DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA
Rancangan
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : Tentang
PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MEMANFAATKAN SUMBER ENERGI PRIMER SETEMPAT DI WILAYAH YANG TIDAK ATAU BELUM MENERAPKAN KOMPETISI
Jakarta, 8 April 2003
RANCANGAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : TENTANG PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MEMANFAATKAN SUMBER ENERGI PRIMER SETEMPAT DI WILAYAH YANG TIDAK ATAU BELUM MENERAPKAN KOMPETISI
Menimbang:
a. bahwa permintaan kebutuhan tenaga listrik meningkat dengan pesat seiring dengan perkembangan ekonomi nasional, namun belum dapat diimbangi oleh kebutuhan pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik, sehingga terjadi krisis penyediaan tenaga listrik di berbagai wilayah di Indonesia yang segera perlu mendapat penanggulangan; b. bahwa sumber energi setempat sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk pembangkitan tenaga listrik baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan umum; c. bahwa menimbang hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu adanya pengaturan melalui Keputusan Presiden tentang pembangunan pembangkit-pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi primer setempat sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Mengingat:
1. Pasal 4, ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 2. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60 TLN 3839) 3. Undang-undang No. 20 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 94 TLN 4226) 4. Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1992
MEMUTUSKAN : Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MEMANFAATKAN SUMBER ENERGI PRIMER SETEMPAT DI WILAYAH YANG TIDAK ATAU BELUM MENERAPKAN KOMPETISI Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1.
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dibidang ketenagalistrikan.
2.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang ketenagalistrikan.
3.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut sebagai BUMN adalah Badan Usaha yang oleh Pemerintah diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
4.
Badan Usaha Milik Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut sebagai BUMD adalah Badan Usaha yang oleh Pemerintah Daerah diserahi tugas untuk melaksanakan usaha ketenagalistrikan.
5.
Swasta adalah Badan Hukum yang didirikan dan berdasarkan hukum di Indonesia yang berusaha di bidang ketenagalistrikan.
6.
Koperasi adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum kopersasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kebersamaan yang lingkup usahanya di bidang ketenagalistrikan.
7.
Perusahaan Utilitas adalah Badan Usaha yang dapat berbentuk BUMN, BUMD, Swasta dan Koperasi yang kegiatan usahanya melayani penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum.
8.
Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tidak termasuk listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat.
9.
Rencana Penyediaan Tenaga Listrik yang selanjutnya disebut sebagai RPTL adalah suatu rencana penyediaan tenaga listrik dari badan usaha selaku Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang memiliki wilayah usaha.
10. Penjualan Tenaga Listrik adalah suatu kegiatan penjualan tenaga listrik kepada konsumen. 11. Jaringan Transmisi Nasional yang selanjutnya disebut sebagai JTN adalah jaringan transmisi tegangan tinggi, ekstra tinggi, dan/atau ultra tinggi untuk menyalurkan tenaga listrik bagi kepentingan umum yang ditetapkan Pemerintah sebagai jaringan transmisi nasional. Pasal 2 Pembangunan dan pengusahaan sarana penyediaan tenaga listrik yang instalasi tenaga listriknya terhubung baik secara langsung maupun tidak langsung dengan JTN wajib mendapat izin dari Menteri.
Bab II Keamanan Pasokan Tenaga Listrik Pasal 3 Guna menjamin keamanan pasokan tenaga listrik, pengusahaan pembangkitan tenaga listrik wajib memprioritaskan pemanfaatan sumber energi primer setempat sebagai bahan bakar.
Bab III
Jenis Pembangkit Tenaga Listrik Yang Memanfaatkan Sumber Energi Primer Setempat Pasal 4 Pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi primer setempat sebagaimana dimaksud Pasal 3 antara lain meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulut tambang batubara, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Dendrothermal (PLTU Dendrothermal), Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang memanfaatkan gas marginal, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memanfaatkan sampah kota.
Bab IV Pelaksanaan Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik Pasal 5 Usaha pembangkitan tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi primer setempat dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, Swasta dan Koperasi. Pasal 6 Tenaga listrik yang dihasilkan dari usaha pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud Pasal 5 dapat dijual kepada Perusahaan Utilitas setempat. Pasal 7 Perusahaan Utilitas sebagaimana dimaksud Pasal 6 dapat membeli tenaga listrik dari usaha pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud Pasal 5 berdasarkan RPTL-nya.
Pasal 8 Pembelian tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 dapat dilakukan melalui tender atau tanpa tender dan disesuaikan dengan kondisi setempat. Pasal 9 Dalam hal pembelian tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 dilakukan tanpa tender, maka harga pembelian tenaga listrik tidak diperkenankan melebihi biaya pembangkitan Perusahaan Utilitas setempat dan harus setara dengan harga jual tenaga listrik pembangkit lain yang sejenis. Bab V Proyek Ketenagalistrikan Yang Memanfaatkan Sumber Energi Primer Setempat. Pasal 10 Badan Usaha yang memanfaatkan sumber energi primer setempat untuk pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud Pasal 5 mengajukan usulan usaha pembangkitan tenaga listrik kepada Perusahaan Utilitas setempat dengan melampirkan : a. lokasi proyek; b. jenis dan kapasitas pembangkit tenaga listrik; c. jenis energi primer setempat yang digunakan; d. rencana pembangunan; e. rencana pendanaan; f. rencana pengoperasian; g. gambar, peta dan dokumen lain Pasal 11 Perusahaan Utilitas setempat sebagaimana dimaksud Pasal 10 wajib memberikan tanggapan atas usulan Badan Usaha dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak diterimanya usulan tersebut dengan memperhatikan RPTL-nya.
Bab VI Perizinan Pasal 12 Apabila usulan sebagaimana dimaksud Pasal 10 dapat diterima Perusahaan Utilitas setempat baik secara teknis maupun administratif, maka Badan Usaha dapat mengajukan permohonan Izin Prinsip kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pasal 13 Menteri menerbitkan Izin Prinsip bagi calon Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Menteri menerima permohonan Izin Prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 12. Pasal 14 Badan Usaha sebagai calon Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik setelah menerima Izin Prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 13 melaksanakan: a. Studi kelayakan yang meliputi aspek teknis, ekonomis dan financial serta menyelesaikan izin lain yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu pembangunan proyek serta menyampaikan laporan tertulis mengenai hasilnya kepada Perusahaan Utilitas setempat paling lambat dalam jangka waktu 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari. b. Studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pembangunan proyek dan menyampaikan hasilnya kepada Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dalam waktu sebagaimana dimaksud pada butir a. Pasal 15 Perusahaan Utilitas setempat melakukan evaluasi laporan hasil studi kelayakan sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan harus sudah selesai dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah laporan tersebut dikirim secara lengkap, dan selanjutnya menyampaikan hasil evaluasi kepada Menteri melalui Direktur Jenderal paling lambat dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah selesai evaluasi. Pasal 16
Evaluasi hasil studi AMDAL dilakukan oleh AMDAL KLH untuk mendapatkan persetujuan KLH paling lambat dalam jangka waktu 75 (tujuh puluh lima) hari diluar waktu yang diperlukan untuk penyempurnaan atau perbaikan setiap dokumen studi AMDAL. Pasal 17 Perusahaan Utilitas setempat melakukan negosiasi dengan calon Pemegang Izin Prinsip paling lambat 15 (lima belas) hari setelah Menteri menerbitkan Izin Prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 13. Pasal 18 Negosiasi antara Perusahan Utilitas setempat dan Badan Usaha sebagai calon Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik harus dapat diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari. Pasal 19 Perusahaan Utilitas setempat wajib menyampaikan laporan tertulis hasil negosiasi sebagaimana dimaksud Pasal 18 kepada Menteri melalui Direktur Jenderal paling lambat dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah negosiasi selesai. Pasal 20 Menteri menetapkan harga jual tenaga listrik atas hasil negosiasi setelah diteliti oleh Direktur Jenderal paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan Direktorat Jenderal. Pasal 21 Perusahaan Utilitas setempat dan Badan Usaha sebagai calon Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik menandatangani kontrak jual beli tenaga listrik setelah menerima penetapan Menteri sebagaimana dimaksud Pasal 20. Pasal 22 Menteri menerbitkan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik setelah ada kontrak jual beli tenaga listrik sebagaimana dimaksud Pasal 21. Pasal 23 Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud Pasal 22 menyampaikan jadwal pelaksanaan pembangunan secara terinci kepada
Perusahaan Utilitas setempat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal paling lambat dalam jangka waktu 60 (enampuluh) hari setelah dikeluarkannya Izin Prinsip. Pasal 24 Pembangunan proyek oleh Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik harus sudah dimulai pelaksanaannya paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah Menteri memberikan Izin Prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 13 dan harus diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Pasal 25 Izin prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 13 berlaku untuk jangka waktu 1(satu) tahun dan dapat diperpanjang 1(satu) kali disertai dengan alasan-alasan secara tertulis. Pasal 26 Perpanjangan Izin Prinsip sebagai mana dimaksud Pasal 25 dapat dipertimbangkan apabila terdapat hambatan dalam pelaksanaan Pembangunan yang di luar kesalahan calon Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan/atau terjado force majeure yang meliputi kebakaran, pemogokan, kekacauan di lokasi proyek, tindakan musuh negara, peperangan, blokade, huru hara, epidemic, tanah longsor, gempa bumi, badai, halilintar, banjir, kekacauan di masyarakat dan ledakan dahsyat. Pasal 27 Pemegang Izin Prinsip menyampaikan permohonan perpanjangan waktu paling lambat 60( enam puluh) hari sebelum batas akhir masa berlakunya Izin Prinsip atau menyampaikan laporan dalam jangka waktu 7(tujuh) hari setelah terjadi force majeure sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 28 (1) Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berlaku untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) Tahun terhitung mulai sarana penyediaan tenaga listrik dioperasikan secara komersial dan dapat diperpanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(2) Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana ayat (1) berakhir masa berlakunya, karena habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang atau dibatalkan. Pasal 29 Izin prinsip dan Izin Usaha Penyediaan tenaga Listrik dibatalkan oleh Menteri dalam hal-hal sebagai berikut: a. Pemegang Izin Prinsip dan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku; atau b. Pemegang Izin Prinsip dan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik tidak mentaati petunjuk teknis dari Direktur Jenderal dalam pelaksanaan pembangunan dan pengusahaan penyediaan tenaga listrik sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pasal 30 Apabila akan menambah jumlah unit pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi setempat atau kapasitas sarana penyediaan tenaga listrik yang telah tercantum dalam Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud Pasal 22, Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik wajib mengajukan permohonan izin perubahan kapasitas kepada Menteri melalui Direktur Jendral. Pasal 31 Perubahan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik baru dapat diterbitkan oleh Menteri, apabila tidak menggangu keandalan sistem tenaga listrik dari Perusahaan Utilitas setempat. Bab VII Pengalihan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Pasal 32 Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik hanya dapat dialihkan kepada Badan Usaha lainnya yang dinilai mampu untuk melanjutkan usaha penyediaan tenaga listrik dan tidak mengganggu kelangsungan penyediaan tenaga listrik. Pasal 33
Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga listrik wajib melaporkan rencana pengalihan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik disertai alasan-alasan pengalihan kepada Direktur Jenderal. Pasal 34 Bersamaan dengan rencana pengalihan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Badan Usaha penerima pengalihan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud Pasal 32 wajib mengajukan permohonan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik kepada Direktur Jenderal. Pasal 35 Direktur Jenderal melakukan evaluasi atas rencana pengalihan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud Pasal 34 dan melaporkan hasilnya kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja. Pasal 36 Menteri memberikan persetujuan pengalihan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik paling lambat dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima laporan hasil evaluasi pengalihan sebagaimana dimaksud Pasal 35 dari Direktur Jenderal. Bab VIII Uji Operasi Dan Sertifikasi Uji Operasi Pasal 37 Sarana penyediaan tenaga listrik hanya dapat dioperasikan secara komersial setelah dilakukan uji operasi (commissioning test) yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi yang terakreditasi. Pasal 38 Biaya pelaksanaan uji operasi dibebankan kepada calon Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Pasal 39
Lembaga Sertifikasi memberikan Sertikat Uji Operasi (commissioning certificate) paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah uji operasi sebagaimana dimaksud Pasal 37 berhasil dengan baik dan menyampaikan laporan tertulis kepada Menteri. Pasal 40 Menteri mengeluarkan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, selambatlambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Direktur Jenderal mengeluarkan Sertifikat Uji Operasi (commissioning certificate). BAB IX Hak dan Kewajiban Pasal 41 Pemegang Izin Prinsip dan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berhak melakukan usahanya sesuai dengan izin yang diberikan Menteri dan bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dalam pelaksanaan izin tersebut. Pasal 42 Pemegang Izin Prinsip dan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik secara berkala wajib memberikan laporan tertulis kepada Direktur Jenderal mengenai perkembangan usahanya dengan menggunakan bentuk laporan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. BAB X Pengawasan Pasal 43 (1)
Direktur Jenderal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemegang Izin Prinsip dan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
(2)
Pengawasan sebagimana dimaksud ayat (1) meliputi pencapaian sasaran pembangunan, keselamatan kerja, keselamatan umum, pengusahaan, kepentingan konsumen, tercapainya standarisasi dibidang ketenagalistrikan, dan kelestarian lingkungan hidup sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(3)
Berdasarkan pertimbangan keselamatan kerja, keselamatan umum dan kepentingan konsumen, Direktur Jenderal dapat melakukan tindakan pengamanan berdasarkan peraturan yang berlaku.
BAB XI Pelaporan Pasal 44 (1) Pemegang Izin Prinsip menyampaikan laporan tahap pelaksanaan pembangunan proyek secara tertulis kepada Direktur Jenderal setiap triwulan, yang meliputi aspek-aspek: a. kemajuan pelaksanaan proyek b. Penggunaan tenaga kerja baik tenaga kerja dalam negeri maupun tenaga kerja asing c. hambatan-hambatan yang dihadapi (2) Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik wajib menyampaikan laporan pengusahaan kepada Direktur Jenderal setiap bulan yang meliputi aspek-aspek: a. produksi tenaga listrik b. penjualan tenaga listrik kepada Perusahaan Utilitas setempat c. pemakaian bahan bakar d. keandalan tenaga listrik e. jumlah dan jenis gangguan f. pengendalian dampak lingkungan g. jumlah dan komposisi tenaga kerja (dilaporkan setiap akhir tahun)
BAB XII
Sanksi Pasal 45 Pemegang Izin Prinsip dan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden ini dan peraturan-peraturan lainnya di bidang ketenagalistrikan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BAB XIII Penutup Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini diatur oleh Menteri. Pasal 47 Keputusan Presiden ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd MEGAWATI SUKARNOPUTRI