i
TESIS KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DIKAITKAN DENGAN PERDA PROVINSI BALI NO. 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL
I PUTU MAHENTORO NIM 1190561003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
i
ii
TESIS KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DIKAITKAN DENGAN PERDA PROVINSI BALI NO. 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
TTesis
I PUTU MAHENTORO NIM 1190561003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
ii
iii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 23 JULI 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,SH.,MS NIP.194612311974031025
. Dr.Putu Gede Arya Sumerthayasa,SH.,MH NIP.196409151990031004
Mengetahui Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.,M.Hum.,LLM NIP.196111011986012001
iii
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp,.S (K) NIP.195902151985102001
iv
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 23 Juli 2013
Penitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor :1113/UN 14.4/HK/2013 Tanggal 1 Juli 2013
Ketua
: Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,SH.,MS.
Sekretaris : Dr.Putu Gede Arya Sumerthayasa,SH.,MH.
Anggota
: 1. Prof.Dr.I Wayan Parsa,SH.,M.Hum. 2. Dr.I Nyoman Suyatna,SH.,MH. 3. Dr.Putu Tuni Cakabawa Landra,SH.,M.Hum.
iv
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: I Putu Mahentoro
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Dikaitkan Dengan Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.
Denpasar, 23 Juli 2013 Hormat saya
I Putu Mahentoro
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastyastu. Puji Syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa Nguraha–Nya, sehingga penyusunan Tesis berjudul “Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Dikaitkan Dengan Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012 Tentang Pengedalian Peredaran Minuman Beralkohol“ pada Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana dapat diselesaikan. Penulis Menyadari bahwa Tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,untuk itu diucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr.I Made Pasek Diantha,SH.,MS dan Bapak Dr.Putu Gede Arya Sumerthayasa,SH.,MH , sebagai Pembimbing I dan Pembimbing II, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan hingga Tesis ini dapat diselesaikan 2. Bapak Prof.Dr.dr I Made Bakta,Sp.PD (K), sebagai Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada lembaga yang Bapak pimpin. 3. Ibu Prof.Dr.dr.AA Raka Sudewi,Sp.S (K) sebagai Direktur Program Pascasarjana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada lembaga Ibu pimpin. 4. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
vi
vii
5. Ibu Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.,M.Hum.,LLM sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas bantuan dan bimbingannya. 6. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra,SH.M.Hum sebagai Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas bantuan dan bimbingannya. 7. Bapak–bapak Dosen Penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji penulis. 8. Bapak dan Ibu Staf Pengajar pada Program Pascasarjana, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga bagi penulis. 9. Bapak dan Ibu Staf Administrasi pada Program Pascasarjana, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang dengan dedikasi dan integritas yang melayani penulis selama menempuh studi. 10. Ibu Dra. Corya Penjaitan,Apt sebagai Kepala Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan di Pontianak yang telah memberikan dorongan demi kelancaran studi ini. 11. Ibu. Dra. Endang Widowati,Apt, sebagai Kepala Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan di Denpasar yang telah memberikan dorongan demi kelancaran studi ini. 12. Bapak Drs. I Wayan Eka Ratnata,Apt. sebagai Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan yang telah memberikan dorongan demi kelancaran studi ini.
vii
viii
13. Teman–Teman Staf Penyidik dan Staf Pemeriksaan Pegawai Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Denpasar yang senantiasa memberikan masukan dan dorongan. 14. Orang tua tercinta dan Adik–adikku atas dorongannya sehingga tesis ini bisa selesai tepat pada waktunya. Terimakasih juga kepada istriku Ni Made Astiti Rahayu, Putra dan Putriku I Putu Wahyu Amerta dan Ni Made Wahyuni Amesti Dewi
yang dengan penuh kasih memberikan
semangat dan inspirasi sehingga Tesis ini terselesaikan. 15. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu hingga Tesis ini selesai. Akhir kata, penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun harapan penulis semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa selalu melimpahkan anugerah–Nya kepada kita semua Om Santhi, Santhi, Santhi, Om.
Hormat Saya
I Putu Mahentoro
viii
ix
ABSTRAK KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DIKAITKAN DENGAN PERDA PROVINSI BALI NO 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL Judul Penelitian ini adalah “Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap Perda Provinsi Bali No. 5 tahun 2012 tentang Pengendalian Minuman Peredaran Baralkohol” Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kewenangan yang sama, yang dimiliki oleh dua lembaga yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia dan Pemerintah Provinsi Bali dalam melakukan Pengawasan dan Pengendalian Minuman berlkohol yang beredar di Bali. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pertama kewenangan Badan POM dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol dan permasalahan kedua adalah keabsahan dan kepastian hukum peredaran minuman beralkohol di Bali Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum maupun informasi penunjang yang diperoleh akan diolah dan dianalisis melalui langkah-langkah. Deskripsi mencakup isi maupun struktur hukum positif. selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai untuk kemudian disistematisasi dan dievaluasi atau dianalisa isinya sehingga memperoleh kesimpulan terhadap dua permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukan secara normatif dalam Perda Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Bali jelas-jelas tidak merujuk tentang kewenangan BPOM untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali (norma kosong). Padahal jelas Badan POM memiliki kewenangan di seluruh Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan kewenangan Badan Pengasan Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol menurut Permenkes No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan mewajibkan semua makanan yang akan diedarkan di masyarakat harus didaftarkan terlebih dahulu ke Badan POM guna memperoleh nomor pendaftaran makanan. Makanan ataupun minuman yang tidak memiliki nomor pendaftaran makanan seharusnya tidak boleh diedarkan di masyarakat Kata-kata kunci: Kewenangan, Kepastian hukum, Minuman Beralkohol
ix
x
ABSTRACT THE AUTHORITY OF FOOD AND DRUG ADMINISTRATION ASSOCIATED WITH BALI PROVINCE LOCAL REGULATION NUMBER 5 YEAR 2012 CONCERNING CONTROL OF DISTRIBUTION OF ALCOHOLIC BEVERAGES The title of this research is “The Authority of Food and Drug Administration against the Bali Province Local Regulation Number 5 Year 2012 Concerning Control of Distribution of Alcoholic Beverages”. The research was conducted based on the same authority which is owned by the two institutions, namely Food and Drug Administration of the Republic of Indonesia and Bali Provincial Government in monitoring and controlling of alcoholic beverages in Bali. The problems discussed in this study is firstly the authority of the Food and Drug Administration in monitoring and controlling alcoholic beverages and the second problem is the legality and legal certainty distribution of alcoholic beverages in Bali The type of research used in this study is a normative legal research, namely a procedure of scientific research to find the truth based on the scientific logic of the normative legal perspective. The legal research is done by examining primary and secondary legal materials. Legal materials and supporting information obtained will be processed and analyzed through the steps. The description includes the content and the structure of positive law, then it was performed the normative interpretations of the propositions found and then systematized and evaluated or analyzed the content in order to reach conclusions of the two problems studied. The research results indicate normatively in the Bali Regulation No. 5 of 2012 on the Supervision and Control of Alcoholic Beverages in the Bali clearly does not referal the FDA authority to supervise and control alcoholic beverages in the Bali (empty norm). Whereas it is clearly stipulated that the FDA has authority over Indonesia through regulation health minister Agency of Drug and Food in monitoring and control of alcoholic beverages by Regulation of Minister of Health of the Republic of Indonesia /Permenkes No.382/MENKES/PER/VI/1989 on Food Registration that requires all foods which will be distributed in the public must be registered first to the FDA in order to obtain the registration number of foods. Food or beverages that do not have the registration number of food should not be distributed to the public Keywords: Authority, Legal certainty, Alcoholic Beverages
x
xi
RINGKASAN TESIS
Judul Tesis ini adalah “Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Dikaitkan Dengan Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol” BAB I mengkaji tentang latar belakang penelitian
dengan dua pokok masalah yang mengenai Kewenangan Badan
Pengawas Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengedalian peredaran minuman beralkohol di Provinsi Bali, dan kepastian hukum peredaran minuman beralkohol di Provinsi Bali. Permasalahan tersebut merupakan isu hukum maka tesis ini merupakan penelitian hukum normative sehingga penelitiannya dilakukan dengan bersumberkan pada bahan hukum dan dianalisis dengan menggunakan metode penelitian berupa teknik interprestasi dan argumentasi hukum. Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang – undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. BAB II Membahas tentang Badan POM sebagai lembaga Non Departeman ( LPND ). Pada Bab ini menguraikan tentang tinjauan umum tentang Lembaga Negara Non Departemen yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non Departemen atau yang disingkat dengan LPND yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari Presiden sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selain itu juga menguraikan keberada Badan Pengawas Obat dan Makanan dan terakhir juga menguraikan tinjauan umum tentang Kewenangan.
xi
xii
Dimana bila ditinjau dari sumber kewenanganya dapat dibagi menjadi atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah; delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dan satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya dan terakhir mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya BAB III dibahas isu hukum yang pertama yaitu kewenangan Badan POM dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol sebagai sub materinya akan dibahas tiga hal yaitu tentang kewenangan Badan POM dalam melakukan pengawasan dan pengendalaian minuman beralkohol. Berikutnya Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam melakukan pengawasan peredaran minuman beralkohol dan
terakhir
dianalisa
kewenangan dalam
melakukan pengendalian peredaran minuman beralkohol di Bali. Dari penelitian ini diperoleh hasil kewenangan BPOM untuk mengawasi dan mengendalikan minuman beralkohol merupakan kewenangan delegasi karena kewenangan tersebut berasal dari kewenangan pemerintah dalam hal ini presiden menerbitkan surat keputusan Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non Departemen atau yang disingkat dengan LPND yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari Presiden sebagaimana ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, Badan yang dimaksud adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM mempunyai tugas melaksankan tugas pemerintah dibidang pengawasan obat dan makanan sesuai
xii
xiii
ketentuan hukum yang berlaku, hukum dalam hal ini adalah Undang-Undang pangan. Sementara berdasarkan uraian di atas kemudian dikaitkan dengan sumber kewenangan Pemerintah Bali melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali, merupakan kewenangan atribusi yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah, dimana kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol. Berkaitan dengan kewenangan pengendalian peredaran minuman beralkohol di Bali ternyata Badan POM dan Pemerintah Provinsi Bali sama-sama memiliki kewenangan untuk melakukan pengendalian dan peredaran minuman beralkohol, akan tetapi kewenangan Badan POM tidak terurai dalam Perda Nomor 5 Tahun 2012, sehingga dapat dikatakan terjadi kekosongan norma dalam Perda ini berkaitan dengan kewenangan Badan POM. BAB IV membahas tentang Kepastian Hukum Peredaran Minuman Beralkohol di Bali ada tiga
sub bab yang dibahas yaitu Standar Mutu dan
Pendistribusian Minuman beralkohol, Upaya Pengawasan dan Pengendalian Minuman beralkohol dan Kepastian Hukum dalam Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Provinsi Bali. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan dan Badan POM telah melakukan upaya-upaya untuk menjaga keamanan makanan yang dikonsumsi oleh warganya khususnya berkaitan dengan minuman beralkohol, pemerintah telah menetapkan standar mutu, jaminan mutu bahkan lebih jauh dari itu pemerintah telah pula menetapkan standar tentang tatacara penyimpanan,
xiii
xiv
pendistribusian dan penjualam minuman beralkohol. Tentunya semua peraturan ini akan berlaku sama di seluruh Indonesia Peraturan itu diantaranya Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 282/MENKES/SK/11/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 79/ Menkes/ Per/III/1978. Mengenai Label; Peraturan Menteri Kesehatan No 86/Menkes/Per/IV/1977 tentang Minuman keras mengenai
batasan
usia,
86/Menkes/Per/IV/1977
Peraturan
tentang
Menteri
minuman
Kesehatan
beralkohol
RI
mengenai
Nomor teknik
peragaannya. Apabila sebuah perusahaan yang akan melakukan penjualan atau memperdagangkan minumam keras tidak memenuhi ketentuan diatas maka dapat dikenakan tindakan sampai pada pencabutan ijin untuk berjualan. Selanjutnya Badan POM melakukan pengawasan dan pengendalian makanan di Indonesia, secara umum dilakukan dalam dua cara yaitu Preventif atau pencegahan dimana Badan POM melakukan upaya-upaya pembinaan dan sosialisasi terhadap para produsen, distributor dan penjual obat dan makanan dengan memberikan informasi tentang kewajiban untuk mendaftarkan makanan yang akan di edarkan pada masyarakat. Selain tindakan preventif Badan POM juga melakukan upaya upaya penindakan atau Preemtif. Tindakan Preemtif mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.72.4473 tentang Prosedur Tetap Penyidikan Tindak Pidana di bidang obat dan makanan dan melakukanm kerjasama dengan kepolisian memalalui kesepakatan bersama. Sedangkan mengenai kepastian hukum maka diperoleh hasil bahwa Perda tersebut telah mengandung kekosongan norma berkaitan
xiv
xv
dengan tugas dan kewenangan BPOM di Bali, maka dengan Perda Nomor 5 Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Bali dan Badan POM tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada para produsen,
penyelur dan penjual minuman
beralkohol yang walaupun dalam pelaksanaan Perda para produsen telah memiliki Label edar akan tetapi apabila dalam produk mereka tidak mencantumkan nomor pendaftaran makanan yang harus di urus melalui Badan POM ke Menteri kesehatan mareka mereka dapat dikenakan sanksi oleh Badan POM. BAB V sebagai penutup
menguraikan kesimpulan dan saran sebagai
berikut, kesimpulan pertama bahwa kewenangan Badan POM dalam melakukan pengendalian peredaran minuman beralkohol merupakan kewenangan delegasi yang bersumber dari
Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non Departemen
atau yang disingkat dengan LPND yang
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesimpulan selanjutnya adalah kepastian hukum maka diperoleh hasil bahwa Perda tersebut telah mengandung kekosongan norma berkaitan dengan tugas dan kewenangan BPOM di Bali, maka dengan Perda No 5 Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Bali dan Badan POM tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada para produsen, penyelur dan penjual minuman beralkohol yang walaupun dalam pelaksanaan Perda para produsen telah memiliki Label edar akan tetapi apabila dalam produk mereka tidak mencantumkan nomor pendaftaran makanan yang harus di urus melalui Badan POM ke Menteri kesehatan mareka mereka dapat dikenakan sanksi
xv
xvi
oleh Badan POM. Sedangkan hal-hal yang dapat disarankan adalah pertama dilakukan perubahan terhadap Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol di Bali yang
selama ini jelas-jelas tidak merujuk tentang kewenangan BPOM untuk melakukan pegawasan dan pengendalian
peredaran minuman beralkohol di Bali (norma
kosong). Yang kedua adalah dalam perubahan Perda Nomor 5 Tahun 2012 tersebut harus merujuk pada pada ketentuan dalam uandang-undang Pangan dan Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.382/MENKES/PER/VI/1989
tentang
Pendaftaran Makanan yang mewajibkan mendaftarkan makanan dan minuman sehingga memperoleh nomor pendaftran makanan dan minuman, pada Menteri Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan sehingga makanan dan minuman tersebut telah dinyatakan layak untuk dikumsumsi dan diedarkan dimasyarkat.
xvi
xvii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................
iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..............................................
iv
SURAT PENYATAAN BEBAS PLAGIAT ...................................................
v
UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
ix
ABSTRACT .....................................................................................................
x
RINGKASAN TESIS ......................................................................................
xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xvii BAB
I.
PENDAHULUAN ....................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah..................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ...........................................................
9
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................
9
1.3.1. Tujuan Umum .....................................................
10
1.3.2. Tujuan Khusus.....................................................
10
1.4. Manfaat Penelitian ..........................................................
11
1.5. Orisinalitas Penelitian .....................................................
11
1.6. Landasan Teoritis ............................................................
16
1.6.1. Teori Penjenjangan Norma..................................
17
1.6.2. Teori Perundang-Undangan Yang Baik ..............
19
xvii
xviii
BAB
II.
1.6.3. Konsep Kewenangan ...........................................
21
1.6.4. Konsep Pengawasan ............................................
23
1.6.5. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik........
26
1.7. Metode Penelitian ...........................................................
30
1.7.1. Jenis Penelitian ....................................................
32
1.7.2. Jenis Pendekatan .................................................
33
1.7.3. Sumber Bahan Hukum ........................................
34
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..................
36
1.7.5. Teknik Analisa Bahan Hukum ............................
37
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN SEBAGAI LEMBAGA NON DEPARTEMEN (LPNP) .........
39
2.1. Lembaga Negara Non Departemen .................................
39
2.2. Keberadaan Badan Pengawas Obat dan Makanan di
BAB
III.
Denpasar..........................................................................
44
2.3. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan ..........................
50
KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL DI PROVINSI BALI ....................................
70
3.1. Kewenangan BPOM dalam Melakukan Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol .........................
xviii
70
xix
3.2. Analisis Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam Melakukan Pengawasandan Pengendalian Minuman Beralkohol ......................................................
85
3.3. Analisis Kewenangan Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali.......................... BAB
IV.
91
KEPASTIAN HUKUM PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL DI PROVINSI BALI ....................................
105
4.1. Standar Mutu dan Pendistribusian Minuman Beralkohol 105 4.2. Upaya Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol .......................................................................
112
4.3. Kepastian Hukum dalam Pengendalian Peredaran
BAB
V.
Minuman Beralkohol di Provinsi Bali ............................
116
PENUTUP ................................................................................
138
5.1. Simpulan .........................................................................
138
5.2. Saran................................................................................
139
DAFTAR PUSTAKA.
xix
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Ciri utama mahluk hidup adalah tumbuh dan berkembang biak, tumbuh
artinya bertambah besar dan bertambah panjang sedangkan berkembang biak berarti menghasilkan keturunan. Agar tetap tumbuh dan berkembang biak maka semua mahluk memerlukan makanan tidak terkecuali manusia. Bagi manusia makanan atau pangan berguna untuk menghasilkan tenaga sehingga bisa beraktivitas dan melakukan kegiatan. Mengingat manfaat pangan yang demikian tinggi bagi manusia, maka dapat dikatakan pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar oleh karenanya pangan sepenuhnya menjadi hak asasi setiap manusia. tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi suatu Negara dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan bermartabat.
1
Pemerintah Indonesia telah menetapkan peraturan berupa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam undang-undang tersebut diuraikan bahwa pangan merupakan
segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam 1
Suryana, Achmad., 2003, Kapita Selekta Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, Cet Pertama, BPFE-yogyakarta, Yogyakarta, hal 95.
1
2
proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pangan merupakan sesuatu yang dapat dikonsumsi bagi manusia baik itu berupa makanan maupun minuman yang bersumber dari sumber daya hayati maupun air. Maka dari itu diperlukan
pengawasan terhadap
makanan maupun
minuman supaya aman dikonsumsi oleh masyarakat maka Presiden telah membentuk sebuah badan yang diberikan tugas tertentu dalam hal pengawasan terhadap obat dan makanan yang disebut dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang disingkat dengan BPOM. Badan inilah dengan dikordinasikan oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Kesejahteraan Sosial yang diserahkan tugas pengawasan peredaran obat dan makanan di Indonesia, yang dibentuk di masingmasing provinsi di seluruh Indonesia Dalam melakukan pengawasan obat dan makanan Menteri Kesahatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan
yang mewajibkan
semua bahan makanan baik yang diproduksi produsen maupun yang diimpor diwajibkan untuk mendaftarkan makananya ke menteri kesehatan. Termasuk juga industri kecil atau industri rumah tangga yang memproduksi susu olahan, makanan bayi, makanan kalengan komersial dan minuman keras wajib mendaftarkan makanan hasil produksinya sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat 1 Permenkes 382/MENKES/PER/VI/1989 dan bagi para pihak yang telah mendaftarkan makanannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dalam Pasal 30 diuraikan:
3
terhadap produksi baik dalam maupun luar negeri yang dimasukan ke dalam wilayah Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan harus mencantumkan nomor pendaftaran pangan. Berkaitan dengan tugas Pengawasan Pangan dalam bentuk minuman Badan Pengawas Obat dan Makanan juga memiliki tugas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap produksi, pengedaran, penjualan dan penyajian minuman beralkohol. Minuman berakohol menurut Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, Pasal 1 ayat (1) diuraikan: Minuman beralkohol adalah sebagi minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara permentasi dan destilisasi atau fermentasi tanpa destilisasi baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak , menambahkan bahan lain atau tidak maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung alkohol.
Pengawasan minuman beralkohol ini menjadi penting mengingat mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dapat mengganggu kesehatan dan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dampak yang dapat ditumbulkan karena minuman yang mengandung alkohol adalah 2: Gangguan Fisik meminum minuman beralkohol banyak, akan menimbulkan kerusakan hati, jantung, pankreas dan peradangan lambung, otot syaraf, mengganggu metabolisme tubuh, membuat penis menjadi cacat, impoten serta gangguan seks lainnya 2. Gangguan Jiwa dapat merusak secara permanen jaringan otak sehingga menimbulkan gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemampuan belajar dan gangguan jiwa tertentu. 1.
2
Ithalabo, blog¸DampakMminuman Keras, senin 8 juni 2012
4
3.
Gangguan Kamtibmas: perasaan seorang tersebut mudah tersinggung dan perhatian terhadap lingkungan juga terganggu, menekan pusat pengendalian diri sehingga yang bersangkutan menjadi berani dan agresif dan bila tidak terkontrol akan menimbulkan tindakan-tindakan yang melanggar norma-norma dan sikap moral yang lebih parah lagi akan dapat menimbulkan tindakan pidana atau kriminal belum lagi kalau sudah ketagihan maka untuk memenuhi keinganan tersebut maka tidak jarang pelaku melakukan tindakan kriminal guan memperoleh uang dengan cara yang cepat.
Minuman beralkohol selain berdampak negatif, ternyata disisi lain dapat memberikan nilai ekonomis yang tinggi dengan pengenaan pajak dan cukai yaitu Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPNBM). Menurut
Juru Bicara
Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Ipung Nimpuno Industri bir nasional pun menjadi pembayar pajak terbesar, dengan menghasilkan sekitar Rp 1,5 triliun dari PPNBM dan cukai untuk pemerintah per Januari 2012 belum lagi Industri ini mempekerjakan tak kurang dari 10 ribu tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung, dan jutaan lainnya yang mendapat manfaat dari sektor pariwisata.3 Nilai ekonomis yang tinggi dari minuman beralkohol sangat dirasakan oleh pemerintah Bali. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata (Island God/island Paradise) merupakan salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia bahkan dunia. Kuta, Sanur, Nusa Dua, Bedugul, Ubud, Sukawati, Lovina, dan lain lain merupakan tempat wisata yang terkenal di Bali. Sebagai pulau tujuan pariwisata dunia, Bali harus menyediakan minuman berakohol karena sebagaian besar orang
3
Miras Bukan Lagi Barang Mewah: Harus Dikendalikan dengan UU, by Neo KPPP ASI (Komunitas Pengamat Pengkaji Pengamal Aqidah Syariat Islam) on Sunday, January 15, 2012 at 6:21pm ·
5
asing yang berkunjung ke Bali mengonsumsi minuman berakohol sehingga mendatangkan pemasukan bagi daerah yang sangat besar. Pemasukan dari minuman beralkohol atau masyarakat lebih mengenalnya dengan minuman keras (miras) yang beredar di Bali bukanlah dari pajak perdagangan minuman keras, walaupun 70% (tujuh puluh persen) dari miras di Indonesia beredar Pulau Bali,
hal ini dikarenakan pajak minuman berakohol
telah dipungut oleh pemerintah pusat dan dikembalikan kembali ke pemerintah Bali dalam bentuk dana dari pemerintah pusat4. Pemasukan dari minuman keras di Bali diperoleh dari biaya cetak Label Edar. Pendapatan dari biaya cetak label minuman beralkohol (mikol)
tersebut rata-rata per bulannya mencapai
Rp.
2.000.000.000. ( dua milyar rupiah). Pengganti biaya cetak label masing-masing golongan mikol tersebut berbeda-beda, sesuai dengan golongan kadar alkohol, yaitu jenis golongan A atau kadar alkohol 0 sampai 5 persen sebesar Rp500 (lima ratus rupiah), golongan B beralkohol 5 sampai 20 persen sebesar Rp1.000 (seribu rupiah) dan golongan C beralkohol diatas 20 persen sebesar Rp1.500. (seribu lima ratus rupiah) 5. Kewajiban para distributor minuman beralkohol untuk menggunakan label adalah mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol yang selanjutnya sejak tanggal 14 Juni 2012 telah dicabut dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nonor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali. Pengaturan minuman beralkohol di Bali dimungkinkan diatur 4 5
Travel talk, edisi minggu 20 -6-2010; Pastika; Bali tak pungut pajak Miras http:// balinews.blog.com PAD+Minuman+beralkohol+di+bali+tahun+2010
6
melalui Perda didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota yang mengamanatkan perdagangan minuman beralkohol merupakan urusan pemerintahan daerah. Penerapan Peraturan Daerah tentang Minuman beralkohol ini memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk : a. Pemerintah daerah bisa lebih mengatur dan mengawasi peredaran minuman keras sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam distribusi dan penyalahgunaan dalam penggunaan b. Pemerintah daerah dapat menjamin tersedianya minuman keras legal bagi industri pariwisata, hotel, dan agen resmi dalam jumlah tertentu. c. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam ketentuan Pasal 10, bab VI Peredaran Minuman Beralkohol, bagian ke satu tentang
Peredaran, Perda Bali No 5 Tahun 2012 tentang
Pengendalian Peredaran Minuman Berakohol di Bali menguraikan : 1. Minuman Beralkohol produksi luar negeri (impor) dan produksi dalam negeri yang diedarkan oleh distributor, sub distributor pengecer, dan penjual langsung wajib dikemas, menggunakan pita cukai dan label edar. 2. Minuman beralkohol produksi tradisional yang dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi wajib dikemas dengan menggunakan label edar 3. Minuman beralkohol produksi tradisional yang tidak untuk dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi peredarannya dengan menggunakan label untuk upacara (tetabuhan) dan lebel edar
7
Dari uraian ketentuan tersebut, jelas terlihat bahwa apabila sebuah minuman berakohol sudah memiliki kemasan, pita cukai dan label edar untuk minuman beralkohol impor dan produksi dalam negeri, dan bagi minuman beralkohol untuk produksi tradisonal cukup hanya mencantumkan label edar maka sudah dapat diedarkan di Bali tanpa perlu mencantumkan nomor pendaftaran pangan pada label pangan olahannya. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan
khususnya dalam
pasal 4 ayat 1 yang menguraikan : Industri rumah tangga yang sudah mengikuti penyuluhan wajib mendaftarkan makanan hasil produksinya yang meliputi: a. Susu olahan b. Makanan bayi c. Makanan Kaleng steril komersial d. Minuman keras dan bagi para pihak yang telah mendaftarkan makanannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dalam Pasal 30 diuraikan : Terhadap produksi baik dalam maupun luar negeri yang dimasukan ke dalam wilayah Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan harus mencantumkan nomor pendaftaran Pangan . Dari uraian tersebut jelas terjadi kekosongan norma dalam Perda No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian peredaran minuman berakohol, dimana dalam Perda ini tidak menyebutkan kewajiban bagi para produsen, distributor maupun penjual minuman beralkohol untuk mencantumkan nomor pendaftaran Pangan. Sementara
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No
8
382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan, nomor pendaftaran pangan tersebut barulah bisa diperoleh bila para produsen, distributor mendaftarkan minuman beralkohol pada Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dampak dari adanya kekosongan norma tersebut maka sangat sulit bagi BPOM untuk bisa melakukan tindakan penegakan hukum/law enfocement, BPOM hanya bias melakukan tindakan berupa pemberian peringatan dan saran untuk mengurus nomor pendaftaran pangan terhadap mereka-mereka yang menjual, mengedarkan, mendistribusikan minuman beralkohol tersebut. Sering kali para pihak yang terkena sidak (terjaring) dalam operasi dari tim BPOM menyatakan bahwa sudah memperoleh pita cukai dan label edar dari Provinsi Bali. Berdasarkan hal tersebutlah maka penulis tertarik untuk mengkaji kewenangan BPOM dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalaian peredaran minuman beralkohol di Provinsi Bali 2. Bagaimana kepastian hukum peredaran minuman beralkohol di Provinsi Bali
9
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan Umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan para digma ilmu sebagai proses (science as a proses) dengan para digma ini , ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannnya atas kebenaran di bidang obyek masing-masing, Tujuan khusus (het doel in het onderzoek) mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan dalam penelitian.6 1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kewenangan BPOM dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran minuman beralkhohol di Bali dalam kaitan dengan telah diterbitkannya Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol. 1.3.2. Tujuan Khusus Penelitian ini diharapkan mencapai tujuan yang lebih khusus sebagai berikut: 1. Mengetahui secara lebih mendalam kepastian hukum minuman beralkohol yang beredar di Provinsi Bali, karena adanya kekosongan norma antara dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan dan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dengan Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Berakohol. 6
Program Study Megister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu HukumProgram Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 10
10
2. Mengetahui secara lebih mendalam kewenanganya BPOM dalam melakukan pengawasan dan pengendalaian peredaran minuman beralkohol di Provinsi Bali, mengingat
BPOM dan pemerintahan daerah Bali
memiliki kewenangan dalam hal pengendalian dan pengawasan terhadap minuman beralkohol
1.4. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk: 1.4.1. Manfaat Teoritis. Manfaat teoritis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi pengewasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol di wilayah Provinsi Bali 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pedoman pemerintah Provinsi Bali dan instansi terkait untuk lebih mampu meningkatkan
pengawasan
dan
pengendalian
peredaran
minuman
beralkohol di wilayah Provinsi Bali
1.5. Orisinalitas Penelitian Penelitian tentang Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam melakukan pengendalian peredaran minuman beralkohol secara umum adalah membahas mengenai kewenangan Badan tersebut melakukan pengendalian terhadap peredaran minuman beralkohol khususnya di Bali yang dikaitkan dengan Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman
11
Beralkohol. Dalam penelitian ini, peneliti telah memperbandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang tugas dan peran Badan POM. Adapun penelitian tesis yang pernah dilakukan terkait dengan permasalahan peran, tugas dan kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan ( Badan POM) diuraikan sebagai berikut: 1.
Judul Tesis : Peranan BPOM dalam melakukan Tindakan Hukum terhadap makanan Impor Yang Mengandung Melamin Penulis
: Kartika Ajeng K
Dari
: Universitas Indonesia Fakultas hukum Pasca Sarjana, Jakarta 2010
Deskripsi Penelitian : Penggunaan Melamin terbukti membawa dampak buruk terhadap kesehatan, seperti menyebabkan gagal ginjal bahkan yang terparah berujung pada kematian. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan berlanjut terus, melihat telah menyebar dan maraknya penyalahgunaan bahan kimia tersebut ditanah air . Semnetara itu tindakan yang dilakukan pemerintah dirasakan tidak efektif . Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif dan cara pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode kepustakaan, selain berkaitan dengan peranan pemerintah dalam menetapkan ambang batas kandungan melamin, penelitian ini juga membahas tentang kewenangan BPOM untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus yang muncul terhadap pelanggaran produk-produk
12
yang mengandung melamin, mengingat tugas BPOM melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan 2.
Judul Tesis
: Perlindungan Konsumen dalam Pelabelan Produk Makanan
Penulis
: Anak Agung Ayu Diah Indrawati
Dari
: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar 2011
Deskripsi penelitian : Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Dari pengertian label diatas dapat diketahui bahwa didalam label itu termuat informasi. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur adalah salah satu hak dari konsumen. Namun sayangnya, masalah label khususnya label pangan kurang mendapat perhatian dari konsumen maupun pelaku usaha, padahal label memegang peran penting dalam upaya perlindungan konsumen. Ketiadaan informasi yang benar, jelas dan jujur yang seharusnya tercantum dalam label bisa menyesatkan konsumen dan tentunya berakibat hukum pada pelaku usaha untuk bertanggungjawab apabila sampai merugikan konsumen. Untuk itu menarik untuk dikaji apakah pelabelan
13
produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan apakah akibat hukum dari informasi tidak benar, jelas dan jujur dalam label. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian dalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan hukum
diawali
dengan
inventarisasi
dengan
pengoleksian
dan
pengorganisasian bahan hukum. Analisa bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif. Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, dan pelanggaran ketentuan label pangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab administratif, perdata maupun pidana. 3.
Judul Tesis
: Budaya
Hukum
Dalam
Implementasi
Kebijakan
Pemerintah terhadap Persyaratan Pengelolaan Apotik Di Kota Semarang Penulis
: Hartoyo
Dari
: Program
Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Diponogoro Semarang, 2007
14
Diskripsi Penelitian : Pengelolaan apotik dapat dilakukan Apoteker Pengelola Apotik dengan berbagai persyaratan
yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Namun juga Apoteker dapat menggunakan sarana pihak lain (menyediakan sarana dan modal) dengan mengadakan perjanjian kerjasama antara Apoteker dan pemilik sarana (Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :922/MENKES/PER/X/1993). Dalam praktek ditemukan bahwa pemilik sarana
dapat mengelola apotik walaupun
pernah terlibat pelanggaran dengan mengatas namakan keluarganya. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan bagaimana perilaku Pemilik Sarana Apotik
dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah terhadap
pengelolaan apotik, factor faktor apa yang mempengaruhi perilaku pemilik sarana apotik dalam pelaksanaan kebijakan terhadap persyaratan pengelolaan apotik dan bagaimana pengaruh budaya hukum dalam implementasi Kebijakan Pemerintah terhadap persyaratan pemilik sarana dalam pengelolaan apotik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis sosiologis, dengan spesifikasi penelitian diskriptif analistis, metode pengumpulan data dilakukan dengan cara data kepustakaan (sekunder) dan data lapangan (primer), analisis dilakukan secara kualitatif. Perilaku PSA
(Pemilik
Sarana
Apotik),
dalam
mengelola
apotik,
berorientasi pada keuntungan, namun demikian keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat akan terpenuhinya kebutuhan obat, sehingga persyaratan pengelolaan apotik diabaikan, walaupun sebenarnya mereka
15
mengetahui itu merupakan pelanggaran. Perilaku yang demikian ini merupakan suatu kebiasaan yang sudah biasa dilakukan oleh para PSA dan aparat yang terkait tidak tegas dalam menindak perilaku yang demikian Dari uraian tesis-tesis tersebut belum ada penelitian tesis yang menguraikan tentang kewenangan Badan POM untuk melakukan pengawasan peredaran minuman beralkohol dikaitkan dengan Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012.
1.6. Landasan Teoritis Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam penelitian. Sebagai landasan dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsesus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controller baar)7 . Landasan teoritis
merupakan pijakan untuk mewujudkan kebenaran
ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian penelusuran terhadap teori-teori hukum, konsep konsep hukum, landasan dan pedoman
asas-asas hukum dan lain-lain yang menjadi
untuk mencapai tujuan penelitian8. Pada umumnya
penelitian dasar teori, bersumber dari undang-undang, buku atau karya tulis suatu bidang ilmu dan laporan penelitian9. Dalam melakukan penelitian ini akan dipergunakan beberapa teori, konsep dan asas hukum sebagai berikut:
7
Ibid, hal.8 8 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan penelitian Hukum, Cet 1. PT. Citra Aditya Bakti, bandung hal. 73 9 Ibid
16
1.6.1. Teori Penjenjangan Norma. Dalam kehidupan masyarakat terdapat bermacam norma yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, contohnya norma adat, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum. Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang
dalam
hubungannya dengan sesamanya, ataupun dengan lingkungannya. Walaupun penerapan norma-norma berbeda-beda dalam lingkungan masyarakat akan tetapi berlakunya norma hukum adalah mutlak, dalam arti bahwa setiap norma hukum suatu negara berlaku sama bagi seluruh warga negara dimanapun berada. Berkaitan
dengan
hirarkhi
suatu
norma
hukum,
Han
Kelsen
mengemukakan suatu teori tentang jenjang norma hukum (Stufen Theory)10, Ia berpendapat bahwa hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhis tatasusunan, dimana satu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm) Dalam bukunya “General Theory of Law and state”, Kelsen mengemukakan bahwa sistem perundang-undangan suatu Negara tersusun seperti tangga-tangga piramida. Di puncak piramida terdapat norma dasar (general norm) yaitu norma yang berlaku umum, mengikat umum. Sedangkan ketetapan tersebut sebagai individual norm yaitu norma yang berlaku dan mengingat orang yang
10
Maria Farida Indarti Suprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar pembentukannnya , Kanisius Yogyakarta, , hal. 25
17 telah diketahu identitasnya11 . General Norm adalah kaedah-kaedah yang berlaku dan mengikat umum seperti kaedah dasar, undang-undang dasar, undang-undang dan peraturan-peraturan, seperti yang sudah termuat dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis hirarki peraturan perundang-undangan adalah: a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Selanjutnya peranan peraturan perundang-undangan tidak bisa dilepaskan dari kesatuan tertib hukum, dan menurut Kelsen, tata tertib hukum itu pertanggaan perundang-undangan
dari beberapa pembentukan hukum. Keberadaan suatu
produk hukum sangat penting sebagai dasar bagi pemerintah dari pusat sampai daerah dalam upaya penyelenggaraan urusan pemerintah maupun melayani kepentingan masyarakat. Konsep penjenjangan norma digunakan mengkaji kesesuaian norma antara peraturan daerah dengan peraturan yang lebih tinggi yang berkaitan dengan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di daerah Provinsi Bali.
11
Bachsan Mustafa, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.36
18
1.6.2.Teori Perundang-Undangan Yang Baik Hukum dalam arti sempit dimaknai sebagai undang-undang hal ini, sejalan dengan apa yang disampaikan
Wirjono Prodjodikoro, hukum adalah rangkaian
peraturan–peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat12. sementara itu menurut. Soerojo Wignjodipoero, hukum adalah himpunan peraturan–peraturan
hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu
perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat13. Dari pengertian tersebut sangatlah jelas bahwa hukum dapat dipandang sebagai undang-undang yaitu himpunan peraturan tertulis yang apa bila dilanggar dapat dikenakan sanksi Dalam studi ilmu dan teori perundang-undangan, paling tidak ada 4 syarat bagi peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu : yuridis, sosiologis, filosofis, dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang baik14. Adapun teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang baik itu harus memenuhi ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum, ketepatan bahasa (peristilahan), ketepatan dalam pemakaian huruf dan tanda baca. Selanjutnya mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan di Indonesia telah diatur pula dalam bab II, Pasal 5 Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terurai sebagai berikut: 12
R. Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan pertama ,Sinar Grafika, Jakarta, hal
26-27 13
ibid Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 1998.hal. 196. 14
19
Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan. b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. c. kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan. d. dapat dilaksanakan. e. kedayagunaan dan kehasilgunaan. f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Undang-undang yang baik tidak hanya mengatur tentang asas dari pembentukan undang-undang saja akan tetapi juga berkaitan dengan materi muatan yang tertuang dalam undang-undang. Dalam UU No 12 Tahun 2011 diatur pula tentang asas yang harus diperhatikan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan, yang terurai secara lengkap dalam Pasal 6:
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan asas: a. pengayoman. b. kemanusiaan. c. kebangsaan. d. kekeluargaan. e. kenusantaraan. f. bhinneka tunggal ika. g. keadilan. h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
harus
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
20
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebuah undang-undang untuk dapat dikatakan sebagai undang-undang yang baik haruslah memenuhi asas-asas tertentu, relevansi asas-asas ini dengan masalah yang dikaji adalah asasasas yang tertuang dalam ketentuan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan digunakan sebagai idikator untuk mengkaji Peraturan Daerah Provinsi Bali Nonor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali. 1.6.3.Konsep Kewenangan Wewenang merupakan bagian yang penting dalam hukum administrasi Negara. Wewenang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hak atau kekuasaan untuk bertindak15. Menurut S.F Marbun, Wewenang mengandung arti kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara
yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum16. Sedangkan Kewenangan (authority) adalah kekuasaan yang diformalkan
baik terhadap golongan orang tertentu
maupun kekuasaan terhadap suatu pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislative maupun kekuasaan pemerintah.17 H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt berpendapat cara memperoleh kewenangan pemerintahan diklasifikasi dalam 3 (tiga) cara yakni18:
15
Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta, hal 1272. 16 S.F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia , Liberty, Yogyakarta, hal 154-155. 17 Ibid, hal 74 18 Ibid, hal.104
21
a. Attributie;Toekenning van een bestuursbevoegheiddoor een wetgever aaneenbestuursorgaan
atau
atribusi
adalah
pemberian
wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan b. Delegatie;Overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. c. Madaat;
een
bestuursorgaan
laat
zijn
bevogheid
names
hem
uitoefenendoor een ender, atau mandate terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannnya dijalankan oleh organ lain atas namanya Berdasarkan pandangan tersebut diatas, Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber pada undangundang, Atribusi juga dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan tersebut diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh pejabat pemerintah kepada pihak lain, artinya ada pemindahan tanggungjawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Penerima mandat ( mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggungjawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans
22
Setiap wewenang pemerintah di isyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah maka pejabat ataupun badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah19. Pembentukan wewenang pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini penting karena dengan mengetahui sumber kewenangan
tersebut maka akan mempermudah pembagian tugas,
kordinasi dan pengawasan. Konsep Kewenangan dipergunakan karena BPOM dan Pemerintah Provinsi Bali sama-sama memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol diwilayah Provinsi Bali, baik yang bersumber langsung dari perundang-undangan (atribusi) maupun pelimpahan wewenang dari pemegang kewenagan asali (delegasi) 1.6.4.Konsep Pengawasan Selanjutnya pengawasan diartikan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut. Controlling is the process of measuring performance and taking action to ensure desired results. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan. The process of ensuring that actual activities conform the planned activities20. 19
Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Admintrasi, Bayumedia Publishing, Malang,
hal 77. 20
Yosa, Pengawasan sebagai sarana penegekan hukum administrasi Negara, Jurnal Depdagri , Kamis, 1 Juli 2010, hal 45
23 Menurut Winardi “Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan”. Sedangkan menurut Basu Swasta “Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan”. Sedangkan menurut Komaruddin “Pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal untuk
langkah perbaikan terhadap penyimpangan dan rencana yang
berarti”21. Dari pengertian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan atau pemerintahan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan atau pemerintahan. Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan suatu perencanaan. Dengan adanya pengawasan maka perencanaan yang diharapkan oleh manajemen dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik.
21
Ibid
24
Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai
“proses
kegiatan
yang
membandingkan
dilaksanakan,
atau
diselenggarakan itu dengan
direncanakan,
atau diperintahkan.22
Hasil
apa apa
pengawasan
yang
dijalankan,
yang dikehendaki, ini
harus
dapat
menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control). Konsep Pengawasan dipergunakan karena pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam dalam hal ini bagaimana Pemerintah Provinsi Bali dan Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap Peredaran dan Pengandalian 22
Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. hal 19.
25
minuman beralkohol di Provinsi Bali, sehingga peredaran minuman beralkohol sesuai dengan ketentuan Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Peredaran dan Pengendalian Minuman Baralkohol di Provinsi Bali 1.6.5. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Untuk
menghindari
penyalahgunaan
wewenang
dan
kesewenang-
wenangan maka pemerintah dalam melaksanankan fungsinya perlu menggunakan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) sebagai pedoman dalam membuat keputusan maupun perbuatan nyata 23 Fungsi AAUPB merupakan pedoman yang bersifat umum yang mempunyai nilai hukum atau minimal mempunyai nilai penentu dalam suatu tindakan pemerintah. Asas-asas yang dimaksud bersifat tidak tertulis akan tetapi AAUPB tersebut haruslah menjadi penentu dalam setiap tindakan pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut maka badan atau pejabat tata usaha negara yang melaksanakan urusan pemerintahan seperti membuat keputusan (beschikking) yang materinya bersifat konkrit umum maupun kongkrit individual, serta dengan mengeluarkan peraturan
(regeling) merupakan perbuatan pemerintah dalam
hukum public merupakan pengaturan yang bersifat umum abstrak dan dalam melakukan perbuatan nyata atau perbuatan matreriil (Materiil Daad), merupakan perbuatan
hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah. Semua tindakan
pemerintah harus berdasarkan AAUPB baik yang formal maupun materiil sehingga keputusan tersebut benar-benar menurut hukum dan mencerminkan kepastian hukum.
23
E Uttrech , 1986, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas Surabaya, hal.179.
26
Selanjutnya maksud dirumuskannya AAUPB adalah mewujudkan penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dann tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab,
menurut Ridwan HR AAUPB
meliputi 24: 1. Asas Kepastian hukum: asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap tindakan penyelenggara Negara 2. Asas tertib penyelenggaraan Negara; asas ini menjadi landasan ketentuan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara, asas ini menghendaki agar penggunaan wewenang oleh penyelenggaraan Negara, tetap berdasarkan dan sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga terjaga keharmonisan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat 3. Asas Kepentingan umum: asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif. Akomodatif dan selektif. Asas ini mengharuskan administrasi Negara menjalankan kekuasaan untuk mencapai atau memenuhi kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara 4. Asas keterbukaan: asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi manusia, golongan dan rahasia Negara. 5. Asas proporsionalitas: asas yang mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban penyelenggara Negara. 6. Asas profesionalitas: asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini mengutamakan agar pembuatan peraturan oleh pemerintah didasarkan atas keahlian sehingga tepat dari segi aturan hukum yang diterapkan maupun dari segi prosedurnya. 7. Asas Akuntabilitas: asas yang menetukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akuntabilitas dimaksudkan sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan 24
Ridwan. HR. Op.cit. hal 254-255
27
tindakan sesorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Menurut Crince Le Roy asas-asas pemerintahan yang baik meliputi25 : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Asas Kepastian Hukum ( principle of legal security) Asas Keseimbangan (principle of proportionally) Asas kesamaan dalam Pengambilan Keputusan (principle of equality) Asas Bertindak cermat (principle of carefulness) Asas Motifasi dalam setiap keputusan (principle of motivation) Asas Larangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence) Asas Permainan yang layak (principle of Fair Play) Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibitionof arbitarines) Asas Menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation) Asas Peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the consequence of unnulled decision) Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of protecting the personal way of live )
Bila dikaitkan dengan penelitian tesis ini maka asas yang paling relevan di pergunakan untuk mengkaji adalah asas kepastian hukum. Esensi Negara hukum, terdapat asas legalitas dan kepastian hukum, Asas Legalitas diilhami atas pemikiran untuk membatasi kekuasaan penguasa dengan bersaranakan hukum. Pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah untuk ikut serta/campurtangan dalam kehidupan pribadi. Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah penguasa melanggar hak-hak individu, sedangkan sarana yang membatasi campur tangan Negara pada kehidupan individu diatur dalam udang-undang26.
25
Hotma P Sibuea, op.cit. hal. 158. Hotma P.Sibuea,2010, Asas Negara Hukum,Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta, hal.32 26
28
Dengan demikian maka dapat dikatakan undang-undang merupakan landasan keabsahan campur tangan Negara dalam kehidupan pribadi, diluar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang pelanggaran dalam kehidupan pribadi.
dianggap
sebagai suatu
Selanjutnya tujuan utama dalam asas
legalitas adalah menciptakan kepastian hukum agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang. Asas kepatian hukum merupakan asas yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keadilan, dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara. Sedangkan asas legalitas marupakan asas yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap Negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara hukum27 , artinya setiap wewenang pemerintah atau badan-badan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Asas Kepastian diberlakukan untuk jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat maupun aparat pemerintahan. Kepastian hukum akan memberikan jaminan bagi kehidupan masyarakat maupun aparat pemerintah. Asas Kepastian hukum dipergunakan untuk mengkaji Apakah Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali dapat memberikan Kepastian hukum bagi merekamereka yang berkecimpung dalam peredaran minuman beralkohol ketentuan. Mengingat dalam Perda tersebut terjadi kekosongan norma dimana, tidak ada pembagian tugas dan kewenangan bagi tindakan pemerintah atau Badan yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di wilayah Provinsi Bali, khususnya BPOM dan Pemerintah Provinsi Bali
27
Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar harapan, Jakarta, hal. 83.
29
1.7. Metode Penelitian Pada penyusunan penelitian, yakni tentang cara kerja keilmuan salah satunya dengan menggunakan metode (Inggris-method, latin-Methodus, YunaniMethodos) metode berasal dari kata meta yang berarti diatas dan thodos berarti suatu jalan atau cara, Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian
berlangsung menurut suatu
rencana tertentu.28 Menurut Morris L. Cohen and Kent C. Olson 29: “Legal reaserch is an essential component of legal practice, it is the process of finding the law that governs an activity andmaterials that explain or analyze that law ” Terjemahan bebasnya: Penelitian hukum adalah bagian penting praktik hukum. Ini merupakan proses untuk menemukan hukum yang mengatur suatu kegiatan
dan
bahan-bahan yang menjelaskan atau menganalisa hukum. Menurut Soerdjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas
terhadap suatu gejala
untuk menambah
pengetahuan manusia. Maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam
28
Jhony Ibrahim , 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publising , Malang, hal.26 29 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Rreaserch in a Nutshell, sevent edition, West Group, st Paul Minn, hal 1.
30 melakukan penelitian30. Dengan demikian maka penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh data yang teruji kebenarannya secara ilmiah. 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif
31
. Penelitian
hukum normatif digunakan bertolak dari kekosongan norma antara Perda No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Berakohol
dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/MENKES/PER/ VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan Menurut Jhony Ibrahim, penelitian hukum normatif mencoba menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif, sehingga Penelitian Hukum Normatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut : - Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma / asas hukum; - Tidak menggunakan hipotesis; - Menggunakan landasan teoritis; - Menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 32 Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa dalam penelitian hukum normatif tidak ada pengumpulan data karena data bermakna empiris. Penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kwantitatif (statistik). Seorang peneliti tidak boleh membatasai kajiannya hanya pada satu Undang-undang saja 30
Soerdjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 13. 31 Jhoni Ibrahim, Op cit. hal.57 32 Philipus M. Hadjon, 1997, Penelitian Hukum Normatif (Kumpulan Tulisan), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal.1-2.
31
tetapi harus melihat keterkaitan undang-undang tersebut dengan peraturan perundang-undangan lainnya.33 Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, sehingga disebut juga dengan penenelitian non human resource, yakni penelitian yang menggunakan bahan-bahan yang bukan dari hasil observasi atau wawancara melainkan sumber yang bukan manusia yaitu dokumen34 1.7.2. Jenis Pendekatan. Banyak metode pendekatan dalam penelitian normatif yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Konsep (Copceptual approaach), Pendekatan Analisa (Analytical Approach), pendekatan perbandingan (Comparatif Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach) dan Pendekatan Kasus (Case Approach)35. Terhadap permasalahan yang dikaji digunakan pendekatan perundang-undangan (statute Approach) Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan tentang bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut serasi secara vertikal maupun secara horizontal.
apabila menyangkut perundang-undangan yang
sederajat mengenai bidang yang sama. Kalau yang dilakukan adalah penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara vertikal, maka yang menjadi ruang lingkup adalah pelbagai perundang-undangan yang berbeda derajat, yang mengatur kehidupan yang tertentu (yang sama).36
33
Ibid. Nasution, 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.85 35 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, hal.93-137 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.74. 34
32
Selain itu juga menggunakan pendekatan analisis (analytical approach) dan pendekatan
konsep (Conceptual approach) Merupakan suatu kerangka
teoritis dan konseptual yang antara lain berisi tentang pengkajian terhadap teoriteori, definisi-definisi tertentu yang dipakai sebagai landasan pengertian dan landasan operasional dalam pelaksanaan penelitian.37 Teori-teori, konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Konsep Negara Hukum, Konsep kewenangan, Teori penjenjangan Norma, Teori Perundang – undangan yang baik dan Asas-asa Umum Pemerintahan yang Baik 1.7.3.Sumber Bahan Hukum Pada penelitian normatif, bahan hukum mencakup bahan hukum primer, kedua bahan hukum sekunder dan ketiga bahan hukum tertier38. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yaitu ;undang-undang, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Perundang-undangan yang akan dikaji antara lain : -
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
-
Keputusan Presiden No 166 Tahun 2000, tentang Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
37
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafindo, Jakarta,
38
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
hal.30. hal.52
33
-
Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
-
Peraturan Menteri Kesehatan No. 382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan.
-
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol
Bahan hukum sekunder, yakni hasil penelitian
dan buku-buku yang
relevan dengan masalah yang diteliti dalam hal ini berkaitan dengan kewenangan BPOM dalam mengawasi dan pengendalian minuman beralkohol dan bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy (down load) bahan hukum yang diperlukan. Keunggulan dalam penggunaan ataupun pemakaian internet antara lain, efisien, tanpa batas (without boundry) terbuka selama 24 jam, interaktif dan terjalin sekejap (hyperlink)39 Sedangkan bahan hukum tertier, yaitu kamus Bahasa Indonesia, dan kamus hukum yakni black’s law dictionary. 1.7.4. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dimulai dengan kegiatan inventarisasi, dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi,
sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum
tersebut, Bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dan kemudian melakukan indentifikasi terhadap bahanbahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, selanjutnya dilakukan 39
Budi Agus Riswadi, 2003, hukum internet, UII Pres, Yogyakarta, hal.325
34
inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara mencatat atau pengutipan dengan menggunakan sistem kartu. Bahan hukum kepustakaan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system). Menurut Winarno Surakhmad, sistem kartu tersebut dibagi atas tiga macam, yaitu40: 1. Kartu Ikhtisar 2. Kartu Kutipan 3. Kartu Analisis/Usulan Kartu ikhtisar memuat nama pengarang, judul buku, nama penerbit, halaman, pokok masalah yang dikutip. Kartu kutipan memuat pokok-pokok masalah yang dikutip, dan kartu analisis/usulan memuat ulasan yang bersifat menambah atau menjelaskan dengan cara mengkritik, menarik kesimpulan, saran maupun komentar. Dalam pengumpulan bahan hukum ini, kartu-kartu disusun berdasarkan nama pengarang, sedangkan uraian dan analisis bahan dilakukan berdasarkan obyek yang sesuai dengan topik pembahasan 1.7.5.Tehnik Analisa Bahan Hukum Bahan-bahan hukum maupun informasi penunjang yang diperoleh akan diolah dan dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi dan sitematisasi.41 Deskripsi mencakup isi maupun struktur hukum positif. Dalam deskripsi dilakukan kegiatan untuk menggambarkan isi atau makna dari suatu aturan hukum. Pada tahapan ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang terdapat didalam peraturan 40
Winarno Surakhmad, tanpa tahun, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, hal.227. 41 Program Studi Magister Ilmu HukumProgram Pascasarjana, Universitas Udayana , 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan tesis Ilmu HukumProgram Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, hal 13-15
35
perundang-undangan. Berdasarkan deskripsi tersebut, selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai untuk kemudian disistematisasi dan dievaluasi atau dianalisa isinya (content analysis)42. Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan hierarkhis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahapan ini juga akan dilakukan penyerasian terhadap aturanaturan hukum yang bertentangan/konflik sehingga maknanya dapat dipahami secara logis. Selanjutnya pada tahap eksplorasi dilakukan analisis terhadap makna yang terkandung didalam
aturan-aturan hukum sehingga keseluruhannya
membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Kemudian pada tahap yang terakhir adalah tahap argumentasi yaitu dikemukakan pendapat atau pandangan penulis terhadap bahan-bahan hukum yang telah dideskripsikan, disistematisasi dan dieksplorasi untuk diperoleh kesimpulan atas kedua permasalahan yang dikaji dalam penulisan tesis ini.
42
Sumandi Suryabrata, 1989, Metodologi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, hal.85.
36
BAB II BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN SEBAGAI LEMBAGA PEMERINTAH NON DEPARTEMEN (LPND)
2.1. Lembaga Negara Non Departemen Lembaga negara secara terminologis bukanlah konsep yang memiliki istilah tunggal dan seragam, dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara digunakan istilah Political Institution, sedangkan dalam terminologi dalam bahasa Belanda terdapat istilah Staat Oranen, sementara itu dalam bahasa Indonesia menggunakan istilah Lembaga Negara, Badan Negara atau Organ negara 43 Menurut Kamus Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Dinata dkk, kata organ negara di artikan sebagai berikut: 44 Organ adalah perlengkapan. Alat Perlengkapan adalah orang atau majelis terdiri dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang atau anggaran dasar yang berwenang melakukan dan merealisasikan kehendak badan hukum. selanjutnya negara dan badan pemerintahan rendah memiliki perlengkapan mulai dari raja (presiden) sampai pegawai yang rendah, para pejabat tersebut dapat dianggap sebagai alat perlengkapan. Akan tetapi perkataan ini lebih banyak dipakai untuk badan pemerintahan tinggi dan dewan pemerintahan yang mempunyai wewenang yang diwakilkan secara teratur dan pasti
Dengan demikian maka secara difenitif dapat dikatakan alat-alat kelengkapan suatu negara
atau yang lazim disebut lembaga negara adalah
institusi–institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. 43
Hasil diskusi “ Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amendemen UUD 1945” KRHN, Jakarta 9 September 2004 44 Rafi Harun dkk , Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi satu tahun Mahkamah Konstitusi: Konstitusi Press hal.60-61
36
37
Selanjutnya berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) dan fungsi mengadili atau yudikatif45. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori–teori klasik hukum negara meliputi kekuasaan eksekutif dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri atau raja, kekuasaan legislatif dalam hal ini disebut parlemen atau dengan nama lain disebut dewan perwakilan rakyat dan kekuasaan yudikatif seperti mahkamah agung atau suprame court. Dan setiap organ- organ tersebut bisa memiliki organorgan lain untuk membantu melaksanakan fungsinya, seperti eksekutif dibantu oleh menteri-menteri yang bisa mempimpin departemen tertentu. Secara Konseptual tujuan diadakannya lembaga-lembaga atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara juga melaksanakan fungsi pemerintahan secara aktual, dengan kata lain lembagalembaga negara ini harus membentuk satu kesatuan proses yang satu dengan lainnya harus saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof Sri Soemantri adalah actual governmental process46 Dengan Kenyataan bahwa secara konstitusional negara Indonesia menganut prinsip ”Negara hukum yang dinamis” atau welfare State, maka dengan
45
Moh. Kusnardi dan Bintan saragih, 2000, Ilmu Negara , Edisi revisi, Jakarta, Gaya Media Pratama, hal.241 46 Sri Soemantri.1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD1945, Alumni, Bandung hal. 59
38 sendirinya tugas pemerintah Indonesia menjadi begitu luas47. Pemerintah wajib berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, maupun pangan, dan untuk itulah pemerintah memiliki kewenangan ( freis Hermansen) untuk turut campur dalam berbagai bidang kegiatan dalam masyarakat, guna terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat seperti melakukan pengaturan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat dengan memberikan izin, lisensi, dispensasi dan lain-lain bahkan melakukan pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara karena diperlukan oleh umum. Dengan demikian berarti walaupun lembaga-lembaga negara tersebut berbeda-beda termasuk pula dalam prakteknya diadopsi oleh negara di dunia ini berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi-relasi sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan yang merelisasikan secara praktis fungsi negara untuk mewujudkan tujuan negara. Berdasarkan alas hukum bentuknya maka lembaga negara tersebut dapat digolongkan menjadi tiga: 48 a. Pembentukan Lembaga Negara Melalui UUD 1945 b. Pembentukan Lembaga Negara Melalui Undang-undang c. Pembentukan Lembaga Negara melalui Keputusan Presiden. Dalam Hirarki perundang-undangan, UUD menempati urutan pertama dan harus menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya, ada 18
lembaga negara/organ /fungsi yang di sebut dalam UUD 1945, yakni : 47
ST Marbun dan Mahfud Md, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan IV, Liberty Yogyakarta. Hal.52 48 Firmansyah DKK, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antara Lembaga Negara, Konsorsiun Reformasi Hukum Nasional ( KRHN) bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ( MKRI), jakarta, Cetakan I, hal. 66
39
MPR, DPR, DPD, Presiden, MA. BPK,Kementrian Negara, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi,Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia dan Dewan Pertimbangan Presiden Mengenai Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan UU, yang norma hukumnya lebih kongkrit dan terinci berlaku dalam masyarakat, paling tidak ada 10 lembaga yaitu: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), Komisi Penyiaran Indonesi (KPI),
Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Nasional untuk Anak (Komnas Anak) dan Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers, Dewan Pendidikan . Keputusan Presiden merupakan peraturan Perundang-undangan yang dibentuk presiden, dasar legalitasnya adalah Presiden memegang pemerintahan menurut UUD, Dengan memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, presiden memegang
kekuasaan
eksekutif
yang
dapat
mengatur
penyelenggaraan
pemerintahan sesuai ruang lingkupnya. Beberapa lembaga negara yang dasar hukumnya adalah melalui kewenangan presiden yakni melalui keputusan presiden diantaranya Komisi Ombusdsman, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, selain itu ada komisi yang kedudukannya telah dilebur menjadi dewan yang terdiri dari tujuh dewan berdasarkan keputusan presiden, Dewan Maritim, Dewan Ekonomi, Dewan Pengembangan Usaha Nasional, Dewan Riset Nasional, Dewan Industri Strategis, Dewan Buku
40
Nasional, selain itu melalui keputusan presiden juga dibentuk lembaga-lembaga non departemen yang tercatat ada dua puluh lima Lembaga yang salah satunya adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 tahun 2001 tentang, Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Lembaga Pemerintah Non Departemen ini adalah lembaga negara di tingkat pusat
yang menjalankan tugas,
wewenang dan tanggungjawab
menyelenggarakan pemerintahan (eksekutif ) dalam bidang-bidang tertentu, Badan atau lembaga ini barada di bawah dan bertanggungjawab langsung pada presiden dengan kedudukan yang lebih rendah dari departemen. Meskipun beberapa badan atau lembaga yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden ini sama kedudukannya sebagai badan non departemen akan tetapi dalam tugas dan fungsinya terdapat perbedaan sebagai berikut49: a. Penamaan Lembaga Mengenai penamaan ada yang menggunakan nama badan, ada yang mengguinakan nama lembaga b. Perbedaan penyebutan pimpinan Ada Yang menggunakan nama Kepala kantor, dan ada yang menggunakan istilah Ketua c. Perbedaan kewenangan dan Pengangkatan pimpinan Pengangkatan semua dilakukan oleh presiden akan tetapi ada pula dalam prosesnya melalui usulan dan kordinasi dengan menteri yang membidangi masalah tersebut d. Keuangan Mengenai sumber keuangan berbeda-beda ada yang dilekatkan langsung pada APBN ada pula yang dilekatkan pada anggaran sekretariat negara
49
Philipus M ahdjon, dkk. , 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gadjah Mada University Press, Cetakan kesembilan , hal 93
41
e. Organisasi verikal Pada dasarnya lembaga non departemen hanya ada di tingkat pusat, ada beberapa yang memiliki susunan di daerah seperti BPOM, BULOG, BPS. Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa walupun ada perbedaan –perbedaan diantara lembaga-lembaga non departemen tersebut yang mencakup lima hal tersebut, akan tetapi pada dasarnya dalam lembaga-lembaga tersebut membantu tugas presiden dalam melaksanakan tugas eksekutif dengan berkordinasi dengan menteri-menteri yang dtitugaskan untuk itu
2.2. Keberadaan Badan Pengawas Obat dan Makanan di Denpasar Secara Konsep Indonesia merupakan negara hukum yang dinamis (welfere stste) hal mana dapat dilihat dari pokok pikiran mengenai tujuan negara Indonesia yang menganut prinsip demokratis konstitusional yaitu memajukan kesejahteraan umum50. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dengan sendirinya tugas pemerintah sangatlah luas, pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat di segala bidang, politik, ekonomi, kesehatan. Dalam kepentingan tersebut pemerintah memiliki kewenangan untuk campur tangan (freis Ermessen) dalam berbagai kegiatan pembangunan untuk meweujudkan kesejahteraan sosial51 seperti: memberikan izin, lisensi, dispensasi dan lain-lain bahkan melakukan pencabutan atas hak-hak tertentu warga negara karena diperlukan oleh umum. Dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan bermartabat maka dibutuhkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi. 50
.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal 63-64 51 Bahsan Mustafa dalam Ridwan HR,,2006Hukum Administrasi Negara ,PT Raja Grafindo Persada , Jakarta, hal 178
42
Untuk melakukan pengawasan terhadap makanan agar aman dikonsumsi oleh masyarakat maka presiden telah membentuk sebuah badan yang diberikan tugas tertentu dalam hal pengawasan terhadap obat dan makanan yang disebut dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang disingkat dengan BPOM. Badan inilah dengan dikordinasikan oleh menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial yang diserahkan tugas pengawasan peredaran obat dan makanan di Indonesia, yang dibentuk di masing-masing Provinsi di seluruh Indonesia tak terkecuali di Provinsi Bali a. Sejarah Singkat BPOM di Denpasar Optimalisasi Pengawasan di bidang obat dan makanan yang meliputi Produk Terapetik, Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain, Obat Tradisional, Kosmetika, Produk Komplemen, pangan dan bahan berbahaya, tidak bisa dilaksanakan hanya oleh satu institusi, ada 3 (tiga) komponen yang harus berperan serta saling bersinergi yaitu Pemerintah, Produsen dan Konsumen (masyarakat). Dalam hal ini pengawasan dari komponen pemerintah dilakukan oleh Badan POM. Badan POM merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang kemudian diperbaharui dengan Keppres No. 103 Tahun 2001 dan Keppres No. 106 Tahun 2002. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.21.3592 tanggal 9 Mei 2007 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Badan POM Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT
43
di lingkungan Badan POM, dan melalui persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 119/M.PAN/5/2001 Tahun 2001 maka dibentuklah Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (Balai Besar POM) di Denpasar dan baru tahun 2009 diresmikanlah berdirinya gedung BPOM di Renon. Selanjutnya berdasarkan surat keputusan yang sama ditetapkan cakupan wilayah kerja Balai Besar POM di Denpasar meliputi seluruh wilayah administratif Provinsi Bali terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem dan 1 (satu) kota yaitu Denpasar52. Dalam upaya mencapai visi dan misi Badan POM RI, sesuai Surat Keputusan Kepala Badan POM RI No. 05018/SK/KBPOM Tgl. 17 Mei 2001, Balai Besar POM di Denpasar mempunyai struktur organisasi terdiri dari 5 (lima) eselon IIIA yaitu Bidang : Sertifikasi Layanan Informasi Konsumen; Pemeriksaan Penyidikan; Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya; Pengujian Produk Terapetik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplimen; Pengujian Mikrobiologi dan 5 (lima) eselon IVA yaitu Seksi : Sertifikasi; Layanan Informasi Konsumen; Pemeriksaan; Penyidikan; Sub Bagian Tata Usaha. b. Tugas Pokok dan Fungsi Sesuai
dengan
Surat
Keputusan
Kepala
Badan
POM
Nomor
05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT di lingkungan Badan POM, Balai Besar dan Balai POM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan Produk Terapetik, Narkotika,
52
Tim BPOM, 2012, Profil BP POM ( Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Denpasar), hal 4
44
Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplimen, Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya di wilayah kerjanya. Dalam melaksanakan tugas Balai Besar POM di Denpasar selaku salah satu
Unit
Pelaksana
Teknis
(UPT)
di
lingkungan
Badan
POM
menyelenggarakan fungsi53 : a. Penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan. b. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya. c. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu produk secara mikrobiologi. d. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi. e. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum. f. Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan. g. Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen. h. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan. i. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan. j. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan, sesuai dengan bidang tugasnya.
c.
Visi dan Misi
Balai Besar POM di Denpasar sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan POM RI di Provinsi Bali melaksanakan pengawasan obat dan makanan berdasarkan pada visi dan misi Badan POM RI sebagai lembaga induk. Sehubungan dengan dinamika lingkungan strategis baik internal maupun eksternal yang memerlukan perubahan arah, cita-cita organisasi maupun program pengawasan obat dan makanan, maka dilakukan pembaharuan visi dan misi Badan POM yang telah
53
Ibid, hal 8
45
ditetapkan
dalam
Peraturan
Kepala
Badan
POM
Nomor
:
HK.04.01.21.11.10.10509 tanggal 03 Nopember 2011, tentang Penetapan Visi dan Misi Badan POM, yaitu sebagai berikut54: Visi yang di pegang Balai Besar POM di Denpasar mengacu pada Visi BPOM Republik Indonesia
yaitu
”Menjadi Institusi Pengawas Obat dan
Makanan Yang Inovatif, Kridibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat” dan misi yang dipegang oleh Balai Besar POM di Denpasar adalah mengacu pada misi BPOM Republik Indonesia sebagai berikut : 1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional 2. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu secara konsisten 3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini 4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan 5. Membangun organisasi pembelajar (learning organization)
d. Kegiatan Utama Untuk mencapai tujuan dan sasaran sesuai visi dan misi dengan didukung sumber daya yang ada Balai Besar POM di Denpasar, memiliki Tugas Pokok sebagaimana Surat Keputusan Kepala Badan POM No
54
Ibid , hal 6
46
05018/SK/KBPOM tahun 2001, Balai Besar POM di Denpasar selaku UPT di lingkungan Badan POM menyelenggarakan
kegiatan utama
Balai Besar
POM di Denpasar antara lain55 : 1. Pengawasan mutu dan keamanan pangan serta keamanan bahan berbahaya. 2. Pengawasan mutu, khasiat dan keamanan produk terapetik/obat dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT). 3. Pengawasan mutu, keamanan dan khasiat/manfaat obat tradisional, suplemen makanan dan produk kosmetik. 4. Perketatan pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif/rokok. 5. Pemberdayaan konsumen/masyarakat di bidang obat dan makanan. 6. Peningkatan manajemen, perangkat hukum dan profesionalisme sumber daya manusia serta sarana. 7. Penyidikan dan penegakan hukum di bidang obat dan makanan. 8. Penguatan kapasitas laboratorium.
2.3. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan Asas
legalitas
merupakan
dasar
dalam
setiap
penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah
55
Ibid, hal 7
47 wewenang,
yakni
“Het
vermogen
tot
het
verrichten
van
bepaalde
rechtshandelingen yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu56. Mengenai wewenang ini, H.D. Stout mengatakan57 bahwa: “Bevoegdheid is een begrip uit het bestuitrlzjke organisatierecht, wat kan worden omshreven als het gehed van regels dat betrekking heft op de verkrging en uitofening van bestuursrechtelijke bevoeganeden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtlijke rechstverjeer” (Wewenang adalah pengertian yang berasal dan hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subyek hukum di dalam hubungan hukum publik). Bahwa benar azas legaliteit ini yang merupakan pokok tinjauan Mr. Yamin terlihat pula dan passage sebagai berikut58 : Dasar Negara ialah “bahwa Undang-undanglah dan bukannya manusia yang harus memerintah“ . Dasar ini mengandung arti, bahwa apabila suatu kekuasaan yang dilakukan oleh seorang pegawai atau jawatan negara mendapat bantahan, maka haruslah dibuktikan dan Undang-undang manakah kekuasaan itu diambil, dan tiap-tiap Undang - undang yang berlaku haruslah pula dibuat secara yang sah.59 Badan publik baik dalam bentuk negara, pemerintah, institusi, departemen untuk dapat menjalankan tugas-tugas mereka memerlukan adanya kewenangan. Kewenangan negara dapat dilihat pada konstitusi setiap negara yang memberikan suatu legitimasi kepada aparat pemerintah untuk dapat melakukan fungsinya. Demikian pula halnya badan-badan publik lain, kewenangan minimal dapat dijumpai pada produk hukum yang menjadi dasar pembentukannya. Secara 56
Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Pers, Jogyakarta, hal.67 S Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni Bandung, hal 22-23 58 Ibid 59 Ibid 57
48
teoritis, pengkajian terhadap kewenangan badan-badan publik tersebut tidak terlepas dengan Hukum Tata Negara maupun dengan Hukum Administrasi, oleh karena kedua bidang hukurn tersebut mengatur tentang kewenangan dimaksud. Melalui Hukum Tata Negara dapat dijumpai susunan negara atau organ dan negara (staats, inrichtingrecht, organisastiererecht) beserta kedudukan hukum dan warga negara berkaitan dengan hak-hak dasarnya. Dalam organ atau susunan negara diatur diantaranya mengenai pembagian kekuasaan dalam negara yang terbagi atas pembagian secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara pada umumnya dibagi atas kekuasaan legislatif kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Sedangican secara vertikal, kekuasaan negara dibagi atas kekuasaan Pemerintah Pusat dan kekuasaan pemerintah di daerah. Selanjutnya untuk menghindari sentralisasi kekuasaan dalam negara, maka pembagian kekuasaan dilakukan juga atas kekuasaan di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Adapun pembagian kekuasaan secara vertikal maupun horizontal disertai dengan adanya pemberian kewenangan kepada badan-badan negara tersebut, yang ditegaskan dalam konstitusi negara. Bagi Indonesia, khususnya terhadap pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah di daerah beserta kewenangannya dapat dijumpai dalam Pasal 1 jo. Pasal 18, 1 8A dan 18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hukum positif istilah wewenang ditemukan pula dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Pasal 1 ayat (6) menentukan, bahwa: “Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
49
Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.” Selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c menentukan bahwa: Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dan maksud diberikannya wewenang tersebut. Sehingga istilah wewenang atau kewenangan disini digunakan dalam konsep hukum publik sebagai konsep ini adalah Hukum Tata Negara. Sehubungan dengan ini, maka Hukum Administrasi pada hakekatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Secara lebih mendalam Jacobini dalam kaitan ini menegaskan bahwa ruang lingkup kajian Hukum Administrasi adalah berkaitan dengan 60 : 1. 2.
3. 4. 5. 6.
60
Pembentukan atau penataan hukum (the construction or legal setting) Apa yang dapat dinamakan bentuk-bentuk administrasi atau bentuk yang berhubungan dengan organisasi pekerja (what may the called the administrative or organizational forms employed). Perihal penggunaan kewenangan administrasi (the circumstances of administrative or organizational form authorities). Metode atau pola implementasi (the method orpatten of implementation). Hubungan atau karakteristik pola-pola litigasi (the pertinent or characteristic patterns of litigation). Ukuran apa yang dapat dirumuskan sebagai bentuk-bentuk eksternal (what may be loosely termed some special external forms).
Wade Dalam Jacobini, 1991, An Introduction To Comparative Administrative Law, Ocean Publication inc, New York, hal. 14
50
Pembidangan diatas menunjukkan Hukum Administrasi juga berkaitan dengan administrasi publik. Hal ini berhubungan dengan bentuk-bentuk hukum dan status ketatanegaraan dan kewenangan-kewenangan publik, tugas-tugas dan prosedur pengujiannya, hubungannya satu dengan lainnya dan cara untuk mengontrol aktivitas badan-badan pemerintah yang mendapatkan kewenangan tersebut.61 Dalam beberapa sumber menerangkan, istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegdheid dalam istilah hukum Belanda, menurut salah seorang guru besar Fakultas Hukum Unair menerangkan, bahwa : “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas hukum.62 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksud, bahwa wewenang haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan komponen konformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang ini haruslah mempunyai standar. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dan peraturan perundangundangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut
61
Ibid Emil J, Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Jurnal of Local Administration Overseas, hal. 135 V 62
51
disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:63 a. Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat Daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah. b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara tertentu. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.64 Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:65 a. Atribusi : toekenning van een bestuursbevoegheid door en wetgever aan een berstuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah).
63
Ridwan HR I, Op.cit, hal.73 Ibid, hal.74 65 Ibid, hal.74 64
52
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene berstuitrsorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dan satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya). c. Mandaat een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya). Suatu atribusi menunjukkan kepada kewenangan yang sah atas dasar ketentuan Hukum Tata Negara. Hamid S. Attamimi dengan mengacu kepustakaan Belanda mengemukakan atribusi ini sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh konstitusi/grondwel atau pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.66 Dalam pengertian ini dapat dijumpai 3 (tiga) karakteristik dan atribusi, yakni adanya penciptaan kewenangan (baru), kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-undang Dasar atau Undang-undang (dalam artian materiil) kepada suatu organ. Atribusi dikatakan sebagai: Cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintah. Juga dikatakan bahwa atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah “organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan”.67 66
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Negara, Suatu Study Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita V, Direksi Unit Indonesia Jakarta. hal. 352 67 Hadjon, Philipus M.1998, Tentang Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi, Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, h.9-10.
53 Jadi atribusi adalah ”okenning van een besttiursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan” (pemberian dan suatu wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada suatu organ pemerintah). Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintah itu dibedakan antara.68 a. yang berkedudukan sebagai original legislator di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi (Konstituante) dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan undang-undang dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan peraturan daerah; dan b. yang bertindak sebagai delegated legislator: seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu. Delegasi diartikan sebagai “overdrach van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander (pelimpahan suatu wewenang dari satu organ pemerintah kepada suatu organ lainnya).69 Jadi, pada delegasi “terjadi pelimpahan wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintah secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.70 Mengenai pengertian dan delegasi Marseven mengemukakan sebagai berikut
68
71
H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij LEMMA B .V,Moerbeiboom, Culemborg. 69 H.D. Van Wijk, dan Williem Konkjnenbelt, Loc.cit 70 Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta (selanjutnya ditulis Indroharto I). 71 Hench Van Maarseven, Bevogheid dalam Akkermaans, PWC, dkk., 1985, Algemene Begril Peraturan Pemerintahen Van Staats Recht, deel I, W.E.J. Tjeen Willink Zwolle, hal, 55
54 “Bij delegatie gaat de delegatoris dat wil zeggen degeen aan wie de bevogheid werd gedelegeerd, de competetie verder op eigen naam en met eigean aansperaak kelijkheid, onder eigen verantwoordelijkheid uitoefenen“ (Delegasi dipandang sebagai pelimpahan wewenang dan pejabat atau badan pemerintahan kepada pejabat atau badan pemerintahan yang lainnya. Pada pendelegasian kekuasaan seorang “delegatris” melaksanakan kekuasaan atas namanya sendiri dengan tanggungjawab sendiri). Dalam proses pendelegasian terlibat 3 (tiga) pihak yaitu: a. Pemilik kekuasaan (de eigenaar van bevogheid); b. Pemberi kewenangan (getriscarde) yang berstatus sebagai “delegans”; c. Penerima pelimpahan wewenang (delegatris). Hal ini berbeda dengan proses pengatribusian yang hanya melibatkan dua pihak, yakni pemilik kekuasaan dan penerima kekuasaan. Dengan diberikannya kekuasaan kepada subyek hukum yang baru dapat dikatakan pula sebagai pembentuk kekuasaan. Dalam praktek pendelegasian wewenang dilakukan terhadap sebagian wewenang (partie delegatie) dan dapat dilakukan terhadap keseluruhan wewenang. Kedua bentuk ini harus dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang sah berlaku. Seorang delegataris dapat mendelegasikan lagi kepada pihak ketiga dengan ketentuan yang berlaku sama seperti pendelegasian dan pemegang delegasi (geattribueerde) kepada penerima delegasi yang pertama. Bentuk pelimpahan wewenang ini disebut sebagai subdelegatie. Delegataris bertindak selaku “delegans” sebagian wewenang atau seluruh wewenangnya kepada pihak ketiga. Kemudian kemurigkinan dapat juga terjadi “sub-sub delegatie”, dalam hal ini “subdelegataris’ melimpahkan kepada pihak lain lagi.
55
Terdapat 3 (tiga) ciri mendasar yang dapat dijumpai terkait dengan delegasi. Pertama, adanya penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan, dimana delegataris (penerima) bertanggungjawab penuh atas kewenangannya itu. Kedua, penyerahan kewenangan dilakukan oleh pemegang atribusi yang disebut delegans kepada delegataris. Ketiga, hubungan antara delegans dengan delegataris tidak dalam hubungan atasan dan bawahan. Ciri-ciri ini sejalan dengan pendapat JBJM. Ten Berge sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon sehubungan dengan syarat-syarat delegasi, yaitu: 1. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. 2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. 3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. 4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. 5. Merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.72
Mengenai kewenangan mandat, Hend van Maarseven lebih lanjut memberikan penjelasan sebagai berikut :73 Twee belangrijke over drachtsfiguren zijn delegatie en mandat. Bij delegatie gaat de delagataris-dat wil zeggen degeen aan wie de bevoeggheid werd gedelegeerd, de competentie vender op eigen nam en met eigen aanprakelijkheid, onder eigen veraan woordelijkheid uitoefen. Bij mandaat light dit anders. De mandataris degeen dus aan wie de bevoegheid gamandatterd werd. oefent de bevoegheid niet op eigen naam en eigenveranrwoordelijkheid jut, maar op naam van de mandaat, degen die mandateerde.
72 73
Philipus, M. Hadjon, dkk, Op.Cit, hal.5 PWC., Akkermaans, dkk, OP.Cit,hal.62
56
(Mandat merupakan bentuk kekuasaan, namun berbeda dengan delegasi, Mandataris atau siapa yang diberi mandat, melaksanakan kekuasaan tidak bertindak atas nama sendiri. Mandataris bertindak atas nama pemberi kuasa (mandat), oleh karena juga tidak memiliki tanggungjawab sendiri. Mandataris bertindak atas nama pemberi kuasa (mandat), oleh karena juga tidak memiliki tanggungjawab sendiri. Mandataris bertindak atas nama pemberi kuasa (mandat) oleh karena itu juga tidak memiliki tanggungjawab sendiri. Pandangan di atas menunjukkan mandat diartikan sebagai suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi kewenangan bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang melimpahkan kewenangan atau memberi mandat tersebut)74 Dalam mandat, tanggungjawab
tidak
berpindah
kepada
mandataris,
dengan
kata
lain
tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat. Hal ini dapat disimak dan pelaksanaan kewenangan dan penerima mandat adalah kata a.n (atas nama) mandator atau pemberi mandat. Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang dalam hubungan hirarkis dan pelimpahan itu bermaksud: Memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat TUN yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat TUN yang memberi mandat. Dengan demikian tanggungjawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern-hirarkis organisasi pemerintahan.75
74 75
Ibid Philipus, M. Hadjon I, Op.Cit, hal.7
57 Dengan demikian, mandat merupakan “een bestuursorgaan laat zijn bevogdheid namens hem uitofenen door een ander (suatu organ pemerintahan memperoleh wewenangnya digunakan atas namanya oleh orang lain)”.76 Jadi, pada mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang barn maupun pelimpahan wewenang dan Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat maka disitu tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada. Yang ada hanya hubungan intern”,77 maksudnya pelimpahan wewenang itu dimungkinkan jika antara pemberi wewenang dan penerima wewenang ada hubungan hirarkis. Unsur-unsur pemberi kuasa (mandaatsverlening) dapat diuraikan sebagai berikut :78 1. Pemberian kuasa hanya dapat diberikan oleh badan yang berwenang, yaitu badan yang memperoleh kekuasaan secara atribusi (geatlribueerde) atau oleh pemegang delegasi (gedelegeerde); 2. Pemberian kuasa tidak membawa konsekuensi bagi penerima kuasa (gemandaattererde) untuk bertanggungjawab kepada pihak ketiga, namun dapat diwajibkan memberi laporan atas pelaksanaan kekuasaan kepada pemberi kuasa. Tanggungjawab kepada pihak ketiga dalam kaitannya dengan tugas mandataris tetap berada pada pemberi kuasa (mandant); 3. Konsekuensi teknis administrasinya adalah bahwa seorang pemegang kuasa harus bertindak atas nama pemberi kuasa (mandant). Sedang seorang pemegang delegasi dan pemegang atribusi dapat bertindak mandiri; 4. Penerima kuasa dapat melimpahkan kuasa kepada pihak ketiga hanya atas izin dan pemberi kuasa. Izin secara tegas pada pemberi sub-mandaat diperlukan karena pelimpahan kuasa pada hakekatnya hanya sekedar pemberi hak untuk melakukan sebagian atau seluruh kekuasaan tanpa mengalihkan tanggung jawab.
76
H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt, Loc Cit Indrahoto I, Op.cit,hal.92 78 Suwoto, Multosudarmo, 19997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakata, hal.47 77
58
Sehubungan dengan konsep atribusi, delegasi dan mandat di atas, J.G. Brouwer dan A.E. Schilder berpendapat sebagai berikut :79 1. With attribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously existing power. The legislative body creates independet and previously non existent powers and assigns them to an authority. 2. Delegations is the transfer of an acquired attribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that has acquired the power) can exercise power in its own name. 3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body (mandataris) to make decisions or take action in its name. Kutipan di atas menunjukkan bahwa pada “atribusi’, kewenangan diberikan kepada suatu badan pemerintahan oleh suatu badan legislatif yang mandiri. Kewenangan ini bersifat sah, yang tidak bersumber dan kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan dan bukan perluasan
kewenangan
sebelumnya
dan
memberikannya
kepada
yang
berkompeten. Pada “delegasi” terjadi peralihan kewenangan atribusi dan satu badan pemerintahan yang satu kepada lainnya, sehingga delegator (badan yang telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Selanjutnya pada “mandat” tidak terdapat suatu peralihan kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan pada yang lain yang membuat suatu keputusan atau mengambil satu tindakan atas namanya (pemberi mandat).
79
Brower J.G – Schilder, 1998, A Survey of Duth Administrative Law, Ars Aequibiri, Nijmegen, hal.16-18.
59
Bilamana dikaji dan aspek pertanggungjawaban, maka organ negara penerima kewenangan secara atribusi dan delegasi bertanggungjawab penuh atas dasar mandat, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan yang dikeluarkan oleh organ negara pemegang mandat menjadi tanggungjawab si pemberi mandat. Konsepsi ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Secara normatif, suatu kewenangan haruslah dilandasi oleh suatu ketentuan hukum yang ada, sehingga kewenangan bersangkutan menjadi kewenangan yang sah. Demikian pula pejabat di dalam bertindak ataupun mengeluarkan suatu keputusan haruslah didukung oleh suatu kewenangan sah, sebagaimana diatur pada kaedah-kaedah Hukum Administrasi. Oleh karena itu, kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum Administrasi atau persoalan kewenangan pemerintah tidak dapat dipisahkan dan lingkungan Hukum Administrasi, apalagi menyangkut izin. Hal tersebut tidak lepas dan fungsi izin sebagai instrumen hukum yang digunakan dalam Hukum Administrasi untuk mengendalikan kehidupan warga masyarakat. Uraian
diatas
menunjukkan
keberadaan
kewenangan
pemerintah
memerlukan dukungan hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Hal ini berkaitan dengan azas negara hukum, dimana inti pokok dan pemikiran negara hukum (rechtstaatsdenken) diformulasikan melalui azas “Wetmatigheids” ataupun “legiliteit beginsel” sehingga hanya dengan kekuatan (krachtens) undangundang maka kewenangan pemerintah dapat dinyatakan sah dan mengikat. Dalam
60
pengertian yang lebih luas lagi, bahwa dalam Negara Indonesia sebagai hukum maka setiap perbuatan pemerintah yang menyangkut kepentingan publik haruslah berdasarkan hukum, tanpa adanya suatu dasar hukum yang jelas, maka perbuatan pemerintah itu akan menjadi petunjuk sebagai kesewenang-wenangan. Sementara itu Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichyen). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zeifregelen) dan mengelola sendiri (zelfbestuten)”, 80 sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk rnenyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Terhadap wewenang yang didalamnya terkandung hak dan kewajiban (rechten and plicten) menurut P. Nicolai81 mengatakan, sebagai berikut: Het vermogen tot het verricten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die rechtdgevoig gericht zjjn en duys ertoe strekken dat bepaalde rechtsgovelgen onstaan of teniet gaan). Eenn recht hould in de (rechtens gegeven) vrtjheid on een bepaalde feitelijke handeling teverrich ten of an le laten, of de (rech tens gegeven) aanspraak ophet verrichten van een handeling door een ander. Een plicht imliceert een verplichiting om een bepaalde handeling to verrichten of an te laten “. (kemampuan untuk melakukan tindakan hukum akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hal ini berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).
80 81
Ridwan HR I, Op.cit, hal. 72 Ibid, hal.73
61
Dalam kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan, yaitu yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas, terutama dalam kaitannya dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingen) oleh organ pemerintah sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan yang bersifat terikat dan bebas. Indroharto82 mengatakan sebagai berikut: 1. Wewenang pemerintahan yang bersifat terikat, yakni apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil. Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dan keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat. 2. Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya. 3. Wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dan keputusan yang akan
82
Indraharto, OP.cit, hal.99-101
62
dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. Philipus M. Hadjon, dengan mengutip pendapat Spelt dan Ten Berg, membagi kewenangan bebas dalam dua kategori, yaitu kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingcvrijheid). Ada kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila peraturan perundangundangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Adapun kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam anti yang tidak sesungguhnya) dan apabila sejauh menurut hukum diseragamkan kepada organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi. Berdasarkan pengertian ini, Philipus M. Hadjon menyimpulkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi yaitu (1) kewenangan untuk memutus secara mandiri; (2) kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vague norm)83 Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas, dalam suatu negara hukum pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti yang seluasluasnya atau kebebasan tanpa batas sebab dalam suatu negara hukum; “Zowel de bevoegdheidstoekening, als de aard en de omvang van de bevoegdnied als de bevoegdheidsuitefening zein aan juridsche grenzen onderworpen. Inzake bevoegdheidstoekening en het tegendeel daarvan, bestaanjuridisch geschreven en ongeschreven regels84
83 84
F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit, hal.29 F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit, hal.29
63
(baik penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis). Di samping itu, dalam negara hukum juga dianut prinsip bahwa setiap penggunaan
kewenangan
pemerintahan
harus
disertai
dengan
pertanggungjawaban hukum. Terlepas dan bagaimana wewenang itu diperoleh dan apa isi dan sifat wewenang serta bagaimana mempertanggungjawabkan wewenang tersebut, yang pasti bahwa wewenang merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan masalah pemerintahan, karena berdasarkan pada wewenang inilah pemerintah atau administrasi negara dapat melakukan berbagai tindakan hukum di bidang publik (publiekrechtshandeling). Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah kewenangan dan wewenang. Indroharto berpendapat pengertian wewenang dalam artian yuridis sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.85 Wewenang ini sangatlah diperlukan pemerintah, mengingat pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi negara. Pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu disertakan wewenang. Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dan undangundang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang; pembuat undang-undang dapat memberi wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi 85
Indroharto, OP.cit, hal.68
64
dapat juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam konstitusi Indonesia Undang-undang Dasar 1945 (setelah amandemen yang keempat kalinya), ditemukan beberapa pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Dalam pasal-pasal tersebut kewenangan ditafsirkan dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat tidak dapat, menyatakan, mengangkat, memberi, mengatur, menyatakan, menetapkan, fungsi, dapat melakukan, kekuasaan, berwenang dan lain-lain dengan berbagai istilah, akan tetapi substansi dan maksudnya sama, yaitu kewenangan atau mempunyai autonity. Dinyatakan, bahwa wewenang bukan hanya power belaka tetapi autority mencakup hak dan kekuasaan sekaligus.
65
BAB III KEWENANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BARALKOHOL DI PROVINSI BALI
Dalam bab ini dikaji beberapa hal sebagai jawaban atas isu hukum yang pertama Kewenangan Badan Pengasan Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol menurut PERMENKES No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan dikaitkan dengan Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Provinsi Bali Sebelum dilakukan pengkajian terhadap kewenangan BPOM untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali maka akan dikaji terlebih dahulu kewenangan BPOM dan kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam melakukan Pengendalian.
3.1. Kewenangan BPOM dalam Melakukan Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Baralkohol Sebagaimana telah diuraikan dan dipaparkan penulis pada bab sebelumnya dimana secara normatif suatu kewenangan haruslah dilandasi suatu ketentuan hukum yang ada sehingga kewenangan tersebut menjadi kewenangan yang sah, demikian pula BPOM dalam melakukan tindakan berupa pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol haruslah didasarkan atas kewenangan yang sah
65
66
yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan hukum administrasi apalagi menyangkut
perizinan,
dimana
perizinan
merupakan
instrumen
hukum
administrasi untuk pengendalian kehidupan warga masyarakat Hal mana sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Philipus M. Hadjon86, dalam tulisannya tentang wewenang mengemukakan bahwa ”Istilah wewenang disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam istilah hukum Belanda. Kedua istilah ini terdapat sedikit perbedaan yang terletak pada karakter hukumnya, yaitu istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum privat, sementara istilah wewenang atau kewenangan selalu digunakan dalam konsep hukum publik. Selanjutnya H. D Stout, sebagaimana dikonstantir oleh Ridwan H.R87, menyebutkan bahwa : ”Bevoedheid is een begrip uit bestuurlijke organisatierecht, watkan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en uitoefening van bestuurscrechttelijke bevoegheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in hetnbestuursrechtelijke rechtsverkeer” (Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik) Sebagai konsep hukum publik, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechsmacht), dimana konsep tersebut diatas, berhubungan pula dalam pembentukan besluit (keputusan pemerintahan) yang 86
Philipus M Hadjon , 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah, Pelatihan Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1 87
Ridwan HR¸Op Cit hal.101
67 harus didasarkan atas suatu wewenang88. Dengan kata lain, keputusan pemerintahan oleh organ yang berwenang harus didasarkan pada wewenang yang secara jelas telah diatur, dimana wewenang tersebut telah ditetapkan dalam aturan hukum yang terlebih dulu ada. Sejalan dengan pendapat diatas, F.P.C.L. Tonnaer89, menyatakan bahwa : ”Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positiefrecht vast te stellen n aldus rechtsbetrekking tussen burgers onderling en tussen overheid en te scheppen” (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat dirincikan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara). Berbagai pengertian mengenai wewenang sebagaimana dikemukakan di atas, walaupun dirumuskan dalam bahasa yang berbeda, namun mengandung pengertian bahwa wewenang itu memberikan dasar hukum untuk bertindak dan mengambil keputusan tertentu berdasarkan wewenang yang diberikan atau melekat padanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kewenangan itu haruslah jelas diatur secara jelas dan ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hal ini berarti bahwa, perolehan dan penggunaan wewenang daerah dalam pengaturan tata ruang laut pada wilayah kepulauan hanya dapat dilakukan apabila daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan memiliki kewenangan untuk itu, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yakni, bahwa90 :
88
PhilipusM. Hadjon, 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to Indonesian Administrative Law, Gadja Mada University Press, Yogyakarta.hal 10 89
90
Ridwan HR (2002) Loc Cit
Phlipus M Hadjon 2002, Op cit, h 130.
68 ”...minimal dasar kewenangan harus ditemukan dalam suatu undangundang, apabila penguasa ingin meletakan kewajiban-kewajiban di atas para warga masyarakat. Dengan demikian di dalamnya terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Melalui undang-undang, parlemen sebagai pembentuk undang-undang yang mewakili rakyat pemilihnya ikut menentukan kewajiban-kewajiban apa yang pantas bagi warga masyarakat. Dari sini, atribusi dan delegasi kewenangan harus didasarkan undang-undang formal, setidak-tidaknya apabila keputusan itu meletakan kewajiban-kewajiban pada masyarakat”. Dalam kajian hukum administrasi, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting, karena berkenaan dengan
pertanggungjawaban
hukum
(rechtelijke
verantwording)
dalam
penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum; ”geen bevoegheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban)”91. Uraian
di atas menunjukan bahwa pemerintah dalam hal ini BPOM
memerlukan dukungan hukum positif guna mengatur dan pengawasi peredaran minuman beralkohol. Hal ini sangat berkaitan dengan konsep Negara hukum dimana pokok pemikiran Negara hukum (rechstaatsdanken) di dasarkan atas asas “Wetmatigheids” ataupun “Legiliteit beginsel” sehingga hanya dengan kekuatan undang-undang maka kekuatan pemerintah dikatakan sah dan mengikat. Lebih luas lagi bahwa negara Indonesia sebagai Negara hukum, maka tiada satupun perbuatan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan publik lepas dari hukum.
91
Ridwan HR (2002), Op CIt, h.108
69
Secara Konstitusional jelas dinyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip Negara hukum “Rectstaat” yang salah satu unsur utamanya adalah asas legalitas, bahwa setiap tindak tanduk pemerintah harus di dasarkan atas hukum, oleh karenanya
pastilah
terdapat
sutu
peraturan
perundang-undangan
untuk
memberikan legitimasi keabsahan tindakan pemerintah. Berkaitan dengan kewenangan BPOM dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman keras maka perlu di kaji aturan-aturan yang memberikan kewenangan untuk itu. Dalam ketentuan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan diuraikan dalam Pasal 1 ayat (1) : “ Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan , dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan” Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang berasal bersumber hayati dan air yang dikonsumsi manusia sebagai makanan dan minuman disebut dengan pangan. Mengingat pentingnya pangan tersebut bagi kehidupan manusia
maka pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam
kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No 7 Tahun 1996 . Selanjutnya guna membantu pemerintah dalam melaksanakan pengawasan terhadap keamanan pangan tersebut maka dibentuklan lembaga pemerintah non departemen dalam sebuah Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
70
Lembaga Negara Non Departemen
atau yang disingkat dengan LPND yang
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Badan yang dimaksud adalah Badan Pengawas Obat dan Mmakanan (BPOM). Sebagaimana tertuang dalam pasal 67 Keputusan Presiden tersebut yang berbunyi: BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan hukum yang berlaku Selanjutnya diuraikan pula mengenai fungsi BPOM dalam melaksanakan tugas pemerintah tersebut dalam Pasal 68 Keputusan Presiden tersebut sebagai berikut: a. Mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan b. Melaksanakan kebijakan tetentu di bidang pengawasan obat dan makanan c. Kordinasi fungsional dalam melaksanakan tugas BPOM d. Memantau, memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat dan makanan e. Menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga. Dalam melaksanakan fungsi - fungsi tersebut, maka dalam Pasal 69 Kepress diatur pula kewenangan Badan BPOM sebagai berikut: a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro c. Penetapan sistem informasi di bidangnya d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan ( zat adiktif) tertentu untuk makanan dan menetapkan pedoman peredaran obat dan makan e. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi
71
f. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat
Jika
dikaitkan
dengan
pengawasan
dan
pengendalian
minumana
beralkohol oleh BPOM maka jelas dapat diketahui bahwa BPOM melaksanakan kewenangannya
dalam Pasal 69 huruf d khususnya mengenai menetapkan
pengawasan peredaran obat dan makanan, dimana selengkapnya berbunyi ; Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan ( zat adiktif) tertentu untuk makanan dan menetapkan pedoman pengawasan peredaran obat dan makanan. Dalam melaksanakan tugas pengawasan peredaran obat dan makanan maka selanjutnya BPOM mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan,
yang
dalam ketentuan Pasal 2 nya mewajibkan pendaftaran makanan baik makanan yang di import maupun yang di produksi langsung, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut 1. Produsen ataupun importer wajib mendaftarkan makanannya yang di produksi atau di impor 2. Produsen atau importer wajib menjamin keamanan mutu serta kebenaran label makanan yang didaftarkan. Dengan demikian maka setiap produsen maupun importir wajib mendaftarkan makananya di BPOM. Terhadap pangan olahan yang wajib didaftarkan baik yang diproduksi sendiri maupun di masukan dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia wajib mencantumkan
nomor pendaftaran pangan di label pangan
72
olahan yang bersangkutan, hal ini sejalan dengan apa yang diuraikan dalam Pasal 30 tentang Pendaftaran Makanan sebagaimana Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang dalam Pasal 30 nya menguraikan : Dalam rangka peredaran pangan, bagi pangan olahan yang wajib didaftarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik produksi dalam negeri ataupun yang dimasukan ke dalam wilayah Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan harus di cantumkan Nomor pendaftaran pangan Selain itu dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No
382/Menkes/Per/VI/1989
tentang
Pendaftaran
Makanan
menguraikan: 1. Industri rumah tangga yang sudah mengikuti penyuluhan wajib mendaftarkan hasil produksinya yang meliputi : a. Susu dan olahannya b. Makanan bayi c. Makanan kalengan steril komersial d. Minuman keras 2. Industri rumah tangga yang belum mengikuti penyuluhan wajib mendaftarkan semua makanan hasil produksinya 3. Pelaksanaan penyuluhan bagi perusahaan makanan industry rumah tangga , sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan uraian tersebut di atas maka jelas seluruh hasil Industri rumah tangga yang sudah mendapatkan penyuluhan wajib memdaftarkan produknya termasuk minuman keras, sedangkan yang belum mendapatkan penyuluhan maka perusahaan tersebut wajib mendaftarkan seluruh hasil produksinya Mengenai pendaftaran makanan Badan
Pengawas
Obat
dan
telah diatur dalam Peraturan Kepala
Makanan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, dalam Pasal 2 diuraikan sebagai berikut:
73
1. Setiap Pangan olahan baik yang di produksi di dalam negeri maupun yang di masukan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran 2. Surat persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Badan 3. Kemasan eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kemasan akhir pangan yang tidak boleh dibuka untuk dikemas kembali menjadi kemasan yang lebih kecil untuk diperdagangkan. Pendaftaran pangan merupakan hal yang wajib dilakukan baik oleh produsen maupun importir, pendaftaran pangan olehan yang merupakan hasil produksi merupakan tanggungjawab perusahaan sebagaimana ketentuan Pasal 8 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang intinya menyatakan bahwa
pendaftaran pangan olahan yang diproduksi sendiri dilakukan oleh
Produsen, sedangkan pendaftaran pangan olahan
yang dimasukan ke dalam
negeri di tanggung oleh importer atau distributor sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Memang terdapat pengecualian terhadap pendaftaran pangan sebagaimana ketentuan Pasal 2 tersebut, terhadap pangan olahan yang tidak perlu di daftarkan haruslah memenuhi ketentuan Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM tersebut, sebagai berikut: a. Terhadap produksi oleh industri rumah tangga b. Mempunyai masa simpanan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar c. Dimasukan ke wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan sendiri d. Digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku dan tidak dijual secara langsung pada konsumen akhir.
74
Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelaslah sebuah hasil pangan olahan haruslah di daftarkan kecuali memenuhi ketentuan tersebut di atas, maka tidaklah perlu dilakukan pendaftaran ke BPOM Selanjutnya
bila
dikaitkan
dengan
kewenangan
BPOM
dalam
pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol maka minuman beralkohol dikatagorikan ke dalam pangan yang merupakan hasil olahan, yaitu makanan atau minuman hasil proses
dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan
tambahan. Dengan demikian dapat dikatakan minuman beralkohol merupakan pangan olahan. Hal tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol yang Pasal 1 menguraikan : Yang dimaksud dengan minuman beralkohol dalam keputusan presiden ini adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan pertanian yang mengandung bahan karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilisasi atau fermentasi tanpa destilasi baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak , menambahkan bahan lain atau tidak maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol.
Dalam pengawasan
keputusan presiden tersebut di jelaskan pula untuk melakukan dan pengendalian minuman beralkohol paling tidak terdapat
4
kementrian yang terlibat yaitu Kementrian Perindutrian dan Perdagangan dalam hal menetapkan ketentuan mengenai impor, pengedaran dan penjualan minuman beralkohol dan mengatur pula jenis atau produk minuman beralkohol yang bisa di perdagangkan di dalam negeri, sesuai ketentuan Pasal 6 Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997, selanjutnya terlibat pula Menteri Keuangan dalam hal cukai,
75
bea masuk dan pajak. Dan Menteri Kesehatan berkaitan dengan keamanan dan mutu makanan Selanjutnya terhadap minuman beralkohol wajib didaftarkan, tidak terkecuali minuman beralkohol yang merupakan hasil industri rumah tangga, karena jelaslah hanya produksi rumah tangga yang merupakan hasil olahan yang sesuai dengan pasal 3 peraturan kepala BPOM Nomor HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, yang tidak perlu di daftarkan. Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah BPOM memiliki kewenangan untuk
melakukan
pengawasan
dan
pengendalian
minuman
beralkohol,
Pengawasan dilakukan melalui pendaftaran pangan dimana dalam pendaftaran ini akan dilakukan pengujian laboratorium minuman beralkohol
yang akan
mengkaji apakah terhadap makanan tersebut telah memenuhi standar kesehatan dan syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak. Bila di tinjau dari segi sumber kewenangan berkaitan dengan pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol,
menurut
H.D. van
Wijk/Willem Konijnenbelt sumber kewenangan tertsebut di difinisikan sebagai berikut;92 d. Atribusi : toekenning van een bestuursbevoegheid door en wetgever aan een berstuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah).
92
Ibid, hal.74
76
e. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene berstuitrsorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dan satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya). f. Mandaat een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya). Dari uraian tersebut maka dapat dikatakan : Atribusi adalah sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintah, juga dikatakan bahwa atribusi dikatakan sebagai wewenang untuk membuat keputusan (besluit), rumusan lain menyatakan atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu, yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang
berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, pembentukan wewenang dan atribusi wewenang di tetapkan utamanya dalam Undang-Undang Dasar, Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, Delegasi selanjutnya dapat diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat besluit) oleh pejabat pemerintah kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut, dan Mandat
merupakan pelimpahan wewenang kepada bawahan, Pelimpahan ini
wewenang ini bermaksud memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat tata usaha Negara yang memberikan mandat. Keputusan ini merupakan keputusan pejabat tata usaha Negara yang
77
memberi mandat,
dengan demikain tanggung jawab tetap ada pada pemberi
mandate, dan untuk mandate tidaklah perlu ada ketentuan perundang-undangan. Kewenangan BPOM untuk mengawasi dan mengendalikan minuman beralkohol
merupakan kewenangan
delegasi
karena kewenangan tersebut
berasal dari kewenagan pemerintah dalam hal ini presiden menerbitkan surat keputusan Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non Departemen
atau yang disingkat dengan LPND yang mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Badan yang dimaksud adalah Badan Pengawas Obat dan Mmakanan (BPOM). BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, hukum dalam hal ini adalah Undang-Undang Pangan. Selain itu apa bila tugas BPOM di kaitkan dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan
menurut PERMENKES No.382/MENKES/PER/VI/1989
tentang Pendaftaran Makanan, hal tersebut jelas-jelas merupakan
delegasi
kewenangan yang diberikan oleh Menteri Kesehatan kepada Badan POM, dimana delegasi diartikan penyerahan wewenang oleh pejabat pemerintah atau pejabat tata usaha Negara
kepada pihak lain,
dalam hal ini Menteri Kesehatan
memberikan kewenangan BPOM dalam rangka pengawasan peredaran pangan, bagi pangan olahan yang wajib di daftarkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, baik produksi dalam negeri ataupun yang dimasukan ke dalam wilayah Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan harus
78
dicantumkan Nomor pendaftaran pangan dan wewenang tersebut telah menjadi tanggungjawab Badan POM dengan di terbitkannya Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.
3.2. Analisis Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi Bali dalam Melakukan Pengawasan Pengawasan dan Pengendalian minuman Baralkohol Sebagai perwujudan Negara hukum dinamis kesejahteraan
(welfare
states)
Negara
wajib
atau Negara hukum
menjamin
kesejahteraan
masyarakatnya, pernyataam ini sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 alinea IV yang memuat empat tujuan Negara yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social Dalam sila kelima Pancasila yang juga tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan prinsip Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ketentuan ini jelas mengharuskan pemerintah untuk menjamin setinggi-tingginya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan demikian maka secara konstitusional dikaitkan dengan hukum administrasi maka pemerintah melakukan pengaturan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat sehingga tercapai keesejahteraan.
79
Terkait dengan hal tersebut maka berdasarkan ketentuan seperti yang sudah termuat dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan : Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum Dari pengertian di atas maka dapat ditarik unsur peraturan perundangundangan diantaranya : a. Peraturan tertulis b. Yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang untuk itu c. Mengikat secara umum Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan yakni produk hukum lembaga legislatie dan eksekutif ataupun produk hukum murni suatu eksekutif, legislatif yudikatif ataupun produk hukum dari suatu lembaga yang bersifat mengikat. Dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis hirarki peraturan perundangundangan adalah: h. i. j. k. l. m. n.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan :
80
Untuk melaksanakan Perda dan atas kekuasaan peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah
Bila dikaitkan dengan masalah dalam penulisan tesis yaitu kewenangan pemerintah
daerah
melakukan
pengendalian
dan
pengawasan
beralkohol,
Kewenangan pemerintah Provinsi Bali tersebut
minuman
bersumber dari
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol yang selanjutnya sejak tanggal 14 Juni 2012 telah dicabut dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol. Pengawasan minuman beralkohol dimulai sejak izin pedagangnya, dimana Gubernur berwenang mengeluarkan Surat izin Usaha Perdagangan
Minuman
Beralkohol ( SIUP MB), dimana Pasal 3 Perda No. 5 Tahun 2012 menguraikan : (1) Setiap TBB yang melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol golongan B dan golongan C wajib memiliki SIUP-MB TBB. (2) SIUP-MB TBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Gubernur.
Berdasarkan uraian tersebut sangatlah jelas setiap penjual minuman beralkohol haruslah Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya disebut SIUP-MB,
SIUP MB
adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan
kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C di Provinsi Bali yang dikeluarkan atas seizin Gubernur.
81
Sedangkan untuk minuman beralkohol tradisional, bagi mereka yang ingin memperdagangkan di haruskan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol Tradisional yang selanjutnya disebut SIUP-MBT, SIUP MBT adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol produksi tradisional golongan A, golongan B dan/atau golongan C di Provinsi Bali. SIUP-MBT untuk Distributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diterbitkan oleh Gubernur. Dimana pasal 7 tersebut selengkapnya berbunyi: (1) Masyarakat yang melakukan kegiatan usaha produksi minuman beralkohol secara tradisional golongan A, golongan B, dan golongan C membentuk Kelompok Usaha, Koperasi dan Distributor. (2) Setiap Kelompok Usaha, Koperasi dan Distributor yang melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol golongan A, golongan B, dan golongan C produksi tradisional wajib memiliki SIUP-MBT. Dalam Perda tersebut tercantum pula tentang ketentuan label edar sebagaimana ketentuan Pasal 10 sebagai berikut: (1) Pada setiap minuman beralkohol yang Minuman beralkohol produksi luar negeri (impor) dan produksi dalam negeri yang diedarkan oleh Distributor, Sub Distributor, pengecer dan penjual langsung wajib dikemas, menggunakan pita cukai dan label edar. (2) Minuman beralkohol produksi tradisional yang dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi wajib dikemas dan menggunakan label edar. (3) Minuman beralkohol produksi tradisional yang tidak untuk dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi peredarannya dengan menggunakan label untuk upacara (tetabuhan) dan label edar.
82
Sementara yang dimaksud label edar sesuai ketentuan perda ini adalah Label Edar adalah tanda pengenal dalam bentuk stiker yang ditempel pada setiap botol atau kemasan minuman beralkohol. Label Edar ini ditetapkan oleh gubernur dengan tata cara pencetakan dan penggunaan label edar diatur dengan Peraturan Gubernur. Sesuai ketentuan Pasal 12 Perda No 5 Tahun 2012 Selanjutnya dalam ketentuan Pembinaan dan pengendaliaan, Pasal 14 ayat (1) perda tersebut menguraikan dengan jelas bahwa Pembinaan dan pengendalian terhadap peredaran minuman beralkohol dilakukan oleh Gubernur. Dimana bentuk pengawasannya hampir sama dengan hanya mencantumkan label edar untuk, pasal 14 selengkapnya sebagai berikut: (1) Pembinaan dan pengendalian terhadap peredaran minuman beralkohol dilakukan oleh Gubernur. (2) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan asosiasi, kelompok usaha dan koperasi. (3) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kerjasama. Dalam pengendalian
dan pengawasan minuman beralkohol
juga
memberikan peluang pada peran serta masyarakat sebagaimana ketentuan Pasal 15, Perda tersebut. Berdasarkan uraian di atas kemudian dikaitkan dengan sumber kewenangan Pemerintah Bali melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali, merupakan kewenangan atribusi yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah, dimana kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol.
83
Dalam
ketentuan
Undang-Undang
No
12
Tahun
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam
2011
tentang
Pasal 7 ayat (1)
menyebutkan jenis hirarki peraturan perundang-undangan adalah: a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam tata urutan tersebut jelaslah peraturan daerah merupakan bagian tata urutan peraturan perundang-undangan, pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah,
yang produk dari
pembuat undang-undang tersebut adalah Undang-undang yang dalam hal ini adalah Perda jelaslah dikatakan sebagai atribusi.
3.3. Analisis Kewenangan Pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol di Bali Kewenangan BPOM untuk mengawasi dan mengendalikan minuman beralkohol
merupakan kewenangan
delegasi
karena kewenagan tersebut
berasal dari kewenangan pemerintah dalam hal ini presiden, Presiden sebagai pengemban kewenangan dari UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Kemudian Presiden mendelegasikan kewenangan tentang pangan ini dengan
menerbitkan
Surat Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non Departemen
atau yang disingkat dengan LPND yang mempunyai tugas
84
melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Badan yang dimaksud adalah Badan Pengawas Obat dan Mmakanan (BPOM). BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, hukum dalam hal ini adalah Undang-Undang Pangan. Setiap perusahaan
wajib mendaftarkan seluruh hasil produksinya ke
Menteri Kesehatan Republik Indonesia melalui BPOM ssebagaimana petunjuk teknis yang terurai dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik No 382/Menkes/Per/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan dan Peraturan Kepala Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, tidak terkecuali juga Minuman beralkohol, nomor
pendaftaran pangan inilah yang
kemudian harus dicantumkan dalam label pangan tersebut sehingga bila tidak memiliki nomor pendaftran sudah sepantasnya pangan olahan tersebut tidak layak diedarkan. Mengenai pengawasan dan peredaran minuman beralkohol di Bali diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali. Dalam perda tersebut telah ditetapkan kewenangan Pemerintah Daerah Bali dimana pemberian izin, pembinaan dan pengendalian terhadap peredaran minuman beralkohol dilakukan oleh Gubernur. Setiap penjual minuman beralkohol
haruslah
Surat
Izin
Usaha
Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya disebut SIUP-MB, SIUP MB adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan
85
khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C di Provinsi Bali yang dikeluarkan atas seizin Gubernur Sedangkan untuk minuman beralkohol tradisioanal, bagi mereka yang ingin memperdagangkan diharuskan
mempunyai Izin Usaha Perdagangan
Minuman Beralkohol Tradisional yang selanjutnya disebut SIUP-MBT, SIUP MBT adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol produksi tradisional golongan A, golongan B dan/atau golongan C di Provinsi Bali. SIUP-MBT untuk Distributor diterbitkan oleh Gubernur. Dengan demikian setiap Minuman beralkohol produksi luar negeri (impor) dan produksi dalam negeri, termasuk juga alkohol produksi tradisional
yang
diedarkan oleh distributor, sub distributor, pengecer dan penjual langsung wajib dikemas, menggunakan pita cukai dan label edar. yang dimaksud label edar sesuai ketentuan perda ini adalah Label Edar adalah tanda pengenal dalam bentuk stiker yang ditempel pada setiap botol atau kemasan minuman beralkohol. Label Edar label edar ini ditetapkan oleh gubernur dengan tata cara
pencetakan dan
penggunaan label edar diatur dengan Peraturan Gubernur. Sesuai ketentuan Pasal 12 Perda No 5 Tahun 2012 Ternyata disinilah letak permasalahan antara kewenangan BPOM dan Gubernur dalam melakukan pengawasan peredaran minuman beralkohol di Bali, Dalam petunjuk teknis yang di keluarkan oleh Menteri Kesehatan
dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan semua makanan khususnya pangan olahan
86
termasuk minuman beralkohol haruslah didaftarkan ke BPOM, dan nomor pendaftaran makanan tersebut harus di cantumkan dalam label makanan . Sementara itu dalam Perda 5 Tahun 2012 tentang minuman beralkohol tidak ada yang menyebutkan keharusan untuk mendaftarkan hasil pangan olahan tersebut, akan tetapi bagi minuman beralkohol pedagang diwajibkan memiliki Siup Minuman Beralkohol (SIUP MB) dan bagi pedagang minuman beralkohol tradisional diwajibkan memiliki izin usaha perdagangan minuman beralkohol tradisional (SIUP MBT), sementara terhadap makanan atau minuman yang dijual hanya diwajibkan memiliki label edar yakni tanda pengenal dalam bentuk stiker yang ditempel pada setiap botol atau kemasan minuman beralkohol. Dampaknya adalah pihak BPOM tidak bisa melakukan tindakan hukum terhadap minuman alkohol yang telah memiliki label edar, walaupun dalam label makanannya tidak mencantumkan nomor pendaftaran. Bila permasalahan ini kemudian di analisa dengan mengaju pada konsep Negara hukum, maka dalam paham Negara hukum hukumlah yang memegang peranan dalam hal penyelenggaraan Negara. Burkens mengemukakan pengertian rechstaat secara sederhana yaitu negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dalam segala
bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dalam rechtstaat dikatakan bahwa ikatan negara dan hukum adalah ikatan hakiki93
93
Burkens dalam A Hamid S Attamimi, 1992, Teori Perundang-Undangan IndonesiaSuatu Tinjauan Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Guru Besar, FH. UI Jakarta hal. 8
87
Menurut Freidrich Julius Stall, berpendapat suatu negara hukum formal (rechtstaat) harus memenuhi empat unsur penting yaitu94: 1. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. 2.
Adanya pemisahan/pembagian kekuasaan.
3.
Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Adanya peradilan tata usaha negara.
Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara berdasarkan hukum, yaitu95 : 1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum. 2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya. 3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas). 4. Adanya pembagian kekuasaan. Kedua pendapat ini sama-sama mengandung prinsip asas legalitas dimana semua tindakan Negara harus didasarkan atas hukum yang berlaku, dalam hal ini bila dikaitkan dengan permsalahan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali maka Perda No 5 Tahun 2012 sudah jelas mengatur tentang hal tersebut dimana pemerintah daerahlah dalam hal ini gubernurlah yang memiliki kewenangan untuk itu. Tetapi dalam perda sama sekali tidak memberikan peluang bagi BPOM untuk melakukan kewenangannya sebagaimana petunjuk teknis 94
Sudargo. G, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung Alumni, hal. 8-9 Bagir Manan, 3 September 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad di Bandung, hal. 19. 95
88
dalam hal pendaftaran makanan yang di dasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan
Republik
No
382/Menkes/Per/VI/1989
tentang
Pendaftaran
Makanan,yang mewajibkan semua makanan haruslah didaftarkan melalui BPOM Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia. Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan96
:
kepastian
hukum
(Rechtssicherheit),
kemanfaatan
(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
96
Ridwan HR, Op. Cit, hal 306
89
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam hal Pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol di Bali berdasarkan Perda No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali maka jelas mengatur bahwa pemerintah derahlah dalam hal ini gubernurlah yang memiliki kewenangan untuk itu. Tetapi dalam perda sama sekali tidak memberikan peluang bagi BPOM untuk melakukan kewenagannya sebagaimana petunjuk teknis dalam hal pendaftaran makanan yang di dasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik
No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran makanan. yang
mewajibkan semua makanan haruslah didaftarkan melalui BPOM . Bila dikaitkan dengan identifikasi permasalahan aturan hukum
97
; maka
dapat dikatakan bahwa Perda No 5 Tahun 2012 mengandung kekosongan norma mengenai peran dari dalam pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali . Norma Kosong atau vacum of norm atau leemten karena tidak ada hukum yang mengatur maka Peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup
mengatur seluruh permasalahan
yang timbul dalam masyarakat
sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. terhadap hal tersebut maka penyelesaiannya berpegang pada asas ius curia novit atau pemerintah segera membuat perda yang baru mensinkronisasikan kewenangan BPOM dengan Kewenangan Pemda dalam melakukan pengawasan dan penertiban peradaran minuman beralkohol di Bali
97
Amerudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.hal 18-19
90
Apabila dikaitkan dengan konsep pengawasan maka kekosongan norma ini menyebabkan tidak dapat dilakukan pengawasan dengan baik, memang harus diakui tidak mudah untuk memberikan defenisi tentang pengawasan, karena masing-masing memberikan definisi tersendiri sesuai dengan bidang yang dipelajari oleh ahli tersebut. Berikut ini Penulis akan mengambil beberapa pendapat dari beberapa serjana. Dalam kamus bahasa Indonesia istilah “Pengawasan berasal dari kata awas yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang di awasi”98. Menurut seminar ICW pertanggal 30 Agustus 1970 mendefinisikan bahwa “Pengawasan sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah suatu pelaksaan pekerjaan/kegiatan itu dilaksanakan sesuai dengan rencana, aturanaturan dan tujuan yang telah ditetapkan”. Jika memperhatikan lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari pengawasan yang dimaksud adalah, suatu rencana yang telah digariskan terlebih dahulu apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana semula dan apakah tujuannya telah tercapai. Sebagai bahan perbandingan diambil beberapa pendapat para sarjana di bawah ini antara lain:
98
Sujanto, 1986, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, hal 2.
91 Menurut Prayudi: “Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan”99. Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan100 Dari uraian tersebut maka dapat penulis rumuskan 1.
Pengawasan adalah merupakan proses kegiatan yang terus-menerus dilaksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, kemudian diadakan penilaian serta mengoreksi apakah pelaksanaannya sesuai dengan semestinya atau tidak.
2.
Selain itu Pengawasan adalah suatu penilaian yang merupakan suatu proses pengukuran dan pembandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyata telah dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Dengan kata lain, hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan serta mengevaluasi sebab-sebabnya. Pengawasan adalah sebagai suatu proses untuk mengetahui pekerjaan yang
telah dilaksanakan kemudian dikoreksi pelaksanaan pekerjaan tersebut agar sesuai dengan yang semestinya atau yang telah ditetapkan. Pengawasan yang dilakukan adalah bermaksud untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga 99
Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 80 Anwar., Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, 2004, hal.127
100 Saiful
92
dapat terwujud daya guna, hasil guna, dan tepat guna sesuai rencana dan sejalan dengan itu, untuk mencegah secara dini kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan. Dengan demikian pada prinsipnya pengawasan itu sangat penting dalam pelaksanaan pekerjaan, sehingga pengawasan itu diadakan dengan maksud101. a. Mengetahui lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan yang telah direncanakan. b. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat dengan melihat kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan dan kegagalankegagalan dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan baru. c. Mengetahui apakah penggunaan fasilitas pendukung kegiatan telah sesuai dengan rencana atau terarah pada sasaran. d. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam perencanaan semula. e. Mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan dapatkah diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut sehingga mendapatkan efisiensi yang besar.
Sedangkan
tujuan
pengawasan
akan
tercapai
apabila
hasil-hasil
pengawasan maupun memperluas dasar untuk pengambilan keputusan setiap pimpinan. Hasil pengawasan juga dapat digunakan sebagai dasar untuk penyempurnaan rencana kegiatan rutin dan rencana berikutnya. Dari uraian di atas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa pada dasarnya pengawasan bertujuan untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi nantinya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengambil kebijakan guna mencapai sasaran yang optimal. Selanjutnya pengawasan itu secara langsung juga bertujuan untuk102:
101 102
Ibid Prayudi, 1981, Op Cit hal 80
93
1. Menjamin ketepatan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijakan dan peringkat. 2. Menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan. 3. Mencegah pemborosan dan penyelewengan. 4. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas jasa yang dihasilkan. 5. Membina kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan organisasi. Dari keseluruhan pendapat di atas dapat dilihat adanya persamaan pandangan yakni dalam hal tujuan dilakukannya kegiatan pengawasan, yaitu agar semua pekerjaan/kegiatan yang diawasi dilaksanakan sesuai dengan rencana. Rencana dalam hal ini adalah suatu tolok ukur apakah suatu pekerjaan/kegiatan sesuai atau tidak. Dan yang menjadi alat ukurnya bukan hanya rencana tetapi juga kebijaksanaan, strategi, keputusan dan program kerja. Pengawasan juga berarti suatu usaha atau kegiatan penilaian terhadap suatu kenyataan yang sebenarnya, mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan apakah sesuai dengan rencana atau tidak. Berbicara tentang arti pengawasan dalam hukum administrasi negara maka hal ini sangat erat kaitannya dengan peranan aparatur pemerintah sebagai penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan. Tugas umum aparatur pemerintah dan tugas pembangunan hanya dapat dipisahkan, akan tetapi tidak dapat dibedakan satu sama lain. Aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan juga sekaligus melaksanakan tugas pembangunan, demikian juga halnya aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugas pembangunan bersamaan juga melaksanakan tugas pemerintahan.
94
Supaya perencanaan dan program pembangunan di daerah dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hendaknya diperlukan pengawasan yang lebih efektif di samping dapat mengendalikan proyek-proyerk pembangunan yang ada di daerah. Dengan demikian untuk lebih memperjelas arti pengawasan dalam kacamata hukum administrasi negara yang akan dilakukan oleh aparatur pengawasan maka berikut ini penulis akan mengemukakan pendapat guru besar hukum administrasi negara Prayudi Atmosudirdjo menyatakan bahwa : “Pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan”. Berdasarkan kutipan di atas maka dapat difahami bahwa yang menjadi tujuan pengawasan adalah untuk mempermudah mengetahui hasil pelaksanaan. Berdasarkan uraian di atas maka bila kita kaitkan
dengan pokok
permasalahan dalam tulisan ini tentang Kewenangan Badan Pengasan Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol menurut PERMENKES No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan dikaitkan dengan Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Baralkohol di Bali maka jelas terlihat bahwa tujuan pengawasan sebagaimana tersebut di atas tidak tercapai. Secara Normatif dalam Perda Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali jelas-jelas tidak mengatur tentang kewenangan BPOM untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali padahal jelas Badan POM memiliki kewenangan di seluruh
95
Indonesia melalui peraturan menteri kesehatan Kewenangan Badan Pengasan Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol
menurut
Pendaftaran Makanan
Permenkes
No.382/MENKES/PER/VI/1989
tentang
mewajibkan semua makanan yang akan diedarkan di
masyarakat harus di daftarkan terlebih dahulu ke Badan POM guna memperoleh nomor pendaftaran makanan tak terkecuali untuk produk olahan rumah tangga seperti minuman beralkohol dan susu. Dalam Permenkes tersebut Badan POM telah menetapkan standar-standar mutu minuman beralkohol yang boleh di edarkan atau dipasarkan, sehingga memenuhi aspek kesehatan dan keselamatan pangan bagi masyarakat.
96
BAB IV KEPASTIAN HUKUM PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL DI PROVINSI BALI
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai permasalahan berikutnya yaitu : Kepastian hukum dalam pengendalaian dan peredaran minuman beralkohol di Provinsi Bali berdasarkan Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2012, sebelum menguraikan permasalahan tersebut maka akan diuraikan tentang standar mutu dan pendistribusian minuman beralkohol dan pengwasannya yang akan diuraikan sebagai berikut:
4.1. Standar Mutu dan Pendistribusian Minuman Beralkohol Sudah menjadi kewajiban Negara untuk menjamin agar makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh warganya kesehatan,
aman dan memenuhi standar
demikian pula halnya dengan pemerintah Indonesia yang telah
menetapkan standar-standar mutu
tertentu terhadap pangan tersebut. Selain
penentapan standar mutu makanan harus pula dibarengi dengan pengawasan di lapangan, jangan sampai makanan-makanan yang tidak memenuhi standar kesehatan dikonsumsi masyarakat. Berkaitan dengan minuman beralkohol maka pemerintah Indonesia telah menetapkan standar mutu minuman beralkohol yang tertuang dalam peraturanperaturan yang terurai di bawah ini :
96
97
Dalam ketentuan Keputusan
Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, bahwa minuman beralkohol merupakan minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari hasil pertanian yang mengandung karbohidrat fermentasi tanpa destilisasi
dengan cara fermentasi dan
destilisasi atau
baik dengan memberikan perlakuan terlebih dahulu
atau tidak , menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung alkohol. Dalam ketentuan Pasal 3 Keputusan tersebut, diuraikan bahwa Minuman beralkohol dibagi dalam 3 golongan yan itu : 1. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar Ethanol (C2H5OH) 1% (satu persen) sampai dengan 5% (lima persen) 2. Minuman beralkohol Golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima Persen) samapai 20% ( duapuluh persen) dan 3. Minuman beralkohol Golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20% (dua puluh persen) samapai 55% (lima puluh lima persen) Semua minuman beralkohol dalam golongan A,B dan C beralkohol yang produksi, pengedaran dan penjualannya
adalah minuman ditetapkan sebagai
barang yang ada dalam pengawasan, dan selanjutnya ditetapkan pula bahwa menteri kesehatan menetapkan standar mutu minuman beralkohol. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 282/MENKES/SK/11/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol, dalam Pasal 2 telah ditetapkan standar mutu dan golongan untuk jenis minuman beralkohol sebagai berikut :
98
a. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1% (satu persen) sampai 5% (lima persen) b. Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan 20 % (dua puluh persen) c. Minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20 % (duapuluh persen) sampai dengan 55%(lima puluh lima persen) Dari uraian diatas maka
sangatlah jelas minuman berakohol yang bisa di
konsumsi paling tinggi berkadar alkohol 55% yang termasuk dalam golongan C, demikian pula semua minuman berakohol yang mengandung kadar ethanol 1 % (satu persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen), dalam hal produksi, pengedaran dan penjualannya
haruslah memenuhi standar mutu minuman
beralkohol yang di tetapakan oleh menetri kesehatan dan minuman tersebut harus pula mendapatkan pengawasan dari instansi terkait. Selain berkaitan standar mutu kandungan atau kadar alkohol yang terkandung dalam minuman beralkohol maka dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 282/MENKES/SK/11/1998
tentang Standar Mutu Produksi Minuman
Beralkohol di tetapkan pula tentang jaminan mutu dalam Pasal 7 menguraikan: a. Perusahaan yang memproduksi minuman beralkohol wajib memiliki izin industri dari menteri perindustrian dan perdagangan b. Selain izin industri perusahaan sebelum memproduksi minuman beralkohol wajib memiliki sertifikat cara produksi makanan yang baik bagi minuman beralkohol c. Perusahaan yang memproduksi minuman berakohol wajib memiliki sistem jaminan mutu d. Dalam rangka melaksanakan sistem jaminan mutu perusahaan yang memproduksi minuman beralkohol wajib melakukan pengujian mutu produksi e. Minuman beralkohol yang diperdagangkan dan di impor haruslah didaftarkan di departemen kesehatan untuk dilakukan penilaian terhadap mutu dan keamananya
99
Selanjutnya di sebutkan pula bahwa ketentuan penilaian terhadap mutu dan keamanan makanan dilakukan oleh direktur jendral, semua makanan yang tidak mendapatkan persetujuan pendaftaran makanan dari menteri kesehatan melalui BPOM dilarang diedarkan dan diperdagangkan. Dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol Menteri Kesehatan melalui Badan POM, pendistibusian makanan
telah pula menetapkan tatacara
yang bertujuan untuk mengarahkan bagi produsen,
distributor atau pengedar makanan melaksanakan cara disitribusi sesuai ketentuan yang berlaku, khususnya untuk minuman beralkohol ditetapkan cara-cara sebagai berikut: 1.
Secara umum : makanan yang diedarkan di seluruh wilayah Indonesia harus memenuhi syarat-syarat kesehatan, keselamatan dan standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan jenis-jensi makanan
2.
Mengenai Label; Minuman beralkohol haruslah mencantumkan pada etiketnya kadar alkohol yang terdapat dalam minuman tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 79/ Menkes/Per/III/1978.
3.
Mengenai Peragaan; Peragaan minuman beralkohol haruslah terpisah dengan makanan lainnya, ditempatkan dalam rak/lemari, disertakan fotocopy izin sebagai penjual minuman beralkohol dn mencantumkan tanda peringatan bahwa untuk anak di bawah 16 tahun dilarang membeli minuman keras.
100
4.
Distribusi makanan khusus: Mengenai Peredaran Minuman beralkohol haruslah
memenuhi
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No
86/Menkes/Per/IV/1977 tentang Minuman keras : a. Label harus setaui dengan ketentuan peraturan yang ditetapkan b. Importir, pedagang, penyalur, pengecer dan penjual minuman beralkohol harus mendapat izin dari Menteri Kesehatan c. Minuman keras yang tidak terdaftar pada Depertemen Kesahatan RI dinyatakan sebagai makanan yang berbahaya bagi kesehatan manusia d. Produsen minuman beralkohol
hanya boleh menjual pedagang
besar minuman beralkohol e. Importir minuman beralkohol hanya boleh menjual pada pedagang besar minuman beralkohol f. Pedagang besar minuman beralkohol hanya boleh menjual pada penyalur g. Pedagang besar minuman beralkohol haruslah membuat laporan berkala kepada Badan POM setiap akhir bulan sesuai ketentuan Badan POM h. Laporan Pedagang besar minuman beralkohol dikirimkan pada Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi setempat i. Penyalur minuman beralkohol hanya boleh menjual minuman beralkohol pada pengecer ataupun penjual minuman beralkohol
101
j. Pada penyerahan minuman beralkohol yang mengandung kadar ethanol lebih dari 20 % sampai dengan 50% pada konsumen, wajib mencatat tanggal penyerahan, nama dan alamat penerima, nomor dan tanggal passport atau kartu tanda penduduk, serta jenis dan jumlah minuman yang dibeli. k. Tempat penjualan minuman beralkohol tidak boleh berdekatan dengan tempat ibadah, rumah sakit dan sekolah 5.
Larangan dalam distribusi Minuman Beralkohol: Mengenai larangan Peredaran minuman beralkohol diatur Kesehatan
RI
No.
dengan Peraturan Menteri
86/Menkes/Per/IV/1977
tentang
minuman
beralkohol, dengan larangan sebagai berikut: a. Dilarang mengimpor minuman beralkohol tanpa seijin dari Menteri Kesehatan RI b. Dilarang mengedarkan minuman beralkohol yang mengandung kadar methanol
(CH3OH) lebih dari 0,1% (satu per sepuluh
persen) dihitung terhadap kadar etanol (C2H5OH) c. Dilarang menjual/menyerahkan minuman beralkohol kepada anak di bawah umur 16 (enem belas) tahun d. Dilarang mengiklankan minuman beralkohol golongan C
yaitu;
minuman beralkohol yang mempunyai kadar 20% sampai dengan 50% Apabila
sebuah
perusahaan
yang
akan
melakukan
penjualan
atau
memperdagangkan minuman keras tidak memenuhi ketentuan di atas maka dapat dikenakan tindakan samapi pada pencabutan ijin untuk berjualan.
102
Apabila kita kaji uraian di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesahatan dan Badan POM telah melakukan upaya-upaya untuk menjaga keamanan makanan yang dikonsumsi oleh warganya khusnya berkaitan dengan minuman beralkohol,
pemerintah telah
menetapkan standar mutu,
jaminan mutu bahkan lebih jauh dari itu pemerintah telah pula
menetapkan
standar tentang tatacara penyimpanan, pendistribusian dan penjualam minuman beralkohol. Tentunya semua peraturan ini akan berlaku sama di seluruh Indonesia
4.2. Upaya Pengawasan dan Pengendalian Minuman beralkohol Pengawasan merupakan proses kegiatan yang terus-menerus dilaksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, kemudian diadakan penilaian serta mengoreksi apakah pelaksanaannya sesuai dengan semestinya atau tidak. Selain itu Pengawasan adalah suatu penilaian yang merupakan suatu proses pengukuran dan pembandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyata telah dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Dengan kata lain, hasil pengawasan harus
dapat
menunjukkan
sampai
di
mana
terdapat
kecocokan
atau
ketidakcocokan serta mengevaluasi sebab-sebabnya. Akan tetapi kalau diterjemahkan begitu saja istilah controlling dari bahasa Inggris, maka pengertiannya lebih luas dari pengawasan yaitu dapat diartikan sebagai pengendalian, padahal kedua istilah ini berbeda karena dalam pengendalian terdapat unsur korektif. Istilah pengendalian berasal dari kata kendali yang berarti mengekang atau ada yang mengendalikan. Jadi berbeda dengan istilah pengawasan, produk langsung kegiatan pengawasan adalah untuk
103
mengetahui sedangkan kegiatan pengendalian adalah langsung memberikan arah kepada objek yang dikendalikan. Dalam pengendalian kewenangan untuk mengadakan tindakan korektif itu sudah terkandung di dalamnya, sedangkan dalam pengertian pengawasan tindakan korektif itu merupakan proses lanjutan. Pengendalian adalah pengawasan ditambah tindakan korektif. Sedangkan pengawasan adalah pengendalian tanpa tindakan korektif. Namun sekarang ini pengawasan telah mencakup kegiatan pengendalian, pemeriksaan, dan penilaian terhadap kegiatan. Badan POM melakukan pengawasan dan pengandalian makanan di Indonesia, secara umum dilakukan dalam dua cara yaitu Preventif atau pencegahan dimana Badan POM melakukan upaya-upaya pembinaan dan sosialisasi terhadap para produsen, distributor dan penjual obat dan makanan dengan memberikan informasi tentang kewajiban untuk mendaftarkan makanan yang akan diedarkan pada masyarakat. Selain tindakan prevendtif Badan POM juga melakukan upaya upaya penindakan
atau Preemtif. Tindakan Preemtif
mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.72.4473 tentang prosedur tetap penyidikan tindak pidana di bidang obat dan makanan prosedur tersebut sebagai berikut: a. Petugas Badan POM dalam melakukan inspeksi mendadak (sidak), didasarkan pada target pelanggar tahunan yang telah diprogramkan dalam rencana kerja tahunan maupun informasi atau laporan dari masyarakat,
selanjutnya
petugas
melakukan
pengawasan
dan
pengamatan melalui pemeriksaan setempat terhadap sarana, orang,
104
aktivitas produksi,
import, distribusi dan produk, kemudian akan
dicari barang bukti dan dilakukan analisa b. Setelah diperoleh bukti awal yang cukup kemudian Kepala Balai POM akan mengeluarkan surat tugas, dan berdasarkan surat tersebut dilakukan investigasi terhadap sarana legal maupun illegal, terhadap sarana legal akan diadakan audit yang komperhensif terhadap keabsahan dokumen dan sarana produksi dan bila sarana illegal maka akan dilakukan proses pro justicia apa bila ditemukan bukti yang cukup, kalau belum ada bukti yang cukup maka akan dilakukan pengawasan dan pengamatan ke sarana produksi lagi c. Langkah-Langkah projusticia dilakukan berdasarkan ketentuan KUHAP dan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau PPNS, dari tahap penyelidikan, penyidikan, penyusunan berkas, pemyerahan berkas ke jaksa d. Selanjutnya
langkah monitoring dan evaluasi
yang dilakukan
melalui pemeriksaan laporan kemajuan proses projusticia seperti, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), tahap pemeriksaan tersangka, penyerahan berkas ke jaksa penuntut umum, penyerahan tersangka dan barang bukti ke jaksa, persidangan sampai pada tahap penuntutan dan putusan dan terakhir pelaksanaan hukuman /proses eksekusi e. Pelaporan hasil investigasi Kepala Badan POM.
dan kemajuan proses pro justicia ke
105
Dalam melakukan upaya-upaya penindakan Badan POM juga melakukan kerjasama dengan Kepolisian
dengan menerbitkan Surat Keputusan bersama
POLRI dengan Badan POM tentang Peningkatan Hubungan Kerjasama dalam rangka Pengawasan dan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Obat dan Makanan, tertanggal 16 Agustus 2002, sebagai berikut: a. Dimana ruang lingkup kerjasama tersebut meliputi Pengawasan dan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Obat, Obat Tradisional, Produk Biologi, Produk Komplemen, Produk Pangan, Kosmetika, Alat Kesehatan, Perbekalan
Rumah Tangga, Narkotika , Psikotropika dan
Bahan Berbahaya bagi kesehatan. b. Kordinasi dilakukan dengan menunjuk petugas fungsional penghubung antara Polri dan Badan POM, yang melakukan kordinasi rutin sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan sekali. c. Apabila telah ditemukan indikasi adanya kasus tindak pidana Badan POM dapat melakukan penanganan sebagaimana lingkup tugasnya, dan Badan POM dapat pula menyerahkan sepenuhnya pada POLRI ataupun bisa melakukan dengan cara bersama-sama d. Anggaran biaya yang timbul dari penyelenggaraan kerjasama ini di tanggung masing-masing lembaga e. Badan POM melakukan pengawasan
dan pengandalian makanan di
Indonesia, secara umum dilakukan dalam dua cara yaitu Preventif atau pencegahan dimana Badan POM melakukan upaya-upaya pembinaan dan sosialisasi terhadap para produsen, distributor dan penjual obat dan
106
makanan dengan memberikan informasi tentang kewajiban untuk mendaftarkan makanan
yang akan diedarkan pada masyarakat. Selain
tindakan prevendtif Badan POM juga melakukan upaya- upaya penindakan atau Preemtif. Tindakan Preemtif mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.72.4473 tentang prosedur tetap penyidikan tindak pidana di bidang obat dan makanan.
4.3. Kepastian Hukum dalam Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Provinsi Bali Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam hal pengendalian dan pengawasan dan pengendalian
peredaran minuman beralkohol di Bali,
terdapat dua lembaga yang berhak. Pertama
BPOM sebagai perpanjangan
pemerintah pusat berwenang dalam melakukan pengawasan peredaran minuman beralkohol di seluruh Indonesia tak terkecuali di Bali, Dalam petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan semua makanan
khususnya pangan olahan
termasuk minuman beralkohol
haruslah didaftarkan ke BPOM, dan nomor pendaftaran makanan tersebut harus di cantumkan dalam label makanan. Sementara itu dalam Perda 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman beralkohol di Bali,
tidak ada satu
pasalpun yang menyebutkan keharusan untuk mendaftarakan hasil pangan olahan tersebut ke Menteri Kesehatan melalui Badan POM.
107
Dalam Perda tersebut telah ditetapkan kewenangan Pemerintah Daerah Bali dimana pemberian izin,
Pembinaan dan pengendalian terhadap peredaran
minuman beralkohol dilakukan oleh Gubernur. Setiap penjual minuman beralkohol haruslah mempunyai Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya disebut SIUP-MB, SIUP MB adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C di Provinsi Bali yang dikeluarkan atas seizin Gubernur Sedangkan untuk minuman beralkohol tradisional, bagi mereka yang ingin memperdagangkan diharuskan mempunyai Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol Tradisional yang selanjutnya disebut SIUP-MBT, SIUP MBT adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol produksi tradisional golongan A, golongan B dan/atau golongan C di Provinsi Bali. SIUP-MBT untuk Distributor diterbitkan oleh Gubernur. Dengan demikian setiap
Minuman beralkohol produksi luar negeri
(impor) dan produksi dalam negeri, termasuk juga alkohol produksi tradisional yang diedarkan oleh Distributor, Sub Distributor, pengecer dan penjual langsung wajib dikemas, menggunakan pita cukai dan label edar dan karenanya dapat di pasarkan. yang dimaksud label edar sesuai ketentuan Perda ini adalah Label Edar adalah tanda pengenal dalam bentuk stiker yang ditempel pada setiap botol atau kemasan minuman beralkohol. Label Edar label edar ini ditetapkan oleh Gubernur
108
dengan tata cara pencetakan dan penggunaan label edar diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai ketentuan Pasal 12 Perda No 5 Tahun 2012 Perda No 5 Tahun 2012 , sama sekali tidak mengatur tentang peran dan kewenangan Badan POM dalam melakukan pengawasan dan peredaran mminuman beralkohol di Bali sehingga dapat pula dikatakan bahwa telah terjadi kekosongan norma bagi Badan POM dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali, sementera tugas Badan POM jelas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di dasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan. Selanjutnya
Perda No 5 Tahun 2012 dikaji berdasarkan
perundang-undangan yang baik.
Teori
Pembentukan undang-undang didasarkan pada
perwujudan asas-asas hukum (umum). Asas-asas hukum berfungsi untuk menafsirkan aturan-aturan hukum dan memberikan pedoman bagi suatu perilaku, sekalipun tidak secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asas-asas hukum menjelaskan norma-norma hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai ideologis tertib hukum. Menurut A. Hamid S. Attamimi103, asas - asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik, berfungsi untuk memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, bagi penggunaan metode pembentukan yang tepat dan bagi mengikuti proses dan prosedur pembentukan yang telah ditentukan. serta bermanfaat bagi
103
A Hamid S Atammimi dalam Maria Farida , 2007, Ilmu Perundang-undangan , Janis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta , hal. 252
109
penyiapan, penyusunan, dan pembentukan suatu peraturan perundang undangan. Kemudian, dapat digunakan oleh hakim untuk melakukan pengujian(toetsen), agar peraturan peraturan tersebut memenuhi asas asas dimaksud, serta sebagai dasar pengujian dalam pembentukan aturan hukum yang berlaku. Dengan berdasarkan asas-asas umum pembentukan peraturan yang baik, maka menurut Van De Vlies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik, dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu asas formal (formele beginselen) dan asas materiil (materiele beginsele) Asas formal, meliputi104: a. asas tujuan yang jelas b. asas organ atau lembaga yang tepat c.asas perlunya pengaturan d. asas dapat dilaksanakan e. asas consensus sedangkan asas materiil meliputi: a. asas terminologi dan sistematika yang jelas. b. asas dapat dikenali c. asas perlakuan yang sama dalam hukum d. asas kepastian hukum e. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual. Selanjutnya menurut A. Hamid S Attamimi menjelaskan dalam pembentukan perundang-undangan selain berpedoman pada asas - asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, juga perlu dilandasi oleh
104
Ibid, Hal 254
110
asas-asas hukum umum, yang di dalamnya terdiri dari asas negara berdasar atas hukum (rechtstaat), pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi dan negara berdasarkan kedaulatan rakyat. setidaknya terdapat beberapa pegangan yang dapat dikembangkan guna memahami asas asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik secara benar, yaitu: a.
asas yang berlaku dalam Pancasila selaku asas asas dalam hukum umum bagi peraturan perundang undangan, memiliki pengertian bahwa Pancasila selaku cita hukum, yang juga merupakan norma fundamental, sebagai norma tertinggi bagi berlakunya semua norma norma hukum yang berlaku pada kehidupan rakyat Indonesia.
b. asas - asas Negara berdasar atas hukum selaku asas - asas hukum umum bagi perundang-undangan, memiliki pengertian bahwa asas pemerintahan yang diatur dengan atau berdasarkan undang-undang. c.
asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi selaku asas-asas umum bagi perundang-undangan, memiliki pengertian bahwa apa yang dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945 di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan ditegaskan kembali dalam asas ini
d. asas-asas bagi peraturan perundang-undangan yang dikembangkan oleh para ahli
111
Dengan menggunakan istilah lain, Bagir Manan mengemukakan, bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah mengacu pada landasan pembentukan peraturan perundang-undangan, yang didalamnya terdiri dari105: a. Landasan yuridis. Karena landasan ini akan menunjukkan keharusan adanya kewenangan dari pembuat produk-produk hukum, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis produk-produk hukum dengan materi yang diatur, keharusan mengikuti tata cara tertentu, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya, produk-produk hukum yang dibuat harus dapat diterima oleh masyarakat secara wajar maupun spontan b. Landasan sosiologis. Landasan ini akan mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dengan dasar ini, diharapkan peraturan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat. Peraturan yang diterima secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya c. Landasan filosofis. Landasan ini berkaitan dengan cita hukum, dimana semua masyarakat mempunyainya, yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum. Cita hukum tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik ataupun buruknya, pandangan terhadap hubungan individual dan kemasyarakatan dan sebagainya. Kesemuanya merupakan bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai hakikat sesuatu Berdasarkan uraian di atas maka jelas terlihat bahwa sebuah perundangundangan yang baik haruslah memenuhi asas- asas perundang-undangan yang baik. Pemerintah Indonesia telah memberikan rumusan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana diuraikan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menguraikan sebagai berikut:
105
Bagir Manan, 1994, Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembangunan Nasional, makalah
112
a. Asas kejelasan tujuan b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan d. Asas dapat dilaksanakan e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan f.
Asas kejelasan rumusan
g. Asas keterbukaan Bahwa Perda No 5 Tahun 2012 bila dikaji dengan perumusan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik maka menurut hemat penulis dapat dikatakan bahwa perda No 5 Tahun 2012 tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik khususnya : 1. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, 2. Asas dapat dilaksanakan Dikatakan tidak memenuhi rumusan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan , dimana dalam penjelasannya yang dimaksud asas kesesuaian antara jenis dan materi yaitu bahwa dalam pembentukan peraturan perundangundangan harus memperhatikan materi muatan yang tepat. Dalam penentuan materi muatan, juga disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang terdiri dari asas pengayoman, kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/keseimbangan, keserasian dan keselarasan, serta asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundangundangan yang bersangkutan.
113
Dalam Perda No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Baralkohol
tidak memberikan kepastian hukum kepada para produsen,
distributor maupun penjual minuman beralkohol, hal mana disebabkan berdasarkan ketentuan Pasal 10 Perda tersebut diuraikan: (1) Minuman beralkohol produksi luar negeri (impor) dan produksi dalam negeri yang diedarkan oleh Distributor, Sub Distributor, pengecer dan penjual langsung wajib dikemas, menggunakan pita cukai dan label edar. (2) Minuman beralkohol produksi tradisional yang dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi wajib dikemas dan menggunakan label edar. (3) Minuman beralkohol produksi tradisional yang tidak untuk dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi peredarannya dengan menggunakan label untuk upacara (tetabuhan) dan label edar. Pasal 12 Perda tersebut juga diuraikan : (1) Gubernur menetapkan label edar. (2) Tata cara pencetakan dan penggunaan label edar diatur dengan Peraturan Gubernur. Permasalahan antara kewenangan Badan BOM dan Pemerintah Daerah Bali dalam melakukan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol
dimana menurut Perda ini
dalam Pasal 10 diuraikan minuman
beralkohol baik import maupun produksi tradisional cukup hanya dengan menggunakan label edar dapat dipasarkan, sementara jelas menurut Pasal 12 label edar ditetapkan oleh Gubernur, dalam Perda Provinsi Bali ini sama sekali tidak
114
mewajibkan setiap produsen, distributor
dan penjual minuman beralkohol
tersebut harus di daftarkan pada Menteri Kesehatan melalui Badan POM untuk memperoleh nomor pendaftaran pangan, makanan yang tidak memiliki nomor pendaftaran makanan seharusnya tidak boleh diedarkan terkecuali terhadap makanan-makanan yang dikecualikan untuk tidak didaftarkan,
sehingga ini
menimbulkan ketidak pastian hukum bagi produsen, distributor dan penjual minuman beralkohol mereka yang telah memiliki dan memberikan label edar pada minuman beralkohol yang dijualnya akan tetapi tetap terjaring razia yang dilakukan Badan POM karena minuman tersebut tidak memiliki nomor pendaftaran makanan yang dicantumkan ketentuan
Pasal
7
Peraturan
di label kemasannya, sebagaimana Menteri
Kesehatan
Nomor
282/MENKES/SK/11/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol di tetapkan pula tentang jaminan mutu dalam Pasal 7 menguraikan: a. Perusahaan yang memproduksi minuman beralkohol wajib memiliki izin industri dari menteri perindustrian dan perdagangan b. Selain izin industri perusahaan sebelum memproduksi minuman beralkohol wajib memiliki sertifikat cara produksi makanan yang baik bagi minuman beralkohol c. Perusahaan yang memproduksi minuman berakohol wajib memiliki sistem jaminan mutu d. Dalam rangka melaksanakan sistem jaminan mutu perusahaan yang memproduksi minuman beralkohol wajib melakukan pengujian mutu produksi e. Minuman beralkohol yang diperdagangkan dan di impor haruslah di daftarkan di Departemen Kesehatan untuk dilakukan penilaian terhadap mutu dan keamanannya Selanjutnya disebutkan pula bahwa ketentuan penilaian terhadap mutu dan keamanan makanan dilakukan oleh Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia semua makanan yang tidak
115
mendapatkan persetujuan pendaftaran makanan dari Menteri Kesehatan melalui BPOM dilarang diedarkan dan diperdagangkan. Dikatakan tidak memenuhi asas dapat dilaksanakan, dalam penjelasan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan asas dapat dilaksanakan berarti bahwa setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memperhitungkan efektivitasnya di dalam masyarakat, mengacu bahwa Perda 5 Tahun 2012 tidak mengatur tentang kewenangan Badan POM dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol, berkaitan dengan pendaftaran makanan sebagaimana diatur dalam ketentuan Permenkes No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan maka sudah dapat dipastikan Perda ini tidak bisa berlaku efektif dalam masyarakat, makanan yang tidak memiliki nomor
pendaftaran makanan khususnya minuman beralkohol
tidak boleh diedarkan berdasarkan Permekes ini. Akan tetapi dalam perda menyebutkan minuman beralkohol bila sudah memiliki label edar dapat dipasarkan atau diedarkan ke masyarakat. Kemudian bila Perda
Bali No 5 tahun 2012 tentang
Pengendalian
Peredaran Minuman Beralkohol di Bali dikaitkan ketentuan Pereturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan dikaji berdasarkan Teori pemerintahan yang baik, dalam perda tersebut tidak mengatur tentang tugas dan kewenangan Badan POM atau norma kosong yang membawa dampak bahwa Badan POM tidak dapat melaksankan fungsinya secara maksimal dimana para penjual minuman keras yang tidak memiliki nomor daftar makanan seseuai Peraturan Meneteri Kesehatan No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan akan tetapi bisa diedarkan di Bali karena
116
perda hanya menisyaratkan sebuah minuman beralkohol dapat diedarkan apabila memiliki label edar saja, bila dikaitkan dengan asas-asas pemerintahan yang baik maka dapat dikatakan Pemerintah Daerah Bali telah melanggar asas-asas pemerintahan yang baik khususnya dalam asas asas sebagai berikut: a.
Asas Kepastian Hukum; Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
b.
Asas Kepentingan Umum; Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
c.
Asas Keterbukaan; Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Sebagaimana diketahui bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Memasuki era reformasi, hal tersebut diakui, sehingga melalui TAP MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara
117
Negara yang bersih dan bebas KKN, dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bangsa Indonesia menegaskan tekad untuk senantiasa bersungguhsungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance. Jika kita melihat bagian-bagian dari partisipasi yang dapat dilakukan oleh publik atau masyarakat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi publik dalam pengambilan suatu keputusan sangatlah penting. Partisipasi publik menjadi sangat penting urgensinya dalam proses pengambilan keputusan setelah dikampanyekannya good governance oleh Bank Dunia maupun United Nations Development Program (UNDP). Mengenai good governance, Hetifah Sj. Sumarto106 berpendapat: “Salah satu karakteristik dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya UNDP mengartikan partisipasi sebagai karakteristik pelaksanaan good governance adalah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif”. Menurut T. Gayus Lumbuun, dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara asas-asas umum pemerintahan yang baik telah disistematisasi oleh para ahli terkemuka dan dianut di beberapa negara, antara lain seperti di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB), di Inggris dikenal “The Principle of Natural Justice”, di Perancis dikenal “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”, di Belgia dikenal
106
Hetifah Sj. Sumarto, 2003, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,.
118 “Aglemene Rechtsbeginselen”, di Jerman dikenal “Verfassung Sprinzipien” dan di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” (AUPB)107. Untuk mengenal asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut pendapat ahli maupun yang berkembang di Peradilan Administrasi, akan diuraikan berikut ini: Menurut
sistematisasi
van
Wijk/Konijnenbel
yang
dikutip
oleh
IndrohartoAsas-asas umum Pemerintahan yang Baik dikelompokkan108: a.
Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan yang meliputi Asas kecermatan formal dan Asas “fair play”.
b.
Asas-asas formal mengenai formulasi keputusan yang meliputi Asas Pertimbangan dan Asas kepastian Hukum formal.
c.
Asas-asas Meterial mengenai isi Keputusan yang meliputi Asas kepastian hukum material, Asas kepercayaan atau asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan, Asas persamaan, Asas kecermatan material dan Asas keseimbangan. Di Belanda Asas-asas umum pemerintahan yang baik dipandang sebagai
norma hukum tidak tertulis, namun harus ditaati oleh pemerintah, sehingga dalam Wet
AROB
(Administrative
Rechtspraak
Overheidsbeschikkingen)
yaitu
Ketetapan-ketetapan Pemerintahan dalam Hukum Administrasi oleh Kekuasaan Kehakiman “Tidak bertentangan dengan apa dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik”. Hal itu dimaksudkan bahwa asas-asas itu sebagai asas-asas yang hidup, digali dan
107
T. Gayus Lumbuun, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, http://www.kormonev.menpan.go.id. 108
Indro Harto, 1994 “Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara”hal23
119
dikembangkan oleh hakim. Asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang terkenal dan dirumuskan dalam Yurisprudensi AROB sebagai berikut: a.
Asas pertimbangan (motiveringsbeginsel)
b
Asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel)
c.
Asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel)
d.
Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel of beginsel van opgewekte verwachtingen)
e.
Asas persamaan (gelijkheidsbeginsel)
f.
Asas keseimbangan (evenredigheidsbeginsel)
g.
Asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel)
h.
Asas fair play (beginsel van fair play)
i.
Larangan “detournement de pouvoir” atau penyalahgunaan wewenang (het verbod detournement de pouvoir)
j.
Larangan bertindak sewenang-wenang (het verbod van willekeur).
Di Perancis Asas-asas umum pemerintahan yang baik (Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique) dirumuskan: a.
Asas persamaan (egalite).
b.
Asas tidak boleh mencabut keputusan bermanfaat (intangibilite de effects
individuels des actes administratifs). Dengan asas ini
keputusan yang regelmatig (teratur/sesuai dengan peraturan) tidak boleh dicabut apabila akibat hukum yang bermanfaat telah terjadi. c.
Asas larangan berlaku surut (principe de non retroactivite des actes administratifs).
d.
Asas jaminan masyarakat (garantie des libertes publiques).
e.
Asas keseimbangan (proportionnalite).
120
Dalam kepustakaan Hukum Administrasi di Indonesia, Prof. Kuntjoro Purbopranoto menguraikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam 13 asas109, yaitu: a.
Asas kepastian hukum (principle of legal security);
b.
Asas keseimbangan (principle of proportionality);
c.
Asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) – principle of equality;
d.
Asas bertindak cermat (principle of carefuleness);
e.
sas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
f.
sas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence);
g.
Asas permainan yang layak (principle of fair play);
h.
Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);
i.
Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
j.
Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision);
k.
Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life);
l.
Asas kebijaksanaan (sapientia);
m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
109
Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara”hal.24
121
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, maka asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan dalam Pasal 3 dan Penjelasannya yang dirumuskan sebagai asas umum penyelenggaraan negara. Asas ini terdiri dari: a. Asas Kepastian Hukum; Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. b. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. c. Asas Kepentingan Umum; Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. d. Asas Keterbukaan; Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. e. Asas Proporsionalitas; Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
122
f. Asas Profesionalitas; Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. g. Asas Akuntabilitas. Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 dan Pasal 3 ayat (1) TAP MPR XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Nagara Yang Bersih dan Bebas KKN menentukan untuk menghindari segala bentuk KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, melaksanakan tugas tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, tidak melakukan perbuatan tercela, melaksanakan tugas tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN dan perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang berlaku secara universal dibeberapa negara sebagai
123
hukum tidak tertulis, di Indonesia dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN merumuskan asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut secara formal mengikat penyelenggara negara untuk dilaksanakan dalam tugas dan fungsinya. Apa bila dikaitkan dengan asas-asas pemerintahan yang baik
maka dapat
dikatakan Pemerintah Daerah Bali telah melanggar asas-asas pemerintahan yang baik khususnya dalam asas asas sebagai berikut: a. Asas Kepastian Hukum; Asas Kepastian Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Kerena Perda tersebut telah mengandung kekosongan norma berkaitan dengan tugas dan kewenangan Badan Pengawas Obat Dan Makanan di Bali, maka dengan Perda Nomor 5 Tahun 2012 Pemerintah Provinsi Bali tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada para produsen, penyelur dan penjual minuman beralkohol yang walaupun dalam pelaksanaan perda para produsen telah memiliki Label edar akan tetapi apabila dalam produk mereka tidak mencantumkan nomor pendaftaran makanan yang harus diurus melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ke Menteri Kesehatan mareka dapat dikenakan sanksi oleh Badan Pengawas Obat dan makanan (BPOM) sesuai dengan peraturan yang berlaku. b. Asas Kepentingan Umum. Asas Kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Bahwa Pemerintah
124
Daerah Provinsi Bali tidak dapat mendahulukan kesejahteraan umum dengan menerbitkan Perda No 5 Tahun 2012, dimana dalam Perda tersebut jelas-jelas mengutamakan aspek ekonomi semata dengan menyebutkan bahwa minuman beralkohol memiliki nilai ekonomi yang tinggi akan tetapi lupa atau boleh dikatakan tidak mencantumkan sama sekali kewajiban bagi produsen dan penjual minuman keras untuk mendaftarkan semua minuman keras yang di produksi di Bali atau di edarkan di Bali ke Pada Menteri kesehatan melalui Badan POM, hal ini menyebabkan banyaknya beredar minuman keras yang tidak memiliki nomor pendaftaran sehingga
produk tersaebut
dapat
membahayakan kesehatan
masyarakat umum c. Asas Keterbukaan Asas keterbukaan Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Pemerintah Daerah Bali dengan Perda Nomor Pengendalian
Peredaran
Minuman
Beralkohol
5 Tahun 2012 tentang
yang
telah
mengandung
kekosongan norma kerena tidak mengatur tugas dan kewenangan Badan POM, khususnya mengenai kewajiban bagi setiap makanan harus didaftarkan di Menteri Kesehatan melalui Badan POM berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 382/Menkes/Per/VI/ 1989 tentang Pendaftaran Makanan, dapat dikatakan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Bali melalui Perda tersebut tidak mampu memberikan informasi yang lengkap, terang dan jelas kepada
125
masyarakat khususnya produsen, distributor dan penjual minuman beralkohol tentang kewajiban untuk melakukan pendaftaran minuman beralkohol yang akan diedarkan masyarakat, karena jelas minuman beralkohol bukan merupakan minuman yang bisa dikecualikan untuk didaftarkan . Informasi inilah yang tidak tercantum dalam Perda 5 tahun 2012 sehingga para produsen, distributor dan penjual hanya mengurus label edar minuman beralkohol sesuai ketentuan perda tanpa pernah tahu bahwa minuman berakohol yang tidak memiliki nomor pendaftaran tidak boleh diedarkan ke masyarakat
126
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan Berdasarkan pembahasan dan hasil analisa yang diuraikan penulis sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Secara Normatif dalam Perda Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Bali jelas-jelas tidak merujuk tentang kewenangan BPOM untuk melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali (norma kosong). Padahal jelas Badan POM memiliki kewenangan di seluruh Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol menurut Permenkes No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan mewajibkan semua
makanan yang akan diedarkan di masyarakat harus
didaftarkan terlebih dahulu ke Badan POM guna memperoleh nomor pendaftaran makanan tak terkecuali untuk produk olahan rumah tangga seperti minuman beralkohol dan susu. Dalam Permenkes tersebut Badan POM telah menetapkan standar-standar mutu minuman beralkohol yang boleh di edarkan atau dipasarkan, sehingga memenuhi aspek kesehatan dan keselamatan pangan bagi masyarakat.
126
127
2.
Pemerintah Daerah Bali dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Pengawasan
dan
Pengendalian
Minuman
Beralkohol
tidak
memberikan kepastian hukum bagi Produsen, distributor dan penjual minuman beralkohol, karena
para
produsen, distributor dan penjual
minuman beralkohol baik impor maupun produksi dalam negeri walaupun telah memiliki label edar tetap terjaring razia atau terkena sanksi yang dilakukan Badan POM karena minuman tersebut tidak memiliki nomor pendaftaran makanan dan minuman yang dicantumkan di label kemasannya. Demikian juga sebaliknya Badan POM juga tidak bisa mengenakan sanksi yang tegas pada karena
distributor, pengecer dan penjual minuman beralkohol
berdalih mereka telah memperoleh label edar dari Pemerintah
Provinsi Bali, sesuai ketentuan Peraturan Daerah No 5 tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
5.2. Saran Bahwa terhadap simpulan tersebut di atas, maka dapat penulis sarankan sebagai berikut : 1. Dilakukan perubahan terhadap Perda Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman beralkohol di Bali yang selama ini jelas-jelas tidak mengatur tentang kewenangan Badan POM untuk melakukan pegawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Bali (norma kosong).
128
2. Dalam Perubahan Perda Nomor 5 Tahun 2012 tersebut harus merujuk pada ketentuan dalam Undang – Undang Pangan dan Peraturan Menteri Kesehatan No.382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan. Dengan diwajibkan mendaftarkan makanan dan minuman sehingga memperoleh nomor pendaftaran makanan dan minuman, pada Menteri Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan sehingga makanan dan minuman tersebut telah dinyatakan layak untuk dikomsumsi dan diedarkan dimasyarkat.
129
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Akkermaans, PWC, dkk., 1985, Algemene Begril Peraturan Pemerintahen Van Staats Recht, deel I, W.E.J. Tjeen Willink Zwolle. Ali , Ahmad, SH. MH. 1996, Menguak Tabir Hukum; Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anwar, Saiful, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press. Asshiddiqie, Jimly, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Attamimi, A. Hamid S 1990, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Negara, Suatu Study Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita V, Direksi Unit Indonesia Jakarta. -----------------, 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia-Suatu Tinjauan Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Guru Besar, FH. UI Jakarta Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminstrasi di Indonesia, Bandung, cet-ke 1. Badan POM, 2012, Profil BP POM (Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Denpasar), ----------------------, 2004, Pedoman Pola Tindak Lanjut Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Obat dan Makanan.
Dicey, AV, 1968, Introduction to Study of The Law of constitution, Mc Millan & Co.Ltd. London E.Utrech, 1960, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Penerbit FHPM Univ Padjajaran Bandung.
130
Farida, Maria, 2007, Ilmu Perundang-undangan 1, Janis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta. -----------------, 2007, Ilmu Perundang-undangan 2, Proses, dan teknik pembentukannya Kanisius, Yogyakarta. Firmansyah DKK, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antara Lembaga Negara, Konsorsiun Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), jakarta, Cetakan I. Gautam, Sudargo 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung Alumni. Hadjon, Philipus M. 1997, Penelitian Hukum Normatif (Kumpulan Tulisan), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. ----------------- dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Cetakan kesembilan . ------------------, 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to Indonesian Administrative Law, Gadja Mada University Press, Yogyakarta. HR, Ridwan,. 2008, Hukum Administrasi Negara, PT Grafindo Persada, Jakarta. Ibrahim, Jhony, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publising , Malang. Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar harapan, Jakarta. Jacobini, 1991, An Introduction To Comparative Administrative Law, Ocean Publication inc, New York. J.G, Brower–Schilder, 1998, A Survey of Duth Administrative Law, Ars Aequibiri, Nijmegen, Kusnardi, Moh. dan saragih, Bintan 2000, Ilmu Negara, Edisi revisi, Jakarta, Gaya Media Pratama. Mahfud MD, Moh Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, PT Rineka Cipta, Jakarta. Mahmud, Marzuki Peter, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta.
131
Marbun, S.F. 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta ------------------ dan Md, Mahfud 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan IV, Liberty Yogyakarta. Muhamad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan penelitian Hukum, Cet 1. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Multosudarmo, Suwoto, 19997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakata Mustafa, Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia , PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Morris L., Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Rreaserch in a Nutshell, sevent edition, West Group, st Paul Minn . Nasution, 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Projodikoro, Wirjono 1974, Asas – Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan tesis Ilmu HukumProgram Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar
132
Riswadi, Budi Agus, 2003, hukum internet, UII Pres, Yogyakarta Harun, Rafi dkk , Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi satu tahun Mahkamah Konstitusi: Konstitusi Press.
Sady, Emil J, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Jurnal of Local Administration Overseas. Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo Sujanto, 1986, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia. Sumardjono, Maria S.W. 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum UGM. Sumarto, Hetifah Sj.2003, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Surakhmad, Winarno, tanpa tahun, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik Suryabrata, Sumandi 1989, Metodologi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta Suryana, Achmad., 2003, Kapita Selekta Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, Cet Pertama, BPFE-yogyakarta, Yogyakarta Soekanto, Soerdjono,1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. ----------------- dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemantri, Sri 1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD1945, Alumni, Bandung Uttrech E, 1986, Pengantar Hukum administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas Surabaya Van Wijk H.D. dan Konijnenbelt, Willem, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij LEMMA B .V,Moerbeiboom, Culemborg. Waluyo,
Bambang, 1991, Grafindo,Jakarta.
Penelitian
Hukum
Dalam
Praktek,
Sinar
133
II. MAKALAH /MAJALAH Attamimi, A Hamid S 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia-Suatu Tinjauan Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Guru Besar, FH. UI Jakarta. KRHN, Hasil diskusi “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amendemen UUD 1945” Jakarta 9 September 2004 Manan, Bagir, 1994, Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembangunan Nasional, makalah ------------------, 3 September 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad di Bandung. Philipus.
M Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bastuursbevoegheid), Pro Justitia, Tahun XVI, nomor 1 Januari 1998.
------------------, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah, Pelatihan Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya. Purbopranoto, Prof. Kuntjoro “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara” makalah Program Study Megister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu HukumProgram Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Yosa, Pengawasan sebagai sarana penegekan hukum administrasi Negara, Jurnal Depdagri, Kamis, 1 Juli 2010
III. KAMUS Garner, Bryan A, 1999, Black,s Law Dictionary, West Group, St Paul Minn. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
134
IV. INTERNET Ithalabo, blog, Dampak Minuman Keras, Senin 8 Juni 2012. Miras Bukan Lagi Barang Mewah: Harus Dikendalikan dengan UU, by Neo KPPP ASI (Komunitas Pengamat Pengkaji Pengamal Aqidah Syariat Islam) on Sunday, January 15, 2012 at 6:21pm· Travel talk, edisi Minggu 20 -6-2010; Pastika; Bali tak pungut pajak Miras http:// balinews.blog.com PAD+Minuman+beralkohol+di+bali+tahun+2010 T. Gayus Lumbuun, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, http://www.kormonev.menpan.go.id
V. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Keputusan Presiden No 166 Tahun 2000, tentang Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman beralkohol Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1700/B/SK/VII/82 tentang Penolakan Pendaftaran Jenis Tertentu Minuman Keras dan Makanan/ Minuman yang Mengandung Alkohol
135
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.282/ MENKES/SK/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.
382/MENKES/PER/VI/1989
tentang
Pendaftaran Makanan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/MEN.KES/PER/ XII/76 tentang Produk dan Peredaran Makanan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 59/MEN.KES/PER/II/82 tentang Larangan Peredaran, Produksi, dan Mengimpor Minuman Keras yang Tidak Terdaftar pada Departemen Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 86/MEN.KES/PER/IV/77 tentang Minuman Keras Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 71/M-IND/PER/7/2012 tentang Pengendalian dan Pengawasan Produksi Minuman Beralkohol Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Provinsi Bali Pedoman Cara Distribusi Makanan Yang Baik (CDMB) 1996. Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Departemenen Kesehatan RI Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 03.1.5.12.11.09956 Tahun 2011 tentang Tata Laksana Pendaftaran Pangan Olahan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan
136
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 00.05.72.4473 Tahun 2004 tentang Prosedur Tetap Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Obat dan Makanan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 00.05.72.4472 Tahun 2004 tentang Pedoman Pola Tindak Lanjut Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Obat dan Makanan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 00.05.23.1455 tentang Pengawasan Pemasukan Pangan Olahan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 05018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan Tindak Lanjut Pengawasan dan Keamanan Pangan POM-03.SOP.17 Badan POM RI Keputusan Bersama antara POLRI dan BADAN POM tentang Peningkatan Hubungan Kerjasama dalam Rangka Pengawasan dan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Obat dan Makanan, Jakarta 16 Agustus 2002 Kesepakatan Bersama Badan POM RI dengan Gubernur Bali tentang Kemitraan Dalam Pengawasan Obat dan Makanan