203
IMPLIKASI PEMURNIAN TASAWUF IBNU TAIMIYAH TERHADAP PENGAMALAN KERUHANIAN MUHAMMADIYAH Oleh:Duriana Dosen Fakultas Dakwah an ushuluddin IAIN Ambon email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini adalah studi tentang implikasi pemurnian tasawuf Ibnu Taimiyah terhadap pengamalan keruhanian Muhammadiyah. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan tiga pendekatan utama yaitu: a. Pendekatan filosofis, b. Pendekatan teologis, dan Pendekatan sejarah. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan di atas yaitu: Pandangan tasawuf Ibnu Taimiyah merupakan rekonstruksi dan reformulasi dari tasawuf sunni dan tasawuf falsafi/filsafat dengan pendekatan metode salaf al-ṣāliḥ sehingga menghasilkan tasawuf yang dinamai tasawuf masyrū’ī yaitu tasawuf yang berdasarkan kontrol syariat agama Islam yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Ibnu Taimiyah bersikap kritis terhadap tasawuf karena adanya problema-problema dalam tasawuf yang secara garis besar berkaitan dengan problem akidah tauhid dan ibadah ritualis. Sebab dalam kenyataannya parktik-praktik tasawuf yang berubah bentuk menjadi tarekat banyak memunculkan ritus-ritus dan ibadah-ibadah yang menurut Ibnu Taimiyah banyak melampaui batas syariat yang dikategorikan sebagai bidah. Keyword: Tasawuf, Ibnu Taimiyah, Keruhanian Muhammadiyah ABSTRACT This research is the study of the implications of purification Sufism of Ibn Taymiyyah to practice spirituality Muhammadiyah. This study is a literature research using three main approaches: a. Philosophical approach, b. Theological approach, and the approach to history. Based on the results of the study, found the answer to the above problems, namely: The view of Sufism Ibn Taymiyyah is a reconstruction and reformulation of Sufism Sunni Sufism philosophical / philosophical approach Salaf al-Salih method resulting in mysticism, called Sufism is Sufism based masyrū'ī Islamic religious laws that control the Quran and the Sunnah of the Prophet. Ibn Taymiyyah was critical of Sufism because of the problems-problems in Sufism which outline the problems associated with the creed of monotheism and worship ritualists. Because in reality parktik-practice Sufism transformed into a congregation raises many rites and worship that according to Ibn Taymiyyah much beyond the law categorized as heresy. Keyword : Sufism , Ibn Taymiyyah , Muhammadiyah spirituality
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
204
PENDAHULUAN asca runtuhnya kekhalifahan Islam di Bagdad tahun 1258 Masehi, Islam mengalami kemunduran panjang di berbagai sektor kehidupan. Desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. Dunia Islam terbagi atas dua bagian yaitu Arab dan Persia. Pada bagian Arab terdiri atas Arabia, Irak, Syiria, Palestina, Mesir, Afrika Utara, Sudan dengan Mesir sebagai Pusatnya; dan pada bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Turki, Persia, Turkistan, India dengan Persia sebagai pusatnya. Kebudayaan Persia mendominasi dan mengambil bentuk internasional, sementara kebudayaan Arab semakin terdesak. 1 Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah tertutup diterima secara umum pada saat itu. Tarekat dengan pengaruh negatifnya menguasai kehidupan umat Islam. Perhatian pada ilmu pengetahuan sangat kurang hingga umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu.2 Pada periode yang kritis ini, lahir para pemurni dan pembaru di sejumlah Negeri Muslim. Salah satu pemurni yang paling awal dan menonjol ialah Ibnu Taimiyah. Nama lengkapnya Taqiyyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah, lahir di Harran, sebuah kota kecil di Syiria pada hari Senin 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H/1263 M, meninggal di penjara Damaskus pada hari Ahad malam tanggal 20 Zulqa‘idah tahun 728 H/1328 M. 3 Ayahnya bernama Syihabuddin, seorang ahli hadis dan menjadi khatib terkenal di Masjid Besar Damaskus. Pamannya Fakhruddin, juga seorang ulama dan penulis yang masyhur di Damaskus. Gerakan pemurnian Islam yang dipelopori Ibnu Taimiyah dan kemudian mengilhami gerakan-gerakan pemurnian Islam babak berikutnya4, memang dinisbahkan pada ajaran salaf al-ṣāliḥ, yakni ajaran Islam yang dipraktekkan dan dianut di zaman Nabi, sahabat, tābi‘īn, dan tabi’ al-tābi‘īn hingga abad ke-3 Hijriah, yang dikenal pula
P
1
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 13-14. 2
Ibid. Bandingkan dengan Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Cet. V; Jakarta: UI Press, 2001), h. 81. 3
Dalam buku-buku biografi Ibnu Taimiyah terdapat pula pendapat yang mengatakan tanggal kelahiran beliau adalah dua belas Rabi’ul Awwal. Lihat Abū Abdullah Muhammad bin Sa’id bin Ruslān, Haula hayāh Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah Rahimahūllāh (Cet. II; tp: Maktabah al-Manār, tt), h. 6. Yusron Asrofi, “Pembaruan Pemikiran Islam dari Ibnu Taimiyah sampai K.H. Ahmad Dahlan” dalam Sujarwanto, dkk (Ed.), Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 250. 4
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
205
dengan gerakan Islam asli.5 Islam asli atau murni tersebut belum tercemar oleh praktikpraktik syirik (kemusyrikan), bidah 6 , khurafat 7 dan tahyul 8 ; yang di lingkungan Muhammadiyah dikenal dengan TBC9 (tahyul, bidah, dan khurafat (dulu churafat). Ibnu Taimiyah, sebagaimana Imam Ibnu Hanbal dan mazhab Hanbali adalah sosok yang cukup keras dalam menggelorakan pemurnian Islam. Hal tersebut terjadi, karena situasi kehidupan umat Islam kala itu tengah berada dalam situasi penuh krisis karena berada di tengah zaman ketika Islam yang auntentik banyak tercemar oleh berbagai penyimpangan, terutama penyimpangan dalam masalah akidah dan ibadah sehingga gerakan kembali pada Alquran dan sunnah yang dikumandangkannya memang sangat kontekstual dengan zaman krisis saat itu. Usaha untuk kembali kepada Alquran dan sunnah serta mengikuti praktek keberagamaan generasi salaf al-ṣāliḥ merupakan doktrin pokok Ibnu Taimiyah. 10 Ia memandang bahwa era kehidupan Islam dan metode keberagamaan masa Nabi Muhammad saw. dan generasi salaf al-ṣāliḥ adalah era Islam yang istimewa serta model keberagamaan yang ideal dan relatif sempurna. K.H. Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy) mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pemurnian dan pembaruan Al-Imām Abū Zahrah, Tārīkh al-Mazāhib al-Islāmiyyah fī al-Siyāsati wa al-A’qāi’d fī Tārīkh alMazāhib al-Fiqhiyah (Cet. al-Qāhira, Dār al-Fikri al-Arabī.t.th), h. 177. Lihat pula Imam Abu Zahrah, Tarīkh al-Mazāhib al-Islāmiyyah, Terj. Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1996), h. 225-227. 5
6
Bidah menurut arti bahasa dapat berarti model atau sesuatu yang baru yang tidak didahului oleh contoh atau sesuatu perkara yang terjadi dengan tidak ada contohnya atau sesuatu yang diadakan dengan bentuk yang belum pernah ada contohnya. Menurut syarak, yang dimaksud Bidah adalah urusan yang baru di dalam agama baik berupa akidah (kepercayaan), berupa ibadah atau berupa sifat bagi ibadah yang belum pernah ada (terjadi) di masa Rasulullah saw. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II (Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 217-218. 7
Khurafat berasal dari kata kharifa yang berarti sesuatu yang dipetik (dipungut), kisah atau cerita yang mengandung unsur kebodohan dan kebatilan, atau cerita yang tak rasional, mengandung unsur dusta dan bertolak belakang dengan rasio atau akal sehat. Khurafat menurut arti istilah adalah berbagai kepercayaan yang khayāli, bahwa di luar Allah ada berbagai kekuatan gaib yang dapat menyebabkan keselamatan seseorang dan dapat pula mendatangkan mudarat terhadap seseorang. Liaht Tartib al-Qāmūs al-Muhīṭ, Juz II (Cet. IV; Makkah: Dār al-‘Alim al-Kutub, t.th), h. 92. Bandingkan dengan Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III (Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 937. 8
Tahyul berasal dari kata Takhayyala yang artinya hayalan, maka dari itu Tahyul adalah sama dengan Khurafat yaitu berbagai cerita bohong, mitos, sesuatu yang tidak nyata (khayali) cerita-cerita yang tidak jelas asal usulnya yang tidak masuk akal. Lihat Khurafat, Bidah dan Takhayul, http://one.indoskripsi.com/node/3239 (4 Maret 2010). 9
Musthafa Kamal Pasha, op. cit; h. 196-197.
10
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, Kritik Ibnu Taimiyah Atas Rancang Bangun Tasawuf (Cet. I; Surabaya: JP. Books, 2009), h. 5.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
206
Islam di Nusantara. Ia ingin mengadakan suatu pemurnian dan pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Alquran dan sunnah. Ia mendirikan Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan amal sosial. Menurut Azyumardi Azra bahwa meskipun Muhammadiyah selalu mengklaim bahwa secara ideologis ia mengikuti gagasan tokoh-tokoh modernis seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Rida ternyata jika dilacak lebih jauh akar idiologinya terletak pada gagasan pemurnian Ibnu Taimiyah terutama pada sentralisasi kemurnian doktrin tauhid (keesaan Tuhan) dengan kembali kepada Alquran dan sunnah. Sebagai konsekwensi logis dari penekanan ini adalah penolakan terhadap bidah, khurafat, tahyul dan inovasi-inovasi lain dalam ibadah yang dipandang tidak bersumber dari Alquran dan sunnah.11Adanya keterkaitan ideologis inilah yang mendorong penulis untuk meneliti beberpa hal yang berkaitan dengan Ibu Taimiyah maupun Muhammadiyah terutama yang berkaitan dengan implikasi pemurnian tasawuf Ibnu Taimiyah terhadap Muhammadiyah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang maka yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah: Bagaimana implikasi pemurnian tasawuf Ibnu Taimiyah terhadap pengamalan keruhanian Muhammadiyah? Dalam kaitan dengan fokus utama ini, dapat dipertajam dengan mengemukan beberapa pertanyaan lebih lanjut: Bagaimana pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf, Mengapa Ibnu Taimiyah bersikap kritis terhadap tasawuf, Bagaimana implikasi pemurnian tasawuf Ibnu Taimiyah terhadap pengamalan keruhanian Muhammadiyah? Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, karena sumber datanya adalah pengkajian atas kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan obyek penelitian, baik yang berkaitan dengan tasawuf Ibnu Taimiyah maupun yang berkaitan dengan Muhammadiyah. 1. Metode Pendekatan Penelitian ini adalah penelitian pemikiran Islam dalam bidang tasawuf karena itu pendekatan yang relevan untuk digunakan adalah:
Azyumardi Azra, “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah” dalam Muhammadiyah Digugat Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah (Cet. I; Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000), h. 23. 11
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
207
a. Pendekatan historis. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui perkembangan pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemikiran serta latar belakang yang mendorong Ibnu Taimiyah mengadakan pemurnian terhadap tasawuf. Selanjutnya pendekatan ini digunakan pula untuk mengetahui latar belakang berdirinya Muhammadiyah, sejarah perkembangan pemikirannya, karakteristik pemurniannya dan bagaimana keterkaitan antara pemurnian tasawuf Ibnu Taimiyah dengan pengamalan keruhanian Muhammadiyah.12 b. Pendekatan filosofis. Pemurnian Tasawuf yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah adalah masalah ijtihd, oleh karena yang dominan dalam ijtihad adalah rasio atau akal. Pendekatan ini digunakan untuk memahami secara mendalam tasawuf sebagai yang difahami, dipikirkan, disimpulkan, ditafsirkan dan diinterpretasikan oleh Ibnu Taimiyah yang diungkapkan dalam berbagai karya mereka.13 c. Pendekatan Teologis. Pendekatan ini digunakan untuk memberi bobot muatan ajaran agama Islam yang bersumber dari Alquran dan sunnah, 14demi tegaknya misi Islam, sekaligus untuk membedakan penelitian keagamaan dengan penelitian-penelitian lainnya. 2. Tujuan Penelitian: a. Menjelaskan pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf b. Menjelaskan latar belakang sehingga Ibnu Taimiyah bersikap kritis terhadap tasawuf c. Menganalisis implikasi pemurnian tasawuf yang telah dilakukan Ibnu Taimiyah terhadap pengamalan keruhanian dalam Muhammadiyah.
PEMBAHASAN Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah Beriringan dengan kejatuhan kota Bagdad pada tahun 656 H/1257 M, tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 661 H/1263 M Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Khurasan (Persia). Orang tuanya memberi nama Ahmad. Dan para ahli sejarah menulis nama lengkapnya dengan: Taqī al-Dīn Abū al-‘Abbās Ahmad 12
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin (Cet. I; Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 2000), h. 10. 13
Ibid.
14
Yunahar Ilyas, Kuliah Akidah Islam (Cet. V; Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2000), h.vii. Lihat pula, Syahrin Harahap, op. cit, h. 6.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
208
Ibnu ‘Abd al-Halīm Ibnu ‘Abd al-Salām Ibnu Abī al-Qasīm Ibnu Muhammad Ibnu Taimiyah al-Harrānī al-Dimasyqī.15 Orang tuanya membawahnya ke kota Damaskus ketika ia berusia 7 tahun karena Khurasan diserang oleh pasukan Mongol Tartar di bawah pimpinan Hulagu Khan (1256-1265 M).16 Di kota Damaskus dia belajar ilmuilmu ke-Islaman dan menyelesaikan studinya. Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga intelektual yang Islami, keluarga yang terhormat dan disegani masyarakat luas pada masanya. Ayahnya bernama Syihābuddīn Abū al-Mahasīn Abdu al-Halīm bin Taimiyah (w. 1284 M). Dia belajar dari ayahnya (Taimiyah) yang bermazhab Hanbali hingga ia benar-benar memahaminya. Ia adalah seorang imam yang mumpuni, berwawasan luas, beragama kuat, tawaduk, berakhlak dan dermawan. Ia adalah seorang Imam Besar, namun bagaikan bintang yang tersembunyi cahaya matahari.17 Ibu Ibnu Taimiyah sempat melihat kejayaan anaknya, bahkan ikut andil dalam jihad anaknya. Ketika anaknya dipenjara oleh Raja al-Nasir, ibunya mendatanginya dan memohon agar anaknya dikeluarkan dari penjara, permohonannya ini dikabulkan oleh raja dan akhirnya Ibnu Taimiyah dibebaskan. Akan tetapi kemudian dipenjarakan lagi. Pendidikan Ibnu Taimiyah mendapat pendidikan awal dari ayahnya dan dari pamannya alKhatib Fakhruddīn, seorang pemikir dan penulis termasyhur. Ia juga belajar pada para ulama di kota Damaskus yang pada saat itu menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan merupakan tempat berkumpulnya ulama-ulama besar dari berbagai mazhab.18 Selain belajar pada para ulama, Ibnu Taimiyah juga seorang otodidak yang jenius, berwawasan luas dan mempunyai ketajaman analisis, hal ini ditunjang oleh ketekunannya dalam membaca dan menelaah berbagai literatur dalam berbagai bidang ilmu dan aliran. Pengetahuan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada studi-studi
Ibnu Kaṡīr, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Jilid 13 (Cet. I; Beirut Maktabah al-Ma’ārif, 1966), h. 308. Lihat juga Al-Zahabī, Tazkirah al-Huffāẓ, Jilid IV ( Haidar Abad: t.t.), h. 288. 15
16
Masa Kekuasaan Mongol adalah masa perpecahan yang sangat parah di dalam sejarah kebudayaan Islam, tidak ada sebuah kerajaan besar yang menjadi tumpuan harapan umat Islam dan banyak perpustakaan besar yang musnah bersama kitab-kitabnya. Lihat Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. I; Bogor: Kencana, 2003), h. 194-195. Lihat pula Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaruan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 52. Sa’id ‘Abdul ‘Aẓīm, Ibn Taimiyah, al-Tajdīd al-Salafī wa Da’wah al-Iṣlāhiyyah. Ter. Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap: Ibn Taimiyah, Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.15. 17
18
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, Kritik Ibnu Taimiyah Atas Rancang Bangun Tasawuf (Cet. I; Kudus: JP Books, 2007), h. 29.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
209
Alquran, hadis dan fiqh saja, tetapi juga mempelajari dan ahli di bidang mate-matika, sejarah, kesusastraan dan secara khusus mendalami fiqh Hanbali karena ayahnya adalah tokoh mazhab ini.19 Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Tasawuf Para peneliti tasawuf memiliki pandangan yang berbeda tentang asal kata yang membentuk frase tasawuf. Berbagai pertanyaan pun lahir dari masalah ini; apakah “ṣūfī” adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang diarabkan? Jika ia adalah kata asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang jamid atau musytaq? Perdebatan seputar asal pembentukan kata tasawuf atau ṣūfī ini juga menjadi perhatian Ibnu Taimiyah. Dalam bukunya Majmū Fatāwā, ia menguraikan berbagai pandangan yang ada dalam masalah ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri disertai dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbahan sebuah kata untuk kemudian menjadi ṣūfī. Meski terkadang kritikannya juga terkait dengan wawasannya tentang sejarah. Salah satu contoh adalah ketika ia mengeritik pendapat yang mengatakan bahwa ṣūfī adalah penisbahan kepada ahlu al-ṣuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan: 20 ّ . صفي: إنّه نسبة إلى”أهل الصفّة” وهو غلط؛ ألنّه لو كان كذالك لقيل:فقيل Artinya: Dikatakan: Dia (ṣūfī) adalah penisbahan kepada al-ṣuffah, namun hal itu adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika demikin, maka seharusnya menjadi ṣuffī صفّي, (padahal lafa seharusnya adalah )صوفي. Ibnu Taimiyah juga menafikan berdasarkan fakta sejarah pendapat ini dengan megatakan bahwa ṣuffah yang terletak di bagian selatan mesjid Rasulullah saw. kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan ṣuffah menjadi alternatif terakhir bila mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu menurut Ibnu Taimiyah penghuni ṣuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali Abu Muhammad Ibnu Sa’īd Ibnu Ruslān, Haula Hayātuh Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah Rahimahullāh (Cet. II; Nasyr: Maktabah al-Manar, 2002), h. 6. Lihat pula Yusran Asmuni, op. cit, h. 5253. 19
20
Majmū Fatāwā, Jilid XI, op. cit., h. 6.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
210
yang lain menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi Muhammad saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbahkan ṣūfī kepada ahl al-ṣuffah.21 Ibnu Taimiyah pada akhirnya lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa sūfī adalah sebuah penisbahan pada pakaian dari bulu domba yang dikenal dengan ṣūf ()صوف. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan dan sejarah, dari segi fakta, inilah yang dikenal karena para sūfī dan zuhhād banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Ia mengatakan: وأول من بنى دويرة ّ ، إنّه نسبة إلى لبس الصوف؛ فإنة ّأول ما ظهرت الصوفيّه من البصرة:-وهو المعروف-وقيل وكان في البصرة من المبالغة في،الصوفية بعض أصحاب عبد الواحد بن يزيد وعبد الواحد من أصحاب الحسن 22 . وعبادة بصريّة، فقيه كوفي:الزهد والعبادة والخوف ونحو ذالك مالم يكن في سائر أهل األمصار؛ ولهذا يقال
Artinya: Dikatakan dan ini yang terkenal: Ṣūfī adalah penisbahan kepada pakaian dari bulu domba; Awal mula munculnya para ṣufī adalah dari Basrah, dan yang pertama kali membangun rumah kecil untuk kaum ṣufī adalah beberapa orang pengikut Abd alWāhid bin Zāid. Ia adalah salah satu murid dari Hasan al-Basri. Saat itu perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di Basrah sangat berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: ‘fiqihnya fiqih Kufah, tapi ibadahnya ibadah Baṣrah’. Berkaitan dengan pendapat Ibnu Taimiyah ini, ia memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatakan bahwa mengenakan model pakaian tertentu seperti yang terbuat dari bulu domba sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia mengatakan: Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara yang mubah.23 Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam hal tasawuf Ibnu Taimiyah lebih mementingkan substansi daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah al-fuqarā (kaum fakir), al-zuhhād (kaum pelaku kezuhudan), al-sālikīn (para penempuh jalan menuju Allah), aṣhāb al-qalb 21
Ibnu Taimiyah, Alfurqān, h. 36.
22
Ibnu Taimiyah, Majmū Fatāwā, Kitab al-Taṣawwuf, Jilid XI, h. 19
23
Ibnu Taimiyah, al-Furqān, h. 30.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
211
(pemerhati dan pemilik hati), aṣhāb al-aḥwāl, (para penempuh aḥwāl), aṣhāb alṣūfiyyah (pelaku jalan sufî), atau aṣhāb al-taṣawwuf al-masyrū’ī (pelaku tasawuf yang disyariatkan). Semua istilah tersebut menunjukkan pada satu makna, yaitu para penempuh jalan ruhani dalam Islam. Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurrā’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab baginya Islam adalah sebuah keutuhan antara zahir dan batin, jiwa dan raga.24 Tasawuf menurut Ibnu Taimiyah, merupakan istilah baru. Penamaan ini tidak lain karena keberadaannnya sebagai usaha atau jihad untuk menyucikan jiwa dari segala penyakit yang sering melekat dalam jiwa seperti hasad (iri/dengki), takabur (sombong), cinta dunia dan cinta kedudukan. Juga upaya untuk menggapai cinta Allah swt., rida kepada-Nya, tawakal dan ikhlas kepada-Nya.25 Hakikat jihad disebut berulang-ulang dalam Alquran seperti dalam firman Allah Q.S. Al-Hajj/22: 78. ) ٨٧( . Terjemahnya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Alquran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.26
24
(http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/05/20/ menyingkap- kesufian- ibnu-taimiyah/# more 458 (Kamis 2-12-2010). M. Said Ramadhan al-Būṭi, al-Salafiyyah Marhalah Zamniyyah Mubārakah lā Mazhab Islāmiyyah (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 234. 25
26
Departemen Agama RI, op. cit., h. 341.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
212
Apa yang dimaksud jihad di sini adalah mujāhadah li al-nafsi (jihad melawan hawa nafsu), menyucikan dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela. Kemudian mengisi dan menghiasinya dengan kebenaran dan kebaikan. Dosa-dosa batin yang berulang kali, dibersihkan dan dibebaskan, di antaranya, hasad, dengki, iri hati, takabur (sombong), cinta dunia dan cinta kedudukan. Tabiat-tabiat seperti ini merupakan penyakit-penyakit jiwa yang mengahalangi hati untuk menangkap kebenaran. Betapa banyak anjuran dan perintah dalam Alquran untuk menyucikan dan membersihkan jiwa/hati seperti pada Q.S. Al-Nazi’āt/79: 18-19. . )٩١ ( . Terjemahnya: Maka katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”. Dan engkau akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya.27 Juga dalam Q.S. al-Syams/91: 7-10. . . )٩١( . . Terjemahnya: Demi jiwa serta penyempurnaan (penciptaannya). Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikannya (jiwa) itu. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. 28 Begitu pentingnya peranan jiwa dan hati itu, sampai Rasulullah saw. menjelaskan dalam sabdanya: َّ س ْفيَانُ َع ْن ُم َجا ِل ٍد َحدَّثَنَا ال َّ صلَّى َّ سو َل سلَّ َم َو ُك ْنتُ إِذَا ُ س ِم ْعتُ َر ُ َحدَّثَنَا َ اَّللُ َعلَ ْي ِه َو َ ِير ٍ ان ب ِْن بَش َ ِاَّلل ِ ي َس ِمعَهُ ِمنَ ال ُّن ْع َم ُّ ِش ْعب َ سلَّ َم َّ صلَّى َّ سو َل اَّلل ُ س ِم ْعتُ َر ُ س ِم ْعتُ َر ِ َّ سو َل َ ظنَ ْنتُ أ َ ْن ََل أ َ ْس َم َع أ َ َحدًا َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر يَقُو ُل َ اَّللُ َعلَ ْي ِه َو َ س ِم ْعتُهُ يَقُو ُل َ َ ِاَّلل ْ س ِق َم ْ ص َّح ْ س ِل َم َّ صلَّى سائِ ُر ْ ان ُم َ س ِق َم َ ت َ ص َّ َّ َو ِإذَا َ سائِ ُر ْال َج َ س ِل َم َ ت َ ضغَةً ِإذَا َ اْل ْن َ اَّللُ َعلَ ْي ِه َو َ س ِد َو َ ت َو َ ِ س ِ ْ سلَّ َم َيقُو ُل ِإ َّن فِي 29
) (رواه أحمد. ُِي ْالقَ ْلب َ َس ِد َوف َ ْال َج َ سدَ أ َ ََل َوه
Artinya: …aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: sesungguhnya di dalam (tubuh) manusia, terdapat segumpal daging, apabila dia selamat dan sehat, sehatlah seluruh jasad (tubuh) dan apabila rusak, rusak pula seluruh jasad ketahuilah ialah hati.
27
Ibid., h. 584.
28
Ibid., h. 595.
Imam Ahmad Bin Hambal, Musnad Ahmad, dalam al-Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf, (CD-ROM), hadis no. 17686. 29
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
213
Hal ini merupakan tujuan yang tidak akan tercapai tanpa adanya penyucian jiwa. Juga tanpa adanya latihan untuk memahami makna cinta, takut, tawakal, rida dan ikhlas karenanya. Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf adalah suatu pandangan yang obyektif scientific serta adil. Keadilan yang benar-benar memposisikan dia berada ditengah-tengah (moderasi). Tidak ekstrim kekanan yang menerima apa saja yang berbau sufi atau tasawuf tanpa menimbang-nimbang bagaimana ajaran tasawuf tersebut. Dan tidak juga ekstrim kekiri dan menjadi oposan yang menolak bentuk apa saja yang datang dari ajaran tasawuf. Patokan yang menyebabkan dia berada ditengah-tengah antara dua ekstrim tadi adalah atas dasar ajaran yang terkandung dalam Alquran dan sunnah yang ṣaḥīh berdasarkan pemahaman salaf al-ṣāliḥ. Untuk lebih mengetahui benar atau tidaknya asumsi tentang sikap pertengahan (moderasi) Imam Ibnu Taimiyah tentang tasawuf, maka seharusnya merujuk kepada tulisan-tulisannya, karena penilaian tersebut tentunya akan lebih obyektif. Dia berkata dalam Majmū' Fatāwā. Sebagian orang menerima secara keseluruhan baik yang benar dari tasawuf maupun yang salah tentang tasawuf, disisi lain ada pula sebagian orang mengingkari secara keseluruhan baik yang benar tentang tasawuf, maupun yang salah dari tasawuf. Sikap seperti ini terdapat pula pada segolongan ahli kalam dan fuqaha. Sikap yang benar adalah, sesungguhnya sesuatu diterima baik yang berhubungan dengan tasawuf atau lainya jika ia sejalan dengan Alquran dan sunanh Rasulullah saw. Dan sesuatu itu diingkari baik yang berhubungan dengan tasawuf atau lainnya apabila bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah saw.30 Dalam Kitab Al-Istiqāmah jilid I Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa: Dalam tasawuf ada orang yang benar dan ada juga yang salah, sebagaimana yang ditemukan juga pada orang-orang selain mereka (dalam bidang selain tasawuf), tidaklah perkara yang demikian menyamai para sahabat dan tābi'īn, (sebab) tiada seorangpun yang maksum dalam setiap perkataannya (pemikirannya) kecuali Rasulullah saw. 31 Artinya kekhilafan yang ada dikalangan sebagian ahli tasawuf, tidaklah lebih parah atau lebih ringan dari pada kekhilafan yang ada pada generasi sahabat dan tābi'īn, karena semua manusia itu sama, disadari atau tidak pasti banyak berbuat kesalahan/kekhilafan. Dia juga menulis di Majmū' Fatāwā bahwa:
30
Ibnu Taimiyah, Majmū’ Fatāwā, Kitāb ‘Ilmu al-Sulūk h. 82.
Ibnu Taimiyah, “Qaidah fi Wujūbi al-Istiqāmah wa al-I’tidāl” dalm Tasawuf Antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, http://islammenjawab.multiply.com/journal/item/1075/ ANTARA _ALGHAZALI_DENGAN_IBNU_TAIMIYAH. (12 Desember 2010). 31
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
214
Penelitian dalam bidang tasawuf menunjukkan bahwa: (ilmu tasawuf) mengandung sesuatu yang terpuji dan juga sesuatu yang tercela, sebagaimana dalam jalan (ilmu) yang lain. Yang tercela dari ilmu tasawuf adakalanya bersifat ijtihādi dan adakalanya tidak. Posisi ahli tasawuf dalam hal ini adalah sebagaimana posisi fuqaha dalam mengeluarkan fatwa/pendapat. Fatwa fuqaha adakalanya tercela juga, termasuk pendapat ahli ibadah atau orang kebanyakan (awam).32 Kutipan tersebut di atas menunjukkan bahwa sebenarnya Ibnu Taimiyah tidak memusuhi tasawuf tetapi sekedar meluruskannya mana yang dapat dibenarkan karena sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah saw. dan mana yang wajib ditolak karena tidak berdasarkan tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah saw. Meskipun demikian, kritikan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf telah menimbulkan kebencian oleh orang-orang tertentu terhadap tasawuf seperti sebagian para pengikut Wahabi yang karena tidak mempelajari pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf secara utuh, menyebabkan mereka memusuhi dan menolak apa saja yang berasal dari ajaran tasawuf dan mengkafirkan orang-orang yang bertasawuf. 1. Ahli Tasawuf. Ibnu Taimiyah adalah seorang public figure yang menghormati dan menyanjung tokoh-tokoh tasawuf selama mereka mengikuti koridor Alquran dan sunnah Rasulullah saw. berdasarkan pemahaman salaf al-ṣāliḥ. Ibnu Taimiyah menyebut-nyebut nama mereka dengan penuh kehormatan, penuh pujian dan sanjungan. Hal ini dapat dilihat contoh yang paling real dari kata-kata Ibnu Taimiyah sendiri yang ditulis dalam Majmū' Fatāwā sebagai berikut: Mereka adalah para guru/syaikh umat Islam dari para imam pemberi petunjuk yang dijadikan Allah swt. dari lisan mereka sesuatu kebenaran untuk umat , mereka itu adalah, Hasan al-Baṣri (w. 110 H), Ibrahim bin Adām (161 H), Sufyan Aṡauri (w. 121 H), al-Fadil bin 'Iyāṭ (187 H), Ma'ruf al-Karākhi (200 H), Abi Sulaiman Addarani (215 H), Bisyr al-Hāfi (227 H), Ṣidiq al-Balkhi (194 H) dan lain-lain. 33 Pandangannya tentang para ahli tasawuf yang lain adalah pandangan yang moderat antara pujian dan kritikan. Selanjutnya dia menjelaskan bahwa: Mereka (kaum sufi) ialah orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan pada Allah swt., sebagaimana kesungguhan orang-orang selain mereka dalam ketaatan pada Allah swt. Maka di kalangan mereka terdapat orang yang terdepan dalam mendekatkan diri (kepada Allah swt.) sesuai dengan ijtihadnya, dan di kalangan mereka terdapat juga orang-orang yang cermat yakni mereka yang masuk ahli kebaikan. Sesungguhnya pada setiap golongan orang-orang yang bersungguh-sungguh tersebut, 32
Ibnu Taimiyah, Majmū' Fatāwā, h. 370.
33
Ibid., h. 472
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
215
kadang-kadang dia khilaf lalu mereka berbuat dosa kemudian ada yang bertaubat dan (ada juga yang) tidak bertaubat.34 Sikap moderasi Ibnu Taimiyah dalam tasawuf dapat pula disimak dari pernyataanya bahwa orang yang paling utama, tidak tergantung dia orang sufi atau bukan, dia menolak tasawuf atau menerimanya. Bobot keutamaan seseorang menurut Ibnu Taimiyah adalah orang yang paling bertakwa pada Allah swt. Dalam tasawuf sering terdengar istilah al-faqīr atau al-fuqarā' dan zuhud. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata jika dihubungkan antara al-faqir (orang yang sangat butuh Allah) dengan sufi dan orang yang paling takwa, maka: Yang paling utama di antara keduanya (ahli sufi dan fuqarā') adalah yang paling bertakwa di antara mereka. Oleh karena itu, jika seorang sufi bertakwa kepada Allah swt. maka dialah yang lebih utama daripada seorang fakir, jika dia (dengan sifat takwa tersebut) melakukan amal yang disukai oleh Allah swt. dan meninggalkan apa yang tidak disukai maka dialah yang lebih utama dan mempunyai derajat yang tinggi daripada orang fakir. Dan jika orang fakir melakukan suatu amalan yang disukai oleh Allah swt. dan meninggalkan apa yang tidak disukai oleh-Nya, maka dialah yang lebih utama daripada seorang sufi. Dan jika kedua-duanya (sufi dan fakir) sama-sama melakukan amalan yang disukai oleh Allah swt. dan meninggalkan yang tidak disukaiNya maka kadar keutamaan keduanya adalah sama. Itu karena para wali Allah swt. adalah mereka yang beriman dan bertakwa tanpa melihat apakah dia seorang fakir, ahli sufi, ahli fiqh, ahli ilmu, ahli perniagaan, tentara, bisnismen, pemimpin, hakim atau lainnya.35 Allah swt. berfirman dalam Q.S.Yunus/10: 62-63. . )٣٦-٣٦( . Terjemahnya: Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.36 Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap para sufi yang terlihat dalam kutipan tersebut di atas menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah tidak mengistimekan dan memuliakan suatu golongan dan aliran manapun yang ada dalam Islam meskipun dia itu seorang sufi. Ia menganggap bahwa yang membedakan mulia tidaknya seseorang semata-mata karena takwanya bukan karena golongannya atau alirannya. Pandangan
34
Ibnu Taimiyah, Majmū' Fatāwā,Kitab al-Tasawwuf, h. 17-18.
35
Ibid., h. 22.
36
Departemen Agama RI, op. cit., h. 216.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
216
Ibnu Taimiyah ini menimbulkan banyak orang yang tidak senang dan membencinya karena dianggap tidak menghargai para wali Allah swt. dan yang dimaksud wali Allah swt. oleh orang-orang tersebut adalah para sufi yang mempunyai ilmu-ilmu gaib atau ilmu ladunni yaitu ilmu yang khusus bagi orang tertentu yang tidak dapat diperoleh oleh orang biasa atau orang awam.
Kitab-Kitab Tasawuf Pendapat Ibnu Taimiyah tentang kitab-kitab tasawuf juga tidak jauh berbeda dengan pandangannya dalam hal-hal diatas. Dia tidak mengkritik dan mengecam habishabisan kitab tasawuf, bahkan sebaliknya dia mengakui bahwa dalam kitab tasawuf banyak juga terdapat kebenaran-kebenaran, dan juga kekhilafan yang terselip, ada kekurangannya dan ada kelebihannya. Seperti juga pada kitab-kitab yang lain selain kitab tasawuf. Jika dalam kitab tasawuf kita menemukan riwayat-riwayat lemah bahkan palsu, yang demikian itu bukanlah karena faktor kesengajaan pengarang kitab, tapi lebih karena faktor manusiawi yang berupa sifat lupa dan khilaf yang telah terbawa sejak lahir. Dan semua pengarang (muallif) kitab pasti adakalanya khilaf, tanpa pandang bulu apa ia ahli tasawuf, ahli tafsir (mufassir) ataupun penulis bidang yang lain. Dalam kitabnya al-Istiqāmah Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa: Dalam kitab-kitab tasawuf ada sesuatu yang bercorak melunakkan hati, riwayatriwayat yang sebagiannya sahih, sebagiannya lagi lemah dan sebagiannya (bahkan) palsu. Seluruh umat Islam bersepakat bahwa dalam hal ini tidak akan terlepas daripada kitab-kitab (karangan para tokoh) riwayat-riwayat yang serupa (sebahagiannya sahih, lemah dan palsu). Hal ini dapat diperhatikan dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para mufassir. Demikian pula dalam kitab-kitab hadis sekalipun dikarang oleh ahli ilmu periwayatan. Dalam kitab mereka ada riwayat-riwayat yang serupa (sebahagiannya sahih, lemah dan palsu). Maka bagaimana dengan para tokoh yang bukan ahli hadis?37 Selanjutnya dia mengatakan bahwa: Di dalam penulisan (kitab-kitab) tasawuf terdapat perkara-perkara yang juga terdapat di dalam penulisan (kitab) fiqh dan pemikiran, kedu-duanya ada yang mengandung riwayat-riwayat sahih, lemah bahkan palsu. Ia juga mengandung pendapatpendapat yang benar, lemah bahkan batil. Adapun penulisan ilmu kalam, maka di
37
Ibnu Taimiyah, Kitab al-Istiqamah, Jilid II, h. 67.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
217
dalamnya terdapat kebatilan yang amat parah dengan jumlah yang banyak, bahkan di dalamnya juga terdapat pembahasan-pembahasan yang bersifat zindik dan munafik.38 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf adalah pandangan yang moderat. Hal ini dapat difahami dari pernyataannya bahwa dalam tasauf terdapat sesuatu yang salah dan juga yang benar. Yang benar perlu diambil yang salah jangan diikuti dan hal ini berlaku untuk semua ilmu, termasuk ilmu tafsir dan ilmu hadis. Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf bukan karena ia tidak setuju tetapi karena setelah menyelami dan mendalami dunia tasawuf dan dia benar-benar menemukan intisari dan warna-warni dari tasauf. Pendalaman dia dalam tasawuf ini menyebabkan dia menemukan dan membuka tabir rahasia tasawuf, serta melihat sudut pandang yang tidak bisa dilihat orang lain, bahkan oleh orang-orang yang mengaku pengikut tasawuf. Ia melihat bahwa dalam tasawuf ada penyimpangan-penyimpangan yang sudah melampaui batas syariat Islam. Suluk Ibnu Taimiyah yang selama ini dituding sebagai anti tarekat ternyata justru sangat mendukung suluk39 sebagai unsur fundamental dalam tarekat. Dalam kaitan ini dia menegaskan dalam Majmū' Fatāwā: Suluk adalah menempuh jalan yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya berupa realisasi akidah, ibadah, dan akhlak. Semua ini sangat jelas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah saw. karena suluk menempati posisi seperti makanan yang merupakan kebutuhan primer bagi tubuh. Oleh karena itu, semua sahabat mengenal suluk dengan petunjuk Alquran dan sunnah Rasulullah saw. Mereka dalam hal itu tidak membutuhkan ahli-ahli fiqh dari kalangan sahabat, dan mereka pun dalam hal itu tidak pernah saling bertentangan satu sama lain, sebagaimana mereka saling bertentangan dalam kasus-kasus fiqh yang pengetahuan tentang kasus-kasus ini tertutup bagi kebanyakan sahabat, sehingga mereka berbicara dalam fatwa-fatwa yang diminta oleh suatu kelompok dalam kasus-kasus itu. Adapun suluk yang dilakukan oleh orang yang hendak mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan mengintensifkan ibadah yang diwajibkan dan ibadah yang disunnahkan, maka masing-masing dari mereka berpedoman kepada Alquran dan sunnah, karena Alquran dan sunnah sarat dengan hal
38
Ibnu Taimiyah, Syarh al-‘Aqidah al-Isfahāniyyah, Jilid I (Qairo: Dār al-Kutub al-Hadīṡah, t.th),
h.184.
39
Suluk merupakan trans-mutasi manusia dari alam eksoteris ke alam esoterik menuju perjalanan transedensi kepada Tuhan. suluk juga dalam arti perjalanan dan perkembangan keruhanian/spiritual menuju Tuhan. lihat Masyharuddin, op. cit., h. 237.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
218
ini. Dan jika salah seorang dari mereka dalam hal itu berbicara dengan perkataan yang tidak ia sandarkan kepada dirinya sendiri, maka perkataan itu atau maknanya disandarkan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya; kadang-kadang di antara mereka ada yang mengucapkan kata-kata hikmah, dan hal itu ternyata berasal dari Nabi Muhammad saw sendiri; ini sama dengan kata-kata hikmah, yang dikatakan orang dalam menafsirkan firman Allah nūrun 'alā nūrin' (cahaya di atas cahaya).40 Masalah suluk merupakan salah satu jenis masalah akidah; semuanya ditetapkan dalam Alquran dan sunnah. Mereka (para sahabat) tidak pernah saling bertentangan dalam masalah akidah dan tidak pula dalam masalah tarekat (jalan) menuju Allah swt. yang dengannya seseorang dapat menjadi salah seorang wali dari wali-wali Allah swt. yang abrār (bebas dari noda durhaka) dan muqarrabīn (dekat kepada Allah). Oleh karena itu, syaikh-syaikh tarekat sufi jika mereka memerlukan rujukan dalam perkaraperkara syariat seperti yang berkenaan dengan nikah, warisan, bersuci, sujud sahwi, dan yang semacamnya, mereka mengikuti ahli-ahli fiqh, berijtihad; dan barangsiapa di antara mereka mengikuti Rasulullah saw. maka ia benar; dan barangsiapa menyimpang dari Rasulullah saw., maka ia salah.41 Hal-hal yang berkenaan dengan suluk semuanya didasarkan pada Alquran dan sunnah serta khalwat Nabi Muhammad saw. di Gua Hira', inilah yang menjadi rujukan utama bagi para salik sebagaimana ditegaskan juga oleh Buya Hamka ketika ia mengatakan: Kaum sufi yang mensucikan dirinya, mengambil contoh teladan atas amal-amal mereka dalam khalwat, suluk dan tarekat, dan bermacam-macam sistem yang lain berdasarkan khalawat dan tahannus Nabi Muhammad saw. di Gua Hira, sampai terbuka hijab kegaiban oleh kemurnian jiwa.42 Melalui suluk yang memenuhi syarat dan rukunnya seseorang dengan izin Tuhannya akan mencapai tauhid yang murni atau merasakan keyakinan yang hak yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun, sehingga tidak lagi memerlukan argumentasi-argumentasi logis mengenai keberadaan dan ke-esaan-Nya; ia sudah mendapatkan pancaran cahaya langsung dari Tuhan sehingga ia pun berjalan di muka bumi bagaikan pelita yang menerangi sekelilingnya. Pelita mereka berasal dari nūrun 'alā nūrin (cahaya di atas cahaya), yang dijelaskan Allah swt. lewat firman-Nya dalam Q.S. Al-Nur/24: 35. 40
Ibnu Taimiyah, Majmū' Fatāwā, Kitab ‘Ilmu al-Sulūk, h. 273. 41
Ibnu Taimiyah, ibid., h. 274.
42
Hamka, op. cit., h.23.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
219
)٦٣( . Terjemahnya: Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi, perumpamaan cahanya seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang didalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan yang dinyalakan dari minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di Timur dan tidak pula di Barat. Yang minyaknya saja hampirhampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapislapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.43 Dalam tarekat sufi suluk difahami dan diwujudkan dalam bentuk khalwat dan 'uzlah, yaitu mengasingkan diri selama jangka waktu tertentu di sebuah tempat yang bebas dari kebisingan dan hiruk pikuk duniawi. Teladan yang diambil oleh para salik dalam hal ini seperti ditegaskan Buya Hamka adalah kegemaran Nabi Muhammad saw. melakukan khalwat dan tahannus di Gua Hira. Para sufi melakukan suluk di masjid-masjid atau surau-surau yang oleh Alquran disebut sebagai rumah-rumah yang diizinkan Allah untuk dimuliakan dan dijadikan tempat berzikir menyebut asma-Nya. Firman Allah dalam Q.S. Al-Nur/24: 36. )٦٣( . Terjemahnya: Bertasbih kepada Allah di mesjid-mesjid yang telah diperintahkan Allah untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.44 Rumah semacam inilah yang oleh para salik dijadikan tempat khalwat dan ‘uzlah, mereka menetap disitu selama beberapa hari untuk melakukan ibadah dan zikir secara
43
Departemen Agama RI, op. cit., h. 354.
44
Ibid.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
220
intensif. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila suluk mereka disebut juga dengan iktikaf yang dari segi bahasa bermakna berdiam di sebuah tempat selama jangka waktu tertentu. Dalam kasus ini para salik merujuk kepada iktikaf Nabi Muhammad saw. selama sepuluh hari dalam bulan Ramadan. Karakteristik Pemurnian Ibnu Taimiyah 1. Mendahulukan syarak (nash) atas akal. 2. Tidak percaya pada kemutlakan akal 3. Tidak mengikuti seseorang karena nama, ketenaran dan kedudukannya. 4. Dasar syariat adalah alquran dan telah dijelaskan oleh muhammad saw. dengan sunnahnya. 5. Tidak fanatik dalam pemikiran dan menghindari sikap berlebihan dan jumud Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf Masa Ibnu Taimiyah adalah masa di mana tasawuf dilihatnya telah banyak mengalami penyimpangan dari tasawuf yang sebenarnya. Hamka menggambarkan bahwa tasawuf telah beratus-ratus tahun mengalami penyimpangan dan telah mempengaruhi masyarakat muslim, dimana-mana terdapat makam yang dikeramatkan, bahkan ziarah ke pada kuburan Rasulullah saw. sudah menyamai bahkan melebihi dari pada ziarah terhadap Ka’bah. Demikian pula pengaruh-pengaruh pemikiran tasawuf filsafat dari al-Hallaj, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Ibnu al-Farid, al-Rumi, Ibnu Saba’in dan dari pemikiran-pemikiran kaum Syi’ah yang sangat berlebih-lebihan.45 Melihat keadaan tasawuf yang demikian membahayakan akidah kaum muslimin tampillah Ibnu Taimiyah dengan keberanian yang luar biasa mengeritik dan menentang beberapa problem yang ada dalam tasawuf antara lain: a. Problem paradigmatik: 1) Relasi ontologis 2) Relasi komunikatif 3) Relasi etik b. Problem teologis-ritualis: 1) Persoalan akidah tauhid 2) Persoalan kenabian. 3) Persoalan kewalian 4) Persoalan mukjizat dan karamah 5) Persoalan ibadah yang sesuai dengan syariat dan yang bidah
45
Hamka, op. cit., h. 317.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
221
c. Problem teologis-filosofis: 1) al- Fanā 2) al-Ma’rīfah 3) al-Ittiḥād 4) al-Ḥulūl 5) Waḥdah al-Wujūd d. Problem teologis-sosiologis 1) Doktrin maqāmāt 2) Doktrin khalwat Implikasi Pemurnian Tasawuf Ibnu Taimiyah Terhadap Pengamalan Keruhanian Muhammadiyah Sejak dicanangkan Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995, terdapat perobahan pola pikir dalam Muhammadiyah, kalau selama dalam kepemimpinan sebelumnya dominasi syariah/fiqh atas spiritual, maka kini dicanangkan suatu jalan baru yaitu spiritualisasi syariah yang bermaksud untuk kembali kepada Islam sejati K. H. Ahmad Dahlan yaitu Islam dengan akal dan hati suci. Spiritualisasi syariah menurut Abdul Munir Mulkhan, mengandung keseimbangan syariah dan sufisme. Akan tetapi sejak dulu Muhammadiyah menghindarkan diri untuk menyebut sufisme, sebab institusionalisasi sufisme secara formal ke dalam tarekat akan menjebak orang ke dalam idolatri dan mistifikasi Islam. Namun sufisme secara informal dan substantif sebenarnya diamalkan oleh Muhammadiyah. Sebagai ganti dari sufisme informal itu adalah dengan menggunakan akhlāk al-maḥmūḍah (akhlak terpuji).46 Meskipun secara teoritis pemurnian Islam mengakibatkan tasawuf kehilangan fungsi, dan secara doktrinal keabsahannya ditolak, kenyataannya Ibnu Taimiyah, pelopor pemurnian Islam, tidak menolak substansi taswuf, tuduhan bidah adalah akibat dominasi ahli syariah dalam gerakan pemurnian Islam, walaupun ajaran etik dan spiritual tasawuf tumbuh dengan baik dalam kehidupan pengikut gerakan Muhammadiyah, akan tetapi Muhammadiyah tidak menekankan adanya langkahlangkah sistematis (maqām) yang merupakan keharusan untuk bisa mencapai tangga sufi seperti yang ditempuh dalam hierarki tarekat.47 Komitmen Muhammadiyah pada substansi etik dan spiritual tasawuf terlihat dalam realitas pengamalan keruhanian Muhammadiyah baik dalam tataran organisatoris 46
Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat petani (Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), h. xix-xix. 47
Ibid., h. 115.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
222
atau persyarikatan maupun pada tataran individual. Namun tidak dikenal tokoh mursyid yang memilki hierarki geneologis maupun spiritualis dengan Nabi Muhammad saw. dan tahapan maqām untuk mencapai kesatuan mistis dengannya. Demikian pula tidak terdapat mata rantai “wasilah” yang diyakini dapat menghubungkan pengikut dengan mursyid. Sikap Muhammadiyah yang tidak mengidolakan tokoh-tokoh tertentu secara berlebihan dan tidak menjadikan tokoh tertentu sebagi wasilah/perantara antara Tuhan dan manusia di dasarkan pada firman Allah swt. dalam Q.S. An-Najmi/53: 39. . )٦١( Terjemahnya: Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.48 Dalam gerakan ini dikenal tokoh yang mempunyai kesalehan lebih dibanding dengan umumnya warga, biasanya para kiyai/ustaz pesantren, para pimpinan gerakan dan para juru dakwah profesional. Mereka inilah yang dipercaya dapat membimbing warga Muhammadiyah untuk mencapai kesalehan spiritual maupun kesalehan sosial. dua macam kesalehan ini pada persyarikatan Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan sebagai realisasi dari hadis Rasulullah saw. tentang iman, Islam dan ihsan. Iman merujuk kepada akidah tauhid, Islam merujuk kepada ibadah/muamalah/tindakan sedangkan ikhsan merujuk kepada kedalaman dan kesadaran spiritual dan moral serta ketulusan dalam mewujudkan iman dan Islam. Penomena sufisme menurut Abdul Munir Mulkhan merupakan gejala global dalam sejarah dunia Islam dengan mayoritas umat. Hal ini akibat skripturalisme dalam pemurnian Islam menurut pendapat sebagian ulama sering kurang relevan dengan kepentingan mayoritas umat. Disinilah peran penting tasawuf yang dapat menghadirkan kedalaman spiritual di tengah masyarakat yang sarat dengan orientasi keduniawian. Para pimpinan Muhammadiyah menyadari perlunya menafsirkan keyakinan dasar Islam untuk memberikan prinsip-prinsip keagamaan dan sosial. Mereka menunjukkan kesadaran mengenai kebutuhan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat muslim Indonesia. Usaha mengubah makna iman dari aspek-aspek luar kehidupan agama kepada pengetahuan yang lebih mendalam tentang dasr-dasar Islam. Usaha ini menekankan pemenuhan spiritual sebagai pra-kondisi bagi pembaruan Islam. Pembaruan ini memberikan tekanan pada prinsip pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran dasar Islam yang benar dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan karakteristik gerakan Muhammdiyah pada awal abad ke-20. 48
Departemen Agama RI, op. cit., h. 527.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
223
Ketika pemimpin Muhammadiyah mengadopsi Islam sebagai ideologi dan inspirasi dasar gerakan ini, mereka menegaskan bahwa Islam adalah wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi-Nabi mulai Adam as. sampai Muhammad saw. dengan kitab suci masing-masing. Dalam pelaksanaan keyakinan ini terdapat dasar keyakinan Muhammdiyah bahwa, kebenaran itu tidak berasal dari seorang individu atau satu sumber tapi dari banyak individu atau sumber. Ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa Islam mengandung petunjuk untuk memperoleh kebahagian material dan spiritual bagi kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti. Implikasi pandangan ini ialah bahwa Islam sesungguhnya memperbolehkan penganutnya untuk mencari kebahagiaan dunia mereka. Para tokoh Muhammadiyah berulang kali menekankan bahwa ajaran Islam mencakup aspek akidah, akhlak, ibadah, dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan (mu’amalah). Aspek-aspek ini meliputi dua kategori yaitu yang bisa dirubah dan yang tidak bisa dirubah. Wilayah yang tidak bisa dirubah adalah wilayah akidah, akhlak dan ibadah meskipun terjadi perubahan-perubahan dalam wilayah waktu dan ruang. Sedangkan yang bisa dirubah menurut waktu, ruang dan kemaslahatan umum adalah wilayah yang menyangkut mu’amalah, seperti perdagangan, pelayanan umum, dan kegiatan politik.49 Bila tasawuf dimaknai dimensi batin ekspresi keberagaman seorang Muslim, maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul dalam dokumen-dokumen dan forum-forum kajian Muhammadiyah adalah ihsan dan akhlak (dalam Kepribadian Muhammadiyah), spiritual (dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah butir 2), serta spiritualitas, (dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam). Alasan pemilihan kata ihsan dan akhlak menurut Haedar Nashir, karena adanya minimal dua pertimbangan: Pertama, konsep ihsan dan akhlak dipandang merupakan referensi langsung dari Alquran dan sunnah Rasul saw. Kedua, ihsan dan akhlak juga di pandang lebih representatif untuk bentuk spritualitas Islam yang seimbang dalam melakukan Habluminallāh dan hablum mina al-nās.50 Merujuk pada konsep ihsan dan akhlak dengan alasan seperti yang dikatakan oleh Haedar Nashir tersebut, tampaknya Muhammadiyah ingin menampilkan spritualitas Islam yang memiliki dua sisi seimbang, yaitu sisi transedental/spiritual dan
Achmad Jainuri, The Formation of the Muhammadiyah’s Ideologi, terj. Ahmad Nur Fuad: Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah periode awal (Cet. I; Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), 2002), h. 77-79. 49
50
Haedar Nashir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah (Cet. I; Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000), h. 23-24.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
224
mendunia/materil. Inilah dasar sehingga Muhammadiyah selama perjalannya hingga seabad ini, memilih untuk tidak mengembangkan terminologi/istilah sufisme yang terlalu menekankan pada tradisi-tradisi zikir, wirid, tahlil dan kehidupan tarekat yang dipandang lebih berorientasi untuk kepuasan rasa spiritualitas sipelakunya, namun kurang perduli terhadap pergumulan konkrit kehidupan dunia. Model tasawuf seperti inilah yang kurang dikembangkan bahkan cenderung untuk ditolak oleh Muhammadiyah karena beberapa alasan: 1. Dapat menggiring sipelakunya kepada eksrimitas pada spiritualitas kasyf yaitu kontempalasi spiritual-religius yang seringkali berakhir pada waḥdah al-wujūd baik dalam kadar yang ringan maupun dalam kadar yang berat. 2. Lebih berorientasi pada eksrimitas pada salah satu aspek kehidupan yaitu kehidupan akhirat. 3. Lebih mengarah kepada tasawuf yang dilembagakan dalam bentuk tarekat yang kadang menggiring sipelakunya bersifat ekslusif dan ekstrim pada salah satu aliran tarekat tanpa mau melihat akan kesesuaiannya dengan praktek kehidupan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan salaf al-ṣāliḥ dan tidak refresentatif dari ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis Rasulullah saw. Memperhatikan alasan yang dikemukakan oleh Muhammadiyah sehingga cenderung untuk menolak model tasawuf seperti tersebut di atas, Muhammadiyah agaknya ingin membuktikan bahwa amal-amal usahanya yang tersebar luas di seluruh Nusantara terbukti besar manfaatnya bagi kemajuan hidup umat dan bangsa dan hal ini tidak terlepas dari manifestasi spritualitas gerakannya. manifestasi dari ihsan yang terimplementasi dalam ketaatan ibadah, zikir dan wiridnya kepada Allah swt. yang membuahkan keikhlasan dan berdasarkan kemurnian tauhid baik tauhid rubūbiyah maupun tauhid ulūhiyah yang selalu ditekankan dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah. Itulah model pengamalan keruhanian Muhammadiyah. Kalaupun mau disebut tasawuf maka tasawuf yang mendunia yang oleh Hamka disebut tasawuf modern; oleh Fazlur Rahman disebut new-sufisme dan oleh Said Ramadhan disebut tasawuf sosial. Ciri-cirinya adalah: 1. Dasar tasawufnya adalah kemurnian tauhid 2. Pendekatan diri kepada Allah swt. dengan instens lewat pelaksanaan ibadah khas maupun ibadah ‘ām berdasarkan contoh dari Rasulullah saw., para sahabat, tābi’īn dan salaf-al-ṣāliḥ 3. Senantiasa menjaga keseimbangan hidup antara kehidupan spiritual dan kehidupan material dan keseimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
225
4. Sumber rujukan utama dalam membangun moralitas-moralitas tasawuf adalah Alquan dan hadis Rasulullah saw. Peneliti menawarkan model tasawuf yang menurut peneliti lebih dapat mewakili konteks tasawuf untuk zaman sekarang yaitu tasawuf mukhliṣī (ḥaqiqī) yaitu tasawuf yang mampu mensinergiskan antara kemurnian tauhid, kekhusukan ibadah, kekayaan moral/akhlak dan keaktifan bergumul dengan kehidupan konkrit dunia dengan titik tekan pada ketulusan hati di dalam beramal semata-mata karena Allah swt. Ada beberapa alasan mengapa peneliti menekankan keikhlasan dalam bertasawuf yaitu: Pertama, adanya sifat riyak yang senantiasa menonjol dan semakin subur pada kehidupan manusia modern apalagi dengan adanya media massa yang semakin mempersubur sifat riyak, baik lewat media elektronik seperti televisi, radio, internet maupun lewat surat-surat kabar, majalah-majalah dan tabloid-tabloid. Kedua, sifat nifak/munafik telah mewarnai kehidupan manusia modern. Ketika ada kepentingan dan ada kemauannya, berpurak-puraklah baik, segala macam janji diucapkan, tetapi ketika kepentingan dan kemauan sudah tercapai, maka kebaikan pun habis dan janji-janji segera dilupakan, itulah yang banyak dipamerkan dan dilakuakn oleh sebagian masyarakat modern dan masyarakat Indonesia sekarang dan telah merambah kesegenap lapisan, baik birokrat, politisi, eksekutif, yudikatif, legislatif bahkan akademisi. Demi kepentingan praktis, rela melakukan kemunafikan. Ketiga, sifat sum’ah yaitu memuji-muji kelebihan diri sendiri, agar diri mendapat pujian, mendapat jempol, dan mendapat nilai tinggi di tengah-tengah masyarakat. kelanjutan sifat sum’ah ini adalah munculnya sifat sombong, angkuh dan tinggi hati, karena merasa mempunyai kelebihan dari orang lain, baik kelebihan dari segi harta benda, pangkat/jabatan, kedukan atau status sosial, intelektual dan bahkan kelebihan dari segi spiritual. PENUTUP 1. Pemurnian tasawuf yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, baik pada aspek ontologi, epistimologi dan aksiologi, sesungguhnya bukanlah hal yang baru, melainkan merupakan respons, kritik dan rekonstruksi tasawuf yang telah berkembang sebelumnya, baik tasawuf yang dikenal dengan tasawuf sunni maupun tasawuf falsafi/filsafat dengan menggunakan paradigma seperti apa yang digunakan oleh kaum salaf al-ṣāliḥ yaitu kepercayaan secara mutlak terhadap Alquran dan sunnah al-ṣaḥiḥah sebagai dasar dan petunjuk dalam beragama. Hal ini dapat dilihat dengan dihilangkannya sifat estatik/syaṭaḥāt dan kandungan mistik-filosofis yang dikembangkan oleh para sufi fIlsafat seperti
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
226
faham tentang union-mistic/persatuan hamba dengan Tuhan yang dominan dalam tasawuf filsafat kemudian digantikan dengan postulat-postulat Islam ortodoks (salaf al-ṣāliḥ); dalam arti bahwa tasawuf haruslah berlandaskan dan dikontrol oleh ajaran agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan sunnah Rasulullah saw. serta sejalan dengan sifat ajaran Islam sebagai rahmatan li al ‘ālamīn. Tasawuf bukanlah mengasingkan diri dari kehidupan dunia melainkan harus bersifat aktif di dalam kehidupan sosial dan menanamkan sikap positif terhadap kehidupan dunia. Tasawuf model ini dinamai oleh Ibnu Taimiyah dengan tasawuf masyrū’ī yaitu tasawuf yang sesuai dengan syariat agama Islam. Tasawuf bagi Ibnu Taimiyah adalah upaya atau berjihad untuk mensucikan jiwa dari segala penyakit yang bisa merintangi dan menghalangi hati menangkap kebenaran seperti sifat iri, dengki, sombong, cinta dunia, dan cinta kedudukan serta menghiasinya dengan cinta kepada Allah, tawakal, sabar, dan ikhlas agar bisa menggapai kebenaran dan kebaikan serta taqarrub/dekat dengan Allah swt. 2. Sifat kritis Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf bertolak dari kesimpulannya bahwa dalam kehidupan tasawuf yang berkembang dan disaksikan olehnya terdapat berbagai problem yaitu: a. Problem teologis-ritualis yaitu problem yang menyangkut akidah dan ibadah. Yang merupakan problem mendasar dan sendi ajaran agama Islam karena menyangkut tentang akidah tauhid, kenabian, mukjizat, karamah, kewalian. b. Problem teologis-filosofis yang terkait dengan ajaran-ajaran tasawuf yang bersumber dari ajaran-ajaran filsafat yang menurut Ibnu Taimiyah sudah melenceng dari ajaran Islam (Alquran dan sunnah Rasulullah saw.), ajaran-ajaran tersebut meliputin ajaran tasawuf bahwa ketika seseorang dalam keadaan estatis/syaṭaḥāt maka akan terjadi union-mistic atau persatuan hamba dengan Tuhan yang termanifestasikan dalam ajaran ḥulūl, ittiḥād dan waḥdah al-wujūd. c. Problem teologis-sosiologis yang berkaitan dengan keyakinan para sufi bahwa untuk bisa memperoleh kedekatan dan persatuan dengan Tuhan harus menempuh perjalanan spiritual/maqāmāt yang ketat dan keras dengan tahapan-tahapan tertentu, sehingga harus mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat dan dunia sebagai sumber penghalang dan perintang. 3. Pemurnian tasawuf Ibnu Taimiyah telah berimplikasi terhadap pemahaman dan pengamalan keruhanian dalam Muhammadiyah baik Muhammadiyah sebagi organisasi/institusi maupun Muhammadiyah secara individual pimpinan dan anggotanya. Secara organisasi Muhammadiyah cenderung menghindari tasawuf teoritis/irfānī/filsafat dan tasawuf sunni berbasis ketarekatan. Implikasi lainnya adalah munculnya sikap korektif dan penolakan sebagian pimpinan dan anggota
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
227
terhadap beberapa hal dalam tasawuf yang dianggap menyimpang dan sarat dengan unsur-unsur kesyirikan, khurafat, tahyul dan bidah yang telah dikritisi sebelumnya oleh Ibnu Taimiyah. Namun di sisi lain Muhammadiyah sebagai organisasi dan sebagai pimpinan dan anggota tidak menolak beberapa substansi tasawuf yang biasa disebut maqāmāt dalam tasawuf bahkan diajarkan dalam materi Kemuhammadiyahan atau Keislaman, sepanjang mempunyai dasar dan sumber rujukan dalam Alquran dan sunnah al-ṣaḥīiḥah. DAFTAR PUSTAKA Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Cet. V; Jakarta: UI Press, 2001. Abū Abdullah Muhammad bin Sa’id bin Ruslān, Haula hayāh Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah Rahimahūllāh (Cet. II; tp: Maktabah al-Manār, tt), h. 6. Yusron Asrofi, “Pembaruan Pemikiran Islam dari Ibnu Taimiyah sampai K.H. Ahmad Dahlan” dalam Sujarwanto, dkk (Ed.), Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. Al-Imām Abū Zahrah, Tārīkh al-Mazāhib al-Islāmiyyah fī al-Siyāsati wa al-A’qāi’d fī Tārīkh al-Mazāhib al-Fiqhiyah (Cet. al-Qāhira, Dār al-Fikri al-Arabī.t.th), h. 177. Lihat pula Imam Abu Zahrah, Tarīkh al-Mazāhib al-Islāmiyyah, Terj. Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1996. Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II (Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003. Tartib al-Qāmūs al-Muhīṭ, Juz II (Cet. IV; Makkah: Dār al-‘Alim al-Kutub, t.th), h. 92. Bandingkan dengan Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III (Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, Kritik Ibnu Taimiyah Atas Rancang Bangun Tasawuf (Cet. I; Surabaya: JP. Books, 2009. Azyumardi Azra, “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah” dalam Muhammadiyah Digugat Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah (Cet. I; Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000. Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin (Cet. I; Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 2000), h. 10. Yunahar Ilyas, Kuliah Akidah Islam (Cet. V; Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2000.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
228
Ibnu Kaṡīr, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Jilid 13 (Cet. I; Beirut Maktabah al-Ma’ārif, 1966), h. 308. Lihat juga Al-Zahabī, Tazkirah al-Huffāẓ, Jilid IV ( Haidar Abad: t.t. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam Cet. I; Bogor: Kencana, 2003. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaruan dalam Islam Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap: Ibn Taimiyah, Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.15. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, Kritik Ibnu Taimiyah Atas Rancang Bangun Tasawuf (Cet. I; Kudus: JP Books, 2007), h. 29. Abu Muhammad Ibnu Sa’īd Ibnu Ruslān, Haula Hayātuh Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah Rahimahullāh (Cet. II; Nasyr: Maktabah al-Manar, 2002), h. 6. Lihat pula Yusran Asmuni, op. cit, h. 52-53. M. Said Ramadhan al-Būṭi, al-Salafiyyah Marhalah Zamniyyah Mubārakah lā Mazhab Islāmiyyah (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 234. Imam Ahmad Bin Hambal, Musnad Ahmad, dalam al-Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf, (CD-ROM), hadis no. 17686. Ibnu Taimiyah, Majmū’ Fatāwā, Kitāb ‘Ilmu al-Sulūk h. 82. Ibnu Taimiyah, “Qaidah fi Wujūbi al-Istiqāmah wa al-I’tidāl” dalm Tasawuf Antara alGhazali dan Ibnu Taimiyah, http://islammenjawab.multiply.com/journal/item/1075/ ANTARA _ALGHAZALI_DENGAN_IBNU_TAIMIYAH. (12 Desember 2010). Ibnu Taimiyah, Majmū' Fatāwā,Kitab al-Tasawwuf, h. 17-18. Ibnu Taimiyah, Syarh al-‘Aqidah al-Isfahāniyyah, Jilid I (Qairo: Dār al-Kutub alHadīṡah, t.th. Ibnu Taimiyah, Majmū' Fatāwā, Kitab ‘Ilmu al-Sulūk, h. 273. Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat petani (Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), h. xix-xix. Ahmad Nur Fuad: Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah periode awal (Cet. I; Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), 2002. Haedar Nashir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah (Cet. I; Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000..
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015