KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN (STUDI KRITIS PEMIKIRAN NASARUDDIN UMAR) Zaprulkhan Email:
[email protected] Abstract This article aims to elaborate about gender equality discourses in quranic perspective. In reality, there is connection between gender differences and gender inequalities. Oftentimes gender differences cause gender inequalities. Actually gender deals with someone’s qualitis more than someone’s identities. Also there is quite difference between sex and gender. Unfortunately still many people view sex and gender similarly. In quranic perspective, there is no difference between man and woman in gender qualities. In quranic outlook, both of two have the same qualities in morality, intelligence, and spirituality. This article will explore about gender equality according to Nasaruddin Umar based on quranic perspective. Keywords: discourse, Nasaruddin Umar
gender
A. PRAWACANA Sifat inferioritas yang telah dilekatkan oleh tradisi (turats) kepada perempuan bahwa mereka adalah kurang dalam hal akal dan agama hanyalah pandangan yang mengada-ada yang telah ditetapkan oleh
equality,
quranic
perspective,
sistem masyarakat patriarkis yang berlaku saat itu.1 Seperti diungkapkan Muhammad Shahrur di atas bahwa pengaruh budaya
1M. Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin (Yogyakarta: Elsaq, 2004), h. 441.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 108
patriarkis telah membentuk stereotip dan paradigma kultural yang merendahkan, melecehkan dan menyebabkan perspektif misoginistik terhadap kaum wanita. Semua itu telah menjadi tradisi yang begitu mengakar sehingga menjadi tugas yang sulit dan berbenturan dengan banyak kendala untuk menghapuskan disparitas subordinatif kaum wanita dari pria. Melihat kenyataan seperti ini, banyak pemikir kontemporer yang ingin menengok secara langsung pesan ayat-ayat Al-quran terhadap perempuan. Mereka ingin menghadirkan pandangan qurani yang tidak diskriminatif. Akan tetapi, terkadang perspektif analisis qurani yang diwacanakan tidak holistik, hanya parsial yang menyebabkan tidak tuntasnya paradigma Al-quran
terhadap persoalan yang dibicarakan. Pada titik inilah, tulisan ini akan mengelaborasi pemikiran Nasaruddin Umar tentang gender melalui lensa Al-quran yang bisa dikatakan cukup representatif dalam menyuguhkan paradigma Alquran mengenai gender. Lebih jauh, pembahasan ini akan melacak pada beberapa karya, baik yang berasal dari disertasi maupun lainnya yang secara spesifik membedah permasalahan gender dari perspektif Al-quran, disertai tinjauan historis-sosiologis masyarakat Arab klasik agar bisa mengetahui sejauh mana pengaruh budaya patriarki membentuk pemahaman negatif terhadap wanita.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 109
B. BIOGRAFI SINGKAT INTELEKTUAL NASARUDDIN UMAR Nasaruddin Umar lahir di Ujung-Bone, propinsi Sulawesi Selatan, tepatnya pada tanggal 23 juni tahun 1959. Ia merupakan alumnus pesantren As'adiyah sengkang pada tahun 1976. Kemudian masuk fakultas syariah IAIN Alauddin Ujung Pandang hingga selesai Sarjana Muda tahun 1980 dan melanjutkan sampai Sarjana lengkap tahun 1984. Selanjutnya hijrah ke Jakarta untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu program Magister di IAIN Syarif Hidayatullah hingga selesai tahun 1992. Di perguruan tinggi yang sama pula ia menyelesaikan program S3, dengan disertasi yang membahas perspektif gender dalam Al-quran yang
kemudian diterbitkan oleh Paramadina. Sebelumnya ia pernah melakukan visiting student di Mc. Gill University, Kanada (1993/1994), di Leiden University (1994/1995) dan mengikuti Sandwich program di Paris University (1995). Dan pernah pula mengadakan penelitian kepustakaan di beberapa Perguruan Tinggi di negara-negara Eropa selama tiga tahun (1993-1996). Ia juga pernah menjabat Wakil Menteri Agama RI pada pemerintahan sebelumnya. Kini ia aktif mengajar di berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia antara lain: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Paramadina, dan Universitas Indonesia. Serta aktif mengasuh berbagai pengajian Tasawuf Masjid Agung Sunda Kelapa, Masjid At-Tin, dan menjadi
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 110
Narasumber di berbagai 2 media televisi. Selain itu, ia aktif pula menulis artikel di media massa dan jurnal. Tulisan ini akan menyoroti beberapa karya utamanya, Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-quran dan beberapa karyanya yang membahas tentang gender.3 C. METODE YANG DIGUNAKAN NASARUDDIN UMAR Ada beberapa metode yang digunakan Nasaruddin Umar dalam mengkaji gender melalui perspektif Al-quran: pertama, mengingat objek penelitian yang dikaji adalah ayat-ayat Al-quran, maka 2Biografi yang agak lengkap, bisa dilihat dalam Nasaruddin Umar, Islam Fungsional (Jakarta: Quanta, 2014), h. 145-165; Diambil dari sampul belakang buku Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-quran (Jakarta: Paramadina,2001) 3Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-quran (Jakarta: Paramadina, 2001);
Nasaruddin menggunakan perangkat ilmu tafsir, terutama metode tematis atau maudhu'i. Yang dimaksud metode maudhu'i di sini adalah berupaya memahami dan menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-quran dengan cara menghimpun ayat-ayat dari berbagai surat yang berkaitan dengan satu topik, lalu dianalisis kandungan ayatayat tersebut hingga menjadi satu kesatuan konsep yang utuh.4 Dalam sebagian besar kajiannya Nasaruddin menggunakan metode tersebut. Bahkan metode tematis paling dominan 4 Sebagian besar kajian Nasaruddin Umar mengenai gender menggunakan metode maudhu'i. Lihat Nasaruddin, Argumen……Ibid., h. 28-29; Nasaruddin, "Metode Penelitian Berperspetif Gender Tentang Literatur Islam" dalam Ema Marhumah dan Lathiful Khuluq (ed.), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetraan Gender dalam Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002),h. 85105; Nasaruddin "Perspektif Gender Dalam Islam", Jurnal Paramadina, No. 1. Vol.1. Th. 1998, h. 102-113.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 111
seperti ketika membahas tentang identitas gender, asalusul dan substansi kejadian manusia yang terdiri dari beberapa sub bagian serta mengenai prinsip-prinsip kesetaraan gender. Kedua, menggunakan metode analisis sejarah (historical analysis) untuk memahami kondisi objektif bangsa Arab menjelang dan ketika Alquran diturunkan. Metode ini juga sangat berguna untuk memahami fluktuasi peran laki-laki dan perempuan dalam sejarah panjang umat manusia. Ketiga, metode hermeneutis (hermeneutical method), dengan alasan objek penelitian tersebut adalah teks-teks masa silam yang menuntut pemahaman dan penghayatan di masa sekarang dan akan datang. Metode hermeneutis digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengaktualkan
beberapa konsep yang berhubungan dengan gender di dalam Al-quran.5 Tulisan ini akan membahas tentang pengertian gender, perspektif teori gender, kondisi objektif jazirah Arab menjelang Alquran diturunkan serta kajian yang difokuskan pada identitas gender dalam Alquran dan konsep gender dalam Al-quran. D. ANALISIS WACANA GENDER 1 Pengertian gender dan perbedaannya dengan sex Istilah "gender" berasal dari bahasa Inggris "gender" yang berarti jenis kelamin. Dalam kamus Webster diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara lelaki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. H. T.
5Nasaruddin, Kesetaraan……. Op. Cit, h. 31-32.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 112
Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Singkatnya, menurut Nasaruddin, gender merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.6 Di sini, menurut Nasaruddin ada perbedaan yang jelas antara gender dan sex. Jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya, maka
6
Ibid., h. 35.
istilah sex secara umum dipakai untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya. Perbedaan ini penting untuk diungkapkan, karena menurut Nasaruddin banyak persepsi yang bias dan tidak membedakan antara gender dan sex. Banyak masyarakat yang memahami bahwa atribut biologis pada seserang seperti penis pada lelaki dan vagina pada perempun, maka hal itu akan menjadi identitas gender bagi yang
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 113
bersangkutan dan akan menentukan peran sosial dalam masyarakat. Padahal relasi gender tidak didasarkan pada faktor biologis melainkan pada kualitas, skill dan konvensi-konvensi sosial.7 Lebih jauh, perbedaan gender (gender differences) bisa mengakibatkan ketidakadilan gender (gender inequalities) dan berujung pada kekerasan gender. Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikilogis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender in disebut gender-
7
Ibid., h. 35-38.
related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya: Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa terekpresikan disebabkan oleh pelbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan lain. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 114
tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alasan diajukan oleh suatu masyarakat untuk melakukan penyunatan ini. Namun salah satu alasan terkuat adalah, adanya anggapan dan bias gender di masyarakat, yakni untuk mengontrol kaum perempuan. Saat ini, penyunatan perempuan sudah mulai jarang kita dengar. Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan.
Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat pusat kegiatan mereka selalu saja dikunjungi orang. Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecahan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Keluarga Berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 115
sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut, meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan berasal dari kaum laki-laki juga. Namun, lantaran bias gender, perempuan dipaksa sterilisasi yang seringkali membahayakan baik fisik ataupun jiwa mereka. Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan maupun di tempat umum, seperti dalam bis.
Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. Ada banyak bentuk pelecehan, dan yang umum terjadi adalah masalah unwanted attention from men. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual itu sangat relatif karena sering terjadi tindakan itu merupakan usaha untuk bersahabat. Tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi perempuan. Ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan pelecehan seksual. Di antaranya: a. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 116
yang dirasakan sangat ofensif. b. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor. c. Mengintrograsi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya. d. Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya. e. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau seizin dari yang bersangkutan.8 Dengan adanya beberapa fakta tentang kekerasan terhadap kaum wanita yang bermula dari perbedaan gender tersebut, kiranya cukup penting untuk memahami secara holistik 8
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 17-20.
sifat kesetaraan gender antara kaum lelaki dan wanita dari perspektif agama. Sebab tidak jarang pula, doktrin-doktrin agama justru dijadikan justifikasi teologis oleh orangorang yang memiliki kepentingan terhadap kaum wanita. Dari sinilah, Nasaruddin Umar berupaya menyuguhkan pandangan Islam secara proporsional terhadap kesetaraan gender antara kaum lelaki dan wanita dengan berpijak pada doktrin fundamental Islam yakni AlQuran. Namun sebelum memasuki analisis Nasaruddin Umar melalui perspektif islam, mari kita telaah terlebih dahulu sekilas beberapa teori gender kontemporer mengenai relasi antara kaum lelaki dan wanita. 2. Perspektif Teori Gender Dalam studi gender ada beberapa teori yang cukup
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 117
berpengaruh: pertama, teori psikoanalisa yang berasumsi bahwa peran dan relasi gender ditentukan oleh perkembangan psikoseksual manusia. Perkembangan ini terutama terbentuk pada masa phallic stage, yaitu usia anak antara 3 dan 6 tahun, ketika seorang anak menghubungkan identitas ayah dan ibunya dengan alat kelamin yang dimilikinya masing-masing. Saat itu anak perempuan merasa rendah diri karena menemukan kekurangan pada miliknya. Sehingga unsur biologis merupakan faktor dominan dalam teori ini dan menafikan faktor ekologi, sosial dan budaya. Kedua, teori fungsionalis struktural yang mendasarkan pandangannya pada keutuhan masyarakat. Hubungan lelaki dan perempuan, menurut Talcott Parsons dan Robert
Balers, lebih merupakan pelestarian keharmonisan dari pada bentuk persaingan. Fungsi dan peran pria-wanita masih didasarkan pada jenis kelamin, sehingga sistem patriarki yang memberikan peran menonjol kepada lelaki dianggap suatu hal yang wajar. Ketiga, teori konflik yang perspektifnya berpijak pada pertentangan antar kelas dalam masyarakat. Teori ini beranggapan bahwa relasi gender sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan budaya. Siapa yang berkuasa, merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di dalamnya. Jadi ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena faktor biologis atau pemberian Tuhan (divine creation), tetapi konstruksi masyarakat (social construction)
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 118
Keempat, teori-teori feminis yang sangat prihatin terhadap nasib kaum wanita. Mereka berasumsi bahwa sesungguhnya fungsi dan peran gender tidak ditentukan oleh faktor biologis, tetapi oleh faktor budaya dalam masyarakat. Diskriminasi peran dan relasi gender perlu ditinjau kembali, dengan berbagai solusi alternatif yang ditawarkan, sehingga memunculkan aliran-aliran feminis dengan alternatif teorinya masing-masing9. Terakhir, teori sosiobiologis. Teori ini ingin menggabungkan dua teori lama, nature dan nurture. Jika teori nature menganggap perbedaan gender disebabkan faktor alamiah, maka teori nurtur menganggap distingsi gender dikarenakan faktor
9Menurut Nasaruddin secara umum ada ada tiga teori Feminis: Feminis Liberal, Marxis-Sosialis dan Radikal. Lihat Kesetaraan…….Op. Cit., h. 64-68.
budaya masyarakat. Berangkat dari sini, teori sosio-biologis berasumsi bahwa faktor biologis dan sosial budaya memang menyebabkan lelaki lebih unggul ketimbang 10 perempuan . 3. Kondisi Objektif Jazirah Arab Dalam perspektif Nasaruddin, ayat-ayat tentang gender dapat disalahpahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat Arab. Masyarakat yang menganut sistem patriarki merupakan pengaruh atas kontinuitas budaya klasik Mesopotamia, seperti masyarakat Hammurabi, Asiria dan Achemid, yang terlihat jelas subordinasi perempuan dari lelaki. Pada era ini perempuan selalu menjadi "jenis kelamin kedua" (the
10
Ibid.,h. 45-70.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 119
second sex) di setiap level masyarakat. Dalam masyarakat Arab saat itu telah dikenal hukum balas dendam sederajat (lex talionis), yang mengungkapkan sebuah prinsip bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung dan gigi dengan gigi. Hukum seperti ini merupaka pengaruh dari masyarakat Hammurabi sebelumnya. Diskriminasi penerapan hukum lex talionis tersebut sangat transparan bila kasusnya menimpa wanita: sanksi bagi perempuan tidak mutlak. Di samping itu, kelangsungan hidup masyarakat Arab sangat tergantung pada alam. Pembagian peran dalam masyarakat juga sangat bergantung pada kondisi objektif geografis. Lelaki menjalankan peran publik,
seperti mencari nafkah dan mempertahankan keutuhan dan kehormatan kabilah, sedangkan perempuan menjalankan peran domestik, seperti mengasuh anak dan mengatur urusan rumah tangga. Singkatnya, ideologi patriarki begitu dominan dalam masyarakat, segala kebijakan prinsip baik dalam lingkungan keluarga terkecil sampai kepada lingkungan kelompok terbesar, berada di tangan lelaki. Bahkan dalam sistem kekeluargaan, genealogis bangsa Arab ditentukan laki-laki dan perempuan tidak pernah dicantumkan sebagai nama marga, betapapun hebatnya seorang perempuan itu. Tidak heran bila lelaki menjadi pemimpin dalam segala aspek terhadap perempuan dalam masyarakat seperti itu. Dalam konteks sosiokultural semacam itulah Al-
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 120
quran hadir ke tengah-tengah masyarakat Arab. Konstruksi sistem patriarki yang sudah sedemikian mengakar dalam masyarakat membuat Alquran mengakomodir sebagian corak kultural yang mewarnai jazirah Arab saat itu. Tidak bisa dipungkiri, terjadi proses akulturasi antara pesan-pesan Al-quran dengan atmosfer kultural Arab yang begitu dominan. Kendati Al-quran mempertimbangkan variabelvariabel psiko-sosial dan kultural masyarakat Arab, menurut Nasaruddin semangat dan ide Al-quran yang sesungguhnya berupaya menciptakan paradigma yang egaliter antara lelaki dan perempuan, serta menghapuskan segala bentuk diskriminasi, pelecehan dan penindasan terhadap kaum wanita. Hanya saja, karena sistem patriarki yang menempatkan perempuan
subordinatif lelaki sudah menjadi fenomena budaya internasional ketika itu, maka Al-quran tidak dapat menghapuskannya secara radikal. Sehingga sosialisasi ajaran Al-quran mesti mengalami tahapan-tahapan sosiologis atau secara gradual (al-tadrij fi al-tasyri'11). Akan tetapi, dilihat dari konteks sosial yang ada pada masa itu, menurut sebagian pengamat, status yang diberikan kepada wanita justru marupakan sebuah langkah 12 revolusioner. 4. Identitas Gender Dalam Al-quran Dalam Al-quran beberapa kata berkonotasi lelaki
ada yang dan
11Ibid.,
h. 93-142, 309. Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj Agus Nuryatno (Yogyakarta: Lkis, 2003), h.40; Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, terj Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2004), h. 270-273 12
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 121
peremuan, seperti al-rajul, aldzakar, al-mar' dan al-nisa, aluntsa serta al-mar'ah. Penelitian Nasaruddin mengungkapkan ada distingsi makna yang signifikan di antara berbagai istilah tersebut. Bila kata al-rajul, alnisa, al-mar' dan al-mar'ah digunakan untuk lelaki dan perempuan yang sudah dewasa, telah berumah tangga atau telah mempunyai peran tertentu dalam masyarakat. Semua kata tersebut dipakai manakala memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu, termasuk mempunyai kecakapan bertindak atau skill; untuk halhal yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender. Sedangkan istilah al-dzakar dan al-untsa hanya menunjukkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis tanpa dikaitkan
faktor kedewasaan atau kematangan yang bersangkutan. Dengan demikian semua kata al-rajul dan al-nisa misalnya, mencakup kategori al-dzakar dan al-untsa. Tapi tidak semua al-dzakar dan al-untsa meliputi kategori al-rajul dan al-nisa. Pada titik inilah, khithab (perintah dan larangan) Tuhan yang menggunakan kata aldzakar dan al-untsa yang mengacu kepada faktor biologis lebih mudah dipahami karena identitas biologis lelaki dan perempuan mempunyai ciri-ciri universal, sedangkan khithab Tuhan yang menggunakan kata al-rajul, alnisa atau al-mar'ah memerlukan pemahaman lebih kontekstual karena identitas gender banyak dipengaruhi faktor budaya, sementara budaya setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 122
Melalui paradigma di atas, maka kata al-rijal, misalnya, dalam ayat yang menyatakan: Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Dan laki-laki mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya (Qs 2: 228), merupakan lakilaki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Kerena itulah menurut Nasaruddin, Tuhan tidak menggunakan kata al-dzakar (wa lidzakari), sebab jika demikian secara alami berkonotasi bahwa semua lelaki memiliki tingkatan lebih tinggi ketimbang 13 perempuan.
13Nasaruddin, Kesetaraan…….Op. Cit., h. 144-172; Bandingkan dengan Nasaruddin, Islam Fungsional..., h. 8-23.
5. Konsep Gender Dalam Alquran Nasaruddin mengemukakan lima variabel yang dapat digunakan sebagai standar untuk menganalisis prinsipprinsip kesetaraan gender dalam Al-quran. Pertama, lakilaki dan perempuan samasama sebagai hamba. Ayat Alquran yang bisa dijadikan justifikasi yaitu surat al-zariyat ayat 56: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka supaya beribadah kepada-Ku. Dalam kedudukannya atau kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal, yang biasa diistilahkan Al-quran dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqun). Bahkan untuk mencapai derajat
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 123
muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu (Qs 49: 13).14 Kedua, laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Selain menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah untuk mengemban amanah sebagai pemimpin (khlifah fi al-ardl). Postulat yang menjadi pijakan mengenai hal tersebut yaitu surat al-An'am: 165: Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian.
14Bandingkan
dengan Waryono Abdul Ghafur yang memberikan iterpretasi senada, dalam Tafsir Sosial (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), h. 109.
Sebenarnya banyak cerita sukses kaum wanita dalam mengemban amanah sebagai pemimpin. Dalam investigasi historis-sosiologisnya, Fatima Mernisi menemukan 15 penguasa perempuan di berbagai wilayah Muslim antara abad 13 sampai 17. 2 orang penguasa Turki yaitu Sultanah Radiyyah dan Sultanah Syajarat al-Durr; 6 orang dari lingkungan penguasa Mongol; 3 ratu pada entitas politik Islam di Maldives; serta 4 ratu dari kerajaan Aceh, yakni Sultanah Taj al-Alim Sufiyyah al-Din Syah, Sultanah Nur Alam Nakkiyah al-Din Syah, Sultanah Inayah Syah dan Sultanah Kamalat Syah.15 Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial. Baik 15Lihat Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani (Bandung: Rosdakarya,2000), h. 28 dan Islam Substantif (Bandung: Mizan,2000), h. 121.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 124
lelaki dan perempuan keduanya mendapatkan perjanjian primordial dari Tuhan. Al-quran mendeskripsikan perjanjian tersebut saat manusia berada dalam rahim, dalam keadaan pra-eksistensial: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (Qs. 7: 172). Dengan mengutip Fakhr alRazi, Nasaruddin menegaskan bahwa tidak seorang anak manusia pun lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan dan ikrar mereka disaksikan para malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan "tidak" sehingga dalam Islam tanggungjawab individual dan
kemandirian berlangsung sejak dini. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Keempat, Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Semua ayat yang mengisahkan keadaan Adam dan pasangannya dalam surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma/ ), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa: keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Qs. 2: 35); keduanya mendapat godaan yang sama dari setan (Qs. 7: 20); samasama memakan buah khuldi (Qs. 7: 22); keduanya memohon ampun dan samasama diampuni Tuhan (Qs. 7:
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 125
23); dan keduanya mengembangkan keturunan, saling melengkapi dan saling membutuhkan setelah berada di bumi (Qs. 2: 187). Fenomena ini diakui pula oleh Annemarie Schimmel dalam penelitiannya tentang ayat-ayat yang mendeskripsikan drama kosmis bahwa tak pernah sekalipun disebutkan dalam Al-quran bahwa Hawa (secara tunggal) bertanggunggjawab atas terusirnya Adam dan Hawa dari surga.16 Bahkan menurut Quraish Shihab kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan setan berbentuk tunggal, justru ditujukan kepada Adam seperti dalam surat Thaha ayat 120.17
16Lihat Annemarie Schimmel, Jiwaku Adalah Wanita, terj Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998), h. 94. 17Baca Qurqish Shihab, Wawasan Alquran (Bandung: Mizan,1996), h. 302 dan Membumikan Al-quran (Bandung: Mizan,1997), h. 272.
Lebih jauh, dalam pegamatan okjektif sebagian ilmuwan terhadap Al-quran justru memperlihatkan gambaran kepribadian yang memukau dan simpatik dari Al-quran tentang wanita: Ratu Balkis, si pemimpin teladan; Ibu Musa yang menyerahkan anaknya kepada kehendak Tuhan; Istri Fir'aun yang menyelamatkan bayi Musa dan memohon pelindungan Allah dari penindasan suaminya; Serta Maryam wanita suci yang melahirkan Isa yang langsung menjadi saksi akan kesuciannya.18 Persoalan yang mengganggu pikiran adalah mengapa banyak terjadi bias yang menyudutkan perempuan dalam menafsirkan Al-quran? Menurut Nasaruddin ada 18Schimmel, Op. Cit., h. 92-97; Bandingkan dengan Jeffrey Lang, Berjuang Untuk Berserah, terj Ekana Priangga dan Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi,2003), h. 197.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 126
beberapa faktor penyebab, di antaranya adalah biasnya penafsiran Al-quran dan pendekatan fiqh (penafsiran kultural) yang bercorak patriarki yang dilakukan ulama. Dengan mengutip hasil penelitian Johan Meuleman, Nasaruddin menyatakan bahwa di antara 56 buku yang berbicara tentang perempuan yang beredar di Indonesia, pada umumnya lebih bersifat pengukuhan suatu tradisi.19 Fenomena ini diakui pula oleh para pengamat kontemporer: Nasr Hamid menemukan kaum salafi tradisionalis yang mengganggap kesetaraan lakilaki dan perempuan hanya dalam pahala dan siksa di akhirat bukan kesetaraan sosial dengan justifikasi ayatayat Al-quran; Budhi Munawar melihat adanya pembedaan 19Lihat lebih luas Nasaruddin, Kesetaraan……Op. Cit., h. 281-297; Metode Penelitian, Op. Cit., h. 97.
dalam kitab-kitab fiqh dan tafsir-tafsir klasik bahwa lelaki dalam wilayah publik sementara wanita dalam sektor domestik; Serta Karen Armstrong, seorang peneliti agama-agama Ibrahim asal Inggris, menemukan banyak ulama yang menafsirkan Alquran dengan pandangan negatif terhadap kaum 20 wanita. Kelima, laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. Nasaruddin mengemukakan beberapa ayat secara khusus yang menegaskan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peluang untuk meraih prestasi secara maksimum, yaitu surat Alu20Baca Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender, terj Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi (Yogyakarta: PSW IAIN SUKA, 2003), h. 171; Budhi Munawar-Rachman, Islam Pluralis ( Jakarta: Grafindo Persada, 2004), h. 534; Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2004), h. 219.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 127
Imran: 195, al-Nisa: 124, alNahl: 97, dan Gafir: 40. Di sini akan diturunkan arti dari surat al-Nahl: 97: Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan menegaskan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Lakilaki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama dalam meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan masyarakat, konsep ideal ini
membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.21 Contoh kasuistik mengenai hal ini adalah pengamatan Jeffrey Lang yang langsung melakukan journey dan observation di Arab Saudi selama setahun penuh. Lang menemukan masih banyak ulama di Arab Saudi yang mengklaim bahwa wanita lebih rendah daripada pria baik dalam tataran moral, spiritual maupun intelektual. Mereka menyatakan bahwa betapapun kerasnya wanita berusaha, maka mereka tidak akan mampu secara intelektual bersaing dengan lelaki. Terlebih lagi mereka memperkuat dengan postulat-
21Nasaruddin, Kesetaraan…..Op. Cit., h. 247-265.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 128
postulat keagamaan secara naqli.22 Dengan demikian, melalui analisis konsep gender dalam Al-quran ini, menurut Nasaruddin Al-quran tidak memberikan dukungan secara eksplisit kepada salah satu teori tentang gender. Tapi Alquran cenderung mempersilahkan kepada kecerdasan-kecerdasan manusia dalam menata pembagian peran pria dan wanita. Dengan menyadari bahwa persoalan ini cukup penting tetapi tidak dirinci dalam Al-quran, maka itu menjadi isyarat adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan.23 22Jeffrey Lang, Bahkan Malaikat Pun Bertanya, terj Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2002), h. 167. 23Nasaruddin, Kesetaraan……..Op. Cit., h. 309; & Islam Fungsional, h. 8-23.
E. Penutup: Demaskulinisasi Epistemologi Kalau boleh memberikan konklusi singkat dalam dalam sebuah kalimat, maka dapat disimpulkan: kesetaraan gender. Seperti terlihat dari pembahasan di atas, melalui penjelajahan ayat-ayat Alquran, Nasaruddin menemukan perspektif qurani yang sangat positif terhadap kaum wanita: perempuan mempunyai kesetaraan baik dalam bidang moral, spiritual maupun intelektual dalam kancah kehidupan sosial dengan pria. Dengan alasan inilah, dalam karya terbarunya, Mendekati Tuhan Dengan Kualitas Feminin, Nasaruddin mengusulkan konsep demaskulinisasi epistemologi keilmuan terhadap kajian gender. Demaskulinisasi epistemologi yang diusulkan
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 129
tidak mesti harus berarti feminisasi epistemologi. Demaskulinisasi lebih diarahkan kepada dekonstruksi epistemologi yang menempatkan perempuan sebagai objek studi, tanpa pernah ada perhatian yang serius untuk menjadikannya sebagai subjek yang setara dengan laki-laki. Wajar kalau produk-produk teknologi menjadikan perempuan sebagai objek. Teknologi Keluarga Berencana misalnya, alat-alat kontrasepsi pada umumnya diperuntukkan kepada kaum perempuan. Demaskulinisasi epistemologi diharapkan melahirkan konsep-konsep keilmuan, terutama ilmu-ilmu sosial keagamaan, yang berspektif gender. Konsep-konsep keilmuan selama ini sarat dengan bias gender, karena metode kajian yang digunakan adalah metode yang
mendukung dan mengukuhkan otoritas laki-laki. Beberapa ilmuwan mempertanyakan netralitas seks sebuah ilmu. Virginia Wolf, Elizabeth Fee, Charoline Merchant, Dorothy Smith, Brian Easlea, dan sejumlah feminis lainnya menyatakan dengan tegas, bahwa ilmu adalah laki-laki. Walaupun kata ganti untuk ilmu sosial dalam dunia akademik di Inggris adalah perempuan (she) namun Dorothy Smit menerapkan kata ganti lakilaki (he) untuk menyebut sosiologi. Elizabeth Fee mengungkapkan bahwa atribut-atribut ilmu adalah atribut-atribut laki-laki dan struktur konseptual ilmu berdiri di atas rujukan laki-laki. Bagaimanapun maskulinisme gender ilmu adalah kompleks akumulasi tertentu dari sejumlah unsur yang beragam. Salah satu penjelasan yang mudah untuk
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 130
dikemukakan adalah dominasi laki-laki dalam praktek ilmu. Besarnya jumlah laki-laki daripada jumlah perempuan dalam pengelolaan ilmu adalah salah satu bentuk indikasi ketidaksetaraan gender dalam ilmu. Lebih jauh pergulatan maskulinisme dan femeninisme ilmu dapat langsung diamati pada teksteks kitab kuning yang diajarkan secara turuntemurun di pesantrenpesantren. Kritik beberapa kalangan terhadap teks-teks kitab kuning yang bias gender ada benarnya. Namun genderisasi lmu yang terdapat pada kitab kuning harus dipahami sebagi hasil sekaligus proses pergulatan yang kompleks antara konstruksi ideologi, dan konsep gender yang dominan dalam budaya aktual dengan praktik-praktik kognisi yang
terlembagakan dan dinyatakan sebagai ilmu. Ada beberapa yang perlu diperhatikan di sekitar teks kitab kuning. Antara lain: Dari mana teks itu diperoleh, autentitas teks itu sendiri, teks aslinya dari bahasa apa, siapa yang menerjemahkannya, terjemahan dari bahasa asli atau dari bahasa lain, jarak waktu penerjemah dengan teks-teks terjemahan— menurut ahli lingusitik setiap satu abad, vocabs mengalami pergeseran makna, dan atas sponsor siapa penerjemahan itu? Soal terjemahan perlu diperhatikan, karena transliterasi dan transformasi satu teks ke redaksi dan bahasa lain pasti mengalami beberapa reduksi bahkan bisa sangat berbeda. Seorang pembaca teks harus mampu masuk ke dalam lorong masa silam, seolaholah sezaman dan akrab dengan sang penulis teks,
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 131
memahami kondisi objektif geografis dan latar belakang sosial budayanya, karena setiap penulis teks adalah anak zamannya. Sesudah itu, si pembaca keluar kembali dari lorong waktu masa silam ke dalam masanya, lalu mengambil kesimpulan. Tidak bijaksana menghakimi penulis teks dengan menggunakan kriteria modern. Perjuangan panjang untuk meningkatkan keadilan gender belum bisa berakhir dengan modernnya suatu masyarakat. Nilai-nilai kemodernan tidak berbanding lurus dengan peningkatan martabat dan hak-hak asasi perempuan. Bahkan kosep modern masih menyisakan berbagai kontradiksi di dalam masyarakat, seperti antara produktivitas dan pemerataan, lebih khusus lagi antara konsep peningkatan status perempuan dan konsep
peningkatan produktivitas produksi. Ajaran-ajaran agama tidak mesti harus berubah dengan terjadinya perubahan sosial. Dalam masyarakat modern, tawaran orisinalitas ajaran agama sangat diperlukan, karena ajaran agama adalah nilai yang paling terakhir dilepaskan umat manusia di dalam era mendatang. Dan gerakan kesetaraan gender akan lebih efektif jika menggunakan bahasa agama, karena pemahaman agama yang keliru dapat menciptakan stereotype image kepada perempuan. Gagasan pemberdayaan perempuan hendaknya memperhatikan dan memahami betul-betul kemapanan otoritas sebuah konsep dan institusi. Perubahan yang dilakukan jangan sampai dirasakan adanya kontraditif, yakni di satu sisi kita hendak
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 132
memberdayakan perempuan, tetapi pada saat bersamaan kita kehilangan institusi keagamaan yang justru telah menunjukkan bukti-bukti positif di dalam masyarakat.24 Di samping itu tidak sulit untuk memberikan apresiasi terhadap karya-karya Nasaruddin melalui perspektif Al-quran secara spesifik yang masih langka dilakukan orang lain. Kelebihan karya Nasaruddin tidak terlepas dari perpaduan metode yang cukup kaya, penafsiran kontemporer, ilmu-ilmu sosial, pendekatan hermeneutik dan semantik yang ikut mempertajam analisisnya. Terlebih lagi, ia menggunakan sumber primer yang otentik (Arab dan Inggris) yang tidak terlepas dari hasil risetnya selama 6 tahun dalam menelusuri berbagai sumber di 27 negara. 24 Nasaruddin Tuhan, h. 222-225.
Umar,
Akan tetapi tanpa mengurangi apresiasi terhadap karya-karya Nasaruddin, pembahasannya belum diperkaya oleh contoh tokoh-tokoh wanita ideal dan bijak yang dipaparkan Alquran secara cemerlang serta tidak diperkuat pula oleh beberapa, bahkan sebenarnya banyak tokoh wanita yang meraih puncak kesuksesan mengemban amanah dalam kehidupan sosial dan sebagai pemimpin. Mungkin itu sebagian kecil yang belum diungkap oleh Nasaruddin, seperti dinyatakan Quraish Shihab bahwa karya tersebut masih merupakan penelitian awal dan ada beberapa persoalan yang belum dibahas secara tuntas.
Mendekati
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 133
BIBLIOGRAPHY Abu Zayd, Nasr hamid. Dekonstruksi Gender, terj Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta: Samha,2003. Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan, terj Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2004. Armstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi, terj Sirikit Syah. Surabaya: Risalah Gusti, 2004. Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Rosdakarya, 2000. Azra, Azyumardi. Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000. Engineer, Asghar Ali. Pembebasan Perempuan, terj Agus Nuryatno. Yogyakarta: Lkis, 2003. Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Ghafur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial. Yogyakarta: Elsaq press, 2005. Lang, Jeffrey. Bahkan Malaikat Pun Bertanya, terj Abdullah Ali. Jakarta: Serambi, 2002. Lang, Jeffrey. Berjuang Untuk Berserah, terj Eka Priangga dan Satrio Wahono. Jakarta: Serambi, 2003. Marhumah, Ema dan Lathiful Khuluq (Eds.), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 134
Rachman, Budhi Munawar-.Islam Pluralis. Jakarta: Grafindo Persada, 2004. Schimmel, Annemarie. Jiwaku Adalah Wanita, terj Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1998. Sharur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin. Yogyakarta: Elsaq Press, 2004. Shihab, Quraish. Wawasan Al-quran. Bandung: Mizan, 1996. Shihab, Quraish. Membumikan Al-quran. Bandung: Mizan, 1997. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-quran. Jakarta: Paramadina, 2001. Umar, Nasaruddin. "Perspektif Gender Dalam Islam" Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 1, 1998. Umar, Nasaruddin. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika, 2014. Umar, Nasaruddin. Mendekati Tuhan Dengan Kualitas Feminin. Jakarta: Quanta, 2014. Umar, Nasaruddin. Islam Fungsional. Jakarta: Quanta, 2014.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 135