1
KESUBJEKAN DALAM BAHASA LAMAHOLOT DIALEK NUSA TADON Oleh Ida Bagus Putra Yadnya
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puluhan bahasa daerah yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur kini mulai mendapatkan perhatian dari para linguis. Salah satu di antaranya ialah bahasa Lamaholot dialek Nusa Tadon (selanjutnya disingkat BLDNT) yang menurut keterangan dari hasil penelitian Mandaru,dkk. (1997:1) mempunyai penutur ± 230an ribu jiwa (bdk. Maryanto, 1984). BLDNT
termasuk
kelompok
bahasa
Lamaholot
Barat
berdasarkan
pengelompokkan yang dilakukan oleh Keraf (1991:213). Penuturnya tersebar di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur (kecuali Desa Wureh yang penduduknya menggunakan bahasa Melayu Larantuka), dan di Desa Lamakera, salah satu desa di pesisir timur Pulau Solor. Rincian sebaran penutur BLDNT mencakup 7 wilayah yakni: wilayah Botun, Lamakera, Watan, Waiwadan, Horowura, Dulhĩ, dan Kiwangona. Ketujuh wilayah tersebut terdiri dari 72 desa, yakni: 1 desa di Solor bagian timur, 21 desa di Adonara Barat, dan 50 desa di Adonara Timur. Kajian terhadap bahasa Lamaholot secara umum pernah dilakukan oleh sejumlah peneliti, antara lain: Fernandez (1977), Keraf (1978), Sanga (1982), Mukin (1995), Sabon Ola (1996, 1997, 1999), Mandaru, dkk. (1997), Japa (2000), dan Arka (2000b, 2000c). Dari sejumlah penelitian tersebut, hanya beberapa penelitian yang membahas secara khusus tentang aspek gramatika. Kajian mengenai kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT
merupakan
bagian dari kajian gramatika dari perspektif tipologis. Dari perspektif ini, BLDNT dikategorikan sebagai bahasa yang bertipologi tata urut SVO dan SOV (Keraf, 1990:157). Japa (2000:147) mengatakan bahwa SOV merupakan alternasi dari tata urut SVO; artinya struktur dasar (basic structure) klausa BLDNT adalah SVO.
2
Subjek dalam BLDNT bisa bersifat opsional. Kehadirannya bisa digantikan oleh kopi pronomina berupa klitik. Hal ini disebabkan oleh adanya persesuaian/ konkordansi (concord) antara subjek dengan verbanya. Tipe demikian sangat menarik untuk dikaji kesubjekannya. Kajian perihal kesubjekan dalam BLDNT ini di samping didukung oleh data tipologis berupa tata urut SVO dan alternasi SOV sebagaimana disebutkan terdahulu, juga didukung oleh ciri tipologis lainnya, yakni: tidak memiliki bentuk pasif, bertipe head marking, dan tidak mengenal kasus.
1.2 Masalah Kajian terhadap kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT didasarkan pada masalah-masalah, sebagai berikut: “Sejauhmanakah properti utama subjek dalam BLDNT berdasarkan ciri gramatikal dan semantiknya?” Berdasarkan prominensi, subjek menduduki fungsi gramatikal inti (core function) yang merupakan partisipasi sentral dari hal, peristiwa atau tindakan yang dinyatakan pada verbanya. Karena merupakan inti, maka pada hierarki fungsi argumen, subjek menduduki fungsi tertinggi. Meskipun demikian, berdasarkan relasi gramatikal, subjek dapat merupakan konstituen wajib, dapat pula merupakan konstituen opsional. Hal inilah yang menjadi fokus kajian terhadap kesubjekan dalam BLDNT.
2. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Telah disebutkan terdahulu bahwa sudah ada sejumlah penelitian terhadap bahasa Lamaholot. Akan tetapi, hanya 3 penelitian yang mengkaji secara khusus aspek sintaksis BLDNT. Ketiga penelitian dimaksud, yakni: (1) penelitian yang dilakukan oleh Lein (1995); (2) Mandaru, dkk. (1997); dan (3) oleh Japa (2000). Penelitian Lein (1995), kendatipun membahas sintaksis BLDNT, namun penelitiannya menggunakan pendekatan kesejarahan (historical). Tambahan pula bahwa hasil analisisnya diarahkan pada kepentingan pengajaran Bahasa Inggris. Karena itu, kajian yang dilakukan Lein untuk tataran sintaksis BLDNT tersebut belum tuntas dan saksama.
3
Hasil penelitian yang dilakukan Mandaru,dkk. (1997) memberikan deskripsi umum mengenai struktur BLDNT yang meliputi tiga tataran kebahasaan, yakni: fonologi, morfologi, dan sintaksis. Kajian terhadap tataran sintaksis mencakup: frase, klausa, dan struktur, tipe dan pola kalimat. Pada pembahasan mengenai tataran sintaksis ini, tim peneliti hanya memberikan deskripsi yang sangat umum, bahkan hanya menyerupai korpus dan tabulasi data. Di samping itu, pendekatan yang digunakan masih bersifat struktural-tradisional. Kendatipun demikian, hasil penellitian ini sangat bermanfaat sebagai informasi awal perihal sintaksis BLDNT, sambil diupayakan pemanfaatan pendekatan lain yang lebih mutakhir dan mampu mengungkapkan karakteristik sintaksis BLDNT. Penelitian terhadap sintaksi BLDNT yang memanfaatkan pendekatan yang relatif baru telah dilakukan oleh Japa (2000). Penelitian ini difokuskan pada properti argumen dan struktur kausatif. Walaupun penelitian Japa ini telah memerikan argumen inti dalam BLDNT, namun pengungkapannya masih terbatas pada ciri-ciri gramatikal (posisi kanonis, perelatifan, potensi disisipi adverbia, dan kemungkina dikontrol) tanpa memperhitungkan ciri semantik. Karena BLDNT memiliki struktur alternasi SOV, maka perlu dipertanyakan, apakah hanya aktor yang boleh menduduki fungsi subjek. Japa (2000) mengatakan bahwa bahwa SUBJ dalam BLDNT merupakan argumen inti satu-satunya dalam klausa intransitif. Diberikannya contoh klausa Naê hogo ‘dia bangun’ sebagai klausa intransitif yang tidak mungkin mengalami pelesapan. Contoh ini memerlukan pencermatan kembali perihal kesubjekan dalam klausa BLDNT.
2.2 Konsep Dalam mengkaji kesubjekan dalam BLDNT diperlukan beberapa konsep acuan. Konsep-konsep dimaksud, yakni: struktur argumen dan properti subjek. Argumen adalah unsur sintaksis yangdiperlukan oleh verba (Matthews, 1997:24—25). Argumen diwujukan melalui hubungan gramatikal berupa: SUBJ(ek), OL (objek langsung), dll., atau melalui peran semantik berupa: agent (agt), patient (pt), dll. Trask, 1993:20). Hubungan gramatikal maupun peran semantik
4
dimaksud ditentukan oleh karakteristik verba sebagai inti (head) klausa, yang mencakup, baik ciri gramatikal maupun ciri semantisnya. Hubungan gramatikal maupun peran semantik berkaitan dengan struktur argumen. Struktur argumen (argument structure: a-str) menyiratkan jumlah dan tipe argumen yang diperlukan oleh verba. Struktur argumen direpresentasikan sebagai berikut: a-str
‘pukul’ < agt,pt >. Representasi ini dibaca sebagai berikut: verba
pukul merupakan verba 2 argumen, dan kedua-duanya merupakan argumen inti. Contoh ini menunjukkan bahwa struktur argumen, seperti: agt, pt, dll. ditentukan oleh verba (lihat: Arka, 2000b:9; Trask, 1993:278—279; Matthews, 1997:334). Demikian halnya dengan fungsi gramatikal, seperti SUBJ, OBJ, dan OBL pun senantiasa dikaitkan dengan verba (Blake, 1994:88). Argumen dapat dikelompokkan berdasarkan keintiannya, yang mencakup argumen inti dan argumen noninti. Hierarkinya dapat disusun seperti berikut ini (Bresnan, 1998:122):44 inti (core) SUBJ > OBJ > OBJθ
noninti (noncore) OBLθ > COMPL
Di samping fungsi-fungsi argumen di atas, ada pula fungsi nonargumen yang disebut sebagai fungsi wacana (discourse functions). Fungsi wacana mencakup: topik, fokus, dan ajung (lihat Bresnan, 1998:123—124). Keintian argumen sebagaimana disebutkan di atas akan dijadikan dasar pijak dalam mengkaji ulang kesubjekan dalam BLDNT (bdk. Japa, 2000). Sedangkan fungsi-fungsi nonargumen tidak dikaji secara khusus dalam tulisan ini, namun akan disinggung seperlunya dalam memperjelas pembahasan perihal kesubjekan. Subjek (SUBJ) dalam kerangka struktur argumen merupakan salah satu fungsi inti di samping objek (OBJ). Argumen inti (=term) adalah argumen yang secara tradisional disebut sebagai subjek dan objek (lihat Arka, 1998:68). Foley dan Van Valin (1984:108—110) menyebutkan ciri subjek gramatikal atau pivot, sebagai berikut: (1) mempunyai posisi kanonis; (2) dapat direlatifkan; (3) dapat dikontrol;
5
dan (4) dapat dilesapkan pada klausa bawahan jika berkoreferensi dengan subjek klausa atasan. Kedua konsep tersebut di atas akan sangat membantu menjelaskan kesubjekan dalam BLDNT sebagai kaji-banding terhadap penelitian dan kajian yang pernah dilakukan oleh Japa (2000) dan Arka (2001).
2.3 Teori Kajian ini menggunakan teori Tipologi dan teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional, disingkat TLF (Lexical Functional Grammar, disingkat LFG). Kedua teori ini dimanfaatkan secara eklektik (dengan penyesuaian) untuk menjelaskan kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT. Teori Tipologi yang diacu dalam kajian ini adalah tipologi tata urutan kata (word order) sebagaimana dikemukakan oleh Greenberg (dalam Comrie, 1983:31— 32; Malmkjaer and Anderson (eds.), 1991:277), yang disebutnya sebagai tipologi SVO. Tipologi ini mencakup enam kemungkinan tata urutan, yakni: SVO, SOV, VSO, VOS, OVS, dan OSV. Untuk menjelaskan kesubjekan, sangat diperlukan pengidentifikasian tata urutan dasar (basic order). Sebuah bahasa mungkin memiliki lebih dari satu tata urutan. Hal ini memerlukan pengidentifikasian tata urutan, yang mencakup tata urutan dasar dan tata urutan alternasi. Tata urutan dasar maupun tata urutan alternasi berimplikasi pada posisi subjek dan posisi objek sebagai argumen inti menurut pandangan TLF. Kajian ini menggunakan pula teori TLF yang berpandangan bahwa setiap unsur kebahasaan dapat bergabung dengan unsur lain, atau dapat menghadirkan unsur lainnya (Kaplan dan Bresnan, 1995:30—31). Unsur-unsur dimaksud berupa entri leksikal yang berperan dalam membangun konstruksi klausa. Hal itu berarti sebuah unsur yang dalam konstruksi tertentu tak hadir, namun pada konstruksi alternasinya mungkin hadir atau wajib dihadirkan agar sebuah konstruksi menjadi berterima (well-formed). Pemanfaatan teori TLF dalam mengkaji kesubjekan dalam BLDNT lebih khusus mengacu pada pemetaan (mapping) fungsi antarstruktur (bdk. Bresnan dan Moshi, 1988:5). Perubahan konstruksi/ tata urutan sebuah klausa mungkin diikuti
6
oleh perubahan fungsi gramatikal dan fungsi-fungsi argumen di dalam suatu relasi gramatikal. Perubahan tersebut terkait erat dengan pola diatesis dan berbagai pemarkahan, baik pemarkahan pada argumen (dependent marking) maupun pemarkahan pada verbanya (head marking).
3. PEMBAHASAN 3.1 Struktur Klausa BLDNT Berbagai hasil penelitian dan kajian terdahulu membuktikan, baik secara struktural maupun secara tipologis bahwa BLDNT berstruktur klausa SVO dengan alternasi SOV. BLDNT juga memiliki pemarkah pada verba (head marking), seperti halnya bahasa Bali, Tetun, dan Dawan (Arka, 2000:22), di samping cukup berperannya unsur suprasegmental pada tataran klausa. Untuk menjelaskan berbagai konstruksi klausa BLDNT berdasarkan tata urutan kata (word order), berikut ini disajikan contoh klausa dengan sejumlah tipe yang bervariasi. (1) Kopong hogo-râ. NAMA (mask) bangun-3TG
‘Kopong bangun’ (2) Opu-k gute labu. paman-POSS ambil baju
‘Pamanku membeli baju’ (3) Naê g∂nato k∂wat∂k neĩ goê. 3TG kirim
sarung
beri 1TG
‘Dia mengirim sarung untuk saya’ Dari segi tata urutan, klausa (1) bertata urutan (berpola) SV, klausa (2) berpola SVO, klausa (3) berpola SVO1O2. Ketiga contoh klausa di atas dapat memberikan gambaran awal mengenai struktur dasar klausa BLDNT dengan berbagai kemungkinan variasi berdasarkan tipologi versi Greenberg (lihat Comrie, 1983:31— 32). Dikaji dari sisi ketransitifan verba, klausa (1) merupakan klausa intransitif, klausa (2) merupakan klausa transitif (monotransitif), dan klausa (3) merupakan klausa dwitransitif/ bitransitif. Dalam BLDNT, klausa intransitif bertatarutan SV
7
secara ketat, artinya tidak dikenal tata urutan VSK. Sedangkan klausa transitif, baik monotransitif maupun bitransitif mempunyai tata urutan alternasi di samping struktur dasar tersebut di atas. Perubahan tata urutan dasar klausa berupa tata urutan alternasi terjadi dengan konsekuensi hadirnya pemarkah (marker). Perhatikan contoh klausa (2) dan klausa (3) ditulis ulang sebagai klausa (4) dan (5) berikut. (4) Labu opu-k gute-ro. baju paman-POSS 1TG ambil-3TG
‘Baju diambil paman’ (5) K∂wat∂k naê g∂nato neĩ goê. Baju 3TG kirim beri 1TG
‘Baju dia kirim untuk saya’ Markah –ro pada klausa (4) merujuk pada labu ‘baju’, dan bukan sebagai persesuaian antara verba dengan pronomina persona seperti terdapat pada klausa intransitif. Sedangkan pada klausa (5) tidak terdapat markah. Markah klausa (5) akan muncul jika konstruksi (5) tersebut diubah dengan melesapkan O2 seperti klausa (6) berikut ini. (6) Labu naê g∂nato-k. Baju 3TG kirim-1TG
‘Baju dia kirimi (saya)’ Uraian mengenai pemarkahan ini tidak akan tuntas jika dikaji dari sisi tata urutan. Ketidakjelasan tersebut terkait dengan berbagai terminologi, seperti misalnya OBL(-ik), yang menurut TLF sangat erat kaitannya dengan struktur argumen dan kesubjekan. Perihal pemarkahan dalam BLDNT dapat dikaji secara lebih saksama jika dianalisis berkaitan dengan keergatifan dan diatesis. Kedua hal ini telah dibahas oleh Japa (2000) dan Sabon Ola (2001).Tata urutan klausa BLDNT yang secara singkat diuraikan terdahulu merupakan dasar untuk mengkaji lebih lanjut struktur argumen dan kesubjekan dalam BLDNT.
8
2.4 Struktur Argumen dalam BLDNT Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, struktur argumen menyatakan jumlah dan jenis argumen yang diperlukan oleh verba. Dalam BLDNT terdapat 3 kelompok verba, yakni: verba 1 argumen, verba 2 argumen, dan verba 3 argumen. Masingmasingnya menghasilkan klausa intransitif, transitif, dan dwitransitif. Struktur argumen klausa BLDNT mencakup sejumlah kemungkinan, sebagai berikut: (a)
, misalnya klausa dengan verba seperti: goka ‘jatuh’, b∂rara ‘sakit’; (b) , misalnya klausa dengan verba, seperti: pana ‘berjalan’, deî ‘berdiri’; (c) , misalnya klausa dengan verba, seperti: pleí
‘memukul’,
betî
‘menendang’; (d) , misalnya klausa dengan verba, seperti: hul∂
‘melihat’, pehẽ
‘memegang’ (th = theme); (e) atau , misalnya klausa dengan verba, seperti: hope ‘membeli’, g∂nato ‘mengirim’ (rec = recipient). Contoh klausa untuk masing-masing tipe struktur argumen tersebut di atas dipaparkan secara berurutan berikut ini. (7a) Kame goka-r∂m.
1JM.ink. jatuh-1JM.ink.
(ink. = inklusif)
‘Kami jatuh’ (7b) Pati deî-nâ de wato lolon.
NAMA (mask) berdiri-3TG PREP batu atas (mask = maskulinun)
‘Pati berdiri di atas batu’ (7c) Ari-k pleí aho anẫ.
Adik-POSS pukul anjing anak
‘Adik memukul anak anjing’ (7d) Somi pehẽ gô lima-k.
NAMA(fem) pegang 1TG. tangan-POSS (fem = feminim)
‘Uba memegang tanganku’ (7e) Bine-ka g∂nato raê doi.
saudari-POSS kirim 3JM uang
‘Saudari (mereka) mengirimi mereka uang’
9
Klausa (7a) dan (7b) adalah klausa intransitif yang hanya mempunyai 1 argumen inti. Argumen satu-satunya (sole argument) pada kedua klausa tersebut menduduki fungsi SUBJ. Klausa (7c) dan (7d) merupakan klausa transitif yang mempunyai 2 argumen, masing-masing sebagai SUBJ dan OBJ. Sedangkan klausa (7e) merupakan klausa dwitransitif. Klausa ini memiliki 3 argumen, yakni: SUBJ, OBJ, dan OBJθ. Klausa (7e) mempunyai tata urutan alternasi yang memungkinkan perubahan fungsi OBJθ. Klausa (7e) tersebut ditulis ulang alternasinya seperti klausa (8) berikut ini. (8) Bine-ka g∂nato doi neĩ raê. Saudari-POSS uang PREP 3JM
‘Saudari (mereka) mengirim uang untuk mereka’ OBJθ pada klausa (7e) pada klausa (8) berfungsi sebagai OBJ, sementara OBJ-nya berubah fungsi sebagai OBL(-ik). Struktur argumen BLDNT sebagaimana dipaparkan di atas mempunyai struktur fungsional (functional structure: f-str), sebagai berikut: (1) Klausa 1 argumen (contoh klausa (7b)) a-str: ‘deî’
<-> 1
f-str: SUBJ
‘Pati’
PRED
‘goka’ <SUBJ>
10
(2) Klausa 2 argumen (contoh klausa (8)) a-str: ‘pleí’ < -,- > 1,2
f-str: SUBJ PRED
PRED ‘pleí’
OBJ
‘Somi’
< SUBJ,OBJ > PRED
‘labu’
ADJUNCT PRED ‘wu’ữ’ (3) Klausa 3 argumen (Contoh klausa (7e)) a-str: ‘g∂nato’ < -,-,- > 123
f-str:
SUBJ
PRED
‘bineka’
PRED
‘g∂nato’ < SUBJ,OBJ,OBL>
OBJ
PRED
‘doi’
OBL
PRED
‘raê’
Struktur fungsional klausa (8) tersebut merupakan alternasi dari klausa (7e) dengan rumus struktur fungsionalnya, sebagai berikut: f-str:
SUBJ
PRED
PRED
‘g∂nato’
‘bineka’ < SUBJ,OBJ,OBJθ >
OBJ
PRED
‘raê’
OBJθ
PRED
‘do’
11
SUBJ, OBJ, maupun OBL yang terdapat pada sebelah kiri matriks adalah atribut, sedangkan PRED merupakan poros fungsionalnya. Kehadiran atribut dimaksud dalam sebuah klausa jika diizinkan oleh poros fungsionalnya. Jika poros fungsionalnya tidak mengizinkan, maka atribut tertentu tidak akan hadir dalam klausa. Kahadiran atribut yang tak diizinkan oleh poros fungsional akan menghasilkan klausa yang tidak gramatikal. Sebaliknya, jika kehadiran atribut diizinkan oleh poros fungsional, maka klausa yang dihasilkan berterima (baca Arka, 2000b:10). Hal ini mempertegas peran verba sebagai inti (head) dari sebuah klausa. Sebuah klausa dikatakan gramatikal jika poros fungsionalnya telah diberi nilai (value) (cf. Huang, 1995:127). Nilai yang diberikan pada sebuah poros fungsional harus logis. Jika tidak, maka ketidaklogisan hubungan itu berimplikasi pada terbentuknya klausa yang tidak gramatikal (ungrammatical). Arka (2000a:2—4) menjelaskan nilai poros fungsional mencakup, antara lain: keunikan, konsistensi, ketuntasan, dan koherensi yang tidak dibahas dalam tulisan ini. Jika dicermati perihal nilai pada sebuah poros fungsional, maka sukar dipisahkan dari struktur semantik (semantic structure: s-str). Hal demikian berarti terdapat hubungan antara
struktur argumen, struktur fungsional, dan struktur
semantik. Struktur argumen memberikan informasi mengenai valensi predikat. Struktur fungsional memberikan informasi mengenai hubungan fungsional unsurunsur sintaksis. Sedangkan struktur semantik memberikan informasi mengenai peran nomina (noun phrase: NP) yang diizinkan oleh predikat sebagai poros fungsional. Hubungan antara struktur argumen, struktur fungsional, dan struktur semantik dalam BLDNT dapat dipetakan berdasarkan klausa (9) dengan verba 3 argumen, seperti berikut ini. (9a) Beda hope labu neĩ ari-n. NAMA beli baju beri adik
‘Beda membeli baju untuk adiknya’ (9b) Beda hope ari-n labu. NAMA beli adik-POSS baju
‘Beda membelikan adik baju’
12
a-str : ‘hope’
< , , >
f-str:
SUBJ, OBJ , OBL
s-str:
< agt, th, rec >
atau
< , , >
SUBJ , OBJ, OBJ
< agt, rec, th >
2.5 Kesubjekan BLDNT Berbicara mengenai kesubjekan (subjecthood) sebenarnya mencakup 2 hal, yakni: ciri subjek dan peran subjek secara sintaksis. Seperti halnya telah diuraikan terdahulu, bahwa ciri subjek mencakup: posisi kanonis, perelatifan, pengontrolan, dan kemungkinan pelesapan. Sedangkan peran subjek berkaitan dengan keintian subjek, yang analisisnya berkaitan dengan kemungkinan dilesapkannya atau tidak di dalam sebuah klausa. Sehubungan dngan itu, ciri subjek yang dikaji pada sub ini terfokus pada posisi kanonis yang erat kaitannya dengan keintian subjek. Subjek klausa BLDNT memiliki posisi kanonis di depan verba/ praverba. Posisi kanonis ini menurut penelitian-penelitian terdahulu disimpulkan bersifat ketat pada klausa intransitif. Hal itu berarti pula bahwa subjek sebagai satu-satunya argumen inti pada klausa intransitif tak berkemungkinan dilesapkan. Bertolak dari data empirik yang diyakini kealamiahannya, simpulan bahwa subjek tak bisa dilesapkan mungkin dapat dibantah (cf. Japa, 2000:47). Perhatikan contoh berikut ini. (10a) Goê tobo-r∂k. 1TG duduk-1TG
‘Saya duduk’ (10b) *Tobo-r∂k goê. ‘Duduk saya’ (10c) Tobo-r∂k. ‘Duduk (saya)’
13
Subjek klausa (10a) tidak bisa menempati posisi posverba sebagaimana terlihat pada klausa (10b). Walaupun diterima bahwa konstruksi inversi tidak berterima, namun klausa (10c) menunjukkan bahwa subjek klauasa intransitif dalam BLDNT bisa dilesapkan. Subjek NP muncul dalam bentuk kopi pronomina berupa enklitik r∂k. Kopi pronomina pada klausa intransitif BLDNT mengikuti kaidah persesuaian, seperti tampak pada susunan paradigmatik berikut ini. (11)
Goê
(1TG)
tobo
-r∂k/ -n∂k
Naê (3TG)
-râ/ -nâ
Moê
-ro/ -no
(2TG)
Kame (1JM,eks.)
-r∂m/ -r∂m
Tite
(1JM,ink.)
-r∂t/ -n∂t
Mio
(2JM)
re/ -ne
Raê
(3JM)
-ra/ -na
Kaidah ini berlaku bersifat teratur dan berlaku umum untuk semua verba intransitif, baik untuk verba intransitif yang memerlukan subjek sebagai agen maupun sebagai pasien. Hal itu berarti BLDNT tidak menganut sistem S-terpilah (bdk. Arka, 2000b:4). Bandingkan kedua klausa berikut ini: (11a) Kopong goka-râ. NAMA jatuh-3TG
‘Kopong jatuh’ (11b) Kopong hogo-râ. NAMA bangun-3TG
‘Kopong bangun’ Verba goka ‘jatuh’ pada klausa (11a) mengizinkan hadirnya argumen subjek sebagai pasien. Sedangkan verba hogo ‘bangun’ pada klausa (11b), berdasarkan ciri semantiknya, mengizinkan hadirnya argumen subjek sebagai agen. Kendatipun peran subjek dari kedua klausa tersebut berbeda, namun verba sebagai poros fungsional dari kedua klausa tersebut menggunakan markah subjek yang sama, yakni: -râ (atau –nâ pada varian tertentu).
14
Perlu dijelaskan juga bahwa sejumlah verba intransitif dalam BLDNT dengan subjek 3TG menggunakan pemarkah samar-samar (covert marking). Jika tidak dicermati secara sungguh-sungguh, verba-verba tersebut dianggap tidak bermarkah. Beberapa contoh verba jenis ini, antara lain: tani ‘menangis’, plaê ‘lari’, dan h∂bo ‘mandi’. Perhatikan contoh pemakaiannya berikurt ini. (12)
Nae tanî. 3TG tangis
(13) Nae plaể. ‘Dia berlari’
(14) Nae h∂bô. ‘Dia mandi’
‘Dia menangis’ Tekanan yang diletakkan pada vokal suku akhir sesungguhnya adalah markah sebagai persesuaian dengan orang subjek 3TG. Jika subjeknya berupaorang 2TG, verba-verba tersebut akan mendapatkan markah –ko sehingga menjadi: tanhi-ko, plaê-ko, dan h∂bo-ko. Klausa transitif memiliki 2 argumen inti. Klausa jenis ini memungkinkan perubahan tata urutan argumen inti. Lihat contoh berikut: (15) Naê mayã goê wia r∂má. 3TG panggil 1TG kemarin malam ‘Dia memanggil saya kemarin malam’
(16) Goê naê maya-n∂k wia r∂má. ‘Saya dia panggil kemarin malam’ (17) Wia r∂má naê mayã goê. ‘Kemarin malam saya memanggil dia’ (18) Wia r∂má goê naê maya-n∂k. ‘Kemarin malam saya dia panggil’ (19) Goê wia r∂ma naê maya-n∂k. ‘Saya kemarin dia panggil’ Tata urutan yang dibolehkan dalam klausa intransitif BLDNT adalah SVO atau SOV. Adverbia boleh menempati posisi sebelum subjek dan sesudah objek, baik pada tata urutan SVO maupun SOV (lihat klausa (15), (17), (18), dan (19) dan (19)), atau sesudah verba pada tata urutan SOV (lihat klausa (16)). Adverbia, walaupun berposisi mengambang (floating), namun tidak bisa menempati posisi praverba yang merupakan posisi subjek atau pun objek. Hal ini memperlihatkan tingkat kekeratan hubungan antara subjek dan verba pada tata
15
urutan kanonis. Kalaupun subjek dan verba bisa disisipi unsur lain, maka unsur lain tersebut adalah juga nomina dengan konsekuensi pemunculan markah -n∂k, seperti pada klausa (16, (18), dan (19) yang merupakan pemarkah diatesis obketif (objective voice: OV). Dengan demikian, nomina paling kiri dari tata urutan SOV adalah objek gramatikal tetapi berfungsi sebagai subjek, bukan nomina praverba. Untuk klausa dwitransitif, posisi kanonis subjek BLDNT yakni praverba, sebagaimana tampak pada contoh berikut ini. (20) Beda hope Somi labu wu’ũ toû. NAMA (mask) beli NAMA(fem) baju baru satu
‘Beda membelikan Somi sehelai baju baru’ Posisi praverba tata urutan alternasi untuk klausa (20) hanya bisa ditempati oleh Beda. Sedangkan Somi sebagai argumen benefaktif dan labu wu’ũ toû sebagai objek tidak bisa menempati posisi praverba. Artinya kedua nomina tersebut tidak bisa menempati posisi subjek gramatikal untuk tata urutan SOVO dan SOVObl, sebagaimana contoh berikut: (21a) Somi Beda hope-ro labu wu’ũ toû. ‘Somi Beda belikan sehelai baju baru’ (21b) Labu wu’ũ toû Beda hope neĩ Somi. ‘Sehelai baju baru dibeli Beda untuk Somi’ Contoh di atas menunjukkan pula bahwa konstruksi sintaksis BLDNT tidak membolehkan 3 argumen menempati posisi mendahului verba. Argumen benefaktif bisa menduduki posisi paling kiri dari kedua argumen yang berada mendahului verba dengan konsekuensi hadirnya pemarkah –ro sebagai pemarkah diatesis objektif. Hal itu berarti nomina paling kiri sesungguhnya dapat sebagai objek gramatikal.
3. Simpulan Berdasarkan uraian terdahulu, dapat dirumuskan beberapa simpulan berkaitan dengan kesubjekan (subjecthood) dalam BLDNT. a. Pada klausa intransitif, subjek gramatikal bisa dilesapkan karena adanya mekanisme persesuaian. Subjek dan markah persesuaian itu dapat hadir bersamaan dalam klausa intransitif. Kehadiran subjek tanpa markah tidak lazim
16
dalam BLDNT. Yang mungkin ialah kehadiran markah persesuaian tanpa subjek. Hal ini menunjukkan bahwa argumen inti yang mempunyai kedudukan kuat, tidak berlaku dalam BLDNT. b. Subjek dalam BLDNT berposisi kanonik praverba. Oleh karena itu, pada klausa intransitif tidak terdapat kemungkinan tata urutan lain kecuali SV. Subjek pada klausa transitif dan dwitransitif bisa menduduki posisi paling kiri. Posisi subjek semacam ini berimplikasi hadirnya pemarkah pada verbanya. Markah tersebut berkoreferensi dengan subjek gramatikal, baik berupa
pasien atau pun
benefaktif. c. Pada klausa dwitransitif
yang memiliki 3 argumen hanya dimungkinkan 2
argumen berada pada posisi praverba sebagai tata urutan alternasi. Pada tata urutan tersebut, nomina dekat verba merupakan subjek gramatikal, sedangkan nomina paling kanan merupakan subjek pada struktur argumen.
17
DAFTAR PUSTAKA Arka, I Wayan. 1998. “From Morphosyntax to Pragmatics in Balinese”. Ph.D. Dissertation, Linguistics Departement, University of Sydney. Arka, I Wayan. 2000b. “Beberapa Aspek Intransitif Terpilah pada Bahasa-bahasa Nusantara”. Denpasar: Program Pasca Sarjana Linguistik, Universitas Udayana. Arka, I Wayan. 2000c. “Voice and Being Core: Evidence from (Eastern) Indonesian Languages”. Denpasar: University of Udayana. Artawa, I Ketut. 1995a. “Teori Sintaksis dan Tipologi Bahasa”, dalam Linguistika, Tahun II, Edisi Ketiga. Denpasar: Program Magister Linguistik Universitas Udayana. Blake, Berry J. 1994. Case. Cambridge: Cambridge University Press. Comrie, Bernard. 1983. Language Universal and Linguistic Typology. Oxford: Basil Blackwell. Foley, William A. dan Robert D. Van Valin. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press. Japa, I Wayan. 2000. “Properti Argumen Inti, Interpretasi Tipologis, dan Struktur Kausatif Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon”. Tesis S2 (tidak diterbitkan). Denpasar: Universitas Udayana. Kaplan, Ronald dan Joan Bresnan. 1995. “Lexical Functional Grammar: A Formal System for Grammatical Representation”, dalam Mary Dalrymple, Ronald M. Kaplan, John T. Maxwell III, Annie Zaenan (eds.). Formal Issues in Lexical Functional Grammar. California: CSLI. Malmkjaer, Kirsten dan James M. Anderson (eds.). The Linguistics Encyclopedia. London and New York: Routledge. Mandaru, A. Mans, dkk. 1997. “Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon” (Laporan Penelitian, tidak diterbitkan). Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Daerah NTT, Pusat Bahasa, Depdikbud. Trask, R.L. 1993. A Dictionary of Grammatical Terms in Linguistics. London and New York: Routledge.
18
KESUBJEKAN DALAM BAHASA LAMAHOLOT DIALEK NUSA TADON
Oleh Ida Bagus Putra Yadnya NIM: 9913017101
Program S3 Bidang Studi Linguistik Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar 2001
* Tugas Akhir Mata Kuliah Sintaksis