BAB VIII Saripati Manajemen Rumah Sakit di Indonesia A. TUJUAN BELAJAR Setelah membaca bab ini, pembaca akan dapat menjelaskan tentang: 1. Berbagai jenis Rumah Sakit dan peraturan Menkes yang mengatur tentang organi‐ sasi dan tata kerja Rumah Sakit di Indonesia. 2. Penerapan manajemen di Rumah Sakit. 3. Jenis data yang direkam di Rumah Sakit dan manfaatnya. 4. Berbagai indikator mutu pelayanan Rumah Sakit dan cara menghitungnya. B. PENDAHULUAN Rumah Sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan memberikan dua jenis pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit rawat inap. Dalam perkembangannya, pelayanan Rumah Sakit tidak terlepas dari pembangunan ekonomi masyarakat. Perkembangan ini tercermin pada perubahan ftingsi klasik RS yang pada awalnya hanya memberi pelayanan yang bersifat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien melalui rawat inap. Pelayanan RS kemudian bergeser karena kemajuan ilmu pengetahuan (teknologi kedokteran) dan peningkatan pendapatan dan pendidikan masyarakat. Pelayanan.kesehatan RS saat ini tidak saja bersifat kuratif (penyembuhan) tetapi juga bersifat pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Sasaran pelayanan kesehatan RS bukan hanya untuk individu pasien, tetapi sudah berkembang mencakup keluarga pasien dan masyarakat umum. Fokus perhatiannya adalah pasien baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari sebuah keluarga. Dengan demikian pelayanan kesehatan di RS merupakan pelayanan kesehatan paripurna (komprehensif dan holistik). Dalam hal rujukan medik, RS juga diandalkan untuk memberikan pengayoman medik (pusat rujukan) untuk pusat‐pusat pelayanan yang ada di suatu wilayah kerja. Sifat pengayoman sangat erat kaitannya dengan klasifikasi Rumah Sakit. Ada empat jenis RS berdasarkan klasifikasi perumahsakitan di Indonesia yaitu klas A, B, C, dan D. Klas RS yang lebih tinggi (A) mengayomi kelas Rumah Sakit yang lebih rendah. Kelas RS yang lebih tinggi
mempunyai pengayoman wilayah yang lebih luas. Pengayoman ini dilaksanakan melalui dua sistem rujukan yaitu sistem rujukan kesehatan (berkaitan dengan upaya promotif dan preventif yang mencakup bantuan teknologi, sarana dan operasionalnya) dan rujukan medik (berkaitan dengan pelayanan yang meliputi upaya kuratif dan rehabilitasi). Dengan perabahan RS klas A dan B menjadi RS swadana, manajemen klasik RS di Indonesia juga mengalami perubahan. Perubahan ini menuntut lebih ditingkatkannya profesionalisme staf, tersedianya peralatan yang lebih canggih, dan lebih sempurnanya sistem administrasi RS sehingga mutu pelayanan kesehatan RS dapat terus ditingkatkan. C. JENIS RUMAH SAKIT DI INDONESIA Di Indonesia dikenal tiga jenis RS sesuai dengan kepemilikan, jenis pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga macam yaitu RS Pemerintah (RS Pusat, RS Propinsi, RS Kabupaten), RS BUMN/ABRI, dan RS swasta yang menggunakan dana investasi dari sumber dalam negeri (PMDN) dan sumber luar negeri (PMA). Jenis RS yang kedua adalah RS umum, RS Jiwa, RS Khusus (mata, paru, kusta, rehabilitasi, jantung, dan kanker dsb). Jenis RS yang ketiga adalah RS kelas A, klas B (pendidikan dan non pendidikan), RS. kelas C, dan RS. kelas D (Kep‐menkes No. 51 Menkes/SK/II/1979). Pada akhir PELITA VII, pemerintah akan meningkatkan status semua RS Kabupaten dari kelas D menjadi klas C. Kelas RS juga dibedakan berdasarkan jenis pelayanan yang tersedia. Untuk RS kelas A tersedia pelayanan spesialistik yang luas dan sub‐spesialistik. RS klas B mempunyai pelayanan minimal sebelas spesialistik dan subspesialistik terdaftar, RS kelas C mempunyai minimal 4 spesialistik dasar (bedah, penyakit dalam, kebidanan dan anak). Di RS kelas D terdapat pelayanan medis dasar. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 134 Menkes/SK/IV/78 th. 1978 tentang susunan organisasi dan tata kerja Rumah Sakit umum di Indonesia antara lain disebutkan: Pasal 1: Rumah sakit umum adalah organisasi di lingkungan Departeman Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Dirjen Yan Medik. Pasal 2: Rumah Sakit Umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan Kesehatan (caring) dan penyembuhan (curing) penderita serta pemulihan keadaan cacat badan dan jiwa (rehabilitation). Pasal 3: Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Rumah Sakit mempunyai fungsi: a. Melaksanakan usaha pelayanan medik b. Melaksanakan usaha rehabilitasi medik
c. Usaha pencegahan komplikasi penyakit dan peningkatan pemulihan ke sehatan. d. Melaksanakan usaha perawatan e. Melaksanakan usaha pendidikan dan latihan medis dan para mcdis. f. Melaksanakan sistem rujukan g. Sebagai tcmpat penelitian Pasal 4: a. Rumah Sakit Umum yang dimaksud dalam keputusan ini adalah RS. kelas A, kelas B, kelas C. b. Rumah Sakit Umum kelas A adalah RSU yang melaksanakan pe‐ layanan kesehatan yang spesialistik dan sub spesialistik yang luas. c. Rumah Sakit Umum kelas B adalah RSU yang melaksanakan pe‐ layanan kesehatan spesialistik yang luas. d. Rumah Sakit Umum kelas C adalah RSU yang melaksanakan pe‐ layanan kesehatan spesialistik paling sedikit 4 spesialis dasar yaitu Pe nyakit Dalam, Penyakit Bedah, Penyakit Kebidanan/Kandungan dan Kesehatan Anak. D. SUSUNAN ORGANISASI RSU DI INDONESIA Untuk Rumah Sakit Umum kelas A, susunan organisasinya diatur sesuai dengan SK Menkes no 543/VI/94 adalah sbb: a. Direktur b. Wakil Direktur yang terdiri dari: 1. Wadir Pelayanan Medik dan Keperawatan 2. Wadir Penunjang medik dan Instalasi 3. Wadir Umum dan Keuangan 4. Wadir Komite Medik Masing‐masing Wadir diberikan tanggung jawab dan wewenang mengatur beberapa bidang/bagian pelayanan dan keperawatan serta instalasi. Instalasi RS diberikan tugas untuk menyiapkan fasilitas agar pelayanan medis dan keparawatan dapat terlaksana dengan baik. Instalasi RS dipimpin oleh seorang kepala yaog diberikan jabatan non struktural. Beberapa jenis instalasi RS yang ada pada RS klas A adalah Instalasi rawat jalan, rawat darurat, rawat inap, rawat intensif, bedah sentral, farmasi, patologi anatomi, patologi Klinik, gizi, laboratorium, perpustakaan, pemeliharaan sarana rumah sakit (PSRS),
pemulasaran jenasah, sterilisasi sentral, pengamanan dan ketertiban lingkungan, dan binatu. Wadir Komite Medik (KM) juga diberikan jabatan non struktural yang fungsinya menghimpun anggota yang terdiri dari para kepala Staf Medik Fungsional (SMF). KM diberikan dua tugas utama yaitu menyusun standard pelayanan medis dan memberikan pertimbangan kepada direktur dalam hal: 1. Pembinaan, pengawasan, dan penelitian mutu pelayanan medis, hak‐hak klinis khusus kepada SMF, program pelayanan medis, pendidikan dan pelatihan (diklat), serta penelitian dan pengembangan (litbang). 2. Pembinaan tenaga medis dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan etika profesi. Semua kepala SMF diangkat oleh Dirjen Yan. Medik Depkes RI berdasarkan usulan dari Direktur RS. Dengan mengkaji struktur organisasi dan tugas‐tugas pokok RS dapat dibayangkan bahwa manajemen sebuah RS hampir mirip dengan manajemen perhotelan. Hanya yang membedakannya adalah mereka yang berkunjung ke RS dan jenis pelayanannya. Masyarakat yang berkunjung ke RS adalah mereka memerlukan pelayanan medis karena keluhan dan kejadian sakit yang dideritanya. Pembentukan KM. di RS sangat diperlukan untuk membantu tugas‐tugas Direktur RS dalam menjaga mutu dan etika pelayanan RS. KM dibentuk berdasarkan SK Dirjen Yan. Medik Depkes RI sesuai dengan usul Direktur RS. Masa kerja Wadir KM adalah tiga tahun. Di bawah wadir KM terdapat panitia infeksi nosokomial, panitia rekam medis, farmasi dan terapi, audit medik, dan etika. SMF yang penggantikan UPF (Unit Pelaksanan Fungsional) terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter sub‐spesialis. Mereka mempunyai tugas pokok menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, pencegahan penyakit, peningkatan dan pemulihan kesehatan, penyuluhan, pelatihan dan penelitian pengem‐bangan pelayanan medis. Untuk RS klas A, jumlah SMF yang dimiliki minimal 15 buah yaitu (1) Bedah (2) Kesehatan Anak (3) Kebidanan dan Penyakit Kandungan, (4) Penyakit Dalam. (5) Penyakit Saraf, (6) Penyakit Kulit dan kelamin.(7) THT (8) Gigi dan Mulut (9) Mata (10) Radiologi (11) Patologi Klinik (12) Patologi Anatomi (13) Kedokteran Kehakiman (14) Rehabilitasi Medik (15) Anastesi. Masing‐masing Wadir juga dilengkapi sekretariat khusus dan bidang‐bidang yang
dibagi lagi menjadi sub‐bagian dan seksi (sesuai dengan SK. Menkes No. 134). Susunan organisasi RSU klas B hampir sama dengan klas A. Bedanya hanya terletak pada jumlah dan jenis masing‐masing SMF. Untuk RSU klas B tidak ada subspe‐sialisasinya. Susunan organisasi RS klas C dan D lebih sederhana jika dibandingkan dengan klas A dan B. Di sini tidak ada wakil direktur tetapi dilengkapi dengan staf khusus yang mengurusi administrasi. Kondisi ini berpengaruh pada jenis pelayanan medis dan jumlah staf profesional (medis dan paramedis) yang dipekerjakan di masing‐masing RS ini. Secara umum, jenis kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan juga akan ikut menentukan peningkatan klas sebuah RS di suatu wilayah, terutama yang berlokasi di ibu kota propinsi. E. PROSES PERENCANAAN DI RUMAH SAKIT Perencanaan adalah sialah satu fungsi manajemen yang penting. Oleh karenanya perencanaan memegang peranan yang sangat strategis dalam keberhasilan upaya pe‐ layanan di sebuah RS. Dengan menerapkan sistem perencanaan yang baik, manajemen RS sesungguhnya sudah memecahkan sebagian dari masalah pelayanan di RS tersebut karena upaya pengembangan RS sudah didasarkan pada kebutuhan nyata perkembangan masalah kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Ada beberapa jenis perencanaan di sebuah RS. a. Perencanaan pengadaan obat dan logistik Dalam mcrencanakan pengadaan obat dan logistik (blanko catatan medis atau CM, kertas rescp, bahan laboratorium dsb). Ada dua pendekatan yang umum digunakan untuk mcrencanakan pengadaan obat dan logistik RS yaitu: 1. Pola konsumsi Dengan pendekatan ini, kebutuhan RS akan obat‐obatan dan logistik dapat dihitung berdasarkan: 1. Persediaan barang yang masih tersedia pada akhir tahun 2. Kebutuhan tahun lalu 3. Kecenderungan‐kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Contoh kebutuhan obat tahun 1997 Sisa obat akhir tahun 1996 = Y. Penghabisan obat tahun 1996= X, perkiraan terjadinya peningkatan kebutuhan obat tahun 1997, misalnya 10% Obat yang direncanakan = X + 10% x (X ‐ Y) = 1— (X‐Y) 2. Pola epidemologi Kebutuhan obat yang dianalisa dengan menggunakan pendekatan epidemiologi dapat
dilakukan dengan menghitung jumlah kunjungan dan jenis penyakit yang dilayani pada tahun‐tahun sebelumnya. Di sini data kunjungan jenis penyakit, standar terapi dan ALOS (Average Length of Stay) untuk masing‐masing penyakit memegang peranan yang sangat menentukan. Misalnya 1. Standar terapi tintuk Thypoid: Chlorampenicol 4x2 Capsul, Antipiretik (Paracetamol) 3x1, Vit. B. Complek 3x1 2. Rata‐rata hari rawat (ALOS) = 10 hari 3. Jumlah pasien yang dirawat dengan diagnosa thypoid dalam satu tahun 500 penderita. 4. Penyakit thypoid fever pada orang dewasa Perkiraan kebutuhan obat untuk penderita thypoid fever yang dirawat di RS tersebut dalam satu tahun adalah: 1. Chlorampenikol = 4 x 2 x 10 x 500 = 40.000 cap. 2. Paracetamol = 3 x 10 x 500 = 15.000 tab. 3. B Complek = 3 x 10 x 500 = 15.000 tab. Jumlah seluruh kebutuhan obat dianalisa dalam 1 tahun adalah jumlah seluruh ke‐ butuhan obat untuk jenis penyakit yang dirawat di RS tersebut dalam dengan satu tahun ditambah dengan obat yang direncanakan dalam tahun mendatang adalah = jumlah kebutuhan obat dalam satu tahun + kecenderungan kenaikan kebutuhan obat, dikurangi dengan persediaan obat pada akhir tahun. Kedua pendekatan pengadaan obat seperti ini ada keuntungannya, tetapi juga me‐ngandung unsur kelemahan. Keuntungannya, manajemen RS mempunyai pengalam‐an untuk mengembangkan perencanaan obat dan logistik sesuai dengan kebutuhan yang kemudian dapat dievaluasi ketepatan perencanaannya pada tahun mendatang. Kelemahannya, prediksi perkembangan berbagai jenis penyakit di sualu wiluyah Li‐ dak mudah dilakukan dan sering kurang cermat karena tergantung dari beberapa fak‐tor lain seperti perilaku masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan dasar untuk upaya pencegahannya. b. Perencanaan tenaga di RS Perencanan ketenagaan (staf developmen) di sebuah RS didasarkan pada empat faktor yaitu kebutuhan tenaga yang baru, tenaga yang sudah tersedia, tenaga yang sudah berhenti
(pensiun), tenaga yang akan pensiun. Kebutuhan tenaga di RS sudah diatur secara umum melalui peraturan pemerintah No. 5 tahun 1976 yaitu tentang formasi kepegawaian (Pegawai Negeri Sipil). Pertim‐bangan yang sering dipakai untuk merencanakan kebutuhan tenaga di sebuah RS ada‐lah sebagai berikut: 1. Jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh RS tersebut. 2. Sifat dari pekerjaan di RS tersebut. 3. Perkiraan beban tugas masing‐masing pekerjaan tersebut. 4. Perkiraan kapasitas pegawai yang mampu ditampung oleh RS tersebut. 5. Jenis dan jumlah peralatan medis yang tersedia. Yang dimaksud dengan tenaga di RS berdasarkan jenis pekerjaannya adalah tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga penunjang medis, dan staf administrasi. Sifat pekerjaan di Rumah Sakit juga ada beberapa jenis yaitu pekerjaan yang berisiko tinggi (efek radiasidi inst. Rontgent), pekerjaan yang terus menerus harus dilaksanakan selama 24 jam yaitu IGD, Unit Perawatan dsb. Jenis tenaga dan sifat pekerjaan ini merupakan variabel penting dalam merencanakan kebutuhan tenaga di sebuah RS. Cara menghitung kebutuhan tenaga Di dalam menentukan jumlah dan kualifikasi tenaga yang dibutuhkan untuk sebuah Rumah Sakit umumnya ditetapkan melalui tiga cara: 1. Melalui perhitungan jumlah tenaga yang dibutuhkan untuk setiap jenis pekerjaan KT = Kemampuan Pegawai BK = Beban kerja KP = Kapasitas (Kemampuan) Pegawai 2. Perkiraan Bagi jenis pekerjaan yang sulit atau tak mungkin dihitung kebutuhan tenaganya ditentukan berdasarkan perkiraan yang diperoleh setelah melakukan melalui studi banding di RS sejenis lainnya dan perkiraan fungsi‐fungsi yang harus dijalankan oleh RS tsb. 3. Pengutipan Jumlah tenaga yang dibutuhkan umumnya dikutip dari standar tenaga yang telah ditentukan untuk RS berdasarkan SK. Menteri Kesehatan No. 262/1975, Misalnya: kebutuhan minimal Dokter umum untuk RS kelas A = 0, kelas C = 11', kelas B 11, kelas D = 3
F. FUNGSI PENGGERAKAN (ACTUATING) DI RS Organisasi RS adalah sebuah organisasi yang sangat komplek. Manajemennya hampir sama dengan manajemen sebuah hotel, hanya saja pengunjungnya yang berbeda yaitu penderita (orang yang sedang sakit) dan keluarganya yang pada umumnya juga mempunyai beban sosial‐psikologis akibat penyakit yang diderita oleh anggota keluarganya yang sedang dirawat. Kompleksitas fungsi aktuating di sebuah RS juga dipengaruhi oleh dua aspek lain yaitu: 1. Sifat pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada konsumen penerima jasa pelayanan (customer services). Hasil perawatan pasien sebagai customer RS ada tiga kemungkinan yaitu sembuh sempurna, sembuh dengan kecacatan, dan matt. Apa pun kemungkinan hasilnya, kualitas pelayanan hams diarahkan untuk kepuasan pasien (patient satisfaction) dan keluarganya. 2. Pelaksanaan fungsi aktuating cukup komplek karena tenaga yang bekerja di RS. terdiri dari berbagai jenis profesi. Kompleksitas ketenagaan dan jenis profesi yang dimiliki oleh RS, menuntut dikembangkannya kepemimpinan partisipatif oleh pihak pimpinan RS. Model kepemimpinan manajerial seperti ini juga merupakan faktor penentu berkembangnya mutu pelayanan RS (quality of services) karena pekerjaan di RS hampir semuanya saling terkait satu sama lain. Atas dasar ini, pelayanan di RS perlu mengembangkan sistem jaringan kerja (networking) yang saling menunjang satu sama lain. Dari dinamika manajemen dan administrasi RS, semua staf RS harus memahami visi, misi dan kebijakan yang dikembangkan oleh pimpinan RS. Untuk menjaga ke‐mandirian tugas‐tugas profesi yang bersifat otonomi dari masing‐masing SMF, kualitas pelayanan di RS juga hams disesuaikan dengan standar profesi yang sudah ditetapkan berdasarkan keputusan bersama masing‐masing perkumpulan dokter ahli (ikatan profesi). Standar profesi dikenal dengan medical of conduct yang akan berpengaruh pada mutu pelayanan RS (quality of care). Sehubungan dengan kompleksitas sistem ketenagaan dan misi yang harus diemban oleh RS, penerapan fungsi actuating pada manajemen RS sangat tergantung dari beberapa faktor yaitu kepemimpinan direktur RS, koordinasi yang dikembangkan oleh masing‐masing Wadir, komitmen dan profesionalisme tenaga kesehatan yang tersedia di RS (dokter, perawat dan tenaga penunjang lainnya), dan pemahaman konsumen RS (pasien dan
keluarganya) akan jenis jasa pelayanan yang tersedia di RS. Dari aspek profesi, peranan dokter ahli sangat besar peranannya di dalam penerapan fungsi actuating ini. Sifat otonomi profesi di masing‐masing SMF harus diatur agar jangan menghambat penerapan fungsi manajemen RS karena mereka kurang menyadari visi dan misi pelayanan RS yang ingin dikembangkan oleh pihak manajemen (direktur) RS. Untuk itulah pentingnya fungsi RS dilihat dari konteks kesatuan kcrja dalam sebuah tatanan sistem yang tcrpadu, dan pelayanan kesehatan di masing‐masing SMF sebagai subsistemnya. Di pihak lain, intcasitas dan frckuensi komunikasi antara pihak pimpinan RS dan staf profesional (SMF) sebagai pelaksana teknis pelayanan perlu terns dikembangkan. Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi merupakan faktor penting di dalam pengembangan fungsi aktuating. Ketiganya akan rae‐mudahkan penjabaran kebijakan pimpinan RS dalam pengembangan mutu pelayanan kesehatan oleh masing‐masing profesi (SMF) yang terlibat dalam sistem pelayanan kesehatan RS. Di sisi lain, dibutuhkan juga peningkatan keterampilan manajerial di pihak pimpinan RS sehingga lebih mampu mengintegrasikan masing‐masing tugas SMF ke dalam satu kesatuan gerak (networking) yang harmonis dan saling menun‐jang untuk mencapai peningkatan mutu dan efektifitas sistem pelayanan RS. Kalau hal ini kurang dipahami oleh pihak manajemen RS, SMF yang mempunyai otonomi profesi dalam melaksanakan tugas‐tugas pelayanan kepada konsumen RS cenderung akan bertindak sendiri, tanpa memperhatikan dukungan (in put) sistem pelayanan RS seperti teknologi dan peralatan kedokteran, logistik, keuangan, dsb. Budaya kerja SMF juga perlu terus diarahkan agar mereka lebih menyadari akan peranannya sebagai staf RS yang diberikan tugas istimewa memberikan asuhan pelayanan medik dan kesehatan kepada masyarakat (customer) yang menggunakan jasa pelayanan RS. G. REKAM MEDIK DAN KESEHATAN SEBUAH RS Rekam medik (RM) RS merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan manajemen RS. RMRS harus mampu menyajikan informasi lengkap tentang proses pelayanan medis dan kesehatan di RS, baik di masa lalu, masa kini maupun perkiraan di masa datang tentang apa yang akan terjadi. Aspek hukum peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang pengisian RM dapat memberikan sanksi hukum bagi RS atau petugas kesehatan yang melalaikan, dan berbuat khilaf lain dalam pengisian lembar‐lembar RM. Ada dua kelompok data RMRS di sebuah RS yaitu kelompok data medik dan kelompok data umum.
1. Data medik Data medik dihasilkan sebagai kewajiban pihak pelaksana pelayanan medis (termasuk residen), para medis, dan ahli kesehatan yang lain (paramedis keperawatan dan para‐medis non keperawatan). Mereka akan mendokumentasikan semua hasil pemeriksaan dan pengobatan pasien dengan menggunakan alat perekam tertentu baik secara manual maupun dengan komputer. Jenis rekamannya disebut dengan rekam medik dan kesehatan (Buku Pedoman catatan Medik Seri‐7. Revisinya dibuat berdasarkan Permenkes no 749 a/Menkes/Per/XII/88). Petunjuk teknis RMRS sudah tersusun tahun 1992 dan diedarkan ke seluruh jajaran organisasi RS di Indonesia. Ada dua jenis RMRS: 1.1, RM untuk pasien rawat jalan termasuk pasien gawat darurat yang berisi tentang identitas pasien, hasil anamnesis (keluhan utama, riwayat sekarang, riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat keluarga lentang penyakit) Diagnostik kerja, dan Pengobatan/tindakan. Pencatatan data ini harus diisi selambat‐lambatnya 1 x 24 jam setelah pasien diperiksa. 1.2. Isi RM untuk pasien rawat inap. Hampir sama dengan isi rekam medis untuk pasien rawat jalan kecuali beberapa hal seperti: persetujuan pengobatan/tindakan, catatan konsultasi, catatan perawatan oleh perawat dan tenaga ke‐sehatan lainnya, catatan observasi klinik, hasil pengobatan, resume akhir dan evaluasi pengobatan. 2. Data umum Data umum dihasilkan oleh kelompok kegiatan non medik akan mendukung kegiatan kelompok data medik di poliklinik. Beberapa Contoh kegiatan poliklinik adalah kegiatan persalinan, kegiatan radiologi, kegiatan perawatan, kegiatan pembedahan, kegiatan laboratorium, dsb. Data umum pendukung didapatkan dari kegiatan pe‐makaian ambulan, kegiatan pemesanan makanan, kegiatan kepegawaian, kegiatan keuangan dsb. Data umum ini juga berguna untuk berbagai pihak di luar RS seperti badan‐badan sosial, penegak hukum, instansi pemerintah, institusi pendidikan, asuransi dsb. Tetapi yang terpenting, data ini juga sangat berguna untuk RS yang bersangkutan da‐lam upaya penataan pelaksanaan manajemen RS khususnya dalam upaya perbaikan perencanaan kegiatan pelayanan dan evaluasi hasilnya. Yang bertanggung jawab atas pemilikan dan pemanfaatan rekam medis adalah di‐rektur RS. Pihak direktur bertanggung jawab atas hilang, rusak, atau pemalsuannya,
termasuk penggunaannya oleh badan/orang yang tidak berhak. Isi rekam medis dimiliki oleh pasien yang wajib dijaga kerahasiaannya terutama oleh petugas kesehatan yang bertugas di ruangan selama pasien dirawat. Tidak seorangpun dibolehkan mengutip sebagian atau seluruh isi rekam medis sebuah RS untuk kepentingan pihak‐pihak lain atau perorangan, kecuali yang ditentukan oleh peraturan perundang‐undangan yang berlaku. Ada 7 kegunaan rekam medis di RS yaitu aspek administrasi, medis, hukum, keuangan, penelitian, pendidikan, dan dokumentasi. Aspek administrasi rekam medis penting ditinjau dari nilai administrasinya karena isinya menyangkut kewenangan dan tanggung jawab tenaga medis dan para medis untuk mencapai tujuan perawatan pasien. Dalam hal ini, RM merupakan sumber informasi dari pasien yang berobat/di‐rawat di sebuah RS. Aspek medis RM merupakan dasar untuk merencanakan peng‐obatan/perawatan pasien, termasuk untuk alat komunikasi antar dokter dan antara dokter dengan petugas kesehatan lainnya dan untuk evaluasi kualitas pelayanan RS. Selain itu, RM juga erat kaitannya dengan aspek hukum seandainya ada tuntutan ter‐hadap pelayanan yang diterima oleh pasien. Dari aspek keuangan, RM penting arti‐nya untuk menetapkan besarnya biaya yang harus dibayar oleh pasien/pihak‐pihak yang menanggungnya. Data RM RS juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian dan sebagai dasar untuk menyusun laporan rutin RS. Berkas RM sebuah RS tidak boleh dikirimkan ke tempat perawatan lain jika seandainya pasien dirujuk untuk mcndapat perawatan lanjutan di instltusi/RS lain. Yang dikirimkan cukup resume (kesimpulan) saja. Kelalaian dalam pengelolaan dan pemanfaatan RM dapat dikenai sanksi oleh komite medik atau direktur. H. INDIKATOR PENILAIAN MUTU ASUHAN KESEHATAN Mutu asuhan kesehatan sebuah RS akan selalu terkait dengan struktur, proses, dan outcome sistem pelayanan RS tersebut. Mutu asuhan pelayanan RS juga dapat dikaji dan tingkat pemanfaatan sarana pelayanan oleh masyarakat, mutu pelayanan dan tingkat efisiensi RS. Ada beberapa aspek penting yang perlu dikaji jika ingin memba‐has indikator mutu pelayanan RS. Aspek struktur Struktur adalah semua masukan (input) untuk sistem pelayanan sebuah RS yang meliputi tenaga, peralatan, dana, dsb. Ada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa jika struktur sistem RS tertata dengan baik, akan lebih menjamin mutu asuhannya. Baik tidaknya struktur RS diukur dari tingkat kewajaran, kuantitas, biaya (efisiensi), mutu dari
masing‐masing komponen struktur. Proses Proses adalah semua kegiatan dokter dan tenaga profesi lainnya yang mengadakan in‐teraksi secara profesional dengan pasiennya. Interaksi ini diukur antara lain dalam bentuk penilaian tentang penyakit pasien, penegakan diagnosa, rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan penyakit, dan prosedur pengobatan. Dalam hal ini juga dianut asumsi bahwa semakin patuh tenaga profesi menjalankan "standars of a good practice" (standard of conduct) yang telah diterima dan diakui oleh masing‐masing ikatan profesi akan semakin tinggi pula mutu asuhan ter‐hadap pasien. Baik tidaknya pelaksanaan proses pelayanan di RS dapat diukur dari tiga aspek yaitu relevan tidaknya proses itu bagi pasien, efektifitas prosesnya, dan kualitas interakasi asuhan terhadap pasien. Out come Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter dan tenaga profesi lainnya terhadap pasien. Petunjuk untuk mengukur mutu asuhan kesehatan. Indikator‐indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan medis meliputi: 1. Angka infeksi nosokomial
(1‐2%)
2. Angka kematian kasar (gross death rate)
(3‐4%)
3. Kematian pasca bedah
(1‐2%)
4. Kematian ibu melahirkan (MDR)
1‐2%
5. Kematian bayi baru lahir (IDR)
20/1000.
6. NDR (net death rate di atas 48 jam)
2.5%
7. ADR (anasthesia death rate)
max. 1/5000
8. PODR (post operation death rate)
1%
9. POIR (post operative infection rate)
1%
Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS: 1. Unit cost untuk rawat jalan 2. Jumlah penderita yang mengalami decubitus. 3. Jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur. 4. BOR: 70‐85% 5. BTO (Bed turn over) : 5 ‐ 45 hari atau 40‐50 kali per satu TT/thn
6. TOI (Turn over interval) :l‐3 hari TT yang kosong. 7. ALOS (Average length of stay) : 7 ‐ 10 hari. 8. Normal Tissue Removal Rate : 10% Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien dapat diukur dengan: 1. Jumlah keluhan dari pasien/keluarganya 2. Surat pembaca di koran 3. Surat kaleng 4. Surat masuk di kotak saran, dsb. Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri dari: 1. Jumlah dan prosentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS dengan asal pasien. 2. Jumlah pelayanan dan tindakan medik. 2.1. Jumlah tindakan pembedahan. 2.2. Jumlah kunjungan SMF spesialis. 3. Pemanfaatan oleh masyarakat: 3.1. Contac rate 3.2. Hospitalization rate 3.3. Out patient rate. 3.4. Emergency out patient rate Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka‐angka standar tersebut di atas dibandingkan dengan standar (indikator) nasional. Jika tidak ada angka standar nasional, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan hasil pencatatan mutu pada tahun‐tahun sebelumnya di RS yang sama setelah dikembangkan kesepakatan pihak manajemen/direksi RS ybs dengan masing SMF dan staf lainnya yang terkait. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien: 1. Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi 2. Pasien diberi obat salah 3. Tak ada obat/alat emergensi 4. Tak ada oksigen 5. Tak ada alat penyedot lendir 6. Tak tersedia alat pemadam kebakaran 7. Pemakaian obat 8. Pemakaian air, listrik, gas, dsb.
Mutu pelayanan medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan manajemen RS (quality of services) dan keprofesionalan SMF dan staf lainnya di RS (quality of care). Keduanya merupakan bagian dari manajemen menjaga mutu di RS (quality assurance) melalui pembentukan gugus kendali mutu di tingkat manajemen RS. Dalam hal ini, gugus kendali mutu dapat dibebankan kepada komite medik RS karena mereka adalah staf fungsional (non struktural) yang membantu direktur RS dan yang melibatkan sepenuhnya semua SMF RS. I. RUMUS UNTUK MENGHITUNG MUTU PELAYANAN RS 1. Bed Occupancy Rate (BOR) Persentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tentang tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur RS. Rumus: Jumlah hari perawatan di RS ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ x 100 % Jumlah TT x 365 2. Average Length of Stay (ALOS) Rata‐rata lamanya perawatan seorang pasien. Indikator ini dapat menggambarkan tingkat efisiensi manajemen pasien di sebuah RS, untuk mengukur mutu pelayanan apabila diagnosis penyakit tertentu dijadikan tracernya (sesuatu yang perlu diamati le‐bih lanjut). Rumus: Jumlah hari perawatan pasien dalam 1 tahun ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ Jumlah pasien keluar jumlah pasien keluar (hidup + mati) 3. Bed Turn Over (BTO) Frekuensi pemakaian tempat tidur dalam satu satuan waktu (biasanya per tahun) tempat tidur RS. Indikator ini akan memberikan gambaran tentang tingkat pemakaian tempat tidur di sebuah RS. Rumus: Jumlah pasien keluar RS (hidup + mati) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ Jumlah tempat tidur
4. Turn Over Interval (TOI) Rata‐rata hari tempat tidur tidak ditempati dari saat ke saat sampai terisi berikutnya. Indikator ini juga memberikan gambaran tentang tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Rumus: (Jumlah TT x hari) ‐ hari perawatan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ Jumlah pasien keluar (hidup+mati) 5. Net Death Rate (NDR) Angka kematian di atas 48 jam setelah dirawat di RS untuk tiap‐tiap 100 penderita yang keluar dari RS. Rumus: Jumlah pasien mati di atas 48 jam dirawat ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ x 100% Jumlah pasien keluar hidup dan mati di bawah 48 jam 6. Gross Death Rate (GDR) Angka kematian umum penderita keluar RS. Rumus: Jumlah pasien mati setelah dirawat ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ x 100% Jumlah pasien keluar rumah sakit (hidup + mati) Latihan soal ! Catatan ! kurang lebih (ada 7 soal) seperti ini soal yang akan keluar di UAS MUK1, 1. Apa yang saudara ketahui tentang manajemen rumah sakit ? 2. Sebutkan jenis rumah sakit berdasarkan kepemilikan ? manakah yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia ? 3. Bagaimakah peran kepala rekam medis dalam organisasi di suatu rumah sakit ? 4. Apa yang saudara ketahui tentang Komite Medik (KM)? apakah semua organisasi RS memerlukan KM, berikan alasannya ! 5. Mengapa Dalam menentukan staff di rumah sakit perlu memperhatikan Kemampuan Pegawai, Beban Kerja, dan Kapasitas Kerja, Jelaskan ! 6. Apa persamaan dan perbedaan manajemen rumah sakit dengan manajemen perhotelan ? 7. Apakah yang dimaksud dengan kerahasiaan pasien harus dijaga ? apa hak dan kewajiban dari seorang pasien rumah sakit. 8. Apa yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan ? bagaimana cara mencapainya ? 9. Apa yang suadara ketahui manfaat pengawasan dalam suatu organisasi ? 10. Jelaskan perluanya evaluasi dalam organisasi.