Danu Adi
Keluarga Matahari
DANU ADI NULISBUKU.COM
Keluarga Matahari Penulis: Danu Adi Cover & Layout : Nuzula Fildzah Diterbitkan melalui : www.nulisbuku.com Diterbitkan pertama kali oleh : Danu Adi – Nulisbuku.com
2
Buah persembahan sederhana untuk pribadi sederhana yang mampu menginspirasi dan menjadi inspirasi.
Sonya Dimitra Ayu Risky Puastika Pransiska Archivianti Toriki Katiti Wulansari Desty Amalia Shofa Fauzia Ayu Anisa Febriana Sanoerman Nadia Gita Shawma
3
Overture Semarang, 07 Desember 2013. Kakiku sudah bisa berpijak pada daratan, setelah hampir dua jam terbang berada ribuan meter di atas tanah. Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB saat kutenteng koper-koperku masuk ke dalam ruang tunggu Bandara Achmad Yani, Semarang. Di tempat ini, aku menanti mereka datang. Mereka yang sudah kukenal sejak lima tahun silam. Kenangan selama lima tahun yang mengawali semua cerita. Semuanya masih kuingat dengan jelas. Bahkan sampai hari ini.....
4
1 Hari Pertama Sejak saat itu. Sejak hari pertama masa orientasi mahasiswa baru. Tuhan menunjukkan jalanNya dan mempertemukanku dengan tujuh orang sahabat terhebat. Tidak hanya sekedar sahabat, tapi juga keluarga. Semarang, 04 Agustus 2008 Perkenalkan namaku Desty, Desty Amalia lebih lengkapnya. Aku lahir di kota yang masyur dengan lumpianya pada tanggal 08 Desember 1989. Aku berkulit sawo matang, berkacamata dengan mata agak belo, dan badan agak gemuk. Orang-orang dengan mudah mengenaliku lewat tahi lalat yang terletak di atas kelopak mata sebelah kanan, dan kebiasanku yang selalu menggigiti kuku jari tangan. Tinggi badanku sekitar 165 sampai 170cm aku tidak bisa memastikan karena memang aku jarang mengukur tinggi badan. Begitu juga dengan berat badanku, timbangan di rumah selalu menunjukkan angka yang berbeda-beda tiap aku menimbang, tapi lebih sering menunjuk ke angka 50 sampai 55kg. Hobiku adalah fotografi, meskipun masih tergolong level amatir. Hobiku ini menular dari Bapak yang 5
memang menyukai fotografi semasa mudanya dulu. Kebanyakan yang menjadi objek fotoku adalah pemandangan-pemandangan yang bertebaran dengan liarnya di sekitarku. Ada suatu kepuasan tersendiri bisa mengabadikan moment-moment sekitarku yang justru luput dari perhatian orang-orang, seperti memfoto langit kala senja, pasir-pasir di pantai, hiruk pikuk kemacetan, dan masih banyak lagi. Ini adalah hari pertamaku kuliah di salah satu Universitas Negeri di Semarang. Aku memilih jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Tata Kota atau yang sering disebut dengan Planologi sebagai bidang studiku dan lulusannya akan disebut sebagai seorang perencana atau planner. Satu kata yang tepat untuk menyambut hari pertama kuliahku adalah “Ribet”. Semuanya ribet mempersiapkan hari pertamaku. Bahkan seisi rumah juga kena imbasnya. “Deeeeek, ayo cepat mandi! Sudah jam 5 nih. Nanti kamu telaaat!” suara Ibu yang berasal dari balik pintu kamar tidurku. Lama-kelamaan, suara Ibu semakin tinggi, dan sesekali mengetuk pintu kamar dengan agak keras “Deeeeekkk, ayo bangun! Masa hari pertama kamu udah telat sih”. Kuhela sebuah nafas panjang dan segera bangkit dari tempat tidurku. “Nih, kamu mandi ya. Jangan lama-lama” Ibu menyodorkan sebuah handuk yang sedari tadi ia kalungkan di bahunya sambil sesekali mengoleskan selai kacang di setangkap roti tawar. Aku 6
melangkahkan kaki menuju kamar mandi dengan agak mengantuk. (15 menit berlalu) Kini aku sudah bersalin rupa menjadi seorang anak baru yang siap mengikuti masa orientasi di kampusnya. Kemeja putih yang kukenakan ini nampak sedikit sesak untuk tubuhku yang mulai menggemuk. Segera aku duduk di kursi makan dan melahap beberapa tangkap roti yang sudah Ibu siapkan. Harapanku, semoga roti ini mampu menguatkan stamina dan fisikku dalam menghadapi ospek hari pertama, karena konon katanya ospek anak teknik itu keras. Seperti yang sudah kubilang, pada hari itu semuanya ikut di repotkan untuk menyambut hari pertama ospek. “Kak, kamu urus rambut adek. Ical kamu lap sepatu ya. Papah panasin mobil dari sekarang” Ibu dengan cekatan memberikan komando kepada semua anggota keluarga. “Kamu rambutnya disuruh gimana sama senior?” tanya Kakak perempuanku, kak Nurul namanya. Ia menjadi yang paling jahil di rumah ini. “Cuma disuruh dikuncir pake pita biru kok Mbak. Tapi gak boleh pake poni”. “Yah keliatan dong benda keramat kamu” Kakakku ketawa geli sambil sibuk menggerakkan jemarinya mendandani rambutku. “Maksudnya benda keramat?”. 7
“Yaa, ituuu jidat kamu. Kan lega banget” kini tawanya makin menjadi-jadi. “Eh, tapi jidat lebar gini kata orang tandanya otak kita encer Mbak”. “Iya, gapapa si encer, asal jangan sampe netes aja di jalanan”. “Emanya cemberut.
jidatku
tangki
bensin!”
aku
“Mbaaaaak, ini sepatunya udah aku lap. Udah bersih” ujar adikku Ical, penggila bola sejati. Ical anak ketiga di rumah ini. “Makasi ya Cal” jawabku pendek, masih mengunyah roti isi selai kacang. “Mbaak, masa Cuma gitu doang, coba dong cium sepatunya”. Aku mengerutkan dahi tanda keheranan. Ical terus menatapku dengan tatapan penuh harap, sepertinya ia sangat berharap aku menuruti kemauannya. Akupun mengangkat sepasang sepatu pantofel milikku dan mulai mengendus. “Kok sepatunya wangi Cal?”. “Iya dooong, kan tadi udah aku kasih parfum Mbak biar gak bau. Abis kamu kan gak boleh pake parfum kalo ospek, jadi biar sepatunya aja wangi, kamunya enggak”. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuannya.
8
“Mbaak, tugas aku apa dong mbak? Aku juga mau ikutan main” rengek Fatur. Fatur atau Patung adalah adikku paling bontot. Menurutnya semua “kesibukan” di pagi ini adalah sebuah permainan. Ya, tidak perlu heran, karena Fatur baru berusia 6 tahun. “Patung, ambilin mbak minum aja ya. Nih pake gelas yang ini” aku coba memberikan sebuah tugas sederhana. Ia berlari menyambar gelas yang kusodorkan dan dalam beberapa detik, segelas air putih sudah tersaji di meja. “Apa lagi mbak?” Patung kembali menawarkan jasanya sambil beberapa kali mengelap keringat yang mengucur di dahinya. “Udah kok, ini mbak juga udah mau berangkat. Kamu mandi sana, keringetan gitu”. Ringtone di telepon genggamku berdering dan menunjukkan isyarat ada satu buah pesan masuk. Girang : Kak, koe wis ning kampus? Enteni aku mboan. Aku : Belum Gir. Iya nanti ketemu di gerbang kampus ya Girang : Oke Kak
9
Nadia/Girang. Nadia Gita Shawma, terkadang kami lebih senang memanggilnya Girang karena lebih earcatching untuk di dengar. Penyuka kue Bandung yang juga gemar mengenakan cardigan merah ini, bukanlah orang baru bagiku. Kami sudah berteman sejak duduk di bangku SMA dulu. Bahkan saat kelas 2 SMA, kami sempat mencicipi satu kelas bersama. Dari dulu sampai sekarang, musuh bebuyutan Nadia tidak pernah berubah. Timbangan. Sama sepertiku, Nadia juga 4 bersaudara. Yang membedakan adalah, semua kakak dan juga adiknya adalah wanita. Keempat bersaudara ini, mempunyai tingkat kemiripan hampir 75%. Keluarga Nadia sangat menjunjung tinggi pendidikan, oleh karena itu orang tua Nadia berharap agar ia juga memiliki gelar Doktor seperti Ayahnya. Nadia adalah sosok wanita yang tidak membosankan untuk dipandang. Dengan warna kulit yang putih, bentuk mata yang sedikit berkantung di bagian bawah, pipinya yang sedikit tembem, rahang dagu yang tegas, senyum yang paling merekah diantara kami, dan lesung pipi yang selalu menyembul tiap tersenyum. Nadia juga menjadi pribadi yang pandai memecahkan persoalan dengan pemikirannya yang berwawasan luas.
10