69
III.
3.1
KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pikir Penelitian Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran
dan berkontribusi penting sebagai sumber nafkah utama petani di pedesaan dan dalam pengurangan lahan kritis khususnya di daerah bagian hulu DAS/SubDAS di Pulau Jawa.
Sementara tingginya laju lahan kritis di Pulau Jawa dan
dampaknya bagi pengurangan kesejahteraan masyarakat telah berkembang menjadi ancaman serius bagi pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup dan kehidupan. Kondisi tersebut menjadi tantangan sekaligus peluang untuk implikasi kebijakan
pembangunan
saat ini
semakin berpihak
pada
peningkatan
pertumbuhan ekonomi (pro growth), dan juga pada pengurangan kemiskinan (pro poor), peningkatan lapangan kerja (pro job), dan ramah lingkungan (pro environment) berbasis pedesaan. Ancaman tingginya laju lahan kritis dan resiko dampaknya bagi pengurangan kesejahteraan masyarakat pedesaan dapat dipandang sebagai peluang permintaan (demand) yang tinggi terhadap upaya rehabilitasi dan sekaligus konservasi jasa lingkungan agroforestri yang berpotensi mengurangi kemiskinan pedesaan. Kenyataan selama ini agroforestri di pedesaan bagian hulu DAS dikelola oleh rumah tangga petani yang umumnya masuk dalam kategori miskin dan dalam berbagai strata luas lahan yang relatif sempit bagi kelayakan usaha agroforestri.
Keunggulan
adanya
komposisi
tanaman campuran sistem
agroforestri, dimana keberadaan lebih memberikan jaminan rasa aman pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek dan panjang merupakan alasan pemilihan pola usaha on farm tersebut oleh rumah tangga petani, namun pilihan
70
tersebut juga beresiko pada berkurangnya ruang untuk tanaman semusim dan adanya tenggat waktu
ketiadaan pendapatan rumah tangga petani
dari
tanaman semusim, karena sinar matahari sudah tertutup oleh tajuk tanaman tahunan, sementara tanaman tahunan belum menghasilkan. Kondisi tersebut berakibat pada dilema terganggunya pengelolaan konservasi agroforestri secara intensif, karena petani harus mencari dan bergantung pada nafkah di luar lahan (off farm) untuk menutupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Lebih lanjut sebagaimana bidang usaha lainnya, kelayakan usaha finansial agroforestri baik di tingkat on farm maupun off farm (karena agroforestri merupakan usaha pokok rumah tangga petani) menjadi faktor penentu keputusan petani untuk melanjutkan/tidak melanjutkan kesinambungan usaha agroforestri.
Secara rasional besar kemungkinan petani mengalih gunakan
lahannya bila ditemui usaha yang lebih menguntungkan, dan apabila hal tersbut terjadi, maka berakibat serius pada penambahan luas dan dampak lahan kritis yang merugikan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara luas di pedesaan.dan sekitarnya. Selama ini belum ada upaya kebijakan yang menetapkan secara khusus agroforestri pada lahan milik (di luar kawasan hutan) di bagian hulu DAS di Pulau Jawa menjadi lokus prioritas dalam program rehabilitasi lahan kritis. Sementara itu timbul pertanyaan mungkinkah
kesinambungan konservasi tanah dan air
pada agroforestri yang notabene merupakan tanggung jawab pemerintah, karena menghasilkan public service berupa eksternalitas positif (tata air) dan jasa udara bersih (pengurang emisi karbon) dibebankan pada rumah tangga petani miskin yang mengelola agroforestri di lahan yang sempit ?
dan bila tidak dan pasti
tidak mungkin, darimana dan bagaimana mengembangkan alternatif sumber pembiayaan yang menjadi insentif rumah tangga petani untuk mempertahankan
71
kesinambungan usaha produksi dan konservasi pada agroforestri yang dimilikinya ? Berkembangnya isu krisis air di Pulau Jawa, isu perubahan iklim, dan isu kemiskinan, menempatkan upaya internalisasi ekternalitas positif (tranformasi nilai ekonomi) dari konservasi produk jasa air dan jasa serap karbon agroforestri berpeluang menjadi sumber pendapatan sekaligus pembiayaan insentif. Namun kembali timbul pertanyaan seberapa jauh hasil internalisasi eksternalitas positif tersebut
mampu meningkatkan kelayakan usaha dan mengentaskan rumah
tangga petani dari kemiskinan ? Status dan lokasi lahan dalam DAS/Sub DAS, dimana inisiasi rehabilitasi lahan kritis dilaksanakan menjadi indikator kunci penting dalam mengukur efektifitas dan efisiensi pelaksanaan rehabilitasi. Kejelasan dan kepastian status kepemilikan lahan agroforestri akan mendukung property right rumah tangga sebagai produsen yang menghasilkan eksternalitas positif, sedangkan lokasi agroforestri di bagian hulu DAS akan menjadi lokasi super prioritas untuk segera dipertahankan dan dikembangkan keberadaannya. Pemilihan lokasi penelitian di agroforestri Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, karena keberadaan usaha agroforestri tersebut merepresentasikan pemenuhan indikator kunci tersebut. Agroforestri diusahakan di atas lahan milik petani (sertifikat/letter C) di Desa Sumberejo yang terletak dalam sub DAS Temon, Hulu DAS Bengawan Solo, sehingga berfungsi vital dalam pengairan sawah di bagian hilir, dan pengurangan sedimen Waduk Gajah Mungkur. Selain itu komitmen rumah tangga petani agroforestri untuk melakukan upaya
konservasi yang dibuktikan dengan keberhasilan agroforestri desa
Sumberejo meraih sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) pada tahun 2004 dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Hal
72
tersebut
merupakan
pengakuan,
bahwa
pengelolaan
agroforestri
Desa
Sumberejo telah memenuhi kaidah-kaidah lingkungan dan kelestarian, antara lain: dibangun di atas lahan kritis dan marjinal, pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air, pembatasan diameter serta jumlah pohon yang boleh ditebang, pemasangan rambu-rambu larangan dalam rangka perlindungan hutan dari kegiatan kebakaran, membentuk kelembagaan kelompok tani dan forum musyawarah antar pemilik agroforestri dan sebagainya. Fakta lain juga menunjukkan, bahwa peningkatan jumlah sumber air dari agroforestri Desa Sumberejo, sangat membantu pemenuhan air untuk berbagai kebutuhan dalam Desa dan Desa sekitarnya. Hal ini menjadi penting, karena dari data persediaan air pertahun di sub DAS Temon sebesar 1.684.246 m3 dan kebutuhan sebesar 2.334.744 m3, sehingga kekurangan air sebesar 27,86% pertahun terjadi pada bulan April sampai dengan Desember berkisar 26,07% 99,69%.
Gambar 9. Grafik potensi dan kebutuhan air SUB DAS Temon (B TP DAS Solo, 2009)
73
Selanjutnya meskipun beberapa hasil penelitian menunjukkan usaha agroforestri telah memenuhi kriteria kelayakan, namun upaya petani untuk melakukan ekstensifikasi agroforestri yang saat ini terhambat oleh kenyataan keterbatasan luas pemilikan lahan yang umumnya sempit. Sedangkan upaya intensifikasi terhambat oleh kondisi kemiskinan, dimana keterbatasan kontribusi pendapatan dari agroforestri menjadikan ketiadaan atau ketidakcukupan modal petani untuk melakukan tambahan investasi.. Kajian mendalam atas hasil penelitian Jariah, et al, 2003 dan Sunaryo, et al, 2003 menunjukkan bahwa meskipun secara kuantitas nilai kelayakan agroforestri di pedesaan hulu sub DAS Temon, dan Desa Sumberejo terpenuhi, namun secara kualitas dalam nilai NPV antara Rp1.754.811 – Rp.5.715.223 atau rata-rata Rp. 3,7 juta pertahun sesungguhnya berada di bawah ambang garis kemiskinan pedesaan saat itu, yaitu Rp. 5.218.800 per tahun (rata jumlah anggota keluarga 4 jiwa)(BPS, 2003). Sedangkan nilai BCR antara 1,27 – 1,29, menunjukkan usaha agroforestri rawan merugi bila terjadi goncangan penurunan atas harga output dan pendapatan lain-lain (off farm), serta peningkatan harga input. Penelitian upaya dukungan kesinambungan agroforestri dengan insentif dari hasil internalisasi eksternalitas positif jasa air dan jasa karbon agroforestri Desa Sumberejo ini menjadi penting, karena referensi penelitian terdahulu terkait volume air yang dihasilkan dan volume serap karbon dari dan oleh agroforestri mengindikasikan internalisasi nilai ekonomi kedua jasa berpeluang meningkatkan pendapatan rumah tangga petani agroforestri. Dari kenyataan indikatif tersebut penelitian ini disusun untuk menjawab masalah: 1.
Seberapa jauh internalisasi nilai ekternalitas positif, jasa lingkungan produk
74
jasa karbon dan jasa air dapat meningkatkan kelayakan usaha agroforestri dan mengentaskan rumah tangga petani dari kemiskinan yang dalam kenyataannya diusahakan pada lahan yang sempit? 2.
Bagaimanakah bentuk instrument kebijakan keuangan yang membuat petani mampu merealisasikan hasil internalisasi eksternalitas sebagai skim insentif pendorong kesinambungan agroforestri? Rancangan kerangka penelitian disusun untuk menjelaskan tahapan
penelitian. Penelitian didahului dengan penelaahan teori yang terkait dengan kelayakan usaha dan total guna ekonomi sumberdaya agroforestri, dilanjutkan dengan analisa kelayakan agroforestri tanpa dan dengan internalisasi eksternalitas jasa air dan jasa karbon agroforestri. Selanjutnya berbasis hasil analisa tersebut didapatkan kebutuhan subsidi dilakukan analisa alternatif instrumen kebijakan keuangan dan implikasinya sebagai insentif pendukung petani agroforestri melakukan upaya konservasi.. Mendorong
Meningkatkan
Kajian Kelayakan dan kesinambungan
Gambar 10. Kerangka Pemikiran Penelitian
75
3.2
Hipotesis Hipotesis penelitian adalah:
1.
Diduga keragaan ekonomi kondisi agroforestri Desa Sumberejo tanpa internalisasi eksternalitas belum layak dan belum mengentaskan rumah tangga petani dari kemiskinan, sehingga belum
mampu menjamin
kesinambungan agroforestri; 2.
Diduga internalisasi eksternalitas jasa air dan jasa karbon agroforestri Desa Sumberejo
akan
meningkatkan
kelayakan
usaha
agroforestri
dan
mengentaskannya dari kemiskinan. 3.
Diduga instrument kebijakan keuangan berupa skim subsidi dan atau kredit sebagai
insentif
untuk
membuat
petani
mampu
kesinambungan dan mengembangkan agroforestrinya.
mempertahankan