Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5
KERAGAAN USAHA PENGOLAHAN MINYAK NILAM DI TINGKAT PETANI KABUPATEN BATANG, JAWA TENGAH Indrie Ambarsari1, Abdul Choliq1, dan Dian Adi A. Elisabeth2 1Balai 2
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali ABSTRAK
Minyak nilam merupakan salah satu komoditas penghasil devisa negara. Dengan keunggulannya sebagai bahan fiksatif yang belum dapat digantikan oleh minyak lain, permintaan akan minyak nilam terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri baik farmasi, kosmetik, flavouring agent, dan lain sebagainya. Sayangnya keunggulan dan nilai ekonomis minyak nilam ini tidak selalu diikuti dengan kualitas yang baik. Salah satu faktor yang melatarbelakangi hal tersebut adalah minyak nilam masih diproduksi secara tradisional di tingkat petani, dimana pengawasan mutu sangat kurang diperhatikan. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan diberikan gambaran mengenai kondisi usaha pengolahan minyak nilam yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Batang yang merupakan salah satu daerah penghasil minyak nilam di Jawa Tengah. Kajian dilakukan pada tahun 2008 di Desa Padomasan, Kecamatan Reban. Data yang diamati meliputi : perkembangan produksi tanaman nilam, status pengusahaan minyak nilam, dan kelayakan usaha pengolahan minyak nilam. Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan presentasi tabuler, sedangkan kelayakan usaha dihitung berdasarkan analisis secara finansial. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknik penyulingan yang dilakukan di lokasi kajian masih bersifat konvensional, sehingga baik mutu maupun rendemen minyak yang dihasilkan masih relatif rendah. Dri segi finansial, usaha pengolahan minyak nilam di tingkat petani Kabupaten Batang layak untuk dikembangkan. Dilihat dari segi keuntungan yang diperoleh, penggunaan nilam basah sebagai bahan baku memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi dibandingkan nilam kering. Titik impas usaha pengolahan minyak nilam berbahan baku daun nilam basah tercapai pada tingkat harga jual minyak sebesar Rp. 615.833,-/kg dan kapasitas produksi minyak 4,9 kg. Kata kunci: nilam, usaha pengolahan, minyak PENDAHULUAN Minyak nilam merupakan komoditas andalan peringkat pertama kelompok minyak atsiri dalam perolehan devisa negara. Sebagai komoditas ekspor, minyak nilam prospek cerah karena dibutuhkan secara berkesinambungan oleh industri kecantikan, industri farmasi, flavouring agent dan lain sebagainya (Ketaren, 1986). Pada tahun 2004, ekspor minyak nilam mencapai 2074 ton atau senilai US$ 27,137 juta (Dirjenbun, 2006). Indonesia sampai dengan saat ini masih merupakan negara pemasok terbesar kebutuhan minyak nilam dunia dengan pangsa sebesar 90% (Dirjenbun, 2006). Keunggulan minyak nilam Indonesia telah dikenal di berbagai negara pengimpor minyak nilam seperti Amerika, Perancis, Belanda, Jerman, Jepang, Singapura, Hongkong, Mesir, dan Saudi Arabia (Sumarsono, 2005). Minyak nilam dalam industri digunakan sebagai bahan fiksatif yaitu bahan pengikat minyak lain, yang belum dapat digantikan oleh minyak lain sampai dengan saat ini. Selain itu, minyak nilam merupakan minyak atsiri yang tidak dapat dibuat secara sintetis. Terdapat tiga jenis nilam yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu Pogostemon heyneanus (nilam Jawa), Pogostemon hortensis (nilam sabun), dan Pogostemon cablin (nilam Aceh). Jawa Tengah termasuk kedalam peringkat 4 besar sebagai sentra produksi nilam di Indonesia
506
Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5
(Ditjenbun, 2006). Kabupaten Batang merupakan salah satu daerah penghasil nilam di Jawa Tengah. Sayangnya dengan berbagai keunggulan dan nilai ekonomis nilam yang tinggi ini tidak selalu diikuti dengan kualitas minyak nilam yang baik. Selain terdapat banyak kasus pemalsuan minyak, minyak nilam di Indonesia umumnya diproduksi secara tradisional di tingkat petani, sehingga pengawasan terhadap mutu sangat kurang diperhatikan. Tulisan ini merupakan suatu telaah untuk memberikan gambaran mengenai keragaan usaha pengolahan minyak nilam yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Batang. METODOLOGI Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data sekunder bersumber dari instansi terkait dan studi pustaka, sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara langsung terhadap petani dan tokoh masyarakat dengan berpedoman pada kuesioner. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari-Februari 2008 di Desa Padomasan, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang. Informasi yang dikumpulkan meliputi: perkembangan produksi tanaman nilam di Kabupaten Batang, status pengusahaan minyak nilam di lokasi kajian, dan data pengamatan kelayakan usaha minyak nilam. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan presentasi tabel silang. Kajian kelayakan usaha ditetapkan berdasarkan perhitungan analisis finansial untuk mendapatkan gambaran jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun dan menjalankan usaha, perkiraan rugi laba dan perkiraan aliran uang masuk dan keluar (cash flow). Alat analisis yang digunakan dalam menghitung kelayakan investasi meliputi: Revenue Cost Ratio (R/C), titik impas produksi dan titik impas harga (Nitisemito dan Burhan, 1995). Pada perhitungan analisis kelayakan usaha, penyusutan modal investasi dihitung dengan Metode Garis Lurus (MGL) dengan nilai sisa (salvage value) dianggap nol. Asumsi yang digunakan adalah umur pakai alat mesin dapat mencapai lima tahun, sedangkan hari hari kerja efektif diasumsikan mencapai 100 hari kerja per tahun. Secara matematis, perhitungan kelayakan usaha dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Revenue Cost Ratio (R/C) R/C
TR TC
=
Keterangan: TR = total revenue (penerimaan total) TC = total cost (biaya total) Analisis titik impas/break event point (BEP) BEP (Q)
=
Keterangan: BEP (Q) = BEP (Rp) = TFC = VC = P =
TFC P – VC
BEP (Rp) =
TFC 1 – (VC/TR)
titik impas produksi titik impas harga total biaya tetap biaya variabel harga jual per unit
507
Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi tanaman nilam di Kabupaten Batang Selama periode 2003-2007, tingkat pertumbuhan produktivitas nilam di Kabupaten Batang dapat dikatakan sangat fluktuatif. Tabel 1 memperlihatkan bahwa meskipun luasan panen nilam pada tahun 2006 cukup tinggi, namun hal tersebut tidak diikuti dengan tingkat produksi yang tinggi. Dalam periode lima tahun terakhir tersebut, tahun 2006 merupakan tahun dimana tingkat produktivitas nilam di Kabupaten Batang berada di titik terendah. Namun pada tahun 2007, terjadi peningkatan produksi nilam meskipun luas areal panennya relatif turun dari tahun sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan luasan areal tanam tidak selalu efektif dalam peningkatan tingkat produktivitas tanaman nilam. Menurut Nuryani (2006), faktorfaktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas nilam adalah mutu genetik tanaman itu sendiri, serta kurang tepatnya budi daya, pengendalian penyakit, dan pengelolaan panen dan pascapanen. Tabel 1. Data perkembangan luas panen dan produksi tanaman nilam di Kabupaten Batang periode 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
61.57 95.47 492.00 188.60 115.50
217.87 685.70 2215.51 48.47 362.37
Kenaikan/penurunan terhadap tahun sebelumnya Luas Panen Produksi Absolut
%
Absolut
%
33.9 396.53 (303.4) (73.1)
55.06 415.35 (61.67) (38.76)
467.83 1529.81 (2167.04) 313.9
214.73 223.10 (97.81) 647.62
Sumber: BPS, 2008 (diolah)
Sentra pengolahan nilam terbesar di Kabupaten Batang terdapat di Kecamatan Bandar. Namun demikian, tak sedikit daerah-daerah di sekitar kecamatan tersebut yang melakukan pengembangan budidaya dan pengolahan nilam. Salah satunya adalah di Kecamatan Reban. Gambar 1 menunjukkan peta lokasi sentra pengolahan minyak atsiri di Kabupaten Batang. Sebagian besar minyak nilam yang dihasilkan oleh usaha pengolahan mikro tingkat pedesan ini dibeli oleh pengusaha lokal untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Gambar 1. Peta lokasi sentra pengolahan minyak atsiri di Kabupaten Batang (Anonim, 2004)
508
Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5
Status pengusahaan minyak nilam di Kabupaten Batang Status pengusahaan minyak nilam di Kabupaten Batang ditampilkan pada Tabel 2. Dari tabel terlihat bahwa teknik penyulingan yang diusahakan di lokasi kajian masih dilakukan secara sederhana (konvensional). Sistem penyulingan dilakukan dengan cara pengukusan, dimana bahan diletakkan diatas saringan berlobang. Menurut Laksamanahardja et al. (2004), berdasarkan kontak antara uap air dan bahan yang akan disuling, metode penyulingan minyak atsiri dibedakan atas tiga cara, yaitu: (1) penyulingan dengan air, (2) penyulingan dengan uap dan air, dan (3) penyulingan dengan uap. Penyulingan dengan air serta penyulingan dengan uap dan air lebih sesuai bagi industri kecil karena lebih murah dan konstruksi alatnya sederhana. Ditambahkan oleh Ketaren (1986) bahwa untuk instalasi skala kecil, sistem penyulingan dengan cara direbus atau dikukus jauh lebih menguntungkan. Namun penyulingan dengan uap dan air memiliki kelemahan, yaitu membutuhkan uap air yang cukup besar. Hal ini karena sejumlah besar uap akan mengembun dalam jaringan tanaman sehingga bahan bertambah basah dan mengalami aglutinasi. Oleh karena itu Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian merekomendasikan sistem penyulingan yang dikombinasikan dengan sistem kohobasi. Pada sistem kohobasi, pemanasan air dalam ketel penyulingan dilakukan secara langsung terhadap dasar ketel. Hasil penelitian Laksmanahardja et al. (2004) menunjukkan bahwa dengan sistem ini, bahan bakar dapat dihemat sampai 25% karena air yang digunakan hanya 40% dari kebutuhan normal. Tabel 2. Gambaran kondisi usaha pengolahan nilam di Kabupaten Batang Uraian Kapasitas alat suling (kg bahan kering)
Kondisi usaha 100 - 300
Bahan pembuatan alat suling: - Tanki (kettle) - Pendingin (condensor) - Penampung minyak (oils receiver) Metode penyulingan Tipe alat penyuling Bahan bakar
Plat besi Pipa ledeng dan kolam pendingin drum Konvensional (pengukusan) Non kohobasi Minyak tanah, limbah penyulingan
Metode penyiapan bahan baku
Penjemuran (kering angin)
Tingkat rendemen rata-rata (%)
2,0
Dalam proses persiapan bahan baku, pengeringan daun nilam perlu dilakukan karena bila daun nilam segar langsung disuling akan mengakibatkan daun rapuh dan sulit untuk disuling. Selain itu, menurut Guenther dalam Ketaren (1986), perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang akan disuling perlu dilakukan karena minyak atsiri didalam tanaman dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh, kantong minyak, atau rambut gladular yang apabila bahan dibiarkan utuh, kecepatan pengeluaran minyak hanya tergantung dari proses difusi yang berlangsung sangat lambat. Di lokasi, pengeringan daun nilam telah dilakukan di tempat yang teduh (terlindung). Hal ini menunjukkan pada pengrajin minyak nilam telah mengetahui metode yang benar dalam mempersiapkan bahan baku. Menurut Ketaren (1986), pengeringan di bawah sinar matahari langsung dapat mengakibatkan kehilangan minyak atsiri sampai dengan 24%, sedangkan pengeringan di tempat yang terlindung hanya akan menyebabkan kehilangan minyak atsiri sekitar 2-10% (Ketaren, 1986). Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan daun nilam di tingkat petani berkisar antara 2-3 hari, tergantung kondisi cuaca. Pengeringan yang terlampau lama akan mengakibatkan timbulnya aroma yang kurang sedap (Sumarsono, 2005).
509
Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5
Dari tabel 2 juga terlihat bahwa tingkat rendemen minyak yang dihasilkan masih relatif rendah. Menurut Yuhono dan Suhirman (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen minyak nilam adalah penggunaan bibit asalan, cara penanganan bahan baku (perajangan, pelayuan dan pengeringan), cara penyulingan, lama penyulingan, dan jenis alat penyuling yang digunakan. Ditambahkan oleh Patria et al. (2008), tingkat rendemen minyak nilam selain dipengaruhi jenis bahan bakar yang digunakan juga dipengaruhi oleh perlakuan tekanan, lama penyulingan dan interaksinya Penanganan hasil setelah produksi seperti pemisahan minyak setelah penyulingan, wadah yang digunakan, dan penyimpanan belum dilakukan secara maksimal. Kondisi ini menyebabkan terjadinya proses-proses yang tidak diinginkan yaitu oksidasi, hidrolisis ataupun polimerisasi. Umumnya minyak yang dihasilkan akan terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman atau sedikit kehijauan. Menurut Hernani dan Marwati (2006), hal ini diakibatkan oleh adanya kontaminasi dari logam Fe dan Cu. Adanya bahan-bahan asing ini akan mempengaruhi sifat fisiko kimia minyak (mutu/kualitas minyak), karena komponen standar mutu minyak atsiri ditentukan oleh kualitas dari minyak itu sendiri dan tingkat kemurniannya. Adapun standar mutu untuk minyak nilam nasional dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Standar mutu minyak nilam (SNI 06-2385-1991) Karakteristik Warna Bobot jenis, 25/25ºC Indeks bias
Standar SNI* Kuning muda sampai coklat tua
(nD25)
Kelarutan dalam etanol 90 (suhu 25 – 30 ºC)
0,943 – 0,983 1,504 – 1,514 Opalensi ringan
Bilangan asam, max (%)
5,0
Bilangan ester, max (%)
10,0
Minyak kruing
Tidak nyata
Alkohol tambahan
Negatif
Minyak pelikan
Negatif
Zat-zat asing
Negatif
Sumber: Wahono et al. (2005)
Analisis finansial usaha minyak nilam Untuk setiap kali proses produksi minyak nilam di desa lokasi umumnya membutuhkan bahan baku sebanyak 300 kg nilam kering per hari. Apabila bahan baku yang digunakan adalah daun nilam basah, maka untuk menghasilkan minyak nilam dengan kapasitas produksi yang sama dibutuhkan sebanyak 1.200 kg daun nilam basah. Penggunaan bahan baku daun nilam kering akan menghemat waktu dan juga tenaga untuk penjemuran, oleh sebab itu harganya relatif lebih tinggi yaitu rata-rata Rp. 8.500,- per kg sedangkan harga daun nilam basah rata-rata sebesar Rp. 2.000,- per kg. Analisa pengolahan minyak nilam di tingkat petani disajikan pada Tabel 3. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini umumnya berkisar antara 2-4 orang, tergantung banyaknya jenis pekerjaan yang perlu dilakukan. Proses produksi dengan bahan baku nilam basah memerlukan tenaga untuk proses pengeringan bahan. Proses pengeringan umumnya dilakukan oleh 2 orang selama kurang lebih 3 hari, dengan upah sebesar Rp. 15.000,/orang/hari dan jumlah jam kerja berkisar antara 5-6 jam per hari. Tenaga pengolah umumnya juga terdiri dari 2 orang dengan jumlah jam kerja harian 12 jam/hari. Upah tenaga pengolah ditetapkan sebesar Rp. 40.000,-/orang/hari.
510
Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5
Tabel 4. Analisis usaha pengolahan minyak nilam URAIAN INVESTASI (alat dan mesin)
Nilam Basah
Nilam Kering
100.000.000
100.000.000
-
Bangunan
20.000.000
20.000.000
-
Alat mesin pengolahan
80.000.000
80.000.000
3.695.000
3.755.000
40.000
40.000
TOTAL BIAYA -
Penyusutan bangunan
-
Penyusutan alat dan mesin
160.000
160.000
-
Tenaga Kerja
170.000
80.000
-
Tenaga pengering daun nilam
90.000
0
Tenaga pengolah
80.000
80.000
2.420.000
2.570.000
1.200
300
Biaya Produksi Nilam - Volume (kg) - Harga (Rp/kg)
-
2.000
8.500
Bahan bakar
20.000
20.000
Listrik dan air
5.000
5.000
450.000
450.000
Biaya lain-lain (10%)
Produksi minyak (kg) Harga minyak nilam (Rp/kg) PENDAPATAN (produksi x harga)
6
6
750.000
750.000
4.500.000
4.500.000
Keuntungan (Return)
805.000
745.000
BEP harga (produksi tetap) Rp
615.833
625.833
BEP produksi (harga tetap) kg Output/input (R/C)
4,9
5,0
1,22
1,20
Usaha pengolahan minyak nilam membutuhkan investasi awal sebesar 100 juta, yang dibutuhkan untuk pendirian bangunan dan alat mesin pengolahan. Harga minyak nilam di tingkat petani rata-rata mencapai Rp 750.000,-/kg. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa usaha pengolahan minyak nilam di tingkat petani layak untuk dikembangkan. Menurut Nitisemono dan Burhan (1995), salah satu indikator kelayakan pengembangan usaha adalah nilai R/C ratio yang lebih besar dari satu. Namun dilihat dari tingkat keuntungan yang diperoleh, proses produksi minyak dengan menggunakan bahan baku daun nilam basah relatif lebih menguntungkan dibandingkan proses produksi minyak dengan menggunakan daun nilam kering. Pada proses produksi minyak dengan bahan baku daun nilam basah tingkat keuntungan yang diperoleh untuk setiap kali proses produksi dapat mencapai Rp. 805.000,- sedangkan pada proses produksi dengan bahan baku daun nilam kering tingkat keuntungan mencapai Rp. 745.000,-. Selisih keuntungan yang diperoleh mencapai Rp. 60.000,- untuk setiap kali proses produksi. Dilihat dari tingkat keuntungan yang diperoleh, tidak mengherankan bahwa produsen minyak nilam lebih cenderung untuk membeli bahan baku nilam dalam bentuk basah, karena biaya yang harus dikeluarkan untuk tenaga pengering jauh lebih menghemat biaya produksi dibandingkan biaya pembelian nilam dalam bentuk kering. Titik impas usaha pengolahan minyak nilam berbahan baku daun nilam basah tercapai pada tingkat harga jual minyak sebesar Rp. 615.833,-/kg dan kapasitas produksi minyak 4,9 kg. Pada usaha pengolahan minyak berbahan baku daun nilam kering, titik impas usaha tercapai
511
Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5
pada tingkat harga jual minyak Rp. 625.833,-/kg dan kapasitas produksi minyak 5,0 kg. Menurut Wahono et al. (2005), tinggi rendahnya harga minyak nilam sangat ditentukan oleh naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Semakin tinggi nilai tukar rupiah terhadap US dollar maka semakin tinggi juga harga minyak nilam. KESIMPULAN 1. Teknik penyulingan yang dilakukan di lokasi kajian masih bersifat konvensional, sehingga baik mutu maupun rendemen minyak yang dihasilkan masih relatif rendah. 2. Dari segi finansial, usaha pengolahan minyak nilam di tingkat petani Kabupaten Batang layak untuk dikembangkan. Dilihat dari segi keuntungan yang diperoleh, penggunaan nilam basah sebagai bahan baku memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi dibandingkan nilam kering. Titik impas usaha pengolahan minyak nilam berbahan baku daun nilam basah tercapai pada tingkat harga jual minyak sebesar Rp. 615.833,-/kg dan kapasitas produksi minyak 4,9 kg. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Pengembangan Minyak Atsiri Kabupaten Batang. java.com/uploaded/minyak%20atsiri_batang.pdf
http://www.central-
Ditjenbun. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. Hernani dan T. Marwati. 2006. Peningkatan Mutu Minyak Atsiri Melalui Proses Pemurnian. Konferensi Nasional Minyak Atsiri. Solo, 18-20 September 2006. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Laksamanahardja, M.P., S. Rusli, D. Sumangat, dan T. Hidayat. 2004. Model Penyulingan Minyak Atsiri Skala Kelompok Tani. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian. Nuryani, Y. 2006. Karakteristik Empat Aksesi Nilam. Buletin Plasma Nutfah Vol. 12 (2) : 45-49. Patria, A., Taufiq, H.P. Widayat, dan Zulfan. 2008. Peningkatan Rendemen dan Efisiensi Proses Penyulingan Minyak Nilam Melalui Modifikasi Alat dan Penggunaan Jenis Bahan Bakar. SMK Negeri 3 Kimia, Madiun. http://smk3ae.wordpress.com/2008/07/24/peningkatanrendemen-dan-efisiensi-proses-penyulingan-minyak-nilam-melalui-modifikasi-alat-danpenggunaan-jenis-bahan-bakar/ Sumarsono. 2005. Perilaku Kadar Air Daun Nilam Hasil Pengeringan Secara Rotasi dengan Traydryer. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 7 (1) : 59-67. Wahono, T.C., I.N. Istina, G. Harahap, dan E. Ritonga. 2005. Kajian Teknologi Pengolahan Nilam. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian “Mekanisasi Berkelanjutan untuk Pembangunan Pertanian”. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Bogor. Yuhono, J.T., dan S. Suhirman. 2008. Strategi Peningkatan Rendemen dan Mutu Minyak dalam Agribisnis Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. http://balittro.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=93&Itemid =44
512