Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
KESEHATAN EKOSISTEM BENTIK DELTA BERAU (Kajian Awal Dengan Pendekatan Kualitas Sedimen) Z. Arifin, P.Widianwari dan D. Hindarti Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jl. Pasir Putih I, Jakarta 14430
Abstrak Delta Berau, Kalimantan Timur, merupakan ekosistem yang komplek dengan sungai Berau sebagai kontributor utama padatan tersuspensi. Faktor-faktor penting yang akan mempengaruhi dinamika delta Berau antara lain, padatan tersuspensi, kontaminan dan kegiatan masyarakat di daerah hulu atau daratan. Sampai saat ini, pengetahuan tentang sumber kontaminan, pergerakannya serta hubungan antara kontaminan dan kegiatan di daerah hulu seperti kehutanan, pertambangan batubara dan transportasi hilir belum banyak dikaji. Penelitian kami mengkaji kegiatan daerah hulu dan implikasinya terhadap ekosistem bentik yang akan dilakukan selama tiga tahun (2006 – 2008). Tujuan penelitian awal ini adalah mengkaji kesehatan ekosistem delta Berau berdasarkan pada tiga komponen yaitu kualitas sedimen, komunitas bentik dan uji toksisitas (bioassay). Kajian awal kami menunjukkan bahwa delta Berau dapat dikategorikan sebagai ekosistem yang belum mengalami gangguan (undisturbed ecosystem) khususnya gangguan kontaminan logam berat seperti Hg, Cd, Cu, Pb. Konsentrasi keempat kontaminan logam tersebut relatif rendah dan dapat dikategorikan sebagai kondisi alami. Kandungan padatan tersuspensi masih berkisar antara 2.8 dan 22.7 mg/l. Uji toksisitas sedimen juga munjukkan bahwa sedimen delta Berau tidak memberikan efek negatif terhadap proses fertilisasi telur bulu babi. Hal ini juga ditunjukkan dengan tingginya indek keragaman komunitas bentik (H = 3.79) dengan takson yang umum terdiri dari polychaeta, krustasea dan moluska. Kajian awal kami menyimpulkan bahwa kegiatan di daerah hulu belum menunjukkan adanya tekanan negatif terhadap kesehatan ekosistem bentik delta Berau. Kata kunci : Delta Berau, sedimen, bentik, toksisitas 1. PENDAHULUAN Delta Berau merupakan zona peralihan (ekoton) ekosistem daratan dan ekosistem pantai yang saat ini banyak mengalami perubahan akibat pembangunan ekonomi yang cepat. Empat faktor utama pendorong perubahan Delta Berau, khususnya sistem bentik delta Berau adalah pertambahan penduduk/pelancong, perikanan, tambang batu bara dan kehutanan. Keempat faktor tersebut mulai memberikan pengaruhnya ke delta Berau dalam bentuk perubahan lahan, berkurangnya habitat. Kabupaten Berau memiliki luas wilayah 24.210 km2 termasuk didalamnya 21 sistem sungai dan 7 danau (Keularttz and Zwart, 2003). Pada tahun 1996 jumlah populasi sekitar 90.064 orang dengan tingkat pertumbuhan populasi rata-rata tahunan 5.5%. Jika laju pertumbuhan antara 5.5 – 11.1%, dengan tingkat urbanisasi yang tinggi, maka pada tahun 2025 jumlah penduduk Kabupaten Berau mencapai berkisar antara 441.322 – 1.857.445 orang. Pertumbuhan penduduk ini secara nyata akan memberikan dampak terhadap sumberdaya alam yang ada. Ancaman utama terhadap sumberdaya alam adalah hilangnya habitat akibat pengusahaan hutan yang tidak terkontrol. Di Kabupaten Berau pada tahun 1996, luas hutan sekitar 1.940.000 ha dan pada tahun 2000 kawasan hutan tersisa 1.800.000 ha atau mengalami penuruan sekitar 6% selama 4 tahun (Steenis in ISBN 979.704.482.3 276
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
Keularttz and Zwart, 2003). Dengan tingkat penggunaan hutan yang tinggi, hal ini menyebabkan meningkatnya transportasi beban sedimen yang menyebabkan ancaman bagi ekosistem pantai. Peningkatan bahan kontaminan ke perairan delta Berau dapat dipandang suatu hal yang tidak dapat dihindarkan sebagai konsekwensi pembangunan ekonomi, namun demikian dampak buruk senyawa-senyawa kontaminan dapat di kurangi jika keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi sumberdaya alam dapat diselaraskan. Pengetahuan tentang kondisi lingkungan, sumber kontaminan (contaminant sources), sebaran kontaminan (transport pathway) dan interaksi ketiganya dengan kegiatan ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan bagi para manajer dan pengambil keputusan, karena pencemaran di kawasan pantai terjadi sangat cepat (jam – tahun) tetapi proses pemulihan akibat pencemaran membutuhkan waktu yang relatif lama (puluhan atau ratusan tahun). Monitoring bahan kontaminan telah banyak dilakukan di perairan Indonesia (Tresnasari, 2001; Anggoro, 2004; Arifin, 2004; Kadang. 2005), namun upaya untuk memprediksi perubahan ekosistem bentik sangat jarang dilakukan. Pendekatan terintegrasi antara komponen biotik, toksisitas dan geokimia kontaminan sebagai upaya mengevaluasi kesehatan ekosistem bentik telah umum dilakukan di daerah subtropik dan temperate (Chapman, 2000; Long dan Chapman, 1985; Hendricks, 1994; Leslie et al., 1999). Di daerah tropik pendekatan terintegrasi untuk mengkaji kesehatan ekosistem bentik jarang atau bahkan belum banyak dilakukan. Penelitian kami, yang merupakan kajian awal, berupaya menggabungkan antara pengamatan lapangan, analisis kimia sedimen dan bioassay sedimen untuk mengetahui kesehatan ekosistem bentik Delta Berau.
2. BAHAN DAN METODOLOGI 2.1. Kondisi sistem pelajik dan bentik Indikator kondisi lingkungan abiotik dilakukan dengan pengambilan conto air dan pengukuran variable abiotik yaitu suhu air laut (oC), salinitas (psu), oksigen terlarut (DO, ppm), derajat keasaman perairan (pH) dan total padatan tersuspensi (TSS, mg/l). Konsentrasi logam berat di sistem pelajik (kolom air) diambil dengan menggunakan botol vandorn (VanDorn bottle), sedangkan pengambilan contoh untuk bentik sistem (sedimen) dilakukan dengan cawuk Smith McIntyre yang memiliki bukaan mulut 0,05 m2. 2.2. Logam berat dalam sedimen Contoh sedimen diambil dengan metoda cawuk Smith McIntyre (0.05 m2), kemudian contoh sedimen di simpan dalam botol gelas ditutup secara rapat. Selanjutnya di simpan di dalam boks pendingin untuk di bawa ke Lab Kimia Bandung. Logam berat (Pb, Cd, Cr, Cu Mn Zn dan Fe) dalam sedimen dianalisa dengan menggunakan metoda 3111B (APHA, 2000), demikian juga dengan logam Hg 2.3. Uji biologis kualitas sedimen Untuk mengetahui kualitas sedimen Delta Berau, dilakukan uji toksisitas sedimen terhadap sperma bulu babi Tripneustes gratila. Bulu babi diambil dari perairan Lombok. Pelaksanaan uji dilakukan berdasarkan PSEP (1995) yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Lama uji adalah 20 menit. Pada 10 menit pertama, sperma bulu babi diekspos pada larutan uji, kemudian ditambahkan telur dan didiamkan selama 10 menit untuk proses fertilisasi. Rasio sperma dan telur yang digunakan adalah 6000:1. Efek toksik diindikasikan dengan menurunnya kemampuan sperma dalam membuahi sel telur yang dapat dilihat dari ISBN
979.704.482.3
277
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
persentase telur yang tidak terbuahi (unfertilized eggs) pada perlakuan dibanding dengan kontrol. Parameter kualitas air yang diukur selama uji adalah DO, salinitas, pH, dan suhu air. 2.4. Pengambilan contoh makrobentos Telaah profil komunitas makrobentos di sekitar muara Berau dilakukan berdasarkan analisis 48 contoh sedimen dari 16 stasiun subtidal berkedalaman 2 – 20 meter (Gambar 1). Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan cawuk Smith McIntyre yang memiliki bukaan mulut 0,05 m2. Dari setiap pencuplikan, sedimen ditempatkan ke dalam ayakan bermata saringan 500 µm dan dibilas in situ dengan air laut hingga relatif bersih dari lumpur. Residu sedimen tersebut kemudian dimasukkan kedalam kantung plastik yang telah diberi label dan difiksasi dengan campuran Formalin 10 % dan Rose Bengal. Di laboratorium Puslit Oseanografi LIPI, Ancol – Jakarta, penyortiran dan pemilahan fauna dilakukan berdasarkan pengelompokan 5 taksa utama (Crustacea, Moluska, Ekinodermata Polychaeta, dan Miscellaneous Group. Selain cuplik fauna, di setiap stasiun pengambilan contoh juga dilakukan pengukuran beberapa parameter fisika-kimia perairan; meliputi oksigen terlarut, pH, temperatur dan salinitas. Untuk mengetahui kandungan bahan organik (Total Organic Matter; TOM) dan karakteristik butir sedimen maka pada setiap stasiun juga dilakukan cuplik sedimen ulangan ke empat. Kandungan total bahan organik ditentukan berdasarkan metoda pengabuan pada suhu 500oC selama 4 jam (Dawes and Kenworthy, 1990), sedangkan komposisi butir sedimen dikaji berdasarkan metoda penyaringan basah (Buchanan, 1984) berjenjang hingga 10 kategori butir sedimen.
Gambar 1. Letak stasiun di muara Sungai Berau, Kalimantan Timur. ISBN
979.704.482.3
278
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
2.5. Analisis data Uji toksisitas sedimen: Uji dianggap valid apabila rata-rata fertililized eggs ≥50% dalam kontrol. Hasil akhir yang diukur adalah jumlah unfertilized egg pada perlakuan dibanding dengan kontrol setelah 20 menit pemaparan. Untuk menghitung persentase unfertilized eggs digunakan fomula Abbot’s yaitu Mean Unfertilized eggs (%) = (total no. unfertilized eggs for all replicates) x 100% (total no. eggs for all replicates) Mean net Unfertilized eggs (%) = ( % test response - % Control response ) x 100% (100-% control response) Struktur komunitas makrobentos: Data baku jumlah individu per taksa digunakan untuk menganalisis keanekaragaman dan kemerataanan jenis yang dapat ditentukan dengan menggunakan indeks Shannon (H’) maupun Pielou (J’) (Brower et al., 1990 dan Krebs, 1989) sebagai berikut : ni ni H ' = −∑ ( ) ln( ) N N H' J '= ln S dimana S = Jumlah total taksa; N = Jumlah total individu yang diamati; ni = Jumlah individu taksa ke i. Bersama dengan kepadatan dan kekayaan taksa (S), keterkaitan H’ dan J’ terhadap TOM maupun kelas butir sedimen ditelaah melalui uji korelasi Spearman berdasarkan Sokahl and Rohlf (1981) dan Clarke and Ainsworth (1993).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kondisi kualitas air Kualitas air pada bulan Mei 2006 di perairan delta Berau secara umum tidak menunjukkan adanya tendensi adanya gangguan tekanan aktivitas dari daratan. Kandungan oksigen terlarut pada bulan Mei 2006 bervariasi antara 4.72 ppm dan 6.43 ppm. (Tabel 1). Sedangkan suhu air bervariasi 28.4 – 31.9 oC pada. Tingkat keasaman perairan delta Berau menunjukkan kondisi alami bagi perairan delta tropik yaitu 7.56 – 8.80; sedangkan salinitasnya pada kawasan dekat muara-muara sungai sekitar 8 ppt dan untuk staiun-stasiun yang mulai berdekatan dengan laut mencapai 34 ppt. Konsentrasi padatan tersuspensi (Total Suspended Solid, TSS) menujukkan bahwa perairan delta Berau dalam kondisi alami, dengan kisaran TSS antara 2.8 dan 22.7 mg/l. Tidak ada perbedaan konsentrasi TSS antara waktu pasang dan waktu surut. Demikian juga dengan kandungan Chlorophyl a (Chl-a) sebagai indikator kesuburan perairan, tidak ada perbedaan nyata antara konsentrasi Chla-a pada saat pasang maupun saat surut; dan konsentrasi Chl-a bervariasi antara 0.68 – 3.40 mg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem pelagik delta Berau relatif tidak merefleksikan adanya tekanan dari daratan.
ISBN
979.704.482.3
279
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
Tabel 1. Stasion sampling dan nilai parameter fisika-kimia perairan TSS 1) DO T S Chl a o No. Stasiun (ppm) ( C) pH (ppt) (mg/l) (mg/m3) 1 2 7,82 22.7 0.80 2 3 4,48 29,8 7,64 12,0 16.0 1.25 3 4 4,72 30,0 8,08 21,0 10.6 1.81 4 5 8,06 14.2 2.04 5 6 5,57 31,8 7,93 21,0 19.8 1.70 6 7 5,12 30,2 7,69 16,0 14.5 1.25 7 8 7,8 14.2 1.59 8 9 8,19 11.2 0.68 9 10 5,57 31,9 8,08 12,0 10.8 3.40 10 11 8,23 2.8 1.36 11 12 6,19 30,9 8,25 23,0 13.6 2.04 12 13 6,31 30,6 8,16 26,0 17.6 1.81 13 14 5,60 30,9 8,2 29,0 17.6 1.81 14 15 5,70 30,1 8,24 27,0 14.8 1.81 15 16 8,14 14.8 1.36 16 17 8,22 4.0 1.58 1) TSS – total padatan tersuspensi merupakan hasil rata-rata data pada saat pasang dan surut; 2) TOM – kandungan organik dalam sedimen
TOM2) (%) 4.80 6.68 12.67 11.50 12.34 10.40 5.18 8.48 8.37 8.70 12.46 13.46 19.95 7.83 6.41 9.90
3.2. Karakteristik Logam Berat dalam Sedimen Kandungan logam berat serta polutan organik yang persisten (persistent organic pollutant) patut di waspadai terutama hal ini berkaitan dengan adanya kegiatan industri di daerah hulu seperti pertambangan (2 industri), industri pulp (1 industri), kegiatan indutri kehutanan (2 HPH), perkebunan kelapa sawit (5 industri), dan kegiatan penambangan emas tradisional di hulu S. Segah (Hirmen, kom. pribadi, 2007). Dalam penelitian ini, kegiatan difokuskan pada kontaminan dari logam berat. Hasil analisis sementara menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat Pb, Cd, Cr, Co dan Cu terlarut dalam sistem pelajik (dalam kolom air) relatif sangat rendah. Konsentrasi sebagian besar dibawah 0.01 ppb, demikian juga dengan jenis-jenis logam lainnya. Konsentrasi logam terlarut jauh lebih rendah dibanding perairan-perairan di Kawasan Barat Indonesia, seperti Teluk Jakarta dan Pantai utara Surabaya. Berbeda dengan konsentrasi logam terlarut pada pelajik sistem, konsentrasi kontaminan logam dalam sedimen umumnya dapat terdeksi. Konsentrasi Pb dan Cu umumnya relatif tinggi dibanding Hg dan Cd (Gambar 2). Konsentrasi Hg berkisar antara tidak terdeteksi (tt) dan 48.04 µg/kg, dan Cd dalam sedimen berkisar antara < 0,01 dan 2,3 mg/kg, sedangkan konsentrasi Cu dan Pb masing-masing bervariasi antara 9,5 - 52,31 mg/kg, dan tt – 25.71 mg/kg. Tingginya konsentrasi Cu dan Pb dalam sedimen dapat golongkan sebagai kontaminan yang perlu diwaspadai (contaminant of concern) walau tidak sebahaya logam Hg dan Cd. Namun demikian, jika dibanding dengan jumlah aktifitas masyarakat yang cenderung masih bersifat tradisional, kecuali tambang batu bara, industri pulp dan tambang liar, konsentrasi Cu dan Pb mungkin masih dalam batas-batas alami (natural background level), demikian juga dengan konsentrasi Hg total mungkin masih ISBN
979.704.482.3
280
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
dalam batas alami. Ketiga jenis logam tersebut dapat saja mengalami peningkatan diwaktu yang akan datang dengan meningkatnya kegiatan industri dan perkembangan kabupaten Berau. 5
100
Total Cd in sediment (mg/kg)
Total Hg in sediment (µg/kg)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 S2 S3 S4 S8 S9 S13 S5 S6 S7 S10 S11 S12 S14 S15 S16 S17
4
3
2
1
0 S2 S3 S4 S8 S9 S13 S5 S6 S7 S10 S11 S12 S14 S15 S16 S17
Station
Station 30
25
Total Pb in sediment (mg/kg)
Total Cu in sediment (mg/kg)
30
20
15
10
5
0
25
20
15
10
5
0 S2 S3 S4 S8 S9 S13 S5 S6 S7 S10 S11 S12 S14 S15 S16 S17
S2 S3 S4 S8 S9 S13 S5 S6 S7 S10 S11 S12 S14 S15 S16 S17
Station
Station
Gambar 2. Konsentrasi logam Hg, Cd, Cu dan Pb dalam sedimen di delta Berau Kalimantan Timur pada Mei 2006
3.3. Uji biologis sedimen Uji biologis sedimen menggunakan sperma dan telur bulu babi menunjukkan bahwa sedimen delta Berau masih dalam kondisi baik. Jumlah telur yang tidak terbuahi umumnya dibawah 20% (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa laju keberhasilan proses fertilisasi telur bulu babi rata-rata diatas 70%. Dengan kandungan bahan organik dalam sedimen berkisar antara 4.80 – 12.67 %, air elutriate sedimen (air rongga sedimen) tidak menjadi ancaman bagi kehidupan spesies bulu babi sampai saat sekarang.
ISBN
979.704.482.3
281
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006 100 90
Unfertilized eggs (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 C St2 St8 St16St15St10 St9 St11 St3 St17 St7 St5 St6 St12 St4 St13St14
Station
Gambar 3. Pengaruh air elutriate dari sedimen delta Berau terhadap viabilitas sperma bulu babi. C : kontrol; St –sedimen dari stasiun sampling.; St 2,St 8 dan St 16 : sedimen dengan kandungan bahan organik < 5%, St 15, St 10, St 9, St 11, St 3, St 17 dan St 7 memiliki kandungan bahan organik 5 - 12 % dan St 5, St 6, St 12, St 4, St 13 dan St 14 kandungan bahan organik > 12 %.
3.4. Struktur komunitas makrobentos Komunitas makrobentos muara sungai Berau diwakili oleh 97 jenis invertebrata dengan kepadatan berkisaran antara 3-34 jenis/0,01m2. Kelompok taksa yang paling banyak jumlah jenisnya adalah takson polychaeta (37 jenis), kemudian krustasea (24 jenis), bivavia (15 jenis) dan yang terakhir adalah gastropoda, echinodermata dan biota selain di 5 takson tersebut masing-masing 7 jenis (Gambar 4). Jika dilihat tingkat keragamannya yang paling tinggi antar stasiun, maka stasiun 16 dengan jumlah 34 jenis, sedangkan yang terendah di stasiun 2 sebanyak 4 jenis (Gambar 5). Stasiun 2 memiliki jumlah keragaman jenis yang rendah kemungkinan lokasinya yang dekat mulut sungai Berau dengan arus yang deras. Berbeda dengan stasiun 16 yang kondisi struktur sedimennya 40
37
35
Jumlah Jenis (S)
30 25
24
20
15 15 10
7
7
7
G astropoda
Echinodermata
Others
5 0 Crustacea
Polychaeta
Bivalvia
Ke lompok Taksa
Gambar 4. Jumlah jenis biota makrobentos yang terdapat di perairan delta Berau. ISBN
979.704.482.3
282
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
40 35
Kekayaan Jenis (S)
30 25 20 15 10 5 0 2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Stasiun Crustacea
Polychaeta
Bivalvia
Gastropoda
Echinodermata
Others
Gambar 5. Keragaman atau kekayaan jenis maktobentos di masing-masing stasiun sampling Jika kita melihat komposisi komunitas makrobentos berdasarkan kelimpahan Nisbi (Ra), maka rentang kelimpahan per stasiun bervariasi antara 9 dan 82 individu/ 0,01m2. Secara keseluruan perairan delta Berau didominasi oleh tiga takson yaitu polychaerta (50%), krustasea (28%) dan micellaneous group (13%) (Gambar 6). Hal ini umum ditemukan di perairan tropis yang belum mengalami perubahan akibat aktifitas manusia. Kondisi perairan yang dapat dikategorikan belum mengalami gangguan aktifitas manusia tercermin dengan nilai indek keragaman Shannon, H’ (loge) keselsuruhan yaitu 3,74; dan indek kemerataan Pielou ( J’) yaitu 0,82 (Gambar 13). Indek Pielou menunjukkan bahwa struktur komunitas bentik di Delta Berau relatif tidak menunjukkan adanya dominasi satu spesies populasi. Berdasarkan indikator kajian komponen abiotik dan komponen biologis (Tabel 2), secara ringkas gambaran umum kondisi ekosistem delta Berau dapat dikategorikan sebagai ekosistem yang belum mengalami gangguan manusia (anthropogenic influences). Kajian awal tentunya masih memerlukan tindak lanjut dengan melihat kemungkinan adanya variabilitas antar musim. Penelitian tentang evaluasi konservasi sumberdaya batubara juga telah menunjukkan bahwa industri batubara telah berupaya melaksanakan praktik penambangan yang baik (Ishlah dan Fujiono, 2004). Hal ini tentunya diharapkan juga akan dilaksanakan oleh industri-industri yang ada di kawasan hulu delta Berau, sehingga pemacuan pembangunan tidak saja meningkatkan sektor ekonomi namun juga menjaga keutuhan ekosistem yang ada.
ISBN
979.704.482.3
283
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
3% 2% 13% 4%
28%
50%
Crustacea
Polychaeta
Bivalvia
Gastropoda
Echinodermata
Miscellaneous Group
Gambar 6. Komunitas makrobentos di Delta Berau Tabel 2. Kajian kesehatan ekosistem bentik Delta Berau Indikator Kajian Komponen Abiotik Suhu air pH Salinitas Oksigen terlarut (DO) Padatan tersuspensi Kandungan Organik (TOM) dalam sedimen Kontaminan logam berat dalam sedimen
Unit
Nilai
Keterangan
oC ppt ppm mg/l %
29.8 – 31.9 7.64 – 8.25 12.0 – 27.0 4.48 – 6.31 2.8 – 22.7 4.80 – 19.95
Kondisi alamiah Kondisi alamiah Kondisi alamiah Kondisi alamiah Dalam kisaran alamiah Dalam kisaran alamiah
mg/kg atau µg/kg
Komponen Biologis Bioassay/uji toksisitas % Struktur Komunitas Indek shannon Index Pieleu -
Pb: tt – 25.71 mg/kg; Cu: 9.5 – 52.31 mg/kg; Hg: tt – 48.0 µg/kg
3.74 0.82
relatif tidak beracun Dalam kondisi stabil Dalam kategori tingkat keragaman taksa tinggi Dalam kategori indek kemerataan mendekati nilai maksimum (1.0)
DAFTAR PUSTAKA APHA, 2000. Standard method for examination of water and waste water – Washington D.C. American Public Health Association (APHA). p:3Anggoro, H. 2004. Pencemaran beberapa unsur logam berat di sungai Cisadane periode 1998-2002. Skripsi Sarjana, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Dept. manajemen Sumberdaya Perairan. IPB, Bogor Ankley GT, D.M. Di Toro, D.J. Hansen and W.J. Berry. 1996. Assessing the ecological risk of metals in sediments. Env. Tox. And Chem. 15: 2053-2055. ISBN
979.704.482.3
284
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
Arifin, Z and L.I. Bendell-Young. 2000. The relative importance of inorganic versus organic diet component in the 109Cd assimilation effiency by the blue mussel (Mytilus trossulus). Mar. Ecol. Prog. Ser. 192:181-193 Arifin, Z. 2004. Trend of coastal pollution in Jakarta Bay, Indonesia:its implication for fishery and recreational activities. In Proceeedings of bilateral wortkshop on coastal resources exploration and conservation. DAAD and MoMAF, Indonesia. p:16-21. Bendell-Young, L.I. and Z. Arifin. 2004. Application of a kinetic model to demonstrate how selective feeding could alter the amount of cadmium accumulated byt the blue mussel (Mytilus trossulus). Jour. Exp. Mar. Biol and Ecol. 298:21-33. Brower, J.E., J.H. Zar & C.N. von Ende, 1990. Fields and laboratory methods for general ecology, 3rd edition. Wn. C. Brown Publs, Dubuque. Buchanan, J.B., 1984. Sediment analysis. dalam: Holme, N.A. & McIntyre, A.D. (Eds.). Methods for the study of marine benthos, hal 47. Second Edition. Blackwell Scientific Publications, Oxford. Chapman, P.M. 2000. The Sediment Quality Triad: then, now and tomorrow. International Journal of Environment and Pollution, 13(1-6):351-356. Clarke, K.R & Ainsworth, M., 1993. A method linking multivariate community structure to environmental variables. Mar. Ecol. Prog Ser. 92 : 205-219. Dawes , C.J & Kenworthy, W.J., 1990. Organic constituents. Dalam: Phillips, R.C. & McRoy, C.P. (Eds.), Seagrass research methods, hal 88. Unesco, Paris. Hendricks, A.J. 1994. Monitoring and estimating concentrations and effects of micro contaminants in the Rhine-delta: chemical analysis, biological laboratory assays and fields observations. Water Science and Technology, 3: 223-232. Ishlah, T dan H. Fujiono. 2004. Evaluasi konservasi sumberdaya batubara di sekitar Tanjung Redep, Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Kolokium Hasil Lapangan DIM 53: 1 - 16 Kadang, L. 2005. Analisis Status pencemaran logam berat Pb, Cd dan Cu di perairan Teluk Kupang propinsi Nusa Tenggara Timur. Thesis Master, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Keulartz, J and H.A.E. Zwart. 2003. Boundaries, Barries and Bridges: Philosophical Fieldwork in Derawan. Applied Philosophy and Social Sciences Group, Wageningen University, Netherland. 37 p. Krebs, C.J., 1989. Ecological Methodology. Harper & Row Publisher, New York. Leslie, H.A., Pavluk, T.L., de Vaate, A. & Kraak, H.M.S., 1999. Triad assessment of the impact of Cr pollution on macrozoobenthos in the Chusavaya river (Russia), Annual European Meeting of the Society of Environmental Toxicology, Leipzig. Long, E.R. and P.M. Chapman, 1985. A sediment quality triad: Measures of sedimen contamination, toxicity and infaunal community composition in Puget Sound. Marine Pollution Bulletin, 16(10):405-415. PSEP (Puget Sound Estuary Program). 1995. Recommended Guideline for Conducting Laboratory Bioassay on Puget Sound Sediment. US Environmental Protection Agency Authority. Puget Sound Water Quality, Seattle, US ISBN
979.704.482.3
285
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan III ISOI – 2006 Semarang, 19 September 2006
Sokal, R.R & Rohlf, F.J., 1981. Biometry. Second Ed., W.H. Freeman & Co., San Francisco. Thomas, C and L.I. Bendell-Young. 1998. Linking the sediment geochemistry of an intertidal region to metal bioavailability in the deposit feeder Macoma balthica. Mar. Ecol Prog. Ser. 173:197-213. Tresnasari, S.,W. 2001. Kandungan logam berat Pb dan Cd pada kerang hijau (Perna viridis, L.), air dan sedimen di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. Skripsi sarjana, Fakultas Perikanan, Dep. Manajemen Sumberdaya Perairan, IPB-Bogor.
ISBN
979.704.482.3
286