Ketimpangan Utara-Selatan Dalam Globalisasi Wasisto Raharjo Jati Novel “Peri Kecil di Sungai Nipah”: Potret Pembangunanisme dan Marginalisasi Masyarakat Desa Pada Awal Konsolidasi Kekuasaan Rezim Orde Baru Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah Citra Indonesia di Dunia Internasional Melalui Fotografi: Kajian Kritis atas Orientalisme Hubungan Internasional Fitra Ananta Sujawoto Kebijakan Ketahanan Energi Jepang di Abad 21: Fundamentalisme Negara dan Diversifikasi Sumber Energi Muhammad Faris Alfadh Pendekatan Intermestik Dalam Proses Perubahan Kebijakan: Sebuah Review Metodologis Dyah Estu Kurniawati Terrorism, Islam and International Politics Gonda Yumitro Tinjauan Buku : Problem dan Prospek Hubungan Indonesia-Australia (Pasca Referendum Timor Timur) Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
JURNAL STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang ISSN 2087-8494 Jurnal Studi Hubungan Internasional adalah jurnal ilmiah yang terbit dua kali dalam setahun (setiap bulan Juni dan Desember). Tujuan penerbitan jurnal ini adalah untuk meningkatkan kemampuan analisa terhadap fenomena yang berkaitan dengan hubungan internasional dan studi hubungan internasional serta menyebarluaskan hasil penelitian, konsep serta teori dalam studi hubungan internasional. Penanggung Jawab Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang Pemimpin Redaksi Tonny Dian Effendi, M. Si Redaksi Pelaksana Ayusia Sabhita Kusuma, M. Soc. Sc Anggota Redaksi Gonda Yumitro, M. A Dyah Estu Kurniawati, M. Si Ruli Inayah R., M. Si Distribusi dan Pemasaran M. Syafrin Zahidi, M. A Helmia Asyathri, S. IP Mitra bestari Prof. Suzuki Norio (Aichi University) Abubakar Ebi Hara Ph.D (Universitas Jember) Prof. Madya Dr. Cheng Chwee Kuik (Universiti Kebangsaan Malaysia) Zaini Aubakar Ph.D (Universiti Sains Malaysia) Alamat Redaksi Jurnal Studi Hubungan Internasional Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang GKB I Lantai 6, Jl. Tlogomas 246 malang 65144 Telp. 0341-464318 Ext. 248 Email:
[email protected]
PENGANTAR REDAKSI Assalamu’alaikum Wr. Wb., Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Volume 2 Nomor 2 Tahun 2012, Jurnal Studi Hubungan Internasional (JSHI), Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Muhammadiyah Malang telah terbit. Pada Volume 2 Nomor 2 bulan Desember Tahun 2012 ini, JSHI ini menghadirkan sejumlah tulisan yang berisi isu-isu yang menarik dan strategis dari para akademisi. Jurnal edisi kali ini memuat 7 (tujuh) tulisan. Artikel pertama yang ditulis oleh Wasisto Raharjo Jati menganalisis tentang ketimpangan ekonomi dalam globalisasi. Ketimpangan tersebut terutamanya terwujud dalam fenomena kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan hutang yang meningkat bagi negara dunia ketiga. Implikasi ini mengindikasikan proses globalisasi yang tidak setara antara negara maju dan negara dunia ketiga. negara maju semakin kaya sementara negara miskin semakin miskin. Artikel ini secara lebih mendalam mengelaborasi proses globalisasi antara negara maju dan negara dunia ketiga. Artikel kedua, masih berkaitan dengan fenomena ketimpangan dalam potret pembangunanisme yang secara kasuistik dialami Indonesia sebagai negara sedang berkembang ditulis oleh Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah. Artikel ini menganalisis fenomena melalui bedah novel yang menceritakan tentang proses konsolidasi ekonomi politik pada awal rezim Orde Baru (1966-1971). Tulisan ini menjelaskan bahwa praktek-praktek sebuah ideologi politik asing yang tidak sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat setempat akan melahirkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat tersebut. Artikel ketiga, ditulis oleh Fitra Ananta Sujawoto juga berupaya mengkritisi hegemoni barat melalui pencitraan bangsa Barat terhadap bangsa Timur di era kolonial yang dilanggengkan hingga saat ini di berbagai media, salah satunya fotografi. Indonesia, sebagai salah satu negara postkolonial juga memiliki citra warisan kolonial Barat yang masih melekat. Pelanggengan citra dikotomis antara Barat-Timur menandakan bahwa ideologi orientalisme melenggangkan mitos-mitos oposisi biner dalam aspek ras, kelas, dan gender yang memposisikan Indonesia sebagai bangsa Timur yang inferior dan bangsa Barat sebagai yang superior dalam dunia internasional. Artikel keempat, mengenai pentingnya ketahanan dan keamanan energi ditulis oleh Faris Al Fadh. Kebijakan ketahanan Jepang di era sistem internasional yang kompetitif, terutama dengan munculnya dua kekuatan besar China dan India di Asia membuat Jepang secara agresif melakukan strategi pengamanan pasokan energi. Strategi pengamanan energi tersebut adalah menggunakan diversifikasi penggunaan energi dan kebijakan efisiensi, serta mencari alternatif dari Rusia dan Asia Tengah. Politik energi Jepang ini pula menyumbang kepada semakin dinamisnya peta geopolitik dan geoekonomi di kawasan Asia Pasifik. Artikel ke lima ditulis oleh Dyah Estu Kurniawati. Artikel ini mencoba melakukan review metodologis pendekatan internasional dan domestik (intermestik) terutamanya dalam konteks perubahan kebijakan oleh suatu negara. Sebuah terobosan yang menganalisis proses perubahan kebijakan dengan menggunakan pendekatan domestik, pendekatan internasional dan pendekatan
transnasional. Pendekatan intermestik ini semakin memperkaya khazanah keilmuan HI dalam menganalisa kompleksnya fenomena dalam era globalisasi. Artikel ke enam ditulis oleh Gonda Yumitro melakukan analisis tentang terorisme dan islam dalam politik internasional terutamanya paska serangan 11 September 2001. Gonda menganalisis bahwa Islam mendapatkan imej buruk yang seakan-akan merupakan ideologi dibalik serangan para teroris. Ideologi Islam dan juga negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim menurutnya bahkan menjadi korban dari kampanye perang melawan terror oleh Amerika Serikat dikarenakan kepentingan yang dipaksakan ke seluruh dunia. Nomor ini ditutup dengan tinjauan buku yang ditulis oleh Demeiati Nur Kusumaningrum, dengan judul buku “Problem dan Prospek Hubungan Indonesia-Australia (Pasca Referendum Timor Timur). Menurut Demeiati buku ini merunut perkembangan hubungan Indonesia-Australia yang cukup fluktuatif. Bahwa kondisi geografis, latar belakang sejarah, sistem politik, sosial budaya, dan konsep pertahanan keamanan kedua negara yang relatif berbeda menentukan “gap” dalam perumusan kebijakan luar negeri. Buku ini secara keseluruhan juga menjelaskan faktor-faktor yang menjadi tantangan hubungan Indonesia-Australia dan prediksinya di masa depan. Beberapa artikel dan satu tinjauan buku dalam nomor kali ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi perkembangan studi Hubungan Internasional khususnya di Indonesia. Redaksi mengucapkan banyak terimakasih kepada para kontributor pada Jurnal Studi HI edisi kali ini yang telah menunggu lama untuk artikelnya diterbitkan. Semoga jurnal ini bermanfaat dan memperkaya studi Hubungan Internasional. Redaksi juga mengharapkan kiriman naskah-naskah akademik terkait Studi HI. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Malang, 27 Desember 2012 Redaksi
ii
Daftar isi Kata Pengantar .................................................................................................................................. i Daftar Isi ............................................................................................................................................ iii Ketimpangan Utara-Selatan Dalam Globalisasi Wasisto Raharjo Jati ........................................................................................................................... 83 Novel “Peri Kecil di Sungai Nipah”: Potret Pembangunanisme dan Marginalisasi Masyarakat Desa Pada Awal Konsolidasi Kekuasaan Rezim Orde Baru Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah ......................................................................................... 103 Citra Indonesia di Dunia Internasional Melalui Fotografi: Kajian Kritis atas Orientalisme Hubungan Internasional Fitra Ananta Sujawoto ....................................................................................................................... 118 Kebijakan Ketahanan Energi Jepang di Abad 21: Fundamentalisme Negara dan Diversifikasi Sumber Energi Muhammad Faris Alfadh.................................................................................................................... 142 Pendekatan intermestik dalam proses perubahan kebijakan: Sebuah review metodologis Dyah Estu Kurniawati ......................................................................................................................... 154 Terrorism, Islam and International Politics Gonda Yumitro ................................................................................................................................... 168 Tinjauan Buku Problem dan Prospek Hubungan Indonesia-Australia (Pasca Referendum Timor Timur) ............. 178
iii
KETIMPANGAN UTARA-SELATAN DALAM GLOBALISASI Wasisto Raharjo Jati 1 Abstract This article aims to analyze the economic inequality in globalization. Inequality resulted poverty, income inequality, and debt increased for a third world country. These Implications indicates the unequal process about globalization between developed countries and the third world countries. Developed countries getting richer meanwhile third world countries get poorer. This article will elaborate more depth the process of globalization between developed countries and the third world countries. Keywords : globalization ; developed countries ; third world countries ; economic inequality Abstraksi Artikel ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan ekonomi dalam globalisasi. ketimpangan tersebut menghasilkan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan hutang yang meningkat bagi negara dunia ketiga. Implikasi tersebut mengindikasikan proses globalisasi yang tidak setara antara negara maju dan negara dunia ketiga. negara maju semakin kaya sementara negara miskin semakin miskin. Artikel ini secara lebih mendalam akan mengelaborasi proses globalisasi antara negara maju dan negara dunia ketiga. Kata-kata Kunci : globalisasi ; negara maju ; negara dunia ketiga ; ketimpangan ekonomi
1
Alumni Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM, bisa dihubungi di email
[email protected]
83
Pendahuluan Dalam kajian ekonomi politik internasional, relasi utara-selatan merupakan premis mendasar dalam melihat ketimpangan dan marjinalisasi di negara dunia ketiga. Utara-Selatan atau dalam istilah populernya dikenal sebagai global north dan global south merupakan dikotomi yang mewakili adanya divergensi yang terdapat dalam arena globalisasi. Isu Utara-Selatan dalam globalisasi setidaknya penting di awal untuk dibicarakan mengingat isu ini menjadi krusial paska perubahan geopolitik dunia pada tahun 1990-an dengan ditandainya Blok Barat memenangi perang ideologi dengan Blok Timur sehingga memunculkan globalisasi sebagai bentuk westernisasi nilainorma Barat. Barat kemudian tampil menjadi kekuatan superior dalam perekonomian terlebih setelah perdagangan bebas diberlakukan pada 1994 seiring dengan disahkannya NAFTA yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya blok perdagangan bebas lainnya. Hal lain yang menjadi faktor penting adalah Konferensi WTO di Doha pada 2001 dimana terdapat standar ganda dalam aturan perdagangan dunia dimana negara dunia ketiga dikenai aturan pengurangan tarif ekspor dan dilarang melakukan proteksionisme pasar agar komoditas negara maju bisa masuk secara bebas dan leluasa. Sedangkan bagi negara maju tetap mengenakan hambatan tarif bagi komoditas negara dunia ketiga dan mengenakan proteksi terhadap produk pertanian negara dunia ketiga yang merupakan penopang pendapatan nasional utama. Oleh karena itulah dengan mencermati aturan tersebut, polarisasi dunia kini tidak lagi berkutat pada perseteruan idelogi antara Barat (kapitalis) dengan Timur (komunis) akan tetapi lebih pada persoalan ketimpangan ekonomi antara Utara (negara maju/kaya) dengan Selatan (negara berkembang/miskin) 2. Globalisasi yang telah dibahas merupakan gelombang modernisasi maupun kapitalisme sekaligus juga pembaharuan gagasan neoklasik dengan konteks liberalisasi dan fundamentalisme pasar. Maka negara yang memegang kendali dua hal tersebutlah yang menjadi aktor utama dalam globalisasi. Mengenai faktor neoklasik tersebut, terbentuknya Utara-Selatan sendiri tidak terlepas dari legasi imperialisme Eropa Barat terhadap berbagai negeri di Asia, Afrika, dan Amerika Latin merupakan implikasi kebijakan dari teori ekonomi klasik yang mengemukakan bahwa proses reproduksi dan akumulasi akan terhenti apabila pasaran barang sudah menjadi terbatas 3. Hal inilah yang kemudian mendorong adanya ekspansi pasar dalam menemukan daerah pemasaran baru untuk dimaksimalkan profitnya sehingga terjadilah akumulasi kapital. Logika inilah yang kemudian menjadi pionir dasar dalam globalisasi dimana esensi lintas batas (trans border relations) maupun nirbatas (open border relations) lebih dimaknai sebagai intensifikasi pasar yang semakin mendalam (deepen) dan melebar (stretching) merupakan proses bekerjanya globalisasi. Oleh karena itulah, karena sudah menjadi proses sejarah, keberadaan globalisasi menjadi tidak bisa dihindari dan terelakkan. Hal itulah mengapa global north dan global south masih relevan diperbincangkan dalam mengkaji globalisasi kontemporer. Beberapa akdemisi kritis juga konsen dengan dikotomi tersebut dalam analisis globalisasi seperti halnya John Glenn (2007) Globalization : North-South Perspective, Jan Nederveen Pieterse (2004) Globalization or Empire, maupun Martin Khor (2005) Globalisation 2 3
Jane Pollard, Cheryl McEwan, Postcolonial Economies, New York : Zed Books, 2011,hlm. 124. Arif, Sritua, Negeri Terjajah : Menyingkap Ilusi Kemerdekaan, Yogyakarta : Resist Books, 2006, hlm. 52.
84
and the South: Some Critical Issues. Mayoritas ketiga akademisi menilai proses globalisasi yang konon katanya membawa semangat modernitas baru yang lebih egaliter dan membawa dampak universal, namun menimbulkan adanya divergensi antara kawasan utara yang notabene merupakan negara maju dan kawasan selatan yang menyimbolkan negara dunia ketiga. Glenn menilai divergensi tersebut merupakan bentuk ketidaksanggupan bagi negara Selatan untuk bersaing ekonomi secara terbuka dengan Utara yang notabene negara kaya dan maju 4. Ketidaksanggupan tersebut terjadi lantaran krisis hutang yang mendera ditambah progam penyesuaian ekonomi yang disarankan IMF dan Bank Dunia tidak berjalan dengan baik. Tidak jauh berbeda dengan Glenn, Khor menganalisis divergensi Utara-Selatan tersebut terjadi karena dominasi pelaku ekonomi internasional (IMF, MNCs, WTO, dan Bank Dunia) yang terlalu kuat dalam mempengaruhi kebijakan perekonomian nasional Selatan 5. Akibatnya adalah perekonomian domestik yang dijalankan borjuasi lokal kalah bersaing dengan borjuasi asing yang ikut masuk berinvestasi memperebutkan kue globalisasi. Sementara bagi Pieterse menilai divergensi Utara-Selatan muncul karena adanya benturan (clash) dua peradaban yang berbeda yang tidak adil dan seimbang karena terdapat benih-benih konflik yang diakibatkan pengalaman panjang kolonialisme 6. Hal inilah yang membuat globalisasi sendiri dimaknai secara hierarkis dan bukannya universal-pluralis sebagaimana yang diajarkan ajaran modernitas. Terdapat ruang hierarkis yang terpola secara vertikal dalam arena tersebut dimana makna saing-bersaing dalam globalisasi berubah menjadi makna kuasa-menguasai. Maka secara garis besar, tulisan dalam paper ini akan membedah konteks Selatan dalam globalisasi terlebih dahulu. Lalu dilanjutkan dengan pembahasan kedudukan Selatan dalam geopolitik dunia dan selanjutnya bagaimana tantangan yang dihadapi Selatan dalam globalisasi. Selatan tidaklah dimaknai secara harfiah sebagai arah mata angin saja, namun dalam konteks ilmu politik, Selatan merefleksikan suatu pertentangan dalam relasi geografis tertentu dimana terdapat kesenjangan yang perlu diulas disana. Konteks Negara Selatan (South) dalam Geopolitik Dunia Membincangkan masalah negara kawasan Selatan dalam kondisi globalisasi kontemporer tidaklah terlepas dari kondisi pembilahan kondisi klasifikasi dunia paska Perang Dunia II berakhir pada tahun 1950 yang kemudian memunculkan tiga kelas negara yakni negara dunia pertama yang mewakili Blok Kapitalis Barat, negara dunia kedua yang menyimbolkan Blok Komunis Timur, dan negara dunia ketiga yang merupakan kelompok netral / non-blok. Adapun pengklasifikasian tersebut didasarkan pada kondisi perekonomian masing-masing negara dimana negara dunia pertama berada di level puncak dalam perekonomiannya, negara dunia kedua berada di level menengah, dan negara dunia ketiga yang berada di level bawah.sehingga bisa dikatakan masih lemah perekonomiannya dan umumnya penduduknya mayoritas miskin. Adalah Alfred Sauvy, seorang ahli demografis Prancis yang mempopulerkan ketiga istilah tersebut yang terinspirasi dari masyarakat pra revolusi Prancis yang dikenal dengan “tiers etat” yakni kelas pertama biarawan, kelas kedua bangsawan, dan kelas ketiga borjuasi. Adapun konsep “tiers etat” mengalami perubahan paska revolusi Prancis pada abad 18 dimana kekuasaan oligarkis yang 4
Glenn, John, Globalization : North-South Perspective, London : Routledge., 2007, hlm. 112. Khor, Martin, Globalisation and the South: Some Critical Issues, Penang Third World Networks, 2005, hlm. 85. 6 Pieterse, Jan Nederveen, Globalization or Empire, London : Routledge, 2004, hlm. 108. 5
85
dikuasai biarawan dan bangsawan dikuasai sepenuhnya oleh kekuatan borjuasi. Dalam konsep “tiers etat” yang terbaru, borjuasi menempati kelas masyarakat pertama, birokrasi menempati kelas kedua, dan buruh menempati kelas ketiga yang diasosiasikan sebagai kelas masyarakat miskin dan termarjinalkan secara ekonomi (economic excluded). Sauvy kemudian merefleksikan kondisi kelas ketiga itu terhadap kondisi negara-negara baru paska dekolonialisasi Eropa yang perekonomiannya masih chaotic paska revolusi kemerdekaan 7. Oleh karena itulah dari analogi Sauvy tersebut, kita bisa melihat bahwa konstruksi miskin dan masih berkembang melekat pada kondisi negara dunia ketiga dalam konteks geopolitik dunia. Miskin dan masih berkembang membutuhkan adanya pembangunan dan perlu dimodernisasi, begitulah yang menggelayut di alam pikiran para petinggi dunia pertama dan dunia kedua untuk memperebutkan pengaruhnya di negara dunia ketiga. Dengan kata lain yang menjadi pengetahuan publik tentang dunia ketiga adalah entitas geopolitik warisan kolonialisme dan tersubordinatkan dalam sistem kapitalisme dunia dengan kondisi negaranya yang masih miskin dan ekonominya masih berkembang 8. Namun demikian tak selamanya kondisi miskin dan masih berkembang melekat pada konstruksi dunia ketiga, akan tetapi juga munculnya semangat resistensi yang dikumandangkan para pemimpin dunia ketiga seperti Soekarno, Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah, maupun Gamal Abdul Nasser yang membentuk sikap oposisi terhadap segala bentuk pengaruh asing yang dianggap sebagai bentuk neokolonialisme dan netralitas terhadap blok (non-alignment). Jadi dalam membahas kondisi paska kolonial yang dihadapi negara dunia ketiga, negara dunia ketiga sendiri menghadapi dilema antara resistensi terhadap pengaruh asing dan mengalami dominasi ekonomi asing. Gambar 1. : Peta Geopolitik Dunia 1945-1991
Keterangan : Biru (Negara Dunia Pertama), Merah (Negara Dunia Kedua). Hijau (Negara Dunia Ketiga) Sumber : upload.wikimedia.org/wikipedia/commonsCold_War_alliances_mid-1975.svg
7
Jacqueline Stevens, “Recreating the State”, Third World Quarterly 27:5 (2006), hlm 755-766. Mark Berger, “After The Third World ? History, Destiny, and The Fate of Third Worldism”, Third World Quarterly 25 : 1 (2004), hlm 9-39.
8
86
Istilah “negara dunia ketiga” (third world countries) sendiri untuk menyebutkan dilema tersebut kurang lebih menimbulkan perdebatan multiintepretasi.). Istilah dunia ketiga masih kurang menonjolkan dimensi ketimpangan dan marjinalisasi yang diakibatkan ekspansi kapitalisme global 9. Hal ini mengingat konteks dunia ketiga yang mewakili kawasan Trikontinental yakni Asia, Afrika, dan Amerika Latin ini banyak mengalami perubahan signifikan terutama pada era 60-80an. Perubahan tersebut meliputi masuknya negara-negara Asia dan Amerika Latin menjadi negara dunia kedua / pengikut blok komunis seperti halnya China, Vietnam, dan Kuba maupun yang beralih fungsi menjadi negara dunia pertama / negara kapitalis seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan yang menjadi negara industrialisasi baru (newly industrializing countries) sehingga memunculkan sebutan Macan Asia. Macan Asia sendiri setidaknya menjadi anomali dalam membahas ketimpangan dan marjinalisasi dunia ketiga. Macan Asia tidak terlepas dari kondisi internal pemerintahan negaranegara tersebut yang mengkombinasikan model pembangunan neoliberal berbasiskan pada produk lokal dengan penguasaan teknologi 10. Penguasaan teknologi menjadi kata kunci untuk menjawab fenomena Macan Asia. Mereka sadar bahwa kondisi negaranya tidak dikaruniai sumber daya alam sehingga lebih terpacu untuk menguasai perkembangan teknologi dan informasi. Sementara Asia Timur sibuk pada teknologi dalam membangun ekonomi, Amerika Latin dan Afrika lebih memperkuat eksploitasi sumber daya alamnya sebagai basis pembangunan ekonomi. Hal itulah yang kemudian menimbulkan transformasi ekonomi dimana Asia Timur mampu meningkatkan daya saing ekonomi sehingga mampu mereduksi “kutukan” ketimpangan dan marjinalisasi ekonomi sedangkan Amerika Latin dan Afrika semakin terjerembab pada ketimpangan dan marjinalisasi ekonomi karena daya saing ekonomi mereka melemah karena hasil sumber daya alam dihargai lebih rendah daripada produk olahannya. Lebih dari itu, Amerika Latin dan Afrika juga tidak mempunyai basis teknologi untuk mengolah sumber daya alam sehingga kian terjerembab pada ketimpangan tersebut. Oleh karena itulah, pengalamatan kondisi ketimpangan dan marjinalisasi dalam geopolitik dunia tidaklah lagi merujuk pada letak geografis yang selama ini menjadi pakem, akan tetapi ketimpangan sendiri kini lebih dikarenakan kondisi perekonomian dan pendapatan nasional. Maka untuk menjembatani hal tersebut dan mengatasi kebingungan itu, Willy Brandt (1980) dalam North– South: a programme for survival mengembangkan model Utara-Selatan sebagai bentuk personifikasi ketimpangan dan marjinalisasi tersebut. Utara diidentikkan dengan “negara dunia pertama” merupakan negara maju / kaya dengan penguasaan teknologi sedangkan Selatan diidentikkan dengan “negara dunia ketiga” yang miskin dan dalam tahap berkembang dalam membangun ekonominya 11. Maka dikotomi Utara-Selatan sendiri juga identik dengan dikotomi negara maju (developed countries) dan negara berkembang (developing countries) dengan tolok ukur kemajuan pembangunan ekonomi yang menjadi tolok ukurnya. Brandt menyebutkan bahwa negara Selatan yang umumnya merupakan negara bekas jajahan mengalami masalah pelik dalam membangun ekonomi dan memerlukan dukungan Barat untuk hadir memberikan asistensi di sana.
9
Berberoglu, Berch, Globalization in The 21st Century, New York, Palgrave, 2010, hlm 56. Berger, Mark, The Battle of Asia : From Decolonization to Globalization, London : Routledge, 2004, hlm 114. 11 Therien, Jean-Philippe, “Beyond the North-South divide: thetwo tales of world poverty”, Third World Quarterly 20:4 (1999), hlm 723-742. 10
87
Gambar 2. : Peta Geopolitik Dunia 1991-sekarang
Keterangan : Biru (Negara Utara / Maju) dan Abu-Abu (Negara Selatan / Miskin) Sumber : en.wikipedia.org/wiki/File:Developed_nation
Laporan Brandt tersebut tentang Utara-Selatan tersebut berkembang menjadi inisiatif mayoritas dan dokumen kunci bagi para elite politik negara maju untuk mengatur (managing) perekonomian negara dunia ketiga. Dimensi “pengaturan” tersebut meliputi pengabdosian konsep pasar bebas dan deregulasi negara karena menilai selama ini pasar tidak berkembang bebas karena diintervensi negara, biarkan swasta asing masuk berinvestasi membangun ekonomi, dan liberalisasikan semua barang publik menjadi barang privat. Adapun konteks pengaturan tersebut menjadi diskursus yang hegemonik karena didukung secara politis (backed up) oleh lembaga dunia seperti ILO, UNCTAD, UNDP, Bank Dunia, maupun IMF sehingga konteks pengaturan ini kemudian menjadi lancar dengan mengatasnamakan pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, padahal sejatinya untuk mengeruk kekayaan negara-negara dunia ketiga. Hal yang bisa kita mengerti tentang makna Selatan dalam konteks geopolitik dunia adalah kondisi dilematis antara dominasi dan resistensi yang dihadapi negara yang notabene merupakan negara paska kolonial. Resistensi merupakan cara membangun ekonomi secara mandiri tanpa campur tangan asing, namun tidak punya modal dan faktor produksi yang kuat. Sementara dominasi adalah negara mengalami pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang pesat, namun karena adanya campur tangan negara maju yang kuat dalam perekonomian nasional. Maka di antara dilema dominasi dan resistensi tersebut, saya ingin menilai bahwa konteks pembangunan menjadi krusial dibicarakan dalam pemaknaan Selatan dalam konteks globalisasi sekarang ini. Pembangunan merupakan kata kunci penting bagaimana kita memahami selanjutnya dikotomi Utara-Selatan karena pembangunan merupakan cara ampuh mereduksi ketimpangan dan marjinalisasi tersebut. Dalam hal ini ada banyak uraian ulasan perspektif untuk menjelaskan mengapa Selatan mengalami ketertinggalan pembangunan dengan Utara yang akan saya jelaskan dalam tulisan sub-bab berikutnya.
88
Dikotomi Core-Periphery sebagai Ketimpangan Pembangunan Selatan Pembangunan diidentikkan dengan linearitas perkembangan peradaban suatu bangsa dan masyarakat. Logika linearitas tersebut menuntun pemahaman kita bahwa pembangunan adalah bagian tidak terpisahkan dari pergerakan kehidupan yang senantiasa bergerak maju. Maka, membincangkan masalah pembangunan sendiri identik dengan proses historis karena pada esensinya pembangunan merupakan kritik atas kondisi masyarakat yang masih feodalistik. Karakteristik ekonomi feudal berbasis hasil agrikultural mengalami stagnasi karena keterbatasan modal dan faktor produksinya yang sepenuhnya dikontrol oleh negara melalui biarawan dan bangsawan. Kapitalisme kemudian hadir sebagai ideologi pembebasan yang kemudian menjadikan dimensi pembangunan menjadi lebih dinamis dan efisien dikarenakan semua orang bisa berekspresi secara bebas dalam proses pembangunan . Hal inilah kemudian memuntun adanya spesialisasi dan penemuan teknologi terbaru sehingga menjadikan kapitalisme menjadi model utama pembangunan ekonomi suatu negara. Namun demikian, pembangunan ekonomi berbasis kapitalisme menjadi dilematis manakala kapitalisme sendiri diterapkan di kawasan non Eropa-Amerika yang notabene kondisi sosioekonominya jauh berbeda dengan Eropa. Kapitalisme hadir di kawasan Selatan dalam bentuk pembentukan koloni sebagai bentuk aplikasi ekonomi neo-klasik yakni mencari pasar dan mengamankan faktor produksinya di luar dan penduduk domestik hanya menikmati hasil pembangunan yang kecil dari ekspansi kapitalisme tersebut karena minimnya modal dan faktor produksi. Hal inilah yang kemudian yang menjadikan pembangunan menjadi kontradiksi untuk dibicarakan dalam berbagai kasus-kasus pembangunan di kawasan negara paska kolonial dan salah satu bentuk riil dari kontradiksi tersebut adalah dikotomi pusat (core)-pinggiran (periphery) yang hingga kini masih menjadi perdebatan menghangat di kalangan akademisi dunia ketiga terlebih dalam masa globalisasi kini dimana core-periphery tersebut menunjukkan adanya polarisasi kesejahteraan dan kemakmuran antar berbagai negara dunia. Penjelasan mengenai core-periphery untuk mengetahui kondisi ketimpangan dan marjinalisasi pembangunan ekonomi dapat kita tinjau dari berbagai perspektif mainstream yang kritis terhadap implementasi globalisasi di dunia ketiga terutama pendekatan historis-materialis maupun strukturalis. Ditinjau secara historis, dikotomi core-periphery sendiri diintrodusir oleh Raul Prebisch pada tahun 1945, seorang ekonom Argentina dari Economic Commission for Latin America (ECLA) yakni sebuha organisasi internasional di bawah naungan PBB untuk mempromosikan pembangunan dan modernisasi di Amerika Latin. Prebisch menilai dikotomi core-periphery tersebut tercipta karena pola pertukaran tak seimbang (unequal exchange) antara negara pusat dan pinggiran dalam perdagangan internasional. Perukaran tersebut terindikasi dari negara dunia ketiga harus mengekspor barang mentah sebanyak mungkin untuk bisa melanjutkan impor barang industri / komoditas olahan dalam jumlah sama. Dari situ kemudian, terjadi gaps antara barang mentah dan barang jadi dimana negara pusat memperoleh nilai surplus sementara negara pinggiran mendapatkan nilai defisit dari interaksi perdagangan tersebut. Adapun saran Raul Prebisch tentang Industrialisasi Substitusi Impor (ISI) untuk menekan ketimpangan tersebut menjadi sia-sia karena negara pinggiran mengalami ketergantungan ekonomi terhadap barang modal dan teknologi dari negara pusat untuk membangun perekonomiannya.
89
Ditinjau dari gagasan ekonomi-politik klasik, core-periphery sebagai bentuk ketimpangan pembangunan ekonomi bagi Utara-Selatan menjadi concern bagi beberapa pendekatan historikomaterialis seperti teori ketergantungan, teori sistem dunia, maupun teori pertukaran tidak seimbang. Bagi pandangan teori ketergantungan Marxis seperti Andre Gunder Frank, Theotonio Dos Santos, Rudolfo Stavenhagen, Vasconi, Ruy Mauro Marini dan F.H. Cardoso menilai core-periphery sendiri berasal struktur eksternal dunia yakni dalam konteks ekspansi kapitalisme asing ke berbagai penjuru dunia yang menimbulkan kontradiksi. Adapun kontradiksi tersebut hal yang dibutuhkan bagi pembangunan ekonomi berbasis kapitalisme dimana selalu ada pihak yang kalah dan menang dalam kompetisi bebas. Masalahnya ialah kompetisi dan kalah-menang tersebut terjadi dalam konteks yang timpang dimana terjadi perbedaan faktor produksi yang mencolok antara negara pusat yang sudah berada dalam “pendewasaan ekonomi” (economic maturity) dan pinggiran yang masih dalam pergulatan antara pra-kapitalis menuju kapitalis. Akibatnya surplus pembangunan sendiri lebih lebih banyak ke pusat daripada ke pinggiran. Oleh karena itulah, pembangunan (development) sendiri berlaku bagi negara pusat dan keterbelakangan (underdevelopment) bagi negara pinggiran. Revolusi sosialisme bagi kelompok teoritikus ini merupakan cara untuk memutus core-periphery melalui penyitaan aset / nasionalisasi swasta asing yang merupakan akar ketimpangan tersebut. Adapun bagi teoritikus ketergantungan neo marxis seperti Celso Furtado, Halio Jaguaribe, Anibal Pinto dan Osvaldo Sunkel menilai dimensi core-periphery ini tercipta dari kondisi intern negara yang kemudian menciptakan borjuasi komprador. Munculnya borjuasi komprador yang merupakan warisan kolonialisme ekonomi masa lampau dituding menjadi akar ketimpangan dimana perannya sebagai agency yang memuluskan transfer surplus dalam skala besar ke negara pusat. Adapun mental inlander yang diperlihatkan oleh borjuasi komprador yang notabene merupakan borjuasi domestik yang lebih melayani kepentingan asing daripada kepentingan nasional dikarenakan laba yang mereka peroleh lebih besar dari perdagangannya dengan pihak asing daripada di negeri sendiri yang perekonomiannya tidak stabil. Maka hal yang bisa dapat dilakukauna untuk memutus core-periphery tersebut adalah dengan “menghapuskan” borjuasi komprador tersebut dengan memperkuat borjuasi-borjuasi nasional yang didukung eksistensinya oleh negara dalam mengelola pasar dan perekonomian. Sedangkan bagi teoritikus sistem dunia dan pertukaran tidak seimbang seperti Barry K. Gills, Immanuel Wallerstain, dan Samir Amin, konteks core-periphery tercipta karena sistem dunia yang tersusun atas negara metropolis dan negara satelit.Sistem dunia merupakan proses historis ekspansi kapitalisme yang menghasilkan pembangunan (development) bagi negara metropolis dan keterbelakangan (underdevelopment) bagi negara satelit dimana antara pembangunan dan keterbelakangan tersebut saling berkorelasi yang merupakan esensi dari pembangunan total kapitalisme. Adanya realita underdevelopment inilah yang dikatakan Samir Amin sebagai bentuk kegagalan pembangunan (maldevelopment) yang terjadi di Selatan. Menurut Amin, kondisi maldevelopment sebagai bentuk relasi eksploitasi yang dihasilkan dari sistem dunia tersebut. Relasi eksploitasi tersebut dikarenakan terjadi pembiaran yang terus-menerus akan pola pertukaran tidak seimbang tersebut 12. Negara Barat berupaya untuk melanggengkan pola tersebut supaya secara kontinu dapat mengeruk laba yang besar. Akibatnya yang terjadi kondisi ekonomi pinggiran di 12
Amin, Samir, Global History : A View From The South., Nairobi : Pambazuka Press, 2011, hlm. 84.
90
Selatan menjadi tidak berkembang monopoli faktor produksi dari Utara sehingga kue pembangunan sendiri tidak merata antara Utara dan Selatan. Maka pada akhirnya tesis trickle down effect yakni kue itu akan merembes hingga bawah tidak terjadi malahan yang terjadi ialah trickle up effect dimana dari hasil ketimpangan tersebut yang eksploitatif tersebut, kekayaan Selatan diabsorsi oleh Utara. Adapun permasalahan core-periphery sendiri coba diangkat dalam berbagai analisis dampak globalisasi kontemporer untuk menjelaskan ketimpangan seperti Ray Kelly (2005) Globalisation and Third Worlds, Ankie Hoogvelt (2001) Globalization and The Postcolonial, maupun Alex Callinicos (2009) Imperialism and Global Economy. Kelly menilai core-periphery terjadi karena minimnya kesempatan bagi negara dunia ketiga / Selatan untuk ikut berandil dalam proses alur kebijakan globalisasi. Utara terlalu mendominasi sepenuhnya lembaga-lembaga dunia sehingga dengan mudah menginternalkan kepentingan nasionalnya menjadi kepentingan global 13. Hal inilah yang kemudian menjadi Utara menjadi kekuatan hegemonik dalam ekonomi global dan menjadikan Selatan hanya menjadi objek dari kebijakan tersebut. Adapun munculnya Utara sebagai kekuatan hegemonik juga mnejadi ulasan Callinicos yang menilai Utara merepresentasikan cara-cara imperialisme dalam relasi ekonomi global. Mekanisme imperialisme Utara melalui mengglobalnya Amerika dalam berbagai urusan perekonomian. Melalui mata uang dollar yang menjadi nilai tukar, penerapan suku bunga The Fed, maupun perdagangan pasar modal baik di Nasdaq maupun NYME, Amerika Serikat tampil sebagai regulator perekonomian dunia 14. Sedangkan bagi Hoogvelt, core-periphery sendiri terjadi karena pola disruptif ekonomi yang ditimbulkan oleh masuknya ekonomi swasta asing ke negara-negara Selatan. Letak disruptifnya terletak pada pelaku pasar yang cirinya antara lain kompromi terhadap pasar, kebijakan pintu terbuka untuk mendorong investasi dan perdagangan internasional, serta berorientasi pada ekspor tanpa memperdulikan penguatan ekonomi nasional dalam globalisasi 15. Selatan menjadi subordinasi bagi desentralisasi kapitalisme yang dilakukan Utara dalam rangka mengefisienkan pola industrialisasinya dengan memindahkannya ke Selatan. Adapun Selatan yang kaya dengan buruh murah dengan kerja maksimal menjadi jalan eksploitasi baru itu. Tentunya kita bisa melihat dari berbagai fenomena yang ada telah menjadi ulasan berbagai aktivis buruh migran maupun aktivis lingkungan dimana penjualan sumber daya yang murah maupun eksploitasi jam kerja buruh dengan sistem “lepas daya” (outsourcing) memberikan dampak destruktif bagi perekonomian. Meskipun secara makro ekonomi, negara mengalami kenaikan pendapatan dan pertumbuhan instan, namun kedua hal itu lebih banyak ditopang oleh kekuatan asing. Akibatnya setelah semuanya terkuras habis, Selatan kemudian menjadi kekuatan impoten dalam percaturan ekonomi dunia dan menempatkan dirinya lagi menjadi abdi asing. Dalam hal ini, dimensi core periphery tidak hanya untuk dibicarakan membahas masalah ketimpangan pembangunan ekonomi Utara-Selatan, namun juga bagaimana kita melihat dimensi riil dalam berbagai aspek lainnya. Sehingga perbicangan UtaraSelatan sendiri tidak cukup hanya berbicara ketimpangan dalam level makro saja, akan tetapi
13
Ray Kiely, Phil Marfleet, Globalisation and Third Worlds, New York : Taylor and Francis Group, 2005, hlm 37. Callinicos, Alex, Imperialism and Global Political Economy, Cambridge : Polity Press, 2009, hlm 188. 15 Hoogvelt, Ankie, 2001, Globalization and The Postcolonial World, London: Palgrave, 2001, hlm 156. 14
91
melihat di sekitar kita. Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan mengajak pembaca bagaimana melihat dimensi riil dari ketimpangan Utara-Selatan tersebut dalam globalisasi sekarang ini. Membincangkan ketimpangan pembangunan sebagai implikasi dari globalisasi di kawasan Selatan perlu dibicarakan dalam bingkai proporsional karena menguak masalah tersebut mengandung kompleksitas tersendiri. Hal ini dikarenakan ada banyak aspek definitif yang bisa diuraikan dalam menjelaskan ketimpangan. Namun dalam tulisan ini, saya ingin mengintrodusir berbagai aspek yang menjadi krusial dibicarakan dalam membicarakan aspek ketimpangan UtaraSelatan diantaranya adalah masalah perdagangan bebas, pendapatan perkapita, dan masalah kemiskinan Ketimpangan Perdagangan Bebas Masalah perdagangan bebas yang tidak adil dan tidak seimbang merupakan skope yang banyak dibicarakan oleh para kritikus globalisasi, salah satunya yang paling vokal adalah Joseph Stiglitz. Stiglitz notabene mantan penasihat ekonomi Presiden Clinton / mantan petinggi Bank Dunia ikut merancang konsep perdagangan bebas pada tahun 1994 kini ikut menjadi barisan terdepan dalam mengkritisi konsep yang dibangunnya tersebut. Joseph Stiglitz dalam Globalization and Discontents menyebutkan aturan perdagangan bebas yang diatur WTO sebenarnya tidak adil dan diskriminatif 16. Stiglitz menyebutkan salah satu ketimpangan yang terjadi adalah dalam kasus perdagangan komoditas pertanian. Dalam putaran perundingan WTO di Doha, isu pertanian global menjadi perdebatan sengit antara negara Utara dan negara Selatan. Sumber perdebatan terletak pada negara – negara Selatan yang dipaksa untuk menghentikan subsidi kepada para petani dan liberalisasi perdagangan pertanian supaya komoditas pertanian negara maju bisa masuk. Sebaliknya terdapat pembatasan terhadap komoditas pertanian negara dunia ketiga untuk memasuki pasar pertanian negara maju karena dikhawatirkan akan menggerus pasar konsumsi domestik. Paska kesepakatan perdagangan bebas WTO di Uruguay, negara Utara mengalami keuntungan berlipat sedangkan negara Selatan mengalami kerugian. Tabel 3: Perdagangan Bebas Pertanian paska Putaran Uruguay tahun 1994 a. In US$ billion b. In Percentage of total global gains Liberalizing Benefiting Agriculture Liberalizing Benefiting Agriculture regions regions and Food regions regions and Food Global North HighIncome 110,5 Global North 43,4 4,4 Global South LowIncome 11,6 Global South 4,6 12,3 All Countries Total 122,1 All Countries 48,0 16,7 Sumber : Hans Biswanger (1999 : 255)
17
Dari hasil pembacaan tabel tersebut, terdapat kontradiksi pendapatan yang melebar antara negara maju dan negara dunia ketiga sebagaimana pemaparan tabel tersebut. Negara maju memperoleh porsi persentase 43,4 persen dengan keuntungan 110,5 juta dollar, sementara negara 16
Stiglitz, Joseph, Globalization and Discontent, New Jersey : Norton Company, 2002, hlm 23. Hans Binswanger, “The Evolution of World Bank’s Land Policy”, World Research Observer 14 : 2 (1999), hlm 249-275. 17
92
dunia ketiga hanya memperoleh sedikit keuntungan 4,6 persen dengan keuntungan 11, 6 %. Ditinjau dari segi keunggulan komparatif, komoditas pertanian negara dunia ketiga memang kalah kualitas dengan produk serupa yang dihasilkan di negara maju. Petani di negara maju disubsidi oleh negaranya 10-15 juta dollar Amerika Serikat setiap tahun meliputi teknologisasi pertanian, penyediaan lahan pertanian yang berhektar-hektar, harga beli pemerintah terhadap komoditas pertanian tinggi, dan kebijakan proteksionisme terhadap produk yang sama dari negara dunia ketiga. Pemerintah negara maju membangun stigma bahwa produk negara dunia ketiga tidak layak konsumsi, mengandung bakteri mematikan, dan jorok pengolahannya demi mengalihkan konsumen memilih produk dalam negeri. Bandingkan dengan yang terjadi di negara dunia ketiga, petani dipaksa bertarung sendirian melawan liberalisasi komoditas negara maju. Petani di negara dunia ketiga lebih banyak merugi daripada untung karena komoditas pertanian mereka kalah bersaing di pasaran dan pemerintah tidak membentengi petani dari ancaman liberalisasi sehinggga banyak di antara mereka kemudian menjual tanahnya kepada perusahaan multinasional dan menjadi buruh tani. Implikasi nyata dari hadirnya perdagangan bebas adalah kemiskinan struktural ditandai dengan menurunnya faktor produksi yang termarjinalkan oleh hadirnya kekuatan transnasional. Maka, esensi utama yang dihadirkan dalam perdagangan bebas sebenarnya adalah kesempatan terbuka bagi negara maju untuk mengontrol sumber ekonomi yang tersebar di berbagai negara dunia ketiga dan kesempatan tertutup bagi negara maju untuk menghalangi komoditas dari negara dunia ketiga. Negara maju justru bersikap defensif dengan menaikkan kuota tarif terhadap komoditas negara dunia ketiga dalam arena perdagangan bebas yang diklaim sebagai arena ekonomi terbuka. Maka daripada menciptakan kesejahteraan dunia yang merata dan berkelanjutan antar berbagai negara untuk mereduksi ketimpangan ekonomi sebagai bentuk kolonialisme, negara maju cenderung untuk melindungi industri dalam negeri melalui kuota tersebut. Bank Dunia (2010 : 24) merilis laporan berjudul World Development Indicators menyebut penerapan tarif tinggi perdagangan di negara maju menghambat produk negara dunia ketiga seperti yang terlihat dalam tabel berikut Tabel 4 : Kuota Tarif Tinggi Perdagangan Bebas di Negara Maju The OECD Members apply very high tariffs selectively (percent) Countries Years Simple Average Weighted Average Maximum Tariffs Tariffs Rate Tariffs Rate Rate Australia 2008 4 2 18 Kanada 2008 4 1 95 Islandia 2008 2 1 76 Jepang 2008 3 1 50 Korsel 2007 8 7 887 Selandia Baru 2008 3 2 13 Norwegia 2008 1 0 555 AS 2008 3 1 350 Uni Eropa 2008 2 1 75 Sumber : Bank Dunia, World Development Indicators 2010 (2010 : 34) 18
18
Bank, World, World Development Indicator 2010, Washington D.C : World Bank Press, 2010, hlm 34.
93
Adanya kenaikan kuota tarif di negara maju sebagai wujud dari perdagangan bebas yang tidak menguntungkan, malahan merugikan utamanya negara dunia ketiga. Dunkley menggunakan model analisa Smithian – Ricardonian tentang keunggulan komparatif untuk membentuk tesis bahwa perdagangan bebas adalah mitos ekonomi yang dibuat membuat orang percaya bahwa semakin bebasnya ruang ekonomi. Mitos pertama yakni perdagangan bebas akan menguntungkan bagi setiap negara melalui pertukaran spesialisasi. Pada dasarnya era spesialisasi perdagangan kini telah berakhir, melalui perkembangan teknologi kini negara maju dapat memperoleh surplus dari ekspor barang jadi (opportunity cost) dan menekan biaya upah buruh (labour cost) melalui teknologisasi produksi dan rekayasa industri sehingga mampun menghasilkan keuntungan absolut. Mitos kedua, kebijakan perdagangan bebas melalui hadirnya merupakan strategi terbaik untuk mengurangi kemiskinan akut yang terjadi di negara–negara miskin melalui investasi dan industrialisasi sehingga mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Realitanya yang terjadi justru pengalihan (displacement) dan kerusakan (disruptive). Perusahaan multinasional sebagai motor perdagangan bebas tidaklah menghadirkan perdagangan bebas sebagai citra positif dengan memberdayakan masyarakat. Mereka hadir untuk mngeruk keuntungan dari komodifikasi secara privat atas sumber ekonomi di negara dunia ketiga dengan mempekerjakan masyarakat sebagai buruh murah dengan risiko kerja yang besar. Semakin masifnya komodifikasi privat atas sumber ekonomi publik di negara dunia ketiga mengakibatkan kerusakan dalam hal terciptanya konflik negara dan masyarakat akibat rusaknya lingkungan karena pola eksploitasi yang tidak memperdulikan kelestarian lingkungan. Selain halnya kerusakan lingkungan, masalah lain yang lebih krusial adalah semakin menurunnya kesejahteraan penduduk karena negara mencabut subsidi tentang kebijakan-kebijakan sosial yang dipandang tidak menguntungkan negara. Globalisasi yang berkembang di penjuru dunia saat ini sudah merombak pola pikir negara. Negara dituntut untuk melakukan efisiensi pembiayaan sosial yang tidak dianggap menguntungkan demi membiayai persaingan di arena global. Logika kompetisi globalisasi yang kini membuat negara kian menjadi pelayan ekonomi daripada sosial. Hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah kemiskinan yang ditimbulkan globalisasi di kawasan Selatan. Globalisasi memang menjadi arena menang dan kalah / kaya dan miskin yang menjadi karakterisitik naturalnya, akan tetapi kalau yang menjadi korban adalah kawasan Selatan yang selama ini menjadi objek terjajah, maka hal itulah yang perlu dikritisi. Kemiskinan di Selatan : Faktor Internal atau Eksternal ? Apakah Globalisasi mengurangi kemiskinan ? (does globalization reduce the poverty) telah menjadi perdebatan sengit dalam beberapa tahun terakhir ini. Pertanyaan tersebut setidaknya tertuju sehubungan dengan niat mulia para pemikir modernis yang mengatakan bahwa globalisasi akan membawa efek domino ketika kue ekonomi global terdistribusi merata di sejumlah negara membawa implikasi pada pengurangan kemiskinan maupun peningkatan lapangan pekerjaan bagi sejumlah tenaga kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi tinggi masih menjadi trend masa kini bagi setiap negara untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Negara berpacu untuk terus meningkatkan daya saing ekonomi mereka agar menarik perhatian para borjuasi internasional bersedia menginvestasikan kapitalnya maupun memberikan deregulasi berupa insentif stimulus ekonomi (e.g. tax holiday, fiscal reduction, maupun kebijakan lainnya). Namun yang menjadi
94
pertanyaan selanjutnya ialah, apakah dengan mengutamakan pertumbuhan yang kian naik maka berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan ?. Realitanya yang terjadi di lapangan justru malah berbanding terbalik dimana pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menurunkan angka kemiskinan. Hal tersebut setidaknya dapat terindikasi dari laporan UNDP (2011) yang berjudul World Economic and Social Survey melaporkan 80 persen keberhasilan pembangunan manusianya dikuasai negara maju, sementara 20 persen sisanya negara dunia ketiga (UNDP, 2011 : 231). Pendapat serupa juga disampaikan oleh DESA (Department of Economic and Social Affairs) PBB dalam rilis laporannya yang berjudul World Economic and Social Survey 2010 menyebutkan angka kemiskinan yang terdapat di negara-negara kawasan Selatan tidak menurun secara signifikan sejak neoliberalisme dikumandangkan sebagai idelogi “pembebasan” kemiskinan dunia melalui fundamentalisme pasar sejak 1980-an. Malahan di berbagai kawasan tertentu, angka kemiskinan ada yang naik misalnya saja kawasan Sub Sahara Afrika dan Asia Selatan yang mengalami kenaikan jumalh orang miskin dimana Sub Sahara, angka orang miskinnya mencapai 400 juta orang dan Asia Selatan telah melebih angka 400 juta orang. Sementara Amerika Latin tidak beranjak dari angka 100 -250 juta orang. Adapun pengurangan radikal angka kemiskinan justru terjadi di Asia Timur yang merupakan NICs (newly industrializing countries) dimana angka angka kemiskinan bisa ditekan dari 1100 juta orang menjadi kurang dari 400 juta orang pada 2005. Selebihnya angka fluktuasi kemiskinan tersebut bisa terlihat dari tabulasi berikut ini Tabel 5. : Trend Pengurangan Kemiskinan di Selatan 1981-2005
Sumber : World Economic and Social Survey 2011 (2011 : 7)
19
Dengan melihat berbagai varian data penelitian yang ditampilkan oleh kedua badan dunia tersebut, setidaknya kita memiliki pemahaman mendasar bahwa globalisasi tidak serta merta dapat mengurangi angka kemiskinan, malahan justru menambah seperti kasus Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Selain itu, angka kemiskinan kawasan Selatan secara kumulatif juga masih tinggi mencapai 19
UNDP, World Economic and Social Survey 2011, Washington D.C : UNDP Press, 2011, hlm 7.
95
1,200 juta orang. Lalu mengapa janji globalisasi sebagai cara ampuh mengatasi kemiskinan “kurang berhasil” diterapkan ?. Siapa aktor yang bisa dimintai pertanggungjawabannya ?. Jawaban atas pertanyaan tersebut memicu tiga pendekatan besar dalam mengurai permasalahan tersebut. Dalam hal ini, terdapat tiga pendekatan besar yakni paradigma bipolaristik-tradisional, paradigma Bretton Woods, dan paradigma PBB. Oleh karena itulah, mari kita tinjau satu-persatu ketiga pendekatan tersebut. Pertama, pendekatan bipolaristik-tradisional. Pendekatan ini menilai bahwa ketidakberhasilan globalisasi dalam mengurangi kemiskinan di kawasan Selatan dikarenakan konteks perekonomian dunia lebih didominasi dan terdeterminasi oleh negara Utara. Sehingga kue ekonomi lebih banyak dikuasai oleh Utara sementara Selatan hanya disisakan residualnya saja. Dalam konteks pendekatan ini, dogma “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” menjadi lokus perhatian bagi pendekatan. Analisa penjelasan kemiskinan dalam pendekatan ini hadir dari berbagai kalangan seperti halnya Michael Chossudovsky dalam Globalization of Poverty yang menyatakan bahwa kemiskinan yang terjadi di Selatan merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk memperkuat world orders yang dijalankan negara Utara untuk menjalankan dominasinya 20. Kemiskinan seperti menjadi isu menarik untuk memperkuat orders tersebut paska perang dingin yang berakhir pada 1991. Setelah ideologi komunisme berhasil diberangus dan negara dunia kedua “resmi” terhapuskan dari geopolitik dunia dengan hanya menyisakan dua kutub, kemiskinan menjadi cara bagi Utara untuk melakukan intervensi-intervensi pembangunan di Selatan. Pembangunan lantas menjadi orders tersebut yang kemudian berkembang menjadi ideologi hegemonik. Namun demikian, pembangunan tersebut tidak ditujukan mengentaskan kemiskinan akan tetapi untuk membangun ekonomi. Akibatnya jurang antara kaya dan miskin menjadi kian menganga dimana Utara melalui ideologi pembangunannya menjadi makmur berkat investasi di Selatan dengan mengatasnamakan “pemberantasan kemiskinan” semantara Selatan kian menjadi miskin karena sumber ekonominya dijarah para borjuasi dan lembaga asing dari Utara. Oleh karena itulah, kemiskinan yang terjadi di Selatan menurut pendekatan ini lebih dikarenakan dari faktor eksternal dengan orders yang hegemonik. Maka, satu-satunya jalan untuk mengentaskan kemiskinan di Selatan adalah membentuk lembaga tandingan yang afirmatif terhadap isu Selatan karena selama ini lembaga dunia cenderung memihak pada kepentingan negara-negara Utara. Kedua, pendekatan Bretton Woods menekankan pada faktor internal yakni pola salah urus perekonomian yang dilakukan oleh negara sehingga menyebabkan kemiskinan bagi penduduknya. Premis tersebut setidaknya dapat kita baca manakala melihat data yang ditampilkan oleh berbagai lembaga dunia seperti OECD papers, TRIPs dari IMF, maupun World Economic Index yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Lembaga-lembaga ini menilai bahwa intervensi ekonomi yang dilancarkan negara justru menghasilkan inefisiensi bagi pengembangan ekonomi. Inefisiensi muncul lantaran negara mensubsidi secara masif penduduk melalui berbagai tunjangan sosial sehingga menimbulkan pembengkakan anggaran dan berpotensi defisit. Masyarakat menjadi kian tergantung terhadap negara secara ekonomi melalui subsidi dan akan menimbulkan depresi ekonomi dalam skala besar. Sehingga angka kemiskinan akan semakin bertambah pesat. Oleh karena itulah, cara efektif untuk mengatasi itu semua adalah dengan melakukan liberalisasi pasar dalam menjalankan 20
Chossudovsky, Michael, Globalization of Poverty. Ottawa : CNG Press, 2003, hlm 8.
96
fungsi ekonomi. Liberalisasi pasar dipandang adil dalam melakukan redistribusi ekonomi bagi masyarakat sesuai dengan faktor produksi yang dimilikinya. Kemiskinan dihitung berdasar pendapatan dimana standar Bank Dunia menetapkan bahwa orang yang berupah kurang dari USD 1,25-2 merupakan orang miskin dan selebihnya adalah orang mampu. Namun demikian Ketiga, pendekatan PBB. Pendekatan ini mengakumulasikan kedua hal tersebut yakni faktor internal dan faktor eksternal sebagai penyebab kemiskinan di kawasan Selatan. Faktor internal yakni kondisi perekonominan dunia yang didominasi mobilitas kapital negara-negara Utara sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan global bagi kawasan Selatan. Sedangkan, faktor eksternal sendiri dimaknai sebagai perilaku korupsi yang dilakukan oleh para pejabat maupun pola salah urus ekonomi yang lebih melayani kepentingan asing daripada ekonomi nasional sendiri. Untuk mengatasi kemiskinan tersebut, ideologi pengentasan kemiskinan dirumuskan kembali dari semula berbasis economic development kini beralih pada human development berbasis keberlanjutan dengan memperluas skope pengentasan kemiskian dalam indikator yang meluas. Berbagai progam tersebut sudah dan akan berjalan, salah satunya MDGs yang kini berlangsung hingga 2015. Terlepas dari berbagai pendekatan yang ada, kemiskinan di Selatan sudah selayaknya untuk direduksi dengan memperkuat kemitraan Utara-Selatan untuk duduk bersama dalam satu forum resmi. Saya sendiri melihat bahwa rumusan tentang kemiskinan perlu untuk dirumuskan bersama karena selama ini indikator kemiskinan ada berbagai macam. Para pemikir dari Utara lebih cenderung menggunakan pendekatan material-ekonomi seperti indikator OECD yang menerapkan pendapatan perkapita USD 10.700 sebagai pembatas negara kaya dan miskin sedangkan Selatan lebih condong pada pendekatan GHI (Gross Happiness Index) yang mengutamakan aspek kualitatif kehidupan. Seperti yang pada terjadi di kasus Bhutan dimana secara ekonomi, negara itu negara miskin karena pendapatan perkapita penduduknya hanya USD 600 per tahun. Namun, Bhutan sendiri mengklaim dirinya sebagai negara yang berbahagia karena penduduknya hidup berkecukupan. Dalam hal ini, membicarakan pendapatan perkapita sebagai indikator kemiskinan memang menjadi ulasan untuk membicarakan ketimpangan Utara-Selatan karena angka-angkanya sangat mencolok untuk menunjukkan mana negara kaya dan negara miskin. Ketimpangan Pendapatan dan Krisis Hutang Hal yang ingin saya tekankan berkaitan dalam tulisan ini adalah “hutang merupakan ibu dari segala macam krisis” (debt is all mother of crisis). Hutang terlebih lagi hutang luar negeri setidaknya jangan ditempatkan dalam koridor restrukturisasi dan rehabilitasi perekonomian, namun juga kita perlu menempatkan masalah hutang tersebut dalam koridor kuasa politik. Deskripsi hutang sebagai alat politik atau dalam konteks ini dimaknai alat bagi Utara menekan Selatan sudah dilakukan sejak 1982. Dalam tahun tersebut, bisa dibilang merupakan awal “konflik” Utara-Selatan hingga kini yang berawal dari kasus pinjaman lunak yang dilakukan IDA (International Development Agency) untuk membiayai berbagai progam pembangunan di kawasan negara dunia ketiga. Pinjaman lunak tersebut berasal sirkulasi deposito dana petrodollar yang disimpan di berbagai bank-bank Barat sebagai pinjaman bagi negara dunia ketiga. Pada saat yang sama, terjadilah Perang Yom Kippur antara Arab dan Israel sehingga memicu adanya kenaikan harga minyak dunia. Perang tersebut juga memicu negara-negara Arab jor-joran mengambil uang deposito petrodollar mereka di bank-bank Barat untuk membeli alutsista persenjataan dalam menghadapi Israel sehingga mengakibatkan dana
97
pinjaman yang biasa digunakan IDA habis (Sahle, 2010 : 30). Maka kondisi tersebut mendorong IDA untuk “memaksa” dana pinjaman yang dipinjam sebagai proyek pembangunan untuk dikembalikan, namun kondisi itu tak memungkinkan bagi pemerintahan negara dunia ketiga yang baru memulai menggunakan dana tersebut sudah harus dikembalikan. Perekonominan mereka juga masih labil untuk menopang pembangunan negara. Akibatnya yang terjadi kemudian adalah negara dunia ketiga mengalami krisis hutang. Amerika Serikat melihat krisis hutang tersebut sebagai peluang untuk mempromosikan ideologi reformasi pasar di kawasan Selatan melalui progam penyesuaian struktural (structural adjustment progamme) / SAPs. Melalui SAPs tersebut, diharapkan dapat mengembalikan dana hutang negara dunia ketiga yang dipinjam dari IDA, IMF, Bank Dunia, maupun lembaga donor lainnya dengan melakukan serangkaian reformasi kebijakan misalnya saja orientasi produksi berbasis ekspor, pemotongan subsidi sosial, maupun privatisasi. Dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima, krisis hutang tersebut akan segera direduksi. Namun dalam berbagai perkembangan selanjutnya, SAPs sendiri kemudian menjadi kontradiksi terlebih implikasinya yang ternyata tidak membuahkan hasil yang signifikan. Kegagalan SAPs dalam mengurangi krisis hutang Selatan terindikasi dari penurunan pendapatan perkapita yang mencapai 18 % di 24 negara berkembang, penurunan pertumbuhan ekonomi sebanyak 20 % di negara bekembang dalam rentang 1980-2003, dan menurunnya volume ekspor di 13 negara dari 24 berkembang dalam kurun waktu yang sama 21. Konsep SAPs sendiri bukannya membantu, malahan justru kian memperkuat absorsi kekayaaan lebih intens ke Utara dengan memanfaatkan kondisi ekonomi Selatan yang masih lemah ditambah ketergantungan ekonomi terhadap teknologi dan komoditas lainnya. Orientasi produksi berbasis ekspor bisa dibilang merupakan konspirasi bagi Barat untuk memperkuat dominasinya di Selatan karena produk-produk dari Selatan sendiri dilarang masuk karena proteksionisme, sementara komoditas negara maju sendiri merajalela di pasaran. Sebagai gambaran, SAPs sendiri berimplikasi pada memburuknya perekonomian di Selatan melalui pembengkakan krisis hutang eksternal di Selatan dapat kita lihat dalam tabulasi hutanghutang negara Selatan dalam tabel 6. Dalam situasi globalisasi kontemporer, krisis hutang juga kian menganga bahkan lebih besar daripada era sebelumnya. Dalam lansiran laporan resmi Bank Dunia (2012) yang berjudul Global Development Financial menyebutkan krisis hutang negara-negara berkembang dipicu berbagai hal seperti menurunya kegiatan ekspor-impor komoditas perdagangan antara negara maju dan berkembang yang diakibatkan resesi global pada 2008, membengkaknya pengeluaran anggaran negara untuk membiayai dana sosial dan talangan ekonomi agar perekonomiannya tidak jatuh, maupun tingkat pengangguran yang kian besar karena banyak terjadi pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Kesemuanya tersebut kemudian berdampak pada kenaikan hutang eksternal di kawasan Selatan seperti yang tertera dalam tabel 7.
21
Bello, Walden, Dark Victory : United States and Global Poverty, Manila : Food First Book, 2003, hlm 33.
98
Tabel 6. : Total Komparasi Perbandingan Hutang Selatan pada 1980-1990
Sumber : Vincent Ferraro dan Mellisa Rosser (1994 : 323)
22
Tabel 7. : Kenaikan Hutang Luar Negeri Negara Selatan 2005-2010
Sumber : Global Development Financial 2012
22
23
Michael Klare, Daniel Thomas, World Security: Challenges for a New Century, New York : St. Martin Press, 1994, hlm 323. 23 Bank, World, Global Development Financial 2012, Washington : World Bank Press, 2012, hlm 36.
99
Tentunya dengan melihat tabulasi berikut, krisis hutang benar-benar kian menggerogoti anggaran maupun perekonomian bagi kawasan negara Selatan. Dilihat dari total pengembalian hutang publik maupun privat yang harus dikembalikam dalam jangka pendek maupun jangka panjang kepada IMF mengalami kenaikan 3 – 5 % tiap tahunnya. Namun interval angka 3-5 % belum seberapa “mengerikan” apabila dikoversikan dalam rasio anggaran negara baik yang ada di anggaran nasional kotor (gross national index) yang telah melebihi batas normal kewajaran penyehatan anggaran yang dipatok dalam angka 10 % berikut bunga yang harus bayarkan mencapai 137, 4 % persen dari anggaran nasional, juga hutang perdagangan yang naik hampir 20 % tiap tahunnya. Sebuah angka tidak wajar bagi negara Selatan yang mayoritas masih negara miskin dan perekonomiannya masih belum stabil untuk diajak berkompetisi dalam arena globalisasi. Maka dengan melihat berbagai fakta yang ada dalam ketimpangan globalisasi antara utara dan selatan sendiri, masihkah kita percaya globalisasi membawakan semangat keuntungan bagi semuanya (benefited for all) seperti yang dikatakan Kenichi Ohmae maupun globalisasi membawakan pencerahan ekonomi sebagaimana yang dikatakan Giddens dan kawan-kawannya dari kalangan modernitas. Pembangunan yang menjadi inti dari globalisasi sendiri membawa pola-pola dikotomis dalam implementasinya yakni core (maju) dan periphery (pinggiran) untuk membagi negara dunia masih berpengaruh dalam konteks kekinian. Adanya dikotomi global north dan global south pada era globalisasi sekarang ini merupakan kontinuitas dari gagasan pembangunan dari era sebelumnya. Negara Selatan (global south) yang dicitrakan sebagai negara miskin dan berkembang dari proses dekolonialisasi merupakan objek implementasi dari pembangunan ekonomi tersebut. Mulai dari SAPs hingga yang terakhir kini MDGs semua menaruh Selatan menjadi objek yang perlu didudukan dan didisplinkan oleh kelompok Utara. Namun dalam realitanya seperti yang saya tunjukkan indikator kemiskinan, hutang, dan pendapatan nasional sendiri berjalan timpang bahkan kian mendalam efek ketimpangannya dalam pembangunan di Selatan. Namun demikian, globalisasi berikut pembangunan ekonominya selalu terlepas dari dosa-dosa ekonomi politik yang diperbuatnya. Dosa-dosa seperti ketimpangan, penindasan ekonomi, maupun kemiskinan selalu direproduksi secara berulang kali dalam berbagai produk wacana yang intinya intervensi Utara ke Selatan dalam memberantas itu semuanya. Seolah Utara tidak pernah dipersalahkan atas dosa-dosa tersebut dan selalu tampil kembali dengan wajah optimistik meskipun di akhir nanti bersikap diskriminatif yakni dosa itu terjadi karena Selatan. Anehnya meskipun kemiskinan telah menjadi global concern bagi Utara untuk melakukan intervensi ke Selatan, kemiskinan sendiri tidak serta merta melambat bahkan ada di berbagai kasus justru kian naik. Hal ini jelas membuktikan bahwa dimensi pembangunan ekonomi yang terdapat dalam globalisasi sendiri ini sarat dengan relasi dominasi kekuasaan kelompok-kelompok internasional yang memainkan isu ketimpangan sebagai alat masuknya Utara ke Selatan. Dominasi Utara tersebut dikukuhkan baik secara aliansi maupun dalam kelembagaan internasional. Pada akhirnya, dominasi tersebut mengarah kepada praktikpraktik imperialisme global yang mengarah pada rekolonialisasi. Rekolonialisasi tersebut berwujud pada terbentuknya pemerintahan global (global governance) yang sifanya formal maupun informal, namun berpengaruh dalam menentukan kebijakan ekonomi-politik dunia. Paradigma rekolonialisasi sendiri menuntun kita pada aspek sejarah terbentuknya globalisasi yang merupakan ekspansi kapitalisme yang mengalami kontinuitas dari dulu hingga sekarang. Dalam tulisan bab berikutnya,
100
saya akan memaparkan praktik dominasi Utara tersebut berikut bagaimana operasionalisasinya di negara-negara Selatan Kesimpulan Hal yang bisa dapat disimpulkan dari penjabaran paper ini adalah ketimpangan yang terjadi antara dunia pertama dan dunia ketiga dalam era globalisasi sekarang ini merupakan legasi dari praktik kolonialisme dan imperialisme Barat yang terjadi di masa lampau. Dalam era globalisasi sekarang ini, kolonialisme sendiri diwunjudkan dalam penguasaan kontrol kapital besar yang bergerak antar bangsa dan negara. Negara maju sendiri kemudian diuntungkan dengan kondisi tersebut dimana mereka memiliki keunggulan komparatif dengan penguasaan teknologi dan perbankan sementara negara dunia ketiga sendiri hanya mengandalkan hasil sumber daya ekstratif. Namun demikian, pertukaran risorsis antar kedua aktor tersebut tidaklah dalam posisi setara. Negara maju sendiri diuntungkan dengan regulasi perdagangan internasional yang mana bisa memiliki hak veto dalam alur perdagangan. Kondisi tersebut kontras dengan negara dunia ketiga yang berada dalam posisi menerima dan tidak mempunyai suara yang diminimalisir negara maju. Akibatnya yang terjadi kemudian adalah kemiskinan, hutang meningkat, maupun ekses negatif lainnya yang menempatkan negara dunia ketiga sendiri sebagai negara miskin. Oleh karena itulah, diperlukan solusi yang adil dalam dalam konteks perekonomian maupun perdagangan internasional yang menempatkan dua aktor tersebut dalam posisi setara. Setidaknya hal itu bisa dimulai dengan merombak regulasi maupun kepengurusan lembaga-lembaga internasional yang notabene masih dikuasai negara maju. Negara dunia ketiga perlu diberi tempat untuk mendapatkan kue globalisasi yang setara dengan negara maju pada umumnya. Daftar Pustaka Amin, Samir. 2011. Global History : A View From The South. Nairobi : Pambazuka Press. Arif, Sritua. 2006. Negeri Terjajah : Menyingkap Ilusi Kemerdekaan. Yogyakarta : Resist Books. Binswanger, Hans. 1999. “The Evolution of World Bank’s Land Policy”, World Research Observer , 14 (2) : 249-275. Berberoglu, Berch. 2010. Globalization in The 21st Century. New York : Palgrave. Berger, Mark. 2004. The Battle of Asia : From Decolonization to Globalization, London : Routledge. Berger, Mark. 2004. “After The Third World ? History, Destiny, and The Fate of Third Worldism”, Third World Quarterly, 25 (1) : 9-39. Bello, Walden. 2003. Dark Victory : United States and Global Poverty. Manila : Food First Book. Callinicos, Alex. 2009. Imperialism and Global Political Economy. Cambridge : Polity Press. Chossudovsky, Michael. 2003. Globalization of Poverty. Ottawa : CNG Press. Glenn, John. 2007. Globalization : North-South Perspective, London : Routledge. Hoogvelt, Ankie. 2001. Globalization and The Postcolonial World, London: Palgrave. Khor, Martin. 2005. Globalisation and the South: Some Critical Issues. Penang : Third World Networks. Kiely, Ray, dan Phil Marfleet, 2005. Globalisation and Third Worlds, New York : Taylor and Francis Group.
101
Klare, Michael, dan Daniel Thomas, 1994. World Security: Challenges for a New Century, New York : St. Martin Press. Pieterse, Jan Nederveen 2004. Globalization or Empire, London : Routledge. Pollard, Jane, dan Cheryl McEwan, 2011. Postcolonial Economies, New York : Zed Books. Stiglitz, Joseph. 2002. Globalization and Discontent, New Jersey : Norton Company. Stevens, Jacqueline. 2006. “Recreating the State”, Third World Quarterly, 27 (5) : 755-766. Therien, Jean-Philippe. 1999. “Beyond the North-South divide: thetwo tales of world poverty”, Third World Quarterly, 20(4) : 723-742. Third World Countries, 2012. “Third World Countries” dalam upload.wikimedia.org/wikipedia/commonsCold_War_alliances_mid-1975.svg [diakses 8 Agustus 2012]. Developing Countries, 2012. “Developing Countries” dalam en.wikipedia.org/wiki/File:Developed_nation [diakses 7 Agustus 2012]. United Nations Development Program (UNDP), 2011. World Economic and Social Survey 2011. World Bank, 2010. World Development Indicator 2010. World Bank, 2012. Global Development Financial 2012.
102
NOVEL “PERI KECIL DI SUNGAI NIPAH”: POTRET PEMBANGUNANISME DAN MARGINALISASI MASYARAKAT DESA PADA AWAL KONSOLIDASI KEKUASAAN REZIM ORDE BARU Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah 1 Abstract “Peri Kecil di Sungai Nipah” is a novel which told about the process of political economy consolidation at the beginning of the New Order regime (1966-1971). Sangir village, a fictional village in which the background of the novel is told, was a small entity in Indonesian society also participated in the fall as a result of the ambitions of the global capitalism. In that village also well illustrated how the impact of New Order's political economy consolidation has marginalized villagers in relation to the equivalent of state and government. New Order regime with the support of the army and police has openly repressive approach to the people’s village after the destruction toward Indonesian Communist Party (PKI) in year 1965-1966. It has done to succeed their efforts to promote the "developmentalism" and totally rejected communism. Authoritarian approach was also devastated local genuine and old beliefs about respect for nature. The people of Sangir village witnessed how the state has destroyed Nipah’s river which for decades helped and supported them. The state has replacing it with a dam that was not beneficial to the people of Sangir village. “Peri Kecil di Sungai Nipah” revealed that practices an alien political ideology was not compatible with the socio-historical context of the local community will bear the negative impact these people's lives. Key words: Developmentalism, Consolidation, Marginalization, New Order, Nipah River. Abstraksi Novel “Peri Kecil di Sungai Nipah” menceritakan tentang proses konsolidasi ekonomi politik pada awal rezim Orde Baru (1966-1971). Kampung Sangir, sebuah kampung fiktif dimana latar-belakang novel tersebut diceritakan, merupakan entitas kecil dalam masyarakat Indonesia yang turut pula terjerumus sebagai dampak dari ambisi kuasa modal global. Di kampung Sangir pula tergambarkan secara baik bagaimana dampak proses konsolidasi kekuasaan ekonomi politik Orde Baru telah meminggirkan masyarakat kampung dalam hubungannya yang setara dengan negara dan pemerintah. Rejim Orde Baru dengan dukungan tentara dan polisi telah melakukan pendekatan represif secara terbuka terhadap masyarakat kampung Sangir pasca kehancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965-1966. Hal ini dilakukan untuk menyukseskan usaha mereka dalam mengkampanyekan ”pembangunanisme” dan secara total menolak komunisme. Pendekatan otoriter itu turut pula memporak-porandakan kearifan lokal dan kepercayaan lama mengenai penghormatan terhadap alam. Rakyat kampung Sangir menyaksikan bagaimana negara telah menghancurkan sungai Nipah yang selama puluhan tahun turut menghidupi mereka. Negara mengganti sungai itu dengan sebuah bendungan yang ternyata tidak bermanfaat bagi masyarakat. Novel “Peri Kecil di Sungai Nipah” mendedahkan bahwa praktek-praktek sebuah ideologi politik asing yang tidak sesuai dengan konteks sosiohistoris masyarakat setempat akan melahirkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat tersebut. Kata kunci : Pembangunanisme, Konsolidasi, Marginalisasi, Orde Baru, Sungai Nipah.
1
Kandidat PhD Sains Politik pada Pusat Pengajian Sejarah, Politik dan Strategi, Universiti Kebangsaan Malaysia & Staf Pengajar FISIP Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung, Jl. Sri Sumantri Brojonegoro No. 1, Gedung Meneng, Bandar Lampung; e-mail :
[email protected].
103
Pendahuluan Peri Kecil di Sungai Nipah (PKSN) merupakan sebuah epik tentang orang-orang biasa dengan penghidupan yang sederhana. Akan tetapi prosa ini menjadi tidak biasa ketika penulisnya sukses membangun alur yang menarik disertai perwatakan yang kuat dari masing-masing pelaku. Novel ini menjadi semakin menarik ketika berusaha menggambarkan betapa rakyat pedesaan selalu menjadi kelompok yang dirugikan demi pencapaian kampanye pembangunan yang disponsori oleh negara. PKSN merupakan karya ketiga atau novel pertama bagi Dyah Merta yang dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur pada 21 Juli 1978. Ia memulai kariernya sebagai penulis cerita pendek di berbagai media cetak lokal dan nasional. Dua buku karya Dyah sebelumnya adalah Hetaira 2 dan cerita anak berjudul Pinissi : Petualangan Orang-orang Setinggi Lutut 3. Sementara itu, penulisan novel PKSN telah mulai dilakukan sejak lima tahun sebelum novel tersebut diterbitkan. Pada mulanya novel ini hendak diberi judul Dalloh yang menurut Dyah Merta merupakan tokoh sentral dalam cerita tersebut. Perkembangan plot penulisan dan cerita memaksa naskah Dalloh berganti judul menjadi PKSN. PKSN mengambil latar sebuah keluarga terpandang pemilik perkebunan tebu di desa Sangir yaitu keluarga Karyo Petir. Ia memiliki dua orang anak Dagu dan Gora hasil dari perkawinannya dengan seorang perempuan bernama Dalloh. Karyo Petir termasuk transmigran pertama yang turut membuka hutan yang kemudian menjadi cikal bakal desa Sangir. Sebelum kedatangan para transmigran ke wilayah tersebut, desa Sangir hanya sebuah hutan belantara yang angker dan dipenuhi hewan-hewan liar. Kedatangan perantau dari luar telah merubah belantara tersebut menjadi sebuah perkampungan yang permai. Perjumpaan antara Karyo Petir dan Dalloh terjadi ketika desa Sangir masih sepi dan baru ditempati beberapa keluarga. Sebenarnya orang tua Dalloh telah menjodohkannya dengan lelaki lain. Percintaaan diam-diam antara Dalloh dengan Karyo Petir telah memusnahkan impian kedua orang tuanya. Perkawinan mereka membuahkan sepasang anak lelaki dan perempuan yaitu Dagu dan Gora. Sepertimana keluarga terpandang dalam struktur masyarakat desa tradisional, keluarga ini memiliki beberapa pekerja yang turut tinggal bersama mereka. Orang-orang ini membantu beragam pekerjaan rumah tangga dan perkebunan tebu. Diantara pembantu keluarga tersebut yang kerapkali terlibat cukup sering dalam alur cerita adalah Kerapu, Genuk dan bibi Kasemi. Kerapu merupakan pembantu Karyo Petir yang memiliki kedekatan emosional dengan tuannya dibanding pembantu yang lainnya. Karyo Petir secara tidak sengaja menemukan lelaki muda ini hampir mati kelaparan di pinggir desa Sangir. Disebabkan kemarau panjang yang dialami kampungnya, Kerapu bersama beberapa puluh orang lainnya meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib. Keberuntungan ternyata belum menyapa Kerapu dan kawan-kawannya. Dalam perjalanan menuju dunia baru, kapal yang mereka tumpangi dihantam badai dan terseret ke sisi terjal sungai hingga hancur berantakan. Kerapu terlempar jauh dari kapal. Sementara kawan-kawannya hilang entah kemana. Karyo Petir yang tengah berjalan menuju pinggir desa menemukannya dalam kondisi lemah. Pertemuan tidak sengaja ini merubah nasib Kerapu. Sejak itu ia tinggal di gandok milik Karyo Petir dan bekerja sebagai pande besi 4.
2
Dyah Merta. 2005. Hetaira, Yogyakarta : Orakel. Dyah Merta. 2005. Pinissi : Petualangan Orang-orang Setinggi Lutut, Yogyakarta: Liliput. 4 Dyah Merta. 2007. Peri Kecil di Sungai Nipah. Jakarta : Koekoesan, hlm. 26-29. 3
104
Tokoh Genuk dan bibi Kasemi ditakdirkan mengada secara ”alamiah” di dalam keluarga itu. Hal ini bermaksud bahwa Genuk dan bibi Kasemi juga merupakan pendatang-pendatang pemula di desa Sangir. Kedua perempuan setia ini mengabdi secara tulus kepada keluarga Karyo Petir hingga kematian menjemput. Pekerjaan mereka sebagai pembantu keluarga Karyo Petir tidak dapat dimaknai sama dengan profesi pembantu rumah tangga pada keluarga-keluarga kelas menengah perkotaan. Hal ini dicontohkan Dyah dengan menggambarkan hubungan antara Kerapu dan Karyo Petir yang berbeda hubungan antara tuan dan hamba. Hubungan keduanya lebih tepat jika diumpamakan seperti hubungan bapak dan anak. Begitu juga dengan Genuk dan bibi Kasemi yang menempati posisi selayaknya kakak dan bibi bagi anak-anak Karyo Petir. Mereka menjadi tempat mengadu bagi keluh kesah Dagu dan Gora. Mereka juga menjadi saksi hidup kenakalan-kenakalan dan perkembangan kehidupan kedua anak Karyo Petir dan Dalloh tersebut. Mereka pula saksi hidup kejayaan dan keruntuhan keluarga Karyo Petir. PKSN berlatar-belakang awal berdirinya Orde Baru dan konsolidasi ekonomi politik yang terjadi setelah itu. Artikel ini tidak sependapat dengan analisis Donny Anggoro yang menyatakan bahwa novel tersebut berlatar-belakang tahun 1960-an yaitu ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai mencapai puncak kejayaannya 5. Artikel memiliki beberapa argumen yang menyatakan bahwa novel PKSN bukan berlatar-belakang tahun 1960-an namun lebih mendekati masa-masa awal konsolidasi rejim Orde Baru. Pertama, wacana pembangunan khas Orde Baru dan segala macam kegagalannya dipaparkan secara gamblang oleh penulis di dalam alur cerita. Kampanye pemerintah Orde Baru tentang perlunya pengorbanan rakyat agar pembangunan dapat dirasakan semua pihak diceritakan penulis dalam sub episode Peri Kecil dan Anak Babi.6 Pada sub episode tersebut dikisahkan tentang kedatangan bapak menteri dengan menumpang ”capung raksasa” yang bertujuan hendak meresmikan sebuah proyek pembangunan. Proyek pembangunan yang dimaksud terlihat megah pada awalnya namun kemudian berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat desa. Pembangunan yang dikampanyekan pak menteri malah memiskinkan dan meminggirkan mayoritas masyarakat di desa Sangir. Kedua, sub episode Jip yang Tak Pernah Datang menggambarkan kisah penembakan misterius yang dialami mandor Jarot. Istilah penembak misterius (petrus) marak pada masa awal Orde Baru. Dalam novel ini mandor Jarot dan beberapa orang lainnya termasuk Dagu putra tertua Karyo Petir merupakan musuh-musuh pemerintah yang kemudian harus mati secara tragis di tangan aparat penguasa. Jarot yang ditembak mati di depan mata Karyo Petir dan Dagu yang harus diakhiri hidupnya di tiang pancang karena secara diam-diam membangun gerakan bawah tanah melawan penguasa, adalah jenis pembunuhan politik yang biasa dilakukan semasa rejim Orde Baru. Artikel ini menggunakan pendekatan analisis wacana yang berguna bukan saja untuk memahami pesan sebuah teks tetapi juga hendak membongkar maksud-maksud tersembunyi/tersirat di dalam suatu teks tertulis. Bahkan, melalui analisis wacana seorang peneliti akan dapat membongkar lebih jauh penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang
5 6
Donny Anggoro, ”Dongeng dari Sungai Nipah”, Koran Tempo, 16 Desember 2007. Dyah Merta. 2007. Peri Kecil di Sungai Nipah. Jakarta : Koekoesan, hlm. 91-96.
105
dijalankan dan diproduksi secara samar melalui teks-teks tertulis 7. Sebagai salah satu cabang ilmu yang terangkum dalam disiplin linguistik, analisis wacana juga memberikan pendedahan awal berkaitan dengan wacana tertentu yang merangkum penjelasan konsep dan dipermudah pemahamannya dengan mengemukakan contoh-contoh analisis yang kritikal 8. Pembangunanisme Orde Baru Dalam ”Peri Kecil di Sungai Nipah” Orde Baru Soeharto didirikan dengan latar belakang kegagalan ekonomi yang buruk semasa pemerintahan Orde Lama Soekarno. Krisis politik yang disebabkan huru-hara 1965-1966 telah menyeret Indonesia ke dalam krisis ekonomi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kenaikan inflasi yang mencapai angka 600% berakibat pada melonjaknya angka pengangguran di seluruh Indonesia. Hal ini kemudian memperburuk daya beli masyarakat. Dampak dari kemelesetan ekonomi ini ialah meledaknya kriminalitas yang disebabkan oleh memburuknya kehidupan ekonomi dan sosial di dalam masyarakat. Pada masa itu kestabilan sosial dan politik merupakan sesuatu yang amat mahal. Akibat dari ketakutan terhadap instabilitas ekonomi dan politik pada pemerintahan sebelumnya mengakibatkan kelangsungan rezim Soeharto dibayang-bayangi oleh kegagalan merawat ekonomi negara mulai dari pembuatan kebijakan hingga pelaksanaannya. Kegagalan membangun ekonomi berarti sama dengan menyeret Indonesia ke alam Orde Lama. Ledakan pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat baik yang disebabkan oleh pertentangan kelas maupun ideologi juga dapat membawa negara kembali menuju saat-saat menjelang kejatuhan Orde Lama. Kekhawatiran dan ketakutan yang membebani Orde Baru membawa mereka kepada satu kesimpulan bahwa jargon Orde Lama yang mengangkat “Politik adalah Panglima“ harus ditukar menjadi jargon “Ekonomi adalah Panglima“. Demi mempraktekkan jargon baru tersebut dan untuk mencapai ambisi pertumbuhan ekonomi serta stabilitas politik yang mantap Orde Baru kemudian melakukan langkah-langkah politik yang tidak lazim serta mengarah pada praktek-prakter pemerintah otoriter dan militeristik. Peri Kecil di Sungai Nipah mencoba merekonstruksi ingatan kolektif masyarakat Indonesia terhadap watak ideologi pembangunanisme dan kampanye yang dilakukan Orde Baru untuk memperkenalkan gagasannya tersebut. Menganalisis sebuah novel yang bercerita mengenai kebijakan ekonomi politik suatu negara tidak dapat hanya dengan mengandalkan teori sastra dan pemahaman biasa. Kajian yang dilakukan sebaiknya menggunakan teori ekonomi politik yang secara langsung berhubungan dengan teks dan konteks novel tersebut. Dalam konteks PKSN yang mencoba menceritakan kampanye Orde Baru terhadap pembangunanisme, artikel ini akan sedikit banyak memaparkan apa yang dimaksud dengan konsep tersebut. Teori pembangunan merupakan suatu cara dari pihak Barat untuk memasyarakatkan secara luas konsep Kapitalisme di kalangan negara dunia ketiga. Model pembangunan ini menekankan pada meningkatnya angka pertumbuhan yang didukung oleh nilai investasi yang tinggi. Sementara kedatangan investasi biasanya berasal dari negara-negara kaya. Usaha-usaha menarik pemilik modal pun bukan perkara yang mudah. Negara-negara kaya biasanya meminta berbagai persyaratan yang berat bagi negara-negara berkembang. Persyaratan-persyaratan itu biasanya meliputi penyediaan 7 8
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Jakarta : LKIS. Idris Aman. 2010. Analisis Wacana, Bangi : Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
106
lahan yang murah, tenaga kerja murah, pajak ringan dan kemudahan investasi lainnya. Selain melakukan investasi modal negara-negara kaya juga menawarkan hutang kepada negara-negara berkembang yang mereka sebut sebagai “pinjaman lunak.” 9 Model teori pembangunan yang dikampanyekan Barat kepada negara-negara berkembang merupakan suatu usaha untuk mensubordinat negara-negara yang tersebut belakangan di bawah kuasa modal negara-negara kaya. Model teori pembangunan ini disebut juga sebagai model pergantungan Neo Kolonial. Konsep ini merupakan lanjutan daripada pemikiran Marx. Ia menganggap bahwa kemunculan dan kemunduran negara-negara dunia ketiga adalah disebabkan terutama oleh evolusi persejarahan sistem kapitalis antara bangsa yang tidak seimbang antara negara kaya dan negara miskin 10. Baran berpendapat bahwa apa yang terjadi terhadap negaranegara berkembang ini dikenal juga sebagai “pembangunan kemunduran” atau development of underdevelopment. Hal ini merupakan suatu proses pembangunan yang pada kenyataannya tidak memajukan tetapi semakin memundurkan taraf hidup masyarakat terutama di negara-negara berkembang. Pada kesempatan lain Dos Santos mengingatkan bahwa kemunduran merupakan bentuk pembangunan kapitalisme dimana pembangunan di sebuah negara ditentukan oleh pembangunan negara lain 11. Dyah Merta membedah persoalan praktek-praktek teori pembangunan pada masa awal Orde Baru secara eksplisit dalam novel PKSN. Prolog dari sosialisasi istilah “pembangunan” di desa itu ialah dibangunnya sebuah helipad di tengah ladang jagung Wak Jo, salah seorang tokoh di desa Sangir, yang saat itu dipenuhi jagung siap panen. Sekelompok kecil orang berhasil membujuk Wak Jo agar merelakan tanahnya dibangun helipad untuk pendaratan helikopter yang akan membawa pak menteri. Orang-orang tersebut membawa uang banyak untuk Wak Jo. Mereka adalah orang-orang besar sahabat penguasa. Wak Jo merasa girang hatinya mendapat banyak uang tanpa harus memanen jagung. Ia membagikan seluruh tanaman jagung kepada semua orang. Kemurahan hati Wak Jo membuat setiap sudut desa Sangir dipenuhi harum jagung muda 12. Pak menteri yang ditunggu warga desa Sangir akhirnya datang dengan menaiki helikopter. Gora menyebut benda itu sebagai “capung raksasa”. Ketibaan pak menteri dengan menumpang raksasa menarik perhatian seluruh penduduk desa Sangir. Orang-orang berkumpul memenuhi bekas ladang Wak Jo yang melebar sebagai lapangan. Seluruh penduduk gembira menyambut kedatangan pak menteri. Dalloh yang jarang berdandan tidak mau melewatkan peristiwa itu dengan memakai bedak dan gincu. Karyo Petir pun tidak ketinggalan memakai pakaian terbaiknya. Warga yang berbondong-bondong datang ke bekas ladang Wak Jo baru menyadari bahwa lelaki yang disebut pak menteri adalah seorang lelaki setengah tua dan botak. Warga desa Sangir pertama kali mendengar istilah “pembangunan” ketika pak menteri berpidato di hadapan mereka. Lelaki botak itu menyerukan tentang perlunya desa Sangir dibangun demi mendukung pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
9
Arief Budiman. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Amir Hussin Baharuddin. 1984. Ekonomi Pembangunan, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 307. 11 Ibid, hlm. 308. 12 Dyah Merta. 2007. Peri Kecil di Sungai Nipah. Jakarta : Koekoesan, hlm. 90. 10
107
Warga desa Sangir terpesona oleh kata “pembangunan” yang baru pertama kali mereka dengar. Setelah kedatangan pak menteri dengan “capung raksasa” warga desa Sangir mulai disuguhi dengan beragam aktivitas asing yang disebut-sebut sebagai usaha pemerintah untuk melaksanakan “pembangunan” di desa Sangir. Ritual “pembangunan” dimulai dengan ledakan tanda dimulainya pendirian sebuah waduk yang disambut gegap gempita seluruh penduduk. Ledakan tersebut diikuti dengan pembangunan barak-barak di sekitar lapangan bekas ladang Wak Jo. Barak-barak yang dibangun itu ditinggali oleh beberapa puluh orang tentara. Pada sisi lain barak ditinggali oleh para kuli bangunan yang didatangkan dari tempat yang jauh. Beberapa minggu kemudian banyak buldoser tiba di desa Sangir. Jalan-jalan di desa itu diperlebar dan diratakan. Kepala desa mengatakan kepada para penduduk bahwa desa Sangir tengah mengalami pembangunan dari desa menuju kota sebagaimana desa-desa yang lain. Sejak saat itu istilah “pembangunan” mulai akrab di telinga Gora kecil dan para penduduk desa Sangir. Dyah Merta menggambarkan bahwa praktek-praktek pembangunanisme yang diperkenalkan Orde Baru merupakan lipstik yang mempesona masyarakat desa Sangir. Masyarakat desa tersebut untuk pertama kalinya dihimbau agar berperan serta dalam pembangunan. Rezim menginginkan “pengorbanan yang tulus” dari masyarakat Sangir. Wak Jon adalah orang pertama di desa itu yang harus merelakan kebun jagungnya dibeli “sahabat-sahabat” penguasa demi mendukung pembangunan. Pembangunanisme Orde Baru yang menampakkan wajah bersahabat kepada masyarakat desa Sangir sebenarnya menyembunyikan sifat buruk yang bersifat menindas terhadap warga desa tersebut. PKSN menceritakan bagaimana masyarakat desa Sangir terhipnotis oleh istilah baru “pembangunan”. Mereka bukan hanya sekedar terpaku pidato pak menteri layaknya seorang nabi yang tengah bersabda namun mereka juga menjadi peserta pasif pembangunan. Dyah Merta dengan cukup baik menggambarkan secara sederhana dan lugas bagaimana Orde Baru merancang ide pembangunanisme sebagai alat untuk melakukan konsolidasi ekonomi politik pada awal pemerintahannya. Pembangunan barak-barak militer juga digambarkan Dyah sebagai bentuk lazim persekutuan penguasa otoriter Orde Baru, pengusaha dan kaum bersenjata dalam mengamankan praktek-praktek pembangunanisme yang menghalalkan segala cara. Pembangunan terhadap desa Sangir memerlukan modal yang tidak sedikit. Kapital yang diperlukan itu berasal dari pengusaha atau pihak kapitalis. Pada titik ini kaum kapitalis menuntut pengertian negara Orde Baru untuk memudahkan prosedur birokrasi dan jaminan keselamatan modalnya. Hal ini bisa sukses dilakukan apabila negara memfasilitasi kemudahan investasi modal dengan melibatkan tentara sebagai penjaga akumulasi kapital. Peri Kecil di Sungai Nipah dengan secara baik pula menggambarkan persekutuan antara negara Orde Baru, pemodal dan tentara. Dyah mengisahkan dalam novelnya bahwa ide dan praktek pembangunanisme ternyata gagal mensejahterakan masyarakat setempat. Jargon-jargon seperti “pembangunan untuk kemajuan desa” dan “masyarakat adalah subjek pembangunan” digagalkan oleh kenyataan di lapangan. Pembangunan waduk dan kemudian disusul oleh pembangunan pabrik gula “Madu Kroco” telah menyingkirkan perkebunan-perkebunan tebu dan jagung milik rakyat. Investor-investor besar membangun pengilangan air bersih dan meneguhkan kapitalisasi pertanian yang tidak terbatas. Apabila dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi pembangunan di desa Sangir memang telah menyumbang bagi stabilitas ekonomi Orde Baru. Pada sisi lain pembangunan yang didukung oleh
108
modal dari kapitalis-kapitalis yang rakus telah menghancurkan kehidupan masyarakat Sangir yang damai dan bersahaja. Pada titik inilah teori Paul Baran menemui kebenarannya bahwa pembangunanisme yang dipraktekkan Orde Baru di desa Sangir gagal membawa kemajuan. Pembangunanisme di wilayah tersebut malah memunculkan keterasingan warga sekitar dengan kehadiran waduk dan pabrik-pabrik baru. Seperti yang dikatakan Dyah Merta dalam PKSN bahwa masyarakat desa Sangir hanya mengambil sepersekian kebahagiaan sungai Nipah yang telah berubah menjadi waduk raksasa. Pendapat Baran bahwa apa yang terjadi terhadap desa Sangir sebagai bagian dari “pembangunan kemunduran” atau development of underdevelopment menemui kenyataannya yang tidak dapat ditampik lagi. Pembangunan di desa Sangir juga amat tergantung dengan keberadaan pemodal luar negeri yang menanamkan modalnya dalam pembangunan waduk di sungai Nipah 13. Dampak Konsolidasi Kekuasaan Ekonomi Politik Orde Baru Terhadap Marginalisasi Masyarakat Desa Membaca desa Sangir dalam novel ”Peri Kecil di Sungai Nipah” tidak berbeda dengan membaca miniatur Indonesia pada sebuah desa. Miniatur Indonesia yang dimaksud bukan dari segi heterogenitas penduduk yang bersuku-suku namun dari persfektif sejarah penghisapan sekelompok kecil pemodal terhadap sekelompok besar penduduk. Kisah manisnya gula yang membuat para pemodal datang dari segala penjuru dirawikan oleh Dyah dengan sangat baik. Pada fragmen ”Dari Waduk ke Ladang Tebu ke Pabrik”, ia menceritakan kepada pembaca tentang riwayat kemunculan pertama kali tanaman tebu di wilayah sungai Gangga, India hingga riwayat tebu di Jawa yang konon telah berumur 1.500 tahun. Membaca desa Sangir dari persfektif Dyah Merta adalah juga seperti membaca riwayat panjang penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia sejak zaman feodalisme, kolonialisme hingga masa pemerintahan Orde Baru Soeharto. Dyah secara eksplisit melukiskan desa Sangir dan riwayatnya sebagai kisah Indonesia pada sebuah desa di perdalaman Jawa. Sebuah sindiran yang telak jika pembaca menyimak percakapan antara Dagu dan Gora (dua tokoh dalam lakon cerita itu) berikut ini: ”INDONESIA, di mana itu? Seperti sekelumit kisah di Sangir”, Gora mengerenyitkan dahi diikuti tawa 14 Dagu. Mereka berdua tertawa bersama-sama. ”
Desa Sangir dan warganya adalah objek penindasan dan penghisapan tiada tara yang dilakukan oleh kapitalis-kapitalis besar ”sahabat penguasa”. Sebelum kedatangan pak menteri yang diikuti pembangunan waduk di Sungai Nipah dan pembangunan pabrik gula masyarakat desa Sangir hidup tentram, sejahtera dan aman. Sebagaimana Dyah Merta menuturkan : ”Sungai Nipah adalah sungai besar yang selama ini menumbuhkan tak hanya gambut dan rumput, ikan-ikan seperti terbang dan jatuh ke talam hanya dengan duduk di tepian, juga umbi dan tebu 13
Amir Hussin Baharuddin. 1984. Ekonomi Pembangunan, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 307-309. 14 Dyah Merta. 2007. Peri Kecil di Sungai Nipah. Jakarta : Koekoesan, hlm. 189.
109
bermunculan karena aliran sungai itu. Sungai yang membuat masyarakat Sangir selalu memiliki 15 senyum paling manis di samping mereka memiliki kebun gula yang manis ”
Ketentraman dan keindahan desa Sangir dan sungai Nipah hilang dalam sekejap. Sungai Nipah yang dulu menjadi sumber nafkah para nelayan kecil telah diledakkan dan berganti wujud menjadi waduk raksasa yang nyaris menenggelamkan desa Sangir. Ikan-ikan yang berterbangan lindap di dalam lumpur sungai itu. Kebun gula yang menghampar luas di desa Sangir pun telah bertukar wujud menjadi pabrik tebu yang dimiliki perseorangan. Petani tebu terhimpit oleh keberadaan pabrik gula tersebut. Mereka tidak dapat lagi mencicipi manisnya harga tebu karena pabrik tebu telah memonopoli harga jual tebu dan memaksa para petani menjual tebunya dengan harga murah. Perlahan-lahan senyum paling manis yang dimiliki warga desa Sangir pun melenyap menjadi tangisan yang mengharu-biru. Eksistensi masyarakat desa Sangir yang terpinggirkan dan terlupakan oleh penguasa dan pemodal sangat bertentangan dengan kondisi desa mereka yang mulai menampakkan kemajuan secara fisik. Dyah Merta menggambarkan pesatnya kemajuan desa Sangir tersebut : ”Dalam kurun dua puluh dua tahun, pembangunan di desa Sangir bergerak dengan kecepatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Aset paling berharga selain pembangunan waduk adalah tanah Sangir yang sangat cocok untuk menanam tebu. Proses pembangunan waduk diiringi dengan pembangunan jalan-jalan beraspal, rel kereta dan pabrik tebu. Empat tahun sesudah itu disusul pembangunan pabrik sirup Madu Kroco. Kesuksesan pembangunan di Sangir membuat banyaknya pendatang berstatus sebagai pekerja yang memang sengaja di datangkan untuk menjadi karyawan 16 dan buruh di perusahaan-perusahaan baru ”
Pabrik tebu telah menggantikan penggilingan tebu secara sederhana. Apabila dulu penggilingan tebu dilakukan dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah roda gigi dan sebuah poros sepanjang 4,5 meter maka, proses mesinisasi telah mempercepat proses penyaringan sari tebu menjadi sebanyak dua kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Kapitalisme dan mesin memang memudahkan segala proses teknikal yang selama ribuan tahun dikerjakan manusia melalui gilda-gilda sederhana. Kemajuan pesat teknologi dan industri kapitalis telah mereduksi tenaga puluhan orang menjadi tenaga sebuah mesin saja. Hal itu yang terjadi di desa Sangir. Proses mesinisasi telah mempercepat dan memudahkan segalanya namun hal itu juga yang menjadi sebab terpinggirnya masyarakat desa tersebut. Pabrik yang didirikan telah memangsa tanah-tanah subur milik penduduk setempat. Selain itu keberadaan pabrik juga secara nyata tidak memberikan kesejahteraan bagi penduduk desa Sangir karena pabrik tebu tersebut lebih memilih mengimpor tenaga buruh murah dari tempat yang jauh. Keberadaan tenaga buruh murah bukan merupakan jawaban bagi permasalahan tenaga kerja di pabrik tebu. Kedatangan tenaga buruh yang diambil dari tempat yang jauh malah melahirkan kontradiksi kelas di dalam pabrik tebu tersebut. Pabrik itu berdiri dengan dikelilingi pagar berduri yang terbuat dari anyaman kawat yang dialiri listrik dan berjeruji lancip. Orang-orang yang bekerja di 15 16
Ibid, hlm. 91. Ibid, hlm. 189.
110
dalam pabrik seperti ribuan unggas dan burung yang dikurung tanpa memiliki kebebasan sedikitpun. Mereka tinggal di mes kecil berukuran dua kali tiga, saling berhimpit dan berdesak-desakan. Di siang hari, mereka bekerja keras di pabrik bahkan lembur hingga malam hari. Sepulang bekerja, mereka masuk rumah yang hanya mirip kamar penampungan. Got mampat dan bau serta kumpulan tikus hitam yang besar-besar adalah karib yang akrab. Belum lagi kecoa dan lalat jika musim hujan tiba. Nyamuk mendengung-dengung seperti musik yang akan selalu menemani setiap tidur. 17 Seperti halnya sebuah pabrik yang didirikan oleh kapitalis-kapitalis tamak yang berniat menghisap sampai titik darah terakhir kaum buruh; pabrik tebu di desa Sangir juga dilengkapi dengan arena judi dan tempat penjualan minuman keras. Para buruh berada dalam lingkaran setan tanpa jalan keluar sama sekali. Mereka dipaksa untuk terus bekerja dengan upah kecil tanpa sedikitpun memiliki kesempatan untuk mempertanyakan penindasan tidak manusiawi yang mereka alami. Kaum buruh yang telah terjebak dengan hutang di meja judi tidak dapat lari dari kenyataan memilukan seperti ini. Bangkit menuntut kenaikan upah adalah mustahil sementara berhenti sebagai buruh juga suatu hal yang musykil karena semakin hari hutang mereka semakin menumpuk karena judi. Pada akhirnya gaji yang kecil tidak sampai ke rumah. Istri dan anak menjadi objek penindasan dan pelampiasan kesal setelah uang gaji mereka lenyap bersama minuman keras atau lesap di meja judi Proyek pembangunan Orde Baru juga menerbitkan teror-teror yang sengaja dimunculkan. Teror-teror itu dialamatkan kepada sekelompok orang yang berwawasan kritikal yang merasa tidak puas dengan keadaan di desa Sangir. Mereka juga mengorganisir buruh pabrik tebu untuk melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah dan perbaikan fasilitas. Peristiwa itu berawal di pagi hening yang tiba-tiba dipecahkan oleh sebuah demonstrasi besar-besaran seluruh buruh pabrik tebu tersebut. Demonstrasi akhirnya dihentikan dengan kesepakatan antara buruh dan pimpinan pabrik. Seorang direktur menandatangani nota kesepakatan dengan lima orang wakil demonstran di sebuah ruang kerja. Sementara dua ribu buruh pabrik masih berdiam diri di luar dengan spanduk dan yel-yel. Esok barisan yang riuh itu digantikan dengan panggilan dan barisan seratus lima puluh orang yang akan dipindahkan dengan tawaran kenaikan gaji. Seluruh pekerja yang berjumlah seratus lima puluh orang diangkut dengan tiga truk tertutup menuju pelabuhan fery di sungai Nipah. Sesampai di pelabuhan mereka dinaikkan ke dalam kapal. Kapal bergerak perlahan ke utara. Setelah setengah jam berjalan kapal tersebut tiba-tiba berhenti. Salah seorang awak kapal memanggil satu persatu buruh untuk masuk ke dalam ruangan karena akan diadakan pemeriksaan kembali dan penandatanganan kontrak kerja. Di dalam ruangan para pekerja diinterogasi dan dilucuti semua barang bawaannya sementara tubuh mereka diikat dengan sebuah besi berat, lalu mereka merasa terbang ke tempat yang sejuk akibat minuman yang dicampur obat penenang mematikan. Begitulah nasib seratus lima puluh orang yang hilang dalam semalam dan hanya terdengar suara debur disusul sepi. 18 Dyah Merta berhasil memunculkan fantasi yang luar biasa berkenaan pembantaian diamdiam terhadap seratus lima puluh buruh termasuk beberapa pemimpinnya. Sampai sejauh ini belum ditemukan data mengenai pembunuhan terencana terhadap seratus lima puluh buruh pabrik gula seperti yang diceritakan oleh Dyah Merta. Artikel memiliki dua pendapat mengenai kisah 17 18
Ibid, hlm. 190. Ibid, hlm. 197-198.
111
pembunuhan berencana ini. Pertama, cerita pembunuhan berencana terhadap seratus lima puluh buruh pabrik gula merupakan fantasi penulis melihat kekejaman dan teror yang dilakukan Orde Baru terhadap gerakan buruh dan gerakan pro demokrasi di Indonesia. Kedua, sebagaimana seorang penulis profesional yang mengedepankan keakuratan data kemungkinan Dyah Merta memiliki datadata yang mirip dengan kisah serupa yang pernah terjadi di salah satu wilayah di Indonesia. Penulis kemudian mengadaptasi kisah itu menjadi bagian dalam novelnya. Akan tetapi pendapat kedua ini memiliki tingkat probabilitas yang rendah karena apabila hal itu pernah terjadi tentu saja akan menjadi peristiwa paling buruk yang pernah dialami gerakan buruh di Indonesia sejak masa kolonial hingga sekarang. Teror-teror yang sengaja dimunculkan pihak penguasa tidak hanya mengorbankan seratus lima puluh buruh pabrik gula. Teror itu juga menimpa beberapa tokoh di dalam novel tersebut karena dianggap meresahkan para penguasa. Apparatus ideology dikerahkan untuk menghabisi mereka yang dianggap bertanggung-jawab dan berada di balik layar perlawanan kelas pekerja. Kekerasan menjadi momok yang tumbuh subur di desa Sangir. Masyarakat baru menyadari setelah teror berulang-kali menimpa mereka dan membuat mulut mereka terbungkam. Apabila kisah pembunuhan yang dialami seratus lima puluh pekerja di sungai Nipah berlangsung secara diam-diam maka, teror yang menimpa beberapa orang tokoh dilakukan secara terbuka oleh para aparat penguasa. Mandor Jarot adalah korban pertama yang mengalami nasib naas mati di tangan penembak misteris (petrus). Karyo Petir merupakan salah seorang saksi mata pembunuhan tersebut. Saat itu ia dijemput sebuah jeep misterius menuju suatu tempat yang rahasia. Dua orang lelaki yang menjemputnya menutup wajahnya dengan kain. Hanya kedua mata dan hidung mereka yang terbuka. Salah seorang dari penjemputnya mengingatkan warga desa agar tidak sekalipun meremehkan kehadiran mereka. Jika hal itu dilanggar maka malam-malam selanjutnya akan menjadi malam terburuk bagi satu persatu warga desa Sangir. Seorang lelaki yang ditangkap oleh gerombolan itu dipaksa lari dengan tangan terikat. Tidak lama kemudian suara letusan terdengar dan lelaki bernasib naas itu pun roboh tak bernyawa. Karyo Petir mengetahui bahwa lelaki yang baru saja ditembak mati itu adalah mandor Jarot. Lelaki itu adalah saingan terberatnya di arena judi sabung ayam. Mandor Jarot juga terkenal sebagai bajingan yang suka meniduri istri orang. Di antara korban mandor Jarot adalah Genuk, pembantu Karyo Petir, yang diperkosa hingga hamil. 19 Korban selanjutnya dari upaya-upaya represif penguasa adalah dengan membunuh Dagu putra pertama Karyo Petir. Dagu dibunuh secara sadis setelah diseret dari tempat persembunyiannya. Orang yang memberi tahu tempat persembunyian Dagu adalah Kulung si anak babi. Kematian Dagu seolah membayar lunas dendam Kulung kepada Karyo Petir bapak spermanya. Ia merasa puas dapat menghancurkan keluarga Karyo Petir secara bertahap. Setelah berhasil “membunuh“ bapak spermanya dengan cara mendedahkan persetubuhannya dengan Gora, Kulung secara tak langsung membunuh ibu tirinya Dago yang kehilangan suami secara mendadak. Gora juga mengalami guncangan setelah tahu lelaki yang menidurinya adalah saudara sebapaknya. Puncak dari pembalasan dendam Kulung adalah melaporkan persembunyian Dagu kepada pihak penguasa. Dagu
19
Ibid, hlm. 67.
112
dianggap musuh pemerintah dan pihak kapitalis karena menghasut warga desa Sangir untuk tidak menjual rendeman tebu kepada pabrik tebu. Tahap-tahap penangkapan dan pembunuhan terhadap Dagu merupakan tipikal pembunuhan politik yang biasa dilakukan oleh penguasa-penguasa otoriter. Dagu ditangkap dan ditahan di sebuah penjara tanpa persidangan. Gora menyaksikan penangkapan kakaknya dengan lidah kelu. Ia tak kuasa mempertahankan genggaman sang kakak. Dunia Gora menjadi kelabu secara tiba-tiba ketika lima jenderal menyeret paksa pangeran kecilnya. 20 Novel ini menguraikan tahap demi tahap penangkapan dan pembunuhan politik ala Orde Baru tersebut : “Sejak diseret dari rumahnya, dagu disekap di sebuah ruang isolasi dan diinterogasi beberapa kali. Tubuhnya lebam akibat penyiksaan yang dilakukan oleh beberapa oknum aparat. Dagu dicurigai 21 sebagai salah satu provokator kerusuhan yang akhir-akhir ini terjadi di seluruh pelosok sangir.“
Gora mendapat informasi bahwa Dagu ditahan di polsek Sangir. Ia memohon untuk bertemu kakaknya namun ditolak oleh pihak kepolisian karena tidak mendapat izin dari pihak berwenang. Hingga tiba di suatu siang ketika Gora melihat sesosok tubuh dipancang di tengah lapangan desa. Tidak seorang pun penduduk diizinkan mendekati sosok tubuh yang dipancang itu. Saat itu Gora melihat kembali kakak yang disayanginya mati dibunuh secara sadis. Tahap-tahap penyiksaan ala Orde Baru yang ditampilkan dengan baik oleh Dyah Merta : “....Dagu mencoba melarikan diri dari tahanan tapi ia tak bisa kabur dengan mudah.... Dagu ditemukan di dekat kebun tebu oleh aparat setelah pengejaran yang melelahkan. Lalu mereka menyeretnya di belakang kuda dengan tali yang diikatkan ke tangan dan kaki. Tubuh Dagu terpental kesana kemari hingga sampai ke lapangan desa. Lalu ia dipancang di tengah lapangan sebagai hukuman atas tahanan yang melarikan diri. Tapi kondisi tubuhnya sungguh mengerikan. Selain lebam, sepasang matanya mengeluarkan darah, sedang mulutnya mengeluarkan cairan berwarna hitam. Ada yang bersaksi bahwa setelah ditemukan di dekat kebun tebu, seorang oknum aparat memaksa Dagu menjulurkan lidah, lalu sebuah gunting besar menjepit lidah Dagu hingga separuh dagingnya terlempar ke tanah. Tubuhnya menggelepar seperti ayam yang disayat lehernya. Setelah itu, mereka mencambuki Dagu sebelum menyeret tubuhnya dengan kuda dan memancang tubuhnya di tengah lapangan desa. Tubuh Dagu dipancang dan dibiarkan di sana. Di bawah tubuhnya terpasang papan 22 bertulisan; PROVOKATOR PANTAS MATI SEPERTI INI.....“
Penyiksaan dan pembunuhan yang dialami Dagu nampak agak berlebihan namun kejadian seperti itu bukan merupakan suatu hal yang mustahil terjadi di sebuah negara otoriter seperti Orde Baru. Negara militeristik seperti Orde Baru memiliki kecenderungan untuk menghalalkan segala cara demi mempertahankan agenda pemerintahan dan kekuasaannya. Tahap-tahap penyiksaan dan pembunuhan yang dialami Dagu mengingatkan kami pada metode penyiksaan narapidana yang berlaku pada masa Romawi kuno dan di Eropa pada abad pertengahan. Seorang narapidana berbahaya dihukum mati dengan cara kedua tangan dan kakinya diikat ke empat ekor kuda yang 20
Ibid, hlm. 263. Ibid, hlm. 265. 22 Ibid, hlm. 266-267. 21
113
berlari menuju empat arah yang berlawanan. Para aparat membiarkan proses pelaksanaan hukuman tersebut walaupun si korban telah menjerit-jerit ketakutan. Hukuman mati tersebut baru dinyatakan berakhir apabila tubuh si terhukum berhasil diceraikan oleh keempat ekor kuda yang berlari ke empat penjuru berbeda 23. Pembunuhan politik terhadap Dagu yang dilakukan secara telanjang oleh pihak penguasa juga mengingatkan kami pada teror-teror dan pembunuhan politik dalam sejarah Jawa. Perbuatan sadis itu pernah dicontohkan oleh raja Mataram Amangkurat I yang secara sadis membantai ratusan ulama Islam. Kekuasaan Jawa yang bersifat mutlak dan tidak boleh terbagi mesti menjaga kewibawaannya dari bermacam gugatan dan ancaman. Pemilik kekuassan Jawa yang bersifat mutlak ini mesti merespon segala macam perlawanan itu secara betul, efektif dan efisien. Respon harus dilakukan secara betul tanpa kesalahan sedikit pun. Respon juga mesti dilaksanakan secara efektif dan efisien agar dapat menghemat waktu dan tenaga. Penyiksaan terhadap Dagu telah memenuhi ketiga kriteria tersebut. Pembunuhan dilakukan secara betul dengan tujuan menghancurkan dalang kekacauan. Pembunuhan dilakukan secara efektif dan efisien dengan tujuan meneror masyarakat untuk tidak sekalipun mengulang dosa-dosa Dagu terhadap penguasa. Soeharto sendiri pernah berkata bahwa ia tidak akan ragu-ragu menindak siapapun yang berniat mengusik kekuasaannya. Apa yang dilakukan oleh pembangunanisme Orde Baru di desa Sangir adalah “pembangunan kemunduran.“ 24 Rezim Orde Baru memang telah sukses membangun desa itu secara fisik namun secara mental masyarakat desa Sangir mengalami kemunduran. Desa yang semula dihidupi dengan cinta, kasih sayang dan tenggang rasa kemudian berubah menjadi perkampungan tanpa moralitas. Hal ini disebabkan oleh kapitalisme yang telah mereduksi segalanya. Saiful Arif 25 mengatakan apabila semuanya direduksi dan dipahami sebagai kapital, maka disanalah sebenarnya pereduksian nilai-nilai sosial, cita-cita nasional dan kehidupan yang sejahtera sedang terjadi. Nilai-nilai yang dahulu kerap akrab menyapa, kini berganti dengan sistem nilai baru yang menempatkan rekayasa individu dan pemilikan kapital sebebas-bebasnya sebagai tuan. Bagi sebagian orang ia adalah hantu gentayangan yang selalu siap untuk mencekik leher orang tersebut. Tetapi bagi sebagian orang ia adalah keindahan dunia tiada tara; hantu yang bagi kebanyakan orang sangat menggairahkan. Pembangunan kemunduran yang dialami desa Sangir dan sungai Nipah juga menerbitkan kecemasan dalam diri Dalloh. Istri mendiang Karyon Petir itu sering mengeluarkan keluh kesahnya terhadap dampak pembangunan di desanya kepada Gora yang telah beranjak dewasa. Menurut Dalloh sungai Nipah tak seperawan dulu. Ia bahkan mencemaskan perkembangan sungai itu yang tumbuh sebagai lelaki atau perempuan. Ia juga mengkhawatirkan bagaimana kelak amarah sungai Nipah memuncak. Sungai Nipah tak lagi menjadi ibu yang lembut tapi ia akan berubah menjadi bapak yang menenggelamkan desa. Pada kenyataannya Sungai Nipah sedang berproses menuju titik puncak kemarahannya 26. Novel “Peri Kecil di Sungai Nipah“ ditutup dengan kematian Dalloh yang terjadi secara tibatiba. Ia ditemukan Gora tak bernapas lagi, terkulai di kursi goyang, gulungan benang terlepas dari 23
Michel Foucault. 2002. Pengetahuan dan Metode : Karya-karya Penting Foucault, Yogyakarta : Jalasutra. Amir Hussin Baharuddin. 1984. Ekonomi Pembangunan, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 307-308. 25 Saiful Arif. 2000. Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 26 Dyah Merta. 2007. Peri Kecil di Sungai Nipah. Jakarta: Koekoesan, hlm. 147. 24
114
tangannya jatuh menjulai ke lantai. Semula Gora mengira ini hanya permainan ibunya tapi setelah ditunggu beberapa lama, ibunya tidak memberi reaksi apapun seperti biasa. Setelah memastikan ibunya benar-benar meninggal, ia baru memberitahu bibi Kasemi dan Kerapu. Gora menyentuh wajah ibunya, lalu menyekanya dengan handuk basah. Ia berharap wajah ibunya tetap segar sekalipun perempuan itu tidak pernah lagi membersihkan diri. Ia menatap lamat wajah yang perlahan bergerak memucat, begitu damai, dan begitu hening 27. Dalloh dikuburkan tepat di ruang tengah rumahnya. Ia tidak disandingkan dengan Karyo Petir di pemakaman umum. Dyah ingin menegaskan bahwa Dalloh adalah pusat cerita romannya walaupun kami lebih meyakini Gora-lah yang tepat disebut pusat riwayat. Sekalipun demikian Dalloh adalah riwayat penghabisan dari keluarga itu. Ia merupakan silsilah paling penghabisan yang bermukim di rumah itu. Ketika suatu kali Kulung menjenguk rumah Karyo Petir untuk membunuh rindunya pada masa lalu ia merasakan betapa aura kebesaran rumah itu telah lenyap. Sesuatu yang tertinggal adalah sebuah rumah yang menyimpan sejarah turun temurun dan peradaban sebuah keluarga. Rumah bapak spermanya itu mewakili wajah sebuah desa yang diam-diam mulai menyembunyikan riwayat masa lalu dan bermetamorfosis ke arah yang asing. Sesuatu yang asing itu adalah penindasan sewenang-wenang dan persekutuan antara penguasa, tentara dan pemodal yang melahirkan anak haram bernama pembangunan. Anak haram itu bukan saja meminggirkan warga desa Sangir namun juga telah meruntuhkan derajat mereka hanya sebagai buruh upahan yang dibayar. Pembangunanisme merubah orang-orang yang bertahan di Sangir serupa kaum hamba pendiam dan penurut. Mereka hidup di pinggiran dengan mengais-ais sampah dan menjadi penonton pasif roda kapital yang dengan rakus terus berputar. Pergerakan modal yang dahsyat dengan mengatasnamakan pembangunan telah merampas setiap remah-remah mimpi, kehidupan, kebebasan dan hak alamiah atas air dan tanah. Segala hal yang selama ratusan tahun dimiliki secara percuma oleh seluruh warga desa Sangir kini berubah menjadi properti yang dijual-belikan. Kesimpulan “Peri Kecil di Sungai Nipah“ menggambarkan proses peralihan politik dari Orde Lama ke Orde Baru dengan cukup baik. Novel tersebut juga menggambarkan proses konsolidasi ekonomi politik pada masa awal Orde Baru terhadap masyarakat pedesaan. Proses-proses tersebut mendukung hujahan Richard Robinson mengenai kemunculan Negara Orde Baru yang otoriter dengan dukungan kuat kelas pemilik modal yang bertujuan membentuk sebuah negara industri baru sebagai partner seimbang negara-negara industri di benua Eropa dan Amerika Serikat 28. Artikel ini setidaknya menyumbangkan tiga hal bagi perkembangan kajian hubungan karya sastra dengan ilmuilmu sosial: Pertama, Dyah Merta melalui PKSN berhasil mengolah gagasannya dalam melukiskan bagaimana watak ideologi Pembangunanisme yang dikampanyekan pada awal Orde Baru. Ia menggambarkan bahwa pembangunanisme Orde Baru berwatak penindas dan penghisap. PKSN juga berhasil menggambarkan betapa Orde Baru berhasil mengkampanyekan ide pembangunanisme hingga pelosok desa perdalaman seperti Sangir. Kampanye istilah ”pembangunan” dan praktek27
Ibid, hlm. 284. Richard Robinson, “Authoritarian States, Capital-Owning Classes, and the Politics of Newly Industrializing Countries: The Case of Indonesia”, World Politics, Vol. 41, No. 1 (Oct., 1988), hlm. 52. 28
115
prakteknya berhasil memporak-porandakan kearifan lokal dan kepercayaan lama mengenai penghormatan terhadap alam. Rakyat desa Sangir menyaksikan bagaimana negara telah menghancurkan sungai Nipah yang selama puluhan tahun turut menghidupi mereka. Penguasa mengganti sungai itu dengan sebuah bendungan yang ternyata tidak bermanfaat bagi masyarakat. Penduduk desa Sangir juga menyaksikan aneksasi modal terhadap tanah-tanah mereka yang subur. Sangir dan masa depannya telah dikorbankan demi ambisi-ambisi kaum kapitalis yang berwatak munkar. Kedua, PKSN secara tepat menggambarkan dampak proses konsolidasi kekuasaan ekonomi politik Orde Baru terhadap terpinggirnya masyarakat pedesaan. Dyah Merta melalui novel ini menguraikan satu persatu cara-cara represif Orde Baru ketika memulai konsolidasi ekonomipolitiknya tersebut. Konsep “Pembangunanisme“ dikampanyekan dengan dua cara yang bertolakbelakang namun dalam beberapa hal berlangsung efektif dan efisien. Pertama, penguasa menggunakan cara-cara halus dengan mengedepankan manfaat pembangunan bagi desa Sangir. Kedatangan menteri dengan “capung raksasa“, pembelian ladang Wak Jo untuk dibangun helipad dan kemudian pembangunan pabrik tebu adalah bentuk-bentuk pendekatan persuasif negara terhadap rakyat jelata. Kedua, penguasa dengan tidak segan-segan menghancurkan setiap bentuk gerakan perlawanan rakyat dengan melakukan pembunuhan politik terencana. Dalam kasus ini pembunuhan terhadap mandor Jarot, pembantaian seratus lima puluh orang yang dibunuh di tengah sungai Nipah; dan kemudian pembunuhan sadis terhadap Dagu adalah contoh-contoh nyata dari perilaku represif penguasa terhadap rakyatnya yang membahayakan stabilitas politik. Peristiwaperistiwa seperti yang dikisahkan Dyah Merta di dalam novelnya mengingatkan masyarakat pada kasus penembak misterius (petrus) yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1980-an. Pada saat itu petrus memang lebih banyak menembak mati pelaku kejahatan namun tidak menutup kemungkinan juga bermanfaat untuk menghilangkan aktivis-aktivis politik yang berbahaya. Ketiga, secara sadar maupun tidak kelahiran setiap karya sastra terutama prosa yang mengambil tema-tema sosial, budaya dan politik akan memunculkan pandangan baru mengenai suatu situasi atau peristiwa politik tertentu. Seringkali sebuah karya sastra yang ditulis bukan saja merepresentasikan suara masyarakat namun juga kerapkali melahirkan teori-teori sosial baru yang selama ini kurang mendapat perhatian dari para sarjana ilmu sosial. Karya-karya sastra bertema sosial-politik tersebut memang lebih membumi dan lebih dekat dengan fakta-fakta sosial yang terjadi di dalam masyarakat dibanding teori-teori sosial yang dibangun para ilmuwan sosial dengan pendekatan “wisatawan sosial politik.“ Para penulis prosa/novel memulai kajiannya dengan menceburkan diri ke dalam masyarakat atau situasi sosial yang akan ditulisnya seringkali tanpa pamrih dan harap. Sementara para ilmuwan sosial cenderung mendekati masyarakat yang akan dikajinya dengan menggunakan pendekatan ala wisatawan sehingga kurang memahami persoalan masyarakat tersebut hingga ke akar-akarnya. Para penulis prosa/novel, juga tanpa mereka sadari, melalui karya-karya mereka justru menghasilkan fakta-fakta sosial yang menolak teori-teori gubahan para sarjana ilmu sosial. Walaupun demikian tidak sedikit pula di antara karya-karya sastra tersebut justru memberikan fakta-fakta sosial yang mendukung teori-teori sosial yang telah ada sebelumnya. Kesimpulan akhir yang dapat dilanjutkan oleh para peneliti mengenai hubungan karya sastra dengan ilmu-ilmu sosial adalah bahwa setiap karya sastra yang mengambil tema sosial, budaya dan politik
116
dari suatu masyarakat tertentu juga memiliki peluang yang sama dengan teori-teori sosial sebagai cara pandang alternatif dan dapat dipertanggung-jawabkan. Kepustakaan Arif, Saiful. 2000. Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anggoro, Donny. ”Dongeng dari Sungai Nipah”, Koran Tempo, 16 Desember 2007. Aman, Idris. 2010. Analisis Wacana, Bangi : Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Baharuddin, Amir Hussin. 1984. Ekonomi Pembangunan, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Jakarta : LKIS. Foucault, Michel. 2001. Kegilaan dan Peradaban, Yogyakarta : Ikon. Foucault, Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode : Karya-karya Penting Foucault, Yogyakarta : Jalasutra. Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java, Chicago : The University of Chicago Press. Merta, Dyah. 2005. Hetaira, Yogyakarta : Orakel. Merta, Dyah. 2005. Pinissi : Petualangan Orang-orang Setinggi Lutut, Yogyakarta: Liliput. Merta, Dyah. 2007. Peri Kecil di Sungai Nipah, Jakarta : Penerbit Koekoesan. Robinson, Richard. 1988. Authoritarian States, Capital-Owning Classes, and the Politics of Newly Industrializing Countries: The Case of Indonesia, World Politics, Vol. 41, No. 1 (Oct.), hlm. 52.
117
CITRA INDONESIA DI DUNIA INTERNASIONAL MELALUI FOTOGRAFI: KAJIAN KRITIS ATAS ORIENTALISME HUBUNGAN INTERNASIONAL Fitra Ananta Sujawoto 1 Abstract The West was using many media to keep their colonial superiority from the East; photography was being one of their tools to keep that ideology. Indonesia, as one of the postcolonial countries, was still ‘taken for granted’ an image which build by the West since the colonial era. Dichotomy between the West and the East showed that international relations agenda still based on Orientalism.This research intended to expose, to interpret, and to understand how Indonesia being imagined by the orientalist through cultural practices of photography. Using post-colonialism approach, qualitative methods and semiothic analysis tool it was revealed that inside those orientalist photos about Indonesia are several binary opposition myths inside the scope of race, social class, and gender which positioned Indonesia as inferior eastern nation and the westerner is the superior race one in the international world.This research showed that photography used by the orientalist to construct an identity to keep the East as ‘the colonialized’ and the West as ‘the colonializer’ in post-colonial era. Key concept: Image, Myth, Ideology, Photography, Indonesia. Abstraksi Pencitraan bangsa Barat terhadap bangsa Timur di era kolonial masih berusaha dilanggengkan hingga saat ini di berbagai media, salah satunya fotografi. Indonesia, sebagai salah satu negara postkolonial juga memiliki citra warisan kolonial Barat yang masih melekat. Pelanggengan citra dikotomis antara Barat-Timur menandakan bahwa hubungan internasional tidak dapat lepas dari ideologi orientalisme. Penelitian ini bertujuan untuk menyingkap, menginterpretasi dan memahami bagaimana pencitraan Indonesia oleh para orientalis melalui praktik kebudayaan, yaitu fotografi. Dengan menggunakan pendekatan postkolonialisme, metode kualitatif, dan perangkat analisis semiotika tersingkap bahwa di dalam foto-foto para Orientalis mengenai Indonesia terdapat mitos-mitos oposisi biner dalam aspek Ras, Kelas, Gender yang memposisikan Indonesia sebagai bangsa Timur yang inferior dan bangsa Barat sebagai yang superior dalam dunia internasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fotografi orientalis merupakan suatu upaya konstruksi identitas untuk melanggengkan bangsa Timur sebagai ‘yang terjajah’ dan bangsa Barat sebagai ‘yang menjajah’ dalam era pasca kolonial. Kata Kunci: Citra, Mitos, Ideologi, Fotografi, Indonesia.
1
Penulis adalah tenaga pengajar Jurusan HI UMM. Penulis menamatkan studi S1 di Universitas Padjajaran Bandung dan studi S2 di Universitas Udayana, Bali. Penulis bisa dihubungi melalui email:
[email protected].
118
A picture is worth a thousand words (Anonim) Pendahuluan Penciptaan atas citra suatu bangsa terhadap bangsa lain merupakan pengukuhan atas identitas suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Citra ke-Timur-an yang melekat pada bangsabangsa Asia merupakan upaya bangsa Barat untuk mengukuhkan identitas bangsa Barat pada bangsa Timur. Upaya tersebut juga dapat dilihat dari citra Indonesia di awal kemerdekaan hingga saat ini yang merupakan warisan kolonial Barat. Proses pencitraan tersebut merupakan bagian dari wacana Orientalisme—suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara ‘Timur’ (the Orient) dan ‘Barat’ (the Occident)—yang dilakukan oleh para orientalis melalui berbagai macam media representasi, salah satunya media fotografi. Pencitraan atas Timur dalam naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah perjalanan, dan tulisan-tulisan lainnya membantu terciptanya dikotomi antara Barat dengan Timur. Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme memaparkan bahwa dikotomi Barat-Timur berperan terhadap dua hal, (1) pengukuhan identitas Barat dan mempertahankan serta memperluas hegemoni Barat atas bangsa-bangsa lainnya, (2) upaya pencitraan yang dilakukan oleh para Orientalis—peneliti, negarawan, pemikir politik, filolog, dan filsuf—menyediakan lensa yang dapat digunakan untuk mengendalikan Timur. 2 Sejalan dengan yang dipaparkan oleh Said, Bibin Chandra Pal dalam pandangannya mengenai struktur masyarakat dan kebudayaan India juga memaparkan hal yang serupa, Ketika … ilmuwan Eropa mempelajari keadaan-keadaan fisis negeri kita, ketika dia mengukur ladingladang kita, memetakan lembah dan bukit kita, meneliti binatang-binatang kita, tumbuhan-tumbuhan kita, atau mineral-mineral kita, maka catatan dari studinya diterima sebagai benar dan harus dipakai sebagai pedoman. Padahal, studi tentang manusia itu termasuk dalam bidang yang sama sekali berbeda … mata manusia dapat melihat, telinga dapat mendengar, tetapi makna sejati dari apa yang dilihat atau didengar itu diberikan bukan oleh indra-indra melainkan oleh pengertian yang menafsirkan apa yang didengar berdasarkan pengalaman-pengalaman dan asosiasi-asosiasi khasnya 3 sendiri.
Wacana mengenai pencitraan Barat atas Timur yang dikemukakan oleh Said dan Chandra Pal, menunjukkan bahwa pencitraan tersebut adalah hal yang penting bagi konsepsi diri Barat: 4 Jika rakyat ‘yang terjajah’ itu irasional, maka bangsa Barat rasional, jika rakyat ‘yang terjajah’ itu tidak beradab, sensual, dan malas, maka bangsa Barat adalah peradaban itu sendiri, jika Timur itu statis, maka Barat dilihat berkembang dan maju ke depan. Pembedaan-pembedaan Barat dan Timur tersebut antara lain pembedaan ras, kelas, dan gender yang kemudian membatasi hubungan 2
Ania Loomba. 2000. Colonialism/Pascacolonialism. Routdledge: New York terj. Bentang Budaya: Yogyakarta. Hlm 59. 3 Bibin C. Pall. 1958. The Soul of India: A Constructive Study of Indian Thoughts and Ideals dalam Ania Loomba. 2000. Colonialism/Pascacolonialism. Routdledge: New York terj. Bentang Budaya: Yogyakarta. Hlm 60. 4 Ibid. Hlm. 62.
119
budaya, tradisi dan masyarakatnya. Pada akhirnya, pengukuhan identitas atas Timur ‘yang feminin’ bertujuan untuk menunjukkan bahwa Barat adalah ‘yang maskulin’. Pandangan terhadap Timur juga turut berkembang, Amerika Serikat yang menjadi hegemon global pasca PD II melihat ancaman terhadap keteraturan di Timur yang telah mengalami modernisasi bukan lagi karena ‘penduduk pribumi yang malas’ ala wacana kolonial, tetapi karena kerentanan ‘orang-orang Asia’ terhadap ide-ide komunis, Islam radikal dan kerentanan terhadap beratnya kapasitas kerja. 5 Perkembangan pandangan citra ke-Timur-an ini dapat dilihat dari berbagai kurun waktu sejarah, berbagai tradisi ilmu pengetahuan, dan merefleksikan perubahan dalam kepedulian politik dan etika. Namun, perkembangan pandangan terhadap Timur tersebut tetap memiliki kategori-kategori yang sama, seperti perbedaan, ancaman, dan tatanan yang selalu ada dalam pencitraan Asia sebagai ‘yang berbeda’. Hal tersebut menunjukkan kesinambungan dalam wacana orientalis dan bukan serangkaian ide dan perhatian yang tidak berubah dan homogen. Wacana dikotomis Barat-Timur juga berlaku bagi Indonesia sebagai bagian dari Timur dan ‘yang terjajah’. Imajinasi tentang Indonesia menggunakan lebih dari sekadar proses yang sederhana dalam menandai batas-batas yang membedakan Hindia Belanda dengan koloni-koloni yang lain. Representasi tentang realitas Indonesia di dalam teks-teks politik Indonesia, tidak dapat dipahami sebagai realitas politik Indonesia an sich, tetapi harus ditempatkan di dalam bingkai wacana yang lebih luas, seperti wacana Perang Dingin, antikomunisme, teori modernisasi, teori ketergantungan, politik budaya, atau nilai-nilai Asia yang di produksi oleh kekuatan-kekuatan orientalis, yang semuanya saling silang-menyilang satu sama lainnya dan secara bersama-sama berperan mencetak apa yang disebut sebagai realitas Indonesia. 6 Pada era kolonial, Indonesia menjadi koloni dari Hindia Belanda yang di dalamnya muncul berbagai macam wacana politik. Isu kedaulatan, moralitas, good governance, dan kesejahteraan pribumi, semuanya berimplikasi spasial. Gabungan dari seluruh wacana itulah yang menjadi dasar untuk kemungkinan imajinasi tentang ‘Indonesia’. 7 Dengan kata lain, produksi identitas dan produksi ruang merupakan jalinan yang tidak mungkin dilepaskan. Citra Indonesia sebagai ras yang berkarakter malas, terbelakang dan curang, menurut S. H. Alatas dalam The Myth of Lazy Native, merupakan produk dari dominasi kolonial yang lazim muncul pada abad ke-19, ketika dominasi koloni-koloni mencapai puncaknya dan ketika eksploitasi kapitalis kolonial mensyaratkan kontrol ekstensif atas wilayah bersangkutan. Simon Philpott, penulis Rethinking Indonesia, juga beranggapan sama bahwa wacana ‘pribumi yang malas’ adalah produk dari dominasi kolonial, Wacana tentang ‘pribumi yang malas’ adalah justifikasi moral atas pemeliharaan dan ekspansi kerja paksa di Jawa, sekaligus menjadi contoh produksi karakter pribumi yang keliru. Seperti yang diungkapkan oleh Mitchell, ‘politik (diperlukan) untuk memproduksi dan mengobati karakter individu. Karakternya yang sejati adalah menjadi seorang ‘produsen’. Wacana kolonial tidak menunjukkan ciriciri umum ‘pribumi’, tetapi terbuka kemungkinan untuk berspekulasi tentang kemunculan ‘suku Jawa’, yang menjadi perintis ‘Indonesia’; Alatas adalah salah seorang yang berpandangan bahwa pribumi
5
Simon Philpott. 2000. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity terj. LKIS: Yogyakarta. Hlm. 48. 6 Yasraf A. Piliang. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Jalasutra: Bandung, hal: 293 7 Op. Cit. Hlm. 57.
120
yang lamban, bodoh, dan terbelakang’ dalam wacana kolonial telah berubah menjadi ‘pribumi yang tergantung, yang membutuhkan bantuan, yang dilengkapi dengan wacana pembangunan dan 8 modernisasi, agar bisa menaiki jenjang kemajuan’
Penjelasan dari Simon Philpott dan S. H. Alatas tersebut menunjukkan bahwa citra Indonesia saat ini merupakan produk dari kolonial. Ras Indonesia yang tergantung saat ini merupakan hasil dari wacana ras Indonesia sebagai ‘pribumi yang malas’ oleh pemerintah kolonial. Kecenderungan yang muncul dalam citra Indonesia sekarang terlihat sebagai hasil dari wacana Orientalisme yang berpengaruh pada peran dan pola interaksinya di dunia internasional. Wacana Orientalisme ini disebarkan secara korporatif, seperti yang diungkapkan Edward Said bahwa praktik pen-Timur-an tidak hanya dilakukan melalui media teks saja, tetapi juga melalui berbagai pola lain termasuk fotografi. Di satu sisi, fotografi adalah sebuah media yang menampilkan sesuatu peristiwa atau kejadian di masa lalu, artinya apa yang terlihat sebagai sebuah tanda di dalamnya tidaklah sedang terjadi tetapi sudah terlewat. Namun disisi lainnya, fotografi juga dapat menjadi representasi dari sebuah peristiwa yang didalamnya terkandung subjektifitas dari fotografer. Pencitraan Indonesia melalui fotografi dapat tampak dari beberapa foto yang diambil oleh seorang fotografer bernama Co Rentmester. Dia mengabadikan kondisi Indonesia di tahun 19301960 melalui sudut pandangnya sebagai Bangsa Barat.
Gambar 1.1 Foto-Foto Indonesia
Foto pertama di sebelah kiri berjudul Farmer with a duck herder in Bali, sementara foto kedua berjudul A Balinese girl serving tea to the visitor. Foto-foto mengenai realitas dunia Timur pada era kolonial disebarkan melalui berbagai catatan perjalanan yang dibuat oleh para orientalis pada masa kolonial. Sedangkan saat ini, di era pasca kolonial, foto-foto yang berkaitan dengan realitas dunia Timur tersebut disebarkan melalui media massa internasional. Fotografi memiliki posisi penting dalam kurun waktu satu abad terakhir karena kekuatannya dalam penciptaan realitas melalui gambar. Roland Barthes dalam Camera Lucida menyatakan bahwa fotografi adalah suatu media yang dapat menyampaikan secara materiil mengenai kondisi sosial yang sudah terlewat secara meyakinkan dan memberikan suasana bahwa kita sedang berada di
8
Op. Cit. Hlm. 64.
121
dalamnya secara mudah, “an awareness of its having been there”. 9 Fotografi menjadi dokumen dari realitas yang menggambarkan secara akurat kehadiran fisik—alam, manusia, bangunan, objek— sehingga pembaca teks tidak memiliki otoritas untuk memaknai gambar tersebut diluar dari subjektivitas juru foto. Media internasional, seperti Times, National Geographic, Asian Week, tidak hanya berperan dalam pemberitaan realitas kemanusiaan, politik, ekonomi, dan budaya suatu negara di dunia internasional, tetapi juga menentukan dan membentuk realitas itu sendiri. Realitas yang tampil di media merupakan hasil dari konstruksi yang bisa saja terjadi penambahan dan pengurangan karena ada unsur subyektifitas dari pelaku representasi, dalam hal ini adalah orang-orang dari media tersebut. 10 Konstruksi dari realitas tersebut kemudian mempengaruhi pola interaksi dari hubungan internasional, karena isu pembangunan, isu demokrasi, isu ketergantungan, dan isu hak asasi manusia akan terkait juga dengan kebijakan suatu negara terhadap negara lainnya. Pola-pola interaksi dalam studi Hubungan Internasional—East-West Countries, Depedency Theory, Interdepedency Theory, First World Countries-Third World Countries—merupakan realitas yang terkonstruksi oleh struktur korporasi dari Orientalisme yang disebarkan melalui media-media Internasional. Sehingga studi Hubungan Internasional tidak bisa mengesampingkan peran mediamedia Internasional dalam mencitrakan realitas suatu negara karena dibalik dari citra tersebut tersemat mitos-mitos dan wacana hegemonik (Orientalisme) yang dapat mempengaruhi pola-pola interaksi dalam hubungan internasional. Pemaparan latar belakang dari penelitian ini menjadi gerbang awal untuk memahami bagaimana relasi dari fotografi dengan wacana orientalisme yang mampu berpengaruh pada citra suatu negara bangsa dalam ranah hubungan internasional, khususnya Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyingkap, menginterpretasi dan memahami tentang adanya pencitraan terhadap Indonesia yang dilakukan oleh para orientalis melalui praktik kebudayaan, yaitu fotografi. Beberapa teori utama yang digunakan untuk kerangka penelitian ini, diantaranya adalah teori-teori postkolonial termasuk di dalamnya mengenai orientalisme, dan teori semiotika. Sedangkan teori pendukungnya, yaitu teori wacana dan teori mitos digunakan untuk membongkar konstruksi oposisi biner yang memposisikan Indonesia sebagai Timur ‘yang terjajah’ dalam realitas hubungan internasional. Susunan kerangka teori utama dan pendukung tersebut diharapkan mampu menjawab rumusan masalah penelitian, Bagaimanakah Citra Indonesia di Dunia Internasional dalam Media Fotografi yang dibentuk oleh wacana Orientalisme? Metode Semiotika Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan perangkat analisis teori semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes. Teori semiotika adalah sebuah ilmu atau studi yang mengkaji tentang bentuk dan makna tanda dalam kehidupan manusia yang tersirat dalam produk-produk kebudayaan, salah satunya fotografi. Roland Barthes mengembangkan dua konsep yang relevan dengan semiotik, yaitu konsep hubungan sintagmantik dan paradigmatik, dan yang kedua adalah konsep konotasi dan denotasi. Sesuai dengan sifat strukturalisme, Barthes disini 9
Tim Dant dan Graeme Gilloch, Pictures of the past Benjamin and Barthes on photography and history, European Journal of Cultural Studies, hal. 3. 10 Anang Hermawan, Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes, hal. 2
122
juga menggunakan model dikotomis. Tanda dianalisis sesuai dengan pandangan sintagmatik dan paradigmatik. Dalam hal ini Barthes mengembangkannya dengan berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala kebudayaan sebagai tanda. Sintagme adalah suatu susunan yang didasari oleh hubungan sintagmatik. 11 Penggunaan konsep ikon, simbol, dan indeks dari Roland Barthes juga akan dioperasionalkan dalam pemaknaan semiotik pada foto. Penelitian ini melakukan analisis teks dengan menggunakan metode semiotika Barthesian terhadap enam karya visual fotografi. Dalam menganalisis teks tersebut, peneliti memilah masingmasing unsur penanda-petanda-tanda dalam dua sistem pemaknaan, yaitu tingkat denotatif dan konotatif. Pemilahan penanda-petanda-tanda akan diskemakan ke dalam tabel berdasarkan metode semiotika Barthes seperti yang tampak dalam gambar 1.2.
Gambar 1.2 Signifikasi Mitos Roland Barthes
Penggunaan metode semiotika di atas pada akhirnya akan menunjukkan ideologi-ideologi Orientalisme, yaitu superioritas ras kulit putih, dependensi kelas ekonomi, maskulinitas gender. Setelah itu, peneliti juga akan menunjukkan dan menganalisis mitos-mitos yang telah ada dan berkembang dalam masyarakat mengenai ideologi orientalisme. Sedangkan, objek penelitian yang akan dibedah dalam penelitian ini adalah serangkaian karya fotografi mengenai Indonesia yang dibuat oleh John Stanmeyer. John Stanmeyer adalah pendiri VII Agency. Dia dikontrak secara regular bagi National Geograpic Magazine dan menjadi fotografer bagi Time Magazine sejak tahun 1998. John Stanmeyer lahir di Amerika Serikat dan saat ini tinggal di Indonesia, selama lebih dari 10 tahun John Stanmeyer fokus pada isu-isu Asia. Selain itu, John Stanmeyer juga mendokumentasikan dengan baik berbagai peristiwa penting di Indonesia sejak terjadi perubahan politik yang radikal pada tahun 1997. 12
11 12
Ibid, hal. 10. http://viiphoto.com/photographer.html diakses pada 22 Oktober 2009 pk 3:28 PM.
123
Gambar 1.3 Karya Fotografi John Standmeyer dalam Cover Majalah Times
Pembatasan objek penelitian yang akan digunakan dalam foto ini dimulai dari pemilihan 6 foto dari karya John Stanmeyer—fotografer bagi majalah Times, National Geographic, dan Fortune yang telah mendapatkan berbagai penghargaan Internasional 13—dalam seri Indonesia Election 2004, Mallaca Strait dan Tsunami Aceh. Kekhususan John Stanmeyer adalah mendokumentasikan realitas kemanusiaan di wilayah Asia Tenggara terutama Indonesia. Fokus foto-foto yang diambil dari karyakarya John mengacu pada perubahan kondisi di Indonesia pasca reformasi yang berujung pada pembentukan citra Indonesia di dunia Internasional. Interpretasi atau pemaknaan atas foto-foto John Stanmeyer melalui perangkat analisis teori semiotika bukan bertujuan untuk menunjukkan adanya jurnalis foto yang orientalis, tetapi justru pemaknaan terhadap karyanya dimaksudkan untuk membedah wacana dan mitos Orientalisme yang tersemat dalam karya-karya fotografinya. Ada 6 foto karya John Stanmeyer yang disusun berdasarkan konsep semiotika dari Roland Barthes, yaitu paradigmatik dan sintagmatik. Secara paradigmatik 6 foto tersebut merupakan foto yang mewacanakan superioritas Barat atas Timur, dan wacana itu disusun dalam 6 hubungan sintagmatik, yaitu
13
Robert Capa- 2000, NPPA First Place Feature Story, Mental Health in Asia/2004, World Press- 1999, POYMagazine Photographer of the Year/1 st place 1999, POY-Magazine Photographer of the Year/2 nd place 2001, POY-Magazine Photographer of the Year/3 rd place 2002, POY-Issues Reporting 1 st place: Indonesia 2002, POY-Issues Reporting 1 st place: Afghanistan and China 2001, POY-News Feature Story: Fall of Indonesian President 2001, POY-Issues Reporting: Afghanistan and China 2001, POY-News Picture Story 1999, POY-Picture Story 1999, POY-Global News 1998, POY-Portrait/Sudan 1993, NPPA -News Feature Story 2001, FCC-News Feature Story 2001& 2002, SOPA (Society of Publishers in Asia)-Best News Photography: 2000,
124
Paradigmatik (Superioritas Barat >< Timur) Ras Demokratis Barbarian
Ras Mandiri Tergantung,
><
><
Ras
Ras
Kelas Maju Terbelakang
><
Kelas
Kelas Borjuis Proletar
><
Kelas
Gender Publik >< Gender Privat
Gender Subyek >< Gender Obyek.
Tabel 1.1 Hubungan Paradigmatik dan Sintagmatik dari Objek Penelitian
Pencitraan Indonesia yang akan disingkap di dalam foto-foto John Stanmeyer tersebut sesuai dengan kajian identitas dari postkolonialisme yang terbagi menjadi ras, kelas, dan gender. Pertama, ras sebagai kelompok yang dirasialkan akan diidentifikasi dan disubordinasikan berdasarkan atas ras sebagai satu konstruk diskursif. Kedua, kelas suatu pengklasifikasian orang ke dalam kelompok yang didasarkan pada berbagai kesamaan sosio-ekonomi. Selain itu, kelas juga serangkaian ketimpangan relasional yang mencakup dimensi ekonomi, sosial, politik dan ideologi. Terakhir, gender sebagai asumsi dari praktik kultural yang mengatur konstruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Pengukuhan identitas pasca kolonial merupakan wacana penting bagi kajian postkolonialisme yang melihatnya sebagai suatu kondisi ambivalen dan asimetris antara bangsa ‘yang menjajah’ (colonizer) dan ‘yang terjajah’ (colonized). Kondisi dari identitas pasca kolonial yang
125
menjadi bidang kajian dari postkolonialisme tersebut menunjukkan bahwa identitas bangsa-bangsa Timur merupakan konstruksi dari Orientalisme yang dibangun pada era kolonial dan dilestarikan hingga saat ini oleh Barat. Konstruksi atas identitas bangsa Timur tersebut berpengaruh pada pola interaksinya di dunia Internasional, misalnya, dikotomi sebagai bangsa demokratis >< bangsa barbarians, bangsa mandiri >< bangsa tergantung, bangsa maju >< bangsa terbelakang, bangsa borjuis >< bangsa buruh, bangsa publik >< bangsa privat, bangsa subyek >< bangsa obyek. Dikotomidikotomi tersebut turut memunculkan berbagai teori pembangunan, seperti teori ekonomi, teori politik dan berbagai teori lain yang diperuntukkan untuk memajukan bangsa Timur agar sesuai dengan cara pandang bangsa Barat. Hubungan paradigmatik dan sintagmatik yang dipaparkan diatas juga mampu mengerucutkan rumusan masalah ke dalam 3 pertanyaan spesifik, Bagaimanakah mitos-mitos dari wacana Orientalisme mengenai ras yang melekat pada citra Indonesia melalui media fotografi dari karya John Stanmeyer? Kedua, Bagaimanakah mitos-mitos dari wacana Orientalisme mengenai kelas yang melekat pada citra Indonesia melalui media fotografi dari karya John Stanmeyer? Terakhir, Bagaimanakah mitos-mitos dari wacana Orientalisme mengenai gender yang melekat pada citra Indonesia melalui media fotografi dari karya John Stanmeyer? Analisis Mitos Superioritas Ras Barat atas Timur (A) Ras Demokratis >< Ras Barbarian
Foto I 14 Penanda Tk. 1
Petanda Tk. 1 Ikon Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang mengkampanyekan dirinya sebagai calon presiden dalam pemilu 2004.
14
http://viiphoto.wg.picturemaxx.com/webgate/preview.php?UURL=8bd9ff364b0af7fe1a36ba04b9c5cba0&IM GID=0003991 diakses pada 22 Oktober 2009
126
Penanda Tk. 2 / Tanda Tk. 1 Minoritas >< Mayoritas Demokratis >< Feodal Rasional >< Irrasional Penanda Tk. 3 / Tanda Tk. 2 Keunggulan Sistem Pemerintahan Barat Ideologi Orientalisme
Petanda Tk. 2 Sistem pemerintahan/demokrasi Barat dapat membawa Timur lepas dari patron feodal yang hierarkis dan irrasional. Petanda Tk. 3 Timur tidak akan beradab tanpa Barat
Fotografi karya John Stanmeyer di atas merupakan salah satu koleksi dari seri foto Indonesia Elections 2004. Pada tahun 2004, Indonesia sedang melangsungkan pemilihan umum langsung pertama sepanjang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia juga sedang memperbaiki diri dalam sistem sosial politik setelah reformasi pada tahun 1998. Melalui analisa semiotika, penanda tingkat pertama dalam foto ini merupakan keseluruhan dari gambar visual tersebut. Petanda dalam foto ini terdapat ikon Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden Indonesia yang sedang berkampanye dan berada di tengah-tengah Ikon Rakyat Indonesia. Pada tingkatan ini pemaknaan yang muncul masih berupa denotasi. Pada tingkatan kedua, baru terlihat makna konotasi yang terdapat di dalam foto ini. Tanda tingkat pertama atau penanda tingkat kedua dalam foto ini adalah dikotomi antara minoritas >< mayoritas, demokratis >< feodal, rasional >< irrasional. Bentuk dari dikotomi yang muncul adalah antara sistem dan struktur politik yang ada di Barat dengan yang ada di Timur. Makna yang tersemat di dalam dikotomi tersebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang demokratis ala Barat dapat membebaskan Timur dari struktur dan sistem sosial politik yang feodal dan hierarkis, sehingga rakyat juga dapat berpartisipasi penuh dalam sistem politik suatu negara. Lebih jauh lagi, pada tingkatan ketiga tersingkap bahwa mitos yang disematkan dalam visual fotografi tersebut adalah keunggulan dari sistem pemerintahan Barat daripada peradaban Timur. Sistem pemerintahan Barat seperti dikatakan sebelumnya pada tingkat dua adalah sistem yang memunculkan pembaharuan dalam struktur masyarakat Timur. Hal ini berarti sistem pemerintahan Barat dapat mengubah masyarakat Timur yang awalnya tidak beradab menjadi Beradab dikarenakan sistem pemerintahan tersebut menghilangkan struktur hierarkis dan feodal dari masyarakat. Makna tersebut menjadi petanda tingkat tiga dalam foto ini. Di dalam karya foto ini juga terdapat hubungan sebab akibat dengan peristiwa Pemilihan Umum Langsung 2004 yang sedang di selenggarakan di Indonesia. SBY-JK merupakan salah satu calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu 2004. Melalui sistem pemilihan umum langsung yang pertama kali diselenggarakan oleh Republik Indonesia, maka rakyat dapat memilih calon presidennya secara langsung. Sistem pemilihan langsung Presiden ini mengadopsi sistem demokrasi Barat, sistem ini dianggap kesejahteraan bagi negara penganutnya. Amerika Serikat sebagai negara dengan sistem demokrasi termaju di dunia menunjukkan hegemoni politik dan ekonomi melalui sistem yang telah dibangun ratusan tahun, sementara India menjadi negara dengan sistem demokrasi yang berpopulasi penduduk terbesar di dunia dan telah menjadi salah satu negara industri maju. Sistem demokrasi langsung ala Barat ini dianggap mampu untuk mengubah
127
perekonomian dan politik Indonesia yang terpuruk setelah era reformasi yang menandai keruntuhan rezim orde baru karena rakyat dapat secara langsung memilih pemimpinnya. Kebudayaan Timur yang dianggap irrasional, tidak demokratis dan mistik berlawanan dengan sistem demokrasi Barat yang mementingkan rational choice dalam pembuatan kebijakan. Pandangan ini yang kemudian membuat Barat merasa diperlukan untuk menyebarkan paham-paham demokrasi mereka dengan tujuan untuk mengubah citra Timur tersebut. Penempatan Timur yang sepenuhnya berlawanan dengan Barat perihal sistem politik tersebut tentu bukan hanya untuk mengubah pandangan Timur tentang “diri” mereka sendiri, tetapi juga perlunya Barat untuk mempertahankan dominasi dan hegemoni mereka dalam sistem politik dunia. Dalam bukunya, Said mengemukakan sebuah kritik terhadap konsep-konsep Barat tentang masyarakat Timur dan terhadap bagaimana wacana orientalisme mengukuhkan proses kolonialisme dan supremasi politik dunia Barat. Orientalisme lebih mengacu pada wacana-wacana khusus dalam mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk dikendalikan. Dalam wacana orientalisme termuat nilainilai kekuasaan. Dari proses pembacaan semiotika terhadap teks/foto tersebut ditemukan tanda tingkat 1 yang tersemat di dalamnya, yaitu ideologi sistem demokrasi Barat pada level denotasi, dan ketika pemaknaan dilanjutkan hingga level konotasi, muncul tanda orientalisme. Melalui teks ini dibangunlah suatu mitos bahwa Barat adalah suatu kekuatan yang mendominasi politik dunia melalui sistem demokrasinya. Mitos yang dikemas dalam bentuk fotografi ini kemudian disebarkan ke masyarakat dengan tujuan untuk mempertahankan dominasi Barat perihal kondisi politik dunia. (B)
Ras Mandiri >< Ras Tergantung
Foto II 15 Penanda Tk. 1
Petanda Tk. 1 Pemberian bantuan bahan makanan yang dilakukan Angkatan Udara Amerika Serikat melalui helikopter diterima oleh masyarakat Krueng Raya, sebuah kota yang terisolasi pasca Tsunami Aceh dan tampak seorang perempuan mengangkat karung beras sendiri.
15
http://viiphoto.wg.picturemaxx.com/webgate/preview.php?UURL=94030f9eada5a47691e6f0610d66e63a&I MGID=00041919 diakses pada 22 Oktober 2009
128
Penanda Tk. 2 / Tanda Tk. 1 Petanda Tk. 2 Minoritas >< Mayoritas Barat merupakan bangsa yang berperan Global >< Lokal penting dalam masalah kemanusiaan secara Maju >< Terbelakang global dan dapat membantu Timur bangkit dari Maskulin >< Feminin kondisi pasca bencana. Mandiri >< Tergantung Kuat >< Lemah Penanda Tk. 3 / Tanda Tk. 2 Petanda Tk. 3 Keunggulan Barat dalam modal, peralatan dan Timur tidak akan bangkit dan kuat tanpa Barat sistem penanggulangan bencana. karena Timur adalah bangsa yang tergantung pada Barat. Ideologi Orientalisme Fotografi karya John Stanmeyer kali ini merupakan salah satu foto dari rangkaian seri Aceh Tsunami pada tahun 2004. Bencana yang terjadi di Aceh saat itu membuat Indonesia menjadi perhatian dunia. Bantuan-bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk diberikan bagi Indonesia, tidak sekedar bantuan yang berupa materi tetapi juga perbaikan dalam segi penanggulangan bencana dan pencegahan dampak bencana untuk Indonesia di masa mendatang, baik dari segi sistem penanggulangan bencana maupun alat-alat untuk dapat mengatasi kondisi pasca bencana sehingga cepat bangkit kembali. Di dalam foto tersebut, penanda tingkat pertama merupakan bagian keseluruhan dari foto itu sendiri, sementara petanda yang menjadi makna dari foto tersebut dapat terlihat dari ikon seorang perempuan yang memperoleh bantuan berupa beras seorang diri diantara korban bencana tsunami yang lain, foto ini mengambil lokasi di daerah Krueng Raya yang terisolasi pasca bencana Tsunami. Bantuan logistik tersebut diberikan oleh Angkatan Udara Amerika Serikat menggunakan helikopter mereka yang mampu menjangkau lokasi-lokasi sulit secara geografis di Aceh. Penanda tingkat dua dalam foto ini terlihat bahwa adanya oposisi biner antara bangsa Barat dengan bangsa Timur, antara lain, minoritas >< mayoritas, global >< lokal, maju >< terbelakang, maskulin >< feminin, mandiri >< tergantung dan kuat >< lemah. Di dalam oposisi biner tersebut memiliki makna atau petanda, yaitu bangsa Barat merupakan bangsa yang berperan penting dalam masalah kemanusiaan global dan membantu Timur untuk dapat segera bangkit dari kondisi bencana yang dialaminya.
129
Dalam berbagai persoalan kemanusiaan yang muncul dalam sistem internasional saat ini, seringkali posisi negara-negara Barat tampil sebagai sosok pahlawan. Mitos superioritas Barat berusaha dilanggengkan melalui berbagai hal untuk mempertahankan hegemoni Barat atas Timur. Ras Barat ditampilkan sebagai ras yang superior dan sebaliknya ras Timur ditampilkan sebagai ras inferior yang selalu bergantung pada Barat. Pada pemaknaan tingkat tiga, mitos yang tersemat di dalam foto ini adalah keunggulan Barat dari segi modal, peralatan dan sistem penanggulangan bencana kemanusiaan. Makna dari mitos ini ialah ketidakmampuan Timur untuk menyelesaikan permasalahan bencana dan bangkit pasca bencana tanpa keberadaan Barat. Ideologi dari struktur penciptaan mitos tersebut jelas adalah orientalisme karena sangat berkaitan dengan penciptaan dikotomi antara Barat dengan Timur. Hasil analisis semiotika yang dilakukan pada teks/foto John Stanmeyer Aceh Tsunami menunjukkan bahwa pada tanda tingkat 1 tersemat ideologi Barat sebagai bangsa yang berperan penting dalam masalah kemanusiaan global dan dapat membantu Timur untuk bangkit dari kondisi pasca bencana. Sedangkan, pada pemaknaan tingkat 2, yaitu pada level konotasi tampak bahwa Timur tidak dapat bangkit dan kuat tanpa keberadaan Barat, karena Timur adalah ras yang tergantung pada Barat. Foto Aceh Tsunami dari John Stanmeyer sekaligus mengukuhkan mitos Orientalisme yang ada selama ini bahwa Barat adalah ras yang mandiri dan tidak bergantung pada ras Timur, sementara ras Timur berada pada posisi yang sebaliknya. Analisis Mitos Superioritas Kelas Barat atas Timur (A) Kelas Maju >< Kelas Terbelakang
Foto III 16 Penanda Tk. 1
Petanda Tk. 1 Ikon Seorang laki-laki sedang menarik gerobak penuh rumput didepan proses pembangunan sebuah kompleks gedung tinggi yang rencananya akan menjadi mall mewah di Jakarta.
16
http://viiphoto.wg.picturemaxx.com/webgate/preview.php?UURL=55c9fe69a89e3a2100e8aed0432d3b50&I MGID=00039922 diakses pada 22 Oktober 2009
130
Penanda Tk. 2 / Tanda Tk. 1 Modern >< Tradisional Budaya Tinggi >< Budaya Rendah Penanda Tk. 3 / Tanda Tk. 2 Keunggulan Modal, Pengetahuan dan Teknologi Barat. Ideologi Orientalisme
Petanda Tk. 2 Pola pembangunan Barat akan membawa Timur keluar dari keterbelakangan. Petanda Tk. 3 Timur tidak akan bertahan tanpa Barat.
Kota Jakarta merupakan ibukota dari Negara Indonesia, pembangunan menjadi isu sentral di Negara Indonesia. Pemerataan pembangunan, ketimpangan ekonomi, dan kesejahteraan menjadi bagian dari isu-isu negara yang sedang berkembang. Di dalam salah satu koleksi foto John Stanmeyer yang berjudul Indonesia Election 2004 terdapat foto-foto yang mengangkat permasalahan tersebut. Salah satunya adalah foto diatas yang diambil di salah satu lokasi di Jakarta. Melalui analisa semiotika, penanda tingkat pertama dalam foto tersebut adalah keseluruhan dari foto itu sendiri dan petanda tingkat pertamanya ialah bagian-bagian dari foto tersebut. Petandanya antara lain, ikon dari suatu gedung bertingkat yang sedang dalam proses pembangunan yang rencananya akan menjadi sebuah pusat perbelanjaan ekslusif di Jakarta. Lalu, teks Luxurious Shopping Mall yang memperjelas tujuan pembangunan dari gedung bertingkat tersebut. Di bagian bawah dari foto tersebut terdapat ikon rakyat Indonesia yang di juktaposisikan dengan orang tua sedang mendorong gerobak penuh dengan rumput. Penanda dan petanda ini membentuk makna pada level denotasi. Pada level konotasi, tanda tingkat dua dari foto tersebut terdapat dikotomi antara nilai-nilai modernitas >< tradisionalitas, lalu antara budaya tinggi >< budaya rendah. Dikatakan seperti itu karena ikon-ikon dari gedung bertingkat dan ikon dari seorang bapak dengan gerobaknya menunjukkan perbedaan yang ketat dari kedua nilai tersebut. Sehingga di dalam bentuk ikon-ikon tersebar seperti yang dijelaskan tersebut tersemat makna bahwa melalui pola pembangunan ala Barat dapat membawa Timur keluar dari keterbelakangannya. Keterbelakangan dalam artian disini adalah dari segi modal, pengetahuan, dan peralatan yang digunakan dalam proses pembangunan kesejahteraan dan ekonomi suatu negara. Pada tingkatan ketiga yang terdiri dari mitos, penanda tingkat tiga dan petanda tingkat tiga, tersemat mitos keunggulan modal, pengetahuan, dan teknologi Barat. Bentukan mitos tersebut mengandung makna bahwa di dalam proses pembangunan kesejahteraan, Timur tidak akan dapat bertahan tanpa adanya Barat. Dari analisa semiotika dalam foto ini dapat terlihat ideologi yang membentuk struktur dari foto tersebut adalah orientalisme. Hubungan kausalitas antara kondisi perekonomian Indonesia pasca reformasi dengan foto yang dikaryakan oleh John Stanmeyer dalam metode semiotika disebut dengan indeks. Keseluruhan bagian penanda dari foto tersebut yang terdiri dari teks luxurious shopping mall, ikon gedung bertingkat yang sedang dibangun, dan ikon rakyat Indonesia dengan gerobak dorong yang melintas di gedung yang sedang dibangun tersebut berhubungan sebab akibat dengan perekomian Indonesia pasca reformasi. Relasi penanda dan petanda tersebut memunculkan mitos relasi sistem kapitalisme
131
dan kesejahteraan ekonomi. Sistem kapitalisme tersebut berasal dari dunia Barat, karenanya ideologi yang terkandung dalam foto tersebut adalah orientalisme. Dari analisis semiotika yang dilakukan pada karya John Stanmeyer tampak bagaimana upaya Barat dalam melanggengkan citra Indonesia sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga yang juga menjadi bagian dari upaya pengukuhan dikotomi Barat-Timur dalam hal ekonomi. Pada tanda tingkat 1 menunjukkan bahwa Pola pembangunan Barat yang direpresentasikan oleh teks Luxurious Shopping Mall dapat membawa Timur keluar dari keterbelakangan ekonomi. Sedangkan pada tanda tingkat 2, tampak keunggulan modal, pengetahuan dan teknologi Barat dapat membantu Timur untuk maju dalam hal ekonomi. Namun, dibalik tanda itu tersemat makna bahwa Timur adalah bangsa yang bergantung pada Barat, tingkat kemajuan ekonomi dari Indonesia ditentukan dari sejauh mana Indonesia mampu menyesuaikan diri dengan tingkat kemajuan ekonomi yang dicapai negara-negara Barat. Pada akhirnya, foto John Stanmeyer menjadi salah satu media yang ikut mengukuhkan wacana dikotomis kelas antara Barat dengan Timur dan sekaligus mempertahankan mitos orientalisme. (B)
Kelas Borjuis >< Kelas Buruh
Foto IV 17 Penanda Tk. 1
Petanda Tk. 1 Seorang bapak sedang berada di atas sebuah kapal keruk berkarat yang bernama “Marcopolo 78” yang biasa mengangkut kelapa dan nanas dan di bagian belakang tampak kapal kontainer dengan muatan besar. Lokasi foto tersebut berada di PSA Port, Singapura, salah satu pelabuhan kontainer paling sibuk dan paling besar di Selat Malaka dan merupakan jalur pelayaran paling penting di dunia. Petanda Tk. 2 Sistem perdagangan dunia menempatkan
Penanda Tk. 2 / Tanda Tk. 1 Global >< Lokal 17
http://viiphoto.wg.picturemaxx.com/webgate/preview.php?UURL=d41703f9cae550e9cdb06439ece8165e&I MGID=00040363 diakses pada 22 Oktober 2009
132
Maju >< Terbelakang Timur sebagai Buruh daripada subjek yang Kaya >< Miskin berperan secara global. Borjuis >< Buruh Rasio >< Tubuh Penanda Tk. 3 / Tanda Tk. 2 Petanda Tk. 3 Kemajuan sistem perdagangan dan ras Barat yang Konstruksi pikiran dan mental yang menggunakan rasio. menyebabkan Timur menjadi tergantung pada Barat Ideologi Orientalisme Melalui analisa semiotika dapat terlihat struktur yang membentuk pemaknaan dari foto tersebut diatas. Penanda tingkat pertama di dalam foto tersebut merupakan keseluruhan dari foto itu sendiri yang memiliki makna/petanda gambaran dari kesibukkan pelabuhan di Port PSA Singapura, salah satu pelabuhan tersibuk di Selat Malaka. Di pelabuhan port PSA itu tampak kapal kontainer yang sedang beroperasi di jalur pelayaran paling sibuk dan penting di dunia saat ini, sementara di bagian depan dari foto tampak seorang bapak sedang berada di kapal Marcopolo 78, sebuah kapal keruk yang juga berfungsi untuk mengangkat muatan kelapa dan nanas. Pada tanda tingkat 2 atau di level konotasi, akan terlihat penanda yang muncul pada tingkatan kedua ini, yaitu oposisi biner Barat-Timur, antara lain kelas global >< kelas lokal, kelas maju >< kelas terbelakang, kelas kaya >< kelas miskin, kelas borjuis >< kelas buruh, dan kelas yang menggunakan pikiran >< kelas yang menggunakan tubuh. Pemaknaan pada level ini menjadi petanda, bahwa pada akhirnya sistem perdagangan dunia saat ini menempatkan sebagian besar bangsa Timur menjadi Buruh dalam alur perdagangan global daripada menjadi subjek berpikir yang mampu berperan secara global. Pemaknaan pada tanda tingkat kedua, membongkar mitos yang tersemat adanya kemajuan dari peralatan dan sistem perdagangan, serta pengetahuan dari bangsa Barat. Mitos ini dibentuk dengan tujuan untuk mengonstruksi Timur agar selalu bergantung pada Barat dalam hal perdagangan global. Hubungan perdagangan Barat dengan Timur kemudian berkembang menjadi satu upaya untuk melakukan kolonialisasi dalam bentuk yang lebih halus di wilayah-wilayah Timur. Melalui perdagangan kemudian diproyeksikan citra identitas Timur dengan Barat yang berbeda, dan membentuk oposisi-oposisi biner yang bertahan hingga saat ini. Oposisi biner kelas global >< kelas lokal mengonstruksi pikiran bahwa Timur berperan lebih sempit dalam perdagangan global daripada yang selama ini pernah, sedang, dan akan dilakukan oleh bangsa Barat. Pola perdagangan ini kemudian menjadi sarana persebaran nilai-nilai norma Barat sebagai kelas yang unggul di dunia Timur. Bangsa Barat ditampilkan memiliki sistem yang lebih maju daripada yang dimiliki oleh bangsa Timur. Konstruksi pikiran atas Barat yang lebih maju memposisikan Timur sebaliknya, menjadi bangsa terbelakang yang berperan sebagai buruh, miskin, dan menggunakan tubuhnya dalam berdagang. Globalisasi dan pasar bebas memang membawa kesejahteraan dan pertumbuhan, namun hanya bagi segelintir orang karena sebagian besar dunia ini tetap menderita. Ketika budaya lokal makin hilang akibat gaya hidup global, tiga perempat penghuni bumi ini harus hidup dengan
133
kurang dari dua dollar sehari. Satu miliar orang harus tidur sembari kelaparan setiap malam. Satu setengah miliar penduduk bumi tidak bisa mendapatkan segelas air bersih setiap hari. Satu ibu mati saat melahirkan setiap menit. Upaya analisis semiotika yang dilakukan terhadap karya fotografi John Stanmeyer menggambarkan adanya penguasaan teknologi informasi dan jaringan media global oleh Barat ternyata melanggengkan posisi Timur menjadi bangsa yang ketergantungan pada bangsa Barat dalam perdagangan global. Makna tanda tingkat 1 yang menunjukkan bahwa Timur selama ini hanya berperan sebagai buruh dalam arus perdagangan global. Lebih jauh lagi, makna tanda tingkat 2 berujung pada mitos bahwa Timur adalah bangsa yang tergantung pada Barat, karena selama ini Timur berdagang menggunakan tubuhnya sementara Barat menggunakan rasionya. John Stanmeyer melalui fotonya menjadi pintu untuk menunjukkan bahwa ideologi Orientalisme dalam konteks perdagangan global masih hadir hingga saat ini. Analisis Mitos Superioritas Gender Barat atas Timur (A) Gender Publik >< Gender Privat
Foto V 18 Penanda Tk. 1
Petanda Tk. 2 Ikon Christina Aguilera dalam poster yang menempel di lemari menggunakan pakaian ketat dan ikon seorang perempuan tua dari suku agil dengan pakaian tradisional sedang duduk di sudut ruangan.
18
http://viiphoto.wg.picturemaxx.com/webgate/preview.php?UURL=62b56b5544c0cbd777c137e05e12151c&I MGID=00040277 diakses pada 22 Oktober 2009
134
Penanda Tk. 2 / Tanda Tk. 1 Oposisi Biner Gender Barat >< Gender Timur Kulit Putih >< Kulit Berwarna Modern >< Tradisional Publik >< Privat Global >< Lokal Maskulin >< Feminin Penanda Tk. 3 / Tanda Tk. 2 Superioritas Barat atas Timur
Petanda Tk. 2 Penciptaan Dikotomi Barat vs Timur ini bertujuan untuk menciptakan identitas Timur dan penciptaan diri atas identitas Barat yang lebih unggul.
Petanda Tk. 3 Pengonstruksian mental kepatuhan Timur atas Barat dalam bentuk kolonialisasi pikiran dan mental.
Ideologi Orientalisme Fotografi karya John Stanmeyer ini merupakan salah satu dari koleksi Malacca Strait yang dipublikasikan oleh viiphoto agency. Foto ini diambil oleh John Stanmeyer di kawasan pedalaman Selat Malaka yang menjadi tempat bermukimnya Suku Agil. Penanda tingkat pertama pada foto ini adalah keseluruhan dari gambar fotografi yang didalamnya terdapat ikon-ikon yang berikutnya menjadi petanda. Petanda tersebut terdiri dari ikon Christina Aguilera yang berada dalam poster dan ikon perempuan tua Suku Agil yang berjongkok di sudut ruangan dengan mengenakan pakaian tradisional setempat. Penada dan petanda pada level ini masih bersifat denotatif. Pada level konotatif, menunjukkan adanya oposisi biner antara gender Barat dengan gender Timur yang tersemat, antara lain gender kulit putih >< gender kulit berwarna, gender modern >< gender tradisional, gender publik >< gender privat, gender global >< gender lokal, gender maskulin >< gender feminin. Penanda ini memiliki makna yang dalam metode semiotika barthesian disebut sebagai petanda, bahwa penciptaan dikotomi antara Barat dengan Timur bertujuan untuk penciptaan identitas atas Barat yang lebih unggul dari pada Timur serta pencitraan identitas Timur seperti yang diinginkan Barat. Keberadaan sosok Christina Aguilera melalui media poster di rumah dari penduduk asli Suku Agil di Selat Malaka yang menunjukkan bahwa globalisasi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pedalaman di Selat Malaka, Indonesia. Setelah tahun 2000, musik pop dengan frekuensi yang begitu cepat bisa berada di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Musik pop tidak hanya membawa pengaruh musik terhadap masyarakat Indonesia, tetapi juga bagaimana seharusnya gaya hidup masyarakat Indonesia agar sesuai dengan budaya pop global. Masyarakat pedalaman yang pada awalnya hidup secara tradisional dengan berpola kebudayaan tribal, kemudian perlahan mengadopsi perilaku-perilaku modern yang telah ditanamkan nilai-nilai Barat, gaya berbusana, perilaku keseharian, tata cara perdagangan, dan pola berpikir masyarakat pedalaman. Isu globalisasi menjadi isu yang utama dalam kaitannya dengan kebudayaan Barat saat ini. Perilaku kultural Amerika Serikat terhadap bangsa-bangsa Timur telah membuat hilangnya identitas nasional dan budaya pribumi bangsa-bangsa lainnya. Budaya Barat yang telah berkuasa dan dipaksakan secara langsung sejak era kolonialisme kini telah berganti rupa dengan kedok globalisasi.
135
Melalui globalisasi inilah hegemoni dan dominasi kebudayaan Barat atas Timur dilakukan. Oposisi biner antara Barat-Timur tetap mereka pertahankan untuk mengukuhkan identitas mereka di dunia Timur. Barat tetap menjadi aktor utama dalam globalisasi melalui sebaran nilai-nilai-nya, sementara Timur hanya menjadi reseptor bagi arus globalisasi yang terus berkembang pada abad ke-21 ini. Globalisasi budaya adalah proses homogenisasi dunia di bawah bantuan budaya popular Amerika atau paham konsumsi budaya Barat pada umumnya. Perubahan-perubahan telah terjadi semenjak kedatangan pertama Suku Agil pada satu abad yang lalu di kepulauan Teluk Kelapa. Gejala ini disebabkan perubahan teknologi komunikasi dan informasi, serta perubahan sistem ekonomi pasar global telah juga memberikan dampak pada hubungan-hubungan antar suku bangsa. Perolehan informasi yang cepat melalui media-media massa dan elektronik memberikan perubahan struktur kebudayaan pada masyarakat-masyarakat pedalaman. Dalam pandangan ini, wacana yang dibangun melalui budaya kulit putih global telah menempatkan Timur pada posisi yang inferior dibandingkan Barat, atau dikatakan menjadi subordinat dari Barat. Kecantikan, keseksian, gaya berpakaian dan gaya hidup yang dibawa oleh ratu pop dunia seperti Christina Aguilera, telah menjadi patokan bagi masyarakat Timur yang mayoritas tidak memiliki kecantikan sesuai dengan standar Barat tersebut dikonstruksi untuk mengikuti standar itu. Dari proses pembacaan semiotika terhadap teks/foto tersebut ditemukan ideologi yang tersemat di dalamnya, yaitu ideologi oposisi biner Barat-Timur pada level denotasi, dan ketika pembukaan dilanjutkan hingga level konotasi, muncul tanda orientalisme. Melalui teks ini dibangunlah suatu mitos bahwa Timur adalah subordinat dari Barat yang berarti inferioritas Timur. Mitos yang dikemas dalam bentuk fotografi ini kemudian disebarkan ke masyarakat dengan tujuan untuk mempertahankan dominasi Barat perihal globalisasi budaya. (B)
Gender Subyek >< Gender Obyek
Foto VI 19 Penanda Tk. 1
Petanda Tk. 1 Beberapa perempuan sedang bersiap untuk bekerja malam sebagai “wanita bar” di sebuah bar yang berada di Batam,
19
http://viiphoto.wg.picturemaxx.com/webgate/preview.php?UURL=d41703f9cae550e9cdb06439ece8165e&I MGID=00040238 diakses pada 22 Oktober 2009
136
Indonesia. Batam telah dikenal sebagai tujuan wisata seksual bagi turis asing.
Penanda Tk. 2 / Tanda Tk. 1 Petanda Tk. 2 Subyek >< Obyek Perempuan Timur adalah perempuan yang Maju >< Terbelakang menjadikan dirinya sebagai objek, Orang bebas >< Budak terbelakang dan budak karena sifatnya Macho >< Eksotik yang liar. Beradab >< Liar Penanda Tk. 3 / Tanda Tk. 2 Penanda Tk. 3 Timur adalah bangsa yang tidak beradab Pengonstruksian mental dan pikiran Timur dibandingkan bangsa Barat. oleh Barat agar Timur selalu merasa menjadi objek dan terbelakang. Ideologi Orientalisme Di dalam salah satu novel bergaya orientalis yang terkenal karangan Flaubert berjudul The Dancer of Esna terdapat tokoh perempuan Timur bernama Kuchuk Hanem. Penggambaran Kuchuk Hanem disini adalah seorang perempuan liar, tidak beradab, dan tidak memahami nilai-nilai kesopanan yang sesuai dengan standar nilai dan norma Barat. Di dalam seri foto Malacca Strait karya John Stanmeyer juga terdapat penggambaran mengenai kondisi dari Batam yang menjadi destinasi wisata seksual bagi wisatawan asing. Pada level denotasi, penanda tingkat pertama di dalam foto tersebut merupakan keseluruhan dari foto yang terdiri dari ikon seorang perempuan yang bekerja di suatu bar di kota Batam. Kota yang juga dikenal karena berada pada lokasi perdagangan paling strategis di Selat Malaka ini memiliki kehidupan malam yang sangat dekat dengan aktivitas seksual para wisatawan asing. Penjelasan atas ikon-ikon yang terdapat di dalam foto tersebut menjadi petanda tingkat pertama dalam foto ini. Pada level konotasi, penanda tingkat kedua di dalam foto ini utamanya adalah oposisi biner antara perempuan Barat dengan perempuan Timur, antara lain subjek >< objek, maju >< terbelakang, orang bebas >< budak, macho >< eksotik, dan beradab >< liar. Dikotomi antara Barat dengan Timur tersebut memiliki makna bahwa perempuan Timur adalah perempuan yang menjadikan dirinya sebagai objek, budak, memiliki sifat liar dan terbelakang, serta tidak berfikir bebas dan memiliki eksotika yang sebaliknya keseluruhan citra ini tidak dimiliki oleh perempuan Barat yang menjadi oposisi dari dikotomi tersebut.
137
Pada level ketiga yang tersemat mitos dari foto ini adalah bangsa Timur yang tidak beradab dibandingkan dengan bangsa Barat. Mitos tersebut bertujuan untuk mengonstruksi pikiran Timur agar tidak pernah menjadi setara dengan Barat perihal nilai-nilai norma dan selalu menjadi bangsa yang terbelakang serta objek bagi dirinya sendiri. Struktur dari foto ini berideologi orientalisme, karena memiliki tujuan yang sama dengan foto-foto sebelumnya untuk membuat perbedaan identitas antara citra Barat dengan Timur. Orientalisme memandang tanah-tanah dan rakyat-rakyat asing di luar Eropa memunculkan bayangan pengalaman seksual yang baru, maka dunia itu jadi menarik tapi sekaligus mengerikan bagi imajinasi Eropa. Harapan kesenangan seksual itu didasarkan pada asumsi bahwa ras-ras yang berkulit gelap atau non-Eropa itu tak bermoral, mengumbar seks, mengumbar nafsu dan selalu berhasrat pada orang Eropa. Pencitraan atas perempuan-perempuan Timur yang menjadi obyek tidak hanya mengacu pada seksualitas saja. Orientalisme meletakkan wacana bahwa perempuanperempuan Timur juga menjadi obyek dalam kehidupan sehari-harinya, berbeda dengan perempuan-perempuan Barat yang menjadi subyek. Analisis semiotika Barthesian yang dilakukan pada foto John Stanmeyer menggambarkan struktur mitos Orientalisme yang tersemat dari tingkat tanda 1, tanda 2, hingga pada level mitos dan ideologi. Makna tanda tingkat 2 menunjukkan bahwa perempuan Timur adalah perempuan yang menjadikan dirinya sebagai objek, terbelakang dan budak karena sifatnya yang liar. Hal itu merupakan upaya untuk mengukuhkan posisi Barat sebagai gender yang lebih beradab daripada gender Timur. Pada akhirnya, foto tersebut mampu membedah makna Orientalisme yang bertujuan untuk mengonstruksi mental dan pikiran Timur agar selalu menjadi objek bagi Barat. Fotografi Orientalisme: Upaya Simbolik Pengukuhan Citra Indonesia sebagai Bangsa Timur Di dalam karya-karya fotografi yang telah dibongkar pemaknaannya diatas, tersemat mitosmitos yang berkaitan dengan pandangan orientalisme. Pandangan tersebut berupaya untuk memunculkan citra Indonesia di dunia Barat sesuai dengan cara orientalis selama ini. Penggunaan dikotomi-dikotomi memang terus berkembang dengan menggunakan cara-cara baru dan dinamis, tetapi nilai-nilai yang ditanamkan masih sama. Inilah yang oleh Edward Said disebut sebagai Orientalisme Laten, pelanggengan atas nilai-nilai Barat dengan Timur dalam koridor untuk memunculkan perbedaan. Sedangkan kedinamisan pola yang digunakan oleh para orientalis merupakan wujud dari orientalisme nyata. Secara paradigmatik, pandangan mengenai Timur yang lemah dan disisi lain adanya superioritas Barat berideologi Orientalisme. Sementara sintagmatiknya dapat terlihat bahwa Orientalisme memiliki struktur untuk penciptaan citra ke-Timur-an dari segi ras, kelas dan gender. Adanya upaya untuk menunjukkan keunggulan Barat dalam hal sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem norma, pola peradaban, nilai-nilai keperempuanan, dan pengetahuan serta modal Barat. Sebaliknya, Timur diposisikan sebagai bangsa yang harus dibantu dalam segi pembangunan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di dalam foto-foto karya John Stanmeyer tersebut terlihat bahwa Indonesia sebagai salah satu dari bangsa Timur juga masih berada dalam tahap yang sama dengan bangsa Timur yang lain. Indonesia masih merupakan negara yang tidak memiliki kemandirian, serta nilai-nilai politik yang bukan hanya memiliki patron feodal tetapi juga tradisional. Sehingga perlu adanya nilai-nilai Barat
138
untuk mewujudkan modernitas bagi Indonesia agar tercipta sistem dan struktur sosial budaya yang lebih beradab. Secara ekonomi, Indonesia juga dianggap masih menjadi negara yang menjadi objek dan buruh bagi sistem ekonomi secara global. Memang pada tataran sistem ekonomi makro, Indonesia dianggap sudah mampu untuk bersanding dengan negara-negara maju lainnya, tetapi pada kenyataannya rakyat Indonesia masih memiliki tingkat ketimpangan kesejahteraan ekonomi yang tinggi. Wacana orientalisme dalam hal ini memanifestasikan dirinya sebagai sebuah sistem ide yang berpengaruh atau sebagai jaringan berbagai kepentingan dan makna yang bersifat intertekstual yang diimplikasikan dalam berbagai konteks sosial, politik dan konstitusional dari hegemoni kolonial. Berbagai gambaran mengenai Timur yang mistis, aneh, tidak beradab dan barbar, Barat terus mengkonstruksi sebuah wacana yang menempatkan Timur sebagai inferior dan Barat sebagai superior. Barat tidak hanya ingin mendominasi Timur melalui imperialisme secara politik dan militer. Bahkan, di era postkolonial Barat juga ingin menjajah non-Barat melalui konstruksi wacana yang dianggap absah dan representatif untuk menggambarkan dunia Timur. Kesimpulan dan Saran Melalui pendekatan postkolonialisme, metode kualitatif, dan alat analisis semiotika, penelitian yang bertujuan untuk menyingkap, menginterpretasikan dan memperoleh pemahaman bagaimana pencitraan Indonesia di dunia internasional melalui media fotografi yang berideologi Orientalisme tercapai. Di dalam foto-foto John Stanmeyer mengenai Indonesia terdapat mitos-mitos Orientalisme dalam aspek Ras, Kelas, Gender yang memposisikan Indonesia sebagai bangsa Timur yang inferior dan bangsa Barat sebagai yang superior dalam dunia internasional. Dalam konteks ras, pencitraan yang dilakukan oleh para orientalis melalui media fotografi terhadap Indonesia disematkan mitos oposisi biner dalam bingkai wacana ras demokratis >< barbarians, dan ras mandiri >< tergantung. Ras Barat dicitrakan sebagai ras yang demokratis dan mandiri, ras yang mampu untuk menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan tidak tergantung pada ras yang lain. Sementara ras Timur berada pada posisi sebaliknya, sebagai ras yang barbar karena tidak mampu untuk mengakomodasi perebutan kekuasaan, dan ras yang tergantung karena tidak mampu untuk menyelesaikan problematika kemanusiaan tanpa bantuan dari ras yang lain. Di dalam konteks kelas, pencitraan yang dilakukan oleh para orientalis melalui media fotografi terhadap Indonesia disematkan mitos oposisi biner dalam bingkai wacana kelas maju >< terbelakang, dan kelas borjuis >< buruh. Kelas Barat dicitrakan sebagai kelas yang maju karena peradabannya yang tinggi, berbeda dengan kelas Timur yang tidak memiliki peradaban tinggi sehingga menjadi kelas terbelakang dalam struktur ekonomi internasional. Selain itu, kelas Barat merupakan kelas borjuis yang memiliki keunggulan modal ekonomi, sehingga di dalam interaksi ekonomi internasional menjadi bangsa yang unggul. Citra kelas borjuis pada bangsa Barat memposisikan bangsa Timur sebagai kelas Buruh, karena tidak memiliki keunggulan modal ekonomi sehingga di dalam struktur ekonomi internasional tidak dapat menjadi aktor utama. Konteks yang ketiga adalah gender, pencitraan yang dilakukan oleh para orientalis melalui media fotografi terhadap Indonesia disematkan mitos oposisi biner dalam bingkai wacana gender subyek >< obyek, dan gender publik >< privat. Gender Barat menjadi memiliki peran sebagai subyek dalam dunia internasional, tidak lagi menjadi obyek seperti citra yang melekat pada gender Timur.
139
Tubuh dari gender Barat lebih berfungsi sebagai subyek dan bukan lagi seperti Timur yang menggunakan tubuhnya sebagai obyek. Pencitraan berikutnya yang melekat pada tubuh bagi Barat adalah wacana gender publik. Barat dicitrakan sebagai suatu bangsa yang perempuannya memiliki fungsi dan peran di ranah publik, tidak lagi berada di ranah privat seperti yang melekat pada Timur. Di dunia internasional, interaksi yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Barat memiliki tempat di ruang publik, terjadi sebaliknya bagi perempuan-perempuan Timur yang kebanyakkan hanya berkutat pada ruang privat. Bingkai wacana yang didalamnya tersemat mitos dari Orientalisme ini disebarkan di dunia internasional melalui berbagai media, salah satunya fotografi. Pencitraan yang dilakukan oleh orientalis terhadap Indonesia ditampilkan dalam berbagai media internasional melalui foto-foto. Sehingga foto selain mempunyai kelebihan karena dapat menampilkan realitas, namun juga memiliki kelemahan karena realitas tersebut dibatasi oleh ideologi dari fotografer dan dapat digunakan sebagai medium pelanggengan kekuasaan. Dalam ranah hubungan internasional, citra yang dilekatkan oleh bangsa Barat bagi Indonesia dapat berpengaruh terhadap interaksinya sebagai aktor internasional. Pengaruhnya terlihat dari kebijakan politik, ekonomi, dan berbagai perumusan kebijakan yang diambil oleh Indonesia dalam bingkai ideologi Orientalisme. Padahal, pencitraan yang dilakukan oleh bangsa Barat melalui berbagai media merupakan suatu upaya konstruksi identitas untuk melanggengkan bangsa Timur sebagai ‘yang terjajah’ dan bangsa Barat sebagai ‘yang menjajah’ dalam era pasca kolonial. Pemaknaan atas citra Indonesia melalui media fotografi diatas dapat digunakan sebagai dasar untuk memproduksi citra atas Indonesia dengan mitos-mitos yang berbeda. Indonesia memiliki banyak sekali mitos-mitos dari kebudayaan lokal atau tradisi lisan yang seandainya dimaknai dengan baik akan memunculkan citra yang baik pula. Saat ini Indonesia memang sudah disemati oleh berbagai mitos dari luar yang tidak berasal dari nilai-nilai dasar bangsa kita. Pemerintah harus jeli melihat nilai-nilai lokal mana saja yang dapat dikembangkan sebagai pencitraan bangsa dan negara Indonesia. Ke depan, praktik kebijakan Indonesia dalam hal pencitraan dapat lebih mengedepankan nilai-nilai lokal yang berasal dari tradisi lisan. Konsep Bhinneka Tunggal Ika berasal dari Kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular. Dalam Kitab tersebut konsepsinya adalah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa yang berarti bahwa keseluruhan manusia di bumi ini pada dasarnya satu. Pada akhirnya tinggal bagaimana negara ini menggali serta merumuskan nilai-nilai luhurnya untuk dapat digunakan sebagai modal dasar pencitraan negara dan bangsa kedepan dalam perkembangan era media yang begitu pesat. Kiranya, ungkapan “sebuah foto bermakna jutaan katakata” menjadi gambaran bahwa hubungan internasional tidak lagi dapat mengesampingkan peran fotografi dalam pembentukan citra suatu negara-bangsa saat ini. Daftar Rujukan Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Jalasutra: Bandung. Barthes, Roland. 2007 Petualangan Semiologi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Philpott, Simon. 2000. Membongkar Indonesia: Teori Poskolonial, Otoritarianisme, dan Identitas. LKIS: Yogyakarta. Piliang, Yasraf. 2005. Transpolitika Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Jalasutra: Bandung.
140
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Bentang Budaya: Yogyakarta. Said, Edward. 2001. Orientalisme. Pustaka: Bandung. Said, Edward. 2005. Kebudayaan dan Kekuasaan. Mizan: Bandung. Jurnal: Sylvester, Christine. 2008. Art, Abstraction, and International Relations Millennium - Journal of International Studies. Sage Publications. Dant, Tim, Graeme Gilloch. 2008. Pictures of the past Benjamin and Barthes on photography and history - European Journal of Cultural Studies. Sage Publications. Situs: http://viiphoto.com/photographer.html
141
KEBIJAKAN KETAHANAN ENERGI JEPANG DI ABAD 21: FUNDAMENTALISME NEGARA DAN DIVERSIFIKASI SUMBER ENERGI Muhammad Faris Alfadh 1 Abstract st This paper attempts to explain Japan’s energy security policy in the midst of 21 century difficult situation. On the one hand, the emergence of China and India as new competitors in the global energy market has forced Japan to be more aggressive in securing its energy supply. On the other hand, unfavorable political instability in the Middle East, as the main supplier of Japan’s energy, brings the energy vulnerability and uncertainty. st Therefore, the politics of energy in the 21 century will be characterized by an aggressive strategy of Japan. In addition to the efficiency policy and diversification of energy use, Japan will seek to find other new sources place like Russia and central Asia, as well as direct intervention policies to secure the sources of energy rather than giving credence to the market mechanism. By doing so, politically, Japan’s energy strategy would encourage the high level of competition and vulnerability of energy security in the Asia-Pacific. Keywords: energy security, Japan’s energy security policy, diversification, energy vulnerability Abstraksi Tulisan ini mencoba menjelaskan kebijakan ketahanan energi Jepang di tengah situasi yang cukup sulit abad 21. Di satu sisi, munculnya China dan India sebagai kompetitor baru di pasar energi dunia memaksa Jepang untuk lebih agresif mengamankan pasokan energinya. Di sisi yang lain, instabilitas politik di kawasan Timur Tengah, sebagai pemasok utama energi Jepang, membawa ketidakpastian dan kerentanan. Karena itu, politik energi di abad 21 akan diwarnai oleh strategi agresif Jepang. Selain kebijakan efisiensi dan diversifikasi penggunaan energi, Jepang akan berupaya mencari sumber-sumber baru ke Rusia dan Asia tengah, serta mengambil kebijakan intervensi langsung ke sumber-sumber energi daripada menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Ini artinya, langkah Jepang akan mendorong tingginya persaingan serta kerentanan pola politik energi di kawasan Asia-Pasifik. Kata-kata Kunci: ketahanan energi, kebijakan ketahanan energi Jepang, diversifikasi, kerentanan energi
1
Penulis adalah Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Email:
[email protected]
142
Pendahuluan Ketahanan energi akan selalu menjadi agenda prioritas tersendiri dalam politik luar negeri Jepang. Hal ini tidak terelakkan, mengingat untuk mendukung industrialisasi dan kemajuan ekonomi, Jepang memerlukan pasokan energi dalam jumlah besar, sementara sumber energi dalam negeri sangat terbatas. Karena itu, kebijakan untuk memastikan stabilitas pasokan energi dari luar negeri menjadi penting bagi para pengambil kebijakan Jepang. Di tahun 1970-an Jepang pernah mengalami persoalan serius akibat terganggunya pasokan energi menyusul krisis minyak di tahun 1973. Hal tersebut berdampak sangat buruk bagi ekonomi Jepang. GDP turun drastis sementara harga barang terus melonjak. Sejak itu ketahanan energi menjadi isu penting dalam politik luar negeri Jepang. Ketergantungan Jepang terhadap pasokan energi impor, terutama minyak, terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama beberapa dekade Jepang bahkan mendominasi permintaan energi di Asia. Selama dekade 1980-an dan 1990-an Jepang tidak mengalami persoalan serius dalam hal pasokan energi. Namun demikian, awal abad dua satu menghadirkan situasi yang cukup rentan. Hal tersebut, setidaknya, dapat dilihat dari tiga indikator: Pertama, tidak adanya sumber daya alam dalam negeri berupa energi. 2 Kedua, selama Perang Dingin, Jepang tidak banyak menghadapi kompetitor dalam mendapatkan pasokan energi. Dengan munculnya China dan India sebagai kompetitor baru, kini situasinya tampak semakin kompleks. Ketiga, Jepang juga dihadapkan pada kemungkinan adanya gangguan terhadap pasokan energi dari Timur Tengah (sebagai pemasok minyak terbesar Jepang selama ini) yang disebabkan instabilitas politik di kawasan tersebut pasca perang Irak yang masih menyisakan persoalan akut, begitu juga ancaman terorisme. Selain itu, merebaknya gelombang revolusi di negara-negara Arab sejak akhir tahun 2010 memperkuat ketidakpastian. Oleh karena itu, di awal abad 21, Jepang sangat berkepentingan menitik beratkan perhatian pada isu ketahanan energi. Tulisan ini akan mengelaborasi kebijakan dan strategi Jepang dalam mengamankan pasokan energinya di era yang cukup kompkes ini. Penulis berargumen, selain terus berupaya mengurangi ketergatungan terhadap minyak, sebagaimana yang dilakukan selama ini, Jepang juga akan lebih agresif dalam memasuki sumbersumber energi baru di luar kawasan Timur Tengah seperti Rusia, Asia Selatan dan Afrika. Kurang kuatnya tradisi bilateral dengan ketiga wilayah tersebut merupakan persoalan tersendiri. Karena itu peran dominan negara akan menjadi ciri khas kebijakan Jepang. Alih-alih mengikuti skema pasar dalam mengamankan pasokan energi, agresifitas Jepang akan lebih banyak didominasi intervensi kuat negara. Hal ini selain sebagai upaya menghadapi China, India, serta Korea Selatan, yang sudah lebih dulu melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah baru tersebut, juga untuk memastikan tidak adanya gangguan yang bisa mengancam stabilitas pasokan energi dari persoalan politik dan keamanan global seperti terorisme, pembajakan, ataupun konflik horizontal. Secara politik, kebijakan Jepang akan semakin meningkatkan tensi kontestansi dalam mendapatkan pasokan energi di kawasan Asia. Persaingan antara negara-negara (ekonomi) besar
2
Jepang menjadi negara anggota IEA (International Energy Agency) paling kritis dalam soal ketersediaan energi dalam negeri mengingat lokasinya yang terisolasi serta ketiadaan sumber daya alam. Lihat IEA. 2003. Energy Policies of IEA Countries: Japan 2003 Review. OECD: Paris. hlm. 7.
143
seperti China, Jepang, India, Korea Selatan, begitu juga Indonesia (yang sudah menjadi negara netimportir minyak), dengan demikian tidak terhindarkan lagi. Besarnya Kebutuhan Energi Impor Tidak diragukan lagi, perhatian serius Jepang terhadap kebijakan ketahanan energi didasarkan pada kenyataan akan besarnya ketergantungan laju ekonomi nasioal serta transportasi lokal terhadap pasokan energi. Fakta bahwa minimnya sumber energi dalam negeri membuat Jepang sangat bergantung kepada pasokan energi dari luar. Saat ini Jepang merupakan negara konsumen energi terbesar keempat di dunia setelah AS, Rusia, dan China. Namun perbedaan paling mendasar adalah, ketiga negara yang disebutkan sebelumnya juga penghasil energi, sementara Jepang tidak. Hampir semua cadangan energi Jepang berupa minyak, batu bara, dan gas alam, bergantung pada pasokan luar negeri. 3 Kesadaran akan ketergantungan energi luar negeri sudah dirasakan Jepang sejak terjadinya krisis minyak tahun 1973. Krisis yang turut melambungkan harga minyak di pasar dunia tersebut menjadi pengalaman buruk bagi negara-negara industri dunia, khususnya Jepang, yang saat itu mulai menerapkan model ekonomi developmental state. Bahkan negara yang sering dijuluki negeri matahari terbit ini mengalami kerugian paling teruk karena ketiadaan sumber energi dalam negerinya. Sejak itu ketergantungan Jepang terhadap pasokan energi luar negeri semakin tinggi. Hingga tahun 1980-an, sebanyak 90 persen dari total kebutuhan energi Jepang berasal dari impor. Jumlah tersebut sedikit berkurang menjadi 85 persen di tahun 1990-an karena kebijakan pengurangan jumlah konsumsi serta pembangunan sumber energi alternatif. Dari total konsumsi energi nasional Jepang, minyak masih menjadi yang paling utama. Di tahun 2007 saja, konsumsi minyak Jepang mencapai hampir 5 juta barel perhari, menjadikannya sebagai konsumen terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China. Walaupun pembagian total konsumsi telah banyak mengalami penurunan sejak 1970-an, namun saat ini minyak tetap dominan yakni sebesar 49 persen, menyusul setelahnya batu bara (20 persen), gas alam (14 persen), serta tenaga nuklir (13 persen) (lihat grafik)
3
Kojiama, A. 2005. “East Asia’s Thirst for Energy”. Japan Echo, 32 (5). hlm. 32-35.
144
Pasokan minyak Jepang sebagian besar berasal dari negara-negara di Timur Tengah, yakni sebesar 90 persen (lihat grafik). Jumlah ini naik dari 70 persen di tahun 1980-an. Jepang sebenarnya sudah mampu mengurangi ketergantungan dari negara-negara Timur Tengah sejak krisis minyak tahun 1973, namun ketergantungan tersebut kembali meningkat, terutama sejak awal dekade 1990an. Kebijakan Jepang untuk kembali bersandar pada pasokan minyak Timur Tengah turut dipengaruhi oleh beberapa negara Asia Timur lainnya seperti China dan juga Indonesia. Kedua negara ini, yang sebelumnya turut mengekspor minyak ke Jepang, beralih menjadi net importir karena meningkatnya konsumsi domestik seiring laju modernisasi di dua negara tersebut. 4 Karena itu pilihan untuk kembali ke Timur Tengah tidak bisa dihindari mengingat kebutuhan akan minyak yang masih sangat dominan.
Sumber energi terbesar kedua Jepang adalah batu bara, yakni sebesar 20 persen. Dan untuk sektor ini hampir 100 persen Jepang tergantung dari pasokan luar negeri. Sebagian besar impor berasal dari negara-negara yang cukup stabil secara politik seperti Australia dan Kanada. 5 Sementara untuk gas alam menyumbang sekitar 14 persen dari total energi nasional. Sebagian besar (sekitar 97 persen) gas alam Jepang bergantung dari pasokan luar negeri yang berasal dari negara yang cukup beragam namun sebagian besar dari kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, selanjutnya adalah Australia.
4
Untuk kasus Indonesia, selain dipengaruhi konsumsi nasional yang terus meningkat, juga dikarenakan jumlah produksi minyak dalam negeri yang terus menurun. 5 Jain, Purnendra. 2007. “Japan’s Energy Security Policy in an Era of Emerging Competition in the Asia-Pacific”. Dalam Michael Wesley. Energy Security in Asia. New York: Routledge. hlm. 33
145
Jepang juga aktif meningkatkan kebutuhan sendiri dengan membangun teknik baru dalam mengumpulkan energi, seperti solar atau teknologi tenaga angin. Meski demikian, skup pembangunannya masih sangat terbatas disebabkan biaya produksi yang cukup tinggi serta kebutuhan akan kondisi cuaca alam. Walhasil, langkah altrenatif tersebut masih menjadi sumber yang tidak stabil. Melihat komposisi dan persentase konsumsi energi nasional Jepang, tampaknya di tahuntahun mendatang Jepang masih akan banyak bergantung pada energi minyak impor. Namun demikian, ketergantungan terhadap satu sumber dominan tentu sangat mengkhawatirkan, apalagi jika sumber tersebut lebih banyak berasal dari negara-negara di kawasan Timur Tengah—kawasan yang nota bene mengalami intensitas gejolak politik cukup tinggi. Perang Irak yang masih menyisakan persoalan akut, serta gelombang revolusi di beberapa negara, semakin membuat kawasan ini tidak stabil secara politik. Untuk memaksimalkan akses terhadap energi, pemerintah Jepang turut melibatkan beberapa negara di kawasan ini dalam pertukaran sumber daya manusia dan kerjasama di sektor minyak, seperti pembangunan teknologi penyulingan. Namun tetap saja situasi di kawasan bisa berubah kapan saja. 6 Karena itu di antara strategi Jepang di awal abad dua satu adalah kebijakan diversifikasi: baik diversifikasi jenis energi dengan terus mengembangkan energi-energi alternatif dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak, ataupun diversifikasi sumber pemasok energi secara geografis. Selain itu, Jepang akan mendorong intervensi negara yang lebih besar dalam memastikan tersedianya pasokan energi, baik melalui upaya diplomatik maupun membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan nasional Jepang. Pertama, salah satu upaya positif yang berhasil dilakukan Jepang selama ini adalah terus mengurangi ketergantungan terhadap minyak, yakni dengan melakukan diversifikasi energi ke gas 6
Ibid. hlm. 31.
146
alam, batu bara, dan tenaga nuklir. Langkah ini setidaknya cukup berhasil mengurangi ketergantungan Jepang terhadap minyak sebesar 50 persen dari toal kebutuhan. Permintaan minyak dalam negeri Jepang mengalami penurunan sejak tahun 2005 dengan pengecualian pada tahun 2008 yang sempat mengalami peningkatan, dan kembali turun di tahun 2009. Penurunan ini didorong oleh faktor struktural, seperti penggantian bahan bakar, pengereman jumlah populasi dan target efisiensi energi. Ditambah lagi perubahan yang terjadi di sektor industri dengan mulai digunakannya gas alam. 7 Kedua, Jepang terus berupaya mencari sumber-sumber energi di wilayah-wilayah yang baru sebagai upaya diversifikasi secara geografis. Negara-negara seperti Rusia, Asia Tengah, dan Afrika akan menjadi prioritas baru Jepang dalam kebijakan ketahanan energinya. 8 Diversifikasi dan Fundamentalisme Negara: Strategi di Tengah Kompleksitas Setelah krisis minyak tahun 1973, yang berdampak sangat buruk bagi ekonomi nasional Jepang, ketahanan energi menjadi poin penting dalam perumusan kebijakan keamanan Jepang. Hal ini segera tampak dalam laporan “Japan’s Comprehensive National Security” di tahun 1980. 9 Ada dua poin penting yang tertuang dalam laporan tersebut: (a) memastikan cukupnya pasokan energi Jepang dalam jangka panjang, terutama menyikapi kemungkinan tingginya permintaan energi dunia, baik dari negara-negara industri maju ataupun yang baru mengalami industrialisasi; (b) melakukan perubahan metode dalam memastikan pasokan energi dengan terus mengembangkan sumbersumber energi lain seperti gas, batu bara, dan tenaga nuklir, seiring upaya untuk terus mereduksi tingkat konsumsi minyak. Terkait poin kedua, dua tahun sebelumnya, yakni tahun 1978, Ministry of International Trade and Industry (MITI) sebenarnya telah menekankan pentingnya meningkatkan konsumsi batu bara, gas alam, tenaga nuklir dan sumber energi terbarukan termasuk solar, teknologi gelombang biomass dan angin. Upaya ini terbilang cukup berhasil menurunkan jumlah konsumsi minyak dari 82 persen di tahun 1972 menjadi 72 persen di tahun 1980. Kini dari total konsumsi energi nasional Jepang, konsumsi sektor minyak tidak lebih dari 50 persen. Meski demikian, dari sisi pemasok energi, terutama minyak, upaya diversifikasi secara geografis yang dilakukan tampaknya belum cukup berhasil. Pada awalnya Jepang mampu mengurangi ketergantungannya terhadap Timur Tengah melalui sumber-sumber minyak di Asia Pasifik dan Afrika, namun kini Jepang kembali bergantung ke negara-negara Timur Tengah—bahkan jumlahnya mencapai 90 persen dari total permintaan minyak nasional. Kebijakan diversifikasi juga turut mendorong upaya penggunaan tenaga nuklir. Di tahun 2004, Jepang memiliki 53 reaktor tenaga nuklir, menjadikan Jepang sebagai negara dengan jumlah reaktor nuklir terbanyak ketiga setelah AS (103) dan Prancis (57). 10 Penggunaan tenaga nuklir memang sangat potensial. Jepang sangat mungkin memproduksi lebih banyak bahan bakar daripada
7
EIA (Energy Information Administration). 2008. Country Analysis Briefs, Japan. hlm. 2. Ibid. hlm. 4. 9 Chapman, J. W., Drifte, R, & Gow, I.T.M. 1982. Japan’s Quest for Comprehensive Security: Defence, Diplomacy, Dependence. New York: St Martin’s Press. hlm. 189. 10 Jain, Purnendra. Op.cit. hlm. 33 8
147
jumlah konsumsi mereka. Artinya Jepang akan mampu mereduksi dengan sangat signifikan ketergantungan mereka dari pasokan luar negeri. 11 Tenaga nuklir memang menjadi sumber energi alternatif yang cukup menjanjikan. Selain berbiaya murah (jauh lebih murah dibandinghkan minyak), juga ramah lingkungan. Namun demikian, tenaga nuklir bukannya tanpa persoalan. Salah satu kekhawatiran adalah potensi bahaya dari plutonium (bahan dasar kasar dari senjata nuklir) yang dihasilkan selama proses produksi. Selain itu keselamatan menjadi faktor yang sangat penting diperhatikan. Beberapa kasus kecelakaan nuklir telah berdampak buruk pada kepercayaan akan keamanan pemanfaatan tenaga nuklir. Salah satu kasus, misalnya, ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir di Shernobyl, Ukraina, tahun 1986. Selain itu, yang menjadi kekhawatiran paling besar di kawasan Asia Pasifik justru pada dampak politik di kawasan. Sebagaimana yang dikemukakan Calder, “permintaan energi yang begitu tinggi (justru) akan menciptakan kondisi proliferasi nuklir di Asia”. 12 Secara regional, tambahan kapasitas tenaga nuklir Jepang bisa jadi akan memicu perlombaan nuklir baik di kawasan Asia Timur maupun Asia Pasifik, terutama dua negara tetangga Korea Selatan dan juga China. Tren peningkatan penggunaan tenaga nuklir ini juga akan diikuti oleh negara Asia lainnya, termasuk India. Di tahun 2005, Agency for Natural Resource and Energy (ANRE) mengeluarkan kebijakan dasar energi Jepang, dengan mengidentifikasi lima prinsip dalam menjaga ketahanan energi: 13 Pertama, Jepang perlu meningkatkan stabilitas suplai energi, memastikan cadangan minyak dalam negeri dan mengembangkan ladang minyak sendiri. Kedua, perlu melaksanakan program perlindungan energi. Ketiga, Jepang perlu mengembangkan sumber energi alternatif yang lain. Keempat, demi mendukung pencegahan global warming, perlu penggunaan lebih banyak tenaga nuklir dan energi terbarukan (tanpa CO2) dan gas alam (yang memiliki sedikit kandungan CO2). Kelima, Jepang perlu mendorong reformasi sektor energi dalam merespon globalisasi, memastikan semua pemain ada dalam mekanisme pasar serta aturan yang berlaku. Namun demikian melihat isu energi dunia internasional yang semakin kompleks, membuat Jepang perlu mengambil langkah serius. Kini Jepang menghadapi tantangan tidak hanya dari kompetitor-kompetitor baru seperti China dan India, melainkan juga kompleksitas persoalan politik dan keamanan global seperti terorisme, pembajakan, serta konflik horizontal, yang bisa jadi akan sangat mengganggu stabilitas pasokan energi Jepang. Isu terorisme, misalnya, dipandang oleh pemerintah Jepang sebagai salah satu ancaman paling serius terkait keamanan pasokan energi. 14 Dalam laporan yang diberi judul “Interim Security Report” yang dikeluarkan Japan’s Energy Security Group bulan Juni 2006, disebutkan bahwa terorisme menjadi salah satu ancaman paling serius yang dihadapi Jepang, terutama di jalur-jalur laut yang sering dilalui kapal-kapal pengangkut minyak dari Timur Tengah ke Jepang. Jalur yang paling rentan terhadap serangan terorisme adalah selat Malaka.
11
Calder, K. E. 1997. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, energy and Growth Threaten to Destabilize Asia-Pacific. London: Nicholas Brealey Publishing. hlm. 6. 12 Ibid. 13 Jain, Purnendra. Op.cit. 14 Eric Watkins. 2006. “Japan’s Energy Supplies at Risk”. Terrorism Monitor. Volume 4, Issue 22.
148
Selain juga beberapa jalur laut lainnya. Begitu juga kemungkinan adanya serangan-serangan terorisme yang bisa berdampak langsung terhadap jalur-jalur pipa, ataupun beberapa terminal. 15 Di tahun 2006 Jepang merumuskan kebijakan ketahanan energi yang baru, dan cukup berbeda dari kebijakan tahun 2005 sebelumnya, terutama pada poin terakhir. Strategi terbaru Jepang yang dikeluarkan Ministry of Economy Trade and Industry (METI) di bulan Mei dengan judul “New National Energy Strategy”, menjadi upaya pemerintah membangun visi yang menyeluruh terkait kebijakan ketahanan energi, yang menekankan pada peran pemerintah dalam memastikan pasokan energi, dengan mendorong perubahan dari mekanisme keterbukaan pasar ke upaya intervensi pemerintah yang lebih besar. 16 Hal ini cukup berbeda dari kebijakan pemerintah Jepang sebelumnya yang cenderung mendukung lebih besar pada mekanisme pasar. Strategi Jepang yang baru ini juga menggambarkan upaya peningkatan keamanan dengan memadukan tujuan dari kebijakan energi dan kebutuhan akan penekanan kemandirian melalui kebijakan efisiensi ekonomi. 17 Strategi tersebut terdiri dari tiga poin penting: Pertama, meningkatkan peran aktif pemerintah dalam menentukan pasokan energi Jepang dan struktur permintaan. Tindakan ini termasuk meningkatkan efisiensi energi serta diversifikasi dan desentralisasi sumber energi. Tenaga nuklir mendapat perhatian serius terkait kemampuannya mengurangi ketergantungan dari luar, serta mengurangi emisi CO2. Kedua, memperkuat diplomasi dan meningkatkan kemampuan Jepang dalam menjamin stabilitas pasokan minyak dan sumber gas alam. Ketiga, memperbesar kemampuan Jepang dalam merespon keadaan darurat dengan meningkatkan sistem penyediaan stok gas. Upaya ini termasuk melibatkan sektor swasta dalam sistem penanggulangan resiko yang lebih besar yang bisa datang kapan saja, baik akibat kecelakaan, bencana alam, ataupun insiden seperti terorisme. Selain itu, terdapat lima aspek penting yang termasuk dalam strategi baru energi Jepang (lihat Tabel), yakni: (a) Efisiensi energi. Dalam hal ini pemerintah dan sektor industri diupayakan bisa bekerjasama mengurangi rasio konsumsi energi hingga 30 persen dari GDP di tahun 2030; (b) Mengurangi ketergantungan terhadap minyak secara keseluruhan hingga 40 persen; (c) Mengurangi ketergantungan minyak terutama di sektor transportasi. Saat ini sekitar 75 juta mobil dan truk yang ada di Jepang bergantung hampir 100 persen pada minyak. Di tahun 2030 Jepang berupaya mengurangi ketergantungan tersebut hingga 80 persen dengan cara memperkenalkan teknologi baru seperti hybrid, biofuels, dan temuan teknologi baru lainnya; (d) Meningkatkan penggunaan tenaga nuklir yang saat ini hanya berkisar 28 persen dari suplai energi listrik menjadi 40 persen di tahun 2030; (e) Memperluas peran perusahaan milik Jepang dalam menyuplai energi. Saat ini perusahaan Jepang menyuplai sekitar 15 persen dari total kebutuhan minyak mentah. Strategi yang baru berupaya meningkatkan kontribusi perusahaan Jepang sebesar 40 persen di tahun 2030.
15
Lihat “Interim Security Report” yang dikeluarkan Japan’s Energy Security Group, Juni 2006, www.enecho.meti.go.jp/english/report/060908c-1.pdf, diakses tanggal 14 Juli 2012. Dalam laporan tersebut, Japan’s Energy Security Group mengidentifikasi beberapa ancaman serius yang dihadapi keamanan energi Jepang, di antaranya: (1) situasi politik di Timur Tengah, (2) terorisme, bencana alam, dan kesalahan pengelolaan, (4) tren permintaan energi global yang mulai berubah (terutama dengan munculnya Cina, India, dll.), dan (5) beberapa isu yang langsung terkait industri energi. 16 New National Energy Strategy (Digest). Ministry of Economy, Trade and Industry, Tokyo, Japan, May 2006. 17 Evans, Peter C. 2006. “Energy Security Series: Japan,” The Brookings Foreign Policy Studies, Desember, hlm. 19.
149
Tabel 1 Numerical Targets Set by Japan’s National Energy Strategy Energy Security Measure 2030 Targets Energy Conservation Increase economy-wide by at least 30% Overall Oil Dependence Reduce to 40% of total primary energy supply Oil Dependence in transport sector Reduce to 80% of consumption Nuclear Power Increase production to 30-40% of total electricity supply Japanese Crude Oil Imports Increase ratio to 40% of totral crude oil imports Sumber: Ministry of Economy, Trade and Industry, Tokyo, Japan, Mei 2005 Karena itu, melihat strategi ketahanan energi Jepang yang baru, pada beberapa tahun mendatang, Jepang diproyeksikan akan semakin agresif dalam mengambil peran di pasar energi internasional. Hal tersebut bisa dilihat dari mulai berkurangnya kepercayaan Jepang terhadap mekanisme pasar dengan lebih memilih intervensi langsung negara pada sumber-sumber energi melalui lobi-lobi dan diplomasi, seperti yang dilakukan Jepang di beberapa negara penghasil energi di wilayah Asia Tengah. Ini artinya, Jepang tidak hanya turut memberikan indikasi akan kompleksnya pola pasokan energi dunia pada masa yang akan datang, tetapi sekaligus turut meningkatkan kemungkinan tensi persaingan dalam mendapatkan energi, terutama di antara negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Persoalan Diversifikasi Pasokan Energi Semakin kompleksnya persoalan ketahanan energi yang dihadapi Jepang, terutama disebabkan mulai munculnya kompetitor seperti China dan India, serta masih besarnya ketergantungan kepada pasokan energi Timur Tengah, memaksa Jepang untuk terus memikirkan kebijakan terbaik demi mengamankan pasokan energi dalam jangka panjang. Salah satunya adalah terus memperluas cakupan sumber-sumber energi dari negara-negara lain di luar kawasan Timur Tengah, terutama Rusia dan negara-negara Asia Tengah. Meski demikian, Jepang tetap menghadapi persoalan. Wilayah Rusia Sudah sejak lama Jepang melihat Rusia sebagai sumber energi yang potensial, terlebih secara politik Rusia cukup stabil di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin (meski posisi Putin sempat digantikan oleh Presiden Dimitry Medvedev di tahun 2008, namun kini Rusia kembali dipimpin Putin). Namun letak geografis Jepang yang terisolasi menjadi salah satu hambatan bagi saluran pipa ke Jepang. Satu-satunya kemungkinan adalah jalur pipa dari Siberia ke Korea Selatan dan Kyushu, namun solusi tersebut akan mendapat tantangan dari China dan Korea Utara. Di sisi lain Jepang juga terkendala dengan masih adanya perselisihan territorial yang belum selesai dengan Rusia. Pada awalnya Jepang juga enggan berinvestasi ke Rusia mengingat masih adanya perselisihan territorial, namun kebutuhan akan energi akhirnya membuat Jepang berubah. 18 Jepang 18
Fackler, M. 2003. “Japan: Hunt for Oil”, Far Eastern Economic Review, Maret. hlm. 19.
150
setuju menginvestasikan 5 milyar dolar dalam proyek jalur pipa Nakhodka, yang turut melibatkan China, di mana China juga turut mendukung secara finansial. Pemasangan pipa kemudian direncanakan dua rute. Proyek pertama adalah jalur pipa ke China melalui Daqing. Rute lainnya menuju Laut Pasifik, melalui sepanjang jalur kereta api Trans-Siberia ke Nakhodka. Rute Pasifik menempuh jarak sekitar 4.200 kilometer, menghubungkan Tiashet di sebelah barat Siberia dan Perevonznaya dekat Nakhodka. 19 Namun rencana ini kemudian mengalami kemunduran karena terkendala hubungan JepangRusia. Jepang mulai enggan memberikan dana untuk proyek ini sementara China menginginkan jalur pipa ke Daqing dibangun terlebih dahulu daripada proyek Jepang menuju Laut Pasifik. Lebih jauh, tingkat hubungan Jepang-Rusia terus menurun, sementara di sisi lain hubungan China-Rusia semakin meningkat. Selain itu, tidak hanya negara-negara Asia Timur yang bersaing mendapatkan sumber energi dari Rusia, India juga sama aktifnya. Di bulan Desember tahun 2004, misalnya, selama kunjungan Presiden Putin ke New Delhi, India dan Rusia menandatangani MoU yang menjadi dasar bagi explorasi bersama dan distribusi gas alam dari sungai Caspia yang juga akan dibangun fasilitas penyimpanan gas bawah tanah di India. 20 Wilayah Asia Tengah Pencarian energi Jepang juga beralih ke Asia Tengah. Di bulan Agustus 2006, dalam kunjungan luar negeri terakhirnya sebagai Perdana Menteri, Junichiro Koizumi melakuan kunjungan empat hari ke Asia Tengah, menjadikannya PM Jepang pertama yang mengunjungi kawasan tersebut. Ia berbicara dengan Presiden Kazakstan, Nursultan Nazarbayev, diikuti pertemuan dengan Presiden Uzbekistan, Islam Karimov. Kunjungan ini bertujuan memperkuat hubungan politik dan ekonomi yang telah dimulai Jepang sejak tahun 19900-an. 21 Pada umumnya Jepang fokus pada bantuan ke kawasan. Namun kunjungan Koizumi di tahun 2006 semakin memperjelas tujuan Jepang: kebutuhan akan sumber energi. Kunjungan tersebut sebenarnya merupakan tindak lanjut dari kebijakan Koizumi sebelumnya di tahun 2002, ketika ia mengutus wakil menteri luar negeri, Sugiura, untuk memimpin misi “Silk Road Energy Mission” ke Kazakstan, Uzbekistan, Azerbaijan, dan Turkmenistan, untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah potensial yang bisa diajak kerjasama. Inisiatif tersebut kemudian dilanjutkan dengan diadakannya dialog di tahun 2004 yang digagas Jepang untuk menciptakan stabilitas dan pembangunan di kawasan Asia Tengah. Walaupun tidak sebanyak Rusia, namun cadangan energi di kawasan Asia Tengah cukup menjanjikan. Kazakstan memiliki cadangan minyak sekitar 39.6 milyar barel, serta 106 triliun kubik gas alam, menjadikannya termasuk dalam sepuluh besar negara dengan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia. 22 Asia Tengah juga berpotensi sebagai penyedia uranium masa depan. Walaupun belum ada data spesifik terkait jumlah konsumsi uranium Jepang, namun diperkirakan Jepang 19
Jain, Purnendra. Op.cit, hlm. 35 Op.cit. 21 Lihat Len, Christopher. 2005. “Japan’s Central Asian Diplomacy: Motivations, Implications and Prospects for the Region”. The China and Eurasia Forum Quarterly, vol. 3, no. 3, November. hlm. 127–49. 22 Evans, Peter C. 2006. “Energy Security Series: Japan,” The Brookings Foreign Policy Studies. Desember. hlm. 17. 20
151
mengonsumsi sebesar 10.000 ton. Dengan masih rendahnya penggunaan tenaga nuklir dunia sementara permintaan minyak dari China dan India terus meningkat, muncul keinginan kuat Jepang untuk mempertimbangkan penggunaan uranium dalam jangka panjang. Namun demikian, di kawasan Asia Tengah ini, sedari awal Jepang sudah menghadapi kompetitor dari dua negara tetangganya: China dan Korea Selatan. Perusahaan China lebih dulu telah mengambil sebagian besar proyek energi, terutama di Kazakstan, yang telah dimulai sejak 1997. 23 Begitu juga dengan perusahaan Korea Selatan. Di tahun 2004, misalnya, perusahaan Korean Natioan Oil memperoleh 69 persen hasil minyak di ladang minyak Tenge, yang berlokasi di baratdaya bagian dari Kazakhstan. 24 Walaupun Asia Tengah sangat menjanjikan bagi pasokan energi Jepang, strategi penguasaan energi berhadapan dengan kompertitor-kompetitor lain yang menjadikan situasi pasar energi sangat komopleks. Kesimpulan Di abad dua satu ini ketahanan energi Jepang dihadapkan pada persoalan yang semakin kompleks. Masih tingginya kebutuhan pasokan energi impor, terutama minyak, serta munculnya kompetitor dalam mendapatkan pasokan energi membuat Jepang semakin menitikberatkan pada kebijakan ketahan energi—bahkan semakin pro-aktif. Ketergantungan yang masih besar pada pasokan energi Timur Tengah, sementara upaya memperluas pasokan energi dari Rusia dan Asia Tengah masih mengalami kendala, turut memaksa Jepang untuk bersikap agresif. Hal tersebut mengingat dalam menjaga stabilitas pasokan energi, Jepang akan dihadapkan pada kompetisi yang ketat dari beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik sendiri seperti China dan India, belum lagi kekhawatiran gangguan pasokan energi dari Timur Tengah mengingat secara politik kawasan tersebut relatif tidak stabil. Isu terorisme dan pembajakan juga menjadi persoalan tersendiri. Karena itu, selain kebijakan efisiensi dan diversifikasi penggunaan energi yang beralih ke gas, batu bara, dan tenaga nuklir, Jepang juga akan mengambil kebijakan intervensi langsung ke sumbersumber energi daripada menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Ini artinya, langkah Jepang akan mendorong tingginya persaingan serta kerentanan pola politik energi di kawasan AsiaPasifik. Daftar Pustaka Calder, K. E. 1997. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, energy and Growth Threaten to Destabilize Asia-Pacific. London: Nicholas Brealey Publishing. Chapman, J. W., Drifte, R, & Gow, I. T. M. 1982. Japan’s Quest for Comprehensive Security: Defence, Diplomacy, Dependence. New York: St Martin’s Press. EIA (Energy Information Administration). 2008. Country Analysis Briefs, Japan. Eric Watkins. 2006. “Japan’s Energy Supplies at Risk” Terrorism Monitor, Volume 4, Issue 22.
23
Wu, Kang and Han, Shair Ling. 2005. “Chinese Companies Pursue Overseas Oil and Gas Assets”. Oil & Gas Journal, April 18. hlm. 18–25. 24 Evans, Peter C. Ibid. hlm. 18.
152
Evans, Peter C. 2006. “Energy Security Series: Japan,” The Brookings Foreign Policy Studies. Desember. Fackler, M. 2003. “Japan: Hunt for Oil”. Far Eastern Economic Review. Maret. IEA (International Energy Agency). 2003. Energy Policies of IEA Countries: Japan 2003 Review. Paris: OECD. Japan’s Energy Security Group, “Interim Security Report”, Juni 2006, www.enecho.meti.go.jp/english/report/060908c-1.pdf, diakses tanggal 14 Juli 2012. Kojiama, A. 200., “East Asia’s Thirst for Energy”. Japan Echo, 32 (5). hlm. 32-35. Len, Christopher. 2005. “Japan’s Central Asian Diplomacy: Motivations, Implications and Prospects for the Region”. The China and Eurasia Forum Quarterly, vol. 3, no. 3, November. hlm. 127– 49. New National Energy Strategy (Digest). Ministry of Economy, Trade and Industry, Tokyo, Japan, May 2006. Wesley, Michael. 2007. Energy Security in Asia. New York: Routledge. Wu, Kang and Han, Shair Ling. 2005. “Chinese Companies Pursue Overseas Oil and Gas Assets”. Oil & Gas Journal, April 18. hlm. 18–25.
153
PENDEKATAN INTERMESTIK DALAM PROSES PERUBAHAN KEBIJAKAN: SEBUAH REVIEW METODOLOGIS Dyah Estu Kurniawati 1 Abstract
There are three main approaches in the policy change process study; domestic approach, international approach, and transnational approach. The advantage of domestic approach is that it can map the domestic actors and their motivational interests to change policy. For international approach, the policy change is seen as the interests of international actors who want a change of policy, either by pressing or provide preferences that can be chosen voluntarily by the state. In contrast to both, they did not consider about the ideas, knowledge, or discourse which could involve cross-border (transnational) in the policy change process. This paper aims to review the methodology of the three approaches and tries to introduce a new approach called intermestic. This approach is useful to analyze the process of policy change in the globalization era that is "borderless", by combining logical thinking of the three previous approaches. Keywords: policy change approach, intermestic, globalization. Abstrak
Dalam mengkaji proses perubahan kebijakan terdapat beberapa pendekatan yang biasa digunakan, yaitu pendekatan domestik, pendekatan internasional, dan pendekatan transnasional. Kelebihan dari pendekatan domestik adalah dapat memetakan aktor dan motivasi kepentingan aktor-aktor domestik terhadap perubahan kebijakan. dalam pendekatan internasional, proses perubahan kebijakan dilihat sebagai kepentingan aktor-aktor internasional yang menginginkan perubahan kebijakan baik dengan cara menekan ataupun menyediakan preferensi-preferensi yang bisa dipilih secara sukarela oleh negara. Berbeda dengan keduanya, pendekatan transnasional tidak menganggap kepentingan sebagai faktor yang penting tetapi justru ide, pengetahuan, ataupun discourse yang bisa melibatkan aktor-ktor lintas batas negara (transnasional). Tulisan ini bertujuan untuk mereview metodologi dari ketiga pendekatan dan mencoba mengenalkan pendekatan baru bernama intermestik. Pendekatan ini berguna untuk menganalisis proses perubahan kebijakan di era globalisasi yang bersifat “borderless”, dengan mengombinasikan logika berpikir dari ketiga pendekatan sebelumnya. Kata kunci: pendekatan perubahan kebijakan, intermestik, globalisasi.
1
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, sedang menempuh Program Doktor di Program Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
154
Pendahuluan Proses globalisasi ditandai oleh perluasan jaringan interdependen yang bersifat transnasional atau lintas batas negara. Mendasarnya proses yang ditimbulkan menjadikan kajian kebijakan kontemporer tidak bisa lagi mengandalkan absennya pengaruh internasional. Jelasnya, globalisasi menimbulkan tantangan tidak hanya terhadap kebijakan nasional suatu negara karena referensi global dan jaringan kebijakan global dapat mempengaruhi kebijakan nasional, namun juga menimbulkan tantangan terhadap teorisasi tentang kebijakan publik itu sendiri. Akibat globalisasi sangatlah sulit membedakan mana kebijakan yang dipengaruhi oleh politik internasional dan mana kebijakan yang dipengaruhi oleh politik domestik, karena keduanya saling terkait. Proses perubahan kebijakan pun terbentuk dalam konteks adanya keterkaitan tersebut, sehingga dibutuhkan sebuah kerangka teoritik baru yang disebut intermestik. Kebaruan teori intermestik dibangun dari sintesis beberapa kajian sebelumnya yang juga bermaksud untuk menggambarkan proses keterkaitan pengaruh internasional dan domestik dalam perubahan kebijakan. Dalam rangka mengembangkan kajian intermestik yang menyediakan jembatan antara kajian ilmu hubungan internasional yang cenderung membahas perubahan kebijakan dari faktorfaktor internasional, dengan ilmu pemerintahan yang cenderung membahas perubahan kebijakan dari faktor-faktor domestik, diperlukan sebuah model pengkajian. Model ini niscaya bersifat interdisipliner. Bagi disiplin ilmu hubungan internasional, model intermestik sangat dibutuhkan untuk menganalisis dampak hubungan internasional terhadap kebijakan domestik, dan bagi ilmu pemerintahan model intermestik dibutuhkan untuk melihat aspek internasional dalam kebijakan domestik. Tulisan yang disajikan berikut ini didedikasikan untuk kepentingan tersebut. Perubahan Kebijakan: Pendekatan Domestik, Internasional, dan Transnasional Perubahan kebijakan dapat dijelaskan melalui sejumlah teori yang dibangun dengan jalan fikiran (metodologi) yang berbeda-beda. Ada sejumlah teori yang dihasilkan dari kajian-kajian yang berlangsung secara eksklusif di suatu negara yang abai terhadap proses internasional atau lintas negara, dan ada pula studi yang tidak terlalu hirau dengan dinamika internal suatu negara. Dalam perkembangannya terdapat beberapa studi yang bersifat transnasional yang menjadi jembatan dari kedua pendekatan. Review metodologis yang disajikan di sini dimaksudkan untuk menemukan metodologi yang dapat mempertemukan jalan pikiran dari beberapa kelompok kajian tersebut. Yang pertama-tama perlu dilakukan adalah mengidentifikasi model-model kajian yang sudah ada. Dalam rangka itu kajian ini mengidentifikasi tiga pendekatan berdasarkan unit analisis, atau domain perubah kebijakan. Tiga pendekatan tersebut adalah pendekatan domestik, pendekatan internasional, dan pendekatan transnasional. Di dalam pendekatan domestik dengan level analisis berada di wilayah domestik, terdiri dari model otoritas, model pluralis, model sistem, model individual, dan model advokasi koalisi. Di dalam pendekatan internasional dengan unit analisis aktoraktor internasional terdapat 2 model perubahan kebijakan, yaitu model neoliberal institusional dan model strukturalis/globalis. Sedangkan di dalam pendekatan yang lintas batas negara dengan unit analisis aktor-aktor transnasional setidaknya terdapat 3 model, yaitu model policy network, model policy deliberative, dan model epistemic community. Berdasarkan model-model ini akan dilakukan review untuk menelaah metodologi di balik model-model tersebut. Model intermestik kiranya dapat
155
ditemukan dari kombinasi dari berbagai model yang ada, dengan fokus kajian pada peranan ide dan aktor dalam perubahan kebijakan. Pendekatan Domestik Model Institusionalis Bagi penganut model institusionalis, perubahan kebijakan merupakan hasil dari upaya negara untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Negara dipandang sebagai kekuatan yang utuh, yang memiliki rasionalitas untuk mewujudkan kepentingannya 2. Di dalam model ini tidak ada tempat bagi persaingan antar aktor yang mempengaruhi perubahan kebijakan. Tidak ada “politik’ dalam proses penyusunan kebijakan karena semuanya diarahkan untuk mencapai kepentingan nasional yang homogen yang berorientasi pada kekuasaan 3. Negara di dalam sistem demokrasi liberal sekalipun memiliki kapasitas untuk memisahkan diri dari kekuatan-kekuatan eksternal. Pendekatan yang state-centered ini menggambarkan institusi negara seringkali bertindak secara stabil dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama dan proses kebijakan digambarkan sebagai tahapan-tahapan yang terdiri atas tahap agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan, perubahan kebijakan, dan terminasi kebijakan. Untuk analisis makro atas realitas sosial dan politik yang tujuannya menyederhanakan interaksi yang rumit antar aktor dalam proses kebijakan, teori ini cukup bisa menjelaskan. Namun jika diperlukan pemahaman yang lebih rinci atas proses perubahan kebijakan, teori ini menjadi kurang berfungsi. Model institusionalis tidak memperhatikan peran ide dalam perubahan kebijakan. Ide diakui sebagai varian yang tidak terjelaskan karena fokus kajian lebih pada faktor kepentingan nasional. Untuk itu model otoritas tidak bisa digunakan untuk menggambarkan pentingnya peran ide dalam proses perubahan kebijakan. Model Pluralis Menurut model pluralis, definisi problem dan penetapan agenda kebijakan pada dasarnya adalah hasil dari kompetisi antar kelompok yang berbeda. Perubahan kebijakan memerlukan dukungan koalisi yang luas dari berbagai kelompok kepentingan tertentu yang bisa berbasis pada fungsi, kepentingan, nilai, perspektif, maupun identitas. Perubahan kebijakan menciptakan the winner dan the looser. Oleh karena itu perubahan kebijakan hanya mungkin terjadi apabila koalisi kelompok (calon) pemenang cukup kuat untuk mempengaruhi para penyusun kebijakan dalam menerapkan kebijakan tertentu. Bagi penganut model ini, mereduksi proses kebijakan menjadi proses rasionalisasi kepentingan negara oleh elit seperti yang oleh dijelaskan kelompok otonomi negara merupakan penyederhanaan kenyataan yang berlebihan dan misleading. Proses kebijakan jauh lebih kompleks dari itu. Dalam proses kebijakan, pemerintah seringkali harus berhadapan dengan entitas-entitas lain seperti parlemen dan kelompok kepentingan (iron triangles). Negara dipandang sebagai arena netral
2
Scocpol, Theda, Peter Evans & Dietrich Rueschemeyer, eds. 1985. Bringing the State Back In. Cambridge: Cambridge University Press. 3 Graham T Alison,. 1971. Essence of Decision. Boston: Little Brown
156
bagi kompetisi maupun konsensus kepentingan kelompok dalam membentuk hasil-hasil kebijakan. Dalam situasi ini setiap kelompok mempunyai akses yang sama terhadap pembuat kebijakan. Kelebihan dari kelompok teori ini mampu menjelaskan perubahan kebijakan sebagai gambaran perubahan yang lebih besar dalam masyarakat, terjadi pergeseran kepentingan antar berbagai kelompok penekan dalam proses policy making. Namun model ini mengabaikan peran ide dalam proses kebijakan, karena yang dipentingkan adalah faktor kepentingan dari para kelompok kepentingan yang terlibat dalam proses kebijakan. Model Sistem Model sistem dikembangkan oleh David Easton (1965) dan Gabriel Almond (1978) yang dibentuk oleh tiga konsep, yaitu sistem, struktur, dan fungsi. Menurut model ini, sistem memiliki sifat terdiri dari banyak bagian, masing-masing bagian saling berhubungan dan saling tergantung, dan sistem memiliki batasan yang memisahkannya dengan lingkungan yang juga terdiri dari sistemsistem lain 4. Sistem politik merupakan bagian dari sistem sosial yang menjalankan alokasi nilai-nilai dalam bentuk kebijakan yang alokasinya bersifat otoritatif mengikat seluruh masyarakat dan disebut negara. Berdasarkan pendekatan struktural fungsional Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik pasti terdapat struktur-struktur politik meliputi kelompok kepentingan, partai politik, birokrasi, badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam setiap sistem politik juga pasti terdapat fungsi-fungsi yang harus ada demi keberlangsungan sistem politik itu sendiri dan juga terdapat struktur politik tertentu. Fungsi-fungsi politik yang ada meliputi fungsi input yaitu artikulasi kepentingan, sosialisasi politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik, dan fungsi output yaitu pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan. Proses politik dimulai dengan masuknya tuntutan dan dukungan dari struktur-struktur politik sebagai input kebijakan, yang kemudian diolah dalam proses konversi sehingga menghasilkan kebijakan tertentu yang bisa dievaluasi lagi. Terdapat mekanisme feed back sebagai input untuk perubahan kebijakan. Suatu sistem politik dikelilingi oleh lingkungan domestik dan lingkungan internasional, dan sistem politik bisa mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh kedua lingkungan tersebut. Model sistem menolak penempatan institusi politik sebagai unit dasar analisis politik, sejalan dengan pemikiran kelompok “behavioralis” model ini menempatkan individu dan kelompok sosial sebagai unit analisis. Kelebihan dari model sistem adalah bisa membuat ilmu politik “lebih ilmiah” dan membuka jalan bagi masuknya pengaruh disiplin ilmu lain ke dalam ilmu politik sehingga lebih berkembang. Model sistem sendiri sangat dipengaruhi oleh ilmu ekologi. Seperti halnya model kelompok kepentingan model sistem tidak terlalu hirau pada peran ide dalam proses kebijakan, karena yang dipentingkan adalah faktor kepentingan dari aktor individu dan kelompok yang terlibat dalam proses kebijakan.
4
David Easton. 1965. A Framework for Political Analysis. NY: Prentice Hall.
157
Model Rasional Model rasional berangkat dari asumsi maksimalisasi kegunaan (utility maximalization) dari pendekatan ilmu ekonomi. Masyarakat terdiri dari individu rasional yang bertindak untuk mencapai kepentingannya sendiri. Bagi teori pilihan rasional, kebijakan publik adalah hasil interaksi politik diantara pelaku rasional untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Kebijakan dibuat berdasarkan kalkulasi untung rugi, alternatif pilihan yang mendatangkan keuntungan terbesar akan dipilih sebagai kebijakan. Model rasional dapat dilakukan ketika pembuat kebijakan mengetahui apa keinginan dan kebutuhan masyarakat, mengetahui seluruh alternatif kebijakan dan konsekuensinya, serta memilih alternatif kebijakan yang paling efisien. Namun model ini memiliki kelemahan karena rasionalitas manusia bersifat terbatas (bounded rationality). Menurut model rasionalis, ide tidaklah penting (unimportant) atau bukan hal yang luar biasa (epiphenomenal) sebab aktor selalu mengantisipasi hasil dari aksi mereka secara rasional sehingga berhasil 5. Dalam versi ekstrim, ide hanya bawaan dan melekat dalam rasionalitas aktor. Elit yang saling bersaing menggunakan ide populer untuk propaganda atau melegitimasi kepentingannya dan ide sendiri tidak memainkan peran penting sebagai penyebab perubahan kebijakan. Yang dimaksud kepentingan, dalam model rasionalitas individu adalah pemaksimalan kekayaan, tetapi juga mencakup hal yang lebih luas meliputi values as status dan kekuasaan. Ide adalah given dan perhatiannya fokus pada variasi paksaan yang dihadapi oleh para aktor 6. Para ilmuwan yang menggunakan pendekatan-pendekatan model rasional menurunkan ide pada peran yang minimal. Model Koalisi Advokasi Model koalisi advokasi bersumber pada pemikiran teori sub-sistem Freeman (1965), kajian agenda setting dan perubahan kebijakan Hugh Heclo (1978), dan ACF dari Paul A Sabatier dan Jenkins-Smith (1993). Dalam model ini sistem politik bersifat fragmented dan proses policy making bersifat dinamis. Heclo menciptakan dua konsep penting terkait proses agenda setting dalam perubahan kebijakan, yaitu issue networks dan technopols. Issue network merupakan jaringan informal yang dibangun oleh individu-individu dari berbagai kelompok kepentingan, organisasi publik dan prifat, serta ordinary citizens yang disebut technopols yang memiliki keahlian dan concern isu yang sama. Mereka bersifat mutual interest dan berkepentingan untuk mempengaruhi proses perubahan kebijakan. Di tahun 1990-an Sabatier dan Jenkins-Smith menggambarkan proses agenda setting dan perubahan kebijakan dilakukan di dalam sub-sistem kebijakan yang tidak hanya terdiri dari para pembuat kebijakan tetapi juga sejumlah aktor yang terlibat dalam problem kebijakan dan pengimplementasi kebijakan. Mereka meliputi unsur-unsur dari iron triangle (birokrasi, parlemen, dan kelompok kepentingan), analis akademik, think thank, peneliti, jurnalis, dan aktor di level pemerintahan lainnya yang kemudian membentuk koalisi-koalisi advokasi. Koalisi advokasi dapat dibedakan berdasarkan keyakinan dan sumberdaya yang dimilikinya dan koalisi advokasi dalam sub5
Kenneth Shepsle. 1989. Studying Institutions: Some Lessons from The Rational Choice Approach. Journal of Theoretical Politics 1. 6 Andrew Moravcsik. 1993. Preferences and Power in the European Community: A Liberal Intergovernmentalist Approach. Journal of Common Market Studies.
158
sistem tidaklah statis dan monolitis karena terdapat proses pembelajaran berorientasi kebijakan diantara unsur-unsur yang terkait. Oleh karena itu dalam model ini faktor keyakinan, nilai, dan ide berperan sangat penting dalam proses perubahan kebijakan. Menurut Sabatier, untuk memahami perubahan kebijakan perlu dilihat faktor-faktor yang membuat opini elit bergeser dalam periode yang relatif panjang dan terus menerus. Karena proses kebijakan cenderung bersifat dinamis maka perlu ada broker kebijakan yang dianggap mampu mencari kompromi yang masuk akal dan realistis diantara pandangan-pandangan yang didukung oleh koalisi-koalisi advokasi tersebut. Kelebihan dari model ACF Sabatier dibandingkan dengan teori-teori sebelumnya adalah Sabatier memperlihatkan bahwa proses perubahan kebijakan tidak hanya dipengaruhi oleh proses pembelajaran berorientasi kebijakan (policy-oriented learning) yang dilakukan oleh koalisi-koalisi advokasi di dalam sub-sistem saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal diluar sub-sistem. Gambaran ini mengindikasikan bahwa agenda setting dan tawaran kebijakan dalam proses perubahan kebijakan bisa dipengaruhi oleh kejadian dari luar sub-sistem. Dengan demikian walaupun tidak secara eksplisit menyebut aspek internasional dan domestik, namun model ini telah menjadi warna baru dalam studi public policy yang telah lama didominasi oleh ilmu administrasi publik serta ilmu politik dan pemerintahan yang cenderung domestic oriented. Kelemahan dari model koalisi advokasi yang menjadi sasaran kritik adalah proses masuknya pengaruh dari kejadian di luar sub sistem dalam proses perubahan kebijakan masih kurang jelas, karena kondisi di luar sub-sistem digambarkan hanya berupa seperangkat data sehingga perlu ada proses pemaknaan atau aktifitas kognitif yang melibatkan komunitas yang lebih luas diluar subsistem. Pendekatan Internasional Model Tekanan Eksternal Dalam model ini, perubahan kebijakan suatu negara cenderung sebagai cara untuk mencari rasa aman di tengah konstelasi politik internasional yang anarkhis atau tidak menentu. Dengan demikian peran negara tidaklah penting karena perilaku aktor dipengaruhi oleh sistem internasional. Oleh karena itu unit-unit atau aktor-aktor yang berbeda akan cenderung memiliki persamaan perilaku (Nye, Jr, 1988). Misalnya, intensitas saling ketergantungan dan derajat institusionalisasi atau internalisasi ide dan aturan internasional ke dalam kebijakan domestik tidaklah berbeda antara satu negara dengan negara lain, walaupun kondisi masing-masing aktor berbeda. Menurut model ini, aturan internasional kebanyakan mewakili kepentingan negara-negara besar (Mearsheimer, 1994/1995) dan negara dominan (hegemon) memainkan peran penting dalam mencegah pembelotan dari aturan-aturan tersebut melalui denda dan sanksi (Gilpin, 2001). Model Preferensi Global Model ini berdasar pada pemikiran liberalisme bahwa politik melibatkan aktor-aktor di luar negara seperti individu, kelompok kepentingan, perusahaan multinasional, NGO/INGO, lembagalembaga donor internasional, dll. Isu-isu yang dibahas pun tidak hanya terbatas pada kepentingan
159
keamanan negara tetapi jauh lebih luas, apalagi di era globalisasi dimana batas negara menjadi tidak signifikan pengaruhnya dan complex interdependence menjadi konsep utama 7. Ciri complex interdependence adalah (1) hubungan internasional atau politik global dilaksanakan melalui banyak jalur disamping jalur resmi pemerintah (interstate). Disini negara tidak selalu bertindak sebagai aktor utama karena banyak aktor non negara yang berperan secara transnasional sehingga proses kebijakan negara sulit bahkan tidak bisa bersifat independen (2) isu yang melatarbelakangi hubungan transnasional tidak hanya isu keamanan dan politik tetapi juga isuisu ekonomi, kemanuasiaan, lingkungan, dll. (3) kekuatan militer tidak selalu berperan untuk meredakan konflik, justru peran lembaga-lembaga internasional semakin meningkat. Lembaga-lembaga internasional menentukan agenda, mendorong pembentukan koalisi, dan menyediakan pedoman bagi negara dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Bahkan dalam isu-isu tertentu berlaku rejim internasional yang dengan ketat mengawasi perilaku negaranegara anggotanya dan menjatuhkan sanksi jika terjadi pelanggaran. Inilah model neoliberal institusional dimana fenomena interdependensi dan referensi lembaga internasional maupun aktor transnasional menjadi instrumen utama perubahan kebijakan negara 8. Model Strukturalis atau Globalis Model ini menjelaskan bahwa kebijakan atau perubahan kebijakan yang terjadi di suatu negara tidak asli dari pemerintah sendiri, karena negara hanya menjadi alat dari kelas dominan. Kebijakan tersebut dipaksakan oleh kekuatan dari luar, misalnya para donor sebagai syarat untuk memperoleh bantuan asing. Jadi perubahan kebijakan disebabkan oleh kepentingan eksternal. Model strukturalis atau globalis berasal dari analisis kelas Karl Marx yang menjelaskan hubungan antara kelas kapitalis dengan kelas buruh dalam suatu masyarakat atau negara 9. Proses kebijakan dimaknai sebagai persaingan antar kelas dan negara hanya menjadi alat dari kelas dominan, yaitu kelas kapitalis. Hingga poin ini sesungguhnya analisis kelas masih bisa dikelompokkan ke dalam model pluralis (politik domestik). Namun, pemikiran Marx tentang eksploitasi oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah memberikan inspirasi kepada pemikiran pengikut Marx selanjutnya, dan kajiannya masuk ke wilayah kajian ilmu hubungan internasional. Model Strukturalis mengkaji hubungan antara negara negara maju dan berkembang sebagai hubungan yang eksploitatif 10. Dalam mempertahankan kepentingan dominasi ekonominya, negaranegara maju yang mewakili kepentingan kelas kapitalis seringkali menggunakan lembaga-lembaga pembangunan dan keuangan internasional untuk menekan negara-negara berkembang agar mereka memfasilitasi operasi kapital global di negaranya masing-masing. Dengan demikian, proses kebijakan terutama di negara-negara berkembang sangat dipengaruhi oleh kepentingan aktor eksternal yang memaksakan kebijakan kepada pemerintah sebagai syarat bantuan dan investasi. Proses perubahan
7
R Keohane & J Nye, eds. 1977. Power and Interdependence: World Politics in Transition. Little-Brown, Boston. (2nd edition,1989). 8 Keohane, R. 1988. International Institutions: Two Approaches. International Studies Quarterly 32. 9 Paul Viotti R & M. Kauppi, (eds.). 1987. International Relations Theory. Macmillan Publishing Company, New York). 10 Arif Budiman. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
160
kebijakan negara dengan bantuan para komparador dicampuri oleh kekuatan asing dan sebagian kebijakan pemerintah mencerminkan kepentingan asing. Pendekatan Transnasional Model Jaringan (Network) Model ini mengkaji aspek relasional dan informasional dalam perubahan kebijakan. Didasari oleh prinsip bahwa network dibangun karena aktor bersifat interdependent dan memerlukan sumberdaya dari pihak lain untuk mencapai tujuannya. Network terdiri atas dua kelompok aktor, yaitu negara (state) di satu sisi dan aktor non negara (partai politik, kelompok kepentingan, dan NGOs/SMOs) disisi lain sehingga disebut state-society centered. Negara menempati posisi penting karena memilik sumberdaya dalam proses kebijakan sedangkan aktor non negara juga berperan dalam mendukung ataupun tidak mendukung perubahan kebijakan sehingga membentuk differentiated policy 11. Kelebihan dari model ini adalah dapat menggambarkan metafora tentang kompleksitas hubungan-hubungan yang eksis dalam masyarakat yang modern dan plural. Proses perubahan kebijakan dipengaruhi oleh pola kontak dan hubungan baik secara formal maupun non formal dalam satu jaringan (network) yang bersifat transnasional. Untuk mengurai kompleksitas jaringan, Silke Adam dan Hanspeter Kriesi (2007) membuat tipologi berdasarkan distribusi kekuatan (distribution of power) dan tipe interaksi (type of interaction) dalam jaringan. Distribusi kekuatan bisa terkonsentrasi maupun terfragmentasi, dan tipe interaksi dalam jaringan bisa berbentuk konflik, bargaining, maupun kerjasama. Perubahan kebijakan sangat dipengaruhi oleh pola relasi dari keduanya. Namun yang menjadi dasar perekat jaringan dalam model ini adalah shared recources dan shared interest diantara “anggota” network. Model Jaringan Intelektual Menurut model jaringan intelektual, negara tidak selalu mengetahui secara persis apa yang menjadi kepentingannya dan mengetahui bagaimana cara mencapainya. Proses kebijakan diwarnai kompleksitas dan ketidakmenentuan sehingga para aktor kebijakan seringkali memerlukan advice dari para intelektual yang memiliki integritas tinggi, ahli di bidangnya, serta memiliki kapasitas teknis dan menguasai detil informasi tentang sebuah isu atau ide kebijakan. Jaringan intelektual yang berbentuk komunitas epistemik bisa diartikan sebagai sekumpulan aktor (individu maupun organisasi) yang memiliki ide dan cara pandang yang sama terhadap suatu isu kebijakan12. Mereka tidak terbatas pada organ-organ yang secara sempit didefinisikan sebagai institusi-institusi politik (seperti eksekutif, legislatif, partai politik, dll) namun juga organ-organ yang selama ini “berkelit’ untuk diidentifikasi sebagai aktor politik seperti universitas, pusat-pusat pengkajian, asosiasi keilmuan, staf ahli, dan sebagainya 13. Bahkan institusi-institusi internasional 11
RAW Rhodes. 1997. Understanding Governance: Policy Network, Governance, Reflexity and Accountability. Milton Keynes: Open University Press. 12 Peter M Haas. eds. 1992. Knowledge, Power, and International Policy Coordination. Columbia SC: University of South Carolina Press. 13 Purwo Santoso. 2002. Epistemik Politik dan Pelembagaan Local Good Governance dalam http://www.scribd.com/doc/13236005/epistemik-politik
161
yang konsern pada isu kebijakan yang sama juga bisa menjadi jaringan intelektual, karena proses difusi ide dan pengetahuan tidak mengenal batas negara. Anggota komunitas epistemik bersifat plural dan saling berinteraksi tidak hanya di ranah domestik tetapi juga di ranah transnasional. Komunitas epistemik pendukung suatu ide merupakan variabel yang berperan dalam mewujudkan ide menjadi sebuah kebijakan. Dalam komunitas epistemik proses perubahan kebijakan dimaknai sebagai proses difusi ide dan learning, yang bisa berdampak pada perubahan pola kebijakan negara. Karakter relasi dari komunitas epistemik mengacu pada “trust’ dan “shared appreciation” dan jika terjadi konflik akan dikerangai dalam sebuah konsensus. Jaringan intelektual ala Gramsci diperankan oleh organik intelektual yaitu setiap intelektual yang kehadirannya terkait dengan kepentingan kelas yang mereka wakili. Dalam model ini, ide memang berperan tetapi selalu dikaitkan dengan kepentingan kelas-kelas tertentu, terutama kelas kapitalis. Hegemoni atas kelas-kelas tertentu bukanlah sesuatu yang dipaksakan, namun harus diraih oleh organik intelektual dengan upaya-upaya politis, kultural, maupun intelektual. Ini berarti kelas yang lebih berkuasa harus “menguniversalkan” ide dan kepentingannya, serta harus memastikan bahwa ide dan kepentingan itu tidak hanya bisa tetapi harus menjadi pandangan dan kepentingan kelompok sub-ordinat sehingga menghasilkan blok historis dan memproduksi hegemoni. Model Konstruktivis Dalam model ini, perubahan kebijakan sangat dipengaruh oleh norma internasional. Norma internasional akan lebih mudah terinternalisasi dan terlegitimasi dalam kebijakan domestik jika bersentuhan dengan nilai, identitas, maupun beliefs aktor-aktor domestik. Namun jika norma dari luar tersebut bertentangan maka akan sulit untuk diterima. Tidak seperti model-model rasionalis maupun strukturalis/materialis yang melihat perubahan kebijakan karena faktor kepentingan, model konstruktifis lebih melihat perubahan kebijakan dari faktor norma atau ide atau nilai. Proses internalisasi norma internasional adalah melalui proses kognitif. Perubahan kebijakan juga merupakan hasil dari interaksi antara agen dan struktur 14. Struktur sosial tidak bisa berubah tanpa adanya agen dan struktur yang saling berinteraksi. Peran lembagalembaga internasional dan aktor-aktor transnasional adalah sebagai agen sekaligus struktur. Model Delibarative Model ini menekankan pentingnya difference dalam memahami politik pada umumnya dan proses kebijakan pada khususnya, karena masyarakat secara kultural semakin kompleks dan setiap relasi sosial dibingkai oleh struktur pemaknaan tertentu. Perubahan kebijakan terjadi karena adanya perubahan discourse yang menata pola relasi sosial yang normal sehingga kunci dari perubahan kebijakan adalah sruktur pemaknaan discourse (grand narative), dan bukan karena faktor aktor. “Pendektean” perilaku bisa distrukturasi oleh pemaknaan discourse dari orang-orang yang terlibat. Rekomendasi kebijakan bisa berbeda karena inti discourse-nya berbeda. Menurut Foucoult (1990), discourse dimaknai sebagai sistem pemikiran (system of thought).
14
Addler, 1997. Constructivist in World Politics. European Journal of IR, 3
162
Model deliberatif menghasilkan pendekatan argumentatif yang fokus pada studi tentang bagaimana bahasa membentuk cara kita memaknai dunia 15. Pendekatan ini berdasarkan pandangan kaum Post-Strukturalist seperti Foucault, Habermas, dkk untuk menjelaskan bagaimana argumen kebijakan diseleksi dan dibentuk oleh relasi kekuasaan. Dari pendekatan ini proses kebijakan melibatkan eksplorasi policy discourse untuk menyusun argumentasi yang membentuk frame kebijakan yang didalamnya berisi problematika beserta solusinya. Titik awal untuk memahami pendekatan ini adalah bahwa bahasa yang dipakai untuk membicarakan kebijakan dan problematikanya tidak bersifat netral. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana “problem” didefinisikan maka harus dipahami pula proses penyusunan discourse-nya, yaitu apa yang terjadi ketika isu dibuat dalam bahasa atau discourse tertentu. Perjuangan untuk mencari kekuasaan diwujudkan dalam perjuangan untuk menentukan discourse dimana problem kebijakan disusun oleh epistemic notions atau discourse coalitions yang lintas batas negara. Proses ini disebut sebagai proses rasionalitas komunikatif 16, proses deliberative 17, atau proses sosial 18. Dalam proses ini epistemic notions atau discourse coalitions yang bekerja untuk mempengaruhi kebijakan akan berusaha menyusun argumentasi yang bersifat persuasif sehingga dapat mendominasi policy discourse, yang berarti pula menentukan arah kebijakan. Dalam model deliberatif ide tidak menjadi penting, karena ide kebijakan sangat tergantung pada discourse dan counter discourse dalam proses rasionalitas komunikatif atau proses delibarative. Dari beberapa model perubahan kebijakan diatas dapat dirangkum dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Beberapa Model dalam Studi Perubahan Kebijakan Variabel Aktor / Proses Perubahan Faktor yg Level analisis Kebijakan berpengaruh/ Model Penting Pendekatan Domestik Institusionalis
Negara
A-politis: decision making
Pluralis
Kelompok, aktor bukan negara
Proses politik: policy making
15
Kepentingan Nasional/negara, yang didefinisikan oleh elit penguasa Kepentingan kelompok
F Fischer & J. Forester, eds. 1993. The Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning. Durham. NC: Duke University Press. 16 J.S. Dryzek. 1990. Discursive Democracy: Politics, Policy, and Political Science. Cambridge: Cambridge University Press. 17 Maarten Hajer & Hendrik Wagenaar. 2003. Deliberative Policy Analysis: Understanding Governance in The Network Society. Cambridge: Cambridge University Press. 18 G. Majone. 1989. Evidence, Argument and Persuasion in the Policy Process. New Haven, CT: Yale University Press.
163
Sistem
Sistem politik domestik
Proses Politik: konversi
Kepentingan sistem
Pilihan rasional
Aktor Individual; individu, entitas politik Sub-sistem
Proses politik: maksimalisasi hasil
Kepentingan individu
Proses politik dan kognitif: bargaining dan learning
Belief system/ide
Koalisi Advokasi
Pendekatan Internasional Tekanan Eksternal
Sistem politik internasional
Proses Politik: konflik
Kepentingan negara besar
Preferensi Global
Lembagalembaga Internasional Kelas global
Proses Politik: kerjasama/konsensus
Kepentingan global
Proses Politik: konflik/eksploitatif
Kepentingan aktor eksternal berbasis kelas/hegemon
Struktural/ Globalis
Pendekatan Transnasional Jaringan (Network) Jaringan Intelektual Konstruktifis
Delibarative
Aktor Domestik Proses Politik: konflik, dan Internasional bargaining, dan kerjasama Aktor Domestik Proses Kognitif: dan Internasional learning atau hegemoni Aktor Domestik Proses Kognitif: dan Internasional penerimaan atau penolakan Aktor Domestik Proses sosial dan Internasional
Kepentingan jaringan
Pengetahuan/Ide
Norma internasional
Discourse dan counter discourse
Pendekatan Intermestik: Meretas Batas Proses Perubahan Kebijakan Dari berbagai model di atas dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari pendekatan domestik, internasional, dan transnasional secara metodologis terdapat dua faktor penting dalam proses
164
perubahan kebijakan, yaitu faktor kepentingan aktor (hardware) dan faktor ide (software). 19 Kelompok yang mengutamakan faktor kepentingan aktor menjelaskan bahwa perubahan kebijakan dimotivasi oleh kepentingan dari berbagai aktor baik dari ranah domestik maupun internasional. Kelompok ini melihat bahwa proses perubahan kebijakan merupakan proses yang bisa diselesaikan melalui kerjasama ataupun konflik dari berbagai aktor yang terlibat. Sedangkan kelompok yang mengutamakan faktor ide menggambarkan bahwa proses perubahan kebijakan adalah proses transmisi ide, pengetahuan ataupun diskursus tentang suatu isu kebijakan. Pengelompokan teori berdasarkan kepentingan aktor masih menggambarkan sekat-sekat antara domestik dan internasional, sedangkan teori-teori yang mementingkan peran ide tidak hirau pada sekat-sekat tersebut dan bersifat lintas batas negara. Karena tujuan pembuatan model intermestik adalah menjadi jembatan antara pendekatan internasional dan domestik, maka model ini menyintesiskan beberapa model yang telah dibahas sebelumnya, yaitu dengan menggunakan model yang mementingkan peran ide yang bersifat transnasional sebagai proses pertama dan model yang mementingkan faktor kepentingan aktor sebagai proses kedua dalam proses perubahan kebijakan. Gambar 1. Pendekatan dalam PerubahanKebijakan
Pendekatan Domestik : Perubahan Kebijakan = Kepentingan aktor-aktor Domestik Proses politik
Pendekatan Transnasional : Perubahan Kebijakan = Relasi ide dan aktor proses kognitif
Pendekatan Internasional : Perubahan Kebijakan = Kepentingan aktor-aktor internasional Proses politik
Pendekatan Intermestik:
Kesimpulan Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peran ide dan kepentingan dari para aktor domestik maupun internasional sama-sama penting dalam proses perubahan kebijakan model intermestik. Peran ide sangat berpengaruh dalam proses yang meliputi penyaringan awal alternatif 19
Penyebutan hardware dan software disini dimaksudkan untuk memperjelas pembedaan antara faktor kepentingan yang lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat struktural ataupun material, sedangkan software merujuk pada hal-hal yang bersifat idak berwujud seperti ide, beliefs, norma, ataupun diskursus (discourse).
165
kebijakan yang didasari oleh transmisi pengetahuan dari jaringan intelektual, kemudian perdebatan ide diantara koalisi advokasi mengasilkan proses learning yang mengarah pada konsensus. Sedangkan peran kepentingan aktor sangat berpengaruh dalam proses politik, yaitu kompetisi diantara para koalisi advokasi dengan tujuan untuk mengarahkan keputusan agar sesuai dengan kepentingannya, yang didasari oleh konsensus ide/keyakinan yang dimilikinya. Dengan demikian dalam pendekatan intermestik faktor ide dan kepentingan aktor menjadi sama-sama penting. Hal inilah yang membedakan pendekatan/model intermestik dengan model-model teori lainnya, karena sebagian memahami perubahan kebijakan hanya sebagai proses perjuangan kepentingan aktor domestik atau internasional saja, dan sebagian yang lain memahami perubahan kebijakan sebagai proses transmisi ide/pengetahuan sehingga kalaulah terjadi perubahan kebijakan domestik pasti melibatkan interaksi transnasional.*** Daftar Bacaan Adam, Silke & Hanspeter Kriesi. 2007. dalam Sabatier, Paul A. Theories of Policy Process. Colorado: Westview Press Addler, 1997. Constructivist in World Politics. European Journal of IR, 3. Alison, Graham T. 1971. Essence of Decision. Boston: Little Brown. Almond, G & G. Bingham Powell, Jr. 1978. Comparative Politics: System, Process, and Policy. Boston: Little Brown. Budiman, Arif. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Castells, M. 1996. The Rise of Network Society. Oxford: Blackwell. Dryzek, J.S. 1990. Discursive Democracy: Politics, Policy, and Political Science. Cambridge: Cambridge University Press. Easton, David. 1965. A Framework for Political Analysis. NY: Prentice Hall. Finnemore, Martha and Kathryn Sikkink. 1998. International Norms Dynamics and Political Change. International Organization 52. Fischer, F & J. Forester, eds. 1993. The Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning. Durham. NC: Duke University Press. Goldstein, Judith & Robert Keohane, eds. 1995. Ideas and Foreign Policy: Beliefs, Institutions, and Political Change. Ithaca: Cornell University Press. Haas, Peter M, eds. 1992. Knowledge, Power, and International Policy Coordination. Columbia SC: University of South Carolina Press. Hajer, Maarten & Hendrik Wagenaar. 2003. Deliberative Policy Analysis: Understanding Governance in The Network Society. Cambridge: Cambridge University Press. Heclo, Hugh. 1978. Issue Networks and The Executive Establishment, dalam Anthony King. Ed. The New American Political System. Washington DC: American Enterprise Institute. Kana, Nico L, dkk (eds). 2001. Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan, dan Harapan. Salatiga: Pustaka Percik. Keck, Margareth E & Kathryn Sikkink, 1997. Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics. Ithaca and London: Cornell University Press. Keohane, R & J Nye, eds. 1971. Transnationalism and World Politics. Cambridge Mass: Harvard University Press.
166
____________________. 1977. Power and Interdependence: World Politics in Transition. LittleBrown, Boston. (2nd edition,1989). Keohane, R. 1988. International Institutions: Two Approaches. International Studies Quarterly 32. Malarangeng, Rizal. 2002. Mendobrak Sentralisme Orde Baru Tahun 1986-1992. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia. Majone, G. 1989. Evidence, Argument and Persuasion in the Policy Process. New Haven, CT: Yale University Press. March, J.G & J.P Olsen. 1995. Democratic Governance. NY: Free Press Moravcsik, Andrew. 1993. Preferences and Power in the European Community: A Liberal Intergovernmentalist Approach. Journal of Common Market Studies. Mas’oed, Mohtar. 2002. Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi Politik tentang Globalisasi Neoliberal. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FISIP UGM. Yogyakarta: unpublished. ______________. 1994. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Novak, Michael. 1999. On Cultivating Liberty – Reflections on Moral Ecology. New York: Rowman & Littlefield. Rhodes, RAW. 1996. The New Governance: Governing without Government. Political Studies 44. __________. 1997. Understanding Governance: Policy Network, Governance, Reflexity and Accountability. Milton Keynes: Open University Press. Risse-Kappen, T., Ropp, S.C, & Sikkink, K. 1999. The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change. Cambridge: Cambridge University Press. Rossenau, J.N, ed. 1995. Governance Without Government: Order and Change in World Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Sabatier, Paul A & Jenkins-Smith.1993. Policy Change and Learning: An Advocacy Coalition Approach. Boulder: Westview Press. _____________. 2007. Theories of Policy Process. Colorado: Westview Press Santoso, Purwo. 2011. Ilmu Sosial Transformatif. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: unpublished. _____________. 2002. Epistemik Politik dan Pelembagaan Local Good Governance dalam http://www.scribd.com/doc/13236005/epistemik-politik Scocpol, Theda, Peter Evans & Dietrich Rueschemeyer, eds. 1985. Bringing the State Back In. Cambridge: Cambridge University Press. Shepsle, Kenneth. 1989. Studying Institutions: Some Lessons from The Rational Choice Approach. Journal of Theoretical Politics 1. Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Viotti, Paul R & M. Kauppi, (eds.). 1987. International Relations Theory. Macmillan Publishing Company, New York). ________________________. 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond. Boston: Allyn and Bacon Wendt, Alexander. 1992. Anarchy is What States Make of It. International Organization, 46, 2. Widjajanto, Andi, dkk. 2007. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. Yogyakarta: L
167
TERRORISM, ISLAM AND INTERNATIONAL POLITICS Gonda Yumitro 1 Abstract Post 11 September 2001, terrorism emerged as tremendous issue in International politics. Most of the countries and International organization under the “control” of USA joined the war against terrorists. Unfortunately, Islam as a religion of peace has an image as the ideology behind the actions of terrorist groups since the were some undemocratics countries were majority muslim. Whereas the facts showed that Islam and some muslim countries are the victims of American foreign policy to gain her own interests by the name of democratization process for creating new peaceful world. There are a lof unjust policies to fight the “real terrorist”. Keywords: terrorism, Islam, America Abstraksi Pasca 11 September 2001, terorisme muncul sebagai isu sangat penting dalam politik internasional. Sebagian besar negara-negara dan organisasi internasional dibawah “kontrol” Amerika Serikat bergabung dalam perang melawan terorisme. Sayangnya, Islam sebagai agama perdamaian mendapatkan image sebagai ideologi dibalik berbagai serangan kelompok teroris dikarenakan beberapa negara yang tidak demokratis merupakan negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Padahal fakta menunjukkan bahwa Islam dan beberapa negara muslim merupakan korban dan kebijakan luar negeri Amerika untuk mencapai kepentingannya atas nama proses demokratisasi demi terwujudnya dunia yang damai. Banyak terdapat kebijakan yang tidak adil untuk memerangi “teroris yang sesungguhnya”. Kat-Kata Kunci: Terorisme, Islam, Amerika
1
Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang, bisa dihubungi di email
[email protected]
168
Introduction Terrorism actually is not a new issue. There were a lot of victims of terrorist attacts since many years ago. But, after 11 September 2011, terrorism has been becoming very influencing issue in International politics. Since this time, the attacks of terrorist groups has increased significantly in various places. From 2000 to 2003 there were more than 300 attacks which caused more than 5.300 people died in 17 countries. About 70 % of the attacks were indicated as religious terrorist motive. 2 These conditions invite us to think more about the statement of Fukuyama in his book, The End of History, which explains that liberalism is the most compatible ideology in this era. If it is true, the world must be safe and no more complain and protest from other ideologies. Huntington has already predicted in his book, The Clash of Civilizations, that there will be other ideologies wars. There are some ideologies which will against the existence of liberalism. One of them is Islam which has very contrast understanding in term of freedom, equality, democracy, and other issues to liberalism ideology. Westerners argue that Islam is a traditional ideology which is not compatible with the world development in this modern era. Islam is the seven century religions. Furthermore, they stated that Islam discriminates people to be muslim and non muslim, puts the position of women as the subordinate of man, devides the world to be darul Islam and darul harb 3, and other examples which show that Islam is not universal religion. Even, Islam teachs its follower to be terrorist by the concept of jihad. And theses opinion are accepted broadly among westerners, not only the common people but also the elites in those countries. For instance, George Bush, stated that world has to fall Thaliban and Al-Qaeda as the Islamic terrorist movement who have to be responsible for the 11 September 2001 attack. This evidence legalized America and her allieances to attack Afghanistan in 7 October 2001. Then they also invaded Iraq to spread the values of democracy. They believe that terrorist groups will only be existed in undemocratic countries such as Iraq which was led by Saddam Hussein, an authoritarian leader. Unfortunately, the war against terrorist has been generalizing to the war against religions, Islam in this case. People want to demolish the concept of jihad and other understanding in Islam which are principles faith for muslims, for example muslims should not claim Islam as the only right religion because all of the religions are right. Those conditions influence a lot of things within Islam and International political maps. After America stated the war against terrorism, Islamic world becomes “victims” of this war such as Aghanistan and Iraq, where there are a lot of innocent civil people have been killed. The world also is devided to to be terrorist and democratic countries. So that, in this essay, I will explore the influences of terrorism issue to the changes of International political maps. First of all, I will explain the concept of terrorism. The Concept of Terrorism To understand the influences of terrorism issue to the International politics, it is important to understand the meaning, causes and other concept of terrorism. 2
Country Reports on Terrorism, released by the Office of the Coordinator for Counterterrorism. April 30,2007 Darus islam means the state which implement islamic law and darul harb to explain the state which doesnot use islamic law in its constitution.
3
169
The Meaning Terrorism is difficult concept to be defined. There is no agreed definition about this term. M.C Pande defined terrorism as the use of threat or use of violence for political purpose when such action is intended the influence the attitude and behavior of a target group other than its immediate victims. Moreover, FBI defines terrorism as The unlawful use of force or violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment there of, in furtherance of political or social objectives. 4 Meanwhile, World bank CD-rom defined terrorism is the use of threat of violence to create fear and fanic. And simply US army stated that terrorism is threat or violence to attain political or religious ideological goals through intimidation, coercion, or instilling fear. The point of terrorism is to cause terror, sometimes to further a political goal and sometimes out of sheer hatred. The people terrorists kill are not the targets; they are collateral damage. And blowing up planes, trains, markets or buses is not the goal; those are just tactics. The real targets of terrorism are the rest of people: the billions of people who are not killed but are terrorized because of the killing. The real point of terrorism is not the act itself, but the reaction to the act 5. So, we can understand that terrorism is the violence which conducted to attack non-military or unactive military object or in non war and peace condition or civil people and public facilities to intimidate and create shock within society and do pressure to government or organizations to do something or not to do it. So it is clear that terrorism doesn’t want to kill the people as the goal but only as a tool. Terrorism term has emerged as International issues since 1970 and 1980s. In that time, terrorists used mass destruction weapon. They did such kind of things to attract the people attention so people will be fear and unsafe in their life. But then, after 1990s terrorism issues tend to be the issues which are related to religions, such as Aum Shinrikyo in Japan, Hizbullah in Libanon and Alqaedah in Pakistan. By the advances of technology and communication, terrorists recruit their members from various fields of knowledge such as communication, computer programmer, techniques, fincance, chemistry, health, etc. And they also has begun to use several modern technology to do their actions. That is why now there is cyber terrorism which against important state data and secreet through internet. The Causes Based on the logic, something happened because of reasons. In term of terrorism issues, there are some reasons which often cause terrorism attacks 6: Psychological problems (paranoid)
4
http://terrorism.about.com/od/whatisterroris1/ss/DefineTerrorism_6.htm. accessed on September 1st 2012 st http://www.schneier.com/blog/archives/2006/08/what_the_terror.html, accessed on September 1 , 2012 6 Alex P.Schmid1. Root Causes of Terrorism: Some Conceptual Notes, a Set of Indicatiors and a Model. Routlege Taylor and Francis Group. Democracy and Security, 1:127–136, 2005 5
170
It is common that someone who has psycological problems will do his action emotionally. For instance, when someone fell anger or frustation in facing his problems, it it often that he will do the coercion, suicide and throw everything close from him. This condition occured in terrorism cotext. seisd of Terrorism Usually terrorists are the minority or descriminated or exploited groups who lose their rights cause of other powerful actors. Sayyid Qutb for example legalized his followers in Ikhwanul Muslimin to against and kill governments who do not implement Islamic law and against dakwah (Islamic preaching) because of his experiences when he saw the policies of Egypt government, which killed Hassan Albanna and prisoned him self. Economic, politics, religion and social problems These conditions also produce terrorism actions because based on the nature the human being want them selves to be free and have their own properties. If there is descrimination among the people within the state, exstreme poverty, and the state is so weak to solve that particular problems, then the people tend to do terrorism action. This will be worse if there are some other problems such as ethnic conflicts, religions clashes, pressure of globalization, different ideology in politics, violence culture, the existance of revolution groups, elites conflicts, etc, have already existed. Terrorist groups believe that through violence, they can gain their political goals to change the conditions, even by capturing and coupting the state, or doing global revolution. At least they can achieve their short time aims to provoke and mobilize masses and do intimidations. The Methods of Attack To gain their goals, there are some methods which are common to be used by terrorist groups to do their actions 7; Firstly, by killing the important person to publish their existance in International world. For instance, they killed Anwar Saddat on 6 October 1981, one day after his visiting to Israel. In 40 AC, jews people did the same thing to go out from the influences of romance kingdom power. In pakistan, a lot of their leaders were killed by terrorist groups such as Zia Ul-Haqq, Ali Butho, Benazir Butho, etc. Secondly, through suicide action, means that the terroris kill or bomb the target by killing and bombing himself around the crowded of people or strategic places. For instances, the bombing of American Embassy in Beirut, April 18, 1983 which caused 63 people died. Terrorist also attacked America and Franch camp in Libanon which caused 241 France milatary and 58 American military died. Rober Pope said that from 1980 to 2001, there were 188 suicide attacks and majority of them based on political motives, not religion based. 8 Lastly, by joining some combats to against American and western countries in some Islamic countries such as in Iraq and Bosnia. This strategy often made the situation in those places became worse. For instance, in Iraq, as the research I did for my bachelor degree graduation, the conflict actually could be solved domistically if there were no foreign intervention. Unfortunately American 7
th
Is improved from http://en.wikipedia.org/wiki/Tactics_of_terrorism, accessed on August 4 , 2012. Robert Pape, “The Strategic Logic of Suicide Terrorism,” American Political Science Review, vol. 97 (August 2003), pp. 434-361, 2003.
8
171
soldiers wanted to leave Iraq if the condition had become stable, but terrorism groups that come from outside the countries, such as Al-Qaedah Afghanistan, wanted America to go out first and they would not attact public facilities anymore. Because there is no trust between them, then civilian people in Iraq become victims. Types or Form of terrorism In this part, I want to explain that we often defined terrorist in smaller understanding. Terrorism only used to call Islamic movements or some other coercion actions which done by actors outside the state. Theoritically, state also possible to be terrorist. This statement can be understood through explanation of terrorism classification such as nationalist separatism, religion fundamentalism, new religions, and social revolution 9. Nationalist separatism means that the movement of people in one region which want to separate from the state to be independent country through violence actions can be called as terrorism. Though they could be hero for their groups, but state or government will call them as terrorist group. For instance, people movement in Aceh, Indonesia. Moreover, religion fundamentalism which basically was not came from Islam, tends to describe Islam in this current issues, because conceptually, if there is movement to build religion based on its basic principle, which is Islam want to do, that it will be called as terrorism, though fundamentalism term did not come from Islamic history. On the other hand, if there is movement which manipulate and create new religion and make people feel uncomfortable, it is also called terrorism. For instance, Lia Eden in Indonesia which called her self as prophet but she still claimed her self as muslim. This action will influence the psychology of people, especially muslim in the country. As also the the social revolutioner can be a terrorist since in government point of view, the movement of idealist groups which against authoritarianism also will be call as terrorism. The perspective of terrorism types above did not judge state as terrorist, but, other kind of terrorism classification has different perspective because the kinds of terrorism can be classified as domistic terrorism, state terrorism, terrorism sponsored by state, and international terrorism 10. Domistic terrorism is the violence conducted by non state actor to press the domestic political enemy, for instance cause of ideology reason (Islam,Marxism) or ethnic (cases in Spanch and Aljazaer). Furthermore, the state terrorism indicates the violences which is done by state through intimidation to it’s people. For example, dirty war in Argentina. This kind of terrorism is done directly through the policy of the government and it’s structures. But, if the state does not do the direct terrorism action, but by paying other actors to do the actions, it will be called as terrorism sponsored by state. If all these kind of violences are done by one state to other state or people in other state, such as American invasion to Iraq, Libya, Afghanistan, etc, it is said as international terrorism. 9
US Department of Justice, Office of Inspector General, a Review of The FBI’s Investigations of Certain Domestic Advocacy Groups. September 2010. Page 24. http://www.scribd.com/doc/37834620/19/VI-FBITerrorism-Classifications 10 As Prof Nishar Ul Haqq was explained in the class when I was studying in Political Science, Jamia Millia islamia.
172
From this perspective, we can understand that state can do terrorism action directly or indirectly. Even if we mention, there are a lot of cases of terrorism actions conducted by state. Terrorism and International Politics In this part, I will explain the mission of Amerika on the war against terrorisme, and it’s relations to the muslim countries which became the victims of this policy. At the end, this part also will picture the changes of the international politics because of terrorism issues. War Against Terrorism As explained above, terrorism is very dangerous for the existence of human life. All the forms of terrorism attacks should be condemned. Terrorist actions often kill innocent people. By the name of humanity, all the countries have duty to against the kinds of terrorism. For that ideal goals, in post 11 September 2011 attacks, Bush declared the war against terrorists around the world. This declaration got sympathy and support from many countries. Then, to support her policy, America did some missions, such as, First, America announced the war against terrorists specially Al-Qaedah, Hamas, Hizbullah, Jama’ah Islamiah, Laskar Jihad, and others local terrorist movements. From these data we realize that almost all of the targets are the Islamic movements. Morover, Amerika stated that South East Asian countries are the dangerous areas cause of their fuction as the traffic area of terrorists movement. For security purpose, Indonesia has got support and award for her responsibility, though in reality there were some debateable issues which used terrorism as the tools to increase the government legitimacy. 11 Second, America tried to influence the reshuffle of governments in moslem countries to be changed by loyal leader to America by the name of democratization process. This condition could be seen in some countries, including the issues of Arab Spring which had successful in changing the “authoritarian” regime such as Khadaffi, Husni Mubarak, etc. Even America legalized the invasion to another countries for this purposes, like the case of American invasion to Afghanistan and Iraq which she called as undemocratic and terrorist supporter countries. Third, America built some military bases in many places around the world (absolutely the strategic places) for it’s national interests. But America always claim that what she did are for the world peace and goals, which the educated people realized that it is not true. The real condition of the international politics is coloured by the individual interests of the particular state. It will be acceptable on the logic that when America intensified the functions of secret and spy group to control the existence and movement of terrorist groups, it is basically for it’s own interest. When America cooperated with many countries to control and cut the financial supporting to terrorist movements, it is also part of American strategy to help it’s country. Clearly, this goal can be understood on American policy in increasing the number of military personels and it’s budget, and advanced the military cooperation to many other countries. This policy will be much more 11
In case of dulmatin for example, some issues among military and political experts told that he had already catched a few months before the execution. The incident of “war” between polices and Dulmation was created to get people sympathy when government had a lot of problems and critics from the people in that time.
173
cheaper for America than she attacks the terrorist countries based directly like cases in Afghanistan and Iraq. Moreover, America do the principle of pre-empetive actions in her foreign policy, which means that America legally allowed to attack other countries or object which has indication to attack her self. Islam as The Victim As mentioned above, after declared the war against terrorism, America attacked Afghanistan in 2001 and Iraq in 2003 which both are the countries with majority moslems. Even within moslem countries, they support American action to against terrorists, such as in Indonesia, the police officers are actively catch and kill terrorists. But there are two conditions which are interesting to be analized. First, that terrorist image which is come from the people who have “Islamic” performance, for example they have beard, are actively in masjid, their wife use hijab, etc. People then easily generalize that all of the people who have such kind of performances are terrorists, though Islam never teachs its follower to be terrorist, so the majority of muslim are not agree to the terrorism action. Oliver Paderbone stated that, Islam began by the sword, maintened by the sword, and by the sword would be ended.12 This understanding is so famous in western countries and because of that, many people misundertood about Islam. It is right that prophet Muhammad, peace upon him, conducted several number of wars in his life. But this have to be analized deeply because there are some morality principles in Islam in war condition. Islam allows to use war only as defensive tools, not as offensive war. So, muslim should have good relations with non muslim in peace condition. Jihad is not used to break social security but to keep it. If there is war, the messages of Abu Bakar to his soldiers when they would going to war in Syiria, are interesting to be understood. Abu Bakar said, “When you face the enemy, be the real men, never withdrawl your selves from war. But if you win the war, never kill the children, old people, and women. You may not break plants, field, tress, or some other unimportant things. Just do the substance.” Statement which show that Islam has high morality in war, not only to the human being but also to plants, animal and earth. So, if there is terrorism action which done by moslem, it should not be generalized as the legal principle of Islam. Moslem does not exactly implement the values of Islam. Second, related to the process of terrorism war, usually polices kill directly the terrorists without asking them to explain in mass media (for example through live television channel) about their existence and the reason why they become terrorist. Or if there is judiciary process, there will be no live publishing to public. This condition make people become doubt whether they are real terrorist or only as the tools of foreign interests to intervene Islamic or muslim countries, like Indonesia.
12
Norman Daniel. Islam and the West: The Making of An Image (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960) p.127
174
The rational logic is that if terrorists have good capabilities in making weapons, they can be used by the state (Indonesia in this case) to be the part of system in improving Indonesian military. By asking the terrorists to practice how to make weapons, police and people can realize whether they are working by them selves or there are other “people” who help them, so they are only as the executors. If the are other actors behind them, then I do believe the the root problems of terrorist actions can be solved. This particular question come from reasons. First, about Islam its self which teachs people to live in peace, and second, because there are some data which show that terrorism actions did not appear in Islamics or western countries. But most of terrorism actions have already happened in Latin America. Based on US Department of Justice in their document 2006 13, there were more than 3.099 terrorism attacks which had already done, but American spy did not exactly know who were the actor behind those attacks (page 38). The were a lot of areas which being objects of terrorism attacks such as Latin America (41,3% attacks), Europe (19,11%), Asia (18,65%), Middle East and North Africa (13,46%), Sub-Africa (5,95%), and North America (only 1,44%) (page 41-43). The question which is coming is related to the interests of muslim people in Latin America since they don’t have relations history and why don’t America against terroris massively in Latin America though it is the most dangerous area of terrorist attacks?. In page 46, it is more clear that from all of the incidents, only 131 of them (or 0,2%) which caused victims from American people. In some cases, these attacks were done by stressful American citizens. The most tragedic attacks for America was terrorism attack to American embassy in Beirut which cause 239 American people died. But this number was much more smaller than the victims of American invasion to Iraq which kill people around 100 civilian Iraq citizens since March 2003 till now. 14 That is why I do believe that Islam become the victim of terrorism issues. The Changes of International Politics After Bush declared war against terrorism, it doesn’t being war against terrorist it self, but also has changed the political map of International relations. Countries which supported this war became the alliances of America and who did not support, Bush classified as part of terrorist as he said, “Either you are with us or you are with terrorist, 15” statement which is become famous as Bush Bush doctrine. In the era of cold war, the line used to be “either you are with us, or you are with communists”. By this particular statement, Bush defined his country and those which followed America are the states which commit to democracy, freedom, pluralism and tolerance. On the other
13
Department of Justice, edited by Gary La Free, Laura Dugan, Heather V Fogg, Jeffrey Scott, Building a Global Terrorism Database, May 2006, document number 214260. 14 Gonda Yumitro, The Disturbance of Political Movement in Post Saddam Hussein Iraq. Thesis for Bachelor Degree in Gadjah Mada University, Indonesia, 2006. 15 This statement can be watched directly from youtube video. http://www.youtube.com/watch?v=cpPABLW6F_A, or http://www.australianpolitics.com/news/2001/01-09st 21.shtml, accessed on 31 August, 2012
175
hand, those which did not join America in the war against terrorists must be undemocratic countries, even terrorist it self. So, there were cooperation and war in the level of International politics. Some became friends and other became victims. Not only countries but various of International organization joined American to defeat terrorists, such as NATO, European Union, the Organization of American States, The Association of Southeast Asian Nation, The Organization of the Islamic Conference, and UN General Assembly and Security council. American efforts got sympathy from several countries. It’s relations to Soveit Union has become closer after had long cold war history, China also supported American policy, and India has given a lot of supports to America since 11 September 2001, so their relations become smoother. But, on the other hand, Afghanistan and Iraq become the objects of war and victims of terrorism issues. The number of civilian people who died caused of American and her alliences invasion to both countries are much bigger than the number of victims cause of terrorism attacks. Moreover, terrorism issue has already made the issue of democracy and freemarket become more popular over the world. Colin Powell said that, we will continue to advance our fundamental interests in human rights accountable government, freemarket and spreading democracy 16. This statement came cause some experts argued that terrorisme can be exist only in non-democratic country. As un-democratic country, then Iraq could not prevent American and her alliance invasion to her country. The policy of pre-emptive strike which is conducted in American foreign policy legalized the invasion to Iraq. Iraq was indicated as a country which had mass destruction weapons, so it can be dangerous to regional security even to America it self. But, till that country become the “field of war” and many civilian people have been died, America cannot find the the evidence that Iraq has the weapons. That is why a lot of people see that what America has done is the strategy of that country to gain her own interests, especially oil. America attacked Iraq because Iraq was the second largest oil producer after Saudi Arabia. America also attacked Afghanistan. Through this war then America easily could increased her oil investations in Central Asia countries which have tremendous number of oil and gas. American administration successfully stationed 4000 her troops in Kazakhtan, Tajikistan, Uzbekistan, Kirgistan, even Georgia. It is clear that the issue of war against terrorist produces a lot of things for American interests. Through all of those policies above, America want to keep her self as the most powerful country around the world. But, in reality, though Islamic countries have done nothing, there have been a lot of American people who critize this country policy. Conclusion From my explanation above, it is clear that terrorism is a very complicated issue in International Politics. In one side, terrorism should be condemmed by all of the countries cause of its 16
US Foreign Policy Agenda. Terrorism, Threat Assesment, Countermeasures and Policy, volume VI, an Electronic Journal of The US Department of State, number 3, November 2001
176
immoraly action, but on the other hand, the war against terrorism which has already led by America become questioning issues, whether it is purely to create the world life in peaceful condition or has already used by powerful countries for her own interests. Moreover, the war against terroris should not be the war against religion because there is no evidence found that religion (especially Islam in this essay) teachs it’s follower to be terrorist. Justification of terrorist by the name of religion will only make the world life become worse. Many facts showed that terrorism actions were conducted because of non-religious interests, such as economic and political reasons. ** References: Alex P.Schmid1. Root Causes of Terrorism: Some Conceptual Notes, a Set of Indicatiors and a Model. Routlege Taylor and Francis Group. Democracy and Security, 1:127–136, 2005 Daniel, Norman. Islam and the West: The Making of An Image (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960) p.127 Department of justice, edited by Gary La Free, Laura Dugan, Heather V Fogg, Jeffrey Scott, Building a Global Terrorism Database, May 2006, document number 214260. Office of the Coordinator for Counterterrorism. Country Reports on Terrorism. April 30,2007 Pape, Robert, “The Strategic Logic of Suicide Terrorism,” American Political Science Review, vol. 97. (August 2003), pp. 434-361, 2003. US Department of Justice, Office of Inspector General, a Review of The FBI’s Investigations of Certain Domestic Advocacy Groups. September 2010. Page 24. http://www.scribd.com/doc/37834620/19/VI-FBI-Terrorism-Classifications US Foreign Policy Agenda. Terrorism. Threat Assesment, Countermeasures and Policy, volume VI, an Electronic Journal of The US Department of State, number 3, November 2001 Yumitro, Gonda. The Disturbance of Political Movements in Post Saddam Hussein Iraq. Thesis for Bachelor Degree in Gadjah Mada University, Indonesia, 2006. www.australianpolitics.com/news/2001/01-09-21.shtml, accessed on 31st August, 2012 www.en.wikipedia.org/wiki/Tactics_of_terrorism, accessed on August 4th, 2012. www.schneier.com/blog/archives/2006/08/what_the_terror.html, accessed on September 1st, 2012 www.terrorism.about.com/od/whatisterroris1/ss/DefineTerrorism_6.htm. accessed on September 1st, 2012 www.youtube.com/watch?v=cpPABLW6F_A,
177
TINJAUAN BUKU Problem dan Prospek Hubungan Indonesia-Australia (Pasca Referendum Timor Timur) merupakan buku yang ‘wajib’ menjadi salah satu koleksi anda. Sebagai akademisi Hubungan Internasional, Dyah Estu K. memotret secara komprehensif apa yang menjadi determinan positif dan negatif dari hubungan Indonesia-Australia. Dapat dikatakan bahwa tulisan ini merupakan ‘rekam jejak’ relasi kedua negara melalui isu-isu internasional. Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian Dyah Estu K, sehingga dalam penyajiannya, secara jujur merunut perkembangan hubungan Indonesia-Australia yang cukup fluktuatif. Dyah menyatakan bahwa kondisi geografis, latar belakang sejarah, sistem politik, sosial budaya, dan konsep pertahanan keamanan kedua negara yang relatif berbeda menentukan ‘gab’ dalam perumusan kebijakan luar negeri. Prospek hubungan Indonesia-Australia antara lain ditentukan oleh sikap saling memahami diantara dua komunitas bangsa yang memiliki perbedaan nilai walaupun secara geografis dekat. Selain itu, siapa yang berkuasa di dalam pemerintahan Australia, juga sangat berpengaruh terhadap hubungan diplomatik kedua negara. Konstalasi politik domestik Australia yang diwarnai kompetisi antara Partai Buruh dan Liberal menghasilkan respon yang berbeda terhadap prospek hubungan Indonesia-Australia. Apabila Partai Buruh memegang tampuk pemerintahan maka kemungkinan besar hubungan Australia-Indonesia khususnya, dan dengan Asia pada umumnya, akan berjalan baik dibandingkan dengan jika Partai Liberal yang berkuasa. Hal ini disebabkan oleh perbedaan orientasi politik luar negeri diantara kedua partai tersebut. Partai Buruh dalam menjalankan politik luar negerinya lebih mengutamakan kerjasama dengan Asia (termasuk Indonesia), artinya lebih independen dan tidak terlalu dipengaruhi oleh negara sekutunya yaitu Inggris dan Amerika. Sedangkan, kebijakan Partai Liberal dalam menanggapi permasalahan dengan negara lain sangat tergantung pada kedua negara sekutunya tersebut. Hal itu terutama menyangkut masalah demokrasi, hak asasi manusia, liberalisasi perdagangan, dan juga lingkungan hidup. Dengan demikian, baik keberadaan maupun sikap Inggris dan Amerika bisa menjadi faktor eksternal mempengaruhi baik buruknya hubungan Indonesia-Australia, terutama pada saat berlangsungnya kepemimpinan Partai Liberal di Australia. Tulisan Dyah sepanjang 114 halaman ini, juga menceritakan masa awal kemerdekaan Indonesia yang mampu membangkitkan rasa patriotisme kita. Pada saat bangsa ini tengah menghadapi Agresi Militer Belanda I tahun 1947, buruh-buruh Australia melakukan pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda. Australia menjadi sahabat sejati yang turut membantu perjuangan Indonesia di forum PBB. Akan tetapi, kebijakan konfrontasi Presiden Soekarno terhadap Malaysia sempat mengubah persepsi Australia terhadap Indonesia. Bahkan, politik luar negeri pemerintahan Presiden Soekarno yang cukup agresif saat itu, mencatatkan Indonesia sebagai “ancaman dari utara”. Australia berperan penting dalam pelaksanaan jajak pendapat di Timor Timur pada 30 Agustus 1999. Negara kangguru ini menjadi anggota dari misi khusus United Nation Missions in East Timor (UNAMET). Insiden Dili pasca jajak pendapat memperparah hubungan diplomatik Indonesia-
178
Australia. Terjadi demonstrasi besar di Australia yang mengecam pemerintah Indonesia. Pada akhirnya, PBB membentuk International Force for East Timor (Interfet) dan menunjuk Australia sebagai pemimpinnya demi menghentikan kekerasan di Bumi Loro-sae. Sehingga, tulisan ini secara keseluruhan menjelaskan faktor-faktor yang menjadi tantangan hubungan Indonesia-Australia dan prediksinya di masa depan. Dengan gaya penyampaian yang lugas dan sederhana, buku berjudul ‘Problem dan Prospek Hubungan Indonesia-Australia (Pasca Referendum Timor Timur)’ ini dapat dinikmati tidak hanya oleh para akedemisi Hubungan Internasional tetapi juga masyarakat pada umumnya. Selamat membaca! Salam, Demeiati Nur Kusumaningrum
Judul buku Penulis Penerbit Cetakan Tebal Jumlah Bab Ukuran Buku Harga Buku
: Problem dan Prospek Hubungan IndonesiaAustralia (Pasca Referendum Timor Timur) : Dyah Estu K. : Leutikaprio : Pertama, Juni 2012 : 114 Halaman : 7 Bab : 19 × 13 Cm : Rp. 35.000
179
PEDOMAN PENULISAN JURNAL STUDI HI 1. Artikel harus orisinil atau bukan hasil plagiasi, belum pernah dimuat di media atau penerbitan lain (termasuk blog), dan tidak dikirim secara bersamaan ke media atau penerbitan lain. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Melayu atau bahasa Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel. Judul artikel harus spesifik dan efektif dan dicetak tebal. Peringkat judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau dicetak miring dan tidak menggunakan nomor/angka pada judul bagian. Judul Artikel (Huruf Besar Kecil, Tebal, Di Tengah) Peringkat judul bagian (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat Sub Bagian (Huruf Besar Kecil, Cetak Miring, Rata Tepi Kiri) 3. Artikel menggunakan font Times New Roman 12 dengan menggunakan spasi 1,5, panjang artikel: 4.000-8000 kata (tidak termasuk abstrak dan daftar pustaka; setara dengan 15-22 halaman kertas A4). Artikel dikirim melalui email ke
[email protected] dengan format MS Word (.doc). 4. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Keterangan tentang artikel hasil presentasi dan keterangan tentang penulis dapat dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Jika penulis 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama yang ditentukan berdasarkan urutan kontribusinya pada artikel; nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki. Bagi naskah yang ditulis oleh sebuah tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan untuk mencantumkan alamat email demi memudahkan komunikasi. 5. Abstrak dibuat dua bahasa; bahasa Inggris dan bahasa Melayu/bahasa Indonesia dengan keywords atau kata-kata kunci minimal lima (5) kata. 6. Artikel harus aktual dengan substansi yang: (1) memiliki relevansi dengan kebutuhan proses belajar-mengajar di bidang ilmu hubungan internasional; (2) berhubungan dengan persoalan-persoalan global dan strategis, seperti diplomasi dan hubungan luar negeri kawasan, perdamaian dan keamanan internasional, ekonomi dan politik internasional, organisasi dan bisnis internasional, politik dan pemerintahan negara-negara kawasan, globalisasi dan strategi; (3) berkaitan erat dan/atau sesuai dengan bidang keilmuan yang selama ini dikuasai penulis, baik yang berupa kajian teoritis, metodologis, ringkasan hasil penelitian maupun resensi buku ilmiah; dan (4) memperhatikan obyektifitas substansi dan kaidah-kaidah keilmuan. 7. Penulisan artikel: • Di dalam penulisan artikel, hindari penggunaan dot points, pengabjadan, atau penomoran seperti ini: 1. … 2. … Atau
8.
9.
10.
11. 12.
a. … b. … Tetapi lebih baik ditulis sebagai berikut: (1) …, (2) …. • Artikel ditulis dalam bentuk esai, sehingga tidak ada format numeric (abjad) yang memisahkan antar bab/ bagian, ataupun untuk menandai bab/bagian baru. • Apabila ada tabel dan gambar/grafik, harus dibuat sesederhana mungkin, menggunakan format MS Word (.doc), dituliskan sumbernya (apabila ada) di bagian bawah tabel dan diacu dalam pembahasan. • Kesimpulan tidak dirinci dalam poin-poin, tetapi berupa paragraph. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 220 kata); kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub bagian); penutup atau kesimpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 220 kata) yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; kata kunci, pendahuluan yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka dan tujuan penelitian; metode; hasil; pembahasan; kesimpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk tesis, skripsi, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan atau majalah ilmiah. Pengutipan menggunakan teknik rujukan catatan kaki (footnote). Metode kutipan menggunakan catatan kaki (footnote): Buku dengan satu pengarang Nama pengarang, judul buku, kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit, halaman. Contoh: Keohane, Robert O. 1984. After Hegemony. Princeton: Princeton University Press. Buku dengan dua atau tiga pengarang Nama pengarang 1, nama pengarang 2, nama pengarang 3, judul buku, kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit, halaman. Contoh: Ramkishen S Rajan, Sunil Rongala, Asia in the Global Economy: Finance, Trade, and Investment, Singapore: World Scientific Publishing, 2008, hlm. 17. Buku dengan banyak pengarang Nama pengarang pertama, et al., judul buku (kota penerbit: nama penerbit, tahun terbit, halaman. Contoh: Grace, Bruno, et al., 1988, A History of the World, Princeton, NJ: Princeton University Press, hlm. 97. Artikel dari sebuah jurnal/majalah ilmiah Nama pengarang artikel, ”judul artikel,” nama jurnal/majalah ilmiah, edisi jurnal bulan terbit, tahun terbit, halaman.
Contoh: Robert S Ross, “The 1995-1996 Taiwan Strait Confrontation: Coercion, Credibility, and Use of Force”, International Security 25:2 (Fall, 2000), hlm 34-35. Artikel dari koran/majalah Nama pengarang artikel, ”judul artikel,” nama media, tanggal terbit, tahun, halaman. Contoh:Francis Fukuyama, “Benturan Islam dan Modernitas,” Koran Tempo, 22 November, 2001, hlm. 4. Berita koran/majalah ”Judul berita,” nama media, tanggal terbit, tahun, halaman. Contoh: ”Islam di AS Jadi Agama Kedua,” Republika, 10 September, 2002, hlm. 6. Skripsi/Tesis/Disertasi yang belum diterbitkan Nama penulis, ”judul skripsi/tesis/disertasi,” level karya, fakultas dan universitas, nama kota, tahun terbit, halaman. Contoh: Muzayin Nazaruddin, “War Against Terrorism: Critical Discourse Analysis,” Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004, hlm. 205. Artikel dari internet Nama penulis, ”judul artikel,” alamat lengkap internet (tanggal akses). Contoh: Chang, James C. P., “U.S Policy Toward Taiwan,” http://www.wcfia.harvard.edu/fellows/papers/2000-01/chang.pdf, diakses tanggal 07/12/2011. Referensi dari sumber kedua Keterangan lengkap sumber pertama (sesuai dengan aturan catatan kaki diatas), dalam keterangan lengkap sumber kedua (sesuai aturan catatan kaki diatas). 13. Metode penulisan daftar pustaka menggunakan ketentuan sebagai berikut: a. Daftar pustaka harus sudah dituliskan sesuai dengan urutan abjad family name (nama belakang). b. Apabila sumber referensi berasal dari lebih dari satu jenis, daftar pustaka harus diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya seperti buku, jurnal, laporan penelitian, working paper, makalah seminar, Koran/majalah, publikasi resmi pemerintah, laporan tahunan, DVD/VCD, video, dan artikel online. c. Buku dengan satu pengarang Wardhani, Baiq. 2010. Globalisasi dan Konflik Etnis. Surabaya: Cakra Studi Global Strategis. d. Buku dengan dua pengarang Falola, Toyin, dan Ann Genova, 2005. The Politics of the Global Oil Industry: An Introduction. London: Praeger.
e. Buku dengan lebih dari dua pengarang Grace, Bruno, et al., 1988. A History of the World. Princeton, NJ: Princeton University Press. f. Buku hasil editan Rotberg, Robert I. (ed), 2003. State Failure and State Weakness in a Time of Terror. Washington D. C.: Brookings Institution Press. Thomas, Caroline, dan Peter Wilkin (eds.), 1999. Globalization, Human Security and the African Experience. Boulder, Colo: Lynne Riener. Baylis, John, et al. (eds.), 2007. Strategy in the Contemporary World. Oxford: Oxford University Press. g. Buku terjemahan Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to international Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar. h. Artikel dalam Buku Parsa, Misagh, 2003. “Will Democratization and Globalization Make Revolutions Obsolete?”, dalam Foran, John (ed.), 2003. The Future of Revolutions: Rethinking Radical Change in the Age of Globalization. London: Zed Books. i. E-book Fishman, Robert., 2005. the Rise and Fall of Suburbia. [e-book]. Chester: Castle Press. Dalam libweb.anglia.ac.uk/E-books [diakses 24 Juli 2011]. Employment Law and Practice. 2005. [CD-ROM]. London: Gee. Dalam libweb.anglia.ac.uk/E-books [diakses 1 Agustus 2011]. j. Apabila ada satu pengarang dengan dua buku yang dikutip Martin, Gus, 2006a. Understanding Terrorism. California: Sage Publications. _________, 2006b. “Globalization and International Terrorism” dalam Ritzer, George (ed.), 2006. the Blackwell Companion to Globalization. Malden, MA: Blackwell. k. Artikel Jurnal Wiyatmoko, Aswin, 2011. “Strategi Perlawanan World Social Forum terhadap Globalisasi Neoliberal (2001-2008)”, Global & Strategis, Januari-Juni, 5 (1): 59-74. l. Laporan Penelitian Dharmaputra, Radityo, 2011. Analisis Respon Negara Terhadap Strategi Netwar Kelompok Separatis: Studi Kasus Pemerintah Indonesia Melawan Organisasi Papua Merdeka, tahun 1999-2010. Tesis Magister. Surabaya: Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. m. Working Paper International Crisis Group, 2006. “Terrorism in Indonesia: Noordin’s Networks,” Asia Report, No. 114, 5 May. n. Makalah Seminar Karnavian, M. Tito, 2009. “The International Dimensions of Terrorism in Indonesia: Ideology, Network, Funding and Cooperation to Combat It”, dalam Seminar International Security: Facing the Challenge of Terrorism, 10 November. Surabaya:
o. p.
q.
r.
s.
t. u.
Departemen Hubungan Internasional fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Artikel dalam Media Massa Mubah, A. Safril, 2011. “Metamorfosis Aksi Terror”, Jawa Pos, 12 Oktober, hlm. 4. Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, 2002. Jakarta: DPR RI. Publikasi resmi lembaga pemerintah Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2008. Jakarta: Departemen Pertahanan RI. Laporan tahunan United Nations Development Program (UNDP), 1994. Human Development Report 1994. DVD/VCD The Habibie Center, 2004. Publikasi 5 Tahun, 1999-2004. [VCD]. Jakarta: the Habibie Center. Video (Film) Pilger, John, 2001. the New Ruler of the World. [video]. Jakarta: Indy Cinema. Artikel Online US Energy Information Administration, 2010. “Country Analysis Brief_India” [online]. dalam http://www.eia.doe.gov/cabs/India/Full.html [diakses 22 Oktober 2010].
14. Penulis bertanggung jawab penuh atas keseluruhan isi artikel yang dikirim. 15. Penulis harus menyertakan curriculum vitae (CV) yang berisi nama lengkap, tempat & tanggal lahir, alamat lembaga atau alamat pribadi untuk berkorespondensi, riwayat kerja, daftar publikasi. 16. Artikel yang dkirim ke redaksi harus sudah sesuai dengan pedoman penulisan jurnal ini. Artikel yang tidak sesuai dengan pedoman penulisan jurnal ini tidak akan dipertimbangkan untuk dipublikasikan. 17. Redaksi berhak mengedit artikel tanpa mengubah substansi dan pokok pikiran penulisnya. 18. Redaksi tidak akan mengembalikan artikel yang tidak layak muat.