KETAHANAN DAN PENGARUH FITOTOKSISITAS CAMPURAN EKSTRAK Piper retrofractum & Annona squamosa PADA PENGUJIAN SEMI LAPANG
Oleh: Nur Isnaeni A44101046
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK
NUR ISNAENI. Ketahanan dan Pengaruh Fitotoksisitas Campuran Ekstrak Piper retofractum dan Annona squamosa pada Pengujian Semi lapang. Dibimbing oleh DADANG. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari persistensi campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa dan mengevaluasi tingkat keamanan pada tanaman brokoli pada skala semi lapangan. Masing-masing bagian tanaman direndam dalam metanol (1:10 w/v), kemudian disaring menggunakan corong Buchner, lalu diuapkan hingga mendapat ekstrak kasar. Ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa dicampur dengan perbandingan 3:7 dan 1:1 (w/w) pada konsentrasi 0,05% dan 0,1% (PA 3:7 0,05%; PA 3:7 0,1%; PA1:1 0,1%; PA 1:1 0,05%) kemudian diencerkan dengan metanol 1% dan Latron77L 0,1%. Sebagai pembanding digunakan Decis 2,5 EC (bahan aktif deltametrin) 0,04% sedangkan untuk kontrol digunakan aquades ditambahkan metanol 1% dan Latron77L 0,1%. Pengujian dilakukan dengan menyemprot insektisida pada tanaman brokoli menggunakan hand sprayer. Tanaman kemudian dijemur selama ±7 jam/hari. Jika hujan tanaman dipindahkan ke tempat yang terlindung. Daun diambil pada 0,1,2,3,5,7, dan 10 hari setelah penyemprotan. Kemudian daun dipotong berbentuk segi empat (4 cm x 4 cm), lalu dimasukkan ke dalam cawan petri. Sebanyak 10 larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) instar II awal dimasukkan ke dalam cawan. Mortalitas larva dinilai pada 1, 2, dan 3 HSP. Untuk uji fitotoksisitas, setiap helai daun diolesi campuran PA 3:7 0,05%; PA 3:7 0,1%; PA 1:1 0,05%; PA 1:1 0,1% berbentuk bulatan-bulatan kecil menggunakan kuas. Gejala fitoksisitas diamati mulai 1 hari setelah penyemprotan. Campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa yang diuji pada pengujian semi lapangan menunjukkan efektivitas insektisida yang tinggi terhadap mortalitas C. pavonana hingga konsentrasi 0,05%. Persistensi campuran ekstrak ini cukup singkat kecuali pada perlakuan ekstrak PA 3:7 0,1% yang masih memberikan efektivitas insektisida yang tinggi hingga pemaparan hari ke-10. Pada semua perlakuan ekstrak tidak menunjukkan adanya gejala fitotoksisitas.
KETAHANAN DAN PENGARUH FITOTOKSISITAS CAMPURAN EKSTRAK Piper retrofractum & Annona squamosa PADA PENGUJIAN SEMI LAPANG
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Nur Isnaeni A44101046
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
:
Nama NRP
: :
KETAHANAN DAN PENGARUH FITOTOKSISITAS CAMPURAN EKSTRAK Piper retrofractum & Annona squamosa PADA PENGUJIAN SEMILAPANG Nur Isnaeni A 44101046
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Dadang, MSc NIP. 131879337
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M Agr NIP. 130422698
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 10 Juli 1983. Penulis merupakan putri bungsu pasangan Bapak Masyhur dan Ibu Masroh. Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SDN Pisangan I. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Ciputat dan menyelesaikan masa belajarnya pada tahun 1997, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan belajarnya ke SMUN 87 Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN pada Departemen Proteksi Tanaman. Selama menjalani pendidikan di Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2002 penulis aktif di organisasi FKRJ-faperta, dan pada tahun yang sama penulis aktif dalam kepengurusan LSM (Lingkar Studi Muslim) HPT.
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT Rabb semesta alam, atas rahmat dan karuniaNya lah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Ketahanan dan Pengaruh Fitotoksisitas Campuran Ekstrak Piper retrofractum & Annona squamosa pada Pengujian Semi Lapang. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Dadang, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada peulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga: Nia, Budi, Ferdi, serta M’nana dan Pa Agus, atas dukungan, bantuan, dan nasehatnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman HPT’38 atas bantuan dan dukungan semangatnya. Sahabat-sahabatku: Nia, Nita, Indah, dan Winta (kalian adalah harta terbesar dari kehidupan yang miskin saat ini). Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Lia, Okti, Mu’min, Mia, Ida, Deni, Duan, yang selalu membawa keceriaan dan membantu penulis hingga tulisan akhir ini dibuat: “kehadiran kalian memberikan spektrum warna terang dari harihariku yang penuh berarti”. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih sebesarbesarnya dan kepada merekalah karya terbaik ini kupersembahkan: Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan doanya kepada penulis (sungguh…suatu kebahagiaan apabila melihat kalian bahagia pula. Semoga tulisan ini benilai karya, bernafaskan ibadah, dan berbuah kebaikan). Semua pihak yang namanya tak bisa kusebutkan satu persatu namun kehadirannya selalu ada dalam kenangan, thank’s for all… Akhirnya penulis berharap semoga laporan tugas akhir ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis juga berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan ridha-Nya.
Bogor, Februari 2006
Nur Isnaeni
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
x
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ...............................................................................
1
Tujuan Penelitian ............................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
Crocidolomia pavonana .................................................................
4
Morfologi/Bioekologi .........................................................
4
Arti Ekonomi ......................................................................
5
Pengendalian .......................................................................
5
Ekstrak Tumbuhan Sebagai Alternatif Pengendalian Hama ..........
6
Potensi Insektisida Tanaman Annonaceae ......................................
9
Potensi Insektisida Tanaman Piperaceae ........................................
11
BAHAN DAN METODE ..........................................................................
13
Waktu dan Tempat ........................................................................
13
Sumber Ekstrak..............................................................................
13
Penanaman Brokoli ........................................................................
13
Pemeliharaan Serangga Uji .............................................................
13
Pembuatan Sediaan Ekstrak ........................................................... 14 Uji Persistensi ................................................................................ 14 Uji Fitotoksisitas ............................................................................ 15
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 16 Uji Persistensi ................................................................................. 16 Uji Fitotoksisitas ............................................................................. 21 Pembahasan Umum ......................................................................... 22 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 27 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 28 LAMPIRAN ............................................................................................... 33
PENDAHULUAN
Latar Belakang Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting yang sering menjadi masalah serius pada tanaman famili Brassicaceae dengan persebaran meliputi Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik (Kalshoven 1981; Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Larva dapat mengkonsumsi daun maupun krop sejak tanaman muda hingga menjelang panen (Uhan 1993). Petani kubis di Jawa Barat menyatakan bahwa lebih dari 60% kerusakan pertanaman mereka disebabkan oleh C. pavonana dan Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae), serta penyakit busuk akar (Rauf 2005). Kehilangan hasil panen kubis akibat serangan C. pavonana bersama-sama dengan P. xylostella dapat mencapai 100% apabila tidak dilakukan pengendalian (Sastrosiswojo 1996). Berbagai jenis pengendalian terhadap hama tersebut telah dilakukan, diantaranya pengendalian kimia, kultur teknis, mekanis, dan hayati. Walaupun dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995 tentang perlindungan tanaman yang menyatakan bahwa perlindungan tanaman di Indonesia menggunakan sistem pengendalian hama terpadu (PHT), namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan insektisida atau pestisida masih sangat tinggi. Hasil survei terhadap petani sayuran di Pacet, Cianjur menunjukkan bahwa 95,5% petani sayuran tergantung pada penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit (Gusfi 2002). Bahkan tidak sedikit petani yang mengaplikasikan insektisida sintetik sebagai tindakan jaga-jaga (preventif) agar tidak terserang hama dan penyakit sehingga aplikasi insektisida sintetik menjadi sangat tinggi. (Rauf et al. 2005) melaporkan bahwa walaupun banyak petani kubis di Jawa Barat (70%-92,5%) mengetahui akan bahaya pestisida bagi kesehatan, namun mereka menggunakan 35 jenis insektisida untuk pengendalian hama dimana dalam satu musim diaplikasikan rata-rata lebih dari 10 kali. Penggunaan insektisida sintetik yang tidak bijaksana tersebut dapat menimbulkan dampak negatif seperti resistensi hama, resurjensi hama, ledakan hama sekunder, pencemaran lingkungan, terbunuhnya musuh alami hama dan
2
organisme berguna lainnya, serta bahaya residu pada hasil panen (Metcalf 1986; Untung 1996). Hasil penelitian Wachjadi et al. (2001) menunjukkan bahwa sayuran kacang panjang, bawang daun, dan kubis yang berasal dari pasar Ajibarang Kabupaten Banyumas mengandung residu profenofos yang telah melampaui ambang batas residu (BMR). Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan penggunaan insektisida sintetik yang terlalu tinggi, hingga kini terus dicari cara pengendalian yang lebih aman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pemanfaatan tumbuhan sebagai insektisida botani. Informasi yang ada menunjukkan bahwa penggunaan insektisida botani memiliki beberapa keunggulan. Beberapa keunggulan tersebut seperti lebih mudah terurai di alam sehingga efek residunya rendah, toksisitasnya bersifat selektif sehingga tidak membahayakan organisme bukan sasaran, dan relatif aman terhadap manusia (Dadang 2004). Banyak senyawa insektisida botani baru yang lebih bersifat sebagai racun perut sehingga peluang bahan tersebut membunuh musuh alami atau serangga berguna lain secara kontak cukup kecil (Prijono 1999a) Di laboratorium, beberapa ekstrak tumbuhan menunjukkan aktivitas insektisida yang cukup tinggi terhadap larva C. pavonana (dengan kematian 90% pada percobaan dengan pelarut organik dimana konsentrasi tidak lebih dari 0,5% atau dengan ekstrak air pada konsentrasi tidak lebih dari 5%). Beberapa ekstrak yang telah menunjukkan efektifitas diantaranya adalah Annona squamosa (Annonaceae) dan Piper retrofractum (Piperaceae). Senyawa aktif A. squamosa yaitu squamosin dan asimisin yang termasuk dalam golongan asetogenin diketahui mempunyai efek kematian pada berbagai spesies serangga termasuk C. pavonana (Dadang 1999). Ekstrak aseton biji A. squamosa dan A. glabra menunjukkan aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dan lebih aktif daripada akar tuba, Derris elliptica. Kedua jenis biji tersebut juga aktif terhadap larva uji dalam bentuk ekstrak airnya (Prijono 1997). Hasil penelitian Prijono et al. (1995) menggunakan ekstrak biji Annonaceae dan Meliaceae juga terbukti menghasilkan aktifitas insektisida yang tinggi terhadap C. pavonana pada konsentrasi 0,25% menggunakan pelarut aseton-metanol (1:1). Daya bunuh yang
3
tinggi terhadap larva C. pavonana juga diketahui dengan LC50 masing-masing 0,51% dan 0,208% pada 2 HSP (Basana & Prijono 1994). Piperaceae adalah famili lainnya yang menunjukkan aktivitas mematikan pada serangga. Ekstrak P. retrofracum yang merupakan salah satu spesies anggota Piperaceae diketahui mempunyai aktivitas mematikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota famili Meliaceae. Senyawa aktif ekstrak Piperaceae memiliki kerja yang cepat pada serangga dan sangat efektif untuk beberapa serangga yang menunjukkan resistensi terhadap piretroid (Dadang 1999). Di laboratorium, penanganan campuran ekstrak buah P. retrofractum dan biji A. squamosa pada konsentrasi 0,05% dapat mematikan larva C. pavonana sebesar 100% (Yunia 2006). Pengujian awal bahan insektisida dilakukan di laboratorium, sebelum digunakan di lapangan. Setelah tersedianya formulasi, berbagai pertimbangan keamanan harus teruji (Syahputra 2004). Senyawa insektisida alami mudah terurai di alam sehingga tidak akan mencemari lingkungan (fisik), namun bahan tersebut mungkin memiliki dampak negatif bagi organisme bukan sasaran. Karena itu, aspek keamanan pertama yang harus diuji adalah fitotoksisitasnya bila bahan tersebut akan digunakan dalam pengendalian hama pertanian. Sebagai contoh, ekstrak beberapa spesies Zingiberaceae aktif terhadap serangga tertentu tetapi ternyata juga bersifat fitotoksik, sehingga penelitian lebih lanjut tidak ditindaklanjuti (Prijono 1999a). Ginting (2003) melaporkan bahwa beberapa ekstrak campuran dari famili Meliaceae dan Menispermaceae memiliki mortalitas yang tinggi terhadap larva uji, tetapi mengakibatkan fitotoksik pada tanaman brokoli pada konsentrasi 0,5%-1%. Dengan adanya pertimbangan di atas, penelitian ini merupakan uji lanjutan campuran ekstrak tanaman.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari persistensi campuran ekstrak buah P. retrofractum dan biji A. squamosa dan mengevaluasi tingkat keamanan pada tanaman brokoli pada skala semi lapangan.
TINJAUAN PUSTAKA Crocidolomia pavonana Morfologi/Bioekologi Imago C. pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) berwarna kelabu, pada sayap depan terdapat garis-garis pucat serta titik-titik (Ditlinhorti 2005). Imago jantan mudah dikenali dengan adanya rambut-rambut coklat tua pada tepi abdomen sayap depan. Lebar depan sayap serangga betina sekitar 25 mm, sedang lebar sayap serangga jantan sekitar 23,9 mm. Ukuran tubuh imago jantan lebih panjang (11,4 mm) daripada yang betina (9,6 mm) (Othman 1982). Secara visual imago betina mempunyai abdomen yang lebih besar daripada yang jantan (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Serangga betina yang diberi makan madu mampu meletakkan 2-21 kelompok telur yang mengandung 60-598 butir telur, sementara itu imago betina yang tidak diberi makan madu hanya mampu menghasilkan 1-13 kelompok telur yang mengandung 11-294 butir telur dalam kondisi laboratorium (suhu 16-22,5 ºC dan kelembaban nisbi 60-80%) (Othman 1982). Telur umumnya ditemukan pada permukaan bawah daun diletakkan secara berkelompok seperti susunan genteng berukuran 3x5 mm. Stadium telur 4-6 hari. Siklus hidup dari telur hingga imago sekitar 26 hari (Ditlinhorti 2005). Larva instar 1 berukuran panjang 1,5 mm dan dapat berkembang sampai 15-20 mm pada instar 5. Larva berwarna kuning kehijauan dengan kepala berwarna hitam. Pada punggung dan tubuh bagian samping larva terdapat garis membujur berwarna coklat. Larva terdiri atas 5 instar dan biasanya dijumpai berkelompok pada bagian bawah daun kubis (Ditlinhorti 2005). Larva berkepompong di dalam tanah. Pupa berwarna coklat kekuningan kemudian menjadi coklat tua. Stadium pupa berlangsung selama 10 hari (9-13 hari) pada suhu 26-32,2 ºC dengan kelembaban nisbi 54,1-87,8% (Othman 1982).
5
Arti Ekonomi Larva C. pavonana yang dikenal dengan ulat krop kubis merupakan hama penting tanaman famili Brassicaceae seperti kubis (Brassica oleracea L. var capitata), kubis bunga (B. Oleracea L. var botrytis), kubis cina (B. Campestris var pekinensis), mostar (B. Juncea coss.), dan lobak (Raphanus sativus L.). Serangga ini juga dapat hidup pada sawi liar (Nasturtium). Daerah penyebaran C. pavonana meliputi Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika Selatan, Australia, dan beberapa kepulauan di Samudra pasifik. Di pulau Jawa serangga ini ditemukan baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi (Kalshoven 1981). Larva dapat mengkonsumsi daun maupun krop sejak tanaman muda hingga menjelang panen. Larva dapat mengakibatkan kerusakan berat karena kemampuan makan larva yang tinggi sejak instar II sampai instar IV pada daun muda dan daun tua serta krop yang terbentuk sehingga dapat mengakibatkan kehilangan hasil panen yang besar. (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Daun yang diserang terutama daun muda, kemudian hama merambat ke titik tumbuh sehingga semua daun muda habis. Bila serangannya hebat, tanaman akan mati karena tidak mendapat kesempatan membentuk tunas baru dan akhirnya busuk karena terinfeksi patogen (Pracaya 2001). Daun kubis yang diserang oleh kelompok larva instar awal C. pavonana tampak putih (epidermis tidak termakan) dan dapat berlubang. Instar III menyerang bagian lebih dalam dan dapat mencapai titik tumbuh. Apabila serangan terjadi pada kubis yang telah membentuk krop, larva akan menggerek ke dalam krop sehingga nilai ekonominya menurun. Serangan biasanya diikuti oleh serangan cendawan dan bakteri sehingga krop menjadi busuk (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Kehilangan hasil panen kubis akibat serangan hama ini bersamasama dengan P. xylostella dapat mencapai 100% bila tidak dilakukan pengendalian (Sastrosiswojo 1996).
Pengendalian Pengendalian terhadap C. pavonana dilakukan dengan cara kimia, kultur teknis, dan secara hayati. Kebanyakan petani kubis di Jawa Barat masih menggunakan insektisida sintetik di lapangan (Rauf 2005), namun kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan insektisida sintetik tersebut menimbulkan
6
dampak negatif bagi manusia, hama bukan sasaran, serta terhadap lingkungan (Metcalf 1986; Untung 1996). Pengendalian secara mekanis bisa dilakukan apabila terlihat gejala serangan atau terlihat adanya hama, secepatnya ulat dimatikan. Pengendalian lain yaitu tidak menanam kubis dan tanaman yang satu famili dalam satu tahun secara terus-menerus. Penanaman kubis dihentikan beberapa waktu misalnya 3 atau 4 bulan (Pracaya 2001). Pengendalian secara biologi dengan mendatangkan musuh alami (parasitoid) seperti Inareolata argenteopilasa
Cam.
(Hymenoptera:
Ichneumonidae)
dan
Stnermia
inconspianoides Bar. (Diptera: Tachinidae) (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Pengendalian lain yang banyak dikembangkan saat ini sebagai alternatif pengendalian yang aman dan sesuai dengan konsep PHT adalah dengan penggunaan insektisida botani, yaitu penggunaan dengan memanfaatkan bahan tumbuhan yang berpotensi untuk menurunkan populasi hama C. pavonana ini. Ekstrak Tumbuhan Sebagai Alternatif Pengendalian Hama Tumbuhan sudah sejak lama bahkan ribuan tahun lalu digunakan sebagai agens pengendalian hama dan penyakit. Tiga jenis insektisida dari tumbuhan (insektisida botani) yang telah diproduksi secara komersial dan digunakan secara luas untuk pengendalian hama di berbagai bagian dunia, yaitu sediaan berbahan aktif piretrin dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium (piretrum), nikotin dari daun Nicotina spp. (tembakau dan kerabatnya), rotenon dari akar Derris spp. (tuba dan kerabatnya), dan azadirachtin dari biji Azadirachta indica (mimba). Selain keempat sumber insektisida botani tersebut, lebih dari 500 jenis tumbuhan lain telah digunakan untuk pengendalian hama secara tradisional di tempat-tempat tertentu di wilayah dunia yang sedang berkembang (Prijono 1999a). Dengan adanya kemajuan dibidang kimia, penggunaan ekstrak tumbuhan semakin ditinggalkan. Masa keemasan pestisida sintetik sejak tahun 1950-an ternyata meninggalkan dampak negatif dari penggunaan insektisida sintetik yang kurang bijaksana. Akibat dari banyaknya dampak negatif tersebut penggunaan ekstrak tumbuhan mulai digalakkan kembali. Sejak awal tahun 1970-an, dunia pengendalian hama menyaksikan kebangkitan kembali minat dalam penelitian insektisida botani dan sebagai contoh keberhasilan nyata dari upaya ini adalah
7
pengembangan berbagai produk insektisida komersial dari biji mimba (A. indica, famili Meliaceae). Sebagian besar bahan baku sediaan mimba berasal dari India, karena di India tanaman mimba tumbuh secara alamiah dalam jumlah melimpah (Prijono 1999a). Insektisida botani yang berbahan aktif senyawa sekunder tanaman merupakan senyawa yang mudah terurai di alam sehingga penggunaannya relatif aman. Beberapa keunggulan dari insektisida botani seperti efek residu yang rendah, toksisitas bersifat selektif sehingga tidak membahayakan organisme bukan sasaran, dan relatif aman terhadap manusia (Dadang 2004). Banyak senyawa insektida botani baru yang lebih bersifat sebagai racun perut, sehingga memungkinkan bahan tersebut kurang membahayakan musuh alami ataupun serangga berguna lainnya. Karena cukup amannya bahan tersebut memungkinkan musuh alami tetap hidup dan menekan populasi hama yang masih tertinggal sisa pengendalian sebelumnya (Syahputra 2004). Dalam suatu ekstrak tumbuhan, selain beberapa senyawa aktif utama biasanya juga terdapat banyak senyawa lain yang kurang aktif, namun keberadaannya dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi). Serangga tidak mudah menjadi resisten terhadap ekstrak tumbuhan dengan beberapa bahan aktif karena kemampuan serangga untuk membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa yang berbeda sekaligus lebih kecil daripada senyawa insektisida tunggal. Selain itu banyak senyawa tumbuhan yang memiliki cara kerja
yang berbeda dengan insektisida sintetik yang umum
digunakan saat ini, sehingga kemungkinan terjadinya resistensi silang cukup kecil (Prijono 1999a). Penggunaan campuran insektisida bahan tanaman saat ini sudah banyak diteliti. Yuswanti (2002) melaporkan bahwa campuran fraksi asetil asetat biji Aglaia harmsiana dan tangkai daun Dysoxilum acutangulum bersifat sinergis terhadap larva instar III P. xylostella pada LC50 tetapi bersifat antagonis pada LC95. Beberapa ekstrak tanaman, selain memiliki pengaruh terhadap mortalitas, juga dapat berpengaruh terhadap penghambatan makan, aktivitas penolakan peneluran, aktifitas penghambat pertumbuhan dan perkembangan. Famili tumbuhan yang dilaporkan memiliki aktivitas terhadap serangga diantaranya
8
adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, dan Piperaceae (Prakash & Rao 1997). Jumlah ini tentunya masih dapat bertambah dengan semakin intensifnya para peneliti melakukan upaya pencarian sumber bahan insektisida botani baru. Famili Meliaceae merupakan salah satu famili tanaman yang anggota spesiesnya banyak menunjukkan aktivitas biologi pada serangga seperti penghambatan makan, penghambatan ganti kulit, hingga kematian. Dua spesies anggota famili Meliaceae yang sudah dikomersialkan adalah A. indica dan Melia azedarach (Dadang 2004). Ekstrak campuran S. mahogani dan ranting A. odorata yang keduanya termasuk famili Meliaceae, terbukti cukup efektif dalam menekan populasi larva P. xylostella dan C. pavonana. Ekstrak campuran kedua spesies ini juga tidak mempengaruhi aktifitas musuh alami parasitoid serta tidak menimbulkan efek fitotoksisitas pada tanaman kubis hingga konsentrasi 0,4% (Amalia 2004). Prijono (1999) melaporkan bahwa ranting A. odorata yang diuji terhadap larva instar II C. pavonana memberikan kematian hingga 98,7% pada konsentrasi 0,5% sementara itu ekstrak biji S. mahogani pada konsentrasi 5% memberikan penghambatan makan sempurna terhadap larva instar III P. xylostella (Dadang & Ohsawa 2000). Senyawa-senyawa aktif dari famili Meliaceae terus ditemukan. Rokaglamid yang diisolasi dari A. odorata menunjukkan efek kematian pada Peridroma saucia. Senyawa ini juga mengakibatkan penghambatan pertumbuhan pada larva penggerek jagung Ostrinia nubilalis (Dadang 1999). Hama-hama yang dapat dikendalikan dengan baik oleh ekstrak tanaman Meliaceae umumnya adalah hama-hama dengan alat mulut mengigit-mengunyah, terutama hama pemakan daun, seperti ulat (larva Leppidoptera) dan kumbang pemakan daun, karena ekstrak tanman Meliaceae lebih bersifat sebagai racun perut daripada sebagai racun kontak. Namun demikian, sifat antifeedant dan repellent ekstrak Meliaceae dapat mencegah hama-hama dengan alat mulut selain menggigit-mengunyah yang akan makan dan/atau bertelur pada tanaman (Prijono 1999b). Contoh tanaman famili Annonaceae yang potensial dan terdapat di Indonesia adalah srikaya (A. squamosa), buah nona sabrang (A. glabra), dan buah nona (A. reticulata). Berbeda dengan ekstrak tanaman Meliaceae yang bersifat sebagai racun perut, ekstrak tanaman Annonaceae juga memiliki efek kontak yang
9
cukup baik terhadap serangga dari beberapa ordo seperti Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera, dan Diptera. Ekstrak biji srikaya dan buah nona sabrang efektif terhadap beberapa jenis ulat, kumbang, dan wereng (Prijono 1999b). Contoh tanaman famili Asteraceae yang terkenal adalah piretrum. Ekstrak bunga piretrum memiliki efek racun kontak yang cukup berat, selain juga bersifat sebagai racun perut. Ekstrak tanaman famili Asteraceae lainnya umumnya bersifat sebagai repellent, antifeedant, dan/atau penghambat perkembangan serangga. Salah satu jenis tanaman famili Asteraceae yang ekstrak daunnya memiliki efek repellent terhadap ngengat betina adalah kenikir (Cosmos caudatus). Ngengat betina C. pavonana tidak mau bertelur pada tanaman yang disemprot ekstrak daun kenikir. Tanaman kenikir biasa dimanfaatkan sebagai sayuran oleh masyarakat Indonesia (Prijono 1999b). Potensi Insektisida Tanaman Annonaceae Informasi tentang berbagai spesies tumbuhan yang memiliki bioaktivitas terhadap berbagai jenis serangga telah banyak dilaporkan. Famili tumbuhan yang dilaporkan memiliki aktivitas terhadap serangga, salah satunya adalah Annonaceae. Beberapa spesies anggota famili Annonaceae telah diketahui mempunyai efek kematian pada berbagai spesies serangga, seperti Annona glabra, A. montana, A. muricata, A. reticulata, terhadap Callosobruchus chinensis. Kecuali A. glabra, keempat spesies tumbuhan tersebut juga memberikan efek kematian pada Nephotettix virescens. Kemudian A. muricata juga diketahui efektif terhadap serangga C. maculatus. Spesies lain dari Annonacea yaitu Polyalthia littoralis menimbulkan efek kematian pada P. xylostella, C. chinensis, N. virescens, kemudian P. rumphii dan Rollinia delisiosa efektif terhadap Epilachna vigintioctopunctata. Famili Annonaceae tampaknya mempunyai potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan setelah famili Meliaceae (Dadang 1999). Sejak penemuan pertama uvaricin, senyawa kelompok asetogenin yang diisolasi dari Uvaria accuminata, banyak senyawa-senyawa dari kelompok ini telah diisolasi dari berbagai spesies anggota Annonaceae. Kelompok asetogenin selain bersifat insektisida (baik efek kematian, penghambat pertumbuhan dan perkembangan serangga maupun penghambatan makan serangga) juga bersifat anti tumor, anti
10
bakteri, dan anti jamur. Berkaitan dengan sifat insektisidanya, squamosin dan asimisin selain dapat menghambat perkembangan serangga juga dapat mematikan beberapa spesies serangga seperti P. xylostella, H. vigintiopunctata, C. chinensis, dan N. cincticeps (Dadang 1999). Berbeda dengan ekstrak tanaman Meliaceae yang lebih bersifat sebagai racun perut, ekstrak tanaman Annonaceae juga memiliki efek kontak yang cukup baik terhadap serangga dari beberapa ordo seperti Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera, dan Diptera (Prijono 1999b). Salah satu spesies Annonaceae yang telah diketahui bersifat insektisida dan telah diverifikasi potensial yaitu Annona squamosa. Ekstrak A. squamosa yang biasa dikenal dengan nama lokal srikaya ini diketahui dapat mematikan larva C. pavonana sampai 100% pada konsentrasi antara 0,1%-0,5% (Dadang 1999). Kandungan aktif biji srikaya mengandung 42-45% lemak, annonain, dan resin yang bekerja sebagai racun perut dan racun kontak terhadap serangga (Kardinan 2001). Biji srikaya memiliki kulit yang keras, dalam buah terdapat banyak biji yang mengandung 45% minyak yang tidak mengering dan berwarna kuning (Heyna 1987). Selain bijinya, bagian tanaman lain yang mengandung bahan aktif yang efektif sebagai pestisida nabati adalah buah mentah, daun, dan akar. Kandungan aktif tersebut bekerja sebagai racun kontak dan perut serta bersifat sebagai insektisida, repellent, dan antifeedant (Kardinan 2001). Ekstrak biji Annona yang dibuat dengan eter atau petroleum eter dapat meningkatkan tingkat racunnya sampai 50-100 kali lipat. Serbuk daun srikaya dilaporkan dapat digunakan untuk mengendalikan hama gudang. Di Cina dan Filipina, tepung biji srikaya digunakan sebagai bahan insektisida. Laporan lain menyatakan bahwa 1% tepung srikaya yang dicampurkan dalam biji kacang hijau dapat mengendalikan hama gudang C. analis dan dapat menghambat proses peletakkan telur serangga hama pada biji kacang hijau (Kardinan 2001). Prijono (1997) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji A. squamosa dan A. glabra menunjukkan aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dan lebih aktif daripada akar tuba Derris elliptica.
11
Potensi Insektisida Tanaman Piperaceae Piperaceae adalah salah satu famili tumbuhan yang menunjukkan aktivitas mematikan pada serangga. Ekstrak Piper bantamense, P. betle, P. longum menunjukkan aktivitas mematikan pada C. chinensis. Spesies lainnya seperti P. tuberculatum menunjukkan efek kematian yang sangat tinggi terhadap serangga O. nubilalis dan nyamuk Aedes atropalpus dibanding anggota piperaceae lainnya. Pipersida, dihidropipersida, dan guinensin yang diisolasi dari P. nigrum menunjukkan aktivitas mematikan pada serangga C. chinensis dengan nilai LD50 masing-masing 0,56, 0,23, dan 0,37 µg/serangga. Senyawa ini memiliki kerja yang cepat pada serangga dan sangat efektif terhadap piretroid, kerja bersamanya (sinergis) dapat meningkatkan efikasi hingga 4 kali. Namun dalam aplikasinya seringkali memberikan hasil yang tidak memuaskan karena ketidakstabilannya di lapangan (Dadang 1999). Tanaman piperaceae telah lama diketahui mengandung senyawa isobutilamida tak jenuh dengan aktivitas insektisida cukup tinggi. Serbuk lada P. nigrum sering digunakan untuk melindungi biji-bijian di penyimpanan dari serangan hama (Secoy & Smith 1983). P. nigrum juga memberikan efek kematian pada C. maculatus. Inflorescens P. retrofactum pada konsentrasi 0,5% memberikan efek insektisida yang sangat tinggi yaitu kematian 100% serangga uji (Prijono et al. 2004). Spesies P. retrofractum juga menunjukkan aktivitas mematikan pada serangga. Pemanfaatan tanaman yang dikenal dengan nama cabe jawa ini cukup beragam. Pemanfaatannya banyak digunakan untuk bahan baku pembuatan obat tradisional, obat modern, dan untuk campuran minuman (Syukur & Hernani 2001). Komposisi sifat kimiawi dan efek farmakologis buah rasanya pedas dan panas, masuk meridian limfa dan lambung. Rasa pedas yang dikeluarkan dari buahnya mengandung zat pedas piperin, kavicin, asam palmiat, minyak asiri, dan sesamin. Piperine mempunyai daya antipiretrik, analgesik, antiinflamasi, dan menekan susunan saraf pusat (Iptek 2005). P.retrofractum merupakan tanaman asli Indonesia, di tanam di pekarangan, ladang, atau tumbuh liar di tempat-tempat yang tanahnya agak lembab dan berpasir seperti di dekat pantai atau di hutan sampai ketinggian 600 ml dpl.
12
Ekstrak P. retrofactum diketahui mempunyai aktivitas mematikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota famili Meliaceae. Efek knock down yang cepat sering ditunjukkan oleh ekstrak-ekstrak Piperaceae yang menunjukkan sifat insektisida. Ekstrak P. retrofractum juga diketahui menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap larva P. xylostella (Dadang 1999). Penelitian Yunia (2006) di laboratorium menunjukkan bahwa campuran ekstrak buah P. retrofractum dan biji A. squamosa pada konsentrasi 0,05% dilaporkan dapat mematikan larva C. pavonana hingga 100%.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga dan halaman depan Laboratorium Pendidikan Departeman Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung sejak Agustus hingga November 2005.
Tumbuhan Sumber Ekstrak Bahan tumbuhan yang diuji adalah buah Piper retrofractum (Piperaceae) dan biji Annona squamosa (Annonaceae) yang diperoleh dari Kebun Raya Bogor. Bahan tumbuhan ini dikeringanginkan selama kurang lebih satu minggu. Penanaman Brokoli Benih brokoli yang digunakan adalah varietas Pilgrim. Benih brokoli terlebih dahulu disemai dalam wadah penyemaian yang berisi tanah dan pupuk kandang steril yang telah tercampur rata, penyiraman bibit dilakukan setiap pagi dan sore hari. Setelah berumur 3 minggu, bibit dipindahkan ke polybag berukuran besar (5 liter) yang telah berisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan setiap polybag dimasukkan 1 bibit tanaman. Pemupukan dilakukan ketika brokoli yang ditanam sudah mulai berumur 3-4 minggu. Jenis pupuk yang dipakai urea atau NPK dengan dosis 1 g per tanaman. Pupuk ditabur melingkar mengelilingi tanaman dengan jarak ±3 cm dari pokok batang. Setelah pupuk ditabur kemudian ditutup tanah. Setelah selesai, tanaman segera disiram. Pemeliharaan tanaman brokoli dilakukan dengan penyiraman, penyulaman, penyiangan gulma, dan pengendalian hama yang ada pada tanaman. Setelah berumur 2 bulan tanaman dapat dignakan sebagai pakan larva C. pavonana.
Pemeliharaan Serangga Uji Serangga C. pavonana yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koloni yang diperbanyak di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga,
14
Departemen Proteksi Tanaman, Faperta IPB. Imago C. pavonana dipelihara pada kurungan (40 cm x 40 cm x 40 cm) yang berdinding kain kasa dan plastik. Imago diberi makanan larutan madu 10 % yang diserapkan pada segumpal kapas. Daun brokoli bebas pestisida dimasukkan ke dalam tabung film yang diberi air dan diletakkan dalam kurungan sebagai tempat peletakkan telur. Kelompok telur yang didapat, kemudian diletakkan dalam cawan petri berdiameter 15 cm yang dialasi kertas isap. Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke dalam kotak plastik (35 cm x 25 cm x 5 cm) yang dialasi kertas isap dan diberikan pakan daun brokoli bebas pestisida. Larva instar tua dipindahkan ke dalam kotak plastik lain yang telah diberi serbuk gergaji steril sebagai media berpupa. Pupa-pupa yang terbentuk kemudian diletakkan dalam kurungan untuk menjadi imago. Untuk uji hayati digunakan larva C. pavonana instar II awal. Pembuatan Sediaan Ekstrak Masing-masing bagian tanaman dikeringanginkan kemudian dipotong menjadi bagian-bagian kecil lalu dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk dan diayak menggunakan pengayak kasa berjalin 1 mm. masingmasing serbuk spesies tumbuhan kemudian direndam dalam metanol dengan perbandingan 1:10 (w/v) selama 2 x 24 jam. Rendaman dalam metanol masingmasing serbuk spesies tumbuhan kemudian disaring mengggunakan corong Buchner yang dialasi kertas saring. Hasil saringan kemudian diuapkan dengan mengunkan rotary evaporator pada suhu 50 ºC dan tekanan sebesar 400-450 mmHg sehingga diperoleh ekstrak metanol. Metanol yang diperoleh kembali dari penguapan digunakan untuk membilas residu pada corong Buchner, pembilasan ini dilakukan berulang-ulang hingga warna larutan ekstrak hasil penyaringan menjadi jernih. Ekstrak yang diperoleh setelah penguapan disimpan dalam lemari es (-4 ºC) hingga saat digunakan. Uji Persistensi Ekstrak P. retrofactum dan A. squamosa dicampur dengan perbandingan 3:7 dan 1:1 (w/w) pada konsentrasi 0,05% dan 0,1% (PA 3:7 0,05%; PA 3:7 0,1%; PA1:1 0,1%; PA 1:1 0,05%). Ekstrak kasar tanaman tersebut diencerkan
15
dengan metanol 1% dan Latron77L 0,1%. Sebagai pembanding digunakan insektisida piretroid sintetik Decis 2,5 EC (bahan aktif deltametrin). Penyiapan insektisida pembanding dilakukan pada konsentrasi 0,4 ml/l yang merupakan konsentrasi
anjuran.
Sebagai kontrol disiapkan aquades yang mengandung
metanol dan Latron77L masing-masing 1% dan 0,1%. Pengujian persistensi dilakukan dengan penyemprotan insektisida pada tanaman brokoli yang ditanam pada polybag di luar ruangan. Penyemprotan emulsi ekstrak menggunakan hand sprayer bertekanan. Semua tanaman brokoli disemprot pada permukaan atas dan bawah daun hingga merata. Tanaman kemudian dijemur selama ±7 jam/hari, yaitu dari pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Jika hujan tanaman dipindahkan ke tempat yang terlindung. Daun brokoli diambil pada 0,1,2,3,5,7, dan 10 hari setelah penyemprotan. Daun brokoli kemudian dipotong berbentuk segi empat (4 cm x 4 cm). Daun yang telah dipotong kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri yang dialasi kertas tisu. Sebanyak 10 larva C. pavonana instar II awal dimasukkan ke dalam cawan yang telah diberi potongan daun brokoli. Larva dibiarkan makan hingga daun habis, kemudian larva diberi daun bebas pestisida. Mortalitas larva diamati pada 1, 2, dan 3 HSP. Data kemudian diolah dengan program SAS (SAS Institute 1990) dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 0,05% (Steel & Torrie 1993).
Uji fitotoksisitas
Pengujian fitotoksisitas dilakukan melalui pengolesan insektisida pada satu tanaman brokoli yang ditanam pada polybag. Pengolesan menggunakan kuas pada semua daun, baik daun tua maupun daun muda. Setiap helai daun diolesi campuran PA 3:7 0,05%; PA 3:7 0,1%; PA 1:1 0,05%; PA 1:1 0,1% berbentuk bulatan-bulatan kecil. Gejala fittoksisitas diamati mulai 1 hari setelah penyemprotan hingga hari ke-10 pemaparan tanaman brokoli. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati bagian helai daun yang mengalami nekrosis atau pengerutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Persistensi Pemaparan 0 hari semua perlakuan campuran ekstrak tanaman pada semua konsentrasi menunjukkan kematian larva kurang dari 50% pada satu hari setelah perlakuan (HSP). Pada 3 HSP terjadi peningkatan kematian larva yang mencapai 100% kecuali pada perlakuan ekstrak PA 1:1 0,05% yang menunjukkan kematian larva sebesar 89,74%. Pengaruh campuran ekstrak tanaman terhadap mortalitas larva berbeda nyata jika dibandingkan dengan insektisida pembanding deltametrin. Kematian larva pada insektisida sintetik ini sangat rendah yaitu 5%, bahkan hingga 3 HSP hanya memberikan kematian hingga 5,13% (Gambar 1). Penurunan aktivitas campuran ekstrak tanaman mulai tampak pada tanaman yang dipaparkan 1 hari kecuali perbandingan 3:7 0,1% yang menunjukkan kematian larva 100% pada 2 HSP. Kematian larva tidak berbeda nyata antara perlakuan PA 1:1 0,1% dan PA 3:7 0,05% yang menunjukkan lebih dari 70% pada 3 HSP. Kematian larva terkecil ditunjukkan pada perlakuan ekstrak tanaman PA 1:1 0,05% yang hanya menyebabkan kematian kurang dari 50% hingga 3 HSP. Perlakuan insektisida deltametrin menunjukkan peningkatan kematian larva hingga 18,42% dibanding pemaparan hari sebelumnya (Gambar 2). Pemaparan 2 hari menunjukkan bahwa campuran ekstrak PA 1:1 0,1% dan PA 3:7 0,1% menunjukkan mortalitas larva yang tidak berbeda nyata. Pada 1 HSP kedua perlakuan tersebut menunjukkan kematian larva kurang dari 50%, sedangkan pada 2 HSP meningkat hingga mencapai 100%. Hal ini berbeda nyata dengan campuran ekstrak PA 1:1 0,05% dan PA 3:7 0,05% yang belum menunjukkan adanya kematian larva pada 1 HSP, namun pada 3 HSP terjadi peningkatan mortalitas walaupun masih di bawah 60%. Untuk insektisida pembanding deltametrin masih menunjukkan kematian larva yang rendah yaitu 2,86% (Gambar 3).
17
100 Mortalitas larva (%)
Kontrol 80 Decis 0,04 % 60
1:1 0,05% 1:1 0,1%
40
3:7 0,05 %
20
3:7 0,1% 0 1
2
3
Hari setelah perlakuan (HSP)
Gambar 1
Perkembangan kematian larva C. pavonana yang diperlakukan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada hari ke-0 pemaparan.
Mortalitas larva (%)
100
Kontrol
80
Decis 0,04 %
60
1:1 0,05% 1:1 0,1%
40
3:7 0,05 % 20 3:7 0,1% 0 1
2
3
Hari setelah perlakuan (HSP)
Gambar 2
Perkembangan kematian larva C. pavonana yang diperlakukan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada hari ke-1 pemaparan.
18
Mortalitas larva (%)
100 Kontrol
80
Decis 0,04 % 60
1:1 0,05% 1:1 0,1%
40
3:7 0,05 %
20
3:7 0,1% 0 1
2
3
Hari setelah perlakuan (HSP)
Gambar 3
Perkembangan kematian larva C. pavonana yang diperlakukan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada hari ke-2 pemaparan.
Tingginya mortalitas larva pada tanaman yang dipaparkan 3 hari masih ditunjukkan oleh campuran ekstrak PA 1:1 0,1% dan PA 3:7 0,1% yang memberikan kematian larva masing-masing 97,37% dan 100% pada 3 HSP, sedangkan campuran ekstrak PA 1:1 0,05% dan PA 3:7 0,05% hingga 3 HSP hanya menunjukkan kematian larva kurang dari 40%. Insektisida pembanding deltametrin masih menunjukkan kematian larva yang rendah yaitu 5,27% (Gambar 4). Pemaparan 5 hari menunjukkan bahwa campuran ekstrak PA 3:7 0,1% masih menunjukkan kematian larva yang tinggi yaitu 100% pada 3 HSP, sedangkan ketiga campuran ekstrak lainnya menunjukkan kematian larva kurang dari 60%. Perlakuan PA 1:1 0,1% dan PA 3:7 0,05% menunjukkan kematian larva yang tidak berbeda nyata, yang menyebabkan kematian masing-masing 57,14% dan 42,86% pada 3 HSP. Mortalitas terendah ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak PA 1:1 0,05% yaitu 11,43% (Gambar 5).
19
Mortalitas larva (%)
100 Kontrol 80
Decis 0,04 %
60
1:1 0,05% 1:1 0,1%
40
3:7 0,05 % 3:7 0,1%
20 0 1
2
3
Hari setelah perlakuan (HSP)
Gambar 4
Perkembangan kematian larva C. pavonana yang diperlakukan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada hari ke-3 pemaparan.
Mortalitas larva (%)
100 Kontrol Decis 0,04 % 1:1 0,05%
80 60
1:1 0,1%
40
3:7 0,05 % 3:7 0,1%
20 0 1
2
3
Hari setelah perlakuan (HSP)
Gambar 5
Perkembangan kematian larva C. pavonana yang diperlakukan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada hari ke-5 pemaparan.
20
Perlakuan 3:7 0,1% masih menunjukkan mortalitas larva yang tinggi yaitu 97% walaupun dipaparkan setelah 7 hari. Hal ini tidak berbeda nyata dengan campuran ekstrak PA 1:1 0,1% dan PA 3:7 0,05% yang memberikan mortalitas larva sebesar 69,45% dan 61,11%. Campuran ekstrak tanaman PA 1:1 0,05% menunjukkan mortalitas yang berbeda nyata dibandingkan dengan perbandingan 3 ekstrak lainnya yang memberikan kematian 25% pada 3 HSP. Mortalitas larva dengan perlakuan menggunakan insektisida deltametrin tidak berbeda nyata dengan campuran ekstrak tanaman PA 1:1 0,05% yaitu sebesar 11,11% (Gambar 6: Lampiran 6). Campuran ekstrak tanaman PA 3:7 0,1% hingga pemaparan hari ke-10 masih menunjukkan kamatian larva yang tinggi yaitu 97,44%. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan campuran ekstrak PA 1:1 0,1% yang memberikan kematian larva sebesar 94,87%, sedangkan untuk perlakuan lainnya menunjukkan penurunan mortalitas yang cukup besar dibandingkan pemaparan hari-hari sebelumnnya yaitu berturut-turut 5,13% dan 30,77% pada campuran ekstrak PA 1:1 0,05% dan PA 3:7 0,05% (Gambar7; Lampiran 7).
Mortalitas larva (%)
100 Kontrol
80
Decis 0,04 % 1:1 0,05%
60 40
1:1 0,1% 3:7 0,05 %
20
3:7 0,1%
0 1
Gambar 6
2 3 Hari setelah perlakuan (HSP)
Perkembangan kematian larva C. pavonana yang diperlakukan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada hari ke-7 pemaparan.
21
Mortalitas larva (%)
100 Kontrol
80
Decis 0,04 %
60
1:1 0,05% 1:1 0,1%
40
3:7 0,05 % 20
3:7 0,1%
0 1
2
3
Hari setelah perlakuan (HSP)
Gambar 7
Perkembangan kematian larva C. pavonana yang diperlakukan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada hari ke10 pemaparan.
Uji fitotoksisitas Tabel 1
Gejala fitotoksisitas pada tanaman brokoli yang diberi perlakuan campuran Piper retrofractum dan Annona squamosa (PA)
Perlakuan
Konsentrasi (%)
Gejala fitotoksisitas
PA 1:1
0,05 0,1 0,05 0,1
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
PA 3:7
Selama 10 hari pemaparan baik penyemprotan maupun pengolesan pada tanaman brokoli pada semua konsentrasi tidak menunjukkan adanya gejala fitotoksik. Ini menunjukkan bahwa campuran ekstrak A. squamosa dan P. retrofractum hingga konsentrasi 0,1% aman untuk diaplikasikan.
22
Pembahasan umum Hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa yang diuji pada pengujian semi lapangan hingga konsentrasi 0,05% memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap mortalitas C. pavonana. Senyawa aktif kedua spesies ini telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi oleh banyak peneliti sebagai senyawa yang efektif
sebagai
insektisida. P. retrofractum dilaporkan mengandung senyawa piperlonguminin, sylvatin, guinensin, piperlongumin, filfilin, sitosterol, dan methylpiperate (Katzer 2004). Kandungan buahnya berisi piperin, kavicin, asam palmiat, minyak atsiri, yang mempunyai daya antipiretrik, analgesik, anti inflamasi, dan menekan susunan saraf pusat (Iptek 2005). Kandungan piperin dalam P. retrofractum sebesar 6% secara struktural senyawa ini berhubungan dengan capsaicin yang memberikan rasa pedas (Peterson 2005). Piperamida yang diisolasi dari P. nigrum menunjukkan aktivitas mematikan pada larva Rhizotrogus majalis dengan nilai LC50 sebesar 2,5% (Scott et al. 2005). Dari hasil penelitian terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak biji A. squamosa yang digunakan, semakin besar persentase kematian larva. Senyawa aktif A. squamosa dan umumnya suku Annonaceae yang bersifat insektisida termasuk dalam golongan asetogenin (Londershausen et al. 1991). Bioaktif senyawa ini selain bersifat sebagai pestisida juga bersifat anti tumor, anti bakteri, anti jamur, dan dapat menghambat pertumbuhan sel kanker (Hopp et al. 1996; Zeng et al. 1996). Biji A. squamosa mengandung 42-45% lemak, annonain, dan resin yang bekerja sebagai racun perut dan racun kontak terhadap serangga (Kardinan 2001). Berkaitan dengan sifat insektisidanya, squamosin dan asimisin yang
termasuk
dalam
golongan
asetogenin
selain
dapat
menghambat
perkembangan serangga juga dapat mematikan beberapa spesies serangga seperti P. xylostella, C. chinensis, dan N. cincticeps. Ekstrak A. squamosa pada konsentrasi 0,1%-0,5% diketahui dapat mematikan larva C. pavonana sebesar 100% (Dadang 1999). Ekstrak biji A. squamosa juga diketahui bersifat insektisida terhadap beberapa spesies kutu daun. Toksisitas ekstrak biji A. squamosa yang diukur dengan nilai LC50 mencapai 0,81% pada Myzus persicae; 2,24% pada
23
Aphis crassivora; 1,0% pada A. glycine; 1,82% pada A. maidis; dan 4,78% pada A. gossypii (Wagiyana et al. 1999). Campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa yang diuji di laboratorium menunjukkan mortalitas larva yang tinggi sebesar 100% pada konsentrasi 0,05%. Keefektifan campuran ekstrak ini ternyata juga memberikan hasil mortalitas yang tinggi terhadap C. pavonana pada pengujian semi lapangan. Kemampuan serangga untuk membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa yang berbeda sekaligus lebih sulit daripada terhadap senyawa insektisida tunggal. Serangga tidak mudah menjadi resisten terhadap ekstrak tumbuhan dengan beberapa bahan aktif. Banyak senyawa tanaman yang memiliki cara kerja yang berbeda dengan insektisida sintetik yang umum digunakan saat ini, sehingga kemungkinan terjadinya resistensi silang cukup kecil (Prijono 1999a). Selain itu, pencampuran beberapa insektisida botani juga dapat mengefisienkan sediaan bahan tanaman. Prijono (1997) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji A. squamosa dan A. glabra menunjukkan aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana. Kedua jenis biji tersebut juga aktif terhadap larva uji dalam bentuk ekstrak airnya. Pencampuran beberapa senyawa aktif tumbuhan dapat memberikan efek seperti sinergis, antagonis, atau netral. Dalam suatu ekstrak tumbuhan, selain beberapa senyawa aktif utama biasanya juga terdapat banyak senyawa lain yang kurang aktif, namun keberadaanya dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi) (Prijono 1999a). Efek antagonisme pencampuran kedua senyawa yang dapat mengubah sifat toksik salah satu atau kedua senyawa campuran dapat terjadi. Jika ekstrak dicampur dengan senyawa sekunder dari tumbuhan lain kemungkinan dapat menurunkan atau bahkan dapat meniadakan efek toksisitasnya. Dalam melakukan pencampuran ekstrak ini diharapkan tidak mengakibatkan perubahan atau penurunan sifat insektisidanya (antagonisme) bahkan yang diharapkan adalah sinergisme senyawa-senyawa yang dicampur tersebut (Syahputra 2004). Yuswanti (2002) melaporkan bahwa campuran fraksi asetil asetat biji Aglaia harmsiana dan tangkai daun Dysoxilum acutangulum bersifat sinergis terhadap larva instar III P. xylostella pada LC50 tetapi bersifat antagonis pada LC95.
24
Aktivitas campuran ekstrak P. retrofractum dan A.. squamosa yang diperlakukan pada C. pavonana setelah dipaparkan beberapa hari secara umum mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan rendahnya kandungan senyawa aktif yang tertinggal pada sediaan yang terdapat pada daun perlakuan setelah disemprotkan. Rendahnya kandungan senyawa aktif ini dapat dikarenakan akumulasi dari berbagai faktor. Setelah waktu tertentu di lingkungan, kandungan insektisida dapat mengalami perubahan. Senyawa aktif dapat mengalami degradasi dan perpindahan. Degradasi dapat terjadi oleh mikroorganisme, reaksi kimia, dan fotodegradasi, sedangkan perpindahan dapat dipengaruhi oleh faktor fisik seperti aliran air, dan udara (Syahputra 2004). Pada percobaan ini degradasi senyawa aktif oleh mikroflora yang terdapat di permukaan daun brokoli, reaksi kimia senyawa aktif, serta fotodekomposisi oleh sinar ultraviolet dapat terjadi. Insektisida asal tumbuhan mudah terurai oleh cahaya matahari sehingga memiliki persistensi yang singkat di lapangan. Persistensi merupakan jangka waktu senyawa aktif insektisida masih mempunyai aktivitas biologi. Persistensi insektisida dapat dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari dan curah hujan. Radiasi sinar matahari terutama sinar ultraviolet memiliki kontribusi yang nyata dalam mempengaruhi persistensi insektisida di alam (Matsumura 1985). Selama selang 10 hari penelitian dilakukan, intensitas penyinaran matahari tercatat pada kisaran 215-316 CAL dengan rata-rata selama 10 hari pemaparan sebesar 259,6 CAL. Setelah dipaparkan 1 hari, aktivitas campuran ekstrak PA menurun kecuali PA 3:7 0,1% yang tetap konstan hingga hari ke 10 pemaparan yang memberikan mortalitas tinggi hingga di atas 97%. Hasil ini menunjukkan bahwa campuran ekstrak PA 3:7 0,1% tidak hanya efektif dalam memberikan mortalitas yang tinggi terhadap C. pavonana tetapi juga memberikan ketahanan yang cukup lama di lapang. Sedangkan faktor curah hujan yang memberikan pengaruh persistensi insektisida diabaikan dalam penelitian ini, karena tanaman yang dipaparkan dipindahkan ke tempat terlindung apabila turun hujan untuk mengetahui ketahanan insektisida selama pemaparan 10 hari di bawah sinar cahaya matahari. Persistensi insektisida botani yang singkat dari segi ekonomi tidak menguntungkan bagi petani karena membutuhkan aplikasi yang berulang-ulang,
25
tetapi jika teknik aplikasinya dipadukan dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) seperti pengamatan yang berjadwal maka insektisida botani dapat meningkatkan mutu produk pertanian karena terbebas dari residu pestisida. Sifat insektisida botani yang memiliki persistensi singkat akan memungkinkan aplikasi beberapa saat menjelang panen (Ginting 2003). Berkaitan dengan keamanan sediaan ekstrak tumbuhan yang digunakan dalam pengaplikasian insektisida botani, adanya gejala fitotoksisitas yang terjadi pada tanaman perlu diperhatikan. Zat-zat nonpolar yang berwujud minyak seringkali bersifat fitotoksik dan hormon pertumbuhan tanaman yang terlarut dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Prijono 1999a). Sediaan ekstrak terdiri dari banyak gabungan senyawa. Selain senyawa aktif, pada ekstrak kasar juga mengandung komponen-komponen lain. Ekstrak metanol dapat terdiri dari komponen polar hingga komponen nonpolar. Komponen nonpolar yang berwujud minyak atau cairan pekat dapat merusak lapisan lilin kutikula daun atau membran sel daun tanaman. Sementara dalam keadaan murni, banyak senyawa aktif yang berbentuk padatan dan tidak fitotoksik pada konsentrasi yang aktif terhadap hama sasaran (Prijono 1999a). Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan dalam penyediaan ekstrak kasar, semakin tinggi pula kecendrungan timbulnya fitotoksik pada tanaman. Prijono (1999a) melaporkan bahwa ekstrak kasar cenderung fitotoksik pada konsentrasi 0,5%. Gejala fitotoksik pada tanaman selain dapat dilihat dari sifat sediaan insektisida juga dapat dilihat dari sisi tanaman. Syahputra (2004) melaporkan bahwa perlakuan sediaan A. odorata yang disemprotkan pada tanaman sukulen seperti tanaman caisin dapat menyebabkan gejala fitotoksik. Perlakuan yang sama yang diaplikasikan pada tomat, kedelai, dan jagung yang memiliki trikoma daun yang rapat dapat menyebabkan gejala fitotoksik, sedangkan pada tanaman mentimun yang sama-sama memiliki trikoma daun yang rapat tidak menunjukkan gejala fitotoksik. Keadaan ini mengarahkan pendugaan penyebab fitotoksik kemungkinan bukan disebabkan oleh struktur morfologi daun tanaman melainkan kemungkinan dapat dijelaskan dengan sifat-sifat sel atau ekstraseluler jaringan daun yang lebih mendasar yang dikaitkan dengan interaksinya dengan senyawa penyebab fitotoksik. Pada permukaan daun tanaman brokoli, permukaan daun
26
ditutupi oleh lapisan lilin (wax) (Dono 2004). Jenis senyawa penyusun lapisan lilin yang terdapat pada permukaan daun bervariasi. Senyawa-senyawa tersebut meliputi karbohidrat rantai panjang, alkilester, alkohol primer, dan asam-asam lemak. Pada permukaan daun tanaman kubis ditemukan lipid dan glukobrassin (glukosinolat) (Eigenbrode 1995; Renwick et al. 1992; van Loon et al. 1992 dalam Syahputra 2004). Mengingat potensi insektisidanya, teknologi untuk mengurangi atau meniadakan pengaruh fitotoksik perlu dikembangkan. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan sifat antagonisme dari suatu pencampuran dua jenis senyawa yang berbeda. Pencampuran ini diharapkan dapat mengubah sifat toksik senyawa campuran tanpa mengakibatkan perubahan/penurunan sifat insektisidanya (antagonisme) atau bahkan diharapkan campuran tersebut dapat menunjukkan sifat sinergisme
(Syahputra 2004). Ginting (2003)
melaporkan bahwa
pencampuran ekstrak A. odorata dengan ekstrak S. mahogani Jacq. Yang keduanya termasuk ke dalam Meliaceae pada perbandingan 7:3 dapat menurunkan fitotoksik ekstrak A. odorata terhadap daun brokoli.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Campuran ekstrak Piper retrofractum & Annona squamosa (PA) yang diuji pada pengujian semi lapangan menunjukkan efektivitas insektisida yang tinggi terhadap mortalitas Crocidolomia pavonana hinggga konsentrasi 0.05 %. Persistensi campuran ekstrak ini cukup singkat kecuali pada perlakuan ekstrak PA 3:7 0.1% yang masih memberikan efektivitas insektisida yang tinggi hingga pemaparan hari ke-10. Pada semua perlakukan ekstrak tidak menunjukkan adanya gejala fitotoksisitas.
Saran Penelitian lebih lanjut terhadap aspek biologi serangga hama (selain kematian), aplikasi di lapangan dan pengaruhnya terhadap musuh alami C. pavonana perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia. 2004. Efektifitas ekstrak campuran biji Swietenia mahogani Jacq. dan ranting Aglaia odorata Lour. (Meliaceae) terhadap serangga hama dan pengaruhnya terhadap musuh alami di pertanaman kubis [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Basana IR, Prijono D. 1994. Insecticidal activity of aqueous seed extracts of four species of Annona (Annonaceae) againts cabbage head caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller. (Lepidoptera: Pyralidae). Bul HPT 7(2): 50-60. Dadang. 1999. Sumber insektisida alami. Di dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 9-13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian Bogor. hal 8-20. Dadang, Ohsawa K. 2000. Penghambatan aktivitas makan Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) yang diperlakukan ekstrak biji Swietenia mahogani Jacq. (Meliaceae). Bul HPT 12(1): 27-32. Dadang. 2004. Beberapa ekstrak tumbuhan sebagai agens pengendalian serangga hama pada tanaman kubis-kubisan. Prosiding Simposium Nasional. Pertanian Organik: Keterpaduan Teknik Pertanian Nasional dan Inovatif; Bogor, 30 November 2004. Bogor: The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences (ISAAS) bekerjasama dengan: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Asia Network of Organic Recycling (ANOR). hlm 34-39. Ditlinhorti. 2005. OPT kubis-Ulat krop (large cabbage heart caterpillar): Crocidolomia binotalis Zell. http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/opt/kubis/ulat_krop.htm. [24 November 2005] Dono D. 2004. Aktivitas insektisida rokaglamida dan penghambatan respons imunitas larva Crocidolomia pavonana (Fabricus) terhadap parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ginting R. 2003. Persistensi campuran empat ekstrak tanaman terhadap mortalitas dan perkembangan Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
29
Gusfi V. 2002. Persepsi petani sayuran di Cipanas terhadap insektisida sintetis dan botani [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Badan Litbang Kehutanan Jakarta, penerjemah. Jakarta: Yayasan Sarana Warna Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten van Indonesie. Hopp DC, Zeng L, McLaughlin JL. 1996. Squamotacin: An annonaceous acetogenin with cytotoxic selectivity for the human prostate tumor cell line (PC-3). Journal of Natural Products 59(2): 97-99. http://www.soton.ac.uk/~icuc/an-sq-bib/an-sq-a2.htm#ref416. [12 Januari 2006] Iptek.
2005. Tanaman Obat Indonesia. [21 http://www.iptek.net.id/ind/cakra_obat/tanamanobat.php?id=108. November 2005]
Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Kardinan A. 2001. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Katzer G. 2004. Long Pepper (Piper longum L. and Piper retrofractum Vahl). http://www.unigraz.at/~katzer/engl/generic_frame.html?Pipe_lon.html. [12 Januari 2006]. Londershausen M, Leicht W, Lieb F, Moeschler H, Weiss H. 1991. Annoninsmode of action of acetogenins isolated from Annona squamosa. Pesticide Science 33(4): 443-445. http://www.soton.ac.uk/~icuc/an-sq-bib/an-sqa2.htm#ref416. [12 Januari 2006]. Matsumura F. 1985. Toxicology of Insecticides, 2nd ed. Plenum Press, New York. Metcalf RL. 1986. The ecology of insecticides and the chemical control of insects. Di dalam: Kogan M, editor. Ecological Theory and Integrated Pest Management Practice. New York: John Wiley & Son. hal 251-294. Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) and its parasites from Cipanas area, West Java [a report of a training course research]. Bogor: SEAMEO Regional Centre for Tropical Biology.
30
Peterson T. 2005. Pesticides: Regulating Pesticides. http://www.epa.gov/pesticidess/biopesticides/ingredients/factsheets/factshe ets 043501.htm. [12 Januari 2006]. Pracaya. 2001. Kol alias Kubis. Jakarta: Penebar Swadaya. Prakash A, Rao J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: Lewis Publishers. Prijono D, Gani MS, Syahputra E. 1995. Screening of insecticidal activity of Annonaceous, Fabaceous, and Meliaceous seed extracts against cabbage head caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller. (Lepidoptera: Pyralidae) [short communication]. Bul HPT 8(2): 74-77. Prijono D, Gani MS, Syahputra E. 1997. Insecticidal activity of Annonaceous seed extracts against Crocidolomia binotalis Zeller. (Lepidoptera: Pyralidae). Bul HPT 9(1): 1-6. Prijono D. 1999a. Prospek dan strategi pemanfaatan insektisida alami dalam PHT. Di dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 913 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian Bogor. hal 1-7. Prijono D. 1999b. Pemanfaatan insektisida alami di tingkat petani. Di dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 9-13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian Bogor. hal 82-86. Prijono D, Sudiar JI, Irmayetri, Suhaendah E. 2004. Insecticidal Effectiveness of Extracts of Forty Three Species of Tropical Plants against the Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia pavonana (F.) Symposium held by International Association of Plant Protection Sciences. Hawaii. Rauf A, Prijono D, Dadang, Winasa IW, Russel DA. 2005. Survey on Pesticide Use by Cabbage Farmers in West Java, Indonesia. Report of Research Collaboration between Dept. of Plant Protection-IPB with LaToobe University, Australia. SAS Institute. 1990. SAS/STAT User’s Guide, Version 6, Vol.2. 4th ed. Cary (North carolina): SAS Institute.
31
Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1992. Biology and Control of Crocidolomia binotalis in Indonesia. Di dalam: Talekar NS, editor. Diamondback Moth and Other Crucifer Pests. Proceedings of the Second International Workshop; Tainan, 10-14 December 1990. Tainan, Taiwan: Asian Vegetable Research and Development Centre. hlm 81-87. Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama kubis dan pengendaliannya. Di dalam: Permadi AH, Sastrosiswojo S, penyunting. Kubis. Bandung: Balithor Lembang. hlm 39-50. Sastrosiswojo S. 1996. Sistem Pengendalian hama terpadu dalam menunjang agribisnis sayuran. Di dalam: Duriat AS, Basuki RS, Sinaga RM, Hilman T, Abidin Z, penyunting. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran; Lembang, 24 Oktober 1995. Lembang, Bandung: Balai Scott IM, Gagnon N, Lesage L, Philogene BJR, Arnason JT. 2005. Efficacy of botanical insecticides from Piper species (Piperaceae) extracts for control of European chafer (Coleoptera: Scarabaeidae). J Econ Entomol 98(3): 845-855.Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 69-83. Secoy DM, Smith AE. 1983. Use of plants in control of agricultural and domestic pests. Econ Bot 37:28-57. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan Biometrik. Ed ke-2. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedure of Statistics. Syahputra E. 2004. Bioaktivitas Calophyllum soulattri Burm. f. (Clusiaceae) sebagai alternatif insektisida botani baru [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syukur C, Hernani. 2001. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Uhan TS. 1993. Kehilangan hasil panen kubis karena ulat krop kubis Crocidolomia binotalis Zeller. (Lepidoptera: Pyralidae) dan cara pengendaliannya. Bul penel Hort 3(2): 22-26. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wachjadi M, Herminanto, Pramono E. 2001. Residu pestisida pada beberapa macam sayuran di Kabupaten Banyumas. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah. Bogor, 22-24 Agustus 2001. Bogor: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 251-253.
32
Wagiyana, Soekarto, Arlinda A. 1999. Respon beberapa spesies kutu daun terhadap perlakuan ekstrak biji srikaya (Annona squamosa). Di dalam: Soetopo D, Supriadi, Djazuli M, Hadipoentyanti E, Yuliani S, Prijono D, penyuting. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor, 9-10 November 1999. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. hlm 77-82. Yunia N. 2006. Aktivitas Insektisida campuran ekstrak empat jenis tumbuhan terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yuswanti L. 2002. Pengaruh campuran ekstrak Aglaia harmsiana Perkins dan Dysoxylum acutangulum Miq. (Meliaceae) terhadap mortalitas dan oviposisi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Zeng et al. 1996. Recent advances in annonaceous acetogenins. Plenum Press, New york 29: 249-310.
33
LAMPIRAN
34
Lampiran 1 Rata-rata kematian C. pavonana yang diperlakukan ekstrak campuran P. retrofractum & A squamosa (PA) yang dipaparkan 0 hari Mortalitas larva (%) sd1) ± hari ke-n Konsentrasi Perlakuan (%) hari ke-1 hari ke-2 hari ke-32) PA 1:1 PA 3:7 Decis 2.5 EC
0,05 0,1 0,05 0,1 0,04
20,0±24,4 ab 37,5±12,5 a 35,0±19,1 a 42,5±18,9 a 5,0±5,7 b
58,9±30,1 b 94,8±5,9 a 94,8±5,9 a 100,0±0,0 a 5,0±5,7 c
89,7±0,0 b 100,0±0,0 a 100,0±0,0 a 100,0±0,0 a 5,1±5,1 c
1)
sd: standar deviasi; 2)Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 0,05). Rata-rata kontrol sebesar 2,5%.
Lampiran 2 Rata-rata kematian C. pavonana yang diperlakukan ekstrak campuran P. retrofractum & A squamosa (PA) yang dipaparkan 1 hari Mortalitas larva (%) sd1) ± hari ke-n Konsentrasi Perlakuan (%) hari ke-1 hari ke-2 hari ke-32) PA 1:1 PA 3:7 Decis 2.5 EC
0,05 0,1 0,05 0,1 0,04
0,0±0,0 c 12,5±5,0 bc 20,0±14,1 b 90,0±11,5 a 10,0±14,1bc
33,3±0,0 c 58,9±8,3 b 66,6±21,1 b 100,0±0,0 a 20,5±9,8 c
47,3±14,8 c 71,0±15,7 b 78,95±17,1 b 100,0±0,0 a 18,4±10,0 d
1)
sd: standar deviasi; 2)Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 0,05). Rata-rata kontrol sebesar 5%.
Lampiran 3 Rata-rata kematian C. pavonana yang diperlakukan ekstrak campuran P. retrofractum & A squamosa (PA) yang dipaparkan 2 hari Mortalitas larva (%) sd1) ± hari ke-n Konsentrasi Perlakuan (%) hari ke-1 hari ke-2 hari ke-32) PA 1:1 PA 3:7 Decis 2.5 EC 1)
0,05 0,1 0,05 0,1 0,04
0,0±0,0 b 42,5±20,6 a 0,0±0,0 b 47,5±15,0 a 2,5±5,0 b
26,3±25,7 b 100,0±0,0 a 2,6±10,0 c 100,0±0,0 a 2,6±10,0 c
57,1±17,1 b 100,0±0,0 a 42,8±20,8 b 100,0±0,0 a 2,8±6,6 c
sd: standar deviasi; 2)Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 0,05). Rata-rata kontrol sebesar 12,5%.
35
Lampiran 4 Rata-rata kematian C. pavonana yang diperlakukan ekstrak campuran P. retrofractum & A squamosa (PA) yang dipaparkan 3 hari Mortalitas larva (%) ± sd1) hari ke-n Konsentrasi Perlakuan (%) hari ke-1 hari ke-2 hari ke-32) PA 1:1 PA 3:7 Decis 2.5 EC
0,05 0,1 0,05 0,1 0,04
0,0±0,0 b 25,0±26,4 ab 5,0±5,7 b 30,0±21,6 a 0,0±0,0 b
2,5±5,9 c 76,9±26,9 b 23,0±17,7 c 100,0±0,0 a 2,5±5,9 c
34,2±21,7 b 97,3±5,2 a 36,8±17,1 b 100,0±0,0 a 5,2±12,1 c
1)
sd: standar deviasi; 2)Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 0,05). Rata-rata kontrol sebesar 5%.
Lampiran 5 Rata-rata kematian C. pavonana yang diperlakukan ekstrak campuran P. retrofractum & A squamosa (PA) yang dipaparkan 5 hari Perlakuan Konsentrasi Mortalitas larva (%) ± sd1) hari ke-n (%) hari ke-1 hari ke-2 hari ke-32) PA 1:1 0,05 2,5±5,0 b 5,5±11,1 c 11,4±5,7 cd 0,1 2,5±5,0 b 33,3±20,2 b 57,1±23,5 b PA 3:7 0,05 2,5±5,0 b 16,6±26,4 bc 42,8±38,4 bc 0,1 62,5±29,8 a 94,4±11,1 a 100,0±0,0 a Decis 2.5 EC 0,04 2,5±5,0 b 2,7±10,6 c 0,0±10,9 d 1)
sd: standar deviasi; 2)Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 0,05). Rata-rata kontrol sebesar 12,5%.
Lampiran 6 Rata-rata kematian C. pavonana yang diperlakukan ekstrak campuran P. retrofractum & A squamosa (PA) yang dipaparkan 7 hari Mortalitas larva (%) ± sd1) hari ke-n Konsentrasi Perlakuan (%) hari ke-1 hari ke-2 hari ke-32) PA 1:1 PA 3:7 Decis 2.5 EC 1)
0,05 0,1 0,05 0,1 0,04
2,5±5, b 5,0±5,7 ab 0,0±0,0 b 22,5±20,6 a 7,5±15,0 ab
10,2±9,8 c 33,3±17,7 bc 46,1±30,6 b 94,8±5,9 a 15,3±21,1 c
25,0±16,6 b 69,4±31,9 a 61,1±32,0 a 97,2±5,5 a 11,1±20,2 b
sd: standar deviasi; 2)Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 0,05). Rata-rata kontrol sebesar 12,5%.
36
Lampiran 7 Rata-rata kematian C. pavonana yang diperlakukan ekstrak campuran P. retrofractum & A squamosa (PA) yang dipaparkan 10 hari Mortalitas larva (%) ± sd1) hari ke-n Konsentrasi Perlakuan (%) hari ke-1 hari ke-2 hari ke-32) 0,05 0,1 0,05 0,1 0,04
PA 1:1 PA 3:7 Decis 2.5 EC
0,0±0,0 c 15,0±10,0 b 2,5±5,0 bc 37,5±15,0 a 0,0±0,0 c
2,5±5,9 b 84,6±24,4 a 7,6±8,3 b 76,9±21,1 a 0,0±0,0 b
5,1±9,8 c 94,8±5,9 a 30,7±26,9 b 97,4±5,1 a 0,0±0,0 c
1)
sd: standar deviasi; 2)Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 0,05). Rata-rata kontrol sebesar 12,5%.
Mortalitas larva (%)
25 dipaparkan 0 hari dipaparkan 1 hari
20
dipaparkan 2 hari
15
dipaparkan 3 hari 10
dipaparkan 5 hari dipaparkan 7 hari
5
dipaparkan 10 hari 0 1
2
3
Hari setelah perlakuan
Lampiran 8 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan insektisida Decis 2,5 EC 0,04% pada pemaparan 0-10 hari.
37
Mortalitas larva (%)
100
dipaparkan 0 hari dipaparkan 1 hari dipaparkan 2 hari dipaparkan 3 hari dipaparkan 5 hari dipaparkan 7 hari dipaparkan 10 hari
80 60 40 20 0 1
2
3
Hari setelah perlakuan
Mortalitas larva (%)
Lampiran 9 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan aktivitas campuran ekstrak P. retrofactum & A. squamosa 1:1 0,05% pada pemaparan 0-10 hari.
100
dipaparkan 0 hari
80
dipaparkan 1 hari dipaparkan 2 hari
60
dipaparkan 3 hari dipaparkan 5 hari
40
dipaparkan 7 hari
20
dipaparkan 10 hari 0 1
2
3
Hari setelah perlakuan
Lampiran 10 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan aktivitas campuran ekstrak P. retrofactum & A. squamosa 1:1 0,1% pada pemaparan 0-10 hari.
38
dipaparkan 0 hari
80
dipaparkan 1 hari
Mortalitas larva (%)
100
dipaparkan 2 hari
60
dipaparkan 3 hari 40
dipaparkan 5 hari
20
dipaparkan 7 hari dipaparkan 10 hari
0 1
2
3
Hari setelah perlakuan
Lampiran 11 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan aktivitas campuran ekstrak P. retrofactum & A. squamosa 3:7 0,05% pada pemaparan 0-10 hari.
Mortalitas larva (%)
100
dipaparkan 0 hari dipaparkan 1 hari
80 60
dipaparkan 2 hari dipaparkan 3 hari
40
dipaparkan 5 hari dipaparkan 7 hari
20
dipaparkan 10 hari
0 1
2 3 Hari setelah perlakuan
Lampiran 12 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan aktivitas campuran ekstrak P. retrofactum & A. squamosa 3:7 0,1% pada pemaparan 0-10 hari.