Laporan Akhir
Ketidakadilan Gender dalam Pelaksanaan Kebijakan HIV dan AIDS: Studi Kasus di Dua Pelayanan VCT (Voluntary, Counseling, and Testing) di Jakarta
Disusun Oleh:
Yayasan Puspa keluarga dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia Januari, 2010
RINGKASAN EKSEKUTIF Perbedaan peran dan relasi gender secara langsung maupun tidak mempengaruhi tingkat risiko individu dan kerentanan infeksi HIV. Dampak konstruksi gender tidak statis, sangat mungkin diubah melalui kebijakan, program, dan komitmen. Berikut ini studi kasus pelayanan VCT yang menyajikan ketidakadilan gender dalam pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS. Studi ini kualitatif, mencakup desk review: dokumen kebijakan pengarusutamaan gender dan penanggulangan HIV dan studi kasus: pelayanan VCT rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat di Jakarta. Studi kasus mencakup wawancara klien pasca pelayanan; diskusi dan wawancara konselor, manager kasus, dan manager program; serta pengamatan: ruangan, alat bantu konseling, dan proses pelayanan VCT. Studi kasus membatasi pada dua lokasi sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh pelayanan VCT. Hasil Hasil studi mencakup kebijakan PUG yang belum realistik; pelayanan belum memenuhi kebutuhan laki-laki, perempuan dan waria/gay; pesan media kurang peka terhadap keseimbangan peran gender; dan ketidakadilan gender dalam penularan HIV. Kebijakan PUG sudah ada tapi belum realistik. Ada beberapa kendala dalam menerapkannya. Pertama, alokasi dana PUG tergantung wawasan gender anggota legislatif dan pemerintah. Sedangkan bagi swasta, tergantung komitmen pemberi dana. Kedua, tidak semua undang-undang, peraturan, pedoman, dan strategi nasional sampai ke tingkat pelayanan. Ketiga, pedoman belum cukup menjelaskan pelaksanaan pelayanan berwawasan gender. Pelayanan VCT belum optimal memenuhi kebutuhan laki-laki, perempuan, dan waria/gay. Pelayanan VCT belum optimal memberdayakan perempuan dalam negosiasi pengambilan keputusan rumah tangga; belum mempertimbangkan kebutuhan gender dan budaya setempat; belum optimal melibatkan pasangan laki-laki untuk hadir dalam konseling VCT-PMTCT; belum ada kesamaan persepsi keadilan gender dalam pelayanan; belum secara sadar memasukkan aspek gender; dan pencatatan dan pelaporan tidak memungkinkan analisis terkait gender. Ada beberapa media yang diamati pada pelayanan VCT, seperti stiker, kliping koran, dan poster di rumah sakit; serta leaflet, poster, dan lembar balik di LSM. Umumnya pesan yang disampaikan sudah baik, tidak mengandung stigma dan tidak mengarah pada suku, bangsa, atau agama tertentu. Namun, kurang mengandung narasi yang memberdayakan perempuan dan kurang menampilkan gambar laki-laki untuk meningkatkan partisipasinya. Hasil studi menunjukkan adanya ketidakadilan gender dalam penularan HIV. Perempuan terinfeksi HIV karena terimbas perilaku berisiko laki-laki pasangan. Perempuan terinfeksi karena laki-laki pasangan tidak mengetahui status HIV, sudah
2
tahu status HIV tetapi tidak membukanya kepada istri, dan sudah tahu status HIV tetapi tidak disiplin menggunakan kondom. Hasil wawancara dengan klien menunjukkan bahwa klien perempuan mempunyai pendapat yang justru merugikan perempuan sendiri. Perempuan berpendapat bahwa laki-laki wajar bila memiliki pasangan lebih dari satu dan menyebutkan bahwa perempuan sebaiknya pasif tentang seks dengan pasangannya. Implikasi dan rekomendasi Semua masalah dan situasi dalam studi ini mengindikasikan perlunya pemerintah dan pihak terkait untuk memperbaiki kebijakan dan memberikan dukungan untuk terjadinya situasi dan pelayanan yang berkeadilan gender. Studi ini merekomendasikan beberapa hal dari hasil studi, terkait kebijakan: pertama, pihak donor yang mendukung program pelayanan VCT perlu lebih tegas mengharuskan alokasi dana PUG. Kedua, pemerintah perlu memperbaiki distribusi produk kebijakan agar sampai ke tingkat pelayanan. Ketiga, pemerintah perlu memperbaiki pedoman pelaksanaan pelayanan VCT yang berwawasan gender. Terkait pelayanan VCT: keempat, pemerintah perlu memastikan pelayanan VCT telah mempertimbangkan gender dalam setiap kegiatan, misalnya konseling pasangan sedini mungkin, pasangan harus menghadiri konseling VCT-PMTCT, konselor harus terpapar pelatihan gender, konseling memuat pemberdayaan perempuan dan partisipasi laki-laki. Kelima, pemerintah perlu menyediakan format pencatatan dan pelaporan yang lebih sensitif gender, baik kuantitatif maupun kualitatif. Terkait media cetak: keenam, pemerintah perlu memperbaiki media cetak agar gambar menampilkan partisipasi laki-laki dan narasi memberdayakan perempuan. Terkait penularan HIV: ketujuh, pemerintah perlu memperluas pelayanan VCT pada kelompok berisiko, terutama laki-laki penasun.
3
UCAPAN TERIMA KASIH Sebenarnya, ketidakadilan gender terjadi pada setiap aspek kehidupan dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Ketidakadilan gender bagi HIV dan AIDS menjadi isu penting karena berkontribusi memperluas epidemi melalui hubungan seksual yang tidak setara. Ketidakadilan gender diduga menjadi salah satu faktor yang membedakan interaksi seksual laki-laki dengan perempuan atau antara gay/waria dengan pasangannya. Seperti apa situasi ketidakadilan gender serta bagaimana kebijakan dan pelayanan merespons isu tersebut? Berikut adalah laporan penelitian tentang ‗Ketidakadilan Gender dalam Pelaksaan Kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia: Studi Kasus di Dua Pelayanan VCT (Voluntary, Councelling, and Testing) di Jakarta‘. Rampungnya laporan ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak dan kami ingin sampaikan terima kasih serta penghargaan yang berbesar-besarnya. Terima kasih disampaikan untuk KPAN yang telah mendukung pendanaan studi. Terima kasih untuk HCPI dan para advisor, Prof Budi Utomo, Dr. Dede Oetomo, Dr. Danny Yatim, Dr. Rita Damayanti, yang telah memberikan bimbingan dan masukan. Terima kasih juga untuk para narasumber yang telah memberikan masukan pengembangan proposal, instrumen studi, dan penulisan laporan, yaitu kepada Dr. Sabarinah Prasetyo dari Puslitkes UI, Dr. Iwu Dwisetyani Utomo dari ADSRI-ANU, Ibu Yanti Muchtar dari KAPAL PEREMPUAN, Ibu Ida Ruwaida dari Program Gender FISIP-UI, Ibu Nunung dari Puskesmas Bogor Timur, KDS Desa Kranggan dan Rumah Cemara Bogor, serta Mba Nurul Istiqomah - konselor dari basecamp IDU Puslitkes UI. Terima kasih juga kepada peserta Lokakarya Nasional Penelitian HIV dan AIDS pada 8 dan 9 Desember 2009 yang telah memberikan masukan untuk menyempurnakan laporan ini. Penghargaan juga disampaikan kepada para narasumber studi yang telah memberikan informasi: para konselor, manager program, dan manager kasus di kedua pelayanan. Tidak lupa, penghargaan sebesar-besarnya bagi para klien yang terlibat dalam dalam studi ini, terima kasih sudah bersedia berbagi cerita. Semoga studi ini memberikan sumbangan dalam memperbaiki ketidakadilan gender dalam program HIV dan AIDS.
Jakarta, Januari 2010 Dini Dachlia Nurul Huriah Astuti Luluk Ishardini Yudarini Hendri Hartati
4
DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN 1. PENDAHULUAN………………………………………………………… 8 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………..8 1.2. Tujuan dan Manfaat……………………………………………… 10 1.3. Kerangka Konsep ……….………………………………………. 10 1.4. Pertanyaan Penelitian …………………………………………… 11 2. METODOLOGI……………………………………………………………11 3. HASIL PENELITIAN…………………………………………………… 13 3.1. Karakteristik informan dan pelayanan VCT ……………………. 13 3.2. Kebijakan PUG belum realistic…………………………………. 15 3.3. Pelayanan belum memenuhi kebutuhan laki-laki, perempuan, dan waria/gay …………………………………………………………. 17 3.4. Pesan media kurang peka terhadap keseimbangan peran gender… 23 3.5. Ketidakadilan gender dalam penularan HIV …………………….. 23 4. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ……………………………………… 28 5. REKOMENDASI ……………………………………………………….. 30 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Matriks analisis penularan HIV dan AIDS pada klien 2. Tabel hasil persepsi gender pada institusi (angket adaptasi UNAIDS) 3. Tabel hasil analisis dokumen substansi (adaptasi berbagai sumber) 4. Tabel hasil analisis dokumen KIE (adaptasi berbagai sumber) 5. Tabel hasil wawancara dengan klien pasca VCT 6. Matriks kebijakan 7. Instrumen studi: kuesioner VCT, pedoman wawancara 8. Transkrip wawancara 9. Foto-foto lampiran
5
DAFTAR SINGKATAN AIDS ANC ARV ASI CD-4
CIDA Diknas DKT DPR DKT FHI GAD GBV GSI GWL HIV IDAI IDU IGWG IMS IO KB KDRT KDS KIE KPAN KPP KTP LSM MK Monev MoU MSM / LSL NAPZA ODHA PJ PKBI PKK PMTCT POGI PPTI PSK PU
: Acquired Immuno Deficiency Syndrome : Ante-Natal Care (Perawatan sebelum persalinan) : Anti Retro Viral : Air Susu Ibu : Cluster of Differentiation – 4, salah satu protein sel darah putih (limfosit). Jika jumlahnya menurun berarti kekebalan tubuh juga menurun. : Canadian International Development Agency : Dinas Pendidikan Nasional : Diskusi Kelompok Terarah : Dewan Perwakilan Rakyat : Diskusi Kelompok Terarah : Family Health International : Gender and Development : Gender Based Violence : Gerakan Sayang Ibu : Gay, Waria dan LSL lain : Human Immunodeficiency Virus : Ikatan Dokter Anak Indonesia : Injecting Drug User (Pengguna NAPZA suntik) : Interagency Gender Working Group : Infeksi Menular Seksual : Infeksi Oportunistik : Keluarga Berencana : Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Kelompok Dukungan Sebaya : Komunikasi Informasi Edukasi : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional : Kementerian Pemberdayaan Perempuan : Kartu Tanda Penduduk : Lembaga Swadaya Masyarakat : Mahkamah Konstitusi : Monitoring dan Evaluasi : Memorandum of Understanding : Men having Sex with Men (Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki) : Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya : Orang Dengan HIV AIDS : Penanggung Jawab : Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia : Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga : Preventing Mother-To-Child Transmission : Persatuan Obstetrik dan Ginekologi Indonesia : Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia : Pekerja Seks Komersial : Dinas Pekerjaan Umum 6
PUG RS SDM SDP SK SKTM SOP SPK STRANAS TB UI UNAIDS UU VCD VCT WHO WID WPS
: Pengarusutamaan Gender : Rumah Sakit : Sumber Daya Manusia : Service Delivery Point : Surat Keputusan : Surat Keterangan Tidak Mampu : Standard Operating Procedure : Sekolah Pendidikan Keperawatan : Strategi Nasional : Tuberculosis : Universitas Indonesia : The Joint United Nations program for HIV AIDS : Undang-Undang : Video Compact Disc : Voluntary Counselling and Testing (Konseling dan Test Sukarela) : World Health Organization : Women in Development : Wanita Pekerja Seks
7
1. Pendahuluan 1.2.
Latar Belakang Peran
dan
relasi
gender
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mempengaruhi tingkat risiko individu dan kerentanan infeksi HIV. Gender, yang didefinisikan sebagai kumpulan dari kepercayaan, norma, kebiasaan, sikap, dan praktek-praktek yang menentukan atribut maskulin dan feminin, telah menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan berperilaku, dan pada gilirannya membedakan hak-hak, akses, kontrol, sumber daya, informasi, dan interaksi seksual (World Bank, 2000). Perbedaan gender memunculkan ketidaksetaraan seksualitas laki-laki dan perempuan. Perempuan dituntut pasif, penurut, setia, dan tidak memahami seks. Sementara laki-laki adalah pihak dominan, agresif, faham, dan berpengalaman. Akibat konstruksi ini, perempuan tidak dapat menolak hubungan seks atau menuntut seks
aman,
meskipun
tahu
pasangannya
berisiko
menularkan
penyakit.
Ketidaksetaraan ini juga menganggap wajar bila laki-laki mempunyai lebih dari satu pasangan (G-Help, 2009; Aditya, BJ, 2005; WHO and UNAIDS, 2000) Dalam HIV dan AIDS, perilaku seks laki-laki yang berganti pasangan merugikan karena mempercepat epidemi. Laporan dan studi memperlihatkan fakta ketidaksetaraan gender yang berdampak buruk bagi epidemi HIV dan AIDS (Depkes, 2009; Indah, S, 2007; Aditya, BJ, 2005). Studi lain melaporkan bahwa sebagian besar PSK akhirnya mengalah tidak menggunakan kondom karena klien menolaknya (CHR-UI, MoH, HAPP, FHI, 2006; UNAIDS, UNICEF, WHO, ADB, 2007). Atau beberapa program harus berfikir ulang untuk menggunakan female condom dalam melindungi PSK hanya karena keengganan laki-laki menggunakan kondom (MD, Mukhotib, 2007). Survai besar di masyarakat memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan pada berbagai tingkatan sosial ekonomi selalu mempunyai persentase pengetahuan pencegahan HIV yang lebih rendah daripada pasangannya (World Bank, 2000; BPS, BKKBN, Depkes, ORC Macro, USAID, 2008). Survai terakhir ini menguatkan tentang ketidaksetaraan gender yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu banyak tahu HIV dibandingkan dengan laki-laki. Untuk mengubah ketidaksetaraan gender, dibutuhkan waktu lama. Suasana ketidaksetaraan bisa berubah karena upaya kebijakan dan perubahan sosial-ekonomi. 8
Upaya menuju kesetaraan gender telah lama dilakukan melalui kesepakatan di tingkat internasional dan ratifikasi di tingkat negara, mulai dari pendekatan Women in Development
(WID),
Gender
and
Development
(GAD),
hingga
gender
mainstreaming. Pendekatan ini telah melahirkan kelembagaan yang mengurusi perempuan
di
berbagai
negara,
termasuk
Indonesia
adanya
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan di tingkat nasional dan biro/unit pemberdayaan perempuan di tingkat daerah. Pendekatan yang terakhir disebut pengarusutamaan gender (PUG). PUG telah diadopsi resmi di Indonesia sejak tahun 2000 dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000. PUG adalah proses teknis dan politis yang membutuhkan perubahan kultur atau watak organisasi, tujuan, struktur, dan pengalokasian sumber daya. Titik tekannya mengubah aturan main institusi, yang membakukan dan melembagakan aturan, norma dan perilaku tertentu, secara sadar atau tidak telah berperan dalam mengurangi, memperkuat, atau mereproduksi kultur ketidaksetaran gender dalam praktek dan aturannya. Empat ranah yang mewakili institusi tersebut adalah rumah tangga, komunitas (di dalamnya termasuk kekerabatan, kesatuan adat, klan, organisasi masyarakat, LSM), negara, dan pasar (Dewi, Sinta R, 2006). Berdasarkan kajian dan pengalaman penerapan PUG, selain dukungan politik, kebijakan, dan sumber daya, diperlukan keberanian memasukkan dimensi gender dalam proses perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi. Langkah memasukkan dimensi gender tersebut dianggap upaya nyata implementasi PUG (Silawati, H, 2006). Di tingkat internasional, upaya penyediaan materi dan indikator sensitif gender telah dilakukan untuk mendukung program lebih baik. Khusus program kesehatan serta HIV dan AIDS, organisasi WHO, CIDA, The Commonwealth, dan UNAIDS telah menyediakan indikator untuk monitoring dan evaluasi program. UNAIDS berpendapat bahwa pendekatan monitoring dan evaluasi dengan indikator yang tepat mampu melihat perubahan yang efektif termasuk dalam persoalan gender (UNAIDS). Di Indonesia, upaya menanggulangi HIV dan AIDS telah mendorong pemerintah menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penting. Pemerintah bersama berbagai pihak seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat, perguruan tinggi, swasta, lembaga profesi, dan penelitian mengembangkan berbagai upaya, 9
mulai dari kebijakan, program, aksi, diskusi, maupun penelitian. Pada tahap implementasi, juga dilakukan inovasi pendekatan, adopsi metoda/teknik, perbaikan sumber daya, dan melakukan pengembangan sesuai saran dan perkembangan epidemi HIV dan AIDS (KPAN, 2007). Sedangkan untuk PUG, pemerintah Indonesia telah banyak melakukan upaya, termasuk analisa gender, pelatihan sensitif gender, serta pembuatan perencanaan yang menerapkan dimensi gender. Beberapa laporan memperlihatkan telah ada perbaikan dalam gender terutama dalam bidang pendidikan. Namun, persoalan gender dalam konteks HIV dan AIDS belum sepenuhnya dapat diatasi. Penyebabnya antara lain melekatnya budaya patriaki dalam lingkungan keluarga dan lembaga penyelenggara negara. 1.2. Tujuan dan manfaat Studi melakukan analisis masalah kebijakan pengarusutamaan gender, bagaimana pelaksanaan VCT dalam program HIV dan AIDS dapat mengeliminasi bentuk ketidakadilan gender, dan bagaimana pandangan klien terhadap norma yang merugikan gender. Diharapkan studi dapat memberikan masukan bagi kebijakan dan pengelola program HIV dan AIDS dalam menjalankan program berperspektif gender. 1.3.
Kerangka Konsep
Kebijakan
Pelayanan Konselor
Klien Masyarakat
Budaya/Norma Gender
10
1.4.
Pertanyaan penelitian
Ada dua hal yang menjadi pertanyaan dalam studi ini yaitu: pertama, mengapa walaupun sudah banyak upaya pemerintah untuk menjawab masalah ketidakadilan gender, tetapi program di lapangan masih menghadapi persoalan ketidakadilan gender? Kedua, bagaimanakah aspek gender diterapkan dalam pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS, khususnya pelayanan VCT?
2. Metodologi Lokasi studi mencakup pelayanan statis VCT rumah sakit rujukan pemerintah dan mobile VCT lembaga swadaya masyarakat di Jakarta. Penentuan kedua tipe pelayanan diharapkan dapat memberikan variasi informasi dan Jakarta dipilih karena klien VCT banyak terdapat di wilayah ini. Studi melibatkan partisipasi HCPI dan KPAN melalui konsultasi dan serangkaian lokakarya: persiapan penelitian pada Juni 2009 dan penulisan laporan pada November 2009. Kegiatan lapangan studi mencakup instrumentasi dan uji coba penelitian dan pengumpulan data. Seluruh tahapan studi dilakukan tim peneliti sehingga tidak ada proses rekruitmen. Uji coba dilakukan di Puskesmas Bogor Timur, ODHA dan KDS di Kranggan Kabupaten Bogor pada Juli dan Agustus 2009. Pengumpulan data dan diskusi kelompok terarah pada kedua pelayanan dilakukan pada Agustus- Desember 2009. Di setiap lokasi pelayanan dilakukan pengamatan proses pelayanan VCT mencakup: ruangan, proses, dan alat bantu konseling; wawancara terstruktur dengan klien pasca pelayanan; wawancara mendalam dengan manager program, manager kasus dan konselor senior; diskusi kelompok terarah dengan konselor; serta di tingkat pelayanan dilakukan analisis persepsi gender pada program dan kebijakan. Tabel 1. Jumlah informan pada setiap pelayanan
Rumah Sakit Lembaga Swadaya Masyarakat
Wawancara terstruktur klien pasca VCT 32
DKT konselor
36
8
4
Informan Wawancara Wawancara mendalam mendalam konselor manager senior kasus 1 1
11
-
Wawancara mendalam manager program 1 1
Pengamatan di lokasi pelayanan VCT mencakup ruang konseling yang privasi; penggunaan alat bantu konseling seperti alat peraga kondom; serta penggunaan media cetak komunikasi seperti poster, lembar balik, leaflet, dan stiker. Penilaian mencakup keadilan gender, pemberian informasi yang tidak mengandung diskriminasi dan stigma, serta mengandung pesan yang memberdayakan perempuan dan mendorong partisipasi laki-laki. Tabel 2. Topik wawancara klien Topik Demografi Kesesuaian pelayanan menurut klien dan pedoman Proses konseling yang berkeadilan gender
Uraian Usia, pendidikan, status kawin, pekerjaan utama Kenyamanan, keramahan petugas, jam buka, jenis kelamin konselor, Jaminan kerahasiaan, jaminan kebebasan/persetujuan, jaminan dukungan pengobatan Penjelasan tentang hak seksual aman, penggunaan kondom, keterampilan negosiasi kondom (untuk perempuan), penjelasan tanggung jawab penggunaan kondom (untuk laki-laki), serta penjelasan norma gender positif seperti maskulinitas: setia pada satu pasangan dan feminitas: diskusi seksualitas dengan pasangan
Keikutsertaan wawancara terstruktur dengan klien pasca pelayanan bersifat sukarela melalui persetujuan setelah pembacaan informed consent tertulis. Studi menjamin kerahasiaan informasi peserta dan responden penelitian. Identitas responden menggunakan inisial dan digunakan hanya untuk keperluan studi. Temuan hasil wawancara dengan klien kemudian diklarifikasi dan dieksplorasi melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah terhadap konselor, manager kasus, dan manager program. Wawancara dan diskusi menggunakan acuan daftar pertanyaan, peneliti mendiskusikan agar fokus kepada tujuan studi. Wawancara tambahan dilakukan kepada salah satu deputi KPP dan LSM Srikandi Sejati untuk mengkarifikasi hasil studi. Proses diskusi dan wawancara mendalam direkam dengan menggunakan „tape recorder‟, yang kemudian ditranskrip. Transkrip dipetakan dan dianalisis menurut tema sesuai studi. Data kualitatif disajikan dalam bentuk narasi kutipan. Di tingkat pelayanan, analisis mencakup persepsi gender terhadap program dan pelayanan. Analisis dilakukan dengan pengisian angket dan mengecek dokumen tentang pelaporan-pencatatan dan kerjasama dengan pemberi dana. Hasilnya disajikan dalam nilai/skala dan dianalisis untuk menggambarkan situasi gender di pelayanan.
12
Desk review mencakup dokumen kebijakan nasional tentang pengarusutamaan gender dan penanggulangan HIV dan AIDS seperti undang-undang, instruksi presiden, keputusan menteri, peraturan pemerintah, peraturan gubernur. Hasil review ini disajikan dalam matriks dan dianalisis menurut tema-tema sesuai topik.
3. Hasil penelitian Hasil penelitian disajikan tematik mencakup: karakteristik infroman dan pelaksanaan VCT, Kebijakan PUG belum realistik, pelayanan belum memenuhi kebutuhan laki-laki, perempuan, dan waria/gay, pesan media kurang peka terhadap keseimbangan peran gender, ketidakadilan gender dalam penularan HIV dan AIDS. 3.1. Karakteritik informan dan pelaksanaan VCT Klien pasca pelayanan VCT Informan klien pasca pelayanan VCT berjumlah 68 orang. Seluruh peserta mobile VCT adalah perempuan, sedangkan statis VCT mengikutsertakan laki-laki (59%), perempuan (31%), dan gay/waria (9%). Umumnya klien perempuan usianya lebih tersebar, berpendidikan lebih rendah, dan lebih banyak ibu rumah tangga. Tabel 1. Gambaran klien VCT di kedua lokasi pelayanan Karakteristik demografi N semua Kelompok usia Kurang 20 tahun Usia20-30 tahun Lebih dari 30 tahun Pendidikan Tidak sekolah s.d tamat SMP Tamat SMP ke atas Status kawin Kawin Tidak kawin Duda/janda cerai Duda/janda mati Pekerjaan utama Ibu rumah tangga (IRT) Bekerja di rumah (dagang,dll) Supir/pelaut Pegawai swasta/PNS Bekerja pada orang lain Tidak bekerja Kuliah
Laki-laki % [#] 19
Perempuan % [#] 46
Gay/waria % [#] 3
LSM (%) 36
RS (%) 32
0 68,4 [13] 31,6 [6]
13,0 [6] 63,0 [29] 23,9 [11]
0 33,3 [1] 66,7 [2]
13,9 61,1 25,0
3,1 65,6 31,3
21,1 [4] 78,9 [15]
52,2 [24] 47,8 [22]
33,3 [1] 66,7 [2]
58,3 41,7
25,0 75,0
47,4 [9] 42,1 [8] 10,5 [2] 0
91,3 [42] 2,2 [1] 0 6,5 [3]
0 100 [3] 0 0
100,0 0 0 0
46,9 37,5 6,3 9,4
0 26,3 [5] 21,1 [4] 31,6[8] 5,3 [1] 10,5 [1] 5,3 [1]
73,9 [34] 8,7 [4] 0 13,0 [4] 4,3[2] 0 0
0 33,3 [1] 0 33,3 [1] 33,3 [1] 0 0
83,3 11,1 0 0 5,6 0 0
12,5 18,8 12,5 40,6 6,3 6,3 3,1
13
Konselor, manager kasus, dan manager program VCT Petugas (konselor, manager kasus, dan manager) pelayanan VCT yang berhasil diwawancarai berjumlah 17 orang; 6 laki-laki dan 11 perempuan; 7 orang dari RS dan 10 orang dari LSM. Sebagian besar konselor pernah mengikuti minimal satu kali pelatihan VCT dari Departemen Kesehatan pada 2003, 2004, atau 2006. Sebagian besar konselor sudah menikah dengan rentang usia 25 hingga 58 tahun. Pendidikan konselor beragam, mulai SMA, SPK, D3 sampai sarjana. Umumnya, pengetahuan gender diperoleh melalui materi pelatihan HIV dan AIDS atau lainnya. Hanya seorang konselor yang pernah mendapat pelatihan analisis gender secara khusus. LSM cenderung mempunyai konselor lebih banyak dibandingkan RS karena mempunyai konselor yang sifatnya relawan. Pelayanan VCT Mobile VCT ditujukan bagi ibu hamil di daerah penduduk kumuh, padat, atau kantong penasun. Kegiatan dibantu kader setempat bila dilakukan di dalam masyarakat dan dibantu bidan bila dilakukan di puskesmas. Kegiatan diawali dengan tes tertulis tentang pengetahuan HIV. Kemudian, dilanjutkan dengan ceramah selama 20 menit tentang pengenalan HIV, kehamilan, dan faktor risiko. Ceramah menggunakan alat bantu seperti lembar balik dan diakhir dengan sesi tanya jawab. Setelah itu, satu per satu ibu dipersilakan masuk ke dalam bilik konseling pra tes untuk mendapat penjelasan HIV lebih pribadi, seperti perilaku seksual dan faktor risiko, diakhiri dengan persetujuan uji darah. Bila klien setuju, pengambilan darah langsung dilakukan pada hari dan lokasi yang sama. Pembacaan hasil dan konseling pasca tes disampaikan 7-8 hari berikutnya di lokasi dan dengan konselor yang sama. Konseling ini berlangsung sekitar 5-10 menit tergantung hasil, biasanya menjadi lebih lama bila hasil reaktif. Sebagian besar klien VCT di RS datang berdasarkan rujukan dokter RS, rujukan puskesmas atau klinik lain, LSM, atau karena suami menjalani perawatan. Umumnya klien di RS langsung mendapatkan konseling pra tes dengan tujuan mencari faktor risiko penularan HIV tanpa mendapat ceramah umum pengenalan HIV. Konseling pra tes ini berlangsung sekitar 10-15 menit, tergantung kondisi klien. Selanjutnya, bila klien setuju pengambilan darah langsung dilakukan di bagian laboratorium. Hasil tes darah tersedia dalam 2-3 hari berikutnya dan dapat diambil 14
berdasarkan perjanjian dengan konselor. Pembukaan dan pembacaan hasil dilakukan secara bersama dalam konseling pasca uji darah yang berlangsung sekitar 10 menit tergantung kondisi klien. Kualitas pelayanan menurut klien Kualitas pelayanan menurut klien mencakup kenyamanan, keramahan, perhatian, kepuasan pelayanan, kesesuaian jam buka, dan jaminan kerahasiaan. Secara umum klien melaporkan bahwa pelayanan nyaman (94%), konselor ramah (100%), penuh perhatian (97%), puas dengan pelayanan yang sudah diterima (82%), dan sesuai dengan jam buka pelayanan. Umumnya pelayanan di LSM mempunyai nilai yang lebih baik dibandingkan RS untuk kenyamanan, keramahan, penuh perhatian, dan kepuasan. Sedangkan untuk jaminan kerahasiaan, ada perbedaan antara klien LSM dan RS. Klien yang menerima penjelasan tentang jaminan kerahasiaan lebih banyak di LSM (92%) daripada di RS (56%). Sebagian besar klien di LSM merasa dijamin kerahasiaan hasilnya (78%) sedangkan di RS hanya separuh klien (53%). Sebagian merasa yakin karena tempat tertutup, hanya berduaan saja dengan petugas, amplop menggunakan kode, dan yakin karena itu sudah menjadi bagian tugas konselor. 3.2. Kebijakan PUG belum realistik Studi ini menunjukkan bahwa dukungan kebijakan PUG sudah ada namun pelaksanaan kebijakan masih menemui kendala, misalnya masalah alokasi dana, masalah distribusi produk kebijakan yang tidak sampai ke tingkat pelayanan, dan pedoman yang belum menjelaskan PUG. Masalah alokasi dana PUG Dukungan kebijakan pengarusutamaan gender sudah ada, mencakup undangundang, instruksi presiden, keputusan menteri dalam negeri, peraturan menteri pemberdayaan perempuan, dan peraturan gubernur. Kebijakan tersebut antara lain: UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Agains
Women);
Instruksi
presiden
No.
9/2000
tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; KepMendagri No. 132/2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah; Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI No. 4/2008 tentang 15
Pedoman Pemberdayaan Lembaga Perempuan dan Perlindungan Anak; serta Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 38/2007 tentang Pedoman Umum Pemberdayaan Perempuan. Hasil studi memperlihatkan bahwa kebijakan PUG memadai dilaksanakan karena sudah menyebutkan sumber pendanaan APBD, terutama bagi pemerintah. Namun, alokasi dana PUG melalui APBD ini tergantung wawasan gender anggota legislatif atau pemerintah/LSM dalam mempengaruhi legislatif. Khusus pelayanan VCT, pemerintah maupun swasta mendapat dukungan dana lain dari donor. Namun, alokasi dana tersebut tergantung komitmen gender pihak donor. “MOU itu biasanya tertulis, tapi itu sebagai dasar pertimbangan aja gitu bukan keharusan. Misalnya dalam penetapan target … Jadi harus berapa banyak yang perempuan, bahwa harus sama itu jumlahnya. Itu tidak. Cuman itu, kebijakan kita aja. Gitu. Kalau tertulis jelas seperti itu, itu belum saya lihat tuh. Jadi seperti yang saya bilang tuh, hanya pernyataan-pernyataan yang bersifat umum saja, gitu.” (Manager program LSM) Produk kebijakan baru tidak sampai ke petugas pelayanan Kebijakan diterjemahkan menjadi strategi nasional dan buku pedoman agar dapat dilaksanakan di tingkat lapangan. Hasil studi memperlihatkan bahwa tidak semua petugas kesehatan mengetahui adanya undang-undang, strategi nasional, dan buku-buku pedoman baru terkait penanggulangan HIV dan PUG. Setiap diskusi kelompok terarah dengan konselor, peneliti menunjukkan empat buku baru terkait program HIV dan gender dari KPAN dan KPP, yaitu: Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS pada Perempuan 2007-2010 dari KPAN (2008); Strategi Komunikasi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dari KPAN (2008); Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010 dari KPAN (2007); serta Pemberdayaan Perempuan dalam Pencegahan Penyebaran HIV-AIDS dari KPP (2008). Namun, hanya dua buku yang diketahui konselor LSM dan tidak ada satu pun dari buku tersebut yang pernah diketahui konselor RS. Produk kebijakan ini memang masih baru tapi seharusnya untuk Jakarta distribusi tidak mengalami kendala. Pedoman belum menjelaskan PUG Ada dua buku acuan pelaksanaan VCT yang biasa digunakan di kedua lokasi pelayanan: Modul pelatihan Konseling dan tes Sukarela dari Depkes Tahun 2002 dan Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela dari Depkes 16
Tahun 2006. Namun, kedua buku tersebut belum cukup menjelaskan pelaksanaan pelayanan berwawasan gender. Gender dijelaskan parsial dan bukan perspektif di dalam program1. Selain itu, pedoman kurang memberikan contoh-contoh aplikatif penerapan gender dalam progam. Dengan terbitnya UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, pedoman pelaksanaan VCT perlu diperbaharui khususnya untuk bagian konfidensialitas. UU kesehatan baru pada pasal 57 ayat 22 memuat ketentuan yang semakin mengharuskan klien membuka status HIV. Buka status minimal kepada pasangan atau calon pasangan berdampak bagi keadilan gender, terutama meminimalkan penularan HIV kepada perempuan. Bila kebijakan dilaksanakan, respon terhadap HIV dan ketidakadilan gender bisa berjalan efektif dan berkelanjutan (VSO, 2003). Bila tidak dilaksanakan tidak berarti apa-apa. Wakil LSM di Namibia menyebutkan: ‖Kami telah menulis kebijakan dan panduan AIDS, tetapi masalahnya adalah pelaksanaannya. Kami mungkin mempunyai kebijakan dan panduan yang bagus, tetapi jika tidak diimplementasikan, kebijakan dan panduan tidak berarti apa-apa”. 3.3. Pelayanan belum memenuhi kebutuhan laki-laki, perempuan, dan waria/gay Studi ini menunjukkan bahwa pelayanan VCT belum optimal merespon isu ketidakadilan gender, terutama bagi perempuan. Pelayanan VCT belum optimal memberdayakan perempuan dalam negosiasi pengambilan keputusan rumah tangga; belum mempertimbangkan kebutuhan gender dan budaya setempat; belum optimal melibatkan pasangan laki-laki untuk hadir dalam konseling VCT-PMTCT; belum ada persamaan persepsi keadilan gender dalam pelayanan; belum secara sadar memasukkan aspek gender; serta pencatatan dan pelaporan tidak memungkinkan analisis terkait gender.
1
Hanya dibahas pada halaman 28 dan 29 buku Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela dari Depkes Tahun 2006. 2 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 57:2 „Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: perintah undangundang; perintah pengadilan; izin yang bersangkutan; kepentingan masyarakat; atau kepentingan orang tersebut‟.
17
Belum optimal memberdayakan perempuan dalam negosiasi pengambilan keputusan rumah tangga Manajer program di LSM menyatakan bahwa negosiasi penggunaan kondom perlu dilakukan dalam pelayanan pra VCT. Sesuai dengan tujuan VCT, tidak sekadar mengetahui hasil tes HIV tetapi mengubah perilaku seks ke arah yang lebih sehat. Seperti penuturan berikut: ”Dalam pra (konseling, red). Jadi kan itu untuk menggali seberapa besar tingkat resiko Jadi kalau dia itu berhubungan (seks, red), dia pakai kondom kalau suaminya beresiko, kan dia aman. Tapi jika mungkin si istri berfikir perlu pakai kondom tapi suaminya nggak mau, (dan dia, red) nggak ada kekuatan, kemampuan tawar menawar gitu, akhirnya posisinya lemah kan dia. Nah itu, perlu juga digali informasi itu. Jadi setelah pulang (dari VCT, red) dia jadi lebih berdaya untuk kaya gitu”. (Manajer Program LSM) Secara umum, informasi kondom sudah diberikan saat konseling (78%) dan klien memahami penjelasan itu (72%), tetapi negosiasi penggunaan kondom kurang optimal diberikan. Hanya sebagian kecil klien yang mendapat keterampilan negosiasi kondom saat konseling (18%). Wawancara dengan konselor juga menguatkan hal tersebut: “Sedikit.. ya itu termasuk juga karena ada risiko seksual tadi juga disinggung bagaimana supaya (ketika, red) suami minta aktivitas seks dan posisi ibu sejak tidak mood, bagaimana ibu menolaknya dengan halus atau seperti apa..”. (Konselor senior LSM) Survai global menyatakan lebih dari 80% perempuan muda tidak memiliki pengetahuan cukup tentang HIV seperti cara penularan dan melindungi diri dari penyakit itu (UNAIDS, UNFPA,UNIFEM, 2004). Bahkan, mereka yang tahu HIV tidak mampu menegosiasikan seks aman kepada pasangannya (Carovano, 1992 dan Gupta, GR, 2000). Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kesempatan perempuan mengakses VCT tidak dibarengi upaya pemberdayaan. Belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan gender Sebenarnya pelayanan sudah mempertimbangkan kebutuhan jenis kelamin konselor dan jam buka pelayanan, tetapi kurang memperhatikan ruangan yang privasi dan penggunaan alat bantu selama konseling. Di RS, misalnya hanya ada satu ruangan yang memenuhi syarat, sedangkan tiga ruangan VCT lainnya kurang memadai
18
sebagai sebuah RS rujukan. Di LSM semua ruangan mobile VCT kurang memadai dan kurang terjaga privasinya. Foto ruang VCT di kedua lokasi terdapat dalam lampiran. Alat bantu konseling kurang optimal digunakan, hanya LSM yang menggunakan lembar balik dan membagikan leaflet dalam penyuluhan kelompok. Kedua lokasi pelayanan tidak memanfaatkan alat peraga kondom. Padahal, hasil pengamatan memperlihatkan alat peraga tersebut dimiliki dan salah seorang konselor mengakui kealpaan hal tersebut. Pemanfaatan alat peraga kondom berguna dalam mencairkan suasana tabu dan mengoptimalkan proses konseling. Kecepatan epidemi HIV di Thailand dan Brazil berhasil turun karena pemerintahnya gencar promosi kondom pada masyarakat umum dan kelompok berisiko. Promosi dilakukan dengan menghilangkan stigma bahwa kondom untuk pekerja seks dan kliennya saja (UNAIDS, 2004). Promosi kondom melalui destigmatisasi kondom menjadi penting bagi perempuan yang sangat percaya pada suami dan merasa aneh jika harus menggunakan kondom. Khusus waria/gay ada kebutuhan untuk diterima apa adanya, bukan stigma atau diskriminasi. Waria merasa nyaman bila petugas memahami perasaan waria dan menggunakan bahasa dan istilah waria. Waria/gay tidak percaya diri karena sering mendapat diskriminasi, seperti penuturan berikut: “Ya, paling enggak ya, tenaga-tenaga medisnya ya, bisa tahu karakternya waria.. tidak ada merasa diskriminasi atau apa. Ya kayak seperti dokter M, contohnya ya. Dia tahu bahasa waria.., dia bilang dia udah kayak temen aja gitu. Jadi itulah yang diinginkan waria, kayak gitu-gitu. Itulah yang diinginin oleh waria. Tidak ada batasan oh.. saya dokter, saya ini, gitu-gitu, enggak. Ya, sebenarnya itu aja sih..” (Ketua Srikandi Sejati) Kebanyakan MSM di Afrika Selatan mempunyai persepsi yang rendah terhadap risiko penularan HIV sebagai dampak pelayanan yang tidak responsif terhadap kebutuhan MSM, baik pencegahan maupun pengobatan (HSRC, 2009). Kelompok seksual minoritas seperti waria, gay atau MSM penting dipertimbangkan dalam pelayanan karena berperan bagi epidemi (hidden epidemic) dalam masyarakat. Belum optimal melibatkan pasangan laki-laki untuk hadir dalam konseling VCTPMTCT Khusus LSM, mempunyai program mobile VCT yang mendukung keadilan gender karena mendekatkan sasaran untuk mengakses VCT-PMTCT. Sayangnya, 19
peserta hanya dibatasi pada perempuan hamil tanpa melibatkan pasangan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mereka datang tidak didampingi suami karena undangan hanya ditujukan untuk mereka. Padahal, hasil pengamatan memperlihatkan bahwa materi penyuluhan kelompok dalam mobile VCT ditujukan untuk pasangan, bukan hanya untuk perempuan. Melibatkan konseling pasangan memudahkan proses transformasi relasi gender. Berbagai studi menyampaikan bahwa konseling dan penguatan pasangan lebih mencerminkan keadilan gender, efektif dalam membangun komitmen, dan disiplin menggunakan kondom (Becker, S, 1999 dalam UNAIDS, 2009). Belum ada kesamaan persepsi keadilan gender di antara petugas kesehatan Pemahaman dan penguasaan konsep gender di antara petugas beragam dan tidak lengkap. Sebagian konselor mengaburkan pengertian gender dan seks. Gender diartikan sebagai perbedaan biologis, pekerjaan, maupun fisik antara laki-laki dan perempuan. Sebagian lagi mengartikan gender sebagai upaya kesetaraan yang menekankan bahwa perempuan harus selalu sama dengan laki-laki dalam segala hal. “Gender ya perbedaan laki dan perempuan, tentang sifatnya. Ya sifat-sifat lelaki dan sifat-sifat perempuan”. (DKT Konselor RS) “Kalau menurut saya, sih, kalau yang saya denger ya, untuk gender itu kan sebaiknya harus mengerti. Keadaannya harus sama”. (DKT Konselor RS) “Sebenarnya gender itu kan dalam artian pekerjaannya, rumah tangganya gitu. Tapi kalau laki-laki, mungkin, beda dengan perempuan dalam fisik (secara fisik, red). Jadi laki-laki punya jenggot, perempuan tidak, atau reproduksi juga begitu”. (DKT Konselor LSM) Pemahaman antar konselor dan antar pelayanan berbeda-beda. Pemahaman tersebut tergantung akses dan keterpaparan terhadap seminar, pelatihan gender, bukubuku/jurnal gender, jejaring dengan LSM peduli gender, dan berinteraksi dengan mahasiswa yang melakukan studi gender di pelayanan. “ isu-isu gender… Kita suka dapet buku dari YJP, Jurnal Perempuan, tentang gender. Dapet setiap bulan. Jadi infromasinya dari situ kita update‖. (DKT LSM) Pelayanan VCT yang mengasumsikan perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan sama melahirkan pelayanan yang tidak membedakan gender dalam strategi, tujuan, dan prosesnya (Bekele, 2004). Sebenarnya laki-laki, perempuan, dan
20
waria/gay mempunyai
kebutuhan
yang berbeda sehingga pelayanan perlu
menyesuaikan dengan kebutuhan setiap klien. Belum sadar memasukkan aspek gender Konselor RS melaporkan bahwa selama ini proses, pendekatan, dan fokus konseling tidak membedakan laki-laki dan perempuan, semua dengan pendekatan sama. Sedangkan konselor LSM berpendapat bahwa perempuan lebih berisiko terinfeksi HIV dibandingkan laki-laki sehingga penguatan konseling dilakukan secara berbeda bagi laki-laki dan perempuan. “Kalau panduannya sama karena pada prinsipnya itu kan lebih pada faktor resikonya. Jadi kita lebih kepada resikonya apa. Gendernya kan lebih ke arah pengambilan keputusan. Tapi dari konseling sih enggak berbeda. Pemberian informasi lelaki dan perempuan, prosedurnya sama. (DKT Konselor RS) “Yah, untuk strategi penggunaan kondom itu ada penekanan sendiri. Laki-laki baik perempuan. Penekanannya lebih sebagai bentuk tanggung jawab, sebagai bentuk pemutus rantai penularan termasuk persepsi ya. Persepsi harus diluruskan. Orang berpersepsi kan selama ini, kondom itu lebih kepada kontrasepsi, padahal juga untuk mencegah penularan..”.(DKT Konselor RS) Hasil studi memberikan kesan bahwa gender sudah dipertimbangkan dalam pelayanan tetapi PUG belum secara sadar diterapkan pada program. Manajer program sudah mengetahui adanya isu ketidakadilan gender pada HIV, terutama bagi perempuan. Sayangnya pengetahuan ini tidak cukup mempertajam upaya PUG dalam pelayanan. “..kami ini sebenarnya lebih melihat ke aspek pencegahan HIV secara umum aja. Melihat kelompok sasaran itu siapa. Aspek gender diperhatikan tetapi tidak menjadi sebuah isu, begitu”. (Manajer Program LSM) “Dulu sekitar belasan persen, sekarang hampir 30 persen. Itu kemungkinan ini kan sudah ada infeksi di dalam keluarga. Ternyata memang betul sehingga dalam hal ini boleh dibilang yang namanya perempuan itu sebagai korban. Gitu. Anggapnya begitulah, (aplikasi dalam program, red) nggak ada, hanya just to know. Yang penting nasional tahu bahwa ini sudah ada trend itu. Silahkan buat program lebih lanjut, karena kita nggak ada dana ya”. (Manajer Program RS) Pada kedua pelayanan tidak ditemui adanya tahapan manajemen untuk memastikan bahwa gender sudah diakomodir. Setelah kebijakan dan pedoman menjelaskan gender dengan baik. Dibutuhkan keberanian memasukkan dimensi gender dalam pelaksanaan dan monitoring-evaluasi agar implementasi PUG menjadi lebih nyata. 21
Pencatatan dan pelaporan tidak memungkinkan analisis terkait gender Format laporan pencapaian VCT dari Departemen Kesehatan sudah baik karena terpilah menurut usia dan jenis kelamin. Namun, format ini tidak memungkinkan analisis perilaku berisiko dengan umur dan gender. Selain itu, angka frekuensi pada kolom ‗lain-lain‘ umumnya cukup besar dan sulit untuk diinterpretasi. Kolom diduga mencakup perempuan yang terinfeksi dari suami atau anak-anak. Kolom ini perlu diperjelas supaya angka frekuensi yang terisi tidak terlalu banyak.
Belum optimal merespon budaya masyarakat yang merugikan perempuan Ada dua norma gender positif yang ditanyakan klien yaitu pentingnya setia pada pasangan (maskulinitas) dan diskusi seks dengan pasangan (feminitas). Hasil studi menunjukkan bahwa konseling kurang membicarakan kedua nilai tersebut. Tidak ada klien laki-laki dan hanya sedikit (9%) klien perempuan yang melaporkan mendapat diskusi norma maskulinitas. Sedangkan untuk norma feminitas, tidak ada klien laki-laki dan hanya 13% kilen perempuan yang mendapatkan penjelasan tersebut. Norma maskulinitas dan feminitas yang biasanya ditanyakan klien kepada konselor antara lain: perilaku ‗jajan seks‘ laki-laki, peran domestik perempuan, komunikasi antar pasangan, berbagi tugas rumah tangga, dan menjaga jarak kelahiran. Dalam konseling pribadi, isu gender jarang dibahas kecuali klien terlebih dahulu menyinggung isu tersebut. Secara prosedur tidak ada keharusan konselor membahas hal tersebut, seperti penuturan berikut. “Enggak pernah. Enggak pernah .... ke sana (isu maskulinitas, red). Enggak …. kita enggak pernah ngobrol ke sana. Pas dia mancing ke situ, baru kita ngobrol ke sana”. (Konselor RS)
22
“…Kalau disangkutkan dengan itu ya, kalau pemahaman pribadi saya sendiri itu ya memang hal itu tidak pasti. Kalau dominan, ya nggak cuma suami, ada juga istrinya kan. Kalau saya si lebih mengembalikan kepada mereka. Kita mengembalikan kepada kultur mereka masing-masing. Nggak ada intervensi untuk harusnya seperti ini, harusnya seperti itu”. (Konselor RS) Perempuan masih mengalami persoalan ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam konteks sosial-budaya masyarakat (UNAIDS, UNFPA, and UNIFEM, 2004). Perempuan dianggap ―vektor‖ penular HIV pada pasangan atau anak, mendapat perlakuan tidak adil seperti stereotipi seksual atau label ―perempuan tidak bermoral‖ (UN, WHO, and UNAIDS, 2000). Pelayanan adil gender perlu mempertimbangkan keadaan tersebut sesuai kondisi setempat. 3.4.
Pesan media kurang peka terhadap keseimbangan peran gender Ada beberapa media yang diamati pada pelayanan VCT. Di rumah sakit
berupa stiker, kliping koran, dan poster; sedangkan di LSM berupa leaflet, poster, dan lembar balik. Pesan pada sebagian besar media sudah baik, tidak mengandung stigma dan tidak mengarah pada suku, bangsa, atau agama tertentu. Namun, kurang mengandung narasi yang memberdayakan perempuan dan kurang menampilkan gambar laki-laki untuk meningkatkan partisipasinya. Misalnya, poster ‗Selamatkan ibu dan bayi dari Infeksi HIV‘ di LSM dan poster ‗Kondom dulu dong..!!‘ di RS, mempromosikan pencegahan penularan tanpa narasi peningkatan posisi tawar perempuan untuk mendapatkan seks aman. Stiker di RS dengan narasi: ‗Di jalan sabuk pengaman, Di ranjang sarung pengaman‘, ‗Buang jangkar asal pake sangkar‘, dan ‗Tes HIV cara jitu untuk tahu negatif atau positif, mengajak laki-laki menggunakan kondom. Demikian pula, leaflet VCT PMTCT di LSM ‗Saya ingin sehat dan bayi saya juga sehat‘ memberikan informasi pentingnya konseling pada kehamilan. Sayangnya stiker dan leaflet tersebut tidak memunculkan gambar laki-laki yang memberikan kesan bahwa seks aman dan kehamilan adalah urusan perempuan. Gambar media komunikasi pelayanan pada RS dan LSM dapat dilihat pada halaman lampiran. 3.5.
Ketidakadilan gender dalam penularan HIV dan AIDS Hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender dalam
penularan HIV. Perempuan terinfeksi HIV karena terimbas perilaku berisiko dari pasangan. Perempuan terinfeksi karena laki-laki pasangan tidak mengetahui status
23
HIV, sudah tahu status HIV tetapi tidak membukanya kepada istri, dan sudah tahu status HIV tetapi tidak disiplin menggunakan kondom. Perempuan terinfeksi karena laki-laki pasangan tidak mengetahui status HIV Sebanyak tiga perempuan melakukan VCT setelah suami meninggal, satu perempuan terjaring melalui mobile VCT ibu hamil, dan satu perempuan karena suami sedang dirawat sakit parah. Kelima perempuan tersebut terinfeksi karena lakilaki pasangan tidak tahu status HIV dirinya karena tidak melakukan VCT. Sebagian besar mereka melaporkan bahwa laki-laki pasangan pernah terpapar penggunaan napza dalam kehidupannya. Sebagian lainnya melaporkan bahwa laki-laki pasangan mempunyai hubungan khusus dengan pacar/simpanan. Matrik berikut memperlihatkan penularan HIV di antara klien perempuan, laki-laki dan waria/gay dalam studi ini. Ketidakadilan gender berpotensi terulang kembali bila pelayanan kesehatan tidak menyadari dan menanggapi keadaan tersebut dalam pelayanan. “Sekarang ini banyak ibu-ibu rumah tangga baik-baik, akibat suaminya membawa bencana ke rumah, mereka terkena HIV/AIDS”( Deputi KPP RI) “Kebanyakan istri tertular suaminya. Nah, yang saya katakan tadi lebih (dari) tujuh puluh persen faktor risiko tertularnya perempuan itu dari heteroseks (hubungan seks dengan suaminya, red)”. (DKT Konselor RS) Gender Variasi cara terinfeksi
Klien Perempuan RT
TP
MR
EC
ZB
RS HT
GWL
Klien Laki-laki LB
Tertular dari suami dan suami baru saja meninggal karena HIV, suami tidak akses VCT Tertular suami penasun dan suami tidak akses VCT Tertular suami, suami sudah VCT tapi tidak disiplin menggunakan kondom Tertular karena “jajan” tanpa kondom, status: lajang / duda Tertular karena “jajan”, istri belum VCT Tertular karena penasun, istri sudah VCT dan hasil +
Tertular karena penasun, istri sudah VCT dan hasil Tertular karena penasun, istri belum atau akan VCT Tertular karena penasun, status: lajang, cerai atau pisah
Tertular karena LSL tanpa kondom
24
YT MT
SG
FR
AZ
IF
DK
IR
D C
FZ
RB
PK
MK EV
EW
JS
BT
Perempuan terinfeksi karena laki-laki pasangan tidak buka status HIV-nya Tidak semua laki-laki langsung membuka status HIV kepada pasangan setelah tahu terinfeksi. Ada perasaan malu, takut, dan khawatir membuat istri marah bila harus membuka status kepada istri. Ada klien baru tahu status HIV suami setelah suami meninggal, ada perempuan terinfeksi dalam masa pengantin baru dan ada istri yang merasa aneh suami menggunakan kondom karena belum mengetahui status HIV suaminya. “Jadi dia (suami, red) belum sempat memberi tahu (bahwa, red) saya ini positif. Tapi, sampai meninggal ia tidak sempat memberitahukan ke istrinya. Dan setelah itu… lama, (ternyata, red) istrinya sakit. (Dokter yang merawatnya bertanya, red) Suaminya mana? Meninggal. Mungkin dokternya curiga. Konseling juga. Akhirnya positif”. (DKT Konselor RS) “Ada yang pengantin baru, waktu pengantin barunya, dia tahu ini dia positif. Tapi tetap aja.. (melakukan hubungan seks, red). Beberapa kasus kita itu begitu“ (DKT Konselor RS) Buka status menurut beberapa kebijakan mensyaratkan persetujuan klien terlebih dahulu, kecuali kepentingan peradilan. Untuk urusan ini, sebagian konselor kerja keras membujuk klien, tapi bila kurang sensitif gender konselor terkesan lepas tangan. “Kita juga enggak boleh memaksakan klien itu harus kasih tahu. Kapan kamu mau ngasih tahu itu urusan kamu. Kan kalau kita memaksakan seperti itu kan nggak boleh”. (DKT Konselor RS) “Mereka (laki-laki ODHA) ini yang (harus) ngasih tahu ke istrinya sendiri. Iya seperti itu.. Kalau suami positif, suami kasih tahu istri. Kalau istri yang positif, istri kasih tahu suami. Kalau kita yang kasih tahu nanti jontokjontokkan (dan mengatakan) Kamu gimana sih, udah tahu positif nggak kasih tahu saya”. (DKT Konselor RS) Kerja keras konselor membujuk buka status antara lain menawarkan buka status di hadapan istri. Namun bila belum berhasil, sebagian konselor mencari jalan tentang
strategi
menyampaikan
pesan,
yang
terpenting
mereka
konsisten
menggunakan kondom dengan pasangan. Seperti penuturan konselor berikut. “Kalau klien positif, (Saya bilang ke klien, red) “Anda diwajibkan untuk tidak menularkan (pada, red) orang lain. Bisa dibilang ini untuk memutus mata rantai HIV. Tapi, untuk perbuatannya, kita tidak tahu, kan kita nggak bisa ngawasin. Kita tidak mengontrol perilaku dia”. (Konselor senior LSM) 25
“…kalau misalnya (suami, red) belum bisa menyampaikan sendiri..Gimana Bisa nggak kalau kita (konselor, red) yang menyampaikan status Anda (adalah, red) kita, sebagai konselor, tetapi tentu di depan Anda. Tetapi kalau yang belum.. Caranya..,kita bantu dia mengemas informasi itu, tanpa harus menyebut nama penyakitnya. Tetapi, jangan lupa juga, kita tetap motivasi, bahwa perlu untuk mengungkap status itu, meskipun tidak dalam waktu dekat. Artinya, sampai dia bener-bener siap”. (Konselor Senior LSM) Konselor melaporkan bahwa sebagian besar suami akhirnya buka status dengan kemungkinan sudah menularkan kepada istri. Bila kebijakan dan konselor kurang mendukung keharusan buka status kepada perempuan pasangan, maka ketidakadilan gender akan berulang kembali. Banyak perempuan pasangan penasun di Indonesia yang mengetahui status HIV pasangannya ketika kondisi suami sudah parah, meninggal, atau bahkan ketika virus itu sudah menginfeksi tubuh anaknya (AusAID, 2009). Hal serupa terjadi pada MSM di Afrika Selatan yang melaporkan hanya separuh MSM akses VCT dan tidak semua dari mereka akan membuka status HIV kepada pasangannya (HSRC, 2009). Sebenarnya, buka status justru memotivasi pasangan seksual untuk mencari pelayanan VCT, mengubah perilaku tidak aman, mencegah penularan pada pasangan, meningkatkan dukungan sosial, mendapat penerimaan dari pasangan, menurunkan depresi dan kegelisahan, serta menguatkan hubungan (WHO, 2004). Perempuan terinfeksi karena suami-istri tidak disiplin menggunakan kondom Seorang perempuan melakukan VCT karena gejala sariawan, sementara suami adalah seorang ODHA. Pasangan ini sebenarnya sudah mengetahui bila suami positif HIV tetapi mereka tidak disiplin menggunakan kondom. Lemahnya posisi tawar perempuan membuat ketidakdisiplinan penggunaan kondom. Posisi tawar perempuan bisa ditingkatkan melalui konseling bersama. Konselor melaporkan bahwa pasangan yang diberi penguatan bersama lebih tergugah untuk disiplin menggunakan kondom. Materi penguatan antara lain menumbuhkan perasaan tanggung jawab keluarga, perasaan takut menularkan atau tertular pasangan, dan perasaan tanggung jawab memutus rantai epidemi HIV. Seperti penuturan berikut: “Kita cari jalan supaya dia, bisa terbuka sama pasangannya. Itu yang pertama saya (lakukan, red) supaya (dia bisa, red) terbuka dengan pasangan. (DKT Konselor RS) 26
“Saya rasa karena rasa takut. Rasa takut tertularnya itu lebih besar daripada itu ya” (DKT Konselor RS, Jakarta) “Tugas kita nggak hanya semerta-merta menyampaikan o.. kamu positif, ODHA, (tetapi,red) kita juga mesti menyampaikan juga, kamu ini sudah positif, di belakang kamu itu ada siapa aja, yang kemudian itu menjadi tanggung jawab kamu. Artinya, kita bangun bahwa ODHA itu punya tanggung jawab untuk tidak menularkan ke orang lain. Salah satunya dengan pakai kondom ….”(Konselor Senior LSM) Ketidakadilan gender ini mirip dengan yang terjadi di Thailand, India, dan kelompok penasun di Indonesia (UNAIDS, 2006; UNAIDS, 2009; Newmann, et al, 2000, dan AusAID, 2009). Diperkirakan lebih dari 90% perempuan ODHA terinfeksi dari suami atau pasangan seksual yang telah lama berhubungan (Bennetts, et al, 1999 dan Silverman et al, 2008 dalam UNAIDS, 2009). Kebanyakan perempuan menjadi ODHA karena tertular perilaku berisiko suami dalam hubungan perkawinan, seperti seks komersial dan narkoba suntik. Dengan terbitnya UU kesehatan No. 36 tahun 2009, konselor mendapat dukungan agar lebih mudah mewajibkan klien membuka stastus, terutama laki-laki pasangan kepada perempuan pasangan. Budaya masyarakat merugikan perempuan dan waria/gay Hasil wawancara klien menunjukkan bahwa kebanyakan klien perempuan mempunyai pendapat yang justru merugikan perempuan sendiri. Dalam studi ini, ada dua norma gender yang ditanyakan kepada klien yaitu apakah laki-laki wajar bila memiliki pasangan lebih dari satu dan apakah perempuan sebaiknya pasif tentang seks dengan pasangannya. Hasilnya memperlihatkan bahwa diantara klien perempuan lebih banyak yang menyetujui (15% [7 dari 46]) anggapan bahwa laki-laki wajar multipartner daripada laki-laki sendiri (5% [1 dari 19]). Kebanyakan mereka adalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan dan berpendidikan rendah sehingga merasa dirinya tidak berdaya dan tersubordinasi dibandingkan laki-laki. Apabila petugas tidak merespon keadaan ini dalam pelayanan, maka kondisi perempuan akan semakin buruk “Penting juga sih sebenarnya, karena perempuan seringkali, bilang, nanya suami, nanya suami. Secara pribadi, saya suka tidak setuju, dalam beberapa hal tidak harus menunggu keputusan suami. Karena kita juga punya hak untuk ngomong. Kalau di konseling sih, kita tidak masukkan hal itu.” (Konselor LSM, Jakarta)
27
Perempuan juga lebih banyak beranggapan bahwa mereka tidak perlu diskusi seks dengan pasangannya (41% [19 dari 46]) dibandingkan dengan laki-laki sendiri (10% [2 dari 19]). Perempuan merasa bahwa dirinya harus „nrimo‟ termasuk menerima keadaan suami apa adanya, percaya pada suami sehingga tidak perlu bertanya perilaku seks suami. Apabila petugas tidak melakukan pemberdayaan pada perempuan keadaan bisa semakin sulit. “.. ada seorang wanita yang tidak pernah keluar segala sesuatunya, mendapatkan suami pilihan orangtua, terkadang ia akan mendapatkan HIV/AIDS. Itu suatu contoh…Artinya, perempuan sangat lemah dalam memberikan keputusan.” (Konselor LSM, Jakarta) Umumnya masyarakat belum menerima waria/gay apa adanya. Masyarakat masih beranggapan waria/gay sebagai penyakit atau penyimpangan perilaku. Waria merasa nyaman bila orang di sekitarnya dapat memahami perasaan waria. “..masyarakat juga sebenarnya ya jangan menstigma, diskriminasi. Misalkan dia punya keterampilan, memasak gitu... Biarin aja dia penampilan centil, yang penting dia punya keterampilan. Punya keahlian gitu lho. Tapi kadangkadamg di satu perusahaan atau satu apa, nggak boleh dia berpenampilan perempuan..” (Ketua Srikandi Sejati) Secara biologis perempuan mempunyai risiko lebih besar terinfeksi HIV daripada laki-laki (WHO, 2004). Risiko ini meningkat dengan adanya kerentanan sosial-budaya dan ekonomi, seperti mentoleransi hubungan seks di luar nikah, multipartner laki-laki, dan ketergantungan finansial perempuan kepada laki-laki (WHO, 2004). Pada situasi lain, perempuan merasa aneh bila harus berdiskusi seksualitas termasuk tentang kondom karena selalu mempercayai suami (IGWG, 2004 UNAIDS, 2009). Keadaan budaya laki-laki, perempuan dan waria/gay seperti ini penting dipertimbangkan di dalam pelayanan agar efektif mengubah situasi.
4. Kesimpulan dan implikasi Sesuai tema hasil penelitian, kesimpulan berikut tentang kebijakan PUG belum realistik; pelayanan belum memenuhi kebutuhan laki-laki, perempuan dan waria/gay; pesan media kurang peka terhadap keseimbangan peran gender; dan ketidakadilan gender dalam penularan HIV.
28
4.1. Kebijakan PUG belum realistik Kebijakan PUG sudah ada, lengkap termasuk sumber pendanaannya. Tetapi, alokasi dana ini tergantung wawasan gender anggota legislatif/pemerintah. Bagi pelayanan VCT, ada sumber dana lain tetapi alokasinya tergantung komitmen donor. Pada kedua lokasi pelayanan pihak donor tidak tegas mengharuskan alokasi dana PUG. Kondisi ini menggarisbawahi pentingnya pemerintah memperbaiki komitmen dengan pihak donor agar lebih sensitif gender. Di tingkat pelayanan, ada kendala mendasar pelaksanaan PUG seperti tidak semua petugas mengetahui produk kebijakan baru. Selain itu, pedoman pelaksanaan VCT belum cukup menjelaskan PUG. Kondisi ini menunjukkan perlunya pemerintah memperbaiki pedoman pelaksanaan pelayanan VCT dan memperbaiki distribusi produk-produk kebijakan baru. Untuk mengubah ketidaksetaraan gender di masyarakat dibutuhkan waktu lama. Namun, suasana ketidaksetaraan bisa berubah karena dukungan kebijakan dan komitmen untuk menjalankannya. 4.2. Pelayanan belum memenuhi kebutuhan laki-laki, perempuan, dan waria/gay Pelayanan VCT belum memasukkan gender secara terintegrasi dalam setiap kegiatan. Di samping itu, umumnya konselor belum pernah mengikuti pelatihan gender secara khusus. Dengan demikian wajar bila tidak ada kesamaan pemahaman gender di antara konselor. Kondisi ini mengundang perlunya konselor mengikuti pelatihan gender. Pelatihan membuka wawasan dan pemahaman yang lebih baik serta berdampak bagi pelayanan berwawasan gender. Materi konseling kurang memberdayakan perempuan dan mendorong partisipasi laki-laki. Khusus tentang kondom, perempuan dan laki-laki tidak cukup hanya diberi informasi, masing-masing perlu diberi penguatan berbeda, dan digali kesulitan menggunakan kondom. Agar konseling lebih jelas dan terbuka, pelayanan perlu didukung ruangan yang privasi dan alat peraga kondom. Namun, keadaan ideal ini belum sepenuhnya ditemui dalam studi. Konseling pasangan dilakukan hanya bila diperlukan, bukan suatu keharusan. Padahal, konseling pasangan lebih berdampak adil gender: lebih dini buka status dan konsisten menggunakan kondom. Kondisi ini menggarisbawahi perlunya pemerintah memperbaiki dan memastikan bahwa pelayanan sudah memperhatikan gender. 29
Studi menunjukkan format pencatatan dan pelaporan kurang memungkinkan analisis gender dan adanya kolom ‗lain-lain‘ yang kurang jelas. Keadaan ini menunjukkan perlunya pemerintah memperbaiki format pencatatan dan pelaporan dan memperjelas kolom ‗lain-lain‘ sehingga nilai frekuensinya tidak terlalu besar. Setelah kebijakan dan pedoman menjelaskan gender dengan baik. Dibutuhkan keberanian memasukkan dimensi gender dalam pelaksanaan dan monitoring-evaluasi agar implementasi PUG menjadi lebih nyata. 4.3. Pesan media kurang peka terhadap keseimbangan peran gender Hasil studi memperlihatkan media cetak komunikasi pelayanan belum berkeadilan gender. Partisipasi laki-laki belum muncul dalam gambar Dan pemberdayaan perempuan belum banyak muncul dalam narasi. Keadaan ini mengindikasikan kebutuhan memproduksi dan mengganti media cetak yang lebih berkeadilan. Gambar perempuan dan laki-laki harus secara seimbang ditampilkan dalam media. Narasi dalam media pun harus seimbang memberikan informasi yang mempromosikan partisipasi laki-laki dan pemberdayaan perempuan. 4.4. Ketidakadilan gender dalam penularan HIV Hasil studi menunjukkan ketidakadilan gender penularan HIV. Perempuan terimbas perilaku berisiko laki-laki seperti penasun atau hubungan seks berisiko tanpa kondom. Kebanyakan laki-laki pasangan tidak mengetahui status HIV karena tidak melakukan VCT dan terlanjur menularkan kepada perempuan. Situasi ini mengindikasikan perlunya pemerintah memperluas pelayanan VCT bagi kelompok berisiko, terutama laki-laki penasun. Laki-laki pasangan sudah mengetahui dirinya terinfeksi HIV tetapi tidak buka status kepada perempuan pasangan. Selain kemahiran konselor, kewajiban buka status perlu didukung kebijakan yang memadai. Hal ini mengindikasikan perlunya pemerintah memperbaiki ketentuan buka status agar pekerjaan konselor lebih mudah. Suami-istri sudah mengetahui status HIV tetapi tidak disiplin menggunakan kondom. Kedisiplinan penggunaan kondom merupakan hasil dari konseling pasangan yang memadai. Hal ini mengindikasikan perlunya pemerintah memperbaiki ketentuan konseling pasangan agar lebih berkeadilan gender. 30
5. Rekomendasi Sesuai dengan hasil penelitian, berikut serangkaian rekomendasi untuk pengembangan dan perbaikan kebijakan serta program pelayanan VCT. Keberhasilan program ini diharapkan dapat berdampak bagi keadilan gender penggunan pelayanan dan masyarakat luas. 4.1. Memperbaiki komitmen gender dengan pihak donor Hasil penelitian menunjukkan pentingnya perbaikan komitmen donor terhadap pelayanan VCT. Pemerintah sebaiknya mendorong pihak donor pelayanan VCT untuk menentukan besaran atau persentase alokasi untuk gender. Alokasi dana misalnya untuk pelatihan spesifik gender bagi konselor: membuat indikator sensitif gender, pengembangan materi sensitif gender, strategi memasukkan gender dalam program; penyediaan materi KIE yang memperjelas promosi kondom sesuai kondisi laki-laki dan perempuan setempat, dll. 4.2. Memperbaiki distribusi produk kebijakan baru Hasil penelitian menggambarkan perlunya perbaikan distribusi produk kebijakan. Pemerintah sebaiknya memperbaiki cara distribusi produk kebijakan baru agar tersebar seluas-luasnya. Misalnya dengan bantuan teknologi (website, milis, email), mendorong pelayanan melakukan sosialisasi internal bila hanya mengundang petugas terbatas, dan memperbanyak jejaring pelayanan dengan pihak yang peduli gender. 4.3. Memperbaiki pedoman pelaksanan VCT Hasil penelitian mengindikasikan perlunya perbaikan pedoman pelaksanaan VCT. Pemerintah sebaiknya memasukkan gender sebagai perspektif dengan memberikan lebih banyak contoh aplikatif, bukan teori. Berbagai contoh dapat diangkat dari kasus nyata di lapangan, terutama yang mengangkat partisipasi laki-laki dan pemberdayaan perempuan. Bila perlu pedoman dapat mencantumkan buku rujukan gender yang diterbitkan KPP. Khusus untuk isu konfidensialitas, pedoman perlu memperbaharui dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, terutama pasal 57 ayat 2 yang isinya lebih mendorong konselor untuk mewajibkan klien buka status kepada calon atau pasangan klien. 4.4. Memastikan pelayanan VCT berjalan dengan mempertimbangkan gender Hasil studi menggarisbawahi perlunya memastikan pelayanan VCT apakah sudah berjalan sesuai pedoman yang sudah diperbaharui. Pemerintah sebaiknya rutin 31
memeriksa dan memberi umpan balik terhadap pelayanan. Memastikan apakah konseling pasangan dilakukan, konselor mengerti konsep gender, dan materi konseling mempertimbangkan gender. Caranya dengan menyisipkan angket berkala bersama pelaporan pelayanan VCT, mengunjungi langsung pelayanan VCT, dan memberikan umpan balik untuk perbaikan. 4.5. Menyediakan format pencatatan dan pelaporan yang lebih sensitif gender Hasil studi memperlihatkan perlunya perbaikan format pencatatan dan pelaporan pelayanan VCT. Pemerintah sebaiknya memperbaiki format pencatatan dan pelaporan pelayanan VCT agar memungkinkan analisis gender dan memperjelas kolom ‗lain-lain‘ agar nilai frekuensi tidak terlalu besar. 4.6. Memproduksi media komunikasi cetak yang lebih adil gender Hasil studi memperlihatkan perlunya memproduksi dan mengganti media yang ada. Sebaiknya pemerintah memproduksi, merancang, atau mendorong pihak produksi untuk membuat media yang sensitif gender. Sebaiknya pelayanan hanya menyediakan atau menggunakan media yang sensitif gender. Misalnya kata-kata bersifat memberdayakan perempuan dan gambar yang digunakan memunculkan lakilaki dan perempuan. 4.7. Memperluas lagi pelayanan VCT kepada kelompok berisiko Hasil studi memperlihatkan perempuan terinfeksi HIV karena laki-laki pasangan tidak tahu status karena tidak melakukan VCT. Pemerintah sebaiknya memperluas pelayanan VCT bagi kelompok berisiko, terutama laki-laki penasun. Misalnya calon pengantin laki-laki berisiko wajib VCT sebagai saringan terakhir untuk keadilan gender.
32
Daftar pustaka dan bahan bacaan: Asian-Pacific Resources & Research Centre For Women, 2006, Rights and Realities: Monitoring Reports on the Status of Indonesian Women‘s Sexual and Reproductive Health Right. AusAid, 2009, Perempuan di Lingkar NapzaSuntik, Penelitian Eksploratif di Delapan Kota di Indonesia Tahun 2007. Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project and AusAid. Baby Jim Aditya, September 2005, Kerentanan Perempuan Terhadap HIV/AIDS dalam Jurnal Perempuan No. 43: Melindungi Perempuan dari HIV/AIDS. Bank Dunia, 2000, Rangkuman Pembangunan Berperspektif Gender, Melalui Kesetaraan Gender dalam Hak, Sumber Daya dan Kebebasan Berpendapat. Beck, Tony, 1999, Using Gender Sensitive Indicators: A Reference Manual for Goverments and Other Stakeholder, The Commonwealth Secretariat. BPS, BKKBN, Depkes, ORC Macro, USAID, 2008, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan, dan Macro International Inc., United State Agency for International Development. Cattleya, Leya, 2006, Pelembagaan Akuntabilitas Pengarusutamaan Gender: Bukan Sesuatu yang Mustahil dalam Jurnal perempuan No. 50: Pengarusutamaan Gender CHR-UI, MoH, HAPP, FHI, 2006, Baseline STD/HIV Risk Behavioral Surveillance Survey 1996: Result from the cities of North Jakarta, Surabaya, and Manado, Center for Health Research of Indonesia, Ministry of Health Republic of Indonesia and HIV/AIDS Prevention Project, Family Health International. CIDA, 1997, Guide to Gender Sensitive Indicators, Division for Women in Development and Gender Equity, Canadian International Development Agency. Commonwealth and Maritime Centre of Excellence for Women‘s Health, 2002, Gender Mainstreaming in HIV/AIDS: Taking a Multisectoral Approach Departemen Kesehatan RI, 2006, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Jakarta, Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing) Departemen Kesehatan RI, 2002, Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV (Voluntary Counselling and Testing = VCT) Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing Secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing). Departemen Kesehatan RI, Laporan Kasus HIV/AIDS sampai Bulan Januari 2009. Departemen Kesehatan. Dewi, Sinta R., November 2006, Gender Mainstraming: feminisme, Gender Dan Transformasi Institusi dalam Jurnal Perempuan No. 50: Pengarusutamaan Gender.
33
Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, 2005, Modul Komunikasi Infomrasi dan Edukasi (KIE) dan Pelayanan Sosial HIV/AIDS. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan Bagi ODHA. Feministing, 2006, Women in monogamous relationships still at risk of HIV infection in South Africa, http://www.feministing.com/archives/005593.html, accessed 14 January 2010. G-HELP- Factsheet Issue IV Februari 2008: Ketidakadailan Gender dan IMS, Gender Health and Environment Linkage Program. Gender, Health, and Environement Linkages Program. HSRC, 2009, MSM Study Warns of Parallel HIV Epidemic, www.hrsc.ac.za/Media-Release374.html. Human Science Research Council IGWG, 2004, How To Integrate Gender into HIV/AIDS Program, Using Learned From USAID and Partner Organization. ILO, 2007, A Manual for Gender Audit Facilitators, The ILO Participatory Gender Audit Methodology. Indah, Srimpi 2007, Mekanisme Koping Wanita yang Terinfeksi HIV dari Suaminya (Studi Kualitatif di Yayasan Pelita Ilmu Jakarta), Tesis, RSPN Cipto Mangunkusumo, Departmen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2004, Country Report: The Implementation on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women in Indonesia. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, ___, Indonesia‘s National Report on The Implementation of The Beijing Platform For Action, 1995—2000 KPAN, 2007, Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 20072010. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. KPA, 2008, Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS pada Perempuan 2007 – 2010 KPA, 2008, Strategi Komunikasi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Mukhotib, MD, Mei 2007, Benturan Ideologi, Berdamai dalam Strategi dalam Jurnal Perempuan No. 53: Kesehatan Reproduksi Andai Perempuan Bisa Memilih. NCA, Country Report on The Follow up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period 2006-2007. Newmann, et al,____, Marriage, Monogami, and HIV: a Profile of HIV Infected Women in South India (in abstract), http://ijsa.rsmjournals.com/cgi/content/abstract/11/4/250?maxtoshow=&HITS=10&hi ts=10&RESULTFORMAT=&searchid=1&FIRSTINDEX=0&minscore=5000&resou rcetype=HWCIT, accessed 14 January 2010.
34
Silawati, Hartian, November 2006, Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana? dalam Jurnal Perempuan No. 50: Pengarusutamaan Gender. UNAIDS, 2000, Tools for Evaluating HIV Voluntary Counselling and Testing UNAIDS, UNFPA,UNIFEM, 2004, Women and HIV/AIDS: Confronting The Crisis UNAIDS, 2005, Operational Guide on Gender & HIV/AIDS: A Right-based Approach, Interagency Task team on Gender & HIV/AIDS, United Nations Programmes on HIV and AIDS. UNAIDS, UNICEF, WHO, and ADB, 2007, HIV and AIDS Data Hub for Asia Pasific: Review in Slides Indonesia. United Nations Programmes on HIV and AIDS, United Nations Children‘s Fund, World Health Organization, Asian Development Bank. UNAIDS, UNICEF, WHO, and ADB, 2007, HIV and AIDS Data Hub for Asia Pasific: Review in Slides Indonesia. United Nations Programmes on HIV and AIDS, United Nations Children‘s Fund, World Health Organization, Asian Development Bank. UNAIDS, Factsheet: Gender-Sensitive HIV/AIDS Indicators for Monitoring and Evaluations, Interagency Task team on Gender & HIV/AIDS, United Nations Programmes on HIV and AIDS. UNAIDS, 2009, HIV Transmission in Intimate Partner Relationship in Asia Bekele, Yohannes, Gender Mainstreaming in HIV Counseling and Testing Intervention in Addis Ababa: Assesing Technical and Structural Elements. UNAIDS – Interagency Task Team on Gender and HIV/AIDS, 2005, Operational Guide on Gender and HIV/AIDS, A Rights-Based Approach UNAIDS Initiative – The Global Coalition on Women and AIDS, 2004, Keeping the Promise: An Agenda for Action on Women and AIDS WHO and UNAIDS, 2000, The HIV/AIDS Pandemic and Its Gender Implications, United Nations Division for The Advancement of Women, World Health Organization, United Nations Programmes on HIV and AIDS. World Bank, 2000, Laporan Penelitian Bank Dunia: Rangkuman Pembangunan Berpersepktif Gender. World Bank, 2003, Facilitation Manual: Integrating Gender Into HIV/AIDS Programmes, The Gender in Development Division. WHO, 2004, HIV Status Disclosure to Sexual Partners: Rates, Barriers, and Outcomes for Women WHO, UNAIDS, UNFPA, 2004, Position Statement on Condom and HIV Prevention WHO, DFID, 2004, HIV/AIDS Prevention and Care Among Especially Vulnerable Young People A Framework for Action VSO, 2003, Gendering AIDS: Women, Men, Empowerment, Mobilisation www.thecommenwealth.org/ Internal/33896/33904/gender_ mainstreaming_series
35