedianya fasilitas bacaan di masing-masing kelas C. Output Bidang Kesehatan 1. Terbangunnya Sarana Air bersih di desa layanan 2. Tersedianya sarana kebersihan di desa layanan 3. Posyandu 4. Puskesmas Indikator: a. Terbentuknya panitia air di masing-masing desa 215
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
b. Terbangunnya pengadaan air bersih di masing-masing desa layanan c. Tersedianya sarana Air bersih seperti bak penampungan air, pompa air dan MCK d. Terlaksananya workshop mengenai sistem pengelolaan dan pengolahan sampah e. Tersedianya fasilitas kebersihan di desa layanan f. Terbangunnya tempat , sistem dan pengolahan sampah dan limbah di lokasi yang sesuai g. Tersedianya transportasi pengangkutan sampah h. Tersosialisasinya program kualitas rumah tinggal dan kelengkapan fasilitas standar rumah tinggal i. Tersedianya Posko Asi eksklusif bagi daerah rawan bencana j. Tersedianya Puskesmas dengan fasilitas rawat inap k. Tersedianya Puskesmas keliling bagi daerah yng sulit terjangkau
Gambar3. Widnyana, 2013. Pola Hierarki Kegiatan MP3D Mitra Pertamina Penggerak Pembangunan Desa Program MP3D di Wilayah NTT Program MP3D di wilayah NTT untuk tahun 2012 mulai dilakukan pada pertengahan tahun secara serentak di 4 (empat) kabupaten yaitu Kupang, TTU, TTS dan Belu bekerjasama dengan FLipMas Hetfen yang merupakan FLipMas wilayah NTT dengan ketuanya adalah Grace Maranatha (Undana). FLipMas Hetfen 216
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
beranggotakan para dosen ProdikMas (profesional pendidik Masyarakat) dari PTN dan PTS, seperti yang ada di wilayah NTT, diantaranya Universitas Flores, Ende Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Kupang, Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, Universitas Muhammadiyah Kupang, Kupang, Universitas Nusa Lontar, Ba'a, Rote Ndao, Universitas PGRI Kupang, Kupang, Universitas Timor, Kefamenanu, Politeknik Negeri, Kupang, Politeknik Pertanian Negeri, Kupang, dan PT lainnya Manajer PKBL Pertamina Indonesia bagian timur, Gatot Siswowijono, membuka Bimbingan Teknik Mitra Pertamina Penggerak Pembangunan Desa di Kupang, Selasa, 13 November 2012, menyatakan bahwa Khusus untuk daerah perbatasan dengan Negara Timor Leste (Kabupaten Belu) PT Pertamina akan pada membangun 24 desa di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste yang tersebar di empat kabupaten. Desa-desa itu dinilai terpencil dan tertinggal serta miliki penduduk miskin terbanyak. Pembangunan 24 desa ini dilaksanakan melalui program mitra Pertamina Penggerak Pembangunan Desa (MP3D) yang akan dilaksanakan selama 3 tahun. Desa-desa tersebut ditetapkan Forum Layanan Iptek bagi Masyarakat Wilayah NTT ( FLipMas Hetfen) yang bekerja sama dengan Pertamina. Pembangunan desa ini, difokuskan pada tiga bidang, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) warga di perbatasan. Diharapkan melalui program ini masyarakat di perbatasan bisa mandiri dan memiliki fasilitas pendidikan yang memadai seperti sekolah dasar (SD) dan pendidikan anak usia dini (PAUD).Di bidang kesehatan ditargetkan satu desa akan dibangun satu puskesmas atau puskesmas pembantu. Dalam sektor ekonomi, masyarakat bisa membuka usaha sendiri. Untuk menjalankan program ini, ia menjelaskan, setiap tahun Pertamina mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1 triliun. Selain di NTT, program ini juga telah dijalankan di Papua, Riau, Bali, dan lainnya. Menurut Ketua FlipMas NTT, Grace Maranatha, 24 desa itu telah memenuhi kriteria sebagai daerah terpencil dan tertinggal, di antaranya Desa Jenilu, Kenegigi, dan Jualaus di Belu yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Untuk menunjang pembangunan pedesaan itu, pihaknya juga telah merekrut 24 pendamping yang akan ditempatkan di setiap desa untuk mencari tahu, apa saja kebutuhan di desa itu (Koran Tempo, 13-11-2012) KESIMPULAN 1. Pertamina melalui PKBL dalam MP3D mempunyai komitmen yang tinggi dalam meningkatkan tafar hidup masyarakat pedesaan di seluruh wilayah Indonesia khususnya bagi wilayah 3T melalui program Pro Growth, Pro Job dan Pro Poor; khususnya tahun 2012 untuk wilayah NTT telah menyasar 24 Desa di 4 (empat) kabupaten yaitu Kupang, TTU, TS, dan Belu 2. Dalam upaya meningkatkan IPM (indeks pembangunan manusia), PKBL PT Pertaminan memfokuskan kegiatan dalam 3 (tiga) program utama yaitu bidang 217
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
pendidikan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat, baik bersifat fisik maupun pendampingan. 3. PKBL PT Pertamina memberikan kepercayaan kepada Forum layanan Ipteks bagi Masyarakat/FLipMas Indonesia (FI) melalui FW (FlipMas Wilayah) yang berada di seluruh Wilayah Indonesia. Khusus untuk program MP3D di wilayah NTT maka PKBL PT Pertamina bekerjasama dengan FW Hatfen yang merupakan gabungan para dosen dari berbagai PTN dan PTS di wilayah NTT, untuk memetakan desa-desa miskin di NTT dan melaksanakan program MP3D Peristiwa Dalam Gambar Kegiatan MP3D Di NTT
Pertemuan Manajer PKBL Wil Timur (Bpk Gatot Siswowiyono dengan BUMN lainnya (BRI, ASKES, Angkasapura, HK, dll), dan Pemda dalam persiapan percepatan MP3D didampingi FW Hatfen dan Kor-Reg
Lahan di desa Bakustulama yang dikembangkan menjadi contoh pertanian terintegrasi (+2 ha), hortikultura, sayuran, ikan, ternak, pakan ternak)
Suasana diskusi Tim Pertamina dan Pembangunan kandang komunal lengkap FLipMAS dengan Kelompok tani ternak dengan instalasi biogas dan pupuk dalam pengembangan pertanian kandang dengan memberdayakan SDM 218
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
terintegrasi, didampingi oleh kepala desa lokal (anggota kelompok tani-ternak) Bakastulama (paling kiri)
Program peningkatan produktivitas lahan Para petani menanam bibit padi setelah sawah dengan program IPAT-BO seluas diberikan pelatihan oleh tim FW Hatfen 100 ha di desa Rembesihad, petani dibantu pengolahan tanah dan saprodi. Pendampingan intensif dilakukan oleh para Prodikmas dari FW. Hatfen
Hasil penanaman bibit padi yang dilakukan oleh petani setempat sesuai dengan pola IPAT-BO dengan menanam bibit muda
Cuaca yang kurang bersahabat (hujan lebat) menyebabkan Tim MP3D harus berani menyebrang sungai, walau aliran air cukup deras
219
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Tim MP3D ikut serta dalam persiapan menyambut kedatangan menteri BUMN dalam program penanaman ribuan ha tanaman sorgum di wilayah kab. Belu NTT
Nomor ISSN: 2302-5514
Tim FLipMAS Hetfen berpose bersama dengan Tim Pertamina jatimbalinus – Koord FlipMas Regional – manajer PKBL Wil Timur
Suasana penanaman Shorgum secara Bapak Mentri BUMN Dahlan Iskan simbolis di kab Belu (menggendong bayi) dalam acara penyerahan berbagai bantuan BUMN kepada masyarakat Belu
Temu wicara antara bapak Menteri Manajer PKBL Pertamina wil Timur Dahlan Iskan dengan berbagai kelompok (bpk Gatot S) berpose dengan kelompok masyarakat kab Belu tani yang berpakaian adat NTT 220
Jurnal ALAM LESTARI Volume 01 No. 02, April 2013
Nomor ISSN: 2302-5514
DAFTAR PUSTAKA Davies, A. and G. Quinlivan (2006), A Panel Data Analysis of the Impact of Trade on Human Development, Journal of Socioeconomics. Helmy Faisal Zaini, Ir..HA., 2010. STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL. MENTERI Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dalam Seminar antar Jurusan Fakultas Manajemen IPDN Jatinangor, 25 Mei 2010. Program Bina Lingkungan , http://www.pertamina.com/PKBLProgram BinaLingkungan.aspx, diunduh tanggal 10 April 2013. Pertamina Bangun Desa di Perbatasan , http://www.tempo.co/read/news/ 2012/11/13/ 090441505 Selasa, 13 November 2012 | 14:32 WIB. diunduh tanggal 10 April 2013 Pertamima dan Flipmas Gelar Bimtek Bagi 24 Orang Pendamping MP3D, http://www.nttonlinenow.com/index.php/berita-ntt/daratan-timor/3404pertamima-dan-flipmas-gelar-bimtek-bagi-24-orang-pendampingmp3d. diunduh tanggal 10 April 2013 Widnyana, Ketut I., 2013. Pola Kegiatan MP3D. Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Pengabdian Masyarakat. Peningkatan kapasitas dan Kualitas Prodikmas dalam Mengemban Amanah Masyarakat. Jogjakarta 22-24 Februari 2013. Wikipedia, 2013.Daftar negara menurut Indeks Pembangunan Manusia, http://id.wikipedia.org/wiki /Daftar_negara_menurut _Indeks_ Pembangunan_Manusia. diunduh tanggal 10 April 2013
221