KERAGAMAN GENETIK NENAS (Ananas comosus (L.) Merr.) BERDASARKAN PENANDA MORFOLOGI DAN AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)
PUJI SURTININGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Keragaman Genetik Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) berdasarkan Penanda Morfologi dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) merupakan gagasan dan karya saya bersama pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008 Puji Surtiningsih G351060101
ABSTRACT PUJI SURTININGSIH. Genetic Diversity of Pineapple ( Ananas comosus (L.) Merr.) based on Morphological Character and Amplified Fragment Length Polymorphism ( AFLP). Under the direction of UTUT WIDYASTUTI and MIFTAHUDIN Information on genetic diversity is essential in breeding program. Characterization of germplasm for providing genotype variation data can be accomplished by phenotypic or genotypic assessment. The aim of this research was to know the genetic diversity among 21 pineapple accessions from Sumatera, Kalimamtan, Sulawesi, Irian Jaya, Jawa Barat, Bali and Jepang based on morphological character and Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). The morphological data consisted of length, width, spine position and coloration of leaves. The data were categorized into class data and converted to binary form. Two selected primers P11 and M48 were used to generat AFLP markers. The twenty nine AFLP fragments were scored as binary form based on the presence (1) and absence (0) of each fragment. Similarity matrix was obtained to perform cluster analysis based on Dice coefficient. Dendrogram was constructed through clustering analysis using SPSS-13 software. An integrated similarity analysis of morphological and AFLP data showed that similarity coefficient among the 21 accessions ranged between 0.67-1.00. All the 21 accessions were clustered into tree groups at similarity index of 0.74. The first group consisted of 17 accessions, the second group consisted of 3 accessions and the third group contained 1 accession. However, all 21 accessions were closely related each other at 0.67 similarity coefficient Key words : genetic diversity, AFLP, polymorphism, dendrogram
RINGKASAN PUJI SURTININGSIH. Keragaman Genetik Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) berdasarkan Penanda Morfologi dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Pembimbing UTUT WIDYASTUTI dan MIFTAHUDIN Manfaat buah nenas yang sangat tinggi bagi kehidupan, menyebabkan buah nenas dibutuhkan oleh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diupayakan berbagai cara untuk meningkatkan produksi dan kualitas buah nenas. Salah satu cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melakukan persilangan untuk menghasilkan produk hibrida dan pembentukan galur baru. Pemuliaan tanaman nenas diarahkan untuk mendapatkan tanaman yang mempunyai pertumbuhan cepat, tidak berduri, daya hasil tinggi, bentuk buah silindris, kemasakan seragam, daging buah berwarna lebih kuning, kandungan asam oksalat dan bromelian rendah dan tahan terhadap penyakit. Untuk merakit varietas unggul tersebut, diperlukan informasi mengenai jarak genetik antar tetua persilangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik antar 21 aksesi nenas berdasarkan penanda morfologi dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Bahan tanaman yang diamati berupa 21 aksesi nenas yang dieksplorasi dari berbagai daerah yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Jawa Barat dan Bali, serta satu aksesi yang berasal dari Jepang. Semua tanaman ditanam pada kebun koleksi Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) Ciomas Bogor. Penelitian ini mangamati 8 karakter morfologi meliputi panjang daun, lebar daun bagian atas, tengah dan bawah, posisi duri, jumlah duri pada sisi kanan dan kiri daun serta motif daun. Untuk analisis AFLP, isolasi DNA dilakukan dengan metode Doyle dan Doyle dengan menggunakan daun muda sebagai bahan isolasi. Pemotongan DNA dilakukan menggunakan sepasang enzim restriksi yang berbeda karakter yaitu Pst I sebagai enzim memotong jarang dan MseI memotong sering. Proses amplifikasi menggunakan sepasang primer P11 dan M48. Visualisasi hasil amplifikasi menggunakan gel poliakrilamid 6% dengan peralatan DNA Analyser dari LI-COR. Gabungan data morfologi dan AFLP dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 13. Tingkat kemiripan antar aksesi dianalisis menggunakan koefisien Dice. Pembuatan dendrogram menggunakan metode pautan rataan antar kelompok, agar memperoleh keragaman yang homogen di dalam satu kelompok. Analisis kemiripan gabungan data morfologi dan AFLP, diperoleh matrik koefisien kemiripan antar aksesi berkisar antara 0.59 sampai dengan 1.00. Kemiripan terendah yaitu 59% terdapat antara Queen Merah (QM) Sumedang dengan nenas Fak-Fak dari Irian Jaya. Secara morfologi kedua aksesi ini hanya mempunyai persamaan pada tiga karakter yaitu panjang daun, lebar daun tengah dan atas. Berdasarkan fragmen DNA hasil analisis AFLP kedua aksesi ini mempunyai 11 fragmen yang polimorfik dari 29 fragmen yang diamati. Nenas yang mempunyai kemiripan 100% adalah antara Queen Hijau (QH) Bangka Belitung dan Queen Hijau (QH) Pontianak. Berdasarkan 8 karakter morfologi yang diamati, kedua aksesi tersebut tidak mempunyai perbedaan.
Fragmen DNA hasil analisis AFLP memperlihatkan bahwa tidak terdapat pita polimorfik diantara kedua aksesi ini. Hubungan kekerabatan antara 21 aksesi nenas berdasarkan gabungan data morfologi dan AFLP termasuk dekat, dengan nilai kemiripannya 0.67 sampai dengan 1.00. Analisis menggunakan gabungan data morfologi dan AFLP membagi 21 aksesi nenas menjadi tiga kelompok utama pada koefisien 0.74. Kelompok I terdiri dari 17 aksesi yaitu QH Bangka Belitung, QH Pontianak, QH Jambi, QH Pekan Baru, CNN, Riau-2, Bali, Makasar, SC Purbalingga, SC Aceh, SC Siborong-borong, SC Pagar Batu Sumatera, SC Paung Kalimantan Selatan, Lampung, SC Sumedang, SC Jepang dan Fak-Fak. Kelompok II terdiri dari 3 aksesi yaitu QM Sumedang, QH Sumedang , QM-2 Bogor sedangkan kelompok III terdiri dari 1 aksesi yaitu nenas Buaya Bogor. Kata kunci: keragaman genetik, AFLP, polimorfisme, dendrogram
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
KERAGAMAN GENETIK NENAS (Ananas comosus (L.) Merr.) BERDASARKAN PENANDA MORFOLOGI DAN AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)
PUJI SURTININGSIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis Nama NRP
: Keragaman Genetik Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) berdasarkan Penanda Morfologi dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) : Puji Surtiningsih : G351060101
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Utut Widyastuti, MSi. Ketua
Dr. Ir. Miftahudin, MSi. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Biologi
Dr. Ir. Dedy Duryadi S, DEA.
Tanggal Ujian: 12 Agustus 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujia Tesis : Dr. Ir. Tatik Chikmawati, MSi
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan penulis tidak dapat menyelesaikan penelitian ini tanpa bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Utut Widyastuti MSi, Ketua Pembimbing yang selalu mengarahkan, memberi dorongan semangat, serta menyediakan berbagai bahan penelitian yang penulis butuhkan. 2. Dr. Ir. Miftahudin MSi, Pembimbing Anggota yang memberikan masukan dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya terbaik. 3. Dr. Ir. M Jusuf, atas bimbingan dan masukan yang selalu diberikan kepada penulis. 4. Dr. Ir. Tatik Chikmawati MS, selaku penguji luar komisi atas saran dan masukan yang telah diberikan. 5. Departemen Agama RI yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa kepada penulis untuk meningkatkan keilmuan pada Progam Studi Biologi S-2 Institut Pertanian Bogor. 6. Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati & Bioteknologi (PPSHB) IPB atas fasilitas penelitian yang telah disediakan. 7. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) Ciomas Bogor yang telah menyediakan bahan tanaman untuk penelitian. 8. Proyek Hilink Dikti dan PT. Timah Kabupaten Bangka Induk atas kerja sama dan bantuan dana untuk penelitian ini. 9. Suami tercinta M. Anton Fauzi, SPd. dan anak-anakku terkasih Nisa, Naufal dan Rayhan atas pengorbanan, motivasi dan limpahan kasih sayang yang selalu diberikan. 10. Ibu Pepi, Pak Muzuni, Pak Mulya, Pak Ulung, Ibu Ratna, Ibu Hanum, Mas Syarifin serta teman-teman Biorin yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian. 11. Teman-teman BUD DEPAG angkatan 2006 atas kebersamaan, kekeluargaan dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga tesis ini dapat bermanfaat, Amiin Ya Robbal Alamiin.
Bogor, Agustus 2008 Puji Surtiningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 11 Maret 1971 dari ayah Mulyono Trimo Raharjo (Alm) dan ibu Sukirah (Alm). Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Rembang dan melanjutkan di Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, jurusan Pendidikan Biologi IKIP Semarang. Selama menempuh pendidikan di IKIP Semarang, penulis menjabat sebagai sekretaris Komisi III Bidang Bakat dan Minat serta sekretaris bidang yang sama di Senat Mahasiswa periode tahun 1990 -1991. Penulis juga menjadi anggota Korp Sukarela KSR- PMR unit IKIP Semarang mulai tahun 1989 hingga lulus. Pada tahun 1995, penulis melakukan penelitian skripsi yaitu Pengaruh Lama Perendaman dan Konsentrasi Air Kelapa terhadap Penekanan Pertunasan Rimpang Temu Lawak (Curcuma xanthorriza). Pada tahun 1996 penulis mendapat gelar Sarjana Pendidikan dari IKIP Semarang. Pada tahun 1996, penulis bekerja sebagai guru honorer pada yayasan Badan Wakaf, SMU Sultan Agung Semarang, dan sejak tahun 1997 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai guru Biologi di Madrasah Aliyah Negeri Rembang Jawa Tengah. Penulis menikah dengan M. Anton Fauzi, SPd pada tahun 1995 dan dikaruniai seorang putri yaitu Fawantina Nisa Aulia serta dua orang putra yaitu M. Naufal Ghani Fauzi dan M. Rayhan Ghani Fauzi. Pada bulan Juli 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang Program Magister Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Biologi.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Hipotesis Penelitian.................................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Nenas ...................................................................................... Penanda Morfologi.................................................................................. Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) ..............................
5 9 10
BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman....................................................................................... Metodologi .............................................................................................. Pengamatan Karakter Morfologi....................................................... Isolasi DNA....................................................................................... Uji Kualitas dan Kuantitas DNA ...................................................... Analisis AFLP................................................................................... Analisis Data ...........................................................................................
14 15 16 16 17 17 19
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Morfologi ................................................................................. Analisis AFLP......................................................................................... Analisis Kemiripan Karakter Morfologi dan AFLP................................ Analisis Gerombol Karakter Morfologi dan AFLP ................................ Analisis Komponen Utama Karakter Morfologi dan AFLP ...................
21 23 26 27 31
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................. Saran........................................................................................................
33 33
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
34
LAMPIRAN.....................................................................................................
37
DAFTAR TABEL Halaman 1 Daftar aksesi nenas yang digunakan dalam penelitian analisis keragaman genetik berdasarkan morfologi dan AFLP............ .....
14
2 Karakter kualitatif hasil pengamatan 21 aksesi nenas ......................... .....
21
3 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan dendogram data morfologi dan AFLP pada koefisien 0.74 ...........................................
31
4 Analisis komponen utama penanda morfologi dan AFLP .................... .....
31
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram skematis teknik AFLP menggunakan enzim restriksi PstI dan MseI ............................................................................................ 12 2 Diagram alir penelitian tentang analisis keragaman genetik tanaman nenas berdasarkan penanda morfologi dan AFLP....... ..............
15
3 Berbagai variasi posisi duri pada daun nenas. a: duri merata diseluruh tepi daun, b: duri tidak merata, c: duri diujung dan pangkal daun. .............................................................................................
22
4 Berbagai motif pada daun nenas. a : hijau tepi merah dan kuning, b: hijau dengan bercak merah, c: hijau, d: kemerahan, e: hijau dengan bercak kuning................................................................. ...
22
5 Profil pita AFLP hasil amplifikasi DNA nenas menggunakan primer P11 dan M48. 1: SC Paung Kalsel, 2: SC Siborong-borong, 3: QH Sumedang, 4: Buaya Bogor, 5: Makasar, 6: SC Sumedang, 7: SC Pagar Batu, 8: SC Purbalingga, 9: QH Pekan Baru, 10: SC Jepang, 11: QH Bangka, 12: QM-2 Bogor, 13: QM Sumedang, 14: Lampung, 15: Pak-pak, 16: QH Pontianak, 17: Riau-2, 18: Bali, 19: CNN, 20: QH Jambi, 21: SC Aceh, M: Marker. ................................................
23
6 Dendrogram 21 aksesi nenas berdasarkan data morfologi dan AFLP. .....
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
Halaman Habitus 21 aksesi nenas yang digunakan sebagai bahan penelitian .................................................................................................... 38
2
Data karakter morfologi 21 aksesi nenas ..................................................
39
3
Skor fragmen DNA hasil AFLP 21 aksesi nenas ......................................
40
4
Matrik kemiripan berdasarkan karakter morfologi dan AFLP (Nei & Li 1979)..........................................................................................
41
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki wilayah dataran tinggi dan rendah sehingga dapat menghasilkan berbagai jenis buah tropika, salah satunya adalah nenas. Pengembangan potensi nenas di Indonesia cukup besar, tetapi informasi tentang keragaman genetik dan kekerabatan sangat terbatas. Tanaman nenas yang beranekaragam, biasanya diberi nama sesuai dengan daerah di mana tanaman tersebut tumbuh, karena belum ada klasifikasi secara hortikultura maupun taksonomi yang memadai (Collins 1968). Pemberian nama tersebut, kadang-kadang menyebabkan beberapa klon mempunyai nama sama tetapi menunjukkan karakter berbeda atau sebaliknya. Hal ini merupakan permasalahan dalam program pemuliaan tanaman, karena hasil pengelompokan digunakan sebagai dasar untuk menentukan tetua persilangan. Berbagai aksesi nenas ditanam di kebun koleksi Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT). Tujuhpuluh tujuh aksesi nenas koleksi PKBT, 22 diantaranya sudah diidentifikasi keragaman genetiknya menggunakan penanda morfologi dan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Kemiripan genetik berdasarkan penanda morfologi dan RAPD terhadap 22 aksesi tersebut berkisar antara 0.330.81 (Apriyani 2005). Limapuluh lima aksesi nenas koleksi PKBT belum diidentifikasi keragaman genetiknya. Penelitian tentang keragaman genetik beberapa aksesi nenas juga telah dilakukan oleh Hadiati et al. (2002). Keragaman genetik dilakukan terhadap 30 aksesi nenas koleksi Balai Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Solok berdasarkan analisis isozim menghasilkan empat kelompok pada koefisien kemiripan 0.63. Tanaman nenas adalah tanaman yang berbentuk herba dan bersifat terestrial atau dapat hidup di darat dengan ketinggian 100 sampai dengan 1200 diatas permukaan laut. Tanaman nenas merupakan anggota famili Bromeliaceae yang terdiri lebih dari 45 genus dan 2000 spesies. Beberapa anggota famili Bromeliaceae dibudidayakan untuk diambil serat dari daunnya, sebagai tanaman hias atau dibudidayakan secara komersial untuk menghasilkan buah yaitu Ananas comosus (L.) Merr. ( Collins 1968). Ananas comosus (L.) Merr. adalah nenas
2 budidaya, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: monokotil, herba, sukulen, serofit, steril apabila menyerbuk sendiri, epifit dan terestrial. Tanaman nenas merupakan tanaman yang bersifat merumpun yaitu tanaman yang mempunyai tunas anakan (d’Eeckenbrugge & Leal 2003) Peran komoditas nenas pada perekonomian nasional cukup penting dan merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia. Pada tahun 2003 ekspor nenas Indonesia menduduki urutan ke-10 dunia (Medina & Gracia 2007). Produksi nenas Indonesia dari tahun 1995-2000 mengalami penurunan yaitu 703.300 ton menjadi 393.299 ton. Penurunan tersebut disebabkan oleh kurangnya penyediaan bibit unggul dan teknik budidaya yang kurang tepat, sehingga menghasilkan mutu buah yang jelek dan harganya jatuh (Hadiati et al. 2003). Buah nenas dapat dikonsumsi segar, maupun diolah menjadi berbagai macam makanan dan minuman buah. Didalam 100 g buah nenas segar, mengandung air 87%, kalori 48 kkal, protein 0.54 g, lemak 0.12 g, karbohidrat 12.6 g, serat 1.4 g, kalsium 12 mg, magnesium 12 mg, fospat 8 mg, kalium 115 mg, vitamin C 36 mg dan vitamin A 56 IU ( Crane 2005). Menurut Sumanti et al. (1986), daun nenas dapat digunakan sebagai pakan ternak dan dapat meningkatkan berat badan ternak kambing. Nenas juga mengandung enzim bromelian yaitu suatu enzim protease yang dapat memecah protein sehingga dapat gunakan untuk melunakkan daging (PKBT 2006). Manfaat buah nenas yang sangat tinggi bagi kehidupan, menyebabkan buah nenas dibutuhkan oleh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diupayakan berbagai cara untuk meningkatkan produksi dan kualitas buah nenas. Salah satu cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melakukan persilangan untuk menghasilkan produk hibrida dan pembentukan galur baru. Pemuliaan tanaman nenas diarahkan untuk mendapatkan tanaman yang mempunyai pertumbuhan cepat, tidak berduri, daya hasil tinggi, bentuk buah silindris, kemasakan seragam, daging buah berwarna lebih kuning, kandungan asam oksalat dan bromelian rendah dan tahan terhadap penyakit (Hadiati et al 2003). Tujuan tersebut dapat dicapai antara lain dengan melakukan persilangan antara aksesi, maupun dengan spesies lain seperti Ananas macrodontes yang menghasilkan banyak serat dan lebih tahan terhadap kekeringan. Kualitas tanaman
3 unggul hasil persilangan sangat dipengaruhi oleh tetua persilangan yang ditentukan berdasarkan pada jarak genetik atau hubungan kekerabatan. Semakin jauh jarak genetik tetua dalam satu spesies, maka peluang untuk menghasilkan varitas baru sangat besar (Hadiati et al. 2002). Informasi yang akurat mengenai hubungan kekerabatan tersebut tidak dapat diperoleh hanya dengan menggunakan pengamatan secara morfologi, karena penanda ini pemanfatannya terbatas, memperlihatkan pewarisan sifat dominan resesif, tingkat polimorfismenya sedikit dan dipengaruhi oleh lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh (Aswidinnoor et al. 1991). Perkembangan dibidang molekuler telah memberikan solusi mengenai permasalahan tersebut. Analisis molekuler dapat memberikan perbedaan yang jelas dengan melihat adanya perbedaan pola pita DNA tanaman. Menurut Nienhuis et al. (1994), penanda molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekerabatan karena secara potensial dapat memiliki jumlah penanda yang banyak, tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dapat mengidentifikasi bahan persilangan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat, sebagian besar pewarisannya bersifat kodominan, dan dapat mengidentifikasi tanaman pada stadium awal. Menurut Vos et al. (1995), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) merupakan salah satu marka molekuler yang dapat digunakan untuk melihat keragaman genetik antar tanaman dengan memperhatikan pita-pita DNA hasil
amplifikasi.
Teknik
AFLP
didasarkan
pada
amplifikasi
selektif
menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) terhadap sekumpulan DNA genom yang dipotong menggunakan sepasang enzim restriksi. AFLP digunakan untuk menganalisis keragaman genetik melalui penggandaan fragmen DNA yang dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi. AFLP mempunyai beberapa kelebihan bila dibanding dengan RAPD antara lain dapat diperoleh jumlah pita DNA yang lebih banyak atau melimpah, amplifikasi DNA lebih bersifat spesifik dan lebih stabil. Prosedur AFLP telah digunakan oleh Toruan (2002) untuk mengamati keragaman genetik klon-klon karet
(Havea brasiliensis ) yang rentan dan resisten terhadap Corynespora,
keragaman pada bawang putih (Volk et al. 2004), keragaman genetik sorgum
4 (Monica et al. 2004), dan karakterisasi Dioscorea rotundata (Mignouna et al. 2003). Toruan et al. (2005) juga menggunakan AFLP untuk menganalisis genotip normal dan abnormal pada klon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Pengetahuan tentang
variasi genetik tanaman sangat penting dalam program
pemuliaan bibit tanaman. Variasi genetik memberikan informasi mengenai struktur molekuler genetik tanaman, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk seleksi tanaman yang akan dibudidayakan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik 21 aksesi nenas berdasarkan penanda morfologi dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah ada keragaman genetik antara 21 aksesi nenas koleksi PKBT berdasarkan penanda morfologi dan AFLP.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Nenas Nenas merupakan salah satu buah penting dari daerah tropika yang banyak diminati oleh masyarakat dunia. Nenas berasal dari Amerika Selatan di kawasan lembah Sungai Parana, Paraguay. Bangsa Indian diduga melakukan seleksi dari berbagai jenis nenas sehingga diperoleh jenis Ananas Comosus yang enak dimakan dan sekarang dibudidayakan secara luas diseluruh dunia (PKBT 2006). Tanaman nenas termasuk Kingdom Plantae, Sub Kingdom Spermatophyta, Kelas Angiospermae, Sub Kelas Monokotil, Ordo Farinosae, Famili Bromeliaceae dan Genus Ananas.
Umumnya yang dimaksud dengan nenas adalah Ananas
comosus yang rasanya manis dan segar. Tanaman nenas dibedakan dari anggota genus yang lain berdasarkan tipe buah sinkarpus atau buah majemuk yang tidak ditemukan pada anggota genus yang lain (Collins 1968). Pada saat ini tanaman nenas telah tersebar keseluruh dunia, terutama di sekitar khatulistiwa yaitu antara 30º LU dan 25º LS, dengan suhu pertumbuhan berkisar antara 18.3-45 ºC. Tanaman nenas dapat tumbuh pada daerah beriklim A (amat basah), B (basah), C (agak basah), D ( daerah sedang), E (daerah agak kering), dan F (daerah kering). Tanaman nenas cocok apabila ditanam pada daerah dengan ketinggian 800-1200 dpl, tetapi pertumbuhannya akan optimum bila ditanam pada ketinggian 100-700 dpl. Tanaman ini tumbuh baik pada dataran rendah hingga dataran tinggi, tidak tahan salju namun sangat tahan terhadap kekeringan. Produksi buah akan terjadi secara maksimal apabila ditanam pada daerah dengan curah hujan antara 650-3800 mm. Tanah yang baik untuk pertumbuhan nenas adalah tanah yang mempunyai pengairan bagus dan kisaran pH antara 4.5-6.5 (Morton 1987). Fotosintesis tanaman nenas adalah tipe Crassulacean Acid Metabolism (CAM). Pada malam hari tumbuhan ini menggunakan enzim PEP karboksilase dan NADPH malat dehidrogenase untuk membentuk asam malat, kemudian mendekarboksilasi asam tersebut untuk menghasilkan CO2. Pada siang hari CO2 yang dihasilkan segera diikat oleh Rubisco dan selanjutnya digunakan sebagai bahan siklus Calvin untuk menghasilkan karbohidrat (Salisbury &Ross 1995).
6 Nenas merupakan tanaman monokotil dengan bunga dan buah terdapat pada ujung batang. Setelah masa berbuah, bunga dapat tumbuh kembali dari tunas aksilar yang dimiliki. Secara umum tanaman nenas terdiri dari batang, daun, tangkai buah, buah, mahkota buah, tunas dasar buah, tunas tangkai, tunas batang, tunas anakan dan akar (Collin 1968). Batang tanaman nenas dapat dilihat apabila daun-daun dihilangkan. Hal ini disebabkan batang nenas sangat pendek yaitu 20-25 cm dengan diameter 2.0-3.5 cm pada dasar, dan 5.5-6.5 sebelum ujung, dikelilingi oleh daun-daun yang berbentuk roset. Batang tanaman
nenas beruas-ruas dengan panjang masing-
masing ruas bervariasi antara 1 sampai 3.5 cm. Batang tanaman ini dikelilingi oleh daun yang tersusun spiral dengan philotaksis 3/15, berarti untuk mencapai posisi daun yang sejajar secara vertikal, terbentuk 3 spiral dan terdiri dari 15 daun (Collins 1968). Daun nenas berbentuk lanseolata dengan
ditandai adanya penyempitan
didekat pangkal daun. Daun berbentuk memanjang dan sempit, panjang daun dapat mencapai 130-150 cm, dengan daun tua lebih pendek dari daun muda yang ada diatasnya. Menurut d`Eeckenbrugge & Leal (2003), jumlah dan panjang daun sangat bervariasi tergantung kultivar umumnya
berkisar antara 40-80 helai.
Permukaan atas daun licin dan berlilin, berwarna hijau terang atau coklat kemerahan dan pada permukaan bawah terdapat garis-garis linier berwarna putih keperakan, mudah lepas dari epidermis yang berwarna hijau terang (Collins 1968). Daun sebagian besar berwarna hijau, atau bervariasi dengan garis merah, kuning pada tengah maupun tepi daun (Morton 1987). Pertumbuhan daun nenas biasanya satu dalam seminggu. Pada mulanya pertumbuhannya lambat, kemudian cepat. Pada fase vegetatif pertumbuhan panjang daun terus meningkat sampai panjang maksimum sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Tanaman nenas yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangan normal akan mempunyai daun sempurna lebih dari 35 helai pada sekitar umur 12 bulan setelah tanam (Collins 1968). Berdasarkan bentuk dan umur, daun nenas dibedakan menjadi daun C yaitu daun yang paling tua, daun D biasanya paling panjang dan daun E yaitu daun yang masih muda (Malezieux et al. 2003).
7 Akar tanaman ini bersifat serabut, dangkal dan tersebar luas. Pada kondisi normal, sistem perakaran menyebar antara 1-2 m dengan kedalaman 0.85 m. Berdasarkan pertumbuhannya, akar nenas dibedakan menjadi akar primer dan sekunder. Akar primer hanya dapat ditemukan pada kecambah biji, dan setelah itu digantikan oleh akar adventif yang muncul dari pangkal batang dan berjumlah banyak. Pada pertumbuhan selanjutnya, akar-akar tersebut akan bercabang membentuk akar sekunder untuk memperluas bidang penyerapan dan membentuk sistem perakaran yang mantap ( d`Eeckenbrugge & Leal 2003). Tahap mulai munculnya bunga pada nenas disebut fase red heart, karena tersusun oleh 5-7 lembaran-lembaran merah. Bunga tanaman nenas bersifat majemuk terdiri dari 50-200 kuntum bunga tunggal atau lebih.
Letak bunga
duduk tegak lurus pada tangkai buah kemudian berkembang menjadi buah mejemuk. Daun kelopak dari setiap kuntum bunga yang dikenal dengan mata buah, masih jelas meninggalkan bekas pada buah ( d’Eeckenbrugge & Leal 2003). Bunga nenas bersifat hermaprodit, mempunyai tiga kelopak, tiga mahkota, enam benang sari dan sebuah putik dengan kepala putik bercabang tiga. Penyerbukan tanaman nenas bersifat self incompatible atau cross pollinated dengan perantara burung dan lebah (Collins 1968). Polen nenas tidak berfungsi jika terjadi penyerbukan sendiri. Sifat self incompatible pada nenas dapat terjadi karena adanya lokus tunggal S dengan multiple alel, sehingga tanaman nenas akan steril apabila menyerbuk sendiri, tetapi biji akan terbentuk jika terjadi penyerbukan silang (Brewbaker & Gorrez 1967). Biji yang terbentuk setelah penyerbukan silang berwarna coklat, panjang 5 mm, lebar 1-2 mm, mengandung endosperm keras dan embrio kecil. Tanaman nenas tidak bersifat musiman, tetapi dapat berbunga setiap saat (Collins 1968). Buah nenas adalah buah majemuk yang terdiri dari seratus atau lebih komponen buah dan bergabung membentuk suatu buah bertipe sinkarpus. Buah nenas terbentuk melalui proses partenokarpi (d`Eeckenbrugge & Leal 2003). Partenokarpi merupakan proses pembentukan buah tanpa melalui proses penyerbukan dan fertilisasi, sehingga tidak menghasilkan biji. Di bagian atas buah tumbuh dan berkembang daun-daun pendek yang tersusun seperti pilinan disebut mahkota dan terdiri lebih dari 150 helai daun kecil. Kulit buah keras dan kasar
8 tersusun dari kelopak dan braktea yang tidak rontok. Tangkai buah panjangnya bervariasi tergantung aksesi. Pemanenan dapat dilakukan apabila mahkota buah sudah membuka, tangkai buah mengkerut, mata buah lebih mendatar, besar dan berbentuk bulat, warna dasar buah menguning serta muncul aroma nenas yang khas (Collins 1968). Tanaman nenas dapat diperbanyak secara generatif maupun vegetatif. Sumber bahan perbanyakan secara generatif berupa biji sangat jarang digunakan untuk produksi. Perbanyakan secara vegetatif menggunakan tunas batang, tunas yang muncul dari batang di bawah permukaan tanah, tunas dasar buah, tunas mahkota, potongan batang, dan kultur jaringan. Kualitas bibit yang baik harus berasal dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Perbanyakan secara generatif biasanya dilakukan untuk tujuan pemuliaan, sedangkan perbanyakan vegetatif untuk produksi. Walaupun perbanyakan dilakukan secara vegetatif, namun dapat dimungkinkan terjadinya variasi dalam klon yang disebabkan mutasi maupun pengaruh lingkungan yang ekstrim (Collins 1968). Beberapa kultivar nenas berbeda dalam ukuran tanaman, ukuran buah, warna dan rasa daging buah, serta ada atau tidaknya duri pada daun (d’Eeckenbrugge & Leal 2003). Kultivar- kultivar tersebut berada pada tempat yang tersebar, sehingga mempunyai nama yang berbeda-beda. Buah nenas yang mempunyai arti komersial adalah Smooth Cayenne, Red Spanish, Queen dan Abacaxi. Smooth Cayenne adalah nenas dengan bobot buah 1.8-4.5 kg, bentuk buah silindris, mata buah dangkal, kulit buah berwarna orange, daging buah kuning, dan mengandung sedikit serat buah (Morton 1987). Nenas Cayenne mempunyai daun panjang, berdekatan dan berdaun halus kecuali pada ujungnya berduri. Tanaman ini berbunga hanya satu kali dan mempunyai tinggi 1 meter (Samson 1980). Nenas Queen mempunyai daun lebih kecil, rapat, bersifat lebih tahan dingin dan tahan terhadap penyakit bila dibandingkan dengan Cayenne. Buah berbentuk lonjong, kuning tua, berat buah antara 0.45-1.13 kg, mengandung serat lebih sedikit dan buah lebih beraroma dari Cayenne (Morton 1987). Nenas Spanish mempunyai bobot antara 0.9-1.8 kg, berbentuk segi empat dengan tangkai buah ramping. Kulit buah berwarna kuning kemerahan dan mempunyai
9 mata buah dalam. Daging buah berwarna kuning pucat, lebih berserat, hati besar sangat beraroma dan buah lebih keras ketika muda (Morton 1987). Abacaxi adalah nenas dengan ciri buah sangat harum, daging buah putih atau kuning sangat pucat dengan bobot buah 1- 5 kg. Buah berbentuk piramida dengan tangkai buah sekitar 40 cm. Daun tanaman ini berduri dengan panjang antar 60-65 cm (Morton 1987)
Penanda Morfologi Penanda morfologi adalah suatu penanda untuk mengamati kekerabatan berdasarkan sifat-sifat morfologi yang tampak. Penanda morfologi merupakan penanda yang telah lama digunakan untuk program genetika dan program praktis pemuliaan tanaman, karena penanda ini dapat dengan mudah diamati. Penanda ini mengidentifikasi sifat-sifat luar seperti warna bunga, warna daun, batang, kulit biji dan lain-lain. Penanda morfologi sering digunakan untuk deskripsi taksonomi karena lebih mudah, murah, sederhana dan cepat (Cross 1990). Kecenderungan menggunakan karakter morfologi dalam mencari hubungan kekerabatan tanaman, disebabkan karena pendekatan morfologi memberikan
jalan tercepat dalam
mempelajari keanekaragaman dunia tumbuhan. Selain itu, data morfologi dapat dilihat dengan mudah dan cepat apabila dibandingkan data dari sumber lainnya. Klasifikasi berdasarkan sifat morfologi mempunyai beberapa kelemahan diantaranya penampilan karakternya sering rancu karena dipengaruhi oleh lingkungan, karakter yang digunakan untuk mengidentifikasi fase vegetatif sedikit, dan waktu untuk mengamati karakter yang muncul pada fase generatif relatif lama (Hadiati & Sukmajaya 2002). Menurut Tanksley (1983), selain dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, penanda morfologi juga memperlihatkan sifat menurun dominan resesif, dan mempunyai tingkat keragaman rendah. Penanda morfologi hanya digunakan sebagai salah satu cara mengidentifikasi keragaman suatu tanaman dan biasanya tidak digunakan secara sendirian, tetapi dikombinasikan dengan penanda lain. Penggunaan penanda morfologi saja menjadi kurang efektif, karena beberapa karakter morfologi yang diatur oleh banyak gen terekspresi pada akhir pertumbuhan, misalnya karakter hasil sehingga membutuhkan waktu penelitian lebih lama (Weising et al. 1995). Selain itu
10 kemiripan pada fenotipe juga belum tentu menunjukkan kemiripan pada tingkat DNA. Informasi genetik tanaman tersimpan dalam genom inti maupun organel (mitokondria dan kloroplas). Genom dapat didefinisikan sebagai keseluruhan gen yang dimiliki oleh suatu organisme dan mengatur seluruh proses metabolisme sehingga organisme tersebut dapat hidup (Jusuf 2001). Gen pada organisme dapat mengalami perubahan yang disebut mutasi. Beberapa mekanisme mutasi seperti delesi, duplikasi, inversi dan translokasi dapat mengganti basa pada nukleotida, tetapi tidak selalu mengubah pada tingkat fenotipe tanaman (Tanskley 1983). Hal ini terjadi apabila perubahan pada tingkat basa hanya menyebabkan terjadinya mutasi bisu. Mutasi bisu adalah mutasi pada tingkat basa yang menghasilkan kodon sinonim sehingga menghasilkan asam amino sama dengan kodon aslinya, sehingga tidak terjadi perubahan pada fenotipe tanaman (Jusuf 2001). Hal ini menyebabkan pengamatan menggunakan karakter morfologi saja menjadi kurang akurat, sehingga perlu dikombinasikan dengan pengamatan pada tingkat DNA. Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) AFLP merupakan salah satu sistem DNA fingerprinting yang bersifat multilokus dan dapat menghasilkan kapasitas fingerprinting yang besar (Vos et al 1995. AFLP merupakan penanda ideal untuk mendeteksi adanya keragaman antar individu, populasi dan jenis (Muller & Wolfenbarger 1999). Teknik ini mempunyai reproduksi yang tinggi, dan dapat digunakan untuk meneliti perbedaan-perbedaan di dalam genom inti tanpa pengetahuan tentang urutan genom. AFLP adalah metode untuk mendeteksi adanya fragmen restriksi pada DNA genom tanpa memperhitungkan kompleksitas atau keruwetan genom. Teknik AFLP sangat efisien untuk identifikasi polimorfisme DNA karena banyak fragmen restriksi yang dapat terdeteksi (Vos et al. 1995). Menurut Spooner et al. (2005), hasil AFLP berupa fragmen DNA yang terseleksi, kurang lebih 50-100 fragmen per reaksi. Fragmen tersebut dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi yang diikuti ligasi adaptor dan amplifikasi. Apabila dibandingkan dengan teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), AFLP mempunyai beberapa
11 kelebihan dalam jumlah fragmen yang dihasilkan, karena pada RAPD jumlah fragmen yang dihasilkan dari sepasang primer relatif sedikit, sehingga hanya sedikit karakter yang dapat dianalisis. Menurut Muller & Wolfenbarger (1999), AFLP mempunyai kelebihan yaitu lebih efisien dalam hal waktu, replikasi dan resolusinya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penanda lain seperti RAPD, mikrosatelit, izozim dan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Teknik AFLP merupakan suatu cara untuk menganalisis keragaman genetik melalui amplifikasi DNA genom menggunakan sepasang primer yang mengandung satu atau lebih nukleotida selektif. Keragaman genetik dilihat berdasarkan polimorfisme fragmen hasil amplifikasi. Menurut Vos et al. (1995), prinsip utama teknik AFLP terdiri dari empat langkah yaitu preparasi template atau cetakan DNA, restriksi dan ligasi, amplifikasi fragmen serta analisis gel dengan poliakrilamid.
Prosedur AFLP terdiri dari beberapa tahap yang dimulai
dengan pemotongan DNA genom oleh sepasang enzim restriksi. Alasan digunakan dua enzim restriksi yang berbeda karakter adalah dapat memberikan fleksibelitas yang tinggi dalam pengaturan sejumlah fragmen yang akan diamplifikasi dan sejumlah besar sidikjari yang berbeda dapat dihasilkan dengan berbagai kombinasi primer (Vos et al. 1995). Kedua enzim restriksi tersebut mempunyai tipe berbeda. Tipe memotong jarang atau rare cutter terdiri dari 6 pasang basa, sedangkan tipe memotong sering atau frequent cutter terdiri dari 4 pasang basa. Setelah dilakukan pemotongan dengan enzim restriksi, oligonukleotida adaptor utas ganda diligasikan atau digabungkan pada fragmen DNA tersebut. Adaptor terdiri dari sekuen inti adaptor dan sekuen spesifik enzim. Sekuen spesifik enzim akan menggabungkan adaptor dengan fragmen restriksi, sehingga dihasilkan templat atau cetakan bagi primer pada proses pre-amplifikasi (Vuylsteke et al 2007). Penggunaan adaptor pada ujung fragmen restriksi dapat membuat situs perlekatan primer dalam reaksi amplifikasi fragmen (Vos et al. 1995). Primer mungkin mempunyai satu atau lebih penambahan basa pada ujung 3 yang disebut dengan nucleotida selective (Vuylsteke et al 2007). Fragmen DNA hasil pemotongan enzim restriksi tersebut, diseleksi melalui pre amplifikasi dan amplifikasi selektif, menggunakan primer yang komplemen dengan sekuen
12 adaptor, sekuen restriksi dan sekuen genom. Secara garis besar, teknik AFLP adalah sebagai berikut: Fragmen restriksi PstI TGCAGGAC CCTG
MseI TCGT AGCAAT Ligasi adapter
CTCGATGACTGCGTACATGCAGGAC CTACTGACGCATGTACGTCCTG Primer Pst GACTGCGTACATGCAGGAC CTACTGACGCATGTACGTCCTG CTCGAGACTGCGTACATGCAG GAC
TCGTTACTCAGGACTCAT AGCAATGAGTCCTGAGTAGCAG
AGCAATGAGTCCTGAGTAGCAG TCG TTACTCAGGACTCAT AGCAATGAGTCCTGAGTA Primer Mse
Amplifikasi Gambar 1 Diagram skematis teknik AFLP menggunakan enzim restriksi PstI dan MseI Pada dasarnya proses amplifikasi DNA mengunakan mesin PCR mengikuti pola sintesis DNA di dalam sel. Proses sintesis DNA diawali pengudaran utas ganda menjadi utas tunggal yang disebut denaturasi dan dilanjutkan dengan sintesis utas baru menggunakan utas tunggal sebagai cetakan. Proses sintesis mempunyai arah 5’-3’, berarti nukleotida baru dirangkai pada karbon ketiga (C3) yang mengandung OH pada nukleotida sebelumnya
melalui ikatan 5-3
fosfodiester. Amplifikasi DNA secara in vitro menggunakan mesin PCR juga membutuhkan enzim polimerase DNA, primer, basa nukleotida (dGTP, dCTP, dATP dan dTTP), Mg Cl2 dan bufer sebagai kofaktor enzim serta penambahan H2O bila diperlukan untuk memperoleh volume total yang diinginkan. Primer berfungsi sebagai titik awal sintesis atau menyediakan ujung 3’OH bagi nukleotida berikutnya pada proses sintesis oleh enzim DNA polimerase. Enzim DNA polimerase diperoleh dari bakteri Thermus aquaticus sehingga disebut Taq DNA polimerase. Enzim ini sesuai untuk proses amplifikasi karena dapat bertahan pada suhu 95 ºC. Setelah visualisasi hasil
menggunakan gel poliakrilamid, dapat dilihat
beberapa pita yang dihasilkan secara serempak oleh proses AFLP kurang lebih 50-
13 100 fragmen per reaksi. Polimorfisme terdeteksi berupa ada atau tidaknya fragmen yang dimiliki oleh masing-masing individu, sehingga merupakan marka dominan. Menurut Vos et al. (1995), visualisasi produk AFLP menggunakan gel poliakrilamid. Fragmen DNA hasil proses AFLP dapat terdeteksi setelah mengekspose gel pada sinar X karena primer yang digunakan dilabel dengan radioaktif misalnya
32
P,
33
P atau 2H. Salah satu modifikasi terhadap teknik
tersebut adalah menggunakan primer yang dilabel bahan kimia fluoresens seperti yellow, green dan blue dyes (Curn et al. 2002). Chen et al. (2004) menggunakan pelabelan IRD 700 dan
IRD 800
pada primer yang digunakan untuk
menganalisis keragaman genetik Aglonema species. Pada penelitian ini dilakukan pelabelan primer menggunakan IRD 700. Meskipun AFLP mempunyai tingkat kesulitan teknik dan biaya yang tinggi, tetapi teknik ini mempunyai beberapa kelebihan. Menurut Vos et al. (1995), AFLP mempunyai kelebihan yaitu dapat diperoleh jumlah karakter lebih banyak karena jumlah fragmen yang dihasilkan lebih banyak, amplifikasi DNA dapat bersifat spesifik dan stabil. Teknik ini juga relatif lebih cepat, mudah dan menghasilkan penanda dengan resolusi
tinggi, sehingga AFLP sering digunakan untuk berbagai
analisis
molekuler seperti sistematika, genetika populasi, DNA fingerprinting dan Quantitatif Trait Loci (QTL) mapping (Muller & Wolfenbarger 1999). Pada tanaman kedelai, AFLP digunakan bersama-sama dengan RAPD dan RFLP untuk pemetaan marka-marka molekuler (Lin et al. 1996). Sedangkan pada tanaman tomat, marka molekuler yang terpaut dengan gen Cf-9 yaitu gen yang menentukan ketahanan
terhadap patogen Cladosporium fulvum diperoleh melalui analisis
AFLP (Thomas et al. 1995). Menz et al. (2004) menggunakan AFLP untuk melihat keragaman genetik antar kultivar sorgum dengan mengkombinasi enzim restriksi PstI/MseI dan Eco RI/MseI.
BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Duapuluh satu aksesi nenas yang diamati berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Bali, Jawa Barat dan Jepang. Tanaman tersebut ditanam di kebun koleksi Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) Pasir Kuda Ciomas Bogor. Tabel 1 Daftar aksesi nenas yang digunakan dalam penelitian analisis keragaman genetik berdasarkan morfologi dan AFLP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Aksesi KSPMSC SUPMSC KBPLQH QH BALI RIAU 2 BBBMQH MAKASAR JBSHQH JBSHQM JBSHSC JBBMSpB LNJSC JBBMQM2 SRPLQH SSUHSC SNADLSC SLLLC1 Pak-Pak JBPHSC CNN SJJLQH
Asal Paung Kalimantan Selatan Pagar Batu Sumatera Utara Pontianak Bali Riau Bangka Belitung Makasar Sumedang Jawa Barat Sumedang Jawa Barat Sumedang Jawa Barat Bogor Jawa Barat Jepang Bogor Jawa Barat Pekan Baru Siborong-borong Sumatera Aceh Lampung Irian Jaya Purbalingga Jambi
Penelitian sifat-sifat morfologi tanaman dilaksanakan di kebun koleksi Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) Ciomas Bogor, sedangkan analisis molekuler dilaksanakan di
laboratorium BIORIN Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB Darmaga. bulan Mei 2007 sampai dengan Mei 2008.
Penelitian dilakukan pada
15 Metodologi Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa alur penelitian sebagai berikut: Keragaman plasma nutfah
Isolasi DNA Pengamatan secara morfologi meliputi: lebar daun atas, tengah , bawah, panjang daun, motif daun, posisi duri, jumlah duri pada kanan dan kiri daun
Uji kualitas dan kuantitas DNA
Restriksi dan ligasi, pre amplifikasi dan amplifikasi selektif
Data morfologi
Gel poliakrilamid
Data biner
Data biner
Data gabungan
Analisis kemiripan
Analisis gerombol
Analisis komponen utama
Gambar 2 Diagram alir penelitian tentang analisis keragaman genetik tanaman nenas berdasarkan penanda morfologi dan AFLP.
16 Pengamatan Karakter Morfologi. Berbagai aksesi tanaman nenas mempunyai perbedaan secara morfologi sehingga dapat digunakan sebagai parameter pengamatan. Beberapa parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: panjang daun, lebar daun bagian bawah, tengah dan atas, motif daun, posisi duri serta banyaknya duri pada sisi kiri dan kanan daun, diukur pada daun yang sudah mengalami pertumbuhan maksimum. Data hasil pengamatan yang bersifat kualitatif diskoring dengan panduan dari PKBT dan
disajikan dalam bentuk visual. Data morfologi hasil pengamatan
dikelompokkan menjadi data kelas, kemudian diubah menjadi data biner. Isolasi DNA Isolasi DNA menggunakan metode
Doyle dan Doyle (1987) yang di
modifikasi dengan langkah-langkah sebagai berikut: 0.5 g sampel digerus dengan menambah nitrogren cair. Serbuk dimasukkan kedalam tabung yang berisi 2 μl β merkaptoetanol dan 600 μl bufer CTAB dengan komposisi: CTAB 2% (b/v), Tris HCl 75 mM, EDTA 15 mM, NaCl 0.5 M pH 8.0, Polyvinil-polypirollidone (PVPP) 1% (b/v), kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 65ºC. Sampel yang telah dingin ditambah dengan 1 kali volume CI (Kloroform : Isoamilalkohol dengan perbandingan 24:1) dan dikocok perlahan. Sampel disentrifugasi pada 10.000 rpm (Jouan BR 4i Perancis ), selama 20 menit suhu 4 ºC. Supernatan dimasukkan ke dalam tabung baru, ditambah dengan 0.7 volume isopropanol dingin, kemudian disimpan di dalam es atau pada suhu -20 ºC selama 2 jam. Sampel disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 20 menit suhu 4 ºC.
Pelet
ditambah dengan 500 μl etanol 70% untuk pencucian dan disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 5 menit 4 ºC. Pelet dikeringkan dengan cara menelungkupkan tabung, kemudian dilanjutkan dengan vakum hingga pelet benar-benar kering. Selanjutnya pelet di larutkan dengan 50 μl H2O dan ditambah dengan 1 volume PCI (Fenol: Kloroform: Isoamilalkohol dengan perbandingan 25:24:1), kemudian dikocok perlahan 10 kali dan disentrifugasi pada 10.000 rpm 20 menit suhu 20ºC. Supernatan dipindah ketabung baru dan ditambah dengan 0.1 volume Na asetat 3M dan 2 volume etanol absolut, kemudian disimpan dalam es atau suhu -20 ºC selama 2 jam. Sampel disentrifugasi pada 10.000 rpm 30 menit 4 ºC, dan dibilas
17 dengan alkohol 70% (v/v). Pelet dikeringkan dan disuspensikan dengan 50 μl H2O. Untuk menghilangkan RNA, larutan ditambah dengan 0.1 volume RNAse (10 mg/ml)
dan diinkubasi selama semalam pada suhu 37 ºC, selanjutnya
disimpan pada suhu -20 ºC sebagai stok DNA. Uji Kualitas dan Kuantitas DNA Hasil isolasi DNA dianalisis dengan metode Sambrook et al. (1989) pada gel agarosa 1% (b/v) dengan menggunakan bufer TAE 1x (TAE 50 x terdiri dari Tris HCl 2M pH 8.3, asam asetat pekat 0.99 M dan EDTA 50 mM. Sebelum digunakan diencerkan 50 kali untuk mendapatkan TAE 1x). 10 μl DNA hasil isolasi ditambah dengan 2 μl loading dye dengan komposisi Bromofenol biru 0.25% (b/v), Xylene cyanol 0.25% (b/v) dan Sukrosa 15% (b/v). Campuran tersebut dimasukkan ke dalam sumur gel dan dialirkan selama 45 menit pada bak elektroforesis dengan tegangan 100 volt. Selanjutnya gel direndam di dalam larutan ethidium bromida 0.5 μg/ml selama 15 menit, dibilas dengan akuades, kemudian pita DNA dilihat melalui UV transiluminator. Uji kuantitas DNA dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. DNA yang murni terletak pada skala 1.7 – 2.0 untuk perbandingan panjang gelombang 260/280. Analisis AFLP Analisis AFLP menggunakan metoda Vos et al.( 1995) yang dimodifikasi pada pelabelan primer dengan IRD 700. Tahap-tahap AFLP terdiri dari restriksi dan ligasi, pre-amplifikasi, amplifikasi selektif dan visualisasi. Restriksi dan Ligasi (RL). Untuk reaksi Restriksi dan Ligasi (RL), satu kali reaksi dibutuhkan: 2.5 μl bufer reaksi 10x (Tris-HCl 50 mM pH 7.5 , Mg-asetat 5 mM, K-asetat 250 Mm), 5 μl DNA (100 ng/μl), 0.125 μl PstI (20 unit/μl) dan 0.25 MseI (5 unit/μl), 0.5 μl PstI adaptor (5 pmol/ μl) dengan sekuen 3’CTACTGACGCATGTACGT5’ komplemen mulai pada urutan basa keempat dari sekuen 5’CTCGATGACTGCGTACA3’, 0.5 μl MseI adaptor (50 pmol/ μl) dengan sekuen 3’GAGTCCTGAGTAGCAG5’ komplemen mulai pada urutan
18 basa ketiga dari sekuen 5’TACTCAGGACTCAT3’, 0.5 μl ATP (10mM), 0.16 μl T4 ligase (3 unit/μl), dan 15.465 μl H2O sehingga total volume menjadi 25 μl. Campuran diinkubasi semalam pada suhu 37oC selama 12 jam. kemudian diencerkan 10x dengan H2O. Hasil dari proses ini disebut dengan diluted RL Pre Amplifikasi. Proses pre amplifikasi menggunakan 5.0 μl diluted RL ditambah dengan 0.6 μl primer P00 (30 ng/μl) dengan sekuen 5’GACTCGTACATGCAG3’, 0.6 μl primer M02 (30 ng/μl) dengan sekuen 5’GATGAGTCCTGAGTAAC3’, 0.4 μl dNTP (10 mM), 2.0 μl Super bufer 10 x, 0.08 μl super Tag (5 unit/μl) dan 11.32 μl H2O, sehingga total volume menjadi 20 μl. Semua campuran tersebut di amplifikasi melalui PCR program pre amplifikasi sebanyak 24 siklus yang terdiri 30 detik denaturasi pada suhu 94 ºC, 30 detik penempelan primer pada suhu 56 ºC, dan 60 detik pemanjangan pada suhu 72 ºC. Hasil dari proses ini disebut diluted pre amp. Untuk mengetahui hasil proses pre amplifikasi dilakukan elektroforesis. 5 μl diluted pre-amp ditambah dengan
2 μl loading dye dan
dielektroforesis pada gel agarosa 1% (b/v), di dalam bufer TAE 1x selama 30 menit. Pre amplifikasi yang baik menghasilkan pita DNA yang smear setelah diamati pada UV transiluminator. Amplifikasi Seleksi. Produk pre amplifikasi diencerkan 10 kali dan digunakan sebagai cetakan untuk amplifikasi selektif, menggunakan primer berlabel IRD 700. Amplifikasi selektif pada IRD 700 dilakukan dengan mencampur 10 μl diluted pre-amp, 0.6 μl primer M-48 (50 ng/μl) yang tidak dilabel dengan sekuen 5’GATGAGTCCTGAGTAACAC3’
dan 1.0 μl IRD primer P11 (1 pmol/μl)
dengan sekuen 5’GACTCGTACATGCAGAA3’. Kemudian ditambah dengan 0.4 μl dNTP 10 mM, 2.0 μl super bufer 10x, 5.92 μl H2O, 0.08 μl Tag polimerase (5 unit/μl), sehingga volume total menjadi 20 μl. Campuran bahan - bahan tersebut diamplifikasi sebanyak 36 siklus yang terdiri dari 30 detik denaturasi pada suhu 94 ºC, 30 detik penempelan primer pada suhu 56 ºC, dan 60 detik pemanjangan pada suhu 72 ºC, kemudian dilanjutkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid.
19 Visualisasi Fragmen. Elektroforesis hasil amplifikasi selektif menggunakan gel poliakrilamid 6%, dengan peralatan LI-COR DNA Analyser. Gel yang digunakan untuk elektroforesis dibuat dengan cara mencampur 20 ml KB plus 6.5%, 15 μl Tetrametil-ethilenediamine (TEMED) dan 150 μl Amonium persulfat (APS) 10% (b/v). Campuran tersebut dimasukkan pada plat kaca dan didiamkan selama kurang lebih 1 jam hingga membeku. Plat kaca berisi gel dipasang pada peralatan elektroforesis kemudian ditambah TBE 1x. Komposisi TBE 10 x adalah: Tris HCl 1M pH 8.3, asam borat 0.83 M dan EDTA 10 mM. Campuran diencerkan 10 kali untuk mendapatkan TBE 1x. Untuk menaikkan suhu hingga 50oC, dilakukan pre elektroforesis selama 20 menit dengan daya 20 watt. Produk dari amplifikasi selektif sebanyak 10 μl, ditambah dengan 10 μl loading buffer formamid 2 x ( formamid 98% (b/v), EDTA 10 mM, bromofenol biru 0.025% (b/v), dan
silen sianol 0.025% (b/v)). Campuran tersebut o
didenaturasi pada suhu 90 C selama 3 menit dan segera dipindahkan kedalam es kurang lebih 60 menit. Permukaan plat kaca yang berisi gel dibersihkan dengan bufer TBE 1x menggunakan pipet 1 ml, kemudian comb (sisir) dipasang pada gel. Sebanyak 1 μl sampel dimasukkan kesela-sela comb, dielektroforesis selama 180 menit dengan daya 12 watt, 1500 volt sehingga terdeteksi pita-pita hasil elektroforesis melalui komputerisasi peralatan LI-COR. Analisis Data Data yang berasal dari karakter morfologi dan AFLP dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 13. Analisis Similaritas. Hasil pengamatan morfologi yang bersifat kualitatif diskoring dengan panduan PKBT dan disajikan dalam bentuk visual. Semua data diubah kedalam data kelas kemudian menjadi data biner. Profil pita-pita DNA dari analisis AFLP diskoring dengan nilai 1 jika ada pita dan nilai 0 jika tidak ada pita pada jarak migrasi yang sama. Untuk melihat koefisien kesamaan genetik dan pembuatan dendogram berdasarkan data gabungan morfologi dan AFLP, menggunakan
20 metode pautan rataan antar kelompok dengan koefisien Dice pada program SPSS 13. Koefisien Dice (S) = 2nab / (na+ nb); nab adalah jumlah pita DNA yang sama posisinya baik individu a maupun b, na dan nb masing-masing adalah jumlah pita DNA yang dimiliki oleh individu a dan b (Nei & Li 1979). Metode pautan rataan mendefinisikan bahwa jarak antar dua kelompok merupakan rata-rata pengamatan didalam satu kelompok dengan kelompok lain. Metode ini menghasilkan kelompok dengan keragaman yang relatif homogen (Zaenal & Amirhusin 2005). Analisis Komponen Utama Analisis komponen utama dilakukan dengan cara mengekstraksi 3 Eugenvectors dan 3 Eugenvalues utama yang memberikan tingkat keragaman paling tinggi menggunakan teknik reduksi data dengan Componen Analysis pada program SPSS 13.
metode Principal
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Morfologi Pengamatan karakter morfologi dilakukan terhadap 21 aksesi tanaman nenas yang ditanam pada kebun koleksi Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT), Pasir Kuda Ciomas Bogor. Tanaman nenas koleksi PKBT merupakan hasil perbanyakan secara vegetatif. Tanaman nenas yang diperbanyak dari bahan vegetatif berbeda, mempunyai umur produksi yang berbeda pula. Anakan akan berbuah setelah 12 bulan, tunas batang 15-18 bulan, tunas tangkai setelah 18 bulan, tunas dasar buah 20 bulan, mahkota 22-24 bulan, dan batang 24-36 bulan. Duapuluh satu aksesi nenas yang diamati mempunyai habitus yang hampir sama (Lampiran 1). Pengamatan karakter vegetatif terhadap 21 aksesi nenas memperlihatkan adanya variasi pada karakter kualitatif yaitu motif daun dan posisi duri (Tabel 2). Tabel 2 Karakter kualitatif hasil pengamatan 21 aksesi nenas No.
Kode
Aksesi
Motif Daun
Posisi Duri
1
KSPMSC
SC Paung Kalimantan Selatan
Hijau bercak merah
Tidak merata
2
SUPMSC
SC Pagar Batu Sumatera Utara
Hijau bercak merah
Tidak merata
3
KBPLQH
QH Pontianak
Hijau bercak merah
Merata
4
QH BALI
QH Bali
Hijau bercak merah
Merata
5
RIAU-2
Riau-2
Hijau bercak merah
Merata
6
BBBMQH
QH Bangka Belitung
Hijau bercak merah
Merata
7
MAKASAR
Makasar
Hijau bercak merah
Tidak merata
8
JBSHQH
QH Sumedang Jawa Barat
Hijau bercak kuning
Merata
9
JBSHQM
QM Sumedang Jawa Barat
Kemerahan
Merata
10
JBSHSC
SC Sumedang Jawa Barat
Hijau bercak kuning
Ujung dan pangkal daun
11
JBBMQM-2
QM-2 Bogor Jawa Barat
Varigata
Merata
12
LNJSC
SC Jepang
Hijau
Ujung dan pangkal daun
13
JBBMSpB
Nenas Buaya Bogor Jawa Barat
Hijau
Merata
14
SRPLQH
QH Pekan Baru
Hijau bercak merah
Merata
15
SSUBLSC
SC Siborong-borong Sumatera
Hijau bercak merah
Ujung dan pangkal daun
16
SNADLSC
SC Aceh
Hijau bercak merah
Tidak merata
17
SLLLC-1
Lampung
Hijau bercak merah
Ujung dan pangkal daun
18
PAK-PAK
Fak-Fak Irian Jaya
Hijau bercak merah
Ujung dan pangkal daun
19
JBPHSC
SC Purbalingga
Hijau bercak merah
Tidak merata
20
CNN
CNN
Hijau bercak merah
Merata
21
SJJLQH
QH Jambi
Hijau bercak merah
Merata
22
Pengamatan terhadap karakter morfologi memperlihatkan bahwa dari 21 aksesi nenas terdapat tiga variasi posisi duri yaitu duri merata diseluruh tepi daun, duri tidak merata serta duri diujung dan pangkal daun (Gambar 3)
Gambar 3
a b c Berbagai variasi posisi duri pada daun nenas a: duri merata diseluruh tepi daun, b: duri tidak merata, c: duri diujung dan pangkal daun.
Motif daun nenas mempunyai beberapa variasi, diantaranya hijau dengan bercak merah, hijau dengan bercak kuning, hijau tepi merah dan kuning, serta warna daun kemerahan (Gambar 4).
a
b
d
c
e
Gambar 4 Berbagai motif pada daun nenas a : hijau tepi merah dan kuning, b: hijau dengan bercak merah, c: hijau, d: kemerahan, e: hijau dengan bercak kuning.
23 Analisis AFLP Dari sepasang primer yang digunakan dalam penelitian ini, dihasilkan fragmen DNA dengan ukuran berkisar antara ~50 – ~460 pb. Analisis hanya dilakukan terhadap 29 fragmen DNA yang berukuran antara 255-460 pb. Hal ini disebabkan fragmen DNA yang berukuran kurang dari 255 pb terlihat tebal dan mengelompok sehingga sukar dibedakan antara fragmen yang satu dengan yang lainnya (Gambar 5). Dari 29 fragmen yang dianalisis, 18 atau 62% adalah polimorfik. Polimorfisme terdeteksi berupa ada atau tidaknya fragmen, sehingga dikategorikan sebagai marka dominan (Muller & Wolfenbarger 1999). Pita polimorfik yang semakin banyak akan semakin menunjukkan adanya variasi antar aksesi. 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 131415 16 171819 20 21 M
460 pb
400 pb 364 pb 350 pb
300 pb 255 pb
204 pb 200 pb
Gambar 5 Profil pita AFLP hasil amplifikasi DNA nenas menggunakan primer P11 dan M48. 1: SC Paung Kalsel, 2: SC Siborong-borong, 3: QH Sumedang, 4: Buaya Bogor, 5: Makasar, 6: SC Sumedang, 7: SC Pagar Batu, 8: SC Purbalingga, 9: QH Pekan Baru, 10: SC Jepang, 11: QH Bangka, 12: QM-2 Bogor, 13: QM Sumedang, 14: Lampung, 15: Pakpak, 16: QH Pontianak, 17: Riau-2, 18: Bali, 19: CNN, 20: QH Jambi, 21: SC Aceh, M: Marker.
24 Banyaknya fragmen DNA yang terbentuk menunjukkan bahwa primer yang digunakan bersifat multilokus. Kemampuan suatu primer dalam mengungkap keragaman genetik, ditunjukkan oleh banyaknya fragmen DNA polimorfik yang dihasilkan. Perbedaan tebal tipisnya fragmen DNA yang terbentuk disebabkan karena perbedaan jumlah dari molekul-molekul yang termigrasi. Fragmen tebal merupakan fiksasi dari beberapa fragmen. Tingkat polimorfisme dipengaruhi oleh substitusi basa, delesi dan insersi pada situs penempelan primer, situs enzim restriksi atau perubahan ukuran fragmen restriksi dan hasil amplifikasi (Spooner et al. 2005). Untuk teknik AFLP dibutuhkan genom dengan kualitas baik karena terdapat beberapa tahapan kritis dalam proses ini seperti pemotongan menggunakan dua enzim restriksi maupun pemasangan adaptor dikedua ujung DNA yang telah dipotong. Menurut Muller & Wolfenbarger (1999), kualitas genom yang digunakan harus mempunyai kemurnian tinggi dan bebas dari bahan-bahan penghambat PCR. Kualitas genom yang kurang bagus atau terdegradasi akan menyebabkan terjadinya pemotongan yang tidak lengkap karena hilangnya situssitus restriksi yang dikenali oleh enzim restriksi (Vos et al. 1995). Parameter keberhasilan isolasi DNA adalah diperoleh DNA dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Genom total dari 21 aksesi nenas yang telah diisolasi, dielektroforesis pada gel agarosa 1% (v/v). Isolasi DNA tumbuhan menggunakan metode CTAB ( cetyltrimethylammonium bromida), sebagai bufer ekstraksi
mempunyai kelebihan yaitu menghasilkan DNA dengan kemurnian
yang lebih baik (Doyle & Doyle 1987). Keberadaan CTAB sebagai detergen kationik dalam bufer ekstraksi berfungsi untuk memisahkan polisakarida yang sering mengganggu reaksi enzimatis karena bercampur dengan DNA. CTAB hanya aktif untuk mendenaturasi protein pada suhu 65ºC, sehingga harus dilakukan pemanasan terlebih dahulu. Penambahan β merkaptoetanol dan Polyvinil-polypirollidone (PVPP) pada bufer bertujuan untuk mencegah kerja enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA. Pemberian β merkaptoetanol bertujuan untuk memecah ikatan sulfida dari enzim tersebut, sementara PVPP digunakan untuk mencegah reaksi oksidasi yang ditandai dengan pencoklatan jaringan. Kandungan polisakarida dan senyawa fenol yang tinggi
25 menyebabkan DNA mempunyai kualitas kurang baik, sehingga perlu dilakukan pemurnian kembali. Penggunaan fenol, kloroform dan isoamilalkohol (25:24:1), dapat mengendapkan protein yang terdenaturasi dan juga polisakarida. Protein dan sebagian polisakarida larut dalam fase organik yaitu kloroform sedangkan asam nukleat akan larut dalam fase air. Pengendapan DNA menggunakan isopropanol dan alkohol absolut dapat mengendapkan DNA tetapi kontaminan lain tetap larut (Sambrook et al. 1989). DNA yang relatif murni dan tidak terdegradasi menyebabkan terjadinya pemotongan yang lengkap oleh enzim restriksi. Penggunaan kombinasi enzim restriksi PstI dan MseI pada sorgum, menghasilkan kemiripan
genetik lebih
rendah yaitu 0.89 apabila dibandingkan dengan kemiripan genetik menggunakan EcoR I dan MseI yaitu 0.91 (Menz at al. 2004). Kombinasi enzim PstI dan MseI ini bersifat sensitif metilasi dan tidak akan memotong pada situs-situs yang mengalami metilasi. Nukleotida Cytosin yang termetilasi pada atom C nomor 5 tidak akan terpotong oleh enzim restriksi ini, sedangkan yang tidak termetilasi akan terpotong, sehingga meningkatkan polimorfisme. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini menggunakan kombinasi enzim restriksi Pst1 dan MseI. Penggunaan adaptor khusus yaitu adaptor Pst dan Mse yang diligasikan pada DNA menggunakan ensim T4 Ligase, bertujuan agar primer dapat berkomplemen dengan sekuen genom, sekuen enzim restriksi dan adaptor (Vuylsteke et al. 2007).
Primer yang digunakan pada pre amplifikasi adalah P00
dan M02. Primer P00 adalah primer PstI tanpa tambahan nukleotida selektif, sedangkan M02 adalah primer MseI yang mendapat tambahan satu nukleotida selektif C pada ujungnya. P11 adalah primer dengan penambahan dua nukleotida AA dan M48 mempunyai tiga nukleotida selektif CAC. Penambahan nukleotida selektif akan menyebabkan amplifikasi fragmen DNA cetakan menjadi lebih spesifik dan meningkatkan polimorfisme (Vos et al. 1995). Semakin banyak nukkeotida selektif yang ditambahkan pada primer, maka fragmen yang teramplifikasi akan semakin sedikit namun lebih spesifik. Hal ini sesuai dengan prinsip AFLP yang merupakan suatu teknik dengan fragmen terseleksi dari pemotongan total genom dan diamplifikasi melalui PCR (Curn et al. 2002).
26 Fragmen DNA yang terbentuk dari hasil amplifikasi dianggap sebagai satu karakter yang mewakili satu lokus. Semua fragmen DNA dengan laju migrasi yang sama diasumsikan sebagai lokus yang homolog. Apabila satu fragmen dianggap sebagai satu karakter, maka sejumlah besar karakter dapat dianalisis melalui teknik AFLP. Analisis Kemiripan Karakter Morfologi dan AFLP Koefisien kemiripan
berdasarkan
gabungan data morfologi dan AFLP
berkisar antara 0.59 sampai 1.00 (Lampiran 4). Koefisien kemiripan terendah yaitu 0.59 terdapat antara QM Sumedang dengan Fak-Fak Irian Jaya, diikuti koefisien kemiripan yang hampir sama yaitu 0.60 antara SC Pagar Batu Sumatera Utara dengan nenas Buaya Bogor. Koefisien kemiripan tertinggi yaitu 1.00 terdapat pada nenas QH Bangka Belitung dengan QH Pontianak. QM Sumedang dengan Fak-Fak mempunyai nilai kemiripan terendah apabila dibandingkan dengan kemiripan antar aksesi yang lain yaitu 0.59 (Lampiran 4). Secara morfologi kedua aksesi ini hanya mempunyai persamaan pada tiga karakter morfologi yaitu panjang daun, lebar daun tengah dan atas. Lima karakter morfologi yang lain antara kedua aksesi ini sangat berbeda, sehingga menghasilkan nilai keragaman yang tinggi. Berdasarkan fragmen DNA hasil analisis AFLP kedua aksesi ini mempunyai 11 fragmen yang polimorfik dari 29 fragmen yang diamati. Perbedaan secara morfologi antara SC Pagar Batu Sumatera dengan nenas Buaya Bogor terletak pada 4 karakter yaitu lebar daun bawah, posisi duri, jumlah duri pada sisi kanan daun dan motif daun. Fragmen DNA yang polimorfik antara kedua aksesi ini adalah 13 fragmen dari 29 fragmen yang diamati. QH Bangka Belitung dan QH Pontianak mempunyai koefisien kemiripan 100% karena 8 karakter morfologi yang diamati sama. Fragmen DNA hasil analisis AFLP juga tidak memperlihatkan adanya pita polimorfik diantara kedua aksesi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kedua aksesi tersebut mempunyai kemiripan yang mutlak dan diduga sebagai klon yang sama. Karakterisasi QH Bangka Belitung dan QH Pontianak belum pernah dilakukan sebelumnya, tetapi secara umum kedua aksesi ini merupakan anggota
27 varietas Queen. Nenas Queen mempunyai ukuran daun dan buah lebih kecil apabila dibandingkan dengan Cayenne. Buah nenas Queen berbentuk lonjong, mata buah menonjol, warna kulit buah kuning, warna daging buah kuning tua, rasa manis, kandungan asam rendah, hati kecil dan mengandung sedikit serat (Collins 1968). Nenas Queen merupakan salah satu varietas yang paling tua dan mempunyai banyak sekali sub varietas. Perbanyakan
secara vegetatif yang
dilakukan terhadap tanaman nenas termasuk nenas Queen menyebabkan tidak adanya percampuran gen antara tetua jantan dan betina. Variasi yang terjadi diantara beberapa anggota nenas Queen hanya disebabkan oleh mutasi somatik dan gen, sehingga
nenas Queen mempunyai banyak mutan. Beberapa jenis
varietas Queen adalah Abaka terdapat di Suriname, Venezuela, san Florida. Natal Queen terdapat di Afrika Selatan, Australia dan Indonesia. Pernambuco merupakan jenis Queen yang ada di Inggris, sedangkan Cabezone merupakan Queen yang terdapat di Puerto Rico (Muljoharjo 1983). Analisis Gerombol Karakter Morfologi dan AFLP Analisis gerombol
berdasarkan gabungan data morfologi dan AFLP
membentuk tiga kelompok pada koefisien 0.74. Kelompok I yang beranggotakan 17 aksesi, terbagi menjadi tiga sub kelompok pada koefisien 0.80. Lima belas aksesi yang merupakan anggota kelompok I berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Bali dan Jepang. Dua aksesi lainnya berasal dari Jawa Barat. Kelompok II dan III semuanya terdiri dari nenas yang berasal dari Jawa Barat. Nenas yang berasal dari Jawa barat yaitu QM-2 Bogor, QM Sumedang dan QH Sumedang berada pada satu kelompok yaitu kelompok II, sedangkan SC Purbalingga dan SC Sumedang berada pada kelompok I bersama-sama dengan nenas dari berbagai daerah. Nenas Buaya Bogor merupakan satu-satunya nenas yang menempati kelompok III (Gambar 6).
28 Koefisien kemiripan 0,98 QH Bangka
11
QH Pontianak
16
QH Pekan Baru
9
0,93
0,88
0,83
0,78
ùòòòòòø
20
òòòòòòò÷
CNN
19
òòòòòòòòòòòòò÷
Riau-2
17
òòòòòòòòòûòòòòòø
Bali
18
òòòòòòòòò÷
ùòòòòòø ùòòòòòø ó
ó
ùòòò÷
ó
Aòòòòòòø
Makasar
5
òòòòòòòòòòòòòòò÷
ùò
SC Purbalingga
8
òòòòòòòòòûòø
ó
òòòòòòòòò÷ ùòòòòòø
ó
ó
ó
ó
21 7
òòòòòòòòòòò÷
SC Paung Kal Sel
1
òòòòòòòòòòòòòòòòò÷
2
òòòòòûòòòòòòòòòòòòòòòú
ó
ó
òòòòò÷
ó
ùòø
ó
ó ó
Lampung SC sumedang
14 6
ùòòòø
ó
SC Pagar Batu Sum SC Siborong-borong
ùòòò÷ ó
òòòòòòòòòòòòòòòòòòòòò÷
B
ùòòòø
SC Jepang
10
òòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòò÷
Pak-pak
15
òòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòò
QH sumedang
3
ó ùòòòòòòòø
òòòòòòòòòòòò÷ ó
ó
òòòòòòòòòòòòòòòûòòòòòòòòòø
II ó
ó
QM Sumedang
13
òòòòòòòòòòòòòòò÷
12
òòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòò÷
4
I
C
QM2 Bogor Buaya Bogor
0,67
ò÷ ùòòòø òòò÷
QH Jambi
SC Aceh
0,73
---+-------+-------+-------+-------+------+-------+òûòø
ùòòòòòòòòòòòòòòò÷ III
ó ó
òòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòò÷
Gambar 6 Dendrogram 21 aksesi nenas berdasarkan data morfologi dan AFLP. Anggota kelompok I yang terdiri dari 17 aksesi, mempunyai persamaan pada 3 karakter morfologi yaitu panjang daun, lebar daun bagian tengah dan atas. Hasil analisis AFLP menunjukkan bahwa 17 aksesi tersebut mempunyai 15 fragmen yang monomorfik dari 29 fragmen yang dianalisis. Apabila dibandingkan dengan anggota kelompok II, kelompok I mempunyai perbedaan pada 14 fragmen DNA, sehingga aksesi-aksesi tersebut terpisah dari kelompok II. Nenas QM Sumedang, QH Sumedang dan QM-2 Bogor membentuk satu kelompok pada kelompok II karena secara morfologi ketiga aksesi ini mempunyai persamaan pada 6 karakter morfologi yaitu panjang daun, lebar daun atas, tengah, bawah, posisi duri dan jumlah duri pada sisi kiri daun. Hasil analisis AFLP menunjukkan ketiga aksesi ini mempunyai 25 fragmen yang monomorfik. Tingginya nilai kemiripan genetik berdasarkan gabungan data morfologi dan AFLP yaitu 67% (Gambar 6), menunjukkan bahwa pada penelitian ini terdapat variasi genetik yang rendah diantara
aksesi nenas yang diamati. Hal ini
disebabkan perbanyakan tanaman nenas biasanya dilakukan secara vegetatif
29 menggunakan tunas dasar buah, mahkota buah dan stek batang, sehingga tidak terjadi kombinasi gen antara kedua tetua. Perbanyakan secara generatif jarang dilakukan untuk produksi, karena tanaman nenas mempunyai sifat self-incompatible sehingga tidak dapat menghasilkan biji fertil. Apabila terjadi penyerbukan silang, akan menghasilkan biji namun dalam jumlah yang relatif kecil. Kultivar Cayenne dan Queen hanya menghasilkan kurang dari dua biji tiap bunga. Biji nenas hasil penyerbukan silang bersifat fertil, namun biji mempunyai selaput yang sangat kuat, endospermnya membatu, dan embrio kecil dan sangat sulit berkecambah (d`Eeckenbrugge & Leal 2003). Kultivar-kultivar yang sekarang dibudidayakan seperti Cayenne dan Queen merupakan tanaman diploid dan tetraploid yang bersifat fertil namun selfincompatible, sedangkan tanaman yang triploid bersifat steril. Tanaman tetraploid terjadi karena pembuahan antara dua gamet diploid, sedangkan triploid berasal dari sel telur yang tidak tereduksi (gamet diploid) yang dibuahi oleh serbuk sari haploid (Collins 1968).
Sifat self- incompatible
berarti
serbuk sari tidak
kompatibel dengan putik dari bunga yang sama, sehingga menghasilkan biji yang steril apabila terjadi penyerbukan sendiri. Serbuk sari menghasilkan suatu sinyal kimia yang hanya dapat dikenali oleh protein reseptor dari tumbuhan yang sama atau berkerabat dekat. Sinyal tersebut akan berikatan dengan protein kinase yang ada pada membran
kepala putik. Protein kinase tersebut akan mengaktifkan
mekanisme transduksi sinyal yang mengaktifkan protein efektor aquaporin. Pengambilan tambahan air oleh sel-sel kepala putik melalui aquaporin tersebut akan mencegah serbuk sari terhidrasi, sehingga tidak berkecambah ( Campbell et al. 2003).
Buah nenas termasuk buah partenokarpi karena dihasilkan tanpa
melalui fertilisasi. Buah merupakan sinkarpus yang terbentuk dari penebalan poros bunga dan peleburan dari banyak bunga di dalam inflorescenc. Karakter buah nenas Queen dan Cayenne sangat berbeda. Nenas Cayenne mempunyai buah yang berbentuk silindris, daging buah berwarna pucat sampai dengan kuning, warna kulit orange, struktur mata dangkal, hati besar dan rasa manis cenderung berair. Nenas Queen mempunyai buah berbentuk lonjong, warna
30 daging buah kuning tua, warna kulit kuning, hati kecil, lebih manis dan serat rendah (Collins 1968). Secara umum keragaman genetik suatu populasi disebabkan karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari suatu tempat ke tempat lainnya. Keragaman genetik yang disebabkan oleh mutasi meliputi substitusi, inversi, translokasi dan delesi. Perubahan pada tingkat DNA tersebut dapat terdeteksi secara molekuler, sehingga menimbulkan keragaman pada tingkat DNA (Tanskley 1983). Pada penelitian ini dihasilkan keragaman sebesar 33%. Keragaman genetik pada kultivar nenas biasanya disebabkan karena mutasi. Perubahan pada tingkat gen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kodon-kodon mRNA yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan asam amino penyusun protein. Perubahan protein atau enzim akan menyebabkan perubahan metabolisme serta fenotipe tanaman.
Besarnya perubahan yang terjadi sangat tergantung pada
peranan asam amino yang berubah tersebut dalam menentukan struktur akhir protein (Jusuf 2001). Salah satu contoh mutasi yang menyebabkan terjadinya perubahan fenotipe tanaman adalah mutasi pada gen penghasil antosianin. Antosianin adalah zat warna yang menyebabkan warna ungu kemerahan pada bunga, buah dan daun. Pada tanaman nenas, ada atau tidaknya zat warna antosianin ditentukan oleh dua alel yaitu A dan a. Genotipe AA dan Aa mengandung antosianin, sedangkan aa tidak mengandung antosianin. Mutasi dari heterosigot Aa menjadi homosigot resesif aa sering terjadi, sehingga warna daun berubah menjadi hijau atau tidak mengandung antosianin. Hal ini membuktikan bahwa meskipun tanaman nenas diperbanyak secara vegetatif, namun di dalam klon sering dijumpai adanya variasi yang disebabkan karena mutasi. Menurut sejarah, nenas Cayenne awalnya adalah hibrida dari tetua yang tidak diketahui. Perubahan terjadi karena mutasi gen dan mutasi kromosom somatik, sehingga muncul sejumlah klon yang berbeda dalam kultivar tersebut. Sampai saat ini terdapat lebih dari 30 tipe mutan nenas Cayenne (Collins 1968). Persamaan serta perbedaan dalam karakter morfologi dan fragmen DNA hasil analisis AFLP, menyebabkan 21 aksesi nenas membentuk tiga kelompok
31 pada koefisien kemiripan 0.74 dan tiga sub kelompok pada koefisien kemiripan 0.80. Kelompok I terdiri dari 17 aksesi, kelompok II terdiri dari 3 aksesi dan kelompok III terdiri dari 1 aksesi (Tabel 3). Tabel 3 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan dendrogram data morfologi dan AFLP pada koefisien 0.74 Kelompok Utama I
Sub Kelompok A
B C II III
Aksesi QH Bangka Belitung, QH Pontianak, QH Jambi, QH Pekan Baru, CNN, Riau-2, Bali, Makasar,SC Purbalingga, SC aceh, SC Siborong-borong, SC Pagar Batu sum, SC Paung Kal Sel, Lampung, SC Sumedang. SC Jepang Fak-Fak QM Sumedang, QH Sumedang , QM-2 Bogor Buaya Bogor
Analisis Komponen Utama Karakter Morfologi dan AFLP Analisis komponen utama bertujuan untuk menyederhanakan variabel, sehingga variabel baru menjadi lebih sedikit namun total informasi relatif tidak berubah. Analisis komponen utama berdasarkan gabungan data morfologi dan AFLP menunjukkan nilai akumulasi persentase keragaman mencapai 56.11% dari total 100% keragaman yang diamati pada tiga komponen utama pertama. Persen keragaman yang dibentuk oleh KU-1 sebesar 23.57%, KU-2 17.95% dan KU-3 14.58% (Tabel 4). Tabel 4 Analisis komponen utama penanda morfologi dan AFLP Karakter
Nilai Ciri
1 2 3 4 5
1,22 .0,93 0,75 0,50 0,39
% Keragaman 23,57 17,95 14,58 9,70 7,63
% Akumulasi Keragaman 23,57 41,53 56,11 65,80 73,44
32 Akumulasi
nilai persentase minimum yang mewakili yaitu 70%, baru
tercapai pada 5 komponen utama sebesar 73.44%. Hal ini dapat diasumsikan bahwa dari 37 karakter yang dianalisis, sebanyak 32 karakter tidak berpengaruh terhadap plot keragaman (Tabel 4). Karakter yang paling berperan dalam keragaman ditentukan berdasarkan nilai mutlak yang paling tinggi. Beberapa karakter
yang paling berperan dalam pengelompokan berdasarkan lima
komponen utama pertama adalah fragmen ke 5,11,15,19, 25, 28 dan karakter posisi duri, jumlah duri pada sisi kiri dan kanan daun serta motif daun. Pengelompokan berdasarkan data gabungan merupakan penggabungan dari dua kelompok lokus yang dihasilkan dari penanda morfologi dan AFLP. Meningkatnya tingkat keakuratan jarak genetik disebabkan oleh banyaknya data yang digunakan. Ketepatan pengelompokan akan meningkat apabila jumlah lokus yang digunakan dalam analisis meningkat (Mosser & Lee 1994). Hal ini sesuai dengan pendapat
Prabhu et al. (1997), bahwa
pada umumnya ketepatan
perkiraan jarak genetik akan meningkat apabila karakter yang dianalisis meningkat. Semakin tinggi jumlah marka, maka akan menurunkan kesalahan dalam perkiraan kemiripan genetik. Duapuluh satu
aksesi nenas yang diamati, secara umum mempunyai
koefisien kemiripan yang tinggi. Hal ini diduga 21 aksesi nenas berasal dari klon yang berdekatan, sehingga peluang untuk menghasilkan kultivar baru hasil persilangan sangat kecil. Persilangan antar aksesi nenas untuk mendapatkan kultivar baru, sebaiknya dilakukan antar tetua dengan jarak genetik yang jauh. Persilangan antar tetua yang berkerabat dekat akan mengakibatkan terjadinya veriabilitas genetik yang sempit (Hadiati et al. 2002).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hubungan kekerabatan antara 21 aksesi nenas berdasarkan gabungan data morfologi dan AFLP adalah dekat, dengan nilai kemiripan 67%. QH Bangka Belitung dan QH Pontianak merupakan klon yang sama karena mempunyai nilai kemiripan 100%. Hubungan kekerabatan yang paling jauh yaitu 57% terdapat antara nenas QM Sumedang dengan nenas Pak-Pak Irian Jaya. Analisis menggunakan data gabungan morfologi dan AFLP membagi 21 aksesi nenas menjadi tiga kelompok utama pada koefisien 0.74. Kelompok I terdiri dari 17 aksesi yaitu QH Bangka Belitung, QH Pontianak, QH Jambi, QH Pekan Baru, CNN, Riau-2, Bali, Makasar, SC Purbalingga, SC Aceh, SC Siborong-borong, SC Pagar Batu Sumatera, SC Paung Kalimantan Selatan, Lampung, SC Sumedang, SC Jepang dan Fak-Fak. Kelompok II terdiri dari 3 aksesi yaitu QM Sumedang, QH Sumedang , QM-2 Bogor sedangkan kelompok III terdiri dari 1 aksesi yaitu nenas Buaya Bogor. Saran Untuk mendapatkan informasi tentang kekerabatan diantara beberapa aksesi nenas berdasarkan karakter morfologi sebaiknya tidak hanya menggunakan karakter vegetatif saja, namun perlu diamati juga tentang karakter generatifnya. Teknik AFLP sebaiknya menggunakan kombinasi primer yang lebih banyak sehingga dapat dihasilkan tingkat polimorfisme yang lebih tinggi.
34
DAFTAR PUSTAKA Apriyani SI. 2005. Analisis keragaman nenas koleksi PKBT berdasarkan penanda morfologi dan penanda RAPD [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Aswidinoor H et al. 1991. Cloning and characteization of specific repetitive DNA sequences from genomes Oryza minuta and Oryza australiensis. Genome 34:790-798. Brewbaker JL, Gorrez DD. 1967. Genetic self incompatibility in the monocot genera, Ananas (pineapple) and gasteria. Amer J Bot 54(5):611-616. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Di dalam: Safitri A, Simarmata L, Hardani HW editor. Biologi. Jakarta: Erlangga. Chen J. et al. 2004. Genetic relationships of Aglonema species and cultivars inferred from AFLP markers. Ann Bot 93:157-166. Chen XM. 1998. Genome scanning for RGA in rice, barley and wheat by higth resolution electrophoresis. Theor Appl Genet 97:345-355. Collins JL. 1968. The Pineapple Botany, Cultivation and Utilization. London: Leonard Hill Book 294p. Crane JH. 2005. Pineapple Growing in The Florida Lanskcape. IFAS extension Florida p:1-9. Cross RJ. 1990. Assesment of IBPGR morphological descriptor in determining pattern within crop germplasm in maiz. Theor Appl Genet 89:89-95. Curn V, Ovesna J, Sakova L, Sobotka R. 2002. Identification of oilseed rape cultivars using AFLP markers. Cent Europ Agric 3:285-292. d’Eeckenbrugge GC, Leal F. 2003. Morphology, anatomy and taxonomy. Di dalam: DP. Bartholomew, RE Paull and KG. Rohrbach editor. The Pineapple. USA: CABI Publishing Honolulu. Doyle JJ, JL Doyle. 1987. Isolation of plant DNA from fress tissue. Focus 12:1315. Hadiati S, Sukmajaya D. 2002. Keragaman pola pita beberapa aksesi nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) berdasarkan analisis isozim. J Biotek Pertanian 7(2): 62-70. Hadiati S, Murdanigsih HK, Baihaki A, Rostini N. 2002 . Variasi pola pita dan hubungan kekerabatan nenas berdasarkan analisis isozim. Zuriat 13(2):65-72.
35 Hadiati S, Murdanigsih HK, Baihaki A, Rostini N. 2003. Parameter genetik karakter komponen buah pada beberapa aksesi nenas. Zuriat 14(2):53-58. Jusuf M. 2001. Genetika I Struktur dan Ekspresi Gen. Jakarta: Sagung Seto. Malezieux E, Cote F, Bartholomew P. 2003. Crop Environment, Plant Growth And Physiology. Di dalam: DP. Bartholomew, RE Paull and KG. Rohrbach editor. The Pineapple. USA: CABI Publishing Honolulu. Medina JDLC, Garcia HS. 2007. Pineapple. Di dalam: Danielo Meija editor. Pineapple Post-Harvest Operation. Institut Teknologi de Veracruz. Menz MA et al. 2004. Genetic diversity of public inbreds of sorgum determined by mapped AFLP and SSR marker. Crop Sci 44: 1236-1244. Mignouna HD, Abang MM, Fagbemi SA. 2003. A comparative assessment of molecular marker essays (AFLP, RAPD, and SSR) for white yam (Dioscorea rotundata) germplasm characterization. Ann Appl Biol 142: 269-276. Monica A et al. 2004. Genetic diversity of public inbreds of sorgum determined by mapped AFLP and SSR marker. Crop Sci 44: 1236-1244. Morton J. 1987. Pineapple (Ananas comosus). Di dalam Julia F editor. Fruits of Warm Climates. Miami, FL. Mosser H, Lee M. 1994. RFLP variation and genealogical distance, multivariate distance, heterosis, and genetic variation in oats. Theor Appl Genet 87:947950. Muller UG, Wolfenbarger LR. 1999. AFLP genotyping and fingerprinting. TREE 14(10): 389-394. Muljoharjo M. 1983. Nenas dan Teknologi Pengolahannya. Lyberty: Yogyakarta Nei M, Li W. 1979. Mathematical model for studying genetic variation in term of restriction endonucleases. Proc Nat Acad Sci 76:5269-5273. Neinhuis JM, Tivang J, Skroch P.1994. Analysis of genetic relationship among genotipes based on molecular marker data p. 8-14. In Analysis of Molecular Marker Data. Joint Plant Breeding Symposia Series, Corvalis, Oregon. Lin JJ, Kuo J, Saunders JA, Beard HS, Mac Donald. 1996. Identification of molecular markers in soybean-comparing RFLP, RAPD and AFLP DNA mapping techniques. Plant Mol Biol Rep 14:156-169. PKBT. 2006. Database Buah-buahan Tropika. Bogor: PKBT LPPM Institut Pertanian Bogor.
36 Prabhu RR et al. 1997. Genetic relatedness among soybean genotypes using DNA amplification fingerprinting (DAF), RFLP, and pedigree. Crop Sci 37: 15901595. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tanaman II. Bandung: ITB. Sambrook J, Fritsh EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Prees. Spooner D, Van Treuren R, De Vicente MC. 2005. Molecular marker for genebank management. IPGRI Tech Bulletin 10: 1-14. Sumanti A, Najoan A, Harianda JA. 1996. Penggunaan hijauan tanaman nenas sebagai makanan ternak kambing. [Laporan Penelitian]. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Tanskley SD. 1983. Molecular markers in plant breeding. Plant Mol Biol 1:3-5. Thomas CM et al. 1995. Identification of amplified fragment length polymorphism (AFLP) markers tightly linked to the tomato cf-9 gene for resistance to clamidosporum fulvum. Plant J 8:785-794. Toruan N. 2002. Keragaman genetik klon-klon karet (Havea brasiliensis Muell. Arg) yang resisten dan rentan terhadap Corynespora casiicola berdasarkan penanda RAPD dan AFLP. Menara Perkebunan 70 (2): 35-49. Toruan N, Yuniastuti E, Setiamiharja R, Karmana MH. 2005. Analisis normal dan abnormal pada klon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan AFLP. Menara Perkebunan 73(1): 12-25. Volk GM, Henk AD, Richard CM. 2004. Genetic diversity among US. garlic clones detected using AFLP methode. J Amer Soc Hort Sci 129(4):559-569. Vos P et al. 1995. AFLP: a new technique for DNA fingerprinting. Nucl Acid Res 23 (21):4407-4414. Vuylsteke M, Peleman AD, van Eijk MJT. 2007. AFLP technology for DNA fingerprinting. J Nat Protocols 2: 1387-1398. Weising K, Nybom H, Wolf K, Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plants and Fungi. CRC Press. Inc. Boca Raton. Zaenal A, Amirhusin B. 2005. Pengelompokan tetua padi hibrida berdasarkan sifat-sifat morfologi dan RAPD. Zuriat 16(1): 9-21.
LAMPIRAN
38
Lampiran 1 Habitus 21 aksesi nenas yang digunakan sebagai bahan penelitian
SC Pagar Batu
CNN
SC Aceh
QH Pekan Baru
SC Lampung
SC Siborong-borong
SC Purbalingga
SC Paung
Makasar
SC Jepang
QH Bali
QH Sumedang
Buaya Bogor
QH Pontianak
QH Bangka
QM-2 Bogor
QM Sumedang
Riau-2
SC Sumedang
Pak-Pak
Jambi
Lampiran 2 Data karakter morfologi 21 aksesi nenas Aksesi SC Paung Kal Sel SC Siborong-borong QH Sumedang Nenas Buaya Bogor Makasar SC Sumedang SC Pagar Batu Sum SC Purbalingga QH Pekan Baru SC Jepang QH Bangka QM2 Bogor QM Sumedang Lampung Pak-pak QH Pontianak Riau-2 Bali CNN QH Jambi SC Aceh
Panjang Daun (cm) 90.0 60.0 91.0 104.0 76.0 68.0 73.0 56.0 64.0 50.0 81.0 69.0 78.0 71.0 45.0 42.0 72.0 61.0 70.0 42.0 76.0
Bawah 4.5 4.2 4.1 6.5 4.3 5.1 4.3 3.4 4.6 3.5 4.2 5.0 3.4 4.2 2.0 3.2 4.5 5.0 3.0 3.6 5.8
Keterangan: A. Posisi Duri 2: Duri di ujung dan pangkal daun 3: Duri merata 4: Duri tidak merata
Lebar Daun (cm) Tengah 5.0 5.8 4.5 8.0 5.5 6.5 5.0 4.2 5.5 4.4 5.5 6.2 4.2 5.3 3.0 4.2 5.2 6.0 4.0 4.2 5.6
Posisi Duri Atas 1.4 1.0 1.3 2.0 1.3 2.0 1.4 3.0 1.5 1.5 1.5 1.0 1.5 1.2 1.0 2.0 1.3 2.1 1.2 1.5 1.4
B. Motif Daun
4.0 2.0 3.0 3.0 4.0 2.0 4.0 4.0 3.0 2.0 3.0 3.0 3.0 2.0 2.0 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0 4.0
1. Hijau 2. Hijau bercak kuning 3. Hijau bercak merah
Jumlah Duri Kiri Kanan 80.0 55.0 40.0 44.0 225.0 230.0 114.0 100.0 52.0 66.0 80.0 95.0 72.0 54.0 112.0 67.0 160.0 144.0 30.0 68.0 138.0 162.0 249.0 162.0 211.0 243.0 22.0 20.0 27.0 18.0 111.0 110.0 151.0 153.0 110.0 116.0 77.0 140.0 161.0 143.0 80.0 140.0
Motif Daun 3.0 3.0 2.0 1.0 3.0 2.0 3.0 3.0 3.0 1.0 3.0 10.0 4.0 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0
4. Kemerahan 10. Lain-lain 39
Lampiran 3 Skor fragmen DNA hasil AFLP 21 aksesi nenas Aksesi SC Paung Kal Sel SC Siborong-borong QH sumedang Nenas Buaya Bogor Makasar SC sumedang SC Pagar Batu Sum SC Purbalingga QH Pekan Baru SC Jepang QH Bangka QM2 Bogor QM Sumedang Lampung Pak-pak QH Pontianak Riau-2 Bali CNN QH Jambi SC Aceh
Fragmen (255 pb - 460 pb) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
0
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
0
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
0
40
Lampiran 4 Matrik kemiripan berdasarkan karakter morfologi dan AFLP (Nei & Li 1979) AKSESI
1
2
3
4
5
6
7
1:SC Paung Kal Sel
1.00
2:SC Siborong-borong
0.89
1.00
3:QH sumedang
0.67
0.65
1.00
4:Buaya Bogor
0.67
0.62
0.64
5:Makasar
0.84
0.80
0.68
0.64
1.00
6:SC sumedang
0.86
0.89
0.65
0.73
0.80
7:SC Pagar Batu Sum
0.93
0.88
0.68
0.60
0.83
0.85
1.00
8:SC Purbalingga
0.89
0.81
0.72
0.64
0.91
0.88
0.92
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
1.00 1.00 1.00
9:QH Pekan Baru
0.81
0.80
0.71
0.71
0.82
0.88
0.88
0.92
1.00
10:SC Jepang
0.73
0.83
0.71
0.70
0.78
0.79
0.78
0.78
0.78
1.00
11:QH Bangka
0.78
0.78
0.73
0.72
0.80
0.86
0.85
0.89
0.98
0.75
1.00
12:QM2 Bogor
0.71
0.73
0.82
0.64
0.76
0.78
0.77
0.81
0.84
0.75
0.86
1.00
13:QM Sumedang
0.65
0.68
0.90
0.63
0.67
0.68
0.71
0.71
0.74
0.70
0.76
0.86
1.00
14:Lampung
0.85
0.96
0.68
0.57
0.83
0.85
0.92
0.84
0.83
0.86
0.81
0.77
0.71
1.00
15:Pak-pak
0.83
0.86
0.60
0.64
0.78
0.79
0.75
0.75
0.70
0.70
0.68
0.64
0.59
0.82
1.00
16:QH Pontianak
0.78
0.78
0.73
0.72
0.80
0.86
0.85
0.89
0.98
0.75
1.00
0.86
0.76
0.81
0.68
1.00
17:Riau-2
0.82
0.74
0.69
0.73
0.91
0.81
0.81
0.88
0.92
0.72
0.90
0.78
0.68
0.77
0.72
0.90
18:Bali
0.88
0.80
0.72
0.71
0.89
0.84
0.87
0.91
0.90
0.78
0.88
0.80
0.71
0.83
0.75
0.88
0.95
1.00
19:CNN
0.80
0.72
0.75
0.74
0.81
0.79
0.78
0.86
0.90
0.73
0.92
0.79
0.70
0.75
0.74
0.92
0.91
0.89
1.00
20:QH Jambi
0.83
0.78
0.78
0.69
0.85
0.86
0.86
0.94
0.94
0.76
0.96
0.87
0.77
0.82
0.73
0.96
0.90
0.92
0.92
1.00
21:SC Aceh
0.87
0.82
0.70
0.65
0.85
0.86
0.94
0.94
0.89
0.80
0.91
0.83
0.73
0.86
0.69
0.91
0.82
0.88
0.84
0.92
1.00
1.00
41