Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
KERAGAAN BOBOT BADAN DAN MORFOMETRIK TUBUH KERBAU SUMBAWA TERPILIH UNTUK PENGGEMUKAN A. ANGGRAENI dan E. TRIWULANNINGSIH Balitnak, PO Box 221, Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian dilakukan selama bulan Mei dan Juni 2007 di PT Karyana Gita Utama, Cicurug, Jawa Barat (Jabar) suatu perusahaan penggemukan sapi dan kerbau potong. Sapi dan kerbau biasanya dibeli secara rutin dua atau tiga kali setiap minggu dalam jumlah sekitar 20% dengan kondisi badan realtif kurus dari ternak yang tersedia di pasar ternak Jakarta. Kerbau selanjutnya digemukkan antara 1 – 3 bulan. Penelitian menggunakan 76 ekor kerbau jantan berasal dari Sumbawa yang masuk pada hari pertama di lokasi penggemukan kemudian ditimbang bobot badan (BB) (kg) dan diukur sejumlah ukuran tubuh (cm) meliputi lingkar dada (LD), tinggi pundak (TPu), tinggi panggul (TPa) dan panjang badan (PB). Sejumlah data kualitatif juga diamati. Analisa statistik menggunakan analisa diskriptif, model linier umum bagi data tidak berimbang untuk mengetahui pengaruh umur terhadap keragaan BB dan ukuran tubuh serta persamaan regresi untuk menduga bobot badan dari ukuran tubuh. Secara umum, diperoleh rataan BB, LD, TPu, TPa dan PB berurutan 314,9 ± 43,5 kg, 171,7 ± 8,8 cm, 120,6 ± 5,7 cm, 121,9 ± 6,2 cm dan 103,6 ± 6,1 cm. Hasil penelitian menunjukkan terdapat variasi luas dari peubah-peubah yang diamati, mencerminkan besarnya variasi penotipe sifat pertumbuhan. Umur umumnya berpengaruh sangat nyata dan linier (P<0,01) terhadap BB dan ukuran tubuh. LD dan PB merupakan peubah yang baik dalam menduga BB (r2 = 68,7 % dan 48,2%), sedangkan TPu dan TPa masih cukup akurat untuk dipakai dalam menduga BB (r2 = 13,3 % dan 19,9%). Kata kunci: Kerbau Sumbawa, bobot badan, morfometrik tubuh
PENDAHULUAN Permintaan daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat besar dan diproyeksikan akan terus meningkat seirama dengan kenaikan laju pertumbuhan penduduk, perbaikan ekonomi, tingkat pendidikan dan kesadaran gizi masyarakat. Pengamatan selama lima tahun terakhir (2002 - 2006) menunjukkan dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,45%, menyebabkan konsumsi daging dalam negeri mengalami kenaikan cukup tajam. DITJEN PETERNAKAN (2006) mencatat, dari tahun 2002 ke 2006, konsumsi daging domestik naik dari 1.808,4 ton menjadi 2.151,7 ton, naik sekitar 18,98%. Selaras dengan kenaikan konsumsi daging tersebut, kemampuan produksi daging dalam negeri juga meningkat dari 1.769,8 ton menjadi 2.070,2 ton, naik sekitar 16,97%. Pemenuhan daging berasal dari sapi potong lokal meningkat dari 330,3 ton menjadi 389,3 ton, meningkat sekitar 17,86%. Demikian pula kerbau sebagai salah satu ternak lokal potensial penghasil daging domestik juga berkontribusi cukup berarti, meskipun terjadi penurunan
124
produksinya dari 42,30 ton di tahun 2002 menjadi 39,50 ton di tahun 2006. Bila dibandingkan ternak kerbau terhadap sapi potong dalam menghasilkan daging domestik, kontribusinya masih relatif kecil, yang terdata masing-masing 2,39% vs 18,66% di tahun 2002 dan 2,17 % vs 17,86% di tahun 2006. Meski terjadi peningkatan produksi daging dalam negeri dari tahun ke tahun, namun rataan konsumsi protein hewani nasional yang ditargetkan 10,1 kg/kapita/tahun baru tercapai sebesar 6,71 kg/kapita/tahun. Oleh karenanya masih terus dilakukan importasi sapi bakalan dan daging sapi beku dalam volume yang besar setiap tahun. Pada tahun 2005 misalnya masih dibutuhkan importasi daging sapi sebanyak 21,485 ton dan sapi bakalan 256.000 ekor untuk digemukkan (DITJEN PETERNAKAN, 2006). Kebutuhan importasi bakalan yang terus meningkat dan keterbatasan penyediaannya oleh negara eksportir telah memberi dampak langsung pada kenaikan harga sapi bakalan impor. DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006) menyatakan dengan meningkatnya harga sapi bakalan impor dan semakin sulitnya memperoleh bakalan lokal untuk
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
penggemukan, menjadikan kerbau sebagai ternak alternatif dalam kegiatan penggemukan. Harga bobot hidup ternak kerbau juga lebih murah dibandingkan harga sapi hidup. Selain itu, beberapa daerah di Indonesia masih lebih memilih daging kerbau untuk dikonsumsi dibandingkan ternak lainnya seperti sapi, kambing maupun domba. Dengan demikian peningkatan produktivitas kerbau dalam menghasilkan daging akan berhubungan erat dengan konsumsi daging rakyat di pedesaan. Perbaikan produktifitas akan memberi nilai tambah yang secara langsung menyangkut peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan. Pada daerah tertentu seperti Bali, Toraja dan Sumatera Utara, pemotongan kerbau dilakukan sebagai kebutuhan untuk upacara tradisional, dengan demikian akan lebih memberi peluang bagi peningkatan baik populasi maupun produktivitas kerbau di daerah tersebut di masa depan. Kerbau rawa atau lumpur yang dikenal sebagai salah satu ternak penghasil daging (dan kerja) memiliki sebaran luas di berbagai wilayah tetapi dengan penyebaran yang tidak merata. Hal ini memberikan indikasi bahwa kerbau memiliki kemampuan adaptasi baik pada berbagai wilayah agroekosistem di Indonesia. Populasi kerbau dengan tingkat kepadatan tinggi (> 100 ribu ekor) terkonsentrasi di sejumlah propinsi seperti NAD, Sumut, Sumbar, Jabar, NTB, Banten, NTT, Sulsel, Jateng dan Sumsel yang mencapai sekitar 76,37% dari populasi kerbau nasional. Pada sisi lain populasi kerbau di sejumlah wilayah dalam lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan negatif seperti di Propinsi NAD (-3,34%), Sumbar (-5.33%), Jatim (-13,25%), Jateng (-4,24%), Kaltim (2,57%), Sulsel (-8,41%) dan Banten (-2,56%). Meskipun demikian sejumlah propinsi lainnya bisa mempertahankan pertumbuhan populasi kerbau secara positif seperti Riau (3,15%), Jambi (4,97%), Sumsel (5,78%), Bengkulu (5,49 %), Jabar (1,33 %), Bali (6,62 %), NTT (1,61%), Kalbar (1,81%), Kalteng (25,88%), Kalsel (1,77 %) dan Sulteng (6,74%). Menurunnya populasi kerbau di sejumlah wilayah dapat diakibatkan oleh berbagai faktor seperti laju pemotongan yang terus meningkat tetapi belum diimbangi dengan perbaikan produktivitas ternak kerbau itu sendiri ataupun oleh berbagai faktor lingkungan eksternal yang
kurang mendukung. Produktivitas kerbau umumnya diketahui relatif lebih rendah di bandingkan sapi yang terkait dengan kondisi biologis yang dimilikinya. Masalah biologis terkait bagi pengembangan produktivitas ternak kerbau terutama menyangkut kinerja reproduksi rendah, seperti masa pubertas dan umur beranak pertama tertunda, lama bunting panjang, angka konsepsi rendah, berahi tenang dan mortalitas anak tinggi. Suatu studi pada kerbau lokal di daerah Sumbawa dilaporkan ARMAN (2006) menyatakan umur pubertas terlambat sekitar 28 – 29 bulan dengan umur beranak pertama 43 bulan. Untuk menghasilkan kebuntingan dengan jumlah betina yang dikawinkan 4 - 6 ekor per pejantan memerlukan sekitar tiga kali kawin. Dibandingkan sapi Bos indicus, lama menyusui anak juga lebih panjang sekitar 7 - 8 bulan. Sedangkan interval dari beranak ke pospartus estrus lebih lama sekitar 1,5 bulan dan selang beranak sekitar 20 - 21 bulan. Sementara itu, laju pemotongan ternak kerbau di sejumlah daerah menunjukkan perkembangan pesat dalam beberapa waktu terakhir. Selama tahun 2002 sampai 2006, terjadi laju pemotongan (%/tahun) yang sangat tinggi di Propinsi Sulteng (84,02), Kalteng (50,63), DKI Jakarta (25,69), NAD (10,55) dan Sumsel (9,26). Laju pemotongan cukup besar (%/tahun) terjadi di Propinsi Jambi (3,96), NTB (5,37), NTT (3,70) dan Papua (2,79). Menurut DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006) pengembangan areal persawahan dan perkebunan telah menyebabkan menurunnya luasan padang penggembalaan umum (seperti savana, stepa dan tundra) yang memberikan pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung pada populasi kerbau di sejumlah wilayah. Munculnya masalah hama keong emas seperti di Kalimantan Selatan, merebaknya gulma di NTT dan NTB dan juga serangan hama dan penyakit pada pakan ternak juga memberi pengaruh signifikan pada penurunan populasi kerbau tersebut. Sementara penelitian KUSNADI et al. (2005) di Banten khususnya di Kabupaten Lebak dan Pandeglang mendapatkan korelasi positif antara jumlah pemilikan lahan dan jumlah populasi kerbau. Ini mengindikasikan penurunan populasi kerbau di Banten antara lain dikarenakan berkurangnya lahan persawahan sebagai habitat dan sumber pakan
125
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
ternak kerbau, juga berkurangnya peran kerbau sebagai tenaga pengolah di lahan sawah. Untuk menggali potensi kerbau sebagai salah satu ternak penghasil daging, diperlukan berbagai upaya bagi peningkatan populasi dan produktivitasnya. Hal ini dapat ditempuh antara lain melalui pembinaan daerah produksi, perbaikan pakan dan manajemen pemeliharaan, pemilihan bibit berkualitas ataupun melalui penggemukan. Kerbau dikenal memiliki kemampuan lebih baik dalam memanfaatkan pakan serat berkualitas rendah dengan serat kasar tinggi seperti jerami padi, jagung dan kacang tanah untuk diubah menjadi daging ataupun susu. DHANDA (2004) menyatakan kerbau memiliki kemampuan cerna serat kasar 5% lebih tinggi dari pada sapi dan 4 - 5% lebih efisien dalam menggunakan energi metabolis untuk menghasilkan susu. Ini mempertegas bahwa ternak kerbau mampu memanfaatkan limbah selulosa dan produk agroindustri dengan baik. Sedangkan melalui pemberian pakan serat dan konsentrat berkualitas mampu memberikan laju PBBH sampai 1 kg/hari. Dengan demikian kerbau merupakan ternak potensial untuk bisa ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas karkasnya melalui usaha penggemukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan sifat kualitatif dan kuantitatif terutama mencakup bobot badan dan sejumlah ukuran morfometrik tubuh kerbau Sumbawa yang akan digemukkan dan nantinya dipotong di perusahaan penggemukan PT Karyana Gita Utama, Cicurug, Sukabumi. Penelitian juga ingin memperoleh formulasi pendugaan bobot badan berdasarkan sejumlah ukuran morfometrik tubuh. MATERI DAN METODE Materi penelitian Penelitian dilakukan selama bulan Mei dan Juni 2007 di PT Karyana Gita Utama, CicurugJabar, suatu perusahaan penggemukan sapi dan kerbau potong. Berdasarkan informasi yang disampaikan, sapi dan kerbau yang akan
126
digemukkan biasanya dibeli di pasar ternak Jakarta. Pembelian dilakukan secara rutin 2 atau 3 kali dalam seminggu dan untuk setiap pembelian dipilih sekitar 20% dengan kondisi relatif kurus dari ternak yang ada. Kerbau digemukkan selama satu sampai tiga bulan, tergantung permintaan pasar. Pengumpulan data bobot badan dan morfometrik tubuh kerbau lokal penelitian menggunakan 80 ekor kerbau jantan, semuanya berasal dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Data diperoleh dengan menimbang bobot badan dan mengukur morfometrik tubuh kerbau yang masuk pada hari pertama di lokasi penggemukan. Kedua kegiatan ini mengikuti serangkaian perlakuan awal penggemukan yang difokuskan aktivitasnya di kandang jepit. Perlakukan awal yang diberikan berupa injeksi vitamin (5 cc/ekor), semprot desinfektan (10 cc/ekor), cekok obat cacing (30 cc/ekor), penomeran ternak (eartag) dan pemberian antibiotik. Bobot badan (BB) ditimbang menggunakan timbangan elektronik (kg). Morfometrik tubuh (cm) meliputi tinggi pundak (TPu), tinggi panggul (TPa) dan panjang badan (PB) diukur dengan tongkat ukur; sedangkan lingkar dada (LD) dengan pita ukur. Diamati pula sejumlah sifat kualitatif seperti kondisi tubuh, ukuran skrotum, warna kulit, panjang telinga dan bentuk teracak dengan klasifikasi tertera pada Tabel 2. Pemeriksaan awal terhadap distribusi sifat kuantitatif menunjukkan ada 4 ekor dari total 80 ekor kerbau yang diukur masuk dalam pencilan sehingga tidak dilibatkan dalam analisa. Dengan demikian ada 76 ekor kerbau yang disertakan dalam pengujian statistik. Analisis statistik mencakup analisis diskriptif sifat kualitatif, analisa rataan kuadrat terkecil menerapkan model linier umum bagi data tidak berimbang untuk mengetahui pengaruh umur terhadap keragaan BB dan ukuran tubuh serta persamaan regresi untuk menduga bobot badan dari ukuran tubuh. Pendugaan umur kerbau dilakukan berdasarkan informasi pergantian gigi ditambah dengan informasi pola lingkaran tanduk. Ada 63 ekor kerbau teridentifikasi umurnya, sehingga pada kelompok kerbau ini
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
dilakukan pemeriksaan pengaruh umur terhadap performa bobot badan dan morfometrik tubuh. HASIL DAN PEMBAHASAN Asal kerbau di pasar ternak DKI Jakarta Akhir-akhir ini permintaan daging kerbau di wilayah DKI Jakarta naik cukup tajam, di tahun 2005 produksinya 354 kg menjadi 422 kg di tahun 2006. Pada tahun 2006 Propinsi DKI Jakarta tercatat mempunyai kerbau hanya 228 ekor, akan tetapi terjadi pemotongan 2635 ekor. Tersedianya suplai kerbau dalam jumlah tinggi tersebut dimungkinkan karena intensifnya alur pemasaran kerbau di DKI. Kerbau didatangkan dari sejumlah wilayah produksi terutama NTB, NTT, Bali dan Jawa dengan tiga peringkat daerah pemasok utamanya seperti tertera pada Tabel 1 (PANGALINAN, 2005). Untuk wilayah NTB, biasanya kerbau dipasok oleh tiga daerah utama yaitu Sumbawa, Mataram dan Bima; sedangkan untuk NTT yaitu oleh Kupang, Waingapu dan Flores. Alur umum pemasaran baik pada ternak sapi dan kerbau lokal adalah ternak yang ada di peternak NTB dan NTT dikumpulkan dan diangkut menggunakan kapal laut menuju pasar ternak di Jakarta. Ternak kerbau dari Bali dan Jawa diangkut menggunakan jalan darat didistribusikan ke Surabaya kemudian baru ke Jakarta, selanjutnya dijual di pasar ternak Jakarta baik langsung dipotong di RPH atau digemukkan terlebih dahulu.
Diskripsi sifat kualitatif Kerbau yang dievaluasi performa bobot badan dan sejumlah ukuran morfometrik tubuhnya berasal dari daerah pemasok utama Kabupaten Sumbawa di NTB. Semua kerbau berjenis kelamin jantan dan ada dua ekor yang dikebiri. Kerbau tersebut dipilih dan dibeli untuk penggemukan berdasarkan pertimbangan ternak mempunyai kondisi badan relatif kurus dan kerangka tubuh relatif besar. Deskripsi mengenai kondisi tubuh dan sejumlah sifat kualitatif dari kerbau Sumbawa lokal terpilih untuk penggemukan dicantumkan pada Tabel 2. Pengamatan terhadap 44 ekor kerbau jantan Sumbawa menunjukkan kerbau masih dalam kondisi badan yang baik, meskipun dipilih untuk penggemukan dengan bobot badan relatif kurus sekitar 20% dari kerbau yang ada dari setiap pembelian. Cukup banyak kerbau yang bisa dikategorikan gemuk (40,9%) dan sedang (36,4%), yang menunjukkan sebagian besar kerbau dari Sumbawa yang dipasarkan berbobot badan baik. Hanya sebagian kecil (22,7%) kerbau berkondisi kurus. Pengamatan pada 76 ekor kerbau Sumbawa memperlihatkan distribusi warna kulit yang bervariasi, meskipun warna hitam dan coklat (56,6%) sedikit menonjol dibandingkan warna abu-abu dan hitam merah ataupun coklat merah (36,9%). Dalam jumlah kecil (6,5%) ditemukan pula kerbau jantan berkulit albino. Frekuensi warna kulit kerbau lokal Sumbawa ini berbeda terhadap kerbau lokal dari Brebes seperti dilaporkan MUHAMMAD dan KUSUMANINGRUM (2006). Kerbau di Brebes
Tabel 1. Tiga peringkat utama daerah pemasok kerbau di setiap wilayah produksi Peringkat Wilayah produksi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
I
II
III
Sumbawa
Mataram
Bima
Kupang
Waingapu
Flores
Bali
Jembrana
Buleleng
Gianyar
Jawa
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Sumber: PANGALINAN (2005)
127
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 2. Deskripsi sifat kualitatif kerbau Sumbawa
Kondisi tubuh Kurus Sedang Gemuk Bentuk telinga Pendek Sedang Panjang Warna kulit
Jumlah (ekor) 10 16 18 44 Jumlah (ekor) 14 26 3
Persentase (%) 22,7 36,4 40,9 100 Persentase (%) 32,5 60,5 7,0
43
100
Jumlah (ekor)
Persentase (%)
Bentuk skrotum Normal Kanan besar Kanan kecil Bentuk tanduk Pendek Sedang Panjang Warna kaki
Jumlah (ekor) 34 2 7 43 Jumlah (ekor) 7 16 20
Persentase (%) 79,1 4,7 16,3 100 Persentase (%) 16,3 37,2 46,5
43
100
Jumlah (ekor)
Persentase (%)
Hitam
22
29,0
Putih
34
79,0
Coklat
21
27,5
Coklat/hitam
6
14,0
Hitam/Coklat merah
13
17,1
Albino
3
7,0
43
100
Albino
5
6,6
Abu-abu
15
19,8
76
100
didominasi oleh kulit hitam dengan frekuensi warna hitam pada betina 94,2% dan jantan 90,9%; sedangkan sisanya dengan frekuensi warna coklat pada betina 5,8% dan jantan 9,1%. Dari 43 ekor kerbau Sumbawa yang diamati memperlihatkan kaki didominasi oleh warna putih (white stocking) (79,1%), sisanya dalam jumlah kecil oleh hitam atau coklat (14,0 %) dan albino (7,0 %). Sebagian besar kerbau jantan mempunyai skrotum yang normal (79,1%) artinya baik bentuk dan ukuran testes kiri dan kanan hampir sama. Meskipun demikian ditemukan dalam jumlah tidak sedikit (16,3%) jantan dengan ukuran testes kiri lebih kecil dibandingkan kanan. Bentuk tanduk dan panjang telinga berdasarkan pengamatan visual diklasifikasikan ke dalam bentuk pendek, sedang dan panjang. Atas dasar klasifikasi tersebut, kerbau pengamatan lebih didominasi oleh tanduk dengan bentuk setengah melengkung keluar berukuran sedang dan panjang (83,7%) dan telinga berukuran pendek dan sedang (93,1%).
128
Keragaan bobot dan morfometrik tubuh Bobot hidup merupakan peubah yang paling sering dipakai untuk melihat pertumbuhan ternak baik dalam kondisi praktis di lapangan ataupun di stasiun percobaan. Hal ini dikarenakan bobot badan cukup baik untuk dijadikan indikator tingkat pertumbuhan dan komposisi jaringan tubuh ternak hidup. Meskipun demikian sejumlah ukuran morfometrik tubuh memberi informasi berguna pada konformasi tubuh yang mencerminkan perkembangan kerangka tubuh. Kerangka tubuh akan berhubungan dengan tingkat efisiensi ternak dalam mengkonversi pakan untuk diubah menjadi jaringan daging dan otot. Dengan memilih ternak yang kurus tetapi mempunyai kerangka tubuh besar, diharap diperoleh pertambahan bobot badan lebih baik dibandingkan ternak berkerangka kecil selama proses penggemukan.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 3. Deskripsi sifat kuantitatif dari bobot dan morfometrik tubuh kerbau Sumbawa Peubah
Rataan
SD
Minimum
Maksimum
Bobot badan (kg)
314,9
43,5
224
414
Lingkar dada (cm)
171,7
8,8
153
193
Tinggi pundak (cm)
120,6
5,7
105
134
Tinggi panggul (cm)
121,9
6,2
110
136
Panjang badan (cm)
103,6
6,1
90
116
penggemukan yang sama melaporkan rataan bobot awal sebelum penggemukan kerbau dari Sumbawa berkisar antara 307,0 – 335,1 kg/ekor (PRIYANTI dan SAPTATI, 2006). Dengan demikian, rataan bobot badan awal untuk penggemukan kerbau Sumbawa yang diperoleh dari studi ini (314,9 kg/ekor) berada dalam kisaran tersebut. Sedangkan MUHAMMAD dan KUSUMANINGRUM (2006) yang mengamati morfometrik kerbau lokal di Brebes memperoleh rataan tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan dari 28 ekor kerbau jantan berumur lebih dari dua tahun berurutan 113,2 ± 28,20, 162,11 ± 15,02 dan 106,00 ± 13,07 cm. Terlihat disini ukuran tinggi pundak dan lingkar dada kerbau Sumbawa lebih panjang dibandingkan dengan kerbau lokal di Brebes, tetapi panjang badannya sedikit lebih pendek dari kerbau Brebes.
Sejumlah sifat kuantitatif kerbau Sumbawa yang diamati meliputi bobot badan (BB), lingkar dada (LD), tinggi pundak (TPu), tinggi panggul (TPa) dan panjang badan (PB) mempunyai nilai rataan dan standar deviasi (SD) berurutan 314,9 ± 43,5 kg, 171,7 ± 8,8 cm, 120,6 ± 5,7 cm, 121,9 ± 6,2 cm dan 103,6 ± 6,1 cm. Berbagai sifat kualitatif tersebut memiliki variasi fenotipe cukup besar sebagai diperlihatkan oleh nilai SD serta kisaran nilai minimum dan maksimum yang luas. Salah satu penyebab variasi yang besar adalah kerbau pengamatan memiliki umur bervariasi, mulai dua sampai lima tahun atau lebih. Berbagai faktor lain tentunya dapat menjadi penyebab perbedaan seperti potensi genetik antara ternak, lokasi asal, sistem pemeliharaan dan perkawinan yang diterapkan di daerah sumber ternak. Ketersediaan dan pemberian pakan dari satu lokasi ke lokasi juga bisa menjadi sumber penyebab yang penting. Suatu penelitian bertujuan mengetahui perbedaan pemberian pakan di lokasi
Tabel 4. Pengaruh umur terhadap bobot dan morfometrik tubuh kerbau Sumbawa Peubah
Umur (tahun)
Probabilitas 2
3
4
5
Bobot badan (kg)
P<0,000
268,0a
306,4c
319,1c
359,5d
(14,1)
(7,4)
(10,0)
(12,6)
Lingkar dada (cm)
P<0,000
162,8a
169,0b
175,1c
182,9d
(2,6)
(1,4)
(1,8)
(2,3)
Tinggi pundak (cm)
P<0,000
115,3
a
(1,6) Tinggi panggul (cm) Jumlah yang diobservasi (ekor) Persentase
P<0,000
d
119,2
124,2
(0,8)
(1,1)
b
126,8d (1,4)
120,7
125,8
129,1d
(1,7)
(0,9)
(1,2)
(1,5)
8
29
16
10
12,7 %
46,0 %
25,4 %
15,9 %
116,8
a
b
c
Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi; setiap huruf berbeda dari baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
129
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 5. Persamaan regresi linier untuk menduga bobot badan dari sifat morfometrik tubuh Regresi linier
Morfometrik Prob.
R2 (%)
Lingkar dada (cm)
P<0,000
68,7
Persamaan Regresi BB = -390 + 4,112 LD
Tinggi pundak (cm)
P<0,000
19,9
BB = -107,4 + 3,503 TPu
Tinggi panggul (cm) Panjang badan (cm)
P<0,001 P<0,000
13,3 48,2
BB = -11,52 + 2,678 TPa
Umur berpengaruh sangat nyata (P<0,01) pada semua sifat kuantitatif yang diamati (Tabel 4). Baik bobot badan maupun ukuran morfometrik tubuh meningkat secara linier mulai dari kelompok kerbau dalam umur dua tahun sampai kelompok umur dewasa (≥ 5 tahun). Dibandingkan dengan umur dewasa, maka kerbau dalam umur 2, 3 dan 4 tahun mempunyai bobot badan lebih rendah 0,26, 0,15 dan 0,11%; lingkar dada 0,11; 0,08 dan 0,04%; tinggi pundak 0,09; 0,06 dan 0,02%; serta tinggi panggul 0,10; 0,07 dan 0,03%. Hal ini mencerminkan dengan bertambahnya usia, maka pertumbuhan dan perkembangan kerangka serta komposisi tubuh ternak terus berlangsung sampai dicapai usia dewasa. Pendugaan bobot badan berdasarkan ukuran tubuh Pada kondisi praktis, memperoleh sejumlah ukuran morfometrik tubuh jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan penimbangan langsung bobot badan di lapangan. Sudah banyak diketahui terdapat hubungan yang jelas antara bobot badan dengan sejumlah ukuran tubuh, yang memungkinkan pendugaan bobot badan dengan tingkat akurasi cukup baik melalui pengembangan hubungan matematis antara keduanya (WILSON et al., 1997). Pendugaan bobot badan berdasarkan morfometrik tubuh dilakukan dengan menetapkan setiap ukuran tubuh sebagai variabel penduga bobot badan dalam persamaan regresi. Hasil menunjukkan persamaan linier setiap ukuran tubuh mempunyai tingkat ketepatan yang paling baik dalam menduga bobot hidup. Koefisien determinasi (R2) dan persamaan regresi pendugaan bobot dari setiap ukuran tubuh berdasarkan persamaam regresi linier tersebut dicantumkan pada Tabel 5.
130
BB = -204 + 5,011 PB
Seperti diperlihatkan dalam Tabel 5, semua ukuran morfometrik tubuh dapat dipakai sebagai penduga cukup baik dalam menduga bobot badan kerbau (P<0,001). Atas dasar nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan linier yang dikembangkan, diperoleh lingkar dada mempunyai tingkat akurasi paling baik sebagai penduga bobot badan, dengan R2 = 68,7%. Panjang badan juga merupakan indikator dengan tingkat akurasi masih baik dalam menduga bobot badan kerbau, dengan nilai R2 = 48,2%. Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh mengilustrasikan untuk setiap satuan cm penambahan lingkar dada akan diperoleh kenaikan bobot badan kerbau sekitar 4,1 kg. KESIMPULAN Dalam menggali potensi kerbau sebagai salah satu ternak penghasil daging, diperlukan berbagai upaya bagi peningkatan populasi dan produktivitasnya yang dapat ditempuh antara lain melalui pembinaan daerah produksi, perbaikan manajemen dan usaha penggemukan. Kerbau lokal jantan dari Sumbawa yang dipilih untuk usaha penggemukan dalam pengamatan ini sebetulnya masih mempunyai performa bobot tubuh cukup baik, juga kerangka tubuhnya relatif besar. Selain itu terdapat variasi bobot badan dan sejumlah ukuran morfometrik yang mencerminkan masih besarnya variasi fenotipe sifat pertumbuhan kerbau lokal. Umur berpengaruh secara linier terhadap bobot dan ukuran tubuh, dengan kenaikan bobot maupun ukuran tubuh terus berlangsung sampai umur dewasa yang diamati. Lingkar dada merupakan peubah yang baik dalam menduga bobot badan.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
DAFTAR PUSTAKA
usahatani di Propinsi Banten. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 - 13 September 2005. Puslitbang Peternakan. Bogor.
ARMAN, C. 2006. Penyigian karakteristik reproduksi kerbau Sumbawa. Prosiding Lokakarya Nasional: Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Petrnakan Propinsi NTB dan Pembda Kabupaten Sumbawa. Bogor.
MUHAMMAD, Z. dan D.A. KUSUMANINGRUM. 2006. Penampilan produkti ternak kerbau lumpur (Bubalus bubalus) di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 - 13 September 2005. Puslitbang Peternakan. Bogor.
DHANDA, O.P. 2004. Developments in water buffalo in Asia and Oceania. Proceeding 7th World Buffalo Conggress. 20 - 23 October 2004, Makati Shangri-La Hotel, Ayala Avenue, Makati City, Philippines. p. 17-28.
PANGALINAN, V. 2005. Prospek sosial ekonomi peternakan kerbau di Indonesia. Seminar dan Lokakarya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Makasar, 22 - 23 Oktober 2005.
DITJEN PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan, Deptan RI. Jakarta.
PRIYANTI, A. dan R.A. SAPTATI. 2006. Tataniaga dan analisis ekonomi usaha ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Petrnakan Propinsi NTB dan Pembda Kabupaten Sumbawa. Bogor.
DIWYANTO, K. dan E. HANDIWIRAWAN. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: Aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding Lokakrya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Petrnakan Propinsi NTB dan Pembda Kabupaten Sumbawa. Bogor. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.G. SIANTURI dan E. TRIWULANNINGSIH. 2005. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem
WILSON, L.L., C.L. EGAN and T.L. TEROSKY. 1997. Body measurements and body weights of special-fed Holstein veal calves. J. Dairy Sci. 80: 3077 - 3082.
131