include build a conducive academic atmosphere, maintaining institution image and build cooperation with stakeholders besides the foundation itself. Keywords: academic leadership, strategy, belo rakava belo rapovia
Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang menarik minat banyak peneliti. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan merupakan aspek penting dalam kehidupan berorganisasi baik pada organisasi pemerintahan, sosial, industri, militer, maupun pendidikan (Bass, 1990). Setiap individu baik secara langsung
maupun
tidak
langsung
pasti
pernah
terlibat
dalam
situasi
mempengaruhi atau dipengaruhi orang lain (Bodla & Nawaz, 2010). Penelitian tentang kepemimpinan penting karena ditinjau dari aspek profesi psikologi industri dan organisasi, secara langsung berkaitan dengan pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya manusia di dalam sebuah organisasi. Peran seorang pemimpin sangat diperlukan dalam memberikan pengaruh positif untuk mengembangkan potensi anggotanya agar mampu menghasilkan kinerja maksimal yang diinginkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Hal ini tentunya sejalan dengan objek kajian profesi psikologi industri dan organisasi yang juga memiliki perhatian khusus pada pengelolaan sumber daya manusia di dalam organisasi. Membahas mengenai peran kepemimpinan di dalam organisasi maka perlu untuk di pahami secara jelas definisi dari kepemimpinan itu sendiri. Banyaknya penelitian tentang kepemimpinan menimbulkan perdebatan dan diskusi yang panjang, hal ini menimbulkan definisi yang beragam pula dari setiap tokoh yang menelitinya (Stogdill, 1974; Bass, 1990). Kepemimpinan merupakan suatu hal yang kompleks untuk dijelaskan dan tidak ada proses yang sederhana untuk
mencapainya karena memiliki ruang lingkup yang sangat luas (Hughes, 2012). Bass (1990) menjelaskan kepemimpinan telah dipahami sebagai suatu fokus dari proses kelompok, sebagai kepribadian pemimpin, merangsang kepatuhan, memberikan pengaruh, perilaku pemimpin, sebagai bentuk persuasi, sebagai relasi kekuasaan, sebagai instrumen dalam pencapaian tujuan, sebagai efek dari interaksi, memiliki peran yang berbeda dalam mengintegrasikan perbedaan dalam grup dan menginisiasi struktur. Yukl (2013) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi orang lain secara sengaja dengan tujuan membimbing, mengatur, dan memfasilitasi kegiatan dan hubungan individu di dalam kelompok atau organisasi. Melihat dari berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang dalam mempengaruhi dan mengelola anggota atau kelompok secara terorganisir untuk mencapai tujuan bersama. Pembahasan
mengenai
kepemimpinan
tidak
terlepas
pula
dari
perkembangan teori kepemimpinan dari masa ke masa. Riggio (2007) menjelaskan perkembangan teori kepemimpinan diawali dengan berkembangnya “universalist theory” pada tahun 1940-an yang dimulai dengan munculnya teori great man/woman theory yang berpandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan diciptakan. Selanjutnya muncul trait theory, trait theory berfokus pada mencari ciri-ciri spesifik baik berupa atribut fisik maupun kepribadian yang dimiliki oleh pemimpin sukses di masa itu. Pada tahun yang sama, yaitu tahun 1950-an peneliti dari Ohio State University dan Michigan University mengembangkan teori kepemimpinan dengan
pendekatan behavioral atau perilaku. Hampir sama dengan pendekatan trait, pada pandangan behavioral ini para peneliti mengidentifikasi karakteristik perilaku yang dimunculkan oleh pemimpin. Pada pandangan ini, muncul dua dimensi perilaku pemimpin yaitu pemimpin yang berorientasi pada tugas dan pemimpin yang berorientasi pada hubungan. Pemimpin yang berorientasi pada tugas berfokus pada
merencakan dan mengatur pekerjaan, mengkordinasi aktifitas
bawahan, memfasilitasi keperluan dan fasilitas yang dibutuhkan bawahan serta memandu bawahan untuk mencapai sasaran kinerja yang tinggi namun tetap realistis, sedangkan pemimpin yang berorientasi pada hubungan lebih berfokus pada pemberian perhatian yang meliputi kepercayaan kepada bawahan, dukungan, dan pengakuan terhadap kontribusi yang diberikan oleh bawahan (Yukl, 2013). Pemimpin yang berorientasi pada tugas mungkin akan dianggap efektif apabila berada pada situasi tertentu sedangkan pemimpin yang berorientasi pada hubungan akan lebih efektif pada situasi lainnya (Riggio, 2007) Selanjutnya pandangan yang muncul dari teori kepemimpinan adalah contingency theories. Teori ini memandang bahwa interaksi antara karakteristik pemimpin dan situasi merupakan dua hal utama yang harus mampu disesuaikan oleh pemimpin (Riggio, 2007). Ada empat teori yang popular dari contigency theory diantaranya: 1. Fiedler’s Contingency Model Model yang dikembangkan oleh Fred Fiedler ini menjelaskan bahwa kinerja tim kerja yang dikatakan efektif bergantung pada kesesuaian antara gaya yang diterapkan pemimpin dan sejauh mana situasi mampu memberikan kendali
kepada pemimpin tersebut. Beberapa hal utama yang menjadi fokus pada model ini adalah memahami gaya pemimpin (berorientasi pada tugas atau berorientasi pada hubungan), memahami situasi (hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuatan posisi), dan mencocokkan pemimpin dan situasi (Robbins & Judge, 2008). 2. The Path-Goal Theory The path-goal theory berpandangan bahwa pemimpinlah yang membantu pekerjaan timnya dalam mewujudkan hasrat tim dalam mencapai tujuannya. Dalam hal ini pemimpin dapat berperan sebagai fasilitator, pembimbing yang membantu anggota tim dalam menghadapi berbagai macam rintangan dan hambatan yang dihadapi dengan cara meningkatkan motivasi dan performasi kerja tim dalam rangka pencapaian tujuan (Riggio, 2007). Untuk membantu tim mencapai tujuannya, maka ada empat kategori perilaku pemimpin yang dibutuhkan, diantaranya adalah directive, achievement-oriented, supportive, dan parcitipative. Tidak semua perilaku ini dapat ditampilkan secara bersama, namun pemilihan perilaku ini dapat disesuaikan dengan karakteristik pimpinan dan situasi yang terjadi di dalam tim atau organisasi (Riggio, 2007) 3. The Decision-Making Model Model yang dikembangkan oleh Vroom, Jago dan Yetton ini berpandangan bahwa tugas utama seorang pemimpin yang paling utama ialah pengambilan keputusan. Teori ini berpandangan bahwa pemimpin dapat membuat keputusan dalam pekerjaan dengan menggunakan berbagai strategi, diantaranya berasal dari diri sendiri, ataupun melibatkan partisipasi anggota (Riggio, 2007)
4. The Leader-Member Exchange (LMX) Sama halnya dengan contingency theory sebelumnya seperti fiedler’s contingency
model,
the
path-theory,
the
decision-making
model
yang
penggunaannya disesuaikan dengan karakteristik pemimpin dan situasi, The leader-member exchange (LMX) melakukan pendekatan yang sedikit berbeda dengan cara membangun hubungan khusus dengan sebagian kecil anggotanya. Dalam hal ini pemimpin menciptakan kelompok “kesayangan” dan “bukan kesayangan” (Robbins & Judge, 2008). Teori kepemimpinan yang kemudian muncul teori kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan transformasional. Teori kepemimpinan karismatik sangat terpengaruh dari ide Max Webber seorang ahli sosial (Yukl, 2013). Teori ini memandang bahwa para anggota melihat pemimpinnya sebagai seorang pemimpin yang memiliki perilaku, sikap dan kepribadian yang luar biasa. Beberapa karakteristik utama dari kepemimpinan karismatik, diantaranya: memiliki visi, mampu mengambil resiko pribadi, memiliki kepekaan terhadap kebutuhan anggota, melakukan tindakan yang konvensional (Robbins & Judge, 2008). Berbeda
dengan
kepemimpinan
karismatik,
teori
kepemimpinan
transformasional muncul sebagai pembeda dari kepemimpinan transaksional yang menekankan bahwa hubungan antara pemimpin dan bawahannya sebagai proses pertukaran atau transaksi seperti meningkatkan insentif karyawan, memberikan perilaku khusus untuk mendapatkan nilai-nilai yang diinginkan seperti loyalitas dan komitmen karyawan (Riggio, 2007). Teori kepemimpinan transformasional
yang diprakarsai oleh James McGregor Burns ini menekankan pada bentuk kepemimpinan yang memberi dampak perubahan terhadap anggota dan organisasi/ kelompok sebagai hasil dari kemampuan pemimpin untuk memperluas dan mengembangkan minat, membangun kesadaran diri tentang tujuan dan misi organisasi/ kelompok serta memotivasi anggota untuk berbuat dengan mengesampingkan
kepentingan
pribadinya
demi
kepentingan
organisasi/
kelompok (Robbins & Judge, 2008). Pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan transformasional mampu menginspirasi anggotanya untuk melakukan sesuatu melebihi apa yang diharapkan (Hartog, 1997). Bass (1985) meyebutkan
beberapa
aspek
yang
menjadi
ciri
dari
kepemimpinan
transformasional, yaitu: pengaruh yang ideal (idealize influence), motivasi yang menginspirasi (inspirational motivation), rangsangan intelektual (intelectual stimulation), dan kepedulian terhadap individu (individual consideration). Kemudian munculnya servant leadership atau kepemimpinan yang melayani.
Greenleaf
(dalam
Northouse,
2013)
menyebutkan
bahwa
kepemimpinan yang melayani menekankan pada pemimpin lebih menempatkan kepentingan bawahannya di atas kepentingan sendiri serta fokus pada perkembangan
bawahannya.
Spears
mengidentifikasi
10
karakteristik
kepemimpinan yang melayani, yaitu: mendengarkan, empati, menyembuhkan, perhatian, persuasi, konseptualisasi, peramalan, tugas untuk mengurus, komitmen pada perkembangan individu (Northouse, 2013). Kemudian teori kepemimpinan yang
terkini
adalah
Kepemimpinan Autentik
kepemimpinan
autentik
merupakan suatu
(Authentic
proses
Leadership).
yang kompleks
dan
menekankan pada pengembangan ciri atau karakter pemimpin untuk kepentingan bersama dan melayani orang lain (Northouse, 2013). Pada gaya kepemimpinan autentik pemimpin memliki karakteristik dengan menunjukkan harapan akan kepercayaan, emosi positif, optimisme, membangun hubungan yang transparan dan moral serta etika yang berorientasi pada masa depan (Avolio, dkk., 2004). Perkembangan teori kepemimpinan yang selama ini di pahami secara universal mengacu kepada budaya barat dimana teori-teori tersebut berasal dari Amerika Serikat. Berbicara mengenai kepemimpinan tentu tidak lepas dari adanya perbedaan budaya. Di Asia gaya kepemimpinan paternalistik yang sangat dikenal khususnya pada bagian Asia timur (Cheng, dkk., 2014). Gaya kepemimpinan Paternalistik memiliki tiga dimensi, yaitu: Authoritarianism, Benevolence dan Moral character. Kepemimpinan dengan Authoritarianism dikarakteristikkan dengan pemimpin menampilkan kontrol dan otoritas penuh dengan menetapkan aturan, tanggung jawab dan sistem hukuman dan imbalan terhadap bawahannya (Cheng, dkk., 2014). Berbeda dengan Authoritarianism, Benevolence fokus pada memberikan perhatian terhadap hubungan sosial kepada bawahan dimana pemimpin menunjukkan kepedulian penuh terhadap bawahan terlebih jika bawahan mengalami masalah pibadi dan keluarga. Pada dimensi Moral character pemimpin
diharapkan
untuk
dapat
bertindak
sebagai
panutan
dengan
menunjukkan standar moral yang tinggi, integritas, dan kebaikan sehingga para bawahan dapat mengikuti otoriter pemimpinnya (Cheng, dkk., 2014) Setelah berbicara mengenai perkembangan teori kepemimpinan dari masa ke masa, maka penting pula untuk memahami kepemimpinan dari bentuk atau
model organisasi seperti kepemimpinan di perguruan tinggi. Sejalan dengan timbulnya kesadaran akan perlunya pengetahuan tentang kepemimpinan dalam organisasi yang bersifat khusus, penelitian tentang kepemimpinan di perguruan tinggi juga telah banyak dilaksanakan oleh para peneliti yang tertarik pada dunia pendidikan. Salah satu lembaga pendidikan yang paling berperan dalam mengembangkan mutu pendidikan dan sumber daya manusia adalah perguruan tinggi (Fadli, Hasbullah & Yulianto, 2012). Penelitian terhadap kepemimpinan di perguruan tinggi telah menunjukkan perkembangan pada tiga puluh tahun terakhir ini meskipun demikian penelitian tentang kepemimpinan di perguruan tinggi masih dipandang sebagai area baru dalam ilmu pendidikan dan manajemen (Middlehurst, 2012). Berbagai penelitian terkait kepemimpinan telah banyak dilaksanakan sebelumnya termasuk yang menyangkut kepemimpinan di perguruan tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad, Isa, Othman, dan Rahim (2009) di Akademi Kepimpinan Pengajian Tinggi (AKEPT) Kementrian Pengajian Tinggi Malaysia memberikan saran daftar tindakan prioritas yang harus dilakukan oleh pimpinan di instansi perguruan tinggi di Malaysia agar mampu menghasilkan keputusan yang efektif dan berkualitas, diantaranya: berani memulai dan memberikan ide-ide kreatif, mendorong bawahan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, meningkatkan proses manajemen organisasi, membangun jaringan kolaboratif yang lebih luas dengan instansi lainnya, menerapkan gaya kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang dapat diterima agar mampu meningkatkan produktifitas organisasi.
Beberapa penelitian mengenai kepemimpinan di perguruan tinggi juga dilakukan dalam kaitannya dengan penerapan gaya kepemimpinan diantaranya adalah hasil penelitian Levine (2000) yang dilakukan di lima puluh perguruan tinggi tingkat nasional terbaik di Amerika Serikat versi US News & World Report bahwa pemimpin dengan gaya kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang paling dapat diterima, memuaskan dan efisien. Sejalan dengan itu, Paraca (2012) menemukan dari hasil penelitiannya bahwa gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional memiliki efek positif dan signifikan dalam meningkatkan kinerja staf di sekolah tinggi swasta di Pakistan. Penelitian mengenai kepemimpinan di perguruan tinggi di Indonesia oleh Putra dan Nasikh (2014) di enam perguruan tinggi swasta di jawa timur hasilnya menyebutkan bahwa secara umum gaya kepemimpinan pada pemimpin di perguruan tinggi swasta baik religius maupun non-religius menggunakan gaya kepemimpinan yang demokratis, transparan dan terbuka dengan berorientasi pada dinamika individu, kelompok, dan organisasi. Hal ini mampu menciptakan harmonisasi dan dinamika atmosfir di dalam kehidupan akademik yang dapat meningkatkan kinerja perguruan tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Sulisworo (2012) terhadap model kepemimpinan di program pascasarjana Universitas Ahmad Dahlan menemukan bahwa seorang pemimpin dalam menjalankan peran kepemimpinannya baik dalam menjalankan fungsinya secara operasional maupun publik harus memiliki kompetensi, pengetahuan, pengalaman, serta kemampuan interpersonal yang baik agar dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Selain itu, dalam upaya mencapai
visi misinya pemimpin juga harus berfokus dalam membangun hubungan yang baik dengan pihak Eksternal. Hasil dari berbagai penelitian mengenai kepemimpinan di berbagai perguruan tinggi menemukan bahwa kepemimpinan memegang peranan penting dalam memberikan dampak positif terhadap peningkatan kinerja perguruan tinggi. Melihat dari berbagai penelitian terkait kepemimpinan di berbagai perguruan tinggi, terlihat jelas bahwa kepemimpinan memiliki peran sentral dalam menciptakan iklim organisasi perguruan tinggi yang kondusif yang dapat mengembangkan organisasi perguruan tinggi. Kepemimpinan sebagai komponen utama pada perguruan tinggi untuk mencapai keunggulan di dunia akademik sehingga nasib perguruan tinggi di masa yang akan datang tergantung pada kemampuan pemimpin dalam mengelola potensi yang dimiliki, mengembangkan keterampilan dan kepemimpinan yang efektif di semua tingkatan organisasi (Rowley, 1997). Bolman dan Deal (1992) menambahkan bahwa kepemimpinan memegang peran kunci dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan di dalam organisasi pendidikan khususnya dalam meningkatkan kemampuan mengajar, kurikulum serta hubungan organisasi dengan stakeholdernya. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi bahwa pendidikan tinggi sebagai suatu sistem pendidikan nasional yang memiliki peran strategis dalam mencerdaskan pengetahuan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu, Varghese (2007) menegaskan bahwa perguruan tinggi memegang
peranan penting dalam melahirkan ide-ide baru, mengembangkan ilmu pengetahuan, serta melalui penelitian dan sistem pengajaran yang efektif mampu menghasilkan pakar, mengelola pembangunan, merekayasa transformasi sosial dan menjaga nilai sosial dan etos budaya. Spendlove (2007) menambahkan bahwa kekuatan utama pada sistem perguruan tinggi terletak pada pemikiran independen, kreatifitas dan kemandirian orang-orang yang bekerja di dalamnya. Selama beberapa dekade terakhir, institusi perguruan tinggi telah menjadi sorotan terkait kinerjanya. Meningkatnya persaingan antar perguruan tinggi, sumber daya yang yang terbatas serta menurunnya kepercayaan publik menjadi tantangan bagi pihak kampus untuk bertanggung jawab dalam menunjukkan produktifitas, efektifitas dan efisiensi mereka (Rosser, 2003). Kuncoro (2008) mendefinisikan kepemimpinan akademik sebagai kemampuan seseorang dalam mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang ada di perguruan tinggi dalam pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi. Menurut Gmelch dan Wolverton (2002) kepemimpinan akademik merupakan kegiatan membangun kerjasama kolaboratif dengan komunitas ilmuwan untuk memberikan arahan dan mencapai tujuan umum dengan memberdayakan staf dan dosen. Pemimpin yang harus mampu melibatkan dosen dan staf dalam memberikan ideide baru, mendukung koordinasi yang efektif dengan bekerja secara kooperatif dengan para dosen dan staf dalam menciptakan perubahan di perguruan tinggi sehingga mereka merasa menjadi bagian dari perguruan tinggi. Berdasarkan
penjelasan
di
atas,
maka
dapat
dikatakan
bahwa
kepemimpinan di perguruan tinggi dapat dikarakteristikkan dengan kemampuan
seorang pemimpin untuk menciptakan perubahan di perguruan tinggi melalui ideide baru, memiliki integritas yang tinggi serta mampu bekerja secara kooperatif dan kolaboratif dengan menciptakan koordinasi yang efektif dengan melibatkan semua elemen perguruan tinggi. Berbeda dengan kepemimpinan di dunia politik, industri dan biroksasi, kepemimpinan di dunia pendidikan khususnya pendidikan tinggi dituntut untuk harus mampu menyeimbangkan kemampuan akademik, managerial serta kepemimpinan secara bersamaan (Kuncoro, 2008). Sehingga menurut Priggie (2010) pemimpin yang memiliki keterampilan yang telah berkembang berdasarkan latihan dan pengalaman yang dapat sukses di dalam lingkungan perguruan tinggi, yaitu pemimpin yang memiliki integritas, kredibilitas, sikap adil, keterampilan interpersonal dan kemampuan bekerja melewati batas organisasi. Bryman (2007) menyebutkan bahwa ada 11 aspek penting dalam kepemimpinan akademik, yaitu: seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dalam memberikan arahan, menciptakan struktur yang mendukung tercapainya tujuan, membina lingkungan yang supportif dan kolaboratif, membangun keterpercayaan sebagai pemimpin, memiliki integritas pribadi, memiliki kredibilitas dalam bertindak sebagai panutan, mengajak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, mengkomunikaskan perkembangan, mewakili lembaga untuk mendorong tercapainya tujuan dan jaringan, menghormati budaya yang ada, menanamkan nilai melalui visi lembaga dan melindungi otonomi staf. Smith dan Wolverton (2010) menekankan aspek lain yang dituntut dilakukan oleh
pemimpin perguruan tinggi yaitu mampu menyeimbangkan antara kepentingan yang dimiliki stakeholder, pemerintah, fakultas, mahasiswa, wali mahasiswa, termasuk anggota masyarakat. Setiap pemimpin di perguruan tinggi dituntut untuk mampu menjalankan aktifitas kepemimpinannya dengan baik termasuk dalam hal menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi perguruan tinggi. Masalah atau konflik sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan sebuah organisasi. Faktanya bahwa konflik dapat menciptakan suasana emosi yang tidak nyaman dan dapat merusak hubungan antar personal di dalam organisasi (Runde & Flanagan, 2007). Konflik muncul ketika adanya ketidaksesuaian yang menyebabkan perselisihan antar individu atau kelompok dalam hal perbedaan kepentingan atau nilai – nilai yang saling tidak kompatibel dan berusaha untuk mencapai tujuannya masing – masing (Kazimoto, 2013). Kehinde (2011) menyebutkan bahwa konflik yang terjadi pada sebuah organisasi dipandang sebagai “potensi perusak” yang dapat mengganggu stabilitas dan keuntungan organisasi. Konflik merupakan hal alamiah dan tidak bisa dihindari kedatangannya didalam kehidupan organisasi dan juga tidak selalu berdampak negatif, melainkan dapat berdampak positif pula dalam meningkakan kinerja organisasi (Robbins & Judge, 2008). Disinilah peran kepemimpinan dibutuhkan karena pemimpin diharapkan untuk selalu hadir pada situasi sosial yang ada dalam organisasi termasuk dalam menyelesaikan masalah (Ginting & Haryati, 2012). Hanya saja setiap pemimpin memiliki tingkat sensitivitas dan respon terhadap konflik yang berbeda-beda sehingga tidak semua pemimpin mampu menangani konflik dengan
baik bahkan banyak diantaranya konflik yang muncul berasal dari kepemimpinan atau pemimpin itu sendiri (Runde &Flanagan, 2007). Brown dan Harvey (2006) menyatakan bahwa konflik yang terjadi di organisasi perlu dikelola dengan baik agar dapat meningkatkan efektifitas organasisasi. Garcia (2013) menyatakan bahwa konflik organisasi dapat mempengaruhi kinerja organisasi tersebut, namun jika konflik dapat dikelola secara tepat maka dapat mengantarkan pada pencapaian tujuan organisasi. Northouse
(2013)
menyebutkan
bahwa
salah
satu
fungsi
dari
kepemimpinan adalah perhatian terhadap pencapaian tujuan organisasi, untuk mewujudkannya setiap pemimpin memiliki strategi yang diterapkan dalam memimpin khususnya dalam memberikan solusi dalam menghadapi masalah atau konflik yang terjadi di organisasi. Hitt, Ireland dan Hosskisson (2001) menyebutkan seorang pemimpin untuk mencapai tujuannya harus mampu memberdayakan sumber daya yang dimilikinya dengan berperan sebagai inspirasi, menjaga fleksibilitas dan mampu mengantisipasi segala ancaman dari lingkungan melalui strategi yang diciptakan. Rahayu (2008) menyebutkan strategi sebagai suatu rencana yang tersturktur dan terintegrasi yang menggambarkan kekuatan internal organisasi dan disusun untuk menghadapi peluang dan ancaman yang datang dari lingkungan. Kenyataannya pemimpin di perguruan tinggi pada umumnya dalam mengemban tugasnya tanpa melalui pendidikan formal untuk menjadi pemimpin karena pada dasarnya mereka menjalankan perannya sebagai tenaga pengajar yang dipilih atau ditunjuk untuk memimpin sebuah perguruan tinggi (Thrash, 2012). Hal ini pun
yang menjadi keraguan terhadap kemampuan kepemimpinan di perguruan tinggi. Bahkan tidak sedikit konflik yang terjadi di perguruan tinggi melibatkan para pemimpin itu sendiri. Berikut ini beberapa konflik kepemimpinan yang pernah terjadi di perguruan tinggi: Tabel 1. Konflik Kepemimpinan yang terjadi di Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi
Tahun
Universitas Darul Ulum Jombang Universitas Trisakti Jakarta
Universitas Dr Soetomo Surabaya Universitas Tritunggal Surabaya Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Konflik Konflik yang melibatkan Rektor dan 1998 Yayasan, adanya dua Rektor dan 2dua Yayasan Konflik yang melibatkan Rektor dan 2000 yayasan, kasus berakhir di pengadilan Konflik yang melibatkan Rektor dan Yayasan, konflik berkembang 2002 dengan munculnya dua rektor dan dua yayasan Konflik kepemimpinan yang 2003 mengakibatkan terpecahnya menjadi dua kampus Konflik yang melibatkan Rektor dan Yayasan, konflik berkembang 2004 dengan munculnya dua rektor dan dua yayasan Sumber: Jawa Pos, Edisi Kamis 2 Juni 2005
Menurut data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2013 ada sekitar 200 perguruan tinggi swasta di Indonesia yang sedang dalam kondisi
konflik
dan
dapat
mengganggu
jalannya
kegiatan
akademik.
Permasalahan atau konflik yang dihadapi oleh PTS ini pun beragam diantaranya, adanya konflik antar organisasi yayasan (pembina, pengurus, dan pengawas), konflik antara yayasan dan pimpinan PTS, konflik pimpinan PTS dengan Senat PTS, ada juga konflik yayasan yang saling mengklaim sehingga di satu PTS terdapat 2 – 3 yayasan dengan 2 – 3 rektor, bahkan ada pula konflik yang
melibatkan adanya dua Badan Eksekutif Mahasiswa yang kembar dibawah yayasan yang pecah ( Kompas.com, 2013). Melihat dari beberapa kasus yang melibatkan konflik yang banyak dihadapi perguruan tingg di atas, khususnya perguruan tinggi swasta menunjukkan bahwa di dalam organisasi pendidikan seperti perguruan tinggi pun tidak terlepas dari konflik dan bahkan banyak diantaranya melibatkan para petinggi di perguruan tinggi. Oleh karena itu, kepemimpinan sangat di perlukan dan memegang peranan penting bagi perguruan tinggi, karena dengan kondisi adanya konflik yang terjadi di perguruan tinggi tentunya dapat merugikan berbagai pihak baik secara internal organisasi dan juga hubungan dengan stakeholder, serta tentunya dapat berpengaruh dalam penurunan citra perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, konflik yang melibatkan kepemimpinan juga terjadi di STIE Panca Bhakti Palu. STIE Panca Bhakti Palu adalah satu dari 32 perguruan tinggi swasta yang terdapat di Palu, Sulawesi Tengah (Dikti, 2011). STIE Panca Bhakti Palu merupakan perguruan tinggi milik yayasan Panca Bhakti. Konflik yang terjadi di STIE Panca Bhakti Palu melibatkan adanya persengketaan kepemilikian diantara dua penyelenggara yayasan yang secara bersamaan mengaku sebagai pemilik dari yayasan Panca Bhakti Palu. Konflik internal ini terjadi sejak tahun 2011 dan telah terpublikasi secara meluas di masyarakat. Konflik ini pun sudah masuk dan diperkarakan secara hukum Kejadian ini tentu dapat berdampak pada menurunnya minat masyarakat dalam memilih STIE Panca Bhkati Palu untuk menjadi tempat dalam menuntut
ilmu karena secara tidak langsung citra STIE Panca Bhakti Palu dikenal sebagai perguruan tinggi yang bermasalah dan dianggap memiliki sistem pendidikan yang ilegal akibat dari konflik internal yang melibatkan ketua yayasan. Kenyataannya, sejak mulai munculnya konflik persengketaan ini pada tahun 2011, jumlah mahasiswa baru justru menunjukkan tren yang positif dan berlangsung secara konsisten hingga saat tahun ajaran 2014/ 2015 ini. Bahkan menurut data dari perguruan tinggi tersebut, jumlah mahasiswa baru terbanyak diperoleh pada tahun ajaran 2011-2012 tepat dimana konflik internal ini mulai terpublikasi ke masyarakat. Tabel 2. Data Jumlah Mahasiswa Baru STIE Panca Bhakti Palu Dalam 10 Tahun Terakhir
Tahun Akademik
Program Studi Akuntansi (S1)
Program Studi Manajemen (S1)
Program Studi Magister Manajemen (S2)
Jumlah Mahasiswa Baru
2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014 2014-2015
58 73 111 126 154 220 310 319 277 342 325
109 125 147 158 158 206 268 308 324 335 364
47 73 65 81 64 64 21
167 198 258 284 359 499 643 708 665 741 710
Pada tahun 2010 STIE Panca Bhakti Palu melakukan pergantian ketua pengelola perguruan tinggi. Masuknya Ketua baru yang memimpin STIE Panca Bhakti berdampak positif bagi perguruan tinggi khusunya pada tren peningkatan jumlah mahasiswa pada lima tahun kepemimpinan ketua baru. Tentu kondisi ini
tidak mudah karena disaat yang bersamaan ketua STIE Panca Bhakti Palu memimpim perguruan tinggi di dalam kondisi adanya konflik tingkat tinggi yang melibatkan ketua yayasan sebagai pemilik dari perguruan tinggi STIE Panca Bhakti Palu. Berdasarkan fenomena di atas, terkait dengan kepemimpinan di organisasi konflik yang terjadi di perguruan tinggi, maka hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan peran kepemimpinan dalam mengatasi dampak konflik bagi perguruan tinggi bahkan mampu meningkatkan citra perguruan tinggi di mata masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut maka pertanyaan penelitian yang di ajukan pada penelitian ini adalah apakah yang mendasari kepemimpinan Ketua STIE Panca Bhakti Palu dalam memimpin perguruan tinggi? dan Strategi apa yang dilakukan oleh Ketua STIE Panca Bhakti Palu dalam memimipin STIE Panca Bhakti Palu sehingga dapat bertahan bahkan meningkatkan citra perguruan tinggi di tengah konflik kepemilikan yayasan yang justru dapat mengganggu stabilitas organisasi di STIE Panca Bhakti Palu? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari apa yang mendasari kepemimpinan Ketua STIE Panca Bhakti Palu dalam memimpin perguruan tinggi dan strategi apa yang dilakukan Ketua STIE Panca Bhakti Palu dalam memimpin perguruan tinggi di tengah terjadinya konflik yayasan yang dapat mengganggu stabilitas organisasi di STIE Panca Bhakti Palu
Implikasi Studi Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan ilmu di bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai kepemimpinan di perguruan tinggi. Implikasi praktis dari temuan penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai benchmark terkait apa yang mendasari kepemimpiman Ketua STIE Panca Bhakti Palu dan strategi kepemimpinan di perguruan tinggi yang menghadapi konflik kepemimpinan.